BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pelapisan Sosial Pelapisan sosial di sini dianggap sebagai kedudukan yang berbeda-beda, mengenai pribadi-pribadi manusia yang merangkaikan suatu sistem sosial yang ada dan perlakuannya sebagai hubungan orang atasan (Superior) dan orang bawahan (inferior) satu sama lain dalam hal-hal tertentu yang oleh masyarakat dianggap penting. Kedudukan yang bermacam-macam seperti itu dianggap suatu fenomena sistem-sistem sosial yang benar-benar mendasar dan apa yang merupakan hal-hal di mana kedudukan adalah penting. Kedudukan merupakan salah satu di antara banyak dasar yang memungkinkan di dalam pribadi-pribadi dapat dibeda-bedakan. Hal itu hanya dalam perbedaan-perbedaan yang sepanjang diberlakukan sebagai keterlibatan atau hubungan dengan jenis-jenis tertentu superioritas atau inferioritas sosial yang relevan dengan teori pelapisan (Talcot : 1985 :70 ) Stratifikasi sosial (social Stratification) merupakan suatu sistem di mana manusia terbagi dalam lapisan-lapisan sesuai dengan kekuasaan, kepemilikan, dan prestise relatif mereka. Stratifikasi sosial merupakan cara untuk menggolongkan sejumlah besar kelompok manusia ke dalam suatu hirarki sesuai dengan hak-hak istimewa relatif mereka. (Henslin 2007:178) Stratifikasi dapat terjadi dengan sendirinya sebagai bagian dari proses pertumbuhan masyarakat, juga dapat dibentuk untuk mencapai tujuan bersama. Faktor yang menyebabkan stratifikasi sosial dapat tumbuh dengan sendirinya adalah kepandaian, usia, sistem kekerabatan dan harta dalam batasan-batasan tertentu. Stratifikasi sosial memiliki dua sifat yaitu stratifikasi terbuka dan stratifikasi tertutup. 14 Universitas Sumatera Utara 15 Pada startifikasi terbuka kemungkinan terjadinya mobilitas sosial cukup besar, sedangkan pada stratifikasi tertutup kemungkinan terjadinya mobilitas sosial sangat kecil.Menurut Davis dan Moore bahwa posisi yang tinggi di dalam stratifikasi sosial dianggap sebagai posisi yang kurang menyenangkan tetapi sangat penting untuk menjaga keberlangsungan hidup masyarakat dan membutuhkan bakat dan kemampuan yang besar. Oleh karena itu masyarakat menambahkan di dalam posisi itu ganjaran-ganjaran atau reward sehingga orang-orang yang bekerja di dalam posisi itu dapat melakukan pekerjaannya dengan rajin. Sebaliknya, posisi yang lebih rendah lebih menyenangkan tetapi kurang penting dan tidak membutuhkan bakat dan kemampuan khusus untuk melaksanakannya. Masyarakat juga tidak terlalu menganggap penting bahwa orang-orang menduduki posisi-posisi itu harus melaksanakan tugasnya (Bernard 2007: 51) Secara umum, status seseorang dalam masyarakat terdidiri dari tiga bentuk, yaitu 1. Ascribed Status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut dapat diperoleh karena kelahiran, misalnya kedudukan seorang anak bangsawan adalah bangsawan juga. 2. Achieved Status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja, kedudukan tersebut tidak diperoleh atas dasar kelahiran, tetapi bersifat terbuka bagi siapa saja, tergantung dari kemampuannya masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan, misalnya setiap orang dapat menjadi hakim asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu. 3. Assigned Status, yaitu kedudukan yang diberikan berhubungan dengan achieved status, misalnya sekelompok atau segolongan orang yang memberikan kedudukan Universitas Sumatera Utara 16 yang lebih tinggi kepada seseorang yang berprestasi di dalam instansi pemerintahan akan dinaikkan pangkatnya. Menurut Soerdjono Soekanto : “Status sosial diartikan sebagai suatu kedudukan yang diatur secara sosial dan menempatkan seseorang pada posisi tertentu dalam struktur sosial masyarakat, yang disertai pula dengan seperangkat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi pula oleh si pembawa status”. Bentuk–bentuk penghargaan masyarakat yang mempengaruhi tingkat status sosial seseorang adalah pekerjaan yang dimilikinya, pendapatan, pendidikan, keturunan, kepangkatan, kekayaan, bentuk rumah dan lokasi rumah.Inilah yang menyebabkan terjadinya lapisan-lapisan ataupun stratifikasi di dalam masyarakat dalam arti sosial. Menurut Soerjono Soekanto : “Ada beberapa ukuran-ukuran yang dapat diperlukan untuk menggolong-golongkan masyarakat, anggota-anggotanya ke dalam lapisan-lapisan” ,yaitu : a. Ukuran Kekayaan (materil) b. Ukuran kekuasaan c. Ukuran kehormatan d. Ukuran ilmu pengetahuan. Untuk lebih jelasnya maka berikut ini akan diuraikan yang mempengaruhi pembentukan tingkatan sosial. Universitas Sumatera Utara 17 1. Pendidikan Salah satu ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongankan masyarakat kedalam lapisan-lapisan sosial atau status sosial ialah ukuran ilmu pengetahuan.Ilmu pengetahuan diperoleh dengan pendidikan formal yang diperoleh di sekolah-sekolah. Bila anggota masyarakat memandang pendidikan sebagai suatu yang berharga yang dapat meningkatkan status sosial, maka secara sadar akan berusaha agar hal tersebut dapat dicapai. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh manusia, baik melalui lembagalembaga pendidikan atau sekolah-sekolah maupun di luar sekolah. Melalui pendidikan yang diperoleh seseorang secara tidak langsung akan mengembangkan kepribadiannya dan kemampuannya untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi. Berbeda dengan orangorang yang belum pernah mengecap pendidikan. Dengan demikian tingkat pendidikan yang dialami, mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi dengan seseorang yang berpendidikan rendah, menegah atau yang sama sekali tidak berpendidikan. Demikian juga halnya dengan status sosial, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pula penghargaan masyarakat kepadanya. Seseorang yang berpendidikan tinggi misalnya sarjana, maka penghargaan yang diberikan oleh masyarakat kepadanya akan berbeda dengan seorang yang hanya berpendidikan SMA. Pendidikan berlangsung seumur hidup serta dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah dan juga masyarakat.Pendidikan dalam keluarga memberikan dasar-dasar bagi pendidikan selanjutnya.Pendidikan di sekolah dengan segala peraturannya, merupakan pendidikan yang bersifat formal atau resmi, sedangkan pendidikan di dalam masyarakat merupakan pendidikan Universitas Sumatera Utara 18 non formal.Dari defenisi diatas dapat diketahui bahwa pendidikan itu tidak hanya terletak pada satu pusat saja, tetapi adanya kerjasama antara ketiga unsur keluarga, sekolah dan masyarakat. 2. Pekerjaan Jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang sangat menentukan status sosial dalam masyarakat.Artinya dengan melihat jenis pekerjaan seseorang, dapat dilihat tingkat status sosial di dalam masyarakat. Berdasarkan jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang akan dapat mempengaruhi penghargaan masyarakat kepadanya. Semakin tinggi status sosial seseorang berdasarkan jenis pekerjaan yang dimilikinya, maka semakin besar penghargaan masyarakat kepadanya, demikian juga sebaliknya. Tujuan dari pekerjaan yang dilakukan adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sesuai dengan nilai sosial yang berlaku. Maksudnya adalah jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan haruslah sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan norma hukum yang ada dalam masyarakat. Pekerjaan tersebut haruslah menurut aturan-aturan yang berlaku, bukan pekerjaan yang merugikan orang lain, namun haruslah mengandung nilai keuntungan baik bagi diri pribadi, organisasi tempat bekerja maupun bagi masyarakat. Dalam pemilihan pekerjaan pun perlu diperhatikan bahwa pekerjaan bukan hanya sebagai sarana saja, melainkan juga sangat berguna. Bukan sebagai kewajiban melainkan sebagai hak setiap manusia, seperti yang dirumuskan berikut ini: 1. Pekerjaan sebagai sarana memproduksi barang dan jasa bagi masyarakat dan perorangan. 2. Pekerjaan sebagai sarana pendapatan bagi masyarakat dan perorangan sebagai imbalan atas jasa pengorbanan energinya. Universitas Sumatera Utara 19 3. Pekerjaan sebagai sumber memperoleh status sosial, harga diri dan penghargaan masyarakat sebagai imbalan atas prestasinya. 4. Pekerjaan yang mempunyai sumber penghasilan yang layak dan sumber martabatnya, sebagai kewajiban dan haknya. Tingkatan pekerjaan memang terdapat pada suatu masyarakat. Tingkatan jenis pekerjaan tersebut dipengaruhi oleh prestise dari anggota masyarakat tersebut. Dari penjelasan-penjelasan mengenai status di atas maka dapat dikatakan bahwa status seseorang dalam masyarakat ditentukan oleh faktor-faktor aspek kehidupan yang ada dalam masyarakat (achieved status) dalam masyarakat yang dinyatakan dengan status sosial ekonomi.Utuk melihat apakah seseorang memiliki status sosial ekonomi yang tinggi, sedang dan rendah di dalam suatu masyarakat didasarkan pada banyak tidaknya bentuk penghargaan masyarakat padanya. Artinya semakin tinggi tingkat status sosial ekonomi seseorang maka semakin banyak bentuk penghargaan masyarakat yang diterimanya dan sebaliknya semakin rendah tingkat status ekonomi seseorang maka semakin sedikit bentuk penghargaan masyarakat yang diterimanya.(Jhon 1994:147) Bentuk-bentuk penghargaan masyarakat yang mempengaruhi tingkat status sosial seseorang adalah pekerjaan yang dimilikinya, pendapatan, pendidikan, keturunan, kepangkatan, kekayaan, bentuk rumah dan lokasi rumah.Faktor-faktor inilah yang menyebabkan terjadinya lapisan-lapisan ataupun stratifikasi di dalam masyakat dalam arti sosial maupun ekonomi. Universitas Sumatera Utara 20 2.2 Manusia dan Kebudayaan Antara manusia dan kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat, manusia menjadi manusia merupakan kebudayaan.Hampir semua tindakan manusia itu merupakan kebudayaan.Hanya tindakan yang sifatnya naluriah saja yang bukan merupakan kebudayaan, tetapi tindakan demikian presentasinya sangat kecil. Tindakan yang berupa kebuayaan tersebut dibiasakan dengan cara belajar (Jacobus,2006:20) Selanjutnya hubungan antara manusia dengan kebudayaan juga dapat dilihat dari kedudukan manusia tersebut terhadap kebudayaan.Manusia mempunyai empat kedudukan terhadap kebudayaan yaitu sebagai 1) penganut kebudayaan, 2) pembawa kebudayaan, 3) manipulator kebudayaan, 4) pencipta kebudayaan.Pembentukan kebudayaan dikarenakan manusia diharapkan pada persoalan yang diminta pemecahan dan penyelesaian.Kebudayaan yang digunakan manusia dalam menyelesaikan masalah-masalahnya bias kita sebut sebagai way of life, yang digunakan individu sebagai pedoman dalam bertingkah laku.Berarti kebudayaan adalah segala sesuatu yang telah ada, telah diterima, dilaksanakan oleh semua orang dalam waktu yang cukup lama dan sudah menjadi kebiasaan. Berarti Adat adalah segala sesuatu yang telah ada , diterima, dilaksanakan oleh semua orang dalam waktu yang cukup lama dan sudah menjadi kebiasaan (Bambang,2000:44) Demikian halnya dengan masyarakat Batak Toba, juga tidak pernah berhasil dijelaskan siapa peletak dasar adat Batak Toba. Menurut silsila ( tarombo) Batak, bahwa manusia pertama di bumi ini (tanah Batak tentunya) adalah si Raja Batak yang diciptakan oleh debata mulajadina bolon bersama dengan seorang perempuan di puncak Pusuk Buhit, kemudian si Raja Batak memiliki keturunan yang masih dapat ditelusuri yaitu Guru Tetabulan dan Raja Isombaon. Dari Universitas Sumatera Utara 21 mereka inilah kemudian berkembang dan terbentuklah komunitas masyarakat Batak Toba yang pertama. Dari komunitas Batak yang pertama inilah mulai diletakkan dasar budaya Batak (Vergouwen 1986:7) Pembentukan kebudayaan dikarenakan manusia dihadapkan pada persoalan yang meminta pemecahan dan penyelesaian. Manusia harus mampu memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya sehingga manusia melakukan berbagai cara. Hal yang dilakukan oleh manusia inilah kebudayaan.Kebudayaan yang digunakan manusia dalam menyelesaikan masalahmasalahnya bias kita sebut sebagai way of life, yang digunakan individu sebagai pedoman dalam bertingkah laku. 2.3 Perubahan dan Kebudayaan Perubahan sosial merupakan ciri khas semua masyarakat dan semua kebudayaan, baik masyarakat tradisonal maupun masyarakat modern.Dalam masyarakat modern perubahan itu sangat cepat, sedang dalam masyarakat tradisional sangat lambat.Perubahan sosial dapat menimbulkan problem sosial. Problem sosial dapat saja identik secara materil dalam masa dan kebudayaan yang berbeda , tetapi problem itu selalu erat bergantung pada kenyataan sosio-kultural yang khusus. Dengan kata lain ada relasi kecenderungan-kecenderungan dan dinamisme sosio kultural dengan problem sosial masyarakat modern. Problem sosial erat hubungannya dengan kondisi sosial, sebab problem sosial ditimbulkan oleh interaksi dan interelasi dua manusia atau lebih. (Simandjuntak 1980:7) Suatu masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkannya, tidak mungkin berhenti berproses, kecuali apabila masyarakat dan kebudayaan tersebut telah mati.Setiap masyarakat dan Universitas Sumatera Utara 22 kebudayaan, pasti mengalami perubahan.Mungkin saja perubahan yang terjadi tidak begitu tampak, karena manusia kurang menyadarinya atau merasa dirinya kurang terlibat. Di Indonesia sering dikatakan, bahwa masyarakat desa sama sekali tidak berubah, atau suku-suku bangsa yang terasing, sama sekali masih murni. Ini sama sekali tidak benar; mungkin pandangan tersebut didasarkan pada sudut pandangan yang sangat sempit. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, hampir-hampir tidak memungkinkan manusia dan kelompoknya untuk menutupi diri terhadap pengaruh dari luar. Memang perlu diakui, di satu pihak pengaruh tersebut mungkin masuk dengan mudah, namun di pihak lain, ada pula pengaruh yang lebih sukar masuknya (Soekanto 1988:73) Pada dasarnya perubahan sosial dan kebudayaan tidak dapat berdiri sendiri, keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. Perubahan sosial dan perubahan kebudayaan berbeda. Dalam perubahan sosial terjadi perubahan struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial, antara lain sistem status, hubungan-hubungan di dalam keluarga, sistem politik dan kekuasaan, serta persebaran penduduk. Sedangkan yang dimaksud dengan perubahan kebudayaan ialah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimilki bersama oleh warga atau sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan , antara lain aturan-aturan, norma-norma yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan, juga teknologi, selera, rasa keindahan (kesenian) dan bahasa.Walaupun perubahan sosial dan perubahan sosial dan perubahan kebudayaan itu berbeda, pembahasan kedua perubahan itu tak akan mencapai suatu pengertian yang benar tanpa mengaitkan keduanya. Dengan munculnya pola-pola baru berarti lenyaplah pola-pola lama.Lenyapnya pola-pola kelakuan tradisional dan munculnya pola-pola baru menimbulkan ketegangan-ketegangan.Ada Universitas Sumatera Utara 23 kemungkinan pola-pola lama secara lambat menghilang dan pola-pola baru muncul secara lambat, proses desintegrasi lambat. Perubahan adalah proses yang berkesinambungan dan memilki arah yang jelas yang dapat terjadi melalui adaptasi, penyesuaian, akomodasi, asimilasi, dan lain-lain, sehingga terjadi proses perubahan antara dua atau lebih objek dan sistem sosial budaya. (Piotr, 2008:34). Perubahan tata cara perkawinan ini bukan hanya terjadi pada masyarakat Batak Toba saja, karena dengan berjalannya waktu upacara perkawinan adat sekarang ini juga mengalami perubahan yang mana pelaksanaannya upacara perkawinannya sudah tidak bertele-tele lagi dan tidak mengeluarkan banyak biaya lagi karena sudah lebih praktis. Perubahan ini juga karena adanya teknologi dan ilmu pengetahuan yang semakin canggih yang mempermudah terjadinya tukar menukar kebudayaan baik antara suku bangsa maupun dengan kubudayaan asing. 2.4 Masyarakat Batak Toba 1. Masyarakat Menurut Koentjoroningrat dalam Muhammad Basrowi dan Soenyono (2004:46), istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab “syaraka” yang berarti ikut serta, berpartisipasi, atau “musyaraka” berarti “ saling bergaul”. Di dalam bahasa Inggris dipakai istilah “society” yang sebelumnya berasal dari kata latin “socious”, berarti “kawan”. Pendapat sejenis juga terdapat dalam buku karangan Abdul Syani, dijelaskan bahwa perkataan masyarakat berasal dari kata musyarak (arab), yang artinya bersama-sama, kemudian berubah menjadi masyarakat, yang artinya berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Universitas Sumatera Utara 24 Sementara itu menurut John Lewis Gillin dan John Philip Gillin mengatakan bahwa masyarakat itu adalah kelompok manusia yang terbesar yang mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama. Masyarakat itu meliputi pengelompokanpengelompokan yang lebih kecil.Pengertian yang dikemukakan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat itu meliputi kelompok manusia yang kecil sampai dengan kelompok manusia dalam suatu masyarakat yang sangat besar. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terdiri dari kelompok yang kecil sampai kelompok yang besar yang berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling bergaul dan saling mempengaruhi. Kelompok manusia tersebut mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama. 2. Masyarakat Batak Ada beberapa dugaan tentang asal orang Batak Toba. Harahap dalam Bungaran Antonius (2006:25) yang menyatakan ada dua asal orang Batak, yaitu 1) dari Utara (tidak dijelaskan yang mana), dari sana pindah ke Filipina, dari Filipina pindah ke Selatan, yaitu Sulawesi bagian selatan, menurunkan orang Bugis dan Makassar. Kemudian bersama angin timur berlayar ke barat bagian Lampung, lalu melalui pantai barat Sumatera bagian di Barus. Dari sana naik ke pulau Samosir di Danau Toba. 2) berasal dari India (Hindia muka) turun ke Burma, kemudian turun ke tanah genting kera di utara Malaysia, terus berlayar ke barat tiba di Sumatera. Kemudian melalui Tanjung Balai atau Batu Bara atau Pangkalan Berandan, Kuala Simpang naik ke Danau Toba. Untuk sementara Harahap mereservasi dugaan di atas sebagai pegangan.Namun tetap bersikap bahwa faktanya orang Batak sudah ada di tanah Batak dan mereka juga beratus tahun Universitas Sumatera Utara 25 tinggal di wilayah itu. Tentang dari mana asal, bagaimana sampai di sana, dianggap suatu spekulasi yang mungkin besar, tapi mungkin juga salah. Menurut Antonius (2006:18) suku Batak terbagi dalam berbagai sub suku yang didasarkan atas pemakaian bahasa Batak yang mempunyai perbedaan di antara masing-masing sub suku, yaitu 1) Batak Karo di bagian utara Danau Toba di tanah Batak pusat dan di utara Padang Lawas, 4) Batak Simalungun di timur Danau Toba, 5) Batak Angkola/ Mandailing di Angkola, Sipirok, Padang Lawas Tengah dan Sibolangit bagian selatan. Sianipar (1991) menyatakan bahwa masyarakat Batak Toba adalah masyarakat marga, sehingga dalam kegiatannnya tidak dapat meninggalkan keterlibatan marga. Dalam masyarakat Batak norm umum dipakai untuk keperluan umum, namun keperluan adat masyarakat Batak menggunakan norma dan adat istiadat orang Batak. Dalam masyarakat Batak terdapat marga yang diikuti susunan silsilah orang Batak yang disebut tarombo (silsilah).Hubungan sosial kemasyarakatan orang Batak tidak dapat berjalan tanpa marga dan tarombo (silsilah).Marga dan tarombo(silsilah) memudahkan hubungan sosial antara orang Batak dimanapun berada. 3. Masyarakat Batak Toba Masyarakat Batak Toba sebagai salah satu suku bangsa di bumi Indonesia memiliki tatanan sosial kemasyarakatan yang disebut dalihan na tolu. Pengaruh dan cengkeramannya sudah sedemikian mendalam sehingga tidak salah menyebutkan orang Batak sebagai masyarakat dalihan na tolu. dalihan na tolu sudah menjadi warisan orang Batak. Dalihan Na Tolu artinya tungku berkaki tiga, ketiga kaki tungku melambangkan pengakuan atas adanya pembagian masyarakat Batak dalam tiga kelompok utama.Pembagian inilah yang menjadi struktur kemasyarakatan bagi orang-orang Batak Toba.Ketiga kelompok Universitas Sumatera Utara 26 tersebut terdiri dari dongan sabutuha, yaitu orang-orang yang berasal dari satu marga. Misalnya Situmeang, Lumban Tobing, Sinaga, Situmorang, Simamora, dan sebagainya. Karena pernikahan diantara sesama marga dilarang dan dianggap tabu (incest), maka pernikahan antar marga merupakan perilaku yang diterima atau kelaziman.Sebagai akibat pernikahan tersebut, maka timbullah secara bersamaan kelompok hula-hula, yaitu marga asal istri dan borumarga asal suami. Tanpa pernikahan antar marga maka hula-hula dan boru tidak akan timbul. Dengan timbulnya kelompok tersebut, terciptalah struktur sosial masyarakat yang baku, dimana ketiga kelompok tersebut bergerak, berhubungan selaras, seimbang dan teguh dalam suatu tatanan masyarakat. Dengan kata lain ketiga kelompok tersebut selalu berinteraksi antar kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Antara pribadi dari kelompok yang satu dengan kelompok lainnya dan juga diantara pribadi dengan pribadi di dalam kelompok sendiri.Selain struktur sosial, pengelompokan tersebut juga menetapkan fungsi sosial dari setiap kelompok. Dengan demikian akan ditemukan tiga fungsi sosial, yaitu fungsi sosial sebagai boru. Ketiga fungsi tersebut terus berinter relasi dan berinteraksi kedalam dan keluar kelompok sehingga dalihan na tolu tersebut dikategorikan sebagai sistem yang sempurna.(Rajamarpodan, 1992:127) Dalihan Na Tolu tidak hanya sekedar menetapkan struktur sosial dan fungsi sosial masyarakat Batak tetapi juga menetapkan sikap dan perilaku yang patut ditampilkan oleh setiap kelompok.Manat atau berhati-hati merupakan sikap terhadap dongan sabutuha.Somba atau hormat merupakan sikap yang patut ditampilkan terhadap hula-hula dan elek atau lemah lembut merupakan sikap yang patut ditampilkan terhadap boru.Penjabaran dan pelaksanaan ketiga sikap tersebut telah dituangkan partuturan atau sistem kekerabatan orang Batak. Universitas Sumatera Utara 27 Partuturan telah menggariskan identifikasi seseorang berdasarkan fungsinya serta menetapkan kata panggilan kekerabatan yang akan dipakai. Kemudian sistem kekerabatan tersebut juga menetapkan jenjang dan tata sopan santun didalam kekerabatan dalam masyarakat Batak. Demikianlah garis besar asal mula timbulnya inspirasi pembentukan tatanan sosial masyarakat Batak Toba yang bertumbu diatas tiga kelompok dalihan na tolu. Tua-tua generasi pendahulu telah menjadikan dalihan na tolu.Tersebut sebagai kerangka dasar acuan dan pijakan tetanan sosial bagi keturunannya.Mereka telah berhasil melakukan sebuah tatanan sosial yang diterima dan dipedomani dengan sadar oleh masyarakat Batak Toba dari generasi ke generasi hingga sekarang. Hal itu membuktikan bahwa tatanan sosial dalihan na tolu masih tetap dianggap layak dan berguna untuk diberlakukan atau relevan sebagai panduan dan pedoman pergaulan hidup Masyarakat Batak. Adat untuk perkawinan, kelahiran dan kematian 4. Masyarakat Batak di Perantauan Masyarakat Batak pada zaman penjajahan yang paling banyak pergi merantau di kalangan orang Batak ke daerah-daerah lain di Indonesia adalah Batak Mandailing.Hal ini dapat dimengerti karena pendidikan sekolah membuka yang membuka mata penduduk lebih dulu tertanam di Tapanuli Selatan daripada di Tapanuli Utara.Sesudah zaman penjajahan mulailah mengalir para petani Batak Toba ke daerah perkebunan di dataran rendah Sumatera Utara. Mereka bekerja sama dengan orang Jawa bekas buruh perkebunan dan membuka areal pertanian. Para petani asal Toba terdapat juga di Aceh Tenggara. Selain sebagai pegawai, banyak juga pengusaha kecil dan buruh swasta, seperti supir angutan kota, pedagang kaki lima (parenggerengge) ikut merantau ke kota-kota Sumatera dan Jawa (Siahaan, 1982:41-44) Pada umumnya masyarakat Batak Toba di perantauan selalu mendirikan perhimpunan marga, khususnya untuk keperluan adat. Urgensi dari perhimpunan marga ini adalah memelihara Universitas Sumatera Utara 28 nilai-nilai yang terkandung dalam nalihan na tolu (tungku nan tiga). Karena urusan marga yang terpenting ialah upacara perkawinan.Marga di sini seolah-olah masih turunan satu ayah karena sebagai turunan satu leluhur tidak boleh mengawini. Sesuai dengan prinsip itulah, apabila timbul keretakan di dalam rumah tangga, yang diresmikan perkawinannya menurut adat nalihan na tolu (tungku nan tiga), maka patut dicampuri oleh para pengetua adat dalam marga itu untuk mencegah sedapat mungkin perceraian. Upacara perkawinan yang diadakan oleh masyarakat Batak Toba di perantauan adalah berdasarkan prinsip dalihan na tolu (tungku nan tiga), sama seperti di bona pasogit (kampung halaman), yaitu seluruh masyarakat Batak Toba adalah bagaikan keluarga besar, ada dongantubu (teman satu marga), ada boru (penerima gadis) dan ada hula-hula (pemberi gadis). Dalam pelaksanaan upacara perkawinan tersebut ada perbedaan-perbedaan kecil timbul di berbagai tempat di tanah Batak, sedemikian pula di perantauan, akan tetapi prinsipnya tetap sama. 2.5 Uraian Adat Dalam Masyarakat Batak Toba Orang Batak secara Umum dibagi berdasarkan 6 bagian sub suku, yaitu Karo, Simalungun, Toba, Pakpak Dairi dan Mandailing (Koentjaraningrat, 1982: 94-95). Keenam subsuku ini mendiami area antara perbatasan Sumatera Utara – Aceh, Sumatera Utara – Riau dan Sumatera Utara – Sumatera Barat. Perbatasan antara Tanah Deli, Langkat, Labuhan Batu dan Asahan.Pembagian ke enam subsuku ini, dan saya hanya membahas pada subsuku Batak Toba saja. Pembagian subsuku Batak Toba menurut Koentjaraningrat sebetulnya bisa dibagi menjadi bagian – bagian yang lebih spesifik. Pada masyarakat Batak Toba masih ada pembagian yang sering disebut dengan “ Orang Samosir” yang berasal dari pulau Samosir, ‘Orang Batak’ Universitas Sumatera Utara 29 yang mendiami perbatasan Parapat – Simalungun sampai perbatasan Balige – Siborong – borong, kemudian dikenal lagi dengan”Orang Humbang” yang mendiami wilayah Siborong – borong – Dolok Sanggul, lalu yang terakhir “Orang Silindung” yang mendiami wilayah lembah Rura Silindung mencakup Kecamatan Tarutung dan sekitarnya sampai perbatasan Pahae, dari sini muncul lagi yang disebut dengan ‘ Orang Pahae’ yang mendiami sekitar wilayah Luat Pahae. Masing – masing dari pembagian Orang Batak Toba tersebut diatas memiliki perbedaan dari segi gaya bahasa, sifat dan karakter dan bahkan sedikit perbedaan adat secara umum. Pembagian tersebut dapat ditinjau dari marga – marga yang berasal dari pembagian daerah – daerah diatas. ‘Orang Toba’ dikenal dengan marga Sirait, Silalahi, Simangunsong, Pardede, dan lain – lain.Marga seperti Sihombing dan ‘anak – anaknya’ berasal dari Humbang.Dari Samosir umumnya marga – marga yang tergabung dalam induknya Parna yang terdiri dari 57 marga. Dari Silindung kita dapat tinjau Marga – marga seperti Tobing, Hutabarat, Panggabean dan Hutagalung. Marga – marga ini banyak menyebar sampai ke daerah Luat Pahae ditambah marga seperti Sitompul dan sebagian marga Siregar yang berasal dari Sipirok. Orang hanya mengenal Sisingamagaraja yang istananya terdapat di Bakkara – Samosir sebagai ‘Si Raja Batak’. Hal ini belum tentu benar sebab masing – masing marga Orang Batak memiliki rajanya sendiri, dan mustahil Raja Sisingamangaraja menguasai seluruh wilayah raja – raja yang disebutkan diatas. Karena hal itu akan mengundang perlawanan dari raja – raja Batak yang lain, terutama mengenai pemerintahan, luas areal kekuasaan dan lain – lain. Namun, sampai saat ini memang belum ada referensi resmi yang dapat digunakan sebagai bahan acuan. Universitas Sumatera Utara 30 Inti yang utama dalam tatanan kehidupan masyarakat Batak Toba ini adalah marga sesuai dengan garis keturunan ayah (patrilienal), selain itu juga status perkawinan.Marga ini tidak hanya sekedar berfungsi dalam adat, tapi lebih daripada itu, marga berkembang sebagai alat pemersatu terutama bagi orang Batak yang berada di perantauan. Dalam diri orang Batak, adat diberlakukan terhadap dirinya melalui fase – fase, yakni mulai ia lahir, menikah dan meninggal dunia. Ini adalah prosesi adat yang paling mudah ditandai pada masyarakat Batak Toba.Dalam masyarakat Batak Toba umumnya berlaku sekitar sistem kekerabatan dan sistem religi, dan kedua sistem ini berpengaruh kepada sistem mata pencaharian, kesenian dan sistem teknologi : 1. Sistem Kekerabatan Dalam Masyarakat Batak Toba Pertama sekali yang dilakukan Orang Batak Toba dalam menentukan sistem Kekerabatan dan peraturannya adalah dengan berdasarkan alur asal – usul marga. Hal ini mencakup induk marga dan pada posisi marga ke berapa dari anak – anak margaia berasal, hal ini adalah letak dasar tutur orang yang bersangkutan terhadap orang yang dijumpainya. Asal – usul marga ini tidak bisa berpisah dari asal – usul orang Batak. Orang Batak dahulu (sebelum masuknya Kristen) percaya bahwa nenek moyang mereka berasal atau lahir sebagai keturunan langsung dari Debata Raja Mulajadi Na Bolon yaitu Si Raja Batak dengan istrinya Si Boru Deak Parujar yang konon mereka diserahi tugas untuk menciptakan bumi dengan segala isinya. Setelah selesai, kemudian mereka menuju satu desa bernama Sianjurmulamula yang terletak di lereng gunung Pusuk Bukit.Dari tempat inilah Orang Batak menyakini bermulanya seluruh marga Orang Batak dari keenam subsuku Batak yang telah disebutkan diatas.Walaupun pada saat ini kita mengenal keanekaragaman marga dalam seluruh Universitas Sumatera Utara 31 subsuku Batak, namun tetapi diyakini bahwa mereka semua berawal dari satu keturunan.Memang ada versi – versi yang beredar, namun semua versi – versi ini belum dapat dipastikan kebenarannya, sebab memang ada marga Orang Batak Toba yang juga ditemui sebagai marga pada masyarakat Batak Karo, seperti marga Pasaribu di Batak Toba, dikenal juga marga Kacaribu di Tanah Karo. Marga memiliki fungsi yang penting dalam menapaki tali – temali kekerabatan. Dengan mengetahui margaakan dapat ditelusuri hubungan si pembicara dengan lawan bicaranya. Kebiasaan seperti ini di dalam masyarakat Batak martarombo atau martutur (Tagor, 2006:30). Pentingnya marga-marga dalam menapaki tali – temali kekerabatan ini dapat dilihat lewat ungkapan berikut ini : Tiniptip sanggar bahen huru-huran Jolo sinungkun marga asa binoto partuturan (dikerat batang pimping untuk membuat sangkar. Terlebih dahulu ditanyakan marga Agar diketahui hubungan kekerabatan) Dengan bekal marga ini seseorang bisa menelusuri hubungan kekerabatannya, baik lewat penapakan hubungan darah maupun perkawinan atau lewat perkawinan pada generasi lampau atau sekarang. Bagi Orang Batak berlaku ungkapan yang berbunyi :sada tumatok hite, luhut marhitehonsa, artinya satu orang yang membuat jembatan, tapi semua orang bisa menggunakannya. Maksudnya adalah seorang menjalin tali persaudaraan dengan ikatan perkawinan, maka seluruh famili dari orang pertama menjadi kerabat demikian sebaliknya. Universitas Sumatera Utara 32 Sistem kekerabatan yang diterapkan dalam sistem sosial masyarakat Batak Toba juga dilakukan dengan menggunakan marga ibu namun setelah menggunakan marga ayah. Bagi seorang Batak Toba , bila menjumpai atau berkenalan dengan seorang Batak Toba yang lain yang marganya sama dengan marga ibunya, maka spontan ia akan memanggil dengan sebutan tulang atau paman. Sistem kekerabatan seperti ini masih tetap berlangsung sampai saat ini. Penerapannya kemungkinan besar tidak mungkin akan berubah, sebab dalam dasarnya setiap kehidupan orang Batak Toba sepertinya tidak dapat dipisahkan dari adat-istiadat yang dimilikinya. 2. Hubungan Dalam Sistem Kekerabatan Hubungan dalam sistem kekerabatan Orang Batak mengenal konsep Dalihan NaTolu, hal ini sebenarnya dibagi dalam dua bagian yang besar yaitu hubungan internal dan hubungan eksternal.Internal yaitu pihak dongan sabutuha, sedangkan eksternal yaitu pihak boru dan hula – hula. Dalam masyarakat Batak juga dijunjung tinggi cita – cita luhur yaitu hamoraon (kekayaan), hagabeon (banyak keturunan, panjang umur dan sukses) dan hasangapon (kehormatan dan martabat yang tinggi). Dalam masyarakat Batak Toba seluruh cita – cita ini harus lengkap dicapai.Misalnya orang yang kaya raya tapi tidak memiliki keturunan terutama laki –laki belumlah dapat dikatakan berhasil dalam hidupnya.Demikian juga bagi orang yang banyak anak namun tidak memiliki harta kekayaan sedikitpun, masih juga belum dikatakan berhasil dalam hidupnya. Untuk pencapaian ketiga cita – cita ini, hubungan internal antara ketiga kelompok dalihan na tolu ini harus tetap dijaga keseimbangan yang dirumuskan dalam ungkapan yang popular pada masyarakat Batak yaitu : Universitas Sumatera Utara 33 ‘ Manat mardongan tubu’ (bersikap hati-hati, saling menjaga terhadap saudara Semarga) ‘ Somba marhula-hula’(hormat kepada hula-hula) ‘Elek marboru’(membujuk kepada pihak boru) (Richard, 2007:25) Sistem kekerabatan ini akan diterangkan satu persatu seperti berikut: a. Manat mardongan tubu Hubungan dalam intern kelompok ini sering diungkapkan seperti ungkapan di bawah ini: “molo naeng sangap ho, manat ma ho mardongan tubu”. Artinya – jika kamu ingin terhormat, hati-hati dan cermatlah kau dalam bergaul dengan pihak keluarga semarga. Rambu-rambu yang diungkapkan dalam “ manat mardongan tubu” menuntut suatu Sikap yang senantiasa cermat dan waspada dalam menelusuri kedudukan dalam hirarki pertuturan dan selanjutnya berperan pula sesuai dengan hak-hak dan kewajiban yang melekat pada istilah kekerabatan yang digunakan. Pentingnya saudara semarga dalam seluruh struktur kehidupan orang Batak yang diatur oleh sistem patrilineal, dinyatakan oleh Vergouwen bahwa “sejak zaman purba”, lingkungan kekerabatan agnate (istilah lain untuk menyebutkan consanguini – kerabat satu keturunan darah) ditetapkan sebagai sisada sipanganon (makan bersama dalam satu piring), sisada sinamot (satu dalam kemakmuran), sisada hasangapon (satu dalam kemuliaan) dan sisada hailaon (satu dalam kenistaan)” (Vergouwen, 1986:50) Pentingnya kebersamaan ini tidak hanya berlaku di lingkungan kerabat agnate di tempat asal mereka. Bagi mereka yang merantau jauh ke seberang lautan kekerabatan itu tetap dituntut, seperti tertulis dalam ungkapan berikut: Universitas Sumatera Utara 34 “ tali paput, tali pangongan” “taripar laut tinanda rupa ni dongan” Artinya, sekalipun di seberang lautan, kita harus saling mengenal saudara. Bagi kalangan perantau, terutama yang jauh dari tempat asal, seseorang dituntut agar peka mengenal dongan sabutuhanya (saudara semarga). Rasa persaudaraan dengan teman satu marga di perantauan harus lebih kuat lagi dari pada di dareah asalnya (Depdikbud. 1978:34) b. Somba Marhula – hula Seorang boru harus bersikap menyembah terhadap hula-hulanya.Hula-hula di tanggapi sebagai saluran berkat, mampu memantulkan kesemarakan dan kemuliaan bariborunya. Vergouwen mengungkapkan seperti di bawah ini : “hula-hula adalah sumber adikodrati, daya hidup bagi masing-masing borunya. Boru memandang anggota hula-hulanya sebagai orang yang dikaruniai dengan sahala, yaitu kekuasaan istimewa yang dianggap sebagai suatu daya yang dahsyat, melebihi kekuatan terpendam biasa yang ada pada tondi (roh).Sahala ini dapat memancarkan pengaruh yang faedah dan menyelamatkan bagi boru, tetap dalam pada itu, kekuasaannya menciptakan rasa takut dan hikmat kepadanya. Ini berarti boru harus menghindar dari perbuatan yang dapat merugikan atau menyinggung hula – hula, dan boru tidak pernah lalai menunjukkan rasa syukur terhadap kebaikan yang diperolehnya dari hula – hulannya (Vergouwen, 1986:62) Masyarakat Batak yang memandang berketurunan adalah tujuan utama menjalin tali pernikahan, maka akan sangat mengerikanlah apabila sepasang suami istri tidak memiliki keturunan, maka sangat ditekankanlah untuk menghormati hula – hula agar hagabeon (memiliki banyak keturunan) dapat tercapai. Doa dari hula – hula sangat diharapkan oleh borunya dan Universitas Sumatera Utara 35 keyakinan sangat berkuasa untuk mengetuk pintu hati Debata Mulajadi Na Bolon. (Jhon.2002:25) Berkat dari hula – hula ini bukan saja hanya dalam hal keturunan saja, tetapi mencakup pula perlindungan dari mara bahaya seperti ungkapan : “Obuk do jambulan na nidandan bahen samara, Pasu – pasu ni hula –hula pitu sundut so ada marga” Artinya rambut di dandan menjadi busana, berkat dari hula – hula melindungi selama tujuh keturunan tanpa mara bahaya. Oleh karena anggapan – anggapan inilah maka dalam masyarakat Batak wajib untuk senantiasa menjaga nama baik dan menghormati hula – hulanya, ini biasanya dibuktikan dengan membawa makanan berupa ikan mas na ni arsik. c. Elek Marboru Dalam tatanan Dalihan Na Tolu yang menganut azas totalitas yakni merupakan keseimbangan mutlak antara unsur – unsurnya.Penghormatan mutlak kepada hula – hula ini juga harus diimbangi dengan kewajiban untuk menyayangi pihak boru.Seseorang yang berkedudukan sebagai hula – hula jika memiliki permintaan terhadap borunya, haruslah berlaku bijaksana.Dalam arti tidak boleh memerintah atau memaksa, sebaliknya harus bersikap membujuk (mangelek), diplomatis tanpa meninggalkan bekas sakit hati bagi borunya. Ini membuktikan dengan ungkapan “ molo naeng mamora ho, elek ma marboru”, artinya kalau kau ingin kaya, sayangilah borumu. Universitas Sumatera Utara 36 Kaya dalam arti kata di atas bukan hanya terhadap kebendaan, tetapi juga kaya dalam artian perasaan yang kaya karena merasa senang. Bila pihak boru yang telah memperoleh perlakuan yang lemah lembut dari hula – hulanya, maka dengan senang hati akan memberikan bantuan kepada hula – hulanya baik berupa moril maupun materil dalam keadaan suka maupun duka. 2.6 Konsep Perkawinan Dalam Masyarakat Batak Toba Perkawinan dalam masyarakat Batak Toba tidak dapat dipisahkan dari berlakunya dasar adat yaitu Dalihan Na Tolu.Konsep ini menentukan segalanya termasuk tutur (partuturan). Dalam Dalihan Na Tolu dikenal konsep tiga komponen utama yaitu : 1. Dongan tubu : Mereka adalah saudara laki-laki dari seorang laki-laki yang memiliki atau melaksanakan adat 2. Boru : Pihak yang mengawini anak perempuan sebuah keluarga 3. Hula-hula : Mereka adalah pihak yang memberikan anak gadisnya Dikawini oleh keluarga lain. Perkawinan dalam masyarakat Batak dipandang suatu alat untuk mempersatukan dua buah keluarga atau dua buah marga yang berbeda.Demikian juga dengan pemberian mahar (tuhor) yang dipandang sebagai suatu alat magis yang tidak dapat dipisahkan dari animisme.Pemberian mahar ini adalah suatu merupakan alat magis yang bertujuan untuk melepaskan ikatan seorang gadis dari klan ayahnya untuk bergabung dengan klan suaminya dengan maksud agar tidak terjadi gangguan dalam kesinambungan kosmo. Universitas Sumatera Utara 37 Sebelumnya telah disebutkan diatas bahwa perkawinan dalam pandangan Batak Toba menentukan peraturan, namun buka saja itu.Perkawinan juga turut menentukan posisi seorang dalam pelaksanaan pesta adat.Ada kalanya pada suatu waktu seseorang itu berkedudukan sebagai dongan tubu, boru, atau hula-hula.Dalam kedudukan sebagai boru ini, menuntut seorang untuk berperan aktif bekerja dalam pelaksanaan seluruh kegiatan dalam pesta. Tapi pada kesempatan lain, dapat saja ia mendapat kedudukan terhormat dalam pesta tersebut yang mengharuskannya mendapatkan pelayanan. Universitas Sumatera Utara