IDENTIFIKASI TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) DENGAN METODE FLOTASI PADA LALAPAN SELADA DAN KOL YANG DISAJIKAN PEDAGANG KAKI LIMA DI ALUN-ALUN CIAMIS TAHUN 2016 KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Ahli Madya Analis Kesehatan Pada Program Studi D3 Analis Kesehatan Oleh : WITA ERLINDA MUTIANINGSIH NIM. 13DA277053 PROGRAM STUDI D3 ANALIS KESEHATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH CIAMIS 2016 IDENTIFIKASI TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) DENGAN METODE FLOTASI PADA LALAPAN SELADA DAN KOL YANG DISAJIKAN PEDAGANG KAKI LIMA DI ALUN-ALUN CIAMIS TAHUN 20161 Wita Erlinda Mutianingsih2Atun Farihatun3Firda Yanuar Pradani4 INTISARI Soil Transmitted helminth (STH) adalah nematoda usus yang ditularkan melalui tanah, dalam siklus hidupnya tanah dibutuhkan untuk proses pematangan dari bentuk yang tidak infektif menjadi bentuk infektif. Kelompok cacing ini terdiri dari beberapa spesies yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, cacing tambang (ada dua spesies, yaitu Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) serta Strongyloides stercoralis. Daun selada (Lactuca sativa) dan kol (Brassica oleracea) ialah sejenis sayuran berwarna hijau yang biasa dijadikan lalapan sebagai sayuran pelengkap yang dikonsumsi secara mentah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya telur Soil Transmitted helminth (STH) pada lalapan selada dan kol yang disajikan pedagang kaki lima di Alun-Alun Ciamis dengan metode flotasi menggunakan NaCl jenuh. Penelitian ini bersifat deskriptif. Sampel didapat dari 16 pedagang kaki lima di Alun-Alun Ciamis, yang terdiri dari 7 sampel lalapan selada dan 9 sampel kol. Sampel dibawa ke Laboratorium Parasitologi STIKes Muhammadiyah Ciamis untuk dilakukan pemeriksaan dengan metode flotasi menggunakan larutan NaCl jenuh. Hasil penelitian terhadap 7 sampel selada dan 9 sampel kol yang disajikan pedagang kaki lima di Alun-Alun Ciamis menunjukkan tidak ditemukan Telur Soil Transmitted helminth (STH) pada semua sampel. Kata Kunci : Soil Transmitted helminth (STH), lalapan selada, kol Kepustakaan : 22, 2005 – 2015 Keterangan : 1 judul, 2 nama mahasiswa, 3 nama pembimbing I, 4 nama pembimbing II iv THE IDENTIFICATION OF SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) EGG BY USING FLOTASI METHOD AT THE LETTUCE AND CABBAGE THAT IS PROVIDED BY THE STREET SELLERS AT CIAMIS TOWN SQUARE IN 20161 Wita Erlinda Mutianingsih2Atun Farihatun3Firda Yanuar Pradani4 ABSTRACT Soil Transmitted helminth (STH) is nematode intestines that spreads by the soil, in its life cycle the soil is needed to make the process of maturating from the disinfective form to become infective form. The worms consist of some species that are Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, hookworm (there are two species, Necator americanus and Ancylostoma duodenale) and Strongyloides stercoralis. The leaf of lettuce (Lactuca sativa) and cabbage (Brassica oleracea) is kind of green vegetable that can be made as dish of raw and can be consumed uncooked. The aim of the research is to know the existence of Soil Transmitted Helminth (STH) egg at the lettuce and cabbage that is provided by the street sellers at Ciamis town square by using flotasi method with saturated NaCl. This is a descriptive research. Sample of the research is 16 street sellers at Ciamis town square, that consist of 7 samples of the lettuce and 9 samples of cabbage. The samples are brought to the Parasitology Laboratory STIKes Muhammadiyah Ciamis for investigating by using flotasi method with saturated NaCl. The result of the research to the 7 samples of the lettuce and 9 samples of the cabbage that is provided by the street sellers at Ciamis town square shows that there is no Soil Transmitted Helminth (STH) egg from all over the samples. Keywords Bibliography Information : Soil Transmitted Helminth (STH), lettuce, cabbage : 22, 2005 – 2015 : 1 Title, 2 name of student, 3 name of supervisor I, 4 name of supervisor II v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit cacingan sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di daerah tropis, termasuk Indonesia. Penyakit ini terutama disebabkan oleh nematoda usus yang ditularkan melalui tanah atau sering disebut Soil Transmitted Helminth (STH), di antaranya yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, cacing tambang (ada dua spesies, yaitu Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) serta Strongyloides stercoralis (Natadisastra, 2009). Telur Soil Transmitted Helminth dikeluarkan bersamaan dengan tinja orang yang terinfeksi. Daerah yang tidak memiliki sanitasi yang memadai, telur ini dapat mencemari tanah dengan cara telur melekat pada sayuran dan tertelan jika sayuran tidak dicuci dan dimasak dengan hati-hati. Tidak ada transmisi langsung dari orang ke orang, atau infeksi dari kotoran segar, karena telur yang dikeluarkan bersama tinja membutuhkan waktu sekitar tiga minggu untuk matang dalam tanah sebelum menjadi bentuk infektif (WHO, 2015). Angka kejadian tertinggi penyakit cacingan terdapat di kawasan sub-Sahara Afrika, Amerika, China dan Asia Timur (WHO, 2015). Prevalensi STH di Indonesia mencapai 28,12% pada tahun 2013 (Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI, 2014). Prevalensi infeksi cacingan di Propinsi Jawa Barat tahun 2005 mencapai 40-60% (Depkes, 2005). Tingginya angka kejadian penyakit ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu memakan sayuran mentah yang tidak dicuci bersih seperti selada dan kol yang sering dijadikan lalapan, dan rendahnya tingkat sanitasi pribadi seperti tidak mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar, tidak menjaga kebersihan kuku, buang air besar sembarangan, perilaku jajan di sembarang tempat juga 1 2 dapat menjadi faktor penyebab penyakit cacingan. Sebagai seorang muslim harus memperhatikan kebersihan terutama kebersihan makanan agar terhindar dari penyakit ini. Sebagaimana firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 222 dan surat Al-Maidah ayat 88 yang berbunyi : ..….. Artinya : “.......... Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. (QS. Al-Baqarah : 222) Artinya : “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”. (QS. Al-Maidah : 88). Berdasarkan surat Al-Maidah ayat 88 di atas, Allah SWT menyuruh untuk memakan makanan yang halal dan baik. Makanan yang baik yaitu makanan yang banyak mengandung gizi yang dibutuhkan oleh tubuh dan makanan yang terbebas dari kotoran, bakteri, parasit dan mikroorganisme lain. Sebab makanan yang terlihat baik dan bersih belum tentu benar-benar bersih, mungkin saja masih terkontaminasi oleh mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit. Untuk menghidari hal tersebut makanan yang akan dikonsumsi haruslah makanan yang bersih dan higienis. Sayuran yang dapat terkontaminasi oleh telur Soil Transmitted Helminth yaitu selada dan kol (kubis). Selada dan kol merupakan sayuran yang sering dijadikan sebagai lalapan yang dikonsumsi secara mentah, dan merupakan sayuran yang tingginya dekat dengan tanah sehingga dapat kontak langsung dengan tanah. Keadaan ini memungkinkan telur STH akan mudah menempel pada daun selada 3 terutama pada bagian terluar dan ujung selada. Kol atau kubis memiliki permukaan daun yang berlekuk-lekuk sehingga memungkinkan telur cacing menetap di dalamnya meskipun sudah dicuci. Menurut penelitian Verdira dkk tahun 2013, ditemukan telur STH sebesar 73% pada lalapan selada (Lactuca sativa) yang dijual di pasar tradisional dan pasar modern di kota Padang. Jenis STH terbanyak yang ditemukan adalah telur Ascaris lumbricoides dan telur cacing tambang. Sedangkan menurut penelitian Wardhana dkk tahun 2013, ditemukan telur STH sebesar 26,19% pada lalapan kubis/kol (Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung. Jenis telur cacing yang ditemukan adalah telur Ascaris lumbricoides (14,28%), telur Trichiuris trichiura (7,14%), dan 4,76% lalapan kubis yang terkontaminasi kedua jenis telur cacing ini. Menurut penelitian Rahayu Astuti dan Siti Aminah, ditemukan telur STH sebesar 13,3% pada lalapan kubis yang dijual pedagang kaki lima di kawasan Simpang Lima Kota Semarang. Jenis telur cacing yang ditemukan yaitu telur Ascaris lumbricoides. Berdasarkan hal tersebut, maka menjadi dasar peneliti untuk melakukan penelitian mengenai identifikasi telur Soil Transmitted Helminth pada lalapan selada dan kol yang dijual pedagang kaki lima di Alun-alun Ciamis. Selada dan kol sebagai lalapan banyak disajikan oleh pedagang kaki lima seperti pedagang pecel lele, ayam goreng, ayam bakar, bebek goreng, nasi goreng, pedagang kebab dan sebagainya. Alun-alun Ciamis merupakan pusat kota Ciamis yang sering ramai didatangi pengunjung dan banyak terdapat pedagang kaki lima seperti pedagang pecel lele, bebek goreng, ayam bakar, ayam goreng, kebab, nasi goreng dan sebagainya, terutama pedagang yang menyediakan lalapan selada, kol atau keduanya. Proses pencucian lalapan selada dan kol harus diperhatikan sebab daun 4 selada dan kol memiliki bagian yang berlekuk dan kemungkinan terjadi kontaminasi pada saat selada dan kol masih berada di perkebunan. Pada umumnya pedagang kaki lima tersebut berjualan di pinggir jalan raya sehingga memungkinkan terkontaminasi oleh debu. Oleh karena itu masih ada kemungkinan terjadi kontaminasi telur Soil Transmitted Helminth pada makanan tersebut terutama lalapan selada dan kol. Hal ini perlu dilakukan pemeriksaan untuk menentukan ada tidaknya telur cacing pada lalapan selada dan kol/kubis. B. Rumusan Masalah Masalah penyakit cacingan yang berkaitan dengan infeksi Soil Transmitted Helminth (STH) masih banyak ditemukan. Dampak yang ditimbulkan akibat infeksi cacing ini sangat merugikan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa angka kontaminasi (STH) pada sayuran masih cukup tinggi. Proses pencucian sayuran mentah siap makan yang kurang baik akan mempermudah masuknya telur STH ke manusia. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui “Apakah lalapan selada dan kol yang disajikan pedagang kaki lima di Alun-Alun Ciamis terkontaminasi telur Soil Transmitted Helminth?” C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui ada tidaknya telur Soil Transmitted Helminth (STH) pada lalapan selada dan kol/kubis yang disajikan pedagang kaki lima di Alun-Alun Ciamis. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan menambah wawasan dan keterampilan di bidang Parasitologi terutama pemeriksaaan telur Soil Transmitted Helminth (STH). tentang 5 2. Bagi Pembaca a. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang aspek-aspek yang berhubungan dengan infeksi Soil Transmitted Helminth (STH), sehingga dapat dilakukan pencegahan terjadinya infeksi. b. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pentingnya menjaga kebersihan sayuran terutama sayuran yang dikonsumsi secara mentah, sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi cacing. E. Keaslian Penelitian Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nida (2015) di STIKes Muhammadiyah Ciamis yang berjudul “Gambaran Telur Soil Transmitted Helminth (STH) pada Lalapan Selada (Lactuca sativa L.) yang Disajikan di Rumah Makan yang Berada di Sepanjang Jalan A.H Nasution Mangkubumi Kota Tasikmalaya Tahun 2015”. Sedangkan penelitian ini berjudul “Identifikasi Telur Soil Transmitted Helminth (STH) dengan Metode Flotasi pada Lalapan Selada dan Kol/kubis yang Disajikan Pedagang Kaki Lima Di Alun-Alun Ciamis”. Perbedaannya dari segi sampel yang digunakan, peneliti sebelumnya hanya menggunakan lalapan selada saja, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan lalapan selada dan kol/kubis. Selain itu metode yang digunakan juga berbeda, peneliti sebelumnya menggunakan metode sedimentasi, sedangkan penelitian ini menggunakan penelitiannyapun berbeda, metode flotasi. Serta tempat penelitian sebelumnya dilakukan di sepanjang jalan A.H Nasution Kota Tasikmalaya, penelitian ini dilakukan di Alun-alun Ciamis. sedangkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar 1. Epidemiologi Penyakit Cacingan Penyakit cacingan adalah penyakit cacingan usus yang ditularkan melalui tanah atau sering disebut “Soil Transmitted Helminths” (STH). Jenis cacing utama yang dapat menginfeksi yaitu cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) (WHO, 2015). Lebih dari 1,5 miliar orang atau 24 % dari populasi dunia, terkena infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah. Infeksi tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, dengan angka terbesar terjadi di sub - Sahara Afrika, Amerika, Cina dan Asia Timur (WHO, 2015). Prevalensi STH di Indonesia mencapai 28,12% pada tahun 2013 (Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI, 2014). Prevalensi infeksi cacingan di Propinsi Jawa Barat tahun 2005 mencapai 4060% (Depkes, 2005). Angka tersebut menunjukan prevalensi STH yang merupakan manifestasi dari penyakit kecacingan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Konteks epidemiologi penyakit kecacingan terjadi karena adanya interaksi faktor lingkungan, faktor host, dan faktor agent. Faktor lingkungan meliputi penyediaan air bersih dan kepemilikan jamban. Sedangkan faktor host di antaranya higiene personal meliputi kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan memakai alas kaki, kebiasaan memotong kuku, kebiasaan mengkonsumsi makanan mentah. Faktor agent melibatkan tiga jenis cacing yaitu Ascaris 6 7 lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang (Sutanto, 2008). 2. Soil Transmitted Helminth (STH) Soil Transmitted Helminth (STH) adalah nematoda usus yang ditularkan melalui tanah, dalam siklus hidupnya tanah dibutuhkan untuk proses pematangan dari bentuk yang tidak infektif menjadi bentuk infektif. Kelompok cacing ini terdiri dari beberapa spesies yaitu Ascaris ascariasis, Trichuris trichiura tambang (ada menimbulkan dua menimbulkan menimbulkan trichuriasis, cacing spesies, Necatoriasis lumbricoides yaitu dan Necator americanus Ancylostoma duodenale menimbulkan ancylostomiasis) serta Strongyloides stercoralis menimbulkan strongyloidosis atau strongyloidiasis (Natadisastra, 2009). Cara infeksi pada manusia adalah dengan bentuk infektif yang ditemukan dan berkembang di tanah (Margono, 2011). Infeksi umumnya melalui media tanah yang terkontaminasi feses yang mengandung telur cacing (Soil Transmitted Helminths), misalnya Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang. Dalam siklus hidupnya, cacing nematoda usus membutuhkan kondisi lingkungan yang mempunyai temperatur dan kelembapan yang sesuai. Lingkungan yang dibutuhkan Ascaris lumbricoides sama dengan Truchuris trichiura, dan cacing tambang sama dengan Strongyloides stercoralis (Muslim, 2009). a. Ascaris lumbricoides 1) Hospes dan Nama Penyakit Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides. ascariasis. Penyakit yang disebabkannya disebut 8 2) Morfologi A. lumbricoides merupakan cacing terbesar di antara nematode usus lainya, berwarna putih kekuning-kuningan sampai merah muda, berbentuk silinder dengan ujung yang meruncing. Ukuran cacing jantan 15-30 cm dan lebar 3-5 mm, bagian posterior melengkung ke depan. Cacing betina berukuran 22-35 cm dan lebar 3-6 mm. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 200.000 butir perhari, berlangsung selama hidupnya, kira-kira 6-12 bulan (Natadisastra, 2009). Gambar 2.1 Cacing Ascaris lumbricoides (makroskopik) Sumber: Pusarawati Atlas Parasitologi Kedokteran, 2014 A. lumbricoides memiliki tiga bentuk telur, yaitu telur yang dibuahi, berukuran 60 x 45 mikron, bulat atau oval, dengan dinding telur yang kuat, terdiri dari tiga lapisan. Lapisan luar terdiri atas lapisan albuminoid dengan permukaan tidak rata, bergerigi, berwarna kecoklat-coklatan yang disebabkan oleh pigmen empedu. Lapisan tengah merupakan lapisan chitin, terdiri atas polisakarida. Lapisan dalam terdapat membran vitellin yang tipis, tetapi kuat sehingga telur dapat tahan sampai satu tahun dan terapung di dalam larutan garam jenuh (pekat). Telur yang mengalami dekortikasi adalah telur yang dibuahi, akan tetapi kehilangan lapisan albuminoidnya karena proses 9 mekanik. Telur dekortikasi dapat terapung pada larutan garam jenuh (pekat). Telur yang tidak dibuahi, dihasilkan oleh cacing betina yang tidak subur atau terlalu cepat dikeluarkan oleh betina yang subur. Telur ini berukuran 90 x 40 mikron, berdinding tipis, akan tenggelam dalam larutan garam jenuh (Natadisastra, 2009). Gambar 2.2 telur Ascaris Lumbricoides dibuahi (Pembesaran 200x) Gambar 2.3 telur Ascaris lumbricoides tidak dibuahi (Pembesaran 400x) Gambar 2.4 telur Ascaris lumbricoides berembrio (Pembesaran 400x) Sumber: Prianto Atlas Parasitologi Kedokteran, 2010 3) Siklus hidup Telur keluar bersama tinja penderita, telur cacing yang telah dibuahi jika jatuh pada tanah yang lembab dan suhu yang optimal telur akan berkembang menjadi telur infektif, yang mengandung larva cacing. Infeksi pada manusia terjadi dengan tertelannya telur cacing yang infektif bersama makanan atau minuman yang tercemar tanah yang mengandung tinja penderita 10 ascariasis. Di dalam usus halus bagian atas dinding telur akan pecah kemudian larva keluar, menembus dinding usus halus dan memasuki vena porta hati yang kemudian bersama aliran darah menuju jantung, paru-paru, lalu menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveoli dan masa migrasi larva berlangsung sekitar 15 hari (Soedarto, 2011). Larva cacing masuk ke bronki, trakea dan laring, dan selanjutnya masuk ke faring, esofagus, lalu turun ke lambung dan akhirnya sampai ke usus halus. Selanjutnya larva berganti kulit dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Migrasi larva cacing dalam darah yang mencapai organ paru tersebut disebut “lung migration” (Soedarto, 2011). Gambar 2.5 Siklus Hidup Ascaris lumbricodes Sumber : Sutanto Parasitologi Kedokteran, 2008 4) Patologi dan Gejala Klinis Gejala klinik ascariasis tergantung dari beberapa hal yaitu, beratnya infeksi, keadaan umum penderita, daya 11 tahan dan kerentanan penderita terhadap infeksi cacing. Pada infeksi biasa, penderita mengandung 10-20 ekor cacing, sering tidak timbul gejala yang dirasakan oleh hospes, baru dapat diketahui setelah melakukan pemeriksaan tinja rutin (Natadisastra, 2009). Penyakit ascariasis menimbulkan gejala yang disebabkan oleh stadium larva dan stadium dewasa. Stadium larva, yaitu kerusakan paru-paru yang menimbulkan gejala yang disebut Sindroma Loffler yang terdiri dari batuk-batuk, eosinofil dalam darah meningkat, dan dalam rontgen foto thorax terlihat bayangan putih halus yang merata di seluruh lapangan paru yang akan hilang dalam waktu 2 minggu. Gejala dapat ringan dan dapat menjadi berat pada penderita yang rentan atau infeksi berat. Stadium dewasa, biasanya terjadi gejala usus ringan. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi malabsorbsi yang memperberat malnutrisi karena perampasan makanan oleh cacing dewasa. Bila cacing dewasa menumpuk dapat menyebabkan penyumbatan pada lumen usus (Rosdiana, 2010). 5) Epidemiologi Infeksi pada manusia terjadi karena tertelannya telur cacing yang mengandung larva infektif melalui makanan dan minuman yang tercemar. Sayuran mentah yang mengandung telur cacing yang berasal dari pupuk kotoran manusia merupakan salah satu media penularan. Vektor serangga seperti lalat juga dapat menularkan telur pada makanan yang tidak disimpan dengan baik. Penyakit ini dapat menyerang anak-anak, terutama anak prasekolah (usia 3-8 tahun). Bayi mendapatkan penyakit ini dari tangan 12 ibunya yang tercemar larva infektif. Askariasis banyak dijumpai pada daerah tropis (Widoyono, 2011). 6) Diagnosis Diagnosis askariasis dapat ditegakkan melalui beberapa cara: a) Dengan menemukan telur A. lumbricoides pada sediaan basah apusan tinja penderita infeksi sedang sampai berat. Pada infeksi ringan sebaiknya digunakan metode konsentrasi formalin-etil asetat. b) Dengan menemukan cacing dewasa yang keluar melalui anus, mulut (muntah) atau hidung. c) Dengan menemukan larva pada sputum atau aspirat gastric selama parasit mengalami migrasi paru-paru. 7) Pengobatan Obat untuk askariasis adalah Ascarzan (Mecosin), Askamex (Konimex), Combantrin (Pfizer), Gavox, Helben, Ketrax, Konvermex, Medikomtrin, Piraska 125, Pyrantin, Trivexan, Upixon, dan Vermox 500 (Purwanto, 2008). Pengobatan alternatif untuk cacingan dapat menggunakan obat-obat alami di antaranya Antanan Geude (Centella asiatica), Putri Malu (Mimosa pudicaI), Jawer Kotok (Coleus scutellarioides), krokot (Portulaca oleracea), biji pinang, kulit buah delima, kulit mangga, wortel (Daucus carota) dan kelapa (Anas, 2013). 8) Pencegahan Pencegahan yang dapat dilakukan dengan menjaga hygiene dan sanitasi, tidak buang air besar disembarang tempat, melindungi makanan dari pencemaran kotoran, mencuci bersih tangan sebelum makan, dan tidak memakai tinja sebagai pupuk tanaman, serta menghindari sayuran 13 yang mentah yang tidak dimasak terlebih dahulu (Rosdiana, 2010). b. Trichuris trichiura 1) Hospes dan Nama Penyakit Manusia adalah hospes definitif dari Trichuris trichiura. Penyakit yang disebabkannya yaitu Trichuriasis. 2) Morfologi Cacing dewasa panjangnya 35-55 mm, dua per lima bagian posterior gemuk menyerupai pegangan cambuk dan tiga per lima bagian anterior kecil panjang seperti cambuk. Cacing jantan panjangnya 4 cm, ekornya melingkar dan memiliki sebuah specula. Cacing betina panjangnya 5 cm, ekornya sedikit melengkung dan ujungnya tumpul (Pusarawati, 2014). Telur cacing ini berukuran 50-54 x 22-23 mikron, bentuknya seperti tong anggur atau lemon shape dan pada kedua ujungnya terdapat dua buah mucoid plug (sumbat yang jernih). Dinding telur berwarna coklat dari warna empedu, kedua ujungnya berwarna bening (Pusarawati, 2014). Gambar 2.6 Cacing Trichuris Gambar 2.7 Telur trichiura Trichuris trichiura Pembesaran 400x Sumber : Prianto Atlas Parasitologi Kedokteran, 2010 14 3) Siklus hidup Telur mengalami pematangan dan menjadi infektif di tanah dalam waktu 3-4 minggu. Jika telur cacing yang infektif ini tertelan manusia, maka di dalam usus halus dinding telur pecah dan larva keluar menuju sekum lalu berkembang menjadi cacing dewasa. Dalam waktu satu bulan sejak masuknya telur infektif ke dalam mulut, cacing telah menjadi dewasa dan cacing betina sudah mulai mampu bertelur. Trichuris trichiura dewasa dapat hidup beberapa tahun di dalam usus manusia (Soedarto, 2011). Gambar 2.8 Siklus Hidup Trichuris trichiura Sumber : Sutanto Parasitologi Kedokteran, 2008 4) Patologi dan Gejala Klinis Cacing ini sering menyerang anak usia 1-5 tahun, infeksi ringan biasanya tanpa gejala. Pada infeksi berat, cacing tersebar ke seluruh colon dan rectum kadangkadang terlihat pada mukosa rectum yang prolaps akibat sering mengejan pada waktu defekasi. 15 Infeksi kronis menunjukkan gejala-gejala anemia berat, Hb rendah dapat mencapai 3 g%, karena seekor cacing setiap harinya menghisap darah kurang lebih 0,005 cc. Diare dengan tinja sedikit dan mengandung sedikit darah. Sakit perut, mual, muntah serta berat badan menurun, dan disertai sakit kepala dan demam. Infeksi Trichuris trichiura kadang-kadang terjadi bersama infeksi parasit usus lain yang menyertainya yaitu A. lumbricoides, dan cacing tambang (Natadisastra, 2009). 5) Epidemiologi Tercatat 80% penduduk positif di daerah tropis, sedangkan diseluruh dunia tercatat 500 juta yang terkena infeksi. Infeksi banyak terdapat di daerah curah hujan tinggi, iklim subtropis dan pada tempat yang banyak populasi tanah. Anak-anak lebih mudah terserang daripada orang dewasa. Infeksi berat terhadap anak-anak yang suka bermain di tanah dan mereka mendapat kontaminasi dari pekarangan yang kotor. Infeksi terjadi karena menelan telur yang telah berembrio melalui tangan, makanan, atau minuman yang telah terkontaminasi, langsung melalui debu, hewan rumah atau barang mainan (Irianto, 2013). 6) Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya telur pada pemeriksaan tinja secara langsung atau dengan cara konsentrasi (sedimentasi dan flotasi) (Pusarawati, dkk., 2014). 7) Pengobatan Obat untuk Trichuriasis yaitu Gavox, Helben, Quantrel, Trivexan, dan Vermox 500 (Purwanto dkk, 2008). Pengobatan alternatif untuk cacigan dapat menggunakan 16 obat-obat alami di antaranya Antanan Geude (Centella asiatica), Putri Malu (Mimosa pudicaI), Jawer Kotok (Coleus scutellarioides), krokot (Portulaca oleracea), biji pinang, kulit buah delima, kulit mangga, wortel (Daucus carota) dan kelapa (Anas, 2013). c. Cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) 1) Hospes dan Nama Penyakit Manusia adalah hospes definitif dari cacing tambang. Penyakit yang disebabkan oleh Necator americanus yaitu Nekatoriasis, dan penyakit yang disebabkan oleh Ancylostoma duodenale yaitu Ankilostomiasis. 2) Morfologi Cacing dewasa Necator americanus berbentuk silinder dengan ujung anterior melengkung tajam kearah dorsal (seperti huruf “S”). Panjang cacing jantan 7-9 mm dengan diameter 0,3 mm, sedangkan cacing betina panjangnya 9-11 mm dengan diameter 0,4 mm. Pada rongga mulut terdapat bentukan semilunar cutting plates (yang membedakannya dengan Ancylostoma duodenale). Pada ujung posterior cacing jantan terdapat bursa copulatrix dengan sepasang spiculae. Ujung posterior cacing betina runcing dan terdapat vulva. Cacing dewasa Ancylostoma duodenale berbentuk silindris dan relatif gemuk, lengkung tubuh seperti huruf “C”. Panjang cacing jantan 8-11 mm dengan diameter 0,40,5 mm, sedangkan cacing betina panjangnya 10-13 mm dengan diameter 0,6 mm. Dalam rongga mulut terdapat 2 pasang gigi ventral, gigi sebelah luar berukuran lebih besar. 17 Ujung posterior cacing betina tumpul dan yang jantan mempunyai bursa copulatrix. Telur Necator americanus dan Ancylostoma duodenale sukar dibedakan. Telur ini berukuran 50-60 x 4045 mikron. Bentuknya bulat lonjong, berdinding tipis. Antara massa telur dan dinding telur terdapat ruangan yang jernih. Pada tinja segar, telur berisi massa yang terdiri dari 1-4 sel (Pusarawati, 2014). Gambar 2.9 Cacing Necator americanus (makroskopik) Gambar 2.10 Cacing Ancylostoma duodenale (makroskopik) Gambar 2.11 telur cacing tambang (Pembesaran 400x) Sumber: Prianto Atlas Parasitologi Kedokteran, 2008 3) Siklus hidup Telur keluar bersama tinja, dalam 24-48 jam dan dengan suhu optimal 23-330C telur akan matang lalu menetas, keluar larva rhabditiform. Larva ini mulutnya terbuka dan aktif memakan sampah organik atau bakteri 18 pada tanah di sekitar tinja. Pada hari ke-5, berubah menjadi larva yang lebih kurus dan panjang disebut larva filariform yang infektif. Larva ini tidak makan, mulutnya tertutup, esopagus panjang, ekor tajam, dapat hidup pada tanah yang baik selama 2 minggu. Jika larva menyentuh kulit manusia, biasanya pada sela antara 2 jari kaki, folikel rambut, pori-pori kulit ataupun kulit yang rusak, larva secara aktif menembus kulit masuk ke dalam kapiler darah, terbawa aliran darah. Waktu yang diperlukan sampai ke usus halus kira-kira 10 hari. Cacing dewasa dapat hidup selama kurang lebih 10 tahun. Infeksi per oral jarang terjadi, tetapi larva juga dapat masuk ke dalam badan melalui air minum atau makanan yang terkontaminasi. Siklus hidup ini berlaku bagi ke dua spesies cacing tambang (Natadisastra, 2009). Gambar 2.12 Siklus Hidup Necator americanus Sumber : Sutanto Parasitologi Kedokteran, 2008 19 4) Patologi dan Gejala Klinis Infeksi cacing tambang merupakan infeksi menahun sehingga sering tidak menunjukkan gejala akut. Kerusakan jaringan dan gejala penyakit dapat disebabkan oleh larva maupun cacing dewasa. Larva menembus kulit membentuk maculopapula dan eritem, sering disertai rasa gatal yang hebat disebut ground itch. Waktu larva berada dalam aliran darah dalam jumlah banyak atau pada orang yang sensitif dapat menimbulkan bronchitis atau bahkan pneumonitis. Cacing dewasa melekat dan melukai mukosa usus, menimbulkan perasaan tidak enak di perut, mual, dan diare. Seekor cacing dewasa menghisap darah 0,2-0,3 ml sehari sehingga dapat menimbulkan anemia hipokrom mikrositer. Pada infeksi berat Hb dapat turun sampai 2 g%, penderita merasa sesak napas waktu melakukan kegiatan, lemah, pusing dan nadi cepat. Jika terjadi pada anak dapat menimbulkan keterbelakangan fisik dan mental (Natadisastra, 2009). 5) Epidemiologi Cacing tambang terdapat di daerah tropika dan subtropika diantara 450 Lintang Utara dan 300 Lintang Selatan, kecuali Ancylostoma duodenale terdapat di daerah pertambangan Eropa Utara. Necator americanus tersebar di separuh belahan bumi sebelah barat, Afrika Tengah dan Selatan, Asia selatan, Indonesia, Australia dan di Kepulauan Pasifik. Penyebarannya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, pembuangan kotoran orang-orang yang terinfeksi di tempat-tempat yang dilewati orang lain, tanah tempat pembuangan kotoran yang merupakan medium yang baik, 20 suhu panas dan lembap, serta populasi yang miskin dengan orang-orang tanpa sepatu. Penyebaran di Cina terjadi karena pemakaian pupuk dari kotoran manusia. Ankilostomiasis di Indonesia banyak terdapat pada karyawan perkebunan karet (Irianto, 2013). 6) Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya telur pada pemerikaan tinja. Bila jumlah telur cacing sedikit, sampel tinja di konsentrasi dengan teknik formol eter atau flotasi dengan menggunakan garam jenuh atau ZnSO4 jenuh. Untuk membedakan kedua spesies tersebut, diidentifikasi larva filariform yang diperoleh dari biakan tinja (Pusarawati, dkk., 2014). 7) Pengobatan Obat untuk Ankilostomiasisdan Necatoriasis yaitu Askamex (Konimex), Combantrin, Gavox, Helben, Konvermex, Medikomtrin, Piraska 125, Pyrantin, Quantrel, Trivexan, dan Vermox 500 (Purwanto, dkk, 2008). Pengobatan alternatif untuk cacigan dapat menggunakan obat-obat alami di antaranya Antanan Geude (Centella asiatica), Putri Malu (Mimosa pudicaI), Jawer Kotok (Coleus scutellarioides), krokot (Portulaca oleracea), biji pinang, kulit buah delima, kulit mangga, wortel (Daucus carota) dan kelapa (Anas, 2013). 8) Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan tidak membuang tinja di sembarang tempat, membiasakan memakai alas kaki bila keluar rumah, dan tidak memupuk sayuran dengan tinja manusia (Rosdiana, 2010). 21 d. Strongyloides stercoralis 1) Hospes dan Nama Penyakit Manusia adalah hospes definitif dari Strongyloides stercoralis. Penyakit yang disebabkannya yaitu Strongiloidiasis. 2) Morfologi Cacing betina berukuran 2,2 x 0,04 mm, tidak berwarna, semi transparan dengan kutikula yang bergarisgaris. Cacing ini mempunyai rongga mulut yang pendek dan esofagus yang ramping, panjang dan silindris. Cacing betina memiliki badan yang licin, lubang kelamin terletak di perbatasan antara dua per tiga badan. Cacing jantan mempunyai ekor yang melengkung (Irianto, 2013). Larva rabditiform berukuran 225 x 16 mikron, sedangkan larva filariform ramping dan berukuran 630 x 16 mikron. Telur berbentuk lonjong, dinding tipis dan berukuran 50-54 x 30-34 mikron (Muslim, 2009). Gambar 2.13 Cacing Strongyloides stercoralis Gambar 2.14 Larva rabditiform Gambar 2.15 Larva filariform Pembesaran 400x Sumber : Prianto Atlas Parasitologi Kedokteran, 2008 22 3) Siklus hidup Telur Strongyloides stercoralis disimpan di dalam mukosa usus, lalu menetas menjadi larva rhabditiform, menembus sel epitel dan lewat ke lumen usus, lalu keluar bersama tinja. Strongyloides stercoralis memiliki 3 macam siklus hidup, diantaranya adalah : a) Siklus Langsung Larva rhabditiform bertukar kulit menjadi larva filariform yang panjang, ramping, tidak makan dan infeksius dalam waktu 2-3 hari. Larva filariform ini menembus kulit manusia, lalu masuk ke sirkulasi vena melewati jantung kanan sampai ke paru-paru dan menembus ke alveoli. Dari paru-paru naik ke glottis, tertelan, sampai ke usus halus dan menjadi dewasa. Selama migrasi dalam tubuh inang, larva mengalami 2 kali pergantian kulit untuk menjadi dewasa muda. Cacing betina dewasa menghasilkan telur 28 hari setelah infeksi. b) Siklus Tidak Langsung Larva rhabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan betina bentuk bebas. Setelah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva ini dapat menjadi larva filariform yang infeksius dalam beberapa hari dan masuk ke dalam hospes baru atau larva rabditiform tersebut mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi apabila keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini. 23 c) Autoinfeksi Larva rabditiform seringkali menjadi larva filariform di usus atau di daerah sekitar anus (perianal). Jika larva filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi siklus perkembangan di dalam hospes. Autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis menahun pada penderita yang hidup di daerah nonendemik (Sutanto, 2008). Gambar 2.16 Siklus Hidup Strongyloides stercolaris Sumber : Sutanto Parasitologi Kedokteran, 2010 4) Patologi dan Gejala Klinis Infeksi Strongyloides seringkali tidak menunjukkan gejala klinis. Bila ada, gejala klinis dapat berupa gangguan pencernaan, antara lain rasa sakit pada perut dan diare. Selama migrasi ke paru-paru, larva dapat menimbulkan gejala pada paru-paru. Manifestasi pada kulit berupa gatalgatal dan kemerahan. 24 Strongiloidiasis pada penderita imunosuppressed (misalnya penderita HIV/AIDS) akan menyebabkan rasa sakit dan kaku pada abdomen, syok, komplikasi pada paruparu dan saraf, serta sindroma hiperinfeksi yang fatal (Pusarawati, 2014). 5) Epidemiologi Cacing ini dalam perkembangannya di alam bebas memerlukan suhu rata-rata sekurang-kurangnya 150C dengan kelembaban tanah. Suhu optimal terletak antara 230C dan 300C, dengan demikian penyebarannya terdapat di daerah tropis dan subtropis, serta di daerah pertambangan. Penyebab utama penyebaran ini karena pembuangan tinja di tanah (Irianto, 2013). 6) Diagnosis Diagnosis strongiloidiasis ditegakkan melalui: a) Penemuan larva rhabditiform atau larva filariform pada pemeriksaan tinja. b) Penemuan telur atau larva pada pemeriksaan cairan duodenum, apabila pemeriksaan tinja hasilnya negatif. c) Penemuan larva filariform atau cacing dewasa yang hidup bebas pada biakan sediaan tinja dengan metode Harada Mori atau media agar (agar plate). 7) Pengobatan Obat untuk strongiloidiasis adalah Gavox, Helben, Trivexan, Vermox 500 (Purwanto, dkk., 2008). Pengobatan alternatif untuk cacigan dapat menggunakan obat-obat alami di antaranya Antanan Geude (Centella asiatica), Putri Malu (Mimosa pudicaI), Jawer Kotok (Coleus scutellarioides), krokot (Portulaca oleracea), biji pinang, kulit buah delima, kulit mangga, wortel (Daucus carota) dan kelapa (Anas, 2013). 25 8) Pencegahan Tidak buang air besar disembarang tempat, membiasakan memakai alas kaki bila keluar rumah, dan tidak memupuk sayuran dengan tinja manusia (Rosdiana, 2010). 3. Metode Flotasi (Pengapungan) Metode flotasi merupakan salah satu teknik konsentrasi yang digunakan apabila telur atau larva cacing, kista atau trofozoit protozoa jumlahnya sangat sedikit. Teknik konsentrasi ada empat macam, yaitu teknik flotasi dengan menggunakan larutan NaCl, teknik sedimentasi formaldehid-detergen, formaldehid-eter, dan teknik teknik sedimentasi sedimentasi untuk larva Strongyloides stercoralis atau yang biasa disebut dengan metode Harada-Mori (WHO, 2012). Metode flotasi merupakan metode yang digunakan untuk mengidentifikasi telur cacing dengan menggunakan larutan pengapung seperti larutan NaCl jenuh (BJ 1.20), Natrium Nitrat (BJ 1.18), Seng Sulfat (BJ 1.18), Larutan Sukrosa (BJ 1.20) (Soedarto, 2011). Metode flotasi merupakan metode terbaik untuk pemeriksaan telur cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale), selain itu metode ini dianjurkan untuk pemeriksaan A. lumbricoides, Trichuris trichiura, Taenia sp., dan Hymenolepis nana. Metode flotasi ini tidak dianjurkan untuk pemeriksaan trematoda dan Schistosoma sp., larva Strongyloides stercoralis atau kista atau trofozoit protozoa (WHO, 2012). Prinsip dari metode flotasi ini yaitu berdasarkan perbedaan berat jenis telur yang lebih ringan dibandingkan dengan berat jenis larutan yang digunakan, sehingga telur akan mengapung di permukaan, selain itu untuk memisahkan partikel-partikel besar 26 yang ada dalam tinja (Natadisastra, 2009). Jadi pada metode ini berat jenis larutan yang digunakan harus lebih besar dari berat jenis telur cacing. Larutan jenuh merupakan larutan yang mengandung zat terlarut dalam jumlah maksimal pada suhu tertentu. Ciri bahwa suatu larutan sudah jenuh yaitu dengan terbentuknya endapan. Natrium klorida (NaCl) merupakan garam yang berbentuk kristal berwarna putih yang larut dalam air dan tidak dapat larut dalam alkohol (Mulyono, 2012). 4. Sayuran Selada Selada termasuk dalam family Compositae yang dalam pertumbuhan dan budidayanya harus memperhatikan musim, sebab tidak semua musim dapat menghasilkan selada yang baik. Kegunaan utamanya adalah sebagai salad (Wijayanto, 2015). Daun selada memiliki tampilan yang sangat menarik dan dapat menggugah selera makan. Oleh sebab itu kini daun selada juga banyak digunakan sebagai salah satu sayuran pelengkap untuk berbagai macam masakan seperti gado-gado, tahu campur, rujak cingur, burger, kebab, dan lain-lain. Warna selada ada yang merah dan juga hijau (Saparinto, 2013). Berbeda dengan sayuran lainnya, selada tidak pernah dimasak karena rasanya menjadi agak liat dan sulit dicerna (Sunarjono, 2015). a. Klasifikasi Selada Kedudukan selada dalam diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Super Divisi : Spermathophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida sistematika tumbuhan 27 Ordo : Asterales Famili : Asteraceae/Compositae Genus : Lactuca Spesies : Lactuca sativa L (Saparinto, 2013) b. Morfologi Selada Selada memiliki sistem perakaran tunggang dan serabut. Akar serabut menempel pada batang dan tumbuh menyebar kesemua arah pada kedalaman 20-50 cm atau lebih. Daun selada memiliki bentuk, ukuran dan warna yang beragam tergantung varietasnya. Tinggi tanaman selada daun berkisar antara 30-40 cm dan tinggi tanaman selada kepala berkisar antara 20-30 cm (Saparinto, 2013). Gambar 2.17 Selada Sumber : Sunarjono Bertanam 36 Jenis Sayuran, 2015 c. Jenis-Jenis Selada 1) Selada mentega atau selada telur, kropnya bulat, tetapi mudah lepas. Rasanya lunak dan enak, sehingga paing banyak digemari. Kelebihan selada mentega ini dibandingkan dengan jenis selada lainnya ialah tidak mudah rusak, sehingga dapat dikirim ke tempat yang jauh. 2) Selada tutup, kropnya bulat agak padat, dan rasanya renyah. 3) Selada potong, ropnya lonjong atau bulat panjang, rasanya enak tetapi agak liat (Sunarjono, 2015). 28 d. Manfaat Selada Selada mengandung zat besi yang membantu mengurangi lemak dengan cepat, mengandung beta karoten yang berfungsi memerangi kanker (kolon dan rektum), penyakit jantung dan penuaan dini. Vitamin B kompleks untuk mempertahankan kesehatan rambut, kuku, dan kulit. Selada juga mengandung serat dan mengandung kalium, kalsium. Selada memiliki banyak manfaat antara lain dapat memperbaiki organ dalam, mencegah panas dalam, melancarkan metabolisme, membantu menjaga kesehatan rambut, mencegah kulit menjadi kering, dan dapat mengobati insomnia serta dapat digunakan sebagai obat sembelit (Supriati dan Herliana, 2014). 5. Sayuran Kubis/Kol Kubis di masyarakat lebih dikenal dengan sebutan kol, akan tetapi kubis juga disebut dengan kobis atau kobis bulat. Tanaman dengan nama ilmiah Brassica oleracea L. ini dimanfaatkan daunnya untuk dimakan. Daun kubis tersusun rapat membentuk bulatan, yang disebut krop, kop atau kepala. Nama kubis diambil dari bahasa Perancis, yaitu chou cabus yang berarti kubis kepala. Namun, kubis yang selama ini dikenalkan oleh sebagian orang Eropa yang tinggal di Hindia-Belanda adalah kol atau kool yang diambil dari bahasa Belanda (Wijayanto, 2015). Kubis juga termasuk jenis sayuran yang mudah dikonsumsi, sebab selain digunakan sebagai sayur, kubis juga dapat dimakan mentah sebagai lalapan, asinan, gado-gado, sop dan cap cay (Wijayanto, 2015). a. Klasifikasi Kol/Kubis Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta 29 Kelas : Magnoliophyta Ordo : Brassicales Famili : Cruciverae (Brassicaceae) Genus : Brassica Spesies : Brassica oleracea . b. Morfologi Tanaman kubis berbatang pendek dan beruas-ruas, berakar tunggang dengan akar sampingnya sedikit dangkal. Daunnya lebar berbentuk bulat telur dan lunak. Daun yang muncul terlebih dahulu menutup daun yang muncul berikutnya, demikian seterusnya hingga membentuk krop daun bulat seperti telur dan padat berwarna putih. Bunganya tersusun dalam tandan dengan mahkota bunga berwarna kuning. Buahnya bulat panjang menyerupai polong. Polong muda berwarna hijau, setelah tua berwarna kecoklatan dan mudah pecah. Bijinya kecil berbentuk bulat, dan berwarna kecoklatan. Biji yang banyak menempel pada dinding bilik tengah polong (Sunarjono, 2015). Gambar 2.18 Kol/Kubis Sumber : Sunarjono Bertanam 36 Jenis Sayuran, 2015 c. Jenis-Jenis Kubis 1) Kubis krop (telur) Kubis ini dikenal dengan nama kubis putih (Brassica oleracea L. var. capitata L.), yang memiliki daun berbentuk 30 krop. Daun ini menutup satu sama lain hingga warna krop menjadi putih. Krop kubis tersebut besar dan padat sehingga tahan banting jika dikirim jauh. 2) Kubis tunas atau kubis babat Kubis tunas (Brassica oleracea L. var. bullata Ds) biasanya membentuk krop, bahkan tunas sampingnya pun dapat membentuk krop kecil. 3) Kubis umbi (Brassica oleracea L. var. gongylodes L.) Bagian dasar batang di bawah tanah atau di atas tanah membesar sehingga merupakan umbi besar. Salah satu varietasnya adalah kohlrabi yang diperbanyak dengan biji, yaitu white Vienna. 4) Kubis bunga (Brassica oleracea L. var. botrytis L). Kubis ini memiliki bunga yang mengembang dan membentuk masa bunga. Bunga tersebut berbentuk kerucut terbailik dan berwarna putih kekuning-kunigan. Contoh varietasnya yaitu snowball dan snowspeak (Sunarjono, 2015). d. Kandungan dan Manfaat Kubis/Kol Kandungan yang terdapat dalam kol di antaranya vitamin C, protein, riboflavin, niacin, folat, vitamin K, potasium, magnesium, pantothenic acid, zat besi dan serat. Manfaat kol yaitu sebagai antikanker, meningkatkan sistem pencernaan dan untuk menjaga daya tahan tubuh, serta membantu mengeluarkan toksin berbahaya dari tubuh dengan memicu pelepasan enzim yang bertugas mendorong toksin untuk keluar (Prasetio, 2013). 31 B. Kerangka Konsep Penelitian Cacingan Nematoda Usus - Penggunaan pupuk dengan tinja manusia - Pencucian sayuran (selada & kol) Selada & kol/kubis Metode Flotasi Ditemukan Telur Soil Transmitted Helminth (STH) Jenis Telur Soil Transmitted Helmith Keterangan : : yang diteliti : yang tidak diteliti Metode Sedimentasi Tidak Ditemukan Telur Soil Transmitted Helminth (STH) DAFTAR PUSTAKA Al-Quran Cordoba. (2012) Bandung : PT Cordoba Internasional Indonesia. Badrunasar, Anas (2013) Keanekaragaman Tumbuhan Liar Berkhasiat Obat. Ciamis : Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Ciamis. Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI (2014) Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. HAM, Mulyono. (2012) Membuat Reagen Kimia di Laboratorium. Jakarta : PT Bumi Aksara. Irianto, Koes. (2013) Parasitologi Medis (Medical Parasitology). Bandung : Alfabeta. Muslim, H. M. (2009) Parasitologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC. Natadisastra, D. & Agoes. R. (2009) Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta : EGC. Prasetio, Bambang (2013) Budidaya Sayuran di Pot. Yogyakarta : Lily Publisher. Prianto, Juni L.A (2010) Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Purwanto, dkk. (2008) Data Obat Indonesia Edisi 11. Jakarta : PT Muliapurna Jayaterbit. 46 47 Pusarawati, Suhintam, dkk. (2014) Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Rahayu A, Siti A. (2013) Identifikasi Telur Cacing Usus pada Lalapan Daun Kubis yang Dijual Pedagang Kaki Lima di Kawasan Simpang Lima Kota Semarang. Semarang : Jurnal FKM UNIMUS. Safar, Rosdiana. (2010) Parasitologi Kedokteran Protozologi, Helmintologi, dan Entomologi. Bandung : Yrama Widya. Saparinto, C. (2013) Grow Your Own Vegetables-Panduan Praktis Menanam 14 Sayuran Konsumsi Populer di Pekarangan. Penebar Swadaya : Yogyakarta. Soedarto, Prof. Dr. DTM & H, PhD. (2011) Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta : CV Sagung Seto. Staf Pengajar Bagian Parasitologi, FKUI. (2008) Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Sunarjono, Drs. H. Hendro (2015) Bertanam 36 Jenis Sayuran. Depok : Penebar Swadaya. Supriati, Y. dan E. Herliana. (2014) 15 Sayuran Organik dalam Pot. Jakarta : Penebar Swadaya. Verdira A, dkk. (2013) Distribusi Frekuensi Soil Transmitted Helminth pada Sayuran Selada (Lactuca sativa) yang Dijual di Pasar Tradisional dan Pasar Modern di Kota Padang. Padang : Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 48 Wardhana, dkk. (2013) Identifikasi Telur Soil Transmitted Helminth pada Lalapan Kubis (Brassica oleracea) di Warung-Warung Makan Universitas Lampung. Bandar Lampung : Jurnal Kesehatan Universitas Lampung. WHO. (2012) Pedoman Teknik Dasar Untuk Laboratorium Kesehatan. Jakarta : EGC. Widoyono, dr. MPH. (2011) Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga. Wijayanto, Ari (2015) Untung Selangit Budidaya 10 Sayuran Paling Favorit. Yogyakarta : Araska.