Suatu saat saya bertanya kepada seorang teman yang

advertisement
Suatu saat saya bertanya kepada seorang teman yang menceritakan bahwa selama sesi coaching
dia merasa didengarkan oleh Coach-nya, “Apa yang Coach itu lakukan sehingga kamu merasa
didengarkan?” Teman saya menjelaskan, “Dari cara dia menanggapi apa yang saya katakan, dan
dari pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan untuk mengeksplor lebih jauh dari yang saya
sampaikan…Atensinya penuh terhadap saya tapi saya tidak merasa dikasihani, tidak juga
merasa cape setelah ditanya.” Sepertinya ‘mendengarkan secara aktif’ memang lebih dari
sekedar tahu apa yang disampaikan oleh orang lain, butuh kedalaman lebih dari itu.
Ketika menjelaskan tentang kompetensi dasar seorang Coach, kami selalu mengatakan
bahwa pertama-tama adalah kemampuan mendengarkan, baru kemudian kemampuan untuk
mengajukan pertanyaan yang efektif. Tentang pentingnya kemampuan mendengarkan dalam
komunikasi tentulah sudah tidak asing lagi bagi kita. Namun, bagaimana persisnya penerapan
hal ini dalam proses coaching? Lewat tulisan ini saya ingin berbagi inspirasi tentang bagaimana
proses coaching, sebagai konteks atau situasi komunikasi yang didasari oleh prinsip-prinsip
coaching, memperkaya perspektif kita dalam memahami ‘mendengarkan secara aktif’,
©2017 by Principia Learning Lab
Halaman 1 dari 4
‘mendengarkan secara empati’, atau yang disebut ICF (International Coach Federation) sebagai
kompetensi active listening.
Kita sering mendengar kalimat ‘hearing without listening’, mendengarkan tapi tidak
menyimak, sebagai bentuk kualitas mendengarkan yang buruk. To hear di sini maksudnya
adalah ‘mendengarkan apa yang dikatakan tapi tidak memahami apa yang dikatakan’ dan to
listen dimaknai sebagai ‘tindakan mendengarkan yang diikuti dengan upaya memahami apa
yang dimaksud oleh yang mengatakan’. Upaya untuk memahami apa yang dimaksud oleh yang
mengatakan seringkali berarti memahami lebih dari apa yang diungkapkan lewat kata-kata:
mendengarkan yang tersirat, tidak hanya yang tersurat. Hal yang tersirat seringkali
diungkapkan oleh ekspresi bahasa tubuh dan pemilihan kata-kata yang spesifik. Seringkali
dikatakan bahwa kemampuan mendengarkan seperti ini sekaligus membuat mitra bicaranya
merasa dipahami, berasa mendapatkan simpati mendalam.
Kemampuan berempati secara populer sering diartikan sebagai kemampuan seseorang
untuk menempatkan diri di posisi orang lain. Namun demikian, menarik jika kita memahami apa
sebenarnya yang terjadi di dalam diri manusia ketika dia bisa menempatkan diri di situasi atau
kondisi orang lain. Adam Smith, seorang filsuf abad 18 dari Skotlandia menjelaskan bahwa
kemampuan seseorang berempati lebih dari sekedar seberapa besar seseorang memiliki
kepekaan terhadap situasi orang lain. Kapasitas empati seseorang, dijelaskan oleh Smith,
ditentukan oleh dinamika relasi antara daya kognitif, daya imajinasi dan daya merasa (emosi
dan perasaan) seseorang. Bagaimana cara kerja dinamika-kognitif-imajinasi-daya rasa-merasa
ini?
Menurut Smith, pada dasarnya kita tidak bisa sepenuhnya merasakan dan memahami
situasi orang lain dengan kualitas yang seratus persen persis sama seperti yang dimaksud oleh
orang lain tersebut. Alasannya sederhana, karena kita tidak bisa masuk sepenuhnya ke pikiran
dan perasaan orang tersebut. Hal yang bisa kita lakukan adalah dengan kekuatan imajinasi kita
menempatkan diri kita dalam situasi yang diceritakan oleh orang tersebut. Membayangkan diri
kita dalam situasi orang tersebut akan menimbulkan perasaan-perasaan dan emosi-emosi
tertentu (daya rasa-merasa), yang kemudian kita maknai dengan cara tertentu (daya kognitif).
Itu sebabnya ketika berempati kita seringkali mengatakan, “Saya bisa merasakan
kesedihan/kegembiraan Anda…” atau “Jika saya dalam situasi Anda, saya bisa membayangkan
betapa sulitnya situasi ini bagi Anda..” atau “Saya bisa rasakan kesedihan Anda, tapi yang Anda
alami pasti lebih dari itu…” atau “Yang Anda katakan mungkin biasa bagi Anda, tapi buat saya
sangat menyentuh…”
©2017 by Principia Learning Lab
Halaman 2 dari 4
Dengan pemahaman ini kita bisa sedikitnya menyimpulkan, bahwa jika kemampuan
mendengarkan secara aktif, secara empati, dipengaruhi oleh kapasitas empati dalam diri
seseorang, maka kemampuan ‘mendengarkan secara aktif’ akan ditentukan oleh kemampuan
seseorang dalam menyadari dan memaknai perasaan-perasaan yang timbul dalam dirinya
ketika mendengarkan perkataan orang lain. Kutipan Jim Rohn tentang komunikasi efektif
menjelaskan hal ini dengan sangat baik. Menurut Rohn, “Komunikasi efektif itu 20%-nya
merupakan hal-hal yang kita tahu, dan 80% nya adalah bagaimana perasaaan Anda tentang halhal yang Anda ketahui tersebut.”
Dalam perspektif psikologi constructive developmental, ketika seseorang “menyadari”
apa yang dia rasakan, itu berarti dia tidak lagi ‘dikuasai’ oleh perasaan tersebut. Dia bisa
mengambil jarak antara dirinya dengan apa yang dia rasakan. Jarak ini yang memungkinkannya
bisa memaknai dan menyikapi dengan jernih apa yang dia rasakan, bukan bertindak serta merta
karena terbawa perasaan. Lebih jauh lagi, jarak ini yang memungkinkan seseorang bisa dengan
jernih melihat juga bahwa apa yang dia rasakan bisa jadi tidak persis sama dengan apa yang
dirasakan oleh orang lain, karena kondisi atau sejarah hidup yang berbeda.
Nah…mungkin sesaat Anda berpikir.. ok, so what?..apa kaitannya dengan proses
coaching?
Dalam penjelasannya tentang kompetensi Active Listening, ICF mengatakan bahwa
seorang Coach yang mampu mendengarkan secara aktif berarti (salah satunya) mampu untuk:
“Fokus pada Klien dan agenda Klien, bukan pada agenda Coach untuk Klien.” Dalam konteks
mendengarkan, ini lebih dari sekedar penentuan agenda coaching oleh Klien, tapi bagaimana
seorang Coach benar-benar menanggapi apa yang dimaksud oleh Klien, bukan menanggapi
semata-mata apa yang dia rasakan dan pikirkan tentang Klien.
Hal ini hanya mungkin terjadi jika Coach bisa dengan jernih memisahkan antara apa yang
dimaksud oleh Klien dengan perasaan dan makna yang ditimbulkan oleh Klien dalam dirinya
ketika mendengar perkataan-perkataan Klien. Kesadaran ini yang membuat seorang Coach
mampu keluar dari dominasi perasaan empatinya dan berkreasi mengeluarkan pertanyaanpertanyaan efektif untuk membantu Klien lebih menyadari apa yang sebenarnya dia maksudkan
dengan semua hal yang dikatakannya. Hal ini akan membantu Coach melakukan rephrasing dan
paraphrasing secara lebih efektif.
Sederhananya, menurut hemat saya, mendengarkan secara aktif berarti juga kemampuan
untuk ‘mendengarkan diri Anda’ yang sedang mendengarkan; dan hal ini merupakan kunci
©2017 by Principia Learning Lab
Halaman 3 dari 4
keberhasilan seorang Coach dalam mendengarkan secara aktif, sehingga bisa mengelola proses
coaching yang mendukung agenda Klien.
Sebagai penutup, saya ingin akhiri tulisan ini dengan pertanyaan, “Seberapa Anda
memahami ‘perasaan-perasaan’ dan ‘pikiran-pikiran’ yang timbul ketika mendengarkan
perkataan orang lain, atau Klien, sebagai perasaan dan pikiran yang berakar dari pengalaman
tertentu dalam diri Anda?”
Happy active listening..
Sumber: Diadaptasi dari https://coachfederation.org/blog/index.php/953/
Shirley Suhenda, PhD, PCC
Executive Coach
-
©2017 by Principia Learning Lab
Halaman 4 dari 4
Download