sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XXIV, Nomor 3, 1999 : 1 - 10 ISSN 0216- 1877 BEBERAPA CATATAN TENTANG GELIDIUM (RHODOPHYTA) oleh Nurul D.M. Sjafrie 1) ABSTRACT SOME NOTES ON GELIDIUM (RHODOPHYTA). Gelidium is one the red algae belong to Rhodophyta. They have been known as the best agar produce. They are usually growing in clean sea water with high salinity and water current. Some species can grow on muddy bottom. The life cycle of this algae are triphasic, i.e. : tetrasporophytes, gametophytes and carposporophytes. This paper will discuss the biology and development prospects of this algae. PENDAHULUAN obat-obatan, tekstil, dan sebagainya. Salah satu rumput laut yang dapat menghasilkan agar-agar adalah marga Gelidium. Kandungan agar-agar dalam thallus Gelidum sangat bervariasi menurut jenis dan lokasi tumbuh. G. pussilum yang tumbuh di perairan Veraval, India mempunyai kandungan agar 22% (MAIRTH & RAO, 1978). Selanjutnya, kandungan agar pada G. pristoides yang tumbuh di Port Alferd, Afrika Selatan adalah sebesar 30-48% berat kering (CARTER & ANDERSON, 1986). Gelidiium latifolium yang tumbuh di Roscoff (sebelah utara Britain), memiliki kandungan agar 26 42% kering (MOURADI-GIVERNAUD, et al. 1992). Sementara itu Gelidium yang tumbuh di perairan Sulawesi mempunyai kandungan agar mencapai 30% (KADI & ATMADJA. 1988). Di Indonesia rumput laut marga Gelidium, mempunyai nama daerah yang Penggalian sumberdaya alam sudah dilakukan sejak dulu, terutama pada sumberdaya yang ada di daratan. Untuk sumberdaya laut pun usaha penggalian terus dilaksanakan, bahkan saat ini, telah diketahui adanya senyawa bioaktif yang berasal dari organisme laut, misalnya dari sponge, karang lunak, teripang, rumput laut dan sebagainya. Senyawa bioaktif tersebut ada yang bersifat antikanker, antibakteri dan lain-lain, sehingga penggalian terus ditingkatkan. Telah diketahui pula bahwa hasil ekstraksi dari beberapa jenis rumput laut menghasilkan senyawa-senyawa berupa alginat, furcelaran, caulerpin, carragenan atau agar-agar (SOEGIARTO et al., 1978). Senyawa-senyawa tersebut umumnya digunakan dalam industri, misalnya agar-agar banyak digunakan dalam industri makanan, 1) Balai Peneiitian Lingkungan Laut, Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta. 1 Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id berbeda-beda. Di Jawa Barat disebut kades, atau intip kembang karang. Di Bali disebut bulung ayam atau bulung merak, sedangkan di Ambon disebut sayur laut (ATMADJA & SULISTIJO, 1988). Saat ini pemanfaatan Gelidium sebagai bahan baku agar-agar masih tergantung pada sediaan alami. Usaha pengembangan ke arah budidaya di lapangan masih belum dilakukan, karena belum ditemukan metoda yang cocok untuk membudidayakan rumput laut tersebut. Bila pengambilan di alam dibiarkan terus sementara usaha ke arah budidaya tidak dilakukan, maka dikhawatirkan suatu saat keberadaan Gelidium di Indonesia akan mengalami kepunahan. Informasi mengenai Gelidium dari berbagai aspek telah banyak dipublikasi oleh pakar asing, namun di Indonesia tulisan tentang Gelidium masih terbatas pada sebarannya (ATMADJA & SULISTIJO, 1988) dan daur hidupnya (SJAFRIE, 1993). Dalam tulisan ini akan dikemukakan tentang sifat-sifat hidup, daur hidup serta prospek pengembangan rumput laut marga Gelidium. Diharapkan tulisan ini akan menambah wawasan kita untuk pengembangan serta pengelolaan rumput laut tersebut di masa mendatang. bervariasi antara 1 mm - 30 cm. G. pussilum, memiliki panjang thallus antara 1 - 2 mm sedangkan G. robustum panjang thallusnya antara 15 - 30 cm (DAWES, 1981). Trhallus tumbuhan membentuk rumpun dengan tipe percabangan dichotomous atau menyirip dengan batang utama yang tegak. Bentuk thallus pipih dan bersifat cartilagenous. Thallus berwarna coklat, hijau-coklat atau pirang. Organ reproduksi berukuran mikroskopis (KADI & ATMADJA, 1988), sistokarp biokular (EDYVANE, 1991). SIFAT-SIFAT HIDUP Seperti tumbuhan hijau lainnya, untuk tumbuh dan berkembang Gelidium membutuhkan cahaya, dan nutrisi. Faktorfaktor lingkungan lain yang ikut menunjang tumbuh-kembangnya algae ini adalah suhu, salinitas, substrat serta pergerakan air. Selain itu faktor biotik seperti kompetisi juga turut menentukan keberadaannya. A. Cahaya Cahaya merupakan salah satu faktor yang membatasi sebaran dari Gelidium. Beberapa pakar melaporkan bahwa Gelidium banyak didapati di daerah yang agak terlindung atau di daerah yang berintensitas cahaya rendah. Hal ini didukung oleh hasil dalam penelitian di dalam laboratorium memperlihatkan bahwa pertumbuhan Gelidium akan lebih baik di tempat yang berintensitas cahaya rendah. Kecepatan fotosintesis dari G. caulacantheum lebih cepat pada intensitas cahaya 800 lilin daripada intensitas cahaya 2000 lilin. Sementara itu G. amansii akan mengalami kejenuhan pada intensitas cahaya dibawah 5000 lux. (SANTELICES, 1988). Cahaya akan mempengaruhi warna dan MORFOLOGI Gelidium termasuk salah satu anggota ordo Gelidiales, divisio Rhodophyta (algae merah). Dalam Taksonomi, klasifikasi Gelidium menurut DAWES (1981) adalah sebagai berikut: Divisio Kelas Ordo Suku Marga : : : : : Rhodophyta Floridophyceae Gelidiales Gelidiaceae Gelidium morfologi thallus Gelidium. Bleacing Geledium hidup di daerah intertidal dan subtidal, melekat pada substrat padat seperti kayu, batu, karang mati. Panjang thallus (pemutihan) akan terjadi apabila tumbuhan berada pada intensitas cahaya yang tinggi. Di daerah substropis bleacing umumnya terjadi 2 Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id pada musim panas (AKATSUKA, 1986; SATELICES 1988). Diketahui bahwa proses perubahan warna pada thallus Gelidium antara lain disebabkan oleh berkurangny a kandungan phycobilin (phycocianin dan phycoerythrin). Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian yang telah dilakukan FREDRICKSEN & RUENESS (1989). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa kandungan pigmen phycoerytrin dan phycocianin Gelidium latifolium yang diperlihara di dalam Gambar la. laboratorium pada Photon Flux Density (PFD) 20 µmol/m2 detik masing-masing adalah sebesar 6.84 dan 0.369 mg/berat basah. Kemudian PFD dinaikkan menjadi 300 µmol/ m2 detik, maka kandungan phycoerythrin dan phycocianin menjadi 1.78 dan 0.086 mg/ berat basah. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan penambahan Nitrogen (AKATSUKA, 1986; FREDDRICSEN & RUENESS, 1989). Pada gambar la dan lb. diperlihatkan kandungan phycobilin dan chlorofil a pada keadaan yang cukup dan kekurangan Nitrogen. Total phycobiliprotein pada keadaan yang cukup dan kekurangan hidrogen Gambar lb. Phycoeritrin dan phycocanin pada keadaan yang cukup dan kekurangan nitrogen 3 Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id fotosintesis akan terus meningkat sampai suhu 30 °C dan akan turun secara drastis pada suhu diatas 35 °C. Selanjutnya G. coulterii mempunyai suhu optimum antara 25 °C dan 35 °C, namun proses fotosintesis akan terjadi sangat lambat pada suhu antara 33 - 42 °C (SANTELICES, 1988). Hasil penelitian MACLER & WEST (1987) memperlihatkan bahwa G. coulteri yang ada di Baja California dapat hidup pada kisaran suhu antara 8 - 17 °C. Hasil pengamatan laboratorium menunjukkan bahwa jenis tersebut tumbuh optimal pada kisaran suhu antara 20 - 27 °C. Hasil penelitian D'ANTONIO & GIBOR (1985) tentang pengaruh PFD terhadap morfologi G. robustum yang berasal dari Santa Cruz, California menunjukkan bahwa tanaman yang diberi perlakuan PFD tinggi akan membentuk percabangan yang banyak namun ukuran thallusnya pendekpendek. Sebaliknya, tanaman yang diberi perlakuan PFD rendah mempunyai ukuran thallus yang panjang serta percabangan yang relatif sedikit. Hasil lain yang diperoleh menunjukkan bahwa tanaman yang diperlihara dengan periode penyinaran 16.8 terang:gelap akan memiliki percabangan dan perakaran yang lebih banyak dibandingkan dengan tanaman yang diberi periode penyinaran 12 : 12 terang:gelap. C. Salinitas Kemampuan adaptasi Gelidium terhadap salinitas cukup bervariasi, tergantung dari masing-masing jenis. Misalnya G. pussilum memiliki kisaran salinitas antara 26,3 - 31.36 permil. G. corneum dari Texas, dapat hidup pada salinitas minimum 13 permil dan salinitas maksimum 37 permil (SANTELICES, 1988). Di Indonesia Gelidium cenderung hidup di daerah yang bersalinitas tinggi, misalnya di Bali 33 permil, di Cilurah Banten 34 permil dan di Seram Timur 34 permil (ATMADJA & SULISTIJO, 1988) dan belum pernah ada publikasi yang menyatakan bahwa ada Gelidium yang hidup pada salinitas rendah. B. Suhu Setiap makhluk hidup memiliki toleransi yang berbeda terhadap suhu. Umumnya suhu akan berpengaruh terhadap proses-proses metabolisma tubuh. Pada Gelidium, faktor suhu akan berpengaruh terhadap sebaran vertikal dari rumput laut ini. G. cartilageneum dan G. nudiform yang hidup pada kedalaman 13-14 meter dapat bertahan hidup pada suhu di bawah 30 - 32°C, sedangkan G. pussilum yang hidup di daerah upper intertidal tumbuh baik (optimal) pada suhu 20 °C. Selanjutnya G. rex yang hidup di daerah sub tidal tumbuh optimal pada suhu 15 °C (SANTELICES, 1988). Menurut CARTER (1985) suhu optimum bagi G. pristodes yang tumbuh di Port Alfred, Afrika Selatan adalah 15-23 °C. la juga mengatakan bahwa pada suhu dibawah 5 °C aktivitas fotosintesis akan terhambat, sementara itu untuk jenis-jenis Gelidium yang hidup di perairan hangat, aktivitas fotosintesis akan terhenti pada suhu di bawah 10 °C. Penelitian laboratorium tentang pengaruh suhu terhadap aktivitas fotosintesis Gelidium amansii menunjukkan bahwa proses D. Substrat Untuk hidup, masing-masing jenis Gelidium membutuhkan substrat yang paling cocok. Umumnya rumput laut ini lebih menyukai substrat yang berupa batu-batuan. Namun kekecualian yang terjadi pada G. pussilum yang tumbuh di Australia Selatan lebih menyukai substrat berlumpur, sedangkan G. crinale yang tumbuh di pantai Cadiz lebih menyukai substrat berpasir. Tipe substrat akan berpengaruh terhadap morfologi Gelidium. Dari hasil 4 Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id penelitian diketahui bahwa Gelidium yang tumbuh pada substrat batuan akan memiliki percabangan yang gemuk, sedangkan yang tumbuh pada pasir/lumpur akan memiliki percabangan yang kurus tetapi panjang (SANTELICES, 1988). Hal ini tidak berlaku mutlak, karena masih banyak faktor-faktor lain yang ikut menentukan morfologi dari Gelidium. pada tempat yang sama. Selain memiliki kompetitor, Gelidium juga tidak lepas dari intaian pemangsanya. Organisme pemangsa terdiri dari ikan (Acanthurus triostegus dan A. aliala), moluska (Haliotis cracherodii dan H. australis) dan bulu babi (Arbacia lixula dan Paracentrotus lividus) (SANTELICES, 1988). E. Pergerakan Air Umumnya Gelidium tumbuh di daerah yang berombak besar, dimana pergerakan air (ombak) dan arus yang relatif besar (ATMADJA & SULISTIJO, 1988). SATELICES (1988) mengatakan bahwa suku Gelidiaceae digolongkan kedalaman rumput laut yang dapat hidup pada pergerakan air sedang sampai keras. Seperti umumnya Rhodophyceae, daur hidup Gelidium mengalami pergantian generasi antara seksual dan aseksual. Bentukbentuk yang dapat ditemukan di alam adalah bentuk tetrasporofit (2n=diploid) dan bentuk gametofit (n=haploid). Pada tetrasporofit tumbuhan akan membentuk spora yang haploid, masing-masing akan tumbuh menjadi gamettofit jantan dan gammetofit betina. Setelah tumbuh menjadi tumbuhan masingmasing gametofit betina akan berdiferensiasi menjadi wadah tempat memelihara zigot apabila sperma masuk ke dalamnya, Zigot (2n) akan dikeluarkan sebagai karpospora, yang selanjutnya akan tumbuh menjadi tetrasporofit kembali (Gambar 2). DAUR HIDUP G. Kompetisi Organisme yang dianggap sebagai kompetitor utama adalah Pterocladia cappilacea. Secara visual antara Gelidium dan Pterocladia. sangat sulit dibedakan. Umumnya kedua rumput laut ini selalau hidup bersamaan Gambar 2. Daur hidup Gelidium (Edyvane, 1991) 5 Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Di alam bentuk gametofit jantan maupun betina sangat sukar dijumpai, bentuk yang umum adalah tetrasporofit. DEL-PROO & DE-LACAMPA (dalam SANTELICES, 1988) mendapatkan perbandingan tetrasporofit dan gametofit Gelidium robostum yang hidup di Baja California adalah 12 : 1. Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa spora yang baru dilepaskan oleh tetrasporofit Gelidium amansii berbentuk seperti amoeba dan lama kelamaan akan berbentuk bulat dengan diameter 25 µm, sedangkan karpospora berdiameter 30 µm (SJAFRIE, 1993). Ditambahkan pula bahwa spora yang dikeluarkan oleh thallus akan menempel di dasar petridish setelah 10 - 20 menit (KATADA, 1955) Hasil penelitian KATADA (1955); DELPROO, et al. (1971); CARTER (1985) dan SJAFRIE (1993) tentang perkembangan spora dari marga Gelidium memperlihatkan bahwa pada saat spora menempel di dasar petridish warnanya akan menjadi gelap (Gambar 3 a) dan segera disusul dengan keluarnya "germ tube" (Gambar 3b, c, dan d). Selanjutnya isi sel lama akan bermigrasi ke tonjolan yang dibentuk dan setelah seluruh isi sel berpindah, sel akan membelah (Gambar 3e, f, g, h). Setelah beberapa waktu "primary rhizoid" akan muncul dan akan bertambah panjang sesuai dengan pertambahan waktu (Gambar i, j, k). Selanjutnya kumpulan sel (thallus) akan membuat percabangan serta akar-akar (Gambar 31, m, n). disarikan dalam Tabel 1. PROSPEK PENGEMBANGAN Seirama dengan berkembangnya bioteknologi, terutama masalah-masalah yang berhubungan dengan manipulasi genetik (kultur bakteri), maka permintaan bahan baku agar-agar akan semakin meningkat. Seperti diketahui bahwa medium agar standar yang digunakan dalam kultur bakteri adalah agar yang sebagian besar berasal dari marga Gelidium. Oleh karena itu usaha untuk tetap dapat mempertahankan suplay bahan baku harus terus dipertahankan. Sampai saat ini usaha untuk membudidayakan Gelidium di alam masih merupakan tanda tanya yang besar. Salah satu penyebab mengapa Gelidium tidak menarik untuk dibudidayakan adalah morfologinya. Bentuk thallus yang relatif kecil bila dibadingkan dengan Gracilaria atau Eucheuma akan menyulitkan usaha budidaya dengan menggunakan sistem yang ada saat ini. Seperti diketahui bahwa sistem penanaman rumput laut yang lazim dipakai sampai saat ini adalah sistem ini rumpun tanaman diikatkan pada rakrak atau tali. Untuk Gelidium hal ini sangatlah tidak memungkinkan karena thallusnya yang relatif pendek. Selain itu, Gelidium yang ada di Indonesia umumnya adalah jenis-jenis yang menyukai salinitas tinggi dan perairan yang relatif berombak besar. Hal ini akan menjadi faktor pembatas karena sistem tanam yang ada tidak dapat diterapkan di lokasi tersebut. Tampaknya sistem tanam untuk Gelidium tidak dapat dilakukan di alam, melainkan dilakukan di dalam bak-bak yang diisi oleh air laut serta dirancang sedemikian rupa sehingga keadaannya tidak jauh berbeda dengan di alam. Disamping teknik penanaman, usaha pengadaan bibit juga perlu diperhatikan agar usaha budidaya dapat berjalan seoptimal mungkin. Di bawah ini akan dikemukakan beberapa alternatif untuk pengembangan pembibitan rumput laut marga Gelidium. SEBARAN Dari 40 jenis Gelidium yang ada di dunia, 8 diantaranya terdapat di perairan Indonesia (LEVRING et al. dalam ATMADJA & SULISTIJO, 1988). Di Indonesia, Gelidium mempunyai sebaran geografik yang luas. Umumnya rumput laut ini hidup di perairan pantai yang berombak besar, misalnya pantai Barat Sumatera, pantai Selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku. ATMADJA & SULISTIJO (1988) telah merangkum sebaran dan habitat Gelidium di Indonesia dan 6 Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Gambar 3. Perkembangan spora Gelidium (a-n) 7 Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Tabel 1. Sebaran dan Macam Habitat Gelidium spp. di Indonesia (ATMADJA DAN SULISTUO, 1988) Selanjutnya FUJITA & SAITO (1990) telah dapat menggabungkan protoplasma dari 7 jenis Porphyra. A. Kultur Jaringan. Teknik ini mungkin dapat diterapkan setelah diperoleh keberhasilan pada kultur jaringan porphyra dan Gracilaria. (EVAN et al., 1983) C. Perkawinan Silang Dari bekal pengetahuan tentang siklus reproduksi maka sangatlah memungkinkan dapat dilakukannya perkawinan silang antara 2 jenis Gelidium. Setelah diperoleh bentuk gametofit jantan dan betina dari 2 jenis yang berlainan, maka akan dapat dilakukan kawin silang, dengan catatan bahwa kromosom antara kedua jenis tersebut relatif sama. Pada Tabel 2. diperlihatkan jumlah kromosom dari beberapa jenis Gelidium yang hidup di Jepang (AKATSUKA, 1986). B. Fusi Protoplasma Kemungkinan untuk melakukan fusi protoplasma pada Gelidium tampaknya akan menjadi tantangan para pakar. Namun ada titik terang setelah muncul keberhasilan yang diperoleh FUJITA & MIGITA (1987) dalam menggabungkan protoplasma dari 2 jenis Porphyra. Keberhasilan lainnya diperoleh REDDY et al. (1989) yang telah menggabungkan protoplasma dari 3 jenis Ulva. 8 Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id D'ANTONIO CM. and A. GIBOR 1985. A note on some influences of Photon Flux Density on the morphologY of Tabel 2. Jumlah kromosom dari beberapa jenis Gelidium yang hidup di perairan Jepang germlings of Gilidium robustum (Gilidiales, Rhodophyta) in culture. Botanica Marina. 24 : 313 - 316. DAWES, C.J. 1981. Marine Botany. John Wiley & Sons, New York : 173 - 194. EDYVANE, K.S. 1991. An Introduction to taxonomy of coral reef macroalgae and their role as bio-indicators of the effects of pollution. Paper presented in AseanAustralia Marine Project : Living Coastal Resourses, July, 1991, Jakarta : 48p. Kultur spora direkomendasikan juga untuk memenuhi kebutuhan bibit rumput laut. Dari kultur spora diharapkan akan diperoleh bibit-bibit pilihan yang dapat dikembangkan. Dengan begitu banyak informasi serta peluang yang ada, maka pengembangan sumberdaya laut yang masih belum diungkapkan akan menjadi tantangan bagi kita semua. EVANS, D.A.; W.R. SHARP; PV. AMMIRATO and Y. YAM ADA 1983. Handbook of Plant Cell Culture Volume I: Technique for propagation and breeding. FREDRICKSEN, S and J. RUENESS 1989. Culture studies of Gelidium latifolium (Grev.) Born et Thur. (Rhodophyta) from Norway. Growth and Nitrogen storage in response to varying photon flux density, temperature and nitrogen availability. Botanica Marine. 32 : 539546. DAFTAR PUSTAKA AKATSUKA, I. 1986. Japanese Gelidiales (Rhodophyta) especially Gelidium. Oceanogr. Mar. Biol. Ann. Rev. 24 : 171 - 263. ATMADJA, W.S. dan SULISTIJO 1988. Sebaran dan habitat Gelidium di Indonesia. Penelitian Oseanologi Perairan Indonesia Buku I: Biologi, Geologi, Lingkungan dan Oseanografi : 69 - 73. FUJITA, Y. and MIGITA, S. 1987. Fusion of protoplast from thalli two different color types in Porphyra yezoensis Ueda. and development of fusion products. Jap. J. Phycol. 35 : 201 - 208. CARTER, A.R. 1985. Reproduktive morphology and culture studies of Gelidium pristoides (Rhodophyta) from Port Alfred in South Africa. Botanica Marina 28: 303 - 311. FUJITA, Y. and SAITO, M. 1990. Protoplast isolation and fusion in Porphyra (Bangiales, Rhodophyta) . Hydrobiologia. 204/205 : 161 - 166. KADI, A., dan W.S. ATMADJA 1988. Rumput Laut (Algae) : Jenis, Reproduksi, Budidayadan Pasca-panen. Puslitbang Oseanologi LIPI Jakarta : vi + 69 h. KATADA, M. 1955. Fundamental studie on the propagation of Gelidiaceous Algae CARTER, A.R. and R.J. ANDERSON 1986. Seasional growth and agar contents in Gelidium pristoides (Gelidiales, Rhodophyta) from Port Alfred, South Africa. Botanica Marina 24 : 117 -123. 9 Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id with special reference to shedding and adhesion of spores, germination, growth and vegetative reproduction. Jour. Shimoseki Coll. Fish. 5 : 1 - 87. MACLER, B.A. and J.A. WEST 1987. Life history, physiology of red alga, Gelidium coulterii, in unualgal culture. Aquaculture. 61 : 281 - 293. MAIRH, O.R and RAO, P.S. 1978. Culture studies on Gelidium pussilum (Stackh.) Le Jolis. Botanica Maarina. 21 : 169 174. MOURADI-GEVERNOUD, A.; T. GIVERNOUD; H. MORVAN and J. COSSON 1992. Agar from Gelidium latifolium (Rhodophyceae, Gelidiales) : Biochemical composition and seaseonal variations. Botanica Marina 35 : 153 - 159. REDDY, C.R.K.; MIGITA, S AND Y. YUJITA 1989. Protoplast isolation and regeneration of three species of Ulva in axenic culture. Botanica Marina 32:483 - 490. SANTELICES. B. 1988. Synopsis of biological data on seaweed genera Gelidium and Pterocladia (Rhodophyta). FAO Fish. Synop. (145): 55 p. SOEGIARTO. A.; SULISTIJO; W.S. ATMADJA dan H. MUBARAK 1978. Rumput Laut (Algae) : Manfaat, Potensi dan Usaha Budidayanya. Lembaga Oseanologi Nasional LIPI, Jakarta. V 61 hal. Sjafrie N.D.M. 1993. Studi tentang daur hidup Gelidium amansii (Rhodophyta) di dalam laboratorium. Paper yang disampikan pada Seminar Ilmiah Nasional Biologi XI di Ujungpandang, 20-21 Juli 1993: 14 h. 10 Oseana, Volume XXIV no. 3, 1999