5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KAJIAN TEORI 1. Tatalaksana Tuberkulosis a. Penemuan Kasus Tuberkulosis Penemuan kasus merupakan elemen penting dalam strategi DOTS. Penemuan kasus dipengaruhi oleh faktor individual (perilaku mencari pengobatan), sosial (akses menuju layanan kesehatan) dan biomedik (kapabilitas diagnostik) (Shargie et al., 2006). Deteksi kasus hanya dapat ditingkatkan dengan mengatasi keterlambatan dalam penemuan kasus. Keterlambatan dapat terjadi pada tingkat pasien atau sistem kesehatan. Keterlambatan sistem pelayanan kesehatan meliputi keterlambatan sistem kesehatan, diagnostik dan pengobatan (Courtwright et al., 2010). Metaanalisis oleh Li et al. tahun 2013 menunjukkan bahwa wanita cenderung mengalami keterlambatan diagnosis dibandingkan pria. Kecenderungan pasien untuk mengunjungi ahli pengobatan tradisional merupakan faktor risiko tertundanya diagnosis TB. Kurangnya pengetahuan pasien mengenai TB (gejala, cara penularan dan fasilitas pengendalian TB) menyebabkan tertundanya diagnosis TB. Stigma juga berhubungan dengan tertundanya diagnosis TB. Faktor dari sistem kesehatan yang menyebabkan tertundanya diagnosis TB antara lain akses menuju fasilitas kesehatan, keterbatasan sumber daya untuk melakukan penegakan diagnosis TB (seperti kurangnya fasilitas untuk pemeriksaan sputum dan foto toraks), kurangnya pengetahuan tenaga kesehatan mengenai TB dan kesalahan diagnosis. Umur bukanlah faktor penyebab keterlambatan diagnosis TB, pasien berusia lebih dari 60 tahun atau lebih tidak menunjukkan peningkatan risiko keterlambatan dibandingkan individu yang lebih muda (Li et al., 2013). diagnosis 6 Penemuan pasien bertujuan untuk mendeteksi kasus TB melalui serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap suspek TB, pemeriksaan fisik dan laboratorium, menentukan diagnosis dan menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten yang mampu melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan TB. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana pasien TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat (PDPI, 2011; Kemenkes RI, 2013b). Strategi penemuan kasus TB meliputi: 1) Passive case finding (PCF) Passive case finding merupakan kegiatan mendeteksi penyakit TB aktif di antara pasien simtomatik yang mendatangi layanan kesehatan (Golub et al., 2005). Penemuan pasien TB secara umum dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB. Pelibatan semua layanan dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan (Depkes RI, 2011; Tim Field Lab UNS, 2013). 2) Enhanced case finding (ECF) Enhanced case finding membuat populasi waspada akan gejala TB (melalui publisitas dan pendidikan) dan mendorong 7 populasi untuk mendatangi fasilitas kesehatan (Golub et al., 2005). Enhanced case finding menggunakan informasi kesehatan atau pendidikan untuk memberikan informasi tentang jenis perilaku mencari kesehatan yang sesuai ketika orang mengalami gejala TB. Jenis penemuan kasus ini dapat dikombinasikan dengan peningkatan akses ke layanan diagnostik (WHO, 2013b). 3) Active case finding (ACF) Active case finding menitikberatkan penemuan kasus TB dibandingkan menunggu individu bergejala TB datang memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan (Eang et al., 2012). Active case finding bertujuan untuk menghilangkan penghalang dalam deteksi kasus awal, salah satunya adalah keterlambatan individu mendatangi fasilitas kesehatan (Lorent et al., 2014). Active case finding dan ECF mengidentifikasi dan mendekatkan pengobatan pada individu dengan TB yang belum memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan. Active case finding dan ECF mendeteksi dan mengobati pasien TB lebih awal. Perbedaan utama antara ACF dan ECF adalah tingkat interaksi langsung dengan populasi target. Active case finding melibatkan kontak tatap muka dan evaluasi di tempat. Penemuan secara aktif pada masyarakat umum dinilai tidak cost efektif. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap (Depkes RI, 2011): a) Kelompok khusus yang rentan atau berisiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). b) Kelompok yang rentan tertular TB seperti di rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang hidup pada daerah kumuh serta keluarga atau kontak pasien TB terutama mereka yang dengan TB BTA (+). 8 c) Pemeriksaan terhadap anak di bawah lima tahun pada keluarga TB harus dilakukan untuk menentukan tindak lanjut apakah diperlukan pengobatan TB atau pegobatan pencegahan. d) Kontak dengan pasien TB resistan obat. 4) Intensified case finding (ICF) World Health Organization pada tahun 2004 merekomendasikan bahwa individu dengan HIV, kontak rumah tangga dan kelompok yang berisiko tinggi terjangkit HIV harus menjalani screening TB secara reguler di setiap saat mereka mendatangi layanan kesehatan (National AIDS Manual, 2013). Passive case finding melalui strategi DOTS tidak lagi dianggap sebagai respons adekuat terhadap kenaikan tingkat insidensi TB di dalam populasi epidemik HIV umum. Intensified case finding bertujuan untuk menyediakan deteksi kasus awal sehingga meningkatkan kesempatan kelangsungan hidup pada individu yang terinfeksi TB (Elden et al., 2011). Intensified case finding merupakan sebuah aktivitas yang direkomendasikan WHO yang bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan kasus TB sedini mungkin di antara individu dengan HIV yang biasanya menggunakan kuesioner sederhana mengenai tanda dan gejala TB. Intensified case finding bukan berarti menegakkan diagnosis TB namun ICF merupakan langkah awal menegakkan diagnosis (National AIDS Manual, 2013). Intensified case finding adalah screening reguler pada semua individu dengan HIV atau berisiko terinfeksi HIV untuk gejala dan tanda yang dilanjutkan segera dengan diagnosis dan pengobatan (Kranzer et al., 2010). World Health Organization telah merekomendasikan screening TB menggunakan serangkaian pertanyaan sederhana, namun kebijakan WHO tidak benar-benar menyebutkan apa saja 9 yang seharusnya ditanyakan. Tenaga kesehatan harus menanyakan pasien dengan HIV apakah mereka saat ini mengonsumsi obat anti tuberkulosis (OAT), jika tidak, gunakan checklist sederhana yang menanyakan apakah mereka memiliki gejala TB seperti batuk, demam, keringat malam, kehilangan berat badan, limfadenopati dan lain-lain. Jawaban positif menunjukkan bahwa pasien tersebut bisa jadi terjangkit TB dan harus mendapatkan evaluasi diagnostik untuk TB (atau dirujuk ke pusat pelayanan diagnosis TB). Sejumlah ahli mengeluhkan jika panduan itu terlalu ambigu dan merekomendasikan alat screening TB terstandardisasi pada individu dengan TB (National AIDS Manual, 2013). 5) Pelacakan Kontak Pelacakan kontak telah menjadi praktek standar selama berpuluh-puluh tahun di negara berpenghasilan tinggi dengan insidensi TB pada populasi umum rendah. Pelacakan kontak melibatkan penilaian klinik, foto toraks, evaluasi mikrobiologi sputum atau pemeriksaan untuk mendeteksi latent tuberculosis infection (LTBI), seperti tuberculin skin test (TST) atau interferon-γ release assay (IGRA). Pelacakan kontak mulai dikembangkan pada kondisi terbatasnya sumberdaya sebagai program nasional mencari metode baru untuk meningkatkan deteksi kasus (Fox et al., 2013a). Pengobatan adekuat dan follow-up dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat TB di antara individu yang baru saja terinfeksi sehingga mengurangi penularan selanjutnya. Strategi pelacakan kontak yang seragam belum dikembangkan. Salah satu strategi yang digunakan adalah prinsip stone-in-thepond yaitu stratregi yang mengkategorikan kontak sebagai risiko tinggi, sedang atau rendah berdasarkan penilaian kemungkinan 10 penularan (Duarte, 2011). Prinsip stone in the pond mengidentifikasi logis lingkaran kontak dengan mengurangi kedekatan kontak yang akan membentuk lingkaran yang konsentris. Pengujian dilanjutkan dari lingkaran dalam ke lingkaran luar sampai tidak lagi ditemukan hasil positif. Prinsip stone in the pond dapat dilihat pada gambar 1 (Goverment of Western Australia Departement of Health, 2012). Gambar 1. Prinsip Stone in the Pond (Goverment of Western Australia Departement of Health, 2012) b. Pengobatan Tuberkulosis Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat antituberkulosis (PDPI, 2011; WHO, 2013a). Banyak faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan TB antara lain kepatuhan, status sosial ekonomi penderita dan peran petugas kesehatan di pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas). Kepatuhan pengobatan TB merupakan hal yang sangat penting, namun masih banyak para penderita TB yang berhenti di tengah jalan karena 11 menganggap penyakitnya sudah sembuh. Hal ini dapat disebabkan karena pengetahuan yang masih kurang dan persepsi/cara memandang penyakit TB masih negatif (Pasek dkk., 2013). Kepatuhan pengobatan yang rendah disebabkan oleh kurangnya informasi maupun hambatan ekonomi dan sosial. Efek samping pengobatan juga mempengaruhi kepatuhan pengobatan pasien TB (CORE Group, 2008). Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) diperlukan untuk menjamin keteraturan pengobatan. Pengawas Menelan Obat sebaiknya adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat dan lain-lain. Pengawas Menelan Obat juga dapat berasal dari kader kesehatan, guru, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. Tugas seorang PMO antara lain mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur, mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan, memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2011; Lupitayanti dan Putra, 2012). Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut (PDPI, 2011): 1) Obat anti tuberkulosis harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OATKDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. 2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOTS) oleh seorang PMO. 3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap 12 hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. c. Indikator Keberhasilan Program Pengendalian Tuberkulosis Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan pengendalian TB digunakan beberapa indikator. Beberapa indikator keberhasilan program pengendalian TB secara Nasional antara lain (Depkes RI, 2011; Kemenkes RI, 2015): 1) Case Detection Rate (CDR) Case detection rate adalah prosentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan pada suatu populasi di wilayah tersebut. Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut. Target CDR nasional minimal 70 %. 2) Success Rate (SR) Success rate adalah prosentase kasus baru BTA positif yang sembuh plus pengobatan lengkap di antara kasus baru TB paru BTA positif yang diobati. Target SR nasional minimal 85 %. 2. Program Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia Tujuan program pengendalian TB nasional di Indonesia adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS dan memperhatikan strategi Global Stop TB partnership. World Health Organization mengembangkan strategi 13 pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS pada awal tahun 1990-an. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB kebal obat ganda (Kemenkes RI, 2013b; Depkes RI, 2011). Pengertian DOTS dapat diterapkan dalam kasus per kasus TB paru yaitu dimulai dari memfokuskan perhatian (direct attention) dalam usaha menemukan/mendiagnosis penderita secara baik dan akurat, utamanya melalui pemeriksaan mikroskopik. Setiap penderita harus diawasi (observed) dalam menelan obatnya yaitu obat ditelan didepan seorang pengawas, inilah yang dikenal sebagai DOTS (Pasek dkk., 2013). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu (Depkes RI, 2011): a. Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan. b. Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya. c. Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien. d. Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif. e. Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program. Tantangan pencapaian MDG di Indonesia cukup berat, salah satunya adalah prevalensi TB di Indonesia masih tinggi (Reviono dkk., 2013). Stop TB Partnership dan WHO mengembangkan Stop TB Strategy yang menyatukan strategi DOTS dalam suatu kerangka kerja yang menyertakan elemen lain yang penting bagi pencegahan, diagnosis dan pengobatan TB. The stop TB strategy dilihat pada tabel 1 (WHO, 2006). 14 Tabel 1. The Stop TB Strategy The Stop TB Strategy 1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS Komitmen politik dengan meningkatkan dan menyokong pendanaan Case detection melalui bakteriologi dengan kualitas terjamin Standardisasi pengobatan, dengan supervisi dan dukungan pasien Suplai obat-obatan yang efektif dan sistem manajemen Sistem pengawasan dan evaluasi, dan pengukuran dampak 2. Merespons masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya Implementasi aktivitas kerja sama TB/HIV Mencegah dan mengendalikan TB resisten obat Memperhatikan tahanan, pengungsi dan kelompok risiko tinggi lainnya 3. Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan Berpartisipasi aktif dalam usaha untuk memperbaiki kebijakan, pendanaan sumber daya manusia, pemberian pelayanan dan sistem informasi Membagikan inovasi yang memperkuat sistem Mengadaptasi inovasi dari bidang lain 4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan Pendekatan publik-publik dan public–private mix (PPM) International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) 5. Memberdayakan pasien dan masyarakat Advokasi, komunikasi dan mobilisasi sosial Partisipasi masyarakat dalam pelayanan TB Piagam pasien untuk pelayanan TB 6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian Penelitian operasional berdasarakan program Penelitian untuk mengembangkan diagnosis baru, obat-obatan dan vaksin Keterangan : TB: tuberkulosis, DOTS: Directly Observed Treatment Shortcourse, MDR: multi drugs resistance, HIV: human immunodeficiency syndromme. (WHO, 2006) Penerapan strategi DOTS di Indonesia pada awalnya hanya dilaksanakan di Puskesmas, seiring berjalannya waktu strategi DOTS mulai dikembangkan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) dan rumah sakit baik pemerintah maupun swasta. Hasil survei prevalensi TB tahun 2004 melaporkan bahwa pola pencarian pengobatan sebagian besar pasien TB ketika pertama kali sakit adalah rumah sakit sehingga mengikutsertakan rumah sakit untuk melaksanakan strategi DOTS 15 menjadi sesuatu yang penting yang memberikan kontribusi berarti terhadap upaya penemuan pasien TB. Upaya perluasan strategi DOTS ke rumah sakit merupakan tantangan besar bagi Indonesia dalam mengendalikan TB (Depkes RI, 2011). 3. Kader Kesehatan a. Definisi Kader Kesehatan Community health workers (CHW) adalah pembantu kesehatan masyarakat yang dipilih, dilatih dan bekerja di masyarakat. Definisi CHW harus memperhatikan norma-norma sosial dan budaya maupun adat istiadat setempat untuk memastikan penerimaan masyarakat. Community health workers di Indonesia dikenal dengan istilah kader kesehatan. Kader kesehatan merupakan anggota masyarakat di mana mereka bekerja, harus dipilih oleh masyarakat, bertanggung jawab kepada masyarakat, didukung oleh sistem kesehatan tetapi tidak harus menjadi bagian dari organisasi dan memiliki waktu pelatihan yang lebih singkat dibandingkan pekerja professional (WHO, 2007). Kader kesehatan adalah seorang yang karena kecakapannya atau kemampuannya diangkat, dipilih dan atau ditunjuk untuk memimpin pengembangan kesehatan disuatu tempat atau desa (Wahyudi, 2010). Kader kesehatan masyarakat merupakan anggota masyarakat yang menyediakan layanan terkait kesehatan di komunitas mereka (Perry and Zulliger, 2012). Kader adalah setiap orang yang dipilih oleh masyarakat dan dilatih untuk menangani masalah-masalah kesehatan perorangan atau masyarakat serta bekerja dalam hubungan yang amat dekat dengan tempat-tempat pemberian pelayanan kesehatan (WHO, 2007). Partisipasi aktif kader dalam program Community TB Care merupakan ujung tombak di lapangan (Amiruddin, 2013). Kader TB juga diharapkan dapat melakukan upaya promotif untuk mencegah 16 penularan ke masyarakat. Media yang diajarkan dalam upaya promotif yaitu (Arini, 2012): 1) Penyuluhan kelompok digunakan untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap kelompok masyarakat melalui berbagai metode dan media penyuluhan 2) Diskusi Kelompok (DK) digunakan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap kelompok masyarakat untuk menanggulangi masalah TB melalui diskusi kelompok 3) Kunjungan rumah digunakan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap agar keluarga mau berubah perilakunya sehubungan dengan TB 4) Konseling digunakan untuk membantu menggali alternatif pemecahan masalah TB dalam suatu keluarga. b. Pelatihan Kader Kesehatan Kader kesehatan sebelum melaksanakan tugasnya perlu mendapatkan pelatihan sehingga tujuan yang hendak dicapai dengan terbentuknya kader TB dapat terwujud, diantaranya peningkatan penjaringan suspek untuk meningkatkan CDR pada program pengendalian TB. Pelatihan tersebut diantaranya memberi pengetahuan pada kader TB tentang penyakit TB, gejalanya dan cara pencegahannya. Kader TB tersebut juga dilatih untuk melakukan penjaringan suspek melalui rujukan yang tersistem (Arini, 2012). Kader kesehatan harus dibina, dituntun serta didukung oleh para pembimbing yang lebih terampil dan berpengalaman (Wahyudi, 2010). Kader kesehatan mendapatkan pelatihan formal oleh sistem kesehatan atau program kesehatan. Pelatihan kader kesehatan biasanya hanya beberapa hari atau tidak lebih dari 6 bulan. Kader kesehatan tidak mendapatkan sertifikat profesional formal. Kader 17 kesehatan menerima gaji, insentif atau bekerja secara sukarela (Perry and Zulliger, 2012). c. Tugas Kader Kesehatan Tugas seorang kader kesehatan masyarakat sangat bervariasi dan berbeda-beda pula antara satu tempat di banding tempat lainnya atau antara satu negara dibandingkan negara lainnya (WHO, 2008). Kader kesehatan masyarakat melaksanakan kegiatan TB berbasis masyarakat yang bergantung pada konteks nasional dan lokal (WHO, 2013b). Kader merupakan kunci keberhasilan program peningkatan pengetahuan dan keterampilan bidang kesehatan dalam masyarakat (Trisnawati, 2008). Keberadaan kader di masyarakat dalam pengendalian kasus TB paru sangat strategis karena kader dapat berperan sebagai penyuluh, membantu menemukan tersangka penderita secara dini, merujuk penderita dan sekaligus pengawas menelan obat bagi penderita TB paru secara langsung. Kader juga mampu menghilangkan stigma sosial terkait TB (Ravichandran, 2004). Kader kesehatan masyarakat dapat menyediakan DOTS, berperan sebagai pendukung pengobatan, advokasi untuk meningkatkan program TB, berperan sebagai pendidik kesehatan dan melakukan kunjungan rumah. Mereka melakukan kunjungan dari pintu ke pintu untuk pelacakan kontak, penemuan kasus dan menindaklanjuti kasus putus berobat (CORE, 2013). Kader kesehatan ditugaskan untuk mendeteksi pasien bergejala dan memfasilitasi pengumpulan dahak di rumah, untuk memastikan kepatuhan pengobatan dan membantu pengobatan pasien di klinik kesehatan. Keterlibatan kader kesehatan dalam program berbasis masyarakat untuk deteksi kasus, kepatuhan pengobatan dan fasilitasi DOTS dapat meningkatkan tingkat penyelesaian pengobatan, 18 menyediakan akses pelayanan yang baik dan mengurangi beban biaya pasien dan keluarganya (Perry and Zulliger, 2012). 4. Konsep Pelacakan Household Contact a. Istilah dalam pelacakan kontak Pelacakan kontak untuk TB merupakan sebuah bentuk deteksi kasus aktif yang memerlukan evaluasi sistemik kontak dari pasien TB untuk menemukan penyakit aktif atau infeksi TB laten. Household contact sering dipilih untuk pelacakan kontak karena mereka mengalami pajanan berkepanjangan dan berbagi faktor risiko lingkungan dengan indeks kasus sehingga memiliki risiko infeksi TB terbesar (Fox et al., 2012). Pelacakan household contact adalah screening dan pengobatan anggota household dari seseorang yang terdiagnosis TB aktif (Kasaie et al., 2014). Definisi pasti untuk household contact belum ada. Definisi household contact adalah anggota keluarga maupun bukan anggota keluarga yang tinggal serumah dengan indeks kasus selama lebih dari 2 minggu dalam jangka waktu 3 bulan sebelum terdiagnosisnya indeks kasus (Jia et al., 2014). Definisi household bervariasi dan harus disesuaikan dengan konteks lokal. Di antara household terdapat tingkatan pajanan, mulai dari pemakaian tempat tidur yang sama dengan kasus indeks sampai bertempat tinggal pada halaman yang sama tapi tidak dalam ruangan tertutup yang sama. Hitungan jumlah pajanan, diperkirakan sebagai waktu yang dihabiskan bersama kasus indek, sangat subjektif. Untuk alasan ini, periode infeksius bagi kasus indeks ditetapkan pada 3 bulan sebelum permulaan pengobatan dibanding bergantung pada ingatan kasus indeks mengenai waktu dimulainya gejala. Periode 3 bulan merupakan panduan umum, periode infeksius yang pasti bisa lebih singkat atau lebih panjang (TB Care I, 2015). Beberapa istilah dalam pelacakan kontak menurut WHO dapat dilihat pada tabel 2 (WHO, 2012). 19 Tabel 2. Beberapa istilah dalam pelacakan kontak Istilah Kasus indeks (index case) Kontak Household contact Kontak dekat (Close contact) Pelacakan kontak Identifikasi dan prioritisasi kontak Evaluasi klinik kontak Definisi Kasus TB baru atau rekuren yang pertama teridentifikasi dari semua umur pada sebuah rumah tangga (household) spesifik atau kondisi serupa lainnya dimana seseorang berisiko terpajan. Seseorang yang telah terpajan dengan sebuah kasus indeks. Seseorang yang berbagi tempat tinggal tertutup yang sama selama satu malam atau lebih atau selama periode yang sering atau berkepanjangan pada siang hari selama 3 bulan sebelum permulaan dari episode pengobatan saat ini. Seseorang di luar household namun berbagi sebuah ruangan tertutup, seperti tempat berkumpul sosial, tempat kerja, selama periode waktu panjang pada siang hari dengan kasus indeks selama 3 bulan sebelum permulaan episode pengobatan saat ini. Sebuah proses sistematis ditujukan untuk mengidentifikasi kasus TB yang sebelumnya tidak terdiagnosis di antara kontak dari seorang kasus indeks. Pada beberapa keadaan, tujuannya juga menguji LTBI untuk mengidentifikasi kandidat untuk pengobatan preventif. Penyelidikkan kontak terdiri atas 2 kompenen, yaitu identifikasi dan prioritisasi kontak serta evaluasi klinik. Sebuah proses sistematis untuk mengidentifikasi kontak dengan TB atau kontak yang berisiko mengalami TB. Untuk tujuan rekomendasi ini, definisi identifikasi dan prioritisasi kontak termasuk wawancara dengan kasus indeks untuk mendapatkan nama dan usia kontak dan penilaian risiko kontak mengalami TB (biasanya berdasarkan adanya gejala yang sesuai dengan TB), untuk menentukan siapa saja yang memerlukan evaluasi klinik. Keterangan: semua kasus indeks harus dinilai dengan kriteria di atas untuk menentukan apakah pelacakan kontak harus dilakukan. Pelacakan kontak biasanya tidak dilakukan untuk kasus indeks dengan TB ekstraparu, kecuali anak usia <5 tahun. Pelacakan kontak untuk kasus indeks anak usia <5tahun dilakukan untuk mengidentifikasi kasus sumber.. Sebuah proses sistematik untuk diagnosis atau menyingkirkan TB aktif di antara kontak. Evaluasi klinik dilakukan jika hasil identifikasi dan prioritisasi kontak menunjukkan sebuah risiko mengalami TB. Untuk tujuan rekomendasi ini, definisi evaluasi 20 klinik kontak meliputi penilaian gejala yang sesuai TB. Keterangan: Tujuan pemeriksaan kontak adalah menemukan kasus TB yang sebelumnya belum terdiagnosis. Tujuan evaluasi klinik adalah untuk mendiagnosis atau menyingkirkan TB, dan pada beberapa keadaan, untuk mengidenifikasi dan mengobati LTBI. Pendekatan yang digunakan bergantung pada sumber daya dan keadaan, namun pada semua kondisi, kontak harus diwawancarai untuk menentukan apakah mereka memiliki gejala yang konsisten dengan TB, dan mereka harus dievaluasi lebih lanjut jika ditemukan gejala Keterangan: TB: tuberkulosis, LTBI: latent tuberculosis infection. (WHO, 2012) b. Tujuan Pelacakan Kontak Tujuan pelacakan kontak adalah diagnosis awal dan pengobatan kontak yang tertular penyakit sehingga memutuskan penularan dan mengurangi morbiditas dan mortalitas pada individu terpengaruh (Fox et al., 2012). Tujuan utama pelacakan kontak adalah mengidentifikasi kasus TB, dengan asumsi jika diagnosis bisa ditegakkan lebih awal akan meminimalisasi penularan di masyarakat dan perkembangan penyakit pada kasus yang baru saja ditemukan. Pelacakan kontak juga menemukan kandidat untuk pengobatan LTBI. Tujuan lain pelacakan kontak adalah penyelidik kontak dapat bertindak penghubung (liaison) utama antara layanan kesehatan dan pasien atau masyarakat pada umumnya. Penyelidik kontak juga mengidentifikasi isu lain yang mengganggu kepatuhan pengobatan pasien, maupun kebutuhan akan dukungan sosial tertentu (TB Care I, 2015). c. Panduan untuk Pelacakan Kontak American Thoracic Society (ATS) pada tahun 1976 mempublikasikan panduan singkat mengenai pelacakan, evaluasi diagnostik dan pengobatan kontak TB. Pelacakan kontak dan pengobatan kontak yang terinfeksi merupakan komponen penting dalam strategi pengendalian TB namun panduan nasional belum 21 pernah diperbarui sejak tahun 1976. The Centre for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2005 memperbarui panduan mengenai pelacakan pajanan TB, transmisi dan pencegahan kasus TB di masa depan melalui pelacakan kontak (CDC, 2005). The Centre for Disease Control and Prevention merekomendasikan identifikasi dan menawarkan pengobatan bagi semua close contact dari seseorang dengan TB aktif (Tornee et al., 2005). d. Pertimbangan dalam Melakukan Pelacakan Kontak The World Health Organization merekomendasikan pelacakan kontak di negara berpenghasilan rendah dan sedang pada dua populasi risiko tinggi yaitu anak usia <5 tahun dan individu yang terinfeksi HIV, atau saat indeks kasus memiliki karakteristik: TB paru dengan pengecatan sputum positif, multidrug-resistant TB (MDR-TB) atau extensively drug resistant TB (XDR-TB), infeksi HIV atau anak usia <5 tahun (WHO, 2012). Pelacakan kontak harus dipertimbangkan jika indeks pasien terkonfirmasi atau terduga memiliki TB paru, laringeal atau pleural. Pelacakan direkomendasikan jika pengecatan sputum mikroskopis menemukan BTA. Jika BTA tidak ditemukan pada 3 pemeriksaan sputum, pelacakan tetap direkomendasikan jika radiografi dada menunjukkan adanya kavitas di paru. Pelacakan kontak juga harus dipertimbangkan jika radiografi dada konsisten dengan TB paru. Peyelidikan kontak dari individu dengan BTA positif atau kultur positif dan TB kavitas disusun sebagai prioritas tertinggi. Waktu dimulainya pelacakan kontak bergantung pada ketersediaan sumber daya yang dialokasikan (CDC, 2005). Waktu terjadinya transmisi dalam hubungannya dengan pelacakan kontak masih belum jelas. Sebagian besar transmisi household mungkin terjadi sebelum pelacakan kontak sehingga pelacakan mungkin terlambat, sebaliknya pelacakan kontak mungkin 22 terjadi sebelum anggota household memiliki waktu cukup untuk mengalami TB aktif (Kasaie et al., 2014). e. Pelacakan Household Contact 1. Wawancara dan identifikasi kontak Saat pelacakan kontak dimulai, kasus indeks harus diwawancarai sesegera mungkin setelah diagnosis (biasanya dalam 1 minggu) untuk mendapatkan nama anggota household. Wawancara idealnya dilakukan oleh seseorang yang berbicara dengan bahasa yang sama dengan pasien indeks dan terbiasa dengan konteks sosial dan budaya. Jika pasien indeks sudah meninggal, pelacakan bisa dilakukan jika informasi dapat dikumpulkan dari anggota keluarga. Informasi yang diperoleh dari wawancara harus tercatat pada formulir terstandar (WHO, 2012). 2. Menentukan algoritma screening dan evaluasi klinik Algoritma yang tepat untuk screening kontak dan diagnosis TB harus dibuat. Uji screening membedakan orang dengan kemungkinan tinggi memiliki TB aktif dibandingkan mereka yang tidak mungkin memiliki TB aktif. Individu dengan uji screening positif akan menjalani evaluasi klinik dan uji diagnostik untuk mengkonfirmasi atau menyingkirkan TB. Uji screening yang biasa digunakan antara lain (TB Care I, 2015): - Screening untuk batuk yang berlangsung lebih dari 2 minggu - Screening untuk gejala yang sesuai dengan TB, termasuk batuk, hemoptisis, penurunan berat badan, demam, keringat malam. - Radiografi dada Uji diagnostik yang digunakan antara lain (TB Care I, 2015): - Pengecatan sputum mikroskopi - Kultur sputum - Uji molekular cepat, seperti Xpert MTB/RIF 23 Pemilihan algoritma screening untuk pelacakan kontak dipengaruhi oleh faktor berikut ini (TB Care I, 2015): a) Tujuan pelacakan kontak Diagnosis penyakit aktif saja dibandingkan identifikasi penyakit aktif dan LTBI memerlukan pendekatan screening yang berbeda. b) Model pelacakan kontak yang digunakan Ketersediaan dan kemudahan uji screening sangat ditentukan oleh tempat dilakukannya screening, sebagai contoh screening yang dilakukan oleh kader kesehatan di lapangan (rumah atau tempat kerja kasus indeks) akan lebih melibatkan screening gejala. Sementara screening yang dilakukan di fasilitas kesehatan akan melibatkan foto toraks atau uji lainnya. Uji diagnostik juga sangat ditentukan oleh kemampuan diagnostik fasilitas kesehatan lokal. c) Biaya Biaya meliputi biaya untuk pemeriksaan (peralatan, perbekalan, staf) maupun biaya operasional dalam melakukan screening. d) Akurasi dan hasil algoritma Pertimbangan harus memperhatikan sensitivitas (kemampuan untuk mendeteksi TB pada pasien dengan TB) dan spesivitas (kemampuan untuk menyingkirkan TB pada pasien tanpa TB) uji screening dan diagnostik yang digunakan. Karakteristik pemeriksaan akan menentukan proporsi kasus prevalen yang akan terdeteksi dan proporsi hasil positif palsu pada screening maupun evaluasi klinik sehingga memiliki dampak penting pada biaya pelacakan kontak. 24 3. Memilih model untuk pelacakan kontak Terdapat beberapa cara untuk melakukan pelacakan kontak, yaitu (WHO, 2012; TB Care I, 2015): a) Pelacakan kontak aktif - kunjungan rumah tangga Panduan WHO sangat menyarankan kunjungan rumah tangga (pelacakan kontak aktif) sebagai pendekatan yang paling bermanfaat. Kunjungan rumah tangga menyediakan pengecekan informasi yang didapat dari kasus indeks tentang jumlah orang yang tinggal serumah maupun struktur fisik dan sosial dari rumah. Kunjungan rumah tangga juga menumbuhkan hubungan yang lebih kuat antara petugas kesehatan, keluarga dan masyarakat. Pada pendekatan ini, seseorang yang melakukan pelacakan kontak harus mengunjungi rumah dari kasus indeks untuk mengidentifikasi household contact, melakukan wawancara dan mengembangkan daftar prioritas untuk evaluasi klinik. Semua orang bergejala, orang dengan infeksi HIV atau berisiko terinfeksi HIV dan anak-anak di bawah 5 tahun harus dirujuk untuk evaluasi klinik. Kunjungan rumah menekankan pentingnya identifikasi dan evaluasi kontak dan dapat memastikan pandangan akurat mengenai keadaan pajanan. Seorang visitor dapat membuat penilaian lingkungan dari tempat tinggal dan menyediakan konsultasi dan pendidikan mengenai gejala yang harus segera mendapat bantuan medis. Kunjungan rumah juga memberikan kesempatan untuk identifikasi kebutuhan dukungan sosial. b) Pelacakan kontak pasif - undangan kontak Jika kunjungan rumah tangga sulit dilaksanakan maka pendekatan lain yang bisa dilakukan adalah undangan kontak (pelacakan kontak pasif), dimana kontak diundang untuk mendatangi pusat layanan kesehatan oleh kasus indeks untuk 25 evaluasi. Modifikasi lain dari pendekatan ini adalah meminta kasus indeks untuk memberitahukan anggota rumah tangga agar mengunjungi pusat layanan kesehatan jika mereka mengalami gejala yang sesuai dengan TB. 4. Melakukan kunjungan rumah tangga Jika sumber daya manusia mencukupi, orang yang melakukan pelacakan kontak harus mengunjungi rumah kasus indeks untuk memastikan bahwa semua kontak diwawancarai dan dirujuk untuk evaluasi jika ada indikasi. Kunjungan rumah akan memungkinkan pandangan yang lebih akurat dari kondisi pajanan yang sebenarnya (WHO, 2012). Kunjungan rumah tangga sangat dianjurkan. Kunjungan harus sesegera mungkin dilaksanakan setelah kasus indeks teridentifikasi, idealnya dalam waktu satu minggu. Kunjungan harus dijadwalkan dan dilakukan pada saat sebagian besar anggota rumah tangga berada di rumah. Jika ditemukan individu bergejala, maka mereka harus dibawa ke pusat layanan kesehatan secepatnya, ditemani oleh kader kesehatan (TB Care I, 2015). Pelacakan kontak TB dapat dilihat pada gambar 2. 26 . Gambar 2. Pelacakan Kontak TB Keterangan: SS+: sputum smear positive; M/XDR-TB: multiple/extensive drug resistant tuberculosis; PLHIV: persons living with human immunodeficiency virus. * Bergantung pada kebijakan dan sumber daya. (TB Care I, 2015) 5. Pengawasan dan evaluasi Data mengenai pelacakan kontak harus dikumpulkan dalam format terstandar. Program pengendalian TB harus mengevaluasi efektivitas proses pelacakan kontak dan mengembangkan intervensi untuk memperbaiki pelaksanaan. Evaluasi berkelanjutan pada kasus aktif yang ditemukan dan individu dengan LTBI harus dilakukan untuk menentukan apakah intervensi menghasilkan hasil 27 yang diharapkan. Pengumpulan data untuk pelacakan kontak memiliki beberapa tujuan. Pengumpulan sistematik data akan memungkinkan analisis hasil pelacakan kontak secera keseluruhan dan untuk kelompok tertentu dan kondisi epidemiologis tertentu. Data yang dikumpulkan dalam formulir indikator pelayanan bermanfaat untuk evaluasi tujuan pelaksanaan program (TB Care I, 2015) 6. Persetujuan dan Kerahasiaan Mempertahankan kerahasiaan selama pelacakan kontak merupakan tantangan karena hubungan sosial di antara kasus indeks dan kontaknya. Kasus indeks dan kontaknya harus diperlakukan dengan hormat dan kerahasiaan harus dijaga. Panduan program yang ada harus menaati asas kerahasiaan dan persetujuan (WHO, 2012; TB Care I, 2015). 7. Susunan Kepegawaian dan Pelatihan Pelacakan kontak harus termasuk dalam aktivitas rutin dari program pengendalian TB. Pada kondisi dimana penyelidian kontak belum pernah dilakukan, tersedianya pegawai untuk melakukan fungsi pelacakan kontak akan memudahkan proses. Seseorang yang melaksanakan pelacakan kontak antara lain pekerja kesehatan, kader kesehatan atau mantan pasien TB. Pekerja kesehatan yang melakukan screening pada kasus indeks dan melakukan pelacakan kontak harus terbiasa dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat tempat mereka bekerja. Mereka harus dilatih mengenai pentingnya pelacakan kontak dalam pengendalian TB dan kemampuan wawancara, pengumpulan data maupun pentingnya follow-up dan pelaporan (WHO, 2012). Workshop pelatihan harus dilakukan bagi semua anggota staf yang ikut berperan dalam pelacakan kontak. Anggota staf yang telah memiliki pengalaman mengenai pelacakan kontak dapat 28 berperan serta dalam diskusi dan membuat masukan tentang bagaimana meningkatkan proses. Pelatihan akan lebih efektif jika memiliki fokus praktis, memberi kesempatan untuk berperan serta dan pengenalan aktivitas dan dokumentasi terkait program pelacakan kontak. Materi workshop pelatihan dapat dilihat pada tabel 3 (TB Care I, 2015). Tabel 3. Materi pelatihan a. Latar belakang dan alasan pelacakan kontak b. Penjelasan mengenai strategi lokal untuk pelacakan kontak: - Menggambarkan model pelacakan kontak dan algoritma untuk screening. - Mendiskusikan strategi untuk mengidentifikasi kontak risiko tinggi, berdasarkan faktor risiko klinik. - Mendiskusikan strategi untuk kunjungan rumah, membujuk kontak untuk menerima screening, termasuk peran serta dan diskusi kasus. - Memilih algoritma untuk follow-up dan pengobatan kontak dengan hasil abnormal. - Mendiskusikan bagaimana mengatasi hambatan partisipasi dalam screening. - Presentasi materi promosi kesehatan yang akan membantu staf membujuk kontak untuk berpatisipasi dalam screening. c. Pendekatan praktis untuk keberhasilan pelacakan kontak: - Menyajikan pelajaran dari penelitian sebelumnya yang dilakukan di negara setempat - Menyajikan studi kasus dari negara lainnya, jika dapat diterapkan d. Pengawasan dan evaluasi - Menjelaskan prosedur pelaporan dan pengawasan. e. Isu pendanaan dalam pelacakan kontak (TB Care I, 2015) B. KERANGKA TEORITIS Kerangka teoritis adalah dukungan dasar teoritis sebagai dasar pemikiran dalam rangka pemecahan masalah yang dihadapi peneliti. Kerangka teoritis adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pokok masalah yang 29 ada dalam penelitiannya. Kerangka teoritis penelitian dapat dilihat pada gambar 3. Individu dengan gejala TB Memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan Passive case finding Diagnosis TB BTA (+) Tertunda atau terlewatkannya diagnosis TB pada sebagian individu Temuan pasien TB paru BTA (+) rendah Tertundanya pengobatan TB Penularan TB di masyarakat tetap tinggi Faktor dari pasien: - Rendahnya pengetahuan tentang gejala TB - Stigma - Jenis kelamin wanita - Kecenderungan untuk mendatangi ahli pengobatan tradisional - Kemiskinan Faktor dari sistem kesehatan: - akses menuju fasilitas kesehatan - keterbatasan sumber daya untuk melakukan penegakan diagnosis TB - kurangnya pengetahuan tenaga kesehatan mengenai TB - kesalahan diagnosis. Gambar 3. Kerangka Teoritis Keterangan: TB: tuberkulosis, BTA: basil tahan asam C. KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN Kerangka konsep penelitian adalah dasar pemikiran dari penelitian yang disintesakan dari fakta-fakta, observasi dan telaah kepustakaan. Kerangka konsep memuat teori, dalil atau konsep-konsep yang dijadikan dasar dalam penelitian. Uraian dalam kerangka berpikir menjelaskan hubungan dan keterkaitan antara variabel penelitian yang dijelaskan secara mendalam dan 30 relevan dengan permasalahan yang diteliti sehingga dapat dijadikan dasar untuk menjawab permasalahan penelitian. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS. Penemuan pasien BTA positif pada strategi DOTS menggunakan metode PCF dengan promosi aktif. Banyak individu dengan TB aktif tidak mengalami gejala TB khas pada tahap awal penyakit. Passive case finding menyebabkan terlewatkannya atau tertundanya diagnosis TB pada sebagian orang sehingga temuan pasien TB BTA (+) masih rendah. Faktor lain yang mempengaruhi rendahnya temuan pasien TB BTA (+) adalah faktor dari pasien antara lain rendahnya pengetahuan tentang gejala TB, stigma, jenis kelamin wanita, kemiskinan, mendatangi ahli pengobatan tradisional dan faktor dari sistem kesehatan antara lain akses menuju fasilitas kesehatan, keterbatasan sumber daya untuk melakukan penegakan diagnosis TB, kurangnya pengetahuan tenaga kesehatan mengenai TB dan kesalahan diagnosis. Diperlukan strategi penemuan kasus baru untuk meningkatkan CDR TB paru, salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah pelacakan household contact dari pasien TB paru BTA (+). Penelitian ini bertujuan mengetahui peran pelacakan household contact dalam meningkatkan CDR TB paru dibandingkan metode passive case finding saja. Kerangka konseptual penelitian dapat dilihat pada gambar 4. 31 Individu dengan gejala TB Memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan Passive case finding Diagnosis TB BTA (+) Pelacakan household contact dari pasien TB paru BTA (+) Tertunda/terlewatkannya diagnosis TB pada individu di lingkungan sekitar pasien TB BTA (+) Temuan pasien TB paru BTA (+) meningkat Pengobatan TB meningkat Faktor dari pasien: - Rendahnya pengetahuan tentang gejala TB - Stigma - Jenis kelamin wanita - Kecenderungan untuk mendatangi ahli pengobatan tradisional - Kemiskinan Faktor dari sistem kesehatan: - akses menuju fasilitas kesehatan - keterbatasan sumber daya untuk melakukan penegakan diagnosis TB - kurangnya pengetahuan tenaga kesehatan mengenai TB - kesalahan diagnosis. Penularan TB di masyarakat menurun Gambar 4. Kerangka konseptual penelitian Keterangan: : Area Penelitian. : Bukan Area Penelitian. TB: tuberkulosis, BTA: basil tahan asam 32 D. HIPOTESIS Berdasarkan kerangka berpikir diatas diajukan hipotesis kerja penelitian sebagai berikut: 1. Terdapat peran pelacakan household contact oleh kader kesehatan dalam meningkatkan case detection rate TB dibandingkan metode passive case finding saja.