EMISI GAS CO2, CH4 DAN PERTUMBUHAN SERTA PRODUKSI TANAMAN PADI DI LAHAN GAMBUT AKIBAT PEMBERIAN BERBAGAI RASIO AMELIORAN DAN ZPT ALAMI Ali Alatas1, Nelvia2 dan M. Amrul Khoiri2 Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Riau ABSTRACT This research aimed to learned the capability some of amelioran ratio and application natural PGR on the rice crop in peatlands to increased the growth and production and also pressed emision gas CO2 and CH4. This research has done in peatlands in Tanjung Air Hitam village, Pelalawan, from August 2012 until February 2013. This research has done experimentally used split plot design. The main plot was natural PGR from banana stump (Z1) and bamboo shoot (Z2). The subplot was amelioran ratio {dregs and compost of Oil Palm Empty Fruit Bunch (OPEFB)}, with 3 level treatment, there are 1:4 (dregs 1,25 ton/ha : 5 ton/ha OPEFB compost); 1:2 (dregs 2,5 ton/ha : 5 ton/ ha OPEFB compost) and 1:1 (dregs 5 ton/ ha : 5 ton/ ha OPEFB compost). In this research was got 6 combination with 3 replication. The result showed commonly application amelioran ratio 1:4 with PGR from banana stump inclined produced the result of maximum tillers, productive tillers, volume root, dry weight straw and the highest production and the highest emision gas CO2 and CH4, either vegetative and generative phase. The lowest emision gas CO2 and CH4 were in application 1:1 amelioran ratio with PGR from bamboo shoot, either vegetative and generative phase. Keywords: amelioran, natural PGR, rice, peatland, emision gas CO2 and CH4. PENDAHULUAN Salah satu upaya untuk mencapai ketahanan pangan nasional adalah dengan peningkatan produksi pangan terutama beras. Salah satu peluang peningkatan produksi beras adalah pendayagunaan lahan gambut yang berpotensi besar untuk perluasan areal pertanaman padi sawah. Total luas lahan gambut di Indonesia yaitu 14.905.574 ha yang tersebar di 3 pulau utama Indonesia yaitu Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan gambut terluas terdapat di pulau Sumatera yaitu 6.436.649 ha dan khusus di Provinsi Riau luas lahan gambut yaitu 3.867.413 ha (BB Litbang SDLP, 2011). Pemanfaatan gambut untuk lahan budidaya pertanian memiliki berbagai masalah, seperti pH rendah, kejenuhan basa yang rendah, kekurangan unsur hara makro maupun mikro, dan tingginya kadar asam-asam organik terutama asam fenolat yang bersifat meracun bagi tanaman. Selain itu pemanfaatan hutan gambut menjadi bentuk penggunaan lain yang diikuti dengan pembuatan saluran drainase di daerah tropika akan menyebabkan kehilangan karbon dan berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim (Rieley et al., 2008). Pemilihan bahan amelioran yang kaya unsur hara dan mampu menekan emisi karbon serta tersedia dalam jumlah besar setiap saat di Riau perlu menjadi 1. Mahasiswa Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Riau 2. Staf Pengajar Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Riau pertimbangan untuk mengatasi kedua hal tersebut. Bahan tersebut adalah dregs dan kompos tandan kosong kelapa sawit (TKKS). Menurut Nelvia et al. (2010), dregs mengandung hara makro yaitu P2O5 0,20%; K2O 0,31%; CaO 41,38%; MgO 2,39 %; S 0,72%; dan Na 2,6%, serta unsur hara mikro Fe 5000 ppm, Mn 989 ppm, Cu 127 ppm dan Zn 224 ppm. Sedangkan menurut Darmosarkoro et al. (2000), kompos TKKS mengandung hara makro yaitu 42,8% C; 2,90% K2O; 0,8% N; 0,22% P2O5; 0,30% MgO dan beberapa hara mikro seperti B 10 ppm, Cu 23 ppm, dan Zn 51 ppm. Walaupun lahan gambut telah diberi bahan amelioran yang banyak mengandung hara makro dan mikro, namun untuk memacu pertumbuhan serta perkembangan tanaman padi menjadi lebih baik maka diberi zat pengatur tumbuh (ZPT). ZPT dapat diperoleh dari bahan-bahan alami seperti bonggol pisang dan rebung. Menurut Tamiang (2010) ekstrak bonggol pisang mengandung hormon sitokinin dan rebung mengandung hormon giberelin. Pemberian dregs dan kompos TKKS tidak hanya meningkatkan kesuburan tanah gambut, tetapi juga ikut menekan emisi CO2 dan CH4 dari lahan gambut. Dregs maupun kompos TKKS mengandung kation polivalen seperti Fe, Mn, Cu, dan Zn yang mampu berikatan dengan asam-asam organik dari lahan gambut membentuk ikatan kompleks (khelat). Pembentukan kompleks tersebut dapat menyebakan gambut lebih tahan terhadap proses dekomposisi, yang akhirnya dapat turut menekan pelepasan gas CO2 dan CH4 ke atmosfir (Sabiham dan Sulistyono, 2000). BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di lahan gambut tingkat pelapukan saprik dengan kedalaman 60 cm berada di Desa Tanjung Air Hitam, Kerumutan, Pelalawan – Riau, dari Agustus 2012 sampai Februari 2013. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih padi lokal, bonggol pisang dan rebung sebagai sumber ZPT alami, dregs, kompos TKKS serta pupuk Urea, TSP dan KCl sebagai pupuk dasar. Alat yang digunakan adalah Chamber dan Gas Cromatografi (GC) untuk mengukur emisi CO2 dan CH4. Penelitian ini dilakukan secara eksperimen menggunakan rancangan petak terbagi yang disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL). Petak utama adalah ZPT alami asal bonggol pisang (Z1) dan rebung (Z2), masing-masing dengan takaran 100ml/plot. Anak petak adalah rasio amelioran (dregs dan kompos TKKS), terdiri dari 3 taraf perlakuan yaitu 1:4 (dregs 1,25 ton/ha : kompos TKKS 5 ton/ha); 1:2 (dregs 2,5 ton/ha : kompos TKKS 5 ton/ha) dan 1:1 (dregs 5 ton/ha : kompos TKKS 5 ton/ha). Dengan demikian didapatkan 6 kombinasi perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Anova dan dilanjutkan dengan DMRT pada taraf 5%. Tanah diolah dengan mencangkul dan dibuat plot perlakuan dengan ukuran 2 m x 3 m sebanyak 18 plot. Dregs dan kompos TKKS ditimbang sesuai perlakuan, lalu dicampur secara merata dan dibiarkan selama 2 minggu. Amelioran yang telah disiapkan tersebut diberi di setiap plot sesuai perlakuan dan diinkubasi selama 1 minggu di lahan penelitian, setelah itu baru dilakukan penanaman padi dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm. ZPT alami diberi melalui daun dengan cara disemprot pada umur 5 minggu setelah tanam. Parameter yang diamati adalah jumlah anakan maksimum, jumlah anakan produktif, volume akar, berat kering jerami, produksi per plot, dan emisi gas CO2 dan CH4. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Kimia Tanah Gambut Tanah Gambut yang digunakan adalah tanah gambut tingkat pelapukan saprik dengan kedalaman 60 cm yang berada di Desa Tanjung Air Hitam, Pelalawan. Hasil analisis pendahuluan terhadap sifat kimia tanah gambut tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah Gambut Desa Tanjung Air Hitam, Pelalawan. Ciri Kimia Hasil Analisis Kriteria* pH (1:5) H2 O 4,0 Sangat masam KCl 3,3 Sangat masam Bahan Organik C (%) 29,80 Sangat tinggi N (%) 1,14 Sangat tinggi C/N 26 Sangat tinggi HCl 25% 42 Tinggi P2O5 (mg/100 g) K2O (mg/100 g) 40 Sedang P-Bray 1 (ppm) 41,5 Sangat tinggi Nilai Tukar Kation Ca (cmol/kg) 4,82 Rendah Mg (cmol/kg) 1,74 Sedang K (cmol/kg) 0,77 Tinggi Na (cmol/kg) 0,75 Sedang KTK (cmol/kg) 47,70 Sangat tinggi KB (%) 17 Sangat rendah Keterangan : Analisis sifat kimia tanah gambut di Balai Penelitian Tanah – Bogor (2013) *Kriteria sifat kimia tanah menurut Staf Pusat Penelitian Tanah 1983 Tabel 1 menunjukkan bahwa hasil analisis pendahuluan terhadap sifat kimia tanah gambut Desa Tanjung Air Hitam Kecamatan Kerumutan Kabupaten Pelalawan berdasarkan kriteria sifat kimia tanah Staf Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Hardjowigeno (2003) memiliki nilai pH H2O sangat masam yaitu 4,0. Hal ini disebabkan oleh kandungan asam-asam organik dan ion hidrogen dapat dipertukarkan (H-dd) yang tinggi dalam tanah gambut. Kandungan asamasam organik yang tinggi pada tanah gambut menyebabkan pH tanah gambut rendah. Kandungan C-organik dan N-maksimum tergolong tinggi yaitu masingmasing 29,80% dan 1,14 %. Hal ini berkaitan erat dengan bahan penyusun utama tanah gambut yang berupa sisa-sisa tumbuhan dan pohon berkayu yang telah mati. Dari hasil analisis, nisbah C/N tanah gambut yang digunakan dalam penelitian ini juga tergolong tinggi yaitu 26%. Nisbah C/N mencerminkan N tersedia bagi tanaman. Tingginya nisbah C/N menyebabkan N tersedia kurang bagi tanaman. Berdasarkan kriteria Staf Pusat Penelitian Tanah 1983, tanah gambut dengan P eskstrak Bray I yaitu 41,5 ppm adalah tergolong tinggi. Tanah gambut di Desa Tanjung Air Hitam, Kerumutan ini telah lama diusahakan sebagai lahan pertanian. Menurut Rachim (1995) lamanya pengusahaan lahan dapat meningkatkan P terekstrak Bray I, peningkatan ini berkaitan dengan dekomposisi dan mineralisasi bahan organik, sehingga unsur P menjadi terlepas. Kation-kation basa tersedia (Ca, Mg, Na, K) tergolong rendah, sedang dan tinggi dan diikuti oleh Kejenuhan Basa (KB) yang sangat rendah serta nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang sangat tinggi. Nilai KB yang rendah akan menyebabkan ketersediaan hara di dalam tanah gambut rendah sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman. Kontribusi yang besar bagi tingginya nilai KTK tanah gambut berasal dari asamasam organik dengan gugus karboksil (-COOH) dan gugus fenol (-OH). Jumlah Anakan Maksimum dan Anakan Produktif Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian rasio amelioran yang berbeda menghasilkan jumlah anakan maksimum dan anakan produktif berbeda tidak nyata baik dengan pemberian ZPT asal bonggol pisang maupun rebung, namun rasio amelioran 1:4 diikuti ZPT asal bonggol pisang memberikan jumlah anakan maksimum dan anakan produktif lebih banyak dibandingkan dengan rasio amelioran yang lebih besar pada ZPT yang sama, maupun dengan rasio amelioran 1:4, 1:2, dan 1:1 pada ZPT asal rebung. Pemberian amelioran dengan rasio 1:4 dapat menyuplai unsur hara dalam jumlah yang cukup dan seimbang, diikuti dengan ZPT asal bonggol pisang yang mengandung hormon sitokinin mendorong pertumbuhan anakan maksimum padi menjadi lebih baik. Sesuai dengan pendapat Salisbury dan Ross (1995) sitokinin berperan untuk memacu pembelahan sel dan pembentukan organ tanaman. Tabel 2. Jumlah anakan maksimum dan anakan produktif tanaman padi di lahan gambut yang diaplikasikan berbagai rasio amelioran pada pemberian ZPT asal bonggol pisang dan rebung. Rasio Amelioran Jumlah Anakan Jumlah Anakan ZPT (dregs : kompos TKKS) Maksimum (batang) Produktif (batang) (ton/ha) 1 : 4 (1,25 : 5) 31,67a 20,67a Bonggol 1 : 2 (2,5 : 5) 21,33a 19,67a Pisang 1 : 1 (5 : 5) 27,00a 19,00a Rebung 1 : 4 (1,25 : 5) 1 : 2 (2,5 : 5) 1 : 1 (5 : 5) 21,33a 23,00a 26,67a 19,00a 13,33a 18,67a Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama berarti berbeda tidak nyata menurut uji lanjut perbandingan berganda Duncan pada taraf 5%. Menurut Rasyad (1997) semakin banyak jumlah anakan maksimal yang terbentuk, maka semakin berpotensi pula jumlah anakan produktif yang dihasilkan. Pemberian rasio amelioran yang lebih besar mengganggu keseimbangan hara dan menghambat pertumbuhan anakan maksimum padi. Dimana dregs maupun kompos TKKS mengandung Ca, terutama kandungan Ca pada dregs yang sangat tinggi. Oleh karena itu, baik di koloid maupun larutan akan didominasi oleh kation Ca, sehingga menyebabkan kation-kation lain terutama yang bervalensi satu seperti kalium menjadi berkurang dalam kompleks jerapan akar. Haby et al. (1990) menyatakan unsur Ca dan K dalam tanah bersifat antagonistik, sehingga pemberian ke dua unsur tersebut harus proporsional dengan nisbah Ca/K sekitar 13/1, jika nisbah Ca/K > 13/1 maka tanaman dapat kahat unsur K, dan sebaliknya. Menurut Hardjowigeno (2003) fungsi kalium adalah membantu pembentukan protein dan translokasi hasil fotosintat, serta biokatalisator berbagai reaksi metabolisme dalam tanaman. Oleh karena itu, kekurangan kalium dapat menyebabkan pertambahan jumlah anakan maksimum serta anakan produktif ikut terhambat pula. Volume Akar (ml) Tabel 3 menunjukkan bahwa pemberian amelioran dengan rasio 1:4 menghasilkan volume akar berbeda nyata dibandingkan dengan rasio 1:2 dan 1:1 pada pemberian ZPT asal bonggol pisang, sedangkan pada pemberian ZPT asal rebung, rasio amelioran 1:4 menghasilkan volume akar berbeda tidak nyata dibandingkan dengan rasio amelioran 1:2 dan 1:1. Pemberian amelioran dengan rasio 1:4 menghasilkan volume akar paling besar dibandingkan dengan rasio 1:2 dan 1:1 pada ZPT asal bonggol pisang . Pola yang sama terlihat pada ZPT asal rebung, namun volume akarnya lebih rendah dibandingkan dengan pemberian ZPT asal bonggol pisang. Tabel 3. Volume akar tanaman padi di lahan gambut yang diaplikasikan berbagai rasio amelioran dengan pemberian ZPT asal bonggol pisang dan rebung. Rasio Amelioran Volume Akar ZPT (dregs : kompos TKKS) (ml) (ton/ha) 1 : 4 (1,25 : 5) 366,67a Bonggol Pisang 1 : 2 (2,5 : 5) 236,67b 1 : 1 (5 : 5) 206,67b Rebung 1 : 4 (1,25 : 5) 1 : 2 (2,5 : 5) 1 : 1 (5 : 5) 296,67ab 173,33b 226,67b Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama berarti berbeda tidak nyata menurut uji lanjut perbandingan berganda Duncan pada taraf 5%. Pemberian amelioran dengan rasio 1:4 lebih menjamin keseimbangan hara bagi perkembangan akar, diikuti dengan pemberian ZPT asal bonggol pisang yang mengandung hormon sitokinin mendorong perkembangan akar menjadi lebih baik. Sitokinin berperan dalam pembelahan sel, menaikkan tingkat mobilitas unsur-unsur dalam tanaman dan sintesis pembentukkan protein akan meningkat dengan pemberian sitokinin (Salisbury dan Ross, 1995). Pemberian rasio amelioran yang lebih tinggi menghambat pertumbuhan dan perkembangan akar. Pemberian rasio amelioran yang semakin besar akan menyumbangkan kation Ca terutama dari dregs, sehingga di koloid maupun larutan tanah didominansi oleh kation Ca. Hal ini menyebabkan hara lain menjadi kalah bersaing dalam menempati kompleks jerapan akar. Salah satu unsur hara yang terhambat penyerapannya adalah unsur hara kalium. Haby et al. (1990) menyatakan unsur Ca dan K dalam tanah bersifat antagonistik, sehingga pemberian ke dua unsur tersebut harus proporsional dengan nisbah Ca/K sekitar 13/1, jika nisbah Ca/K > 13/1 maka tanaman dapat kahat unsur K. Kalium berfungsi dalam translokasi karbohidrat dan aktivator berbagai enzim (Hardjowigeno, 2003). Oleh karena itu, apabila serapan K terganggu maka perkembangan tanaman juga terganggu dan berakibat pada perkembangan akar. Disisi lain, terjadi jerapan unsur P oleh Ca, mengakibatkan P menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Menurut Hardjowigeno (2003) pada tanah yang mengandung Ca tinggi, P tidak dapat diserap tanaman karena dijerap oleh Ca, padahal P berperan dalam perkembangan akar tanaman. Terganggunya serapan P mengakibatkan perkembangan akar menjadi kurang baik dan akhirnya volume akar yang diukur pun menurun. Berat Kering Jerami (g) Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberian rasio amelioran yang berbeda menghasilkan berat kering jerami berbeda tidak nyata baik dengan pemberian ZPT asal bonggol pisang maupun rebung, namun rasio amelioran 1:4 diikuti ZPT asal bonggol pisang menghasilkan berat kering jerami tertinggi dibandingkan dengan rasio 1:2 dan 1:1 pada ZPT yang sama, maupun dengan rasio 1:4, 1:2 dan 1:1 pada ZPT asal rebung. Tabel 4. Berat kering jerami tanaman padi di lahan gambut yang diaplikasikan berbagai rasio amelioran dengan pemberian ZPT asal bonggol pisang dan rebung. Rasio Amelioran Berat Kering Jerami ZPT (dregs : kompos TKKS) (g) (ton/ha) 1 : 4 (1,25 : 5) 224,32a Bonggol Pisang 1 : 2 (2,5 : 5) 144,31ab 1 : 1 (5 : 5) 219,39a Rebung 1 : 4 (1,25 : 5) 1 : 2 (2,5 : 5) 1 : 1 (5 : 5) 161,02ab 126,50ab 118,79b Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama berarti berbeda tidak nyata menurut uji lanjut perbandingan berganda Duncan pada taraf 5%. Hal ini erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan fase vegetatif tanaman padi seperti jumlah anakan dan volume akar. Pemberian ZPT asal bonggol pisang yang mengandung hormon sitokinin mendorong pertumbuhan anakan dan akar padi menjadi lebih baik. Sesuai dengan pendapat Salisbury dan Ross (1995) sitokinin berperan untuk memacu pembelahan sel dan pembentukan organ tanaman. Pertumbuhan akar yang baik akan berakibat baik pada pertumbuhan dan perkembangan anakan padi yang pada akhirnya meningkatkan berat kering jerami. Pemberian rasio amelioran yang lebih tinggi dari 1:4 menyebabkan jumlah anakan maksimum dan volume akar menjadi turun, baik dengan pemberian ZPT asal bonggol pisang maupun rebung (Tabel 3 dan 5). Hal ini menyebabkan berat kering jerami padi yang terukur menjadi rendah. Produksi per Plot (g/6 m2) Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian rasio amelioran yang berbeda menghasilkan produksi per plot berbeda tidak nyata baik dengan pemberian ZPT asal bonggol pisang maupun rebung, namun pemberian rasio amelioran 1:4 diikuti ZPT asal bonggol pisang menghasilkan produksi per plot tertinggi dibandingkan dengan rasio amelioran 1:2 dan 1:1 pada ZPT yang sama maupun dengan rasio amelioran 1:4, 1:2 dan 1:1 pada ZPT rebung. Apabila produksi per plot dikonversi ke hektar, maka dengan pemberian rasio amelioran 1:4 diperoleh hasil sebesar 6,43 ton/ha pada ZPT asal bonggol pisang dan 3,28 ton/ha pada ZPT asal rebung. Tabel 5. Produksi tanaman padi di lahan gambut yang diaplikasikan berbagai rasio amelioran dengan pemberian ZPT asal bonggol pisang dan rebung. Rasio Amelioran Produksi per Plot ZPT (dregs : kompos TKKS) (g/6 m2) (ton/ha) 1 : 4 (1,25 : 5) 3858.4a Bonggol Pisang 1 : 2 (2,5 : 5) 1953.1ab 1 : 1 (5 : 5) 1736.4ab Rebung 1 : 4 (1,25 : 5) 1 : 2 (2,5 : 5) 1 : 1 (5 : 5) 1965.2ab 1711.9ab 1456.4b Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama berarti berbeda tidak nyata menurut uji lanjut perbandingan berganda Duncan pada taraf 5%. Peningkatan produksi tanaman padi tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi pada fase vegetatif berupa peningkatan jumlah anakan dan volume akar. Pemberian rasio amelioran 1:4 dengan ZPT asal bonggol pisang menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan jumlah anakan maksimum maupun produktif serta volume akar yang terbaik (Tabel 3, 4 dan 5). Rasio amelioran 1:4 dapat menyuplai unsur hara dalam jumlah yang cukup dan seimbang. ZPT asal bonggol pisang yang mengandung hormon sitokinin mendorong pertumbuhan anakan maksimum dan volume akar padi serta memacu pembentukan anakan produktif menjadi lebih baik. Pemberian rasio amelioran yang lebih besar mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan jumlah anakan maksimum maupun produktif serta volume akar menjadi kurang baik. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi tanaman padi tergganggu dan pada akhirnya produksi padi yang didapat pun berkurang. Emisi Gas CO2 (mg/m2/jam) Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa walaupun secara statistik pemberian berbagai rasio amelioran menghasilkan emisi CO2 berbeda tidak nyata pada pemberian ZPT asal bonggol pisang dan rebung baik fase vegetatif maupun generatif, namun kenyataannya terjadi penurunan emisi CO2 yang sangat besar dengan semakin besar rasio amelioran yang diberikan. Gambar 1. Emisi gas CO2 dari pertanaman padi di lahan gambut pada fase vegetatif yang diaplikasikan berbagai rasio amelioran dan ZPT alami. *Keterangan : F1 = 1:4; F2 = 1:2; F3 = 1:1 Gambar 2. Emisi gas CO2 dari pertanaman padi di lahan gambut pada fase generatif yang diaplikasikan berbagai rasio amelioran dan ZPT alami. *Keterangan : F1 = 1:4; F2 = 1:2; F3 = 1:1 Pada fase vegetatif peningkatan rasio amelioran dari 1:4 menjadi 1:2 dan 1:1 mampu menurunkan emisi CO2 masing-masing sebesar 46,55% dan 62,14% dengan pemberian ZPT asal bonggol pisang serta sebesar 42,77% dan 83,48% dengan pemberian ZPT asal rebung. Sedangkan pada fase generatif penurunannya masing-masing sebesar 65,97% dan 92,28% dengan pemberian ZPT asal bonggol pisang serta sebesar 74,39% dan 93,07% dengan pemberian ZPT asal rebung. Terjadinya penurunan tersebut karena adanya kontribusi kation polivalen seperti Fe, Mn, Cu, dan Zn baik dari dregs maupun kompos TKKS. Peranan kation polivalen tersebut adalah bereaksi dengan asam-asam organik dari tanah gambut membentuk ikatan kompleks/khelat sehingga kehilangan karbon dalam bentuk emisi gas CO2 dapat ditekan (Sabiham dan Sulistyono, 2000). Emisi Gas CH4 (mg/m2/jam) Gambar 3 dan 4 menunjukkan bahwa secara statistik pemberian berbagai rasio amelioran menghasilkan emisi CH4 berbeda tidak nyata pada pemberian ZPT asal bonggol pisang dan rebung baik fase vegetatif maupun generatif, namun semakin besar rasio amelioran yang diberikan maka semakin besar penurunan emisi CH4. Gambar 3. Emisi gas CH4 dari pertanaman padi di lahan gambut pada fase vegetatif yang diaplikasikan berbagai rasio amelioran dan ZPT alami. *Keterangan : F1 = 1:4; F2 = 1:2; F3 = 1:1 Gambar 4. Emisi gas CH4 dari pertanaman padi di lahan gambut pada fase generatif yang diaplikasikan berbagai rasio amelioran dan ZPT alami. *Keterangan : F1 = 1:4; F2 = 1:2; F3 = 1:1 Pada fase vegetatif peningkatan rasio amelioran dari 1:4 menjadi 1:2 dan 1:1 mampu menurunkan emisi CH4 masing-masing sebesar 17,11% dan 11,61% dengan pemberian ZPT asal bonggol pisang serta sebesar 39,03% dan 90,95% dengan pemberian ZPT asal rebung, sedangkan pada fase generatif penurunannya masing-masing sebesar 73,99% dan 53,95% dengan pemberian ZPT asal bonggol pisang serta sebesar 25,04% dan 92,98% dengan pemberian ZPT asal rebung. Penurunan emisi CH4 ini terjadi karena adanya sumbangan kation-kation polivalen seperti Fe, Cu, Mn dan Zn dari amelioran dregs maupun kompos TKKS. Kation-kation polivalen tersebut bersifat sebagai oksidan (electron akseptor) dan bereaksi dengan asam-asam organik dari tanah gambut membentuk ikatan kompleks/khelat dengan kekuatan dan kestabilan yang tinggi (Saragih,1996). Pembentukan ikatan kompleks tersebut dapat menyebabkan gambut lebih tahan terhadap proses dekomposisi, sehingga dapat menekan pembentukan CH4. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa secara umum rasio amelioran 1:4 diikuti ZPT asal bonggol pisang cenderung menghasilkan jumlah anakan maksimum, anakan produktif, volume akar, berat kering jerami, dan produksi padi tertinggi serta emisi gas CO2 dan CH4 yang tinggi, baik pada fase vegetatif maupun generatif. Emisi gas CO2 dan CH4 terendah diperoleh pada pemberian rasio amelioran 1:1 diikuti ZPT asal rebung, baik pada fase vegetatif maupun generatif. Saran Dari hasil penelitian di atas, sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan (tahap kedua) untuk mendapatkan rasio amelioran dregs dan kompos TKKS yang tepat dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi, namun dapat menekan emisi CO2 dan CH4 pada tanah gambut. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2002. Sifat Kimia Tanah Gambut dalam Pot yang diberi Raw Mix Semen dan Mikroorganisme Efektif M-Bio. http://www.hasilpenelitian.org. Diakses pada Tanggal 17 Februari 2013. BB Litbang SDLP. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia. Edisi Desember 2011. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta. Darmosarkoro, Witjaksana., E. S. Sutarta dan Erwinsyah. 2000. Pengaruh Kompos Tandan Kosong Sawit Terhadap Sifat Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit, Volume 8(2) : 107-122. Haby, V.A., M.P. Russelle, and Earl O. Skogley. 1990. Testing soils for potassium, calcium, and magnesium. p.181-221. In R.L. Westerman (Ed.). Soil Testing and Plant Analysis. Third Edition. Soil Science Society of America, Madison, Wisconsin. Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika pressindo. Jakarta. 286 hal. Nelvia, Rosmimi, dan J. Sinaga, 2010. Pertumbuhan dan Produksi Jagung Manis (Zea mays var saccharata Sturt) pada Tanah Gambut yang diaplikasikan Amelioran Dregs dan Fosfat Alam. Universitas Riau. Pekanbaru. Prawiranata, W., S. Harran, dan P. Tjondronegoro. 1995. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. FMIPA-IPB, Bogor. Rachim, a. 1995. Penggunaan kation-kation polivalen dalam kaitannya dengan ketersediaan fosfat untuk meningkatkan produksi jagung pada tanah gambut. Disertasi Doctor. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Rasyad, A.1997. Keragaman sifat varietas padi gogo lokal di Kabupaten Kampar Riau. Lembaga Penelitian Universitas Riau. Pekanbaru Rieley, J.O. 2008. Tropical peatlands, carbon stores, carbon gas emissions and contribution to climate change processes. Pp. 148-181. In M. Strack (ed.) Peatlands and Climate Change. IPS. Saarijärvi Sabiham, S dan Sulistyono NBE. 2000. Kajian Beberapa Sifat Inheren dan Perilaku Gambut: Kehilangan Karbondioksida (CO2) dan Metan (CH4) Melalui Proses Reduksi-Oksidasi. J. Tanah Tropika. 10:127-135. Salisbury, F. B dan Ross, C. W. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 1. Penerbit ITB. Bandung. Saragih, E. S. 1996. Pengendalian Asam-asam Organik Meracun dengan Penambahan Fe3+ pada Tanah Gambut dari Jambi, Sumatera. Tesis S2. Pascasarjana IPB. Bogor. Tamiang. 2010. Cara Sederhana Membuat Kompos/ ZPT Organik Sendiri. http://infokuljar.blogspot.com/2010/10/cara-sederhana-membuat-hormonzpt.html. Diakses pada tanggal 25 September 2011.