juvenile rheumatoid arthritis

advertisement
Referat
JUVENILE RHEUMATOID ARTHRITIS
Oleh:
Enggar Sari Kesuma Wardhani
NIM. 04124705012
Pembimbing
Dr. Surya Darma, Sp.PD
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKUKTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2013
1
HALAMAN PENGESAHAN
Referat dengan judul :
JUVENILE RHEUMATOID ARTHRITIS
disusun oleh :
Enggar Sari Kesuma Wardhani
NIM. 04124705012
Telah diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti kegiatan Kepanitiaan
Klinik Senior di Departemen Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Mohammad
Hoesin Palembang.
Palembang,
November 2013
Pembimbing,
Dr. Surya Darma, Sp.PD
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................
ii
DAFTAR ISI ................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi...............................................................................................
3
2.2 Epidemiologi......................................................................................
3
2.3 Etiologi...............................................................................................
4
2.4 Klasifikasi..........................................................................................
6
2.5 Patofisiologi dan patogenesis.............................................................
7
2.6 Manifestasi klinik...............................................................................
12
2.7 Diagnosis............................................................................................
17
2.8 Diagnosis banding..............................................................................
23
2.9 Pemeriksaan penunjang.....................................................................
25
2.10 Penatalaksanaan...............................................................................
29
2.11 Prognosis..........................................................................................
36
2.12 Komplikasi.......................................................................................
37
BAB III KESIMPULAN .............................................................................
40
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
41
3
BAB I
PENDAHULUAN
Juvenil Rheumatoid Arthritis (JRA) merupakan penyakit kronis yang
merusak dan menghancurkan sendi-sendi tubuh. Kerusakan disebabkan oleh
peradangan yang merupakan respon normal dari sistem kekebalan tubuh.
Peradangan pada sendi menyebabkan nyeri, kekakuan, dan bengkak serta gejala
lainnya. Selain itu, peradangan sering mempengaruhi organ lain dari sistem tubuh.
Jika peradangan tidak dihambat atau dihentikan, akhirnya akan menghancurkan
sendi yang terkena dan jaringan lainnya.1
Insiden JRA diperkirakan 2 - 20 kasus per 100.000 anak dengan prevalensi
16 - 150 kasus per 100.000 anak diseluruh dunia. Juvenil Rheumatoid Arthritis
(JRA) biasanya muncul sebelum usia 16 tahun. Namun onset penyakit juga dapat
terjadi lebih awal, dengan frekuensi tertinggi antara usia 1-3 tahun. Perempuan
lebih sering terkena dari pada laki-laki.2,3
Tipe JRA yang paling umum pada anak usia kurang dari 8 tahun adalah
pausiartikular. Tipe ini hanya mempengaruhi beberapa sendi, yakni kurang dari
lima sendi seperti sendi bahu, siku, pinggul, dan lutut. Gejala lain yang dapat
timbul adalah demam tinggi, ruam pada kulit, dan masalah lain yang disebabkan
oleh peradangan pada organ dalam seperti jantung, limpa, hati, dan saluran
pencernaan. Tipe ini merupakan 30% dari seluruh kasus JRA.1
Anak dengan JRA mungkin menderita komplikasi spesifik dari setiap jenis
JRA. Komplikasi yang paling sering berhubungan dengan efek samping dari obat,
terutama obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS), seperti ibuprofen. Bila sering
digunakan, obat ini dapat menyebabkan iritasi, rasa nyeri, dan pendarahan di
lambung dan usus bagian atas. Obat-obat tersebut juga dapat menyebabkan
kerusakan pada hati dan ginjal yang sering tidak bergejala sampai tahap yang
sangat parah. Selain itu, pertumbuhan anak bisa terganggu yang menyebabkan
anak gagal tumbuh. 1,2,3
4
Angka kematian pada penderita JRA sedikit lebih tinggi dari pada anak normal.
Angka kematian tertinggi terjadi pada JRA sistemik. Juvenile Rheumatoid
Arthritis (JRA) juga dapat berkembang menjadi penyakit lain, seperti Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) atau skleroderma, yang memiliki angka kematian
yang lebih tinggi dari pada JRA pausiartikular atau poliartikular. 1 Referat ini
membahas tentang Juvenil Rheumatoid Arthritis (JRA) mulai dari definisi sampai
prognosis yang bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang penyakit JRA
sehingga mampu menegakkan diagnosis pasien dengan JRA. Metode penulisan
referat ini merujuk ke berbagai literatur. Diharapkan dengan tulisan ini dapat
memberikan informasi kepada penulis maupun pembaca mengenai pasien-pasien
JRA.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) adalah peradangan kronis autoimun
pada sendi yang onsetnya terjadi sebelum usia 16 tahun dan menetap lebih dari 6
minggu, setelah menyingkirkan penyebab lain.1
2.2Epidemiologi
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) pada anak bukan penyakit yang
jarang, namun frekuensi sebenarnya tidak diketahui. Penyakit ini terdapat pada
semua ras dan geografik, namun insidennya di seluruh dunia berbeda-beda.
Insiden JRA bervariasi antara 2 sampai 20 per 100.000 anak. JRA biasanya
bermula sebelum usia 16 tahun. Namun onset penyakit juga dapat terjadi lebih
awal, dengan frekuensi tertinggi antara usia 1-3 tahun. Perempuan lebih sering
terkena dari pada laki-laki.2,3
Sekitar 300.000 anak di Amerika Serikat diperkirakan menderita artritis
dengan berbagai tipe. Insiden JRA diperkirakan 4-14 kasus per 100.000 anak per
tahun. Di seluruh dunia, JRA terjadi lebih sering pada populasi tertentu seperti
Inggris, Columbia dan Norwegia. Sebuah studi dari Jerman menemukan tingkat
prevalensi 20 kasus per 100.000 penduduk, dengan insiden 3,5 kasus per 100.000
penduduk. Di Norwegia tingkat prevalensi sekitar 148 kasus per 100.000
penduduk dengan insiden 22 kasus per 100.000 penduduk. Insiden JRA di Jepang
dilaporkan sangat rendah.1
Angka kematian JRA sulit untuk dihitung tetapi diperkirakan kurang dari
1% di Eropa dan kurang dari 0,5% di Amerika Utara. Sebagian besar kematian
JRA di Eropa terkait dengan amiloidosis, dan di Amerika Serikat berhubungan
dengan infeksi.1
6
Persentase berbagai tipe JRA adalah sebagai berikut :1
a. Pausiartikular : 30%
b. Poliartikular (faktor reumatoid negatif) : 20%
c. Poliartikular (faktor reumatoid positif) : 5%
d. Onset sistemik : 5%
e. Psoriatik : 5%
f. Terkait enthesitis : 25%
g. undifferentiated : 10%
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) tipe pausiartikular dan poliartikular
lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio
masing-masing 3 : 1 dan 2,8 : 1. Sedangkan tipe sistemik terjadi dengan frekuensi
yang sama antara anak laki-laki dan perempuan.1
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) dengan tipe poliartikular faktor
rematoid negatif memiliki puncak onset bifasik. Puncak pertama terjadi pada usia
muda (1-4 tahun), mirip dengan JRA pausiartikular, dan puncak kedua terjadi
pada usia 6-12 tahun. Poliartikular faktor rematoid positif lebih sering terjadi pada
remaja. Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) tipe sistemik tidak memiliki puncak
onset usia.1
Penelitian deskriptif cross sectional dilakukan untuk memperoleh profil
pasien JRA berdasarkan kriteria dan klasifikasi ILAR di RSCM. Selama kurun
waktu 6 tahun sejak 1 Januari 2001 hingga 31 Desember 2006 di RSCM
didapatkan 203 pasien dengan keluhan utama artritis. Peneliti menemukan 68
pasien merupakan penderita JRA (34,3%). Tipe oligoartikular merupakan jenis
terbanyak yang ditemukan (40,8%).5
2.3 Etiologi
Etiologi JRA belum banyak diketahui, diduga terjadi karena respon yang
abnormal terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di lingkungan. Peran
imunogenetik diduga memiliki pengaruh yang sangat kuat.4
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) merupakan penyakit autoimun
dimana sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang jaringan yang seharusnya
7
dilindungi. Namun, belum pernah ditemukan autoantibodi spesifik untuk JRA.
Penyebab yang mungkin adalah respon imun pejamu yang secara genetik rentan
terhadap suatu antigen (yang belum diketahui). Secara luas dipercaya bahwa
pemicu respon imun awal adalah suatu agen infeksius. Antigen Presenting Cell
(APC) menelan protein asing, mengolahnya, dan kemudian menyajikan peptida
antigenik melalui reseptor MHC klas II ke sel T-helper CD4+ yang mengenali
peptida antigenik melalui reseptor antigen sel T-klonotipik (TCR). Sel T-helper
yang sudah diaktifkan mengeluarkan berbagai sitokin dan merekrut sel T lain dan
sel B yang dipacu untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma penghasil antibodi.
Pada dewasa, antigen MHC klas II HLA-DR4 dan HLA-DR1 dikaitkan dengan
peningkatan kerentanan terhadap JRA. Sedangkan pada anak, peningkatan
kerentanan terhadap JRA dikaitkan dengan HLA-DR5 dan HLA-DR8. Protein
MHC klas II ini mungkin sama-sama memiliki sekuen spesifik asam amino yang
berkaitan dengan cara menyajikan antigen tertentu yang kemudian menyebabkan
peningkatan kerentanan terjadinya radang sendi.6
Belum pernah berhasil diisolasi suatu agen infeksius tertentu yang secara
spesifik menyebabkan artritis walaupun sudah dilakukan riset intensif bertahuntahun. Mikroorganisme yang mungkin berperan sebagai agen infeksius antara lain
virus limfotropik sel T tipe 1, virus rubella, sitomegalovirus, herpesviridiae,
mikoplasma, dan virus Epstein-Barr (EBV). Epstein-Barr (EBV) adalah suatu
aktivator poliklonal sel B yang menghasilkan banyak immunoglobulin, termasuk
faktor reumatoid. Sebagian orang dewasa penderita artritis reumatoid terbukti
memperlihatkan peningkatan jumlah sel B yang terinfeksi oleh EBV dalam
sirkulasi serta penurunan respon sel T sitotoksik terhadap virus tersebut.6
Terdapat data yang menunjang suatu respon autoimun sebagai kausa
primer artritis reumatoid tetapi data tersebut belum kuat. Kolagen dan IgG adalah
protein utama yang paling sering dianggap sebagai auto-antigen. Reaksi terhadap
kolagen dapat menyebabkan artritis pada hewan pengerat dan mamalia yang lebih
tinggi tetapi antibodi terhadap kolagen yang terdapat di tulang rawan sendi
tampaknya tidak menyebabkan artritis reumatoid pada manusia. Ketika terjadi
kerusakan tulang rawan pada artritis, terbentuk autoantibodi terhadap bagian
8
kolagen yang mengalami degradasi. Autoantibodi ini bersama dengan faktor
reumatoid mengendap di tulang rawan dan berfungsi sebagai kemoatraktan dan
menyebabkan proses kerusakan secara terus-menerus. Sel T CD4+ aktif
berkumpul di dalam ruang sendi. Membran sinovial juga terkena. Makrofag dan
fibroblas menghasilkan interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor α (TNF-α)
yang menumpuk di membran sinovial. Sitokin-sitokin ini memiliki efek luas
terhadap banyak sel serta menyebabkan pengaktifan dan proliferasi sel T lebih
lanjut, peningkatan aktivitas prostaglandin dan protease penghancur matriks, serta
resorpsi tulang.6
Netrofil adalah sel utama dalam cairan sendi walaupun limfosit dan
makrofag merupakan sel predominan di membran sinovial. Kemoatraktan untuk
netrofil adalah C5a yang dihasilkan dari pengaktifan komplemen, leukotrien B4,
dan platelet activating factor. Netrofil dalam cairan sendi dengan cepat memakan
debris sel dan komplek imun. Pengaktifan netrofil menyebabkan terjadinya
degranulasi, pengeluaran protease, dan pembentukan rangsangan kemotaktik lebih
lanjut. Di cairan sendi, pengaktifan sistem komplemen, pengeluaran enzim
lisosom oleh netrofil, pembentukan oksidan reaktif, pembentukan kinin vasoaktif
oleh kalikrein, serta pengaktifan fibrinolisis dan jenjang pembekuan menyebabkan
terjadinya peradangan yang intensif. Rasa nyeri, peningkatan suhu, kemerahan,
dan efusi mencerminkan peradangan sendi akut.6
2.4 Klasifikasi
Pada tahun 1970, dua kriteria digunakan untuk mengklasifikasikan JRA
pada anak yaitu klasifikasi oleh American Collage of Rheumatology (ACR), dan
European League Against Rheumatism (EULAR). Pada tahun1993, klasifikasi
ketiga muncul dari International League of Association for Rheumatology
(ILAR). Karakteristik klinis JRA yang sering digunakan adalah oligoartritis,
poliartritis dan onset sistemik.2
Tabel 1. Karakteristik JRA tipe onset penyakit 2
9
Karakteristik
Presentase kasus
Sendi terlibat
Usia onset
Poliartritis
30 %
≥5
Seluruh masa
Oligoartritis
60%
≤4
Awal masa anak,
Sistemik
10%
Bervariasi
Seluruh masa
anak, puncak usia
puncak usia 1-2
anak, tidak ada
1-3 tahun
1:3
tahun
1:5
puncak
1:1
perempuan )
Keterlibatan
Penyakit sistemik
Tidak ada
Penyakit sistemik
sistemik
sedang
penyakit sistemik,
sering sembuh
penyebab utama
sendiri, sebagian
morbiditas adalah
mengalami
uveitis
destruksi artritis
Rasio jenis
kelamin ( laki-laki:
Adanya uveitis
5%
5-15%
kronik
Jarang
kronik
Frekuensi
10% ( meningkat
Jarang
Jarang
seropositif faktor
dengan usia )
rheumatoid
Antibodi
40-50%
75-85%
10%
antinuclear
Prognosis
Sedang
Baik, kecuali
Buruk
untuk penglihatan
2.5 Patofisiologi
Artritis reumatoid ditandai dengan peradangan sinovial kronis yang
nonsupuratif. Jaringan sinovial yang terkena menjadi edema, hiperemis, serta
diinfiltrasi oleh limfosit dan sel plasma. Bertambahnya cairan sendi menimbulkan
efusi. Penonjolan dari membran sinovial yang menebal membentuk vili yang
menonjol ke dalam ruang sendi; reumatoid sinovial yang hiperplastik dapat
menyebar dan melekat pada kartilago artikuler sehingga terbentuk pannus. Pada
sinovitis kronis dan proliferasi sinovial yang berkelanjutan, kartilago artikuler dan
struktur sendi lainnya dapat mengalami erosi dan rusak secara progresif. Terdapat
10
variasi waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya proses kerusakan sendi yang
permanen pada sinovitis. Pada anak, proses kerusakan kartilago artikuler terjadi
lebih lambat dibandingkan pada dewasa, sehingga anak yang menderita JRA tidak
pernah mendapat cedera sendi permanen walaupun sinovitisnya lama.
Penghancuran sendi terjadi lebih sering pada anak dengan faktor reumatoid positif
atau penyakit tipe sistemik. Bila penghancuran sendi telah dimulai, dapat terjadi
erosi tulang subkhondral, penyempitan ruang sendi, penghancuran tulang,
deformitas dan subluksasi atau ankilosis persendian. Mungkin dijumpai
tenosinovitis dan miositis. Osteoporosis, periostitis, pertumbuhan epifisis yang
dipercepat, dan penutupan epifisis yang prematur dapat terjadi di dekat sendi yang
terkena.6
Nodul reumatoid lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan orang
dewasa, terutama pada faktor reumatoid positif, dan memperlihatkan bahan
fibrinoid yang dikelilingi oleh sel radang kronis. Pada pleura, perikardium dan
peritoneum dapat terjadi serositis fibrinosis non spesifik. Nodul reumatoid secara
histologis tampak seperti vaskulitis ringan dengan sedikit sel radang yang
mengelilingi pembuluh darah kecil.6
Terdapat 4 jenis patogenesis terjadinya JRA, yaitu :7
1. Berhubungan dengan molekul HLA dan non HLA
Gen HLA merupakan faktor genetik penting pada JRA karena fungsi
utama dari gen ini sebagai APC ke sel T. Hubungan antara HLA dengan JRA
berbeda-beda tergantung subtipe JRA. Secara spesifik oligoartritis dihubungkan
dengan genHLA-A2, HLA-DRB1*11, dan HLA-DRB1*08. Faktor reumatoid
positif pada poliartritis berhubungan dengan gen HLA–DR4 pada anak, dan
begitu juga pada dewasa. Selain itu, adanya gen HLA-B27 meningkatkan risiko
entesitis terkait artritis. 7
Protein Tyrosine Phosphatase Nonreceptor 22 (PTPN22) mengkode suatu
fosfatase limfoid spesifik (lyp), suatu varian dalam pengkodean region di gen ini.
Gen ini dihubungkan dengan sejumlah penyakit autoimun yang juga telah
teridentifikasi sebagai suatu lokus untuk JRA. Efek dari PTPN22 ini bervariasi
antara masing-masing subtipe JRA tetapi secara umum lebih terkait daripada gen
11
HLA. Beberapa gen lainnya yaitu faktor makrofag inhibitor, IL-6, IL-10 dan TNF
α juga berhubungan dengan JRA. 7
2. Mediator inflamasi pada kerusakan sendi
Membran sinoval pada pasien JRA mengandung sel T, sel T yang
teraktivasi sel plasma, dan makrofag yang teraktivasi, yang didatangkan melalui
suatu proses neovaskularisasi. Antigen spesifik sel T berperan dalam patogenesis
subtipe artritis pada JRA. Sel T predominan adalah sel Th1. Sel ini akan
mengaktivasi sel B, monosit, makrofag dan fibroblas sinovial untuk memproduksi
immunoglobulin (Ig) dan mediator inflamasi. Sel B yang teraktivasi akan
memproduksi immunoglobulin termasuk faktor reumatoid dan antinuclear
antibody (ANA). 7
Patogenesis yang tepat tentang faktor reumatoid belum diketahui
sepenuhnya, diduga melibatkan aktivasi komplemen melalui pembentukan
komplek imun. Antinuclear antibody (ANA) dihubungkan dengan onset dini
terjadinya oligoartritis tetapi antibodi ini tidak spesifik untuk JRA. Makrofag yang
teraktivasi, limfosit, dan fibroblas memproduksi vascular endothelial growth
factor (VEGF) dan osteopontin yang menstimulasi terjadinya angiogenesis. Pada
pasien JRA, VEGF banyak ditemukan di jaringan sinovial. Osteopontin
meningkat di cairan sinovial dan berhubungan dengan neovaskularisasi. 7
Tumor necrosis factor (TNF) dan IL-1 diproduksi oleh monosit teraktivasi,
makrofag dan fibroblas sinovial. Mediator inflamasi ini sepertinya memiliki peran
penting dalam terjadinya JRA. Sitokin ini ditemukan meningkat pada cairan sendi
penderita JRA dan telah diketahui menstimulasi sel mesenkim seperti fibroblas
sinovial, osteoklast dan khondrosit untuk melepas matrix metaloproteinase (MTP)
yang mengakibatkan kerusakan jaringan. Pada kelinci percobaan, injeksi IL-1
pada sendi lutut mengakibatkan terjadinya degradasi pada kartilago. 7
Interleukin-6 (IL-6) adalah sitokin multifungsi yang memiliki aktivitas
biologik yang luas dalam regulasi respon imun, reaksi fase akut, hematopoesis
dan metabolisme tulang. Jumlah IL-6 yang beredar di sirkulasi meningkat pada
pasien JRA. Hal ini dihubungkan dengan hasil laboratorium dan manifestasi klinis
12
dari derajat aktivitas penyakit. Interleukin-6 (IL-6) menstimulasi hepatosit dan
menginduksi produksi protein fase akut seperti C-reactive Protein (CRP). Jadi,
peningkatan kadar IL-6 dalam serum berkorelasi dengan peningkatan CRP dalam
fase aktif penyakit. 7
Interleukin-17 (IL-17) diproduksi oleh sel Th17 dan menginduksi reaksi
jaringan yang berlebihan karena memiliki reseptor yang tersebar luas di seluruh
tubuh. Bukti terbaru menunjukkan IL-17 mempunyai peran penting dalam reaksi
inflamasi
autoimun.
Interleukin-17
(IL-17)
akan
meningkatkan
sitokin
proinflamasi di jaringan sendi, menstimulasi produksi TNF dan IL-1, serta akan
saling bersinergi untuk meningkatkan produksi IL-6, IL-8 dan IL-17 sehingga
menyebabkan kerusakan sendi akibat proses inflamasi. Interleukin-17 (IL-17)
meningkat pada pasien JRA dengan penyakit yang aktif dibandingkan dengan
pasien yang mengalami remisi. 7
3. Profil inflamasi khas pada penyakit tipe sistemik
Patogenesis dari JRA tipe sistemik berbeda-beda pada jenis JRA dalam
berbagai bagian seperti kurangnya keterkaitan antara tipe HLA serta tidak adanya
autoantibodi dan sel T reaktif. Penderita dengan penyakit tidak menunjukkan
tanda-tanda dari limfosit mediated antigen yang merupakan respon imun spesifik.
Tanda-tanda klinis dari JRA tipe sistemik juga dihubungkan dengan
granulositosis, trombositosis, dan peningkatan regulasi reaktan fase akut yang
menandakan aktivasi tidak terkontrol dari sistem imun didapat. Selama
manifestasi awal dari perjalanan penyakit ini, muncul infiltrasi perivaskular dari
netrofil dan monosit yang memproduksi sitokin proinflamasi yang berperan dalam
proses patogenesis penyakit.7
Data terbaru menunjukkan IL-1 memiliki peran utama dalam gejala klinis
JRA tipe sistemik. Pengobatan dengan reseptor antagonis IL-1 telah menunjukkan
perbaikan gejala klinis dan laboratorium pada pasien yang resisten terhadap
pengobatan anti-TNF. Monosit yang teraktivasi pada pasien dengan gejala
sistemik memiliki jumlah IL-1 yang lebih tinggi, dimana sekresi dari TNF dan
IL-6 tidak terlalu meningkat. Anggota lain dari IL-1 yaitu IL-18 ditemukan
13
meningkat tajam pada pasien dengan onset usia yang lebih besar dibandingkan
dengan pasien JRA lainnya. Interleukin-18 (IL-18) ditemukan lebih meningkat
pada serum anak dengan tipe sistemik dibandingkan dengan tipe poliartikular dan
pausiartikular. Konsentrasi IL-18 juga meningkat pada pasien serositis dan
hepatosplenomegali. 7
Konsentrasi IL-6 ditemukan meningkat pada pasien dengan tipe sistemik
dan berhubungan dengan keterlibatan sendi. IL-6 juga meningkat pada cairan
sinovial pasien dengan tipe sistemik dibandingkan dengan pasien JRA tipe
lainnya. Produksi berlebihan IL-6 berhubungan dengan manifestasi ekstra
artikular seperti anemia mikrositik dan gangguan pertumbuhan. Pengobatan
dengan monoklonal antibodi yang langsung menyerang reseptor IL-6 menunjukan
perbaikan klinis pada reaktan fase akut pasien dengan tipe sistemik. Aktivasi dan
proliferasi yang tidak terkontrol pada limfosit T dan makrofag yang menyebabkan
terjadinya pelepasan dari sitokin inflamasi seperti TNF α, IL-1, dan IL-6
mengakibatkan munculnya manifestasi klinis dan patologi pada macrofage
activation syndome (MAS). 7
4. Mediator anti inflamasi pada JRA
Dua sitokin anti-inflamasi yang paling dikenal pada JRA adalah IL-10 dan
IL-4. Interleukin-10 (IL-10) menunjukkan degradasi kartilago oleh antigen
stimulated
mononuclear
cell
pada
pasien
dewasa
dengan
artritis.
Polimorfonuklear (PMN) dengan produksi IL-10 yang rendah berhubungan
dengan artritis tipe berat. IL-4 menghambat aktivasi sel Th1 dan penurunan
produksi dari TNF α, IL 1 dan menghambat kehancuran kartilago. Interleukin-4
(IL-4) dan IL-10 menghambat produksi dari sitokin inflamasi seperti IL-6 dan IL8. Interleukin-4 (IL-4) dan IL-10 yang tinggi pada sendi bermanifestasi sebagai
pausiartikular yang ringan dan non-erosif. Foxp3, CD4, CD25, dan sel T regulasi
penting untuk pengontrolan inflamasi. Defek pada X-linked pada foxp3
merupakan
penyebab
dari
kondisi
multipel
autoimun
disebut
juga
imunodisregulasi, poliendokrinopati, dan enteropati (IPEX syndrome). Kerusakan
pada sel T regulasi juga merupakan penyebab adanya kegagalan toleransi pada
14
penyakit autoimun, meskipun belum ada bukti yang menunjukkan adanya defek
pada sel T regulasi pada JRA. Penurunan jumlah sel T regulasi menyebabkan
oligoartritis yang lebih berat. Pada pasien dengan JRA ditemukan peningkatan
jumlah T regulasi yang lebih tinggi di sendi dibandingkan darah tepi, yang
mengindikasikan terjadinya suatu proses inflamasi.7
2.6 Manifestasi Klinis
2.6.1 Poliartikular
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) tipe ini ditandai dengan keterlibatan
banyak sendi secara khas, yaitu ≥ 5 sendi, termasuk sendi kecil tangan. Biasanya
tipe ini terjadi pada 35% anak yang menderita JRA. Ada 2 subtipe JRA
poliartikular, yaitu poliartritis faktor reumatoid positif (20-30%) dan poliartritis
dengan faktor reumatoid negatif (5-10%). Penyakit dengan faktor reumatoid
positif biasanya dimulai pada akhir masa kanak-kanak. Pada artritis yang lebih
berat sering timbul nodul reumatoid dan vaskulitis reumatoid. Selama masa
kanak-kanak, penyakit tanpa faktor reumatoid bisa terjadi kapanpun, biasanya
ringan dan jarang disertai dengan nodul reumatoid. Anak perempuan lebih banyak
terkena dari pada anak laki-laki.4,8
Perjalanan penyakit ini bisa terjadi secara tiba-tiba dan berlangsung hebat,
atau secara progresif lambat yang akhirnya dapat menimbulkan kekakuan sendi,
pembengkakan dan kehilangan gerakan. Pada sendi yang terkena ditemukan
tanda-tanda terjadinya proses inflamasi, seperti nyeri, bengkak, panas, penurunan
fungsi tetapi jarang terlihat memerah. Bengkak terjadi akibat edema periartikular,
efusi sendi, dan penebalan sinovial. Nyeri jarang dikeluhkan pada anak yang lebih
kecil. Gejala klinis terlihat dari berkurangnya pergerakan pada sendi yang terkena.
Hal ini dapat merupakan akibat dari spasme otot sendi yang mengalami efusi dan
proliferasi sinovial.8
Proliferasi sinovial dapat mengakibatkan timbulnya kista disekitar sendi
yang terkena, herniasi sinovial, dan ekstravasasi cairan sinovial sehingga
mengenai struktur disekitarnya terutama pada daerah poplitea. Kekakuan sendi
pada pagi hari dan perlunakan pasca inaktivasi merupakan ciri khas JRA. 8
15
Artritis yang mengenai setiap sinovial persendian sering bermula dari
sendi besar seperti lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, dan siku.
Serangan awal ini sering simetris. Peradangan sendi interfalang proksimal
mengakibatkan pengurusan atau perubahan fusiformis pada jari-jari. Serangan
pada sendi metakarpofalangeal seringkali bersamaan dan sendi interfalangeal
dapat juga terkena. Artritis dari spina servikalis ditandai oleh kekakuan dan nyeri
leher
yang
terjadi
pada
sekitar
50%
penderita.
Keterlibatan
sendi
temporomandibular ditandai dengan terbatasnya gerakan membuka rahang dan
nyerinya bisa timbul sebagai nyeri telinga. Keterlibatan panggul sekurangkurangnya terjadi pada 50% anak yang menderita poliartritis, biasanya mulai pada
proses penyakit yang lanjut. Penghancuran kaput femoris dapat terjadi. Penyakit
pinggul yang berat merupakan penyebab utama kecacatan pada stadium akhir
JRA. Penyempitan sendi sakroiliaka bisa diketahui dari foto rontgen. Artritis
krikoaritenoid bisa mengakibatkan suara serak dan stridor laring serta
mengakibatkan terjadinya obstruksi akut saluran napas, namun hal ini jarang
terjadi. Keterlibatan sendi sternoklavikular dan sambungan kostokondral dapat
menyebabkan nyeri dada. 4
Gangguan pertumbuhan yang terjadi pada sendi yang meradang bisa
mengakibatkan pertumbuhan yang berlebih atau berkurang. Penambahan panjang
kaki dapat menyertai artritis lutut yang kronis dan mikrognatia pasca artritis
temporomandibular. Hal ini dapat menjadi suatu tanda stadium akhir JRA. Kaki
yang kecil dan berubah bentuk dapat disebabkan karena keterlibatan kaki pada
masa awal kanak-kanak dan jari-jari yang pendek adalah karena keterlibatan
tangan pada masa dini. 4
Manifestasi ekstra-artikular JRA poliartikular tidak sehebat manifestasi
yang tampak pada JRA tipe sistemik. Kebanyakan penderita dengan penyakit
poliartikular yang aktif menderita malaise, anoreksia, iritabilitas, dan anemia
ringan. Demam ringan, hepatosplenomegali ringan, dan limfadenopati dapat
dijumpai. Bisa terjadi perikarditis dan iridosiklitis tetapi jarang. Nodulus
reumatoid dapat terjadi pada titik tekanan. Hal ini biasanya dijumpai pada
penderita dengan hasil uji aglutinasi positif terhadap faktor reumatoid. Vaskulitis
16
reumatoid kadang-kadang terjadi pada penderita dengan faktor reumatoid positif
sebagaimana pada penyakit sjogren. 9
2.6.2 Pausiartikular
Pada pausiartikular, sendi yang terkena terbatas pada ≤ 4 sendi selama 6
bulan pertama sesudah timbulnya penyakit. Sendi yang terkena terutama sendi
besar, dan penyebarannya sering tidak simetris. Ada 2 subtipe dari pausiartikular
ini, yaitu tipe 1 terutama menyerang anak perempuan yang masih kecil pada saat
mulainya penyakit dan berisiko menderita iridosiklitis kronis. Tipe 2 terutama
menyerang anak laki-laki dengan usia yang lebih besar pada saat mulainya
penyakit dan lebih berisiko mengalami spondiloartropati. 4,8
Gambar 1. Artritis unilateral lutut kiri pada JRA pausiartikular.10
Pausiartikular tipe 1 adalah tipe yang paling umum terjadi (30-40%).
Sebanyak 90% penderita memiliki tes ANA positif dan tidak disertai dengan
faktor reumatoid ataupun HLA 27. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi
lutut, pergelangan kaki, dan siku. Kadang-kadang ada keterlibatan tersendiri pada
sendi lainnya, seperti sendi temporomandibular, satu jari kaki atau tangan,
pergelangan tangan, atau leher. Pinggul dan tulang lingkar panggul biasanya tidak
terkena dan tidak disertai sakroilitis. Gambaran klinis dan histologi sinovial sendi
yang terkena tidak dapat dibedakan dari gambaran klinis dan histologi JRA. 4
17
Penderita dengan penyakit pausiartikuler tipe 1 berisiko tinggi untuk
menderita komplikasi mata. Iridosiklitis kronis terjadi pada 15-30% pada suatu
waktu selama 10 tahun pertama penyakit. Ciri khas iridosiklitis kronis JRA adalah
tidak disertai gejala atau tanda-tanda awal. Kadang kala anak menampakkan
gejala awal kemerahan, nyeri, fotofobia, dan penurunan tajam peglihatan. Satu
atau dua mata dapat terkena. Jika dimulai dari unilateral, mata yang lain biasanya
tetap tidak terlibat. Iridosiklitis kadang-kadang merupakan manifestasi JRA yang
ada tetapi biasanya iridosiklitis menyertai awal timbulnya keluhan sendi selama
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Penderita dengan iridosiklitis biasanya
memiliki tes ANA yang positif. Tanda-tanda peradangan iris dan korpus siliaris
yang paling awal adalah bertambahnya jumlah sel serta jumlah protein dalam
kamera okuli anterior. Perubahan yang timbul hanya dapat dideteksi dengan
pemeriksaan slit lamp. Seringkali radang okuler tetap aktif selama bertahun-tahun.
Sekuelenya meliputi sinekia posterior, katarak dengan komplikasinya, glaukoma
sekunder, dan ptosis bulbi yang dapat berakibat kehilangan visus dan kebutaan
permanen. Oleh karena itu, pada anak dengan pausiartikular harus dilakukan
pemeriksaan slit lamp 3-4 kali setahun sekurang-kurangnya selama 5 tahun
pertama penyakit tanpa memandang aktivitas penyakit sendi. Manifestasi ekstraartikular lainnya pada JRA pausiartikular biasanya ringan, seperti demam ringan,
malaise, hepatomegali, limfedenopati sedang, dan anemia ringan. Hal ini bisa
dikaitkan dengan aktivitas penyakit yang aktif. 9
Penyakit pausiartikular tipe 2 mengenai 10-15% penderita JRA terutama
anak laki-laki yang berusia lebih dari 8 tahun. Riwayat keluarga sering
menunjukan adanya anggota keluarga yang juga menderita artritis pausiartikular,
spondilitis ankilosa, dan penyakit reiter (iridosiklitis akut). Uji ANA biasanya
negatif. Pada tipe ini sendi yang sering terkena adalah sendi besar, terutama sendi
ekstremitas bawah. Nyeri tumit, fasiitis plantaris atau tendinitis achilles sering
ditemui. Kemungkinan juga dapat ditemukan radang pada tempat insersi tendon
pada tulang. Seiring berjalannya waktu, artritis pausiartikular tipe 2 ini
berkembang menjadi spondilitis ankilosa yang khas dengan keterlibatan spina
lumbodorsal, manifestasi sindroma reiter (hematuria atau piuria, uetritis,
18
iridosiklitis akut atau manifestasi mukokutan), atau adanya tanda-tanda penyakit
radang usus. 4
2.6.3 Sistemik
Penyakit tipe sistemik adalah jenis JRA yang paling berat tetapi sangat
jarang ditemui. Penyakit ini hanya terjadi pada 10% dari semua anak dengan JRA
dengan perbandingan yang sama antara kedua jenis kelamin. Penderita umumnya
datang dengan demam tinggi yang melonjak-lonjak selama beberapa minggu
disertai ruam-ruam yang cepat menghilang. Demam timbul setiap hari atau dua
kali sehari, sering melonjak hingga suhu 40oC- 41oC pada sore hari, dan sering
menurun dengan cepat sampai subnormal pada jam lain. Demam tinggi mungkin
berlangsung berbulan-bulan sebelum muncul temuan sendi yang objektif.
Lonjakan demam sering disertai oleh ruam makular berwarna salem yang cepat
menghilang, terutama timbul di badan dan paha sebelah dalam. Tiap-tiap makular
tidak kembali muncul di tempat yang sama pada lonjakan demam berikutnya.
Ruam sering memperlihatkan fenomena Koebner, yaitu kemampuan untuk
memicu timbulnya lesi dengan menggosok kulit secara lembut.6
Selain itu, penderita yang usianya lebih besar sering mengeluh artralgia
dan/atau mialgia yang parah. Penurunan nafsu makan dan iritabilitas juga sering
dikeluhkan. Adanya limfadenopati generalisata mungkin cukup menonjol
sehingga memberi kesan kuat akan adanya keganasan. Hepatosplenomegali juga
dapat sebagai tanda keganasan.6
Anak dengan JRA tipe sistemik tidak jarang mengalami perikarditis,
kadang disertai miokarditis yang mungkin mengancam jiwa. Beberapa dari anak
ini juga menderita efusi pleura dan pneumonitis. Kadang-kadang anak mengalami
serositis abdomen yang menimbulkan gambaran mirip akut abdomen.6
Pada sebagian anak gejala sistemik akan berkurang secara perlahan
sementara mereka terus mengalami penyakit sendi poliartikular. Sedangkan yang
lain mengalami serangan demam, ruam, dan keluhan sendi secara intermitten
sepanjang masa kanak-kanak dan bahkan sampai masa dewasa tetapi di antara
serangan mungkin terdapat masa normal.6
19
2.7 Diagnosis
Terdapat beberapa pengelompokan dalam mendiagnosis JRA, di
antaranya:
Kriteria diagnosis Juvenile Rheumatoid Arthritis menurut American
College of Rheumatology (ACR) :2
1. Usia penderita < 16 tahun
2. Artritis (bengkak atau efusi, adanya dua atau lebih tanda : keterbatasan
gerak, nyeri saat gerak dan panas pada sendi) pada satu sendi atau lebih
3. Lama sakit > 6 minggu
4. Tipe onset penyakit (dalam 6 bulan pertama) :
a. Poliartritis : ≥ 5 sendi
b. Pausiartikular : < 5 sendi
c. Sistemik : artritis dengan demam minimal 2 minggu, mungkin terdapat
ruam
atau
keterlibatan
ekstraartikular,
seperti
limfadenopati,
hepatosplenomegali atau perikarditis
5. Kemungkinan penyakit artritis lain dapat disingkirkan
Kriteria diagnosis Juvenile Chronic Arthritis menurut European League
Against Rheumatism (EULAR) :2
1. Usia penderita < 16 tahun
2. Artritis pada satu sendi atau lebih
3. Lama sakit > 3 minggu
4. Tipe onset penyakit :
a. Poliartritis : > 4 sendi, faktor reumatoid negatif
b. Pausiartikular: < 5 sendi
c. Sistemik : artritis dengan demam
d. Artritis reumatoid juvenil : > 4 sendi, faktor reumatoid positif
e. Spondilitis ankilosing juvenil
f. Artritis psoriasis juvenil
Kriteria diagnosis Juvenile Idiopatic Arthritis menurut International
League of Associations for Rheumatology (ILAR) :2
20
1. Sistemik
2. Oligoartritis
a. Persisten
b. Extended
3. Poliartritis ( faktor reumatoid negatif )
4. Poliartritis ( faktor reumatoid positif )
5. Artritis psoriasis
6. Artritis terkait entesitis
7. Artritis Lain
a. Tidak memenuhi kategori
b. Memenuhi lebih dari satu kategori
Artritis sistemik
Definisi: artritis dengan demam atau didahului oleh demam paling sedikit 2
minggu, yang terekam sebagai demam quotidian minimal 3 hari, disertai satu atau
lebih tanda berikut:5
1. Ruam eritem evanescent, tidak menetap (non-fixed)
2. Pembesaran kelenjar getah bening generalisata
3. Hepatomegali atau splenomegali
4. Serositis.
Eksklusi: eksklusi untuk klasifikasi artritis sistemik tidak dicantumkan,
tetapi bila tidak ditemukan tanda klasik penyakit sistemik, maka kemiripan
dengan penyakit infeksi atau keganasan harus disingkirkan dengan pemeriksaan
laboratorium yang tepat. 5
Deskriptor:
1 Usia pada saat onset penyakit
2. Pola artritis selama periode onset (selama 6 bulan pertama sakit)
a. oligoartritis
b. poliartritis
c. artritis timbul setelah 6 bulan pertama kelainan sistimik
3. Pola artritis selama perjalanan penyakit (setelah 6 bulan pertama sakit)
21
a. oligoartritis
b. poliartritis
c. tanpa artritis setelah 6 bulan pertama sakit
4. Gambaran penyakit sistimik setelah 6 bulan
5. Adanya faktor reumatoid (FR)
6. Kadar protein C-reaktif. 5
Oligoartritis
Definisi: artritis pada 1-4 sendi dalam 6 bulan pertama sakit. Terdapat 2 kategori:
1. Oligoartritis persisten: mengenai tidak lebih dari 4 sendi selama perjalanan
penyakit
2. Oligoartritis extended: secara kumulatif mengenai 5 sendi atau lebih setelah 6
bulan pertama sakit. 5
Eksklusi:
1. Riwayat psoriasis dalam keluarga, paling sedikit pada tingkat 1 atau 2 pedigri,
dengan konfirmasi oleh dermatologis
2. Riwayat penyakit dalam keluarga yang secara medis terbukti berhubungan
dengan HLA-B27 paling tidak pada tingkat 1 atau 2 pedegri
3. FR positif
4. Anak lelaki HLA-B27 positif dengan onset artritis setelah usia 8 tahun
5. Artritis sistemik. 5
Deskriptor:
1. Usia pada saat onset artritis dan psoriasis
2. Pola artritis pada saat 6 bulan dan kunjungan klinik terakhir
a. hanya sendi besar
b. hanya sendi kecil
c. predominan pada tungkai: (i) tungkai atas predominan, (ii) tungkai bawah
predominan, (iii)tidak ada predominansi tungkai atas atau bawah
d. keterlibatan sendi spesifik (paha, leher)
e. simetri artritis
3. Adanya uveitis anterior (akut atau kronik)
22
4. Adanya ANA
5. Alel protektif atau predisposisi HLA kelas I atau II. 5
Poliartritis FR negatif
Definisi: artritis mengenai 5 sendi atau lebih selama 6 bulan pertama sakit, uji FR
negatif. 5
Eksklusi:
1. Faktor Reumatoid positif
2. Artritis sistemik. 5
Deskriptor:
1. Usia saat onset artritis
2. Simetri artritis
3. Adanya ANA
4. Adanya uveitis (akut atau kronik). 5
Poliartritis FR positif
Definisi: artritis mengenai 5 sendi atau lebih selama 6 bulan pertama sakit, dengan
uji FR positif pada dua kali pemeriksaan dengan jarak paling sedikit 3 bulan. 5
Eksklusi:
1. Uji Faktor Reumatoid negatif pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak paling
sedikit 3 bulan
2. Artritis sistemik.5
Deskriptor:
1. Usia saat onset artritis
2. Simetri artritis
3. Adanya ANA
4. Karakter imunogenetik (sebanding dengan populasi artritis reumatoid dewasa).5
Artritis psoriatik
Definisi:
1. Artritis dan psoriasis, atau
23
2. Artritis dan paling sedikit terdapat 2 dari tanda:
a. daktilitis
b. kelainan kuku (pitting atau onikolisis)
c. riwayat psoriasis dalam keluarga, paling sedikit pada tingkat 1 atau 2
pedegri, dengan konfirmasi oleh dermatologis. 5
Eksklusi:
1. Faktor Reumatoid positif
2. Artritis sistemik. 5
Deskriptor:
1. Usia saat onset artritis atau psoriasis
2. Pola artritis pada saat 6 bulan setelah onset sakit, dan kunjungan klinik terakhir
a. hanya sendi besar
b. hanya sendi kecil
c. predominan pada tungkai: (i) tungkai atas predominan, (ii) tungkai bawah
predominan, (iii)tidak ada predominansi tungkai atas atau bawah
d. keterlibatan tulang punggung
e. keterlibatan sendi sakroiliaka
f. keterlibatan sendi glenohumerus
g. keterlibatan sendi paha
h. keterlibatan sendi sternoklavikula
i. artritis simetri
3. Perjalanan penyakit
a. oligoartritis
b. poliartritis
4. Adanya ANA
5. Uveitis anterior
a. kronik
b. uveitis dengan karakteristik mata nyeri, kemerahan, atau fotofobia
6. Deskriptor HLA. 5
Artritis yang berhubungan dengan entesitis
24
Definisi:
1. Artritis dan entesitis, atau
2. Artritis atau entesitis dengan paling sedikit 2 dari tanda:
a. nyeri sendi sakroiliaka dan/atau nyeri punggung inflamasi
b. adanya HLA-B27
c. riwayat penyakit dalam keluarga yang secara medis terbukti berhubungan
HLA-B27 paling tidak pada tingkat 1 atau 2 pedigri.
d. uveitis anterior yang biasanya berhubungan dengan mata nyeri, kemerahan,
atau fotofobia
e. onset artritis pada anak lelaki setelah usia 8 tahun. 5
Eksklusi:
1. Psoriasis, paling sedikit pada tingkat 1 atau 2 pedigri, dengan konfirmasi oleh
dermatologis
2. Artritis sistemik. 5
Deskriptor:
1. Usia saat onset artritis
2. Pola artritis pada saat 6 bulan dan kunjungan klinik terakhir hanya sendi besar
a. hanya sendi kecil
b. predominansi pada tungkai: (i) tungkai atas predominan, (ii) tungkai bawah
predominan, (iii) tidak ada predominansi tungkai atas atau bawah
d. keterlibatan tulang punggung
e. keterlibatan sendi sakroiliaka
f. keterlibatan sendi glenohumerus
g. keterlibatan sendi paha
3. Simetri artritis
4. Perjalanan penyakit
a. oligoartritis
b. poliartritis
5. Adanya penyakit inflamasi usus. 5
Artritis lain
25
Definisi: Artritis pada anak dengan penyebab tidak diketahui yang menetap paling
sedikit 6 minggu, tetapi:
1. Tidak memenuhi kriteria salah satu kategori, atau
2. Memenuhi kriteria lebih dari satu kategori. 5
Eksklusi: Pasien yang memenuhi kriteria salah satu kategori. 5
2.8 Diagnosis Banding
Beberapa
hal
harus
dipertimbangkan
dan
disingkirkan
sebelum
menegakkan diagnosis JRA dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
cermat, yakni:
2.8.1
Artritis pada Penyakit Infeksi
Beberapa proses infeksi seperti artritis septik, artritis reaktif dan
osteomielitis dapat menunjukkan manifestasi artritis. Pada artritis septik, jaringan
sinovial terinfeksi secara langsung oleh bakteri, virus ataupun agen infeksi lain.
Diagnosis didapatkan dari anamnesis yang cermat, pemeriksaan kultur dari cairan
sinovial, kultur darah dan pemeriksaan serologis. Pasien yang menderita artritis
septik dapat melibatkan lebih dari satu sendi namun tidak harus menunjukkan
adanya tanda sepsis ataupun tanda penyakit sistemik. Beberapa anak yang
menderita onset akut harus dicurigai menderita artritis septik.11
Infeksi oleh Borrelia burgdorferi pada penyakit Lyme dapat menyebabkan
artritis yakni pausiartikular baik pada anak maupun pada dewasa. Artritis Lyme
biasanya selalu respon terhadap terapi antibiotik. Beberapa agen non-bakterial
seperti rubella, mumps, varisella, adenovirus, hepatitis B, and Mycoplasma dapat
diduga sebagai penyebab artritis. Artritis seperti ini biasanya terjadi pada akhir
dari perjalanan infeksi, meskipun kadang-kadang mendahului manifestasi klinis.
Parvovirus telah diketahui dapat menyebabkan artritis transien pada anak dengan
atau tanpa manifestasi klinis yang menyertainya.11
Artritis reaktif adalah artritis steril yang menyertai infeksi gastrointestinal
dengan patogen seperti Shigella, Salmonella, Yersinia, atau Campylobacter sp
pada pejamu yang dicurigai. Beberapa anak dengan artritis akut dengan
26
manifestasi gastroenteritis harus dievaluasi lebih lanjut. Anak umumnya memiliki
histokompatibilitas antigen HLA B27.11
Manifestasi anak dengan osteomielitis kadang mirip dengan penyakit
reumatik. Sendi yang berdekatan dengan area metafisis yang terinfeksi dari tulang
panjang dapat membengkak, namun dengan cairan sendi yang jernih. Pada
osteomielitis nyeri dan pembengkakan pada daerah metafisis lebih menyolok
daripada nyeri sendi. Perubahan gambaran radiografi pada osteomielitis terjadi
setelah sakit minimal hari ke-7. Ultrasonografi atau scanning tulang dapat
menjadi alat untuk diagnosis pada saat awal penyakit.11
2.8.2
Artritis pada Keganasan
Beberapa keganasan anak seperti pada leukemia, neuroblastoma, limfoma,
penyakit hodgkin dan rabdomiosarkoma, seperti halnya pada tumor tulang primer
seperti osteogenik sarkoma dan ewing sarkoma, dapat menyebabkan keluhan
muskuloskeletal yang sangat mirip dengan penyakit reumatik. Artritis pada
leukemia dan keganasan lainnya secara umum lebih disebabkan oleh infiltrasi sel
ganas pada struktur di sekitar sendi, dibandingkan dengan keterlibatan langsung
dari sinovial. Anak biasanya terlihat lebih menderita dibandingkan pada JRA, dan
nyeri sendi yang terjadi biasanya lebih parah, sehingga anak tidak mau
mengerakkan lengan dan tungkainya.11
Diagnosis terhadap kemungkinan keganasan, dengan didapatkannya
gambaran hematologi abnormal (leukopenia, anemia berat, trombositopenia),
abnormalitas jaringan lunak atau jaringan tulang serta pemeriksaan yang tepat
seperti pemeriksaan sumsum tulang atau biopsi. Pemeriksaan radiologi sendi yang
terlibat dapat menggambarkan infiltrasi langsung ke tulang atau temuan
nonspesifik seperti penipisan metafisis atau periostitis. Namun, pemeriksaan
radiologi dapat juga menunjukkan tampilan normal yang kadang tidak membantu
dalam menegakkan diagnosis.11
2.8.3
Artritis pada Kondisi non-inflamasi
Beberapa kondisi non-inflamasi dapat menyebabkan nyeri sendi yang
kadang diduga sebagai JRA. Diantaranya yaitu nyeri tungkai idiopatik pada anak
27
dan sindrom nyeri lainnya seperti pada fibromialgia serta trauma muskuloskeletal.
Nyeri pada tumit setelah aktivitas berat merupakan penyebab tersering dari nyeri
tumit pada anak yang lebih besar dan remaja. Kondisi ini dapat menunjukkan
efusi pada lutut yang kadang-kadang mirip dengan artritis. Beberapa sindrom
genetik dan kongenital yang mempengaruhi sistem muskuloskeletal mirip dengan
artritis, seperti pada dislokasi panggul kongenital, dan displasia epifisis serta
metafisis. Diagnosis dari berbagai kondisi non-inflamasi tersebut dapat dibedakan
dari artritis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, riwayat
keluarga lengkap dan pemeriksaan radiologi sendi dan tulang.11
2.8.4
Artritis pada penyakit reumatik lain
Penyakit reumatik anak lainnya dapat mirip dengan artritis. Diagnosis
pada kondisi ini biasanya didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Semuanya biasanya menunjukkan gejala dan tanda yang berbeda.11
Demam rematik adalah penyakit post infeksi streptokokus yang dikaitkan
dengan artritis berpindah. Karditis adalah temuan utamanya. Temuan lain
termasuk rash, nodul subkutan dan korea. Demam rematik jarang menyebabkan
artritis kronik, jadi untuk membedakanya dengan JRA tidaklah sulit.11
Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit multisistem
yang dimulai dengan artritis. Artritis pada penyakit ini jarang menjadi kronik
seperti halnya JRA dan manifestasi klinisnya sangat berbeda. Anti Nuclear
Antibody (ANA) dapat ada pada hampir semua kasus lupus, umumnya dengan
titer yang tinggi. Nefritis adalah temuan yang sering pada lupus anak, dimana
kadar komplemen hemolitik serum menurun dan terjadi peningkatan dari kadar
autoantibodi DNA, temuan yang biasanya tidak ditemukan pada JRA.
Dermatomiositis biasanya dihubungkan dengan artritis namun dengan manifestasi
miositis dan rash.11
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, pemeriksaan penunjang
yang tepat serta pemeriksaan laboratorium yang sesuai dapat secara efektif
membantu menyingkirkan diagnosis banding dari JRA. Penting untuk
menyingkirkan penyakit yang dapat diterapi secara pasti, seperti penyakit infeksi
dan keganasan, beberapa kondisi non-inflamasi dari tulang dan sendi, serta
28
penyakit reumatoid yang fatal seperti lupus dermatomiositis maupun demam
reumatik sebelum menetapkan diagnosis dari JRA.11
2.9 Pemeriksaan Penunjang
2.9.1 Laboratorium
Tidak ada uji diagnostik yang spesifik. Pemeriksaan laboratorium dipakai
sebagai penunjang diagnosis. Bila ditemukan Anti Nuclear Antibody (ANA),
Faktor Reumatoid (FR) dan peningkatan C3 serta C4 maka diagnosis JRA
menjadi lebih sempurna.1
Selama penyakit aktif, LED dan CRP biasanya meningkat. Anemia pada
umumnya dijumpai, biasanya dengan angka retikulosit rendah dan uji Coomb
negatif. Selain itu ditemukan peningkatan sel darah putih. Trombositosis dapat
terjadi terutama pada penyakit. Analisis urin normal, selama terapi non-steroid
mungkin ditemukan sedikit eritrosit dan sel tubuler ginjal. Terdapat kenaikan
fraksi α2-dan gamma globulin dalam serum dan penurunan albumin. Salah satu
atau semua kadar imunoglobulin serum dapat naik.8
ANA ditemukan pada beberapa anak dengan penyakit faktor reumatoidnegatif (25%), faktor reumatoid positif (75%), atau pausiartikular tipe I (90%)
tetapi jarang, pada mereka yang dengan penyakit sistemik atau pausiartikuler tipe
II. Penemuan ANA tidak berkolerasi dengan keparahan penyakit.8
Faktor reumatoid ditemukan pada sekitar 5% anak JRA dan berkolerasi
dengan JRA yang mulai pada umur yang lebih tua. Hasil uji positif paling sering
dihubungkan dengan penyakit poliartikular, yang mulai pada akhir masa kanakkanak, artritis destruksi berat, dan nodulus reumatoid.8
Cairan sinovial pada JRA tampak seperti berawan dan biasanya berisi
jumlah protein yang naik. Jumlah sel dapat bervariasi dari 5000-80.000 sel/mm3;
sel-sel tersebut terutama netrofil. Kadar glukosa pada cairan sendi mungkin
rendah; kadar komplemen mungkin normal atau menurun.8
Faktor reumatoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah
dideteksi, sedangkan pada JRA lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar
dideteksi laboratorium. Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada
29
JRA. Kekerapannya lebih tinggi pada penderita wanita muda dengan oligoartritis
dengan komplikasi uveitis. Pemeriksaan imunogenetik menunjukkan bahwa HLA
B27 lebih sering pada tipe oligoartritis yang kemudian menjadi spondilitis
ankilosa. HLA B5 B8 dan BW35 lebih sering ditemukan di Australia.1
2.9.2 Radiologi
Pemeriksaan radiologi JRA dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh
kerusakan yang terjadi pada keadaan klinis tertentu. Kelainan radiologik yang
terlihat pada sendi biasanya adalah pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi,
pelebaran ruang sendi, osteoporosis, dan kelainan yang agak jarang seperti
formasi tulang baru periostal. Pada tingkat lebih lanjut (biasanya lebih dari 2
tahun) dapat terlihat erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang
rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal.
Gambaran nekrosis aseptik jarang dijumpai pada JRA walaupun dengan
pengobatan steroid dosis tinggi jangka panjang.1
Tidak semua sendi kelompok JRA menunjukkan gambaran erosi, biasanya
hanya didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak, sedangkan erosi sendi
hanya didapatkan pada kelompok poliartikular.1
Gambaran agak khas pada tipe oligoartritis dapat terlihat berupa erosi
tulang pada fase lanjut, pengecilan diameter tulang panjang, serta atrofi jaringan
lunak regional sekunder. Kauffman dan Lovell mengajukan beberapa gambaran
radiologik yang menurut mereka khas untuk JRA sistemik, yaitu a)tulang panjang
yang memendek, melengkung, dan melebar, b)metafisis mengembang, dan
c)fragmentasi iregular epifisis pada masa awal sakit yang kemudian secara
bertahap bergabung ke dalam metafisis. 1
30
Gambar 2.Rontgen sendi pergelangan tangan.12
Perempuan 7 tahun dengan JRA tipe pausiartikular sejak usia 3 tahun. Gangguan pertumbuhan
ulnar dengan subluksasi ke tulang karpal, fraktur kompresi pada epifisis radius distal, destruksi
dan fusi tulang metacarpal.
Pemeriksaan foto rontgen tidak sensitif untuk mendeteksi penyakit tulang
atau manifestasi jaringan lunak pada fase awal. Selain dengan foto rontgen biasa
kelainan tulang dan sendi JRA dapat pula dideteksi lebih dini melalui skintigrafi
dengan technetium 99m. Pemeriksaan radionuklida ini sensitif namun kurang
spesifik. Skintigrafi menunjukkan keadaan hemodinamik dan aktivitas metabolik
di tulang dan sendi saat pemeriksaan dilakukan, sehingga dapat menunjukkan
inflamasi sendi secara dini. Ultrasonografi merupakan sarana paling baik untuk
mengetahui keadaan cairan intra-artrikular, terutama pada sendi-sendi yang susah
dilakukan pemeriksaan cairan secara klinis, seperti pinggul dan bahu.1
Ultrasonografi juga dapat menilai efusi atau sinovitis dengan menilai
penebalan membran sinovial dari sendi yang meradang, bursa dan pembungkus
31
tendon. Pemeriksaan MRI yang dipadu dengan gadolinium juga dapat
membedakan inflamasi sinovial dengan cairan sinovial. Sarana MRI dapat
digunakan untuk menilai aspek inflamasi dan destruktif dari penyakit artritis.
Berlawanan dengan foto rontgen, pemeriksaan MRI dapat digunakan untuk
mendeteksi inflamasi jaringan lunak dan perubahan tulang pada fase awal, selain
itu dapat menilai progresifitas penyakit.1
2.10 Penatalaksanaan
Dasar pengobatan JRA adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan pengobatan
adalah mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang gerakan
(range of motion), mengatasi komplikasi sistemik, memfasilitasi perkembangan
dan pertumbuhan yang normal. Karena itu pengobatan dilakukan secara terpadu
untuk mengontrol manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan
dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, pekerja sosial, bila perlu konsultasi
pada ahli bedah dan psikiatri.2
Tujuan penatalaksanaan JRA ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri.
Banyak hal yang harus diperhatikan selain mengatasi nyeri, yaitu mencegah erosi
lebih lanjut, mengurangi kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah
kecacatan sendi permanen. Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi
maupun non farmakologi. Selain obat-obatan, nutrisi juga tak kalah penting. Pada
pasien JRA pertumbuhannya sangat terganggu baik karena konsumsi zat gizi yang
kurang atau menurunnya nafsu makan akibat sakit atau efek samping obat.4
2.10.1 Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS)
Pengelolaan nyeri kronik pada anak tidak mudah. Masalahnya sangat
kompleks, karena pada umumnya anak-anak belum dapat mengungkapkan nyeri.
Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) merupakan anti nyeri pada umumnya
yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak. Selain untuk mengurangi
nyeri, OAINS juga dapat digunakan mengontrol kaku sendi. Efek analgesiknya
juga sangat cepat.2
Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) digunakan pada sebagian besar
anak dalam terapi inisial. Obat golongan ini mempunyai efek antipiretik,
32
analgetik, dan antiinflamasi serta aman untuk penggunaan jangka panjang pada
anak. Selain itu obat ini juga menghambat sintesis prostaglandin. Sebagian besar
anak dengan tipe oligoartritis dan sedikit poliartritis mempunyai respon baik
terhadap pengobatan OAINS tanpa memerlukan tambahan obat lini kedua.2
Penggunaan aspirin sebagai pilihan obat telah digantikan dengan OAINS
karena adanya peningkatan toksisitas gaster dan hepatotoksisitas yang ditandai
dengan transaminasemia. Dengan adanya OAINS yang menghambat siklus
siklooksigenase (COX), khususnya COX-2 maka penggunaan OAINS lebih
dipilih daripada aspirin karena tidak menyebabkan agregasi trombosit, sehingga
dapat digunakan pada pasien yang mempunyai masalah perdarahan. Namun
demikian, aspirin masih mampu menekan demam dan aspek inflamasi lainnya dan
terbukti aman dalam penggunaan jangka panjang. Dosis yang biasa dipakai adalah
75-90 mg/kgBB/hari dalam 3 atau 4 kali pemberian, diberikan bersama dengan
makanan untuk mencegah iritasi lambung. Dosis tinggi biasanya untuk anak yang
beratnya kurang dari 25 kg, sedangkan untuk anak yang lebih besar diberikan
dosis yang lebih rendah. Aspirin diberikan terus sampai 1 atau 2 tahun setelah
gejala klinis menghilang. 2
Macam OAINS yang sering digunakan pada anak-anak:
a. Tolmetin
Tolmetin diberikan bersama makanan, dalam dosis 25-30 mg/kgBB/hari,
dibagi dalam 3 dosis.2,4
b. Naproksen
Naproksen efektif dalam tatalaksana inflamasi sendi dengan dosis 15-20
mg/kgBB/hari yang diberikan dua kali perhari bersama makanan. Dapat
timbul
efek
samping
berupa
ketidaknyamanan
epigastrik
dan
pseudoporfiria kutaneus yang ditandai dengan erupsi bulosa pada wajah,
tangan, dan meninggalkan jaringan parut. 2,4
c. Ibuprofen
Ibuprofen merupakan antiinflamasi derajat sedang dan mempunyai
toleransi yang baik pada dosis 35 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3-4 dosis
dan diberikan bersama makanan. 2,4
33
d. Diklofenak
Diklofenak dapat diberikan pada anak yang tidak dapat OAINS lain karena
adanya efek samping pada lambung. Dosis yang diberikan adalah 2-3
mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis. 2,4
2.10.2 Analgetik
Walaupun bukan obat antiinflamasi, asetaminofen dalam 2-3 kali
pemberian dapat bermanfaat untuk mengontrol nyeri atau demam terutama pada
penyakit sistemik. Obat ini tidak boleh diberikan untuk waktu lama karena dapat
menimbulkan kelainan ginjal.2
2.10.3 Imunosupresan
Imunosupresan hanya diberikan dalam protokol eksperimental untuk
keadaan berat yang mengancam kehidupan, walaupun beberapa pusat reumatologi
sudah mulai memakainya dalam protokol baku. Obat yang biasa dipergunakan
adalah azatioprin, siklofosfamid, klorambusil, dan metotreksat. 2
Metotreksat mempunyai onset kerja cepat, efektif, toksisitas yang masih
dapat diterima, sehingga merupakan obat lini kedua dalam JRA. Keunggulan
penggunaan obat ini adalah efektif dan dosis relatif rendah, pemberian oral dan
dosis 1 kali per minggu. Indikasinya adalah untuk poliartritis berat, oligoartritis
yang agresif atau gejala sistemik yang tidak membaik dengan OAINS,
hidroksiklorokuin, atau garam emas. Dosis inisial 5 mg/m 2 luas permukaan
tubuh/minggu dapat dinaikkan menjadi 10 mg/m 2 luas permukaan tubuh/minggu
bila respon tidak adekuat setelah 8 minggu pemberian (dosis maksimal 30 mg/
m2). Lama pengobatan yang dianggap adekuat adalah 6 bulan. Asam folat 1
mg/hari sering diberikan bersama metotreksat untuk mengurangi toksisitas
mukosa gastrointestinal. Anak-anak dengan poliartritis berat yang tidak berespon
dengan metotreksat oral dapat digantikan dengan intramuskular atau subkutan. 2
2.10.4 Obat Antireumatik Kerja Lambat
Golongan ini terdiri dari obat antimalaria (hidroksiklorokuin), preparat
emas oral dan suntikan, penisilamin, dan sulfasalazin. Obat golongan ini hanya
34
diberikan untuk poliartritis progresif yang tidak menunjukan perbaikan dengan
OAINS. Hidroksiklorokuin dapat bermanfaat sebagai obat tambahan OAINS
untuk anak besar dengan dosis awal 6-7 mg/kgBB/hari, dan setelah 8 minggu
diturunkan menjadi 5 mg/kgBB/hari. Pemberian hidroksiklorokuin harus
didahului dengan pemeriksaan mata, khususnya keadaan retina, lapangan
pandang, dan warna. Oleh karena itu, penggunaan obat ini jarang diberikan pada
anak di bawah usia 4-7 tahun karena adanya kesulitan tindak lanjut pada
pemeriksaan mata. Bila setelah 6 bulan pengobatan tidak diperoleh perbaikan
maka hidroksiklorokuin harus dihentikan.2
Sulfasalazin tidak diberikan pada anak dengan hipersensitivitas terhadap
sulfa atau salisilat dan penurunan fungsi ginjal dan hati. Dosis dimulai dengan 500
mg/hari diberikan bersama makanan (untuk anak yang lebih kecil 12,5 mg/kgBB).
Dosis dinaikkan sampai 50 mg/kgB/hari (maksimal 2 gram). Monitor dilakukan
melalui pemeriksaan hematologi dan fungsi hati. Sulfasalazin dapat diberikan
sebagai langkah sementara sebelum menambah obat kedua selain OAINS, seperti
metotreksat. Sulfasalazin kadang-kadang diberikan sebagai antiinflamasi lini
kedua pada anak dengan tipe poliartritis atau oligoartritis persisten.2
2.10.5 Kortikosteroid
`
Diberikan bila terdapat gejala penyakit sistemik, uveitis kronik, atau untuk
suntikan intraartikular. Penggunaan kortikosteroid tunggal tidak dianjurkan untuk
menekan inflamasi sendi, namun dosis rendah dapat digunakan pada anak dengan
poliartritis berat yang tidak berespon dengan terapi lain. Dosis rendah prednison
(0,1-0,2 mg/kgBB) dapat digunakan sebagai agen “jembatan” dalam terapi inisial
anak yang sakit sedang atau berat yang sebelumnya menggunakan obat
antiinflamasi kerja lambat. Untuk gejala penyakit sistemik berat yang tak
terkontrol diberikan prednison 0,25-1 mg/kgBB/hari dosis tunggal (maksimal 40
mg) atau dosis terbagi pada keadaan yang lebih berat. Bila terjadi perbaikan klinis
maka dosis diturunkan perlahan dan prednison dihentikan. Efek samping yang
dapat terjadi pada pemakaian jangka panjang antara lain sindrom cushing,
35
penekanan pertumbuhan, fraktur, katarak, gejala gastrointestinal dan defisiensi
glukokortikoid. 2
Kortikosteroid intra-artikular dapat diberikan pada oligoartritis yang tidak
berespon dengan OAINS atau sebagai bantuan dalam terapi fisik pada sendi yang
sudah mengalami inflamasi dan kontraktur. Kortikosteroid intra-artikular juga
dapat diberikan pada poliartritis dimana satu atau beberapa sendi tidak berespon
dengan OAINS. Namun, pemberian injeksi intra-artikular ini harus dibatasi,
misalnya 3 kali pada 1 sendi selama 1 tahun. Triamsinolon heksasetonid
merupakan obat pilihan dengan dosis 20-40 mg untuk sendi besar. 2
2.10.6 Fisioterapi dan Latihan Fisik
Banyak manfaat terapi dengan fisioterapi. Kegunaannya antara lain untuk
mengontrol nyeri, dengan cara pemasangan bidai, terapi panas dingin, dan
hidroterapi. Hidroterapi pemanasan dengan air pada suhu 96 oF sangat membantu
mengurangi nyeri. Selain itu, fisioterapi berguna bagi anak-anak untuk melakukan
peregangan otot yang dapat berguna memperbaiki fungsi sendi. Peregangan pasif
sangat diperlukan, tetapi harus dikerjakan dengan pengawasan. Latihan aktif
dengan atau tanpa beban sangat membantu menambah massa otot. Fisioterapi juga
berguna untuk mempertahankan fungsi gerak sendi serta mempertahankan
pertumbuhan normal.2,4
Latihan fisik bertujuan untuk meminimalisir nyeri, menjaga dan
mengembalikan fungsi dan mencegah deformitas dan disabilitas. Pada anak
dengan artritis aktif dianjurkan untuk beristirahat dan meningkatkan waktu tidur
saat malam hari. Pasien dengan JRA harus sedapat mungkin aktif, namun kegiatan
yang menyebabkan kelelahan berlebih dan nyeri pada sendi perlu dihindari. 2,4
2.10.7 Psikoterapi
Dukungan psikologis bagi anak dan keluarganya sangat penting untuk
memperbaiki prognosis jangka panjang. Anak dengan RJA berat sering
mengalami retardasi pertumbuhan dan sering terlalu dilindungi oleh keluarga,
guru dan teman sekelasnya. Anak tersebut sering memanfaatkan hal ini untuk
tidak pergi ke sekolah, tidak melakukan pekerjaan di rumah ataupun tidak
36
melakukan tugas yang tidak menyenangkan. Terapis harus dapat meyakinkan
semua orang yang berinteraksi dengan anak pengidap RJA untuk menghadapi
anak tersebut secara normal sesuai anak seusianya dan menekankan indepedensi
serta pendewasaan sebanyak mungkin. Bila hal itu tidak dilakukan, anak mungkin
akan makin mengalami regresi atau imatur seiring dengan waktu.6
Selain itu, memiliki anak berpenyakit kronik akan menimbulkan stress
besar pada interaksi anak tersebut dengan saudara-saudaranya dan pada perkawina
orang tua. Perlunya terapi fisik akan menjadi beban bagi oang tua, sehingga
membutuhkan banyak dukungan dan dorongan. Beban biaya untuk semua
penyakit kronik mungkin sangat besar. Terapis harus bekerja sama dengan guru
dan departemen pendidikan, untuk memastikan bahwa anak diijinkan dan
didorong untuk menjadi senormal mungkinselagi di sekolah.6
2.10.8 Nutrisi
Nutrisi dan vitamin suplemen (vitamin B dan asam folat) menjadi aspek
penting dalam penatalaksanaan jangka panjang, karena adanya proses retardasi
pertumbuhan dan kerusakan mineralisasi tulang akibat penyakit dan pemberian
kortikosteroid.2
Seringkali didapatkan gangguan pertumbuhan, baik lokal karena
kerusakan pusat pertumbuhan tulang maupun umum karena asupan nutrisi yang
kurang dan menurunnya produksi insulin like growth factor. Anak-anak dengan
inflamasi kronis mempunyai risiko untuk terjadi malnutrisi oleh karena menahan
sakit yang menyebabkan nafsu makan menurun. Dengan demikian jumlah kalori
yang didapat berkurang. Selain faktor tersebut, efek samping obat-obatan juga
mempengaruhi penurunan nafsu makan. Obat-obatan yang dapat menurunkan
nafsu makan antara lain OAINS dan klorokuin.4
Obesitas mungkin dijumpai pada beberapa kasus, hal ini disebabkan
karena kurangnya aktivitas, intake makanan yang berlebihan atau akibat efek
samping kortikosteroid. Penanganan diet pada anak sangatlah kompleks. Vitamin,
zat besi, dan kalsium sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan anak, dan sebaiknya
ditambahkan pada diet. Oleh karena pemakaian steroid jangka panjang, maka
37
diperlukan vitamin D. Dosis untuk anak umur 1-10 tahun adalah vitamin D 400
IU dan kalsium 400 mg, sedangkan kalsium 800 mg digunakan pada anak lebih
dari 10 tahun.4
2.10.9 Bedah
Terapi bedah dilakukan hanya pada sebagian kecil JRA yakni pada kasus
dimana terdapat deformitas sendi, ketidakmampuan bergerak atau nyeri yang
parah. Pembedahan adalah pilihan pengobatan yang harus dipertimbangkan bila
tidak ada perbaikan dengan obat maupun terapi fisik serta tidak dapat berjalan dan
mengerjakan pekerjaan sehari-hari. 1
Beberapa
prosedur
pembedahan
yang
sering
digunakan
untuk
memperbaiki deformitas sendi, diantaranya dengan:
•
Membebaskan jaringan lunak pada kontraktur, dengan memotong otot
yang berdempet pada sendi yang bengkok. Setelah otot dan jaringan yang
memendek lainnya dibebaskan, sendi yang terlibat akan kembali ke posisi
yang lebih normal.
•
Penggantian sendi total dilakukan bila terpaksa, dimana sendi yang terlibat
telah sangat rusak yakni sangat sulit atau bahkan sudah tidak bisa untuk
berjalan. Hal penting yang harus dipertimbangkan adalah umur anak,
jumlah sendi yang terlibat, dan dampaknya terhadap mobilitas anak. 1
Prosedur bedah lainnya yang telah digunakan untuk penanganan JRA,
namun hanya direkomendasikan pada beberapa kasus, yakni:
•
Osteotomi, membuang jaringan pada tulang untuk memberikan struktur
yang normal pada sendi. Osteotomi dapat direkomendasikan pada anak
dengan kontraktur sendi yang parah.
•
Epifisiodesis, dimana bagian dari tulang panjang tumbuh terjadi dibuang
untuk mencegah pertumbuhan lebih lanjut dari tulang.
•
Sinovektomi atau tenosinovektomi, prosedur ini jarang dilakukan pada
JRA.
Sinovektomi
tendosinovektomi
adalah
operasi
sedangkan
adalah
penggantian
operasi
pada
dari
sinovium
jaringan
yang
menyelimuti tendon untuk mengurangi inflamasi sendi.
38
•
Artrodesis, jarang dilakukan pada anak. Prosedur ini dilakukan pada anak
yang terjadi fusi pada dua tulangnya, sehingga sendi tidak mampu
bergerak lebih luas. 1
Hal yang harus diperhatikan sebelum pembedahan dilakukan adalah usia
anak, dan apakah tulang mereka masih tumbuh. Saat mempertimbangkan
penggantian sendi total, sangat penting untuk memikirkan kebutuhan penggantian
total pada sendi lainnya dalam 10-20 tahun berikutnya. Waktunya tergantung pada
umur anak, kemungkinan hidup dengan sendi pengganti, dan kemungkinan
kehilangan kekuatan otot dan tulang bila pembedahan ditunda terlalu lama.1
2.11 Prognosis
Pada kebanyakan kasus, JRA berespon secara lambat dan berangsurangsur terhadap terapi yang cocok. JRA biasanya sembuh sebelum dewasa. Pasien
yang menderita artritis hanya pada beberapa sendi memiliki prognosis lebih baik
dari pada mereka yang telah menderita penyakit artritis sistemik, yang sulit untuk
disembuhkan. Walaupun hal ini dapat menjadi masalah yang serius, namun hanya
sedikit orang yang meninggal karenanya.13
Prognosis bervariasi berdasarkan kepada bentuk JRA. Lebih dari 50%
pasien berkembang menjadi lesi sendi yang berat dengan poliartikuler seropositif,
25% berkembang menjadi bentuk sistemik, dan 10-20% berupa poliartikuler
seronegatif. Penyebab utama morbiditas pada JRA poliartikuler dan sistemik
adalah penyakit sendi kronis.20% anak yang menderita penyakit pausiartikuler
tipe I nantinya berkembang menjadi poliartritis berat. Pada penyakit
pausiartikuler, morbiditas utama adalah iridosiklitis kronis pada penderita tipe I
dan selanjutnya spondiloartropati pada penderita tipe II. 8,14
Dalam perjalanan penyakit mungkin terdapat eksaserbasi, remisi, atau
gejala-gejala dapat berlangsung selama bertahun-tahun dengan artritis ringan atau
berat yang menyebabkan penghancuran sendi dan deformitas permanen sehingga
menyebabkan timbulnya cacat. Penyakit tidak selalu mereda pada masa pubertas.
Beberapa penderita terus menderita artritis aktif sampai dewasa, dan beberapa
39
penderita mengalami eksaserbasi sesudah penyakit yang dalam waktu bertahuntahun tampak mereda secara sempurna.8
Penderita dengan poliartritis faktor reumatoid-positif dan JRA sistemik
mempunyai prognosis yang paling jelek terhadap fungsi sendi. Namun, prognosis
terhadap keseluruhan baik. Sekurang-kurangnya 75% penderita JRA akhirnya
mengalami penyembuhan lama tanpa deformitas sisa atau kehilangan fungsi.
Hanya sedikit yang tetap dengan cacat deformitas sendi. Kelemehan pada
penderita terutama diakibatkan oleh penyakit sendi pinggul berat, sebagaimana
hilangnya visus karena iridosiklitis. Di Eropa, amiloidosis mengenai sekitar 5%
penderita JRA tetapi di Amerika Serikat komplikasi ini jarang ditemui.8,13
Dengan terapi yang tepat, anak dengan segala bentuk dari artritis akan
selalu membaik seiring waktu. Sebagian besar anak dengan artritis tumbuh normal
tanpa kesulitan berarti. Biasanya untuk kasus berat dengan pengobatan yang tepat,
terapi fisik dan okupasi yang tepat dan operasi yang tepat bila diperlukan,
sebenarnya tidak satu pun pasien yang membutuhkan kursi roda. Anak dengan
penyakit onset sistemik cenderung berespon baik dengan pengobatan medis atau
berkembang menjadi poliartikular berat yang cenderung resisten dengan
pengobatan medis, dengan penyakit persisten hingga dewasa.13
Saat ini telah banyak kemajuan signifikan dalam pengobatan anak dengan
artritis. Kemajuan pengobatan selama 20 tahun terakhir ini terutama dengan
ditemukannya steroid intraartikular, metotreksat, dan pengobatan biologik telah
didapatkan kemajuan dramatis dari prognosis anak dengan artritis. Hampir semua
anak dengan JRA dapat hidup produktif. Namun, banyak pasien, khususnya yang
memiliki penyakit poliartikular, mungkin memiliki masalah penyakit aktif saat
dewasa, dengan mencapai remisi terus-menerus pada sebagian kecil pasien.13
2.12 Komplikasi
Beberapa komplikasi penting dapat terjadi akibat JRA. Namun dengan tetap
memantau keadaan anak dan pemberian pengobatan dapat menurunkan resiko dari
komplikasi-komplikasi berikut:13
1. Komplikasi pada mata
40
Uveitis (inflamasi pada mata) merupakan komplikasi yang sering tanpa gejala.
Biasanya terjadi pada anak perempuan yang memiliki hasil ANA positif. Bila
kondisi ini tidak ditangani dengan baik, dapat menyebabkan terjadinya katarak,
glaukoma bahkan kebutaan. Uveitis terkait JRA biasanya asimptomatik. Skrining
terhadap uveitis telah dilakukan selama beberapa tahun dan telah membantu
menurunkan prevalensi pasien yang kehilangan penglihatan.13
2. Deformitas tulang
Inflamasi sinovitis dan efek destruksinya pada sendi dapat menyebabkan
berbagai komplikasi neurologis pada pasien rheumatoid arthritis. Kompresi yang
berlokasi pada saraf median di pergelangan tangan merupakan neuropati yang
paling banyak dilaporkan pada pasien rheumatoid arthritis dewasa. Dalam suatu
penelitian didapatkan bahwa saraf median tidak terpengaruh pada pasien dengan
JRA. Namun, perlu penelitian lebih lanjut dengan sampel lebih besar sehingga
dapat mengevaluasi struktur pada carpal tunner. 13
3. Gangguan pertumbuhan
JRA dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tulang anak.
Beberapa obat yang digunakan untuk mengobati JRA, terutama kortikosteroid,
juga dapat menghambat pertumbuhan, menyebabkan diskrepensi panjang tungkai,
kaki tidak sama panjang, dan deformitas tulang. 13
4. Kontraktur sendi
Pada lutut, dapat terjadi kekakuan lutut, deformitas sendi dan kerusakan sendi.
Komplikasi pada tulang leher mengakibatkan anak mengalami kesulitan
menekukkan kepala ke depan. Komplikasi pada tulang punggung berupa
keterbatasan gerakan punggung. 13
5. Lainnya
Perkarditis dapat terjadi dengan gejala terseringnya berupa nafas pendek yang
tidak dapat dijelaskan. Dapat juga terjadi anemia atau kelainan darah sejenisnya.
Inflamasi dari arteri pada tangan dan kaki yang dapat mengganggu sirkulasi dan
menyebabkan kerusakan serius pada jari tangan dan jari kaki. Selain itu pernah
juga dilaporkan terjadinya inflamasi hepar. 13
41
BAB III
SIMPULAN
Juvenile rheumatoid arthritis (JRA) adalah peradangan kronis pada sendi
yang onsetnya terjadi sebelum usia 16 tahun dan menetap lebih dari 6 minggu.
Juvenil Rheumatoid Arthritis (JRA) merupakan penyakit kronis yang merusak dan
menghancurkan sendi-sendi tubuh. Kerusakan disebabkan oleh peradangan yang
menyebabkan nyeri, kekakuan, dan bengkak pada sendi. Peradangan sering
mempengaruhi organ lain dari sistem tubuh. Jika peradangan tidak dihambat atau
dihentikan, akhirnya akan menghancurkan sendi yang terkena dan jaringan
lainnya.
Angka kematian tertinggi pada anak-anak dengan JRA terjadi pada pasien
JRA sistemik yang menunjukkan gejala-gejala sistemik. Dasar pengobatan JRA
adalah suportif, bukan kuratif. Modalitas terapi yang digunakan adalah
farmakologi maupun non farmakologi. Modalitas farmakologi diantaranya obat
anti inflamasi nonsteroid (OAINS), analgetik, imunosupresan, obat antireumatik
kerja lambat, dan kortikosteroid. Sedangkan modalitas non farmakologi yaitu
fisioterapi, latihan fisik, nutrisi, dan terapi bedah.
Pada kebanyakan kasus, JRA berespon secara lambat dan berangsurangsur terhadap terapi yang cocok. JRA biasanya sembuh sebelum dewasa. Pasien
yang menderita artritis hanya pada beberapa sendi memiliki prognosis lebih baik
daripada mereka yang telah menderita penyakit artritis sistemik, yang sulit untuk
disembuhkan.
42
DAFTAR PUSTAKA
1. David
DS.
Juvenile
Idiopathic
Arthritis.
Diunduh
dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1007276-overview#a0156, 2011.
2. Akib AAP. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Akib AAP, Munasir Z,
Kurniati N, penyunting. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. Jakarta: IDAI.
2008; hal 322-44.
3. Khan P. Juvenile Idiopathic Arthritis, An Update on Pharmacotherapy.
Bulletin of the NYU Hospital for Joint Diseases 2011; 69(3): 264-76.
4. Yuliasih. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Interna Publishing. 2010; 2520-5.
5. Pribadi A, Akib AAP, Taralan T. Profil Kasus Artritis Idiopatik Juvenil
(AIJ) Berdasarkan Klasifikasi International League Against Rheumatism
(ILAR). Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Sari Pediatri.2008; 9
(6) : 40-8.
6. Rudolph MA. Artritis Reumatoid Juvenilis. Dalam: Buku Ajar Pediatrik
Rudolph. Vol. 1. Ed : 20. Deborah Welt Kredich. Jakarta: EGC. 2006;
537-8.
7. Hahn YS, Kim JG. Pathogenesis and clinical manifestation of juvenile
reumathoid arthritis. Korean Journal of Pediatrics. 2010; 921-30.
43
8. Kliegman R, Stanton BF, Geme JW, Schor NF, Behrman RE, Arvin A.
Artritis Reumatoid Juvenil. Juvenile Idiopathic Arthritis. Dalam:
Kliegman Robert M ... [et al.]. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th
edition. Philadelphia: Elsevier. 2011; 2671-2689.
9. Saxena N. Is the enthesitis-related arthritis subtype of juvenile idiopathic
arthritis a form of chronic reactive arthritis?. Oxford University Press on
behalf of the British Society for Rheumatology. 2006; 1129-32.
10. Woo P, Laxer RM, Sherry DD. Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA). Dalam:
Pediatric Rheumatology in Clinical Practice. London: Springer. 2007; 2346.
11. Schaller JG. Juvenil Reumatoid Artritis. American Academy of Pediatrics.
1997; 9-11.
12. Cantani A. Autoimmnune Diseases. Dalam: Dr. Ute Heilmann,
Heidelberg, Germany. Pediatric Allergy, Asthma and Immunology. Roma:
Springer. 2007; 1075-84.
13. Shiel,
William C. Juvenile Rheumatoid Arthritis. Diunduh dari:
http://www.emedicinehealth.com/juvenile_rheumatoid_arthritis/article_e
m.htm tanggal 19 Oktober 2013
14. Cantani A. Juvenile Rheumatoid Arthritis. Dalam: Pediatric Allergy,
Asthma,
and
Immunology.
Springer
Berlin
Heidelberg
New
York.2008:1085-100.
44
Download