Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

advertisement
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan rahmat, hidayah, kekuatan dan kemudahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan kajian ini dengan baik dan sesuai
dengan waktu yang telah ditetapkan.
Perikanan merupakan sektor yang sangat berpotensi untuk
menghasilkan devisa di negeri ini. Begitu pula dengan Laut Indonesia,
mengandung potensi ekonomi dan modal pembangunan yang sangat
besar dan beragam. Apabila optimal dalam pendayagunaan sumber daya
laut, maka potensi ini akan mampu memberikan kontribusi yang besar
dalam menyejahterakan rakyat di negeri ini. Meskipun PDB Perikanan
masih kecil, namun kontribusinya terhadap PDB nasional terus meningkat
dari 2,8% di tahun 2008 menjadi 3,2 di tahun 2013. Selain itu, selama
2010-2012, pertumbuhannya selalu di atas 6%.
Berkaitan dengan pentingnya sektor perikanan sebagai penghasil
devisa negara serta basis pembangunan ekonomi secara berkelanjutan,
maka perlu kebijakan dan regulasi yang tepat untuk mengatur tata niaga
ikan dan produk perikanan untuk menjaga stabilitas harga dan industri
nasional. Untuk itu, Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri melakukan
kajian “Analisis Kebijakan Impor Produk Perikanan”.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran diharapkan dari semua pihak untuk tahap
pengembangan dan penyempurnaan kajian ini di masa akan datang.
Besar harapan penulis bahwa informasi sekecil apapun yang terdapat
dalam kajian ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan
bagi para pembaca.
Jakarta, September 2014
Tim Analisis
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
2
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang
1
1.2. Tujuan Analisis
3
1.3. Ruang Lingkup Analisis
3
1.4. Metodologi Analisis
3
1.5. Sistematika Penulisan
4
TINJAUAN PUSTAKA
5
2.1. Teori Perdagangan Internasional
5
BAB II
BAB III
BAB IV
2.2. Daya Saing Produk
12
2.3. Kebijakan Publik Perikanan
16
METODOLOGI
24
3.1. Kerangka Pemikiran
24
3.2. Pengumpulan Data
25
GAMBARAN
UMUM
KEBIJAKAN
IMPOR
27
Perikanan
27
Kinerja Perdagangan Luar Negeri Produk
36
PRODUK PERIKANAN
4.1.
Perkembangan
Industri
Indonesia
4.2.
Perikanan
4.3.
Dampak Implementasi Kebijakan Impor
40
Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan terhadap Kinerja Sub Sektor
Perikanan
4.4.
Hasil Temuan Lapangan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
42
3
BAB V
KESIMPULAN
DAN
REKOMENDASI
49
KEBIJAKAN
5.1. Kesimpulan
49
5.2. Rekomendasi Kebijakan
51
DAFTAR PUSTAKA
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
52
4
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Komoditi Ekspor Ikan dan Produk Perikanan
38
Tabel 4.2 Komoditi Impor Ikan dan Produk Perikanan
39
Tabel 4.3 Hasil Analisis Perkembangan Kinerja Sub Sektor
41
Perikanan
Tabel 4.4 Hasil Analisis Dampak Kebijakan terhadap Pihak
42
Nelayan, Processors (Industri Pengolahan Ikan),
Konsumen dan Pemerintah
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
5
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1 Representasi Komponen Model Pasar Produk
24
Perikananan Indonesia
Gambar 4.1 Jumlah Perusahaan Penangkapan Ikan
31
Gambar 4.2 Jumlah Perusahaan Penangkapan Ikan Menurut
32
Status Permodalan
Gambar 4.3 Jumlah Produksi Ikan di Tempat Pelelangan
33
Ikan
Gambar 4.4 Jumlah
Kapal
Penangkap
Ikan
di
Sektor
34
Gambar 4.5 Perkembangan Neraca Perdagangan Ikan dan
36
Perikanan Tangkap
Produk Perikanan
Gambar 4.6 Struktur Ekspor dan Impor Ikan dan Produk
37
Perikanan, Semester I 2014
Gambar 4.7 Negara Tujuan Ekspor dan Negara Asal Impor
40
Ikan dan Produk Perikanan, Semester I 2014
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Perikanan merupakan sektor yang sangat berpotensi untuk
menghasilkan devisa di negeri ini. Hal ini didukung oleh luas wilayah
Indonesia yang 2/3 wilayahnya merupakan lautan, dengan garis pantai
terpanjang kedua di dunia. Dengan diapit oleh dua samudera, perikanan
di Indonesia bertekad untuk menjadi produsen produk perikanan nomor
satu dunia. Panjang garis pantai tropis terpanjang kedua (setelah
Kanada). Dengan bentang wilayah Indonesia dari ujung Barat (Sabang)
dan timur (Merauke) setara dengan London sampai Bagdad. Bentang
ujung utara (Kep. Satal) dan selatan (P. Rote) setara dengan jarak negara
Jerman sampai negara Al-Ajazair. 1
Laut mengandung potensi ekonomi dan modal pembangunan yang
sangat besar dan beragam. Kontribusiya terhadap GDP senilai 28 milyar
(1988) atau 20 %. Lebih rendah bila dibandingkan dengan Korea Selatan
dengan panjang pantai 2.713 Km dengan kontribusinya 147 milyar (1992)
atau 37% (Dutton dan Hotta, 1999). Nilai ekspor perikanan sebesar US $
1,76 milyar (1998) dengan nilai rumput laut (US $ 45 juta), lebih rendah
bila dibandingkan dengan Thailand sebesar US $ 4,2 milyar dengan
panjang pantai 2.600 km. Apabila optimal dalam pendayagunaan sumber
daya laut, maka potensi ini akan mampu memberikan kontribusi yang
besar dalam menyejahterakan rakyat di negeri ini.
Sumber kelautan sebagian besar renewable resources ( Ikan
demersal, ikan pelagis, sea weed dan biota lainnya) sebagai basis
pembangunan ekonomi secara berkelanjutan. Potensi lestari sumberdaya
perikanan laut di Indonesia adalah 6,18 juta ton pertahun, ikan demersal
1
Laporan Tahunan Departemen Kelautan dan Perikanan RI Tahun 2004
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
7
1,78 juta ton, ikan karang konsumsi 75 ribu ton, udang penaid 74 ribu ton,
lobster 4,80 ribu ton, dan cumi-cumi 28,25 ribu ton. 2
Terpuruknya sektor perikanan selama ini disebabkan oleh tiadanya
grand design. Indonesia tidak memiliki cetak biru sektor perikanan, baik
hulu maupun hilir. Karena itu, kita mendesak pemerintah untuk segera
merumuskan cetak biru perikanan Indonesia yang komprehensif dan
visioner. Perlu ditegaskan dalam cetak biru tentang model kebijakan yang
dianut. Apakah Indonesia menganut model Filipina yang populis, hanya
mendorong nelayan kecil, ataukah seperti Jepang yang mendorong
nelayan besar dan melindungi nelayan kecil?
Penyusunan grand design sektor perikanan perlu melibatkan
semua pihak yang memiliki kompetensi, yakni pelaku usaha di hulu dan
hilir sektor perikanan, para akademisi, para pemikir, dan lembaga
swadaya masyarakat. Selain menetapkan model pembangunan yang
dianut, cetak biru perlu memetakan semua faktor yang dibutuhkan untuk
mendorong
sektor
perikanan,
yakni
infrastruktur,
kelembagaan,
pembiayaan, dan pemasaran.
Di bagian hulu, cetak biru perikanan perlu mengatur tentang jenis
ikan yang tidak boleh diekspor, jenis ikan yang harus diprioritaskan untuk
industri dalam negeri, jenis ikan yang diprioritaskan untuk konsumsi
masyarakat
Indonesia.
Untuk
menopang
industri
perikanan
dan
melindungi nelayan dalam negeri, perlu diatur tentang mekanisme, jenis,
dan volume impor ikan.
Saat ini, industri perikanan Indonesia terpukul oleh kelangkaan ikan
dalam negeri dan regulasi yang tidak mendukung. Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.15/MEN/2011
Tentang Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan yang Masuk
ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia dinilai menghambat impor
2
Dikutip dari Supriharyono dalam buku “Pelestariaan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di
Wilayah Pesisir Tropis.” Gramedia Pustaka Utama.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
8
ikan jenis tertentu yang dibutuhkan industri. Akibat kebijakan itu, sejumlah
pabrik ikan kini kesulitan dan terancam bangkrut.
1.2.
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis kinerja ekspor dan impor produk perikanan
Indonesia serta hambatannya
2. Menganalisis kebijakan ekspor dan impor produk perikanan di
Indonesia
3. Menganalisis potensi dan permasalahan industri pengolahan
produk perikanan di Indonesia
4. Merumuskan rekomendasi kebijakan impor produk perikanan
1.3.
1.
Ruang Lingkup Penelitian
Administrasi
Mencakup informasi-informasi status dan ketentuan mengenai
kebijakan di bidang impor seperti import licensing, preshipment
inspection, standard dan kebijakan impor lainnya.
2.
Ekonomi
Nilai dan volume impor produk perikanan selama periode tahun 2009
– 2014, serta kontribusi sektor industri perikanan terhadap Produk
Domestik Bruto, tenaga kerja dan investasi.
3.
Produk
Kajian ini membatasi ruang lingkup produk hanya pada produk
perikanan.
4.
Hukum
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor
PER.15/MEN/2011
Tentang
Pengendalian
Mutu
dan
Keamanan Hasil Perikanan yang Masuk ke Dalam Wilayah Negara
Republik Indonesia.
1.4.
Metodologi
Pengumpulan data dan informasi dalam analisis ini dilakukan
dengan metode studi literatur dan in-depth interview terhadap pemangku
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
9
kepentingan terkait. Sementara, analisis kebijakan importasi produk
perikanan
dan
dilakukan
dengan
pendekatan
ekonomi,
untuk
menganalisis dampak yang ditimbulkan dari penerapan kebijakan
tersebut.
1.5.
Sistematika Penulisan
Bab I
Pendahuluan
1. Latar Belakang
2. Tujuan Penelitian
3. Ruang Lingkup Penelitian
4. Metodologi
5. Sistematika Penulisan
Bab II
Tinjauan Pustaka
1. Teori Perdagangan Internasional
2. Teori Kebijakan Publik
Bab III
Metodologi
Bab IV
Gambaran Umum Kebijakan Impor Produk Perikanan
1. Perkembangan Industri Perikanan di Indonesia
2. Kinerja Perdagangan Luar Negeri Produk Perikanan
3. Implementasi Kebijakan Impor Produk Perikanan
Bab V
Penutup
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang dilakukan
oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar
kesepakatan bersama. Penduduk yang dmaksud dapat berupa antar
perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah
suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara
lain (Wikipedia, 2014).
Setiap negara yang melakukan perdagangan
dengan negara lain tertentu akan memperoleh manfaat bagi negara
tersebut. Manfaat tersebut antara lain (a) memperoleh barang yang tidak
dapat diproduksi di negeri sendiri; (b) memperoleh keuntungan dari
spesialisasi; (c) faktor-faktor produksi yang dimiliki setiap negara dapat
digunakan dengan lebih efisien; (d) memperluas pasar dan menambah
keuntungan; dan (e) transfer teknologi modern.
Beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya perdagangan
internasional antara lain (a) revolusi Informasi dan transportasi; (b)
interdependensi kebutuhan; (c) liberalisasi Ekonomi; (d) asas keunggulan
komparatif; dan (e) kebutuhan devisa.
Keunggulan
perdagangan
bersaing menjadi aspek
internasional.
Konsep
yang dominan
keunggulan
bersaing
dalam
dalam
perdagangan suatu komoditas atau produk antar negara telah mengalami
perkembangan yang cukup pesat.
Konsep yang pertama dimulai dari
keunggulan absolut dari Adam Smith yang menyatakan bahwa dua
negara akan mendapatkan keuntungan dari perdagangan apabila karena
faktor-faktor alamiahnya masing-masing dapat menyiapkan suatu produk
yang lebih murah dibandingkan dengan apabila memproduksinya sendiri.
Menurut konsep tersebut, setiap negara hendaknya mengkhususkan diri
untuk memproduksi barang-barang yang paling efisien yaitu barang-
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
11
barang yang diproduksi dengan biaya paling murah (Asheghian dan
Ebrahimi, 1990).
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa ternyata dua
negara masih mendapatkan keuntungan dari perdagangan bahkan
apabila salah satu negara tersebut memiliki keunggulan absolut dalam
memproduksi semua komoditas atau produk tersebut. Dipicu oleh realitas
tersebut, kemudian muncul konsep keunggulan komparatif dari
David
Ricardo
dapat
yang
menyatakan
bahwa
apabila
suatu
negara
memproduksi masing-masing dari dua barang dengan lebih efisien
dibandingkan dengan negara lainnya, dan dapat memproduksi satu dari
dua
barang
tersebut
dengan
lebih
efisien,
maka
hendaknya
mengkhususkan diri dan mengekspor komoditas yang secara komparatif
lebih efisien, yaitu komoditas yang memiliki keunggulan absolut terbesar.
Sebaliknya, negara yang memiliki efisiensi yang lebih rendah hendaknya
mengkhususnkan diri dan mengekspor komoditas yang secara komparatif
lebih rendah inefisiensinya yaitu komoditas yang paling rendah dalam
ketidakunggulannya (Asheghian dan Ebrahimi, 1990).
Terdapat perbedaan antara keunggulan komparatif dan kompetitif
suatu
komoditas
atau
Development Bank, 1992).
produk
serta
cara
mengukurnya
(Asian
Indikator keunggulan komparatif digunakan
untuk mengetahui apakah suatu negara memiliki keuntungan ekonomi
untuk memperluas produksi dan perdagangan suatu komoditas atau
produk. Di sisi lain, keunggulan kompetitif merupakan indikator untuk
melihat apakah suatu negara akan berhasil dalam bersaing di pasar
internasional suatu komoditas atau produk.
Keunggulan
komparatif
merupakan
suatu
konsep
yang
dikembangkan oleh David Ricardo untuk menjelaskan efisiensi alokasi
sumber daya di suatu negara dalam sistem ekonomi yang terbuka (Warr,
1992).
Keunggulan komparatif suatu produk sering dianalisis dengan
pendekatan Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) atau Rasio Biaya
Sumberdaya Domestik (BSD). BSD merupakan ukuran biaya imbangan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
12
sosial dari penerimaan satu unit marjinal bersih devisa, diukur dalam
bentuk faktor-faktor produksi domestik yang digunakan baik langsung
maupun tidak langsung dalam suatu aktivitas ekonomi. Di lain pihak,
keunggulan kompetitif diukur dengan menggunakan rasio biaya privat atau
Private Cost Ratio (PCR).
domestik
dengan
nilai
PCR merupakan rasio antara biaya faktor
tambah
output
dari
biaya
input
yang
diperdagangkan pada harga finansial.
Model CMS juga sering digunakan untuk mengetahui daya saing
suatu produk di suatu negara namun memiliki beberapa kelemahan.
Beberapa kelemahan dari model CMS ini telah dikemukakan oleh
Muhammad dan Habibah (1993) antara lain adalah bahwa persamaan
yang digunakan sebagai basis untuk menguraikan pertumbuhan ekspor
adalah persamaan identitas.
Oleh karena itu,
alasan-alasan dari
terjadinya perubahan daya saing ekspor tidak dapat dievaluasi dengan
hanya menggunakan analisis CMS saja. Kelemahan analisis CMS lainnya
adalah mengabaikan perubahan daya saing pada titik waktu yang terdapat
di antara dua titik waktu yang digunakan. Namun demikian, analis ini
sangat berguna untuk indikasi arah daya saing.
Pengembangan lebih lanjut dari aplikasi model CMS dilakukan oleh
Chen dan Duan (1999) yang menggunakan dekomposisi dua tahap. Efek
dari dekomposisi pertama dapat diuraikan menjadi (1) efek struktural,
yang terdiri dari efek pertumbuhan, pasar, komoditi, dan interaksi, (2) efek
daya saing yang terdiri dari efek daya saing murni dan khusus, dan (3)
efek order-kedua yang terdiri dari efek order-kedua murni dan efek sisaan
struktural dinamik.
Selanjutnya,
muncul
konsep
keunggulan
kompetitif
yang
merupakan penyempurnaan dari konsep keunggulan komparatif. Pada
konsep keunggulan kompetitif, keunggulan suatu negara tidak hanya
bersumber dari faktor alamiah saja. Konsep keunggulan kompetitif yang
terkenal dicanangkan oleh Porter (1990) yang mengemukakan bahwa
daya saing suatu industri dari suatu bangsa atau negara tergantung pada
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
13
keunggulan dari empat atribut yang dimilikinya
yang terkenal dengan
sebutan The Diamond of Porter yang terdiri dari: (1) kondisi faktor; (2)
kondisi permintaan; (3) industri terkait dan penunjang; dan (4) strategi,
struktur, dan persaingan perusahaan. Keempat atribut tersebut secara
bersama-sama dan ditambah dengan kesempatan, serta kebijakan
pemerintah yang kondusif untuk mempercepat keunggulan dan koordinasi
antar atribut tersebut kesemuanya akan mempengaruhi kemampuan
bersaing suatu industri di suatu negara.
Dalam kondisi pasar global yang semakin kompetitif maka
teknologi memainkan peran yang sangat penting untuk memenangkan
kompetisi nasional (Porter, 1994). Demikian pula Gumbira-Sa’id (1999)
memerinci beberapa peranan teknologi yaitu : (1) peningkatan nilai
tambah; (2) pengembangan produk; (3) pembukaan lapangan kerja; (4)
pembukaan dan penetrasi pasar; (5) pengembangan pusat perekonomian;
dan (6) penghasil devisa negara. Porter (1994) berpendapat bahwa
teknologi akan meningkatkan keunggulan bersaing jika memiliki peran
yang nyata dalam menentukan posisi biaya relatif atau diferensiasi produk
relatif.
Teknologi akan berpengaruh pada biaya atau diferensiasi jika
berpengaruh pada faktor-faktor penentu biaya atau faktor-faktor penentu
keunikan aktivitas nilai atau rantai nilai.
Alat pokok untuk memahami
peran teknologi dalam keunggulan bersaing adalah rantai nilai. Perubahan
teknologi akan mempengaruhi persaingan melalui dampaknya terhadap
hampir setiap aktivitas dalam rantai nilai. Oleh karena itu, teknologi harus
dikelola sedemikian rupa sehingga menghasilkan keunggulan bersaing.
Menurut Porter (1996) diperlukan upaya-upaya peningkatan
efektivitas SCM antara lain
peningkatan logistik, peningkatan sistem
informasi dan perbaikan flow informasi, penurunan biaya transaksi,
perbaikan
kualitas
produk,
dan
pemeliharaan
integritas
rantai.
Selanjutnya AFFA et al (2002) telah mengidentifikasi enam prinsip kunci
untuk keberhasilan SCM yaitu (1) fokus pada pelanggan dan konsumen;
(2) rantai dan nilai terdistribusi dengan baik ke seluruh pelaku; (3) produk
yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan pelanggan; (4)
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
14
logistik dan distribusi yang efektif; (5) informasi dan strategi komunikasi
termasuk pada semua rantai; dan (6) hubungan efektif yang memberikan
pembangkitan dan rasa memiliki.
Deming (1986) menekankan peranan peningkatan kualitas produk
dalam memenangkan persaingan pasar. Pengertian kualitas dalam hal ini
selalu berfokus pada pelanggan (customer). Produk-produk didisain, dan
diproduksi untuk memenuhi keinginan pelanggan.
Suatu produk
dikatakan berkualitas apabila sesuai dengan keinginan pelanggan, dapat
dimanfaatkan dengan baik, serta diproduksi dengan cara yang benar dan
baik.
Dalam aspek pengaturan perdagangan internasional, menurut
Malian (2004) ratifikasi
pembentukan
World
Trade
Organization
(WTO) telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No. 7
tahun 1994. Dengan ratifikasi ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk
memenuhi semua perjanjian yang terkandung di dalamnya, termasuk
Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture = AoA) yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen WTO. Dalam AoA-WTO
terdapat tiga pilar utama, yaitu: (1) Akses pasar (Market Access); (2)
Subsidi domestik (Domestic
Supports);
dan (3) Subsidi ekspor
(Export Subsidies). Disamping itu, juga terdapat perlakuan khusus dan
berbeda (S
& D) yang merupakan bagian inklusif dari ketiga elemen AoA-WTO,
s ehingga perlu dimanfaatkan untuk tujuan ketahanan pangan dan
pembangunan pedesaan.
Indonesia mengalami peningkatan impor pangan sejak liberalisasi
radikal yang dilakukan pemerintah atas tekanan dari International
Monetary Fund (IMF) pada tahun 1998. Tingkat ketergantungan impor
pangan meningkat dua kali lipat, yaitu beras sebesar 10 persen, jagung
20 persen, kedelai 55 persen dan gula 50 persen (Sawit, 2003). Padahal
komoditas-komoditas itu telah menyerap masing- masing 23 juta, 9 juta,
2,5 juta dan 1 juta rumah-tangga, atau sekitar 68 persen dari total rumah-
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
15
tangga di Indonesia. Dengan demikian, peningkatan impor pangan
yang dilakukan sejak tahun 1998 telah meningkatkan jumlah petani
miskin di Indonesia.
Reformasi perdagangan di Indonesia dalam bentuk penetapan tarif
yang lebih rasional telah dilakukan sejak tahun 1985. Bentuk rasionalisasi
yang diterapkan adalah pengurangan tarif maksimum dari 225 persen
menjadi 0-60 persen, dengan sebagian besar tarif berada pada kisaran
5-35 persen (Pangestu,1996b). Dikaitkan dengan penetapan hambatan
non-tarif dalam bentuk tataniaga impor pada tahun 1982, rasionalisasi
tarif tersebut harus dipandang sebagai suatu hal yang positif bagi
pembangunan (Pangestu, 1996a).
Liberalisasi perdagangan di Sektor Pertanian yang telah dilakukan
saat ini mencakup 1.341 jenis barang pertanian, dengan tarif rata-rata
pada tahun 1998 sebesar 8,12 persen (Nainggolan, 2000). Besaran tarif
ini jauh lebih kecil diban- dingkan dengan komitmen Indonesia dalam
GATT yang menyetujui penerapan tarif sebesar 40 persen untuk 1.041
jenis barang, lebih dari 40 persen untuk 300 jenis barang dan kurang dari
40 persen untuk 27 jenis barang (GATT, 1994).
Kebijakan perdagangan komoditas pertanian Indonesia dapat
dibedakan atas peran komoditas itu dalam perdagangan internasional,
yaitu: (1) Melakukan proteksi terhadap
komoditas
substitusi impor,
dan (2) Melakukan promosi terhadap komoditas-komoditas promosi
ekspor.
Untuk operasionalisasi kebijakan yang harus diemban pemerintah,
perlu diperhatikan tiga pilar yang merupakan elemen kebijakan yang
terdapat dalam perjanjian perdagangan komoditas pertanian (AoA).
Ketiga pilar itu adalah: (1) Akses pasar; (2) Subsidi domestik; dan (3)
Subsidi ekspor. Ketiga pilar itu terkait yang satu dengan yang lainnya,
sehingga tidaklah tepat apabila melihat perjanjian itu dari aspek akses
pasar saja, dengan melupakan pilar yang lainnya. Subsidi ekspor
komoditas
pertanian yang dilakukan oleh suatu
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
negara,
misalnya,
16
akan berdampak luas terhadap pasar ekspornya, sehingga berpengaruh
buruk terhadap daya saing ekspor negara lain yang tidak memberikan
subsidi ekspor. Demikian pula subsidi domestik yang diberikan oleh suatu
negara terhadap petaninya, dapat menimbulkan persaingan yang tidak
sehat, karena petani di negara itu mampu menghasilkan produk dengan
biaya yang lebih rendah (Malian, 2004)
Dalam kaitan pasar ekspor, masalah ekspor komoditas pertanian
Indonesia menyangkut masalah manajemen dan hambatan pasar
(Technical Barriers to Trade/TBT, Sanitary and Phytosanitary/SPS, dan
lainnya). Untuk menjadi pemasok pasar internasional, pengekspor harus
memenuhi persyaratan utama, yaitu mengetahui kebutuhan dan keinginan
pengimpor serta persyaratan yang berlaku di negara tujuan ekspor. Dalam
kaitan ini, pengetahuan dan pemahaman tentang pasar ekspor komoditas
sangat diperlukan (Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2005).
Menurut Hardinsyah dan Pranadji (2004) era globalisasi akan
berpengaruh terhadap sistem ketahanan dan keamanan pangan.
Perdagangan bebas didasarkan pada teori keunggulan komparatif
masing-masing negara untuk mewujudkan daya saing produk yang tinggi.
Daya saing komoditas pangan berkaitan dengan kualitas dan harga.
Jika pangan lokal tidak bisa bersaing maka ketersediaan dan
konsumsi pangan penduduk suatu negara akan tergantung pada pangan
impor. Demikian juga, pangan yang aman menjadi tuntutan konsumen
dan akan bersaing di pasar global.
Jika
produsen
tidak
mampu
memenuhi persyaratan keamanan pangan maka hal ini menjadi rintangan
dalam bersaing untuk memperluas pasar ekspor pangan. Ada tiga
perjanjian World Trade Organization (WTO) yang mengatur masalah ini
terutama
berkaitan
dengan
standar
dan
perlindungan
kesehatan
maupun keselamatan masyarakat dan lingkungan hidup, yaitu : (1) TBT
(Technical Barriers to Trade); (2)
(3)
SPS (Sanitary and Phytosanitary); dan
AoA (Agreement on Agriculture)
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
17
Perjanjian TBT menentukan bahwa standar yang berlaku harus
dikenakan secara non-diskriminatif terhadap semua produk impor.
Perjanjian SPS mengijinkan
standar
dikenakan
secara
diskriminatif
dengan memperhatikan faktor-faktor seperti perbedaan yang ada dalam
tingkat kekuatan/ pengaruh (prevalence) dari suatu penyakit atau hama
tertentu.
SPS adalah kebijakan yang dilakukan untuk melindungi kehidupan
atau kesehatan manusia, hewan, dan tanaman dari berbagai resiko. Resiko
tersebut muncul karena masuknya, pembentukan,
hama,
penyakit,
organisme
pembawa
atau
penyebaran
penyakit atau organisme
penyebab penyakit. Resiko tersebut juga ditimbulkan oleh bahan tambahan
makanan (additives), pencemaran, racun, atau organisme penyebab
penyakit yang terkandung dalam makanan, minuman, atau bahan
makanan. Risiko tersebut juga berasal dari penyakit yang dibawa oleh
hewan, tanaman atau produk yang dibuat dari padanya.
2.1. Daya Saing Produk
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi proses pengambilan
keputusan konsumen untuk membeli produk atau jasa yaitu (a) perbedaan
individu, dan (b) pengaruh strategi pemasaran yang dilancarkan
pemasar (Engel et al., 1994).
oleh
Faktor perbedaan individu antara lain
meliputi (a) pengetahuan, dan (b) sikap konsumen. Strategi pemasaran
dapat berupa strategi bauran pemasaran yang antara lain meliputi (a)
strategi produk; (b) harga; (c)promosi; dan (d) distribusi.
Produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke dalam
pasar untuk diperhatikan, dimiliki, digunakan, atau dikonsumsi sehingga
dapat memuaskan suatu keinginan atau suatu kebutuhan. Konsep produk
mengandung tiga karakteristik yaitu karakter eksplisit, implisit, dan
eksternal (Rosenberg, 1977).
Termasuk ke dalam karakter eksplisit
antara lain bentuk fisik, kemasan, dan merek.
Karakter implisit lebih
mengarah pada penilaian subyektif dari konsumen terhadap produk yang
antara lain tercermin dari penilaian kepuasan, simbol, dan persepsi. Pada
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
18
karakteristik eksternal, produk dilihat berdasarkan dampaknya bagi
masyarakat secara keseluruhan yang menilai pengaruh produk terhadap
kesejahteraan individu, dan masyarakat secara keseluruhan.
Produk
sebagai obyek fisik, dalam pandangan pembeli memiliki lima karakteristik
yaitu tingkat kualitas, ciri, model, merek, dan kemasan (Radiosunu, 1986).
Berdasarkan pembeli, produk terdiri dari produk konsumsi dan produk
industri. Produk konsumsi adalah semua produk yang biasa digunakan
langsung oleh individu, dan rumah tangga, sedangkan produk industri
adalah semua produk yang dimanfaatkan untuk memproduksi produk lain
oleh pabrik, pengecer, pemerintah dan sebagainya.
Terdapat lima tingkat produk mulai dari tingkat dasar yaitu (a)
produk dasar yang dibeli konsumen karena manfaat dasarnya; (b) produk
generik yang merupakan versi dasar dari produk; (c) produk yang
diharapkan, yaitu kumpulan atribut dan kondisi umum yang diharapkan
bila
membeli produk tersebut; (d) produk yang lebih baik atau yang
diperluas karena memberikan manfaat tambahan yang membedakan
dengan produk pesaing; dan (e) produk potensial, yang mencakup segala
perluasan dan evolusi produk yang mungkin akan terjadi pada masa yang
akan datang (Kotler, 1993).
Persaingan pasar produk saat ini berada pada tingkat produk yang
diperluas atau lebih baik, sedangkan di kebanyakan negara berkembang
persaingan umumnya terjadi pada tingkat produk yang diharapkan.
Produk yang lebih baik akan mendorong produsen dan pemasar untuk
melihat kepada sistem konsumsi total pembeli.
Dengan cara ini para
produsen dan pemasar akan dapat mengenali peluang untuk memperluas
penawaran produknya yang efektif.
Dalam
rangka
memasuki
pasar
global,
Keegan
(1989)
mengemukakan lima strategi penyesuaian produk dan promosi untuk
pasar asing yaitu
(a) perluasan langsung, dengan memperkenalkan
produk di pasar asing tanpa perubahan apapun; (b) adaptasi komunikasi,
hanya dengan menyesuaikan promosi; (c) adaptasi produk, dengan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
19
merubah produk untuk memenuhi kondisi atau pilihan setempat; (d)
adaptasi ganda, dengan merubah produk maupun promosi; dan (e)
penemuan produk baru, dengan menciptakan sesuatu yang baru. Pilihan
strategi perluasan langsung sering mengalami kegagalan besar. Untuk
strategi adaptasi produk maupun adaptasi ganda, banyak perusahaan
raksasa yang mendapatkan kesuksesan, antara lain perusahaan General
Foods yang telah meramu kopi secara berbeda bagi orang-orang Inggris
(yang meminum kopi dengan susu, atau yang lebih suka kopi hitam), dan
orang-orang Amerika Selatan yang menyukai rasa chicory.
Ciri-ciri produk adalah karakteristik yang mendukung fungsi dasar
produk.
Ciri-ciri produk merupakan alat kompetitif untuk produk
perusahaan yang terdiferensiasi. Beberapa perusahaan sangat inovatif
dalam penambahan ciri-ciri baru ke produknya.
Satu dari faktor kunci
keberhasilan perusahaan-perusahaan Jepang adalah karena mereka
secara terus menerus meningkatkan ciri-ciri tertentu pada produk seperti
arloji, kamera, mobil, sepeda motor, kalkulator, video recorder, dan
sebagainya. Penambahan ciri-ciri baru dinilai merupakan satu dari caracara yang sangat efektif untuk memenangkan persaingan (Kotler, 1993).
Cara suatu perusahaan mengidentifikasi dan memilih ciri-ciri baru
yang cocok adalah dengan terus berhubungan dengan pembeli dan
menanyakan seperangkat pertanyaan-pertanyaan antara lain mengenai
alasan memilih dan menyenangi produk tertentu, menanyakan ciri-ciri
produk yang baik, dan kesediaan konsumen untuk membayar ciri produk
yang baru. Cara tersebut akan memberikan daftar segar mengenai ciri-ciri
potensial. Selanjutnya, untuk memutuskan ciri potensial yang mana yang
akan ditambahkan, perlu dihitung nilai pelanggan dibandingkan dengan
biaya penambahan ciri tersebut (Kotler, 1993).
Kinerja produk mengacu kepada tingkat karakteristik utama pada
saat digunakan.
Terdapat empat tingkat kinerja produk yaitu
rendah,
rata-rata, tinggi, dan superior. Terdapat tiga alternatif strategi mengatur
kualitas produk sepanjang waktu
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
yaitu strategi terus menerus
20
memperbaiki kualitas produk, mempertahankan kualitas produk, dan
menurunkan kualitas (Kotler, 1993). Strategi terus menerus memperbaiki
kualitas merupakan strategi yang sering memberikan hasil dan pangsa
pasar tertinggi, sedangkan strategi penurunan kualitas yang biasanya
karena alasan peningkatan biaya, akan menurunkan keuntungan dalam
jangka panjang.
Perilaku konsumen merupakan tindakan yang langsung terlibat
dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa,
termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan
tersebut (Engel et al., 1994).
Cohen (1981) mendefinisikan perilaku
konsumen sebagai semua aktivitas konsumen di pasar dan merupakan
studi yang menjawab apa, mengapa, dan bagaimana konsumen bertindak
demikian. Mengerti dan mengadaptasi motivasi dan perilaku konsumen,
keduanya merupakan kebutuhan untuk memenangkan persaingan pasar.
Keputusan konsumen untuk membeli suatu produk dapat dilakukan
melalui beberapa tahap antara lain (a) tahap pengenalan kebutuhan; dan
(2) tahap evaluasi alternatif (Engel et al., 1994). Pengenalan kebutuhan
terjadi ketika konsumen didorong oleh kesadaran akan perbedaan antara
keadaan aktual dengan keadaan idealnya yang dapat terjadi melalui
aktivasi internal seperti terhadap keadaan diri sendiri, atau stimulus yang
bersifat eksternal seperti iklan dan promosi (Loudon dan Dellabitta, 1982).
Dalam evaluasi alternatif, konsumen mengevaluasi alternatif
berkaitan dengan manfaat yang diharapkan. Untuk itu, konsumen harus
menetapkan atribut-atribut yang relevan dengan keinginannya.
Atribut
tersebut dapat berupa rasa, warna, harga, model, kualitas, keamanan,
daya tahan, dan jaminan produk (Evans dan Bermnan, 1982).
Pengetahuan produk merupakan gabungan dari banyak jenis
informasi yang berbeda.
Pengetahuan produk tersebut antara lain
mencakup (a) atribut atau ciri produk; dan (b) kepercayaan akan suatu
merek spesifik. Secara umum, pemasar sangat berkepentingan terhadap
pengetahuan konsumen akan atribut dan merek serta daya saingnya
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
21
(Engel et al., 1994). Sikap dan tindakan masyarakat terhadap suatu
produk, sangat ditentukan oleh kepercayaan mereka terhadap produk
tersebut. Citra produk merupakan sekumpulan kepercayaan, dan impresi
yang dianut seseorang terhadap suatu produk (Kotler, 1993).
Menurut Damayanthi (2004) sesungguhnya keamanan pangan
itu
termasuk
penerimaan/
salah
satu faktor mutu yang menentukan tingkat
pemuasan
konsumen,
tetapi
karena
begitu
penting
peranannya, faktor mutu ini secara khusus disebutkan.
2.3.
Kebijakan Publik Perikanan
Perikanan dan kelautan merupakan salah satu core comptence
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki
17.504 pulau dan garis pantai mencapai 95.181 km dan luas lautan 5,8
juta km2. Jika dibandingkan antara luas daratan dan lautan, maka luas
lautan di Indonesia mencapai 62%
dari total wilayah Indonesia
sedangkan luas daratan hanya 37% dari total wilayah Indonesia (
Depdagri dalam Wuryandani dan Meilani, 2012)
Berdasarkan
laporan
FAO,
State
of
World
Fisheries
and
Aquaculture 2014, Indonesia merupakan negara produsen kedua terbesar
di dunia untuk produksi perikanan tangkap yang pada tahun 2012
mencapai produksi sebesar 5,42 juta ton dan selama periode 2003-2012
mengalami kenaikan produksi sebesar 27%. Disamping itu, Indonesia
juga merupakan produsen perikanan budidaya pada urutan ke-7di dunia,
dengan produksi pada tahun 2012 sebesar 394 ton dan kenaikan
produksi sebesar 27,5% sejak 2003
menyebabkan
Indonesia
memiliki
hingga 2012.
kesempatan
untuk
Hal
ini
menjadi
penghasil produk perikanan terbesar dunia, karena terus meningkatnya
kontribusi produk perikanan Indonesia di dunia.
Menurut Daryanto (2007), sumberdaya pada sektor perikanan
merupakan salah satu sumberdaya yang penting bagi hajat hidup
masyarakat dan memiliki potensi dijadikan sebagai penggerak utama
(prime mover) ekonomi nasional. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
22
pertama, Indonesia memiliki sumberdaya perikanan yang besar baik
ditinjau dari kuantitas maupun diversitas. Kedua, Industri di sektor
perikanan memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya. Ketiga,
Industri perikanan berbasis sumberdaya nasional atau dikenal dengan
istilah national resources based industries, dan keempat Indonesia
memiliki keunggulan (comparative advantage) yang tinggi di sektor
perikanan sebagimana dicerminkan dari potensi sumberdaya yang ada.
Mengingat sangat besar manfaat ikan bagi masyarakat, maka perlu
dilakukan upaya kelestariannya. Ikan merupakan sumberdaya yang dapat
diperbaharui, artinya jika pengelolaan sumberdaya perikanan dilakukan
dengan memperhatikan aspek kontinuitas, maka ketersediaan protein
hewani juga akan stabil.
Konsumsi
ikan
pada
masa
mendatang
diperkirakan
akan
meningkat seiring dengan peningkatan kesejahteraan dan kesadaran
masyarakat akan arti penting nilai gizi produk perikanan bagi kesehatan
dan kecerdasan otak manusia. Peningkatan konsumsi ikan per kapita,
memiliki korelasi dengan pendapatan per kapita suatu negara. Hal ini
disebabkan oleh kemampuan daya beli masyarakat terhadap produk
perikanan tergantung pada tingkat pendapatannya. Semakin tinggi
tingkat
pendapatan,
maka
semakin
besar
peluang
untuk
mengkonsumsi produk pangan berprotein tinggi seperti ikan dan produk
hasil laut lainnya.
Berdasarkan
gambaran
dan
penjelasan
tersebut
upaya
meningkatkan produk perikanan baik untuk konsumsi dalam negeri
maupun untuk ekspor mengalami banyak tantangan ke depan, walaupun
tetap ada peningkatan. Peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan
harus memperbaiki dan mengawasi mutu baik untuk produk perikanan
untuk ekspor dan pasar dalam negeri. Potensi dan kendala apa saja yang
dibutuhkan dalam pengelolaan sumber daya perikanan laut agar dapat
mendukung ketahanan pangan di Indonesia yang berkelanjutan untuk
menjamin keberadaan, ketersediaan dan kualitas sumber daya ikan.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
23
Menurut Wuryandani dan Meilani (2012) dalam menciptakan
pangan
sebagai
ideologi,
Kementrian
Kelautan
dan
Perikanan
melakukan kegiatan berupa perbaikan keamanan pangan (food safety)
dari hulu-hilir, dan pengawasan mutu produk impor dan ekspor perikanan.
Peluang pengelolaan produk ikan segar dan olahan masih terbuka lebar,
dengan
perbaikan
regulasi
pengusaha/calon pengusaha
baik
dan
itu
kemudahan
dalam
bagi
para
memperoleh
modal
maupun pengurusan dokumen sehingga diharapkan tidak ada lagi
illegal
fishing.
Dalam melakukan bisnis ini pemerintah maupun swasta
harus memperhatikan keberlangsungan jenis dari ikan yang ditangkap
dengan memperhatikan penggunaan alat tangkap dan melakukan
budidaya di bidang perikanan. Sehingga peningkatan tidak hanya dalam
pengelolaan produksi ikan namun juga memperhatikan ketersediaan
populasi ikan agar selalu terjaga untuk menunjang ketersediaan pangan di
Indonesia.
Pemerintah
pusat
dapat
memberikan
insentif
untuk
para
pengusaha yang ingin membangun perikanan, serta upaya peningkatan
pengendalian produksi mulai dari penegakan peraturan, selektivitas alat
tangkap, modifikasi armada penangkapan ikan, pendalaman metode
penangkapan, sertifikasi awak kapal sesuai aturan, optimalisasi fungsi
prasarana dan kekuatan kelembagaan (koperasi) khusus pengusaha ikan
maupun nelayan. Peningkatan produksi juga dapat dilakukan dengan
melakukan riset dan iptek di bidang kelautan dan perikanan, baik itu
pengembangan teknik budidaya, pakan, teknik penangkapan yang lebih
aman agar diperoleh kualitas dan mutu yang baik.
Dalam rangka mencapai visi Indonesia sebagai produsen hasil laut
terbesar di dunia pada tahun 2015, program peningkatan produksi harus
dapat meningkatkan produksi sebesar 335%, membangun balai induk
udang unggulan, BBM bersusidi untuk nelayan, asuransi untuk nelayan,
mina politan garam, mina politan tangkap dan mina usaha pedesaan.
Dalam hal ini mina politan tangkap adalah kawasan dengan perikanan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
24
sebagai tulang punggung dimana dilakukan usaha penangkapan dan
pengolahan ikan secara mandiri (Muhammad, 2014).
Masalah bisnis ekspor diperkirakan berkaitan erat dengan biaya
operasional, pasar/pemasaran dan sarana penunjang (Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, 2005). Masalah ekonomi biaya tinggi di
Indonesia diperkirakan menimbulkan tidak efisiennya usaha pengekspor
komoditas pertanian.
Selain kondisi perekonomian yang kurang
mendukung dan masalah internal pengekspor, berbagai kebijakan
pemerintah diperkirakan ikut berkontribusi terhadap masalah biaya
operasional pengekspor. Menurut Saptana dan Daryanto (2012), terlah
terjadi penurunan dayasaing ekspor perikanan Indonesia yang tercermin
dari indeks RCA yang menurun dari 5,4 pada periode 1990-1994 menjadi
3,9 pada periode 2000-2004.
Dalam hal kinerja daya saing produk perikanan Indonesia di pasar
global menurut Natalia dan Nurozy ( 2012) selama periode 2007-2009
terdapat
46 kelompok komoditas perikanan dalam HS
memiliki daya
6
dijit
yang
saing kuat di pasar internasional dengan nilai indeks RCA
> 1. Di sisi lain beberapa komoditas memiliki daya saing yang terus
menurun dan fluktuatif.
Selanjutnya, persaingan pasar yang semakin ketat dewasa ini
sebagai dampak globalisasi perdagangan dunia,
mendorong setiap
negara untuk mengambil lagkah-langkah yang efektif guna meningkatkan
daya saing produknya. Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) dan
tenaga kerja
yang
melimpah
dengan
upah yang kompetitif, yang
merupakan faktor pendukung daya saing, namun demikian kedua hal
tersebut ternyata tidak cukup untuk menciptakan keunggulan kompetitif.
Thailand dan Vietnam merupakan contoh negara yang sumber daya ikan
relatif terbatas dibanding Indonesia, akan tetapi pada lingkup global, daya
saing komoditas perikanan kedua negara tersebut lebih tinggi dari daya
saing komiditas perikanan Indonesia.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
25
Lemahnya daya saing beberapa produk perikanan Indonesia
tersebut tidak terlepas dari berbagai kendala yang masih dihadapi oleh
industri perikanan di dalam negeri dan masalah kebijakan.
Berbagai
kendala di dalam negeri diantaranya seperti para pelaku industri perikanan
seperti petani dan pengusaha yang masih kesulitan untuk mendapatkan
permodalan dari bank karena dianggap sektor perikanan merupakan usaha
yang kurang menjanjikan. Kurang memadainya pasokan bahan bakar
minyak (BBM) untuk nelayan dan kurang memadainya infrastruktur
terutama jalan, listrik dan air juga menjadi kendala yang masih terus
terjadi. Selain itu, sampai saat ini dalam sektor perikanan, promosi dan
partisipasi stakeholders masih rendah.
Dalam sisi kebijakan perdagangan, yang menjadi hambatan atau
kendala diantaranya
adalah
masih
tingginya tarif bea masuk bahan
penolong industri perikanan di dalam negeri, antara lain kaleng; dan
adanya hambatan tarif dan non tarif di negara tujuan ekspor, baik di
negara maju maupun di negara sedang berkembang. Untuk meningkatkan
daya saing maka perlu dilakukan berbagai upaya seperti meningkatkan
promosi komoditas perikanan baik di pasar dalam maupun luar negeri,
meningkatkan kualitas, mendorong perbankan untuk mempermudah
akses permodalan, meningkatkan pembangunan infrastruktur, mendorong
pengembangan produk bernilai tambah, serta menurunkan tarif bea masuk
bahan penolong bagi industri pengolahan ikan di dalam negeri (Natalia
dan Nurozy, 2012).
Disamping melakukan ekspor, Indonesia juga melakukan impor
ikan yang menurut Dahuri (2014) ada tujuh faktor penyebab Indonesia
masih mengimpor ikan, yaitu (1) produksi ikan umumnya bersifat
musiman, sedangkan kebutuhan konsumsi ikan tidak kenal musim; (2)
adanya kesenjangan antara daerah produksi perikanan yang umumnya di
kawasan Timur Indonesia dan di luar Jawa dengan daerah konsumsi dan
pemasaran di Pulau Jawa; (3) impor ikan dipicu oleh kurangnya
infrastruktur dan sarana transportasi antar wilayah Indonesia; (4)
banyaknya daerah produksi ikan yang tidak dilengkapi dengan cold
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
26
storage; (5) masih maraknya pencurian ikan (illegal fishing); (6) masih
banyaknya pengusaha yang hanya bermental pedagang bukan sebagai
industriawan; dan (7) penegakan hukum yang masih lemah.
Menurut Nikijuluw (2014), saat ini masih terdapat sejumlah barang
impor yang harus segera dicarikan subtitusi impor dari produksi dalam
negeri, antara lain tepung ikan, tepung udang, lemak minyak ikan, ikan
kaleng, makanan udang (pelet), dan beragam produk olahan. Diharapkan
Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) akan dapat mengoptimalkan
produksi dan distribusi dalam negeri.
SLIN akan memberikan suplai
kepada konsumen secara berkelanjutan.
Dalam rangka pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan
yang masuk ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia untuk
dikonsumsi oleh manusia, baik bahan baku untuk pengolahan dan hasil
olahan yang akan didistribusikan langsung ke pasar dalam negeri, agar
tidak membahayakan konsumen, serta dalam rangka menyesuaikan
dengan ketentuan internasional, telah ditetapkan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.17/MEN/2010
tentang Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan yang Masuk
ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia yang ditetapkan pada
tanggal 31 Agustus 2010 yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Republik
Indonesia
Nomor
PER.15/MEN/2011 tentang Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan yang Masuk ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia
yang ditetapkan pada tanggal 15 Juni 2011.
Keamanan pangan adalah semua kondisi dan upaya yang
diperlukan selama produksi, prosesing, penyimpanan, distribusi dan
penyiapan makanan untuk memastikan bahwa makanan tersebut aman,
bebas dari penyakit, sehat, dan baik untuk konsumsi manusia (Joint
FAO/WHO Expert Commitiee of Food Safety yang diacu dalam
Damayanthi (2004). Menurut UU Pangan nomor 7 Tahun 1996 keamanan
pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
27
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang
dapat menganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
Menurut Trimulyani (2011) Peraturan Menteri (Permen) Nomor 17
Tahun 2010 tentang Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
yang Masuk Wilayah Indonesia telah membuka peluang impor ikan yang
cukup besar untuk menjaga stabilitas harga ikan dalam negeri dan
kontinuitas suplai bahan baku ikan untuk industri pengolahan. Terbitnya
Permen Nomor 17 Tahun 2010 menuai kritik dari berbagai kalangan yang
berpendapat bahwa kebijakan ini hanya menguntungkan kalangan
industri tetapi semakin memiskinkan nelayan.
Oleh sebab itu, pemerintah merevisi Permen Nomor 17 Tahun
2010 dengan Permen 15 Tahun 2011 tentang Pengendalian Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan yang Masuk ke dalam Wilayah Negara
Republik Indonesia. Tujuan dikeluarkannya Permen nomor 15 Tahun
2011 adalah untuk membatasi impor ikan yang tidak terkendali sekaligus
melindungi nelayan kecil. Permen 15 Tahun 2011 berisi tentang
pengetatan impor ikan, hanya ada empat kategori produk yang bisa
diimpor, yakini impor ikan untuk umpan, impor untuk produk industri
perikanan dalam negeri yang diolah dan diekspor, impor untuk ikan-ikan
yang tidak diproduksi lokal dan impor untuk keperluan indsutri non
perikanan. Pemerintah berdalih bahwa Permen Nomor 15 Tahun 2011
sudah bisa mengakomodir semua kepentingan stakeholders terkait, baik
dari kalangan industri yang menginginkan kontinuitas suplai bahan baku
ikan dan stabilitas harga ikan dan juga melindungi nasib nelayan kecil
karena ikan impor tidak bisa di jual bebas di pasaran sebagai ikan
konsumsi.
Menurut Trimulya (2011) Permen nomor 15 Tahun 2011 juga
belum mampu mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi di lapangan.
Keluarnya Permen Nomor 15 Tahun 2011 memang disambut positif oleh
kalangan industri pengolahan ikan, seperti APIKI (Asosiasi Pengalengan
Ikan Indonesia). Kalangan industri menilai bahwa bahan baku yang
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
28
diproduksi industri perikanan hulu dalam negeri belum cukup untuk
memenuhi kebutuhan industri karena produksi perikanan tangkap dan
budidaya dalam negeri belum secara konsisten mampu mensuplai
kebutuhan bahan baku industri. Tetapi ternyata kebijakan pembatasan
impor ikan juga menuai kritik dari beberapa pihak, yang menilai bahwa
pembatasan impor ikan hanya mengutungkan industri besar karena sejak
dikeluarkannya Permen Nomor 15 Tahun 2011 maka aktivitas impor ikan
untuk konsumsi berhenti sehingga ditengah instabilitasnya pasokan ikan
maka harga ikan akan cenderung meningkat. Pasokan ikan untuk
kebutuhan
konsumen
dalam
negeri
semakin
terbatas
yang
mengakibatkan naiknya harga ikan. Terbitnya Permen nomor 15 Tahun
2011 tidak diimbangi dengan komitmen dari semua pihak terkait yang
bergerak di sektor perikanan untuk menjamin pasokan ikan dalam negeri
sesuai dengan volume kebutuhan normal. Oleh karena itu, Pemerintah
diminta untuk merumuskan kembali kebijakan yang tepat yang menjamin
kelancaran pasokan ikan dalam negeri dengan harga yang relatif
terjangkau oleh semua kalangan sekaligus melindungi nasib nelayan
lokal.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
29
BAB III
METODOLOGI
3.1.
Kerangka Pemikiran
Terdapat empat komponen utama dalam pembentukan pasar hasil
perikanan yaitu aspek produksi, konsumsi, impor, dan ekspor. Keempat
komponen tersebut sangat dipengaruhi oleh iklim usaha (khususnya
kebijakan produksi dan perdagangan) serta kesempatan yang ada atau
peluang yang dapat kita manfaatkan dalam bentuk devisa, ketersediaan
pangan dan nilai tambah agroindustri di dalam negeri. Secara sederhana,
komponen dan keterkaitan komponen tersebut dalam sistem pasar dapat
dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 3.1. Representasi Komponen Model Pasar Produk
Perikananan Indonesia
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
30
Dalam kajian ini akan mengevaluasi perkembangan dari kinerja
aspek produksi, ekspor, konsumsi dan impor hasil perikanan Indonesia
khususnya setelah implementasi kebijakan impor berupa Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Republik
Indonesia
Nomor
PER.17/MEN/2010 tentang Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan yang Masuk ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia
yang ditetapkan pada tanggal 31 Agustus 2010 yang kemudian
diperbaharui dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor PER.15/MEN/2011 tentang Pengendalian Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan yang Masuk ke Dalam Wilayah Negara
Republik Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 15 Juni 2011.
3.2.
Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam kajian ini teridiri dari data sekunder
dan data primer.
Data sekunder dikumpulkan dari buku Statististik
Kelautan dan Perikanan 2012; statistik ekspor hasil perikanan 2012;
statistik impor hasil perikanan 2012; Pusat Data, Statistik dan Informasi
Kementrian Kelautan dan Perikanan; Indonesia Fishery Profile 2006 –
FAO; Fishery Aquaculture Statistics 2012-FAO; dan The State of World
Fisheries and Aquaculture 2014 – FAO; Roadmap Pengembangan
Industri Pengolahan Hasil Laut, Direktorat Jenderal Industri Agro dan
Kimia, Departemen Perindustria 2009 dan perkembangan harga lelang
ikan di tempat pelelangan ikan di Jakarta.
Data primer dikumpulkan dari wawancara terbatas di agroindustri
pengolahan ikan yang berlokasi di Surabaya, Jawa Timur dan Manado,
Sulawesi Utara dengan jumlah responden sebanyak tujuh responden.
Pemilihan sampel dilakukan secara purposive dengan pertimbangan untuk
mendapatkan konfirmasi masalah dan usulan penyempurnaan kebijakan
khususnya dari para processors yang terkena dampak negatif dari
kebijakan pengaturan
Menteri
Kelautan
impor ikan yang dituangkan melalui Peraturan
dan
Perikanan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
31
PER.15/MEN/2011 tentang Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan yang Masuk ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia
yang ditetapkan pada tanggal 15 Juni 2011.
Pengumpulan data dan informasi dalam analisis ini dilakukan
dengan metode studi literatur dan in-depth interview terhadap pemangku
kepentingan terkait. Sementara, analisis kebijakan importasi hasil
perikanan dilakukan dengan pendekatan ekonomi, untuk menganalisis
dampak yang ditimbulkan dari penerapan kebijakan tersebut. Dampak
kebijakan importasi hasil perikanan PER.15/MEN/2011 dianalisis secara
kuantitatif terhadap kinerja produksi, ekspor dan impor hasil perikanan
khususnya produk-produk olahan ikan. Metode analisis yang digunakan
adalah uji beda nyata terhadap kinerja rata-rata tahunan pada periode
sebelum dan pada periode setelah ditetapkannya kebiajkan importasi hasil
perikanan tersebut. (mohon bantuan Mbak Titis untuk memilih metode uji
beda nyata yang tepat untuk kasus penilain uji beda nyata dari kinerja ini
dan menuliskan rumus statistiknya pada bab metodologi ini)
Dampak kebijakan importasi PER.15/MEN/2011 juga dianalisis
secara kualitatif yang mencakup:
1) dampak
terhadap para pengolah ikan di dalam negeri yang
pasarnya ditujuan baik untuk konsumsi dalam negeri maupun
untuk tujuan ekspor;
2) dampak terhadap konsumen di dalam negeri;
3) dampak terhadap para nelayan; dan
4) dampak terhadap pemerintah.
Berdasarkan analisa kualitatif terhadap dampak tersebut, melalui
diskusi Tim peneliti dan masukan dari para responden hasil survey serta
studi literatur, disusun rekomendasi penyempurnaan kebijakan importasi
hasil perikanan PER.15/MEN/2011 yang dapat mengurangi dampak
negatifnya bahkan berpotensi untuk meningkatkan dampak positifnya
yang lebih besar.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
32
BAB IV
GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN IMPOR PRODUK PERIKANAN
4.1.
Perkembangan Industri Perikanan Indonesia
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki laut
yang luasnya sekitar 5,8 juta km² dan menurut World Resources
Institute tahun 1998 memilki garis pantai sepanjang 91.181 km yang di
dalamnya terkandung sumber daya perikanan yang mempunyai potensi
besar untuk dijadikan tumpuan pembangunan ekonomi berbasis sumber
daya alam. Namun, pada kenyataannya saat ini Indonesia masih belum
mengoptimalkan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alamnya.
Berdasarkan
laporan
FAO,
State
of
World
Fisheries
and
Aquaculture 2014, Indonesia merupakan negara produsen kedua terbesar
di dunia untuk produksi perikanan tangkap yang pada tahun 2012
mencapai produksi sebesar 5,42 juta ton dan selama periode 2003-2012
mengalami kenaikan produksi sebesar 27%. Disamping itu, Indonesia
juga merupakan produsen perikanan budidaya pada urutan ke-7di dunia,
dengan produksi pada tahun 2012 sebesar 394 ton dan kenaikan
produksi sebesar 27,5% sejak 2003
menyebabkan
Indonesia
memiliki
hingga 2012.
kesempatan
untuk
Hal
ini
menjadi
penghasil produk perikanan terbesar dunia, karena terus meningkatnya
kontribusi produk perikanan Indonesia di dunia.
Potensi lestari sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan
sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia
dan perairan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia), yang terbagi
dalam sembilan wilayah perairan utama Indonesia. Dari seluruh potensi
sumberdaya ikan tersebut, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB)
sebesar 5,12 juta ton per tahun atau sekitar 80 persen dari potensi lestari,
dan sudah dimanfaatkan sebesar 4,7 juta ton pada tahun 2004 atau
91.8% dari JTB. Sedangkan dari sisi diversivitas, dari sekitar 28.400 jenis
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
33
ikan yang ada di dunia, yang ditemukan di perairan Indonesia lebih dari
25.000 jenis.
Di samping itu terdapat potensi pengembangan untuk perikanan
tangkap di perairan umum seluas 54 juta ha dengan potensi produksi 0,9
juta ton/tahun, budidaya laut terdiri dari budidaya ikan (antara lain kakap,
kerapu, dan gobia), budidaya moluska (kerang‐kerangan, mutiara, dan
teripang), dan budidaya rumput laut,budidaya air payau (tambak) yang
potensi lahan pengembangannya mencapai sekitar 913.000 ha, budidaya
air tawar terdiri dari perairan umum (danau, waduk, sungai, dan rawa),
kolam air tawar, dan mina padi di sawah, serta bioteknologi kelautan untuk
pengembangan industri bioteknologi kelautan seperti industri bahan baku
untuk makanan, industri bahan pakan alami, benih ikan dan udang,
industri bahan pangan.
Peluang pengembangan usaha kelautan dan perikanan Indonesia
masih memiliki prospek yang baik. Potensi ekonomi sumber daya kelautan
dan perikanan yang berada di bawah lingkup tugas DKP dan dapat
dimanfaatkan untuk mendorong pemulihan ekonomi diperkirakan sebesar
US$ 82 miliar per tahun. Potensi tersebut meliputi : potensi perikanan
tangkap sebesar US$ 15,1 miliar per tahun, potensi budidaya laut sebesar
US$ 46,7 miliar per tahun, potensi perairan umum sebesar US$ 1,1 miliar
per tahun, potensi budidaya tambak sebesar US$ 10 miliar per tahun,
potensi budidaya air tawar sebesar US$ 5,2 miliar per tahun, dan potensi
bioteknologi kelautan sebesar US$ 4 miliar per tahun. 3
Untuk mewujudkan perikanan tangkap nasional berkelanjutan,
dipastikan bahwa laju penangkapan sumber daya (stok) ikan tidak
melebihi potensi produksi lestari (maximum sustainable yield/MSY). Total
MSY sumber daya ikan laut Indonesia 6,5 juta ton per tahun. Tahun 2010
total produksi ikan laut 5,1 juta ton. Total MSY ikan perairan tawar 0,9 juta
ton per tahun dan baru dimanfaatkan 0,5 juta ton.
3
Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
34
Persoalannya distribusi nelayan dan kapal ikan tidak merata. Lebih
dari 90 persen armada kapal ikan Indonesia terkonsentrasi di perairan
pesisir dan laut dangkal seperti Selat Malaka, pantura, Selat Bali, dan
pesisir selatan Sulawesi. Di situ pula sebagian besar telah mengalami
kelebihan tangkap. Jika laju penangkapan ikan seperti sekarang berlanjut,
tangkapan per kapal akan menurun, nelayan semakin miskin, dan sumber
daya ikan pun punah seperti ikan terubuk di Selat Malaka dan ikan
terbang di pesisir selatan Sulawesi.
Sebaliknya jumlah kapal ikan Indonesia yang beroperasi di laut
lepas, laut dalam, dan wilayah perbatasan seperti Laut Natuna, Laut
China Selatan, Laut Sulawesi, Laut Seram, Laut Banda, Samudra Pasifik,
Laut Arafura, dan Samudra Hindia sangat terbatas. Di sinilah kapal-kapal
ikan asing merajalela dan merugikan negara minimal Rp 30 triliun per
tahun. Maka laju penangkapan ikan di perairan yang telah kelebihan
tangkap harus dikurangi dan secara bersamaan memperbanyak armada
kapal ikan modern untuk beroperasi di wilayah perairan yang masih
underfishing atau yang selama ini dijarah nelayan asing. Semua ini akan
membantu pengembangan ekonomi daerah berbasis perikanan tangkap.
Kedua, setiap kapal ikan harus dilengkapi dengan sarana
penyimpanan ikan yang berpendingin untuk mempertahankan kualitas
ikan sampai di tempat pendaratan ikan. Nelayan harus dilatih dan diberi
penyuluhan untuk mempraktikkan cara-cara penanganan ikan yang baik
selama di kapal. Nelayan di seluruh Nusantara harus dijamin dapat
mendaratkan ikan tangkapannya di tempat pendaratan ikan atau
pelabuhan perikanan. Selain memenuhi standar sanitasi dan higienis,
pelabuhan perikanan juga hams dilengkapi dengan pabrik es, gudang
pendingin, pabrik pengolahan ikan, mobil pengangkut ikan berpendingin,
koperasi penjual alat tangkap, BBM, beras, dan perbekalan melaut, serta
pembeli ikan bonafide. Ketiga, rehabilitasi ekosistem-ekosistem pesisir
yang telah rusak serta mengendalikan pencemaran dan mengembahgkan
kawasan konservasi laut. Selain itu, pengayaan stok (stock enhancement)
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
35
dan restocking dengan spesies-spesies yang cocok dapat dilakukan di
wilayah perairan yang kelebihan tangkap.
Sektor perikanan dan kelautan akan dapat menjadi salah satu
sumber utama pertumbuhan ekonomi karena beberapa alasan, yakni :
1.
Kapasitas suplai sangat besar, sementara permintaan terus
meningkat
2.
Pada umumnya output dapat diekspor, sedangkan input berasal dari
sumber daya lokal
3.
Dapat membangkitkan industri hulu dan hilir yang besar sehingga
dapat menyerap tenaga kerja yang cukup banyak
4.
Umumnya berlangsung di daerah-daerah
5.
Industri perikanan, bioteknologi dan pariwisata bahari memiliki sifat
dapat diperbaharui, sehingga mendukung adanya pembangunan yang
berkelanjutan
Analisis variable catch per unit effort (CPUE) pada perikanan
tangkap dapat menunjukan kinerja pemanfaatan sumber daya perikanan
sesuai daya dukung. Secara nasional CPUE menunjukan angka positif
yang berarti penangkapan ikan masih dapat dilaksanakan, namun untuk
beberapa wilayah pengelolaan perikanan (WPP) seperti di laut Jawa dan
selat Malaka telah terjadi penangkapan berlebih (over fishing). Dari hasil
simulasi untuk 10 tahun mendatang, produksi perikanan tangkap secara
keseluruhan
akan
menurun,
sehingga
perlu
upaya
optimalisasi
penangkapan, dan perlunya dilakukan pengurangan serta rasionalisasi
jumlah armada tangkap. Sementara itu, perikanan budidaya untuk 5 tahun
mendatang akan mengalami kenaikan rata-rata sebesar 4 % per-tahun
dari total produksi. Pada tahun 2009 diperkirakan total produksi perikanan
budidaya sebesar 1,5 juta ton. Selain itu, pada perikanan budidaya setiap
tahun menunjukan trend peningkatan dalam volume ekspor, luas lahan,
dan konsumsi masyarakat. Dalam hal pengembangan perikanan budidaya
perlu diperhatikan pentingnya daya dukung lingkungan dan ketersediaan
pakan yang berasal dari ikan.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
36
Grafik 4.1. Jumlah Perusahaan Penangkapan Ikan
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2006
2007
2008
2009
2011
2010
2012*
Sumber: Badan Pusat Statistik
Dunia industri sendiri keberadaanya selalu mengalami pasang dan
surut. Begitu juga dengan agroindustri dan agrobisnis, khususnya industri
perikanan yang merupakan penyumbang devisa bagi negara dari sektor
nonmigas yang cukup besar. Melihat berbagai bukti peningkatan produksi
perikanan dari tahun ke tahun, maka untuk tahun ke depannya Indonesia
berpotensi mengalami peningkatan lagi atau memiliki prospek yang cerah.
Berdasarkan data BPS, jumlah perusahaan penangkapan ikan
menunjukkan terjadinya peningkatan. Sepanjang tahun 2006-2012, telah
terjadi pertumbuhan jumlah perusahaan penangkapan ikan rata-rata tiap
tahun sebesar 17,57%. Peningkatan ini menjadi salah satu tanda makin
kondusifnya
dunia
usaha
khususnya
industri
penangkapan
ikan.
Penambahan jumlah perusahaan penagkapan ikan dapat diartikan pula
telah terjadi penyerapan tenaga kerja sekaligus menjadi economic
spillover bagi perekonomian di daerah (lihat Grafik 4.1).
Jika dilihat lebih dalam, dari sejumlah perusahaan penangkapan
ikan yang mulai beroperasi di Indonesia pada tahun 2012, sebanyak
43,2% merupakan perusahaan PMDN, 12,2% adalah perusahaan PMA
dan sisanya masuk dalam kategori perusahaan permodalan lainnya. Pada
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
37
Grafik 2 tergambar bahwa selama periode tahun 2006-2012, pertumbuhan
investasi PMDN pada sektor penangkapan ikanadalah yang terbesar
dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 49,88%, sedangkan
pertumbuhan rata-rata untuk kategori PMA sepanjang periode yang sama
hanya sebesar 12,90%. Rendahnya pertumbuhan investasi PMA di sektor
industri penangkapan ikan menjadi sinyal bahwa perusahaan asing
kurang berminat untuk berinvestasi pada industri ini sebagai akibat
rendahnya
kualitas
infrastruktur
kelautan
dan
kepelabuhanan.
Insrastruktur menjadi komponen sangat penting dalam mendukung
perkembangan industri penangkapan ikan, karena akan menjaga daya
daya saing produk perikanan yang dihasilkan.
Grafik 4.2. Jumlah Perusahaan Penangkapan Ikan Menurut Status
Permodalan
PMA
35
PMDN
Lainnya
30
Unit
25
20
15
10
5
0
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012*
*angka sementara
Sumber: Badan Pusat Statistik
Hasil tangkapan ikan yang dibawa oleh para nelayan dikumpulkan
dalam suatu area bernama Tempat Pelelangan Ikan (TPI). TPI sebagai
sebuah pasar yang biasanya terletak di dalam pelabuhan atau pangkalan
pendaratan ikan.Di tempat tersebut terjadi transaksi penjualan ikan dan
hasil laut baik secara lelang maupun tidak dan dikoordinasi oleh Dinas
Perikanan, Koperasi, atau Pemerintah Daerah.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
38
Petani tambak dan nelayan, terutama pada musim panen, sulit
memperoleh harga yang layak dalam memasarkan hasil ikannya. Untuk itu
perlu suatu tempat yang dapat menampung mereka dalam suatu sistem
jual beli yang terbuka dan saling menguntungkan yaitu tempat pelelangan
ikan.
Grafik 4.3. Jumlah Produksi Ikan di Tempat Pelelangan Ikan
800,000
700,000
600,000
Ton
500,000
400,000
300,000
200,000
100,000
Produksi ikan di TPI
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
366,104
466,029
529,173
556,123
730,286
423,896
420,431
Sumber: Badan Pusat Statistik
Selain itu dalam jual beli ikan, perlu suatu tempat khusus. Berbeda
dengan pasar umum, karena membutuhkan sarana khusus. Apalagi
dalam jual beli sistem lelang, maka perlu dibangun tempat khusus sebagai
wadah dalam jual beli ikan sistem pelelangan.
Dalam kehidupan masyarakat yang semakin komplek, perlu
kejelasan dan kemudahan dalam setiap kegiatannya. Ikan adalah salah
satu kebutuhan pokok yang termasuk pangan, yakni lauk pauk. Demi
penyediaan salah satu kebutuhan pokok tersebut perlu suatu sarana yang
jelas, yang dapat membantu semua pihak, dan tidak ada yang dirugikan.
Bagi petani tambak dan nelayan, membutuhkan tempat yang jelas dalam
memasarkan hasil produknya dan tentu dengan harga yang tidak
merugikan, demikian juga dengan pedagang, ingin mudah untuk
memperoleh ikan dalam berbagai jenis, langsung menuju tempat
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
39
pelelangan ikan. Sedangkan masyarakat sekitar dapat membeli ikan di
tempat itu dari para pedagang atau langsung dari petani atau nelayan
yang
tentunya
dengan
harga
yang
lebih
murah.
Karena pentingnya Tempat Pelelangan Ikan dalam menunjang laju
perkembangan masyarakat dan membuat kemudahan dalam kegiatan
masyarakat tersebut sehari-hari maka tempat pelelangan ikan sangat
perlu untuk diadakan.
BPS mencatat selama periodetahun 2006-2012, jumlah produksi
ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) mengalami peningkatan rata-rata
per tahun sebesar 1,98%. Angka produksi tertinggi selama periode
tersebut terjadi pada tahun 2010 dengan jumlah produksi mencapai 730,3
ribu ton, dan produksi terendah terjadi di tahun 2006 dengan jumlah
produksi sebesar 366,1 ribu ton. Diindikasikan bahwa penurunan produksi
ikan di TPI terjadi seiring dengan terjadinya perubahan cuaca yang
ditandai dengan tingginya gelombang laut dan perubahan suhu air laut
sehingga produksi ikan menjadi berkurang (lihat Grafik 4.3).
Grafik 4.4. Jumlah Kapal Penangkap Ikan di Sektor Perikanan
Tangkap
810000
800000
790000
780000
Unit
770000
760000
750000
740000
730000
720000
710000
700000
Jumlah Kapal
2006
783625
2007
788848
2008
788188
2009
775789
2010
742369
2011
767187
2012*
808775
Sumber: Badan Pusat Statistik
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
40
Faktor penyebab terjadinya penurunan produksi disebabkan oleh
penurunan jumlah kapal penangkap ikan yang dimiliki di sektor perikanan
tangkap.Sepanjang periode tahun 2006-2012 tercatat jumlah kapal
penangkap ikan mengalami penurunan jumlah rata-rata per tahun sebesar
0,07%. Namun, semenjak tahun 2010 hingga 2012 jumlah kapal
penagkap ikan menunjukkan kenaikan rata-rata sebesar 4,38%. Pada
tahun 2012, jumlah kapal penangkap ikan yang dimilik mencapai 808,8
ribu.
Secara
umum,
kapal
penangkap
ikan
komersial
dapat
diklasifikasikan berdasarkan desain, jenis hewan laut yang ditangkap,
metode penangkapan ikan yang digunakan, dan asalnya. Berdasarkan
FAO, kapal penangkap ikan yang beroperasi di seluruh dunia mencapai
empat juta kapal, dengan 1.3 juta merupakan kapal yang dilengkapi
dengan geladak. Hampir seluruh kapal bergeladak memiiki mesin, dan
86%-nya berlabuh Asia. Kapal penangkap ikan komersial secara umum
dapat dibagi menjadi:
a. Trawler
Trawler adalah kapal penangkap ikan yang digunakan untuk menarik
jaring sepanjang alur pelayaran untuk menangkap ikan dalam jumlah
besar sekaligus.
b. Pukat
Kapal pukat (seiner) adalah kapal yang menggunakan jaring
penangkap ikan yang lebar untuk mengurung ikan. Umumnya
digunakan untuk menangkap ikan yang berenang dekat dengan
permukaan, namun telah ada desain pukat yang dapat menangkap
ikan laut dalam.
c. Rawai
Kapal rawai (longliner) adalah kapal yang menggunakan satu atau
lebih tali atau kail dengan rangkaian umpan dan kait. Panjang dan
jumlah kail, umpan, dan kait bervariasi tergantung pada ukuran kapal,
jumlah kru, dan level mekanisasi kapal. Jenis ikan yang ditangkap pun
bergantung pada umpan yang digunakan. Kail dapat diulur dan ditarik
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
41
menggunakan drum berputar yang besar, yang biasanya diletakkan di
buritan kapal. Kapal rawai ukuran kecil dapat menggunakan tangan
untuk mengulur dan menarik kail. Kecepatan kapal menentukan
seberapa dalam dan seberapa jauh jangkauan kail.
4.2.
Kinerja Perdagangan Luar Negeri Produk Perikanan
Ikan dan produk perikanan merupakan komoditi yang masuk dalam
komoditi potensial ekspor Indonesia, yang berarti memiliki potensi dalam
meningkatkan kinerja ekspor nasional. Namaun demikian, Indonesia
masih melakukan impor terhadap ikan dan produk perikanan jenis
tertentu. Selama sepuluh tahun terakhir, neraca perdagangan Ikan dan
Produk Perikanan mengalami surplus dan surplus tersebut terus
bertambah. Udang merupakan komoditi penyumbang surplus terbesar,
diikuti oleh Makanan Olahan dan Ikan Segar & Beku. Pada Semester I
2014, neraca perdagangan Ikan dan Produk Perikanan surplus sebesar
USD 1,9 miliar, meningkat dari surplus Semester I 2013 yang sebesar
USD 1,7 miliar. Sementara itu, pada Semester I 2014, neraca
perdagangan komoditi Udang, Makanan Olahan, dan Ikan Segar & Beku
surplus masing-masing USD 0,8 miliar, USD 0,5 miliar, USD 0,3 miliar
(Grafik 4.5).
Grafik 4.5. Perkembangan Neraca Perdagangan Ikan dan Produk
Perikanan
USD Juta
4,000.0
3,500.0
3,000.0
2,500.0
2,000.0
1,500.0
1,000.0
500.0
2013
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Semester I
Udang
Makanan olahan
Ikan Segar & Beku
Ikan Olahan
Hasil Perikanan lainnya
Ikan Hidup & Ikan Hias
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Kementerian Perdagangan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
42
Selama 2009-2013, ekspor Ikan dan Produk Perikanan meningkat
rata-ratya 15,2% per tahun. Pada Semester I, ekspor Ikan dan
ProdukPerikanan mencapai USD 2,0 miliar atau naik 9,7% dari periode
yang sama tahun sebelumnya (Tabel 1). Jika dilihat lebih detail, ekspor
Ikan dan Produk Ikan didominasi oleh Udang dan Makanan Olahan yang
mencapai 69% dari total ekspor Ikan dan Produk Ikan selama Semester I
2014. Sementara itu, ekspor Ikan dan produk perikanan juga terdiri dari
Ikan Segar & Beku, Ikan Olahan, Hasil Perikanan Lainnya, serta Ikan
Hidup & Ikan Hias (Grafik 4.6).
Sementara itu, selama 5 tahun terakhir, impor Ikan dan Produk
Perikanan juga mengalami peningkatan yaitu rata-rata 8,15 per tahun.
Sedangkan pada Semester I 2014 mencapai USD 107,5 juta atau turun
1,0% (Tabel 2). Pada periode tersebut, impor Ikan dan Produk Perikanan
didominasi oleh Ikan Segar & Beku dan Udang yang memberikan
kontribusi masing-masing 56,2% dan 26,3%. Sedangkan sisanya berturutturut berupa impor Makanan Olahan, Ikan Olahan, Hasil Perikanan
Lainnya, dan Ikan Hidup & Ikan Hias (Grafik 4.6).
Grafik 4.6. Struktur Ekspor dan Impor Ikan dan Produk Perikanan,
Semester I 2014
Ikan Hidup &
Ikan Hias
1.7%
Hasil
Perikanan
lainnya
4.1%
Ikan Olahan
11.0%
Ikan Segar &
Beku
13.4%
Ekspor
Udang
42.4%
Ikan Hidup &
Ikan Hias
0.0%
Hasil
Perikanan
lainnya
3.5%
Impor
Ikan Segar &
Beku
56.2%
Ikan Olahan
3.0%
Makanan
olahan
27.3%
makanan
olahan
10.9%
udang
26.3%
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Kementerian Perdagangan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
43
Jika dilihat juah lebih detail lagi, komoditi ekspor yang tergolong
dalam Ikan dan Produk Perikanan terbesar di semester I 2014 adalah
Udang beku dengan nilai ekspor mencapai USD 723,3 juta. Selain
kontribusinya yang cukup besar terhadap total ekspor Ikan dan Produk
Perikanan (35,8%), ekspor Udang beku juga mengalami peningkatan yang
signifikan di Semester I tahun ini, yaitu meningkat 41,3% dibanding
semester I tahun lalu. Selain Udang beku, komoditi ekspor Ikan dan
Produk Perikanan yang memberikan kontribusi besar antara lain Udang
yang diolah/ diawetkan, Tuna yang diolah/diawetkan, Ikan fillet, dan
Kepiting yang diolah/diawetkan (Tabel 4.1).
Tabel 4.1. Komoditi Ekspor Ikan dan Produk Perikanan
USD JUTA
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
HS
Uraian
2009
Total Ekspor Ikan, Udang, dan Produk Perikanan
2,249.0
0306130000 Shrimps and prawns, frozen
693.9
1605209900 Oth aquatic invertebrata in oth contners , prepa
143.5
1604141000 Tunas, skipjack & bonito (sarda spp), prepared/p
174.8
0304290000 Other fish fillets, frozen
155.2
1605109000 Crabs in other than airtight containers prepared
34.7
0303791090 Other marine fish, excl.fillets, livers and roes, fro
53.2
29.1
0304990000 Other fish meat (whether or not minced) frozen
1605201900 Shrimps paste in other than airtight containers p
7.2
0303792090 Other freshwater fish, excl.fillets, livers and roes
4.1
1605101000 Crabs in airtight containers prepared or preserve
33.8
Subtotal
1,329.5
Lainnya
919.45
2013
3,845.4
1,219.5
207.6
304.2
181.1
124.4
133.6
132.3
98.8
77.9
63.4
2,543.0
1,302.39
Semester I
2014
2,018.5
723.3
140.4
124.6
107.9
76.7
71.7
57.2
56.9
42.5
40.5
1,441.5
576.94
Trend (%) Growth Share (%)
19-13 (%) 14/13 2014
15.17
14.26
9.32
17.63
3.27
41.16
25.04
54.36
120.26
121.94
14.64
18.06
10.50
9.68
41.33
43.57
(27.00)
14.05
2.84
16.56
(16.38)
30.94
3.88
55.84
21.18
(11.33)
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Kementerian Perdagangan
Lebih dari separuh impor Ikan dan Produk Perikanan selama
Semester I 2014 didominasi oleh Mackerel beku, Kepiting beku, dan
Sardines yang memberikan kontribusi masing-masing 26,7%, 16,6% dan
11,7%. Namun demikian, impor ketiga komoditi tersebut mengalami
penurunan masing-masing 9,3%, 12,8%, dan 31,4%. Sementara impor
Ikan dan Produk perikanan yang naik signifikan di Semester I 2014 antara
lain Udang beku, Ikan diolah/diawetkan, Cakalang beku yang naik masingmasing 31,1%, 86,0%, dan 103,5% (Tabel 4.2).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
44
100.00
35.83
6.95
6.17
5.34
3.80
3.55
2.83
2.82
2.11
2.00
71.42
28.58
Tabel 4.2. Komoditi Impor Ikan dan Produk Perikanan
USD JUTA
No
HS
Uraian
Total Impor Ikan, Udang, dan Produk Perikanan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0303740000
0306140000
0303710000
0303610000
0306130000
1604209900
0303190000
0303430000
0307491000
0303420000
Mackerel, excl.fillets, livers and roes, frozen
Crabs, frozen
Sardines, excl.fillets, livers and roes, frozen
Swordfish (xiphias gladius) ,excl.fillets,livers and roes,frozen
Shrimps and prawns, frozen
Oth prepared/preserved fish, in other than airtight containers
Oth pacific salmon, excl.fillet, liver and roes, frozen
Skipjack or stripe-bellied bonito, excl.fillets, livers and roes, fro
Cuttle fish and squid, frozen
Yellow fin tunas, excl.fillet, liver & roes, frozen
Subtotal
Lainnya
2009
157.0
60.7
6.1
2.3
0.1
6.5
1.2
0.0
4.0
7.6
8.6
97.1
59.85
2013
233.0
69.8
50.9
29.2
11.4
13.3
7.2
4.7
4.0
2.8
1.9
195.2
37.81
Semester I
2014
107.5
28.7
17.8
12.6
6.2
6.8
4.9
1.3
3.9
1.7
0.8
84.8
22.73
Trend (%) Growth Share (%)
19-13 (%) 14/13 2014
8.12
0.00
70.32
85.05
224.61
24.02
60.12
254.84
0.07
(26.50)
(24.49)
18.20
(14.85)
(1.01)
(9.26)
(12.85)
(31.43)
(1.98)
31.10
85.97
(34.22)
103.54
3.67
(48.74)
(7.62)
35.02
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Kementerian Perdagangan
Amerika Serikat merupakan negara tujuan utama eskpor Ikan dan
Produk Ikan Indonesia dengan pangsa mencapai 42,8% selama Semester
I 2014. Berurutan Jepang, China, Thailand, dan Vietnam masuk ke dalam
5 negara terbesar tujuan ekspor Ikan dan Produk Perikanan. Kelima
negara tersebut memberikan kontribusi sebesar 71,5%. Sementara itu,
lima negara utama asal impor Ikan dan Produk Perikanan Indonesia
adalah China, Amerika Serikat, Malaysia, Thailand, dan Taiwan dengan
kontribusi masing-masing sebesar 26,4%, 9,7%, 6,0%, 5,7%. Negara asal
impor Ikan dan Produk Perikanan lebih terdiversifikasi dibanding negara
utama tujuan ekspornya. Hal tersebut dapat dilihat dari kontribusi 5 negara
tujuan ekspor Ikan dan Produk Perikanan (71,5%) lebih besar dari
kontribusi 5 negara asal impornya (55,6%) (Garfik 4.7).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
45
100.00
26.66
16.60
11.71
5.79
6.28
4.57
1.25
3.63
1.62
0.75
78.85
21.15
Grafik 4.7. Negara Tujuan Ekspor dan Negara Asal Impor Ikan dan
Produk Perikanan, Semester I 2014
Ekspor
VIET NAM
2.9%
CHINA
26.4%
Lainnya
28.5%
THAILAND
3.8%
CHINA
6.1%
Impor
JAPAN
15.7%
UNITED
STATES
9.7%
MALAYSIA
7.9%
UNITED
STATES
42.8%
Lainnya
44.4%
THAILAND
6.0%
TAIWAN, PRO
VINCE OF
CHINA
5.7%
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Kementerian Perdagangan
4.3.
Dampak Implementasi Kebijakan Impor Pengendalian Mutu
dan Keamanan Hasil Perikanan terhadap Kinerja Sub Sektor
Perikanan
Implementasi Kebijakan Impor Pengendalian Mutu dan Keamanan
Hasil Perikanan melalui Permen KP Nomor 17 tahun 2010 jo. Permen KP
Nomor 15 tahun 2011 diterapkan sejak tahun 2010. Untuk mengetahui
efektivitas kebijakan tersebut, maka dilakukan uji beda terhadap kinerja
beberapa sub sektor Perikanan pada masa sebelum dan sesudah
penerapan kebijakan tersebut. Dalam hal ini, data yang dibandingkan
adalah data trend pertumbuhan sebelum (2007-2010) dan sesudah (20102013) diberlakukannya kebijakan, yaknbi pada tahun 2010.
Berdasarkan hasil analisis uji beda nyata trend, dapat diketahui
bahwa penerapan kebijakan tersebut memberikan dampak signifikan
terhadap kinerja impor, Neraca perdagangan, dan PDB Ikan dan Produk
Perikanan. Sementara produksi, ekspor, dan konsumsi Ikan dan Produk
Perikanan pasca penerapan kebijakan tidak berbeda dengan sebelum
penerapan. Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Kebijakan
Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan efektif dalam
meningkatkan neraca perdagangan sub sektor perikanan, yakni dengan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
46
mengurangi impor hasil perikanan secara efektif, meskipun ekspor tidak
naik secara signifikan (Tabel 4.3).
Tabel
4.3. Hasil Analisis Perkembangan Kinerja Sub Sektor
Perikanan
No
1
2
3
Hasil Uji
Beda Nyata
Kinerja (Satuan)
Produksi (Ton) Hulu
Tidak Berbeda
Produksi (Ton) Produk industri
Tidak Berbeda
Ekspor Volume (Ton)
Tidak Berbeda
Nilai (USD000)
Tidak Berbeda
Impor Volume (Ton)
Beda, Lebih Rendah
Nilai (USD000)
Beda, Lebih Rendah
4
Neraca (USD000)
5
PDB Harga Berlaku
Beda, Lebih Rendah
PDB Harga Konstan
Beda, Lebih Tinggi
6
Beda, Lebih Tinggi
Konsumsi Ketersediaan untuk konsumsi (Ton)
Tidak Berbeda
Perkapita (kg/kapita/th)
Tidak Berbeda
Sumber: Analisis Kementerian Perdagangan
Stakeholder yang menerima dampak dari pemberlakuan Kebijakan
Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan antara lain adalah
Nelayan,
Processors
(industri
pengolahan
ikan),
Konsumen,
dan
Pemerintah. Dari hasil analisis uji beda nyata, dapat dilihat bahwa pihak
Processors, Konsumen dan Pemerintah ternyata tidak terbukti menerima
dampak negatif dari penerapan Permen KP 17 tahun 2010 tersebut.
Sementara itu, pihak Produsen Nelayan, diuntungkan dengan adanya
kebijakan tersebut. Hal tersebut tercermin dari adanya peningkatan jumlah
nelayan (umum dan laut) secara signifikan. Namun demikian, kebijakan
ini
belum mampu meningkatkan nilai tukar nelayan, terkait dengan
peningkatan harga ikan yang lebih rendah dari peningkatan harga-harga
kebutuhan konsumsi para nelayan (tabel 4.4).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
47
Tabel 4.4. Hasil Analisis Dampak Kebijakan terhadap Pihak Nelayan,
Processors (Industri Pengolahan Ikan), Konsumen dan Pemerintah
No
1
Pihak / Kriteria
Produsen Nelayan
Produksi Hulu (Ton)
Jumlah Nelayan (Umum dan Laut)
Indeks Harga (Nelayan) NTN
2
3
4
Hasil Uji Beda Nyata
Tidak Berbeda
Beda, Lebih Tinggi
Beda, Lebih Rendah
Processors
Produksi Produk Industri (Ton)
Tidak Berbeda
Jumlah Perusahaan Hilir
Tidak Berbeda
Konsumen
Konsumsi Ketersediaan untuk Konsumsi (Ton)
Tidak Berbeda
Konsumsi Per Kapita (kg/kapita/th)
Tidak Berbeda
Pemerintah
Realisasi PNBP (Rp. Miliar)
Tidak Berbeda
Sumber: Analisis Kementerian Perdagangan
4.4.
Hasil Temuan Lapangan
Guna menunjang kebutuhan analisis, Tim Peneliti melakukan
kunjungan lapangan dalam rangka pengumpula data dan informasi. Tim
mengunjungi 2 (dua) lokasi yaitu Bitung (Sulawesi Utara) dan Surabaya
(Jawa Timur). Responden yang dikunjungi adalah pelaku usaha eksportir
dan importer produk perikanan yang datanya tercatat pada Badan Pusat
Statistik. Adapun hasil kunjungan lapangan tersebut dapat kami simpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
4.4.1. Bitung
Jenis produk olahan ikan utama yang diproduksi adalah Tuna,
Cakalang (skip jack). Rata-rata kapasitas produksi perusahan perikanan
adalah 10-60 ton per/hari dengan bahan baku sepenuhnya berasal dari
dalam negeri.Hasil produksi perusahaan perikanan di Bitung sebagian
besar diperuntukan bagi pasar luar negeri karena faktor harga yang lebih
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
48
baik. Produk ya ng paling dominan adalah produk berbahan baku ikan
Cakalang dan Tuna yang berasal 100% dari perairan dalam negeri.
Terkait
dengan
peraturan
No.
PER.15/MEN/2011
tentang
keamanan pangan, semua responden menganggap tidak terdapat
perubahan yang berarti setelah peraturan ini diterapkan.Hambatan dan
permasalahan yang dihadapi oleh para pelaku usaha antara lain selama
ini produk perikanan dari indonesia dikenakan tarif 24% untuk jenis tuna
dalam kaleng. Infrastruktur dari pelabuhan dan ketersediaan kontainer
yang secara langsung bisa dikapalkan kenegara tujuan eskpor. Secara
umum kebijakan dibidang ekspor dan impor produk perikanan sudah
cukup mendukung industri.
Potensi dan masa depan industri perikanan Indonesia dirasakan
sangat besar. Industri perikanan Indonesia dipandang memiliki potensi
yang sangat besar mengingat kondisi geografis Indonesia. Hal ini
terindikasi dengan dibangunnya pabrik-pabrik pengolahan ikan baru di
kabupaten Bitung. Saat ini beberapa negara tujuan ekspor, terutama
Eropa, sudah mensyaratkan hasil produk perikanan yang bisa memasuki
pasar mereka adalah produk yang bahan bakunya diperoleh dengan line
fishing (tidak pakai jaring) demi kelestarian dan ketersediaan bahan baku.
4.4.2. Surabaya
a. PT Alam Jaya merupakan perusahaan pengolahan ikan yang
beorientasi ekspor dan pasar domestik. Perusahaan tersebut
mengolah Ribbonfish, Yellow Croaker, Barred Spanyol makarel,
ikan kakap merah, Octopus, Squid, Sotong, Tuna dan lain-lain.
Ikan-ikan tersebut diolah menjadi bentuk fiilet dan olahan yang
dipasarkan dalam keadaan beku. Bahan baku yang dipergunakan
merupakan bahan baku lokal. Adapun tujuan ekspornya adalah
Korea, China, Jepang, Taiwan, Malaysia, Singapura, Hong Kong,
Eropa, dan Amerika Serikat. Selama 5 tahun terakhir mengalami
penurunan ekspor dikarenakan kekurangan bahan baku yang
berkualitas.
Selain
hambatan
bahan
baku,
PT
Alam
jaya
mengeluhkan kurangnya daya saing produk Indonesia di luar
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
49
negeri, dimana surat keterangan asal Indonesia dipertanyakan.
Untuk itu, perusahaan memberikan saran agar pengelolaan hasil
perikanan lebih ditingkatkan dengan kualitas yang juga meningkat.
b. PT Aneka Tuna Indonesia (ATI) merupakan perusahaan dengan
status kawasan berikat yang bergerak di bidang pengalengan ikan
dengan orientasi ekspor dan domestik. Produk domestik memiliki
brand “SunBell” yang dipasarkan di supermarket di beberapa kota
besar. Sementara ekspor sesuai dengan brand sesuai order
pembeli, yakni dari Jepang, Eropa, Timur Tengah, Australia,
Canada, dan Afrika. Bahan baku utama yang digunakan adalah
ikan tuna yang diperoleh dari domestik 80% dan sisanya dipenuhi
dari impor. Dengan ekspor rata-rata 200 kontainer per bulan,
ekspor PT ATI mengalami peningkatan selama 3 tahun terakhir.
Adapun yang menjadi hambatan adalah kurangnya kontinuitas
bahan baku dan harga bahan baku.
Selama periode tertentu
(paceklik) setiap tahun terjadi kekurangan bahan baku. Selain itu,
sulitnya persyaratan ekspor bagi beberapa customer. Menurut PT
ATI, potensi industri pengolahan ikan di Indonesia sangat besar,
namun perlu improvement sistem untuk menciptakan rantai yang
aman, cepat dan efisien. Perusahaan tersebut juga berharap
dibukanya pelabuhan Banyuwangi sebagai pelabuhan ikan baik
untuk mempermudah proses distribusi bahan baku maupun
pengapalan untuk tujuan ekspor.
c. PT inti Luhur Fuja Abadi (Ilufa) didirikan pada tahun 1998, terletak
di Jawa Timur, dan bermula sebagai pengolah makanan laut untuk
pasar lokal. Kemudian, perusahaan tersebut memperluas bisnis
untuk ekspor dan impor produk makanan laut. Untuk menjamin
keamanan dan kualitas yang baik dari produk seafood, Ilufa
menerapkan HACCP (Hazard Analysis dan Critical Control Point).
Kapasitas produksi Ilufa mencapai 4 ton/hari dengan bahan baku
berupa ikan Kakap merah, Kerapu, Anggoli, dan Nike yang
diperoleh dari pasar lokal. Sementara ekspornya berkisar 400
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
50
ton/hari ke Amerika, Vietnam, dan Uni Eropa. Ekspor tersebut
mengalami peningkatan selama 5 tahun terakhir. Selama ini, belum
ada hambatan khusus yang dihadapi Ilufa dalam proses ekspor,
dan lebih fokus pada perbaikan perusahaan dengan meningkatkan
kinerja
perusahaan.
pengolahan
ikan
Untuk
dalam
meningkatkan
negeri,
kinerja
industri
Ilufa menyarankan
adanya
bimbingan dan pengawasan dari Pemerintah melalui survei laut.
Selain itu, diharapkan ada bantuan penyediaan kapal penangkap
ikan yang memadai berikut prasarana pengendalian mutu bahan
baku ikan.
d. PT
Avila
Prima
Intra
Makmur
merupakan
perusahaan
pengalelangan ikan, khusus untuk tuna dan sarden. Bahan baku
yang digunakan perusahaan tersebut berasa dari lokal, sementara
produknya berorientasi ekspor dan pasar domestik. Pasar tujaun
ekspornya adalah Eropa dan Amerika Serikat. Selama ini tidak
terdapat masalah yang berat terkait proses ekspor maupun impor.
Yang menajdi hambatan adalah kurangnya daya saing produk lokal
yang lebih mahal dibanding produk negara lain seperti Thailand.
Untuk itu, diharapkan pemerintah dapat memberikan intensif
kepada pelaku usaha agar produk Indonesia lebih berdaya saing.
Selain itu, pemerintah agar lebih baik dalam proses sosialisasi
kebijakan, karena masih banyak pelaku usaha yang tidak
mengetahui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
e. PT Sekar Bumi merupakan salah satu penyedia sumber makanan
beku sejak tahun 1968, yakni berupa udang, paha katak, dan
olahan ikan. Dengan sertifikasi internasional, perusahaan tersebut
dapat mengekspor produknya ke negara-negara Asia lainnya,
Amerika Serikat dan Eropa. Namun, beberapa produk olahan ikan
dipasarkan ke pasar lokal dengan brand “Bumi Food”. Adapun
bahan baku udang yang digunakan berasal dari lokal, yakni dari
Jawa, Sumatera, dan Maluku. Hambatan yang dirasa dapat
mengganggu perusahaan adalah masalah harga serta persyaratan-
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
51
persyaratan yang diajukan pembeli (negara tujuan ekspor),
sehingga perusahaan harus mengeluarkan biaya lebih serta waktu
yang lebih lama. Hal tersebut berpengaruh bagi daya saing produk
Indonesia
di
pasar
internasional.
Untuk
itu,
perusahaan
mengharapkan adanya kerjasama yang baik antara pemerintah,
supplier, agen, maupun industri pengolahan.
Dalam rangka pengumpulan data dan informasi, selain melakukan
kunjungan lapang ke perusahaan, Tim Peneliti juga melakukan diskusi
terbatas yang dihadiri oleh asosiasi dan instansi pemerintah terkait. Dari
diskusi terbatas tersebut, diperoleh informasi sebagai berikut :
a. Ketua
Umum
Asosiasi
Pengalengan
Ikan
Indonesia
(APIKI)
menyampaikan bahwa pengembangan industri pengalengan ikan
termasuk dalam Rencana Induk Perindustrian (RIPID). Saat ini,
Indonesia telah memiliki 40 perusahaan industri pengalengan ikan yang
mengolah ikan sarden dan makarel. Dengan jumlah perusahaan
tersebut, industri pengalengan ikan di Indonesia berperan dalam
menyerap banyak tenaga kerja karena sifatnya yang padat karya.
Dalam rangka menjaga kontinuitas produksi, industri pengalengan ikan
di Indonesia melakukan impor situasional untuk mensubstitusi pasokan
dalam negeri, mengingat ketersediaan bahan baku atau efektivitas
nelayan melaut hanya 7 bulan dalam 1 tahun. Jumlah importasi bahan
baku yang dibutuhkan oleh industri pengalengan ikan di Indonesia
berkisar 350 ribu ton atau maksimal 50% dari kapasitas terpasang
industri.
Sebagai
informasi
telah
terjadi
keabnormalan
dalam
ketersediaan bahan baku di Selat Bali dimana tidak adanya pasokan
sehingga keseluruhan kebutuhan dipasok dari luar negeri. Oleh karena
itu, APIKI mengharapkan agar pemerintah (KKP dan LIPI) membuat
dan mengembangkan peta musim perikanan daerah untuk mengetahui
ketersediaan pasokan bahan baku ikan dan produk perikanan.
b. Perwakilan dari Direktorat Pemasaran luar Negeri, Direktorat Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Keenterian Kelautan dan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
52
Perikanan (KKP), ruang lingkup
Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan No. 15 Tahun 2011 meliputi : Persyaratan dan tata cara
pemasukan hasil perikanan; Pemeriksaan hasil perikanan; Tempat
Pemasukan Hasil Perikanan; Pemasukan hasil perikanan sebagai
barang bawaan; dan Pemasukan kembali hasil perikanan. Secara
singkat, Impor Ikan dan Produk Perikanan wajib memiliki izin
pemasukan hasil perikanan, yakni pemilik API-U dan API-P, serta harus
melalui pintu masuk impor yang telah ditetapkan. Adapun jenis-jenis
hasil perikanan yang diimpor harus memenuhi kriteria : 1) Hasil
perikanan yang tidak ada di perairan Indonesia; 2) Hasil perikanan yang
sangat dipengaruhi oleh musim; 3) Hasil perikanan yang belum
dikembangkan di Indonesia; 4) Hasil perikanan yang tidak diproduksi
oleh masyarakat nelayan atau pembudidaya lokal.
c. Kepala Bidang Tata Operasional pada Pusat Karantina Ikan KKP
menyampaikan
bahwa
pihaknya
bertugas
melaksanakan
tugas
pengkarantinaan ikan baik dari segi mutu dan keamanan serta terbebas
dari hama penyakit baik yang berasal dari ekspor, impor dan domestik.
Dalam pelaksanaan tugasnya, Pusat Karantina Ikan dibantu oleh 40
Unit Pelayanan Teknis (UPT) dan Dinas Perikanan di berbagai daerah
di Indonesia. Adapun beberapa permasalahan utama yang dihadapi
oleh Pusat Karantina Ikan terkait dengan importasi ikan dan produk
perikanan adalah ketiadaan health certificate dan izin impor sebagai
persyaratan dalam melakukan importasi ikan dan produk perikanan,
ketidaksesuaian jenis ikan dengan kriteria perikanan, ketidaksesuaian
hasil uji mutu ikan dan produk perikanan (misalnya, mengandung
formalin), impor dari beberapa negara wabah, dan banyaknya
penyalahgunaan impor perikanan serta belum pernah terbitnya
rekomendasi izin impor perikanan di Entikong.
d. Seluruh peserta diskusi sepakat bahwa permasalahan terkait sektor
Perikanan perlu penanganan yang membutuhkan kerjasama antara
semua stakeholder yang terkait, baik pelaku usaha, pemerintah,
maupun nelayan. Terkait Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
53
No. 15 Tahun 2011 tentang Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan,
sudah
berjalan
cukup
baik.
Namun,
dalam
perkembangannya, masih memerlukan beberapa perbaikan untuk
dapat mengatasi berbagai permasalahan yang muncul pada sektor
Perikanan untuk menciptakan sektor Perikanan
yang kuat dan
berkelanjutan.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
54
BAB V
KESIMPULAN DAN USULAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
5.1.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis evaluasi implementasi kebijakan impor
produk perikanan, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Sektor perikanan dan kelautan akan dapat menjadi salah satu sumber
utama pertumbuhan ekonomi. Selain karena kapasitas suplai yang
sangat besar, sektor tersebut dapat membangkitkan industri hulu dan
hilir yang besar sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang cukup
banyak.
2.
Kinerja Sub Sektor Perikanan secara umum menunjukkan adanya
peningkatan yang baik.
a.
Selama 2006-2012, jumlah perusahaan penangkapan ikan dan
produksi ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) terus mengalami
peningkatan, masing-masing sebesar 31,4% dan 1,98% per
tahun.
b.
Neraca perdagangan Ikan dan Produk Ikan selama 2004-2013
juga meningkat rata-rata 9,0% per tahun. Pada Semester I 2014,
neraca perdagangan Ikan dan Produk Perikanan surplus sebesar
USD 1,9 miliar, dimana penyumbang surplus tersebesar adalah
komoditi Udang, Makanan Olahan, dan Ikan Segar & Beku yang
surplus masing-masing USD 0,8 miliar, USD 0,5 miliar, USD 0,3
miliar.
3.
Dari
hasil
perikanan
analisis
tentang
dampak
implementasi
Pengendalian
Mutu
kebijakan
dan
importasi
Keamanan
Hasil
Perikanan terhadap Kinerja Sub Sektor Perikanan, dapat disimpulan
bahwa Kebijakan tersebut efektif dalam meningkatkan neraca
perdagangan sub sektor perikanan, yakni dengan mengurangi impor
hasil perikanan secara efektif, meskipun ekspor tidak naik secara
signifikan.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
55
4.
Secara umum implementasi kebijakan importasi perikanan tersebut
tidak memberikan dampak negatif terhadap pihak processors,
konsumen dan pemerintah. Pihak produsen Nelayan, diuntungkan
dengan adanya kebijakan tersebut, yang tercermin dari adanya
peningkatan jumlah nelayan (umum dan laut) secara significant.
Namun demikian, kebijakan ini
belum mampu meningkatkan nilai
tukar nelayan, terkait dengan peningkatan harga ikan yg lebih rendah
dari peningkatan harga-harga kebutuhan konsumsi para nelayan.
5.
Berdasarkan survey lapang, beberapa pelaku usaha di sektor
pengolahan
ikan
mengaku
mendapatkan
manfaat
dengan
diberlakukannya Peraturan Menteri KKP No. PER.15/MEN/2011
tentang keamanan pangan, dimana produk mereka lebih berdaya
saing baik di pasar lokal maupun pasar internasional. Namun
demikian,
beberapa
diantaranya
menganggap
tidak
terdapat
perubahan yang berarti setelah peraturan tersebut diterapkan. Hal
tersebut kemungkinan disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dan
pengawasan di lapangan terhadap implementasi kebijakan tersebut.
Namun secara umum, kebijakan dibidang ekspor dan impor produk
perikanan sudah cukup mendukung industri.
6.
Adapun hambatan yang sering dihadapi industri ikan dan produk
perikanan nasional adalah kurangnya kontinuitas bahan baku ikan,
terutama pada musim-musim tertentu (paceklik), dimana ikan sulit
diperoleh karena faktor cuaca. Ditambah kurangnya infrastruktur
membuat produk pengolahan ikan Indonesia kurang berdaya saing,
terutama dari segi harga.
Masalah lain
adalah banyaknya
persyaratan yang diajukan pembeli
7.
Namun demikian, potensi dan masa depan industri perikanan
Indonesia dirasakan sangat besar. Hal ini terindikasi dengan
dibangunnya pabrik-pabrik pengolahan ikan baru serta perluasan
industri yang sudah ada di beberapa wilayah di Indonesia seperti
Bitung dan Surabaya. Namun demikian, dalam mendorong potensi
tersebut, perlu adanya system improvement untuk menciptakan rantai
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
56
pasok dan rantai industri yang aman, cepat dan efisien untuk
meningkatkan daya saing.
5.2.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Adapun rekomendasi yang dapat disarankan antara lain :
1.
Kebijakan importasi ikan untuk Pengendalian Mutu dan Keamanan
Hasil Perikanan tetap diperlukan, namun sesuai Tupoksi, perijinan
impor merupakan kewenangan dari Kementrian Perdagangan dengan
rekomendasi dari Kementrian terkait.
2.
Tata niaga impor ikan dan produk perikanan juga sebaiknya diatur
dengan membatasi waktu diperbolehkannya impor, yakni pada saat
musim paceklik.
Namun demikian, untuk kondisi khusus,
tetap
diperbolehkan melakukan impor di luar musim paceklik dengan
rekomendasi dan evaluasi dari tim teknis. Oleh sebab itu, perlu
dibentuk tim teknis untuk menentukan kapan kondisi khusus tersebut
dapat dilakukan impor.
3.
Adapun tata niaga tersebut direkomendasikan juga menggunakan
kuota, dimana besarnya kuota impor bulanan selama musim paceklik
ditentukan maksimal sebanyak angka ketersediaan (supply) ikan pada
bulan normal dikurangi dengan angka ketersediaan ikan pada bulan
paceklik.
Periode musim paceklik dan besarnya maksimal
kuota
bulanan tergantung dari kondisi masing-masing Provinsi.
4.
Pelabuhan pintu masuk impor juga perlu dibatasi terkait fasilitasfasilitas yang harus ada. Pelabuhan impor ikan dan produk perikanan
harus memenuhi standard minimal untuk dapat menjadi pintu masuk
impor seperti tersedia badan karantina, laboratorium, Perhubungan
Laut, Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan, Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Penelitian
dan
Pengembangan Kelautan
dan
Perikanan,
Pengembangan
Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, serta instansi lainnya
sebagaimana Permen KKP Nomor PER.08/MEN/2012.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
57
DAFTAR PUSTAKA
Buku Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun
2009-2014.
Buku Rencana Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun
2005-2009.
Media Data Riset : Surat Penawaran “Daftar Peraturan Sektor Perikanan
Indonesia“ diterbitkan pada bulan Februari 2011.
Data hasil kegiatan pameran perikanan terbesar di dunia, yakni Boston
Seafood Exhibiton Show dan Seminar on Fish pada tanggal 11-13
Maret 2007.
Artikel “Presiden : 5 Tahun kedepan Peluang Dunia Usaha” diterbitkan
pada tanggal 2 Maret 2010, di situs http://infobanknews.com
Artikel “Fadel Minta Perbankan Kucurkan” diterbitkan pada tanggal 29
Desember 2009, di situs http://bataviase.co.id
Kajian “Strategi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan
dan Perikanan” oleh Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup Direktorat Kelautan dan Perikanan.
Brenda and Robert Vale, Green Architecture Design for a Sustainable
Future. Thames and Hudson Ltd, London, 1991.
Donald E. Hepler & Paul I. Wallach, Architecture Drafting & Design. Mc.
Graw- Hill Book Company, San Francisco, 1977.
Francis D.K. Ching, Arsitektur: Bentuk Ruang & Susunannya. Erlangga,
Jakarta, 1985.
Ir. Kaslam A. Thohir, Butir-butir Tata Lingkungan. PT Bina Aksara, Jakarta,
1985.
Ir. Rustam Hakim, Unsur Perancangan Alam Arsitektur Lansekap. PT Bina
Aksara, Jakarta, 1987.
Ir. Setyo Soetiadji S, Anatomi Estetika. Jambatan, Jakarta 1986.
Ir. Setyo Soetiadji S, Anatomi Utilitas. Jambatan, Jakarta, 1986.
Leslie L. Doelle & Lea Prasetio, Akustik Lingkungan. Erlangga, Jakarta,
1986.
Richard L. Austin & Asla, Designing the Natural Lanscape. Van Nostrand
Reinhold Company Inc., New York, 1984.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
58
Richard Untermann & Robert Small, Perancangan Tapak untuk
Perumahan. Bandung: Intermatra, 1984.
Thomas C. Wang, Gambar Denah & Potongan. Erlangga, Jakarta, 1986.
Yoshinobu Ashihara, Merancang Ruang Luar. PT Dian Surya, Surabaya,
1983.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
59
Download