PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Degradasi kualitas lingkungan secara global antara lain disebabkan oleh teknologi yang tidak ramah lingkungan sehingga dapat mencemari lingkungan. Salah satu pencemar lingkungan yang dikhawatirkan adalah bahan kimia yang berbahaya dan beracun seperti pestisida dan turunannya. Kekhawatiran ini cukup beralasan mengingat penggunaan pestisida dalam kehidupan manusia modern, baik dalam jumlah maupun jenis penggunaannya semakin meningkat. Pestisida pada mulanya digunakan di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan dan tanaman hortikultura sebagai pengendali organisme pengganggu tanaman. Saat ini pestisida bukan hanya dimanfaatkan untuk pertanian saja tetapi telah digunakan secara luas di berbagai bidang seperti bidang kesehatan sebagai pengendali serangga vektor penyakit pada manusia, perawatan rumput dari serangan hama, penyakit dan gulma pada lapangan golf, dsb. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang menghadapi masalah penggunaan pestisida yang tidak terkendali. Diazinon dan pestisida lainnya yang digunakan langsung ke tanah atau ke tanaman, rumput-rumputan, sebagian kecil sampai kepada sasaran dan sebagian besar pestisida tersebut terbuang ke lingkungan (Amer 2011). Selain itu penggunaan pestisida yang berlebihan juga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif seperti resistensi dan resurgensi serangga, terbunuhnya organisme bukan sasaran, adanya residu pestisida pada tanaman dan biji-bijian, terjadinya pencemaran lingkungan (residu senyawa kimia di tanah/sedimen dan air) dan menguapnya pestisida ke udara, sehingga menimbulkan residu yang berkepanjangan dan pada akhirnya menurunkan kualitas lingkungan. Walaupun residu pestisida dapat mengalami penguraian secara alami oleh mikroorganisme yang berada di lingkungan, namun tetap harus diwaspadai mengingat pestisida jenis tertentu sangat sulit terurai dan tingkat penyebarannya cepat. Sebagai contoh residu pestisida yang berada di permukaan tanah dapat menyebar ke dalam aliran sungai atau mengalami perkolasi ke dalam air tanah dan sampai ke danau (Silampari 2008). Diazinon merupakan salah satu pestisida golongan organofosfat yang banyak digunakan di bidang pertanian setelah klorfirifos dan perlu mendapat perhatian khusus, karena bersifat lebih toksik dibanding pestisida hidrokarbon terklorinasi (terutama terhadap mamalia dan unggas). Selain itu senyawa organofosfat lebih mudah menyerap pada air permukaan dan “groundwater” (air bawah tanah), karena lebih mudah larut dalam air dibanding senyawa klorin (Reynolds 1986; Ku et al. 1998). Di Indonesia, diazinon umumnya digunakan pada komoditas pertanian secara luas, baik pada tanaman pangan maupun sayuran, seperti buncis, kubis, bawang merah dan cabe. Meskipun diazinon merupakan salah satu pestisida yang dilarang penggunaannya sejak 1 Mei 1997, namun kenyataan di lapangan masih saja ada petani yang menggunakan. Tingkat yang diperbolehkan di lingkungan yaitu sebesar 0.1 mg kg-1, keadaan saat ini memang masih di bawah ambang batas yang diperbolehkan di lingkungan (KEP 02/MENKLH/1988). Nilai batas maksimum residu (maximum residue limit./MRL) yang diperbolehkan di Indonesia untuk komoditas pangan sebesar 0.5000 mg kg-1 (Depkes & Deptan 1996). Meskipun nilainya masih di bawah nilai MRL. Alasan mengapa pestisida ini dilarang penggunaannya karena diazinon bersifat toksik terhadap unggas dan mamalia, metabolit yang dihasilkan sangat toksik dibandingkan diazinon serta mudah larut dalam air permukan dan air bawah tanah (USDA 2006). Pelarangan penggunaan pestisida belum menjamin pestisida tersebut tidak digunakan lagi. Bukti lain adalah hasil penelitian pada akhir tahun 1997, oleh Ngabekti (1998) yang mendapatkan hasil bahwa masih ditemukan residu diazinon pada sayur kubis, selada dan tomat yang dipasarkan di Kodya Semarang dengan residu diazinon 0.0069–0.0591 ppm. Tingkat residu diazinon di tanah ditentukan oleh frekuensi penggunaan diazinon. Organisme non target, contohnya burung terancam penggunaan insektisida di bidang pertanian (Heong & Escada 1997) baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dapat digunakan sebagai bio indikator pencemaran lingkungan (Van Drooge 1998; Chao & Mei 2002). Hasil penelitian Suriadikarta et al. (2001) pada lahan budidaya tanaman sayuran di Brebes, menunjukkan residu diazinon pada tanah berkisar antara 0.0021-0.0065 ppm. Selanjutnya hasil penelitian Kuncoro et al. (2002) mendapati residu diazinon pada burung wallet di Rongkop, Gunung Kidul, Yogyakarta sebesar 0.159 ppm pada bulu, 0.150 ppm pada saluran pernafasan dan 0.018 ppm pada pencernaan. Diazinon pada tanah Das Citarum sebesar 0.013 ppm (Girsang 2008). Residu diazinon pada buah anggur 0.0031-0.0032 mg kg-1, apel merah 0.0008-0.0016 mgkg-1, pear 0.00190.0032 mgkg-1 (Syahbirin et al. 2010) dan pada shorgum sebesar 125.8 ug kg-1. (Daba et al. 2011). Mengingat besarnya bahaya yang dapat muncul sebagai akibat adanya residu diazinon di lingkungan, maka telah banyak dilakukan berbagai penelitian untuk mengurangi residu pestisida di lingkungan (air dan tanah). Penelitian tersebut pada umumnya menggunakan metode yang beragam mulai dari metode fisik, kimia dan biologi seperti: pencucian, pengolahan tanah, aerasi, insinerasi, pemadatan dan penyimpanan, oksidasi ultraviolet, dan bioremediasi. Sejak satu dekade terakhir, juga telah dilakukan berbagai upaya untuk mereduksi residu senyawa kimia dalam tanah dan air semakin gencar dilakukan, antara lain dengan cara bioremediasi. Menurut Yani et al. (2003) bioremediasi merupakan bagian dari bioteknologi lingkungan yang memanfaatkan proses alami biodegradasi dengan menggunakan aktifitas mikroorganisme yang dapat memulihkan lahan tanah, air dan sedimen dari kontaminasi senyawa organik. Degradasi oleh mikroorganisme berguna dalam strategi pengembangan bioremediasi untuk detoksifikasi insektisida dengan menggunakan mikroorganisme (Qiu et al. 2006; Ortiz-Hernandez & SanchezSalinas 2010). Biodegradasi adalah metode yang umum dilakukan untuk mengubah polutan organik, merupakan suatu metode yang efektif, ekonomis dan resikonya kecil terhadap tumbuhan dan hewan indigenous (Liu et al. 2007) Akhir-akhir ini berkembang teknik bioremediasi kompos. Pada teknik bioremediasi kompos ini dilakukan penambahan kompos ke dalam tanah atau air yang tercemar. Kendala yang dihadapi cara ini antara lain adalah waktu remediasi yang lama, adaptasi mikroorganisme kompos dengan polutan cukup lama, komposisi kompos beragam sesuai dengan polutan yang akan dipecahkan, dsb. Penelitian bioremediasi tanah tercemar herbisida dicamba (3.000 ppm) dengan menggunakan 10 persen kompos matang yang dilakukan oleh Cole (1996) telah berhasil menurunkan konsentrasi herbisida dicamba pada tanah tercemar hingga tidak terdeteksi dalam waktu 50 hari (US-EPA 1998). Namun penelitian dengan metode penjerapan dengan menggunakan karbon aktif, terbukti kurang efektif serta memerlukan biaya besar. Menurut Vischetti et al. (2004) jika degradasi pestisida dilakukan dalam reaktor, waktu yang diperlukan relatif lebih cepat dibandingkan di tanah. Hal ini terbukti dari nilai waktu paruh klorpirifos yang kurang dari 14 hari sedangkan waktu paruhnya dalam tanah yaitu 60-70 hari. Adapun alasan penggunaan kompos matang dalam bioremediasi ini, karena pada kompos matang mengandung mikroorganisme 5-10 kali lebih banyak dibandingkan mikroorganisme yang ada pada tanah subur dan diversitas mikroorganisme dalam kompos yang juga tinggi (Beffa et al. 1996). Menurut Cole (1996) kompos halaman yang terbuat dari daun-daunan mengandung 417 juta bakteri per gram berat kering dan 155 juta fungi per gram berat kering, sedangkan tanah subur mengandung 6-46 juta bakteri per gram berat kering dan 9-46 juta fungi per gram berat kering. Selain itu, dilihat dari kandungan unsur-unsurnya kompos juga mempunyai kemampuan menjerap yang baik. Kombinasi unsur organik yang tinggi dengan berbagai mineral makro seperti nitrogen, karbon, phospor dan mineral mikro seperti mangan, kalsium, seng, besi dsb. yang ada dalam kompos, mengakibatkan kompos dapat digunakan sebagai penjerap yang baik untuk senyawa organik dan anorganik (US-EPA 1998). Pada prinsipnya terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan pada bioremediasi kompos, salah satu teknik diantaranya adalah biofilter. Teknik ini pada umumnya digunakan untuk penanganan udara tercemar atau menghilangkan bau, namun biofilter kompos juga dapat digunakan untuk penanganan air yang tercemar. Sebagai contoh dalam menangani air komersil, teknik ini dapat mengubah minyak, lemak dan logam beracun yang ada dalam aliran air runoff secara efektif (Conrad 1995). Berbagai kompos telah digunakan sebagai media filter. Menurut Schwab (2000) biofilter menggunakan kompos dari daun-daunan dapat menjerap lebih dari 90 persen total padatan, 85 persen minyak dan lemak, dan 82–98 persen logam berat. Kompos yang potensial lainnya adalah kompos sisa substrat jamur tiram. Kompos tersebut telah digunakan pada pengolahan drainase limbah tambang asam. Pada aliran lambat, media filter kompos jamur dapat menaikkan pH limbah asam tambang dari pH 4 menjadi 6.5. Selain hal tersebut juga terjadi penurunan konsentrasi unsur mangan (Mn) dan besi (Fe) yang terlarut di dalamnya (Stark et al. 1994). Diharapkan teknik ini juga dapat diterapkan pada aliran air irigasi yang mengandung senyawa organik dan senyawa anorganik seperti Mn, Fe, padatan, lemak, minyak dan unsur logam berat. Teknik biofilter kompos, selain dapat menguraikan senyawa-senyawa polutan dan mengingat kandungan kalsium dalam kompos cukup tinggi, serta dapat menaikkan pH rendah air irigasi, yang saat ini dikenal dengan keasamannya yang rendah. Penelitian bioremediasi dengan menggunakan teknik biofilter kompos telah banyak dilakukan, namun hasil bioremediasi belum maksimal karena kompos yang digunakan hanyalah kompos halaman dan kompos sisa-sisa jeruk. Kedua jenis kompos ini mendegradasi insektisida metalaxyl dan imazamox selama 2-6 minggu (Vischetti et al. 2004). Oleh karena itu perlu dicari media lain pengganti kompos halaman, dan salah satu media yang mengandung konsorsium mikroorganisme tinggi dan myselium jamur yang bisa mengeluarkan enzim ekstraselular adalah kompos jamur tiram. Kompos jamur tiram digunakan dalam penelitian ini sebagai biofilter, sebagai filter akan digunakan yang tidak lain dari sisa media jamur tiram putih. Keunggulan media ini adalah selain murah, juga tersedia cukup banyak dan kaya akan berbagai mikroorganisme, sehingga diharapkan mampu mendegradasi diazinon secara efektif. Diazinon meskipun sudah dilarang penggunaannya, tetapi masih dijumpai di beberapa tempat di Indonesia, contohnya di Lubuk Linggau, ditemukan 4 botol diazinon 600 g l -1 (Silampari 2008). Fakta ini menunjukkan bahwa diazinon masih digunakan di pertanian. Ada fakta lain yang mengagetkan lagi pada bulan juni 2011 saya ditawari diazinon oleh pemilik toko saprodi di daerah Taman Topi Bogor. Alasan masih digunakan diazinon oleh petani, kemungkinan masih mudah didapat, efektifitasnya tinggi, mudah aplikasinya dan ekonomis. 1.2. Perumusan Masalah Kualitas lingkungan dapat dipertahankan dengan berbagai cara dan salah satu cara tersebut antara lain dengan cara mencegah atau mengurangi senyawa kimia pencemar yang masuk ke lingkungan. Salah satu teknik pengurangan senyawa kimia pencemar yaitu biofilter kompos. Degradasi senyawa kimia pencemar dengan menggunakan biofilter kompos akan efektif jika mikroorganisme yang ada dalam kompos berada dalam kondisi optimal. Selain itu adanya mikroorganisme indigenous yang berpotensi untuk mendegradasi secara alamiah untuk senyawa-senyawa kimia tertentu, merupakan faktor pendukung untuk biodegradasi. Sifat kompos yang kompleks menyebabkan kompos dapat digunakan untuk menjerap dan menguraikan senyawa–senyawa kimia yang larut dalam air. Namun penelitian tentang hal tersebut masih belum ada, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian eliminasi diazinon dalam air menggunakan biofilter kompos jamur tiram (spent mushroom compost) dan perlu dicari kinerja biofilter kompos terbaik, yang diharapkan mampu menguraikan residu diazinon dengan baik. Berdasarkan uraian diatas muncul pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana kinerja biofilter kompos pada berbagai kondisi berat kompos dan konsentrasi larutan diazinon? 2. Bagaimana kombinasi konsentrasi larutan diazinon dengan berat kompos terbaik dalam mendegradasi diazinon? 3. Bagaimana pengaruh dari mikroorganisme indigenous (yang ada pada kompos jamur tiram) pada biofilter sistem batch dan sistem semi kontinyu. 1.3. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis kinerja biofilter kompos untuk bioremediasi residu diazinon cair dengan variasi berat kompos dan konsentrasi larutan diazinon. 2. Membandingkan efektifitas kinerja mikroorganisme untuk mendegradasi diazinon pada sistem batch dan semi kontinyu. 1.4. Kerangka Pemikiran Metode biofilter umumnya diterapkan untuk pengolahan limbah cair yang berasal dari industri. Penelitian metode biofilter ini diarahkan untuk dapat digunakan di saluran air irigasi, dengan memakai pendekatan larutan limbah air buatan, mengandung residu diazinon. Alasan memilih insektisida diazinon, padahal insektisida ini sudah dilarang penggunaannya, karena pada saat penelitian ini dilakukan masih dijumpai penggunaannya secara illegal, dan di lapangan masih ditemukan residu diazinon pada produk tanaman, pada air dan tanah. Oleh karena itu, dipilih diazinon mewakili senyawa organofosfat pada penelitian ini. Kendala untuk optimasi proses umumnya adalah penentuan kerapatan media filter atau berat media filter yang digunakan dan pemilihan mikroorganisme yang sesuai. Pada penelitian ini digunakan biofilter spent mushroom compost (SMC) berasal dari kompos sisa media jamur tiram (Pleurotus ostreatus), dengan tujuan memanfaatkan konsorsium mikroorganisme yang ada dalam kompos untuk mendegradasi residu diazinon dalam air menggunakan kompos jamur tiram. Dalam rangka memaksimalkan kemampuan mikroorganisme yang ada, upaya berikutnya adalah melakukan fermentasi dengan sistem semi kontinyu (larutan diazinon dialirkan dengan pompa sirkulasi). Diagram alir kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1. 1.5. Hipotesis Hipotesis yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah : 1. Kondisi berat kompos berpengaruh pada kinerja biofilter dalam mendegradasi diazinon. 2. Berat kompos jamur tiram dan konsentrasi larutan diazinon berpengaruh terhadap tingkat degradasi diazinon. 3. Kompos jamur tiram kaya akan mikroorganisme yang berpotensi untuk menguraikan diazinon. 1.6. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah memberi kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam hal pengungkapan “biodegradasi diazinon dan teknologi biofilter kompos” 1.7. Novelty Hal baru dalam penelitian ini adalah material kompos jamur tiram putih (spent mushroom compost/SMC) untuk biofilter diazinon dalam air dengan sistem batch dan sistem semi kontinyu serta menunjukkan bahwa kinerja biofilter sistem semi kontinyu membutuhkan waktu lebih singkat dan konsentrasi yang didegradasi lebih besar jumlahnya dari sistem batch. 1.8. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi kinerja biofilter kompos jamur tiram dalam mendegradasi senyawa diazinon pada limbah cair dengan menggunakan mikroorganisme yang berasal dari kompos jamur tiram. Air irigasi/ industri Air tercemar pestisida Dengan pendekatan Air dicemari larutan diazinon berbagai konsentrasi Pengolahan sec. Fisik Pengolahan sec. Biologi Pengolahan sec. Kimia Biofilter Kompos Jamur tiram = 300 g Sistem Batch Kompos jamur tiram = 450 g Kompos jamur tiram = 600 g Sistem Semi Kontinyu/Pompa Rekomendasi proses biofilter terbaik untuk mendegradasi residu diazinon Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran pada penelitian ini. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Insektisida Diazinon