surat keterangan waris dalam perspektif hukum perdata

advertisement
SURAT KETERANGAN WARIS DALAM
PERSPEKTIF HUKUM PERDATA *
Oleh: Dr. Lastuti Abubakar, S.H., M.H. **
A. DUALISME DAN PLURALISME DI BIDANG HUKUM PERDATA
Sebelum membicarakan tentang Surat Ketetapan Waris dari sudut
pandang hukum perdata, perlu kiranya didudukkan terlebih dahulu
keberadaan Surat Keterangan Waris ini dalam Hukum Perdata, sebagai
rangkaian kaidah baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang
mengatur hubungan antara seseorang dengan orang lain, atau kadangkala
antara seseorang dengan negara. Penulis merasa perlu mengemukakan
perihal dualisme dan pluralisme hukum perdata ini di awal tulisan,
karena pertanyaan pertama yang timbul adalah perspektif hukum perdata
yang mana yang akan dijadikan sebagai landasan mengkaji Surat
Keterangan Waris? Menyusul pertanyaan ke dua, sistem hukum waris
yang mana hendak dijadikan objek pembahasan ? Atas dasar itu, maka
dipandang perlu memotret terlebih dahulu hukum Perdata yang berlaku
di Indonesia.
Berikutnya, adalah menyoal tentang urgensi Surat Keterangan Waris
sehingga dipandang perlu untuk diunifikasikan atau setidak-tidaknya
diseragamkan fungsi dan tujuan pembuatannya. Merujuk dari kata Surat,
yaitu tulisan yang sengaja dibuat, maka bisa diasumsikan bahwa Surat
Keterangan Waris dibuat untuk dijadikan alat bukti tentang sesuatu
yang berkaitan dengan Waris, yaitu tentang siapa saja yang ditetapkan
sebagai ahli waris dari si pewaris. Bahkan, bukan tidak mungkin dapat
menyebutkan pula bagian-bagian masing-masing para ahli-ahli waris.
Dalam praktik Surat Keterangan Waris bahkan memuat keterangan tidak
saja tentang siapa yang menjadi ahli-ahli waris, bahkan ada yang memuat
tentang bagian tertentu bagi para ahli waris.
Berdasarkan pemikiran di atas, sebelum menganalisa dan memberikan
pandangan tentang upaya menuju Sural Keterangan Waris yang bersifat
"' Disampaikan pada Simposmm tentang Menuju Sural Ketcrangan Waris Yang Bcrsifat Nasional
Bag1 Warga Negara Indonesia, diselcnggarakan oleh BPHN Departemcn Hukum dan HAM bekcrja sama
dengan lkatan Keluarga Alumni Notarial·Linivcrsltas Padjajaran, Jakarta. 6 Mei 2009.
"'* Fakulta.s Hukum Universitas Padja_iaran (liN PAD)
39
Nasional, maka perlu dipahami tentang kondisi hukum positif yang
mengatur hukum perdata, khususnya hukum waris di Indonesia.
Hukum positif yang mengatur hubungan keperdataan di Indonesia
masih bersifat dualisti~ dan pluralistis. Dualisme dan pluralisme hukum
perdata ini tidak terlepas dari sejarah hukum berlakunya hukum perdata
di Indonesia. Sebelum Indonesia merdeka, sebagai akibat penjajahan
kolonial Belanda, politik hukum pemerintah Hindia Belanda yang
dituangkan dalam Pasall31 dan 163 lndische Staatsregeling (IS), terdapat
penggolongan hukum dan penggolongan penduduk. Mengacu pada
ketentuan tersebut berlakulah Hukum Perdata Eropa (Burgerlijk Wetboek)
yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan Staatblad No. 23/1847 bagi
Golongan Eropa, Hukum Adat Bagi Golongan Bumiputra (penduduk
Indonesia asli) dan Hukum Adat masing~masing bagi golongan Timur
Asing. Dalam perjalanannya Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata)
diberlakukan bagi golongan Timur Asing dan diberikan kemungkinan
bagi Golongan Bumiputra untuk melakukan penundukan diri secara
sukarela (gehjkstelling) terhadap Burgerlijk Wetboek. Dengan demikian
berlaku lebih dari 1 sistem hukum di bidang hukum perdata, yakni
Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata) dan Hukum Adat. Selanjutnya, dengan
berkembangnya agama Islam, di daerah tertentu berlakulah hukum Islam, khususnya yang dipergunakan dalam pembagian waris. Di sisi
yang lain, hukum Perdata Adat di Indonesia berlaku banyak sistem
hukum yang berlaku. Menurut Van Vollenhoven setidaknya terdapat 19
rechtskring (lingkaran hukum) di bumi Nusantara ini. Dari sudut pandang
inilah dapat dikatakan bahwa hukum perdata adat masih bersifat pluralistis.
Dualisme dan pluralisme hukum perdata ini tidak seketika berakhir
ketika Indonesia merdeka dan menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Mengacu kepada Peraturan Peralihan dalam Undang-Undang
Dasar 1945, maka dualisme dan pluralisme ini terus berlanjut hingga
kini, sampai diber\akukan ketentuan perundang-undangan yang mencabut
KUHPerdata. Selanjutnya, Politik hukum diarahkan pacta terciptanya
unifikasi dan kodifikasi bidang-bidang hukum, termasuk bidang hukum
perdata. Dalam praktik, semangat kodifikasi ini memang terlihat dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang sifatnya parsial (bagian
per bagian). Sebagian ahli menyebutkan sistem kodifikasi parsial ini
dengan isti\ah Act System. Hal ini juga yang terjadi dengan Burgerlijk
Wetboek (KUHPerdata) yang hingga sekarang masih berlaku. Saat ini
KUHPerdata tidak lagi berlaku utuh, beberapa bagian telah dicabut
40
dengan Undang-Undang yang herlaku secara nasional. sehingga secara
substansial muatan KUHPerdata tidak lagi sama seperti sistematika
formalnya. Beberapa Undang-Undang yang berlaku nasional tersebut
antara lain Buku I Tentang Perkawinan dan beberapa bidang hukum
keluarga dicabut oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Buku II yang mengatur tentang Tanah dicabut oleh UndangUndang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
dan Hipotik atas tanah dicabut oleh Undang-Undang No.4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah. Di sisi lain, ada peraturan yang sifatnya menambah,
seperti UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia, Undang-Undang No.
9 Tahun 2006 Tentang Resi Gudang. yang mengatur tentang bag ian dari
hukum Kebendaan. 1
Hukum Waris merupakan hukum materi\ yang erat kaitannya dengan
hukum harta kekayaan, karena secara hukum pewarisan merupakan
salah satu cara untuk memperoleh hak milik atas suatu benda atau hak
kebendaan. Oleh karena itu, dalam KUHPerdata, hukum waris di atur
dalam Buku II Tentang Benda.
B. UNIFIKASI HUKUM WARIS DALAM KONTEKS MENUJU
SURAT KETERANGAN WARIS NASIONAL
Sub judul di atas memi\iki kesan seolah-olah untuk menuju Sural
Keterangan Waris Nasional harus terlebih dahulu dilakukan unifikasi
Hukum Waris. Sebenamya tidak demikian, hanya saja penulis berusaha
menempatkan Sural Kerangan Waris ini sebagai salah satu bagian kecil
saja dari kaidah-kaidah yang akan mengatur tentang Waris, mengingat
kehendak simposium ini adalah memikirkan kemungkinan unifikasi Surat
Keterangan Waris. Pertanyaannya bolehkah unifikasi Surat Keterangan
Warisan ini mendahului unifikasi hukum warisnya? Mengapa tidak, karena
sudah banyak contoh, bahwa unifikasi sub bidang hukum dilakukan
sementara bidang hukumnya belum diunifikasikan. Ada 2 hal yang harus
diperhatikan hila membicarakan ma!'.alah hukum waris di Indonesia.
Yang pertama adalah hukurn waris, dan yang ke dua adalah pewarisan/
warisan. Pitlo berpendapat bahwa "hukum waris adalah kumpulan peraturan
Penulis tidak ~ependapat dcngnn pengntman dalam till Tentang Rc>i GudJng yang
Gudang sebagai pranatn jJminJn khusus menurut llll mi.
mcng;~tur
Resi
41
yang mengatur hukum mengenai harta kekayaan karena wafatnya seseorang,
yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati
dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya,
baik dalam hubungan amara mereka, maupun dalam hubungan antara
mereka dengan pihak ketiga".' Sementara itu, Wirjono Prodjodikoro
memberi pengertian bahwa warisan adalah "soal apakah dan bagaimanakah
pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang
pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang
masih hidup". 1 Dari sudut pandang hukum Adat, dapat dilihat pendapat
Ter Haar, bahwa hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang
mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan
dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi
pada generasi.~ Sejalan dengan pendapat TerHaar, Supomo menyatakan
bahwa "Hukum Adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur
proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan
barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele gooderen) dari
suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. 5 Hukum Islam
mengatur tentang adanya hak bagi para ahli waris pria dan wanita atas
pembagian harta peninggalan pewaris yang wafat, berdasarkan ketetapan
Allah SWT. Hal yang dapat disimpulkan dari berbagai pengertian di
atas, adalah beragamnya pengertian tentang hukum waris.
Pemberlakuan satu sistem hukum waris bagi seluruh warga negara
Indonesia sebagai tujuan unifikasi, berangkat dari kemajemukan dan
kayanya hukum Waris di Indonesia. Penulis mencoba memahami bahwa
banyaknya instansi yang terkait khususnya dalam pembuatan Surat
Keterangan waris tidak dapat dilepaskan dari kondisi hukum warisnya.
Hal ini secara jelas terlihat dari berbagai peraturan yang mengakui
eksistensi Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh instansi yang berbeda
sesuai dengan hukum yang berlaku, yaitu: bagi WNI Asli, Surat Keterangan
Waris dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 orang saksi
dan dikuatkan oleh Kepala Desa/kelurahan dan Camat tempat tinggal
pewaris pada waktu meninggal; kemudian bagi WNI keturunan Tionghoa,
Pitlo. Af M lsa Maarief. Hukum Wari-1· Menurw Kil<lb Undang.Undang Hukum Perdata Be/a11da.
lnlcrmasa. Jakarta. Cet. 1.. him. I
Wirjono Prodjodikoro. Hukum Warwm di /ndone.1ia. Cetakan ke 11. Sumur Bandung, 1976. him.
TerHaar. Dmar-Dasar dau Std1el Huk11111 Adm. Jakarta, 1971. hlm 197.
Socpomo. H{lb-Bab li'lltallg Hukum Adar. imcrmasa, Jakarta. 1967. him 72.
42
akta Keterangan Hak Mewaris dibuat oleh Notaris. dan bagi WNI keturunan
Timur Asing lainnya dibuat o\eh Balai Harta Peninggalan, dan bagi
yang beragama Islam dapat dibuat dikeluarkan oleh Pengadilan Agama.
Kehendak untuk melakukan unif1kasi di bidang hukum waris sudah
bergaung sejak lama. bahkan arah unifikasi yang akan dituju sudah
dituangkan dalam TAP MPRS No. 11/MPRS/1960 Paragraf 402 Huruf
c sub 4 yang mengatur sebagai berikut:
a.
Semua warisan untuk anak-anak dan janda apabila si peningga\
warisan meninggalkan anak-anak dan janda.
b.
Supaya dalam perundang-undangan mengenai hukum warisan
dicantumkan pula peraturan mengenai penggantian ahli waris.
c.
Peraturan mengenai hibah.
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa politik
hukum di bidang hukum waris nasional yang hendak dituju adalah sistem
individual Parental, yang berakar pada salah satu dari sistem kewarisan
yang dikenal dalam hukum waris Adat. Hazairin menggarisbawahi bahwa
yang akan dituju adalah sistem individual parental yang tidak bertentangan
dengan Pancasila. 6 Mengapa secara tersirat dapat dikatakan bahwa
andaikata dilakukan kodifikasi dan unifikasi di bidang hukum Waris,
maka sistem hukum Waris yang digunakan adalah individual parental.
Terdapat beberapa alasan, antara Jain: Sistem hukum waris individual
parental ini mendudukkan baik laki-laki maupun perempuan sebagai
pewaris dan ahli waris. Di samping itu, sistem hukum waris individual
parental menempatkan keturunan baik laki-laki maupun perempuan sebagai
ahli waris, dan proses pewarisan ditujukan untuk pada ahli waris secara
individual, 7 sehingga tidak menganut sistem waris yang bersifat kolektifs
Sejalan dengan pengaturan dalam Tap 11/MPRS/1960 tersebut, maka
sangat jelas bahwa Hukum Waris Nasional akan memposisikan janda!
duda sebagai pewaris dan ahli waris, dan anak-anak sebagai ahli waris
tanpa membedakan apakah anak tersebut perempuan/laki-laki. Jelaslah,
Hazairin, H1jkum Kekeluargaa!l Nmirm<ll. Tintamas, 1968, him- 22-34.
Sistcm kewari,an indiv1duul adulah sistcm kcwansan dimnna ahli waris mewarisi secara perorangan.
seperti di Batak. Jawa dan Sulawe~i' S1~tem kewarisan kolekuf adalah sistcm kewarisan dimana para ahli wans secma kolektif (bersamasama) me" ansi harta peninggalan yang !Jdak dapat dibagi-bagi pemiliknya kepada masing-masing ahli
waris.
43
bahwa bukan sistem hukum waris yang mengacu pada unilateral baik
matrilineal maupun patrilineal, sistem kolektif atau mayorat.
Upaya yang telah dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN) melalui berbagai penelitian, seminar dan diskusi sudah pula
ber\angsung sejak lama, namun hingga kini unifikasi dan sekaligus
kodifikasi hukum Waris yang bersifat nasional tersebut be\um terwujud.
Menyitir pendapat Mochtar Kusumaatmadja, yang mengatakan bahwa
unifikasi dan kodifikasi seharusnya menimbang sensitivitas bidang-bidang
hukum yang hendak di kodifikasi dan di unifikasi. 0\eh karena itu,
Beliau lantas membedakan bidang-bidang hukum ke dalam bidang hukum
yang netral (tidak sensitif) dan bidang hukum yang tidak netral (sensitif).
Bidang hukum yang sensitif ini dianggap sangat bertalian erat dengan
spiritual manusia, oleh karena itu bidang hukum keluarga dan hukum
waris digolongkan ke dalam bidang hukum yang sensitif. Di sisi lain,
bidang hukum yang netral atau tidak sensitif lebih mudah untuk
dikodifikasikan dan diunifikasikan serta menyesuaikan dengan kebutuhan
bahkan dapat melakukan adaptasi dan adopsi dari sistem hukum negara
lain. Bidang hukum yang netral ini antara lain bidang hukum ekonomi
seperti hukum perbankan, hukum kontrak, dan hukum pasar modal.
Selanjutnya, bidang hukum yang sensitif ini, tennasuk hukum waris
dibiarkan berlaku sesuai dengan hukum yang berlaku dimasyarakat.
Dengan kata lain bidang hukum waris tetap dibiarkan bersifat pluralistis.
Oleh karena itu, saat ini hukum waris yang berlaku meliputi hukum
waris adat, hukum waris menurut KUHPerdata dan hukum waris Islam.
Namun demikian, bukan berarti upaya menuju unifikasi hukum Waris
Nasional sama sekali tertutup. Unifikasi hukum waris sudah terang
menuju sistem Individual Parental, namun demikian perkembangan dan
penerimaannya bergantung aspek sosiologis antara Jain:
l.
2.
3.
4.
44
Pendidikan yang tinggi, sehingga orang akan berfikir Jogis.
Perantauan yang lama, sehingga terjadi perubahan pola pikir, akibat
pengaruh kebiasaan masyarakat setempat.
Komunikasi yang baik, sehingga kontak dengan orang asing yang
berlainan budayanya semakin tinggi.
Terbentuknya somah atau unit terkecil dalam masyarakat, sehingga
terdapat pergaulan yang erat antara Bapak, lbu dan anak-anak, dan
terbentuklah harta bersama, yang diperuntukkan bagi keluarga tersebut.
Mengacu pada kondisi di atas. maka upaya menuju Sumt Keterangan
Waris Nasional tidak dapat dilepaskan dari hukum positif yang berlaku
di bidang Waris, yaitu masih bersifat dualistis dan pluralistis.
C. PEWARIS DAN AHLI WARIS DALAM HUKUM WARIS
Sangat sulit bagi penulis untuk mengkaji Surat Keterangan Waris
ini dari perspektif Hukum Perdata. Di satu sisi, Hukum Perdata adalah
Hukum Materil, dan akan digunakan sebagai ·alat untuk menganalisis
tentaQg Keterangan Waris yang sebenarnya berada dalam ranah hukum
acara, karena Surat Keterangan Waris ini adalah alat bukti. Namun
demikian terdapat benang merah antam hukum perdata, khususnya bidang
hukum waris dengan Upaya Menuju Surat Keterangan Waris Nasional
ini. Bukankah berdasarkan Surat Keterangan Waris inilah nantinya para
ahli waris mempunyai alas hak untuk menuntut harta warisan? Oleh
karena itu, penulis memandang perlu untuk mendiskusikan perihal subjek
hukum dan objek hukum waris ini dalam kaitannya menuju Surat
Keterangan Waris Nasional ini.
Subjek hokum waris merupakan esensi dari kehendak untuk menuju
Surat Ketemngan Waris Nasional. mengingat fungsi surat tersebut adalah
sebagai alat bukti bagi pihak-pihak yang mengklaim dirinya sebagai
ahli waris, dan pada gilimnnya berfungsi sebagai dasar untuk menuntut
hak tertentu atas henda atau hak kebendaan sebagai objek waris. Secara
prinsip sistem hukum waris baik BW, Hukum adat dan Hukum Islam
telah menentukan siapa saja yang dimasukkan sebagai ahli waris. Oleh
karena itu, sepanjang belum dilakukan unifikasi dan kodifikasi Hukum
Waris Nasional, maka pengaturan tentang ahli waris masih merujuk
pada sistem hukum waris yang berlaku tersebut. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam penentuan subjek hukum waris antara lain:
1.
Keutamaan dan penggantian menurut sistem kewarisan yang berlaku.
Slstem keutamaan adalah pembagian dalam golongan-golongan atau
kelompok-kelompok, semua orang yang berhak menjadi ahli waris
berdasarkan semata-mata atas hubungan darah dengan si pewaris,
yaitu dalam pengertian bahwa kelompok yang lebih utama menutup
kelompok yang lebih rendah keutamaannya, dari hak mewaris.
Sementara itu sistem penggantian adalah cara penyingkiran orangorang dari kelompok keutamaannya, karena orang-orang itu tidak
berhak mewaris disebabkan antara mereka dan si pewaris ada
45
penghuhung yang masih hid up. Sistem keutamaan dan penggantian
ini akan berbeda untuk sistem hukum waris Adat, Islam dan BW.
2.
Perkembangan yurisprudensi yang berkaitan dengan kedudukan subjek
hukum waris tertentu terhadap harta warisan, antara lain:
a.
Kedudukan janda sebagai ahli waris: dalam hal ini berbagai
yurisprudensi MA, janda didudukkan sebagai ahli waris dari
suaminya baik dari harta asal dan harta bersama. Namun
demikian, yurisprudensi menggunakan istilah janda mati, janda
cerai, janda nnsyus9 dan janda poligami (sah). Mengacu kepada
Keputusan MA No: 387 K/Sip/1958 sebagai yurisprudensi tetap,
janda berhak atas separuh dari gono gini. 10 Beberapa yurisprudensi
yang perlu diperhatikan antara lain hak janda tanpa anak untuk
menguasai barang gono gini itu hanya digantungkan pada syarat,
yaitu selama tidak kawin lagi. 11 Apabila dari perkawinan lahir
anak-anak, maka sudah tidak pada tempatnya untuk membedakan
harta asa\ dan harta bersama, dan semua kekayaan suami istri
menjadi harta keluarga yang temurun kepada anak-anak. Dalam
hal si ayah meninggal, maka janda berhak semasa hidupnya
membagi kekayaan tersebut diantara anak-anak, dan pembagian
seperti itu sah sepanjang anak memperoleh bagian yang pantas. 12
b.
Kedudukan anak angkat, anak tiri, dan anak luar kawin. 13
Pulusan Mahkamah Agung terhadap anak angkat menempatkan
anak angkat sebagp.i ahli waris terhadap harta peninggalan orang
tua angkatnya yang tidak merupakan, harta yang diwarisi o\eh
orangtua angkat tersebut. 14 Merujuk pada yurisprudensi sebelum
Perang Dunia ke II, Mahkamah Agung mengatakan bahwa adalah
sudah merupakan suatu yurisprudensi tetap bahwa barang pusaka
tidak dapat diwarisi o\eh anak angkat, tetapi harus kembali
lihat Putusan Mahkamah Agung No. 1476 K/Sip/1982 bahwa menurut Hukum Adat meskipun
scorang istri nusyus (ingkar. atau lari dari suaminya) tidaklah hi1ang haknya untuk mendapatl<an bagiannya
dan barang gon1 gim yang diperoleh ;cmu>a pcrl<awinan
10
Subekti, Hukum Adat fmlonnia Datum Ylll'l'l''uden'i Mallkamal! Agung. Alumm, 1991. him 74
L!hal JUga Putusan Mahkamah Agung No. II 0 KJSip/1960 yang mcnetapkan bahwa jandu adalah juga
menjadi ahli waris dari almarhum suammya
11
Lihat Putusan MA No 198 KJSip/1958
" Lihat Putusan Mahkamah Agung No. 263 KJSip/1959
" Lihal Putusan MA No_ 2142 KJPdt/1989 dalam Kasus Nugraha Besoes.
" Lihal Putusan MA No 182 K/Sip/1959
46
c.
d.
kepada keturunan darah. 15 Dalam perkembangannya, dalam
melaksanakan hak warisnya atas gono gini, anak angkat menutup
hak waris para saudara orang tua angkatnya. 16 Selanjutnya,
anak angkat yang ditetapkan berdasarkan Putusan Pengadilan,
dianggap memiliki kedudukan yang sama dengan anak kandung. 17
Anak yang berbeda agamanya dengan orang tuanya sebagai
pewaris. 18
Kedudukan hibah dan wasiat dalam proses pewarisan.
3.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah saat terjadinya pewarisan.
Dalam hukum Adat proses pewarisan sudah berlangsung sejak pewaris
masih hidup, dan dalam keadaan tertentu pemberian semasa hidup
dapat dianggap sebagai proses pewarisan, sehingga ketika diadakan
buka waris, maka harus diperhitungkan sebagai bagian haknya.
Hal ini tidak dikenal dalam hokum waris BW dan Islam, yang
mengatur bahwa proses pewarisan dimulai sejak seseorang meninggal
dunia. 19 Berdasarkan pengaturan dalam KUHPerdata, tanpa adanya
orang yang mati dan meninggalkan harta kekayaan maka tidak ada
masalah pewarisan. 20 Terkait dengan Surat Keterangan Waris, apakah
kondisi-kondisi tertentu dalam hukum waris dapat dijadikan
pertimbangan dalam mempengaruhi isi Surat Keterangan Warisnya,
misal bahwa si A sudah menerima bagian yang cukup, sehingga
tldak berhak menerima sisa warisan?
4.
Perbedaan pengaturan tentang objek waris dari sistem hukum yang
berlaku. Dalam praktik pewarisan dalam hukum adat dan Hukum
Waris Islam, maka objek waris yang menjadi hak para ahli waris
adalah harta kekayaan bersih setelah dikurangi segala kewajiban
(utang) pewaris. Sedangkan dalam BW berlakulah asas La mort
saisit le \lif, dimana "dengan meninggalnya seseorang beralih seketik.a
itu pada yang hidup". Pengertian beralih meliputi baik piutang maupun
"
"
"
Lihat Putusan MA No. 82 K/ Sip/1957.
Lihat Putusan Mahkamah Agung No: 441 K/Sip/1972.
Lihat Penetapan No. 92/Pdt P/2007/PA Bandung.
11 Berdasarkan Pasa1 171 Kompilasi Hukum Islam. anak yang berlainan agama dengan pewaris tidak
berhak mewaris. Lihal juga Putusan Mahkamah Agung Rl No. 368 K.IAG/1995 bahwa bukan sebagai ahli
waris terhadap bagian harta. tetapi sebagai penerima wasiat wajiblah sama dengan yang d1peroleb seorang
anak perempuan saudaranya.
" Lihat Pasal830 KUHPerdata yang mengatur bahwa ''Pewarisan hanya berlang;ung k.arena kematian ...
~ Hi\ man Hadikusuma. Hukum Waris lntkmel·ia menurur Perundan.~an. lfukum Adat, Hukum Agama.
Hindu /.•lam, Citra Aditya. Bandung, 1991, blm. 5
47
utang. Oleh karena itu dalam BW dikenallembaga penolakan warisan,
yang tidak dikenal dalam hukum Adat dan Hukum Islam
5.
Objek waris atau benda dan hak kebendaan yang akan dialihkan
pada ah\i waris, khususnya bagi benda-benda yang peralihannya
harus di\akukan dengan fonnalitas tertentu, misalnya tanah/rumah,
atau saham/surat berharga tertentu. Dalam hal objek warisan adalah
benda bergerak, maka ketiadaan Surat Keterangan Waris tidak terlalu
relevan. Dalam banyak kasus pewarisan, Surat Keterangan waris
ini akan dipersoalkan ketika objek warisan adalah benda terdaftar
atau benda tidak bergerak yang penga\ihannya harus dilakukan secara
formal. Secara khusus, ada lembaga tertentu yang memang meminta
para ahli waris menunjukkan Surat Keterangan Waris untuk
memperoleh hak warisnya, seperti Perbankan.
Hal-hal di atas, perlu dipertimbangkan ketika akan ditunjuk instansi
tertentu untuk membuat Surat Keterangan Waris. Mengapa perlu
diperhatikan? Penulis membayangkan, bagaimana kalau seandainya Surat
Keterangan Waris yang sudah dibuat digugat oleh salah satu pihak yang
keberatan karena tidak. dicantumkan sebagai ahli waris, padahal sebenamya
memang dia berhak? Atau misalnya, ahli waris yang tercantum dalam
Surat Keterangan Waris yang berkeberatan, karena sebenamya dia sudah
menolak untuk menerima warisan? Artinya Surat Keterangan Waris akan
mempunyai implikasi yuridis terhadap subjek dan objek pewarisan.
D. MENUJU SURAT KETERANGAN WARIS NASIONAL
Diterbitkannya Surat Ketetapan Waris berkaitan dengan fungsi surat
sebagai alat bukti, dalam hal ini untuk membuktikan tentang subjek
hukum atau siapa saja yang dapat disebut sebagai ahli waris. Dalam
konteks hukum perdata, termasuk hukum waris, bukti Surat akan menjadi
bukti yang penting dan paling utama dibandingkan dengan alat bukti
yang lain. Mengacu pada ketentuan Pasal 1866 dan Pasal 1867
KUHPerdata, maka pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan
baik otentik maupun di bawah tangan. Dimaksudkan dengan akta adalah
tulisan yang sengaja dibuat oleh para pihak dan digunakan sebagai alat
bukti.
Namun demikian, hal penting yang harus diperhatikan adalah akibat
hukum yang timbul dari suatu Ketetapan Waris, mengingat penentuan
48
ahli waris berkaitan dengan hak-hak kebendaan seseorang terhadap harta
warisan. Oleh karena itu, wacana untuk menuju Surat Keterangan Waris
yang bersifat Nasional perlu memperhatikan maksud, tujuan, dan akibat
hukum diterbitkannya Surat Keterangan Waris. Mengingat Surat Ketetapan
Waris akan mempunyai akibat hukum bahwa seseorang memperoleh
kebendaan atau hak kebendaan tertentu atau kewajiban tertentu, maka
pengaturan tentang Surat Keterangan Waris Nasional, tidak hanya menyoal
tentang siapa yang berwenang membuat surat Keterangan Waris, siapa
yang menjadi ahli waris, melainkan akibat hukum yang timbul dari
Sural Keterangan Waris.
Pada prinsipnya penulis sangat mengerti bahwa masalah banyaknya
instansi yang diberi kewenangan membuat Surat Keterangan Waris ini
tidak terlepas pluralisme hukum waris. Oleh karena itu, timbul beberapa
pertanyaan yang perlu didiskusikan dalam simposium ini, yaitu:
1.
Apakah yang dimaksud dengan menuju Surat Keterangan Waris
Nasional berarti akan dilakukan kodifikasi dan unifikasi Hukum
yang mengatur segala sesuatu yang bertalian dengan Surat Keterangan
Waris?
2.
Mengingat Surat Keterangan Waris hanya merupakan bagian dari
suatu kaidah-kaidah yang mengatur tentang Kewarisan, apakah yang
hendak dilakukan adalah kodifikasi dan unifikasi Hukum Waris
Nasional yang di dalamnya memuat aturan tentang Surat Keterangan
waris, termasuk instansi yang berwenang membuat?
3.
Andaikata akan dibuat ketentuan yang mengatur tentang Surat
Keterangan Waris, apakah aturan tersebut akan menjadi bagian
dari sistem hukum Waris Nasional. atau lex specialis dan hukum
Waris Nasional sebagai lex generalis yang akan dibentuk kemudian?
Terhadap ke 3 pertanyaan berandai-andai di atas, dapat diberikan
jawaban yang berandai-andai pula, yaitu:
l.
Apabila yang akan dilakukan adalah kodifikasi dan unifikasi hukum
tentang Surat Keterangan Waris, maka upaya ini harus dilakukan
dengan memetakan terlebih dahulu berbagai sistem hukum waris
yang berlaku, membuka segala kemungkinan agar kepentingan masingmasing sistem akan terakomodasikan dalam unifikasi tersebut. Hal
ini tentu bukan pekerjaan mudah mengingat jamaknya sistem yang
49
berlaku, dan perkembangan hukum waris Adat yang sangat dinamis.
Pemetaan sistem hukum ini relevan dengan penentuan siapa yang
dimaksud sebagai ahli waris. Berdasarkan 3 sistem hukum waris
yang berlaku,yaitu hukum Adat, BW dan hukum Islam dan sistem
hukum waris yang pluralistis, maka terdapat perbedaan subjek hukum,
baik sebagai pewaris maupun ahli waris. Atas dasar itu, Surat
Keterangan Waris yang dibuat haruslah berdasarkan sistem yang
sudah disepakati oleh para ahli waris.
2.
Apabila tujuannya adalah melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum
waris maka upaya ini menupakan rangkaian dari upaya yang sejak
lama dilakukan, namun belum membuahkan basil. Upaya ini biasanya
perlu mempertimbangkan kembali pendapat Mochtar Kusumaatmadja
tentang sensitivitas hukum waris. Kemajemukan tidak selalu buruk,
sebaliknya unifikasi tidak selalu baik, apabila yang dipentingkan
adalah spiritual manusia. Dengan di unifikasikannya hukum Waris,
maka penunjukan lembaga yang berwenang untuk membuat Surat
Keterangan waris dapat merupakan bagian dari unifikasi tersebut.
3.
Model pembentukan hukum secara parsial dan bersifat mendahului
bukanlah hal baru dalam sistem pembentukan hukum di Indonesia.
Contoh konkretnya adalah lahimya Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, yang lahir terlebih dahulu dari lbunya,
yaitu Hukum Kekeluargaan Nasional. Akibatnya, tanpa disadari
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut mengatur substansi
yang seharusnya bukan menjadi materi muatan Hukum Perkawinan.
Sebut saja beberapa materi muatan dan yang menjadi materi Hukum
Keluarga yang ikut diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, antara
lain mengenai Kedewasaan dan Perwalian.
Berdasarkan pertanyaan dan jaw a ban berandai-andai di atas, maka
upaya menuju Surat Keterangan Waris Nasional ini perlu disambut
dengan optimis disertai upaya untuk memaknai salah satu tujuan
pembangunan nasional sebagaimana dikemukakan oleh Satya Arinanto:
"Pembangunan hukum nasional merupakan salah satu bidang hukum
pembangunan yang penting, yang juga memerlukan perhatian dan
penanganan secara intensif sebagaimana bidang-bidang pembangunan
lainnya. Dan tinjauan historis tampak bahwa terjadi permasalahan yang
50
terkait dengan inkonsistensi dan tumpang tindihnya berbagai peraturan
dalam pelbagai bidang." 11
Jelaslah bahwa Surat Keterangan Waris ini nantinya akan menjadi
dasar untuk membuktikan kedudukan seseorang terhadap harta benda
pewaris, oleh karena itu, tujuan untuk melakukan regulasi menuju Surat
Keterangan waris Nasional tidak dapat mengabaikan fungsi hukum yaitu
untuk ketertiban dan menciptakan keadilan dan memperhatikan hukum
yang hidup dalam masyarakat. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan
terkait dengan pengaturan Surat Keterangan waris Nasional adalah apakah
Surat Keterangan Waris merupakan satu~satunya bukti yang dapat
digunakan bagi para ahli waris untuk membuktikan bahwa mereka berhak
atas harta warisan? Apabila ya, maka pengaturan Tentang Surat Keterangan
Waris ini harus dapat mengakomodasikan kepentingan semua sistem
hukum waris yang berlaku. Apabila tidak, altematif harus diatur untuk
menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak. Selanjutnya
apakah regulasi yang akan dibuat akan mempercayakan pembuatannya
pada satu instansi saja atau dibuat kaidah penunjuk, yang akan menunjuk
instansi-instansi yang memang sangat berkaitan erat dengan hukum waris
yang dipakai? Mencontoh Undang-Undang Perkawinan sebagai satu contoh
unifikasi yang unik, dimana telah terjadi unifikasi hukum Perkawinan,
namun di dalamnya tetap memberlakukan hukum yang majemuk. n
Mengutip pendapat Hazairin, Undang-Undang Perkawinan adalah contoh
unifikasi yang unik. Oleh karena itu, berbagai altematif pengaturan
perlu disodorkan, untuk didiskusikan secara matang dan terintegrasi.
Sekali lagi penulis mengingatkan, jenis kodifikasi di Indonesia yang
lebih memilih dilakukan secara parsial kadang menyisakan benturan,
atau bahkan dishannoni antara satu perundang-undangan dengan yang
lainnya. berdasarkan pandangan-pandangan di atas, menuju unifikasi
Surat Keterangan Waris Nasional, merupakan cita-cita untuk menciptakan
ketertiban dan keadilan serta kepastian hukum bagi semua pihak yang
terkait.
" SatyaArinanto, Politik PembangWUlll f/ukum Na~irmal Dalam Era Pasca Rejomwsi tkllnm Rt'ftJrma.n'
Hukum, Jumal Demokrasi dan HAM, VoL 7 No I. 2007. him. 35.
" Lihat Ketentuan Pasal 2 Ayat I Undang-Undang No I Thhun 1974 Tentang Perkawinan. yang
mengatur bahwa keabsatmn suatu perkawinan bcrgantung pada hukum agama dan kepercayaannya. atau
Pasal 37 Undang-Undang No. I Thhun 1974 yang mengatur bahwa ··apabila perkawinan putus karena
perceraian. harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing"
51
Pertanyaan berikutnya yang memerlukan jawaban, apakah nantinya
penerbitan Surat Keterangan Waris ini bersifat obligatory rules atau
memaksa?
E. PENUTUP
Unifikasi Surat Keterangan Waris yang hendak dilakukan tidak
dapat dilepaskan dari hukum waris yang berlaku di Indonesia, mengingat
fungsi Surat Keterangan Waris sebagai bukti bahwa mereka yang disebutkan
dalam Surat Keterangan Waris tersebut adalah benar ahli waris. Dalam
perspektif hukum perdata, melalui Surat Keterangan Waris ini, seseorang
dapat memperoleh hak atas benda atau hak kebendaan tertentu atau
kewajiban tertentu. Di sisi lain, bukan tidak mungkin bahwa atas dasar
Surat Keterangan Waris, seseorang berpotensi kehilangan hak warisnya.
Mengingat pentingnya fungsi Surat Keterangan Waris ini bila dikaitkan
dengan hak-hak seseorang, maka regulasinya harus dilakukan dengan
memperhatikan fungsi dan tujuannya. Beberapa hal yang memerlukan
kajian mendalam adalah: apakah Surat Keterangan Waris nantinya akan
menjadi satu-satunya bukti untuk mempertahankan hak7 Seianjutnya,
dapatkah ketiadaan Surat Keterangan Waris ini digunakan untuk
menghalangi seseorang untuk menjadi ahli waris? Berkaitan dengan
instansi yang berwenang, apakah unifikasi hukum yang mengatur Surat
Keterangan Waris ini akan mencabut berbagai peraturan yang sudah
ada? Atau menjadi kaidah penunjuk bagi berlakunya ketentuan-ketentuan
yang sudah ada, sehingga tetap terbuka kemungkinan beberapa instansi
berwenang menerbitkan Surat Keterangan Waris sesuai dengan kondisi
hukum waris yang berlaku di Indonesia.
52
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tintamas, Jakarta, 1968
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, Citra Aditya, Bandung, 1991
Pitlo, AIM. Isa Maarief, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Belanda, Intermasa, Jakarta, Cet. I.
Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional Dalam Era Pasca
Reformasi dalam Reformasi Hukum, Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol.
7 No. I , 2007
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Intennasa, Jakarta, 1967.
Subekti, Hukum Adm Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung,
Alumni, 1991
Ter Haar, Dasar-Dasar dan Stelsel Hukum Adat, Jakarta, 1971.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Cetakan ke II, Sumur
Bandung:
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Resi Gudang.
Kompilasi Hukum Islam
Putusan Mahkamah Agung No. 110 K/Sip/1960
Putusan Mahkamah Agung No. 1476 K/Sip/1982
Lihat Putusan MA No. 298 K/Sip/1958.
Lihat Putusan Mahkamah Agung No. 263 K/Sip/1959.
Lihat Putusan MA No. 2142 K/Pdt/ 1989
53
Lihat Putusan MA No. 182 K/Sip/1959.
Lihat Putusan MA No. 82 K/Sipll957.
Putusan Mahkamah Agung No. 441 K/Sipl1972.
Putusan Mahkamah Agung RI No. 368 K/AG/1995
Penetapan No. 92/Pdt P/2007/PA Bandung.
54
Download