SURAT KETERANGAN WARIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA * Oleh: Dr. Lastuti Abubakar, S.H., M.H. ** A. DUALISME DAN PLURALISME DI BIDANG HUKUM PERDATA Sebelum membicarakan tentang Surat Ketetapan Waris dari sudut pandang hukum perdata, perlu kiranya didudukkan terlebih dahulu keberadaan Surat Keterangan Waris ini dalam Hukum Perdata, sebagai rangkaian kaidah baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang mengatur hubungan antara seseorang dengan orang lain, atau kadangkala antara seseorang dengan negara. Penulis merasa perlu mengemukakan perihal dualisme dan pluralisme hukum perdata ini di awal tulisan, karena pertanyaan pertama yang timbul adalah perspektif hukum perdata yang mana yang akan dijadikan sebagai landasan mengkaji Surat Keterangan Waris? Menyusul pertanyaan ke dua, sistem hukum waris yang mana hendak dijadikan objek pembahasan ? Atas dasar itu, maka dipandang perlu memotret terlebih dahulu hukum Perdata yang berlaku di Indonesia. Berikutnya, adalah menyoal tentang urgensi Surat Keterangan Waris sehingga dipandang perlu untuk diunifikasikan atau setidak-tidaknya diseragamkan fungsi dan tujuan pembuatannya. Merujuk dari kata Surat, yaitu tulisan yang sengaja dibuat, maka bisa diasumsikan bahwa Surat Keterangan Waris dibuat untuk dijadikan alat bukti tentang sesuatu yang berkaitan dengan Waris, yaitu tentang siapa saja yang ditetapkan sebagai ahli waris dari si pewaris. Bahkan, bukan tidak mungkin dapat menyebutkan pula bagian-bagian masing-masing para ahli-ahli waris. Dalam praktik Surat Keterangan Waris bahkan memuat keterangan tidak saja tentang siapa yang menjadi ahli-ahli waris, bahkan ada yang memuat tentang bagian tertentu bagi para ahli waris. Berdasarkan pemikiran di atas, sebelum menganalisa dan memberikan pandangan tentang upaya menuju Sural Keterangan Waris yang bersifat "' Disampaikan pada Simposmm tentang Menuju Sural Ketcrangan Waris Yang Bcrsifat Nasional Bag1 Warga Negara Indonesia, diselcnggarakan oleh BPHN Departemcn Hukum dan HAM bekcrja sama dengan lkatan Keluarga Alumni Notarial·Linivcrsltas Padjajaran, Jakarta. 6 Mei 2009. "'* Fakulta.s Hukum Universitas Padja_iaran (liN PAD) 39 Nasional, maka perlu dipahami tentang kondisi hukum positif yang mengatur hukum perdata, khususnya hukum waris di Indonesia. Hukum positif yang mengatur hubungan keperdataan di Indonesia masih bersifat dualisti~ dan pluralistis. Dualisme dan pluralisme hukum perdata ini tidak terlepas dari sejarah hukum berlakunya hukum perdata di Indonesia. Sebelum Indonesia merdeka, sebagai akibat penjajahan kolonial Belanda, politik hukum pemerintah Hindia Belanda yang dituangkan dalam Pasall31 dan 163 lndische Staatsregeling (IS), terdapat penggolongan hukum dan penggolongan penduduk. Mengacu pada ketentuan tersebut berlakulah Hukum Perdata Eropa (Burgerlijk Wetboek) yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan Staatblad No. 23/1847 bagi Golongan Eropa, Hukum Adat Bagi Golongan Bumiputra (penduduk Indonesia asli) dan Hukum Adat masing~masing bagi golongan Timur Asing. Dalam perjalanannya Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata) diberlakukan bagi golongan Timur Asing dan diberikan kemungkinan bagi Golongan Bumiputra untuk melakukan penundukan diri secara sukarela (gehjkstelling) terhadap Burgerlijk Wetboek. Dengan demikian berlaku lebih dari 1 sistem hukum di bidang hukum perdata, yakni Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata) dan Hukum Adat. Selanjutnya, dengan berkembangnya agama Islam, di daerah tertentu berlakulah hukum Islam, khususnya yang dipergunakan dalam pembagian waris. Di sisi yang lain, hukum Perdata Adat di Indonesia berlaku banyak sistem hukum yang berlaku. Menurut Van Vollenhoven setidaknya terdapat 19 rechtskring (lingkaran hukum) di bumi Nusantara ini. Dari sudut pandang inilah dapat dikatakan bahwa hukum perdata adat masih bersifat pluralistis. Dualisme dan pluralisme hukum perdata ini tidak seketika berakhir ketika Indonesia merdeka dan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengacu kepada Peraturan Peralihan dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka dualisme dan pluralisme ini terus berlanjut hingga kini, sampai diber\akukan ketentuan perundang-undangan yang mencabut KUHPerdata. Selanjutnya, Politik hukum diarahkan pacta terciptanya unifikasi dan kodifikasi bidang-bidang hukum, termasuk bidang hukum perdata. Dalam praktik, semangat kodifikasi ini memang terlihat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang sifatnya parsial (bagian per bagian). Sebagian ahli menyebutkan sistem kodifikasi parsial ini dengan isti\ah Act System. Hal ini juga yang terjadi dengan Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata) yang hingga sekarang masih berlaku. Saat ini KUHPerdata tidak lagi berlaku utuh, beberapa bagian telah dicabut 40 dengan Undang-Undang yang herlaku secara nasional. sehingga secara substansial muatan KUHPerdata tidak lagi sama seperti sistematika formalnya. Beberapa Undang-Undang yang berlaku nasional tersebut antara lain Buku I Tentang Perkawinan dan beberapa bidang hukum keluarga dicabut oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Buku II yang mengatur tentang Tanah dicabut oleh UndangUndang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dan Hipotik atas tanah dicabut oleh Undang-Undang No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Di sisi lain, ada peraturan yang sifatnya menambah, seperti UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia, Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 Tentang Resi Gudang. yang mengatur tentang bag ian dari hukum Kebendaan. 1 Hukum Waris merupakan hukum materi\ yang erat kaitannya dengan hukum harta kekayaan, karena secara hukum pewarisan merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik atas suatu benda atau hak kebendaan. Oleh karena itu, dalam KUHPerdata, hukum waris di atur dalam Buku II Tentang Benda. B. UNIFIKASI HUKUM WARIS DALAM KONTEKS MENUJU SURAT KETERANGAN WARIS NASIONAL Sub judul di atas memi\iki kesan seolah-olah untuk menuju Sural Keterangan Waris Nasional harus terlebih dahulu dilakukan unifikasi Hukum Waris. Sebenamya tidak demikian, hanya saja penulis berusaha menempatkan Sural Kerangan Waris ini sebagai salah satu bagian kecil saja dari kaidah-kaidah yang akan mengatur tentang Waris, mengingat kehendak simposium ini adalah memikirkan kemungkinan unifikasi Surat Keterangan Waris. Pertanyaannya bolehkah unifikasi Surat Keterangan Warisan ini mendahului unifikasi hukum warisnya? Mengapa tidak, karena sudah banyak contoh, bahwa unifikasi sub bidang hukum dilakukan sementara bidang hukumnya belum diunifikasikan. Ada 2 hal yang harus diperhatikan hila membicarakan ma!'.alah hukum waris di Indonesia. Yang pertama adalah hukurn waris, dan yang ke dua adalah pewarisan/ warisan. Pitlo berpendapat bahwa "hukum waris adalah kumpulan peraturan Penulis tidak ~ependapat dcngnn pengntman dalam till Tentang Rc>i GudJng yang Gudang sebagai pranatn jJminJn khusus menurut llll mi. mcng;~tur Resi 41 yang mengatur hukum mengenai harta kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan amara mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga".' Sementara itu, Wirjono Prodjodikoro memberi pengertian bahwa warisan adalah "soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup". 1 Dari sudut pandang hukum Adat, dapat dilihat pendapat Ter Haar, bahwa hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi.~ Sejalan dengan pendapat TerHaar, Supomo menyatakan bahwa "Hukum Adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele gooderen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. 5 Hukum Islam mengatur tentang adanya hak bagi para ahli waris pria dan wanita atas pembagian harta peninggalan pewaris yang wafat, berdasarkan ketetapan Allah SWT. Hal yang dapat disimpulkan dari berbagai pengertian di atas, adalah beragamnya pengertian tentang hukum waris. Pemberlakuan satu sistem hukum waris bagi seluruh warga negara Indonesia sebagai tujuan unifikasi, berangkat dari kemajemukan dan kayanya hukum Waris di Indonesia. Penulis mencoba memahami bahwa banyaknya instansi yang terkait khususnya dalam pembuatan Surat Keterangan waris tidak dapat dilepaskan dari kondisi hukum warisnya. Hal ini secara jelas terlihat dari berbagai peraturan yang mengakui eksistensi Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh instansi yang berbeda sesuai dengan hukum yang berlaku, yaitu: bagi WNI Asli, Surat Keterangan Waris dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal; kemudian bagi WNI keturunan Tionghoa, Pitlo. Af M lsa Maarief. Hukum Wari-1· Menurw Kil<lb Undang.Undang Hukum Perdata Be/a11da. lnlcrmasa. Jakarta. Cet. 1.. him. I Wirjono Prodjodikoro. Hukum Warwm di /ndone.1ia. Cetakan ke 11. Sumur Bandung, 1976. him. TerHaar. Dmar-Dasar dau Std1el Huk11111 Adm. Jakarta, 1971. hlm 197. Socpomo. H{lb-Bab li'lltallg Hukum Adar. imcrmasa, Jakarta. 1967. him 72. 42 akta Keterangan Hak Mewaris dibuat oleh Notaris. dan bagi WNI keturunan Timur Asing lainnya dibuat o\eh Balai Harta Peninggalan, dan bagi yang beragama Islam dapat dibuat dikeluarkan oleh Pengadilan Agama. Kehendak untuk melakukan unif1kasi di bidang hukum waris sudah bergaung sejak lama. bahkan arah unifikasi yang akan dituju sudah dituangkan dalam TAP MPRS No. 11/MPRS/1960 Paragraf 402 Huruf c sub 4 yang mengatur sebagai berikut: a. Semua warisan untuk anak-anak dan janda apabila si peningga\ warisan meninggalkan anak-anak dan janda. b. Supaya dalam perundang-undangan mengenai hukum warisan dicantumkan pula peraturan mengenai penggantian ahli waris. c. Peraturan mengenai hibah. Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa politik hukum di bidang hukum waris nasional yang hendak dituju adalah sistem individual Parental, yang berakar pada salah satu dari sistem kewarisan yang dikenal dalam hukum waris Adat. Hazairin menggarisbawahi bahwa yang akan dituju adalah sistem individual parental yang tidak bertentangan dengan Pancasila. 6 Mengapa secara tersirat dapat dikatakan bahwa andaikata dilakukan kodifikasi dan unifikasi di bidang hukum Waris, maka sistem hukum Waris yang digunakan adalah individual parental. Terdapat beberapa alasan, antara Jain: Sistem hukum waris individual parental ini mendudukkan baik laki-laki maupun perempuan sebagai pewaris dan ahli waris. Di samping itu, sistem hukum waris individual parental menempatkan keturunan baik laki-laki maupun perempuan sebagai ahli waris, dan proses pewarisan ditujukan untuk pada ahli waris secara individual, 7 sehingga tidak menganut sistem waris yang bersifat kolektifs Sejalan dengan pengaturan dalam Tap 11/MPRS/1960 tersebut, maka sangat jelas bahwa Hukum Waris Nasional akan memposisikan janda! duda sebagai pewaris dan ahli waris, dan anak-anak sebagai ahli waris tanpa membedakan apakah anak tersebut perempuan/laki-laki. Jelaslah, Hazairin, H1jkum Kekeluargaa!l Nmirm<ll. Tintamas, 1968, him- 22-34. Sistcm kewari,an indiv1duul adulah sistcm kcwansan dimnna ahli waris mewarisi secara perorangan. seperti di Batak. Jawa dan Sulawe~i' S1~tem kewarisan kolekuf adalah sistcm kewarisan dimana para ahli wans secma kolektif (bersamasama) me" ansi harta peninggalan yang !Jdak dapat dibagi-bagi pemiliknya kepada masing-masing ahli waris. 43 bahwa bukan sistem hukum waris yang mengacu pada unilateral baik matrilineal maupun patrilineal, sistem kolektif atau mayorat. Upaya yang telah dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) melalui berbagai penelitian, seminar dan diskusi sudah pula ber\angsung sejak lama, namun hingga kini unifikasi dan sekaligus kodifikasi hukum Waris yang bersifat nasional tersebut be\um terwujud. Menyitir pendapat Mochtar Kusumaatmadja, yang mengatakan bahwa unifikasi dan kodifikasi seharusnya menimbang sensitivitas bidang-bidang hukum yang hendak di kodifikasi dan di unifikasi. 0\eh karena itu, Beliau lantas membedakan bidang-bidang hukum ke dalam bidang hukum yang netral (tidak sensitif) dan bidang hukum yang tidak netral (sensitif). Bidang hukum yang sensitif ini dianggap sangat bertalian erat dengan spiritual manusia, oleh karena itu bidang hukum keluarga dan hukum waris digolongkan ke dalam bidang hukum yang sensitif. Di sisi lain, bidang hukum yang netral atau tidak sensitif lebih mudah untuk dikodifikasikan dan diunifikasikan serta menyesuaikan dengan kebutuhan bahkan dapat melakukan adaptasi dan adopsi dari sistem hukum negara lain. Bidang hukum yang netral ini antara lain bidang hukum ekonomi seperti hukum perbankan, hukum kontrak, dan hukum pasar modal. Selanjutnya, bidang hukum yang sensitif ini, tennasuk hukum waris dibiarkan berlaku sesuai dengan hukum yang berlaku dimasyarakat. Dengan kata lain bidang hukum waris tetap dibiarkan bersifat pluralistis. Oleh karena itu, saat ini hukum waris yang berlaku meliputi hukum waris adat, hukum waris menurut KUHPerdata dan hukum waris Islam. Namun demikian, bukan berarti upaya menuju unifikasi hukum Waris Nasional sama sekali tertutup. Unifikasi hukum waris sudah terang menuju sistem Individual Parental, namun demikian perkembangan dan penerimaannya bergantung aspek sosiologis antara Jain: l. 2. 3. 4. 44 Pendidikan yang tinggi, sehingga orang akan berfikir Jogis. Perantauan yang lama, sehingga terjadi perubahan pola pikir, akibat pengaruh kebiasaan masyarakat setempat. Komunikasi yang baik, sehingga kontak dengan orang asing yang berlainan budayanya semakin tinggi. Terbentuknya somah atau unit terkecil dalam masyarakat, sehingga terdapat pergaulan yang erat antara Bapak, lbu dan anak-anak, dan terbentuklah harta bersama, yang diperuntukkan bagi keluarga tersebut. Mengacu pada kondisi di atas. maka upaya menuju Sumt Keterangan Waris Nasional tidak dapat dilepaskan dari hukum positif yang berlaku di bidang Waris, yaitu masih bersifat dualistis dan pluralistis. C. PEWARIS DAN AHLI WARIS DALAM HUKUM WARIS Sangat sulit bagi penulis untuk mengkaji Surat Keterangan Waris ini dari perspektif Hukum Perdata. Di satu sisi, Hukum Perdata adalah Hukum Materil, dan akan digunakan sebagai ·alat untuk menganalisis tentaQg Keterangan Waris yang sebenarnya berada dalam ranah hukum acara, karena Surat Keterangan Waris ini adalah alat bukti. Namun demikian terdapat benang merah antam hukum perdata, khususnya bidang hukum waris dengan Upaya Menuju Surat Keterangan Waris Nasional ini. Bukankah berdasarkan Surat Keterangan Waris inilah nantinya para ahli waris mempunyai alas hak untuk menuntut harta warisan? Oleh karena itu, penulis memandang perlu untuk mendiskusikan perihal subjek hukum dan objek hukum waris ini dalam kaitannya menuju Surat Keterangan Waris Nasional ini. Subjek hokum waris merupakan esensi dari kehendak untuk menuju Surat Ketemngan Waris Nasional. mengingat fungsi surat tersebut adalah sebagai alat bukti bagi pihak-pihak yang mengklaim dirinya sebagai ahli waris, dan pada gilimnnya berfungsi sebagai dasar untuk menuntut hak tertentu atas henda atau hak kebendaan sebagai objek waris. Secara prinsip sistem hukum waris baik BW, Hukum adat dan Hukum Islam telah menentukan siapa saja yang dimasukkan sebagai ahli waris. Oleh karena itu, sepanjang belum dilakukan unifikasi dan kodifikasi Hukum Waris Nasional, maka pengaturan tentang ahli waris masih merujuk pada sistem hukum waris yang berlaku tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan subjek hukum waris antara lain: 1. Keutamaan dan penggantian menurut sistem kewarisan yang berlaku. Slstem keutamaan adalah pembagian dalam golongan-golongan atau kelompok-kelompok, semua orang yang berhak menjadi ahli waris berdasarkan semata-mata atas hubungan darah dengan si pewaris, yaitu dalam pengertian bahwa kelompok yang lebih utama menutup kelompok yang lebih rendah keutamaannya, dari hak mewaris. Sementara itu sistem penggantian adalah cara penyingkiran orangorang dari kelompok keutamaannya, karena orang-orang itu tidak berhak mewaris disebabkan antara mereka dan si pewaris ada 45 penghuhung yang masih hid up. Sistem keutamaan dan penggantian ini akan berbeda untuk sistem hukum waris Adat, Islam dan BW. 2. Perkembangan yurisprudensi yang berkaitan dengan kedudukan subjek hukum waris tertentu terhadap harta warisan, antara lain: a. Kedudukan janda sebagai ahli waris: dalam hal ini berbagai yurisprudensi MA, janda didudukkan sebagai ahli waris dari suaminya baik dari harta asal dan harta bersama. Namun demikian, yurisprudensi menggunakan istilah janda mati, janda cerai, janda nnsyus9 dan janda poligami (sah). Mengacu kepada Keputusan MA No: 387 K/Sip/1958 sebagai yurisprudensi tetap, janda berhak atas separuh dari gono gini. 10 Beberapa yurisprudensi yang perlu diperhatikan antara lain hak janda tanpa anak untuk menguasai barang gono gini itu hanya digantungkan pada syarat, yaitu selama tidak kawin lagi. 11 Apabila dari perkawinan lahir anak-anak, maka sudah tidak pada tempatnya untuk membedakan harta asa\ dan harta bersama, dan semua kekayaan suami istri menjadi harta keluarga yang temurun kepada anak-anak. Dalam hal si ayah meninggal, maka janda berhak semasa hidupnya membagi kekayaan tersebut diantara anak-anak, dan pembagian seperti itu sah sepanjang anak memperoleh bagian yang pantas. 12 b. Kedudukan anak angkat, anak tiri, dan anak luar kawin. 13 Pulusan Mahkamah Agung terhadap anak angkat menempatkan anak angkat sebagp.i ahli waris terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya yang tidak merupakan, harta yang diwarisi o\eh orangtua angkat tersebut. 14 Merujuk pada yurisprudensi sebelum Perang Dunia ke II, Mahkamah Agung mengatakan bahwa adalah sudah merupakan suatu yurisprudensi tetap bahwa barang pusaka tidak dapat diwarisi o\eh anak angkat, tetapi harus kembali lihat Putusan Mahkamah Agung No. 1476 K/Sip/1982 bahwa menurut Hukum Adat meskipun scorang istri nusyus (ingkar. atau lari dari suaminya) tidaklah hi1ang haknya untuk mendapatl<an bagiannya dan barang gon1 gim yang diperoleh ;cmu>a pcrl<awinan 10 Subekti, Hukum Adat fmlonnia Datum Ylll'l'l''uden'i Mallkamal! Agung. Alumm, 1991. him 74 L!hal JUga Putusan Mahkamah Agung No. II 0 KJSip/1960 yang mcnetapkan bahwa jandu adalah juga menjadi ahli waris dari almarhum suammya 11 Lihat Putusan MA No 198 KJSip/1958 " Lihat Putusan Mahkamah Agung No. 263 KJSip/1959 " Lihal Putusan MA No_ 2142 KJPdt/1989 dalam Kasus Nugraha Besoes. " Lihal Putusan MA No 182 K/Sip/1959 46 c. d. kepada keturunan darah. 15 Dalam perkembangannya, dalam melaksanakan hak warisnya atas gono gini, anak angkat menutup hak waris para saudara orang tua angkatnya. 16 Selanjutnya, anak angkat yang ditetapkan berdasarkan Putusan Pengadilan, dianggap memiliki kedudukan yang sama dengan anak kandung. 17 Anak yang berbeda agamanya dengan orang tuanya sebagai pewaris. 18 Kedudukan hibah dan wasiat dalam proses pewarisan. 3. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah saat terjadinya pewarisan. Dalam hukum Adat proses pewarisan sudah berlangsung sejak pewaris masih hidup, dan dalam keadaan tertentu pemberian semasa hidup dapat dianggap sebagai proses pewarisan, sehingga ketika diadakan buka waris, maka harus diperhitungkan sebagai bagian haknya. Hal ini tidak dikenal dalam hokum waris BW dan Islam, yang mengatur bahwa proses pewarisan dimulai sejak seseorang meninggal dunia. 19 Berdasarkan pengaturan dalam KUHPerdata, tanpa adanya orang yang mati dan meninggalkan harta kekayaan maka tidak ada masalah pewarisan. 20 Terkait dengan Surat Keterangan Waris, apakah kondisi-kondisi tertentu dalam hukum waris dapat dijadikan pertimbangan dalam mempengaruhi isi Surat Keterangan Warisnya, misal bahwa si A sudah menerima bagian yang cukup, sehingga tldak berhak menerima sisa warisan? 4. Perbedaan pengaturan tentang objek waris dari sistem hukum yang berlaku. Dalam praktik pewarisan dalam hukum adat dan Hukum Waris Islam, maka objek waris yang menjadi hak para ahli waris adalah harta kekayaan bersih setelah dikurangi segala kewajiban (utang) pewaris. Sedangkan dalam BW berlakulah asas La mort saisit le \lif, dimana "dengan meninggalnya seseorang beralih seketik.a itu pada yang hidup". Pengertian beralih meliputi baik piutang maupun " " " Lihat Putusan MA No. 82 K/ Sip/1957. Lihat Putusan Mahkamah Agung No: 441 K/Sip/1972. Lihat Penetapan No. 92/Pdt P/2007/PA Bandung. 11 Berdasarkan Pasa1 171 Kompilasi Hukum Islam. anak yang berlainan agama dengan pewaris tidak berhak mewaris. Lihal juga Putusan Mahkamah Agung Rl No. 368 K.IAG/1995 bahwa bukan sebagai ahli waris terhadap bagian harta. tetapi sebagai penerima wasiat wajiblah sama dengan yang d1peroleb seorang anak perempuan saudaranya. " Lihat Pasal830 KUHPerdata yang mengatur bahwa ''Pewarisan hanya berlang;ung k.arena kematian ... ~ Hi\ man Hadikusuma. Hukum Waris lntkmel·ia menurur Perundan.~an. lfukum Adat, Hukum Agama. Hindu /.•lam, Citra Aditya. Bandung, 1991, blm. 5 47 utang. Oleh karena itu dalam BW dikenallembaga penolakan warisan, yang tidak dikenal dalam hukum Adat dan Hukum Islam 5. Objek waris atau benda dan hak kebendaan yang akan dialihkan pada ah\i waris, khususnya bagi benda-benda yang peralihannya harus di\akukan dengan fonnalitas tertentu, misalnya tanah/rumah, atau saham/surat berharga tertentu. Dalam hal objek warisan adalah benda bergerak, maka ketiadaan Surat Keterangan Waris tidak terlalu relevan. Dalam banyak kasus pewarisan, Surat Keterangan waris ini akan dipersoalkan ketika objek warisan adalah benda terdaftar atau benda tidak bergerak yang penga\ihannya harus dilakukan secara formal. Secara khusus, ada lembaga tertentu yang memang meminta para ahli waris menunjukkan Surat Keterangan Waris untuk memperoleh hak warisnya, seperti Perbankan. Hal-hal di atas, perlu dipertimbangkan ketika akan ditunjuk instansi tertentu untuk membuat Surat Keterangan Waris. Mengapa perlu diperhatikan? Penulis membayangkan, bagaimana kalau seandainya Surat Keterangan Waris yang sudah dibuat digugat oleh salah satu pihak yang keberatan karena tidak. dicantumkan sebagai ahli waris, padahal sebenamya memang dia berhak? Atau misalnya, ahli waris yang tercantum dalam Surat Keterangan Waris yang berkeberatan, karena sebenamya dia sudah menolak untuk menerima warisan? Artinya Surat Keterangan Waris akan mempunyai implikasi yuridis terhadap subjek dan objek pewarisan. D. MENUJU SURAT KETERANGAN WARIS NASIONAL Diterbitkannya Surat Ketetapan Waris berkaitan dengan fungsi surat sebagai alat bukti, dalam hal ini untuk membuktikan tentang subjek hukum atau siapa saja yang dapat disebut sebagai ahli waris. Dalam konteks hukum perdata, termasuk hukum waris, bukti Surat akan menjadi bukti yang penting dan paling utama dibandingkan dengan alat bukti yang lain. Mengacu pada ketentuan Pasal 1866 dan Pasal 1867 KUHPerdata, maka pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan baik otentik maupun di bawah tangan. Dimaksudkan dengan akta adalah tulisan yang sengaja dibuat oleh para pihak dan digunakan sebagai alat bukti. Namun demikian, hal penting yang harus diperhatikan adalah akibat hukum yang timbul dari suatu Ketetapan Waris, mengingat penentuan 48 ahli waris berkaitan dengan hak-hak kebendaan seseorang terhadap harta warisan. Oleh karena itu, wacana untuk menuju Surat Keterangan Waris yang bersifat Nasional perlu memperhatikan maksud, tujuan, dan akibat hukum diterbitkannya Surat Keterangan Waris. Mengingat Surat Ketetapan Waris akan mempunyai akibat hukum bahwa seseorang memperoleh kebendaan atau hak kebendaan tertentu atau kewajiban tertentu, maka pengaturan tentang Surat Keterangan Waris Nasional, tidak hanya menyoal tentang siapa yang berwenang membuat surat Keterangan Waris, siapa yang menjadi ahli waris, melainkan akibat hukum yang timbul dari Sural Keterangan Waris. Pada prinsipnya penulis sangat mengerti bahwa masalah banyaknya instansi yang diberi kewenangan membuat Surat Keterangan Waris ini tidak terlepas pluralisme hukum waris. Oleh karena itu, timbul beberapa pertanyaan yang perlu didiskusikan dalam simposium ini, yaitu: 1. Apakah yang dimaksud dengan menuju Surat Keterangan Waris Nasional berarti akan dilakukan kodifikasi dan unifikasi Hukum yang mengatur segala sesuatu yang bertalian dengan Surat Keterangan Waris? 2. Mengingat Surat Keterangan Waris hanya merupakan bagian dari suatu kaidah-kaidah yang mengatur tentang Kewarisan, apakah yang hendak dilakukan adalah kodifikasi dan unifikasi Hukum Waris Nasional yang di dalamnya memuat aturan tentang Surat Keterangan waris, termasuk instansi yang berwenang membuat? 3. Andaikata akan dibuat ketentuan yang mengatur tentang Surat Keterangan Waris, apakah aturan tersebut akan menjadi bagian dari sistem hukum Waris Nasional. atau lex specialis dan hukum Waris Nasional sebagai lex generalis yang akan dibentuk kemudian? Terhadap ke 3 pertanyaan berandai-andai di atas, dapat diberikan jawaban yang berandai-andai pula, yaitu: l. Apabila yang akan dilakukan adalah kodifikasi dan unifikasi hukum tentang Surat Keterangan Waris, maka upaya ini harus dilakukan dengan memetakan terlebih dahulu berbagai sistem hukum waris yang berlaku, membuka segala kemungkinan agar kepentingan masingmasing sistem akan terakomodasikan dalam unifikasi tersebut. Hal ini tentu bukan pekerjaan mudah mengingat jamaknya sistem yang 49 berlaku, dan perkembangan hukum waris Adat yang sangat dinamis. Pemetaan sistem hukum ini relevan dengan penentuan siapa yang dimaksud sebagai ahli waris. Berdasarkan 3 sistem hukum waris yang berlaku,yaitu hukum Adat, BW dan hukum Islam dan sistem hukum waris yang pluralistis, maka terdapat perbedaan subjek hukum, baik sebagai pewaris maupun ahli waris. Atas dasar itu, Surat Keterangan Waris yang dibuat haruslah berdasarkan sistem yang sudah disepakati oleh para ahli waris. 2. Apabila tujuannya adalah melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum waris maka upaya ini menupakan rangkaian dari upaya yang sejak lama dilakukan, namun belum membuahkan basil. Upaya ini biasanya perlu mempertimbangkan kembali pendapat Mochtar Kusumaatmadja tentang sensitivitas hukum waris. Kemajemukan tidak selalu buruk, sebaliknya unifikasi tidak selalu baik, apabila yang dipentingkan adalah spiritual manusia. Dengan di unifikasikannya hukum Waris, maka penunjukan lembaga yang berwenang untuk membuat Surat Keterangan waris dapat merupakan bagian dari unifikasi tersebut. 3. Model pembentukan hukum secara parsial dan bersifat mendahului bukanlah hal baru dalam sistem pembentukan hukum di Indonesia. Contoh konkretnya adalah lahimya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang lahir terlebih dahulu dari lbunya, yaitu Hukum Kekeluargaan Nasional. Akibatnya, tanpa disadari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut mengatur substansi yang seharusnya bukan menjadi materi muatan Hukum Perkawinan. Sebut saja beberapa materi muatan dan yang menjadi materi Hukum Keluarga yang ikut diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, antara lain mengenai Kedewasaan dan Perwalian. Berdasarkan pertanyaan dan jaw a ban berandai-andai di atas, maka upaya menuju Surat Keterangan Waris Nasional ini perlu disambut dengan optimis disertai upaya untuk memaknai salah satu tujuan pembangunan nasional sebagaimana dikemukakan oleh Satya Arinanto: "Pembangunan hukum nasional merupakan salah satu bidang hukum pembangunan yang penting, yang juga memerlukan perhatian dan penanganan secara intensif sebagaimana bidang-bidang pembangunan lainnya. Dan tinjauan historis tampak bahwa terjadi permasalahan yang 50 terkait dengan inkonsistensi dan tumpang tindihnya berbagai peraturan dalam pelbagai bidang." 11 Jelaslah bahwa Surat Keterangan Waris ini nantinya akan menjadi dasar untuk membuktikan kedudukan seseorang terhadap harta benda pewaris, oleh karena itu, tujuan untuk melakukan regulasi menuju Surat Keterangan waris Nasional tidak dapat mengabaikan fungsi hukum yaitu untuk ketertiban dan menciptakan keadilan dan memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan terkait dengan pengaturan Surat Keterangan waris Nasional adalah apakah Surat Keterangan Waris merupakan satu~satunya bukti yang dapat digunakan bagi para ahli waris untuk membuktikan bahwa mereka berhak atas harta warisan? Apabila ya, maka pengaturan Tentang Surat Keterangan Waris ini harus dapat mengakomodasikan kepentingan semua sistem hukum waris yang berlaku. Apabila tidak, altematif harus diatur untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak. Selanjutnya apakah regulasi yang akan dibuat akan mempercayakan pembuatannya pada satu instansi saja atau dibuat kaidah penunjuk, yang akan menunjuk instansi-instansi yang memang sangat berkaitan erat dengan hukum waris yang dipakai? Mencontoh Undang-Undang Perkawinan sebagai satu contoh unifikasi yang unik, dimana telah terjadi unifikasi hukum Perkawinan, namun di dalamnya tetap memberlakukan hukum yang majemuk. n Mengutip pendapat Hazairin, Undang-Undang Perkawinan adalah contoh unifikasi yang unik. Oleh karena itu, berbagai altematif pengaturan perlu disodorkan, untuk didiskusikan secara matang dan terintegrasi. Sekali lagi penulis mengingatkan, jenis kodifikasi di Indonesia yang lebih memilih dilakukan secara parsial kadang menyisakan benturan, atau bahkan dishannoni antara satu perundang-undangan dengan yang lainnya. berdasarkan pandangan-pandangan di atas, menuju unifikasi Surat Keterangan Waris Nasional, merupakan cita-cita untuk menciptakan ketertiban dan keadilan serta kepastian hukum bagi semua pihak yang terkait. " SatyaArinanto, Politik PembangWUlll f/ukum Na~irmal Dalam Era Pasca Rejomwsi tkllnm Rt'ftJrma.n' Hukum, Jumal Demokrasi dan HAM, VoL 7 No I. 2007. him. 35. " Lihat Ketentuan Pasal 2 Ayat I Undang-Undang No I Thhun 1974 Tentang Perkawinan. yang mengatur bahwa keabsatmn suatu perkawinan bcrgantung pada hukum agama dan kepercayaannya. atau Pasal 37 Undang-Undang No. I Thhun 1974 yang mengatur bahwa ··apabila perkawinan putus karena perceraian. harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing" 51 Pertanyaan berikutnya yang memerlukan jawaban, apakah nantinya penerbitan Surat Keterangan Waris ini bersifat obligatory rules atau memaksa? E. PENUTUP Unifikasi Surat Keterangan Waris yang hendak dilakukan tidak dapat dilepaskan dari hukum waris yang berlaku di Indonesia, mengingat fungsi Surat Keterangan Waris sebagai bukti bahwa mereka yang disebutkan dalam Surat Keterangan Waris tersebut adalah benar ahli waris. Dalam perspektif hukum perdata, melalui Surat Keterangan Waris ini, seseorang dapat memperoleh hak atas benda atau hak kebendaan tertentu atau kewajiban tertentu. Di sisi lain, bukan tidak mungkin bahwa atas dasar Surat Keterangan Waris, seseorang berpotensi kehilangan hak warisnya. Mengingat pentingnya fungsi Surat Keterangan Waris ini bila dikaitkan dengan hak-hak seseorang, maka regulasinya harus dilakukan dengan memperhatikan fungsi dan tujuannya. Beberapa hal yang memerlukan kajian mendalam adalah: apakah Surat Keterangan Waris nantinya akan menjadi satu-satunya bukti untuk mempertahankan hak7 Seianjutnya, dapatkah ketiadaan Surat Keterangan Waris ini digunakan untuk menghalangi seseorang untuk menjadi ahli waris? Berkaitan dengan instansi yang berwenang, apakah unifikasi hukum yang mengatur Surat Keterangan Waris ini akan mencabut berbagai peraturan yang sudah ada? Atau menjadi kaidah penunjuk bagi berlakunya ketentuan-ketentuan yang sudah ada, sehingga tetap terbuka kemungkinan beberapa instansi berwenang menerbitkan Surat Keterangan Waris sesuai dengan kondisi hukum waris yang berlaku di Indonesia. 52 DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tintamas, Jakarta, 1968 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, Citra Aditya, Bandung, 1991 Pitlo, AIM. Isa Maarief, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Intermasa, Jakarta, Cet. I. Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional Dalam Era Pasca Reformasi dalam Reformasi Hukum, Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 7 No. I , 2007 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Intennasa, Jakarta, 1967. Subekti, Hukum Adm Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Alumni, 1991 Ter Haar, Dasar-Dasar dan Stelsel Hukum Adat, Jakarta, 1971. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Cetakan ke II, Sumur Bandung: Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Resi Gudang. Kompilasi Hukum Islam Putusan Mahkamah Agung No. 110 K/Sip/1960 Putusan Mahkamah Agung No. 1476 K/Sip/1982 Lihat Putusan MA No. 298 K/Sip/1958. Lihat Putusan Mahkamah Agung No. 263 K/Sip/1959. Lihat Putusan MA No. 2142 K/Pdt/ 1989 53 Lihat Putusan MA No. 182 K/Sip/1959. Lihat Putusan MA No. 82 K/Sipll957. Putusan Mahkamah Agung No. 441 K/Sipl1972. Putusan Mahkamah Agung RI No. 368 K/AG/1995 Penetapan No. 92/Pdt P/2007/PA Bandung. 54