Draft Modul TEKNOLOGI INFORMASI DAN PEMILU

advertisement
Draft Modul
TEKNOLOGI INFORMASI DAN PEMILU
FORMAT RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN
Mingg
u ke
Tujuan
Pembelajaran
1
Memberikan
pemahaman
tentang
pentingnya
teknologi
informasi dan
komunikasi
sebagai aset
penting dalam
pembangunan
ekonomi dan
sosial
Pokok
bahasan
Media
ajar
Pengantar:
Ruang
lingkup dan
perkembanga
n IT
Powerpoi
nt
Artikel
Jurnal
Metode
Pembelajaran
Yang
dilakuka
Yang
n
dilakuka
mahasis
n dosen
wa
Mendeng Memberi
arkan
kuliah
kuliah,
berpartisi
pasi
dalam
diskusi
Penilaian
Metode
Penilaia
n
Kriteria Bobot
Penilaia Penilaia
n
n
-
-
-
Pustaka
Manuel Castells-The Rise of the
Network Society, With a New
Preface_
Volume
I_
The
Information Age_ Economy,
Society, and Culture (Information
Age
Series)-Wiley-Blackwell
(2010) Bab 1 & 2
Manuel Castells. Information
Technology, Globalization and
Social Development Manuel
Castells. UNRISD Discussion
Paper No. 114, September 1999
2&3
Menjelaskan
keberadaan IT
dalam konteks
sosio-kultural
masyarakat
Indonesia dan
mengetahui
masalahmasalah yang
timbul
IT dan
kondisi
sosial-budaya
masyarakat di
Indonesia:
Permasalahan
Digital Divide
dan Digital
Citizenship
Powerpoi
nt
Artikel
Jurnal
Presentasi
,berpartisi
pasi
dalam
diskusi
Memberi
kuliah,
memandu
diskusi
Penilaia
n
terhadap
tugas
dan
presenta
si
4
Menjelaskan
bagaimana IT
memiliki
pengaruh pada
Implikasi
perkembanga
n teknologi
pada
Powerpoi
nt
Artikel
Jurnal
Presentasi
,berpartisi
pasi
dalam
Memberi
kuliah,
memandu
diskusi
Penilaia
n
terhadap
tugas
Relevan
si paper
dengan
pokok
bahasan.
Kejelian
dalam
mengan
gkat
contoh
kasus.
Kemam
puan
menyam
paikan
ide
melalui
presenta
si.
Pengusa
an
terhadap
materi
Relevan
si paper
dengan
pokok
20%
tugas
10%
presenta
si
10%
keaktifa
n
diskusi
Bridging the Digital Divide_
Technology, Community, and
Public Policy-Lisa J. ServonWiley-Blackwell (2002)
Pippa Norris-Digital Divide_
Civic Engagement, Information
Poverty,
and the
Internet
Worldwide-Cambridge
University Press (2001)
Sara Bentivegna Rethinking
Politics in the World of ICTs
European
Journal
of
Communication 2006
20%
tugas
10%
presenta
Andrew
Chadwick-Routledge
Handbook of Internet PoliticsRoutledge (2008)
Gunnar Liden & Anders Avdic
5
isu politik
demokrasi
dinamika
politik
demokrasi
Menjelaskan
pengaruh IT
pada partai
politik serta
keuntungan
maupun
kerugian yang
dihadapi partai
politik dengan
IT dan partai
politik
diskusi
Powerpoi
nt
Artikel
Jurnal
Presentasi
,berpartisi
pasi
dalam
diskusi
dan
presenta
si
Memberi
kuliah,
memandu
diskusi
Penilaia
n
terhadap
tugas
dan
presenta
si
bahasan.
Kejelian
dalam
mengan
gkat
contoh
kasus.
Kemam
puan
menyam
paikan
ide
melalui
presenta
si.
Pengusa
an
terhadap
materi
Relevan
si paper
dengan
pokok
bahasan.
Kejelian
dalam
mengan
gkat
si
10%
keaktifa
n
diskusi
(2003) Democracy Functions of
Information Technology
20%
tugas
10%
presenta
si
10%
keaktifa
n
diskusi
Andrew
Chadwick-Routledge
Handbook of Internet PoliticsRoutledge (2008) bab 3 & 6
adanya
teknologi
informasi.
6
Memahami
peran IT pada
kampanye
politik dalam
pembangunan
politik dan
demokrasi.
IT dan
kampanye
politik
Powerpoi
nt
Artikel
Jurnal
Presentasi
,berpartisi
pasi
dalam
diskusi
Memberi
kuliah,
memandu
diskusi
Penilaia
n
terhadap
tugas
dan
presenta
si
contoh
kasus.
Kemam
puan
menyam
paikan
ide
melalui
presenta
si.
Pengusa
an
terhadap
materi
Relevan
si paper
dengan
pokok
bahasan.
Kejelian
dalam
mengan
gkat
contoh
kasus.
Kemam
puan
menyam
20%
tugas
10%
presenta
si
10%
keaktifa
n
diskusi
Parties, election campaigning,
and the internet: Toward a
comparative
institutional
approach. Nick Anstead and
Andrew
Chadwick
dalam
Andrew
Chadwick-Routledge
Handbook of Internet PoliticsRoutledge (2008)
Do Online Election Campaigns
Win Votes? The 2007 Australian
“YouTube” Election
RACHEL K. GIBSON and IAN
MCALLISTER.
Political
Communication,
28:227–244,
7
Menjelaskan
regulasi
tentang
teknologi
informasi dan
aplikasinya.
IT dan
regulasi
terkait pemilu
Powerpoi
nt
Artikel
Jurnal
Presentasi
,berpartisi
pasi
dalam
diskusi
Memberi
kuliah,
memandu
diskusi
Penilaia
n
terhadap
tugas
dan
presenta
si
paikan
ide
melalui
presenta
si.
Pengusa
an
terhadap
materi
Relevan
si paper
dengan
pokok
bahasan.
Kejelian
dalam
mengan
gkat
contoh
kasus.
Kemam
puan
menyam
paikan
ide
melalui
presenta
si.
2011
Politicking
Online_
The
Transformation
of
Election
Campaign Communications Costas Panagopoulos(2009)
20%
tugas
10%
presenta
si
10%
keaktifa
n
diskusi
Andrew Chadwick-Routledge
Handbook of Internet PoliticsRoutledge (2008) Bab 13
Bridging the Digital Divide_
Technology, Community, and
Public Policy-Lisa J. ServonWiley-Blackwell (2002) bab 4
Electoral Management Design:
The International IDEA
handbook. Institute for
Democracy and Electoral
Assistance
8
Memberikan
penjelasan
tentang aplikasi
teknologi
informasi
dalam proses
pengadaan
pemilu
elektronik.
Aplikasi
Teknologi
informasi
dalam teknis
pelaksanaan
Pemilu
Elektronik
Powerpoi
nt
Artikel
Jurnal
9
Memberikan
IT, sensus dan Powerpoi
Presentasi
,berpartisi
pasi
dalam
diskusi
Memberi
kuliah,
memandu
diskusi
Penilaia
n
terhadap
tugas
dan
presenta
si
Presentasi Memberi
Penilaia
Pengusa
an
terhadap
materi
Relevan
si paper
dengan
pokok
bahasan.
Kejelian
dalam
mengan
gkat
contoh
kasus.
Kemam
puan
menyam
paikan
ide
melalui
presenta
si.
Pengusa
an
terhadap
materi
Relevan
20%
tugas
10%
presenta
si
10%
keaktifa
n
diskusi
Pippa Norris. 2005. Will New
Technology Boost Turnout?
Evaluating Experiments in UK
Local Elections. Dalam Norbert
Kersting, Harald Baldersheim.
2005. Electronic Voting and
Democracy
A
Comparative
Analysis.
Peter Wolf. 2010. Introducing
Electronic Voting: Essential
Considerations. Policy Paper.
Stockholm: IDEA.
Melanie
Volkamer.
2009.
‘Evaluation of Electronic Voting
Requirements and Evaluation
Procedures
to
Support
Responsible
Election
Authorities’.
Heidelberg:
Springer.
20%
Electronic
voting
systems:
10, 11
& 12
gambaran
secara jelas
tentang
kegunaan
informasi
teknologi pada
pendataan
pemilu.
basis data
pemilih
nt
Artikel
Jurnal
,berpartisi kuliah,
pasi
memandu
dalam
diskusi
diskusi
n
terhadap
tugas
dan
presenta
si
mengenalkan
metode-metode
teknis
menggunakan
IT pada
penyelenggara
IT dan Teknis
Penyelenggar
aan Pemilu
Elektronik:
Pendataan
Pemilih,
Powerpoi
nt
Artikel
Jurnal
Presentasi
,berpartisi
pasi
dalam
diskusi
Penilaia
n
terhadap
tugas
dan
presenta
Memberi
kuliah,
memandu
diskusi
si paper
dengan
pokok
bahasan.
Kejelian
dalam
mengan
gkat
contoh
kasus.
Kemam
puan
menyam
paikan
ide
melalui
presenta
si.
Pengusa
an
terhadap
materi
Relevan
si paper
dengan
pokok
bahasan.
Kejelian
tugas
10%
presenta
si
10%
keaktifa
n
diskusi
Requirements,
design,
and
implementation
Ghassan
Z.
Qadah & Rani Taha. Elsevier.
2007
Insuring the Integrity of the
Electoral
Process:
Recommendations for Consistent
and Complete Reporting of
Election
Data.
Caltech/MIT
Voting
Technology
Project
October 2004
20%
tugas
10%
presenta
si
10%
ELECTRONIC
VOTING:
CONSTITUTIONAL
AND
LEGAL
REQUIREMENTS,
AND THEIR TECHNICAL
IMPLICATIONS
Lilian Mitrou, Dimitris Gritzalis,
n e-voting,
bagaimana cara
kerja IT pada
pendataan
pemilih dan
menggunakan
IT pada
perhitungan
suara dan
mengauditnya
Voting &
Penghitungan
Suara, dan
Audit
si
dalam
mengan
gkat
contoh
kasus.
Kemam
puan
menyam
paikan
ide
melalui
presenta
si.
Pengusa
an
terhadap
materi
keaktifa
n
diskusi
Sokratis
Katsikas,
Gerald
Quirchmayr.
E-VOTE AND PKI'S: A NEED,
A BLISS OR A CURSE?
Danilo Bruschi, Giusi Poletti,
Emilia R
Dalam Douglas W. Jones (auth.),
Dimitris A. Gritzalis
(eds.)Secure
Electronic
VotingSpringer US (2003). Bab 4.
Touching Big Brother: How
Biometric Technology Will Fuse
Flesh and Machine. nformation
Technology & People, Vol. 7.
2006.
Douglas W. Jones
(auth.),
Dimitris A. Gritzalis
(eds.)Secure
Electronic
VotingSpringer US (2003). Bab 1 & 2.
Machine-Assisted
Election
Auditing
Joseph A. Calandrino [1], J. Alex
Halderman [1], and Edward W.
Felten [1,2]
PUBLIC CONFIDENCE AND
AUDITABILITY IN VOTING
SYSTEMS
Roy G. Saltman dalam Douglas
W. Jones (auth.), Dimitris A.
Gritzalis (eds.)-Secure Electronic
Voting-Springer US (2003). Bab
8
13
memberikan
pemahaman
dasar tentang
keamanan IT
dalam pemilu
dan pentingnya
hal tersebut
dalam upaya
melaksanakan
proses pemilu
yang lancar
dan
berintegritas
Problematika
Keamanan IT
Powerpoi
nt
Artikel
Jurnal
Presentasi
,berpartisi
pasi
dalam
diskusi
Memberi
kuliah,
memandu
diskusi
Penilaia
n
terhadap
tugas
dan
presenta
si
Relevan
si paper
dengan
pokok
bahasan.
Kejelian
dalam
mengan
gkat
contoh
kasus.
Kemam
puan
menyam
paikan
ide
melalui
presenta
si.
Pengusa
an
terhadap
20%
tugas
10%
presenta
si
10%
keaktifa
n
diskusi
THE
THEORY
AND
IMPLEMENT A TION OF AN
ELECTRONIC
VOTING
SYSTEM
Ivan Damgard, Jens Grothl,
Gorm Salomonsen
VERIFICATION
FOR
ELECTRONIC
BALLOTING
SYSTEMS
Rebecca T. Mercuri, Peter G.
Neumann
dalam Douglas W. Jones (auth.),
Dimitris A. Gritzalis
(eds.)Secure Electronic Voting (2003)
US, Springer
Assessing Procedural Risks and
Threats in e-Voting: Challenges
and an Approach
Komminist
Weldemariam,
materi
14
membuat
Preparing the
konklusi dari
nation for eseluruh topik
voting
dari mata
kuliah ini dan
memahami
mata kuliah
secara
keseluruhan,
serta
memperhatikan
aspek-aspek
yang
dibutuhkan
untuk
mengantisipasi
potensi evoting pada
suatu bangsa di
masa depan
Powerpoi
nt
Artikel
Jurnal
Presentasi
,berpartisi
pasi
dalam
diskusi
Memberi
kuliah,
memandu
diskusi
Penilaia
n
terhadap
tugas
dan
presenta
si
Relevan
si paper
dengan
pokok
bahasan.
Kejelian
dalam
mengan
gkat
contoh
kasus.
Kemam
puan
menyam
paikan
ide
melalui
presenta
si.
Pengusa
Adolfo Villafiorita, and Andrea
Mattioli. Dalam E-Voting and
Identity:
First
International
Conference, VOTE-ID 2007,
Bochum, Germany, October 4-5,
2007, Revised Selected PapersSpringer (2007)
20%
tugas
10%
presenta
si
10%
keaktifa
n
diskusi
POINT, CLICK, AND VOTE:
The Future of Internet Voting
R. Michael Alvarez Thad E. Hall.
2004.
BROOKINGS
INSTITUTION PRESS
Washington, D.C. bab 3, 4, 7
an
terhadap
materi
STRUKTUR BAB MATERI PERKULIAHAN
TINJAUAN MATA KULIAH(berisi gambaran keseluruhan materi suatu matakuliah)
Deskripsi singkat MK
Mata kuliah ‘IT dan Pemilu’ adalah mata kuliah yang memberikan mahasiswa
pemahaman tentang fungsi dan peran teknologi informasi dalam berbagaiaspek
maupun keseluruhan proses pemilihan umum, dan pengaruhnya pada politik
demokrasi dan pembangunan politik. Pada 7 pertemuan awal, mahasiswa akan
diberikan basis konseptual dari materi mata kuliah ini, dan sisanya akan difokuskan
pada basis analitikal dan praktis.
Kuliah ini adalah kuliah elektif
Kegunaan MK bagi mahasiswa
Mata kuliah ini merupakan pengantar untuk memahami dinamika penerapan serta
implikasi teknologi informasi dalam proses pemilihan umum. Pengetahuan yang
didapat dari mata kuliah ini diharapkan dapat menjadi bekal pemikiran kritis maupun
strategis, baik bagi policy maker, pelaku, maupun analis politik, khususnya pada
sektor elektoral.
Tujuan Pembelajaran / Tujuan MK
1. Mahasiswa dapat memahami kompleksitas dibalik keputusan penerapan
teknologi informasi pada proses pemilu.
2. Mahasiswa diharapkan mampu menganalisis kompleksitas tersebut, serta
memberikan tawaran solusi.
3. Mahasiswa mampu memahami proses serta merancang skenario penerapan
teknologi komunikasi pada beberapa tahapan pemilu
4. Usai perkuliahan, mahasiswa diharapkan mampu memberikan rekomendasi
strategis untuk kebijakan penerapan teknologi informasi dalam proses pemilu
Susunan/urutan bahan ajar dari BAB I, BAB II, sampaiBAB terakhir (Sesuai Capaian
Pembelajaran (Learning Outcome/LO) dan pokok bahasan dalam RKPM)
Bab I hingga bab VII akan berfokus kepada LO 1 & 2 yang berbasis konseptual dan
analitikal
Bab VIII hingga bab XIV berfokus kepada pencapaian LO 3 & 4 yang berbasis
praktis
Petunjuk penggunaan Bahan Ajar
Bahan ajar berisi ringkasan mengenai topik masing-masing pertemuan. Ringkasan
tersebut dapat digunakan untuk memberikan gambaran awal mengenai topik bahasan,
sehingga mahasiswa dapat mengembangkannya ke dalam topik presentasi, serta
memilih kasus untuk dibahas. Masing-masing bab juga dilengkapi dengan referensi
dasar yang dapat menjadi acuan mahasiswa, meski tidak menutup kemungkinan jika
mahasiswa ingin memperkayanya dengan bahan lainnya.
BAB I
Pengantar: Ruang lingkup dan perkembangan IT
PENDAHULUAN
Deskripsi singkat: bahasan mata kuliah ini akan membahas tentang Ruang lingkup dan
perkembangan IT dari masa ke masa hingga masa kini, peran teknologi, perubahan serta
pengaruhnya pada masyarakat
Manfaat: memberikan pemahaman tentang pentingnya teknologi informasi dan komunikasi
pada pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat.
Relevansi: Bahasan mengenai ruang lingkup teknologi informasi serta perkembangannya
akan dapat membantu mahasiswa untuk mendapatkan basis pemahaman konseptual yang
sangat diperlukan dalam mempelajari serta menganalisis permasalahan teknologi informasi
dalam pemilu.
Learning Outcomes :
1. mahasiswa dapat memahami ruang lingkup dan perkembangan IT dari masa ke masa.
2. Mahasiswa memiliki dasar teori tentang teknologi informasi dan komunikasi
3. mahasiswa dapat mengidentifikasi teknologi informasi dan komunikasi
Perkembangan teknologi merupakan sebuah proses yang terakselerasi dengan cepat.
Daniel Bell mendefinisikan teknologi sebagai "the use of scientific knowledge to specify ways
of doing things in a reproducible manner."1 Di era persaingan dan kompleksitas dalam skala
global, kebutuhan akan efektivitas dan kemampuan multi-tasking yang tinggi menyebabkan
sumber daya manusia tidak lagi bisa menjadi satu-satunya sumber intelektualitas. Akibatnya,
teknologi menjadi sebuah kebutuhan yang tidak terelakkan.Intensitas pemakaian teknologi di
segala aspek dan lini kehidupan umat manusia menjadi semakin tinggi disetiap harinya.
Salah satu sektor yang menjadi klien terbesar dari teknologi adalah sektor
informasi.Bisa dikatakan, sektor inilah yang memiliki tingkat kebutuhan tertinggi terhadap
informasi.Hal ini dikarenakan informasi itu sendiri adalah sebuah komoditi abstrak yang
tidak pernah berhenti diproduksi.Selama ribuan tahun sejarah umat manusia, terdapat
sejumlah besar fakta mengenai sejarah serta artefak berkembangnya kebudayaan dan
peradaban.Aktivitas penyimpanan informasi itu sendiri telah dimulai semenjak manusia
mengenal tulisan di zaman Mesopotamia. Sayangnya, rentannya proses rekam jejak informasi
masa awal sejarah umat manusia berakibat pada hilangnya sebagian besar fakta mengenai
awal peradaban umat manusia.
Kehadiran teknologi informasi menjadi titik balik yang amat penting dalam sejarah.
Perkembangan teknologi yang amat pesat selama satu abad terakhir membawa perubahan
dalam proses rekam jejak peradaban manusia. Dalam waktu yang teramat singkat, media
1
Bells, (1976: 76), dalam Castells (2010: 29)
elektronik dan institusi media menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan seharihari.Komputer menjadi benda wajib yang mengawal hampir seluruh aktivitas pada setiap
rumah tangga, baik rumah tangga organisasi maupun personal.
Teknologi menjadi ujung tombak dalam proses knowledge transfer, dan memfasilitasi
proses pembelajaran umat manusia. Melalui teknologi, manusia berhasil menciptakan sebuah
metode untuk menyimpan informasi secara permanen dan mudah, untuk digunakan atau
dibagikan kembali di masa mendatang.Saat ini, informasi tidak hanya bisa disimpan, tetapi
juga digunakan kembali, dan disebarluaskan baik secara privat maupun masif, dalam skala
besar maupun kecil. Tidak hanya itu, teknologi juga memungkinkan informasi untuk dapat
disusun, dikategorisasi, diseleksi, dan dimanipulasi sesuai dengan kebutuhan.
Teknologi yang secara spesifik dikembangkan untuk pengelolaan informasi ini disebut
dengan Information Technology atau IT.Sering kali, konsep IT dikaitkan dengan aktivitas
komunikasi yang pada akhirnya melahirkan sebuah istilah baru yaitu Information and
Communication Technology (ICT). Definisi dari ICT menurut Kundhisora adalah:
‘ICTs is a generic term referring to technologies that are used for collecting,
storing, editing and passing on (communicating) information in various forms.’2
ICT memiliki karakter yang sangat fleksibel sehingga dapat diterapkan di berbagai
ranah dan skala aktivitas.Pada skala yang paling makro yaitu Negara, Kundhisora lebih lanjut
menekankan peran ICT dalam peningkatan GDP dan pewujudan good governance.
Teknologi informasi dan perubahan dalam masyarakat
Saat ini, informasi merupakan aset yang sangat penting, dan memegang kunci dalam
berbagai aspek kehidupan.Kemampuan mengolah informasi menggunakan teknologi
berpengaruh langsung kepada cara pandang dan metode kerja.Secara otomatis, kehadiran
teknologi informasi di tengah masyarakat secara fundamental telah merubah konstelasi
masyarakat itu sendiri.Secara umum, transformsi yang terjadi akibat kemunculan teknologi
informasi terasa di seluruh aspek kehidupan. Dalam upaya pemahaman, keduanya menjadi
aspek yang integral dan memberikan konteks satu-sama lain.
Kehadiran teknologi telah memfasilitasi kemunculan struktur sosial baru yang
termanifestasikan dalam banyak ragam, relatif dengan konteks kultural dan
institusional.Castell (2010) menyatakan, salah satu struktur baru dan paling signifikan yang
muncul akibat kemunculan teknologi informasi adalah sistem ekonomi baru. Sistem ekonomi
ini, oleh Castel, dijelaskan memiliki tiga karakter:
“It is informational because the productivity and competitiveness of units or agents
in this economy (be it firms, regions, or nations) fundamentally depend upon their
capacity to generate, process, and apply efficiently knowledge-based information. It
is global because the core activities of production, consumption, and circulation, as
well as their components (capital, labor, raw materials, management, information,
technology, markets) are organized on a global scale, either directly or through a
2
Kundishora, S.M. Tanpa Tahun. The Role of Information and CommunicationTechnology (ICT) in Enhancing
Local Economic Development and Poverty Reduction. Harare: Zimbabwe Academic and Research Network
network of linkages between economic agents. It is networked because, under the
new historical conditions, productivity is generated through and competition is
played out in a global network of interaction between business networks.”3
Tiga kata kunci yang ditekankan oleh Castell mengenai sistem ekonomi baru yang
dilahirkan pasca revolusi teknologi informasi adalah informational, global, dan networked.
Ketiga karakter tersebut menggambarkan sebuah sistem baru dimana pengetahuan dan
informasi menjadi basis produktivitas dan kemampuan berkompetisi dalam skala global,
oleh institusi yang berbasis kepada jejaring. Transformasi metode pengolahan informasi
yang disebabkan oleh kelahiran teknologi pada akhirnya merambah kepada seluruh domain
aktivitas masyarakat, dan memungkinkan terciptanya jejaring yang tidak terbatas antara satu
domain dengan domain yang lain.
Salah satu kontribusi dari teknologi informasi adalah peningkatan produktivitas.
Aplikasi sebuah teknologi informasi yang diikuti dengan penyesuaian organisasional dan
institusional akan dapat melahirkan sebuah sistem yang efektif dan produktif. Perlu
ditekankan bahwa istilah efisiensi dan produktivitas tidak hanya terbatas pada institusi
berbasis profit saja, akan tetapi merujuk kepada pemahaman yang lebih luas dan umum, pada
seluruh sektor mulai dari skala mikro hingga makro.
Teknologi Informasi sebagai perangkat strategis
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mengenai kontribusi teknologi informasi pada
efisiensi dan peningkatan produktivitas. Penguasaan atas teknologi sendiri tidak secara
langsung berarti sebuah problem solving, tetapi ketersediaan informasi yang dapat diakses
secara lebih cepat dan akurat melalui teknologilah yang memungkinkan proses problem
solving yang lebih cepat dan tepat guna.
Secara singkat, teknologi informasi dan komunikasi merupakan aset penting dalam
pembangunan ekonomi dan sosial di masa ini.Kepemilikan terhadap informasi menjadi basis
dari kekuasaan, pengetahuan dan kreativitas. Optimalisasi penggunaan teknologi informasi
sebagai aset strategis, oleh Castell disyaratkan sebagai berikut:
“...for the full realization of its developmental value, an inter-related system of
flexible organizations and information-oriented institutions. In a nutshell, cultural
and educational development conditions technological development, which
conditions economic development, which conditions social development, and this
stimulates cultural and educational development once more. This can be a virtuous
circle of development or a downward spiral of underdevelopment. And the direction
of the process will not be decided by technology but by society, through its
conflictive dynamics.”4
Pemikiran Castells diatas memberikan gambaran mengenai kompleksitas sistem yang
harus dibangun dan disempurnakan, sebelum teknologi informasi dapat memberikan efek
yang optimal. Di pertemuan selanjutnya akan dibahas, bagaimana ketidaksempurnaan sistem
3
4
Castell (2010: 77)
Castells, 1999
akan menimbulkan situasi kurang ideal, yang dapat dipahami sebagai dampak negatif
teknologi informasi pada masyarakat, dalam konteks ini masyarakat Indonesia.
BAB II
IT dan kondisi sosial-budaya masyarakat di Indonesia
Deskripsi Singkat : bahasan mata kuliah ini adalah tentang IT dan bagaimana adaptasinya
dengan kondisi sosial-budaya masyarakat di Indonesia. Dalam mata kuliah ini juga dibahas
tentang dampak-dampak apa saja yang terjadi apabila tidak terdapat adaptasi yang baik antara
IT dan kondisi sosial-budaya pada suatu masyarakat.
Manfaat : Memberikan pemahaman tentang dampak negatif maupun positif pada IT dan
adaptasi nya dengan kondisi sosial-kultural masyarakat dalam pembangunan politik.
Relevansi: Rakyat merupakan subjek kebijakan dan sekaligus pemegang kedaulatan tertinggi
di Indonesia. Pemahaman mengenai situasi sosial-budaya masyarakat Indonesia, dalam
konteks ini dalam kaitannya dengan teknologi informasi akan memberikan gambaran
mengenai tantangan terhadap aplikasi teknologi informasi dalam pemilu, yang akan dibahas
selanjutnya.
Learning Outcomes:
1. Mahasiswa memiliki dasar teori yang cukup tentang IT dan pengaruh adaptasinya dengan
kondisi masyarakat.
2. Mahasiswa dapat mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan di masa depan dari
perkembangan IT pada suatu masyarakat dengan melihat kondisi sosial-kulturalnya.
Sebelum memulai diskusi mengenai keberadaan IT dalam konteks sosio-kultural
masyarakat Indonesia, ada baiknya kita mengingat kembali sebuah pernyataan dari Manuel
Castells pada akhir bab sebelumnya. Dalam artikel bertajuk Information Technology,
Globalization and Social Development, Castells menjelaskan bahwa teknologi informasi
hanya dapat menjalankan fungsinya dengan sempurna jika diimbangi dengan pertumbuhan
aspek-aspek lainnya. Antara lain, Castells menyebut faktor budaya dan pendidikan yang
menjadi basis pengembangan IT sendiri, kemudian pertumbuhan sosial sebagai sebuah aspek
yang terkondisikan oleh IT, yang pada akhirnya akan berimplikasi kepada pertumbuhan
budaya dan pendidikan kembali.5
Lebih lanjut, Castells6 menjelaskan mengenai resiko yang potensial muncul jika salahsatu dari faktor diatas tidak dapat mengimbangi pertumbuhan teknologi. Oleh Castells, IT
diumpamakan sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, IT memungkinkan negara dan
masyarakat untuk dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi melalui modernisasi sistem
dan peningkatan kemampuan kompetitif. Disaat yang bersamaan, ketika negara dan
masyarakat gagal melakukan adaptasi, teknologi informasi akan semakin memperparah
kondisi ketertinggalan. Skenario ini muncul karena kemampuan sebuah negara atau
masyarakat untuk dapat bertransisi ke dalam era informasi sangat tergantung kepada
kapasitas keseluruhan negara atau masyarakat tersebut.
5
6
Castells 1999
ibid
Digital divide
Penetrasi teknologi informasi yang sedemikian cepat terjadi dengan premis bahwa
teknologi tersebut diharapkan membawa dampak positif pada negara dan masyarakat.Pada
kenyatannya, situasi tersebut menimbulkan kekhawatiran mengenai implikasi negatif yang
ditimbulkannya.Telah ditekankan di bagian sebelumnya, bahwa untuk optimalisasi teknologi
informasi diperlukan akselerasi pertumbuhan aspek-aspek lainnya, yaitu budaya, pendidikan
dan sosial.Intinya, pada saat teknologi masuk ke dalam sebuah masyarakat, maka masyarakat
tersebut perlu ikut berubah.Kegagalan sebuah negara dalam memelakukan penyesuaian, yang
pada akhirnya berujung pada ketimpangan sistem dalam menanggapi kemajuan teknologi
informasi adalah Digital Divide.
Istilah digital divide menurut Servon pada dasarnya merujuk kepada kondisi
ketidakmerataan akses terhadap teknologi informasi7. Isu ini merupakan masalah global yang
dihadapi hampir semua bangsa, akan tetapi dampaknya lebih terasa di negara berkembang
atau negara dunia ketiga, salah satunya adalah Indonesia. Lebih lanjut, Servon menunjukkan
adanya pola yang menggambarkan kelompok yang mendominasi pemakaian teknologi
informasi:
High income OECD countries account for over three-fourths of the world’s
Internet users. In virtually all countries, Internet users tend to be young, urban,
male, and relatively well educated and wealthy. In short, the diffusion of
technology both within and between countries has been extremely uneven.
Dengan memakai pola yang dinyatakan Servon tersebut, terlihat bahwa pemakaian
teknologi informasi hanya dinikmati oleh sebagian dari masyarakat.Status sosio-ekonomi,
lokasi geografis, dan tingkat pendidikan menjadi faktor determinan akses terhadap teknologi
informasi. Digital divide tidak secara eksklusif merujuk kepada teknologi informasi dalam
arti perangkat keras saja, akan tetapi juga mencakup internet sebagai sebuah institusi yang
‘hidup’ berkat perkembangan teknologi informasi.
Dalam bahasan mengenai digital divide, perlu dipahami bahwa akses terhadap
teknologi sendiri hanya merupakan salah-satu tahap dari efek yang ditimbulkan oleh situasi
ini. Di aspek teknologi, ketidakmerataan akses terhadap teknologi disebut sebagai technology
divide, yang merupakan awalan dari reaksi berantai digital divide:
“the technology gap is only one link in a causal chain that has bound certain
groups repeatedly to disadvantage. The digital divide is, therefore, a symptom of
a much larger and more complex problem – the problem of persistent poverty
and inequality8
7
8
Servon, 2002: 1
Servon, 2002: 2
Oleh Pippa Norris, digital divide dimengerti sebagai sebuah konsep multidimensi yang
mencakup tiga aspek9:
1. Global Divide
Konsep global divide merujuk kepada perbedaan akses terhadap teknologi informasi
dan internet antara negara industri dan negara berkembang. Telah dibahas sebelumnya
bahwa kehadiran teknologi informasi memciptakan sebuah akselerasi dalam proses
industri dan perekonomian. Infrastruktur dan sistem teknologi informasi membutuhkan
investasi yang besar dalam pembangunannya.
Pada saat negara maju telah berhasil menuai keuntungan dari investasi pada teknologi
informasi, negara berkembang dan tertinggal terkadang baru menginisiasi proses mereka.
Hal ini akan mengakibatkan kesenjangan akselerasi pertumbuhan ekonomi di kedua
negara, seperti yang dinyatakan dalam UN Development Report:
The network society is creating a parallel communication system: one for those
with income, education and literally connections, giving plentiful information at
low cost and high speed; the other for those without connections, blocked by
barriers of time, cost and uncertainty and dependent upon outdated information10
Masalah utama yang dimunculkan dalam bahasan mengenai global divide tidak
berhenti pada kesenjangan akses terhadap teknologi informas oleh negara maju dan negara
dunia ketiga. Tekanan lebih diberikan kepada efek yang timbul akibat kesenjangan
tersebut. Situasi ini tidak akan mudah diselesaikan karena kompleksitasnya. Aspek
finansial, meskipun penting, tetapi bukan yang utama. Masih ada beberapa faktor
determinan lain seperti iklim politik, situasi keamanan, dan juga kondisi sosio-kultural
masyarakat negara tersebut.
2. Social Divide
Tidak kalah penting dari bahasan mengenai kesenjangan antar negara adalah
kesenjangan yang terjadi antar anggota dalam sebuah masyarakat.Internet dan teknologi
informasi yang pada dasarnya penting bagi akselerasi pembangunan menjadi sebuah
permasalahan tersendiri ketika sebagian dari masyarakat tidak mampu mengaksesnya.
Situasi ini terjadi ketika stratifikasi sosial yang selama ini ada dalam masyarakat
berpengaruh terhadap aksesibilitas internet dan teknologi informasi.
Social divide merupakan konsep yang merujuk kepada kesenjangan akses terhadap
informasi antar kelas-kelas sosial dalam sebuah masyarakat. Seperti yang telah dinyatakan
diatas, bebeapa penanda kelas sosial yang menjadi determinan dalam menentukan akses
informasi antara lain adalah status sosio-ekonomi, lokasi geografis, dan tingkat
pendidikan. Penyelesaian masalah ini pun lebih kompleks dari sekedar menyediakan akses
informasi kepada masyarakat.Tingkat pendidikan yang rendah menjadi penghalang
sebagain anggota masyarakat untuk dapat memanfaatkan teknologi. Fasilitasi akses
teknologi informasi belum tentu akan dapat menyelesaikan masalah ini, melainkan malah
dapat menciptakan kompleksitas baru.
3. Democratic Divide
9
Pippa Norris, 2001
___ dalam Norris, 2001: 5
10
Tantangan terakhir pada digital divide terkait dengan potensi teknologi informasi dalam
distribusi kekuasaan dan kemampuannya mempengaruhi politik. Berangkat dari asumsi
bahwa internet dan teknologi informasi memiliki kekuatan dalam politik dan kekuasaan,
maka kesenjangan akses teknologi informasi bisa dipahami sebagai kesenjangan akses
terhadap politik. Situasi ini disebut dengan democratic divide,merujuk kepada kondisi
dimana terdapat perbedaan perilaku kelompok masyarakat yang memiliki akses ke
teknologi informasi dan menggunakannya untuk, membangun animo, memobilisasi, dan
berpartisipasi dalam kehidupan publik.
Kehadiran teknologi digital menjanjikan sebuah peluang baru untuk memfasilitasi
keterlibatan masyarakat dalam isu-isu publik.Cyber activism merupakan salah-satu
contohnya. Ketika internet dijadikan standar untuk keterwakilan pendapat publik, maka
terdapat sejumlah besar ‘suara’ yang hilang, dari kelompok yang tidak memiliki akses
terhadap teknologi informasi. Di saat yang bersamaan, muncul pula ancaman baru seperti
internet bigotry dan terorisme cyber yang dapat merusak stabilitas negara dan masyarakat.
Digital Citizenship
Setelah bahasan umum mengenai Digital Divide, bagian ini akan membahas spesifik
mengenai bagaimana perbedaan akses terhadap teknologi akan berpengaruh kepada dinamika
partisipasi publik di dalam demokrasi digital. Dengan kata lain, bagian ini akan membahas
mengenai perilaku publik sebagai digital citizen.
Mossberger dan kawan-kawan menuliskan definisi digital citizen sebagai:
Those who use the internet every day, because frequent use requires some regular
means of access (usually at home), some technical skill, and the educational
competencies to perform tasks such as finding and using information on the web,
and communicating with others on the internet11
Istilah populer yang sering digunakan untuk menyebut digital citizenship adalah
netizen, atau internet citizen. Istilah ini merujuk kepada sekumpulan orang yang secara aktif
beropini dan melakukan aktivitas dalam ranah dunia maya, Akan tetapi, spesifik pada
bahasan ini, digital citizenship merujuk kepada akses terhadap informasi dan forum
komunikasi seputar politik dan demokrasi di dunia maya.
Saat ini, pergerakan politik serta suara rakyat di dunia maya belum bisa
merepresentasikan realitas politik sesungguhnya.Jumlahnya pun masih tidak terlalu
signifikan dibandingkan dengan partisipasi politik di dunia nyata. Bahasan mengenai digital
divide diatas telah menjelaskan alasan terciptanya situasi ini. Akan tetapi, bukan berarti
bahwa politik online tidak memiliki kekuatan sama sekali. Internet telah berjasa
mengedukasi publik untuk lebih terliterasi dalam hal politik.Ragam informasi dan variasi
sudut pandang dalam melihat kedalam satu kasus melatih publik untuk menjadi lebih kritis.
Interaktivitas dari internet dan media baru memancing keinginan publik untuk berpartisipasi
dan pada akhirnya melahirkan mobilisasi jenis baru.
Lantas, siapakah digital citizen?
11
Mossberger, et. Al. (2007) dalam Mossberger (2008)
Internet telah menjadi ranah publik baru. Akan tetapi, tidak semua kalangan memiliki
akses yang sama. Mereka diidentifikasi sebagai kaum muda dan berpendidikan.Dan
meskipun laki-laki terlihat menunjukkan kecenderungan partisipasi yang lebih besar, pada
akhirnya status sosio-ekonomi lebih berpengaruh dibanding dengan gender.
Hal yang menarik disini adalah bahwa ketika di dunia nyata terlihat sebuah tren bahwa
kaum muda dinilai kurang berminat kepada politik, kecenderungan tersebut tidak berlaku di
ranah digital. Campbell et. All. (1960) juga Wolfinger dan Rosenstone (1980) melihat bahwa
keinginan untuk terlibat dalam politik muncul seiring dengan bertambahnya usia, dengan
usia 45 tahun sebagai ambang batasnya. Akan tetapi, partisipan dan aktivis dunia maya
terdiri dari kaum muda dengan usia rata-rata jauh dibawah ambang batas tersebut.
Kecenderungan ini memperlihatkan sebuah tren politik baru, seperti dinyatakan oleh
Mossberger:
The greater presence of young people in internet politics increases political
participation among the young, and if these trends are sustained, they may result
in greater overall levels of political interest and activity in the future.12
Oleh Krueger13 dijelaskan bahwa internet mampu untuk memancing keingintahuan
partisipasi bagi sekelompok orang yang di kesehariannya tidak menunjukkan minat samasekali, dan kecenderungan yang terjadi adalah kelompok orang tersebut merupakan kaum
muda. Portal media interaktif, sosial media dan jejaring menjadi media penetrasi dan
pembelajaran internet yang menarik bagi kelompok ini. Familiaritas terhadap media-media
berbasis teknologi informasi telah membantu asimilasi pengetahuan serta memancing
partisipasi mereka tanpa disadari.
Internet dan Kesenjangan politik
Terlepas dari fenomena yang terjadi pada kaum muda, pada dasarnya internet hanya
menjadi pengulangan untuk apa yang terjadi di dunia nyata. Publik yang terlibat secara aktif
dalam diskusi politik di dunia maya terbukti berasal dari kelompok yang sama dengan
mereka yang menunjukkan keaktifan di dunia nyata. Permasalahan ini kembali kepada isu
digital divide.
Di dunia nyata, politik sudah diketahui menjadi ‘permainan’ sekelompok orang dengan
akses terhadap informasi serta latar belakang sosio-ekonomi yang memadahi.Berarti, politik
bukanlah konsumsi untuk seluruh anggota masyarakat. Sisi gelap dari keberadaan internet,
disamping memberikan beberapa keuntungan, adalah potensi untuk memperparah keadaan
tersebut. Hal ini didukung oleh Alvarez dan Nagler:
Research that demonstrates heightened political interest and activity based on
internet use would also suggest an intensification of existing disparities rooted in
education (and income) if those who are mobilized are predominantly more
advantaged citizens.14
12
dalam Chadwick (2008)
13
14
Alvarez dan Nagler(2002) dalam Mossberger (2008)
Inti dari pemikiran Alvarez dan Nagler diatas adalah sebuah kondisi dimana internet
masih merupakan hak istimewa untuk mereka yang memiliki status sosial tertentu. Latar
belakang ras dan kultur, meski bukan merupakan determinan, juga bisa mempengaruhi
dinamika ini. Sebagai tambahan, halangan bahasa juga menjadi faktor penentu. Sebagian
besar informasi yang beredar di internet, serta bahasa universal yang digunaan di dunia maya
adalah Bahasa Inggris. Ketidak mampuan berbahasa inggris akan menciptakan limitasi yang
signifikan bagi seorang individu dalam mengakses serta berpartisipasi di dunia maya dalam
kapasitasnya sebagai digital citizen.
Adapun beberapa parameter yang dapat digunakan untuk melihat peta keaktifan
seorang individu sebagai digital citizen, ditegaskan oleh Mossberger, adalah sebagai berikut:
1. Frekuensi akses serta aktivitas penggunaan teknologi informasi
Studi yang dilakukan oleh Jung15 mengatakan bahwa semakin tinggi akumulasi
waktu mengakses internet, maka orang tersebut akan lebih mudah menemukan
informasi-informasi yang dibutuhkannya. Lebih lanjut, terdapat pula studi yang
membuktikan bahwa semakin lama seseorang aktif di dunia maya, semakin besar
pula kemungkinan orang tersebut berpartisipasi dalam politik di dunia digital16.
2. Kemampuan teknis dan literasi informasi
Literasi informasi adalah “the ability to search for, locate, evaluate, and use
information online.”17 Istilah tersebut terkait dengan beragamnya sumber dan jenis
informasi di internet, yang dapat menimbulkan ekuivokalitas. Oleh karena itu,
kemampuan untuk menemukan, memilih, dan menggunakan informasi yang
ditemukan online sangatlah penting.
3. Kemampuan ‘membaca’ (reading comprehension)
Internet merupakan media yang sarat dengan teks.Ketidakmampuan atau keengganan untuk
menyelesaikan sebuah teks dan hanya mengutip satu bagian tertentu dapat menimbulkan
salah tafsir informasi.
15
dalam Mossberger (2008)
Howard (2001) serta DiMaggio dan Celeste (2004), dalam Mossberger (2008)
17
Mossberger (2008)
16
BAB III
Teknologi Informasi dalam Dinamika Politik dan Demokrasi
Deskripsi singkat : bahasan pada mata kuliah ini adalah peran teknologi informasi dalam
mengatasi isu-isu dalam politik dan demokrasi suatu negara. Teknologi informasi diperlukan
sebagai media penyalur hak-hak demokrasi seseorang dalam suatu negara, namun terdapat
beberapa aspek yang harus diperhatikan agar sistem media teknologi informasi ini benarbenar mampu membantu mengatasi dinamika politik dan demokrasi.
Manfaat : memberikan pemahaman tentang peran teknologi informasi sebagai salah satu
jawaban dari masalah politik demokrasi.
Relevansi :
Pemahaman mengenai implikasi teknologi informasi dalam konstelasi politik dan demokrasi
akan menjadi basis kontekstual dalam mempelajari aplikasi teknologi informasi pada proses
pemilu, yang merupakan perwujudan demokrasi.
Learning Outcomes :
1. mahasiswa memiliki basis kontekstual tentang aplikasi teknologi informasi pada proses
pemilu
2. mahasiswa memiliki pengetahuan yang cukup tentang teknologi informasi dan perannya
dalam mengatasi isu politik
Prinsip demokrasi yang dianut sebuah negara menyaratkan adanya hak yang setara
untuk seluruh warga negara, melalui badan representatif. Keputusan yang diambil oleh badan
representatif pada teorinya akan mewakili suara rakyat. Akan tetapi, pada prakteknya teori
tersebut memiliki banyak kendala.Ketiadaan media penyalur aspirasi dimana rakyat dapat
menyuarakan hak-nya menjadi penghalang yang besar. Media massa konvensional memiliki
halangan berupa umpan balik tidak langsung, yang akan memperlambat jalannya proses
demokrasi. Kondisi ini akan semakin parah jika media massa dominan memiliki
keberpihakan kepada pemilik modal atau kekuasan tertentu, dan negara sebagai pengawas
dan pembuat regulasi tidak melakukan pengaturan yang ketat.
Kehadiran teknologi informasi memberikan alternatif solusi untuk permasalahan diatas.
Teknologi informasi dan internet menjadi primadona dalam riset ilmu sosial terkait dengan
politik dan demokrasi. Kajian mengenai politik dan internet telah menjadi salah satu topik
utama dalam riset-riset multidisipliner dalam ranah ilmu sosial. Mulai dari debat mengenai
implikasi internet pada kampanye sosial, isu keamanan nasional, citizen journalism sebagai
wujud partisipasi publik, hingga bahasan mengenai regulasi dan intervensi negara dalam
ranah dunia maya.
Bahasan mengenai bagaimana internet mewarnai isu politik dan demokrasi dapat
dikategorikan ke dalam empat aspek utama yaitu institusi, perilaku, identitas, dan regulasi.
Sebelum membahas masing-masing aspek diatas secara lebih dalam, ada baiknya kita menilik
sebuah pendekatan kepada relasi internet dan politik yang berfokus kepada teknologi oleh
O’Reilly:
the seven principles are: the internet as a platform for political discourse; the
collective intelligence emergent from political web use; the importance of data
over particular software and hardware applications; perpetual experimentalism in
the public domain; the creation of small-scale forms of political engagement
through consumerism; the propagation of political content over multiple
applications; and rich user experiences on political websites.18
Chadwick19 mencoba menjelaskan mengenai bagaimana ketujuh prinsip tersebut
berkontribusi dalam pemahaman politik internet:
1. The internet as a platform for political discourse.
Inti dari tema ini adalah pemikiran bahwa web telah bergeser dari kondisi statis,
menjadi sebuah alat/modal untuk mengerjakan berbagai hal.Kondisi ini dimungkinkan
dengan adanya layanan perangkat lunak berbasis jaringan. Sifat dinamis ini pada
akhirnya akan dapat memfasilitasi partisipasi politik di segala level, mulai dari
kampanye, pembentukan dan media ekspresi opini publik, pengawasan, hingga pada
proses pemilu.
2. Collective intelligence.
Pemikiran ini berbasis pada pemikiran bahwa internet memungkinkan semua orang
yang memiliki kapasitas untuk berkontribusi menciptakan produk informasi.
Sehingga, produksi informasi tidak hanya didominasi oleh otoritas atau pemilik
modal.
3. The importance of data.
Pemikiran ini menyatakan bahwa Web era 2.0 dicirikan dengan adanya informasi
agregat yang amat besar. Basis data tersebut dapat diakses secara terbuka, dan mereka
yang memiliki kejelian untuk mencari, mengolah dan melindungi data akan menjadi
pihak yang dominan.
4. Perpetual experimentalism in the public domain.
Web 2.0 lahir sebagai hasil dari eksperimen berkelanjutan yang dilakukan terhadap
sistem dan pemakainya. Selain menggambarkan proses pengembangan Web,
eksperimentalisasi tersebut juga mengindikasikan adanya perubahan cara pandang dan
cara kerja menjadi lebih cair dan kolaboratif.
5. The creation of small-scale forms of political engagement through consumerism dan
the propagation of political content across multiple applications
Kedua ide diatas saling terkait dalam menggambarkan beberapa aspek penting dalam
sistem politik baru. Web 2.0 mensyaratkan adanya keterbukaan dalam akses data.
Melalui berbagai platform dan aplikasi, Web 2.0 sendiri secara langsung
memfasilitasi diseminasi informasi.Tema ini menyatakan bahwa penguasaan dan
pelarangan akses terhadap informasi dalam ranah Web menjadi sesuatu yang tidak
dibenarkan, karena informasi tersebut merupakan agregat data yang juga beraal dari
publik.
18
19
O’Reilly (2005) dalam Chadwick (2008: 21)
2008
6. Rich user experiences on political websites.
Pemikiran ini menekankan keterlibatan user dalam politik, yang difasilitasi oleh
aplikasi yang mengatur interaktivitas user dan sistem dalam proses pengambilan,
perubahan dan penyimpanan data. Salah satu contoh yang paling menonjol adalah
bagaimana Youtube menjadi fasilitator ekspresi publik dalam memberikan dukungan
atau kritik dalam proses demokrasi.
Dalam artikel yang berjudul Democracy Functions of Information Technology, Liden
dan Avdic20 mendefinisikan demokrasi sempurna sebagai “a political government based on
Citizen control, State governed by Law and Ability to Carry out Political Decisions. Dalam
definisi tersebut, terdapat beberapa elemen yang harus dipenuhi dalam mewujudkan
demokrasi seutuhnya:
“Citizen control is basically connected to the opinion that all citizens have equal
rights regarding their importance, their participation in the creation of public
opinion and the decision making process, their resources in aspects of economics,
organisation, knowledge, competence, self-confidence and their contacts with
influential people. It means that equal citizens participate in a dialog and make
decisions on topics they have brought to the agenda themselves.21
State governed by law means that the citizens have fundamental constitutional
rights. The public government satisfies the demand of law and order and the
power of the public government is organized according to the principal of
“sharing the power”, which means that some public organisations have the
mission to control and value other public organisations.
Ability to carry out political decisions is essential in order to distribute to the
citizens the benefits they are entitled to.”
Dalam konteks diatas, perlu digaris bawahi bahwa teknologi informasi merupakan
sebuah institusi yang bebas nilai.Dalam arti, teknologi informasi itu sendiri bekerja
dengan basis kebutuhan dan keperluan dari pihak yang menggunakannya.Dengan
demikian, teknologi itu sendiri pada dasarnya tidak dapat menjadi sebuah jaminan
terlaksananya demokrasi.Melainkan, harus ada sistem yang mengatur supaya teknologi
informasi itu sendiri dapat bekerja untuk kepentingan negara dan seluruh rakyat.
20
21
Liden dan Avdic (2003)
Petersson (1990) dalam Liden dan Avdic (2003: 1)
BAB IV
IT dan Partai Politik
Deskripsi singkat :pada sesi mata kuliah ini akan membahas bagaimana teknologi informasi
akan merubah perilaku partai politik dalam pemilu pasca eksistensi teknologi informasi.
Lebih spesifik, bahasan akan berkisar kepada peran teknologi informasi dan komunikasi
dalam menjembatani relasi dalam dan antar organisasi politik.
Manfaat : memberikan pemahaman dan penjelasan bagaimana teknologi dapat
mempengaruhi perilaku parpol dalam pemilu dan dampak-dampak yang harus dihadapi, serta
isu apa saja yang ditimbulkan dari aplikasi teknologi informasi pada parpol.
Relevansi : pemahaman ini diperlukan untuk membantu mahasiswa melihat peran IT pada
partai politik dan mengaplikasikan dengan bijak untuk kepentingan politik sebagai jembatan
relasi dalam dan antar organisasi politik.
Learning Outcomes :
1. mahasiswa mendapatkan basis teori yang cukup tentang peran IT pada partai politik
2. mahasiswa dapat mengantisipasi penggunaan IT sebagai salah satu media politik
3.mahasiswa mampu menganalisis peran IT dalam pengelolaannya terhadap organisasi
politik.
Dalam konteks relasi dalam organisasi politik, akan dibahas mengenai penggunaan teknologi
informasi pada aktivitas penggalangan dukungan, serta bagaimana parpol memanfaatkan
internet untuk keputusan strategis dalam upaya parpol untuk berbicara dengan publik yang
lebih luas. Sementara untuk konteks relasi antar organisasi politik, akan dibahas mengenai
pengaruh teknologi informasi dalam upaya mengadapi persaingan antar kandidat dalam satu
periode pemilu, dan bagaimana teknologi informasi meningkatkan pluralisme dan mengubah
parameter tradisional mengenai demokrasi.
Perubahan dalam Organisiasi Politik pasca Teknologi Informasi
Intensitas dan animo publik untuk berpartisipasi dalam politik mengalami pasang surut
dengan konstan.Meski pada dasarnya aktivitas politik masih tetap ada, tapi wujudnya sudah
mengalami perubahan yang drastis. Kehadiran internet ke dalam arena politik menambah
kompleksitas situasi.
Untuk lebih jelas memahami peran teknologi informasi dalam kompleksitas internal partai
politik, Ward dan Gibson22 membaginya ke dalam tiga ranah besar:
1. Proses rekrutmen dan penggalangan dukungan
Teknologi informasi dipandang sebagai satu solusi untuk metode rekrutment
supporter partai politik, yang dapat menggalang keikutsertaan dari berbagai golongan
22
Dalam Chadwick (2008)
sosial.Dinamika dan ragam kanal yang disediakan dengan basis tokenologi informasi
dapat menjangkai kalangan yang sebelumnya tidak teridentifikasi sebagai potensi
pendukung.
Singkatnya, teknologi informasi tidak hanya memudahkan keperluan administratif
seperti menjaga relasi dengan pendukung, tetapi juga menyediakan kanal marketing
baru bagi partai politik untuk menyentuh masyarakat global.
2. Meningkatkat partisipasi dan aktivisme pendukung partai politik
Internet dan teknologi komunikasi membuka peluang bagi partisipan dan pendukung
untuk mengekspresikan dukungan dan opini mereka.Media baru menyediakan
berbagai fasilitas seperti sosial media, forum diskusi virtual, serta berbagai bentuk
cyber activism yang dapat digunakan para partisipan untuk mengekspresikan
dukungan mereka.
Batasan jarak dan waktu yang ada pada media tradisional menjadi tidak relevan
dengan adanya teknologi informasi.Partai politik dapat dengan cepat memperoleh
umpan balik dan opini pendukung (maupun pendukung lawan) mengenai segala
aktivitas dan kebijakan yang dikeluarkannya. Dengan demikian, disaat yang sama
partai politik dapat melakukan data mining mengenai favorability-nya melalui
teknoogi informasi.
3. Demokrasi Internet dan perubahan hirarki partai politik
Pemakaian teknologi informasi secara langsung maupun tidak berpengaruh kepada
hirarki di dalam partai politik.Pada hirarki vertikal, para pemimpin partai politik
menjadi subjek evaluasi dari publiknya.Hal ini dikarenakan teknologi informasi
membuka peluang untuk pengawasan yang lebih cepat dan langsung.Hal ini dapat
meningkatkan akuntabilitas di mata publik.
Selain implikasi pada aspek internal organisasi partai politik, teknologi komunikasi
juga membawa perubahan pada konstelasi persaingan antar partai.Lansekap demokrasi ikut
menjadi objek yang berubah dengan maraknya penggunaan teknologi informasi. Beberapa
sudut pandang mengenai implikasi kehadiran teknologi informasi pada partai politik
diidentifikasi oleh Ward dan Gibson menjadi:23
1. Direct democracy
Kemunculan Internet memperlaju proses ‘kematian’ demokrasi representatif melalui
deinstitusionalisasi. Di bagian sebelumnya telah dijelaskan bagaimana internet
memangkas hirarki dalam organisasi, akibat peluang untuk mendapatkan masukan
langsung dari rakyat.
Posisi wakil rakyat semakin lama menjadi semakin tidak relevan ketika rakyat tidak
lagi memerlukan wakil untuk menyuarakan pendapatnya.Jajaran eksekutif
pemerintahan dapat dengan mudah mengetahui pendapat aktual dari rakyat melalui
media sosial dan forum diskusi virtual, sehingga mediasi parlemen tidak lagi
diperlukan.Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa kehadiran teknologi dapat
menghapus posisi simbolik institusi parlemen.
23
Dalam Chadwick (2008)
2. Equalization
Dalam menjelaskan ide mengenai ‘penyetaraan’ (equalization), Ward dan Gibson
menulis:
Notions of accelerated pluralism or equalization indicate that outsider,
oppositional, or fringe organizations are likely to benefit disproportionately from
the rise of new ICTs and potentially pose more of a challenge to the mainstream
political establishment.
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa teknologi informasi telah melahirkan tantangan
baru dalam konstelasi persaingan partai politik, yaitu dengan menghadirkan kontestasi
kekuatan dari pihak eksternal, antara lain lawan politik, pengamat dan organisasi yang
merupakan pressure group dari partai. Secara singkat, teknologi informasi merubah
posisi kekuatan partai politik dengan memberikan cara pada para organisasi di luar
partai politik tersebut untuk menyeimbangkan kekuatan.
3. Normalisasi
Arus pemikiran terakhir mengenai implikasi teknologi informasi terhadap partai
politik mengungkapkan skeptisme terkait dengan ada/tidaknya pengaruh yang
ditimbulkan. Pendapat ini dikemukakan salah satunya oleh Resnick, yang
dikutipmoleh Ward dan Gibson:
Resnick (1998) argues that although it was originally a playground for the
alternative and anarchic increasingly the internet has been normalized. In the
political sphere, this means that the large traditional political forces will come to
predominate as they do in other media.
Argumen Resnick menjelaskan bahwa meski awalnya teknologi informasi dan
internet sempat menimbulkan riak, seiring dengan waktu kehadirannya dapat diterima
sebagai sesuatu yang normal. Proses normalisasi teknologi informasi ini dirorong oleh
4 hal:24
a. Komersialisasi dan dominasi internet oleh sektor bisnis, yang
mengesampingkan politik di dalam dunia virtual.
b. Fragmentasi; yaitu pandangan bahwa internet bukanlah media untuk
menjangkau seluruh kalangan, melainkan pengkotak-kotakan publik menjadi
kelompok yang lebih kecil dan tidak mudah dilacak keberadaannya. Terelebin
untuk kelompok yang sedari awal tidak memiliki ketertarikan kepada politik.
c. Kebutuhan akan keahlian baru; yaitu pandangan yang tidak menyetujui
pendapat bahwa teknologi informasi menyediakan media yang low-cost.
Pandangan ini berangkat dari fakta bahwa dalam pengelolaan teknologi
informasi, diperlukan investasi yang besar, tidak hanya untuk infrastruktur
maupun piranti, akan tetapi juga orang-orang yang berkompetensi untuk
mengelolanya.
d. Tidak terkontrol; Internet sebagai ranah publik membutuhkan satu set regulasi
24
Resnick (1998) dalam Ward & Gibson (2008)
yang belum tentu tersedia di semua negara. Kurangnya regulasi yang
mengatur pemakaian internet dan teknologi komunikasi mengakibatkan
ketidak-terdugaan yang terkadang tidak diinginkan.
Adanya keberagaman pendapat dan arus pemikiran dalam menentukan signifikansi
teknologi informasi pada dinamika partai politik menimbulkan sebuah kompleksitas.Apakah
teknologi informasi dapat memberikan solusi pengelolaan partai politik yang lebih
baik?Pertanyaan ini tidak dapat dijawab secara normatif.Situasi yang dihadapi masingmasing negara, dengan sistem politik dan karakter partai yang berbeda membutuhkan sudut
pandang yang fleksibel, serta kerangka kerja yang relatif.
Ward dan Gibson menjelaskan, setidaknya ada tiga syarat utama terkait dengan
pemakaian teknologi informasi di organisasi politik:
1. Struktur peluang teknologi yang sistemik; terkait dengan parameter dimana teknologi
dapat diterapkan dalam organisasi. Dua ranah besar determinan penerapan teknologi
adalah pada lingkungan media—dalam arti iklim media konvensional serta
infrastruktur teknologi informasi, dan politik—terkait dengan struktur organisasi serta
konstelasi politik negara dimana partai tersebut berada.
2. Kapasitas organisasi; terkait dengan kemampuan organisasi itu sendiri dalam
memanfaatkan teknologi komunikasi. Beberapa faktor deteminan adalah alokasi
waktu dan kemampuan praktis.
3. Insentif organisasi; terkait dengan keuntungan yang dapat ditambang melalui
penerapan teknologi informasi. Beberapa faktor determinan yang menentukannya
adalah ideologi partai, target komunikasi partai, usia partai, serta status/posisi partai
politik.
BAB V
IT dan kampanye politik
Deskripsi singkat : sesi ini membahas tentang peran Teknologi informasi dalam
mempermudah aksi kampanye politik sebagai bagian dari demokrasi. Bahasan ini secara
mendalam juga menjelaskan model-model teknologi informasi apa saja yang dapat
diaplikasikan pada proses kampanye politik suatu komunitas maupun individu dan bagaimana
hal tersebut memberikan pengaruh pada masyarakat.
Manfaat : memberikan pemahaman tentang pengaruh teknologi informasi pada kampanye
politik dan dampaknya pada masyarakat.
Relevansi : pemahaman ini membantu mahasiswa dalam melihat peran IT pada kampanye
politik dan membantu mahasiswa mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi
pada penggunaan IT untuk kepentingan kampanye politik pada suatu negara.
Learning Outcomes :
1. mahasiswa memiliki dasar teori tentang IT dan penggunanaannya pada kampanye politik
2. mahasiswa dapat memprediksi dan mengantisipasi dampak penggunaan It pada kampanye
politik
3. mahasiswa dapat mengidentikasi metode-metode penggunaan IT pada kampanye politik
4. mamhasiswa memahami cara strategis yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat
dalam pemggunakan IT untuk kampanye politik.
Teknologi informasi khususnya internet yang berkembang dengan sangat pesat telah
merubah lansekap kampanye politik. Meski dampak teknologi informasi sendiri bukanlah
sebuah determinan, yang fenomenanya dapat digeneralisasikan secara global. Indonesia
sendiri telah merasakannya pada proses kampanye pemilihan Presiden tahun 2014 kemarin.
Upaya komunikasi yang dilakukan oleh partai politik, serta partisipasi dan animo publik
sangat terasa di ranah sosial media serta jejaring sosial. Aman ketika kita berasumsi bahwa
kepopuleran Joko Widodo di mata publik amat terpengaruh dengan fakta dana opini yang
tersirkulasi di internet.
Perbedaan besar pengaruh teknologi informasi dalam proses kampanye politik pada
dasarnya menjelaskan bahwa teknologi politik itu sendiri bukanlah alasan utama berubahnya
pola dan proses kampanye politik. Seperti yang dinyatakan oleh Anstead dan Chadwick25,
teknologi dapat merubah sebuah institusi, tetapi institusi tersebutlah yang akan memediasi
wujud perubahan yang terjadi. Lebih lanjut, klaim terhadap efek dari kampanye melalui
media baru terhadap kemenangan kandidat/partai politik itu sendiri belum memiliki bukti
yang signifikan, seperti dinyatakan oleh Gibson dan McAllister:
While there is little dispute about the Internet’s importance in the modern
campaigner’s tool box, systematic empirical investigation of these claims has been
25
2008
quite limited.26
Teknologi informasi semakin sering dilibatkan dalam proses kampanye politik melalui
berbagai cara. Kampanye politik sedikit banyak mengandalkan teknologi informasi untuk
menyebarluaskan informasi, menarget, dan memobilisasi dukungan. Perencanaan strategi
kampanye mulai mengandalkan database management dan aplikasi berbasis internet untuk
kebutuhan identifikasi, monitoring dan berkomunikasi dengan pemilih. Teknologi juga
digunakan pada tataran teknis rekrutmen dan manajemen staf dan sukarelawan, melacak
pengeluaran dan pemasukan, serta pemberitahuan kepada publik mengenai regulasi dan
kebijakan. Analis dan pemerhati juga mengandalkan internet untuk mendapatkan data
favorabilitas kandidat.
Salah satu faktor yang menjadikan teknologi informasi sebagai pilihan utama adalah
reliabilitas dalam pengukuran.Segala aktivitas yang dilakukan di sosial media terekam dalam
arsip—sering disebut sebagai jejak digital (digital footprint).Jejak tersebutlah yang
memungkinkan para ahli komunikasi untuk menarget audiens/user media baru, dengan
memperhatikan relevansi dari minat dan aktivitasnya.
Beberapa aktivitas penggunaan teknologi informasi terkait dengan kampanye politik
yang paling lazim dilakukan adalah:27
Penggalangan Dana:
Aktivitas penggalangan dana mungkin terdengar baru di Indonesia. Hanya di pemilihan
presiden tahun 2014 kemarin-lah untuk pertama kali pendukung Presiden Joko Widodo
melakukan penggalangan dana sukarela. Akan tetapi, praktek ini lazim dilakukan di luar
negeri. Jika sebelumnya kandidat mengandalkan dana pribadi ataupun donatur dari pihakpihak yang memiliki kekuatan finansial yang besar, maka hal tersebut berubah semenjak
adanya internet. Penggalangan dana dilakukan melalui web, dan dijadikan simbol
dukungan dan kredibilitas, akibat kepercayaan publik yang diberikan kepada kandidat
tersebut. Internet memungkinkan cara-cara baru yang lebih melibatkan pendukung dan
publik.Kanal-kanal video, pesan personal, dan berbagai outlet media lainnya menjadi
jembatan antara kandidat dan publik, dan disaat yang bersamaan membangun perasaan
familiar antara keduanya.Familiaritas inilah yang menyentuh benak publik, yang mungkin
tidak terlalu berminat terhadap politik, tetapi melihat kandidat sebagai sosok ‘human’.
.
Viral Video
Teknologi video digital dapat menjadi salah satu ujung tombak kampanye politik. Video
yang beredar secara viral di internet dapat menjadi penentu hidup mati karir politik
seorang kandidat. Dengan memanfaatkan video yang imajinatif dan edgy, kandidat bisa
meraih sukses dengan pemilih yang teridentifikasi sebagai digital enthusiast.Video viral
26
27
2011
juga merupakan media yang cocok bagi simpatisan untuk dapat mengungkapkan
dukungan mereka.
Salah satu keuntungan video viral adalah aksesibilitas yang tinggi. Cukup dengan
menggunakan ponsel yang memiliki koneksi internet, semua orang dapat menciptakan
sebuah konten dari manapun dan kapanpun. Keuntungan lain adalah bahwa video viral
sangat traceable, sehingga pihak partai dan kandidat dapat memperkirakan
dukungan/tantangan dari penghitungan view/streaming count sebuah video, atau seberapa
banyak video tersebut dibagikan.
Meski demikian, video viral juga bukannya bebas resiko. Internet sampai sekarang masih
menjadi ranah dimana pesan beredar dengan tidak terkontrol, sehingga potensi video viral
dapat berubah menjadi potensi yang digunakan untuk black campaign. Tetapi, setidaknya
internet mengeliminasi halangan finansial dan menyediakan equal opportunity bagi
seluruh pihak yang terlibat di dalam kampanye, baik prtai, kandidat, maupun simpatisan,
untuk dapat melakukan hal yang sama.
Blogs, Citizen Journalism, dan Sumber Berita Online
Blogger merupakan orang-orang yang memiliki power pada audiense-nya.Seorang blogger
dapat membentuk dan merubah opini sekelompok orang untuk mengikuti pemikiran
mereka. Meskipun jumlah audiensmsing-masing blogger bisa jadi tidak terlalu besar, jika
partai atau kandidat mampu menarik simpati para blogger, hasilnya akan sangat
kontributif terhadap hasil kampanye. Hal ini terlihat pada kampanye presiden Indonesia
tahun 2014.Banyak blogger ternama di Indonesia secara terbuka menyatakan dukungan
mereka kepada CapRes Joko Widodo, dan secara aktif mengomunikasikan dukungan
tersebut melalui berbagai cara.
Jika melihat tren yang terjadi, pengaruh blog dan bloggers akan terus bertambah besar.
Partai politik dan kandidat di Indonesia belum cukup memperhitungkan entitas ini dengan
strategis.Analis juga belum terlalu memperhitungkan implikasi dukungan para blogger
terhadap pembentukan opini publik mengenai kandidat di Indonesia.Padahal, potensi yang
dapat diberikannya amatlah besar.
Pertama, para blogger bekerja dengan basis sukarela.Mereka memiliki kode etik untuk
menyatakan jika konten blog mereka adalah opini mereka sendiri, hasil dari sumber lain,
atau merupakan konten bersponsor.Hal ini menjadikan blogger sebagai sumber yang
memiliki integritas.Kedua, blogger memiliki kreativitas yang terkadang tidak terpikirkan
oleh pelaku kampanye.Ketiga, blogger memiliki kekuatan dalam menciptakan opini publik
di kalangan tertentu, yang tersegmentasi dan dengan mudah diidentifikasi.
Para blogger yang merupakan citizen journalist juga merupakan sumber informasi
alternatif bagi masyarakat yang merasa bahwa media terlalu berpihak ke salah-satu
kandidat.Dalam blog tersedia forum diskusi dimana para pengunjung dapat berdebat dan
mencapai persetujuan untuk sebuah opini.Hal ini memancing feedback dan partisipasi dari
masyarakat luas. Di saat yang sama, blogger dan citizen journalist menjadi ‘mata’ publik,
melakukan pengawasan terhadap media, dan pelaksanaan kampanye politik itu sendiri.
Jejaring sosial
Para ilmuwan sosial telah lama mengakui kekuatan jejaring sosial dalam mempengaruhi
perilaku politik28.Beberapa tahun terakhir ini, kemajuan teknologi telah menjadikan media
dan jejaring sosial sebagai ajang diskusi, pertukaran ide, dan bahkan media untuk
menggerakkan publik dalam sebuah kampanye sosial. Jumlah pemakai media sosial hanya
akan terus bertambah di setiap tahunnya, dan jumlah tersebut merepresentasikan angka
nyata yang harus diraih oleh kandidat politik.
Kandidat juga dapat memanfaatkan jejaring dan media sosia untuk berkomunikasi kepada
publik.Media dan jejaring sosial dapat menjadi satu alat untuk mendekatkan diri kandidat,
menciptakan familiaritas, dan pada akhirnya memupuk simpati publik untuk memberikan
dukungan.Keuntungan media sosial adalah keterukurannya. Twitter dan Facebook,
setidaknya, memiliki alat penghitung untuk jumlah interaksi dari sebuah konten yang
tercipta di dalamnya. Keterukuran ini tidak akan pernah bisa ditandingi oleh media
tradisional manapun, yang mana menjadikan media dan jejaring sosial sebuah aset penting
dalam kampanye politik.
Dari deskripsi masing-masing deskripsi diatas diatas, dapat disimpulkan bahwa
teknologi informasi sangat potensial untuk dijadikan alat strategis bagi kampanye politik.
Keterukuran, umpan balik langsung, dan opini yang jelas akan dapat menyumbang ke basis
data kampanye, serta memberikan gambaran mengenai peta keberpihakan publik pada
masing-masing kandidat. Selain itu, teknologi informasi dapat digunakan sebagai cara untuk
melakukan data mining, karena internet menyediakan informasi yang tak terbatas. Rekam
jejak yang ada di internet pun akan dengan mudah mematahkan serangan kepada kandidat,
dan menjadikan iklim kampanye menjadi lebih kondusif.
28
(Huckfeldt and Sprague 1995)
BAB VI
Teknologi Informasi, Kebijakan, dan regulasi pemilu
Deskripsi singkat : bahasan ini tentang mengenai regulasi dan kebijakan menyangkut
teknologi informasi, baik pada teknologi informasi itu sendiri maupun kepada pengguna
teknologi informasi, yaitu tentang perilaku pemakaiannya. Selain itu, sesi ini juga membahas
dampak-dampak dari aplikasi regulasi itu sendiri.
Manfaat : memberikan gambaran tentang pentingnya kebijakan dan regulasi dari pemerintah
terkait penggunaan teknologi informasi sehingga teknologi informasi dapat dirasakan
manfaatnya bagi pembangunan.
Relevansi : pemahaman tentang teknologi informasi, kebijakan dan regulasi pemilu ini
diperlukan agar mahasiswa mengerti regulasi yang diperlukan dalam penggunaan teknologi
informasi pada pemilu dan mengantisipasi dampak yang terjadi dari regulasi yang
diberlakukan.
Learning Outcomes :
1. mahasiswa memiliki pemahaman tentang pentingnya regulasi IT dan kebijakan pada
pemilu
2. mahasiswa dapat mengantisipasi dampak yang terjadi dari sebuah regulasi penggunaan
IT terkait pemilu
3. mahasiswa dapat mengindetifikasi regulasi IT apa saja yang diperlukan dalam membantu
pembangunan politik melalui pemilu.
Topik regulasi pemilu elektronik pada dasarnya akan mencakup dua ranah besar, yaitu
regulasi mengenai teknologi informasi—sebagai prasarana dan sekaligus sarana pemilu
elektronik, regulasi mengenai perilaku pemakaian teknologi informasi, serta regulasi yang
dibutuhkan untuk mengatur proses pemilu elektronik itu sendiri. Untuk melaksanakan
demokrasi digital, khususnya pemilu elektronik, ketiga set peraturan tersebut wajib ada
sebagai penyeimbang antara proses dan infrastruktur.
Regulasi mengenai Teknologi Informasi
Ranah regulasi teknologi informasi sebagai sarana dan prasarana pemilu sangat terkait
dengan bahasan sebelumnya, yaitu kondisi sosio-kultural masyarakat. Melalui bahasan
sebelumnya, telah diketahui bahwa kegagapan adaptasi terhadap teknologi informasi
berimplikasi kepada situasi digital divide. Cukup mustahil membayangkan pelaksanaan
pemilu elektronik di suatu negara yang sebagian besar rakyatnya bahkan tidak memiliki
literasi internet.
Situasi digital divide memerlukan regulasi sebagai salah satu fungsi kontrol, serta
jembatan yang mengatasi kondisi tidak menguntungkan tersebut. Sayangnya, saat ini
sebagian besar peraturan terkait teknologi informasi di dunia masih gagal menjalankan fungsi
tersebut.Pasalnya, sebagian besar regulasi dibuat dengan mengasumsikan bahwa subjek
merupakan kelompok yang sudah memiliki akses kepada teknologi informasi. Regulasi yang
ada hanyalah sebatas mengatur perilaku para pengakses internet saja. Sementara, tidak ada
satupun regulasi yang menjadikan kelompok yang belum memiliki internet sebagai subjek,
yang intinya mengusahakan supaya anggota kelompok ini dapat secara perlahan bermigrasi
ke dalam kelompok yang melek teknologi informasi.
Yang menjadi masalah yang lebih mendasar dari sekedar ketiadaan satu set regulasi
atau kebijakan saja. Melainkan, regulasi dan kebijakan ini dibuat dengan beban yang amat
berat, yaitu menciptakan sebuah mindset serta perilaku baru di dalam masyarakat.Di
Indonesia, terlebih lagi, sebuah negara dimana digital divide masih berada pada tahapan
paling fundamental, yaitu perbedaan akses terhadap teknologi informasi dalam pengertiannya
sebagai objek. Ketika sebagian kecil dari masyarakat sudah menggunakan telepon genggam
dengan kecepatan koneksi 4G/LTE, ada bagian yang lebih besar dari masyarakat yang sama,
yang bahkan tidak memiliki telepon genggam, atau hanya memiliki telepon genggam tanpa
akses internet.
Pertanyaanya, kebijakan macam apakah yang dibutuhkan untuk mengatasi kondisi ini?
Mossberger mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan membuat sebuah daftar
mengenai apa saja yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk dapat mengatasi kondisi
digital divide:29
1. Pembuatan jaringan broadband yang mencakup seluruh teritori negara
Di Indonesia, internet masih diposisikan sebagai barang kebutuhan tersier. Seperti
halnya informasi/media massa, keberadaannya dalam sebuah rumah tangga belum
merupakan sebuah keharusan. Membayar biaya berlangganan internet, untuk sebagian
masyarakat, masih merupakan beban. Terlebih lagi ketika mereka harus terlebih
dahulu membeli piranti teknologi (komputer/laptop, telepon genggam atau tablet)
untuk dapat mengakses internet.
Dengan adanya teknologi broadband yang merambah ke seluruh wilayah, atau
setidaknya area berpopulasi tinggi, dengan pengelolaan berbasis negara, biaya untuk
akses internet dapat ditekan. Infrastruktur ini dapat menekan kekuatan sektor privat
yang selama ini masih menjadi pemain utama dan penentu biaya akses internet.
Jaringan broadband yang mencakup wilayah yang luas akan juga memancing
munculnya industri piranti teknologi informasi, yang nantinya dapat dipasarkan secara
murah dengan prinsip economy of scale, karena adanya janji peningkatan jumlah
pemakai internet yang lebih signifikan
2. Proses edukasi yang berkelanjutan
Setelah permasalahan infrastruktur dapat diselesaikan, tugas selanjutnya adalah
mengedukasi masyarakat mengenai pemakaian internet secara tepat guna. Saat ini,
kalangan pengakses internet pun belum tentu memiliki tingkat literasi yang cukup
untuk bisa memanfaatkan internet dengan baik. Terlebih lagi kelompok yang harus
memulainya dari nol.
Perlu ditekankan bahwa kedua bentuk kebijakan tersebut bukanlah solusi ajaib untuk
menyelesaikan permasalahan digital divide. Akan tetapi, meskipun prosesnya akan memakan
waktu lama, serta membutuhkan investasi sumber daya yang cukup besar, langkah ini
29
Mossberger (2008) dalam Chadwick (2008)
diperlukan jika negara ingin menciptakan situasi digital literacy yang pada akhirny akan
membentuk sebuah digital citizenship yang aktif dan representatif.
Regulasi mengenai Perilaku Pemakaian Teknologi Informasi
Bahasan mengenai sejauh apa pemerintah dapat mengatur perilaku warga negara di
internet selalu menjadi permasalahan yang konstan dibahas. Tidak mudah menetapkan
jurisdiksi negara di dunia maya. Pasalnya, berbeda dengan negara di dunia nyata yang
memiliki batasan teritorial, internet adalah wilayah semua bangsa. Oleh karena itu, sejauh ini,
hukum yang berlaku dikenakan tidak kepada aktivitas itu sendiri, tetapi pada infrastruktur,
serta hasil dari aktivitas. Sebagai contoh, pemerintah Indonesia tidak dapat mencegah warga
dari mengakses situs porno, tetapi dapat menekan penyedia jasa internet di Indonesia untuk
memblok situs-situs tersebut. Di Amerika, perilaku mengunduh tidak dapat dicegah, tetapi
jika seorang warga diketahui memiliki konten bajakan, dia dapat dikenakan pelanggaran hak
cipta.
Selain permasalahan mengenai jurisdiksi, problematika lain mengenai regulasi internet
adalah sejauh apa perilaku tersebut harus diatur. Terdapat dua pemikiran mengenai
permasalahan ini. Pertama, pemikiran yang memandang internet sebagai ancaman. Pemikiran
ini menganggap publik sebagai pihak yang wajib untuk dilindungi dari eksposur yang terjadi
di internet. Konsekuensinya, pemikiran ini akan mencoba untuk membatasi sebanyak
mungkin ruang gerak publik di dunia maya. Kedua, pemikiran yang memandang internet
sebagai peluang maupun ruang legitimasi mutlak untuk personal. Pandangan ini berangkat
dari fakta bahwa media baru (seperti jejaring sosial, media sosial, blog ataupun kanal
streaming) merupakan ruang-ruang privat yang diciptakan oleh perseorangan, sehingga
perseorangan tersebut tidak wajib untuk mengikuti peraturan apapun kecuali tata aturan yang
diterapkan oleh penyedia layanan.
Kedua pemikiran diatas sama-sama benar, akan tetapi di saat yang sama memiliki
kekurangan masing-masing. Kontrol yang terlalu ketat kepada internet akan menafikkan
fungsi internet sebagai media informasi yang aksesibel dan ramah kepada publik. Sementara,
ketiadaan kontrol akan berakibat kepada chaos, karena internet juga berpotensi memunculkan
tindak kejahatan. Idealnya, diperlukan keseimbangan antara kedua elemen tersebut agar
tercipta sebuah tata aturan yang melindungi publik, dan disaat yang sama tidak membatasi
ruang gerak dan produktivitas pemakaian teknologi informasi.
Regulasi mengenai Pemilu Elektronik
Ketika sebuah negara mulai berpikir untuk melaksanakan pemilu secara elektronik,
maka hal yang harus dipikirkan pertama kali adalah regulasi dan kebijakan, sebelum
pengadaan infrastrukturnya. Hal ini berbeda dengan proses penetapan regulasi dan kebijakan
mengenai digital divide, dimana kebijakan terkait infrastruktur mendapatkan penekanan
utama dibandingkan dengan regulasi yang mengatur pemakaian infrasruktur tersebut. Pada
regulasi mengenai teknologi informasi, piranti memegang peranan penting, karena keaktifan
di dunia maya merupakan sebuah skill yang dipelajari saat seseorang melakukannya. Oleh
karena itu, sebelum membicarakan mengenai tata aturan pemakaian internet, haruslah
dipastikan bahwa akses internet itu sendiri bukan merupakan sebuah masalah.
Terkait dengan regulasi pemilu elektronik, relatif terhadap situasi di negara tertentu
juga akan memerlukan adanya perubahan terhadap beberapa regulasi yang telah ada, baik
terkait dengan pemilu maupun area lain di luar pemilu. Hal ini dinyatakan oleh Sean Dunne:
Depending on the circumstances in the particular country, electronic voting can
require corresponding amendments in a number of areas...including electoral
law; the laws governing the rules of evidence (how evidence may e presented
before a judicial body); investigative capacities; regulation and procedures for
dispute resolution; the structure, staffing, and core competences of the electoral
authorities; the voters registration process; the candidate/party registration
process; the training of electoral officials; the regulations for electoral observers;
and the tabulation and announcement of results.30
Regulasi mengenai pemilu elektronik dibuat untuk mengatur kelancaran pelaksanaan
pemilu di seluruh tahapan, mulai dari pendaftaran pemilih, kampanye, pemungutan suara,
penghitungan suara, dan pengesahan hasil pemilu.Selain itu, regulasi juga harus dapat
mengantisipasi adanya situasi tidak terduga, seperti perselisihan terkait dengan hasil pemilu.
Selain itu, regulasi serta kebijakan mengenai persiapan pemilu, baik dari faktor infrastruktur
dan personel yang terlibat di dalamnya juga harus diatur dengan ketat, untuk menjamin
terlaksananya pemilu yang berintegritas dan dapat dipertanggung jawabkan secara
demokratis.
30
Dunne. 2006. Dalam Electoral Management Design: The International IDEA handbook.
Institute for Democracy and Electoral Assistance.
BAB VII
Aplikasi Teknologi informasi dalam proses Pemilu Elektronik
Deskripsi singkat :sesi ini membahas gagasan mengenai aplikasi teknologi informasi ke
dalam proses pemilu elektronik dimana teknologi informasi pemilu eletronik ini dapat
memberikan keakuratan data dan efesiensi yang baik pada proses ini. Namun dalam bahasan
ini juga dijelaskan tentang keuntungan dan kerugian yang terjadi pada aplikasi teknologi
informasi dalame-voting.
Manfaat :memberikan pemahaman lebih dalam tentang kegunaan teknologi informasi dalam
e-voting dan menguraikan dampak-dampak apa saja yang terjadi pada proses e-voting dengan
teknologi informasi ini.
Relevansi :pemahaman tentang aplikasi teknologi informasi dalam proses e-voting diperlukan
mahasiswa dalam membantu mengaplikasikan IT pada e-voting dan mengukur kemungkinan
yang ada pada proses ini.
Learning Outcomes :
1. mahasiswa memahami peran IT pada e-voting
2. mahasiswa mampu mengkategorikan jenis-jenis e-voting dan potensi penggunaan IT pada
prosesnya.
3. mahasiswa mengerti fungsi-fungsi e-voting dan teknis dasar aplikasi IT pada e-voting
Di bab sebelumnya telah dibahas mengenai implikasi penetrasi teknologi informasi
kedalam proses demokratis sebuah bangsa. Selanjutnya, sesi ini akan membahas gagasan
mengenai aplikasi teknologi informasi ke dalam proses pemilu. Gagasan ini menjadi topik
yang menarik karena efisiensi, kecepatan dan akurasi yang dijanjikan oleh teknologi
informasi untuk proses pemilu. Terlebih lagi pada pemilu jarak-jauh, dimana teknologi
informasi akan menambah kenyamanan serta sisi praktis dari proses pemungutan suara,
sekaligus meningkatkan keterlibatan publik dalam proses demokrasi.
Banyak spekulasi yang bermunculan seputar topik mengenai pemilu elektronik, dan
disaat yang sama, bukti sistemik yang berasal dari pelaksanaan pemilu elektronik secara
aktual masih sangatlah kurang. Sementara pemilu elektronik merupakan sebuah langkah
perubahan demokrasi yang sangat masif, yang membutuhkan banyak pertimbangan dan
persiapan untuk menghindari hilangnya legitimasi dan keadilan dalam proses pemilu.
Berikut adalah bahasan mengenai bukti dan konsep yang telah ditemukan sejauh ini.
Pro dan Kontra Pemilu Elektronik
Modernisasi proses administratif pemilu sering dipandang sebagai ekstensi dari pemanfaatan
teknologi komunikasi dalam proses pemerintahan. Salah satu aplikasi yang paling lazim
diterapkan adalah pemungutan suara elektronik, yang dapat dikategorikan menjadi:
•
Remote electronic voting, atau transmisi suara resmi yang diberikan pada saat pemilu
kepada pengelola kampanye melalui berbagai kaidah elektronik dan teknologi
•
informasi, dari lokasi pemungutan suara yang berbeda. Secara umum, remote
electronic voting sering digunakan untuk menyebut pemungutan suara melalui
internet saja, akan tetapi pada kajian ini, istilah tersebut akan digunakan untuk
menyebut segala sesuatu teknologi yang dapat digunakan untuk pemungutan suara
jarak jauh.
Kontras dengan remote electronic voting, on-site electronic voting merujuk kepada
teknologi yang digunakan dalam pemungutan suara pada sebuah TPU. Istilah ini lebih
merujuk kepada pemanfaatan teknologi sebagai pengganti kertas suara manual.
Advokasi atas penerapan pemilu elektronik memaparkan beberapa keuntungan dari
penggunaan teknologi dalam proses pemungutan suara.
Keuntungan pertama adalah kenyamanan bagi para pemilih.Dengan menggunakan
teknologi digital, pemilih tidak lagi harus berada pada lokasi tertentu untuk menggunakan
hak mereka. Hal ini tentu saja akan meningkatkan efisiensi, serta menekan kemungkinan
hilangnya suara dari sebagian besar masyarakat yang tidak dapat mendatangi tempat
pemungutan suara seperti kaum difabel, pasien rumah sakit, serta warga negara yang sedang
dalam perjalanan.
Keuntungan kedua adalah potensi untuk meningkatkan pengetahuan akan kandidat
kepada para pemberi suara, sehingga suara yang diberikan lebih didasarkan kepada keputusan
rasional. Penggunaan teknologi informasi akan memungkinkan pihak penyelenggara
kampanye untuk memberikan informasi yang relevan mengenai kandidat yang dipilih dalam
pemilu, yang dapat digunakan sebagai basis pertimbangan pemberian suara.
Bagi pihak penyelenggara pemilu, penerapan teknologi yang tepat guna, baik remote
maupun on-site dapat menjamin kualitas proses administrasi, dengan meningkatkan efisiensi,
kecepatan serta akurasi perekaman dan penghitungan suara.31
Logistik dan Infrastruktur
Logistik dan infrastruktur untuk pelaksanaan pemilu elektronik merupakan sebuah
bahasan yang kompleks dan multi aspek. Perbedaan sistem penyelenggaraan pemilu
elektronik pada dasarnya akan berakibat kepada kebutuhan logistik dan infrastruktur yang
berbeda pula. Akan tetapi, semuanya mengarah kepada terlaksananya sebuah pemilu
elektronik yang representatif, berintegritas, serta demokratis.
Terkait dengan infrastruktur, pada dasarnya sebuah sistem pemungutan suara elektronik
memiliki beberapa fungsi, yaitu enkripsi, randomisasi, komunikasi dan keamanan.
Permasalahan yang muncul adalah menentukan sistem dan teknologi yang akan diterapkan di
dalam pemilu. Investasi yang diperlukan untuk piranti keras, sosialisasi, maupun proses
administratif tidaklah sedikit, dan membutuhkan waktu yang panjang dalam persiapannya.
Sistem pengelolaan pemilu, serta analisis biaya-manfaat lengkap sebagai bagian studi
kelayakan yang luas harus dilaksanakan.
Pertimbangan pertama dari pengadaan infrastruktur adalah situasi dimana Piranti
teknologi informasi hanya memiliki siklus hidup beberapa tahun saja, akibat pesatnya
perkembangan teknologi, dan kebutuhan untuk beradaptasi dengan sistem yang
31
Arterton 1987; Budge 1996; Rash 1997; Rheingold 1993; Barber 1998, dalam Norris (2005)
mengutamakan keterbaruan.Tentu saja hal ini memiliki implikasi terhadap total cost of
ownership dari teknologi tersebut, termasuk biaya penyimpanan, pemeliharaan,
pembaharuan, dan pengoperasian sistem selama beberapa siklus pemilu. Jika siklus pemilu
panjang dan mesin pemungutan suara mungkin hanya digunakan sekali setiap beberapa
tahun, menyewa akan lebih bijak secara finansial dibandingkan membeli sistem e-voting.
Proses pengadaan akan menjadi permasalahan sendiri. Banyak vendor
yang
menawarkan teknologi e-voting yang mutakhir, tetapi terkadang tidak sesuai dengan
kebutuhan yang teridentifikasi. Keputusan pembelian tidak hanya memiliki konsekuensi
kepada pengadaan tetapi juga proses pemeliharaan dan pengoperasian selama siklus
pemakaian, karena sering kali sebuah teknologi hanya dapat dipahami dengan baik oleh
perusahaan yang memproduksinya.
Biaya persiapan untuk pemilu elektronik cenderung membengkak di awal, akibat proses
pengadaan. Tahapan ini juga rentan terhadap persepsi buruk mengenai korupsi, sehingga
transparansi haruslah dipastikan. Proses pengadaan juga wajib dilakukan jauh sebelum
pelaksanaan pemilu, karena pihak penyelenggara, serta pemakai (personel teknis maupun
pemberi suara) membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan teknologi yang
diimplementasikan. Penetapan alur waktu menjadi signifikan, dan kegagalan mengikutinya
dapat beresiku besar pada penjaminan mutu pemilu.
Adapun mengenai aspek teknis terkait dengan keperluan pemilu, Melanie Volkamer
menjelaskannya dengan lebih seksama di dalam bukunya, ‘Evaluation of Electronic Voting
Requirements and Evaluation Procedures to Support Responsible Election Authorities’.
BAB VIII
IT dan Basis Data Pemilu
Deskripsi singkat : sesi ini membahas tentang informasi teknologi yang menjadi basis
pendataan pada proses pemilu, dan teknologi pendukung apa saja yang diperlukan dalam
proses pendataan tersebut.
Manfaat :memberikan penjelasan bagaimana teknologi informasi dapat dipakai untuk
mempermudah pendataan pemilu pada suatu negara dengan memperhatikan aspek-aspek
yang mendukung.
Relevansi : pemahaman tentang IT dan basis data pemilu diperlukan untuk mengetahui secara
teknis tentang basis data dan sistem manajemennya pada pemilu, serta aplikasi teknologi
informasi pada prosesnya.
Learning Outcomes :
1. mahasiswa mampu menjelaskan pentingnya IT pada basis data pemilu
2. mahasiswa dapat mengantiisipasi dan memperhatikan aspek-aspek yang mendukung dan
diperlukan untuk menghasilkan data pemilu yang akurat melalui teknologi informasi
3. mahasiswa memiliki dasar pengetahuan tentang basis data dan sistem manajemennya.
Teknologi memiliki fleksibilitas untuk dapat diterapkan di seluruh proses pemilu, mulai
dari sistem pengambilan suara, identifikasi pemilih, aktivitas pengambilan suara,
penghitungan suara, hingga ke komputasi hasil. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada
satupun negara yang telah mencapai level modernisasi yang ideal, hingga dapat
mengaplikasikan teknologi ke seluruh proses tersebut. Meski demikian, bukan berarti bahwa
teknologi tidak memiliki peran dalam proses pemilu. Kombinasi antara metode manual serta
didukung oleh aplikasi teknologi menghasilkan sebuah sistem yang stabil dan telah
digunakan di banyak negara.
Salah satu aplikasi teknologi yang paling signifikan adalah pada tahapan penyusunan
basis data (database), dan sistem informasi geografis yang berkaitan dengan pengaturan
wilayah pengambilan suara, serta pengaturan logistik. Data terkait pemilu tidak hanya
berguna untuk persiapan sebelum pengambilan suara saja, akan tetapi juga dapat berfungsi
sebagai basis analisis pasca pemilu, terkait dengan integritas, keabsahan dan validitas dari
hasil pemilu tersebut.
Terkait dengan masalah integritas hasil pemilu, akurasi data menjadi faktor yang sangat
signifikan.Oleh karena itu pendataan secara manual sering dihindari, akibat rentannya metode
tersebut terhadap kesalahan yang terlihat sepele namun berdampak besar. Teknologi
informasi memungkinkan proses pembangunan basis data yang cepat, mudah, dan akurat.
Karakter jejaring dari teknologi informasi sendiri memungkinkan verifikasi data untuk
dilakukan oleh dua atau lebih personil.Selain itu, distribusi data ke seluruh pihak yang
membutuhkan dapat dilakukan dengan lebih cepat, karena aksesibilitasnya yang tinggi.
Data yang solid dan lengkap, serta dapat diakses publik, akan memfasilitasi tumbuhnya
kepercayaan serta transparansi dalam proses pemilu. Hal ini akan menjamin tercapainya
pemilu yang berintegritas.
Basis data pemilu dan sistem manajemen basis data
Basis data pemilu menyimpan elemen informasi terkait dengan pemilu, kandidat, pemilih,
sekaligus skema penjelasan masing-masing data serta data lain yang terkait dengan data-data
tersebut. Jika digambarkan dalam sebuah diagram alur relasi antar sistem, maka basis data
pemilu dapat dipahami sebagai berikut:
Adapun anatomi dari teknologi pendukung basis data pemilu dijelaskan oleh Qadah
dan Taha (2007) sebagai berikut:
Server
Server merupakan pusat operasi dari sistem pengelolaan basis data (Database Management
System). Didalamnya terdapat sejumlah perangkat lunak, dimana fungsi dari perangkat lunak
tersebut antara lain:
1. Basis data pemilu
Disain dan implementasi basis data pemilu dimulai dari analisis proses pemilu beserta
kebutuhan datanya. Hasil dari proses tersebut adalah Extended Entity-relationship
Diagram (EERD). Fungsi dari EERD adalah klasifikasi data berdasarkan entitas pemilih,
pemilu, kandidat dan pemenang, serta relasi antar entitas tersebut. Relasi yang terjadi antar
entitas tersebut dapat menunjukkan pola atau kecenderungan tertentu yang terjadi dalam
sebuah proses pemilu
2. Sistem administrasi basis data pemilu
Merupakan sistem yang dibangun untuk memfasilitasi proses administrasi data. Beberapa
komponen yang terdapat di dalamnya adalah:
•
•
•
The database creator: merupakan fungsi pembangun dalam sistem basis data pemilu.
The database loader: merupakan sistem yang menjalankan fungsi akses informasi
yang tersimpan dalam basis data. Terdapat fasilitas pencarian tingkat lanjut yang
dapat menyeleksi informasi yang relevan dengan kebutuhan, dengan menggunakan
parameter tertentu. Fungsi ini pada dasarnya merupakan search engine dalam basis
data.
The campaign configurator: berfungsi untuk membuat konfigurasi profil kampanye
pemilu dalam basis data, baik menciptakan, menghapus, atau memodifikai kampanye.
Onjek utama yang diatur oleh fungsi ini adalah kandidat yang bermain di dalam
sebuah proses pemilu.
Terkait dengan data yang dikelola dalam sebuah proses pemilu, sensitivitas penggunaan
data tersebut menimbulkan kompleksitas data yang diperlukan. Pada dasarnya, tidak ada
batas mengenai sebanyak apa data yang diperlukan. Untuk lebih memahami mengenai jenis
data yang diperlukan, Caltech/MIT Voting Technology Project (2007) telah menyediakan
sebuah guideline untuk mengidentifikasi kebutuhan data terkait dengan pemilu.
Perlu ditekankan bahwa pemakaian teknologi informasi dalam pemilu sangat relatif
terhadap banyak aspek.Pada negara-negara yang memiliki karakter yang berbeda, maka
teknologi informasi dapat digunakan dengan cara yang berbeda pula.Fleksibilitas teknologi
informasi itu sendiri menjadikan aplikasinya unik kepada masing-masing sistem.Oleh karena
itu, pola diatas tidak bisa dijadikan sebuah generalisasi, melainkan kerangka pemahaman
mengenai prinsip operasional dan pemanfaatan basis data dalam pemilu.
BAB IX
IT dan Teknis Penyelenggaraan Pemilu Elektronik: Pendataan Pemilih, Voting &
Penghitungan Suara, dan Audit
Deskripsi Singkat :bahasan ini mencakup penggunaan teknologi informasi pada teknis
penyelenggaran pemilu elektronik, mendata pemilih, dan menghitung suara juga
mengauditnya dengan sistem IT. Selain itu juga dibahas jenis-jenis metode yang digunakan
dan kerugian atau keuntungan dari kesemua metode tersebut.
Manfaat: mengenalkan metode-metode teknis menggunakan IT pada penyelenggaran evoting, bagaimana cara kerja IT pada pendataan pemilih dan menggunakan IT pada
perhitungan suara dan mengauditnya
Relevansi: bahasan IT dan teknis penyelenggarann pemilu elektronik, pendataan pemilih,
voting & perhitungan suara dan audit ini diperlukan untuk membantu mahasiswa mengerti
secara teknis tentang proses penyelenggaran pemilu, pendataan, voting, audit dan bagaimana
menggunakan IT pada proses tersebut.
Learning outcomes:
1. mahasiswa memiliki pengetahuan teknis dasar aplikasi IT pada proses penyelengaraan
pemilu elektronik, pendataan, voting sampai audit
2. mahasiswa mengenal metode-metode teknis penggunaan IT pada proses e-voting
3. mahasiswa mampu mengantispasi penggunaan metode pada IT untuk proses e-voting
dilihat dari keuntungan dan kerugian aplikasinya.
Pendataan Pemilih
Pendataan pemilih merupakan proses yang rumit, terlebih lagi di negara dengan
kepadatan penduduk tinggi seperti Indonesia. Proses pendataan pemilih memakan waktu
yang lama serta sumber daya yang tidak sedikit. Meski demikian, proses ini menjadi wajib
karena signifikansinya bagi keseluruhan proses pemilu. Hal ini dinyatakan oleh Mitrou, et.al:
The voting right extends further to a right to exact composition of the electorate.
In this sense, eligibility is an element of peoples' sovereignty. (Secure)
Registration and authentication of voters are the means of ensuring that the
principles of universal and equal suffrage, summarized as "one voter, one vote",
are respected and that elections cannot be rigged. Voter registration systems and
accurate voter registration lists are important for the integrity and the legitimacy
of the election process. Any major compromise of the voter registration system
could lead to election fraud.32
Registrasi dan pendataan pemilih yang akurat teramat penting, karena terkait dengan
aspek demokrasi, yaitu keterwakilan dan penjaminan bahwa seluruh rakyat dapat
menggunakan hak pilihnya, serta isu mengenai antisipasi kecurangan. Khusus untuk poin
32
Dalam Gritzalis (2003)
kedua, dalam pelaksanaan e-voting, hal ini perlu diberi penekanan. Kunci dari masa depan evoting adalah remote voting, dimana pemungutan suara dapat dilakukan tanpa pemilih harus
mendatangi lokasi TPS. Lantas, jika tidak ada personel yang dapat memastikan identitas
pemilih, bagaimanakah pemilu dapat dilindungi dari kecurangan?
Satu Pemilih Satu Suara
Prinsip persamaan hak dalam demokrasi berarti bahwa setiap warga negara memiliki nilai
suara yang sama. Dalam pemilu, hal ini berarti bahwa idealnya, tidak ada satupun warga
negara yang dapat memberikan suaranya lebih dari satu kali.Oleh karena itu, sistem
pemungutan suara yang diaplikasikan dalam pemilu harus dapat menjamin terlaksananya
prinsip "one voter, one vote ". Dengan kata lain, sistem harus dapat mencegah terjadinya
duplikasi data pemilih dalam pemilu, yang memungkinkan pemilih tersebut dapat
menggunakan hak pilihnya sebanyak lebih dari satu kali, baik oleh dirinya sendiri maupun
pihak ketiga.
Banyak piranti elektronik yang ditawarkan untuk proses autentikasi pemilih. Tetapi,
seiring dengan kelebihan yang ditawarkan, muncul pula resiko yang menyertainya. Berikut
adalah beberapa metode registrasi dan autentifikasi pemilih, beserta resikonya:
1. Public Key Infrastructue dan Personal Identification Number
Metode registrasi PKI dan PIN pada dasarnya merupakan penerapan teknologi
informasi dalam proses registrasi dan autentikasi pemilih, dengan cara memberikan
kunci personal kepada tiap penduduk. Kunci tersebut dapat digunakan untuk
mengakses data digital, termasuk salah satunya adalah akses kepada pemungutan
suara.
Problematika yang muncul dari metode ini, khususnya pada PKI adalah permasalahan
keamanan. Dalam skala besar, seperti konteks pelaksanaan pemilu di Indonesia,
proses enkripsi keamanan untuk PKI belum dapat dijamin. Hal ini ditambah dengan
kurangnya familiaritas teknologi ini Jika dipaksakan, maka pelaksanaan registrasi dan
autentikasi pemilih akan menjadi proses yang sangat tidak efisien
2. Biometrik
Biometrik dijelaskan oleh Davies sebagai teknologi yang dikembangkan untuk
mengenali aspek biologis khusus pada diri seseorang. Aspek biologis ini antara lain
adalah pola sidik jari, retina, suara, bentuk dan ukuran tangan, fitur wajah, serta tanda
tangan.33
Salah satu teknologi biometri yang paling populer digunakan adalah pemindai sidik
jari.Teknologi ini populer karena kemudahan serta kepraktisannya.Mesin pemindai
sidik jari relatif murah jika dibandingkan dengan teknologi biometri lainnya.
33
Davies (2006)
Pemungutan dan Penghitungan Suara
Proses pemungutan suara menjadi satu tahapan yang paling kompleks dalam proses pemilu,
sekaligus tahapan yang rentan terhadap gangguan dan sabotase. Dalam perjalanannya, proses
pemungutan suara secara kontinu terus dievaluasi, untuk mendapatkan sebuah cara yang
paling optimal.
Sejauh ini, ada lima metode pemungutan suara yang paing banyak digunakan oleh berbagai
negara di dunia. Masing-masing dari metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Adapun kelima metode tersebut adalah:34
1. Australian Paper Ballot
Australian Paper Ballot merupakan penyempurnaan dari kertas suara
tradisional.Metode pemungutan suara ini menggunakan secarik kertas yang
diproduksi secara khusus dengan persiapan keamanan tertentu, dan memuat informasi
berupa foto wajah para kandidat yang mengikuti pemilu.
Kontrol terhadap kertas suara selama proses pemilu, baik logistik pengirimannya,
pindah tangan kepada pemilih, hingga proses penghitungan, amatlah penting. Ketika
diterapkan dalam konteks pemilu multi partai, metode ini menjadi lebih rentan, akibat
banyaknya kepentingan yang harus diwakili dalam proses pemilihan umum.
Kelemahan terbesar terletak pada proses penghitungan yang harus dilakukan secara
manual, yang tidak hanya kurang efisien, juga rentan terhadap common error.
2. Lever Voting Machine
Mesin tuas pemungutan suara diperkenalkan dengan dua tujuan utama: mesin
melakukan proses pemungutan suara tanpa bias kepentingan manapun, sekaligus
menghitung suara yang terkumpul sehingga hasil akan seketika itu juga didapat.
Kekurangan dari metode ini adalah ketiadaan back-up data jika terjadi keadaan
darurat, serta kompleksitas mesin itu sendiri yang membutuhkan sensitivitas teknis
yang sangat tinggi.
3. Punched Card Voting
Metode Votomatic pada dasarnya menganut sistem Australian Ballot, yang
menggunakan mesin pelubang kertas sebagai penghitung suara, begitu suara
diberikan. Jumlah lubang yang tertera pada lembar hitung masing-masing kandidat
merepresentasikan jumlah suara yang didapatkannya.
Permasalahan yang sering muncul adalah ketika mesin yang digunakan tidak dapat
membuat lubang yang sempurna pada kertas, sehingga sering terjadi selisih
penghitungan suara.Kesalahan sekecil apapun dapat merusak integritas pemungutan
suara. Selain itu, masih ada permasalahan lain dalam teknis mesin pelubang kertas ini.
4. Optical Mark-Sense Voting
Metode ini menggunakan sistem pemindai pada kertas Australian Ballot. Pemberi
suara menandai kandidat pilihan dengan menggunakan pensil 2B yang nantinya akan
dipindai pada komputer. Kesalahan pada metode ini rentan terjadi jika pemilih tidak
menggunakan pensil yang sesuai dengan ketentuan, atau tidak menandai kertas suara
dengan sempurna.
34
Jones (2003) dalam Gritzalis (2003)
5. Direct Record Electronic (DRE) Voting
Mesin DRE digunakan pada proses pemungutan suara, dan memiliki kemampuan
untuk langsung menghitung suara yang didapatkan. Pemilih menekan tombol yang
mewakili masing-masing kandidat, dan suara yang diberikannya akan langsung
terrekam dan terhitung.
Kekurangan dari metode ini adalah kekakuan piranti lunak dalam menghadapi faktor
human error, sehingga tidak jarang terjadi kesalahan akibat proses perekaman suara
yang kurang sempurna.
Merujuk kepada bahasan besar yaitu teknologi informasi, maka DRE menjadi satu
metode yang paling relevan. Oleh karena itu, bahasan mengenai metode pemungutan suara
akan berfokus kepada aplikasi DRE. Metode masih tergolong muda karena dikembangkan
dengan basis teknologi, akan tetapi situasi tersebut juga berarti bahwa DRE merupakan
metode yang paling tidak ‘gagap’ dengan perkembangan teknologi informasi.
Prinsip jejaring dan keterhubungan dari teknologi informasi akan dengan mudah
diterapkan pda DRE. Hasil hitungan suara yang didapatkan pada DRE di salah-satu tempat
pemungutan suara dapat secara langsung dikumpulkan dan ditabulasi untuk memperoleh hasil
perolehan suara dengan cepat. Keterhubungan DRE sendiri akan mengeliminasi kesulitan
logistik pengiriman kertas suara pra pemilu, serta kemungkinan terjadinya kecurangan yang
dilakukan pada kotak suara yang penuh dengan kertas suara.
Aplikasi DRE juga akan dapat mengatasi masalah yang terjadi pada remote voting.
Terkadang, jarak menjadi satu halangan yang sangat berarti dalam pemilu, terlebih pada
negara seperti Indonesia.Ditambah lagi dengan sejumlah besar warga negara Indonesia di luar
negeri. Kasus kurangnya kertas suara yang terjadi pada Pilpres tahun 2014 lalu akan dapat
teratasi dengan DRE.
Akan tetapi, DRE tidaklah bebas resiko.Metode ini masih tergolong baru, sehingga
belum terlalu teruji pada banyak kasus. Selain itu, metode ini sangat tergantung kepada
kesiapan sumber daya manusia yang akan mengoperasikan dan mengontrol kondisi piranti
DRE.
Pertanyaan Refleksi:
Di era teknologi, pemanfaatan internet voting sudah sangat jamak dilakukan. Pertanyaan
mendasar dari fenomena ini adalah, apakah internet voting layak diterapkan pada proses
pemilu?
Audit dan Verifikasi
Proses audit merupakan satu cara penjaminan mutu hasil kampanye. Audit dilakukan
untuk memastikan bahwa pemilu telah dilaksanakan sesuai dengan regulasi dan hukum yang
berlaku. Pelaksanaan audit dapat membantu mengidentifikasi jika terjadi kesalahan
administratif maupun teknis, yang dapat berpengaruh terhadap hasil pemilu. Dengan
memanfaatkan sejumlah kecil sampel yang memenuhi prinsip konfidensial dalam statistik,
audit dilakukan untuk mengetahui angka minimum kecurangan, kesalahan sistemik, maupun
human error yang dapat terjadi pada hasil pemilu. Hal ini dilakukan untuk menjamin
tercapainya public confidence atas hasil pemilu.Public confidence sendiri, dijelaskan oleh
Saltman sebagai:
...is the level of acceptance by the general public, taken as a whole, that the
reported election results actually represent the collective choices of the voters. The
level of public confidence includes the sum of all individual voter confidences,
plus other factors such as assurance of computer program correctness, the
announced result of an audit and reports of election difficulties and their causes.35
Paparan Saltman tersebut memberikan gambaran bahwa public confidence pada
dasarnya adalah tingkat penerimaan publik terhadap hasil pemilu.Ketika public confidence
tercapai, maka bisa dikatakan bahwa hasil pemilu dipercaya memiliki integritas secara
demokratis, dan hasilnya dapat diterima.
Dari paparan diatas, dapat disadari bahwa proses audit dan verifikasi hasil pemilu
membutuhkan kecepatan dan akurasi. Ketika dua syarat ini tidak dapat dipenuhi oleh metode
manual, maka satu-satunya cara adalah audit secara elektronik. Dalam bahasan ini, akan
dijelaskan bagaimana teknologi informasi dapat diterapkan dalam proses audit, baik untuk
pemilu manual maupun e-voting.
Audit pada Pemilu Manual
Prosedur pelaksanaan audit biasanya dilakukan dengan menghitung kembali kertas
suara, yang dilakukan pada tiap TPS, kemudian dikumpulkan per wilayah. Akan tetapi,
proses verifikasi semacam ini memakan banyak waktu, serta membutuhkan pekerja manual
yang tidak sedikit, yang berakibat kepada membengkaknya pembiayaan pemilu. Hasil yang
didapatkan juga relatif tertunda, sehingga pada waktu diumumkan, kemungkinan kandidat
sudah dinyatakan menang atau kalah. Keputusan untuk mengumkan hasil audit kemudian
menjadi problematik, karena akan mengurangi kepercayaan publik terhadap integritas
pemilu.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Calandrino, Halderman dan Felten
memperkenalkan sebuah sistem audit dengan fasilitasi piranti elektronik36.Metode ini
menawarkan pilihan untuk menghemat waktu, dengan menggunakan scanner untuk
melakukan penghitungan kembali kertas suara.Syarat dari audit ini tentu saja pemilu harus
menggunakan kertas suara khusus yang memiliki sistem indeks yang dapat dideteksi
35
36
Saltman dalam Gritzalis (2003)
Calandrino, Halderman dan Felten. Tanpa tahun.
menggunakan pemindai elektronik.
Dalam proses audit ini, para personel yang terlibat dalam pemilu tidak lagi harus
menghitung kertas suara secara manual, melainkan hanya memasukkan kertas suara tersebut
ke dalam pemindai. Hasil audit kemudian dicocokkan dengan hasil penghitungan suara yang
didapat sebelumnya.Kesesuaian diantara keduanya berarti bahwa pemungutan suara telah
berjalan dengan lancar, sementara jika terjadi perbedaan, maka pelaksana pemilu wajib
melakukan investigasi untuk mengetahui penyebab perbedaan tersebut. Selain mengurangi
alokasi waktu, metode ini dapat meminimalisir terjadinya human error dalam proses audit.
Audit pada E-Voting
Persepsi umum mengenai pemilu elektronik adalah penggunaannya lebih ramah
pengguna, efektif secara finansial, dapat diandalkan, lebih akurat dan cepat dalam proses
tabulasi, serta naiknya jumlah pemilih. Akan tetapi, sejauh ini kenyataan yang terjadi pada
aplikasi e-voting adalah situasi dimana piranti teknologi tidak dapat memenuhi janji yang
ditawarkan oleh vendor pada proses pengadaan. Masalah terdapat pada proses desain
keamanan dan verifikasi suara. Lebih lanjut lagi, belum ada jaminan bahwa suara yang
diberikan oleh pemilih tersimpan dan terhitung dengan benar.
Di bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa masing-masing metode pemungutan
suara, termasuk sistem yang terkomputerisasi seperti DRE dan Optical Scan memiliki
beberapa kelemahan yang dapat mengancam integritas pemilu.
Salah satu kesulitan dalam proses e-voting adalah ketiadaan bukti fisik dari pemilu.
Terutama pada DRE, dimana pemungutan suara dilakukan sepenuhnya dengan
komputasi.Kesalahan sistem maupun penguasaan terhadap teknologi dapat mengakibatkan
suara yang diberikan oleh pemilih terekam dengan tidak benar.
Tidak heran jika usulan yang diberikan oleh Calandrino, Halderman dan Felten dalam
mengatasi kelemahan tersebut adalah memproduksi kertas verifikasi bagi pemilih, dan
melakukan audit terhadap verifikasi tersebut. Permasalahan kembali muncul, karena dengan
pengadaan ‘bukti’ verifikasi ini, berarti proses pemilu kembali membutuhkan tambahan
infrastruktur.
BAB X
Problematika Keamanan IT dalam Pemilu
Deskripsi Singkat: bahasan ini menjelaskan tentang kemanan IT dalam pemilu dan masalahmasalahnya, tantangan apa saja yang harus dihadapi pada aplikasi keamanan IT pada pemilu,
serta upaya dalam menentukan sebuah protokol keamanan yang dapat menjamin
terlaksananya proses pemilu dengan lancar dan berintegritas
Manfaat: memberikan pemahaman dasar tentang keamanan IT dalam pemilu dan pentingnya
hal tersebut dalam upaya melaksanakan proses pemilu yang lancar dan berintegritas.
Relevansi : pemahaman tentang problematika keamanan IT dalam pemilu diperlukan agar
mahasiswa dapat mengantisipasi dampak penggunanaan kemanan IT dalam pemilu dan
mencari solusi untuk menjawab tantangan dan problematikanya.
Learning Outcomes:
1. mahasiswadapat menentukan sebuah protokol keamanan yang ideal dalam membantu
terjaminnya pelaksanaan pemilu.
2. Mahasiswa dapat mengantisipasi tantangan dan kemungkinan negatif pada
penggunaan IT dalam pemilu
3. Mahasiswa memiliki pengetahuan dasar tentang jenis-jenis keamanan IT yang dapat
dipakai sebagai solusi dampak negatif penggunaan IT pada pemilu.
Sistem keamanan teknologi informasi dalam pemilu merupakan salah satu tantangan
dalam dunia protokol kriptografi.Aplikasi teknologi dalam pemilu secara langsung
berpengaruh kepada tingkat keamanan yang harus diterapkan. Selain protokol keamanan
standar yang diterapkan pada pemilu manual, teknologi yang terlibat dalam proses pemilu
membutuhkan protokol keamanan tambahan. Bagian ini akan membahas mengenai upaya
menentukan sebuah protokol keamanan yang dapat menjamin terlaksananya proses pemilu
dengan lancar dan berintegritas.
Secara umum, tujuan dari skenario diterapkannya e-voting dalam proses pemilu, seperti
dinyatakan oleh Damgard, Groth dan Salomonsen adalah:
a) Privacy: Only the final result is made public, no additional information about
votes will leak; b) Robustness: The result reflects all submitted and well-formed
ballots correctly, even if some voters and/or possibly some of the entities running
the election cheat; c) Universal verifiability: After the election, the result can be
verified by anyone.
Untuk menjamin kerahasiaan, soliditas dan verifiabilitas dari hasil pemilu, maka sistem
enkripsi keamanan yang tepat harus diterapkan.
Tantangan Keamanan
Aplikasi teknologi informasi dalam proses pemilihan umum pada dasarnya
mengunggah pemilu ke dalam dunia online. Implikasi hal tersebut adalah pemilu menghadapi
ancaman ekstra: selain ancaman keamanan berupa kemungkinan kecurangan dan manipulasi
hasil pemilu yang terdapat di sistem pemilu manual, e-voting juga menjadikan pemilu rentan
terhadap serangan di dunia maya. Hal ini dinyatakan oleh:
A major concern is security: without proper protection and effective control
procedures, malicious actors may instantiate a range of threat actions, with
effects varying from a “denial of service” (e.g. stopping the election in a polling
station by sabotaging some e-Voting machines) up to alteration of the results
(e.g. by successfully changing votes in some key precincts).37
Mesin voting dapat di-hack, dan kebocoran kunci kriptografi keamanan akan berakibat
kepada manipulasi pemungutan suara. Disaat yang sama, ketika pemilu bertahan dalam
bentuk yang sepenuhnya manual, kelebihan yang dapat dikontribusikan oleh teknologi
informasi tidak dapat dinikmati. Ancaman keamanan akan semakin besar jika e-voting
dilaksanakan melalui internet.
Kekhawatiran mengenai aspek keamanan dalam pemilu dapat dipahami melalui contoh
implementasi.Pertama, kemungkinan bahwa komunikasi dan transmisi antar piranti dalam
sistem teknologi pemilu dapat diserang, yang dapat menggagalkan sistem.Kedua,
kemungkinan serangan atas data mengenai pemilih maupun hasil pemilu dengan tujuan
merubah database maupun hasil pemilu. Ketiga, serangan yang diarahkan kepada pemilih
melalui piranti yang digunakan dalam e-voting.
Kekhawatiran terhadap piranti milik pemilih terakhir khususnya sangatlah rentan,
karena sebagian besar masyarakat tidak memiliki kesiapan dalam mengantisipasi serangan
ini.Beberapa kemungkinan serangan yang terjadi adalah modifikasi pada konektivitas antara
piranti milik pemilih dengan server pemilu, sedemikian rupa sehingga suara yang terkirim
dari piranti milik pemilih berbeda dengan suara yang masuk ke dalam server. Pihak
penyerang berusaha untuk memanipulasi input dan output di kedua ujung koneksi, sehingga
tidak ada satupun, baik pemilih maupun penyelenggara pemilu menyadari bahwa serangan
telah terjadi.
Perlu diingat bahwa untuk memenangkan pemilu, seorang kandidat tidak perlu menang
dengan selisih banyak.Terutama jika konteks pemilu disini adalah pemilu legislatif yang
diikuti oleh banyak partai dan kandidat, seperti di Indonesia. Yang diperlukan untuk
menjamin kemenangan seorang kandidat adalah kontrol supaya suara terdistribusi secara
‘normal’, dengan sedikit kemenangan pada dirinya. Dengan logika hacking kepada piranti
milik pemilih, maka hal ini tidak akan terlalu susah dilakukan.
Protokol Keamanan e-voting
Menanggapi tantangan terhadap pelaksanaan e-voting diatas, secara mendasar terdapat
beberapa pilihan sistem keamanan yang bisa diusahakan untuk diimplementasikan pada
proses pemilu, tidak hanya pada tahapan pemungutan suara, tetapi secara keseluruhan:
37
Weldemariam, Villafiorita, dan Andrea Mattioli (2007)
1. Kriptografi: Homomorphic encryption, digital signatures, blind signatures, Trusted
Third Parties, digital certificates, dan sebagainya
2. Piranti lunak anti virus
3. Firewall; atau kode yang melindungi sistem terhadap serangan dari pihak eksternal
4. Teknologi biometrik
BAB XI
Mempersiapkan sebuah bangsa untuk E-Voting
Deskripsi Singkat: bahasan pada sesei ini adalah sebagai penutup dari kesluruhan bahasan
mata kuliah, sekaligus menyimpulkan topik yang telah dibahas sebelumnya. Beberapa aspek
yang paling signifikan akan digaris bawahi dan diberi penekanan untuk persiapan
pelaksanaan pemilu yang ideal.
Manfaat: bahasan ini diperlukan untuk membuat konklusi dari seluruh topik dari mata kuliah
ini dan memahami mata kuliah secara keseluruhan, serta memperhatikan aspek-aspek yang
dibutuhkan untuk mengantisipasi potensi e-voting pada suatu bangsa di masa depan.
Relevansi: topik ini penting bagi mahasiswa untuk mempersiapkan potensi e-voting di
indonesia, dengan pengetahuan yang cukup dan mendasar, diharapkan dapat menjadi modal
awal terbangunnya sistem e-voting dengan teknologi informasi di masa depan.
Learning Outcomes:
1. mahasiswa mampu memahami bahasan mata kuliah secara keseluruhan
2. mahasiswa dapat mengantisipasi potensi e-voting di masa depan.
Pemilu sebagai proses penyelenggaraan demokrasi tertinggi dalam pemerintahan haruslah
dapat menjamin bahwa hak warga negara untuk menyalurkan aspirasi mereka telah
terfasilitasi dengan baik. Sebagai sebuah proses maupun istitusi, pemilu dihadapkan dengan
satu set standar yang ketat, antara lain keamanan, keterlindungan data, kerahasiaan,
reliabilitas, akurasi, efisiensi, integritas dan kesetaraan. Public confidence terhadap pemilu
wajib dicapai, sebagai syarat agar keputusan pemilu dapat diterima dengan baik.
Bagian ini pada dasarnya akan menjadi penutup, sekaligus menyimpulkan topik yang telah
dibahas sebelumnya. Beberapa aspek yang paling signifikan akan digaris bawahi dan diberi
penekanan untuk persiapan pelaksanaan pemilu yang ideal.
Antisipasi dan penanggulangan digital divide
Hal pertama, dan salah satu tugas terberat bagi negara adalah mengurangi tingkat
digital divide, khususnya democratic divide di masyarakat. Sampai saat ini, penetrasi
teknologi informasi di Indonesia masih terhalang oleh situasi digital divide yang teramat
ekstrim, dimana hanya sebagian kecil masyarakat memiliki akses dan terliterasi dalam
konteks teknologi informasi, sementara mayoritas bahkan belum memiliki akses terhadap
informasi dalam bentuk konvensional.
Pada konteks Indonesia, agak naif jika kita berpendapat bahwa masyarakat siap untuk
pemilu yang sepenuhnya terelektronisasi.Dengan kesenjangan yang sedemikian besar, fokus
usaha untuk meningkatkan literasi digital lebih perlu untuk diprioritaskan demi peningkatan
kesejahteraan.Akan tetapi, peluang dilaksanakannya e-voting dalam pemilu bukannya tidak
mungkin. Melalui proses sosialisasi yang intensif serta kebijakan yang mendukung upaya
penanggulangan digital divide, peluang terlaksananya e-votingakan semakin besar.
Tugas ini tidak harus menjadi beban negara sepenuhnya.Pelibatan masyarakat, opinion
leader, serta NGO dapat menjadi langkah strategis dalam penanggulangan digital divide.
Melalui kampanye sosial, aktivisme, serta gerakan dalam tataran akar rumput, penetrasi serta
literasi teknologi informasi akan dapat dicapai. Bibit positif ini sudah mulai ditanam di
berbagai komunitas di seluruh Indonesia.Tugas pemerintah adalah mengamplifikasi serta
mendukung tumbuhnya gerakan ini ke dalah skala yang lebih besar, dengan dukungan
infrastruktur yang lebih memadai.
Selain mindset serta pengetahuan, perlu juga dipikirkan mengenai lokasi geografis,
kemampuan akses (dalam hal ini oleh kaum difabel). Data yang didapatkan dari studi
mengenai kondisi digital divide selanjutnya akan dapat digunakan sebagai basis pemikiran
untuk tahapan selanjutnya.
Sistem dan Regulasi
Hal kedua yang perlu disiapkan oleh Negara, melalui penyelenggara pemilu adalah
sistem yang sesuai dengan karakter sosio-kultural dan ekonomi masyarakatnya. Sistem yang
didukung dengan regulasi akan menentukan arahan pemilu, serta memberikan kerangka kerja
kepada seluruh pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pemilu.
Dengan menggunakan analisis mengenai situasi literasi teknologi informasi,
penyelenggara pemilu akan dapat menyusun sebuah pemilu yang menfasilitasi hak rakyat,
sesuai dengan kemampuan dan aksesibilitas.
Infrastruktur, Logistik dan Keamanan
Setelah sistem dan regulasi penyelenggara pemilu dapat mulai menyusun rencana strategis
terkait dengan teknis pelaksanaan pemilu elektronik. Dengan mempertimbangkan situasi
sosio-kultural-ekonomi masyarakat, serta mengacu pada regulasi dan sistem yang telah
ditetapkan, pihak penyelenggara pemilu akan lebih mudah menentukan infrastruktur yang
diperlukan untuk pemilu elektronik.
Disamping infrastruktur, masalah keamanan juga menjadi satu aspek yang harus
diperhatikan. Pilihan atas teknologi yang akan digunakan dalam pemilu menentukan protokol
keamanan yang harus diterapkan dalam mengawal pelaksanaan proses pemilu.
PUSTAKA
Alvarez, R Michael & Thad E. Hall. (2004). POINT, CLICK, AND VOTE: The Future of
Internet Voting , Washington, D.C, BROOKINGS INSTITUTION PRESS
Bentivegna, Sara (2006) Rethinking Politics in the World of ICTs, European Journal of
Communication
Caltech/MIT Voting Technology Project(2004) Insuring the Integrity of the Electoral
Process: Recommendations for Consistent and Complete Reporting of Election Data.
California Institute of Technology.
Castells, Manuel. (1999) Information Technology, Globalization and Social Development
Manuel Castells. UNRISD Discussion Paper No. 114, September
Castells, Manuel (2010)The Rise of the Network Society; With a New Preface Volume I. The
Information Age: Economy, Society, and Culture (InformationAge Series), Wiley-Blackwell
Publishing.
Chadwick, Andrew & Philip N. Howard, (2008) Routledge Handbook of Internet PoliticsRoutledge, New York, Taylor & Francis e-Library
Chadwick, Andrew & Philip N. Howard, (2008) Routledge Handbook of Internet PoliticsRoutledge ;Parties, election campaigning, and the internet: Toward a comparative
institutional approach by Nick Anstead and Andrew Chadwick, New York, Taylor & Francis
e-Library
Davies, Simon G, (2006), Touching Big Brother: How Biometric Technology Will Fuse Flesh
and Machine.information Technology & People, Vol. 7..
Gibson, Rachel K & Ian McAllister (2011), Do Online Election Campaigns Win Votes? The
2007 Australian “YouTube” Election, Political Communication, Routledge, taylor& Francis
Group
Jones, Douglas W. (auth.) & Dimitris A. Gritzalis (eds.) (2003) Secure Electronic Voting:
Machine-Assisted Election Auditing. Springer: US
Kiayias, Aggelo & Helger Lipmaa (eds) (2007) E-Voting and Identity: First International
Conference, VOTE-ID. Revised Selected Papers, Bochum:Springer.
Liden, Gunnar & Anders Avdic (2003), Democracy Functions of Information Technology, in
the 36th Hawaii International Conference on System Sciences.
Norris, Pippa, (2001) Digital Divide, Civic Engagement, Information Poverty, and the
Internet, Worldwide-Cambridge University Press
Norbert Kersting, Harald Baldersheim (2005)Electronic Voting and Democracy A
Comparative Analysis. Hampshire: Palgrave McMillan
Panagopoulos, Costa (2009) The Transformation of Election Campaign Communications,
Politicking Online
Qadah, Ghassan Z & Rani Taha (2007) Electronic voting systems: Requirements, design, and
implementation. Elsevier
Servon, Lisa. J, (2002) Bridging the Digital Divide Technology, Community, and Public
Policy, Wiley-Blackwell Publishing.
Volkamer, Melanie (2009) Evaluation of Electronic Voting Requirements and Evaluation
Procedures to Support Responsible Election Authorities, Heidelberg: Springer.
Wall, Alan (2006), Electoral Management Design, Stockholm, International IDEA
Publishing.
Wolf, Peter(2010). Introducing Electronic Voting: Essential Considerations. Policy Paper.
Stockholm: IDEA.
Download