Kebijakan Proteksi Impor yang Salah Sasaran Luqmannul Hakim Dapatkah manusia bertahan hidup tanpa pangan? Rasanya mustahil. Pangan selalu menjadi kebutuhan hidup dasar yang harus dipenuhi oleh setiap orang untuk bisa bertahan hidup. Ketahanan menjadi sebuah keharusan untuk bisa mencukupi kebutuhan pangan suatu bangsa. Ketahanan pangan ada ketika seluruh orang, kapanpun, dapat mengakses secara ekonomi dan fisik atas pangan yang sehat dan bernutrisi untuk memenuhi kebutuhan dan pilihan untuk kehidupan yang sehat dan aktif (FAO, 2008). Demikian pula dengan kondisi ketahanan pangan kita. Negara yang disebut negara agraris ini harus bisa menjamin ketersediaan pangan yang sesuai untuk menghidupi 230 juta orang. Situasi Terkini Global Food Security Index 2015 (Alarcon et al., 2015) yang dipublikasikan oleh The Economist mengeluarkan indeks ketahanan pangan negara-negara di dunia. Indeks ini dihitung berdasarkan keterjangkauan, ketersediaan, kualitas, dan keamanan pangan di 109 negara yang menjadi objek pengamatan. Secara mayoritas, kualitas ketahanan pangan di negara-negara di dunia mengalami pertumbuhan positif dibandingkan beberapa waktu sebelumnya. Dari laporan tersebut, nilai keterjangakauan pangan Indonesia berada di posisi 74 dari 109 negara dengan nilai sebesar 46,7 (100 = Sangat Terjangkau). Bila dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia kalah jauh dengan Singapura (2), Malaysia (34), Thailand (52), Vietnam (65), dan Filipina (72). Indonesia hanya unggul dari Myanmar (78) dan Kamboja (96). Sama halnya dengan perubahan nilai dari tahun sebelumnya. Indonesia hanya mengalami perubahan positif sebesar 0,1 lebih kecil dari Myanmar (7,7), Vietnam (4,2), Singapura (3,4), dan Malaysia (0,7). Di dalam negeri, sektor pangan berada dalam posisi yang sangat strategis bagi masyarakat. Selain sebagai komoditas politik bagi kaum elit politik Indonesia, sektor pangan juga merupakan komoditas penting bagi masyarakat miskin Indonesia. Dua puluh persen masyarakat termiskin Indonesia mengeluarkan 71,9 persen dari pengeluarannya untuk konsumsi pangan dengan beras sebagai komoditas pangan utama mereka (25,6 persen dari pengeluaran). Setiap kenaikan harga beras, secara langsung maupun tidak langsung, akan memberikan dampak negatif bagi daya beli masyarakat miskin (Mcculloch, 2008). Jika kita lihat sebagai sumber mata pencaharian, hampir setengah dari rumah tangga Indonesia adalah rumah tangga pertanian. Pada tahun 2003, 47 persen penduduk Indonesia adalah petani. Tetapi hanya 26 persen yang menjadi petani beras. Dari angka 26 persen tersebut, 6 persen adalah petani dengan luas sawah lebih dari 0,5 hektar atau bisa kita bilang petani besar. Gambar 1 Rumah Tangga Pertanian dan Non-pertanian Indonesia (Mcculloch, 2008) Menghadapi kondisi pangan tersebut, pemerintah melakukan kebijakan agar ketahanan pangan tercapai. Pada rezim Orde Baru, fokus kebijakan adalah peningkatan pendapatan negara, pembangunan sektor manufaktur dan pencapaian swasembada pangan stabilisasi harga pangan domestik. Peningkatan pendapatan negara dilakukan dengan memberikan pajak pada komoditas kompetitif dan tarif impor untuk komoditas tersebut. Manufaktur moderen juga dilindungi negara dengan dikuasainya sektor yang dianggap vital oleh negara dan pengusaha swasta yang dekat dengan pemerintah. Stabilisasi harga domestik juga dilakukan dengan memberikan monopoli impor empat komoditas pangan (beras, gula, jagung, kedelai) kepada Bulog (Fane & Warr, 2008). Awal tahun 1990, Indonesia mulai terlihat tidak bisa menjaga status ‘swasembada’ berasnya. Hingga pada krisis ekonomi tahun 1998, akhirnya monopoli oleh Bulog dihapus sesuai dengan persyaratan pinjaman IMF. Walau kemampuan Bulog sudah dihapuskan, kebijakan ketat impor tetap berlanjut dengan mekanisme tarif pada tahun 1999. Pada tahun 2000, kebijakan tersebut diganti dengan tarif tetap yang dihitung per kilogram. Kebijakan tarif ini bertahan hingga tahun 2004 dan diganti dengan izin impor khusus dari pemerintah dalam bentuk kuota. Kebijakan Salah Sasaran Keputusan yang diambil memberikan dampak luas terhadap harga pangan, khususnya beras dan masyarakat miskin. Kebijakan yang awalnya untuk menstabilkan harga justru memperburuk keadaan. Gambar 2 Perkembangan Harga Beras Dunia VS Domestik (Ikhsan, Alatas, Wihardja, & Taufiq, 2015) diedit oleh Dr. Arief Anshory Yusuf Sejak tahun 2004, impor beras dibatasi dengan mekanisme kuota dan kontrol dari pemerintah Pemerintah berdalih hal ini untuk melindungi petani kecil dari masuknya beras impor yang lebih murah. Kebijakan ini juga diikuti dengan pembatasan ekspor beras untuk melindungi konsumen dari harga beras yang tinggi. Tetapi kebijakan pembatasan impor ini ternyata berujung pada naiknya harga beras domestik yang terus melebihi harga pasar dunia. Ketatnya impor beras juga membuat harga beras domestik menjadi tidak kompetitif bahkan sudah tidak mengikuti harga pasar dunia (Warr, 2011a). Harga pangan yang tinggi juga berdampak pada tingkat kemiskinan. Yusuf (2014) menemukan bahwa masyarakat miskin Indonesia, perkotaan dan pedesaan, sama-sama rentan terhadap pergerakan harga beras di pasaran. Ditemukan juga bahwa penduduk miskin lebih banyak ditemukan di pedesaan dan lebih rentan terhadap pergerakan harga pangan. Selain itu, Mcculloch (2008) mengatakan bahwa jika terjadi kenaikan harga beras sebesar 10 persen, maka rumah tangga yang diuntungkan hanya sebesar 14 persen dan sisanya (86 persen) dirugikan. Kerugian tersebut akan lebih terasa oleh masyarakat termiskin karena kerugian sama dengan pengurangan 2 persen dari pengeluaran per kapita mereka, sementara masyarakat terkaya kerugiannya hanya mengurangi 0,78 persen. Lalu siapa pihak yang diuntungkan? Pertama, petani yang memiliki sawah yg luas (Mcculloch, 2008), pemilik lahan, penggiling beras dan importir (Warr, 2011b). Sedangkan petani kecil dan buruh tani, yang menjadi objek kebijakan ini, tidak mendapatkan apa-apa justru merugi. Diestimasikan pembatasan impor yang menaikan harga beras domestik sebesar 10 persen akan menaikkan tingkat kemiskinan Indonesia sebesar 0,8 persen (Warr, 2011a). Kebijakan yang harus diperhatikan dalam menangani permasalahan pangan adalah kebijakan dari sisi penawaran. The Economist Intelligence Unit (2015) memberikan masukan bagaimana penawaran pangan dapat dikembangkan dengan baik. Pengembangan inovasi pertanian adalah salah satu kunci pengembangan sektor pangan. Inovasi pertanian yang terdepan dapat mempermudah proses produksi pangan dan memperbesar hasil produksi pangan. Selain inovasi, memperbesar peran petani kecil penting dalam meningkatkan kondisi ketahanan pangan. Memperbesar peran mereka dapat dilakukan dengan mempermudah akses keuangan yang berkualitas baik dari swasta maupun NGO, akses terhadap teknologi pangan terbaru agar mereka dapat bertani secara efisien dan berkelanjutan dengan hasil yang melimpah dan akses bibit, pupuk dan lahan pertanian yang baik. Sebelum mencapai ke sana, hal yang sangat perlu diperhatikan adalah penghapusan proteksi impor pangan, terutama beras. Proteksi impor yang ada, terutama kuota telah berkontribusi terhadap naiknya harga beras di pasar domestik. Pemerintah perlu menyadari bahwa kebijakan yang terbentuk saat ini telah merusak harga pasar domestik dan merugikan banyak orang. Terbukti di dalam sektor ini, kebijakan yang muncul bukan menjadi solusi justru menciptakan distorsi. --Luqmannul Hakim adalah mahasiswa jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran. Luqman saat ini aktif di Student for Liberty Indonesia, sebuah komunitas diskusi yang membahas isu-isu kebebasan. Luqman juga aktif di dalam komunitas Studium Veritatis, sebuah komunitas kajian dan diskusi yang mempromosikan demokrasi dan kesejahteraan. Pada tahun 2016, Luqman bersama dengan rekan-rekannya menginisiasikan komunitas yang bernama Bandung Budget Watch. Bandung Budget Watch adalah komunitas yang mengedepankan asas rasionalitas dan transparansi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Jawa Barat. Luqman bisa dihubungi melalui email [email protected]