BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembiayaan Kesehatan Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality). Oleh karena itu reformasi kebijakan kesehatan di suatu wilayah seyogyanya memberikan fokus penting kepada kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin terselenggaranya kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri (Tim Pengajar Ekonomi Kesehatan, 2001). Perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai (health care financing) akan menolong pemerintah di suatu wilayah untuk dapat memobilisasi sumber-sumber pembiayaan kesehatan, mengalokasikannya secara rasional serta menggunakannya secara efisien dan efektif. Kebijakan pembiayaan kesehatan yang mengutamakan pemerataan serta berpihak kepada masyarakat miskin (equitable and pro poor health policy) akan mendorong tercapainya akses yang universal. Pada aspek yang lebih luas diyakini bahwa pembiayaan kesehatan mempunyai kontribusi pada perkembangan sosial dan ekonomi. Berdasarkan uraian tersebut terlihat bahwa pembiayaan kesehatan sesungguhnya merupakan sebuah investasi untuk mencapai keuntungan dimasa mendatang yaitu peningkatan kualitas kesehatan masyarakat yang lebih baik. Biaya kesehatan di Indonesia selama tahun 2007 relatif kecil yaitu sekitar Rp US $ 30/kapita/tahun (World Bank Report, 2007). Sebagai perbandingan, negara lain seperti Thailand, Philipine, Malaysia dan India masing-masing mengeluarkan ratarata US $73, $14, $67 dan $21. Bila pengeluaran di negara-negara tersebut dinyatakan sebagai prosentase dari GNP, nilainya adalah lima persen, dua persen, tiga persen dan enam persen(Tim Pengajar Ekonomi Kesehatan, 2001). Di Indonesia, hanya 30 persen dari biaya kesehatan atau $4,2 per kapita berasal dari Pemerintah. Jumlah ini adalah sekitar 0.9 persen dari GNP dan 2,4 persen dari jumlah keseluruhan anggaran tahunan pemerintah. Data yang dikumpulkan selama 1982-1983 sampai 1988-1989 menunjukkan bahwa 35 persen sampai 40 persen dari anggaran tersebut diserap oleh program pelayanan rumah sakit dan 25 persen - 30 persen oleh puskesmas. 2.2 Perkembangan Sistem Pembiayaan Kesehatan Pra Upaya Data Susenas mengemukakan bahwa 25,4% dari penduduk Indonesia telah mendapat perlindungan jaminan kesehatan, baik terstruktur (PT Askes, Jamsostek, Asuransi Kesehatan Komersial, Asuransi Kesehatan Penduduk Miskin (Askeskin), dan lainnya) maupun tidak terstruktur (perusahaan swasta memberi jaminan berupa reimbursement, dana sehat, pelayanan kesehatan sendiri atau bentuk uang tunai). Fakta tersebut, menunjukan terjadinya pengembangan cakupan asuransi sosial kesehatan di Indonesia meningkat dari 13 persen atau sekitar 24 juta penduduk Bank Dunia dalam "World Development Report 1993". Seperti diketahui, dari jumlah tersebut sebanyak 15 juta adalah peserta PT. Askes dan sekitar satu juta adalah peserta program JPK PT. Jamsostek. Tidak jelas bagaimana komposisi sisanya sebesar delapan juta, apakah peserta asuransi swasta (yang diperkirakan tidak lebih dari satu juta) dan peserta Dana Sehat. Depkes RI memperkirakan bahwa peserta Dana Sehat (1995) adalah 14 juta orang. Dengan demikian cakupan sistem pembiayaan praupaya telah mencapai sekitar 30 - 31 juta atau sekitar 16 persen penduduk. Komposisinya adalah sebagai berikut, peserta PT. Askes berjumlah 15 juta, peserta PT Jamsostek berjumlah 1 juta, peserta Dana Sehat berjumlah 14 juta, peserta Askes Swasta berjumlah 1 juta, sehingga total cakupan berjumlah 31 Juta orang. Dari data tersebut kepesertaan sistem pembiayaan praupaya ini tidak berkembang di Indonesia, paling tidak selama 15 tahun yang lalu. Sejak awal 1980, ketika konsep DUKM mulai diketengahkan sebagai alternatif pembiayaan kesehatan di Indonesia. Ada beberapa faktor yang diperkirakan mempengaruhi rendahnya permintaan terhadap sistem pembiayaan praupaya ini, yaitu sebagai berikut: a. Pendapatan penduduk rendah b. Besarnya subsidi pemerintah terhadap pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan sekunder dan tertier c. Adanya sistem sosial dengan norma "extended family" d. Lemahnya infrastruktur penyelenggara sistem pembiayaan praupaya e. Terbatasnya ketersediaan pelayanan kesehatan yang memenuhi standar mutu yang diharapkan sementara segmen tertentu dalam masyarakat. Namun demikian, diperkirakan bahwa permintaan terhadap sistem pembiayaan praupaya ini (baik Asuransi Kesehatan pertanggungan kerugian maupun Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) Miskin, akan meningkat pesat dimasa mendatang. Ini didukung oleh kenyataan bahwa pendapatan dan pemerataan pendapatan terus membaik. Pada Tahun 2007 pendapatan per kapita mencapai US $ 1946, jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai US $ 1600. Berbagai upaya untuk meningkatkan pemerataan terus dilakukan secara intensif seperti misalnya IDT (Inpres Desa Tertinggal), peningkatan pendapatan keluarga, dll. Disamping itu, perkembangan industrialisasi yang pesat akan menambah jumlah pekerja di sektor formal, suatu kondisi yang baik untuk mengembangkan program JPKTK (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Tenaga Kerja). Sementara itu pendidikan tenaga asuransi kesehatan yang lebih profesional mulai dirintis dan diselenggarakan. Faktor lain yang mendorong perkembangan sistem pembiayaan pra upaya adalah kecenderungan kenaikan tarif pada fasilitas pemerintah sebagai bagian dari kebijaksanaan unit swadana, yang sudah mulai diterapkan di beberapa propinsi baik di rumah sakit maupun puskesmas. Kenaikan tarif akan menempatkan konsumer pada resiko finansial yang lebih besar dan oleh karenanya mendorong minat untuk menjadi peserta asuransi atau Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA). Dapat dikatakan bahwa kalau pada lalu sistem "out of pocket payment" adalah tulang punggung pembiayaan kesehatan, maka dimasa datang peranannya akan diambil alih oleh sistem pembiayaan pra-upaya, yaitu asuransi kesehatan pertanggungan kerugian, Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) dan Dana Sehat. Di Indonesia, ada dua jenis sistem pembiayaan pra upaya yang bisa dikembangkan sesuai dengan UU yang berlaku, yaitu (1) asuransi pertanggungan kerugian seperti diatur dalam UU No. 2/1992 dan (2) Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) seperti diatur dalam pasal 66 UU No. 23 tahun 1992. Fokus utama asuransi kesehatan pertanggungan kerugian adalah melindungi pesertanya dari kerugian finansial yang terjadi karena masalah kesehatan. Sedangkan fokus utama Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) adalah menjamin pemeliharaan kesehatan yang paripurna, sehingga derajat kesehatan pesertanya meningkat. Namun secara umum penyelenggaraan asuransi kesehatan dan Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) mempunyai banyak persamaan. 2.3 Asuransi Kesehatan Athern (1960) dalam Gani (2002) mengemukakan bahwa asuransi adalah suatu alat sosial yang menggabungkan resiko individu menjadi resiko kelompok, dan menggunakan dana yang dikumpulkan oleh kelompok tersebut untuk membayar kerugian yang diderita. Dengan demikian, esensi asuransi adalah sebagai alat sosial, dimana pengumpulan dana, mencakup sekelompok resiko, dan setiap orang atau badan yang menjadi anggotanya mengalihkan resikonya kepada seluruh kelompok. Berdasarkan pada definisi tersebut, dapat terlihat bahwa prinsip-prinsip yang terkandung dalam kata-kata sosial, juga menjadi prinsip asuransi kesehatan. Sebagai alat sosial asuransi kesehatan bukan semata mencari keuntungan bagi pihak tertentu, akan tetapi diperolehnya keuntungan bagi masyarakat secara keseluruhan. Asuransi kesehatan mudah dipahami dengan contoh sederhana sebagai berikut. Andaikan 100 orang menjadi anggota sebuah perkumpulan. Untuk mempermudah persoalan, asumsikan semua orang berusia kurang lebih sama dan memiliki gaya hidup yang serupa. Sekitar setahun sekali salah seorang jatuh sakit sehingga harus menghadapi biaya medis sebesar Rp 1.000.000,-. Asumsikan insidensi penyakit bersifat random, artinya tidak terdapat perbedaan sistematis risiko penyakit pada pria ataupun wanita, tua ataupun muda. Karena khawatir mengalami kerugian besar sewaktu sakit, para anggota memutuskan untuk mengumpulkan dana Rp 10,000 per anggota, dan menyimpan dana total Rp 1,000,000 di bank supaya aman dan mendapat bunga. Bila seseorang anggota jatuh sakit, maka dana tersebut akan digunakan untuk pengobatan. Sesungguhnya yang dilakukan perkumpulan dan para anggota tersebut merupakan asuransi. Beban pembiayaan kesehatan di Indonesia semakin hari semakin berat. Ini disebabkan oleh beberapa faktor penting, yaitu (1) meningkatnya jumlah penduduk, (2) masalah kesehatan yang terus semakin besar baik dari segi kuantitatif dan kualitatif, (3) perkembangan teknologi kesehatan yang semakin canggih dan (4) meningkatnya demand penduduk terhadap pelayanan kesehatan yang lebih bermutu. Disisi lain, kemampuan pemerintah untuk menyediakan biaya kesehatan terbatas. Oleh sebab itu, perlu dicari cara untuk melakukan mobilisasi sumber dana dari masyarakat dan swasta. Salah satu cara adalah dengan mengembangkan sistem pembiayaan pra-upaya (prepayment), yang dikenal sebagai asuransi kesehatan dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (Gani, 1998). 2.4. Asuransi Sosial Asuransi sosial adalah suatu sistem pembiayaan pemeliharaan kesehatan, biasanya sekaligus dengan jaminan hari tua, untuk para pekerja. Disini diberlakukan pembayaran iuran wajib sebesar persentase tertentu dari gaji pekerja atau karyawan tersebut. Jumlah total iuran yang perlu dikumpulkan ditetapkan atas dasar resiko atau kemungkinan kejadian sakit pada kelompok pekerja tersebut, akan tetapi besarnya iuran ditetapkan menurut persentase tertentu dari gaji mereka. Tidak jarang dalam sistem ini pemerintah berperan sebagai penunjang biaya, yaitu dengan memberikan subsidi (Gani, 1998). PT. Askes yang mengelola dana pemeliharaan kesehatan pegawai negeri adalah salah satu bentuk sistem pembiayaan yang mirip dengan asuransi sosial. Bedanya, PT. Askes terbatas hanya mengurus pembiayaan pemeliharaan kesehatan dan tidak termasuk jaminan hari tua. Iuran yang dikumpulkan besarnya adalah dua persen gaji. Ini berarti besar iuran tersebut tidak didasarkan pada resiko sakit yang dihadapi seseorang. Pegawai negeri dengan gaji tinggi akan membayar lebih banyak daripada pegawai negeri bergaji kecil, walaupun mungkin ia secara umum lebih sehat dibandingkan pegawai yang bergaji kecil. Jelas disini bagaimana prinsip gotong royong diwujudkan. Masalah utama dalam penerapan asuransi sosial ini adalah cakupannya yang sangat terbatas, yaitu pada kelompok pekerja yang terorganisir dan mempunyai penghasilan tetap. Masyarakat yang bekerja di sektor informal atau "self employed" atau para buruh tani, umumnya tidak dicakup oleh asuransi sosial. Masalah "inequity" muncul disini. Kelompok penduduk yang dicakup oleh asuransi sosial akan lebih mudah memanfaatkan pelayanan kesehatan. Karena pelayanan kesehatan tersebut mendapat subsidi dari Pemerintah, maka keadaan ini juga menimbulkan "misallocation" subsidi Pemerintah pada kelompok yang lebih mampu. Hal ini misalnya terjadi kalau tarif yang dikenakan oleh badan penyelenggara asuransi sosial tersebut di bawah biaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan. 2.5 Asuransi Kesehatan dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) Ada dua badan penyelenggara sistem pembiayaan praupaya yang utama di Indonesia sekarang ini. Pertama adalah PT. Askes yang mencakup sekitar empat juta pegawai negeri (atau 15 juta jiwa termasuk anggota keluarganya). Yang kedua adalah JPKTK atau Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Tenaga Kerja yang dikelola oleh PT. Jamsostek. Sekarang diperkirkan ada sebanyak satu juta tenaga kerja yang ikut dalam program JPKTK tersebut. Beberapa asuransi kesehatan swasta juga mulai berkembang di Indonesia (Tugu Mandiri, Bintang Jasa, dan lain-lain). Yang menjadi isu dalam pengembangan sistem pembiayaan praupaya adalah mencegah terjadinya efek samping, yaitu inflasi biaya, seperti yang terjadi di USA. Oleh sebab itu, di Indonesia dikembangkan konsep Dana Upaya Kesehatan Masyarakat (DUKM), dan prinsip operasionalnya yang disebut Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Seperti diketahui, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), sudah diatur dalam UU No. 23/92 pasal 66. Menurut UU tersebut, " Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) adalah suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna berdasarkan azas usaha bersama dan kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang dilaksanakan secara pra-upaya" (Tim Pengajar Ekonomi Kesehatan, 2001). Beberapa prinsip pokok dalam Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) tersebut, yang harus dilaksanakan oleh semua badan yang bergerak dalam bidang pembiayaan kesehatan adalah penerapan prinsip gotong royong dua pihak (biparties), sistem kapitasi dan sistem pelayanan terstruktur serta pengendalian mutu yang terarah. Uraian lebih lanjut tentang sistem pembiayaan praupaya ini disampaikan sebagai bagian terpisah dalam makalah ini. 2.6 Community Financing Untuk masyarakat berpendapatan rendah seperti di pedesaan, telah dilakukan berbagai macam model mobilisasi dana masyarakat (community financing) yang di Indonesia dikenal sebagai Dana Sehat. Dana sehat merupakan suatu upaya pemeliharaan kesehatan dari, oleh dan untuk masyarakat yang diselenggarakan berdasarkan atas azas usaha bersama dan kekeluargaan dengan pembiayaan secara pra-upaya dan bertujuan untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat. 6 Modelnya sangat bervariasi antara satu tempat dengan tempat lainnya. Prinsip dasarnya adalah pengumpulan iuran secara teratur (biasanya setiap bulan) dari rumah 6 Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI www.depkes.go.id (diakses tanggal 25 Desember 2008). tangga. Besarnya iuran biasanya ditetapkan secara musyawarah, yang dibicarakan dalam forum desa atau forum tradisional. Dana yang terkumpul dipergunakan untuk biaya berobat di difasilitas terdekat, misalnya Puskesmas Pembantu atau Puskesmas. Sekarang ini yang diusahakan adalah bagaimana Dana Sehat yang telah berkembang di banyak tempat bisa ditingkatkan lebih lanjut sehingga pelaksanaanya mengikuti prinsip-prinsip Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Lebih jauh lagi, ada pula model Dana Sehat yang dikaitkan dengan kegiatan peningkatan ekonomi keluarga (income generating activities). 2.7 Investasi Swasta dalam Pelayanan Rumah Sakit Di Indonesia, rumah sakit ternyata menyerap anggaran kesehatan pemerintah dalam proporsi yang sangat besar. Dari sudut pandang "equity", keadaan ini menyebabkan adanya "misalokasi" subsidi Pemerintah. Kalau anggaran pemerintah dapat dibebaskan dari rumah sakit, diharapkan subsidi tersebut akan lebih banyak diberikan kepada masyarakat yang kurang mampu, yang umumnya tinggal di daerah pedesaan (Tim Pengajar Ekonomi Kesehatan, 2001). Membuka peluang yang lebih besar kepada modal swasta untuk mengelola rumah sakit diperkirakan bisa menjadi jalan keluar masalah diatas. Namun beberapa issue perlu dipecahkan, antara lain kemungkinan rumah sakit swasta menjadi "profit maximizing bussiness" dan merebut sumberdaya tenaga kesehatan sehingga sektor pemerintah, yang bertanggung jawab terhadap masyarakat tidak mampu, menjadi makin berat tanggungannya. Investasi swasta dapat pula dilakukan di rumah sakit milik pemerintah. Sebagai contoh, General Electric (GE) melakukan investasi alat-alat kedokteran canggih yang diproduksinya di sebuah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Jawa Barat. GE dan rumah sakit bersangkutan sepakat untuk bagi hasil selama tujuh tahun. Selain itu, sebuah investor swasta membangun fasilitas rawat inap sebanyak 50 Tempat Tidur di RS yang sama. Tidak dapat dihindari bahwa peranan sektor swasta akan bertambah besar, yang disebabkan karena meningkatnya sosial ekonomi penduduk, jumlah penduduk yang dilayani bertambah dan adanya kesadaran akan kualitas pelayanan yang baik Tumbuhnya rumah sakit terutama di kota-kota besar, menyebabkan tingkat kompetisi antar rumah sakit terutama swasta cukup tinggi. 7 Dengan tingkat kompetisi yang tinggi, maka akan diikuti dengan segala upaya setiap rumah sakit untuk mempertahankan keberadaannya. Hanya rumah sakit yang dapat menyediakan layanan yang bermutu dengan pembiayaan yang relatif rendah dapat unggul dalam kompetisi ketat tersebut. Hal ini memacu adanya efisiensi pengelolaan dan perbaikan kualitas pelayanan kesehatan baik di rumah sakit swasta maupun pemerintah. Pernyataan tersebut membuktikan bahwa investasi swasta dalam hal pelayanan kesehatan tidak mengurangi aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan tersebut. 7 Nani Iriyanti, 2001. Pengendalian Biaya Pelayanan Rumah Sakit. http://www.pamjaki.org/new/download/download.php?file=practice_305a.pdf. Diakses tanggal 2 Januari 2009)