Buku: 5.4 Tantangan di Masa Depan dalam Asuransi Kesehatan Kombinasi subsidi negara dan retribusi pengguna untuk membiayai penyediaan layanan kesehatan publik memiliki dampak buruk terhadap ekuitas, seperti yang diungkapkan oleh studi manfaat insiden. Orang miskin memanfaatkan seluruh layanan kesehatan formal pada frekuensi yang lebih rendah dari kelompok sosial-ekonomi yang lebih tinggi, dan mereka sangat jarang menggunakan layanan rawat inap rumah sakit. Upaya untuk memberikan akses lebih besar kepada orang miskin sebelum Askeskin sebagian besar tidak efektif selain dana yang tidak mencukupi, tidak adanya sasaran penerima manfaat, dan akuntabilitas yang lemah untuk dana yang diberikan. Sejauh mana Askeskin akan mengubah pola bersejarah akses kesehatan yang tidak adil masih harus dibentuk, meskipun salah satu indikator yang menyenangkan adalah bahwa hal itu lebih gampang untuk didanai daripada skema sebelumnya. Mobilisasi sumberdaya untuk sektor publik sampai sekarang telah dilakukan melalui dua cara yakni: sistem penerimaan publik dan pembayaran uang langsung. Konsekuensi buruk dari ketergantungan pada pembayaran uang langsung telah dibahas di atas, dan keinginan untuk bergerak menuju bentuk mekanisme penyatuan risiko prabayar telah ditekankan. Tapi modalitas ini sebagian besar masih belum berkembang di Indonesia. Jumlah yang dicakup oleh skema asuransi kesehatan dengan iuran masih kecil, sekitar 11 persen dari total penduduk. Kepuasan yang telah diungkapkan pada peningkatan perlindungan finansial dalam beberapa tahun terakhir melalui pengembangan Askeskin perlu ditingkatkan dengan mengenalkan bahwa tidak ada sumber daya prabayar yang telah dikerahkan oleh skema ini. Karena anggotanya tidak membuat kontribusi keuangan, maka munculnya skema tersebut hanya menggeser keseimbangan dalam pendanaan sistem penyedia layanan publik dari pembayaran individual langsung menuju pembayaran kolektif melalui sistem pajak. Walaupun ini merupakan pergeseran positif, namun hal ini meningkatkan beban pada pendapatan masyarakat umum, yang dapat mengancam keberlanjutan skema ini dan menghambat perkembangan masa depan. Telah menjadi anggapan umum bahwa, seperti disebutkan dalam Undang-Undang Jaminan Sosial No 40/2004, masa depan pembiayaan kesehatan akan bergeser dari pembayaran tunai dan penggunaan pendapatan masyarakat umum menjadi perluasan skema asuransi iuran. Ada preseden baik untuk memperluas manfaat asuransi kesehatan sosial bagi tenaga kerja di sektor formal. Tantangan besar bagi masa depan adalah merancang metode penilaian dan mengerahkan kontribusi pekerja di sektor informal. Dengan meningkatnya ruang lingkup asuransi kesehatan sosial, maka hal ini akan mulai mempengaruhi cara pembayaran pelayanan. Pada saat ini, sektor publik dapat dicirikan sebagai model yang terintegrasi secara vertikal, di mana otoritas publik yang memobilisasi dan pengumpulan sumber daya juga memiliki dan mengelola fasilitas penyedia layanan. Mereka memberikan sumber daya dalam bentuk tunai atau fasilitas untuk para manajer dengan harapan bahwa sumber daya ini akan digunakan untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan, tetapi secara umum, tanpa pernyataan eksplisit mengenai kuantitas atau kualitas output. Hubungan internal yang nyaman ini akan berubah ketika penyedia sumber daya bukan pemilik dan pengelola fasilitas kesehatan. Mengembangkan hubungan kontrak antara pembeli dan penyedia layanan baik secara resmi maupun tidak. Ini adalah ciri dari ikatan kontrak sehingga menjadi lebih formal dan lebih eksplisit dari waktu ke waktu, dan tidak hanya berkaitan dengan dimensi dasar harga dan kuantitas, tetapi juga spesifikasi layanan dan ketentuan pembayaran. Kemungkinan juga membuka adanya peluang kompetisi antara penyedia layanan, jika ada lebih dari satu yang melayani populasi tangkapan. Daya tarik persaingan sebagai pendorong efisiensi operator dan pernyataan eksplisit output telah menyebabkan sejumlah negara yang pernah mengoperasikan model terintegrasi secara vertikal dengan sengaja memperkenalkan split operator/pembeli, sehingga dengan demikian dikonversi ke model kontrak. Model kontrak masih pada tahap baru lahir di Indonesia. Hal ini sebagian karena skala dana asuransi yang kecil sebelum Askeskin, sebagian lagi karena hubungan kelembagaan dikembangkan pada saat pengelolaan perusahaan asuransi tidak mencerminkan kepentingan yang dijaminkan. Jamsostek dan Askes pada dasarnya adalah pembeli pasif, dimana merka sebagian besar harus menerima apa yang ditawarkan penyedia layanan. Tradisi pembelian pasif ini berlanjut dalam Askeskin karena dianggap sebagai alat untuk melindungi keuangan masyarakat miskin, dan bukan sebagai tuas untuk mempengaruhi output dari sistem penyedia. Hal ini bisa berubah, sebagai akibat dari tekanan pengendalian biaya yang mungkin dihadapkan untuk menanggung Askeskin dan untuk kepuasan konsumen yang lebih besar dalam skema asuransi kesehatan yang lebih lama. Pertanyaan mendasar yang diajukan oleh model kontrak adalah apakah skema asuransi harus membatasi pilihan dari penyedia ke sektor publik, seperti beberapa pengecualian yang telah mereka lakukan sampai sekarang. Ada dua faktor, selain inersia dan tradisi ketentuan negara dalam model yang terintegrasi secara vertikal, yang berpengaruh dalam praktek saat ini. Salah satunya adalah bahwa banyak (tetapi tidak berarti semua) penyedia layanan swasta terpaksa menempati ceruk pasar yang melayani klien dengan pendapatan lebih tinggi dengan standar kemudahan yang tinggi. Faktor yang berhubungan adalah bahwa penyedia layanan swasta sulit untuk bersaing harga dengan penyedia layanan publik dalam penerimaan subsidi di sisi penawaran. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang lebih mendasar, di era ketika perlindungan keuangan masyarakat miskin yang disediakan oleh subsidi sisi permintaan: untuk apa kah subsidi sisi penawaran diberikan kepada penyedia layanan publik? Kesesuaian pendanaan publik untuk layanan dengan karakter barang publik tidak dipertanyakan, namun sebagian besar pengeluaran yang dianggarkan diterapkan untuk produksi perawatan medis individual. Mungkin tantangan bagi masa depan adalah untuk memfokuskan diri pada pengeluaran publik dengan dua misi utama yakni: perlindungan masyarakat miskin melalui subsidi premi asuransi sisi permintaan, dan konsentrasi subsidi sisi penawaran pada kesehatan masyarakat. Kemudian penyedia pelayanan perawatan medis publik dan swasta akan berdiri pada pijakan yang sama dan asuransi akan bebas untuk memilih di antara mereka berdasarkan kriteria kinerja saja. Sebuah skenario di mana penyedia layanan publik lebih mengandalkan kontrak daripada anggaran untuk sebagian besar dana mereka juga akan menjadi tantangan!