Analisis willingness to accept masyarakat terhadap

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Sumberdaya didefinisikan sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai
ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa sumberdaya adalah komponen dari
ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan
manusia. Dalam pandangan Adam Smith, sumberdaya diartikan sebagai seluruh
faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan output (Fauzi, 2006).
Menurut Fauzi (2006), sumberdaya alam dapat diartikan sebagai segala
sumberdaya hayati dan non hayati yang dimanfaatkan umat manusia sebagai
sumber pangan, bahan baku dan energi. Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun
1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari
sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang
bersama dengan unsur non hayati disekitarnya secara keseluruhan membentuk
ekosistem. Sumberdaya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat
dikonsumsi baik langsung maupun tidak langsung juga dapat menghasilkan jasajasa lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk lain, misalnya amenity
seperti keindahan, ketenangan dan sebagainya (Fauzi, 2006).
2.1.1 Jasa Lingkungan
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang tata hutan
dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, jasa
lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam
dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Jasa
lingkungan dapat dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung.
Pemanfaatan secara langsung seperti rekreasi, sedangkan secara tidak langsung
seperti pengendali erosi dan banjir.
Menurut Wunder (2005), ada empat tipe jasa lingkungan yang saat ini
mengemuka yaitu:
1.
Penyerap dan penyedia karbon (carbon sequestration and storage),
2.
Perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection),
3.
Perlindungan Daerah Aliran Sungai (wathershed protection), dan
4.
Pelestarian keindahan bentang alam (protection of landscape beauty).
2.1.2 Daerah Aliran Sungai
Salah satu jasa lingkungan yang dihasilkan oleh ekosistem hutan yaitu
perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS). Menurut Asdak (1995), DAS
merupakan satuan wilayah tangkapan air (catchman area) yang dibatasi oleh
pemisah topografi yang menerima hujan, menampung dan mengalirkan ke sungai
dan seterusnya ke danau dan laut serta mengisi air bawah tanah. Menurut UndangUndang Nomor 7 Tahun 2004 DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan
yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang
berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah
hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah
topografis dan batas laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh
aktifitas daratan.
Menurut Pagiola et al. (2002), jasa perlindungan daerah aliran sungai
mencakup:
1.
Pengaturan aliran air (water flow), pemeliharaan aliran musim kering dan
mengontrol banjir.
8 2.
Pemeliharaan kualitas air, meminimalisir beban endapan (sediment load),
beban nutrient (misalnya, phosphorous dan nitrogen), beban kimia dan kadar
garam.
3.
Control terhadap erosi tanah dan sedimentasi
4.
Penurunan salinitas tanah dan atau pengaturan level air tanah.
5.
Pemeliharaan habitat akuatik.
2.2
Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Beberapa sumberdaya termasuk ke dalam kategori barang publik (public
goods). Pemanfaatan barang publik sering menimbulkan masalah yaitu terjadi
konsumsi yang berlebihan. Menurut Fauzi (2006), berdasarkan ciri-cirinya, barang
publik memiliki dua sifat dominan berikut:
1.
Non-rivalry (tidak ada ketersaingan) atau non-divisible (tidak habis).
Artinya, konsumsi seseorang terhadap barang publik tidak akan mengurangi
konsumsi orang lain terhadap barang yang sama. Misalnya uadara yang kita
hirup, dalam derajat tertentu tidak berkurang bagi orang lain dalam
menghirupnya.
2.
Non-excludable (tidak ada larangan).
Artinya, sulit untuk melarang pihak lain untuk mengkonsumsi barang yang
sama. Seperti pada saat kita menikmati pemandangan laut yang indah di
pantai misalnya, kita tidak bisa atau sulit melarang orang lain tidak
melakukan hal yang sama karena pemandangan adalah public goods.
Sumberdaya alam dan lingkungan yang termasuk dalam barang publik
memerlukan penilaian secara ekonomi guna mengatasi masalah konsumsi secara
berlebihan. Nilai manfaat pada sumberdaya dan lingkungan dapat diperoleh
9 dengan memasukkan nilai manfaat yang ada tersebut. Komponen-komponen dari
nilai total ekonomi diantaranya adalah:
1.
Nilai kegunaan konsumtif (use value)
Merupakan nilai yang diperoleh atas pemanfaatan dari sumberdaya alam. Use
value terdirir dari:
a.
Nilai guna langsung (direct use) merupakan nilai yang diperoleh individu
dari pemanfaatan langsung sumberdaya alam dimana individu tersebut
berhubungan langsung dengan sumberdaya alam dan lingkungan.
b.
Nilai guna tak langsung (indirect use) merupakan nilai yang didapat atau
dirasakan secara tidak langsung dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh
sumberdaya alam dan lingkungan.
2.
Nilai kegunaan non konsumtif (non-use value)
Merupakan nilai sumberdaya alam dan lingkungan yang muncul karena
keberadaannya meskipun tidak dikonsumsi secara langsung. Nilai ini lebih
sulit diukur karena didasarkan pada preferensi individual terhadap
sumberdaya alam dan lingkungan daripada pemanfaatan langsung. Non-use
value terdiri dari:
a.
Nilai keberadaan (existence value) merupakan nilai yang didasarkan pada
terpeliharanya sumberdaya alam tanpa menghiraukan manfaat dari
keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan tersebut.
b.
Nilai warisan (bequest value) merupakan nilai yang diberikan oleh
generasi saat ini terhadap sumberdaya alam dan lingkungan agar dapat
diwariskan pada generasi mendatang.
10 2.3
Pembayaran Jasa Lingkungan
2.3.1 Pengertian Pembayaran Jasa Lingkungan
Pembayaran jasa lingkungan (payment environmental services) secara
umum dapat didefinisikan sebagai mekanisme kompensasi dimana penyedia jasa
(services providers) dibayar oleh penerima jasa (services users). Pembayaran jasa
lingkungan adalah suatu mekanisme yang fleksibel, dimana dapat diadaptasi
dalam kondisi yang berbeda-beda (The Regional Forum on Payment Schemes for
Enviromental Services in Wathershed, the Third Latin American Congress on
Watershed Management, 2003)1. Pembayaran jasa lingkungan merupakan sebuah
transaksi sukarela (voluntary) yang melibatkan paling tidak satu penjual (one
seller), satu pembeli (one buyer) dan jasa lingkungan yang terdefinisi dengan baik
(weel-defined environmental services), dimana di sini berlaku pula prinsip-prinsip
bisnis “hanya membayar bila jasa telah diterima” (Wunder, 2005).
Menurut Tim Studi PES RMI (2007) pembayaran jasa lingkungan
didasarkan pada pemberian skema-skema kompensasi untuk menghargai upaya
masyarakat dalam mengelola ekosistem untuk menghasilkan jasa-jasa lingkungan
yang lebih baik. Dewasa ini ,negara maju serta beberapa negara berkembang
mulai membahas mengenai pembayaran jasa lingkungan. Pembayaran jasa
lingkungan antara lain dapat diterapkan pada pengelolaan daerah aliran sungai.
2
http://www.esp.or.id/wp-contant/uploads/pdf/fs/efs-en.pdf. Diakses pada tanggal 16 Maret 2010
pukul 08.30
11 2.3.2 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan
Menurut World Bank diacu dalam Wunder (2005), mekanisme
pembayaran jasa lingkungan akan dijelaskan pada Gambar 1.
Pemerintah Daerah
Penyedia Manfaat
Mekanisme
Mekanisme
Keuangan
Pembayaran
Pengguna Manfaat
Jasa Lingkungan
Gambar 1. Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan
Penyedia manfaat dalam skema ini berarti lingkungan yang menyediakan
suatu jasa lingkungan. Mekanisme pembayaran lingkungan ini tergantung oleh
mekanisme keuangan dan mekanisme pembayaran jasa lingkungan itu sendiri.
Kedua mekanisme tersebut sangat dipengaruhi oleh struktur pemerintah sehingga
manghasilkan suatu nilai yang sesuai dengan jasa lingkungan yang sesungguhnya
yang dibayarkan secara sukarela oleh penerima manfaat jasa lingkungan agar
dapat menghasilkan jasa lingkungan yang berkelanjutan untuk generasi
mendatang.
12 2.3.3
Manfaat Pembayaran Jasa Lingkungan
Pembayaran jasa lingkungan mempunyai manfaat apabila diterapkan
dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan. Menurut Tim Studi PES RMI
(2007), manfaat dari pembayaran jasa lingkungan antara lain:
1.
Dapat dimanfaatkan untuk membangun kepedulian masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang
lebih baik.
2.
Dapat menfasilitasi penyelesaian konflik dan membangun kesepakatan di
antara para pelaku yang terlibat dalam pengelolaan SDA dan lingkungan.
3.
Dapat meningkatkan rasionalitas (efisiensi) dalam pemanfaatan barang dan
jasa lingkungan (ekosistem) melalui penciptaan nilai atas barang dan jasa
tersebut
yang
menurut
karakteristiknya
sebagian
besar
diantaranya
merupakan non-marketable goods and services (NMGS).
4.
Dapat dijadikan sumber pendanaan alternatif bagi upaya-upaya konservasi,
rehabilitasi dan pengelolaan SDA.
5.
Sebagai peluang untuk mentransfer sumberdaya dari penerima manfaat
kepada penyedia jasa yang secara sosial ekonomi umumnya termarjinalkan.
2.4
Metode Estimasi Penilaian Jasa Lingkungan
Barang dan jasa lingkungan termasuk ke dalam barang yang tidak
memiliki nilai pasar (non-market value). Menurut Garrod dan Willis (1999),
terdapat dua kelompok utama pendekatan untuk menilai dan mengukur barang
tersebut, yaitu: (1) revealed preference approaches (revealed preference
techniques), dan (2) stated preference approaches (expressed preference
techniques). Revealed preference approaches merupakan pendekatan untuk
13 melihat bagaimana masyarakat membuat keputusan atas aktivitas-aktivitas yang
‘menghormati’ dan ramah terhadap kegunaan atau dampak lingkungan. Fokus dari
pendekatan ini adalah mengukur nilai kegunaan langsung (direct use value) dan
nilai kegunaan tidak langsung (indirect use value). Sedangkan stated preference
approaches merupakan pendekatan yang menggunakan pertanyaan nilai kegunaan
langsung dari individu-individu. Teknik ini juga dapat digunakan untuk mengukur
nilai kegunaan langsung (direct use value) dan nilai kegunaan tidak langsung
(indirect use value).
Menurut Yakin (1997), metode penilaian terhadap barang dan jasa
lingkungan saat ini telah berkembang sekitar 15 metode. Diantaranya adalah
Dose-Responsen Method (DRM), Hedonic Price Method (HPM), Travel Cost
Method (TCM), dan Averting Behaviour Method (ABM). Saat ini metode dalam
menilai barang dan jasa lingkungan yang paling popular adalah Contingent
Valuation Method (CVM). CVM dapat mengukur nilai dari barang dan jasa
lingkungan dengan secara langsung menanyakan kepada individu atau
masyarakat.
2.4.1 Konsep Contingent Valuation Method (CVM)
Menurut Fauzi (2006), pendekatan CVM disebut contingent (tergantung)
karena pada prakteknya informasi yang diperoleh sangat bergantung pada
hipotesis yang dibangun. Pendekatan CVM sering digunakan untuk mengukur
nilai pasif (nilai non-pemanfaatan) sumberdaya alam atau sering dikenal juga
dikenal dengan nilai keberadaan.
Fauzi (2006) menyatakan bahwa pendekatan CVM secara teknis dapat
dilakukan dengan cara yaitu: (1) dengan teknik eksperimental melalui simulasi
14 dan permainan, (2) dengan teknik survei. Pada hakikatnya CVM bertujuan untuk
mengetahui keinginan membayar (Willingness to Pay atau WTP) dari masyarakat
dan keinginan menerima (Willingness to Accept atau WTA) dari masyarakat.
Ketika individu yang ditanya memiliki hak atas sumberdaya, pengukuran yang
relevan adalah WTA kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya
sumberdaya alam yang mereka miliki. Jika individu yang ditanya tidak memiliki
hak atas sumberdaya, pengukuran yang relevan adalah WTP utuk memperoleh
barang tersebut.
2.4.2 Tahapan Contingent Valuation Method (CVM)
Menurut Hanley dan Spash (1993), di dalam tahap operasional penerapan
pendekatan CVM terdapat lima tahap kegiatan atau proses, yaitu:
1.
Membuat pasar hipotesis
Pada awal proses kegiatan CVM, seorang peneliti biasanya harus terlebih
dahulu membuat hipotesis pasar terhadap sumberdaya yang akan dievaluasi.
Dalam hal ini bisa membuat kuisioner. Kuisioner ini bisa terlebih dahulu diuji
pada kelompok kecil untuk mengetahui reaksi atas proyek yang akan
dilakukan sebelum proyek tersebut betul-betul dilaksanakan.
2.
Mendapatkan nilai lelang (bids)
Tahap berikutnya dalam melakukan CVM adalah memperoleh nilai lelang.
Ini dilakukan dengan melakukan survei, baik melalui survei langsung dengan
kuisioner, wawancara melalui telepon, maupun lewat surat. Tujuan dari
survei langsung adalah untuk memperoleh nilai maksimum atau minimum
dari responden terhadap suatu proyek. Nilai lelang ini bisa dilakukan dengan
15 teknik permainan lelang (bidding game), pertanyaan terbuka, payment cards,
model referendum atau discrete choice (dischotomous choice).
3.
Menghitung rataan WTP dan WTA
Tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataan WTP setiap individu. Nilai
ini dihitung berdasarkan nilai lelang yang diperoleh pada tahap dua.
Perhitungan ini biasanya didasarkan pada nilai mean (rataan) dan nilai
median (tengah).
4.
Memperkirakan kurva lelang (bid curve)
Kurva lelang atau bid curve diperoleh dengan, misalnya, meregresikan WTP
atau WTA sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) dengan beberapa
variabel bebas.
5.
Mengagregatkan Data
Tahap terakhir dalam teknik CVM adalah mengagregatkan rataan lelang yang
diperoleh pada tahap tiga. Proses ini melibatkan konversi data rataan sampel
ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi
ini adalah mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga dalam
populasi (N).
2.5
Penelitian Terdahulu
Salah satu peneliti yang melakukan penelitian Pembayaran Jasa
Lingkungan DAS adalah Triani dari Sekolah Sarjana Program Studi Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Triani (2005), melakukan
penelitian dengan judul “Analisis Willingness to Accept Masyarakat terhadap
Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Cidanau” (studi kasus: Desa Citanam
Kabupaten Serang). Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
16 pendekatan CVM. Metode ini digunakan untuk mengkaji seberapa besar dana
yang bersedia diterima masyarakat.
Hasil dari penelitian Triani adalah Mekanisme pembayaran jasa
lingkungan lingkungan DAS Cidanau melibatkan Forum Komunikasi DAS
Cidanau; Desa Ciatanam, Desa Cikumbeun dan Desa Kadu Agung sebagai
penyedia jasa lingkungan (seller); dan PT. KTI sebagai pemanfaat jasa lingkungan
(buyer) dengan metode transaksi secara tidak langsung (indirect payment).
Responden menilai kualitas lingkungan semakin baik setelah adanya upaya
konservasi. Sebagian besar responden menilai baik terhadap program pembayaran
jasa lingkungan yang sedang berjalan. Cara penetapan nilai pembayaran dinilai
buruk oleh sebagaian besar responden. Hanya dua responden dari 43 responden
menyatakan tidak bersedia menerima nilai pembayaran sesuai skenario yang
ditawarkan dengan alasan program tidak membuat anggota kelompok kehilangan
tegakan pohon yang ada di atas lahan miliknya.
Nilai dugaan rataan WTA responden adalah Rp 5.056,98 per pohon per
tahun. Jika dilakukan penyesuaian nilai pembayaran terkait nilai rata-rata WTA
masyarakat, dengan jumlah pohon sebanyak 500 pohon per ha, maka nilai
pembayaran yang harus diserahkan kepada penyedia jasa lingkungan adalah Rp
2.528.490,00 per ha per tahun. Nilai total WTA responden sebesar Rp
2.718.125.000,00. Nilai WTA responden Kolompok
Tani Karya Muda II
dipengaruhi oleh faktor nilai pendapatan dari pembayaran jasa lingkungan yang
selama ini diterima, kepuasan terhadap nilai pembayaran jasa lingkungan yang
selama ini diterima, jumlah pohon, tingkat pendapatan rumah tangga, lama
tinggal, dan penilaian terhadap cara penetapan nilai pembayaran.
17 
Download