II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekonomi Pencemaran Definisi ekonomi pencemaran tergantung pada beberapa efek fisik limbah pada lingkungan dan reaksi manusia terhadap efek fisik. Efek fisik dapat biologis (misalnya perubahan spesies, kesehatan yang buruk), kimia (misalnya efek dari hujan asam pada permukaan), atau auditori (kebisingan). Reaksi manusia muncul sebagai ketidakpuasan, kecemasan, atau ketidaknyamanan (Pearce dan Turner, 1990). Biaya eksternal juga dikenal sebagai eksternalitas negatif atau diseconomy eksternal. Eksternalitas adalah pengaruh atau dampak atau efek samping yang diterima oleh beberapa pihak sebagai akibat dari kegiatan ekonomi, baik produksi, konsumsi atau pertukaran yang dilakukan pihak lain. Eksternalitas dapat bersifat menguntungkan (positive externalities) atau bersifat merugikan (negative externalities). Eksternalitas negatif adalah pengaruh yang diterima oleh beberapa pihak akibat kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain yang mengakibatkan penurunan kesejahteraan dan hilangnya kesejahteraan tersebut tidak dikompensasi. Eksternalitas positif adalah kegiatan satu pihak menghasilkan peningkatan kesejahteraan pada pihak lain. 2.1.1 Kondisi Optimal Tanpa Terjadi Eksternalitas dan dengan Eksternalitas Dengan adanya eksternalitas, kita tidak dapat mencapai kondisi-kondisi optimalitas pareto (P=MSC). Tingkat harga ketika terjadi eksternalitas akan lebih tinggi dibandingkan ketika tidak terjadi eksternalitas. Sebaliknya, output yang 10 dihasilkan akan lebih sedikit ketika terjadi eksternalitas (Pearce dan Turner, 1990). Sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3. P MSC MPC Biaya Eksternal p2 p1 D q2 q1 Jumlah output Gambar 3. Biaya Eksternal dan Keluaran Pasar Gambar 3 mengilustrasikan hubungan antara jumlah produksi dan biaya eksternal. Perpotongan kurva permintaan dan kurva biaya swasta marjinal (MPC) terjadi pada harga p1 dan kuantitas q1. Inilah harga dan kuantitas yang muncul pada pasar kompetitif dimana produsen mengabaikan biaya eksternal. Namun pada kenyataannya, biaya sosial marginal (MSC) lebih tinggi dari MPC karena MSC terdiri atas MPC dan MEC. Maka tingkat output yang efisien secara sosial adalah q2 pada tingkat harga p2. Perhatikan bahwa tingkat output q1 lebih besar dibandingkan tingkat output q2, sementara tingkat harga p1 lebih rendah dibandingkan tingkat harga p2. Sistem pasar memproduksi terlalu banyak dengan harga yang terlalu rendah dibandingkan dengan tingkat kuantitas dan harga pada efisiensi sosial. Ini karena perusahaan tidak membayar jasa lingkungan sebagai penyedia cara untuk membuang limbah. Cara ini murah untuk perusahaan, tetapi tidak murah untuk 11 masyarakat yang terkena berbagai dampak negatif akibat pencemaran. Tingkat output yang optimal yang dapat dicapai oleh perusahaan dalam pasar persaingan sempurna (PPS) adalah pada saat P=MC. Hal ini yang melatarbelakangi mengapa kompensasi yang dikeluarkan dari perusahaan dirasakan perlu oleh masyarakat. 2.1.2 Penyebab Terjadinya Eksternalitas dan Cara Mengatasinya Ada beberapa hal yang menyebabkan masalah eksternalitas diantaranya masalah hak kepemilikan (property rights), property rights sangat menentukan alokasi sumberdaya yang efisien karena bagaimana produsen dan konsumen menggunakan SDA tergantung pada hak pemilikan/pengelolaan yang mengatur SDA tersebut, barang publik/public goods, common resources, kegagalan pasar/market failure, dan kegagalan pemerintah/ state failure. Dari kelima penyebab masalah eksternalitas, kegagalan pemerintah/state failure banyak terjadi di Indonesia. Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan kepentingan pemerintah sendiri atau kelompok tertentu (interest group) yang tidak mendorong efisiensi dan tidak berwawasan lingkungan (Putri et al, 2008). Kelompokkelompok ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari keuntungan (rent seeking) melalui proses politik, melalui kebijakan dan sebagainya. Aksi rent seeking bisa dalam bentuk: lobby interest groups untuk memberlakukan aturan yang melindungi/menguntungkan mereka, atau sogokan pada oknum-oknum pemerintah. Rent seeking menyebabkan dampak lingkungan yang seharusnya diselidiki atau diatasi dengan penerimaan pemerintah dari denda atau pajak dan lain-lain tidak dilaksanakan dengan semestinya sehingga masalahnya makin lama makin serius. Permasalahan kegagalan pemerintah dalam pelaksanaan denda atau pajak perlu diselesaikan untuk mengatasi masalah eksternalitas. Selaain itu 12 permasalahan eksternalitas juga dapat diatasi oleh subsidi dan bargaining (penawaran) dari kedua belah pihak yang bersangkutan. Pencemaran air tanah merupakan proses masuknya makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain oleh kegiatan manusia, yang menyebabkan kualitas air turun (Nemerow 1978). Pencemaran dari perspektif ekonomi bukan hanya dilihat dari hilangnya nilai ekonomi sumber daya akibat berkurangnya kemampuan sumber daya baik kualitas maupun kuantitas, namun juga dilihat dari dampaknya terhadap masyarakat. Bagi masyarakat, pencemaran air tanah yang terjadi merupakan sebuah kerugian, terutama secara ekonomi. Masyarakat tidak lagi bisa memanfaatkan sumber daya air secara normal, baik digunakan untuk MCK maupun untuk konsumsi. Jika ini yang terjadi tingkat kesejahteraan masyarakat pun akan menurun, terutama ketika masyarakat harus mengeluarkan biaya tambahan seperti biaya penyakit, biaya pengganti untuk mencari sumber air baru yang lebih layak untuk dikonsumsi untuk memenuhi kegiatan sehari-hari. 2.2 Industri dan Klasifikasinya Setiap bangsa membutuhkan dan berhak mencita-citakan basis industri yang efisien untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya yang terus berubah. Industri mengekstraksi material dari basis sumber daya alam, dan memasukkan baik produk maupun limbah ke lingkungan hidup manusia. Dengan kata lain, industri mengakibatkan berbagai perubahan dalam pemanfaatan energi dan sumber-sumber daya alam. Kristanto (2004) menjelaskan industri secara garis besar dapat diklasifikasikan kedalam tiga bagian, diantaranya industri dasar atau hulu, industri 13 hilir, dan industri kecil. Industri dasar atau hulu memiliki sifat sebagai berikut: padat modal, berskala besar, menggunakan teknologi maju dan teruji. Lokasinya selalu dipilih dekat dengan bahan baku yang mempunyai sumber energi sendiri, dan pada umumnya lokasi ini belum tersentuh pembangunan. Oleh karena itu industri hulu membutuhkan perencanaan yang matang beserta tahapan pembangunannya, mulai dari perencanaan sampai operasional. Di sudut lain juga dibutuhkan pengaturan tata ruang, rencana pemukiman, pengembangan hidup perekonomian, pencegahan kerusakan lingkungan, dan lain-lain. Pembangunan industri ini dapat mengakibatkan perubahan lingkungan, baik dari aspek sosialekonomi dan budaya maupun pencemaran. Terjadi perubahan tatanan nasional, pola konsumsi, tingkah laku, sumber air, kemunduran kualitas udara, penyusutan sumber daya alam, dan sebagainya. Industri hilir merupakan perpanjangan proses industri hulu. Pada umumnya industri ini mengolah bahan setengah jadi menjadi barang jadi, lokasinya selalu diusahakan dekat pasar. Industri kecil umumnya banyak berkembang di pedesaan dan perkotaan, dan memiliki peralatan sederhana. Walaupun hakikat produksinya sama dengan industri hilir, tetapi sistem pengolahannya lebih sederhana. Sistem tata letak pabrik maupun pengolahan limbah belum mendapat perhatian. Sifat industri ini padat karya. Sesuai dengan program pemerintah, untuk lebih memudahkan pembinaannya, industri dasar dibagi lagi menjadi industri kimia dasar, industri mesin, dan logam dasar, sedangkan industri hilir sering juga disebut dengan aneka industri. Di negara maju, pentingnya industri sebagai penyedia lapangan kerja relatif telah menurun sejak beberapa dekade terakhir. Namun demikian, 14 pergeseran lapangan kerja menuju ke sektor industri jasa telah meningkat dengan pesat sejalan dengan ditemukannya beberapa proses dan teknologi baru. Kebanyakan para ekonom terus mempermasalahkan apakah datangnya era ekonomi yang berlandaskan informasi akan semakin menekan lapangan kerja di sektor industri atau justru akan memperluas kesempatan kerja secara keseluruhan. Sebagian besar negara berkembang mengawali kemerdekaannya praktis tanpa industri modern sama sekali. Selama dekade 1960 dan 1970an industri perdagangan, produksi dan lapangan kerja mereka tumbuh lebih cepat daripada sektor-sektor yang sama di negara-negara pasar industri. Perdagangan internasional dalam barang-barang manufaktur merupakan salah satu faktor yang mendasari perubahan peta industrialisasi dunia. Secara umum, produk industri setiap negara terus berdiversifikasi dan bergerak menuju ke bidang-bidang yang lebih padat modal, seperti produk-produk logam, bahan kimia, mesin dan peralatan. Berbagai industri berat, yang banyak menimbulkan pencemaran terus berkembang. Pada saat yang sama sektor industri yang berhubungan dengan produk pangan (agro-industri) terus menurun dengan cukup berarti. 2.3 Klasifikasi Kualitas Air Kondisi air digambarkan dengan kualitas dan ketersediaannya (volume). Kualitas air berhubungan dengan kelayakan pemanfaatannya untuk berbagai kebutuhan sedangkan ketersediaan air berhubungan dengan berapa banyak air yang dapat dimanfaatkan dibandingkan dengan kebutuhannya. Kualitas air juga dipengaruhi oleh volumenya yang berpengaruh langsung pada daya pulih air (self purification) untuk menerima beban pencemaran dalam jumlah tertentu 15 (Kementerian Lingkungan Hidup, 2009). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas Air dan pengendalian Pencemaran Air, klasifikasi mutu air diterapkan menjadi 4 kelas yaitu: 1) Kelas I, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 2) Kelas II, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 3) Kelas III, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 4) Kelas IV, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 2.4 Konsep Industri Global Berwawasan Lingkungan Persepsi dan respon masyarakat dunia terhadap permasalahan pembangunan dan lingkungan senantiasa berkembang. Gro Halem Brundtland mantan PM Norwegia yang juga ketika itu menjabat sebagai ketua komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan, mempublikasikan laporannya yang berjudul Hari Depan Kita Bersama (Our Common Future), konsep pembangunan yang berkelanjutan mendapatkan gaungnya secara internasional. Sebelum konferensi Stockholm 1972, sebagian besar pemimpin dunia menganggap bahwa kerusakan 16 lingkungan hidup adalah harga yang harus dibayar jika ingin melaksanakan pembangunan. Sejak pascakonferensi sampai dekade 1980an, persepsi semacam itu semakin pudar, dan yang berkembang adalah bahwa antara pembangunan dan lingkungan sesungguhnya merupakan dua sisi mata uang yang sama. Dekade 1980an juga diwarnai dengan berkembangnya gagasan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang di Indonesia lebih populer dengan istilah pembangunan berwawasan lingkungan. Hal ini bisa kita lihat dengan diberlakukannya UU No 4/1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup dan PP No.29/1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Namun, pelaksanaan undang-undang ini pun masih tersendat-sendat. Sebagai buktinya pelaksanaan studi AMDAL hingga kini belum dijadikan masukan dalam tahap perencanaan dan operasi proyek. Kondisi semacam ini terjadi mungkin disebabkan kebanyakan di antara kita belum menyadari manfaat dari dimasukkannya wawasan lingkungan ke dalam kiprah pembangunan, hal ini dapat terjadi karena peraturan lingkungan hidup seperti AMDAL, hanya dilihat dari sisi biayanya saja. 2.5 Pencemaran dan Limbah Pada dasarnya kegiatan suatu industri adalah mengolah masukan (input) menjadi keluaran (output). Pengamatan terhadap sumber pencemar sektor industri dapat dilaksanakan pada masukan, proses maupun pada keluarannya dengan melihat spesifikasi dan jenis limbah yang diproduksi. Pencemaran yang ditimbulkan oleh industri diakibatkan adanya limbah yang keluar dari pabrik dan mengandung bahan beracun dan berbahaya. Bahan pencemar keluar bersamasama dengan bahan buangan (limbah) melalui media udara, air dan tanah yang 17 merupakan komponen ekosistem alam. Bahan buangan yang keluar dari pabrik dan masuk ke lingkungan dapat diidentifikasikan sebagai sumber pencemaran, dan sebagai sumber pencemaran perlu diketahui jenis bahan pencemar yang dikeluarkan, kuantitas dan jangkauan pemaparannya. Menurut Soeparman dan Soeparmin (2001), limbah cair merupakan bahan buangan yang timbul karena adanya kehidupan manusia sebagai makhluk hidup maupun makhluk sosial. Apabila limbah cair tidak ditangani sebagaimana mestinya maka dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran permukaan tanah serta air tanah, yang berpotensi menjadi penyebab timbulnya penularan berbagai macam penyakit saluran pencemaran. Antara satu pabrik dengan pabrik lainnya berbeda jenis dan jumlah bahan pencemar yang dikeluarkannya, tergantung pada bahan baku yang digunakan, proses dan cara kerja karyawan dalam pabrik. Pencemaran terjadi akibat bahan beracun dan berbahaya dalam limbah lepas masuk ke dalam lingkungan, sehingga terjadi perubahan terhadap kualitas lingkungan. Menurut Wardhana (1995), komponen pencemaran air yang berasal dari limbah industri, rumah tangga, dan pertanian dapat dikelompokkan sebagai buangan padat, organik dan pengolahan bahan makanan, anorganik, cairan berupa minyak, berupa panas, dan zat kimia. Menurut Kristanto (2004), sumber bahan beracun dan berbahaya dapat diklasifikasikan menjadi: 1) Industri kimia organik maupun anorganik. 2) Penggunaan B-3 sebagai bahan baku atau bahan penolong. 3) Proses kimia, fisika dan biologi di dalam pabrik. 18 Kemampuan lingkungan untuk memulihkan diri sendiri karena interaksi pengaruh luar, disebut dengan daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan antara tempat yang satu dengan tempat yang lainnya berbeda. Beberapa komponen lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya ikut menetapkan nilai daya dukung lingkungan. Kristanto (2004) menjelaskan bahwa pengertian limbah itu sendiri adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomi. Bedasarkan nilai ekonominya, limbah dibedakan menjadi limbah yang mempunyai nilai ekonomis dan limbah yang tidak mempunyai nilai ekonomis. Limbah yang memiliki nilai ekonomis yaitu limbah di mana dengan melalui suatu proses lanjut akan memberikan suatu nilai tambah. Misalnya dalam pabrik gula, tetes merupakan limbah yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri alkohol, sedangkan ampas tebu sebai limbah dari pabrik gula juga dapat dijadikan bahan baku untuk industri kertas karena mudah dibentuk menjadi bubur pulp. Williams (1979) mengelompokkan bahan pencemar menjadi tiga tipe, yaitu bahan patogenik, estetik dan ekomorpik. Bahan pencemar pada penelitian ini bersifat patogen (pathogenic pollutants) yaitu bahan pencemar yang dapat menyebabkan penyakit pada menusia, misalnya pencemaran logam berat. Limbah non ekonomis adalah suatau limbah walaupun telah dialakukan proses lanjut dengan cara apapun tidak akan memberikan nilai tambah, kecuali sekedar untuk mempermudah sistem pembuangan. Limbah jenis ini sering menimbulkan masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan. Menurut Kristanto (2004) limbah industri dapat digolongkan menjadi tiga bagian: 19 1) Limbah cair, terdapat beberapa keracunan dalam mengidentifikasi limbah cair, yaitu buangan air yang digunakan untuk mendinginkan mesinnya. 2) Limbah Gas dan Partikel, limbah ini merupakan limbah yang banyak dibuang ke udara. Jenis limbah ini akumulasinya di udara dipengaruhi oleh arah angin, namun sumbernya bersifat stasioner maka lingkungan sekitarnya menerima risiko dampak pencemaran yang paling tinggi. 3) Limbah padat, hasil buangan industri yang berupa padatan, lumpur, dan bubur yang berasal dari sisa proses pengolahan. Limbah ini dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu limbah padat yang dapat didaur ulang (misalnya plastik, tekstil, potongan logam) dan limbah padat yang tidak memiliki nilai ekonomis. Oleh karena itu dalam kegiatan industri dan teknologi, air yang telah digunakan (air limbah industri) tidak boleh langsung dibuang ke lingkungan karena dapat menyebabkan pencemaran. Air tersebut harus diolah terlebih dahulu agar mempunyai kualitas yang sama dengan kualitas air lingkungan. Jadi air limbah industri harus mengalami proses daur ulang sehingga dapat digunakan lagi atau dibuang kembali ke lingkungan tanpa menyebabkan pencemaran air lingkungan. Proses daur ulang air limbah industri atau Water Treatment Recycle Process adalah salah satu syarat yang harus dimiliki oleh industri yang berwawasan lingkungan. Beberapa jenis industri yang menghasilkan limbah gas atau partikel dapat dilihat pada Tabel 2. 20 Tabel 2. Jenis Industri dan Limbahnya No. 1 Jenis Industri Industri pupuk 2 Industri pangan 3 4 Industri pertambangan Industri metalurgi (tembaga, baja, seng, timah, dll) Jenis Limbah Uap asam NH3, bau, partikel Hidrokarbon Karbon monoksida Nitrogen dioksida Karbon monoksida Hidrokarbon Dampak Menyebabkan hujan asam Menyebabkan sakit kepala Penyebab Kanker Penyakit jantung dan pernapasan Iritasi paru-paru Pernapasan Pusing Kanker Gatal-gatal Sumber: Kristanto (2004) 2.6 Replacement Cost dan Cost of Illness Penurunan kualitas lingkungan memberikan dampak negatif terhadap masyarakat Kelurahan Nanggewer. Dipandang dari sisi ekonomi, kerugian atau penurunan atas kualitas lingkungan akan menyebabkan timbulnya biaya. Pada penelitian ini akan dibahas dua macam biaya yang ditanggung oleh masyarakat Kelurahan Nanggewer yaitu Replacement Cost dan Cost of Illness. Replacement Cost atau biaya pengganti merupakan metode yang digunakan untuk menilai suatu sumber daya alam yang dilihat dari biaya yang dikeluarkan untuk menggantikan atau memperbaiki sumberdaya tersebut setelah adanya kerusakan (Garrod dan Willis, 1999). Metode Replacement Cost dapat digunakan untuk menentukan nilai suatu aset pada saat ini. Biaya kesehatan atau Cost of Illness didefinisikan sebagai metode yang digunakan untuk mengestimasi kerugian yang ditanggung masyarakat yang didasarkan pada biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan akibat adanya penurunan kualitas lingkungan. Apabila dijabarkan, metode biaya kesehatan ini terdiri dari biaya rumah sakit, biaya obat, biaya perawatan, dan penurunan produktivitas (berkurangnya waktu bekerja). 21 2.7 Contingent Valuation Method (CVM) Metode ini disebut Contingent Valuation karena metode ini mencoba mendorong orang untuk mengungkapkan apa yang akan mereka lakukan jika mereka ditempatkan pada kondisi tertentu. Pada awalnya, metode ini didasarkan atas ide sederhana bahwa jika kita ingin mengetahui berapa nilai yang bersedia dikeluarkan atau diterima oleh orang untuk mencapai kondisi lingkungan tertentu, kita dapat menanyakannya kepada mereka. Studi Contingent Valuation telah digunakan untuk mempelajari banyak faktor lingkungan, diantaranya yaitu kualitas udara, nilai keindahan alam, kualitas kondisi pantai, perlindungan spesies liar, dan kepadatan populasi alam liar (Fauzi, 2006). CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui: pertama, keinginan membayar (WTP) dari masyarakat, misal terhadap perbaikan kualitas lingkungan (air, udara, dan sebagainya), dan kedua keinginan menerima (WTA) masyarakat atas suatu kondisi lingkungan yang rusak. Teknik CVM didasarkan pada asumsi hak kepemilikan, jika individu yang ditanya tidak memiliki hak-hak atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, maka pengukuran yang relevan adalah dengan mengukur seberapa besar keinginan membayar untuk memperoleh barang tersebut. Sebaliknya, jika individu yang kita tanya memiliki hak atas sumberdaya maka pengukuran yang relevan adalah seberapa besar keinginan untuk menerima kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya sumberdaya yang dia miliki (Fauzi, 2006). Penilaian WTA perlu dilakukan di Kelurahan Nanggewer, karena pada kasus ini pihak industri yang mendekat ke pemukiman warga di Kelurahan Nanggewer. Langkah-langkah dalam metode CVM adalah : 22 1. Menyusun pasar hipotetik Langkah yang pertama adalah menetapkan suatu alasan untuk suatu barang atau jasa dimana tidak ada arus pembayaran. 2. Memperoleh penawaran (bid) Metode untuk memperoleh penawaran diantaranya adalah bidding games yaitu dengan cara responden diberikan penawaran yang lebih tinggi secara progresif hingga mereka memperoleh nilai max WTP atau min WTA, payment card yaitu suatu kisaran nilai yang sudah diberikan pada kartu dan responden diminta untuk memilih satu, open-ended question yaitu responden diminta memberi laporan tentang max WTP atau min WTA, close ended question ada tiga jenis yaitu dichotomous choice (diberikan sebuah penawaran, responden diminta jawaban ya atau tidak), double bounded choice (yang menjawab tidak pada penawaran pertama akan diberikan penawaran selanjutnya), dan yang terakhir trichotomous choice (responden diberikan tiga pilihan untuk membayar ya, tidak atau indiferen. 3. Mengestimasi mean WTP/WTA Dengan tiga pendekatan pertama dalam menimbulkan penawaran, nilai mean dan median dari WTP atau WTA dapat diperoleh. 4. Mengestimasi kurva penawaran 5. Menentukan total WTA (agregating data) 6. Evaluasi Pelaksanaan CVM 2.8 Penelitian Terdahulu Penelitian yang terkait dengan topik penelitian ini yaitu penelitian yang pernah dilakukan oleh Bujagunasti (2009). Pada penelitiannya, Bujagunasti 23 menggunakan metode replacement cost dan cost of illness. Hasil penelitiannnya menunjukkan adanya biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat akibat pencemaran, total kerugian masyarakatnya yaitu sebesar Rp. 13.385.300 per tahun. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Ani Triani (2009) juga dapat dijadikan referensi, penelitian dengan topik “Analisis Willingness To Accept Masyarakat Terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Cidanau”. Pada penelitiannya itu Ani menggunakan metode analisis regresi berganda untuk menganalisis fungsi Willingness to Accept. Perhitungan terhadap dugaan nilai rataan WTA (EWTA) menghasilkan nilai sebesar Rp 5.056,98 per pohon per tahun. Satu hektar lahan berjumlah 500 pohon, setelah dikonversikan maka didapat nilai rataan WTA sebesar Rp 2.528.4900,00 per ha per tahun. Sementara hasil perhitungan total WTA Kelompok Tani Karya Muda II sebesar Rp 217.450,00 per pohon per tahun, luas lahan sebesar 25 ha dengan tiap ha lahan ditumbuhi pohon berjumlah 500 pohon. Mengacu pada jumlah pohon yang terdapat di lokasi penyedia jasa lingkungan maka diperoleh nilai total kesediaan kelompok tani Karya Muda II untuk menerima kompensasi terhadap upaya konservasi sebesar Rp 2.718.125.000. Pada penelitian ini juga menghasilkan variabel yang secara nyata berpengaruh adalah tingkat pendapatan, nilai pembayaran dan kepuasan jasa lingkungan yang diterima, lama tinggal, jumlah pohon, dan penilaian terhadap cara penetapan nilai pembayaran. Sementara variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, status kepemilikan lahan, dan biaya pemeliharaan. Sementara pada penelitian ini total kerugian yang ditanggung oleh masyarakat Kelurahan Nanggewer sebesar Rp 7.426.000 per bulan. Pada 24 penelitian ini juga menghasilkan nilai rataan WTA sebesar Rp 275.000 per bulan, sedangkan total WTA yang dihasilkan dari 48 responden sebesar Rp 13.200.000 per bulan. Untuk variabel yang secara nyata berpengaruh terhadap besarnya kesediaan menerima kompensasi adalah jumlah tanggungan dan ada atau tidaknya upaya mengatasi pencemaran. Hal ini berbeda dengan apa yang dihasilkan oleh penelitian Ani Triani (2009), pada penelitiannya variabel jumlah tanggungan tidak secara nyata berpengaruh terhadap besarnya kesediaan menerima kompensasi responden di kawasan DAS Cidanau. 25