Valuasi Barang dan Jasa Lingkungan

advertisement
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1
Pencemaran Air Sungai
Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang
banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh karena itu sumber daya air harus
dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik oleh manusia serta makhluk
hidup lainnya. Saat ini masalah utama yang dihadapi oleh sumber daya air
meliputi kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus
meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik yang semakin menurun.
Kegiatan industri, domestik dan kegiatan lain berdampak negatif terhadap sumber
daya air, antara lain menyebabkan penurunan kualitas air. Kondisi ini dapat
menimbulkan gangguan, kerusakan dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang
bergantung pada sumber daya air.
Gambar II.1. Sumber-Sumber Pencemaran Air Sungai
(Sumber: Millichap,1995)
5
Sungai sebagai salah satu sumber daya air sekarang ini sudah banyak yang
tercemar. Sehingga tidak dapat digunakan secara normal untuk keperluan tertentu,
misalnya untuk keperluan air minum, berenang/ rekreasi, keberlangsungan
kehidupan hewan air, pengairan dan keperluan industri. Ciri-ciri sungai yang
mengalami pencemaran antara lain adalah bau yang menyengat, jumlah populasi
hewan air yang terus berkurang, minyak yang terlihat terapung pada permukaan
air sungai, dll.
Pencemaran air sungai diakibatkan oleh masuknya bahan pencemar (polutan)
yang dapat berupa gas, bahan-bahan terlarut dan partikulat. Polutan memasuki
sungai dengan berbagai cara, misalnya melalui atmosfer, tanah, limpasan (run off)
air hujan maupun pertanian, limbah domestik dan perkotaan, pembuangan limbah
industri, dan lain-lain.
II.1.1 Sumber Pencemar Air Sungai
Pencemaran air sungai dapat berasal dari berbagai sumber, antara lain sebagai
berikut:
1.
Industri
Limbah industri sangat potensial sebagai penyebab terjadinya pencemaran
air. Pada umumnya limbah industri mengandung limbah B3, yaitu bahan
berbahaya dan beracun. Limbah industri yang berbahaya antara lain yang
mengandung logam dan cairan asam. Misalnya limbah yang dihasilkan
industri pelapisan logam, yang mengandung tembaga dan nikel serta cairan
asam sianida, asam borat, asam kromat, asam nitrat dan asam fosfat. Limbah
ini bersifat korosif, dapat mematikan tumbuhan dan hewan air. Pada manusia
menyebabkan iritasi pada kulit dan mata, mengganggu pernafasan dan
menyebabkan kanker.
2.
Kegiatan Pemukiman/ Domestik
Limbah pemukiman mengandung limbah domestik berupa sampah organik
dan sampah anorganik serta buangan rumah tangga seperti dari mandi, cuci
dan kotoran manusia. Sampah organik adalah sampah yang dapat diuraikan
atau dibusukkan oleh bakteri. Contohnya sisa-sisa sayuran, buah-buahan, dan
6
daun-daunan. Sedangkan sampah anorganik sepertikertas, plastik, gelas atau
kaca, kain, kayu-kayuan, logam, karet, dan kulit. Sampah-sampah ini tidak
dapat diuraikan oleh bakteri (non biodegradable). Sampah organik yang
dibuang ke sungai menyebabkan berkurangnya jumlah oksigen terlarut,
karena sebagian besar digunakan bakteri untuk proses pembusukannya.
Apabila sampah anorganik yang dibuang ke sungai, cahaya matahari dapat
terhalang dan menghambat proses fotosintesis dari tumbuhan air dan alga,
yang menghasilkan oksigen.
3.
Pertanian
Pupuk dan pestisida biasa digunakan para petani untuk merawat tanamannya.
Namun pemakaian pupuk dan pestisida yang berlebihan dapat mencemari air.
Limbah pupuk mengandung fosfat yang dapat merangsang pertumbuhan
gulma air seperti ganggang dan eceng gondok. Limbah pestisida mempunyai
aktifitas dalam jangka waktu yang lama dan ketika terbawa aliran air keluar
dari daerah pertanian, dapat mematikan hewan yang bukan sasaran seperti
ikan, udang dan hewan air lainnya. Pestisida mempunyai sifat relatif tidak
larut dalam air, tetapi mudah larut dan cenderung konsentrasinya meningkat
dalam lemak dan sel-sel tubuh mahluk hidup.
4.
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah
Timbulan sampah di TPA akan menghasilkan lindi (leachate). Apabila
penanganan dan pengolahan lindi sampah tidak dilakukan secara optimal,
lindi sampah ini akan masuk ke dalam tanah ataupun ikut terbawa dalam
aliran air sungai sehingga dapat menimbulkan pencemaran air sungai. Pada
umumnya lindi mengandung beberapa logam berat. Selain itu lindi juga
merupakan golongan pencemar yang menyebabkan penurunan kadar oksigen
terlarut dalam suatu perairan.
II.1.2 Bahan Pencemar (Pollutant) Air Sungai
Bahan pencemar/ polutan adalah bahan-bahan yang bersifat asing bagi alam atau
bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang memasuki suatu tatanan ekosistem
sehingga mengganggu peruntukan ekosistem tersebut. Polutan yang memasuki
7
perairan
terdiri
atas
campuran
berbagai
jenis
polutan.
Rao
(1992)
mengelompokkan bahan pencemar di perairan menjadi beberapa kelompok yaitu:
1. Limbah Penyebab Penurunan Kadar Oksigen Terlarut
Semua limbah yang dioksidasi terutama limbah domestik termasuk dalam
kategori limbah penyebab penurunan kadar oksigen terlarut. Selain itu
bahan-bahan buangan dari industri pengolahan pangan, pabrik kertas,
industri penyamakan kulit, industri pemotongan daging, pembekuan ikan
serta udang, dan sebagainya. Oksigen sangat penting bagi kelangsungan
hidup organisme pada ekosistem perairan. Kadar oksigen terlarut
minimum 5 mg/liter yang diperlukan bagi kelangsungan hidup ikan di
perairan.
2. Senyawa Organik
Berbagai bahan organik baik bahan alami maupun sintetis masuk ke dalam
badan air sebagai hasil dari aktivitas manusia. Beberapa contoh bahan
organik yang yang bersifat toksik terhadap organisme akuatik adalah
minyak, fenol, PCBs, surfaktan, dll. Sumber limbah organik di perairan
adalah limbah domestik baik rumah tangga maupun perkotaan, limbah
industri kimia, tekstil, plastik, dan lain-lain.
3. Pestisida
Pestisida masuk ke badan air melalui limpasan dari daerah pertanian yang
banyak
menggunakan
pestisida.
Pestisida
bersifat
toksik
dan
bioakumulasi. Selain itu pestisida juga bersifat persisten atau bertahan
dalam waktu yang lama di perairan.
4. Senyawa Anorganik
Senyawa anorganik terdiri atas logam dan logam berat yang pada
umumnya bersifat toksik. Davis dan Cornwell dalam Effendi (2003)
mengemukakan bahan anorganik yang dianggap toksik adalah arsen (As).
Barium (Ba), kadmium (Cd), Kromiun (Cr), merkuri (Hg), dan timbal
(Pb). Logam berat seperti kadmium banyak digunakan dalam industri
metalurgi, pelapisan logam, baterai, peralatan elektronik, keramik, tekstil
dan plastik (Eckenfelder dalam Effendi, 2003)
8
II.2
Kualitas Air Sungai
Kualitas air adalah sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat, energi atau
komponen lain di dalam air. Kualitas air dinyatakan dengan beberapa parameter,
yaitu parameter fisika (suhu, kekeruhan, warna, bau, rasa), parameter kimia (pH,
oksigen terlarut, BOD, kadar logam, dan sebagainya), dan parameter biologi
(keberadaan plankton, bakteri, dan sebagainya).
Adanya penggunaan air yang bermacam-macam seperti misalnya untuk air
minum, irigasi pertanian, industri, dan rekreasi, maka tidak cukup bila hanya
merujuk pada satu parameter kualitas air saja. Setiap penggunaan air memiliki
persyaratan kualitas air tertentu. Penggunaan air sebagai air minum akan
memerlukan kualitas tingkat sedimen yang rendah. Sedangkan penggunaan air
untuk rekreasi seperti memancing akan membutuhkan kuantitas air dan oksigen
terlarut yang baik. Oleh karena itu pada umumnya kualitas air ditunjukkan dengan
adanya beberapa kombinasi parameter kualitas air seperti karakteristik fisik, kimia
dan biologi (Koteen, 2002).
II.2.1 Karakteristik Fisika
Karakteristik fisika yang biasa digunakan untuk menentukan kualitas air meliputi
suhu, warna dan bau, kekeruhan, padatan.
II.2.1.1 Suhu
Air sering digunakan sebagai medium pendingin dalam berbagai proses industri.
Air pendingin tersebut setelah digunakan akan mendapatkan panas dari bahan
yang didinginkan, kemudian dikembalikan ke tempat asalnya yaitu sungai atau
sumber air lainnya. Air buangan tersebut mungkin mempunyai suhu lebih tinggi
daripada air asalnya. Kenaikan suhu air akan menimbulkan beberapa akibat
sebagai berikut:
• Jumlah oksigen terlarut di dalam sungai menurun.
• Kecepatan reaksi kimia meningkat.
• Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu.
9
Ikan yang hidup di dalam air yang mempunyai suhu relatif tinggi akan mengalami
kenaikan kecepatan respirasi, di samping itu suhu yang relatif tinggi akan
menurunkan jumlah oksigen yang terlarut di dalam air, akibatnya ikan dan hewan
air akan mati karena kekurangan oksigen.
II.2.1.2Warna dan Bau
Warna perairan ditimbulkan oleh adanya bahan organik dan bahan anorganik,
karena keberadaan plankton, humus dan ion-ion logam misalnya besi dan mangan.
Adanya oksida besi menyebabkan air berwarna kemerahan, sedangkan oksida
mangan menyebabkan air berwarna kecoklatan atau kehitaman. Warna dapat
menghambat penetrasi cahaya ke dalam air dan mengakibatkan terganggunya
proses fotosintesis.
Air sungai biasanya berwarna kuning kecoklatan karena mengandung lumpur.
Sedangkan air sungai yang bau dapat disebabkan oleh bahan-bahan kimia,
ganggang, plankton atau tumbuhan dan hewan air, baik yang hidup maupun yang
sudah mati.
II.2.1.3 Sedimen
Sedimen adalah padatan yang dapat langsung mengendap jika air didiamkan tidak
terganggu selama beberapa waktu. Padatan yang mengendap tersebut terdiri dari
partikel-partikel padatan yang mempunyai ukuran relatif besar dan berat sehingga
dapat mengendap dengan sendirinya. Sedimen yang terdapat di dalam sungai
biasanya terbentuk sebagai akibat dari erosi. Adanya sedimen dalam jumlah tinggi
di dalam sungai akan sangat merugikan karena:
1.
Sedimen dapat menyebabkan penyumbatan saluran air dan selokan,
sehingga akan mengurangi volume air yang dapat ditampung di dalam
sungai. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya banjir karena pendangkalan
sungai oleh sedimen.
2.
Sedimen yang mengendap di dasar sungai dapat mengurangi populasi ikan
dan hewan-hewan air lainnya karena telur-telur ikan dan sumber-sumber
makanan mungkin terendam di dalam sedimen.
10
3.
Sedimen dapat mengurangi penetrasi sinar ke dalam sungai, sehingga
mengurangi kecepatan fotosintesis oleh tanaman air.
4.
Sedimen menyebabkan air menjadi keruh sehingga akan menambah biaya
penjernihan air jika air sungai tersebut akan digunakan untuk keperluan
industri maupun sebagai sumber air baku.
II.2.2. Karakteristik Kimia
II.2.2.1Nilai pH
Nilai pH air yang normal adalah sekitar netral yaitu antara pH 6 sampai 8. pH
mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Sebagian besar biota akuatik
sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH
sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi
akan berakhir jika pH rendah. Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada
pH rendah (Effendi, 2003). Pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena
tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah.
II.2.2.2 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan
hewan di dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air tersebut tergantung
dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang
dibutuhkan untuk kehidupannya. Ikan merupakan makhluk air yang memerlukan
oksigen tertinggi, kemudian invertebrata dan yang terkecil kebutuhan oksigennya
adalah bakteri.
Oksigen terlarut (DO) dapat berasal dari proses fotosintesis tanaman air, dimana
jumlahnya tidak tetap tergantung dari jumlah tanamannya dan dari atmosfer
(udara) yang masuk ke dalam air dengan kecepatan terbatas. Di perairan tawar,
kadar DO berkisar antara 15 mg/liter pada suhu 0º C dan 8 mg/liter pada suhu 25º
C.
Air dikatakan tercemar jika konsentrasi oksigen terlarut menurun di bawah batas
yang dibutuhkan untuk kehidupan biota air. Penyebab utama berkurangnya DO di
11
dalam air adalah adanya bahan-bahan buangan yang mengkonsumsi oksigen.
Bahan-bahan tersebut adalah bahan yang mudah dibusukkan atau dipecah oleh
bakteri dengan adanya oksigen. Oksigen yang tersedia di dalam air dikonsumsi
oleh bakteri yang aktif memecah bahan-bahan tersebut. Oleh karena itu semakin
tinggi kandungan bahan-bahan tersebut maka akan semakin berkurang konsentrasi
DO di dalam sungai. Pada umumnya bahan-bahan tersebut merupakan bahanbahan organik yang berasal dari berbagai sumber seperti kotoran hewan maupun
manusia, tanaman-tanaman yang mati, limbah industri, dan sebagainya.
Keadaan sungai dengan konsentrasi DO yang sangat rendah berbahaya bagi
organisme akuatik. Semakin rendah kadar DO semakin tinggi toksisitas zinc,
tembaga, timbal, sianida, hidrogen sulfida dan amonia (Effendi, 2003).
II.2.2.3Biochemical Oxygen Demand (BOD)
BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme
hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. jadi
nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi
hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi bahan-bahan buangan tersebut. Jika konsumsi oksigen tinggi yang
ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, maka berarti
kandungan bahan-bahan buangan yang membutuhkan oksigen tinggi. Sebagai
akibat menurunnya oksigen terlarut di dalam air adalah menurunnya kehidupan
hewan dan tanaman air. Hal ini disebabkan karena makhluk-makhluk hidup
tersebut banyak yang mati atau melakukan migrasi ke tempat lain yang
konsentrasi oksigennya masih cukup tinggi.
II.2.3 Karakteristik Biologi
Air mudah tercemar oleh mikroorganisme berbahaya/ patogen yang masuk
melalui limbah. Berbagai metode untuk mengidentifikasikan bakteri patogen di
perairan telah banyak dikembangkan. Akan tetapi penentuan semua jenis bakteri
patogen ini membutuhkan waktu dan biaya yang besar, sehingga penentuan grup
bakteri coliform dianggap sudah cukup baik dalam menilai tingkat higienitas
12
perairan. Escherichia coli adalah salah satu bakteri coliform total yang ditemukan
dalam tinja manusia. Keberadaan E. Coli di perairan secara berlimpah
menggambarkan bahwa perairan tersebut tercemar oleh kotoran manusia, yang
mungkin juga disertai dengan cemaran bakteri patogen.
Fecal coliform adalah anggota dari coliform total yang mampu memfermentasi
laktosa pada suhu 44,5º C. Sekitar 97% dari total kandungan bakteri coliform tinja
manusia merupakan fecal coliform, yang terdiri atas Escherichia dan beberapa
spesies Klebsiella. Bakteri fecal coliform ini juga banyak ditemukan dalam tinja
hewan, sehingga untuk mengetahui adanya pencemaran tinja binatang lebih sesuai
digunakan bakteri fecal coliform.
II.3.
Hubungan Ekonomi dan Lingkungan
Sumber daya alam merupakan faktor input dalam kegiatan ekonomi. Namun
demikian pengertian sumber daya tersebut tidak terbatas sebagai faktor input saja
karena proses produksi juga akan menghasilkan output misalnya limbah yang
kemudian menjadi faktor input bagi kelangsungan dan ketersediaan sumber daya
alam. Keterkaitan antara sumber daya alam dan aktivitas ekonomi dapat dilihat
pada Gambar II.2
Sumber Daya Alam &
Lingkungan
I1
I2
I3
Produksi
Konsumsi
D2
D1
Limbah
D3
Residual
Gambar II.2. Keterkaitan antara Sumber Daya Alam dan Aktivitas Ekonomi
(Sumber: Fauzi, 2004 )
13
Pada Gambar II.2 dapat dilihat bahwa sumber daya alam menghasilkan barang
dan jasa untuk proses industri yang berbasis sumber daya alam (I1) maupun yang
langsung dikonsumsi oleh rumah tangga (I2). Dari proses industri dihasilkan
barang dan jasa yang kemudian dapat digunakan oleh rumah tangga untuk
konsumsi (I3). Kegiatan produksi oleh industri dan konsumsi oleh rumah tangga
menghasilkan limbah (waste) yang kemudian dapat didaur ulang (D1 dan D2).
Proses daur ulang ini ada yang langsung kembali ke alam dan lingkungan, juga
ada yang kembali ke industri (D2) seperti pendaur ulangan kertas, botol plastik
dan lain sebagainya. Dari limbah ini sebagian komponen ada yang dapat didaur
ulang dan menjadi residual (D3) yang akan kembali ke lingkungan tergantung dari
kemampuan kapasitas penyerapan atau asimilasinya.
Kegiatan ekonomi memiliki pengaruh positif dan negatif terhadap manusia
maupun makhluk hidup lainnya. Kegiatan ekonomi biasanya dilakukan melalui
peningkatan proses produksi ataupun proses industrialisasi. Proses industrialisasi
mempunyai efek positif bagi manusia melalui terpenuhinya jumlah barang dan
jasa yang harus dikonsumsi manusia untuk kebutuhan hidupnya. Tapi di sisi lain
proses industrialisasi mempunyai dampak negatif bagi manusia. Pertama, melalui
menipisnya cadangan sumber daya alam, karena dengan menipisnya cadangan
sumber daya alam akan menyebabkan harga barang meningkat. Selain itu juga
akan mengakibatkan kerugian bagi generasi yang akan datang karena tidak bisa
menikmatinya. Kedua, proses industrialisasi akan menyebabkan pencemaran
lingkungan. Semakin meningkatnya pencemaran lingkungan akan mengganggu
keseimbangan lingkungan yang pada gilirannya akan mengancam hidup manusia
dan makhluk hidup lainnya.
14
Gambar II.3. Hubungan Pencemaran Lingkungan dengan Kegiatan
Ekonomi (Sumber: Fauzi, 2004)
Gambar II.3 tersebut menunjukkan hubungan antara kegiatan ekonomi
dengan pencemaran lingkungan mempunyai hubungan yang positif. Sumbu
vertikal menunjukkan tingkat pencemaran, sedangkan sumbu horisontal
menunjukkan tingkat kegiatan ekonomi. Apabila kegiatan ekonomi meningkat
misalnya dari Y1 ke Y2 akan diikuti dengan meningkatnya tingkat pencemaran
lingkungan dari P1 ke P2. Jadi di satu pihak kegiatan ekonomi selain menghasilkan
barang dan jasa juga menghasilkan sesuatu yang negatif yaitu polusi atau limbah.
II.4
Barang Publik, Eksternalitas dan Kegagalan Pasar
II.4.1 Barang Publik
Barang publik (public goods) secara umum dapat didefinisikan sebagai barang di
mana jika diproduksi, produsen tidak memiliki kemampuan mengendalikan siapa
yang berhak mendapatkannya (Fauzi, 2004). Masalah dalam barang publik timbul
karena produsen tidak meminta konsumen untuk membayar atas konsumsi barang
tersebut. Sebaliknya dari sisi konsumen, mereka tahu bahwa sekali diproduksi,
produsen tidak memiliki kendali sama sekali siapa yang mengkonsumsinya.
Berdasarkan ciri-cirinya, barang publik memiliki dua sifat dominan berikut :
15
1. Tidak ada Ketersaingan (Non-rivalry) atau Tidak habis (non-divisible).
Barang publik memiliki sifat non-rivalry dalam hal mengkonsumsinya.
Artinya, konsumsi seseorang terhadap barang publik tidak mengurangi
konsumsi orang lain terhadap barang yang sama. Udara yang kita hirup,
dalam derajat
tertentu
tidak
berkurang
bagi
orang
lain
untuk
menghirupnya.
2. Tidak ada Larangan (Non-Excludable).
Sifat kedua dari barang publik adalah non-excludable, artinya sulit untuk
melarang pihak lain untuk mengkonsumsi barang yang sama. Pada saat
kita menikmati pemandangan laut yang indah di pantai misalnya, kita
tidak bisa atau sulit melarang orang lain untuk tidak melakukan hal yang
sama karena pemandangan adalah public good.
II.4.2 Eksternalitas dan Kegagalan Pasar
Konsumsi terhadap barang publik sering menimbulkan apa yang disebut sebagai
eksternalitas atau
dampak
eksternal. Secara
umum
eksternalitas
dapat
didefinisikan sebagai dampak baik positif maupun negatif, atau dalam bahasa
formal ekonomi sebagai net cost atau benefit, dari tindakan satu pihak terhadap
pihak lain. Eksternalitas terjadi jika kegiatan produksi atau konsumsi dari satu
pihak mempengaruhi kegunaan atau utilitas dari pihak lain secara tidak
diinginkan, dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi
terhadap pihak yang terkena dampak. Dalam kaitannya dengan sumber daya alam
dan lingkungan, eksternalitas sangat penting untuk diketahui karena eksternalitas
akan menyebabkan alokasi sumber daya yang tidak efisien. Friedman dalam Fauzi
(2004) menyatakan bahwa eksternalitas dan barang publik adalah dua cara
pandang yang berbeda dalam melihat masalah yang sama.
Sumber daya alam dalam beberapa hal tidak ditransaksikan dalam mekanisme
pasar atau mekanisme pasar bekerja secara tidak sempurna (incomplete).
Pencemaran udara misalnya adalah contoh bagaimana transaksi pasar tidak terjadi
karena jika mekanisme pasar bekerja secara sempurna, pelaku penyebab
pencemaran
udara
tersebut
seharusnya
16
membayar
kompensasi
terhadap
masyarakat yang terkena pencemaran. Kegagalan pasar adalah cerminan sifat
sumber daya alam yang dalam beberapa hal menjadi barang publik. Jadi barang
publik, eksternalitas dan kegagalan pasar (market failure) adalah mata rantai yang
sering timbul dalam pengelolaan sumber daya alam.
II.5
Valuasi Non Pasar (Non Market Valuation)
Manusia memerlukan barang dan jasa dalam kehidupan sehari-harinya. Dilihat
dari kepemilikan, barang kebutuhan manusia dapat dibagi menjadi 2 kelompok,
yaitu barang pribadi dan barang publik. Lingkungan dilihat dari kepemilikan
adalah merupakan barang publik, karena menyangkut banyak orang dan bukan
milik perseorangan (Bromley, 1995).
Lingkungan sebagai barang bebas adalah barang yang secara fisik-kuantitatif
tidak terukur. Dengan demikian sulit untuk menilai secara langsung dengan uang,
tetapi jelas merupakan suatu komoditi yang banyak dibutuhkan. Barang demikian
ini disebut sebagai barang yang tidak memiliki pasar (non market goods). Antara
lain seperti misalnya, keindahan alam, kejernihan air sungai dan danau, udara
bersih dan ketenangan lingkungan. Manfaat ini lebih sering terasa dalam jangka
panjang. Manfaat sungai misalnya, baru kita sadari justru setelah kita menghadapi
banjir atau dalam kondisi dimana ikan habis akibat Sungai yang tercemar karena
adanya aktivitas pembuangan sampah maupun limbah cair ke dalam sungai.
Manfaat-manfaat di atas yang dapat disebut sebagai manfaat fungsi ekologis
(ecological function) sering tidak terkuantifikasi dalam perhitungan menyeluruh
terhadap nilai dari lingkungan. Mengingat pentingnya fungsi-fungsi ekonomi dan
non ekonomi dari lingkungan, tantangan yang dihadapi oleh penentu kebijakan
adalah bagaimana memberikan nilai yang komprehensif terhadap lingkungan itu
sendiri. Dalam hal ini nilai tersebut tidak saja nilai pasar (market value) barang
yang dihasilkan dari lingkungan melainkan juga nilai jasa lingkungan yang
dihasilkan oleh lingkungan tersebut.
Penggunaan metode analisis biaya dan manfaat (Cost Benefit Analysis) yang
konvensional sering tidak mampu menjawab permasalahan di atas karena konsep
17
CBA yang konvensional sering tidak memasukkan manfaat ekologis di dalam
analisisnya (Fauzi, 2004). Demikian juga meskipun kita mengetahui kerusakan
lingkungan akibat aktivitas ekonomi, pengambil kebijakan sering tidak mampu
mengkuantifikasi kerusakan tersebut dengan metode ekonomi yang konvensional.
Permasalahan-permasalahan di atas kemudian menjadi dasar pemiliran lahirnya
konsep valuasi ekonomi, khususnya valuasi non pasar (non market valuation).
Secara umum nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum
seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan
jasa lainnya. Secara formal konsep ini disebut keinginan membayar (willingness
to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya
alam dan lingkungan (Fauzi, 2004). Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai
ekologis ekosistem bisa diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi dengan
mengukur nilai moneter barang dan jasa. Menurut Fauzi (2004) WTP juga dapat
diartikan sebagai jumlah maksimal seseorang mau membayar untuk menghindari
terjadinya penurunan terhadap sesuatu.
II.5.1 Teknik Valuasi Non Pasar
Secara umum teknik valuasi ekonomi lingkungan yang tidak dapat dipasarkan
(non market valuation) dapat digolongkan ke dalam 2 kelompok. Kelompok
pertama adalah teknik valuasi tidak langsung dan kelompok kedua adalah teknik
valuasi langsung.
18
Gambar II.4. Teknik Valuasi Non Pasar
(Sumber: Fauzi,2004)
II.5.1.1Teknik Valuasi Tidak Langsung (Indirect Valuation)
Teknik valuasi tidak langsung adalah teknik valuasi yang mengandalkan harga
implisit dimana Willingness To Pay (WTP) terungkap melalui model yang
dikembangkan. Teknik ini sering disebut teknik yang mengandalkan keinginan
membayar yang terungkap (revealed WTP). Beberapa teknik yang termasuk ke
dalam kelompok ini adalah travel cost, hedonic pricing, dan teknik yang relatif
baru yang disebut random utility model (Fauzi, 2004).
a.
Travel Cost Method (TCM)
Travel Cost Method (TCM) dapat dikatakan sebagai metode yang tertua
untuk pengukuran nilai ekonomi secara tidak langsung. Metode ini menurut
Fauzi (2004) diturunkan dari pemikiran yang dikembangkan oleh Hotelling
pada tahun 1931, yang kemudian secara formal diperkenalkan oleh Wood
dan Trice pada tahun 1958 serta Clawson dan Knetsch pada tahun 1966.
Metode ini kebanyakan digunakan untuk menganalisis permintaan terhadap
rekreasi di alam terbuka (outdoor recreation), seperti memancing, berburu,
hiking, dan sebagainya. Secara prinsip metode ini mengkaji biaya yang
dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat-tempat rekreasi di atas.
Misalnya untuk menyalurkan hobi memancing di sungai, seorang konsumen
akan mengorbankan biaya dalam bentuk waktu dan uang untuk mendatangi
19
tempat tersebut. Dengan mengetahui pola dari konsumen ini, maka bisa
dikaji beberapa nilai (value) yang diberikan konsumen kepada lingkungan.
b.
Hedonic Pricing
Menurut Fauzi (2004) Teknik Hedonic Pricing dikembangkan dari teori
atribut atau karakteristik yang dikemukakan oleh Lancaster pada tahun 1966.
Teknik ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Griliches (1971) dan
Rosen (1974). Prinsip utama dari teknik ini adalah mengestimasi nilai
implisit karakteristik atau atribut yang melekat pada suatu produk dan
mengkaji hubungan antara karakteristik yang dihasilkan tersebut dengan
permintaan barang dan jasa. Misalnya permintaan rumah yang dibangun di
tepi danau akan banyak ditentukan oleh karakteristik yang ada dari danau
tersebut (keindahan, kebersihan, dan sebagainya). Di sisi lain nilai properti
atau perumahan juga banyak ditentukan oleh kualitas lingkungan dan
diasumsikan bahwa semakin buruk kualitas lingkungan akan semakin
menurun nilai properti tersebut.
II.5.1.2Teknik Valuasi Langsung (Direct Valuation)
Berbeda dengan pendekatan tidak langsung, pada pendekatan pengukuran secara
langsung, nilai ekonomi sumber daya dan lingkungan dapat diperoleh secara
langsung dengan menanyakan kepada individu atau masyarakat mengenai
keinginan mereka membayar (willingness to pay) barang dan jasa yang dihasilkan
oleh lingkungan. Salah satu teknik yang cukup populer dalam valuasi secara
langsung ini adalah Contingent Valuation Method (CVM).
II.6
Contingent Valuation Method (CVM)
II.6.1 Tujuan dan Pendekatan CVM
Menurut Fauzi (2004) pendekatan CVM pertama kali dikenalkan oleh Davis
(1963) dalam penelitian mengenai perilaku perburuan (hunter) di Miami.
Pendekatan ini baru populer sekitar pertengahan 1970-an ketika pemerintah
Amerika Serikat mengadopsi pendekatan ini untuk studi-studi sumber daya alam.
Pendekatan ini disebut “tergantung” (contingent) karena pada prakteknya
20
informasi yang diperoleh sangat bergantung pada hipotesis yang dibangun.
Menurut Randall (1982) CVM merupakan salah satu metode survai untuk
mengungkapkan sikap, pandangan dan penilaian masyarakat serta merespon
kesanggupan membayarnya terhadap suatu komoditas lingkungan atau terhadap
suatu sumber daya yang tidak memiliki pasar (non marketable) seperti udara
bersih, air di badan perairan, ketenangan lingkungan, dll.
CVM menggunakan pendekatan secara langsung yaitu dengan cara menanyakan
secara langsung kepada seseorang mengenai kemauan membayar atas manfaat
(WTP) atau kemauan untuk menerima kompensasi sehingga memberikan toleransi
terhadap biaya kerusakan (WTA). Pendekatan CVM ini secara teknis dapat
dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan teknik eksperimental melalui
simulasi dan permainan. Kedua, dengan teknik survei. Pendekatan pertama lebih
banyak dilakukan melalui simulasi komputer sehingga penggunaannya di
lapangan sangat sedikit.
Prinsip dari CVM adalah mengetahui penilaian personal dari responden untuk
peningkatan/ penurunan kuantitas atau kualitas suatu barang dan jasa, yang
tergantung (contingent) dengan kondisi pasar hipotesisnya. Responden akan
memberikan jawaban mengenai kemauan mereka untuk membayar atau menerima
kompensasi atas suatu barang dan jasa yang ditanyakan jika pasarnya ada.
Secara teknis salah satu kelebihan CVM yang paling atraktif adalah kemungkinan
penerapannya untuk segala situasi dan kondisi. Hal ini sangat kontras dengan
metode-metode lain seperti misalnya pendekatan hedonic price atau travel cost.
Secara umum CVM memiliki dua keistimewaan yaitu:
1.
CVM merupakan teknik yang sering digunakan untuk mengukur
manfaat.
2.
CVM
biasanya
diterapkan
dalam
lingkungan.
21
konteks
penilaian
kebijakan
Tujuan dari CVM adalah untuk memperoleh penilaian atau penawaran yang
mendekati nilai barang atau jasa jika terdapat pasar yang nyata dari barang atau
jasa tersebut. Pasar hipotesis, pertanyaan yang ditanyakan dan responden haruslah
sedekat mungkin dengan kemungkinan pasar nyata. Oleh karena itu responden
harus terbiasa dengan barang dan jasa yang ditanyakan dalam kuesioner.
Valuasi lingkungan dengan menggunakan CVM saat ini semakin banyak
dilakukan untuk menilai manfaat kebijakan lingkungan dan biaya kerusakan yang
terjadi. Di Indonesia teknik CVM ini sudah pernah digunakan beberapa kali.
Teknik CVM digunakan oleh Edy (1998) dalam melakukan valuasi ekonomi
tingkat bising operasi pesawat udara di kawasan perumahan sekitar Bandara
Sukarno-Hatta. Teknik CVM juga pernah dilakukan oleh Riauaty (1999) dalam
mengukur manfaat peningkatan kualitas udara di Jakarta. Selain itu teknik CVM
juga dapat digunakan dalam menganalisis manfaat dari pengendalian pencemaran
air sungai, seperti yang pernah dilakukan oleh Ma’ruf (2002) pada Sungai
Kalibaru Timur Jakarta.
II.6.2 Metode-Metode CVM
Pengumpulan data pada survei langsung CVM dilakukan melalui wawancara.
Pada
wawancara
tersebut
diharapkan
responden
dapat
mengungkapkan
preferensinya terhadap public goods dengan menggunakan kesanggupan
membayarnya
(WTP)
yang
dinyatakan
dengan
sejumlah
uang.
Untuk
mendapatkan hasil maksimal dan tepat sasaran dari penggunaan metode ini, maka
diperlukan desain kuesioner yang baik. Untuk mencapai tujuan tersebut ada 4
macam desain pertanyaan yang dapat dikembangkan yaitu:
a. Direct Question Method (Open Ended)
Metode ini cukup sederhana, yaitu hanya berupa pertanyaan berapa harga
yang sanggup dibayar oleh responden bila kebijakan harga ditetapkan
sebagai upaya pengendalian pencemaran lingkungan. Cara ini banyak
mengandung kelemahan dan menimbulkan bias, karena kesulitan dan
ketidaktahuan responden memperkirakan berapa harga yang dianggap
wajar. Kesulitan ini akan banyak ditemukan terutama di negara
22
berkembang yang belum terbiasa berfikir mengenai harga barang publik.
Selain itu karena tawar menawar ini berlangsung bukan pada pasar
sesungguhnya (hypothetical market) sehingga tidak ada dorongan yang
kuat dari konsumen untuk memberikan harga yang sesungguhnya.
b. Permainan Penawaran (Bidding Game)
Metode ini lebih baik dan merupakan penyempurnaan dari metode
sebelumnya. Pada metode ini harga tertentu telah ditetapkan oleh
pewawancara, kemudian ditanyakan kepada responden. Bila responden
setuju pada harga yang ditawarkan maka harga dinaikkan dan terus
dinaikkan sampai responden menjawab tidak. Sebaliknya bila responden
menjawab tidak pada penawaran pertama, maka harga diturunkan dan
terus diturunkan sampai responden menjawab ya. Pada saat terjadi
kesepakatan harga dengan konsumen/ responden, maka harga tersebut
dianggap sebagai nilai lingkungan yang sanggup dibayarkan oleh
responden.
Walaupun metode ini lebih baik dibandingkan dengan metode pertama
tetapi juga memiliki kekurangan. Kekurangan dari metode penawaran
(bidding game) ini adalah adanya kesulitan di dalam menentukan harga
awal. Harga awal yang ditawarkan bisa terlalu murah atau terlalu mahal.
c. Payment Card
Metode ini diterapkan dengan bantuan kartu yang berisi daftar harga yang
dimulai dari nol sampai pada suatu harga tertentu yang relatif tinggi.
Kemudian ditanyakan kepada responden harga maksimum WTP untuk
suatu nilai lingkungan tertentu.
d. Take It or Leave It
Bagi responden metode ini sangatlah mudah karena hanya ditawari sebuah
harga. Kemudian ditanya apakah setuju dengan harga tersebut. Metode ini
tepat untuk survei melalui surat.
Pada dasarnya pendekatan yang dilakukan dari setiap metode tersebut adalah
sebagai berikut:
23
a. Kepada sejumlah sampel dari suatu populasi diajukan pertanyaan tentang
valuasi benda-benda atau suatu kondisi lingkungan.
b. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan informasi untuk
melakukan estimasi kesanggupan membayar (WTP) responden terhadap
benda-benda atau kondisi lingkungan tersebut.
c. Kesanggupan membayar (WTP) responden diekstrapolasi untuk mewakili
WTP populasi.
II.6.3 Tahap Operasional Penerapan Pendekatan CVM
Di dalam tahap operasional penerapan pendekatan CVM terdapat lima tahap
kegiatan atau proses. Tahapan tersebut antara lain sebagai berikut (Fauzi, 2004):
1.
Membuat Hipotesis Pasar
Pada awal proses CVM, seorang peneliti harus terlebih dahulu membuat
hipotesis pasar terhadap sumber daya yang akan dievaluasi. Dalam hal ini
bisa dibuat suatu kuesioner yang berisi informasi lengkap mengenai
bagaimana kondisi lingkungan yang bagus. Selain itu juga perlu dijelaskan
bagaimana pemerintah akan memperoleh dana, misalnya melalui pajak,
pembayaran langsung dan sebagainya.
2.
Mendapatkan Nilai Lelang (Bids)
Tahap berikutnya dalam melakukan CVM adalah memperoleh nilai lelang.
Hal ini dapat dilakukan melalui survei, baik survei wawancara melalui
kuesioner, wawancara melalui telepon maupun lewat surat. Dari ketiga cara
tersebut survei wawancara langsung melalui kuesioner akan memperoleh
hasil yang lebih baik. Tujuan dari survei ini adalah untuk memperoleh nilai
maksimum keinginan membayar (WTP) dari responden terhadap suatu
proyek, misalnya perbaikan lingkungan. Nilai lelang ini bisa dilakukan
dengan metode-metode CVM seperti: direct question method (open ended),
permainan penawaran (bidding game), payment card, take it or leave it.
3.
Menghitung Rataan WTP dan WTA
Setelah survei dilaksanakan, tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataan
WTP setiap individu. Nilai ini dihitung berdasarkan nilai lelang (bid) yang
24
diperoleh pada tahap dua. Perhitungan ini biasanya didasarkan pada nilai
rataan (mean) dan nilai tengah (median).
4.
Memperkirakan Kurva Lelang (Bid Curve)
Kurva lelang atau bid curve diperoleh misalnya dengan meregresikan WTP/
WTA sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) dengan beberapa
variabel bebas. Variabel bebas (independent variable) tersebut antara lain
adalah pendapatan (I), pendidikan (E), pengeluaran (O), jumlah anggota
keluarga (F) dan faktor-faktor lainnya (Xij).
Wi = f (I,E,O,F, Xij)
5.
Mengagregatkan Data
Tahap terakhir dalam teknik CVM adalah mengagregatkan rataan lelang yang
diperoleh pada tahap tiga. Proses ini melibatkan konversi data rataan sampel
ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi
ini adalah mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga dalam
populasi.
II.7
Manfaat Ekonomi dari Kualitas Air Sungai
Kualitas air sungai akan memberikan manfaat secara ekonomi. Manfaat ekonomi
dari kualitas air sungai tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok
(Dumas ,2005):
1. Withdrawal Benefits
Withdrawal benefits adalah keuntungan atau manfaat yang dapat diperoleh
melalui pengambilan air sungai. Misalnya pemanfaatan air sungai untuk
kebutuhan air bersih kota maupun untuk penggunaan domestik/ rumah
tangga (memasak, mencuci, mandi). Selain itu withdrawal benefits dari
kualitas air sungai adalah penggunaan air sungai untuk irigasi pertanian,
tempat memandikan hewan ternak, dan juga pemanfaatan air sungai untuk
kebutuhan industri. Jika kualitas air sungai rendah, maka sebelum air
sungai tersebut diambil/ digunakan, maka air sungai harus diolah terlebih
dahulu sebelum dapat dimanfaatkan. Hal ini akan mengurangi besarnya
manfaat ekonomi yang dapat diperoleh karena adanya biaya pengolahan
air tersebut sebelum air sungai dapat/ layak untuk digunakan.
25
2. Instream Benefits
Instream benefits adalah manfaat yang dapat diperoleh dari kualitas air
sungai yang ada di hilir sungai, yang bukan berasal dari kegiatan
pengambilan air sungai. Instream benefits ini terdiri dari 2 kategori:
a. Instream Use Benefits
Instream use benefits adalah manfaat yang diperoleh dari adanya
interaksi langsung antara manusia dengan air sungai yang ada di
hilir. manfaat/ keuntungan air sungai ini antara lain adalah
pemanfaatan air sungai untuk berenang, memancing, olah raga air,
estetika, dll. Estetika akan berpengaruh terhadap kenyamanan para
pengunjung sungai seperti misalnya orang yang berpiknik atau
sekedar berjalan-jalan di sungai.
b. Instream Non Use Benefits
Instream non use benefit dari kualitas air sungai antara lain
meliputi stewardship value, bequest value dan existence value. Non
use benefits mempertimbangkan pendapat/ pandangan dari masingmasing individu tanpa melihat apakah individu tersebut memiliki
interaksi secara langsung dengan sungai.
• Stewardship value muncul dari adanya keyakinan secara moral
maupun agama yang menyatakan bahwa manusia bertanggung
jawab untuk memelihara/ menjaga kualitas air meskipun tidak
ada keuntungan dari pengambilan sungai (withdrawal benefits)
atau instream benefits yang diperoleh.
• Bequest value muncul dari adanya anggapan bahwa kita yang
hidup saat ini memiliki kewajiban untuk menjaga kualitas air
sebagai warisan bagi generasi yang akan datang.
• Existence value timbul dari kenyamanan seseorang saat
mengetahui bahwa masih ada beberapa komponen lingkungan
yang masih ada. nilai ini menekankan sungai sebagai habitat
bagi makhluk hidup air seperti ikan.
26
Dampak dari pencemaran sungai terhadap manfaat yang diperoleh dari kualitas air
dapat dilihat melalui perantara ekosistem perairan. Meningkatnya level nutrien
yang memicu terjadinya blooming alga akan dapat mengurangi manfaat berenang
dan berlayar. Berkurangnya kadar oksigen terlarut (DO) akan berdampak pada
kematian ikan, sehingga hal ini akan mempengaruhi manfaat dalam memancing/
mencari ikan. Meningkatnya bakteri-bakteri patogen akibat dari buangan
domestik ke sungai akan meningkatkan biaya pengolahan air serta mengurangi
manfaat berenang, memancing dan manfaat untuk berlayar. Berkurangnya
populasi ikan serta menurunnya keaneka ragaman lingkungan akuatik akibat dari
adanya sedimentasi maupun buangan bahan kimia ke dalam sungai akan
mengurangi nilai stewardship, bequest dan existence value atau dengan kata lain
jika kualitas air sungai itu buruk maka nilai-nilai manfaat di atas tidak akan
tercapai/ terpenuhi.
Gambar II.5 di bawah ini menunjukkan secara jelas, pembagian kelompok
manfaat ekonomi dari kualitas air berdasarkan kriteria Dumas (2005).
Gambar II.5. Manfaat Ekonomi dari Kualitas Air Sungai
(Sumber: Dumas, 2005)
27
Download