1 PERANAN ENDOSKOPI TERAPEUTIK DALAM PENATALAKSANAAN PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS NON-VARICEAL AKUT Muhammad Begawan Bestari Endoscopy center Sub Bagian Gastroenterohepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam / FK Unpad RSUP dr. Hasan Sadikin Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) berasal dari proksimal ligamentum Treitz. Perdarahan SCBA akut dapat bermanifestasi sebagai hematemesis, muntah seperti warna kopi, adanya darah di nasogastric tube (NGT) dan/atau melena dengan atau tanpa gangguan hemodinamik. Hematochezia (keluarnya darah merah melalui rektum) dapat terjadi pada penderita dengan perdarahan SCBA yang hebat. Penanganan awal dari perdarahan SCBA adalah penilaian penderita dan stabilisasi dengan resusitasi cairan. Terapi antisekretori dengan PPI direkomendasikan untuk penderita dengan perdarahan yang disebabkan ulkus peptikum atau pada penderita yang diduga ulkus peptikum berdarah dimana endoskopi tertunda atau tidak tersedia. Endoskopi merupakan tindakan yang efektif untuk diagnostik dan terapi pada perdarahan SCBA. Modalitas terapi endoskopi yang tersedia saat ini meliputi injeksi, cautery, dan terapi mekanikal. Endoskopi terapeutik segera dengan teknik tepat secara efektif dapat mengontrol perdarahan akut nonvariseal dan menurunkan risiko terjadinya perdarahan ulang serta angka kematian. PENILAIAN AWAL DAN TINDAKAN Penderita dengan perdarahan SCBA harus menjalani stabilisasi dan resusitasi sebelum dilakukan terapi endoskopi. Penilaian awal harus ditujukan pada tanda vital penderita, ada atau tidaknya hipovolemia dan/atau syok, dan komorbid medis lainnya. Perlu ditanyakan penggunaan obat-obatan, terutama antikoagulan, obat-obat antiagregasi trombosis serta non steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID). Untuk terapi awal, cairan kristaloid harus diberikan secara intravena untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Penderita dengan bukti hipovolemia berat, syok atau kehilangan darah yang terus berlangsung, yang bermanifestasi sebagai hematemesis atau melena yang masif harus dirawat di ruangan perawatan intensif. Packed red blood cells dapat ditranfusikan 2 pada penderita dengan bukti kehilangan darah aktif yang terus berlangsung atau pada penderita dengan perdarahan yang bermakna. Terapi antisekretori dengan proton pump inhibitor (PPI) diberikan secara intravena Penderita dengan hematemesis bermakna yang sedang berlangsung atau penderita dengan risiko terjadinya aspirasi harus dipertimbangkan untuk intubasi endotrakheal sebelum dilakukan endoskopi. Peranan PPI pada penderita perdarahan SCBA akut telah dipelajari dengan mendalam. Dari penelitian-penelitan tersebut direkomendasikan untuk memberikan PPI pada penderita yang diduga perdarahan ulkus peptikum dengan gangguan hemodinamik, pada penderita dimana evaluasi endoskopi tertunda atau tidak tersedia alat endoskopi dan/atau penderita yang memerlukan transfusi darah. Dari 1 penelitan lain yang membandingkan PPI intravena dengan PPI intravena dikombinasi dengan terapi endoskopi pada penderita dengan perdarahan SCBA dan visible vessel tidak berdarah atau adherent clot menunjukkan bahwa penderita-penderita dengan kombinasi terapi mengalami episode perdarahan ulang yang lebih sedikit dan membutuhkan transfusi darah yang lebih sedikit. Somatostatin dan octreotide analogue menurunkan aliran darah vena portal dan aliran arterial ke gaster dan duodenum, sambil mempertahankan aliran darah ke renal. Sebanyak 14 penelitian pada 1829 penderita dengan perdarahan SCBA non-variceal disimpulkan secara meta-analisis bahwa somatostatin atau octreotide menurunkan risiko perdarahan serta perlunya pembedahan, dan obat-obatan ini lebih efektif pada perdarahan ulkus peptikum (seperti gastropati berdarah). Obat-obat ini dapat dipertimbangkan sebagai terapi tambahan sebelum endoskopi atau jika endoskopi gagal, terdapat kontraindikasi atau tidak terdapat endoskopi. Gambaran klinis yang diasosiasikan dengan risiko tinggi terjadinya perdarahan ulang, perlunya pembedahan dan meningkatnya mortalitas tercantum pada tabel 1. Tabel 1. Faktor-faktor risiko klinis untuk outcome yang buruk* Usia tua (> 60 tahun) Komorbiditas berat Perdarahan aktif (adanya hematemesis, darah merah per NGT, hematochezia) Hipotensi atau syok Transfusi sel darah merah > 6 unit Penderita rawat inap pada saat terjadinya perdarahan Koagulopati berat *Perdarahan ulang, kebutuhan untuk hemostasis endoskopi atau pembedahan atau mortalitas 3 PERANAN DAN EFEKTIFITAS ENDOSKOPI DALAM PENATALAKSANAAN PERDARAHAN SCBA Endoskopi pada penderita perdarahan SCBA efektif dalam mendiagnosis dan mengobati sebagian besar penyebab perdarahan SCBA dan diasosiasikan dengan penurunan kebutuhan transfusi darah dan lamanya perawatan di unit intensif serta lamanya perawatan di rumah sakit secara keseluruhan. Endoskopi dini (dalam waktu 24 jam setelah penderita dirawat) mempunyai peranan penting pada lamanya perawatan dan kebutuhan transfusi darah dibanding endoskopi tertunda. Endoskopi dapat digunakan untuk menilai kebutuhan penderita rawat inap. Jika endoskopi dapat dilakukan di ruang gawat darurat, sampai 46% penderita dengan hemodinamik stabil yang dievaluasi untuk perdarahan SCBA dengan endoskopi atas dan ditemukan stigmata risiko rendah untuk perdarahan ulang dapat secara aman dipulangkan dan diterapi sebagai penderita rawat jalan. Eritromisin intravena (250 mg iv bolus atau 3 mg/kgBB selama 30 menit) 30 sampai 90 menit sebelum endoskopi meningkatkan motilitas gaster dan mempercepat pengosongan lambung sehingga secara bermakna meningkatkan kualitas pemeriksaan mukosa saluran cerna. GAMBARAN PROGNOSTIK ENDOSKOPI Sebagian besar penyebab perdarahan SCBA di Indonesia terjadi akibat dari perdarahan varises esofagus, tetapi apabila dilihat dari proporsi penyebab perdarahan varises atau non-varises, maka perdarahan non-varises lebih banyak terjadi. Ulkus peptikum diasosiasikan dengan risiko perdarahan ulang sehingga memerlukan terapi endoskopi (lihat Tabel 2). Tabel 2. Stigmata perdarahan ulkus dan risiko perdarahan ulang tanpa terapi endoskopik Stigmata Risiko perdarahan ulang tanpa terapi Perdarahan arterial aktif (spurting) Visible vessel tidak berdarah (“pigmented protuberance“) Adherent clot tidak berdarah Ulkus dengan oozing (tanpa stigmata lain) Spot datar Ulkus dengan dasar bersih Mendekati 100% Sampai 50% 30-50% 10-27% <8% <3% 4 Terapi endoskopi diindikasikan untuk penderita dengan perdarahan aktif atau perdarahan arterial memancar (spurting) dan ulkus dengan visible vessel tidak berdarah (pigmented protuberance). Adherent clot yang terlihat pada ulkus merupakan suatu kontroversi dalam terapi endoskopi, tetapi dari penelitian-penelitian terkini menunjukkan keuntungan pengangkatan bekuan darah secara endokopik dan menghentikan perdarahan dari lesi yang berada di bawah bekuan darah dibanding dengan hanya melakukan observasi saja. Pigmented spot datar atau lesi dengan oozing yang lambat tanpa stigmata lain belum memperlihatkan keutungan dari terapi endoskopi. Ulkus dengan dasar bersih mempunyai angka perdarahan ulang yang sangat redah dan tidak memerlukan terapi endoskopi. MODALITAS TERAPI ENDOSKOPI UNTUK PERDARAHAN SCBA Metode injeksi Terapi injeksi secara endoskopi merupakan teknik yang biasa digunakan untuk menghentikan perdarahan pada ulkus peptikum berdarah. Mekanisme kerja dari terapi injeksi adalah bendungan primer karena efek volume, dengan beberapa obat mempunyai efek farmakologik sekunder. Larutan adrenalin adalah larutan yang paling sering digunakan. Sklerosan seperti etanol, etanolamin dan polidokanol tidak mempunyai efek bendungan melainkan menyebabkan kerusakan jeringan langsung dan trombosis. Obatobat juga dapat digunakan dalam bentuk kombinasi (seperti epinefrin diikuti etanolamin). Dua penelitan randomized control menunjukkan bahwa injeksi larutan adrenalin dalam volume yang besar lebih superior dibanding volume sedikit untuk terapi perdarahan akibat ulkus peptikum, tetapi tidak didapatkan adanya perbedaan perdarahan ulang yang bermakna secara statistik. Kesimpulan akhir dari penelitian tersebut menyatakan bahwa volume adrenalin yang disuntikkan tidak berperan dalam mencapai hemostasis. Sumber lain menyebutkan bahwa volume adrenalin yang disuntikkan berperan dalam hemostasis. Hal ini disebabkan karena injeksi adrenalin akan menghentikan perdarahan dengan efek tamponade dari cairan yang disuntikkan. Namun, efek permanen injeksi adrenalin ini bergantung pada vasospasme dan aktivasi trombosit yang berperan dalam pembentukan agregasi trombosit dan trombus fibrin dalam lumen pembuluh darah. Terapi injeksi dengan adrenalin banyak digunakan sebagai pilihan sehari-hari dalam endoskopi terapeutik karena mudah, murah, aman, dan portabel. Obat-obat suntik lainnya yang dapat digunakan misalnya thrombin, fibrin dan lem sianoakrilat yang digunakan untuk menimbulkan perlekatan jaringan primer pada tempat penyuntikan. Thrombin telah digunakan di beberapa penelitian bersamaan dengan terapi heat probe dan injeksi epinefrin, tetapi hanya pada 1 penelitian (menggunakan thrombin dikombinasikan dengan epinefrin) yang menunjukkan keuntungan tambahan. Belum terdapat 5 penelitian randomisasi prospektif dari terapi tunggal thrombin yang pernah dilakukan. Meskipun teknik ini dapat menghentikan sebagian besar perdarahan ulkus peptikum, perdarahan ulang masih terjadi pada 10% sampai 30% kasus. Perdarahan ulang lebih sering terjadi pada jenis perdarahan memancar, diikuti perdarahan oozing, visible vessel, dan adherent clots. Kauter Alat kauter meliputi heat probe, neodymium-yttrium aluminum garnet laser, argon plasma coagulation (APC) dan electrocautery probe. Terapi laser tidak banyak digunakan karena masalah biaya dan pelatihan. Electrocautery yang dimaksud adalah penggunaan electrocautery monopolar atau bipolar (multipolar). Heat probe dan electrocautery probe juga menggunakan bendungan lokal (tekanan mekanik dari ujung probe pada lokasi perdarahan) dikombinasikan dengan arus panas atau elektrik untuk membekukan (sehingga menutup) pembuluh darah yang pecah, suatu proses yang disebut sebagai coaptation. APC menggunakan aliran udara terionisasi untuk mengkondusikan listrik mengakibatkan koaguolasi dari jaringan superfisial. APC secara primer digunakan untuk terapi lesi superfisial, seperti gangguan vaskular, tetapi mungkin mempunyai peran pada penderita dengan perdarahan oleh sebab lain. Terapi mekanik Yang dimaksud dengan terapi mekanik adalah penggunaan alat yang menyebabkan bendungan fisik dari lokasi perdarahan. Saat ini satu-satunya terapi mekanik yang tersedia secara luas adalah klip yang dipasang melalui endoskopi dan alat ligasi. Klip endoskopi biasanya dipasang di atas lokasi perdarahan (misal perdarahan arterial atau visible vessel). Saat ini klip tersedia dalam bentuk dua atau tiga cabang, dapat dipasang pada lokasi perdarahan dan akan lepas dengan sendirinya dalam beberapa hari atau minggu setelah dipasang. Alat ligasi, yang saat ini sering dipergunakan dalam perdarahan varises, juga telah dipakai untuk menghentikan perdarahan non-variseal. Karet ligasi dipasang pada jaringan untuk menimbulkan penekanan mekanik dan bendungan. TINJAUAN PENDEKATAN PERDARAHAN SCBA AKUT ENDOSKOPIK PADA PENYEBAB Dari 1201 penderita yang telah dilakukan endoskopi terapeutik di Unit Endoskopi Subbagian Gastroentero-Hepatologi Bagian Penyakit Dalam FK Unpad-RSHS selama periode penelitian, didapatkan 81 kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan kasus termasuk kriteria eksklusi. 6 Bergantung pada waktu kapan tindakan endoskopi dikerjakan maka endoskopi diklasifikasikan sebagai endoskopi emergensi (emergently), endoskopi segera (urgently), atau endoskopi dini (early). Pada penelitian ini, berdasarkan waktu pengerjaan tindakan endoskopi terbagi menjadi dua kelompok, yaitu: 1) Endoskopi emergensi, endoskopi dikerjakan dalam waktu kurang dari 6 jam; 2) Endoskopi dini, endoskopi dikerjakan dalam waktu 6-24 jam setelah penderita dirawat. Penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan (61,7% : 38,3%). Ratarata berusia 59,2 tahun (SD 13,6) dengan rentang usia 16-84 tahun. Usia terbanyak berada dalam rentang 60–69 tahun sebanyak 35,8%, diikuti rentang usia 50–59 tahun (25,9%), di atas 70 tahun (18,5%), antara 40–49 tahun (12,3%) dan di bawah 40 tahun (7,4%). Penemuan ini sejalan dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa insidensi perdarahan SCBA nonvariseal meningkat dengan bertambahnya usia1 dan didominasi oleh lakilaki. Makin meningkatnya usia penderita dengan perdarahan merupakan prediktor prognosis yang buruk dan prediktor terjadinya perdarahan ulang. Diagnosis terbanyak yang didapatkan adalah ulkus (81,5%), dengan 21,2% di antaranya berukuran lebih dari 2 cm (giant ulcer). Diagnosis lainnya meliputi angiodisplasia multipel (7,4%), gastropati erosiva (4,9%), esofagopati erosiva (3,7%), dan tumor berdarah serta perdarahan divertikel (1,2%). Hasil yang sama juga didapatkan pada mayoritas literatur yang menyatakan bahwa penyebab utama perdarahan SCBA nonvariseal adalah ulkus peptikum. Jenis perdarahan yang paling masif, perdarahan yang memancar (spurting), didapatkan pada 9,9% subjek. Sedangkan jenis perdarahan yang paling banyak ditemukan adalah perdarahan yang merembes (oozing) pada 75,3%. Jenis perdarahan lainnya adalah bekuan darah (adherent clot) pada 12,3% dan ulkus dengan tampak pembuluh darah (visible vessel) pada 2,5%. Peneliti lain juga menemukan persentase terbanyak berupa perdarahan oozing pada sampel penelitian mereka. Tindakan endoskopi berhasil dikerjakan pada 76 penderita (93,8%), meliputi injeksi epinephrin (43,3%), elektrokoagulasi (18.5%), kombinasi keduanya (30,9%), dan hemoclip (1,2%). Dari 76 penderita yang mendapat terapi endoskopi, sebanyak 74 penderita (97,4%) berhasil dilakukan hemostasis awal. Sedangkan untuk lokasi ulkus, terbanyak pada bulbus duodeni yaitu sebanyak 45,9% dan antrum gaster sebanyak 16,4%. Hasil survival analysis pada 81 subjek, pada follow-up pertama, 4 orang meninggal dan 2 orang perdarahan ulang. Pada follow-up kedua, tidak ada subjek baik yang meninggal maupun perdarahan ulang. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan endoskopi emergensi/dini efektif dalam menurunkan mortalitas dan kasus perdarahan ulang pada perdarahan SCBA akut nonvarises dengan metode log-rank nilai probabilitas chi-square signifikan pada 0,000 (p<0,05). 7 Penelitian ini juga menilai hubungan karakteristik penderita terpilih dengan outcome, dan didapatkan bahwa hanya variabel tipe perdarahan dan syok yang mempunyai hubungan signifikan terhadap outcome. Hasil statistik nonparametrik Wilcoxon menunjukkan nilai sebesar 68,916 dan 6,042 dengan masing-masing nilai p<0,05. Hubungan antara kedua faktor ini terhadap prognostik, telah dikemukakan dalam sistem penilaian Rockall sebagai prediktor prognostik pada perdarahan SCBA. Terapi endoskopi untuk penderita dengan perdarahan SCBA yang disebabkan ulkus peptikum telah diteliti pada penelitian terkontrol, terandomisasi (randomized controlled trial/RCT). Terapi laser, electrocautery monopolar atau bipolar, heat probe, injeksi epinefrin dengan kombinasi seperti etanolamin dan polidokanol, semuanya efektif jika dibandingkan dengan tanpa terapi atau plasebo. Tidak ada satupun modalitas tunggal yang terbukti lebih unggul untuk terapi ulkus peptikum berdarah. Penggunaan injeksi epinefrin dikombinasikan dengan modalitas yang lain menurunkan perdarahan lebih lanjut dan menurunkan kebutuhan pembedahan serta mortalitas. Pengalaman operator memainkan peranan yang penting dalam pemilihan modalitas dan pencapain hemostasis. Semua penderita dengan ulkus peptikum harus menjalani tes diagnostik untuk infeksi HP. Semua penderita dengan hasil tes positif harus diterapi untuk mengeradikasi infeksi. Penderita dengan ulkus peptikum dan infeksi HP yang menjalani pengobatan untuk infeksi secara bermakna mempunyai risiko perdarahan ulang yang lebih rendah dibanding pada penderita yang hanya mendapat terapi antisekretori saja. Lesi Esofagus Esofagopati dapat disebabkan oleh refluks gastroesofageal, infeksi, obatobatan, zat kimia atau radiasi. Pada sebagian penderita tidak diperlukan terapi endoskopi. Robekan Mallory-Weiss adalah laserasi mukosa pada gastroesophageal (GE) junction, kardia gaster atau esofagus distal. Perdarahan sebagian besar bisa berhenti sendiri. Penderita dengan perdarahan yang hebat atau terus berlangsung memerlukan terapi endoskopi. Electrocautery multipolar merupakan terapi yang paling efektif, tetapi injeksi epinefrin, klip atau ligasi juga tampaknya efektif. Perdarahan yang tidak terkontrol mungkin memerlukan terapi angiografik atau pembedahan. Gangguan vaskular Gangguan vaskular biasanya menyebabkan kehilangan darah kronik secara mikroskopik dan lebih jarang menyebabkan perdarahan SCBA akut. Kelainan ini dan terjadi secara sporadik atau diasosiasikan dengan kelainan lain seperti sirosis, gagal ginjal, akibat radiasi, berbagai penyakit vaskular kolagen dan telangiektasia berdarah herediter (penyakit Osler-WeberRandu). Ligasi endoskopik, laser, APC, cautery dan skleroterapi telah 8 dilaporkan efektif. Tidak terdapat penelitan prospektif yang membandingkan metode pengobatan untuk perdarahan akut yang disebabkan gangguan vaskular. Tumor saluran cerna Tumor jinak atau kanker, baik primer maupun metastase, menyebabkan sekitar 2,2% perdarahan SCBA. Perdarahan ulang setelah terapi endoskopi sangatlah tinggi, antara 16% sampai 80%. Sampai saat in belum ada modalitas terapi yang optimal. Pembedahan atau angiografi mungkin merupakan terapi yang lebih baik untuk memperoleh hemostasis jangka panjang. PERDARAHAN ULANG SETELAH TERAPI ENDOSKOPI Meskipun telah dilakukan terapi endoskopi dini yang adekuat, perdarahan ulang pada penderita dengan perdarahan SCBA dapat terjadi sampai 24% pada penderita dengan risiko tinggi, meskipun dari penelitian-penelitan terkini menunjukkan penggunan terapi PPI sebagai terapi kombinasi dengan terapi endoskopi menurunkan perdarahan ulang menjadi hanya 10%. Penderita dengan perdarahan ulang memberikan respons baik terhadap terapi endoskopi ulang. Tindakan second look endoscopy berdasarkan banyak penelitian, bermanfaat karena dapat menilai keberhasilan tindakan hemostasis pertama dan mengevaluasi kemungkinan adanya perdarahan ulang. Banyak penelitian yang mendukung tindakan second look ini karena bermakna mengurangi kejadian perdarahan ulang. Walaupun ada peneliti yang menilai bahwa second look rutin tidak perlu dilakukan rutin pada pasien yang pada tindakan hemostasis pertama telah diberikan infus PPI sebelum aplikasi hemoklip atau terapi endoskopi kombinasi injeksi adrenalin dan elektro-koagulasi. Endoskopi terapeutik yang tepat dan cepat dapat menurunkan angka perdarahan ulang dan kematian akibat perdarahan SMBA nonvariseal, serta berperan sebagai salah satu tindakan resusitasi dalam penatalaksanaan syok akibat perdarahan. Endoskopi terapeutik ini juga berguna sebagai bridging therapy untuk mengoptimalkan kondisi pasien bila diperlukan tindakan pembedahan. Dari hasil penelitian di RSHS Bandung, selama follow-up 3 hari pertama, hanya 2 orang subjek mengalami perdarahan ulang yang dapat dihentikan dengan endoskopi terapeutik kedua. Tidak ada perdarahan ulang maupun kematian pada follow-up empat minggu pascakeberhasilan endoskopi terapeutik. 9 KESIMPULAN Untuk hal-hal berikut ini: (A), penelitian prospektif terkontrol; (B), penelitian observasional; (C), opini para ahli. - Penanganan awal dari perdarahan SCBA adalah penilaian penderita dan stabilasasi dengan resusitasi cairan. (C) - Penderita dengan risiko tinggi adalah penderita dengan hematemesis, gangguan hemodinamik, koagulopati, gagal ginjal, usia tua dan berbagai komorbid; penderita-penderita ini memerlukan pengawasan ketat. (B) - Terapi antisekretori dengan PPI direkomendasikan untuk penderita dengan perdarahan yang disebabkan ulkus peptikum atau pada penderita yang diduga ulkus peptikum berdarah dimana endoskopi tertunda atau tidak tersedia. (A) - Eritromisin sebelum terapi endoskopi meningkatkan penilaian mukosa. (A) - Meskipun bukan merupakan terapi rutin untuk perdarahan SCBA nonvariceal, somatostatin atau ocreotide dapat menurunkan risiko perdarahan yang terus berlangsung dan menurunkan kebutuhan pembedahan tetapi harus dipergunakan sebagai terapi tambahan dari terapi endoskopi dan PPI. (A) - Endoskopi efektif untuk melakukan diagnostik dan terapi pada perdarahan SCBA. (A) - Stigmata endoskopik yang memprediksi risiko tinggi terjadinya perdarahan ulang pada ulkus peptikum berdarah adalah spurting aktif, visible vessel, dan adherent clot; lesi-lesi tersebut harus diterapi. (A) - Penderita dengan lesi-lesi risiko rendah dapat dipertimbangkan untuk diterapi sebagai penderita rawat jalan. (A) - Modalitas terapi endoskopi yang tersedia meliputi injeksi, cautery, dan terapi mekanikal. (A) - Penelitian-penelitian belum menunjukkan keunggulan dari salah satu modalitas endoskopi, meskipun injeksi epinefrin saja kurang unggul dibandingkan dengan terapi kombinasi untuk ulkus peptikum berdarah. (A) - Endoskopi ulang terjadwal pada penderita dengan risiko tinggi terjadinya perdarahan ulang mungkin menguntungkan tetapi peranannya masih perlu dijelaskan lebih lanjut. (A) - Penderita dengan ulkus peptikum harus diperiksa dan diobati untuk infeksi HP. (A) 10 DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Wilcox CM, Alexander LN, Cotsonis G. A prospective characterization of upper gastrointestinal hemorrhage presenting with hematochezia. Am J Gastroenterol 1997;92:231-5. Erstad BL. Proton-pump inhibitors for acute peptic ulcer bleeding. Ann Pharmacother 2001;35:730-40. Sung JJ, Chan FK, Lau JY, Yung MY, Leung WK, Wu JC, et al. The effect of endoscopic therapy in patients receiving omeprazole for bleeding ulcers with nonbleeding visible vessels or adherent clots: a randomized comparison. Ann Intern Med 2003;139:237-43. Saruc M, Can M, Kucukmetin N, Tuzcuoglu I, Tarhan S, Goktan C, et al. Somatostatin infusion and hemodynamic changes in patients with nonvariceal upper gastrointestinal bleeding: a pilot study. Med Sci Monit 2003;9:PI84-7. Lin HJ, Perng CL, Wang K, Lee CH, Lee SD. Octreotide for arrest of peptic ulcer hemorrhage: a prospective, randomized controlled trial. Hepatogastroenterology 1995;42:856-60. Christiansen J, Ottenjann R, Von Arx F. Placebo-controlled trial with the somatostatin analogue SMS 201-995 in peptic ulcer bleeding. Gastroenterology 1989;97:568-74. Imperiale TF, Birgisson S. Somatostatin or octreotide compared with H2 antagonists and placebo in the management of acute nonvariceal upper gastrointestinal hemorrhage: a meta-analysis. Ann Intern Med 1997;127:1062-71. Lin HJ, Wang K, Perng CL, Chua RT, Lee FY, Lee CH, et al. Early or delayed endoscopy for patients with peptic ulcer bleeding. A prospective randomized study. J Clin Gastroenterol 1996;22:267-71. Lee JG, Turnipseed S, Romano PS, Vigil H, Azari R, Melnikoff N, et al. Endoscopy-based triage significantly reduces hospitalization rates and costs of treating upper GI bleeding: a randomized controlled trial. Gastrointest Endosc 1999;50:755-61. Longstreth GF, Feitelberg SP. Successful outpatient management of acute upper gastrointestinal hemorrhage: use of practice guidelines in a large patient series. Gastrointest Endosc 1998;47:219-22. Coffin B, Pocard M, Panis Y, Riche F, Laine MJ, Bitoun A, et al. Erythromycin improves the quality of EGD in patients with acute upper GI bleeding: a randomized controlled study. Gastrointest Endosc 2002;56:174-9. Johnson JH. Endoscopic risk factors for bleeding peptic ulcer. Gastrointest Endosc 1990;36(Suppl 5):S16-20. Lin HJ, Hsieh YH, Tseng GY, Perng CL, Chang FY, Lee SD. A prospective, randomized trial of large- versus small-volume endoscopic injection of epinephrine for peptic ulcer bleeding. Gastrointest Endosc 2002;55:6159. Balanzo J, Villanueva C, Sainz S, Espinos JC, Mendez C, Guarner C, et al. Injection therapy of bleeding peptic ulcer. A prospective, randomized trial using epinephrine and thrombin. Endoscopy 1990;22:157-9. 11 15. Ginsberg GG, Barkun AN, Bosco JJ, Burdick JS, Isenberg GA, Nakao NL, et al. The argon plasma coagulator: February 2002. Gastrointest Endosc 2002;55:807-10. 16. Raju GS, Gajula L. Endoclips for GI endoscopy. Gastrointest Endosc 2004;59:267-79. 17. Gambaran endoskopi perdarahan saluran cerna bagian atas di RSHS selama 5 tahun. Unpublished data. 18. Oxner RB, Simmonds NJ, Gertner DJ, Nightingale JM, Burnham WR. Controlled trial of endoscopic injection treatment for bleeding from peptic ulcers with visible vessels. Lancet 1992;339:966-8. 19. Calvet X, Vergara M, Brullet E, Gisbert JR, Campo R. Addition of a second endoscopic treatment following epinephrine injection improves outcome in high-risk bleeding ulcers. Gastroenterology 2004;126:44150. 20. Sharma VK, Sahai AV, Corder FA, Howden CW. Helicobacter pylori eradication is superior to ulcer healing with or without maintenance therapy to prevent further ulcer haemorrhage. Aliment Pharmacol Ther 2001;15:1939-47. 21. Huang SP, Wang HP, Lee YC, Lin CC, Yang CS, Wu MS, et al. Endoscopic hemoclip placement and epinephrine injection for Mallory-Weiss syndrome with active bleeding. Gastrointest Endosc 2002;55:842-6. 22. Yamaguchi Y, Yamato T, Katsumi N, Morozumi K, Abe T, Ishida H, et al. Endoscopic hemoclipping for upper GI bleeding due to Mallory-Weiss syndrome. Gastrointest Endosc 2001;53:427-30. 23. Gunay K, Cabioglu N, Barbaros U, Taviloglu K, Ertekin C. Endoscopic ligation for patients with active bleeding Mallory-Weiss tears. Surg Endosc 2001;15:1305-7. 24. Wong RM, Ota S, Katoh A, Yamauchi A, Arai K, Kaneko K, et al. Endoscopic ligation for non-esophageal variceal upper gastrointestinal hemorrhage. Endoscopy 1998;30:774-7. 25. Zed PJ, Loewen PS, Slavik RS, Marra CA. Meta-analysis of proton pump inhibitors in treatment of bleeding peptic ulcers. Ann Pharmacother 2001;35:1528-34. 26. Trap R, Skarbye M, Rosenberg J. Planned second look endoscopy in patients with bleeding duodenal or gastric ulcers. Dan Med Bull 2000;47:220-3. 27. Chiu PW, Lam CY, Lee SW, Kwong KH, Lam SH, Lee DT, et al. Effect of scheduled second therapeutic endoscopy on peptic ulcer rebleeding: a prospective randomised trial. Gut 2003;52:1403-7. 28. Bestari MB, Rachmat Y, Girawan D, Djumhana A, Saketi JR, Abdurachman SA. Keberhasilan endoskopi terapeutik dalam pengelolaan perdarahan saluran makan bagian atas non-variseal akut. MKB 2008;Vol XL No.3:125-33.