PARADIGMA PEMBELAJARAN SEJARAH YR Subakti

advertisement
Paradigma Pembelajaran Sejarah.....(Y.R.
Sejarah.....(Y.R. Subakti)
PARADIGMA PEMBELAJARAN SEJARAH
BERBASIS KONSTRUKTIVISME
Y.R. Subakti
Abstract
There are many problems emerge in learning history nowadays such as,
the weakness of theory usage, low imagination, textbook reference, and
state oriented curriculum. Besides, the tendency to not give attention to
the globalization fenomena and the historical background. Moreover,
learning history is low theory. The result is that learning is not
interesting and tedious, not to mention the convensional model of
learning history. In this case, learning history should alive and
insteresting.
In order to have the good result of learning history, the use of method
have to be able to construct the “historical memory” and supported by
the “emotional memory”. This kind of memory is formed by involving
the emotional aspect to construct the awareness of the student and
elucidate the significant of the historical events. Therefore, the change
of learning model is needed from the conventional to the constructive.
The theory of constructivism stated that students had to construct the
knowledge with their own skill. The basic concepts are scaffolding, topdown process, Zone of Proximal Development (ZPD), and cooperative
learning. The aim is to construct their understanding since contributes
the meaning of what is learned.
There are some models in the use of constructivism learning approach
such as, learning model based on the problems, the characteristics of
Interactive learning model, and others. Thus, this learning style is not
only transfers the knowledge, but also stimulates student to think
rasionally and not depend on the memorization.
Drs. Y.R. Subakti, M.Pd., adalah dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Sejarah,
FKIP - Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
SPPS,
SPPS, Vol. 24, No. 1, April 2010
A. Pendahuluan
Pembelajaran sejarah saat ini menghadapi banyak persoalan.
Persoalan itu mencakup lemahnya penggunaan teori, miskinnya
imajinasi, acuan buku teks dan kurikulum yang state oriented, serta
kecenderungan untuk tidak memperhatikan fenomena globalisasi
berikut latar belakang historisnya.
Lemahnya penggunaan teori dalam kajian sejarah memang ada benarnya,
karena sejarah memang tidak mempunyai teori. Sejarah meminta bantuan teoriteori dari disiplin sosial lainnya dalam setiap kajiannya. Misalnya teori-teori
sosiologi, antropologi, psikologi, politik, dan sebagainya. Melalui teori-teori
tersebut kajian sejarah akan lebih kaya makna. Hanya kemampuan guru-guru
sejarah dalam meramu sajian sejarah dirasa kurang memadukan disiplin-disiplin
sosial lainnya dalam kajian sejarah. Guru dirasa kurang dalam menggunakan
pendekatan interdisipliner dalam kajian sejarah.
Miskin teori berakibat munculnya sejumlah contoh pernyataan dalam
buku teks yang terlalu umum dan sulit diverifikasi kebenarannya. Pembelajaran
sejarah juga juga tidak disertai percikan imajinasi yang membuat tinjauan akan
peristiwa masa lalu menjadi lebih hidup dan menarik.
Dalam proses pembelajaran sejarah, masih banyak guru menggunakan
pardigma konvensional, yaiu paradigma ‘guru menjelaskan - murid
mendengarkan’. Metode pembelajaran sejarah semacam ini telah menjadikan
pelajaran sejarah membosankan. Ia kemudian tidak memberikan sentuhan
emosional karena siswa merasa tidak terlibat aktif di dalam proses
pembelajarannya. Sementara paradigma ‘siswa aktif mengkonstruksi makna guru membantu’ merupakan dua paradigma dalam proses belajar-mengajar
sejarah yang sangat berbeda satu sama lain. Paradigma ini dianggap sulit
diterapkan dan membingungkan guru serta siswa. Di samping itu, metode
pembelajaran yang kaku, akan berakibat buruk untuk jangka waktu yang
panjang dan berpotensi memunculkan generasi yang mengalami “amnesia (lupa
atau melupakan sejarah” bangsa sendiri.
Agar pembelajaran sejarah berhasil baik, metode yang dipergunakan
harus bisa mengkostruk “ingatan historis”. Alhasil, siswa menjadikan sejarah
hanya sebagai fakta-fakta hapalan tanpa adanya ketertarikan dan minat untuk
memaknainya, juga mampu menggali lebih jauh lagi. Ingatan historis semata
tidak akan bertahan lama. Supaya ingatan historis semata tidak akan bertahan
lama, perlu disertai “ingatan emosional”.
Ingatan jenis ini adalah ingatan yang terbentuk dengan melibatkan emosi
hingga bisa menumbuhkan kesadaran dalam diri siswa untuk menggali lebih
jauh dan memaknai berbagai peristiwa sejarah. Proses pembelajaran kemudian
tak hanya berhenti pada penghafalan saja, siswa bisa aktif dalam komunikasi dua
arah dengan guru untuk mengutarakan pendapatnya mengenai obyek sejarah
yang tengah dipelajari karena sedari awal ia telah merasa menjadi bagian dari
proses pembelajaran yang penuh dengan makna. Agar “ingatan emosional”
muncul dan bertahan lama, maka paradigma pembelajaran sejarah harus diubah.
Mengubah paradigma yang dianut oleh seorang guru dari paradigma
konvensional ke paradigma konstruktif, bukan sesuatu hal yang mudah. Hal ini
disebabkan karena kebanyakan guru sudah terbiasa dengan paradigma
konvensional, dan mereka sendiripun pada waktu masih menjadi siswa sudah
terbiasa dengan paradigma tersebut. Sungguh-sungguh diperlukan kemauan
dan tekad yang kuat untuk bisa mengubah paradigma tersebut secara nyata.
Schiffer dan Fosnot (1993) menguraikan proses jatuh bangun dari beberapa
guru yang berusaha sungguh-sungguh untuk menggunakan paradigma
konstruktivis, sekalipun mereka sendiri sebelumnya sudah sangat terbiasa
dengan paradigma konvensional. Dengan usaha yang keras, usaha para guru
tersebut akhirnya berhasil mengubah paradigma yang mereka gunakan, dan
perubahan paradigma tersebut memberikan manfaat yang positif bagi para siswa
mereka, karena dengan penggunaan paradigma yang kedua tersebut, para siswa
menjadi terbiasa mengeksplorasi secara aktif dan konstruktif konsep-konsep,
prinsip-prinsip, prosedur-prosedur, dan soal-soal sejarah (termasuk soal-soal
yang non rutin), sehingga mereka merasa bahwa sejarah adalah ‘milik’ mereka,
karena liku-likunya telah biasa mereka telusuri. Lebih jauh, hal tersebut
menambah rasa percaya diri mereka dalam menghadapi materi-materi sejarah
yang baru dan soal-soal yang sebelumnya belum pernah mereka jumpai. Hal ini
juga sangat membantu mereka pada waktu mereka menjumpai masalah-masalah
dalam kehidupan mereka sehari-sehari; sehingga secara umum, kemampuan
mereka dalam memecahkan masalah kesejarahan meningkat. Kemampuan
memecahkan masalah ini akan sangat berguna pula dalam bidang-bidang di
mana mereka nanti akan berkarya.
Belajar sejarah berarti peserta didik mampu berpikir kritis dan mampu
mengkaji setiap perubahan di lingkungannya, serta memiliki kesadaran akan
perubahan dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap peristiwa sejarah.
Pembelajaran sejarah yang baik adalah pembelajaran yang mampu
menumbuhkan kemampuan siswa melakukan konstruksi kondisi masa sekarang
dengan mengkaitkan atau melihat masa masa lalu yang menjadi basis topik
pembelajaran sejarah. Kemampuan melakukan konstruksi ini harus
dikemukakan secara kuat agar pembelajaran tidak terjerumus dalam
pembelajaran yang bersifat konservatif. Kontekstualitas sejarah harus kuat
mengemuka dan berbasis pada pengalaman pribadi para siswa. Apalagi sejarah
tidak akan terlepas dari konsep waktu, kontinyuitas dan perubahan.
Mengutip pendapat Fernand Braudel (Lechte, 2001) memahami sejarah
dari sudut waktu. Menurutnya dalam memahami sejarah ada tiga kerangka
waktu, event history (short term/jangka pendek), conjucture (mid term/jangka
menengah) dan longue duree (long term/jangka panjang). Sejarah pada satu
tempat dan komunitas terkait dengan ketiga konsep waktu tersebut. Selain itu
dari sudut ruang, Braudel menambahkan satu lagi, yaitu ekonomi dunia di mana
ini merupakan unit analisis makro terkait dengan perkembangan pertukaran
barang dan jasa. Jika dikaitkan dengan waktu kalender,event history
berlangsung antara beberapa minggu, musim sampai beberapa tahun.
Conjungture berlangsung sekitar 10 – 50 tahun sedangkan longue duree
berlangsung lebih lama, bisa sampai beberapa abad.
Perubahan yang mempengaruhi sejarah dalam jangka waktu yang lama,
dicontohkan oleh Braudel yaitu mengenai perubahan musim atau iklim.
Perubahan jangka menengah, misalnya yang terkait bidang ekonomi seperti
perubahan-perubahan harga, pertumbuhan populasi dan hasil-hasil produksi.
Perubahan-perubahan ini bisa dipengaruhi oleh keadaan-keadaan sepuluh,
duapuluh, lima puluh tahun yang lalu. Event history atau jangka pendek
digambarkan oleh Braudel seperti pada awal tulisan ini. Seperti cahaya kunangkunang, bersinar singkat dan lemah, tetapi cukup melepaskan cahaya untuk
menyinari dataran kecil di bawahnya. Pada event history ini Braudel memberi
tekanan pada perang, politik dan diplomasi.
Pembedaan ketiga konsep waktu ini, evant history, conjucture dan longue
duree tidak merupakan pembedaan yang hirarkis, satu lebih penting dari yang
lain. Masing-masing berperan dan mempunyai fungsi sendiri-sendiri, dan ketika
tiga konsep waktu itu ditambah dengan unit analisis makro, ekonomi dunia,
menurut Braudel keempatnya tersebut akan memberikan sudut pandang kita
mengenai total history.
Apabila pemikiran Fernand Braudel tersebut diterapkan dalam
pembelajaran sejarah, maka perlu adanya perubahan paradigma pembelajaran
agar aktualitas akibat adanya perubahan dalam konsep waktu dapat dipahami
dan disadari oleh para siswa.
Beberapa faktor di atas diangkat dalam makalah singkat ini, yaitu
perubahan pembelajaran sejarah dari pola lama menjadi pembelajaran sejarah
dengan paradigma baru. Paradigma ini adalah pendekatan pembelajaran sejarah
yang
kontekstual
berbasis
konstruktivisme
dengan
memperhatikan
perkembangan kekinian yang semakin global.
B. Perubahan Paradigma Pembelajaran
Tuntutan terhadap pelayanan pembelajaran yang ditunjang oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mendorong terjadinya
pergeseran konsep pembelajaran. Model mengajar bergeser ke arah model
belajar. Asumsi pergeseran tersebut bertolak dari peserta didik yang diharapkan
dapat meningkatkan upaya dirinya memperkaya pengetahuan, sikap dan
ketrampilan. Guru di sekolah bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan,
akan tetapi bagian integral dalam sistem pembelajaran. Berdasarkan teori belajar
yang ada, bermuara pada tiga model utama, yaitu: 1) Behaviorisme, 2)
Kognitivisme, dan 3) Konstruktivisme.
1. Pembelajaran Behaviorisme
Good et. al.(1973) menganggap behaviorisme atau tingkah laku dapat
diperhatikan dan diukur. Prinsip utama bagi teori ini ialah faktor rangsangan
(stimulus), Respon (response) serta penguatan (reinforcement). Teori ini
menganggap faktor lingkungan sebagai rangsangan dan respon peserta didik
terhadap rangsangan itu ialah responsnya. Pendapat ini sejalan dengan
pendapat Thorndike (2001) yang menyatakan bahwa hubungan di antara
stimulus dan respon akan diperkuat apabila responnya positif diberikan
reward yang positif dan tingkah laku nagatif tidak diberi apa-apa (hukuman).
Sebagai contoh, seseorang peserta didik diberikan ganjaran positif
setelah dia menunjukkan respon positif. Dia akan mengulangi respon
tersebut setiap kali rangsangan yang serupa ditemui. Hal demikian akan
diperoleh dalam pengajaran guru dengan adanya latihan dan ganjaran
terhadap sesuatu latihan. Penguatan (reinforcement) akan memberi
rangsangan supaya belajar lebih bersemangat dan bermotivasi tinggi. Peserta
didik yang berprestasi memperoleh pengetahuan yang mereka inginkan
dalam sesuatu sesi pembelajaran, dapat dikatakan mendapat response positif.
2. Pembelajaran Kognitif
Model kognitif berkembang sebagai protes terhadap teori perilaku
yang berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa
para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya
mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara
pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini
menekankan pada bagaimana informasi diproses. Peneliti yang
mengembangkan kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga
peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel
menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh
utama terhadap belajar. Menurut Ausubel, konsep tersebut dimaksudkan
untuk penyiapan struktur kognitif peserta didik untuk pengalaman belajar.
Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep
sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi
dari lingkungan. Bruner mengembangkan teorinya tentang perkembangan
intelektual, meliputi: (1) enactive, dimana seorang peserta didik belajar
tentang dunia melalui tindakannya pada objek; (2) iconic, dimana belajar
terjadi melalui penggunaan model dan gambar; dan (3) symbolic yang
mendeskripsikan kapasitas dalam berfikir abstrak
Gagne melakukan penelitian pada belajar mengajar sebagai suatu
rangkaian pase, menggunakan step-step kognitif: pengkodean (cooding),
penyimpanan (storing), perolehan kembali (retrieving), dan pemindahan
informasi (transferring information). Menurut Bruner (1963) perkembangan
kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya
melihat lingkungan, yaitu enactif, iconic, dan symbolic. Tahap pertama adalah
tahap enaktif, dimana siswa melakukan aktifitas-aktifitasnya dalam usahanya
memahami lingkungan. Tahap kedua adalah tahap ikonik dimana ia melihat
dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.Tahap ketiga adalah
tahap simbolik, dimana ia mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak
dipengaruhi bahasa dan logika dan komunikasi dilkukan dengan
pertolongan sistem simbol.
Menurut Hartley & Davies (1978), prinsip-prinsip kognitifisme banyak
diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya dalam melaksanakan
kegiatan perancangan pembelajaran, yang meliputi: (1) Peserta didik akan
lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut
disusun berdasarkan pola dan logika tertentu; (2) Penyusunan materi
pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit. Untuk dapat melakukan
tugas dengan baik peserta didik harus lebih tahu tugas-tugas yang bersifat
lebih sederhana; (3) Belajar dengan memahami lebih baik dari pada
menghapal tanpa pengertian. Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa
yang telah diketahui siswa sebelumnya. Tugas guru disini adalah
menunjukkan hubungan apa yang telah diketahui sebelumnya; dan (4)
Adanya perbedaan individu pada siswa harus diperhatikan karena faktor ini
sangat mempengaruhi proses belajar siswa. Perbedaan ini meliputi
kemampuan intelektual, kepribadian, kebutuhan akan sukses dan lain-lain.
(dalam Toeti Soekamto 1992:36)
3. Pembelajaran Konstruktivisme
Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang menerangkan
bagaimana pengetahuan disusun dalam diri manusia. Unsur-unsur
konstruktivisme telah lama dipraktekkan dalam proses belajar dan
pembelajaran baik di tingkat sekolah dasar, menengah, maupun universitas,
meskipun belum jelas terlihat.
Berdasarkan faham konstruktivisme, dalam proses belajar mengajar,
guru tidak serta merta memindahkan pengetahuan kepada peserta didik
dalam bentuk yang serba sempurna. Dengan kata lain, pesera didik harus
membangun suatu pengetahuan itu berdasarkan pengalamannya masingmasing. Pembelajaran adalah hasil dari usaha peserta didik itu sendiri. Pola
pembinaan ilmu pengetahuan di sekolah merupakan suatu skema, yaitu
aktivitas mental yang digunakan oleh peserta didik sebagai bahan mentah
bagi proses renungan dan pengabstrakan. Fikiran peserta didik tidak akan
menghadapi kenyataan dalam bentuk yang terasing dalam lingkungan
sekitar. Realita yang diketahui peserta didik adalah realita yang dia bina
sendiri. Peserta didik sebenarnya telah mempunyai satu set idea dan
pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan
mereka.Untuk membantu peserta didik dalam membina konsep atau
pengetahuan baru, guru harus memperkirakan struktur kognitif yang ada
pada mereka. Apabila pengetahuan baru telah disesuaikan dan diserap untuk
dijadikan sebagian daripada pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru
tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina.
John Dewey menguatkan teori konstruktivisme ini dengan
mengatakan bahwa pendidik yang cakap harus melaksanakan pengajaran
dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman
secara berkesinambungan. Beliau juga menekankan kepentingan
keikutsertakan peserta didik di dalam setiap aktivitas pengajaran dan
pembelajaran.
Ditinjau persepektif epistemologi yang disarankan dalam
konstruktivisme, maka fungsi guru akan berubah. Perubahan akan berlaku
dalam teknik pengajaran dan pembelajaran, penilaian, penelitian dan cara
melaksanakan kurikulum. Sebagai contoh, perspektif ini akan mengubah
kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kemampuan
peserta didik mencontoh dengan tepat apa saja yang disampaikan oleh guru,
kepada kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada
kemampuan peserta didik dalam membina skema pengkonsepan
berdasarkan pengalaman yang aktif. Ia juga akan mengubah tumpuan
penelitian dari pembinaan model berdasarkan kaca mata guru kepada
pembelajaran sesuatu konsep ditinjau dari kaca mata peserta didik.
C. Penerapan Cara Belajar Sejarah Secara Aktif dan Konstruktif
Agar pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah dapat sungguh-sungguh
meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, kiranya cara belajar
sejarah yang aktif dan konstruktif perlu diterapkan oleh para siswa. Proses
penggunaan cara tersebut memang membutuhkan kemauan yang kuat,
mengingat para siswa dan para guru di Indonesia, seperti yang juga terjadi di
banyak tempat lain di dunia, telah terbiasa dengan paradigma yang lama, yaitu
guru menjelaskan – siswa mendengarkan dan mengikuti petunjuk guru,
ditambah lagi dengan adanya faktor-faktor sosial-budaya yang memberi warna
tertentu pada proses pembelajaran. Akan tetapi, jika memang betul-betul ingin
mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada dalam pendidikan sejarah,
perubahan tersebut harus dilakukan.
Di atas telah disinggung bahwa pembelajaran sejarah masih bersifat
pendekatan konvensional, yakni ceramah, tanya jawab dan pemberian tugas atau
mendasarkan pada “behaviorist” atau “strukturalist”. Pengajaran sejarah secara
tradisional mengakibatkan siswa hanya bekerja secara prosedural dan
memahami sejarah tanpa penalaran, berorientasi pada psikologi perilaku dan
strukturalis, lebih menekankan hafalan dan drill merupakan penyiapan yang
kurang baik untuk kerja profesional para siswa nantinya. Kebanyakan guru
mengajar dengan menggunakan buku paket sebagai “resep”, mereka
mengajarkan sejarah berdasarkan buku dari halaman per halaman, serta strategi
pembelajaran lebih didominasi oleh upaya untuk menyelesaikan materi
pembelajaran dalam waktu yang tersedia, dan kurang adanya upaya agar terjadi
proses dalam diri siswa untuk mencerna materi secara aktif dan konstruktif.
Ungkapan di atas tidak dimaksudkan sebagai “vonis” bahwa pembelajaran
sejarah dengan paradigma lama tidak memberikan kontribusi apapun dalam
pendidikan sejarah, atau bahkan justru menenggelamkan potensi-potensi yang
dimiliki siswa. Tetapi secara wajar dan proporsional dapatlah dicermati bahwa
ada bagian-bagian tertentu dari paradigma lama tersebut yang perlu perubahan.
Bagian tertentu yang dapat dikatakan sangat penting dan perlu upaya yang
seksama agar terjadi perubahan adalah cara sajian dan suasana pembelajaran.
Diperlukan suatu usaha sungguh-sungguh untuk melakukan perubahan.
Beberapa aspek berikut dapat dijadikan wacana diskusi bahwa inovasi
pembelajaran sejarah dapat dilakukan dengan melakukan perubahan dari
paradigma konvensional ke paradigma konstruktivistik.
Paradima Konvensional
Paradigma Konstruktivisme
Terpusat Guru
Transmisi pengetahuan
Otoriter
Inisiatif Guru
Siswa Pasif
Tabu melakukan kesalahan
Kewajiban
Orientasi hasil
Cepat dan tergesa-gesa
Layanan kelas
Penyeragaman
Ekspositori,ceramah
Abstrak; Ingatan
Sejarah Murni
Motivasi eksternal
Sangat formal
Sentralistik
Sangat Terstruktur
Pengajar
Kontak guru siswa berjarak
Terikat kelas
Deduktif
Guru pelaksana kurikulum
Evaluasi kurang bervariasi
Terpusat Siswa
Pengembangan kognisi
Demokratis
Inisiatif Siswa
Siswa Aktif
Kesalahan bernilai paedagogis
Kesadaran, kebutuhan
Orientasi proses dan hasil
Sabar dan menunggu
Layanan kelas dan individu
Pengakuan adanya perbedaan
Diskusi, variasi metode
Konkrit;Pemahaman;Aplikasi
Sejarah sekolah
Motivasi internal
Sedikit Informal
Otonomi
Fleksibel
Pendidik; Fasilitator; Pendamping
Kontak lebih dekat
Tidak hanya terikat kelas
Induktif; deduktif
Guru pengembang kurikulum
Assesmen, Evaluasi bervariasi
Peran guru mendominasi
Problem tidak “membumi”
Peran melayani
Problem kontekstual-realistik
D. Pembelajaran Sejarah Berdasarkan Pendekatan Konstruktivisme
1. Pandangan Tentang Belajar Menurut Teori Konstruktivisme
Teori belajar kontruktivisme menyatakan bahwa siswa harus
membangun pengetahuan di dalam benak mereka sendiri. Setiap
pengetahuan atau kemampuan hanya bisa diperoleh atau dikuasai oleh
seseorang apabila orang itu secara aktif mengkontruksi pengetahuan atau
kemampuan itu di dalam pikirannya.
Matthews dalam Suparno (1997) membagi konstruktivisme dalam dua
bagian, yaitu konstruktivisme psikologis dan konstruktivisme sosiologis.
Konstruktivisme psikologis bertolak dari perkembangan psikologis anak
dalam membangun pengetahuannya, sedangkan konstruktivisme sosiologis
lebih bertolak dari pandangan bahwa masyarakat yang membangun
pengetahuan. Konstruktivisme psikologis berkembang dalam dua arah, yang
lebih personal, individual, dan subyektif seperti Piaget dan pengikutpengikutnya; dan yang lebih sosial seperti Vygotsky (socioculturalism).
Piaget menekankan aktivitas individual dalam pembentukan pengetahuan,
sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya masyarakat (lingkungan
secara kultural).
Dalam proses pembentukan pengetahuan, baik dalam sudut pandang
personal maupun sosiokultural sebenarnya sama-sama menekankan
pentingnya keaktifan siswa dalam belajar, hanya yang satu lebih
menekankan keaktifan individu, sedangkan yang lainnya lebih menekankan
pentingnya lingkungan sosial-kultural.
Dalam pembelajaran sejarah di sekolah, kedua pandangan tersebut
saling melengkapi. Belajar sejarah memerlukan proses pembentukan
individual yang aktif tapi juga proses inkulturasi dalam masyarakat.
Sehubungan dengan hal ini, Cobb dalam Suparno (1997) menyarankan agar
konstruktivisme personal dikombinasikan dengan sosiokultural.
Suparno (1997:47) menyatakan “bahwa seseorang dilahirkan dalam
suatu ingkungan sosial kultural di mana obyek dan kejadian ditemukan dan
diartikan secara khusus yang juga dikonstruksikan”. Melalui interaksi
dengan unsur-unsur yang mengelilinginya, maka individu akan belajar
untuk mengenal lingkungan sosialnya. Sementara lingkungan sosial tersebut
akan mengalami perubahan secara gradual maupun kontinyu. Di sinilah
letaknya bahwa sejarah harus berdasarkan perubahan dan kontinyitas.
Dalam sudut pandang/perspektif konstruktivis personal disoroti
bagaimana seorang anak pelan-pelan membentuk skema berupa jalinan
konsep yang ada dalam pikiran, mengembangkan skema, dan mengubah
skema. Ia lebih menekankan bagaimana individu sendiri mengkonstruksi
pengetahuan hasil dari berinteraksi dengan pengalaman dan obyek yang
dihadapi, dan bagaimana seorang anak mengadakan abstraksi, baik secara
sederhana maupun secara refleksi, dalam membentuk pengetahuan
sejarahnya.
Implementasi perspektif di atas dalam pembelajaran sebagaimana
diungkapkan Slavin (1994) adalah sebagai berikut.
a. Pemusatkan perhatian kepada berpikir atau proses mental anak, bukan
sekedar hasil yang diperoleh; guru harus memahami proses yang
dilakukan siswa secara mendalam sampai pada jawaban suatu masalah
yang ditanyakan.
b. Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan
aktif dalam kegiatan pembelajaran; guru dituntut untuk mempersiapkan
beraneka ragam kegiatan yang memungkinkan anak melakukan kegiatan
secara langsung.
c. Memahami dan mengakui adanya perbedaan individual. Oleh karena itu
guru harus melakukan upaya khusus untuk mengatur kegiatan kelas
dalam bentuk individual dan kelompok kecil siswa.
Dalam proses belajar harus ada perubahan, terutama perubahan
konsep yang disebut dengan asimilasi untuk perubahan tahap pertama dan
perubahan tahap kedua disebut akomodasi. Dengan asimilasi, siswa
menggunakan konsep-konsep yang telah mereka miliki untuk berhadapan
dengan fenomena baru. Sementara dengan akomodasi siswa mengubah
konsepnya yang sudah tidak cocok dengan fenomena baru yang muncul
(Suparno, 1997: 50). Dengan demikian diharapkan bahwa proses
pembelajaran bukan hanya sekedar transfer knowledge, tetapi sudah
membangun konsep pemahaman dalam diri siswa.
Dalam pembelajaran, Piaget menekankan pembelajaran melalui
penemuan (inkuiri), pengalaman nyata dan memanipulasi langsung alat,
bahan atau media belajar yang lain (eksperimen). Guru mempersiapkan
lingkungan yang memungkinkan siswa dapat memperoleh pengalaman
belajar yang luas. Menurut Piaget, perkembangan kognitif bukan merupakan
akumulasi dari kepingan informasi yang terpisah, namun lebih merupakan
pengkonstruksian suatu kerangka mental oleh siswa untuk memahami
lingkungan mereka, sehingga siswa bebas membangun pemahaman mereka
sendiri.
2. Beberapa Konsep Mendasar dalam Kontruktivisme
a. Scaffolding
Dalam lingkungan pembelajaran, proses pembentukan makna
dalam diri siswa membutuhkan dukungan guru berupa topangan
(scaffolding). Topangan adalah bantuan yang diberikan dalam wilayah
perkembangan terdekat (zone of proximal development) siswa (Wood et al.,
dalam Confrey, 1995). Topangan diberikan berdasarkan apa yang sudah
bermakna bagi siswa, sehingga apa yang sebelumnya belum dapat
dimaknai sendiri oleh siswa sekarang dapat bermakna berkat topangan
itu. Dengan demikian, topangan diberikan kepada siswa dalam situasi
yang interaktif, dalam arti guru memberikan topangan berdasarkan
interpretasi akan apa yang sudah bermakna bagi siswa, dan siswa
mengalami perkembangan dalam proses pembentukan makna berkat
topangan itu.
Scafollding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk
belajar dan untuk memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa
petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam
langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan
lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
b. Proses Top Down
Pendekatan konstruktivitis dalam pengajaran lebih menekankan
proses pengajaran secara top-down dari pada bottom-up. Konteks Topdown adalah siswa mulai dengan masalah kompleks untuk dipecahkan
dan kemudian siswa memecahkan atau menemukan (dengan bimbingan
guru) keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan (Slavin, 1994).
c. Zone of Proximal Development (ZPD)
Zone of proximal development (ZPD) dimaknai sebagai “jarak antara
tingkat perkembangan sesungguhnya dalam bentuk kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri, dengan tingkat perkembangan
potensial dalam bentuk kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan guru atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih
mampu)” (Slavin, 1994). Siswa yang bekerja dalam ZPD mereka, berarti
siswa tersebut tidak dapat menyelesaikan tugas-tugasnya, dan dapat
terselesaikan jika mendapat bantuan dari teman sebaya atau guru.
Kemampuan siswa
Sekarang
Kemampuan
awal siswa
ZPD
d. Pembelajaran Kooperatif
Vygotsky dalam Slavin (1997) menyarankan agar dalam
pembelajaran
digunakan
pendekatan
pembelajaran
kooperatif,
pembelajaran berbasis proyek, dan penemuan.
Salah satu implikasi penting teori Vygotsky dalam pendidikan
adalah perlunya kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa,
sehingga siswa dapat berinteraksi dalam menyelesaikan tugas-tugas dan
dapat saling memunculkan strategi pemecahan masalah yang efektif di
dalam masing-masing ZPD mereka. Pendekatan konstruktivitis dalam
pengajaran kelas yang menerapkan pembelajaran kooperatif secara
ekstensif, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan
dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling
mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi dengan temannya.
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai
tiga tujuan pembelajaran yang penting, yaitu prestasi akademik,
penerimaan akan penghargaan dan pengembangan keterampilan sosial.
Meskipun pembelajaran kooperatif mencakup berbagai tujuan sosial,
namun pembelajaran kooperatif dapat juga digunakan untuk
meningkatkan prestasi akademik.
E.
Pembelajaran Sejarah dalam Perspektif Konstruktivisme
1. Prinsip-prinsip Pembelajaran Sejarah Berbasis Konstruktivisme
Prinsip-prinsip dalam pembelajaran yang berpaham konstruktivitis
diantaranya adalah sebagai berikut.
a. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal maupun
sosial;
b. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dan guru ke siswa, kecuali hanya
dengan keaktifan siswa itu sendiri untuk menalar;
c. Siswa aktif mengkonstruksi terus menerus sehingga selalu terjadi
perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta
sesuai dengan konsep ilmiah;
d. Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses
konstruksi siswa berjalan mulus.
e. Evaluasi dalam pembelajaran, dalam pandangan konstruktivis, evaluasi
menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan
keterampilan yang terintegrasi dengan menggunakan masalah dalam
konteks nyata; menggali munculnya berpikir divergen, pemecahan
ganda, bukan hanya satu jawaban benar; evaluasi harus diintegrasikan ke
dalam tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta
menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata, bukan sebagai
kegiatan yang terpisah.
Tujuan pembelajaran dalam pandangan konstruktivis adalah
membangun pemahaman. Pemahaman memberi makna tentang apa yang
dipelajari. Belajar menurut pandangan konstruktivis tidak ditekankan untuk
memperoleh pengetahuan yang banyak tanpa pemahaman. Pembelajaran
sejarah menurut pandangan konstruktivis adalah membantu siswa untuk
membangun konsep/prinsip sejarah dengan kemampuannya sendiri melalui
proses internalisasi, sehingga konsep/prinsip tersebut terbangun kembali,
transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep/prinsip baru.
Ciri pembelajaran sejarah secara konstruktivis adalah:
a. Siswa terlibat secara aktif dalam belajarnya. Keterlibatan ini tidak sekedar
perintah atau petunjuk dari guru, tetapi siswa diberi kesempatan untuk
berkreativitas mengusulkan suatu topik, masalah, atau berargumentasi.
Keterlibatan dapat dalam forum klasikal maupun kelompok.
b. Siswa belajar materi sejarah secara bermakna dalam bekerja dan berfikir.
Agar siswa dapat memberi makna tentang materi sejarah yang sedang
dibahas, maka perlu sebuah materi yang bersifat analisis yang berdasar
pada hukum kausalitas. Materi tidak bisa diberikan yang bersifat
hapalan, tetapi harus diangkat dari kehidupan seharihari dan kemudian
dihubungkan dengan fakta sejarah yang pernah terjadi.
c. Siswa belajar bagaimana belajar itu. Melalui pemberian masalah yang
berbobot masalah, maka diharapkan siswa mampu belajar memahami,
menerapkan dan kemudian mampu bersikap terhadap hasil analisis
permasalahan. Dengan demikian siswa tidak hanya menghapal, tetapi
sungguh dihadapkan tuntutan kemampuan analisis.
d. Informasi baru harus dikaitkan dengan informasi lain sehingga menyatu
dengan skemata yang dimiliki siswa agar pemahaman terhadap informasi
(materi) kompleks terjadi. Informasi yang diberikan jangan hanya
tunggal, tetapi harus terkait dengan informasi lain dan dengan disiplin
lain. Dengan demikian siswa akan mendapatkan informasi yang utuh dan
komprehensif.
e. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan (inkuiri).
Permasalahan yang diajukan seharusnya mampu menimbulkan
rangsangan pada siswa untuk melakukan penelitian, pengamatan atau
menuntut suatu analisis. Dengan demikian siswa selalu dirangsang untu
dapat menghubungkan berbagai informasi yang diterimanya dan
kemudian mampu mengendapkan dalam pemikirannya. Muaranya
adalah siswa akan terbiasa untuk berpikir secara mendalam.
f.
Berorientasi pada pemecahan masalah. Sejarah bukan hanya deretan
fakta, namun berdasarkan waktu, kontinyitas dan perubahan. Masalah
yang muncul di dalam masyarakat pada masa global ini sebenarnya
memiliki hubungan dengan fakta sejarah yang lalu. Oleh sebab itu,
permasalahan yang dimunculkan untuk dikaji oleh siswa adalah
permasalahan kekinian yang harus dicari logika kausalitasnya dengan
masa lalu.
Selain bahan ajar yang disiapkan harus bermakna bagi kognitif siswa
agar siswa terlibat secara emosional maupun sosial, dalam pembelajaran
konstruktivis guru perlu menciptakan lingkungan pembelajaran yang
kondusif.
Lingkungan pembelajaran sejarah yang perlu diupayakan oleh guru
dalam pembelajaran secara konstruktivis adalah sebagai berikut:
a. Menyediakan pengalaman belajar dengan mengaitkan pengetahuan yang
telah siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses
pembentukan pengetahuan;
b. Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua
mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat
diselesaikan dengan berbagai cara;
c. Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan
dengan melibatkan pengalaman kongkret, misalnya untuk memahami
suatu konsep sejarah melalui kenyataan dalam kehidupan sehari-hari;
d. Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya
transmisi sosial, yaitu terjadinya interaksi dan kerjasama seseorang
dengan orang lain atau lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama
antara siswa, guru, siswa-siswa;
e. Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis
sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif;
f.
Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga sejarah menjadi
menarik dan siswa mau belajar.
2. Model-model Pembelajaran Sejarah Berbasis Konstruktivisme
Banyak model dalam pembelajaran sejarah yang mendasarkan diri
pada pembelajaran konstruktivisme. Dalam makalah singkat ini hanya akan
dipaparkan dua model, yaitu model pembelajaran sejarah berbasis masalah
dan pembelajaran interaktif.
a. Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
1) Pengertian
Model pembelajaran berdasarkan masalah adalah model
pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah
aktual dan otentik. Siswa diharapkan
dapat menyusun
pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan ketrampilan yang
lebih tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan
kepercayaan diri sendiri (Arends, 1997).
Menurut Jonassen (1999) mengusulkan sebuah model untuk
mendesain lingkungan pembelajaran konstruktivis (Gambar 1). Model
ini menggunakan masalah, pertanyaan, atau proyek sebagai fokus
lingkungan
pembelajaran.
Sasarannya
adalah
siswa
menginterpretasikan dan memecahkan masalah, menjawab
pertanyaan, atau menyelesaikan proyek. Kegiatan ini didukung
dengan sistem pendukung yang meliputi kasus-kasus terkait, sumber
informasi, sarana kognitif, komunikasi atau kolaborasi, dan dukungan
sosial atau kontekstual. Kasus-kasus terkait dan sumber informasi
mendukung pemahaman masalah dan memberikan gagasan akan
solusi yang mungkin. Sarana kognitif membantu siswa
menginterpretasi dan menangani aspek-aspek masalah. Komunikasi
dan kolaborasi memungkinkan komunitas siswa bernegosiasi dan
mengkonstruksi bersama makna-makna yang terkait dengan masalah.
Dukungan sosial dan kontekstual membantu siswa dan guru dalam
mengimplementasikan lingkungan pembelajaran.
1. Dukungan sosial dan kontekstual
2. Komunikasi dan kolaborasi
3. Sarana Kognitif
4. Sumber Informasi
5. Kasus-kasus terkait
B. Permodelan
6. Permasalahan
A. Topangan
C. Bimbingan
Model Jonassen untuk mendesain lingkungan pembelajaran
Dalam model di atas digambarkan bahwa terdapat hubungan
yang sangat erat antara permasalahan yang harus diselesaikan
dengan berbagai faktor yang mengelelilinginya. Oleh sebab itu,
pembelajaran sejarah sebenarnya harus berkaitan erat dengan kondisi
senyatanya dalam kehidupan masyarakat dalam waktu kekinian.
Sebab segala sesuatu yang terjadi dalam waktu kekinian merupakan
akibat dari waktu yang lalu. Oleh sebab itu, bila pembelajaran sejarah
dimulai dari waktu yang lalu, maka dapat terjadi kehilangan
hubungan dengan waktu kekinian. Namun, sebaliknya bila dimulai
dari waktu kekinian, maka akan dapat digali relevansinya dengan
waktu lalu.
Guru dalam model pembelajaran berdasarkan masalah
berperan sebagai penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog,
membantu menemukan masalah, dan pemberi fasilitas dalam proses
pembelajaran. Selain itu, guru menyiapkan dukungan dan dorongan
yang dapat meningkatkan inkuiri dan intelektual siswa.
Hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam pembelajaran
berdasarkan masalah adalah memberikan siswa masalah yang
berfungsi sebagai batu loncatan untuk proses inkuiri dan penemuan.
Disini guru mengajukan masalah, membimbing dan memberikan
petunjuk minimal kepada siswa dalam memecahkan masalah.
Dalam menggunakan metode inquiry yang menjadi inti dalam
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, siswa-siswa dalam
pembelajaran sejarah diarahkan ke kegiatan untuk membuat atau
mengerjakan sendiri, misalnya ketika membahas materi kerajaan
Hindhu – Budha di Indonesia (kelas XII IPS semester 1 SMA). Setelah
membaca materi, siswa dapat membuat sendiri bagan silsilah raja –
raja Majapahit, sehingga bisa mengetahui raja yang mana keturunan
Raden Wijaya (pendiri Kerajaan Majapahit) dan raja mana yang
bukan keturunan pendiri Kerajaan Majapahit. Dari tugas itu, secara
otomatis siswa mengetahui juga peristiwa perebutan kekuasaan
(perang saudara yang pernah terjadi dan muaranya adalah
perpindahan pusat kekuasaan atau pusat kerajaan ke beberapa kota di
Jawa Timur. Siswa juga dapat diberi tugas menggali silsilah
keluarganya sendiri dari penuturan orang tuanya, baik dari keluarga
ayah maupun dari keluarga ibu, sehingga mereka mengetuhi cikal –
bakal dari mana sebenarnya nenek moyangnya berasal.
Masih banyak contoh materi yang dapat menggunakan metode
inquiry ini. Pembelajaran menggunakan metode ini perlu
dikembangkan, yaitu siswa bekerja dengan menemukan sendiri akar
permasalahan yang dipelajari.
2) Ciri-ciri Model Pembelajaran Sejarah Berdasarkan Masalah
a) Pengajuan Masalah atau Pertanyaan
Pengaturan pembelajaran berdasarkan masalah berkisar
pada masalah atau pertanyaan yang penting bagi siswa maupun
masyarakat. Menurut Arends (1997), pertanyaan dan masalah
yang diajukan itu haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Otentik: masalah harus lebih berakar pada kehidupan dunia
nyata siswa daripada berakar pada prinsip-prinsip disiplin
ilmu tertentu. Dengan kata lain pemecahan masalah harus
bersifat multi disiplin.
2. Jelas: masalah dirumuskan dengan jelas, tidak ambigu,
artinya tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang
pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa.
3. Mudah dipahami: masalah yang diberikan hendaknya mudah
dipahami siswa. Selain itu, masalah disusun dan dibuat
sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.
4. Luas dan Sesuai dengan Tujuan Pembelajaran: masalah yang
disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya
masalah tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang
akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber yang
tersedia. Selain itu, masalah yang telah disusun tersebut
harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan.
5. Bermanfaat: masalah yang disusun dan dirumuskan haruslah
bermanfaat, baik bagi siswa sebagai pemecah masalah
maupun guru sebagai pembuat masalah. Masalah yang
bermanfaat adalah masalah yang dapat meningkatkan
kemampuan berpikir dan memecahkan masalah siswa, serta
membangkitkan motivasi belajar siswa.
b) Keterkaitannya dengan Berbagai Disiplin Ilmu
Masalah yang diajukan dalam pembelajaran berdasarkan
masalah hendaknya mengaitkan atau melibatkan berbagai
disiplin ilmu (multidisiplin).
c) Pengkajian atau Analisis yang Otentik
Pengkajian atau analisis yang diperlukan dalam
pembelajaran berdasarkan masalah bersifat otentik. Selain itu,
pengkajian diperlukan untuk mencari penyelesaian masalah
yang bersifat nyata. Siswa menganalisis dan merumuskan
masalah,
mengembangkan
dan
meramalkan
hipotesis,
mengumpulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan
eksperimen, membuat kesimpulan.
d) Menghasilkan dan memamerkan hasil/karya
Pada pembelajaran berdasarkan masalah, siswa bertugas
menyusun hasil penelitiannya atau kajiannya dalam bentuk
karya (karya tulis atau penyelesaian) dan memamerkan hasil
karyanya. Artinya, hasil penyelesaian masalah siswa ditampilkan
atau disusun laporannya.
e) Kolaborasi
Pada pembelajaran berdasarkan masalah, tugas-tugas
belajar berupa masalah harus diselesaikan bersama-sama antar
siswa dengan siswa, baik dalam kelompok kecil maupun
kelompok besar, dan bersama-sama antar siswa dengan guru.
3) Langkah-langkah Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah
terdiri dari lima langkah (Arends, 1997). Kelima langkah itu
dimulai dengan orientasi guru dan siswa pada masalah serta
diakhiri dengan penyajian dan analisis kerja siswa.
Langkah-langkah model
masalah, sebagai berikut.
LANGKAH-LANGKAH
pembelajaran
berda-sarkan
KEGIATAN YANG DILAKUKAN
GURU
1. Orientasi siswa pada
masalah
2.
3.
4.
5.
1. Guru menjelaskan tujuan
pembelajaran, menjelaskan logistik
yang dibutuhkan, dan memotivasi
siswa terlibat dalam aktivitas
pemecahan masalah.
Mengorganisir siswa
2. Guru membagi siswa kedalam
dalam belajar
kelompok. Guru membantu siswa
dalam mendefinisikan dan
mengorganisir tugas-tugas belajar
yang berhubungan dengan masalah.
Membimbing pengkajian 3. Guru mendorong siswa untuk
atau analisis individual
mengumpulkan informasi yang
maupun kelompok.
sesuai, melaksanakan eksperimen
dan pengkajian untuk mendapatkan
penjelasan dan pemecahan masalah.
Mengembangkan dan
4. Guru membantu siswa dalam
menyajikan hasil karya
merencanakan dan menyiapkan
karya yang sesuai seperti laporan,
video dan model dan membantu
mereka membagi tugas dengan
temannya.
Menganalisis dan
5. Guru membantu siswa untuk
mengevaluasi proses
melakukan refleksi atau evaluasi
pemecahan masalah
terhadap penyelidikan mereka dan
proses yang digunakan.
4) Pelaksanaan Model pembelajaran Berdasarkan Masalah
Pelaksanaan model pembelajaran
meliputi beberapa kegiatan berikut ini.
berdasarkan
masalah
a) Pendahuluan
Pada kegiatan ini guru mengingatkan siswa tentang
materi
pelajaran
yang
lalu,
memotivasi
siswa,
mengkomunikasikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai
secara rinci dan jelas, dan menjelaskan model pembelajaran
yang akan dijalani.
b) Kegiatan Inti
Guru bersama siswa membahas konsep/teori yang
diperlukan dalam kegiatan pemecahan masalah dan membahas
soal-soal yang belum tuntas. Selanjutnya guru melaksanakan
fase-fase pembelajaran berdasarkan masalah.
Fase I: Mengorientasikan Siswa pada Masalah
Pada kegiatan ini, guru mengajukan masalah kepada siswa dan
meminta siswa mengemukakan ide mereka untuk memecahkan
masalah tersebut.
Fase 2. Mengorganisasi Siswa untuk Belajar
Pada kegiatan ini, siswa dikelompokkan secara bervariasi
dengan memperhatikan kemampuan, rasial, etnis dan jenis
kelamin yang didasarkan pada tujuan yang ditetapkan. Jika
terdapat perbedaan kelompok, maka guru dapat memberikan
tanda pada kelompok itu. jika diperlukan, guru dapat membagi
kelompok itu berdasarkan kesepakatan bersama antara siswa
dengan guru.
Fase 3. Membantu Siswa Memecahkan Masalah
Pada kegiatan ini, siswa melakukan penyelidikan/ pemecahan
secara bebas, baik kelompok besar maupun kelompok kecil.
Dalam kegiatan ini tugas guru mendorong siswa
mengumpulkan data dan melaksanakan analisis aktual, hingga
mereka benar-benar mengerti dimensi situasi permasalahannya.
Tujuannya adalah agar siswa dalam mengumpulkan informasi
cukup untuk mengembangkan dan menyusun ide-idenya
sendiri. Demikian pula, guru harus banyak membaca masalah
pada berbagai buku sumber yang berguna membantu siswa
mengumpulkan
informasi,
mengajukan
permasalahan/pertanyaan yang dapat dipikirkan siswa, dan
memberikan berbagai jenis informasi yang diperlukan siswa
dalam menjelajah dan menemukan penyelesaian.
Fase 4. Membantu Mengembangkan dan Menyajikan Hasil
Pemecahan Masalah
Pada kegiatan ini, guru menyuruh salah seorang anggota
kelompok untuk mempresentasikan hasil pemecahan masalah
kelompok dan membantu siswa jika mereka mengalami
kesulitan. Kegiatan ini berguna untuk mengetahui hasil
sementara pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi
pelajaran yang diberikan.
Fase 5. Menganalisis dan Mengevaluasi Proses Pemecahan
Masalah
Pada akhir kegiatan ini, guru membantu menganalisis dan
mengevaluasi proses berpikir siswa. Sedangkan siswa
menyusun kembali hasil pemikiran dan kegiatan yang
dilampaui pada setiap tahap-tahap pembelajaran.
Penutup
Guru membimbing siswa menyimpulkan pembelajaran dan
memberikan tugas untuk diselesaikan di rumah.
5) Ciri-ciri Model pembelajaran Interaktif
Fase dalam model pembelajaran interaktif sebagai berikut.
Fase pertama. Guru memulai pelajaran dengan mengorganisasi
kelas. Siswa diminta untuk belajar secara individual ataukah belajar
secara berkelompok. Kemudian
guru menjelaskan tentang
kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan siswa dalam proses
pembelajaran, bisa berupa menyelesaikan masalah, melanjutkan
mempelajari suatu topik, mengerjakan tugas (proyek) ataupun
melakukan aktivitas-aktivitas lainnya yang dapat membantu siswa
memahami suatu topik pelajaran. Guru juga dapat meminta siswa
untuk mencatat hasil dari aktivitas yang mereka lakukan.
Fase kedua. Siswa mulai melaksanakan aktivitas yang telah
ditentukan guru pada fase pertama. Siswa dapat bekerja secara
individual ataupun berkelompok tergantung pada pengorganisasian
kelas yang dilakukan guru di fase pertama. Di fase ini guru dapat
memberikan bimbingan atau bantuan terbatas kepada siswa dalam
mengerjakan tugasnya, tanpa memberikan jawaban masalah secara
langsung kepada siswa.
Fase ketiga. Presentasi hasil kerja, bisa berupa hasil kerja kelompok
ataupun hasil kerja individual. Fase ini merupakan fase interaksi
kelas. Beberapa siswa (dapat mewakili kelompok, jika pada fase
kedua dilakukan secara berkelompok) diminta untuk menampilkan
dan menjelaskan hasil pekerjaannya kepada teman-teman
sekelasnya, siswa-siswa lainnya diberikan kesempatan untuk
memberikan tanggapan (pertanyaan atau komentar) terhadap hasil
pekerjaan temannya. Guru dapat pula mengajukan pertanyaanpertanyaan untuk membantu siswa lebih memahami topik yang
sedang mereka pelajari.
Fase keempat. Fase menarik kesimpulan. Pada fase ini siswa
diminta untuk memperhatikan kembali hasil pekerjaannya di fase
kedua dan memperbaikinya jika ternyata setelah dilakukan diskusi
kelas terdapat kesalahan pada pekerjaan mereka. Di fase ini juga,
guru dapat mengecek kembali pemahaman siswa dengan
memberikan beberapa permasalahan ataupun soal latihan yang
dapat dijawab secara lisan ataupun tulisan. Siswa juga dapat
mengajukan permasalahan ataupun pertanyaan jika ada hal-hal
yang kurang dipahaminya dari topik yang sedang dipelajari. Di
akhir fase ini guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan
tentang apa yang telah dipelajarinya.
Fase kelima. Fase menilai belajar unit materi. Walaupun fase ini
adalah fase terakhir, tetapi bukan berarti penilaian hanya dilakukan
pada akhir pembelajaran, tetapi penilaian dilakukan sebelum,
selama dan setelah pembelajaran dilaksanakan. Dapat dikatakan
bahwa penilaian yang dilakukan adalah penilaian proses.
Di awal pembelajaran penilaian dapat dilakukan dengan
memberikan pretes. Penilaian selama pembelajaran dapat dilakukan
melalui observasi selama siswa mengikuti proses pembelajaran,
wawancara dengan siswa, menilai hasil pekerjaan siswa, dan juga
dapat dilengkapi dengan portofolio dan jurnal siswa.
Dalam pembelajaran interaktif terdapat dua hal yang
ditekankan dalam proses belajar, yang pertama adalah siswa
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan melakukan
aktivitas yang disediakan oleh guru, bisa berupa pemecahan
masalah, melakukan eksperimen, menginvestigasi ataupun aktivitas
lainnya dan yang kedua adalah siswa mengkomunikasikan dengan
yang lainnya.
Pada fase melakukan aktivitas atau memecahkan masalah,
guru memberikan tugas kepada siswa yang memancing siswa
untuk berpikir dan mengkonstruksi konsep-konsep atau prinsipprinsip yang akan dipelajari. Di fase ini terjadi interaksi antar siswa
dalam kelompok-kelompok kecil, mereka saling bertukar ide dalam
memecahkan masalah, siswa yang lemah dapat bertanya kepada
siswa yang lebih pandai. Melalui fase ini diharapkan siswa dapat
mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang akan dipelajarinya.
Selain itu melalui fase ini diharapkan pula siswa terbiasa untuk
mencoba menyelesaikan masalah matematika sendiri tanpa
bergantung penuh pada guru, atau dengan kata lain dalam
pembelajaran ini siswa dilatih untuk belajar mandiri sehingga
pengetahuan yang dipahaminya tidak hanya sebatas pada apa yang
diberikan guru.
Selanjutnya pada fase saling membagi dan berdiskusi, siswa
dituntut untuk menjelaskan hasil dari aktivitas atau pemecahan
masalah yang mereka lakukan sendiri atau berkelompok melalui
diskusi kelas yang dipimpin oleh guru. Siswa tidak akan memahami
suatu pelajaran dengan baik ketika mereka hanya menuliskan
jawaban dari suatu permasalahan, tetapi mereka juga harus siap
menjelaskan proses berpikir mereka.
F. Berapa Kelemahan Praktik Lapangan.
Pendekatan konstruktivisme sudah lama dikenalkan. Namun, dalam
praktik di lapangan masih banyak mengalami kendala, meski kendala ini
sebenarnya disebabkan oleh dominasi paradigma pembelajaran model lain yang
selama ini mendominasi pembelajaran di Indonesia.
1. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil
konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ilmuan sehingga
menyebabkan miskonsepsi.
2. Konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya
sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa
memerlukan penanganan yang berbeda-beda.
3. Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah
memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas
siswa.
G. Kesimpulan
Pembelajaran berbasis konstruktivisme bukan monopoli pelajaran yang
bersifat eksak, namun pelajaran yang mendasarkan diri pada ilmu-ilmu sosial
juga dapat disampaikan kepada siswa dengan menggunakan paradigma ini.
Mengapa? Karena prinsip dasar ilmu yang disampaikan harus mendasarkan diri
pada logika berpikir dan mampu merangsang siswa untuk berkembang secara
eksak dan sosial.
Pembelajaran berbasis konstruktivisme menjadi sangat penting dalam upaya
untuk mengubah pardigma pembelajaran karena:
1. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan
bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong
siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya. Demikian juga dalam
pelajaran sejarah, siswa diharapkan mampu untuk mengungkapkan ide,
pemikiran, argumentasi yang logis, ilmiah.
2. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan
kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas
pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki kesempatan untuk
merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan
memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa. Terlebih
pada era globalisasi sekarang ini, banyak fenomena yang menantang siswa
untuk lebih mampu menganalisis dan menghubungkan dengan berbagai
fakta sejarah.
3. Pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir
tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif,
imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan
gagasan-gagasanpada saat yang tepat.
4. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada
siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh
kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah
dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk
menggunakan berbagai strategi belajar.
5. Pembelajaran konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan
perubahan gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta
memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan
mereka.
6. Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang
kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling
menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.
Dengan demikian pembelajaran ini bukan hanya sekedar transfer
knowledge, tetapi memang merangsang siswa untuk nantinya mampu berpikir
secara rasional dan bukan mendasarkan diri pada sisi hapalan belaka.
Daftar Pustaka
Arend, Richard. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: Mc Graw
Hill
Confrey, J. 1995. “A Theory of Intelectual Development”. For the Learning of
Mathematics. Vol. 15, No. 3, pp. 8-48.
Jonassen, D. 1999. “Designing Constructivist Learning Environment”. In C.M.
Reigeluth (Ed.), Instructional-Design Theories and Models, Volume II: A New
Paradigm of Instructional Theory. Mahwah, NJ.: Lawrence Erlbaum.
Lechte, J.
2001. “50 Filsuf Kontemporer. Dari
Postmodernitas”. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Strukturalisme sampai
Schifter, D. and Fosnot, CT. (1993). Reconstruction Mathematics Education.
Teacher’s College, Columbia University.
Slavin, Robert. 1994. Educational Psychology: Theories and Practice. Fourth Edition.
Massachusetts: Allyn and Bacon Publisher.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Download