Paradigma Pembelajaran Sejarah.....(Y.R. Sejarah.....(Y.R. Subakti) PARADIGMA PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS KONSTRUKTIVISME Y.R. Subakti Abstract There are many problems emerge in learning history nowadays such as, the weakness of theory usage, low imagination, textbook reference, and state oriented curriculum. Besides, the tendency to not give attention to the globalization fenomena and the historical background. Moreover, learning history is low theory. The result is that learning is not interesting and tedious, not to mention the convensional model of learning history. In this case, learning history should alive and insteresting. In order to have the good result of learning history, the use of method have to be able to construct the “historical memory” and supported by the “emotional memory”. This kind of memory is formed by involving the emotional aspect to construct the awareness of the student and elucidate the significant of the historical events. Therefore, the change of learning model is needed from the conventional to the constructive. The theory of constructivism stated that students had to construct the knowledge with their own skill. The basic concepts are scaffolding, topdown process, Zone of Proximal Development (ZPD), and cooperative learning. The aim is to construct their understanding since contributes the meaning of what is learned. There are some models in the use of constructivism learning approach such as, learning model based on the problems, the characteristics of Interactive learning model, and others. Thus, this learning style is not only transfers the knowledge, but also stimulates student to think rasionally and not depend on the memorization. Drs. Y.R. Subakti, M.Pd., adalah dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP - Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. SPPS, SPPS, Vol. 24, No. 1, April 2010 A. Pendahuluan Pembelajaran sejarah saat ini menghadapi banyak persoalan. Persoalan itu mencakup lemahnya penggunaan teori, miskinnya imajinasi, acuan buku teks dan kurikulum yang state oriented, serta kecenderungan untuk tidak memperhatikan fenomena globalisasi berikut latar belakang historisnya. Lemahnya penggunaan teori dalam kajian sejarah memang ada benarnya, karena sejarah memang tidak mempunyai teori. Sejarah meminta bantuan teoriteori dari disiplin sosial lainnya dalam setiap kajiannya. Misalnya teori-teori sosiologi, antropologi, psikologi, politik, dan sebagainya. Melalui teori-teori tersebut kajian sejarah akan lebih kaya makna. Hanya kemampuan guru-guru sejarah dalam meramu sajian sejarah dirasa kurang memadukan disiplin-disiplin sosial lainnya dalam kajian sejarah. Guru dirasa kurang dalam menggunakan pendekatan interdisipliner dalam kajian sejarah. Miskin teori berakibat munculnya sejumlah contoh pernyataan dalam buku teks yang terlalu umum dan sulit diverifikasi kebenarannya. Pembelajaran sejarah juga juga tidak disertai percikan imajinasi yang membuat tinjauan akan peristiwa masa lalu menjadi lebih hidup dan menarik. Dalam proses pembelajaran sejarah, masih banyak guru menggunakan pardigma konvensional, yaiu paradigma ‘guru menjelaskan - murid mendengarkan’. Metode pembelajaran sejarah semacam ini telah menjadikan pelajaran sejarah membosankan. Ia kemudian tidak memberikan sentuhan emosional karena siswa merasa tidak terlibat aktif di dalam proses pembelajarannya. Sementara paradigma ‘siswa aktif mengkonstruksi makna guru membantu’ merupakan dua paradigma dalam proses belajar-mengajar sejarah yang sangat berbeda satu sama lain. Paradigma ini dianggap sulit diterapkan dan membingungkan guru serta siswa. Di samping itu, metode pembelajaran yang kaku, akan berakibat buruk untuk jangka waktu yang panjang dan berpotensi memunculkan generasi yang mengalami “amnesia (lupa atau melupakan sejarah” bangsa sendiri. Agar pembelajaran sejarah berhasil baik, metode yang dipergunakan harus bisa mengkostruk “ingatan historis”. Alhasil, siswa menjadikan sejarah hanya sebagai fakta-fakta hapalan tanpa adanya ketertarikan dan minat untuk memaknainya, juga mampu menggali lebih jauh lagi. Ingatan historis semata tidak akan bertahan lama. Supaya ingatan historis semata tidak akan bertahan lama, perlu disertai “ingatan emosional”. Ingatan jenis ini adalah ingatan yang terbentuk dengan melibatkan emosi hingga bisa menumbuhkan kesadaran dalam diri siswa untuk menggali lebih jauh dan memaknai berbagai peristiwa sejarah. Proses pembelajaran kemudian tak hanya berhenti pada penghafalan saja, siswa bisa aktif dalam komunikasi dua arah dengan guru untuk mengutarakan pendapatnya mengenai obyek sejarah yang tengah dipelajari karena sedari awal ia telah merasa menjadi bagian dari proses pembelajaran yang penuh dengan makna. Agar “ingatan emosional” muncul dan bertahan lama, maka paradigma pembelajaran sejarah harus diubah. Mengubah paradigma yang dianut oleh seorang guru dari paradigma konvensional ke paradigma konstruktif, bukan sesuatu hal yang mudah. Hal ini disebabkan karena kebanyakan guru sudah terbiasa dengan paradigma konvensional, dan mereka sendiripun pada waktu masih menjadi siswa sudah terbiasa dengan paradigma tersebut. Sungguh-sungguh diperlukan kemauan dan tekad yang kuat untuk bisa mengubah paradigma tersebut secara nyata. Schiffer dan Fosnot (1993) menguraikan proses jatuh bangun dari beberapa guru yang berusaha sungguh-sungguh untuk menggunakan paradigma konstruktivis, sekalipun mereka sendiri sebelumnya sudah sangat terbiasa dengan paradigma konvensional. Dengan usaha yang keras, usaha para guru tersebut akhirnya berhasil mengubah paradigma yang mereka gunakan, dan perubahan paradigma tersebut memberikan manfaat yang positif bagi para siswa mereka, karena dengan penggunaan paradigma yang kedua tersebut, para siswa menjadi terbiasa mengeksplorasi secara aktif dan konstruktif konsep-konsep, prinsip-prinsip, prosedur-prosedur, dan soal-soal sejarah (termasuk soal-soal yang non rutin), sehingga mereka merasa bahwa sejarah adalah ‘milik’ mereka, karena liku-likunya telah biasa mereka telusuri. Lebih jauh, hal tersebut menambah rasa percaya diri mereka dalam menghadapi materi-materi sejarah yang baru dan soal-soal yang sebelumnya belum pernah mereka jumpai. Hal ini juga sangat membantu mereka pada waktu mereka menjumpai masalah-masalah dalam kehidupan mereka sehari-sehari; sehingga secara umum, kemampuan mereka dalam memecahkan masalah kesejarahan meningkat. Kemampuan memecahkan masalah ini akan sangat berguna pula dalam bidang-bidang di mana mereka nanti akan berkarya. Belajar sejarah berarti peserta didik mampu berpikir kritis dan mampu mengkaji setiap perubahan di lingkungannya, serta memiliki kesadaran akan perubahan dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap peristiwa sejarah. Pembelajaran sejarah yang baik adalah pembelajaran yang mampu menumbuhkan kemampuan siswa melakukan konstruksi kondisi masa sekarang dengan mengkaitkan atau melihat masa masa lalu yang menjadi basis topik pembelajaran sejarah. Kemampuan melakukan konstruksi ini harus dikemukakan secara kuat agar pembelajaran tidak terjerumus dalam pembelajaran yang bersifat konservatif. Kontekstualitas sejarah harus kuat mengemuka dan berbasis pada pengalaman pribadi para siswa. Apalagi sejarah tidak akan terlepas dari konsep waktu, kontinyuitas dan perubahan. Mengutip pendapat Fernand Braudel (Lechte, 2001) memahami sejarah dari sudut waktu. Menurutnya dalam memahami sejarah ada tiga kerangka waktu, event history (short term/jangka pendek), conjucture (mid term/jangka menengah) dan longue duree (long term/jangka panjang). Sejarah pada satu tempat dan komunitas terkait dengan ketiga konsep waktu tersebut. Selain itu dari sudut ruang, Braudel menambahkan satu lagi, yaitu ekonomi dunia di mana ini merupakan unit analisis makro terkait dengan perkembangan pertukaran barang dan jasa. Jika dikaitkan dengan waktu kalender,event history berlangsung antara beberapa minggu, musim sampai beberapa tahun. Conjungture berlangsung sekitar 10 – 50 tahun sedangkan longue duree berlangsung lebih lama, bisa sampai beberapa abad. Perubahan yang mempengaruhi sejarah dalam jangka waktu yang lama, dicontohkan oleh Braudel yaitu mengenai perubahan musim atau iklim. Perubahan jangka menengah, misalnya yang terkait bidang ekonomi seperti perubahan-perubahan harga, pertumbuhan populasi dan hasil-hasil produksi. Perubahan-perubahan ini bisa dipengaruhi oleh keadaan-keadaan sepuluh, duapuluh, lima puluh tahun yang lalu. Event history atau jangka pendek digambarkan oleh Braudel seperti pada awal tulisan ini. Seperti cahaya kunangkunang, bersinar singkat dan lemah, tetapi cukup melepaskan cahaya untuk menyinari dataran kecil di bawahnya. Pada event history ini Braudel memberi tekanan pada perang, politik dan diplomasi. Pembedaan ketiga konsep waktu ini, evant history, conjucture dan longue duree tidak merupakan pembedaan yang hirarkis, satu lebih penting dari yang lain. Masing-masing berperan dan mempunyai fungsi sendiri-sendiri, dan ketika tiga konsep waktu itu ditambah dengan unit analisis makro, ekonomi dunia, menurut Braudel keempatnya tersebut akan memberikan sudut pandang kita mengenai total history. Apabila pemikiran Fernand Braudel tersebut diterapkan dalam pembelajaran sejarah, maka perlu adanya perubahan paradigma pembelajaran agar aktualitas akibat adanya perubahan dalam konsep waktu dapat dipahami dan disadari oleh para siswa. Beberapa faktor di atas diangkat dalam makalah singkat ini, yaitu perubahan pembelajaran sejarah dari pola lama menjadi pembelajaran sejarah dengan paradigma baru. Paradigma ini adalah pendekatan pembelajaran sejarah yang kontekstual berbasis konstruktivisme dengan memperhatikan perkembangan kekinian yang semakin global. B. Perubahan Paradigma Pembelajaran Tuntutan terhadap pelayanan pembelajaran yang ditunjang oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mendorong terjadinya pergeseran konsep pembelajaran. Model mengajar bergeser ke arah model belajar. Asumsi pergeseran tersebut bertolak dari peserta didik yang diharapkan dapat meningkatkan upaya dirinya memperkaya pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Guru di sekolah bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, akan tetapi bagian integral dalam sistem pembelajaran. Berdasarkan teori belajar yang ada, bermuara pada tiga model utama, yaitu: 1) Behaviorisme, 2) Kognitivisme, dan 3) Konstruktivisme. 1. Pembelajaran Behaviorisme Good et. al.(1973) menganggap behaviorisme atau tingkah laku dapat diperhatikan dan diukur. Prinsip utama bagi teori ini ialah faktor rangsangan (stimulus), Respon (response) serta penguatan (reinforcement). Teori ini menganggap faktor lingkungan sebagai rangsangan dan respon peserta didik terhadap rangsangan itu ialah responsnya. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Thorndike (2001) yang menyatakan bahwa hubungan di antara stimulus dan respon akan diperkuat apabila responnya positif diberikan reward yang positif dan tingkah laku nagatif tidak diberi apa-apa (hukuman). Sebagai contoh, seseorang peserta didik diberikan ganjaran positif setelah dia menunjukkan respon positif. Dia akan mengulangi respon tersebut setiap kali rangsangan yang serupa ditemui. Hal demikian akan diperoleh dalam pengajaran guru dengan adanya latihan dan ganjaran terhadap sesuatu latihan. Penguatan (reinforcement) akan memberi rangsangan supaya belajar lebih bersemangat dan bermotivasi tinggi. Peserta didik yang berprestasi memperoleh pengetahuan yang mereka inginkan dalam sesuatu sesi pembelajaran, dapat dikatakan mendapat response positif. 2. Pembelajaran Kognitif Model kognitif berkembang sebagai protes terhadap teori perilaku yang berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses. Peneliti yang mengembangkan kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar. Menurut Ausubel, konsep tersebut dimaksudkan untuk penyiapan struktur kognitif peserta didik untuk pengalaman belajar. Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan. Bruner mengembangkan teorinya tentang perkembangan intelektual, meliputi: (1) enactive, dimana seorang peserta didik belajar tentang dunia melalui tindakannya pada objek; (2) iconic, dimana belajar terjadi melalui penggunaan model dan gambar; dan (3) symbolic yang mendeskripsikan kapasitas dalam berfikir abstrak Gagne melakukan penelitian pada belajar mengajar sebagai suatu rangkaian pase, menggunakan step-step kognitif: pengkodean (cooding), penyimpanan (storing), perolehan kembali (retrieving), dan pemindahan informasi (transferring information). Menurut Bruner (1963) perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu enactif, iconic, dan symbolic. Tahap pertama adalah tahap enaktif, dimana siswa melakukan aktifitas-aktifitasnya dalam usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua adalah tahap ikonik dimana ia melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.Tahap ketiga adalah tahap simbolik, dimana ia mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika dan komunikasi dilkukan dengan pertolongan sistem simbol. Menurut Hartley & Davies (1978), prinsip-prinsip kognitifisme banyak diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya dalam melaksanakan kegiatan perancangan pembelajaran, yang meliputi: (1) Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu; (2) Penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit. Untuk dapat melakukan tugas dengan baik peserta didik harus lebih tahu tugas-tugas yang bersifat lebih sederhana; (3) Belajar dengan memahami lebih baik dari pada menghapal tanpa pengertian. Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa yang telah diketahui siswa sebelumnya. Tugas guru disini adalah menunjukkan hubungan apa yang telah diketahui sebelumnya; dan (4) Adanya perbedaan individu pada siswa harus diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi proses belajar siswa. Perbedaan ini meliputi kemampuan intelektual, kepribadian, kebutuhan akan sukses dan lain-lain. (dalam Toeti Soekamto 1992:36) 3. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam diri manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama dipraktekkan dalam proses belajar dan pembelajaran baik di tingkat sekolah dasar, menengah, maupun universitas, meskipun belum jelas terlihat. Berdasarkan faham konstruktivisme, dalam proses belajar mengajar, guru tidak serta merta memindahkan pengetahuan kepada peserta didik dalam bentuk yang serba sempurna. Dengan kata lain, pesera didik harus membangun suatu pengetahuan itu berdasarkan pengalamannya masingmasing. Pembelajaran adalah hasil dari usaha peserta didik itu sendiri. Pola pembinaan ilmu pengetahuan di sekolah merupakan suatu skema, yaitu aktivitas mental yang digunakan oleh peserta didik sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan. Fikiran peserta didik tidak akan menghadapi kenyataan dalam bentuk yang terasing dalam lingkungan sekitar. Realita yang diketahui peserta didik adalah realita yang dia bina sendiri. Peserta didik sebenarnya telah mempunyai satu set idea dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan mereka.Untuk membantu peserta didik dalam membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus memperkirakan struktur kognitif yang ada pada mereka. Apabila pengetahuan baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian daripada pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina. John Dewey menguatkan teori konstruktivisme ini dengan mengatakan bahwa pendidik yang cakap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara berkesinambungan. Beliau juga menekankan kepentingan keikutsertakan peserta didik di dalam setiap aktivitas pengajaran dan pembelajaran. Ditinjau persepektif epistemologi yang disarankan dalam konstruktivisme, maka fungsi guru akan berubah. Perubahan akan berlaku dalam teknik pengajaran dan pembelajaran, penilaian, penelitian dan cara melaksanakan kurikulum. Sebagai contoh, perspektif ini akan mengubah kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kemampuan peserta didik mencontoh dengan tepat apa saja yang disampaikan oleh guru, kepada kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kemampuan peserta didik dalam membina skema pengkonsepan berdasarkan pengalaman yang aktif. Ia juga akan mengubah tumpuan penelitian dari pembinaan model berdasarkan kaca mata guru kepada pembelajaran sesuatu konsep ditinjau dari kaca mata peserta didik. C. Penerapan Cara Belajar Sejarah Secara Aktif dan Konstruktif Agar pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah dapat sungguh-sungguh meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, kiranya cara belajar sejarah yang aktif dan konstruktif perlu diterapkan oleh para siswa. Proses penggunaan cara tersebut memang membutuhkan kemauan yang kuat, mengingat para siswa dan para guru di Indonesia, seperti yang juga terjadi di banyak tempat lain di dunia, telah terbiasa dengan paradigma yang lama, yaitu guru menjelaskan – siswa mendengarkan dan mengikuti petunjuk guru, ditambah lagi dengan adanya faktor-faktor sosial-budaya yang memberi warna tertentu pada proses pembelajaran. Akan tetapi, jika memang betul-betul ingin mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada dalam pendidikan sejarah, perubahan tersebut harus dilakukan. Di atas telah disinggung bahwa pembelajaran sejarah masih bersifat pendekatan konvensional, yakni ceramah, tanya jawab dan pemberian tugas atau mendasarkan pada “behaviorist” atau “strukturalist”. Pengajaran sejarah secara tradisional mengakibatkan siswa hanya bekerja secara prosedural dan memahami sejarah tanpa penalaran, berorientasi pada psikologi perilaku dan strukturalis, lebih menekankan hafalan dan drill merupakan penyiapan yang kurang baik untuk kerja profesional para siswa nantinya. Kebanyakan guru mengajar dengan menggunakan buku paket sebagai “resep”, mereka mengajarkan sejarah berdasarkan buku dari halaman per halaman, serta strategi pembelajaran lebih didominasi oleh upaya untuk menyelesaikan materi pembelajaran dalam waktu yang tersedia, dan kurang adanya upaya agar terjadi proses dalam diri siswa untuk mencerna materi secara aktif dan konstruktif. Ungkapan di atas tidak dimaksudkan sebagai “vonis” bahwa pembelajaran sejarah dengan paradigma lama tidak memberikan kontribusi apapun dalam pendidikan sejarah, atau bahkan justru menenggelamkan potensi-potensi yang dimiliki siswa. Tetapi secara wajar dan proporsional dapatlah dicermati bahwa ada bagian-bagian tertentu dari paradigma lama tersebut yang perlu perubahan. Bagian tertentu yang dapat dikatakan sangat penting dan perlu upaya yang seksama agar terjadi perubahan adalah cara sajian dan suasana pembelajaran. Diperlukan suatu usaha sungguh-sungguh untuk melakukan perubahan. Beberapa aspek berikut dapat dijadikan wacana diskusi bahwa inovasi pembelajaran sejarah dapat dilakukan dengan melakukan perubahan dari paradigma konvensional ke paradigma konstruktivistik. Paradima Konvensional Paradigma Konstruktivisme Terpusat Guru Transmisi pengetahuan Otoriter Inisiatif Guru Siswa Pasif Tabu melakukan kesalahan Kewajiban Orientasi hasil Cepat dan tergesa-gesa Layanan kelas Penyeragaman Ekspositori,ceramah Abstrak; Ingatan Sejarah Murni Motivasi eksternal Sangat formal Sentralistik Sangat Terstruktur Pengajar Kontak guru siswa berjarak Terikat kelas Deduktif Guru pelaksana kurikulum Evaluasi kurang bervariasi Terpusat Siswa Pengembangan kognisi Demokratis Inisiatif Siswa Siswa Aktif Kesalahan bernilai paedagogis Kesadaran, kebutuhan Orientasi proses dan hasil Sabar dan menunggu Layanan kelas dan individu Pengakuan adanya perbedaan Diskusi, variasi metode Konkrit;Pemahaman;Aplikasi Sejarah sekolah Motivasi internal Sedikit Informal Otonomi Fleksibel Pendidik; Fasilitator; Pendamping Kontak lebih dekat Tidak hanya terikat kelas Induktif; deduktif Guru pengembang kurikulum Assesmen, Evaluasi bervariasi Peran guru mendominasi Problem tidak “membumi” Peran melayani Problem kontekstual-realistik D. Pembelajaran Sejarah Berdasarkan Pendekatan Konstruktivisme 1. Pandangan Tentang Belajar Menurut Teori Konstruktivisme Teori belajar kontruktivisme menyatakan bahwa siswa harus membangun pengetahuan di dalam benak mereka sendiri. Setiap pengetahuan atau kemampuan hanya bisa diperoleh atau dikuasai oleh seseorang apabila orang itu secara aktif mengkontruksi pengetahuan atau kemampuan itu di dalam pikirannya. Matthews dalam Suparno (1997) membagi konstruktivisme dalam dua bagian, yaitu konstruktivisme psikologis dan konstruktivisme sosiologis. Konstruktivisme psikologis bertolak dari perkembangan psikologis anak dalam membangun pengetahuannya, sedangkan konstruktivisme sosiologis lebih bertolak dari pandangan bahwa masyarakat yang membangun pengetahuan. Konstruktivisme psikologis berkembang dalam dua arah, yang lebih personal, individual, dan subyektif seperti Piaget dan pengikutpengikutnya; dan yang lebih sosial seperti Vygotsky (socioculturalism). Piaget menekankan aktivitas individual dalam pembentukan pengetahuan, sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya masyarakat (lingkungan secara kultural). Dalam proses pembentukan pengetahuan, baik dalam sudut pandang personal maupun sosiokultural sebenarnya sama-sama menekankan pentingnya keaktifan siswa dalam belajar, hanya yang satu lebih menekankan keaktifan individu, sedangkan yang lainnya lebih menekankan pentingnya lingkungan sosial-kultural. Dalam pembelajaran sejarah di sekolah, kedua pandangan tersebut saling melengkapi. Belajar sejarah memerlukan proses pembentukan individual yang aktif tapi juga proses inkulturasi dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal ini, Cobb dalam Suparno (1997) menyarankan agar konstruktivisme personal dikombinasikan dengan sosiokultural. Suparno (1997:47) menyatakan “bahwa seseorang dilahirkan dalam suatu ingkungan sosial kultural di mana obyek dan kejadian ditemukan dan diartikan secara khusus yang juga dikonstruksikan”. Melalui interaksi dengan unsur-unsur yang mengelilinginya, maka individu akan belajar untuk mengenal lingkungan sosialnya. Sementara lingkungan sosial tersebut akan mengalami perubahan secara gradual maupun kontinyu. Di sinilah letaknya bahwa sejarah harus berdasarkan perubahan dan kontinyitas. Dalam sudut pandang/perspektif konstruktivis personal disoroti bagaimana seorang anak pelan-pelan membentuk skema berupa jalinan konsep yang ada dalam pikiran, mengembangkan skema, dan mengubah skema. Ia lebih menekankan bagaimana individu sendiri mengkonstruksi pengetahuan hasil dari berinteraksi dengan pengalaman dan obyek yang dihadapi, dan bagaimana seorang anak mengadakan abstraksi, baik secara sederhana maupun secara refleksi, dalam membentuk pengetahuan sejarahnya. Implementasi perspektif di atas dalam pembelajaran sebagaimana diungkapkan Slavin (1994) adalah sebagai berikut. a. Pemusatkan perhatian kepada berpikir atau proses mental anak, bukan sekedar hasil yang diperoleh; guru harus memahami proses yang dilakukan siswa secara mendalam sampai pada jawaban suatu masalah yang ditanyakan. b. Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran; guru dituntut untuk mempersiapkan beraneka ragam kegiatan yang memungkinkan anak melakukan kegiatan secara langsung. c. Memahami dan mengakui adanya perbedaan individual. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya khusus untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk individual dan kelompok kecil siswa. Dalam proses belajar harus ada perubahan, terutama perubahan konsep yang disebut dengan asimilasi untuk perubahan tahap pertama dan perubahan tahap kedua disebut akomodasi. Dengan asimilasi, siswa menggunakan konsep-konsep yang telah mereka miliki untuk berhadapan dengan fenomena baru. Sementara dengan akomodasi siswa mengubah konsepnya yang sudah tidak cocok dengan fenomena baru yang muncul (Suparno, 1997: 50). Dengan demikian diharapkan bahwa proses pembelajaran bukan hanya sekedar transfer knowledge, tetapi sudah membangun konsep pemahaman dalam diri siswa. Dalam pembelajaran, Piaget menekankan pembelajaran melalui penemuan (inkuiri), pengalaman nyata dan memanipulasi langsung alat, bahan atau media belajar yang lain (eksperimen). Guru mempersiapkan lingkungan yang memungkinkan siswa dapat memperoleh pengalaman belajar yang luas. Menurut Piaget, perkembangan kognitif bukan merupakan akumulasi dari kepingan informasi yang terpisah, namun lebih merupakan pengkonstruksian suatu kerangka mental oleh siswa untuk memahami lingkungan mereka, sehingga siswa bebas membangun pemahaman mereka sendiri. 2. Beberapa Konsep Mendasar dalam Kontruktivisme a. Scaffolding Dalam lingkungan pembelajaran, proses pembentukan makna dalam diri siswa membutuhkan dukungan guru berupa topangan (scaffolding). Topangan adalah bantuan yang diberikan dalam wilayah perkembangan terdekat (zone of proximal development) siswa (Wood et al., dalam Confrey, 1995). Topangan diberikan berdasarkan apa yang sudah bermakna bagi siswa, sehingga apa yang sebelumnya belum dapat dimaknai sendiri oleh siswa sekarang dapat bermakna berkat topangan itu. Dengan demikian, topangan diberikan kepada siswa dalam situasi yang interaktif, dalam arti guru memberikan topangan berdasarkan interpretasi akan apa yang sudah bermakna bagi siswa, dan siswa mengalami perkembangan dalam proses pembentukan makna berkat topangan itu. Scafollding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan untuk memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri. b. Proses Top Down Pendekatan konstruktivitis dalam pengajaran lebih menekankan proses pengajaran secara top-down dari pada bottom-up. Konteks Topdown adalah siswa mulai dengan masalah kompleks untuk dipecahkan dan kemudian siswa memecahkan atau menemukan (dengan bimbingan guru) keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan (Slavin, 1994). c. Zone of Proximal Development (ZPD) Zone of proximal development (ZPD) dimaknai sebagai “jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya dalam bentuk kemampuan pemecahan masalah secara mandiri, dengan tingkat perkembangan potensial dalam bentuk kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan guru atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu)” (Slavin, 1994). Siswa yang bekerja dalam ZPD mereka, berarti siswa tersebut tidak dapat menyelesaikan tugas-tugasnya, dan dapat terselesaikan jika mendapat bantuan dari teman sebaya atau guru. Kemampuan siswa Sekarang Kemampuan awal siswa ZPD d. Pembelajaran Kooperatif Vygotsky dalam Slavin (1997) menyarankan agar dalam pembelajaran digunakan pendekatan pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis proyek, dan penemuan. Salah satu implikasi penting teori Vygotsky dalam pendidikan adalah perlunya kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi dalam menyelesaikan tugas-tugas dan dapat saling memunculkan strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam masing-masing ZPD mereka. Pendekatan konstruktivitis dalam pengajaran kelas yang menerapkan pembelajaran kooperatif secara ekstensif, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi dengan temannya. Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan pembelajaran yang penting, yaitu prestasi akademik, penerimaan akan penghargaan dan pengembangan keterampilan sosial. Meskipun pembelajaran kooperatif mencakup berbagai tujuan sosial, namun pembelajaran kooperatif dapat juga digunakan untuk meningkatkan prestasi akademik. E. Pembelajaran Sejarah dalam Perspektif Konstruktivisme 1. Prinsip-prinsip Pembelajaran Sejarah Berbasis Konstruktivisme Prinsip-prinsip dalam pembelajaran yang berpaham konstruktivitis diantaranya adalah sebagai berikut. a. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal maupun sosial; b. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dan guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa itu sendiri untuk menalar; c. Siswa aktif mengkonstruksi terus menerus sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah; d. Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus. e. Evaluasi dalam pembelajaran, dalam pandangan konstruktivis, evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan yang terintegrasi dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata; menggali munculnya berpikir divergen, pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban benar; evaluasi harus diintegrasikan ke dalam tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata, bukan sebagai kegiatan yang terpisah. Tujuan pembelajaran dalam pandangan konstruktivis adalah membangun pemahaman. Pemahaman memberi makna tentang apa yang dipelajari. Belajar menurut pandangan konstruktivis tidak ditekankan untuk memperoleh pengetahuan yang banyak tanpa pemahaman. Pembelajaran sejarah menurut pandangan konstruktivis adalah membantu siswa untuk membangun konsep/prinsip sejarah dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi, sehingga konsep/prinsip tersebut terbangun kembali, transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep/prinsip baru. Ciri pembelajaran sejarah secara konstruktivis adalah: a. Siswa terlibat secara aktif dalam belajarnya. Keterlibatan ini tidak sekedar perintah atau petunjuk dari guru, tetapi siswa diberi kesempatan untuk berkreativitas mengusulkan suatu topik, masalah, atau berargumentasi. Keterlibatan dapat dalam forum klasikal maupun kelompok. b. Siswa belajar materi sejarah secara bermakna dalam bekerja dan berfikir. Agar siswa dapat memberi makna tentang materi sejarah yang sedang dibahas, maka perlu sebuah materi yang bersifat analisis yang berdasar pada hukum kausalitas. Materi tidak bisa diberikan yang bersifat hapalan, tetapi harus diangkat dari kehidupan seharihari dan kemudian dihubungkan dengan fakta sejarah yang pernah terjadi. c. Siswa belajar bagaimana belajar itu. Melalui pemberian masalah yang berbobot masalah, maka diharapkan siswa mampu belajar memahami, menerapkan dan kemudian mampu bersikap terhadap hasil analisis permasalahan. Dengan demikian siswa tidak hanya menghapal, tetapi sungguh dihadapkan tuntutan kemampuan analisis. d. Informasi baru harus dikaitkan dengan informasi lain sehingga menyatu dengan skemata yang dimiliki siswa agar pemahaman terhadap informasi (materi) kompleks terjadi. Informasi yang diberikan jangan hanya tunggal, tetapi harus terkait dengan informasi lain dan dengan disiplin lain. Dengan demikian siswa akan mendapatkan informasi yang utuh dan komprehensif. e. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan (inkuiri). Permasalahan yang diajukan seharusnya mampu menimbulkan rangsangan pada siswa untuk melakukan penelitian, pengamatan atau menuntut suatu analisis. Dengan demikian siswa selalu dirangsang untu dapat menghubungkan berbagai informasi yang diterimanya dan kemudian mampu mengendapkan dalam pemikirannya. Muaranya adalah siswa akan terbiasa untuk berpikir secara mendalam. f. Berorientasi pada pemecahan masalah. Sejarah bukan hanya deretan fakta, namun berdasarkan waktu, kontinyitas dan perubahan. Masalah yang muncul di dalam masyarakat pada masa global ini sebenarnya memiliki hubungan dengan fakta sejarah yang lalu. Oleh sebab itu, permasalahan yang dimunculkan untuk dikaji oleh siswa adalah permasalahan kekinian yang harus dicari logika kausalitasnya dengan masa lalu. Selain bahan ajar yang disiapkan harus bermakna bagi kognitif siswa agar siswa terlibat secara emosional maupun sosial, dalam pembelajaran konstruktivis guru perlu menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif. Lingkungan pembelajaran sejarah yang perlu diupayakan oleh guru dalam pembelajaran secara konstruktivis adalah sebagai berikut: a. Menyediakan pengalaman belajar dengan mengaitkan pengetahuan yang telah siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan; b. Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara; c. Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman kongkret, misalnya untuk memahami suatu konsep sejarah melalui kenyataan dalam kehidupan sehari-hari; d. Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial, yaitu terjadinya interaksi dan kerjasama seseorang dengan orang lain atau lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, siswa-siswa; e. Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif; f. Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga sejarah menjadi menarik dan siswa mau belajar. 2. Model-model Pembelajaran Sejarah Berbasis Konstruktivisme Banyak model dalam pembelajaran sejarah yang mendasarkan diri pada pembelajaran konstruktivisme. Dalam makalah singkat ini hanya akan dipaparkan dua model, yaitu model pembelajaran sejarah berbasis masalah dan pembelajaran interaktif. a. Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah 1) Pengertian Model pembelajaran berdasarkan masalah adalah model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah aktual dan otentik. Siswa diharapkan dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan ketrampilan yang lebih tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri (Arends, 1997). Menurut Jonassen (1999) mengusulkan sebuah model untuk mendesain lingkungan pembelajaran konstruktivis (Gambar 1). Model ini menggunakan masalah, pertanyaan, atau proyek sebagai fokus lingkungan pembelajaran. Sasarannya adalah siswa menginterpretasikan dan memecahkan masalah, menjawab pertanyaan, atau menyelesaikan proyek. Kegiatan ini didukung dengan sistem pendukung yang meliputi kasus-kasus terkait, sumber informasi, sarana kognitif, komunikasi atau kolaborasi, dan dukungan sosial atau kontekstual. Kasus-kasus terkait dan sumber informasi mendukung pemahaman masalah dan memberikan gagasan akan solusi yang mungkin. Sarana kognitif membantu siswa menginterpretasi dan menangani aspek-aspek masalah. Komunikasi dan kolaborasi memungkinkan komunitas siswa bernegosiasi dan mengkonstruksi bersama makna-makna yang terkait dengan masalah. Dukungan sosial dan kontekstual membantu siswa dan guru dalam mengimplementasikan lingkungan pembelajaran. 1. Dukungan sosial dan kontekstual 2. Komunikasi dan kolaborasi 3. Sarana Kognitif 4. Sumber Informasi 5. Kasus-kasus terkait B. Permodelan 6. Permasalahan A. Topangan C. Bimbingan Model Jonassen untuk mendesain lingkungan pembelajaran Dalam model di atas digambarkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara permasalahan yang harus diselesaikan dengan berbagai faktor yang mengelelilinginya. Oleh sebab itu, pembelajaran sejarah sebenarnya harus berkaitan erat dengan kondisi senyatanya dalam kehidupan masyarakat dalam waktu kekinian. Sebab segala sesuatu yang terjadi dalam waktu kekinian merupakan akibat dari waktu yang lalu. Oleh sebab itu, bila pembelajaran sejarah dimulai dari waktu yang lalu, maka dapat terjadi kehilangan hubungan dengan waktu kekinian. Namun, sebaliknya bila dimulai dari waktu kekinian, maka akan dapat digali relevansinya dengan waktu lalu. Guru dalam model pembelajaran berdasarkan masalah berperan sebagai penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog, membantu menemukan masalah, dan pemberi fasilitas dalam proses pembelajaran. Selain itu, guru menyiapkan dukungan dan dorongan yang dapat meningkatkan inkuiri dan intelektual siswa. Hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam pembelajaran berdasarkan masalah adalah memberikan siswa masalah yang berfungsi sebagai batu loncatan untuk proses inkuiri dan penemuan. Disini guru mengajukan masalah, membimbing dan memberikan petunjuk minimal kepada siswa dalam memecahkan masalah. Dalam menggunakan metode inquiry yang menjadi inti dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, siswa-siswa dalam pembelajaran sejarah diarahkan ke kegiatan untuk membuat atau mengerjakan sendiri, misalnya ketika membahas materi kerajaan Hindhu – Budha di Indonesia (kelas XII IPS semester 1 SMA). Setelah membaca materi, siswa dapat membuat sendiri bagan silsilah raja – raja Majapahit, sehingga bisa mengetahui raja yang mana keturunan Raden Wijaya (pendiri Kerajaan Majapahit) dan raja mana yang bukan keturunan pendiri Kerajaan Majapahit. Dari tugas itu, secara otomatis siswa mengetahui juga peristiwa perebutan kekuasaan (perang saudara yang pernah terjadi dan muaranya adalah perpindahan pusat kekuasaan atau pusat kerajaan ke beberapa kota di Jawa Timur. Siswa juga dapat diberi tugas menggali silsilah keluarganya sendiri dari penuturan orang tuanya, baik dari keluarga ayah maupun dari keluarga ibu, sehingga mereka mengetuhi cikal – bakal dari mana sebenarnya nenek moyangnya berasal. Masih banyak contoh materi yang dapat menggunakan metode inquiry ini. Pembelajaran menggunakan metode ini perlu dikembangkan, yaitu siswa bekerja dengan menemukan sendiri akar permasalahan yang dipelajari. 2) Ciri-ciri Model Pembelajaran Sejarah Berdasarkan Masalah a) Pengajuan Masalah atau Pertanyaan Pengaturan pembelajaran berdasarkan masalah berkisar pada masalah atau pertanyaan yang penting bagi siswa maupun masyarakat. Menurut Arends (1997), pertanyaan dan masalah yang diajukan itu haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Otentik: masalah harus lebih berakar pada kehidupan dunia nyata siswa daripada berakar pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu. Dengan kata lain pemecahan masalah harus bersifat multi disiplin. 2. Jelas: masalah dirumuskan dengan jelas, tidak ambigu, artinya tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa. 3. Mudah dipahami: masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa. Selain itu, masalah disusun dan dibuat sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. 4. Luas dan Sesuai dengan Tujuan Pembelajaran: masalah yang disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber yang tersedia. Selain itu, masalah yang telah disusun tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. 5. Bermanfaat: masalah yang disusun dan dirumuskan haruslah bermanfaat, baik bagi siswa sebagai pemecah masalah maupun guru sebagai pembuat masalah. Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah siswa, serta membangkitkan motivasi belajar siswa. b) Keterkaitannya dengan Berbagai Disiplin Ilmu Masalah yang diajukan dalam pembelajaran berdasarkan masalah hendaknya mengaitkan atau melibatkan berbagai disiplin ilmu (multidisiplin). c) Pengkajian atau Analisis yang Otentik Pengkajian atau analisis yang diperlukan dalam pembelajaran berdasarkan masalah bersifat otentik. Selain itu, pengkajian diperlukan untuk mencari penyelesaian masalah yang bersifat nyata. Siswa menganalisis dan merumuskan masalah, mengembangkan dan meramalkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan eksperimen, membuat kesimpulan. d) Menghasilkan dan memamerkan hasil/karya Pada pembelajaran berdasarkan masalah, siswa bertugas menyusun hasil penelitiannya atau kajiannya dalam bentuk karya (karya tulis atau penyelesaian) dan memamerkan hasil karyanya. Artinya, hasil penyelesaian masalah siswa ditampilkan atau disusun laporannya. e) Kolaborasi Pada pembelajaran berdasarkan masalah, tugas-tugas belajar berupa masalah harus diselesaikan bersama-sama antar siswa dengan siswa, baik dalam kelompok kecil maupun kelompok besar, dan bersama-sama antar siswa dengan guru. 3) Langkah-langkah Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah Penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari lima langkah (Arends, 1997). Kelima langkah itu dimulai dengan orientasi guru dan siswa pada masalah serta diakhiri dengan penyajian dan analisis kerja siswa. Langkah-langkah model masalah, sebagai berikut. LANGKAH-LANGKAH pembelajaran berda-sarkan KEGIATAN YANG DILAKUKAN GURU 1. Orientasi siswa pada masalah 2. 3. 4. 5. 1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, dan memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah. Mengorganisir siswa 2. Guru membagi siswa kedalam dalam belajar kelompok. Guru membantu siswa dalam mendefinisikan dan mengorganisir tugas-tugas belajar yang berhubungan dengan masalah. Membimbing pengkajian 3. Guru mendorong siswa untuk atau analisis individual mengumpulkan informasi yang maupun kelompok. sesuai, melaksanakan eksperimen dan pengkajian untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Mengembangkan dan 4. Guru membantu siswa dalam menyajikan hasil karya merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video dan model dan membantu mereka membagi tugas dengan temannya. Menganalisis dan 5. Guru membantu siswa untuk mengevaluasi proses melakukan refleksi atau evaluasi pemecahan masalah terhadap penyelidikan mereka dan proses yang digunakan. 4) Pelaksanaan Model pembelajaran Berdasarkan Masalah Pelaksanaan model pembelajaran meliputi beberapa kegiatan berikut ini. berdasarkan masalah a) Pendahuluan Pada kegiatan ini guru mengingatkan siswa tentang materi pelajaran yang lalu, memotivasi siswa, mengkomunikasikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai secara rinci dan jelas, dan menjelaskan model pembelajaran yang akan dijalani. b) Kegiatan Inti Guru bersama siswa membahas konsep/teori yang diperlukan dalam kegiatan pemecahan masalah dan membahas soal-soal yang belum tuntas. Selanjutnya guru melaksanakan fase-fase pembelajaran berdasarkan masalah. Fase I: Mengorientasikan Siswa pada Masalah Pada kegiatan ini, guru mengajukan masalah kepada siswa dan meminta siswa mengemukakan ide mereka untuk memecahkan masalah tersebut. Fase 2. Mengorganisasi Siswa untuk Belajar Pada kegiatan ini, siswa dikelompokkan secara bervariasi dengan memperhatikan kemampuan, rasial, etnis dan jenis kelamin yang didasarkan pada tujuan yang ditetapkan. Jika terdapat perbedaan kelompok, maka guru dapat memberikan tanda pada kelompok itu. jika diperlukan, guru dapat membagi kelompok itu berdasarkan kesepakatan bersama antara siswa dengan guru. Fase 3. Membantu Siswa Memecahkan Masalah Pada kegiatan ini, siswa melakukan penyelidikan/ pemecahan secara bebas, baik kelompok besar maupun kelompok kecil. Dalam kegiatan ini tugas guru mendorong siswa mengumpulkan data dan melaksanakan analisis aktual, hingga mereka benar-benar mengerti dimensi situasi permasalahannya. Tujuannya adalah agar siswa dalam mengumpulkan informasi cukup untuk mengembangkan dan menyusun ide-idenya sendiri. Demikian pula, guru harus banyak membaca masalah pada berbagai buku sumber yang berguna membantu siswa mengumpulkan informasi, mengajukan permasalahan/pertanyaan yang dapat dipikirkan siswa, dan memberikan berbagai jenis informasi yang diperlukan siswa dalam menjelajah dan menemukan penyelesaian. Fase 4. Membantu Mengembangkan dan Menyajikan Hasil Pemecahan Masalah Pada kegiatan ini, guru menyuruh salah seorang anggota kelompok untuk mempresentasikan hasil pemecahan masalah kelompok dan membantu siswa jika mereka mengalami kesulitan. Kegiatan ini berguna untuk mengetahui hasil sementara pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan. Fase 5. Menganalisis dan Mengevaluasi Proses Pemecahan Masalah Pada akhir kegiatan ini, guru membantu menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir siswa. Sedangkan siswa menyusun kembali hasil pemikiran dan kegiatan yang dilampaui pada setiap tahap-tahap pembelajaran. Penutup Guru membimbing siswa menyimpulkan pembelajaran dan memberikan tugas untuk diselesaikan di rumah. 5) Ciri-ciri Model pembelajaran Interaktif Fase dalam model pembelajaran interaktif sebagai berikut. Fase pertama. Guru memulai pelajaran dengan mengorganisasi kelas. Siswa diminta untuk belajar secara individual ataukah belajar secara berkelompok. Kemudian guru menjelaskan tentang kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan siswa dalam proses pembelajaran, bisa berupa menyelesaikan masalah, melanjutkan mempelajari suatu topik, mengerjakan tugas (proyek) ataupun melakukan aktivitas-aktivitas lainnya yang dapat membantu siswa memahami suatu topik pelajaran. Guru juga dapat meminta siswa untuk mencatat hasil dari aktivitas yang mereka lakukan. Fase kedua. Siswa mulai melaksanakan aktivitas yang telah ditentukan guru pada fase pertama. Siswa dapat bekerja secara individual ataupun berkelompok tergantung pada pengorganisasian kelas yang dilakukan guru di fase pertama. Di fase ini guru dapat memberikan bimbingan atau bantuan terbatas kepada siswa dalam mengerjakan tugasnya, tanpa memberikan jawaban masalah secara langsung kepada siswa. Fase ketiga. Presentasi hasil kerja, bisa berupa hasil kerja kelompok ataupun hasil kerja individual. Fase ini merupakan fase interaksi kelas. Beberapa siswa (dapat mewakili kelompok, jika pada fase kedua dilakukan secara berkelompok) diminta untuk menampilkan dan menjelaskan hasil pekerjaannya kepada teman-teman sekelasnya, siswa-siswa lainnya diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan (pertanyaan atau komentar) terhadap hasil pekerjaan temannya. Guru dapat pula mengajukan pertanyaanpertanyaan untuk membantu siswa lebih memahami topik yang sedang mereka pelajari. Fase keempat. Fase menarik kesimpulan. Pada fase ini siswa diminta untuk memperhatikan kembali hasil pekerjaannya di fase kedua dan memperbaikinya jika ternyata setelah dilakukan diskusi kelas terdapat kesalahan pada pekerjaan mereka. Di fase ini juga, guru dapat mengecek kembali pemahaman siswa dengan memberikan beberapa permasalahan ataupun soal latihan yang dapat dijawab secara lisan ataupun tulisan. Siswa juga dapat mengajukan permasalahan ataupun pertanyaan jika ada hal-hal yang kurang dipahaminya dari topik yang sedang dipelajari. Di akhir fase ini guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang apa yang telah dipelajarinya. Fase kelima. Fase menilai belajar unit materi. Walaupun fase ini adalah fase terakhir, tetapi bukan berarti penilaian hanya dilakukan pada akhir pembelajaran, tetapi penilaian dilakukan sebelum, selama dan setelah pembelajaran dilaksanakan. Dapat dikatakan bahwa penilaian yang dilakukan adalah penilaian proses. Di awal pembelajaran penilaian dapat dilakukan dengan memberikan pretes. Penilaian selama pembelajaran dapat dilakukan melalui observasi selama siswa mengikuti proses pembelajaran, wawancara dengan siswa, menilai hasil pekerjaan siswa, dan juga dapat dilengkapi dengan portofolio dan jurnal siswa. Dalam pembelajaran interaktif terdapat dua hal yang ditekankan dalam proses belajar, yang pertama adalah siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan melakukan aktivitas yang disediakan oleh guru, bisa berupa pemecahan masalah, melakukan eksperimen, menginvestigasi ataupun aktivitas lainnya dan yang kedua adalah siswa mengkomunikasikan dengan yang lainnya. Pada fase melakukan aktivitas atau memecahkan masalah, guru memberikan tugas kepada siswa yang memancing siswa untuk berpikir dan mengkonstruksi konsep-konsep atau prinsipprinsip yang akan dipelajari. Di fase ini terjadi interaksi antar siswa dalam kelompok-kelompok kecil, mereka saling bertukar ide dalam memecahkan masalah, siswa yang lemah dapat bertanya kepada siswa yang lebih pandai. Melalui fase ini diharapkan siswa dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang akan dipelajarinya. Selain itu melalui fase ini diharapkan pula siswa terbiasa untuk mencoba menyelesaikan masalah matematika sendiri tanpa bergantung penuh pada guru, atau dengan kata lain dalam pembelajaran ini siswa dilatih untuk belajar mandiri sehingga pengetahuan yang dipahaminya tidak hanya sebatas pada apa yang diberikan guru. Selanjutnya pada fase saling membagi dan berdiskusi, siswa dituntut untuk menjelaskan hasil dari aktivitas atau pemecahan masalah yang mereka lakukan sendiri atau berkelompok melalui diskusi kelas yang dipimpin oleh guru. Siswa tidak akan memahami suatu pelajaran dengan baik ketika mereka hanya menuliskan jawaban dari suatu permasalahan, tetapi mereka juga harus siap menjelaskan proses berpikir mereka. F. Berapa Kelemahan Praktik Lapangan. Pendekatan konstruktivisme sudah lama dikenalkan. Namun, dalam praktik di lapangan masih banyak mengalami kendala, meski kendala ini sebenarnya disebabkan oleh dominasi paradigma pembelajaran model lain yang selama ini mendominasi pembelajaran di Indonesia. 1. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ilmuan sehingga menyebabkan miskonsepsi. 2. Konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda. 3. Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa. G. Kesimpulan Pembelajaran berbasis konstruktivisme bukan monopoli pelajaran yang bersifat eksak, namun pelajaran yang mendasarkan diri pada ilmu-ilmu sosial juga dapat disampaikan kepada siswa dengan menggunakan paradigma ini. Mengapa? Karena prinsip dasar ilmu yang disampaikan harus mendasarkan diri pada logika berpikir dan mampu merangsang siswa untuk berkembang secara eksak dan sosial. Pembelajaran berbasis konstruktivisme menjadi sangat penting dalam upaya untuk mengubah pardigma pembelajaran karena: 1. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya. Demikian juga dalam pelajaran sejarah, siswa diharapkan mampu untuk mengungkapkan ide, pemikiran, argumentasi yang logis, ilmiah. 2. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa. Terlebih pada era globalisasi sekarang ini, banyak fenomena yang menantang siswa untuk lebih mampu menganalisis dan menghubungkan dengan berbagai fakta sejarah. 3. Pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasanpada saat yang tepat. 4. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar. 5. Pembelajaran konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka. 6. Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar. Dengan demikian pembelajaran ini bukan hanya sekedar transfer knowledge, tetapi memang merangsang siswa untuk nantinya mampu berpikir secara rasional dan bukan mendasarkan diri pada sisi hapalan belaka. Daftar Pustaka Arend, Richard. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: Mc Graw Hill Confrey, J. 1995. “A Theory of Intelectual Development”. For the Learning of Mathematics. Vol. 15, No. 3, pp. 8-48. Jonassen, D. 1999. “Designing Constructivist Learning Environment”. In C.M. Reigeluth (Ed.), Instructional-Design Theories and Models, Volume II: A New Paradigm of Instructional Theory. Mahwah, NJ.: Lawrence Erlbaum. Lechte, J. 2001. “50 Filsuf Kontemporer. Dari Postmodernitas”. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Strukturalisme sampai Schifter, D. and Fosnot, CT. (1993). Reconstruction Mathematics Education. Teacher’s College, Columbia University. Slavin, Robert. 1994. Educational Psychology: Theories and Practice. Fourth Edition. Massachusetts: Allyn and Bacon Publisher. Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.