1 PERKEMBANGAN DAN PERUBAHAN FUNGSI LUMBUNG PADA ARSITEKTUR TRADISIOAL BALI ( Kajian Fenomena Sosial ) I Nyoman Adi Tiaga Dosen Tetap pada Jurusan Desain Interior Institut Seni Indonesia Denpasar Alamat Jl. Nusa Indah, Tlp 0361) 227316, Fax.0361) 236100 Denpasar 80235 No Hp : 081802751387 dan 081239677151 e-mail : [email protected] ABSTRAK Arsitektur Bali berkembang dengan pesatnya seiring dengan perkembangan jaman, terutama setelah dipromosikannya Bali sebagai pusat kepariwisataan di Indonesia bagian tengah. Jika dilihat perkembangannya dari waktu ke waktu maka arsitektur Bali merupakan suatu arsitektur yang selalu berusaha menyelaraskan diri dengan lingkungannya, Lumbung sebagai salah salah satu contohnya hasil rancangan manusia dimana hasil desainnya melibatkan keputusan dan pemilihan sesuai dengan kebutuhan manusianya. Hal ini akan dikaitkan dengan pencerminan kebudayaan masyarakat dari wujud desainnya. Apabila perubahan wujud desain ini terjadi, maka kebudayan yang diatur akan mengalami pergeseran nilai yang sesuai dengan hukum-hukum, norma-norma yang berlaku, serta prilaku sosial. Sebab perwujudan desain pada lingkungan kawasan dapat mempengaruhi cara masyarakat berinteraksi melalui suasana ruang dan waktu. Pilihan-pilihan tersebut akhirnya menghasilkan gaya (style), baik dalam perwujudan desain maupun kehidupan masyarakatnya. Fenomena saat ini di daerah-daerah kawasan pariwisata pola tata letak, fungsi, dan wajah bangunan telah mengalami perubahan, Berdasarkan hal itu, pembahasan dalam makalah ini akan mengkaji perkembangan dan perubahan fungsi arsitektur lumbung Bali sebagai artefak yang digunakan sebagai fasilitas penyimpanan padi dan upacara ritual pemujaan Dewi Sri, dimana artefak tersebut telah mengalami perkembangan serta perubahan bentuk dan pergeseran fungsi yang disebabkan oleh proses sosial. Hal ini sangatlah menarik untuk dijadikan topik kajian dalam pembahasan ini. Untuk itu, permasalahan ini akan diungkap dengan menggunakan pendekatan sosiologi seni, dimana seni dipandang sebagai proses sosial yang diambil dari teorinya Vera L. Zolberg. Sekarang ini Lumbung tidak hanya memiliki satu fungsi akan tetapi multifungsi yaitu dari sakral menjadi profan atau sekuler. Untuk mengungkap hal tersebut perlu dirumuskan suatu permasalahan, dalam hal ini permasalahan yang muncul adalah; Konstruksi sosial yang mempengaruhi keberadaan bangunan lumbung di Bali, sehingga mengakibatkan terjadinya perkembangan serta perubahan fungsi bangunan lumbung dalam kehidupan sosial masyarakat Bali. Kata kunci : Perubahan Fungsi, Lumbung, Sosial. 2 DEVELOPMENT AND CHANGES IN FUNCTIONS OF RICE STOREHOUSES IN TRADITIONAL BALINESE ARCHITECTURE (A Study of Social Phenomena) ABSTRACT Bali Architecture has grown rapidly in recent years, especially after the promotion of Bali as a tourism center in central Indonesian zone. From its development every now and then, we can see that Balinese architecture is always sought to align itself with its surroundings. Take lumbung or rice storehouse, for example. It is the end product of human design that involves decision and selection that accord with the relevant human needs. This will be associated with the reflection of local culture in the designed forms. When this change in design takes place, the local culture will experience a shift in values in accordance with the applicable laws, norms, and social behaviors. This is due to the fact that the changes in design of the surrounding areas may affect the way people interact with each other in terms of time and place. The selections will, eventually, give birth to style, both in the forms of design and in the community life. Changes in lot layout, functionality, and building facades are the phenomena that occur in areas with tourism resorts. For that reason, the discussion in this paper will be on the development and changes in the functionality of architecture of Balinese lumbung as the artifact that serve both as rice storehouse and as a site for ritual worship of Goddess Sri. The development and changes in the form and function of the artifact might be caused by social processes. That is why it is an interesting topic for discussion in current paper. Therefore, this issue will be explored using sociological approach to artworks, in which art is viewed as a social process, as Vera L. Zolberg’s theory suggests. These days, lumbungs serve not merely a single function; in fact, it serves multiple functions, i.e. sacred, profane, and secular functions. To delve into such functions, we formulate the problem as follows: Social construction that affects the existence of lumbung buildings in Bali has led to the development and changes in the functionality of lumbungs in the social life of Balinese people. Keywords: changes in function, lumbung, social 3 PENDAHULUAN Keberadaan manusia pada hakekatnya terwujud sebagai makhluk sosial dan berbudaya dengan berbagai kondisi obyektif. Perjalanan historis mengakibatkan manusia berusaha mengembangkan sistem sosial dan sistem budayanya secara khas, seperti sistem sosial masyarakat Bali yang khas merupakan bagian dari salah satu sistem sosial budaya Indonesia yang beranekaragam. Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia memiliki kekayaan alam dan berbagai jenis kesenian yang merupakan hasil pemikiran manusianya. Seni sebagai sistem sosial cenderung dianggap sebagai indikator kegiatan religius, bukan semata-mata hanya sebagai ekspresi bebas setiap individunya, sehingga kesenian mendominasi seluruh kehidupan masyarakat Bali, karena setiap kegiatan masyarakatnya selalu terkait dengan kesenian. Seluruh cabang kesenian tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Bali yang meliputi seni rupa (seni pahat, seni lukis dan seni hias), seni pertunjukan (seni tari, seni drama, pedalangan dan seni kerawitan), seni sastra dan arsitektur, interior. Dalam hal ini penulis akan memfokuskan bahasan dalam bidang arsitektur dan interior. Arsitektur Bali berkembang dengan pesatnya seiring dengan perkembangan jaman, terutama setelah dipromosikannya Bali sebagai pusat kepariwisataan di Indonesia bagian tengah. Jika dilihat perkembangannya dari waktu ke waktu maka arsitektur Bali merupakan suatu arsitektur yang selalu berusaha menyelaraskan diri dengan lingkungannya, mengikuti pedoman tradisi religiusnya tanpa mengabaikan perkembangan dari material dan teknologi yang sedang berkembang. Arsitektur Bali selalu berusaha menyelaraskan diri dengan alam sebagai makrokosmos, agama Hindu, adat istiadat, kebudayaan serta kepercayaan dalam masyarakat. Pendatang-pendatang dari luar Bali, sudah tentu membawa pengaruh pada arsitektur Bali yang bisa dilihat pada unsur-unsur kebudayaan, bahan bangunan dan teknologi modern dari luar seperti munculnya ornamen-ornamen cetakan sebagai pengaruh budaya luar yang telah memperkenalkan teknologi baru menggeser teknologi yang telah ada sebelumnya (teknik ukiran). Hal ini memperlihatkan gejala masuknya nilai-nilai yang lebih 4 menekankan pada segi kemudahan dan kecepatan (praktis), dimana hasilnya cenderung memiliki kualitas yang lebih kuat, awet dan tidak memerlukan perawatan khusus. Bali merupakan wilayah yang terbagi dalam wilayah yang sebagian besar penduduknya merupakan petani yang dapat kita lihat dari konsep bangunan tempat tinggal tradisional Bali yang selalu mewujudkan bangunan lumbung (kerumpu) yang berlokasi di area utamaning nista yang berguna sebagai tempat penyimpanan hasil panen berupa padi dan alat-alat pertanian lainnya. Budaya tradisional Bali sebagai masyarakat agraris terbukti pula dengan adanya sistem pengairan pada pertanian yang bernama sistem subak. Lumbung dalam nilai-nilai agama Hindu yang mempercayai adanya kekuatan dewa dan dewi sebagai sumber kekuatan yang dianggap sangat sakral, lumbung atau kerumpu dipercayai sebagai tempat bersemayamnya Dewi Sri yang dipercaya sebagai dewi kesuburan. (Dwijendra, 2008:99) Seiring perkembangan jaman yang semakin maju dengan dicetuskanya sebagai kawasan wisata yang memiliki keindahan alam yang sangat mengagumkan. Bali sebagai daerah pariwisata yang terkenal di dunia, selain ditopang oleh keindahan alamnya juga dikarenakan oleh perilaku masyarakatnya yang bertipe komunal. Perilaku ini menyebabkan tumbuhnya berbagai ragam budaya yang terimplementasi ke dalam karya seni dan artefak budaya yang sangat beragam. Lumbung sebagai salah salah satu contoh merupakan hasil rancangan manusia dimana hasil desainnya melibatkan keputusan dan pemilihan sesuai dengan kebutuhan manusianya. Hal ini akan dikaitkan dengan pencerminan kebudayaan masyarakat dari wujud desainnya. Apabila perubahan wujud desain ini terjadi, maka kebudayan yang diatur akan mengalami pergeseran nilai yang sesuai dengan hukum-hukum, norma-norma yang berlaku, serta prilaku sosial. Kondisi tersebut juga berlaku perwujudan lingkungan buatan dalam hal ini sebuah pola tata bangunan/arsitektur yang ada pada kawasan tertentu. Sebab perwujudan desain pada lingkungan kawasan dapat mempengaruhi cara masyarakat berinteraksi melalui suasana ruang dan waktu. Pilihan-pilihan tersebut akhirnya menghasilkan gaya (style), baik dalam perwujudan desain maupun kehidupan masyarakatnya. 5 Fenomena saat ini di daerah-daerah kawasan pariwisata pola tata letak, fungsi, dan wajah bangunan telah mengalami perubahan, Claire Holt menjelaskan bahwa terjadinya perubahan budaya dalam perjalanan waktu merupakan suatu yang wajar sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakatnya. Perubahan itu tidak berarti secara menyeluruh, sedangkan aspek tertentu dari budaya lama masih dimungkinkan karena masih dianggap relevan dengan zamannya. (Claire Holt, 2000:75). Kehadiran unsur-unsur baru dalam rangkaian pertumbuhan budaya tidak berarti punahnya unsurunsur yang lama, keduanya dapat hidup secara berdampingan, tumpang tindih atau bercampur. Perkembangan fungsi maupun yang lain memiliki berbagai tujuan yang berbeda-beda. Berdasarkan latar belakang tersebut, wilayah yang mewakili dan memiliki karakter budaya yang khas, seharusnya mewakili informasi tentang makna-makna untuk memenuhi tujuan masyarakat seperti: perilaku yang tepat dan sistem pola tata ruang arsitektur yang tidak lagi menjadi petunjuk dalam memahami fungsi yang nampak maupun tidak. Berdasarkan hal itu, pembahasan dalam makalah ini akan mengkaji perkembangan dan perubahan fungsi arsitektur lumbung Bali sebagai artefak yang digunakan sebagai fasilitas penyimpanan padi dan upacara ritual pemujaan Dewi Sri, dimana artefak tersebut telah mengalami perkembangan serta perubahan bentuk dan pergeseran fungsi yang disebabkan oleh proses sosial. Hal ini sangatlah menarik untuk dijadikan topik kajian dalam pembahasan ini. Untuk itu, permasalahan ini akan diungkap dengan menggunakan pendekatan sosiologi seni, dimana seni dipandang sebagai proses sosial yang diambil dari teorinya Vera L. Zolberg. Berdasarkan pada paparan latar belakang tersebut di atas, arsitektur Lumbung sebagai bangunan yang memiliki fungsi sakral dalam masyarakat Bali telah mengalami perkembangan dan perubahan fungsi akibat proses sosial, dimana, sekarang ini Lumbung tidak hanya memiliki satu fungsi akan tetapi multifungsi yaitu dari sakral menjadi profan atau sekuler. Untuk mengungkap hal tersebut perlu dirumuskan suatu permasalahan, dalam hal ini permasalahan yang muncul adalah; Konstruksi sosial apa yang mempengaruhi keberadaan bangunan lumbung di Bali, sehingga mengakibatkan terjadinya perkembangan serta perubahan fungsi bangunan lumbung dalam kehidupan sosial masyarakat Bali. 6 METODE DAN PENDEKATAN TEORI Bangunan Lumbung sebagai objek seni arsitektur yang dibangun untuk fungsi penyimpanan hasil panen tetapi dipercaya juga sebagai fungsi ritual sebagai tempat pesemayaman Dewi Sri yang dipercaya sebagai Dewi kesuburan oleh masyarakat Bali. Secara sosiologis tidaklah muncul begitu saja, namun dalam perjalanannya dapat dipahami sebagai suatu proses sosial. Dalam buku Constructung a Sociology of The Art, Vera L. Zolberg (1990) mengemukakan bahwa objek seni sebagai proses sosial, dalam pengertian ini karya seni arsitektur dipahami atas dasar proses penciptaannya sehingga suatu karya dapat didevinisikan sebagai hasil karya yang memiliki unsur seni, selanjutnya seni itu sendiri menjadi sebuah objek yang harus direkonstruksi untuk menunjukkan aspek struktur sosial dan proses penggunaan indikator-indikator yang tersedia. Pada pandangan ini, suatu karya seni dipandang sebagai produk usaha bersama (kolektif) bukan sebagai kreasi individual. Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat Howard S. Becker bahwa seni merupakan konstruksi sosial yang bisa dipahami dengan melibatkan berbagai aktor, termasuk kekuasaan sosialnya yang memungkinkan untuk menekankan nilai pada objek. Analisis tersebut dapat dimanfaatkan sebagai metode untuk mengkaji bangunan lumbung, yang keberadaannya tidak terlepas dari suatu pemahaman terhadap proses sosialnya. Perjalanannya selalu berkaitan dengan peran serta komponen-komponen dan medium sosial lainnya, sehingga untuk memahaminya harus direkonstruksi dari berbagai struktur sosial yang membentuknya. Zolberg mengemukakan“the socially constructed nature of art, cultural institutions, artists, and publics”. Dapat diartikan bahwa: pada dasarnya konstruksi sosial dalam kesenian mencakup, institusi budaya, seniman, dan masyarakat. Teori ini digunakan sebagai pendekatan utama dalam melihat berbagai permasalahan dan fenomena Lumbung dalam arsitektur tradisional Bali yang kenyataannya tidak dapat terlepas dari tiga komponen tersebut yaitu masyarakat (undagi), institusi budaya, peran serta arsitek dan desainer PEMBAHASAN 7 A. Fungsi bangunan lumbung dan bentuk lumbung sesuai lapisan sosial pada masyarakat Bali. Lumbung bagi masyarakat Bali memiliki fungsi untuk menyimpan hasil pertanian pada bagian atasnya, yang mana lumbung Bali terbentuk dalam dua ruang yaitu: ruang atas dan ruang bawah. Lumbung dibangun pada pemukiman rumah tradisional Bali terutama pada rumah-rumah petani penggarap atau pemilik sawah (petani buruh). Sebelum ditemukanya bibit padi unggul dengan sistem tanam intensif, di Bali terutama di daerah yang memiliki sistem pengairan yang teratur dengan masa panen padi berlangsung enam sampai delapan bulan sekali, jenjang waktu antara satu masa panen dengan masa panen selanjutnya memerlukan sistem penyimpanan hasil panen yang baik dan terlindung dari kelembaban serta terhindar dari gangguan hama seperti serangga dan tikus, sehingga dibangunlah lumbung dengan fungsi utama sebagai tempat penyimpanan stok makanan hingga masa panen selanjutnya tiba. Bangunan lumbung juga berfungsi sebagi ungkapan identitas yang dapat menujukkan status sosial pemiliknya sebagai keluarga yang berada. Rumah tangga yang memiliki bangunan lumbung atau beberapa lumbung menunjukkan bahwa mereka memiliki sawah atau cukup bekal untuk kehidupannya. Selain itu lumbung juga berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewi Sri sebagai Dewi kesuburan dengan upacara menaikan padi ke lumbung atau mengupacarai padi di lumbung dengan bentuk cili yang di sebut Sang Hyang dengan upacara Nguduh Dewa. Fungsi lumbung lainya pada bagian bawah adalah sebagai tempat melaksanakan kerja-kerja sosial dalam rangka kehidupan beradat dan beragama, dan dapat juga di fungsikan sebagai tempat menerima tamu, dan sebagai tempat beraktifitas untuk kegiatan pendukung yang ada pada dapur (pawon) dan Bale Semanggen. Lumbung dalam kehidupan tradisional masyarakat Bali selain sebagai tempat penyimpanaan padi atau bahan persediaan pangan seperti yang sudah dijelaskan di atas. Lumbung juga berfungsi sebagai penunjuk status sosial dalam masyarakat Bali dengan jenis lumbung yang ada pada pekarangan rumahnya sebagai tanda orang itu berada (saudagar) atau petani biasa yang dapat dilihat dari bentuk dan karakter bangunan lumbung yang ada pada bangunan arsitektur tradisional rumahnya. 8 1. Kelumpu Bangunan dengan denah berbentuk segi empat dengan empat atau enam kolom (tiang), dengan atap pelana dari atas bale-bale sampai ke atap. Padi dimasukkan ke ruang penyimpanan dari sisi samping bangunan. Namun, terdapat juga Kelumpu yang memiliki pintu di atas bangunan, dan untuk memasukkan padi ke dalam ruang penyimpanan hasil panen menggunakan bantuan tangga. Dinding dan selasar ruang penyimpanan terbuat dari bahan gedeg anyaman bambu atau papan kayu. Atap bangunan umumnya dari alang-alang atau bahan lain yang ditentukan dari iklim setempat. Bentuk lumbung ini banyak dijumpai pada masyarakat yang berkasta brahmana. Namun karena perjalanan waktu dan perkembangan dan perubahan mata pencaharian lumbung yang berbentuk kelumpu sudah semakin langka. 2. Kelingking Kelingking merupakan lumbung padi yang menggandakan dimensi atau luas ruang kelumpu. Pola ruang, bentuk, dan struktur serupa dengan kelumpu. Sesuai dengan fungsi aslinya sebagai tempat menyimpan padi dengan beban yang cukup berat, maka dimensi disesuaikan dengan pembebanan, stabilitas, dan estetika. Batu sendi alas tiang dan pondasi (jongkok asu) ukurannya lebih besar dibandingkan lumbung tradisional Bali tipe lainnya. Bentuk lumbung ini banyak dijumpai pada masyarakat yang berkasta kesatria. 3. Jineng Jineng merupakan bangunan penyimpanan padi dengan denah persegi empat, memiliki 4 kolom, dengan atap pelana lengkung. Letak jineng umumnya berdekatan dengan paon( dapur), sehingga ruang bale jineng dapat difungsikan sebagai perluasan dari kegiatan paon. Jineng jika dilihat dari struktur dan konstruksinya merupakan bangunan bertingkat, dengan ruang penyimpanan padi di atas. Langki kepala tiang dengan lantai selasar berbatas sisi dalam atap lengkung, dan balai di bagian bawah untuk tempat duduk, istirahat, atau tempat bekerja. Sesuai dengan fungsi aslinya dan adanya ruang bertingkat, maka konstruksi jineng dibuat dengan kolom yang cukup besar, bukan hanya satu rai seperti umumnya bangunan tradisional Bali lainnya. Bentuk lumbung ini banyak di 9 jumpai pada rumah masyarakat yang memiliki pekerjaan petani walaupun mereka tidak memiliki tanah sawah, namun hanya sebagai petani penggarap saja, dari upah yang mereka peroleh dalam bentuk padi/gabah mereka simpan kedalam jineng, makanya jineng adalah bentuk lumbung yang paling kecil pada arsitektur tradisional Bali yang hanya berkonstruksi empat kolom. 4. Gelebeg Serupa dengan jineng, berdenah segi empat dengan atap pelana lengkung, dan memiliki 6 sampai 8 kolom. Tempat menyimpan padi di bawah atap sampai dengan bagian atas bale, dengan dinding papan atau bambu dari bale sampai bertemu atap. Pada Gelebeg, tidak ada tempat yang berfungsi untuk duduk- duduk seperti pada jineng, sehingga semua ruang yang ada di bawah atap sampai dengan bale digunakan untuk tempat menyimpan padi. Pintu masuk untuk menyimpan padi searah dengan panjang bangunan dari sisi bagian atas. Gelebeg ada yang dilengkapi dengan gelagar sebagai pemisah ruang bawah balai sampai ke atap, Ruang bagian atas yang tertutup difungsikan sebagai ruang menyimpan bibit padi. Bentuk lumbung ini banyak di jumpai pada masyarakat yang memiliki aktifitas pertanian namun juga sebagai pembeli hasil pertanian pada petani (sebagai saudagar padi), maka bangunan lumbung ini dibangun dengan ukuran lebih besar dari lumbung yang lain. 1.Kelumpu 2.Kelingking 3 Jineng 4. Gelebeg Gambar 1 : Jenis bangunan lumbung arsitektur tradisional Bali Sumber, Agusta, http://www.lumbung arsitektur tradisional Bali .co.id. Diakses tanggal 29 Nopember 2012, jam15.00 WIB B. Tata letak bangunan lumbung pada pemukiman rumah tinggal masyarakat Bali. 10 Lumbung Bali menurut pedoman Asta kosala-Asta kosali-Asta gumi terletak di zona nista (Barat Daya untuk daerah Bali bagian selatan) dari pekarangan rumah tinggal tradisional Bali, tepatnya disebelah timur atau utara paon (dapur). Konsep tata letak ini mengikuti filosofi dan nilai fungsi bangunan. Sebagai bangunan yang berfungsi lebih profan dari bangunan lainnya, maka bangunan lumbung menempati zona nista. Bila ditinjau dari hubungan fungsi lumbung dengan bangunan sekitarnya maka lumbung sebagai gudang penyimpan bahan makanan sangatlah setrategis, dalam artian lumbung berdekatan dengan dapur yang merupakan tempat kesibukan ibu rumah tangga sehari-hari. Letak lumbung pada tata letak bangunan tradisional Bali Gambar 2: Bentuk pola tata ruang bangunan tradisional Bali Sumber, Buku Arsitektur rumah tradisional Bali Karangan Ngakan Ketut Acwin Dwijendra C. Konstruksi Sosial yang Mempengaruhi Perubahan Bentuk dan Fungsi Lumbung dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Bali. 1. Peran Institusi budaya Institusi budaya merupakan lembaga-lembaga yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang memiliki berbagai aturan atau ketentuan yang menuntun masyarakat kearah yang keberagaman tingkah laku sosial baik dalam kehidupan tradisi seperti aturan adat atau yang lainya. Institusi berasal dari bahasa Inggris “Institution”, dalam ilmu sosiologi dan antropologi disebut dengan perantara sosial, yaitu sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat-istiadat dan 11 norma yang mengatur tingkah laku dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai komplek kebutuhan manusia dalam masyarakat. Pranata berakar dari kebiasaan orang banyak yang kemudian berkembang menjadi ukuran-ukuran dan tumbuh matang berupa aturan-aturan atau perilaku tertentu. Institusi atau lembaga budaya yang terkait dengan kebutuhan lumbung dalam masyarakat Bali dapat dilihat dari peran serta lembaga pemerintah. Peran serta lembaga pemerintah Bali khususnya dinas pariwisata dan cagar budaya terhadap keberadaan arsitektur tradisional Bali khususnya arsitektur lumbung dewasa ini sangatlah besar karena berubahnya sistem kehidupan masyarakat dari pertanian ke industri pariwisata dan pekerjaan yang lain dari pertanian mengakibatkan kebutuhan akan fasilitas lumbung sebagai penyimpan padi tidak dibutuhkan lagi. Hal ini mengakibatkan bangunan lumbung pada arsitektur tradisional banyak yang terbengkalai dan tidak terawat karena fungsi utama sebagai tempat padi sudah tidak berjalan. Sekarang hanya berfungsi sebagai tempat ritual pemujaan Dewi Sri hanya sebatas sebagai simbolisasi saja dalam tradisi masyarakat Bali. Hal tersebut telah mempengaruhi fungsi lumbung itu sendiri. Memang tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan yang panjang, keberadaan lumbung dalam upacara ritual telah terkontaminasi oleh berbagai faktor sosial, seperti halnya faktor ekonomi, pilitik, pertumbuhan dan perkembangan anggota keluarga, desakan pariwisata dan lain sebagainya, yang mengakibatkan kaum petani menjadi berkurang. Mau tidak mau hal tersebut telah memaksa lembaga pemerintah maupun lembaga swasta yang merupakan bagian dari konstrusi sosial ikut serta dalam menjaga kelestariannya. Ibarat gayung bersambut, kesempatan tersebut dimanfaatkan lembaga pemerintahan dalam memajukan dan meningkatkan kesejahteraan perekonomian masyarakat dan pembangunan daerah. Atas dasar kesepakatan dan untuk kepentingan bersama maka dibangun lumbung-lumbung di kawasan pariwisata seperti di Sanur, Ubud, Kuta, dan lain sebagainya. Dibeberapa tempat, lumbung dijadikan sebagai tempat perhistirahatan untuk para turis yang datang berlibur ke Bali. Sebagai media promosi budaya lokal pada dunia Pariwisata, yang mana sebelumnya lumbung dikenal sebagai bangunan penyimpan padi atau gabah (bahan pangan). 12 Dalam menyikapi fenomena sosial yang akan terjadi akibat perubahan status dari lumbung sebagai bangunan sakral dalam adat menjadi lumbung sebagai bangunan penginapan untuk wisata, pemerintahan Bali bertindak dengan sangat fleksibel, dimana lumbung dikelola dengan fungsi ganda yaitu, sebagai acara ritual dalam memenuhi kebutuhan rohani kaum adat dan sebagai ajang promosi budaya lokal terhadap wisata dalam memenuhi kebutuhan fasilitas wisatawan dan investasi usaha melestarikan yang dilakukan oleh pemerintahan daerah. Hal ini sesuai dengan pendapat J. Maquet, dimana produk seni dapat dikelompokan kedalam dua kategori, 1) Produk seni yang tujuan pembuatannya untuk masyarakat yang mempunyai karya itu sendiri (art by destination), dalam hal ini kaum petani yang memiliki tradisi dan ahli dalam pembuatan bangunan lumbung. 2) Produk seni yang tujuan pembuatannya untuk masyarakat luar atau masyarakat asing (art by metamorphosis, art of acculturation atau pseudo-traditional art), dalam hal ini adalah masyarakat yang bergerak dalam industri pariwisata dengan mengangkat budaya budaya lokal/tradisi termasuk kaum investor pemilik modal dan kaum intelektual, dengan tujuan utamanya adalah wisatawan mancanegara dari dalam maupun luar negeri. Dengan demikian program pemerintahan dapat berjalan dengan baik sampai sekarang. Adapun realisasinya dalam kehidupan sosial masyarakat Bali dapat dilihat sekarang ini adalah, dimana lumbung yang awalnya sebagai bangunan sakral yang hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi dan tempat pesemayaman Dewi Sri sebagai simbol dewi kesuburan dalam upacara ritual unduh padi pada saat menaikan padi kedalam lumbung, namun sekarang upacara ini sudah jarang ditemui lagi pada masyarakat Bali, diakibatkan pergeseran sistem kehidupan dan pola mata pencaharian sebagian besar masyarakat berpindah dari bertani ke industri pariwisata mengakibatkan bidang arsitektur dan desain interior berkembang sejalan dengan tumbuhnya gaya hidup modern masyarakat untuk menata sendiri dekonstruksi rumah yang dapat mempersentasikan status sosialnya. Dengan lingkungan yang lebih besar terutama dalam pembangunan perkotaan, hotel, pusat bisnis, berbagai fasilitas umum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep bangunan arsitekturnya. Untuk menghindari terjadinya kepunahan dari arsitektur lumbung sebagai simbol dari 13 masyarakat yang agraris pada masyarakat Bali, bangunan lumbung pun dimunculkan sebagai bangunan penunjang industri pariwisata dengan memunculkan bentuk lumbung sebagai bangunan hotel, villa, restoran dengan memodifikasi dan merubah fungsi lumbung itu sendiri namun tidak menghilankan karakteristik dari lumbung itu sendiri dimana bangunan ini dimunculkan tidak lagi terikat dengan aturan-aturan ritual. Meskipun demikian arsitektur lumbung adalah hasil pekerjaan kolektif yang terbentuk atas pembagian kerja. Namun begitu, tidak dapat dipungkiri penampilan lumbung sebagai karya seni arsitektur dekoratif jauh berbeda dengan penampilan jenis seni rupa lainnya. Lumbung dalam penampilannya tidak dapat berdiri sendiri seperti halnya seni lukis atau seni kriya, yang hanya dipajang di galeri-galeri ataupun di musium-musium, akan tetapi penampilan lumbung hampir sama dengan lumbung yang ada dalam upacara ritual, yaitu lumbung dibangun dengan bentuk yang sama namun karena berrubahnya fungsi dari lumbung itu sendiri tentunya adanya penambahan fasilitas baru dalam bangunan lumbung itu sendiri sesuai dengan aktifitas yang akan berlangsung didalam lumbung itu sendiri,seperti halnya dalam sebuah villa arsitektur lumbung dibangun sebagai kamar istirahat untuk turis wisatawan yang menginap tentu harus di dukung dengan adanya penambahan fasilitas tempat tidur, almari penyimpanan, penambahan ruang santai dan toilet sebagai ruang kebutuhan kebersihan sangat diperlukan. Lumbung ini dibangun dengan berbagai fasititas seperti di atas bertujuan untuk membangun suasana yang unik yang tidak didapatkan oleh wisatawan di tempat asalnya atau di tempat yang lain. Bentuk lain akibat peran serta industri budaya dalam fungsi yang lain lumbung berubah fungsi sebagai Cottage, Artshop, dan Museum sebagai bentuk inovasi lain dari lumbung pada umumnya hampir sama. Semua itu hanya dibedakan oleh kebutuhan fungsi dan tuntutan ruang. Pelaku aktivitas yang memilih ruang dengan bentuk bangunan lumbung sering dilatarbelakangi oleh daya tarik perwujudannya. Lama kelamaan, fenomena ini merupakan salah satu dasar pemilihan wujud bangunan tradisional sebagai bentuk bangunan komersil, seperti cottage berbentuk lumbung sebagai salah satu fasilitas akomodasi pariwisata. Berkaitan dengan tujuan pariwisata di Bali, yaitu 14 pariwisata budaya, maka pemilihan bentuk bangunan ini sesuai dengan selera wisatawan. Dengan tarif sewa yang tidak terlalu mahal, bentuk ini memiliki nilai privasi yang kuat, dan menjawab tuntutan wisatawan yang menyukai suasana ketenangan, santai dan kesendirian. Jenis- jenis cottage berbentuk lumbung banyak terdapat di Sanur dan Kuta. Cottage berbentuk lumbung sering dimodiļ¬kasi menjadi bangunan rumah kebun. Terkadang ditambah dengan teras menjorok ke luar di bagian badan sehingga memungkinkan adanya ruang tambahan untuk berjemur. Penambahan tangga langsung menuju bagian badan lumbung bertujuan untuk memudahkan si pemakai menuju ruang utama. Ruang ini berada di bagian badan sampai atap. Pada umumnya daya tarik lumbung, selain bentuknya yang menyerupai wujud rumah panggung, perwujudan lumbung pada bagian atapnya merupakan bentuk dengan daya tarik tersendiri yang sangat mendukung. Bentuk bangunan ini sering menjadi bentuk atap bangunan artshop yang menjual barang-barang antik, termasuk bangunan lumbung untuk museum. Lumbung berubah fungsi sebagai ruang musik atau ruang santai keluarga lumbung dengan bentuk ruang yang bertingkat ruang bagian bawah dan ada ruang bagian atas. Dalam perubahan fungsi lumbung ruang atas sebagai ruang musik, dimana ruang atas pada awalnya difungsikan sebagai tempat penyimpanan padi dimanfaatkan menjadi ruang untuk mendengarkan musik serta ruang tidur sementara. Untuk naik ke lantai atas yang difungsikan sebagai ruang musik, pintu masuk dibuat tidak mengikuti pola pintu masuk lumbung tradisional Bali. Pintu masuk diubah pada bagian samping dibuatkan tangga yang permanen tidak seperti lumbung yang dahulu dengan tangga naiknya dibuat secara terpisah. Struktur atap dibuat lebih tinggi dari lumbung tradisional dengan maksud agar ruangan lebih leluasa dapat dimanfaatkan secara maksimal sebagai ruang tempat mendengarkan musik keluarga. Secara vertikal ruang pada bagian atap dibuat bertingkat di atas ruang musik dapat juga dipakai ruang tidur sementara. Untuk menerangi ruangan ini, pada sisi atap depan dan belakang dibuat jendela yang sejajar dengan tingkatan lantainya. Atap depan dan belakang dibuat bertingkat mengikuti tingkatan ruangan secara vertikal. Sebagai pelindung dari terpaan angin, sinar matahari tropis di siang hari dan hujan yang berkepanjangan pada akhir tahun. Lumbung ini berubah fungsi 15 akibat terjadinya kebutuhan yang bertambah akan hunian akibat adanya pengaruh budaya barat seperti medengarkan musik bersantai yang diadopsi dari budaya barat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dan tanpa mengabaikan budaya lokal dan terbatasnya lahan akibat pertambahan populasi. Sebagai salah satu contoh ditemukan lumbung sebagai ruang santai dan ruang musik di daerah perkampungan Ubud Bali. Bentuk lain akibat peran serta istitusi budaya dalam fungsi yang lain, lumbung diguankan sebagai pos jaga, tugu, dan papan nama perwujudan lumbung banyak pula dipakai sebagai bangunan pos jaga atau poskamling di perbatasan desa, sebagai pos jaga pintu air dan sebagai pos jaga polisi. Bangunan ini sering mernpunyai beberapa fungsi, baik untuk pelaku aktivitas utama di dalamnya maupun pihak yang terkait atau berkepentingan. Fungsi tersebut dapat dirinci sebagai berikut: bagi pihak sponsor perwujudan bangunan ini dapat dipakai sebagai tempat promosi perusahaannya, fungsi utama dipakai sebagai pos penjagaan, bagi pemerintah dan masyarakat, keberadaan pos jaga merupakan sarana untuk mempopulerkan lambang daerahnya, sekaligus merangsang munculnya bentuk-bentuk alternatif lain dari bangunan lumbung. Lumbung juga lmenjadi inspirasi bentuk dasar bangunan tugu pembatas daerah dan papan nama. Bangunan ini berfungsi sebagai pembatas desa, kecamatan, kabupaten dan papan nama fasilitas umum, misalnya restoran. Perwujudannya hanya mengambil kontur dari struktur bentuk lumbung. Sedangkan pemilihan bahan, warna, konstruksi dan elemen lainnya disesuaikan dengan selera pembuat atau pemiliknya. Sebagai daya tarik yang unik untuk menarik konsumen atau wisatawan datang ketempat tersebut. Sebagai ikon budaya kota pertanian dengan simbol-simbol yang mencerminkan kepribadian masyarakat Bali selain menvisualisasikan pesan-pesan tertentu dalam bahasa ungkapan tiga dimensional, juga untuk memenuhi tuntutan pelestarian bangunan tradisi di era modern sehingga menjadikan lumbung sebagai fungsi untuk memberikan kepuasan emosional dalam sejarah bangsa. 2. Peran Undagi dan Arsitek Bila ditinjau kembali sejarah mengenai asal-usul upacara ritual unduh padi dalam masyarakat Bali , terlihat dengan jelas, bahwa ritual unduh padi merupakan budaya Hindu yang diselenggarakan 16 dalam rangka memperingati peristiwa menaikan padi sebagai simbol penghormatan pada Dewi Sri sebagai dewi kesuburan dengan harapan hasil panen agar tetap berlimpah pada musim yang akan datang. Budaya tersebut membaur dengan budaya masyarakat Bali yang memiliki adat-istiadat yang kuat ini terbukti dengan adanya upacara unduh padi yang menjadi tradisi masyarakat Bali sampai sekarang sebagai daya tarik wisatawan dan objek lumbung adalah sebagai simbol budaya pertanian. Menurut Gelebet (1984), Undagi berasal dari kata “u-nda-gi “ dimana u artinya Shiwa, nda artinya pangkal, gi artinya tubuh, ia yang berbadan utamalah undagi, dan undagi-lah yang diperkenankan membuat gegulak (alat ukur dalam arsitektur tradisional bali). Sebagaimana kita ketahui gegulak sebagai sikut atau ukuran dipergunakan untuk ukur mengukur dalam hal membangun karya arsitektur, sehingga seorang undagi adalah arsitek. Namun yang membedakanya hanya dari latar belakang pendidikannya saja. Arsitek menghasilkan karya arsitektur, dan dalam Laporan Mahasiswa Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia (1983), pengertian arsitektur (bhs. Yunani : arkhe berarti yang asli, awal, utama, otentik; tektoon berarti berdiri stabil, kokoh, stabil statis; dan arkhitektoon berarti pembangunan utama, tukang ahli bangunan). Menurut Robi Sularto (1974), arsitektur dalam pengertian umum adalah tata ruang-waktu dari lingkungan hidup manusia, baik individu maupun masyarakat keseluruhan. Dengan demikian, karya arsitektur adalah tata ruang, waktu tempat hidup dan kehidupan manusia yang secara bijak memperhitungkan unsur materiil dan imateriil dalam hirarkhi tatanan nilai. Undagi atau arsitek masing-masing memiliki keahlian dalam rancang bangun dan sangat fasih mewujudkan tata nilai pada karya arsitekturnya. Undagi bila dilihat dalam proses menghasilkan karya arsitektur, mereka bekerja dimulai dengan menghadirkan gegulak terkait dengan hari baik (dewasa ayu) dengan segala upakara dan upacaranya melalui proses awal dengan dihidupkan (dipasupati), dan dimusnahkan (diprelina) sesudah selesai digunakan. Undagi berkreasi atas dasar gegulak dalam bangun membangun lumbung, perumahan dan lingkungannya. Menurut Purwita (1984), sebelum melaksanakan profesinya terlebih dahulu patut menyucikan diri dengan melakukan upacara Mawinten Triguna, dan pada waktu 17 mendirikan bangunan lumbung ia harus mendirikan sanggah dan diisi banten pejati dihaturkan kepada Bhagawan Wiswakarma sebagai gurunya undagi. Semua alat-alat kerja diberi banten segehan, sepertialat untuk mengukur atau meteran) dan lain-lainnya. Dalam proses berkarya dalam pembangunan lumbung berangkat dari keagamaan (Hindu) melalui pendekatan nyata (sekala) dan spiritual (niskala). Proses pendidikan seperti ini tentunya berbeda dengan pendidikan seorang arsitek yang berangkat dari mendapatkan pengetahuan lewat pendidikan formal dengan kurikulum yang pasti, sedangkan undagi berpegang pada pendidikan informal dengan pengetahuan yang terhampar dalam berbagai lontar. Pola pendidikan ke-undagi-an yang demikian memberikan nilai-nilai taksu (inner power) dan kekhusukan dalam mewujudkan tata nilai bangunan lumbung dan lingkungan dalam tatanan berkonotasi dualistis antara pertimbangan sakral dan profan dalam pembentukan sikap dan tingkah laku dengan tujuan materiil (jagadhita), dan imateriil (moksartham). Keunggulan suatu karya undagi ditentukan oleh pemaknaan dan taksu yang sarat filosofi, konsepsi dan pengalaman seni membangun, melalui pendekatan nyata dan tidak nyata. Keterbatasanya, sering terbelenggu karena hanya mematuhi kaidah-kaidah dan pakem-pakem tradisi yang takut dilanggar karena terkena timpaan sangsi sosial dan spiritual. Dengan demikian, fungsi dan peran undagi dalam melahirkan karya arsitektur adalah serupa dengan arsitek kendatipun belum tentu dapat disetarakan. Dengan demikian, Peran seorang undagi dan arsitek dalam proses pengembangan arsitektur terutama lumbung. Seorang undagi masih mempertahankan tradisi dalam proses pembangunan lumbung, namun berbeda dengan seorang arsitek dalam pembangunan lumbung arsitek sudah melepaskan diri dari aturan tradisi hanya berpedoman pada ilmu pasti yang menjadi faktor penyebab berubahnya bentuk lumbung dan fungsi lumbung pada arsitektur tradisional Bali karena adanya tuntutan dari industri pariwisata dalam wujud lumbung sebagai hotel, penginapan, villa, restoran,tapal batas daerah,dan sebagai fasilitas penunjang pariwisata lainnya karena karakternya yang unik. Perubahan bentuk tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini: 3. Peran masyarakat 18 Objek sosiologi adalah masyarakat, yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia dengan alam dan proses yang timbul dari hubungan manusia di alam menimbulkan mata pencaharian dalam masyarakat. Mata pencahaian ini pun meyesuaikan dengan kondisi alam dimana masyarakat itu berada dan akan berangsur- angsur bergeser apa bila terjadi perubahan struktur sosial dan perubahan dari lingkungan masyarakat itu sendiri, Bali sebagai salah satu contoh dengan arsitektur lumbungnya sebagai tanda masyarakatnya sebagai petani, namun seiring perjalanan waktu bergesernya lapangan pekerjaan yang digeluti oleh penduduk Bali mata pencaharian yang semula adalah bertani berubah menjadi pelaku industri pariwisata yang mengakibatkan berkurangnya fungsi lumbung di Bali. Sedangkan masyarakat perkotaan yang menggeluti pertanian karena semakin sempitnya lahan, banyak juga yang merubah fungsi lumbung di pekarangan mereka. Kendati demikian dukungan peran masyarakat akan bangunan lumbung tetap antusias sebagai usaha pelestarian budaya walau dengan fungsi yang sudah berubah disesuaikan dengan kebutuhan mereka saat ini namun keunikan arsitektur lumbung Bali tidak lah pudar begitu saja banyak dari mereka yang terjun ke industri pariwisata memanfaatkan bentuk lumbung sebagai bangunan hotel, restoran. Sebagai contoh dapat dilihat pada hotel di kawasan Sanur Bali yang membuat sebagian hotelnya dengan mengembangkan arsitektur lumbung menjadi kamar yang mereka bernama Club Lumbung. Selain itu ada pula lumbung dengan fungsi yang berbeda dengan membangun kembali di halaman hotel yang berfungsi sebagai tempat duduk bagi pengunjung yang datang ke hotel. Ada juga peran masyarakat membangun tokonya dengan mengembangkan bentuk unik dari lumbung, bisa dilihat beberapa jalan di kawasan wisata di Bali. Sebagai peran masyarakat dalam mempekenalkan lumbung Bali banyak pengusaha furniture yang membuat bangunan lumbung dengan sistem knock donw untuk dipasarkan keluar negeri sebagai salah satu produk ekspor. Sebagai wujud perkembangan fungsi arsitektur lumbung dalam arsitektur tradisional Bali, dimana keberadaan lumbung merupakan bangunan yang unik dan berkarakter sebagai arsitektur kebanggaan di kalangan masyarakat pendukungnya dalam perjalanannya. 19 KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lumbung merupakan karya arsitektur tradisional yang mampu masuk dalam industri pariwisata akibat adanya peran dari masyarakat sebagai usaha mempertahankan bangunan tradisional. Kemunculan lumbung dalam industri pariwisata merupakan akibat dari proses sosial, melalui proses peralihan budaya bertani ke industri pariwisata sebagai upaya mempertahankan wujud pelestarian lumbung. Terjadinya perubahan bentuk dan pergeseran fungsi pada lumbung, dipengaruhi oleh konstruksi sosial yakni, lembaga pemerintah, Undagi dan arsitek serta masyarakat pendukung. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut: Peran serta lembaga pemerintah terhadap keberadaan lumbung sangat jelas terlihat dengan munculnya lumbung sebagai bangunan pendukung industri pariwisata, dimana perwujudannya tetap dipertahankan sebagi usaha pelestarian bangunan arsitektur tradisional Bali. Lumbung sebagai bangunan pendukung fasilitas wisatawan, penampilan wujudnya lebih mengutamakan nilai estetik dari pada nilai sakralnya. Dengan munculnya penampilan lumbung dengan bentuk dan berubah fungsi sebagai bangunan kamar hotel, banguan artshop, museum, tapal batas dan lainnya sebagai. Undagi adalah arsitek dan arsitek belum tentu undagi, mereka sama-sama memiliki kemampuan ipteks, namun pola pendekatan supernatural yang penekanannya berbeda. Undagi memiliki kemampuan yang lebih statis karena berangkat dari pendidikan informal yang terikat pada kaidah-kaidah tradisi yang telah mapan. Kendatipun demikian kinerja undagi memiliki fungsi dan peran dalam rancang bangun perumahan,terutama lumbung dalam lingkungannya dengan mengungkapkan filosofi dan konsep serta aturan-aturan tradisi dalam rancang bangun lumbung, sebagai kegiatan pembangunan, sosial, ekonomi, dan budayanya serta ikut berperan sebagai perantara diantara pelaku pembangunan untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi serta bertolak dari pendekatan yang bertumpu pada komunitas sebagai pendamping dan penggerak masyarakat dalam pembangunan informal sesuai latar belakang pendidikannya. Berbeda dengan seorang arsitek. Arsitek dalam hal ini memiliki peran sangat kuat atas terjadinya perubahan fungsi lumbung. Peran arsitek dalam perancangan lumbung tidak lagi sebagai undagi yang secara kosmologis punya wewenang 20 untuk mengubah kosmos dengan memandang arsitektur sebagai model surgawi (indah), tidak sebagai seorang master builders yang individualistis terhadap kreatifitas rancangannya semata, melainkan lebih sebagai seorang fasilitator dengan gagasan-gagasan yang lebih demokratis. Seorang arsitek dengan kepekaannya untuk merepresentasikan identitas lokal dengan pengembangan arsitektur tradisional lumbung Bali sebagai bangunan yang berfungsi sebagai pendukung industri pariwisata disebabkan tidak berfungsinya lumbung secara maksimal akibat perubahan dari mata pencaharian masyarakat dari bertani beralih ke industri pariwisata. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya upaya pelestarian bangunan lumbung tidak hilang atau punah dari kehidupan masyarakat Bali. Perubahan bentuk dan bergesernya fungsi lumbung dari bangunan sakral menjadi bangunan komersil, tidak lepas dari peran serta masyarakat dengan tetap berjalan beriringan lumbung dengan fungsi kesakralannya masih tetap terjaga sebagai tradisi ritual dalam masyarakat sebagai usaha pelestarian budaya. Lumbung dengan fungsi yang berubah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat saat ini sebagai fasilitas penunjang pariwisata dengan wujud lumbung sebagai hotel, kamar penginapan, restoran, dan lain sebagainya hanya sebagai pendukung usaha peningkatan faktor ekonomi dalam masyarakat Bali. Gambar 3 : Bentuk lumbung sebagai hotel penginapan Sumber : Foto Penulis. 21 Gambar 4 : Bentuk lumbung sebagai tempat istirahat Sumber, Dokumen Penulis KEPUSTAKAAN Zolberg, Vera L. (1990), Constructing A Sociology of The Arts. York.New : Cambridge University Press. Gelebet, I Nyoman. 1984. Arsitektur Rumah Tradisional Bali. Penerbit Departeme Pendidikan Dan Kebudayaan Dwijendra, Ketut Acwin.2008. Arsitektur Rumah Tradisional Bali. Denpasar: Penerbit Udayana University Press. Robi Sularto, 1974. Arsitektur Tradisional Bali dan Permasalahannya, Denpasar: Building Information Centre, Dit Jen. Cipta Karya, Dep. PUTL. Nadia I Ketut, I Nyoman Prastika. 2008. Arsitektur Rumah Tradisional Bali. Penerbit UNHI, Widya Dharma. Bali Maryadi. 2000. Transformasi Budaya. Penerbit Universitas Muhammadyah Surakarta Holt, Claire, (1967), Art in Indonesia: Continuities and Change atau Melacak jejak GLOSARIUM Area Bale Banjar Bhur, bhuwah, swah Dewasa ayu Gegulak Jagaditha Kaje Kandik, timpas, pahat, Lumbung Mawinten Moksatham Niskala Subak Sekale = Batas lingkungan = Bangunan terbuka dari bambu atau kayu = Organisasi kemasyarakatan di Bali = Pembagian tiga lapisan jagat, yaitu bawah, tengah dan atas = Hari Baik = Alat ukur bangunan tradisional Bali = Masi terikat dengan material keduniaan = Utara = Alat-alat pertukangan Bali = Tempat Penyimpan Padi = Penyucian diri = Terbebas dari ikatan material keduniaan = Dunia tidak nyata / Alam neraka dan Surga = Organisasi penggarap sawah/petani di ali = Dunia nyata alam ini 22 Sikut Undagi Utamaning nista Upakara Pasupati Pralina = Ukuran Bali = Tukang bangunan tradisional Bali = Area utama pada area terbawah = Prosesi aturan acara sacral = Di beri Roh = Diancurkan 23