PERUBAHAN STRUKTUR PADA TIGA KELUARGA TKI DILIHAT MELALUI HUBUNGAN EMOSIONAL ANTAR PERSON DALAM HAL SOSIALISASI PEMILIHAN PEKERJAAN DI DESA NUNUK, KECAMATAN LELEA, KABUPATEN INDRAMAYU Puspita Dwi Permatasari, Endang Partrijuniarti Gularso Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ABSTRAK Tulisan ini merupakan uraian tentang perubahan struktur yang sedang terjadi dalam keluarga TKI di Desa Nunuk. Perubahan struktur ini dilihat melalui hubungan emosional yang terjalin baik dengan sesama anggota keluarga, maupun dengan pihak asing, yang sering disebut sebagai “orang tua angkat”. Hubungan emosional terjalin karena adanya sosialisasi pemilihan pekerjaan dalam keluarga TKI di Desa Nunuk yang ternyata melibatkan berbagai pihak di dalamnya, termasuk pihak orang tua angkat tersebut. Dinamika yang terjadi pada hubungan-hubungan emosional ini pada akhirnya dapat menunjukkan gejala perubahan dalam keluarga TKI di Desa Nunuk. Data-data yang digunakan dalam tulisan ini diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi terlibat dengan para informan. Kata Kunci : Perubahan Struktur, Hubungan Emosional, Keluarga, Sosialisasi, Struktur, Tenaga Kerja Indonesia. ABSTRACT This thesis is aimed to describe the change of structure in Migrant Worker’s Family at Nunuk Village. The change is seen through connected-emotional relationship among the member of the family, and also the outsiders, which is called “Step-Parents”. The emotional relationship is connected as the effect of jobchoosing socialization in migrant worker’s family which involved other people, such as the “StepParents”. Finally, this emotional relationship showed the change of structure in migrant worker’s family. The research was conducted in Nunuk Village, to collect the data, the researcher used in-depth interviews and participant observations by performing daily activities with them. Keywords : Change of Structure, Emotional Relationship, Family, Indonesian Migrant Workers, Socialization. Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 PENDAHULUAN Tenaga Kerja Indonesia saat ini memang didominasi oleh kaum perempuan. Perempuan banyak menjadi Tenaga Kerja Indonesia Wanita (TKIW) di luar negeri karena perempuan memegang peran penting dalam migrasi internasional dengan banyaknya jumlah mereka, dan kontribusi mereka secara ekonomis dan kehidupan sosial bagi negara pengirim dan penerima (Soeprobo&Wiyono, 2006 :119). Di tahun 1998 dan 1999, para imigran yang bekerja di luar negeri paling banyak bekerja di bidang komunitas, sosial, dan asisten rumah tangga, di mana kebanyakan yang bekerja di bidang ini merupakan pekerja perempuan (Soeprobo&Wiyono, 2006:120). Maka dari itulah, saya lebih memilih menggunakan istilah “Tenaga Kerja Indonesia” dibanding istilah “Tenaga Kerja Wanita”, karena memang semata-mata hanya permasalahan ketersediaan lowongan kerja. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sudah lama menjadi permasalahan yang banyak disorot oleh berbagai pihak. Berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan sudah banyak mengangkat isuisu yang terkait dengan Tenaga Kerja Indonesia dengan segala permasalahannya. Dari sudut pandang hukum ketenagakerjaan, menurut Agusmidah, Tenaga Kerja Indonesia sangat rentan dijadikan sebagai korban perdagangan manusia. “Negara Indonesia lebih dari satu dekade ini telah menjadi negara pemasok tenaga kerja terbesar kedua di dunia setelah Filipina. Sekitar 72 persen pekerja migran tersebut berjenis kelamin perempuan. Tenaga kerja asal Indonesia itu, 90 persennya bekerja sebagai pekerja rumah tangga di negara Malaysia, Singapura, Hongkong,Taiwan, Korea Selatan, dan Timur Tengah.Dengan demikian perdagangan tenaga kerja perempuan dan anak sangat mungkin dialami warga negara Indonesia .” (Agusmidah, 2005 : 3). Lebih lanjut ada pula penelitian tentang TKI dari perspektif ilmu administrasi Negara. Dalam penelitian ini, digambarkan bahwa permasalahan yang dihadapi TKI lebih kompleks karena para TKI harus menghadapi permasalahan di dalam dan di luar negeri. “Dalam berbagai literatur tentang migrasi, dikemukakan bahwa aktivitas migrasi disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor pendorong (push factor) di daerah asal (dalam negeri) dan faktor penarik (pull factor) di daerah (negara) tujuan. Dari beberapa hasil penelitian, faktor pendorong utama adalah ekonomi. Pada umumnya para TKI berasal dari keluarga miskin. Kondisi tersebut didukung sangat terbatasnya peluang kerja di pedesaan dan rendahnya upah kerja di pedesaan, terlebih bagi kaum perempuan. Persoalan-persoalan yang dialami di luar negeri jauh lebih ringan dibandingkan yang dialami oleh para TKI yang diberitakan oleh media masa. Dari semua informan dalam penelitian ini tidak ada yang mengungkapkan mengalami kekerasan dalam arti penyiksaan. “ (Caturiani, Meiliyana, Ma’arif, 2012 : 6). Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 Merupakan hal yang sangat lumrah didengar bahwa TKI sangat erat kaitannya dengan permasalahan kesejahteraan dan keselamatan. Selain itu, permasalahan yang saya rasa juga menarik untuk ditelaah dari berbagai macam problematika TKI tersebut adalah permasalahan yang dihadapi oleh keluarga TKI. Keluarga adalah sebuah unit sosial yang dikarakteristikan dengan pengaturan ekonomi, manajemen reproduksi dan pengasuhan anak, dan tinggal di tempat yang sama. Seluruh anggota keluarga, baik dewasa dan anak-anak secara sadar memiliki hak dan kewajiban satu sama lainnya. (Ferraro,2004 :195). Sedangkan apa yang dimaksud dengan keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak mereka, keluarga inti dibentuk dengan hubungan darah atau perkawinan (Ferraro, 2004 :215). Bekerja sebagai TKI di luar negeri memang awalnya dimotivasi untuk memperbaiki kehidupan ekonomi di dalam sebuah keluarga, namun secara tidak sadar, dengan meninggalkan keluarga, khususnya keluarga inti dalam waktu yang lama akan menimbulkan masalah lain. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa seluruh anggota keluarga, baik dewasa dan anakanak memiliki hak dan kewajiban satu sama lain. Jika dalam hal ini yang pergi meninggalkan keluarga adalah salah satu orang tua, baik ayah maupun ibu, maka hak dan kewajiban orang tua otomatis tidak dijalankan dalam waktu yang relatif lama. Seperti yang dijelaskan oleh Cherlin (2002) tentang hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya, maka secara garis besar terdapat tiga hal yang harus dilakukan orang tua kepada anakanaknya. “Pertama dan yang paling penting, orang tua, dan terkadang kerabat lain memberikan sebagian besar cinta, pengasuhan, dan perhatian yang dibutuhkan oleh anak-anak dalam rangka mengembangkan rasa percaya kepada manusia lain. mereka juga melatih anak-anak yang masih kecil keahlian agar mereka lebih mandiri, seperti berjalan, memakai baju, dan makan sendiri. Selanjutnya mereka memberikan pengarahan, dukungan dan disiplin agar anak-anak mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Dengan kata lain, anggota keluarga menyosialisasi anak-anak mereka. Tentu saja keluarga adalah tempat utama dalam sosialisasi yang mendasar – berbagai pengaturan awal bagi anak untuk mempelajari tentang masyarakatnya.” (Cherlin, 2002 : 318). Dalam rangka menjalankan hak dan kewajiban orang tua, maka orang tua harus menunjuk satu pihak untuk menggantikan mereka menjalankan perannya di rumah. Orang tua yang bekerja demi memenuhi kebutuhan ekonomi harus mencari cara agar kebutuhan-kebutuhan serta peran dan status mereka di dalam keluarga tetap berjalan, meskipun mereka sedang berada di luar negeri. Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 Salah satu kewajiban orang tua di dalam keluarga adalah melakukan sosialisasi kepada anak-anak mereka. Dalam hal ini sosialisasi yang dimaksud adalah sosialisasi pemilihan pekerjaan kepada anak mereka. Di dalam keluarga TKI di Desa Nunuk, anak-anak diharapkan untuk memiliki pekerjaan dengan penghasilan tetap dan tidak bergantung pada musim tanam dan panen. Agar sosialisasi ini dapat berjalan selama orang tua bekerja di luar negeri, maka orang tua membuat kesepakatan dengan saudara sekandung ibu untuk mengasuh serta menggantikan posisi mereka sebagai agen sosialisasi bagi anak. Penelitian yang dilakukan oleh Harmona Daulay tentang keluarga TKW di Rawamarta yang menunjukan adanya siklus antara ibu dan anak. Siklus ini menggambarkan adanya fakta bahwa pendidikan TKW pada umumnya rendah dan berkorelasi dengan pendidikan anak mereka yang rendah (Daulay, 2001 :78). Hal ini disebabkan karena adanya pengharapan bahwa anak perempuan mereka akan menggantikan ibunya sebagai TKW di luar negeri. Pengabdian anak perempuan kepada keluarganya memperlihatkan anak sebagai suatu komoditi (Daulay, 2001 :31). Hal ini ternyata tidak terjadi di Desa Nunuk. Meskipun memang mayoritas anak-anak TKI di Desa Nunuk diminta untuk bekerja sebagai TKI, namun saya menemukan bahwa ada beberapa anak yang justru memilih untuk tidak bekerja sebagai TKI dan melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar beberapa anak ini memiliki pekerjaan tetap dengan penghasilan yang lebih baik dibandingkan bekerja sebagai TKI. Selain itu, memiliki pekerjaan selain TKI juga tidak mengharuskan untuk meninggalkan keluarga mereka ke luar negeri, sehingga mereka dapat menjalin hubungan emosional dengan anak-anak mereka kelak. Nampaknya anak-anak ini memiliki orang tua angkat yang ikut mengasuh mereka pada saat orang tua kandung mereka bekerja di luar negeri. Hal ini perlu diteliti lebih dalam karena kehadiran orang tua angkat tidak hanya sekedar mempengaruhi tingkat pendidikan, tapi juga menanamkan nilai-nilai tertentu melalui sosialisasi. Sosialisasi yang dilakukan orang tua angkat dilakukan bersamaan dengan sosialisasi orang tua kandung, dan kerabat yang menggantikan orang tua kandung. Dalam menjalani proses sosialisasi inilah para anggota keluarga TKI di Desa Nunuk pada akhirnya menjalin hubungan emosional satu sama lain, baik dengan anggota keluarga kandung maupun pihak orang tua angkat. Hubungan-hubungan yang terjalin inilah yang menjadi acuan untuk melihat gejala perubahan struktur yang terjadi di dalam keluarga. Gejala-gejala perubahan ini dapat diidentifikasi melalui apa yang disebut oleh Clifford Geertz dengan kontinuitas antara logico Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 meaningful dan causal functional. Gejala perubahan dapat dilihat ketika ada diskontinuitas antara ranah kultural dan ranah struktur sosial dalam melihat satu fenomena. Dalam hal ini gejala-gejala perubahan yang ada akan diidentifikasi melalui hubungan emosional antar person dalam rangka sosialisasi pemilihan pekerjaan. Gejala perubahan inilah yang menurut saya menjadi forshadowed problem jika kita membicarakan soal Tenaga Kerja Indonesia, khususnya yang ada di Desa Nunuk.. Oleh karena itu, penelitian ini berfokus kepada keluarga Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ada di Desa Nunuk. TINJAUAN TEORITIS Keluarga Pertama saya akan menjelaskan apa yang saya maksud dengan keluarga. Di sini saya akan membahas keluarga sebagai sebuah institusi sosial. Penjelasan keluarga sebagai sebuah institusi dapat menjembatani kepada penjelasan mengenai struktur keluarga yang akan dibahas kemudian. Institusi sosial merupakan seperangkat peran dan aturan yang menggambarkan sebuah unit sosial, dan sumbangsihnya kepada masyarakat. Peran-peran itu memberikan posisi seperti orang tua, anak, pasangan, mantan pasangan, ayah tiri, teman hidup, dan selanjutnya (Cherlin, 2002 : 16). Keluarga sebagai sebuah institusi sosial berarti sebuah perangkat peran dan aturan di mana setiap anggotanya harus menjalankan peran dan aturan tersebut. Institusi keluarga di masyarakat merupakan pola-pola dari perilaku yang anggota keluarganya diharapkan akan tunduk dalam hubungan satu sama lain (Radcliffe-Brown, 1958: 174-175). Anggota keluarga TKI di Desa Nunuk diharapkan berperan sesuai dengan posisi mereka. Sebagai sebuah institusi, keluarga TKI di Desa Nunuk memiliki seperangkat aturan dan peran, dan setiap anggotanya harus mematuhi perangkat aturan dan peran tersebut. Pola-pola perilaku setiap anggota keluarga TKI di Desa Nunuk sudah diatur dalam institusi keluarga mereka. Misalnya saja keluarga TKI di Desa Nunuk sudah mengatur tentang sosialisasi pemilihan pekerjaan dalam keluarga mereka, sehingga seluruh anggota keluarga TKI di Desa Nunuk diharapkan berperilaku untuk mematuhi dan menjalani seperangkat peraturan yang ada sehubungan dengan sosialisasi pemilihan pekerjaan di dalam keluarga TKI Desa Nunuk. Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 Sudah dijelaskan bahwa keluarga sebagai sebuah institusi memiliki seperangkat aturan yang harus dijalankan sesuai dengan peran anggota keluarga masing-masing. Jika kita membicarakan tentang peran, maka kita harus terlebih dahulu membicarakan tentang status, karena keduanya saling berhubungan. Status adalah kumpulan hak dan kewajiban. Seseorang yang memiliki status tertentu maka akan memiliki seperangkat hak dan kewajiban tertentu. Status terbagi dua yakni ascribed (dibawa sejak lahir) dan achieved (diperoleh dengan usaha). Peran adalah tindakan yang dilakukan untuk menghadapi status-status orang lain, atau sesuai dengan status tertentu (Linton, 1971 : 291-291). Sehubungan dengan sosialisasi pemilihan pekerjaan dalam keluarga TKI di Desa Nunuk, seperangkat peran dan status tersebut mengatur tentang bagaimana sosialisasi pemilihan pekerjaan itu dapat berjalan. Anggota-anggota keluarga TKI di Desa Nunuk diharapkan untuk berperilaku sesuai dengan aturan-aturan dan peran-peran yang sudah diatur dalam institusi keluarga TKI di Desa Nunuk sehubungan dengam sosialisasi pemilihan pekerjaan. Menurut Talcott Parsons (1956), fungsi utama dan mendasar dari keluarga ada dua : pertama sosialisasi primer bagi anak-anak mereka, sehingga mereka benar-benar menjadi anggota masyarakat tempat mereka dilahirkan, kedua, stabilisasi kepribadian orang dewasa di dalam masyarakat. Kombinasi dari kedua fungsi ini menghasilkan gambaran “normal” tentang keluarga (Parsons, 1956 :17). Agar keluarga TKI di Desa Nunuk dapat memberikan gambaran “normal” tentang keluarga, maka keluarga TKI di Desa Nunuk menjalankan sosialisasi pemilihan pekerjaan kepada anak-anak mereka. Hal ini dimaksudkan agar seperangkat aturan dan peran di dalam keluarga TKI sebagai sebuah institusi dapat terus berjalan. Di Desa Nunuk sendiri, gambaran “normal” tentang keluarga TKI berarti memiliki orang tua yang bekerja sebagai TKI, sedangkan anak-anak mereka dititipkan kepada saudara sekandung ibu. Anak-anak diharapkan untuk memilih pekerjaan sebagai TKI atau dengan kata lain mengikuti jejak orang tua mereka. Inilah yang saya maksud dengan institusi keluarga TKI di Desa Nunuk yang didalamnya memiliki seperangkat aturan dan peran. Aturan-aturan dan peranperan di dalam sebuah intitusi keluarga mencakup penjabaran yang sangat luas tergantung dari sisi mana saya akan membahasnya. Misalnya pembahasan terkait dengan pengasuhan anak akan menggambarkan perangkat peran dan aturan yang berbeda dengan pembahasan mengenai ekonomi dalam keluarga. Maka dari itu, saya membatasi seperangkat aturan dan peran ini dalam Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 hal sosialisasi pemilihan pekerjaan. Lebih lanjut saya akan menjelaskan apa yang saya maksud dengan sosialisasi. Sosialisasi Pertama, yang perlu ditegaskan di sini adalah pentingnya untuk membedakan antara pembelajaran mengenai enkulturasi dengan sosialisasi. Seringkali kita terjebak untuk menyamaratakan arti dari kedua hal tersebut karena kesulitan untuk membedakannya melalui definisi-definisi yang ada. Enkulturasi berarti serangkaian proses dalam mempelajari budaya dengan segala keunikan dan kekhasannya. Sedangkan sosialisasi adalah seperangkat nilai-nilai pasti yang dibutuhkan dan dibuat oleh manusia, untuk manusia sendiri. Menurut Margaret Mead, Sosialisasi adalah pembelajaran sebagai proses yang universal. Sedangkan enkulturasi adalah kata yang lebih spesifik, yakni sebagai sebuah proses pembelajaran kebudayaan yang dilakukan pada suatu masyarakat, pada suatu budaya tertentu (Mead, 1963). Sosialisasi merupakan pemeliharaan kontinuitas normatif dari generasi ke generasi (Geertz, 1983 :4). Proses sosialisasi adalah suatu proses bersinambung di sepanjang hidup diri pribadi (Geertz, 1984:7). Sosialisasi menurut Arnett (1995) memiliki tiga tujuan. Tujuan pertama adalah kontrol akan tindakan agar seorang anak dapat mengontrol pikirannya atas apa yang boleh dan tidak boleh ia lakukan. Kedua adalah memperkenalkan peranperan dalam kehidupan sosial, misalnya peran-peran gender, peran-peran dalam pekerjaan, dan peran-peran dalam institusi sosial seperti keluarga. Ketiga adalah pengembangan makna yang ada dalam norma-norma sosial. Sebuah keluarga melakukan sosialisasi dalam banyak hal. Misalnya sosialisasi tentang agama, nilai-nilai budaya, cara berbicara dan lain-lain. mengingat betapa luasnya pembahasan tentang sosialisasi dalam keluarga, maka saya membatasi diri untuk membahas sosialisasi dalam hal pemilihan pekerjaan. Keluarga TKI di Desa Nunuk melakukan sosialisasi pemilihan pekerjaan kepada anak-anak mereka agar anak-anak mereka memilih untuk bekerja sebagai TKI. Dalam hal sosialisasi pemilihn pekerjaan ini, ternyata bukan hanya melibatkan anggota-anggota keluarga, tapi juga pihak-pihak lainnya. Sosialisasi tidak hanya dilakukan oleh keluarga, namun juga dilakukan oleh agen-agen lain. selain keluarga, sosialisasi juga dilakukan oleh kelompok bermain, sekolah dan tempat kerja, komunitas, media, sistem legal dan sistem kulural (Arnett, 1995 : 621-623). Sosialisasi Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 pemilihan pekerjaan yang dilakukan oleh keluarga TKI di Desa Nunuk kepada anak-anak mereka dipengaruhi oleh hal-hal lain di luar keluarga. Sekolah merupakan salah satu sumber sosialisasi pemilihan pekerjaan selain keluarga yang pada akhirnya menuntun kepada sumber yang lain, yaitu orang tua angkat. Sosialisasi dilakukan dengan cara diucapkan maupun tidak. Saudara-saudara terdekat orang itulah yang dengan tegur sapanya dari hari ke hari baik yang terucapkan maupun yang tak terucapkan menjaganya dari terlampau jauh meninggalkan rel kaidah-kaidah budaya (Geertz,1983 :7). Sosialisasi pemilihan pekerjaan dalam keluarga TKI di Nunuk dilakukan baik verbal maupun non verbal. Hal-hal yang tidak dapat diucapkan oleh orang tua kandung karena harus bekerja kemudian dilakukan dengan cara mencontohkan untuk pergi dan bekerja di luar negeri. Ketiadaan orang tua kandung ini kemudian diisi oleh saudara sekandung ibu. Saudara sekandung ibu menjalankan sosialisasi pemilihan pekerjaan dengan menceritakan keuntungan berkerja sebagai TKI atau dengan cara yang tidak terucap, misalnya dengan membiasakan mengatur keuangan per bulan. Orang tua angkat melakukan sosialisasi pemilihan pekerjaan dengan mendukung anak baik secara lisan maupun tidak untuk menyelesaikan pendidikan tinggi. Sosialisasi pemilihan pekerjaan dalam keluarga TKI di Desa Nunuk dilakukan sesuai dengan peran dan status masing-masing anggota keluarga. Peran sebagai orang tua, saudara sekandung ibu dan anak dalam keluarga TKI di Nunuk dijalankan agar sosialisasi pemilihan pekerjaan dapat berjalan. Misalnya saja saudara sekandung ibu menjalankan perannya sebagai pengganti orang tua agar anak-anak di keluarga TKI tetap dikenalkan dengan pekerjaan sebagai TKI meskipun orang tua mereka sedang berada di luar negeri. Peran-peran dalam hal sosialisasi pemilihan pekerjaan inilah yang kemudian mengantarkan kita kepada penjelasan mengenai struktur. Struktur Konsep struktur itu sendiri lebih mengacu pada pengaturan bagian-bagian atau komponen-komponen yang saling berhubungan satu sama lain dalam sebuah kesatuan yang lebih besar . Dalam struktur sosial, yang menjadi komponen utamanya adalah pikiran-pikiran individu manusia sebagai aktor-aktor di dalam kehidupan sosial, yaitu, sebagai person-person, dan struktur terdiri dari pengaturan person dalam hubungannya dengan satu sama lain (Radcliffe- Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 Brown, 1958: 168). sebagai person, manusia dilihat sebagai orang yang mempunyai kedudukan dalam struktur sosial. Berbeda dengan individu yang melihat manusia sebagai organisme biologis. Tindakan dari seorang person didasarkan dari peran dan status yang dimilikinya. Status dan peran yang dimiliki oleh setiap anggota keluarga di Desa Nunuk membuat tindakan-tindakan yang dijalankan disesuaikan dengan statusnya tersebut. Dalam hal sosialisasi pemilihan pekerjaan, setiap orang yang terlibat dalam proses sosialisasi itu dilihat sebagai person yang bertindak sesuai dengan status dan peran masing-masing. Anak-anak sebagai person yang memiliki peran dan status sebagai anak dalam keluarga TKI di Desa Nunuk diharapkan untuk berperilaku sesuai dengan aturan yang ada dalam institusi keluarga TKI di Desa Nunuk agar proses sosialisasi pemilihan pekerjaan dapat berjalan. Sosialisasi pemilihan pekerjaan di dalam keluarga TKI di Desa Nunuk membuat saya melihat anggota-anggota keluarga sebagai person yang memiliki hubungan sosial satu sama lainnya. Anggota-anggota keluarga TKI di Desa Nunuk juga menjalin hubungan sosial dengan pihak di luar struktur keluarga mereka, yakni orang tua angkat, karena orang tua angkat juga berperan dalam sosialisasi pemilihan pekerjaan. Hubungan-hubungan yang terjalin dengan pihak di luar keluarga mungkin dapat melengkapi, namun mereka tidak akan pernah masuk ke dalam keluarga (Murdock,1971 :363). Orang tua angkat mungkin ikut berperan dalam sosialisasi pemilihan pekerjaan, namun bukan merupakan bagian dari struktur keluarga TKI di Nunuk. Hubungan sosial antara dua orang mencerminkan adanya pengharapan peran dari masingmasing lawan interaksinya (Agusyanto, 2007 : 15). Keterkaitan antara keluarga TKI di Desa ini sebagai satu institusi dan orang tua angkat sebagai pihak di luar struktur keluarga dapat dijelaskan melalui hubungan sosial karena masing-masing pihak diharapkan untuk berperan dalam rangka sosialisasi pemilihan pekerjaan. Tindakan-tindakan anggota keluarga TKI di Nunuk didasarkan dari peran dan status mereka dalam hal sosialisasi pemilihan pekerjaan. Peran dan status ini kemudian membentuk hubungan-hubungan sosial antar person yang saya jelaskan dalam bentuk hubungan emosional. Hubungan emosional ini saya jelaskan dalam batasan hubungan emosional yang terjalin dalam rangka menjalankan sosialisasi pemilihan pekerjaan. Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 Hubungan Emosional Konsep emosi berlingkup pada sesuatu yang berupa bahasa dalam diri – kode tentang niat, aksi, dan relasi sosial (Lutz & White, 1986 : 417). Manusia menciptakan emosi melalui hubungan-hubungan dengan manusia lain. Hubungan emosional ini berbeda satu dengan yang lain, ada yang bersifat dekat, dan yang tidak. Berdasarkan bahwa pada kedua orang yang memiliki hubungan dekat memiliki reaksi emosional yang mirip dalam menghadapi kenyataan sosial, dapat kita katakan bahwa orang-orang yang memiliki hubungan dekat mengembangkan kemiripan respon emosional seiring waktu – proses ini disebut “penyatuan emosional” (emotional converage) (Anderson & Keltner, 1977 :144) . Penyatuan emosional ini memiliki 3 alasan mengapa dua orang yang memiliki hubungan dekat dapat mengembangkan penyatuan emosional mereka. Pertama, kemiripan emosional mengkoordinasi perhatian, pikiran, dan kelakuan sesama individu. Contohnya adalah ketika sekelompok orang mendapatkan ancaman dari kelompok lain, maka akan tercipta penyatuan di dalam kelompok sendiri untuk melawan kelompok lain itu. Kedua, ketika seseorang merasakan kemiripan emosi, mereka lebih mudah untuk saling mengerti satu sama lain. Orang-orang yang memiliki pengalaman emosi yang serupa akan lebih mudah memahami perspektif, persepsi, niat dan motivasi satu sama lain. Ketiga, orang-orang akan lebih merasa dekat dan nyaman dengan orang lain yang memiliki pengalaman emosi yang sama, sedangkan ketidakmiripan emosi melahirkan ketidaknyamanan dan konflik interpersonal (Anderson & Keltner, 1977 :144-145). Sosialisasi pemilihan pekerjaan dalam keluarga TKI di Desa Nunuk melibatkan banyak pihak. Pihak-pihak itu adalah orang tua, saudara sekandung ibu, anak-anak, dan orang tua angkat. Masing-masing pihak menjalin hubungan emosional satu sama lain. Hubungan emosional yang terjalin di mereka dipengaruhi oleh kesamaan pengalaman emosional mereka yang berkaitan dengan sosialisasi pemilihan pekerjaan. Pihak-pihak yang memiliki kesamaan pengalaman emosional, maka akan menjalin hubungan emosional yang kuat. Sedangkan pihak-pihak yang tidak memiliki pengalaman emosional yang sama akan merasa tidak nyaman satu sama lain. Hubungan emosional antara orang tua dan saudara sekandung ibu menjadi kuat karena mereka memiliki kesamaan pengalaman emosional sebagai sesama saudara kandung yang dibesarkan dalam keluarga TKI. Hal ini berbeda dengan hubungan emosional antara saudara sekandung ibu dan orang tua angkat yang tidak memiliki kesamaan pengalaman emosional. Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 Hubungan-hubungan emosional ini beragam tingkat kedekatannya. Tingkat kedekatan ini dilihat dari penuturan informan tentang kenyamanan mereka untuk menceritakan perasaan pribadi satu sama lain. kenyamanan ini bergantung dari kesamaan pengalaman emosional masing-masing, sehingga memungkinkan untuk membentuk proses penyatuan emosional seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dari keberagaman hubungan-hubungan emosional dalam keluarga TKI di Desa Nunuk inilah saya kemudian akan menggambarkan tentang gejala perubahan yang sedang ditunjukkan oleh keluarga TKI di Desa Nunuk. Gejala perubahan ini dapat diidentifikasi melalui kontinuitas atau diskontinuitas antara ranah logico meaningful dan ranah causal functional. Kita harus mempertimbangkan, saya pikir, memaparkan diskontunitas antara bentuk integrasi yang ada dalam dimensi struktur sosial (causal functional) dan dalam bentuk integrasi yang ada dalam dimensi kultural (logico-meaningful) – diskontinuitas yang mengarahkan bukan ke arah disintegrasi anatara sosial dan kultural, namun pada konflik sosial kultural (Geertz,1973 :164). Dimensi kultural mengenai keluaga TKI di Desa Nunuk yang saya maksud adalah bagaimana secara kultural mereka mengatur hubungan-hubungan emosional antara satu sama lain dalam rangka sosialisasi pemilihan pekerjaan. Kebudayaan adalah kesatuan dari makna dalam arti manusia menginterpretasi pengalaman mereka dan menjadi acuan tindakan mereka; struktur sosial adalah bentuk yang menyebabkan aksi tersebut, yang terdapat dalam relasi sosial (Geertz, 1973 :145). Hubungan emosional yang tercipta antara person dalam hal sosialisasi pemilihan pekerjaan sudah diatur sesuai dengan kebudayaan mereka. Misalnya saja hubungan emosional antara saudara sekandung ibu dengan anak-anak seharusnya terjalin erat karena secara kultural, tindakan mereka sudah diatur sedemikian rupa agar hubungan mereka terjalin erat. Hal ini menjadi masalah ketika misalnya sang anak menjalin hubungan emosional dengan orang tua angkat dalam rangka sosialisasi pemilihan pekerjaan. Secara kultural, orang tua angkat tidak perlu hadir untuk berpartisipasi dalam sosialisasi pemilihan pekerjaan, karena pola sosialisasi pemilihan pekerjaan yang ada dalam keluarga TKI di Desa Nunuk biasanya hanya melibatkan orang tua, saudara sekandung ibu, dan anak-anak. Orang tua angkat pada kenyataannya ikut terlibat sebagai untuk melakukan sosialisasi pemilihan pekerjaan karena orang Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 tua angkat ini memiliki peran dan status yang mendukung sosialisasi pemilihan pekerjaan. Hal ini berarti orang tua angkat secara struktural memiliki andil dalam sosialisasi pemilihan pekerjaan. Inilah yang saya maksudkan dengan perbedaan antara ranah kultural (logico-meaningful) dan ranah struktural (causal functional). METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dirancang untuk memahami masalah-masalah sosial dan kemanusiaan berdasarkan pada hal yang kompleks, yang digambarkan secara menyeluruh, dibentuk dengan kata-kata, dilaporkan melalui pandangan mendetail dari informan, dan diadakan pada setting aslinya (Cresswel,2003 :1-2). Penelitian ini dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah etnografi yang menggambarkan fenomena-fenomena yang ada di keluarga TKI di Desa Nunuk. Sebagaimana menulis etnografi, maka saya mencoba untuk menggambarkan kehidupan keluarga TKI di Desa Nunuk yang berbeda dengan kehidupan keluarga-keluarga lain, misalnya keluarga petani ataupun keluarga Pegawai Negeri Sipil di Desa Nunuk. Penulisan etnografi selalu komparetif karena selalu menjelaskan cara hidup dan berpikir yang partikular, yang berbeda dengan yang lain (Blasco&Wardle, 2007 :20). Pengumpulan data dilakukan dengan observasi partisipatif dan wawancara mendalam. Dengan kata lain, pengumpulan data dilakukan dengan penelitian lapangan (fieldwork). Penelitian lapangan adalah ciri utama etnografi (Lihat Fetterman,1989). Pengumpulan data dilakukan untuk menggali informasi sedalam mungkin untuk memperkaya tulisan ini. Dalam hal pengumpulan data, etnografi biasanya melibatkan peneliti untuk berpartisipasi, baik secara terbuka (overt) atau tertutup (covert), di dalam kehidupan seseorang sehari-hari dalam jangka waktu tertentu, melihat apa yang terjadi, mendengarkan yang diceritakan, dan/atau menanyakan pertanyaan baik dengan wawancara formal maupun informal, mengumpulkan data dan artefak – pada kenyataannya, mengumpulkan semua data yang tersedia dapat memberi arahan kepada isu yang menjadi fokus yang diambil (Atkinson&Hammersley, 2007 : 3). Pengumpulan data dalam penelitian ini bersifat terbuka (overt), dalam artian semua informan mengetahui jati diri saya serta maksud dari penelitian. Saya di dalam penelitian ini mengamati kehidupan keluarga TKI di Nunuk dengan cara ikut bercengkrama di rumah mereka hampir setiap waktu. Saya juga ikut Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 berpartisipasi dalam kegiatan beberapa informan, yang sekiranya tidak mengganggu kegiatan informan itu sendiri untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan. PEMBAHASAN Gejala Perubahan dalam Keluarga TKI di Desa Nunuk “Melalui pemisahan secara konseptual, kebudayaan dan struktur sosial akan dilihat sebagai model integrasi yang luas antara satu sama lain, di mana sebagai model isomorphic yang sederhana namun dalam kasus yang terbatas – kasus yang umum terjadi hanya pada masyarakat yang relatif stabil dalam jangka waktu tertentu sehingga memungkinkan untuk dilihat adanya penyesuaian antara aspek sosial dan kultural. Di kebanyakan masyarakat, di mana perubahan bersifat karakteristik dibandingkan abnormal, kita akan melihat diskontinuitas di antara keduanya” (Geertz,1973 :144). Dari kutipan di atas, kita dapat melihat bahwa sebenarnya gejala perubahan sosial dapat terlihat dari adanya diskontinuitas antara aspek sosial dan kultural. Dalam melihat aspek sosial dan kultural tersebut, saya melihatnya dari pandangan struktural Radcliffe-Brown, karena dalam keluarga TKI di Desa Nunuk terdapat berbagai peran-peran yang membentuk struktur keluarga mereka. Saya melihat anggota-anggota keluarga TKI di Desa Nunuk sebagai person-person yang bertindak sesuai peran dan statusnya dalam rangka sosialisasi pemilihan pekerjaan. Keluarga TKI di Desa Nunuk dapat dikatakan mengalami gejala perubahan ketika terjadi diskontinuitas struktural. Struktur sosial adalah pengaturan dari person-person yang sudah diinstitusionalkan peran-peran dan hubungannya, dan kontinuitas struktural adalah kontinuitas yang terbentuk dari pengaturan tersebut (Radcliffe-Brown, 1958:, :176). Kontinuitas struktural di dalam masyarakat bersifat sangat dinamis dalam hal ini, permasalahan menjadi individual, dan bentuk-bentuk semacamnya, terhubung oleh hubungan institutional. struktur sosial, oleh karena itu, didefinisikan sebagai pengaturan yang berkesinambungan dari person-person dalam hubungan yang ditentukan dan dikendalikan oleh institusi-institusi, misalnya norma-norma atau pola-pola dari perilaku (Radcliffe-Brown,1958 :177). Kita harus mempertimbangkan, saya pikir, memaparkan diskontunitas antara bentuk integrasi yang ada dalam dimensi struktur sosial (causal functional) dan dalam bentuk integrasi yang ada dalam dimensi kultural (logico-meaningful) – diskontinuitas yang mengarahkan bukan ke arah disintegrasi anatara sosial dan kultural, namun pada konflik sosial kultural (Geertz,1973 Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 :164). Integrasi logico-meaningful, karakteristik kebudayaan, maksudnya dalam bentuk integrasi di Bach Fague, di dogma katolik, atau dalam teori umum tentang relativitas, adalah kesatuan dari style, implikasi logis, dari makna dan nilai. Integrasi causal-functional, karakteristik dari sistem sosial, adalah integrasi yang dalam suatu organisme, di mana semua bagiannya disatukan dalam satu jaringan kausal, setiap bagiannya adalah elemen yang terus menerus dalam lingkaran kausal menjaga agar “sistemnya tetap berjalan”. (Geertz, 1973 :145). Kebudayaan adalah kesatuan dari makna dalam arti manusia menginterpretasi pengalaman mereka dan menjadi acuan tindakan mereka; struktur sosial adalah bentuk yang menyebabkan aksi tersebut, yang terdapat dalam relasi sosial. Kebudayaan dan struktur sosial merupakan dua abstraksi yang berbeda dari satu fenomena yang sama. Satu membicarakan tindakan dan kaitannya dengan makna yang dibawanya, yang lain membicarakan dalam artian kontribusinya dalam berfungsinya sebagian sistem sosial (Geertz, 1973 :145). Dalam keluarga TKI di Desa Nunuk, pengalaman para orang tua yang mengalami masa kecil dan tumbuh dewasa dalam keluarga TKI membuat mereka memutuskan untuk melakukan sosialisasi pemilihan pekerjaan yang serupa dengan pekerjaan mereka kepada anak-anak mereka, atau yang dapat saya katakan sebagai dimensi kultural. Agar struktur dalam keluarga TKI di Desa Nunuk dapat berjalan, maka person-person di dalamnya harus bertindak sesuai dengan perannya masingmasing, dalam rangka sosialisasi pemilihan pekerjaan. Saya sudah memaparkan lima hubungan emosional antara person-person di keluarga TKI di Desa Nunuk dalam konteks sosialisasi pemilihan pekerjaan. Di antara kelima hubungan itu, nampaknya hanya ada satu hubungan di mana ada kontinuitas antara logico meaningful dan causal functional. Hubungan itu adalah hubungan emosional antara orang tua dan saudara sekandung ibu. Pada ranah logico meaningful, secara kultural, dalam rangka sosialisasi pemilihan pekerjaan, hubungan antara orang tua dan saudara sekandung ibu berjalan harmonis karena adanya kesamaan nilai kultural. Pada keluarga TKI di Desa Nunuk, hubungan antara orang tua dan saudara sekandung berjalan harmonis agar dapat melakukan sosialisasi pemilihan pekerjaan kepada anak-anak mereka. Pada ranah causal functional, orang tua dan bibi yang sama-sama berperan sebagai agen utama sosialisasi membuat hubungan emosional mereka terjalin harmonis. Terlihat bahwa hubungan antara logico-meaningful dan causal functional tidak mengalami Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 diskontinuitas, maka dalam hubungan emosional antara orang tua dan saudara sekandung ibu dapat dikatakan tidak terlihat adanya gejala perubahan. Hubungan emosional antara orang tua dan anak pada ranah logico meaningful berbentuk hubungan yang tidak dekat, dalam artian secara emosional antara orang tua dan anak tidak merasa ada kedekatan emosional di antara mereka, karena pengalaman mereka yang berpisah selama bertahun-tahun. Pada ranah causal functional, nampaknya terlihat diskontinuitas dari bentuk hubungan emosional dari ayah dan anak. Meskipun hubungan emosional mereka kini masih terlihat berjarak, terbukti dari pengakuan orang tua di keluarga TKI sendiri yang mengakui bahwa ia tidak terlalu mengenal anaknya, namun terlihat adanya usaha untuk memperbaiki dan menjalin kembali hubungan emosional ini. Diskontinuitas terlihat dari perubahan logico meaningful orang tua yang menerapkan sosialisasi pemilihan yang berbeda kepada anak-anak mereka yang lain. setelah melihat satu anaknya mendapatkan pekerjaan yang lebih mapan setelah menyelesaikan pendidikan tinggi, orang tua kemudian mulai menyosialisasikan pentingnya untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi sebelum bekerja. Hubungan emosional antara bibi dan anak nampaknya mengalami diskontinuitas. Pada ranah logico meaningful, hubungan emosional antara mereka seharusnya tidak berjarak. Seharusnya secara emosional hubungan antara anak dan bibi terjalin erat. Pada ranah causal functional, hubungan emosional antara anak dan bibi sempat mengalami diskontinuitas. Hal ini terjadi karena peran bibi sebagai agen sosialisasi pemilihan pekerjaan tidak berjalan harmonis dengan peran yang dijalankan anak. Peran anak seharusnya mengikuti arus dengan segera bekerja setelah lulus SMP, namun memutuskan menunda bekerja untuk melanjutkan pendidikan. Meskipun saat ini sudah mencoba membangun hubungan emosional kembali yang sempat merenggang, namun sudah dapat terlihat diskontinuitas antara integrasi logico meaningful dan causal functional. Pada ranah logico meaningful, hubungan emosional antara anak dan orang tua angkat seharusnya tidak berjalan harmonis. Anak-anak di keluarga TKI di Desa Nunuk seharusnya tidak berinteraksi dengan orang tua angkatnya, sehingga tidak memiliki hubungan emosional dengan orang tua angkat. Sedangkan pada ranah causal functional, hubungan emosional antara anak dan orang tua angkat justru terjalin kuat. Peran anak yang disosialisasikan untuk memilih pekerjaan yang mapan membuat mereka harus menjalin hubungan emosional dengan orang tua angkat untuk mendapatkan akses pendidikan, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan pekerjaan Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 yang lebih mapan lagi. Orang tua angkat juga memupuk hubungan emosional karena daya tarik yang dimiliki oleh anak angkatnya. Perbedaan ini menunjukan diskontinuitas antara ranah logico meaningful dan ranah causal functional. Hubungan emosional yang mengalami diskontinuitas selanjutnya adalah hubungan emosional antara orang tua atau saudara sekandung ibu dengan orang tua angkat. Pada ranah logico meaningful, hubungan keduanya seharusnya berjalan tidak harmonis. Orang tua angkat dianggap sebagai penunda masa kerja sang anak, yang secara kultural seharusnya tidak terjadi di keluarga TKI di Desa Nunuk. Meskipun pada awalnya memang berjalan tidak harmonis di ranah causal functional, namun setelah melihat hasil dari peran orang tua angkat, hubungan emosional mereka perlahan dipupuk. Hal ini menunjukan adanya gejala perubahan dalam hubungan emosional diantara mereka. Dari lima hubungan emosional antar person di keluarga TKI di Desa Nunuk, terdapat empat hubungan yang mengalami diskontinuitas pada ranah logico functional dan causal functional. Hubungan-hubungan yang mengalami diskontinuitas ini menunjukan bahwa struktur keluarga TKI dalam hubungannya dengan sosialisasi pemilihan pekerjaan sedang berubah. Hubungan-hubungan sosial yang digambarkan melalui hubungan emosional antar person beberapa mengalami perubahan, baik dalam institusi keluarga TKI di Desa Nunuk, maupun hubungannya dengan pihak lain, yakni orang tua angkat. Keputusan anak untuk menunda masa kerja dan menjalin hubungan dengan orang tua angkat menampakkan gejala-gejala perubahan dalam keluarga TKI di Desa Nunuk. KESIMPULAN Keluarga TKI di Desa Nunuk menyosialisasi anak-anak mereka untuk dapat bekerja dengan penghasilan yang tetap setiap bulannya. Bekerja dengan penghasilan bulanan membuat keluarga TKI tidak perlu berhutang untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Pekerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan sebagai buruh migran di luar negeri atau sebagai buruh pabrik di Bekasi. Pekerjaan seperti ini selain memiliki penghasilan bulanan yang jumlahnya tetap, juga tidak memerlukan keahlian khusus sehingga keluarga TKI tidak perlu mengeluarkan modal lebih banyak untuk menyekolahkan anak-anak mereka sampai perguruan tinggi. Bekerja sebagai TKI Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 memiliki gaji yang lebih besar dibanding bekerja di Bekasi, sehingga bekerja menjadi TKI merupakan pekerjaan yang menjanjikan. Anak-anak disosialisasikan oleh saudara sekandung ibu selama orang tua mereka pergi bekerja di luar negeri. Hal ini berdasarkan kesepakatan yang dibuat antara orang tua kandung dan saudara sekandung ibu bahwa selama orang tua pergi bekerja, saudara sekandung ibulah yang mengasuh sambil melakukan sosialisasi kepada anak-anak TKI di Desa Nunuk. Sosialisasi pemilihan pekerjaan yang dilakukan berjalan baik, terbukti dari anak-anak TKI yang memilih pekerjaan dengan penghasilan bulanan, meskipun ada beberapa di antara mereka yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi. Hal ini dilakukan dengan harapan akan memperoleh pekerjaan yang lebih mapan dan lebih lama masa kerjanya setelah memiliki keterampilan yang dipelajari di perguruan tinggi. Hal ini berpengaruh pada hubungan-hubungan emosional yang terjalin antar personperson dalam keluarga TKI di Desa Nunuk. Hubungan antara orang tua, saudara sekandung ibu, dan anak yang sebelumnya berjalan harmonis menjadi merenggang. Hal ini diperparah dengan kehadiran orang tua angkat. Orang tua angkat merupakan jalan bagi anak untuk menempuh pendidikan tinggi karena orang tua kandung dan saudara sekandung ibu tidak mendukung hal tersebut. Hubungan emosional yang terjalin antara anak dengan orang tua angkatnya mengubah hubungan-hubungan emosional dalam institusi keluarga TKI di Desa Nunuk. Perubahan-perubahan hubungan emosional ini kemudian digunakan untuk mengidentifikasi gejala perubahan keluarga TKI di Desa Nunuk. Gejala perubahan ini dikaji melalui kontinuitas antara ranah kultural dan ranah struktur sosial. Di ranah kultural, kita melihat logico meaningful, di mana tindakan manusia dilihat dari makna yang dibawanya. Pada ranah struktur sosial, tindakan-tindakan atas person yang berdasarkan peran yang dimilikinya dilihat lewat causal functional. Dengan melihat kontinuitas atau diskontinuitas dari logico meaningful dan causal functional¸maka dapat terlihat apakah terjadi gejala perubahan atau tidak. Jika terjadi diskontinuitas antara logico meaningful dan causal functional, maka dapat dikatakan telah terjadi gejala perubahan pada keluarga TKI di Desa Nunuk. Hubungan emosional antara orang tua dan saudara sekandung ibu tidak menampakkan gejala perubahan karena antara logico meaningful dan causal functional tidak menunjukan adanya diskontinuitas. Secara kultural hubungan emosional antara orang tua dan saudara Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 sekandung ibu seharusnya berjalan harmonis, sejalan dengan secara struktural, hubungan emosional ini juga berjalan harmonis dalam rangka sosialisasi pemilihan pekerjaan pada anak. Hubungan-hubungan emosional yang lain, yakni hubungan emosional antara orang tua dan anak, saudara sekandung ibu dan anak, anak dan orang tua angkat, serta orang tua atau saudara sekandung ibu dan orang tua anak menunjukan gejala perubahan. Hal ini terlihat dari adanya diskontinuitas antara logico meaningful dan causal functional yang terdapat pada hubungan-hubungan emosional ini. Hubungan-hubungan emosional yang seharusnya terjadi pada ranah kultural memiliki perbedaan dengan hubungan-hubungan emosional yang terjadi di ranah struktur sosial dalam rangka sosialisasi pemilihan pekerjaan. Diskontinuitas yang terjadi dalam hubungan-hubungan emosional ini menunjukan bahwa keluarga TKI di Desa Nunuk menunjukan gejala perubahan pada struktur keluarga mereka. Gejala perubahan ini dipicu dari sosialisasi pemilihan pekerjaan yang dilakukan oleh orang tua dan saudara sekandung ibu kepada anak-anak mereka. Keinginan anak untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih mapan daripada yang disosialisasikan oleh orang tualah yang membuat hadirnya orang tua angkat di antara mereka. Kehadiran orang tua angkat mengubah hubunganhubungan emosional baik di dalam institusi keluarga TKI di Desa Nunuk, maupun hubungan mereka dengan orang tua angkat tersebut. Diskontinuitas yang ditunjukan melalui logico meaningful dan cusal functional dalam hubungan-hubungan emosional ini pada akhirnya menunjukan bahwa keluarga TKI di Desa Nunuk sedang menunjukan gejala perubahan. Dari uraian di atas, dapat kita lihat bahwa dampak dari pekerjaan sebagai TKI nampaknya lebih luas dari yang sering diberitakan. Permasalahan yang dihadapi oleh para TKI bukan hanya sekedar penyiksaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia, namun permasalahan dengan anggota keluarga mereka sendiri di rumah. Bekerja sebagai TKI membuat hubungan emosional TKI dengan anak-anak mereka menjadi merenggang. Anak-anak dan orang tua kandung menjadi dua pihak asing yang tidak saling mengenal. Hal ini bahkan berlanjut sampai orang tua mereka kembali ke Desa Nunuk. Kembalinya orang tua tidak membuat hubungan orang tua dan anakanak mereka memiliki hubungan emosional yang dekat secara otomatis, melainkan mereka harus menjalin kembali dari awal selayaknya dua pihak yang belum pernah saling kenal. Permasalahan ini hanya sebagian kecil dari permasalahan yang dapat dilihat melalui sosialisasi pemilihan pekerjaan. Saya yakin masih banyak permasalahan yang belum terungkap tergantung dari perspektif yang digunakan. Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 REFERENSI Agusmidah, 2005 Tenaga Kerja Indonesia, Perdagangan Manusia (Human Trafficking) dan Upaya Penanggulangannya (Sudut Pandang Hukum Ketenagakerjaan). Bogor: Galia Indonesia. Agusyanto, Ruddy, 2007 Jaringan Sosial dalam Organisasi. Jakarta : PT Grafindo Persada. Anderson, Cameron & Keltner, Dacher, 2004 The Emotional Convergence Hypothesis : Implications for Individuals, relationships, and culture. Cambridge : Cambridge University Press. Arnett,Jeffrey, 1995 Broad and Narrow Socialization: The Family in The Context of a Cultural Theory. Journal of Marriage and Family. Vol. 57. pp. 617- 628. Atkinson, Paul, & Hammersley, Martyn, 2007 Etnography : Principle in Practice. New York : Routledge. Barnes,John, 1973 Genetrix, Genitor, Nature, Culture? Jack Goody The Character of Kinship. Cambridge: University Press. Blasco, Paloma G., & Wardle, Huon, 2007 How to Read Ethnography. New York : Routledge. Burges,Ernest&Locke,Vey, 1960 The Family. New York: American Book Company. Caturiani,S.Indriyati,Meiliyana,&Ma’arif,Syamsul, 2012 “Pemetaan Permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Asal Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung (Studi di Pekon Pujodadi, Kecamatan Pardasuka)” dalam Seminar Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Dies Natalis FISIP Unila. pp. 197. Cherlin,Andrew, 2002 Private Families. New York: Mc Graw Hill Companies. Creswell,John, 2003 Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Thousands Oaks, London & New Delhi: Sage Publication. Daulay , Harmona, 2001 Pergeseran Pola Relasi Gender di Keluarga Migran : Studi Kasus TKIW di Kecamatan Rawamarta Kab. Karawang Barat . Yogyakarta : Galang Press. Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 Djafar,Fariastuti,&Hassan,M.Khairul, 2012 Dynamic of Push and Pull Factors of Migrant Workers in Developing Countries: The Case of Indonesian Workers in Malaysia. Journal of Economics and Behavioral Studies. Vol. 12, pp. 703-711. Ferraro, Gary, 2004 Cultural Anthropology :An Applied Perspective. Toronto: Wadsworth Thomson Learning. Fetterman,David, 1989 Ethnography Step by Step. Thousands Oaks, London & New Delhi: Sage Publications. Fox, Robin, 1967 Kinship and Marriage. Victoria : Pinguin Books. Geertz,Clifford, 1973 Interpretation of Culture. New York: Basic Books. Geertz,Hildred, 1983 Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Press. Koentjaraningrat, 2007 Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI-Press. Lamphere, Louis., 1993 ‘The domestic sphere of women and the public world of men; The strengths and limitations of an anthropological dichotomy’, dalam C.B. Brettell & C.F. Sargent (eds.). Gender in Cross-Cultural Perspective. New Jersey: Engiewood Cliffs. Linton,Ralph, 1971 Status & Role. New York: Harper & Row Publisher. Loveband,Anne, 2004 Positioning The Product: Indonesian Migrant Workers in Taiwan. Journal of Contemporary Asia. Vol. 3, pp. 336-348. Lutz,Catherine,&White,Geoffrey, 1986 The Anthropology of Emotions. Annual Review of Anthropology. Vol. 15. pp. 405-436. Mead, Margareth, 1963 ‘Papers in Honor of Melville J. Herskovits: Socialization and Enculturation’. Current Anthropology. Vol. 4, No. 2. pp. 184-188 Murdock,George, 1971 The Nuclear Family. New York: Harper & Row Publisher. Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014 Parsons,Talcots,&Bales,Robert, 1956 Family: Socialization and Interaction Process. London: Routledge 2 Kegan Paul LTD. Radcliffe-Brown,Alfred, 1958 Method in Social Anthropology. Chicago: The University of Chicago. 1971 On Joking Relationship. New York: Harper & Row Publisher. Siegel,James, 2006 Anak-anak dalam Keluarga. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Edisi II, Hal. 204-217. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Soeprobo, Tara, & Wiyono, Nur, 2004 “Labour Migration from Indonesia”, dalam Sri Hatmaji & Iwu Utomo Empowerment of Indonesian Women : Family, Reproductive Health, Employment and Migration. Depok : Demographic Institute Faculty of Economics University of Indonesia. Zinn,Maxine,&Eitzen,Stanley, 1990 Diversity in Families. New York: Harper Collins Publishers. Perubahan struktur.…, Puspita Dwi Permatasari, FISIP UI, 2014