1 Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam Pernikahan Adat Suku Batak Toba” (Studi Kasus Mangulosi Dalam Perspektif Interaksi Simbolik pada Pernikahan Batak Toba di Gorga Mangampu Tua-Medan) SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Konsentrasi Jurnalistik Program Studi Ilmu Komunikasi Oleh Mutia Nurdalilah Simatupang 6662120521 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2016 2 3 4 5 GO BIG, OR GO HOME! “....Allah Likes Those Who Are Thankful….” (QS Az-Zumar: 7) “...If You Are Grateful, I Will Give You More…” (QS Ibrahim: 7) Skripsi ini di persembahkan untuk Mamah Tersayang & Papah, Serta Keluarga Besar Sebagai Motivator Abadi dalam Hidup 6 ABSTRAK Mutia Nurdalilah Simatupang. NIM. 6662120521. Skripsi. Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam Pernikahan Adat Suku Batak Toba (Studi Kasus Mangulosi Dalam Perspektif Interaksi Simbolik pada Pernikahan Batak Toba di Gorga Mangampu Tua-Medan). Pembimbing I: Neka Fitriyah, S. Sos., M.Si. dan Pembimbing II: Teguh Iman Prasetya, M.Si. Batak Toba dikenal sebagai suku yang sangat setia melaksanakan upacara adat dalam berbagai kegiatan sedari dulu. Bagi masyarakat Toba, adat adalah bagian dari kebudayaan elemen masyarakat Batak untuk mempertinggi kualitas kehidupan mereka dan merupakan identitas budayanya. Dalam masyarakat Batak Toba, Ulos dianggap sebagai media solidaritas dalam kehidupan individu dan bermasyarakat. Sehinga Ulos sendiri memiliki kedudukan penting yang berarti dalam tatanan masyarakat Batak Toba. Dalam penelitian ini penulis membatasi konsentrasi permasalahan kepada bagaimana posisi Ulos sebagai elemen tak terpisahkan dari pernikahan adat Batak Toba sebagai media atau alat komunikasi melalui simbol yang direpresentasikan melalui Ulos dalam upacara adat tersebut. Penelitian ini menggunakan Teori Komunikasi Simbolik menurut George Herbert Mead yang terfokus pada tiga konsep utama yaitu society (masyarakat), self (diri), dan mind (pikiran). Metodologi penelitian yang digunakan adalah post-positivis dengan metode studi kasus, jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini adalah: 1. Komunkasi yang dilakukan melalui ulos adalah untuk menyampaikan doa dan harapan. 2. Adanya simbol dan makna yang muncul dan tergambar oleh komunikasi verbal ataupun komunikasi non verbal.3. Tradisi mangulosi yang murni kini mulai mengalami modifikasi dengan alasan efisiensi, bahkan beberapa kalangan justru telah meningalkan adat ini dengan berbagai macam sebab. Kata kunci:Masyarakat Batak Toba, Mangulosi, Budaya, Pernikahan Adat, Interaksi Simbolik. 7 ABSTRACT Mutia Nurdalilah Simatupang. NIM. 6662120521. Thesis. Embedding process Ulos (Mangulosi) in Marriage Tribe Batak Toba (Mangulosi Case Studies In Symbolic Interaction Perspective on Marriage Mangamputua Gorga Batak Toba-Medan). Supervisor I: Neka Fitriyah, S. Sos., M.Sc. and Supervisor II: True Faith Prasetya, M.Sc. Toba Batak tribes known as a very faithfully carried out the ceremony in a variety of activities all the time. For the people of Toba, rituals are part of the cultural elements of Batak society to enhance their quality of life and a cultural identity. In Batak Toba, Ulos regarded as a medium of solidarity in the life of individuals and society. So that Ulos itself has a key position, which means in Batak Toba community. In this study the authors limited the concentration of problems to how Ulos position as an indispensable element of the wedding Batak Toba as media or communication through symbols are represented through the Ulos in traditional ceremonies. This study used Symbolic Interaction Theory by George Herbert Mead focused on three main concepts that society (masyarakat), self (diri), and mind (pikiran). The research methodology used is a post-positivist with the case study method, descriptive research with a qualitative approach. The results of this study are: 1. personal communication is done through Ulos is to deliver prayers and hopes. 2. The existence of symbols and meanings emerge and illustrated by a verbal communication or non verbal.3 communication. Mangulosi pure tradition now beginning to experience modification for reasons of efficiency, even some circles it has been customary leaving it with a variety of reasons. Keywords: Community Batak Toba, Mangulosi, Culture, Traditional Marriage, Symbolic Interaction. 8 KATA PENGANTAR AlhamdulillahiRobbil’Alamiin, segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Alloh SWT karena atas berkat rahmat serta kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam Pernikahan Adat Suku Batak Toba (Studi Kasus Mangulosi Dalam Perspektif Interaksi Simbolik pada Pernikahan Batak Toba di Gorga Mangampu Tua - Medan). Tujuan penulisan skripsi ini untuk memenuhi sebagian syarat untuk meraih gelar sarjana di program studi Ilmu Komunikasi konsenterasi Jurnalistik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Penulis menyadari bahwa penelitian ini jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi mewujudkan kesempurnaan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini, penulis selalu mendapatkan bimbingan, dorongan, serta semangat dari banyak pihak. Penghargaan dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Ibunda tercinta Nurhayati, dan Ayahanda Ridwan Hasudungan Simatupang yang kusayangi yang telah mencurahkan segenap cinta dan kasih sayang serta perhatian moril maupun materil. Semoga Alloh selalu memberikan kesehatan, karunia dan keberkahan di dunia dan akhirat atas budi baik yang telah dilimpahkan kepada penulis. Tidak lupa juga, Peneliti mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Sholeh Hidayat., M.Pd. selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 2. Bapak Dr. Agus Sjafari., M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 3. Ibu Dr. Rahmi Winangsih, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi. 4. Ibu Neka Fitriyah , S.Sos,. M.Si, selaku dosen pembimbing I yang telah bersedia membimbing penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan. I 9 5. Bapak Teguh Iman Prasetya, M.Si, selaku dosen pembimbing II yang juga telah bersedia membimbing penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan. 6. Ibu Mia Dwianna, S. Sos, M. Ikom, selaku dosen Ilmu Komunikasi yang juga telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. 7. Bapak Husnan Nurjuman, S. Ag., M. Si, serta Ibu Puspita Asri Praceka, S. Sos., M.Ikom selaku dosen Ilmu Komunikasi yang juga telah memberikan banyak ilmu sekaligus sebagai sahabat yang memberi banyak arahan. 8. Kepada seluruh dosen Ilmu Komunikasi Untirta yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis, terima kasih banyak. 9. Opung Michelle, Opung Boru Michelle, Bou Lena dan Amang Boru Naingolan, Uda Rudi dan Inang Uda, Bou Leni dan Amang Boru Nababan. Serta seluruh keluarga Siburian yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini hingga rampung. Mauliate Godang. 10. Keluarga Soemardi: Teh Leni, Kang Wawan, Teh Ade, Mamih, Papih, Emih dan keponakan-keponakanku; Abay, Nindy, dan Kekey, yang selalu memberi motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. 11. Terkasih yang juga sebagai sahabat, Zulhilmi Hutagalung, SE, yang selalu menamani dalam masa-masa sulit dan senantiasa memberi dukungan dalam berbagai aktivitas yang positif. Juga mendorong penulis untuk selalu sabar, dan tetap berjuang. II 10 12. Sahabat yang juga sebagai keluarga Imung, Hilda, Abdul, dan juga Cita, Icha, dan Nilda. Terimakasih semangat dan dukungannya selama ini. 13. Sahabat Seperjuangan Perbojakan United Eda Dian, Eda Yohana, Eko, Jannah, Aci, Ardi, dan Nina. Juga Awwal, Fuji, dan Caca, Diskusi harga mati!. 14. Sahabat JURNAL12TIK yang selalu menyemangati dengan anganangannya membentuk media yang bersih dan jujur. Terima kasih telah menjadi teman berbagi selama ini. 15. Kawan-kawan di Lab Ilmu Komunikasi (UTV, Radio Tirta FM, Multimedia dan Fotografi) yang telah berbagi suka dan duka selama perkuliahan dan menjadi tempat pelepas penat: Teh Fingkan, Sarah, Teh Syilvi, Bang Galuh, Deni, Hanum, Cindy, Fitra, Ena, Jalal, Arif, Bang Anton, Bang Hegar, Bang Ibad, Bang Dhenim, Pipit, dan seluruh keluarga Lab. Ilmu Komunikasi yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. 16. Para Orangers yang sudah seperti keluarga di LPM Orange FISIP Untirta. Bang Ucup, Ka Reni, Teh Dede, Bang Ijung, Pewe, Rien, Ratih, Jesica, Bang Ichsan, Bang Tomi, dan seluruh teman-teman pejuang Orange. 17. Keluarga Earth Hour Serang, Riffa, Ka Sitjam, Bang Raffi, Ayu, Bang Tian, Reza, Bang Santos, Emilia Johari, Mahar, Yudi, Arum, Mada, Bang Mueriece, dan seluruh kawan-kawan EH Serang. Terima kasih dukungan dan kebersamaanya III 11 18. Keluarga KKM 43, Terima Kasih atas kebersamaannya. 19. Semua pihak yang tidak bisa disebut satu persatu yang telah mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapapun yang memerlukan. Aamiin. Serang, 21 Juli 2016 Penulis, Mutia Nurdalilah S IV 12 DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ABSTRACT LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS LEMBAR PENGESAHAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR ............................................................................. i DAFTAR ISI ............................................................................................. v DAFTAR TABEL .................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ............................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... x BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ……………………………………………. 1 1.2. Rumusan Masalah ………………………………………………….. 6 1.3. Identifikasi Masalah ……………………………………………….. 6 1.4. Tujuan Penelitian …………………………………………………... 7 1.5. Manfaat Penelitian ………………………………………………… 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makna dan Simbol …………………………………………………… 9 2.1.1. Pengertian Ulos …….……………………………………...…. 9 V 13 2.1.2. Manusia Batak dan Budaya Batak Toba……………….…….. 13 2.1.3. Interaksionisme Simbolik ....………… ………………………17 2.1.4 Komunikasi dan Simbol………………………………………. 22 2.2. Penelitian Terdahulu ………………………………………………… 26 2.3. Kerangka Berfikir ……………………………………………………. 32 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian ………………………………………………….. 34 3.2. Paradigma Penelitian ..........………………………………………… 36 3.3. Pengumpulan Data................. ...……………………………............... 37 3.3.1 Teknik Observasi ……………………………..........……...... 37 3.3.2 Teknik Wawancara Mendalam .......………………………... 38 3.4. Informan Penelitian ............... ………………………………………. 39 A. Raja Parhata …………………………………………………… 40 B. Pasangan Batak yang Menikah ………………………………… 41 C. Pemberi Ulos (Hula-hula)…………………………………………. 41 3.5. Teknik Analisis Data……................................................................... 42 3. 5. 1 Pengumpulan Analisis Data ................................................ 42 3. 5. 2 Reduksi Data .......................................................................... 42 3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 43 3.7 Jadwal Penelitian .............................................................................. 44 BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Deskripsi Objek Penelitian …………............................................ 45 4.1.1 Deskripsi Tempat Penelitian ……………………................ 45 A. Kota Medan ...................................................................... 45 VI 14 B. Gorga Batak ..................................................................... 46 4.1.2. Identitas Informan ................................ ............................... 48 A. Raja Parhata …………………………………………… 48 B. Pengantin yang diadati..................................................... 50 C. Hula-hula na Parboru ..................................................... 52 4.2. Proses Pernikahan Adat Batak ……………...................................... 53 4.2.1 Proses Sebelum Pernikahan ……………................................ 53 4.2.2 Proses Pernikahan Adat ……………...................................... 4.3 55 Pembahasan …………….................................................................. 66 4.3.1 Mangulosi Dalam Interaksi Simbolik ...................................... 66 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ......................................................................................... 69 5.2. Saran ................................................................................................... 72 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN VII 15 DAFTAR TABEL TABEL 1 Penelitian Terdahulu .................................................................. 29 TABEL 2 Jadwal Penelitian ....................................................................... 44 VIII 16 DAFTAR GAMBAR GAMBAR 1 Gorga Batak .......................................................................... 46 GAMBAR 2 Panyambutan ………............................................................. 57 GAMBAR 3 Gambar Makan Bersama Seluruh Keluarga dan Kerabat ...... 59 GAMBAR 4 Pembagian Jambar…………………………………............... 60 GAMBAR 5 Ulos ………………………………………............................ 61 GAMBAR 6 Mangulosi................................................................................ 63 IX 17 DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1 Transkrip Wawancara Opung Michelle LAMPIRAN 2 Transkrip Wawancara dr. Loybert Nainggolan LAMPIRAN 3 Transkrip Wawancara Rudi Siburian LAMPIRAN 4 Dokumentasi LAMPIRAN 7 Riwayat Hidup Peneli X 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat Batak Toba belakangan ini banyak sekali melangsungkan pernikahan tanpa upacara adat, khususnya mereka yang merantau. Padahal masyarakat Batak dikenal sebagai suku yang taat adat dan memiliki hubungan erat yang tak dapat dipisahkan dengan budaya. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh berbagai hal diantaranya agama, pernikahan beda budaya dan lain sebagainya. Percampuran budaya merupakan pengaruh yang besar dalam perubahan dan pergesaran nilai dalam konteks budaya. Banyaknya orang Batak yang merantau dan tersebar luas di berbagai wilayah di Indonesia bahkan dibeberapa belahan dunia, yang menyebabkan adat yang disakralkan turun temurun pada masyarakat Batak lama kelamaan memudar. Batak Toba merupakan suku yang berasal dari Tanah Toba yang meliputi Pulau Samosir, Tapanuli Utara, Sibolga, dan sekitarnya. Medan tidak termasuk dalam kawasan Batak Toba karena Kota Medan pada sejarahnya merupakan kota milik suku Melayu sehingga dapat dikatakan bahwa Medan merupakan tempat perantauan suku Batak. Batak Toba dikenal sebagai suku yang sangat setia melaksanakan upacara adat dalam berbagai kegiatan sedari dulu. Bagi masyarakat Toba, adat adalah 1 1 2 bagian dari kebudayaan elemen masyarakat Batak untuk mempertinggi kualitas kehidupan mereka dan merupakan identitas budayanya. Sehingga masyarakat Batak yang mempertahankan adat diakui oleh manusia Batak lainnya karena dianggap mempertahankan keteraturan leluhur sehingga tercipta hubungan secara horizontal sesama warga dan hubungan vertikal kepada leluhurnya. Pernikahan adat merupakan warisan budaya yang seiring dengan perkembangan zaman, pernikahan multikultur, dan atau karena masuknya budaya lain menyebabkan dihapusnya adat dalam penyatuan dua manusia yang disebut pernikahan. Perubahan zaman yang menyebabkan unsur budaya semakin hari semakin menipis merupakan fenomena yang kini acap kali menjadi penyebab pernikahan adat tidak dibudayakan lagi. Termasuk banyak fenomena Batak perantau yang tidak mempertahankan kebudayaan pernikaan adat Batak secara murni sehinga banyak orang Batak yang merantau tidak paham lagi dengan budaya yang sebenarnya begitu popular dikalangan Batak ini. Adanya perubahan adat yang disesuaikan dengan seiring berkembangnya zaman menyebabkan sedikit banyak yang berubah dalam persoalan adat. Pernikahan adat tidak diindahkan lagi, termasuk unsur didalamnya yang berhubungan dengan pernikahan adat itu sendiri yaitu mangulosi. Mangulosi memiliki keterikatan kuat dengan Ulos. Ulos merupakan selembar kain tenun khas suku Batak yang diwariskan secara turun-temurun. Selain sebagai warisan secara turun-temurun, Ulos menjadi salah satu wujud hubungan kekerabatan yang ditujukan dalam setiap upacara Batak Toba, salah satunya yaitu dalam pernikahan adat Batak Toba. Peristiwa pemberian Ulos 3 direpresentasikan sebagai tindakan dalam wujud mangulosi. Pemberian ulos tersebut sudah disediakan dan ditetapkan mengenai jenis dan siapa pemberi untuk pengantin. Sehingga orang Batak yang melaksanakannya diakui oleh Batak lainnya. Dalam masyarakat Batak Toba, Ulos dianggap sebagai media solidaritas dalam kehidupan individu dan bermasyarakat. Sehinga Ulos sendiri memiliki kedudukan penting yang berarti dalam tatanan masyarakat Batak Toba. Kehadirannya menjadi pelengkap wajib yang tidak dapat terpisahkan dalam berbagai upacara adat, dalam hal ini termasuk pernikahan adat Batak Toba yang menjadi pusat dalam penelitian ini. Pada realitanya, perkembangannya tidak serta merta dalam posisi „aman‟ karena bergsernya zaman dan adanya pengaruh dari masuknya unsur-unsur dari luar. Menurut sejarahnya, Ulos adalah sebuah tanda yang bisa mengayomi dan memberikan kehangatan bagi pemakainya. Tetapi dalam hal ini, Ulos diartikan sebagai sebuah sarana pelindung yang mampu memberikan perlindungan dan kasih sayang oleh sipemberi kepada sipenerima Ulos, sehingga pada saat pemberian Ulos tersebut maksud dan tujuan sipemberi memberikan Ulos tersebut terucapkan melalui proses mangulosi tersebut. Pemberian Ulos pada upacara perkawinan masyarakat Batak Toba memiliki ragam macam, seperti Ulos Pansamot, Ulos Holong, Mandar Hela, Ulos Bere, Ulos kepada ale-ale dan lain sebagainya. Melihat dari banyaknya Ulos yang diberikan sesuai dengan kondisinya secara umum mengandung arti 4 yang hampir sama, akan tetapi yang menjadi perbedaan adalah ungkapan dari sipemberi kepada sipenerima. Misalnya, pemberian Ulos Hela tidaklah sama penyampaian dan pemberianya. Selain itu, jenis ulos yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan adat karena memliki makna sendiri, seperti kapan Ulos tersebut digunakan, dalam upacara adat seperti apa, penyampaian Ulos atau siapa subyek penerima Ulos dan bagaimana Ulos tersebut digunakan. Tindakan pemberian Ulos ini pula merupakan wujud sakral yang memegang posisi penting dalam riual adat Batak. Pada dasarnya mangulosi adalah tindakan memberi atau menyelimutkan Ulos disertai dengan umpasa-umpasa (doa) dan dianggap sebagai pemberian restu, curahan kasih sayang, harapan, serta kebaikan-kebaikan lainnya. Umpasa-umpasa saat mangulosi diucapkan oleh Raja Parhata, yaitu juru bicara adat yang membaca doa-doa dan cita-cita keluarga atas perkawinan dalam pernikahan adat Batak Toba yang dikirim dari masing-masing kedua belah pihak pengantin sebagai pemimpin dalam pernikahan Batak Toba. Raja Parhata sendiri merupakan bukan sembarang orang yang dapat dipilih sebagai juru bicara adat, namun mereka yang dipilih dari barisan semarga dan dianggap paling paham mengenai hukum adat serta penerapannya dan paling paham mengenai mangulosi dalam pernikahan adat. Raja Parhata memiliki posisi yang sangat penting karena perannya bukan hanya saat pernikahan adat belangsung, namun dari acara sebelum pernikahan, yaitu martupol. Martupol adalah acara dimana persetujuan masing-masing keluarga. Dalam pandangan umum, martupol sama dengan tunangan dimana adanya tawar-menawar perihal sinamot, atau harga 5 pernikahan yang diminta oleh pihak mempelai wanita kepada pihak mempelai laki-laki. Tentu saja Raja Parhata ini bukan lah orang yang sembarang. Raja Parhata dipilih karena ia merupakan orang yang paling paham dengan adat dan paling dituakan. Dalam penelian ini, Batak adalah suku yang menjadi pusat penelitian. Suku Batak memiliki enam sub bagian yaitu Batak Toba, Mandailing, Simalungun, Karo, Pakpak dan Angkola. Penulis fokus pada sub-suku Batak Toba sebagai titik permasalahan komunikasi dan menjadikan ulos sebagai alat untuk menyampaikan pesan dalam ranah budayanya. Suku Batak merupakan suku tertua di Sumatera Utara yang memiliki tradisi sistem kemasyarakatan, sistem religi, hukum adat, sastra, dan musik. Alasan penulis memilih Batak Toba sebagai sasaran studi penelitian, karena Batak merupakan suku yang unik karena merupakan suku taat adat dengan masih mempertahankan filosofi kehidupan manusia Batak yaitu Dalihan na tolu, Selain itu masyarakat Batak menggunakan banyak simbol dalam kehidupan adatnya sehingga sangat menarik untuk dikaji dan dijadikan penelitian. Ulos yang menjadi sumber kehangatan utama selain api dan matahari menjadi menarik pula untuk dibahas sehingga peneliti tertarik untuk membahasnya lebih banyak mengenai adat mangulosi dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini penulis membatasi konsentrasi permasalahan kepada bagaimana posisi Ulos sebagai elemen tak terpisahkan dari pernikahan adat Batak Toba sebagai media atau alat komunikasi melalui simbol yang 6 direpresentasikan melalui Ulos dalam upacara adat tersebut. Dan peneliti ingin merujuk pada permasalahan fungsi ulos sebagai wujud komunikasi dalam pandangan interaksi simbolik sehingga pelaku mendapat pengakuan dan bagaimana masyarakat Batak Toba yang tidak melaksanakan proses ini dalam ritual pernikahannya karena dipengaruhi oleh hal-hal yang sebelumnya penulis bahas diatas. Kemudian penulis memilik Kota Medan sebagai tempat penelitian dikarenakan Medan adalah Kota yang memiliki ragam budaya dan etnis, memiliki masyarakat yang heterogen sehingga memiliki kemungkinan yang besar terhadap percampuran budaya, juga kota Medan merupakan salah satu kota yang modern. Selain itu Medan kerap dianggap sebagai Kota milik orang Batak, padahal secara histori jelas bukan. Dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dan pencarian informasi kepada tokoh-tokoh paham adat Batak Toba atau kepala adat terkait wacana ulos dan komunikasi simbolik dalam upacara adat. 1.2 Rumusan Masalah Masalah penelitian adalah merupakan substansi dari penelitian itu sendiri, oleh karena itu masalah dan metode penelitian sangat ditentukan oleh objek formal dan objek material penelitian tersebut. Maka, masalah yang hendak dikaji adalah mengenai bagaimana proses penyematan Ulos (Mangulosi) dalam pernikahan adat suku Batak Toba yang diteliti dengan mengunakan teknik studi kasus dalam perspektif interaksi simbolik di Gorga Mangampu Tua, Medan?. 7 1.3 Identifikasi Masalah Dari latar belakang di atas maka dapat diidentifikasian masalah-masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana simbol-simbol dan makna yang terdapat dalam tradisi mangulosi (penyematan Ulos). 2. Bagaimana kaitan tradisi mangulosi (penyematan Ulos) dalam upacara pernikahan adat suku Batak Toba terhadap teori interkasi simbolik? 3. Bagaimana modifikasi yang terjadi pada tradisi mangulosi? 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan judul penelitian tentang “Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam Pernikahan Adat Suku Batak Toba”, maka dapat dirumuskan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui simbol-simbol dan makna yang terdapat dalam tradisi mangulosi pernikahan adat Batak Toba. 2. Mengetahui hasil komunikasi dari interaksi simbolik dalam tradisi mangulosi pernikahan adat Batak Toba 3. Mengetahui modifikasi yang terjadi pada pernikahan tradisi adat batak Toba. 8 1.5 Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1. Untuk mengetahui apa saja makna dari simbol yang terkandung dalam tradisi mangulosi upacara pernikahan adat Batak Toba 2. Untuk mengetahui bagaimanakah hasil interaksi simbolik yang dihasilkan dalam pernikahan adat Batak Toba. 3. Untuk mengetahui mengapa tradisi mangulosi memiliki pernanan yang begitu penting sehingga tahu kenapa tradisi ini harus dipertahankan keberadaanya. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Makna dan Simbol 2.1.1 Pengertian Ulos Seni tenun merupakan salah satu sumber kekayaan budaya yang keberadaannya harus dijaga. Kekayaan akan hal ini beraneka ragam dan berangkat dari berbagai macam suku di nusantara. Salah satu seni kekayaan tersebut bernama Ulos. Ulos atau sering disebut juga kain Ulos adalah satu busana khas Indonesia khususnya masyarakat Batak, Sumatera Utara. Dari bahasa asalnya Ulos berarti kain. Pada mulanya Ulos digunakan sebagai pembungkus atau penghangat badan. Dalam perkembagannya, Ulos dipakai sebagai bagian dari tata laksana adat. Namun ada pula beberapa yang menolak keberadaan Ulos karena dianggap sebagai benda yang memiliki unsur magis. Sulit diterima oleh akal bagaimana Ulos dicap sebagai benda yang mengandung kuasa gelap, apalagi kini ulos dibuat dengan mesin yang seperti kebanyakan kain dibuat oleh kebanyakan manusia. Berbicara mengenai ulos, ada pula dalam tatanan prosesi adat yang dinamakan dengan Mangulosi, yaitu suatu kegiatan adat yang merupakan proses menyematkan ulos atau menyelimutkan ulos dalam rangkaian prosesi adat Batak salah satunya dalam pernikahan suku Batak Toba. 9 10 Dikatakan oleh Vergouwen (1986) ulos adalah sejenis pakaian yang berbentuk selembar kain. Kain ini ditenun oleh perempuan Batak dengan berbagai pola. Pada awalnya bagi orang Batak menenun ulos adalah suatu tindakan yang mengandung nilai religious-magis (Niessn, 1985). Hal ini terlihat dari adanya banyak larangan yang tidak boleh diabaikan selama proses penenunan sebuah Ulos. Menurut leluhur batak, yang merupakan salah satu unsur yang memberikan kehidupan bagi tubuh manusia adalah “kehangatan”. Mengingat orang batak dahulu memilih hidup di dataran tinggi sehingga memiliki temperatur yang dingin. Ada tiga hal yang diyakini oleh para leluhur Batak yang memberi kehidupan bagi manusia yaitu: darah, nafas, dan Kehangatan. Sehingga “rasa hangat” menjadi suatu kebutuhan rakyat Batak. Sumber hangat itu berasal dari tiga hal, yaitu: Api, matahari, dan Ulos. Dan dari ketiganya Ulos-lah yang terpenting karena diyakini praktis dan dapat menghangatkan kapan saja dan di mana saja. Sehingga jadilah Ulos menjadi unsur yang penting dalam adat Batak. Salah satunya dalam pernikahan adat Batak. Pada dasarnya bahan utama yang digunakan dalam membuat Ulos adalah benang yang berasal dari tanaman kapas. Kapas ini kemudian diolah sedemikian rupa dengan bantuan alat-alat dan teknik yang sederhana serta didukung oleh pengetahuan yang terbatas. Kemudian 11 setelah itu ada proses perwarnaan benang. Pada masa lampau, proses ini menggunakan bahan-bahan pewarna alami yang ada disekitarnya. Seperti daun nila, dan rerumputan. Dan kini, proses tersebut sudah langka dilakukan seiring dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan yang lebih kaya menjadikan proses menenun dan pewarnaan pada Ulos lebih variatif. Bahkan penggunaan Ulos kini bukan hanya sebagai untuk kepentingan upacara adat saja, melainkan sudah banya beralih fungsi menjadi bahan fashion dan kepentingan ekonomi. Arti dan fungsi Ulos sejak dahulu sampai sekarang secara essensial tidak mengalami perubahan, kecuali pada beberapa variasi yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Bila pada awal pembuatannya, ulos mengandung pengertian yaitu sebagai pakaian sehari-hari yang digunakan untuk menggendong dan pelindung tubuh , maka hal ini tidak berlaku lagi pada masa sekarang. Pada masa kini, nilai Ulos yang tadinya hanya sebatas barang komoditi rumah tangga, kini telah menjadi nilai sakral yang digunakan dalam upacara adat Batak Toba sehingga hal ini menunjukan pentingnya arti dan fungsi Ulos dalam kehidupan masyarakatnya. Telah dikemukakan sebelumnya, pada awalnya Ulos hanya alat pembungkus dan penghangat badan. Dalam perkembangannya, Ulos digunakan dalam berbagai bagian dari pelaksanaan adat. 12 Belakangan ini, banyak pemberian Ulos yang menyimpang dari arti yang sebenarnya, sehingga tidak memiliki arti dan wujud pemberian makna. Ulos na marhadohoan- adat, yang diterima seseorang hanya tiga. Pertama, saat dia dikukuhkan menjadi keluarga pada saat unjuk. Pada saat itu lah seseorang “resmi menjadi orang”. Pada saat unjuk sebenarnya hanya satu ulos yang diterima oleh pengantin, yaitu ulos hela. Ulos lainnya di sebut sebagai ulos holong, yaitu ulos sebagai pemberian tak bermakna atu dalam arti lain sebagai hadiah, Ulos kedua, apabila seseorang mengawinkan anak laki-laki (Ulos passamot). Dan yang terakhir adalah ulos tajung atau ulos sampe tua (bisa tak diterima langsung karena menerima ulos saput). Ulos lainnya bukan dalam rangka paradaton (adat) hanya sebagai bunga-bunga atau hiasan dari acara. Akan tetapi kini, prosesi pemberian Ulos tidak serta merta mengikuti aturan lama. Hal ini dapat dilihat pada praktik pemberian ulos yang dilakukan oleh sejumlah pihak kepada para pejabat pemerintahan, atau pun pihak luar masyarakat Batak itu sendiri, sehingga menimbulkan kerancuan. Berikut jenis-jenis ulos dalam paradaton yaitu sebagai berikut: a. Ulos passamot, diberikan suhut parboru b. Ulos hela diberikan suhut parboru 13 c. Ulos tu pamarai diberikan pamarai dari parboru d. Ulos tu si hutti ampang diberikan tulang e. Ulos tu simolohon atau amanguda diberikan oleh amanguda atau simandokkon . Di luar yang telah disebutkan di atas, sebagaimana susuai adat Ulos dari tulang sijalo tintin marangkup dan ulos dari tulang ni pangolin diberikan terakhir, sekaligus pajabuhon bere-nya. Pada hakekatnya di atas, ulos merupakan simbol-simbol, atau lambang-lambang yang digunakan untuk menentukan kedudukan seseorang atau kelompok, lambang kekerabatan dan juga sebagai simbol komunikasi dalam proses penyampaian pesan, berita, atau keinginan. Hal ini juga berlaku dalam upacara pernikahan adat Batak Toba. 2.1.2 Manusia Batak dan Budaya Batak Toba Batak merupakan suku yang terkenal masih memegang erat budayanya hingga saat ini. Terbukti dengan masih dipakainya adat-adat yang merupakan hadiah turun-temurun dari leluhur walaupun globalisasi sudah banyak mewabah di mana-mana. Tapi manusia Batak tetap setia dengan aturan yang ada sebagai identitas mereka sebagai suatu suku. Berbicara mengenai Batak Toba, dalam Buku Manusia Batak Toba (Pdt. Saut HM Silitonga, STH. MPhil), dapat dikatakan sampai saat ini masih belum bisa dipastikan mengenai asal-usulnya. Ini disebabkan karena 14 ketidakadaan dokumen sejarah purba yang tertulis dan diyakini dengan pasti. Adapun hasil penelitan lain menyebutkan bahwa asal mula suku Batak Toba adalah dari keturunan imigran gelombang kedua yaitu Proto Melayu, yang datang dari Cina Selatan. Dilihat dari sudut perkembangan peradaban manusa, maka suku Batak sudah ada kira-kira sejak tahun 3000 SM, demikianlah pendapat Paul Padersen (1975). Tetapi secara genealogis-antropologis, St. E. Harahap mengatakan bahwa yang dimaksud dengan suku Batak adalah penduduk asli yang berdiam dan bermukim di daerah yang benama Tapanuli, bagian utara dan baratlaut pulau Sumatera. Suku Batak terdiri dari lima sub suku atau cabang yaitu suku Toba, Karo, Pakpak atau Dairi, Simalungun, AngkolaMandailing dan dari sub suku tersebut memiliki ciri khas masing-masing, antara lain dalam bahasa dan dialek, struktur kemasyarakatan, dan juga adat-istiadat. Mereka juga memiliki ciri khas bersama yaitu memiliki marga dan pola dasar kekerabatan yang disebut dengan Dalihan na tolu. Dalihan na tolu adalah ungkapan flosofi hidup kekerabatan suku Batak. Arti harfiah dari Dalihan na tolu adalah tungku masak yang berkaki tiga. Hubungan kekerabatan dalam kehidupan sosial ditandai oleh tiga unsur, yaitu dongan tubu, Boru, dan Hula-hula. Dalihan na tolu sebagai unsur utama yang menjadi tiang dalam filosofi kekerabatan suku Batak berhubungan dengan segala hal yang terdapat dalam unsur kebatakan, terasuk dalam pernikahan dan mangulosi yang dibahas dalam penelitian ini. 15 Prinsip dasar hubungan ketiga unsur kekerabatan itu adalah keseimbangan. Keseimbangan hubungan, sebagaimana tungku masak membutuhkannya agar beban sama dan tidak berakibat runtuhnya tungku dan menumpahkan bebannya. Harus ada kesadaran bahwa semua orang Batak akan berada dalam semua unsur tatanan tersebut supaya keseimbangan menjadi nyata. Mengenai Penamaan Batak dan artinya, terdapat sejumlah tafsiran dan pandangan. Salah satu di antaranya, kata Batak bermakna penunjukan satu suku di Pulau Sumatera. Makna lain, berdasarkan kamus dewan 1998, adalah berarti “mengembara”, “merompak”, “menyamun”, dan “merampas”. Dalam hal ini menurut agama Malim (suatu keyakinan leluhur Batak) mempercayai semua manusia di dunia pada mulanya berasal dari Sianjur Mulamula yang letaknya di kaki gunung Pusuk Buhit, sebuah nama kampung (huta) yang berarti bukit tertinggi yang berada di Tanah Batak (sebutan daerah asal suku Batak yaitu Tapanuli). Menurut yang dituturkan oleh Deddy Mulyana dalam bukunya yaitu Komunkasi Antara Budaya, Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berfikir, merasa mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, kebiasaan, makan, peraktik komunikasi, tindakan-tindakan , kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi itu berdasarkan pola budaya. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya 16 didefenisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan, ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi yang diperoleh sekelompok besar dari generasi ke generasi melalui usaha individu atau usaha kelompok. Budaya kita secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati, dan bahkan setelah mati pun kita dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita. Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan, oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisinya untuk mengirim, memperhatikan, dan mengartikan pesan. Pada dasarnya adat Batak merupakan rangkaian peraturan yang tidak tertulis yang mengatur segala ospek kehidupan orang perorangan, keluarga atau rumah tangga dan masyarakat Batak secara keseluruhan (Vergouwen, 1986). Rangkaian tersebut membentuk suatu siklus kehidupan sehingga harus dilewati atau dilalui dalam upacara adat Batak Toba. Secara umum konsep adat diartikan sebagai kebiasaan atau tata cara. Bertolak dari pengertian itu maka orang Batak Toba membagi atas tiga tingkatan yaitu inti, adat na taradat, dan adat niadathon (Schereiner,2003). Adat adalah inti seluruh kehidupan yang terjadi pada 17 permulaan penciptaan dunia oleh Dewata Mulajadi Nabolon dan bersifat konservatif serta tidak berubah. Dalam peristiwa perkawinan, ada dua suhut, yaitu suhut dari pihak hula-hula dan suhut dari pihak boru. Bagi upacara pernikahan adat Batak Toba baik dari pihak laki-laki maupun perempuan merupakan suhut. Hal ini karena masing-masing keduanya merupakan pihak yang mengundang kerabat masing-masing. Selama proses upacara pernikahan adat berlangsung, mempelai akan menerima hadiah (tumpak) dari para tamu undangan dan kerabat berupa Ulos, dekke (ikan), uang, dan beras. Dalam pernikahan Batak Toba pemberian Ulos ataupun beras memiliki pesan simbolik. Mereka yang memberikan uang berlaku sebagai pihak yang ikut dalam proses “pembelian” mempelai perempuan. Sementara bagi yang memberikan beras, dekke (ikan) dan ulos adalah mereka yang mendapat hak atas penerimaan uang dari pihak yang menikahi anak perempuannya, (Vergouwen, 2004). 2.1.3 Interaksionisme Simbolik Sebagian pakar-pakar terkemuka berpendapat bahwa teori interaksi simbolik khususnya teori dari George Harbert Mead, sebenarnya berada di bawah bayang-bayang teori tindakan sosial yang dikemukakan oleh filosof dan sekaligus sosiolog dari Jerman yaitu Max Weber (18641920). Sebagaimana yang diakui oleh Paul Rock bahwa Interaksi 18 Simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang bekembang di Eropa dan memiliki kemiripan dengan teori Weber sehingga hal tersebut membuktikan bahwa Mead terilhami oleh Weber. Dalam teori ini, Mead mengemukakan bahwa makna muncul sebagai interaksi di antara manusia, baik secara verbal maupun nonverbal. Melalui aksi dan respons yang terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanya kita dapat memahami suatu peristiwa dengan cara tertentu Dalam deskripsi Mead, proses “pengambilan peran” menduduki tempat penting. Interaksi berarti bahwa para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental kedalam posisi orang lain. Dengan berbuat demikian mereka mencoba mencari maksud dari aksi yang diberikan oleh pihak lain, sehingga komunikasi dan interaksi dimungkinkan. Jadi interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak saja, melainkan terutama simbolsimbol yang perlu dipahami dan dimengerti maknanya. Artinya, geraklah yang menentukan. Dalam interaksi simbolik, orang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerak orang lain dan bertindak sesuai dengan arti itu. Tiga konsep utama menurut Mead dalam teori ini adalah Masyarakat (Society), diri sendri (self), dan pikiran (mind). Mead mendefinisikan masyarakat (society) sebagai jaringan hubungan yang diciptakan manusia. Individu-individu terlibat di dalam masyarakat melalui prilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Jadi masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku 19 yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi juga diciptakan dan dibentuk oleh individu (self), dengan melakukan tindakan sejalan dengan orang lain. Mead mendefenisikan pikiran (mind) sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna yang sama. Mead percaya bahwa manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana, 2001:68). Pertama, konsep diri. Menurut Blumer, manusia bukan semata-mata organisme yang bergerak dibawah pengaruh perangsang-perangsang dari luar maupun dalam, melainkan “organisme yang sadar akan dirinya”. Dikarenakan ia seorang diri, ia mampu memandang diri sebagai objek pikirannya dan bergaul atau berinteraksi dengan diri sendiri. Kedua, konsep perbuatan (action).Dalam pandangan Blumer, karena perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan diri sendiri, maka perbuatan itu berlainan sekali dari gerak mahluk yang bukan manusia. Manusia menghadapkan diri pada macammacam kebutuhan, perasaan, tujuan, perbuatan orang lain, pengharapan, dan tuntunan orang lain, peraturan-peraturan masyarakatnya, situasinya, self image-nya, ingatannya dan cita-citanya untuk masa depan. 20 Ketiga, konsep objek. Menurut Blumer manusia hidup ditengah objek-objek. Kata objek dimengerti dalam arti luas dan meliputi semua yang menjadi sasaran perhatian aktif manusia. Kata Blumer, objek dapat bersifat fisik seperti kursi, atau khayalan, kebendaan, ataupun hal yang bersifat abstrak seperti konsep kebebasan. Keempat, konsep interaksi sosial dalam pandangan Blumer aalah bahwa para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental kedalam posisi orang lain. Oleh penyesuaian timbal-balik, proses interaksi dalam keseluruhannya menjadi suatu proses yang melebihi jumlah total unsur-unsurya berupa maksud, tujuan, dan sikap masingmasing individu. Kelima, Keep Joint Action, pada konsep ini Blumer mengganti istilah sosial art dari Mead dengan istilah Joint Action. Artinya aksi kolektif yang mahir dimana perbuatan-perbuatan masing-masing peserta dicocokan dan diserasikan satu sama lain. Sebagai contoh, Blumer menyebutkan, transaksi dagang, makan bersama keluarga, upacara perkawinan, dan sebagainya, realitas sosial dibentuk dari Joint Action dan merupakan konsep sosiologi sebenarnya. Blumer berhasil mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tingkat metode yang cukup rinci. Teori interaksionisme simbolik yang dimaksud adalah bertumpu pada tiga premis utama, yaitu: 21 1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. 2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan orang lain. 3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sedang berlangsung. Menurut Mead Interaksi Simbolik merupakan kesatuan dari Mind (pikiran), Self (diri), dan Society (social). Di mana mind adalah sebagai pikiran yang dibentuk dan terbentuk. Artinya pikiran yang terbentuk pada masyarakat Batak adalah sebagai manusia yang ingin mempertahankan eksistensi sebagai manusia Batak dengan mempertahankan adat leluhur secara turun-temurun. Sehingga para calon penantin memiliki kenginan untuk melaksanakan mangulosi pada pernikahan adatnya. Selanjutnya self, adanya keinginan untuk melaksanakan serta menjunjung Dalihan Na Tolu sebagai akar atau sumber terbentuknya adat Batak yang direpresentasikan melalui beragam macam aturan yang ada sebagai tradisi pada Budaya Batak, dalam hal ini termasuk juga Mangulosi (penyematan ulos) dalam pernikahan adat Batak. Tahap ini merupakan tahap role action, di mana manusia Batak mewujudkan keinginannya pernikahannya. untuk melaksanakan mangulosi dalam upacara 22 Dalihan Na Tolu adalah sumber adat Batak yang merupakan unsur mutlak yang mengatur antara hubungan diri sendiri, keluarga, dan orang lain. Sehingga pada tahap selanjutnya yaitu Society, melaksanakan adat sesuai aturan yang telah ditentukan dari masa ke masa ke setiap generasi Batak, termasuk dalam wujud mangulosi dalam hal ini adalah tidak lain untuk melahirkan pengakuan sosial sebagai manusia Batak yang sejatinya taat adat. 2.1.4 Komunikasi dan Simbol Simbol memiliki hubungan yang erat dengan teori Susanne Langer yang menciptakan teori terkemuka bernama teori simbol. Menurut Langer perasaan manusia dimediasikan oleh konsepsi, simbol dan bahasa. Tanda (sign) adalah stimulus yang menandakan kehadiran dari suatu hal. Dengan demikian, sebuah tanda memiliki kaitan erat dengan makna dan kejadian. Sebuah simbol atau kumpulan simbol-simbol bekerja dengan menghubungkan sebuah konsep, ide umum, pola, atau bentuk. Menurut Langer konsep adalah makna yang disepakati sama-sama di antara pelaku komunikasi. Sebuah simbol adalah sebuah instrument pemikiran. Simbol adalah konseptualisasi manusia tentang suatu hal, sebuah simbol ada untuk untuk sesuatu. Sehingga untuk itu simbol-simbol tersebut bersinggungan dengan penelitian ini, dalam upacara adat Batak sangat lekat dengan beragam 23 simbol yang tentu saja memiliki makna dan arti sehingga dalam prosesinya dianalogikan dengan beragam benda, bentuk, dan gerakan yang memiliki maksud. Seperti adanya pembagian jambar pada pernikahan adat Batak, pemberian tupak sampai tradisi mangulosi dengan meggunakan ulos tertentu oleh orang yang telah ditentang pula merupakan hal yang tentu saja memiliki makna. Ulos sendiri memilki artian penting pada masyarakat Batak, karena merupakan lambang kehangatan. Sehingga tidak aneh jika setiap prosesi adat suku ini tidak bisa melupakan ulos sebagai perangkat utama dalam adat. Pada pembahasan yang tidak jauh dari simbol, Cooley dan Mead berujar bahwa diri muncul karena komunkasi. Manusia ada karena mereka memiliki kemampuan memanipulasi simbol-simbol berdasakan kesadaran. Simbol merupakan rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respons manusia terhadap simbol adalah dalam pengertian stimulasi fisik dari alat-alat indranya. Makna suatu simbol bukanlah pertama-tama ciri-ciri fisiknya, namun apa yang dapat orang lakukan mengenai simbol tersebut. Dengan kata lain seperti yang dikatakan oleh Shibutani, “Makna perama-tama merupakan property perilaku dan kedua merupakan property objek. Jadi semua objek simbolik menyarankan suatu suatu rencana tindakan (plan of action) dan bahwa alasan untuk berperilaku dengan suatu cara tertentu terhadap suatu objek antara lain diisyaratkan dengan objek tersebut. Dari pernyataan tersebut berkenaan dengan wujud mangulosi yang menjadikan ulos 24 sebagai bentuk dari objek simbolik yang telah direncanakan atau terencana sesuai tradisi turun-temurun melalui budaya. Secara etismologis, simbol berasal dari kata Yunani “Symballein” yang berarti melemparkan bersama suatu (benda atau perbuatan) dikaitkan dengan satu ide, (Hartoko dan Rahmanto, 1998: 133). Ada juga yang menyebutkan “symbolos”, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan suatu sesuatu hal kepada seseorang (Herustato, 2000:10). Dalam bahasa komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menujuk satu dan lainnya berdasarkan kesepakatan kelompok orang. (Alex Sobur, Semiotika Komunikasi 2004: 157) Semua pakaian yang dengan segala modelnya seperti yang dikemukakan Thorsten Veblen dalam bukunya Theory of the Leisure Class (1899), adalah simbolik: Bahan, potongan, dan hiasannya antara lain ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan mengenai kehangatan kenyamanan, dan kepraktisannya (Deddy Mulyana, Komunikasi Antar Budaya, 2005: 97) Komunikasi melibatkan tidak hanya proses verbal yang berupa kata, frasa, kalimat, dan kata-kata. Melainkan ada campur tangan proses nonverbal yang tidak dapat terpisahkan dan menjadikan proses komunikasi tersebut semakin kuat. Proses nonverbal melputi isyarat, 25 gerak-gerik tubuh, ekspresi wajah, sentuhan, pakaian, diam, dan ciri paralingusitik. Walau kekuatannya tidak sebesar komunikasi verbal, namun menurut Mead komunikasi nonverbal tidak bisa diremehkan. Ini disebabkan karena jumlah tanda atau simbol yang berfungsi dalam komunikasi memiliki jumlah yang tak terbatas. Selaras dengan itu, Alfred Schutz yang sejajar dengan pemikiran Mead ini menyatakan bahwa ada motif dalam komunikas simbolik tergantung dari maksud rangsangan yang dicari dan ditafsirkan dari pelaku komunikasi. Schutz menggolongkan motif ini sebagai tujuan, harapan, rencana, minat dan sebagainya. Sedang motif lain adalah merujuk pada pengalaman masa lalu. Dalam proses mangulosi seperti yang telah ditulis pada pembahasan sebelumnya bahwa tradisi ini memiliki motif yang berhubungan dengan apa yang dikatakan oleh Schutz yaitu adanya harapan dan tujuan serta pengalaman dari masa lalu yang kemudian menjadikan kebiasaan yang dilakukan turun-temurun sehingga oleh karena itu terbentuklah menjadi sebuah rangkaian dalam prosesi adat. Tidak jauh dari pembahasan sebelumnya di atas, bahwa simbolsimbol yang telah disepakati sebagai bentuk menyampaikan proses komunikasi melalui lambang-lambang. Ulos memiliki banyak ragam dan masing-masing memiliki fungsi sebagai alat komunikasi simbolik yang maksudnya telah disepakati dan dipahami oleh masyarakat Batak Toba yang mempertahankan adat ini. Bukan hanya Ulos, namun siapa yang 26 menjadi pemberi Ulos pun merupakan orang yang telah ditentukan sehingga pesan dan tujuan dari penyematan ulos sampai pada si pengantin sebagai si penerima Ulos. 2.2 Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai Ulos sebelumnya pernah diteliti oleh beberapa peneliti, dengan persfektif yang berbeda-beda. Dibawah ini merupakan penelitian terdahulu yang pernah diajukan oleh peneliti sebelumnya : Peneliti Eva Solina Sugiardi Gultom Judul Evi Enitari Napitupulu Wacana Ulos Studi Deskriptif Upacara Komunikasi Batak Toba dan Musik pada Simbolik Dalam Studi Perkawinan Adat Suku Ulos Pada Kasus Tiga Jawa di Medan Selayang. Pernikahan mailing List Adat Batak Batak Toba : Toba (Studi Silaban Interaksionis BrotherHood, me Simbolik Batak Cyber Ulos Pada Community dan Penikahan Batak Gaul Adat Batak Community. Toba di Sumatera Utara) Tahun 2012 2014 2015 Tujuan Untuk Dalam penelitian tersebut Untuk Peelitian mengetahui membahas mengenai mengetahui mengenai bagaimana prosesi fungsi Ulos 27 keberadaan upacara adat suku Jawa. dalam Ulos dengan pernikahan agama Kristen, adat, membahas mengamati mengenai nilai- prosesi nilai adat yang mangulosi, bertentangan mengetahui dengan Injil adat Batak yang masih dijaga dalam perkahan adat Batak Toba. Teori Bourdieu Pendekatan Semiotika. Interaksi Simbolik Hasil Pada akhirnya Mendeskripsikan Mengetahui Penelitian Inl tiak dapat bagaimana proses bagaimana mengubah pernikahan adat Jawa dan proses adat masyarakat dituliskan dengan Batak Toba di Batak Toba sistematis. Proses Balige melalui pertranskripsian musiknya Sumatera permasalahan dilakukan dengan cara Utara yang yang timbl sistem notasi kepahitan. masih mengenai adat melestaikan dan ulos. Hal budaya Batak ini disebabkan dan menjaga oleh pertahanan keaslian identitas budaya Batak kebatakan yang hususnya kental dan dalam mendarah pernikahan daging disetiap adat Batak. 28 diri orang Dan Batak. menemukan adanya keterkaitan Interaksi Simbolik dalam peyematan Ulos Batak Toba. Persamaan Pada penelitian Kesamaan dengan Membahas ini penelitian ini adalah mengenai kesamaan membahas mengenai prosesi dalam meneliti Pernikahan adat. pernikahan memiliki mengenai Ulos. adat Dan Toba, adat-adat Batak yang membahas besinggngan mengenai dengan mangulosi ulos, dan adat Batak dan fungsi yang adat ini, sampai saat ini masih mebahas dibudayaa oleh pemaknaan masyarakat dalam prosesi Batak. penyematan ulos. Perbedaan Menggunakan Pernikahan adat yang Penelitian ini metode dibahas adalah pernikahan di lakukan di kuantitatif dan adat Jawa. Meneliti Balige, dan membahas bagaimana isntrumen suku asli mengenai musik disetiap prosesi Batak Toba 29 keberadaan adat yang berlangsung daerah Balige Ulos dengan dalam pernikahan Sumatera agama Kristen, tersebut. Dan Utara menjadi membahas memfokuskan diri pada varabel yang mengenai nilai- unsur musik serta diteliti. nilai adat yang pertunjukan seni pada Berbeda bertentangan pernikahan tersebut. dengan dengan Injil. penelitian Sedangkan yang saya dalam teliti yaitu penelitian ini masyarakat menggunakan Batak Toba metode perantauan di kualitatif dan Medan yang terfokus kepada menjadi penyematan variable yang Ulos dalam diteliti. upacara adat yakni pernikahan adat Batak Toba. Sumber www.digilib.ui. www.etnomusikologiusu.c www.digilib. ac.id om mercubuana.a c.id Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu 30 Ketiga penelitian tersebut hampir memiliki kasus yang serupa dengan pembahasan mengenai Ulos dan fungsinya serta meneliti mengenai pernikahan adat. Kedua penelitian di atas mengangkat tema mengenai Ulos dalam berbagai perspektif. Seperti pada penelitian yang berjudul Wacana Ulos Batak Toba Dalam Studi Kasus Tiga mailing List Batak Toba : Silaban BrotherHood, Batak Cyber Community dan Batak Gaul Community. (Oleh: Eva Solina Gultom, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Magister, Ilmu Susastra, Universitas Indonesia, 2012). Pada penelitian ini memiliki kesamaan dalam meneliti mengenai Ulos. Perbedaannya penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah menggunakan metode yang berbeda. Dalam Penelitian yang berjudul “Wacana Ulos Batak Toba dalam studi Kasus Tiga Mailing List Batak Toba: Silaban VrotherHood, Batak Cyber Community dan Batak Gaul Community”, menggunakan metode kuantitatif dan membahas mengenai keberadaan Ulos dengan agama Kristen, membahas mengenai nilai-nilai adat yang bertentangan dengan Injil. Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan terfokus kepada penyematan Ulos dalam upacara adat yakni pernikahan adat Batak Toba. Berbeda lagi dengan penelitian yang dilakukan oleh Sugiardi, Jurusan Musikologi, Universitas Sumatera Utara, 2014 mengenai penelitian tersebut membahas mengenai musik dan makna yang terkandung dalam pernikahan adat Jawa di Medan Selayang, serta membahas mengenai bagaimana proses adatnya. Kesamaan dengan penelitian ini adalah membahas mengenai pernikahan ada 31 suatu suku, namun dalam penelitian tersebut lebih membahas musik yang dipakai dalam tiap langkahnya prosesi adat secara spesifik. Ada pula penelitian di luar ketiga penelitian di atas yang pernah diteliti sebelumnya yaitu berjudul Modifikasi Ulos Batak (Studi Etnografi Tentang Perubahan Fungsi dan Ekonomi Kreatif) (Oleh:Nesya Presella Siburian, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Departemen Antropologi Sosial, Universitas Sumatera Utara, ). Persamaan dengan skripsi ini adalah membahas mengenai kain Ulos. Namun, skripsi tersebut membahas mengenai perubahan fungsi Ulos yang dikenal sakral dalam berbagai upacara adat Batak menjadi kain yang memiliki nilai jual tinggi setelah adanya modifikasi dan memiliki nilai ekonomi. Modifikasi Ulos adalah fokus utama dalam penelitian tersebut. Dari perbandingan penelitian-penelitian tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Evi Enitari Napitupulu, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Mercu Buana 2015. Dengan judul Komunikasi Simbolik Ulos Pada Pernikahan Adat Batak Toba (Studi Interaksionisme Simbolik Ulos Pada Penikahan Adat Batak Toba di Sumatera Utara) Penelitian tersebut memiliki banyak kesamaan dengan penelitian ini. Sama-sama membahas menganai Ulos dalam pernikahan adat, mengamati prosesi mangulosi, dan menggunakan teori interaksi simbolik sebagai acuan penelitian. Namun ada yang berbeda dari keduanya, yaitu tempat penelitian di mana penelitian tersebut di atas mempusatkan pada pernikahan adat Batak yang terjadi di daerah asli suku Batak yaitu Balige Samosir-Sumatera utara 32 sebagai tempat penelitian. Sedangkan penelitian ini meneliti pernikahan adat Batak yang terjadi di daerah perantauan yaitu Medan yang tentu keberadaanya tetap dipertahankan di tengah-tengah masyarakat yang hetero dan modern , serta perubahan pola pikir karena bukan merupakan daerah asli di mana Batak dan aturan adatnya lahir. 2.3 Kerangka Berfikir Kerangka berpikir merupakan penggambaran alur pikiran peneliti sebagai kelanjutan dari kajian teori untuk memberikan penjelasan kepada pembaca guna memperjelas maksud penelitian. Proses mangulosi dilihat dari sisi interaksi simbolik menjadi teori yang dijadikan sebagai landasan penelitian ini, bagaimana mangulosi memiliki kaitan dengan komunikasi dan membuktikan teori tersebut tentang bagaimana hubungan suatu budaya yang dilakukan secara turun-temurun dalam hal ini proses penyematan ulos. Sehingga menciptakan hasil yang dibentuk dari mind, self, and society sebagaimana yang diterangkan oleh Mead dalam teorinya tersebut. Dalam prosesi adat ini terjadi beberapa tindakan komunikasi yang didalamnya terdapat komunikasi nonverbal karena melakukan kegiatan komunikasi non bahasa, yaitu menggunakan ulos sebagai cara berkomunikasi dengan kegiatan penyematan ulos (mangulosi) dalam pernikahan adat suku batak, sub suku Batak Toba tersebut. Dalam bagan tersebut digambarkan bahwa ada beberapa teori yang terlibat dalam kegiatan simbolik pada penyematan ulos (mangulosi tersebut) 33 diantaranya, interaksionisme simbolik dimana dalam interaksionisme simbolik tersebut bahwa adanya interaksi melalui simbol-simbol atau tandatanda yang terdapat dalam proses tradisi penyematan ulos dalam pernikahan adat batak toba. Hal ini membuktikan bahwa komunikasi tidak hanya dapat dilakukan secara bahasa, namun dengan non bahasa. Seperti dalam tradisi pernikahan adat Batak Toba, kegiatan tersebut bukan hanya semata-mata tradisi melainkan ada unsur sakral yang mengandung pesan dan dijaga dari generasi ke generasi. Peneliti ingin menggambarkan bahwa ada hubungan yang diciptakan Ulos sebagai media dalam kegiatan mangulosi pada pernikahan adat Batak Toba yang merupakan budaya Batak yang telah dibangun sekian lama kemudian menciptakan interaksi simbolik. Interaksi simbolik tersebut memiliki makna khusus sebagai pesan dan saling berhubungan dengan yang dibentuk oeh mind, self and society para pelaku proses tersebut. Sehingga dapat digambarkan dengan sebuah bagan seperti pada bagan di bawah ini; 34 Mangulosi dalam Interaksi Simbolik (Mead) Pernikahan Adat Batak Toba Proses Mangulosi Ulos Ma Penyampaian Pesan Interaksi Simbolik Mind Self Society “Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam Pernikahan Adat Suku Batak Toba” (Studi Kasus Mangulosi Dalam Perspektif Interaksi Simbolik pada Pernikahan Batak Toba di Gorga Mangampu Tua-Medan) Bagan 2.1 Kerangka Berfikir Dari bagan di atas digambarkan bahwa peneliti menemukan adanya keterkaitan antara teori interaksi simbolik dalam proses adat pernikahan Batak Toba di Gorga Mangampu Tua-Medan. Bahwa proses mangulosi dengan media ulos sebagai simbol untuk menyampaikan pesan. Pesan tersebut digambarkan dengan komunikasi bentuk verbal dan non verbal sebagaimana yang dituturkan dalam teori interaksi simbolik yang mana dibentuk dengan komunikasi verbal dan non verbal yang merupakan simbol-simbol yang sangat penting dan dipahami bersama. Interaksi simbolik memiliki tiga komponen utama, yaitu mind, self, dan society. Sebagaimana yang digambarkan oleh Mead melalui teorinya bahwa 35 Mind (pikiran) yang menjadi bagian kemampuan untuk menggunakan dan mengerti simbol yang memiliki makna sosial yang sama. Dalam adat pernikahan adat ini maksudnya bahwa jika sudah melakukan proses mangulosi telah mendapat makna sosial yang sama. Kemudian self (diri), adalah kemampuan untuk merefleksikan diri dari tiap penilaian sudut pandang orang lain. Sehingga melangsungkan proses mangulosi untuk mendapat pengakuan dari orang lain. Dan terakhir adalah society (masyarakat), yaitu hubungan sosial yang diciptakan dari proses mangulosi tersebut. Ada proses sukarela dari masyarakat untuk mengantarkan manusia pada proses pengambilan peran ditengah masyarakatnya. Sehingga dari dasar itulah terebntukalah penelitian ini untuk melihat bagaimana keterkaitan interaksi simbolik dengan pernikahan adat Batak toba, akan dikaji dalam penelitian ini. 36 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Menurut Sugiyono (2011:2), metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut terdapat kata kunci yang harus diperhatikan yaitu, cara ilmiah, tujuan, dan kegunaan. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut buku Penulisan Kualitatif yang ditulis Burhan Bungin (2007), Metode Penelitian Kualitatif Metode kualitatif berusaha mengungkap berbagai keunikan yang ada dalam individu, kelompok, masyarakat atau organisasi dalam kehidupan seharihari secara menyeluruh, rinci, dalam dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Miles and Huberman, 1994:6-7). Dalam penelitian ini peneliti ingin mendapatkan informasi mengenai makna yang terdapat dalam prosesi adat mangulosi pada pernikahan adat Batak Toba mengenai bagaimana proses komunikasi dan interaksi simbolik yang terdapat dalam proses adat tersebut. Maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi kasus. Menurut Rachmat Kriyantono dalam buku Teknik Praktis Riset Komunikasi (2006), studi kasus adalah sebuah metode riset yang menggunakan berbagai sumber data yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan, menjelaskan, 36 37 secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis. Sehingga dengan metode ini peneliti berharap dapat menguraikan dengan rinci bagaimana proses mangulosi berlangsung. Secara umum ada tiga sifat tujuan penelitian yaitu besifat penemuan adalah penelitian yang tidak pernah ada sebelumnya dan data-data yang tidak pernah ditemui sebelumnya. Kedua bersifat pembuktian adalah penelitian yang bersifat membuktikan keragu-raguan dari penelitian yang pernah ada sebelumnya. Dan ketiga adalah bersifat pengembangan yang bersifat mengembangkan dan memperdalam mengenai hasil penelitian yang pernah diteliti sebelumnya. Menurut Sugiyono, bila dilihat dari level of expenation penelitian kualitatif bisa menghasilkan informasi yang deskriptif yaitu memberikan penggambaran yang menyeluruh dan jelas terhadap situasi yang diteliti. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptis untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dan perspektif partisipan. Dengan metode studi kasus di mana dilakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap suatu keadaan dalam hal ini proses mangulosi, dengan menggunakan cara-cara sistematis dalam melakukan pengamatan, pengumpulan data, analisis informasi dan pelaporan hasil. Sehingga diperoleh pemahaman 38 yang mendalam tentang mengapa sesuatu terjadi dan bagaimana sehingga dapat memahami objek peneliti dan menjadi riset sebagai bukti baik. Berdasarkan hal tersebut, peneliti berupaya untuk memperoleh informasi secara mendalam mengenai bagaimana prosesi adat mangulosi dalam pernikahan suku Batak Toba di Medan dalam rangkaian adat, bagaimana peranan interaksi simbolik dan wujud komunikasi terlibat dalam prosesnya dan upaya bagaimana mereka dalam menjaga dan melestarkan upacara adat ini sebagai masyarakat perantauan. Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui prosesi mangulosi dan ingin menggambarkan proses adat ini secara terperinci dan mendalam. 3.2 Paradigma Penelitian Paradigma mengandung pandangan tentang dunia, cara pandang untuk menyederhanakan kompleksitas dunia nyata dan karenanya dalam konteks pelaksanaan penelitian, memberi gambaran pada kita mengenai apa yang penting, apa yang dianggap sah untuk dilakukan, serta apa yang dapat diterima akal sehat. Paradigma juga bisa diartikan sebagai kumpulan asumsi secara logis mengarahkan cara berfikir dan cara penelitian. Paradigma penelitian ini adalah post-positivisme. Dengan menggunakan paradigma post-positivis ini, peneliti berusaha untuk mengetahui lebih dalam mengenai proses penyematan ulos dalam pernikahan adat Batak Toba dilihat dari prespektif interaksi simbolik. 39 Paradigma post-positivis beranggapan bahwa permasalahan harus dipahami secara holistik dan kontekstual, artinya bahwa objek penelitian merupakan sesuatu yang apabila diteliti dan dipahami bagian perbagian maka akan berhubungan dengan bagian-bagian yang lain dan akan membentuk suatu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, objek dari suatu masalah juga harus dipahami sesuai dengan konteksnya. Permasalahan dalam paradigma postpositivis tidak akan ditemukan apabila peneliti hanya mengamati dan membuat jarak dengan obyek penelitian. Hal tersebut karena dalam paradigma postpositivis terdapat unsur emosi, perilaku, dan perasaan yang dapat dimengerti dan dipahami apabila peneliti terlibat langsung dan merasakan sendiri kenyataan yang terjadi sebenarnya. Peneliti harus mampu mengungkap data yang sebenarnya melalui kegiatan observasi dengan memahami setiap bentuk kegiatan mangulosi yang dilakukan oleh mempelai dan instrumen yang terlibat dalam proses pernikahan adat Batak Toba di Kota tersebut. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian kualitatif ini menggunakan teknik pengumpulan data dilapangan yaitu dilakukan teknik observasi, serta teknik wawancara mendalam dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses mangulosi dan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Selanjutnya akan diuraikan sebagai berikut: 3.3.1 Teknik Observasi Dalam teknik observasi ini digunakan untuk mengumpulkan data tentang keadaan atau berbagai kegiatan yang dilakukan oleh subjek 40 penelitian. Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian mempunyai alasan, antara lain: a. Teknik ini digunkana untuk mengumpulkan data mengenai kegiatan yang dilakukan oleh subjek penelitian. b. Data yang dikumpulkan dapat diamati dengan jelas dan rinci mengenai penelitian tersebut. Melalui teknik ini peneliti dapat mengamati agai mana proses komunikasi dalam interaksi simbol pada kegiatan mangulosi. Sebelumnya peneliti telah mengamati bagaimana adat yang sampai saat ini masih dipertahankan oleh masyarakat Batak. 3.3.2 Teknik Wawancara Mendalam Wawancara mendalam adalah suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung atau bertatap muka dengan informan agar bisa mendapatkan data lengkap dan mendalam sesuai dengan objek penelitian. Wawancara ini dilakukan dengan frekuensi tingi dan berulangulang secara intensif. Dengan melakukan teknik wawancara, peneliti akan melakukan interaksi dengan subjek penelitian agar peneliti dapat menafsirkan berbagai jawaban yang telah dinyatakan melalui wawancara tersebut. Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara 41 yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in–depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan yang relatif lama. Beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang peneliti saat mewawancarai responden adalah intonasi suara, kecepatan berbicara, sensitifitas pertanyaan, kontak mata, dan kepekaan nonverbal. Dalam mencari informasi, peneliti melakukan dua jenis wawancara, yaitu autoanamnesa (wawancara yang dilakukan dengan subjek atau responden) dan aloanamnesa (wawancara dengan keluarga responden). Selanjutnya wawancara dapat dilakukan secara terstruktur dan tidak terstruktur, dan dapat dilakukan dengan tatap muka (face to face) maupun menggunakan telepon (Sugiyono, 2006; 138140). 3.3.2.1 Informan Penelitian Dalam penentuan informan penelitian, informan penelitian merupakan unsur penting yang kemudian akan memperkuat penelitian ini. Informan penelitian dikatakan sebagai informan apabila telah memenuhi segala pertimbanagn dan kelayakan sebagai infoman. Yang dimaksud dengan pertimbangan tertentu 42 yaitu orang yang dianggap mengetahui segala bentuk informasi yang dibutuhkan sehingga akan memudahkan peneliti dalam menjelajahi situasisosail yang diteliti. Faisal S. dengan mengutip pendapat Spradley mengemukakan bahwa: “situasi sosial untuk sampel awal sangat disarankan suatu situasi sosial yang di dalamnya menjadi semacam muara dan banyak domain lainnya”. Selanjutnya menyatakan bahwa sampel sebagai wujud informan penelitian sebagai sumber data sebaiknya memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Mereka yang menguasai atau memahami sesuatu melalui proses enkulturasi sehingga sesuatu itu bukan hanya sekedar diketahui tapi juga dihayati. 2. Mereka yang tergolong masih atau sedang terlibat pada kegiatan tersebut. 3. Mereka yang punya waktu memadai untuk dimintai informasi. 4. Mereka yang tidak cenderung menyampaikan informasi berdasarkan „kemasannya‟ sendiri. 5. Mereka yang pada mulanya tergolong asing dengan peneliti sehingga lebih menggairahkan untuk dijadikan nara sumber. 43 Dalam melakukan wawancara mendalam maka diperlukan beberapa informan yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan penelitian ini. Kriteria informan penelitian yang akan menjadi subjek dalam penelitian ini terdiri dari dari: A. Raja Parhata (Juru Bicara Adat) Informan merupakan ketua adat yang mengetahui adat batak toba secara menyeruluh, terutama mengenai Budaya Batak, Pernikahan Adat Batak Toba, Mangulosi dan Ulos serta mengetahui pemaknaan dalam mangulosi pernikahan adat batak toba tersebut. Kriteria yang tepat untuk dijadikan sebagai informan penelitian dalam golongan Raja Parhata adalah sebagai berikut: a. Raja parhata yang terlibat dalam pernikahan yang telah ditetapkan. b. Mengerti adat secara keseluruhan, khususnya dalam pernikahan adat. c. Bersedia dilakukan wawancara secara intensif dan bersedia menyediakan waktunya sebagai nara sumber juga dapat menjelaskan secara rinci data-data yang di butuhkan. 44 B. Pasangan Batak yang menikah Pasangan Batak yang menikah adalah informan penelitian dimana yang terlibat langsung dalam proses adat juga sebagai pasangan yang merasakan secara langsung prosesi mangulosi. Adapun kriteria pasangan Batak yang akan diwawancarai adalah: 1. Pasangan Batak yang melaksanakan pesta adat pada Bulan Juni 2016. 2. Pasangan Batak yang paham dengan proses mangulosi. C. Pemberi Ulos (hula-hula) Informan peneliti selanjutnya adalah suku Batak yang merupakan hula-hula dalam pernikahan Suku Batak pada Bulan Juni 2016. Adapun kriterianya adalah sebagai berikut: a. Hula-hula pengantin yang memberi ulos kepada pengantin. b. Memahami simbol dalam proses mangulosi c. Memahami adat khususnya makna yang terdapat pada pemberian Ulos tersebut. 45 3.3.3 Studi Pustaka Buku, artikel, karya ilmiah, jurnal dan skripsi yang membahas tentang permasalahan-permasalahan yang sama dengan penelitian merupakan bahan sumber pustaka yang dipakai dalam penelitian ini. Dengan metode ini diharapkan dapat membantu menjabarkan hasil penelitian mengenai teori interaksi simbolik yang ada kaitannya dengan tradisi mangulsoi pada pernikahan Batak Toba. 3.4 Teknik Analisis Data Analisis data yang dimaksud adalah untuk menganalisis data-data yang telah diperoleh dari proses wawancara dan observasi. Teknik analisis data menggunkanteknik analisis data kualitatif dengan melakukan analisis secara deskriptif terhadap data yang telah diperoleh dilapangan berupa kata-kata. Adapun langkah yang peneliti gunakan adalah menganalisis data sesuai dengan pendapat yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman yang menganalisis berdasarkan mengacu pada tahapan di bawah ini: 3. 4. 1 Pengumpulan Analisis Data Dalam penelitian kualitatif, proses pengumpulan data bergerak dari lapangan dalam upaya membangun teori dari data. Proses pengumpulan data ini diawali dengan memasukan lokasi penelitian. Sehingga karena itu peneliti mendatangi lokasi penelitian di Ruma Gorga Mangampu Tua Jl. Sodara-Medan Lantai 1 sebagai tempat lokasi Pesta 46 Adat dilaksanakan. Mengamati proses mangulosi dengan rinci dan mengikuti proses egiatan tersebut dari awal hingga akhir dan kemudian menemui informan penelitian yang telah disebutkan dipembahasan sebelumnya. 3. 4. 2 Reduksi Data Raduksi data merupakan proses pemilihan data dan pemusatan perhatian kepada data-data yang dibutuhkan sebagai data utama. Laporan lapangan direduksi kemudian dirangkum dan dipilih hal yang pokok sehingga menjadi fokus pada hal-hal penting. 1. Klasifikasi Data Data yang telah terkumpul kemudian dikelompokan sesuai dengan tujuan penelitian yaitu proses mangulosi dalam pola interkasi simbolik. 2. Penyajian Data Maksud dari penyajian data tersebut agar memudahkan peneliti untuk melihat gambaran secara menyeluruh terhadap penelitiannya. 3. Penarikan Kesimpulan Setelah melakukan penyejian data barulah kesimpulan awal dapat dilakukan. Sejak penelitian awal dan dalam proses pengumpulan data peneliti harus berusaha melakukan analisis dan mencari makana dari data-data yang telah terkumpul. . 47 3.4.3 Uji Keabsahan Data Setelah tahapan analisis data dilakukan, perlu diperhatikan juga keabsahan data yang telah terkumpul. Dalam penelitian ini uji keabsahan data (validitas) dengan menggunakan teknik Triangulasi. Dimana dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moloeng, 2004:330). Moloeng membedakan empat macam triangulasi diantaranya dengan memanfaatkan sumber, metode, penyidik dan teori. Pada penelitian ini peneliti hanya menggunakan teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan sumber yang artinya, peneliti hanya membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dlam penelitian kualitatif (Patton, 1987:331). Adapun untuk mencapai kepercayaan itu maka diempuh langkah sebagai berikut: 1. Membandingkan hasil pengamatan dengan hasil wawancara. 2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum, dengan apa yang dikatakan secara pribadi. 3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu. 4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan masyarakat dari berbagai kelas. 48 5. Membandingkan hasil wawancara dengan suatu dokumen yang berkaitan. 3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan waktu penelitian akan disesuaikan dengan kondisi peneliti, sehingga diharapkan pada kegiatan penelitian ini tidak akan menggangu kegiatan utama peneliti maupun kegiatan informan, 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Ruma Gorga Mangampu Tua Jl. Saudara No. 73E Simpang Limun, Kel. Harjosari II Medan. 2. Waktu Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan pada Hari Jumat 10 Juni 2016 pukul 08:00 WIB-19.00 WIB. 3.7 Jadwal Penelitian Jadwal Penelitian adalah patokan peneliti agar waktu dapat terbagi dengan baik sehingga waktu penelitian terjadwal dengan semestinya. Berikut jadwal penelitian disusun dalam bentuk tabel: No. Keterangan 1 Studi Pustaka 2 Observasi Awal 3 Revisi Bab I,II, III 4 Sidang Outline 5 Penyusunan Laporan Sidang Skripsi 6 Jan Feb Mar Apr Tabel 3.1. Jadwal Penelitian Mei Jun Jul Agst 49 BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian 4.1.1 Deskripsi Tempat Penelitian A. Kota Medan Medan merupakan ibu kota Sumatera Utara yang memiliki luas dan dipadati dengan 3.418.645 Jiwa dari hasil sensus tahun 2012. Dengan kepadatan populasi demikian, Medan didiami oleh suku yang beragam salah satunya Batak, kemudian yang lainnya adalah suku Melayu, Jawa, Tionghoa, Mandailing, Minangkabau, Karo, Aceh dan suku Tamil. Dengan demikian terdapat agama yang beragam pula yaitu Islam, Protestan, Budha, Katolik, Hindu dan agama lainnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa Medan merupakan Kota yang heterogen dan memiliki ragam budaya yang dilahirkan dari keberagaman suku, oleh karena itu percampuran budaya bisa dikatakan sangat besar dilihat dari adanya etnis yang tidak sejenis terlebih lagi Medan merupakan kota metropolitan terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Kota Medan juga merupakan pintu gerbang bagi para wisatawan. 49 50 Secara historis Medan merupakan nama yang diberikan suku asli tempat ini yaitu Melayu dan berasal dari kata Madani yang berarti Tanah lapang atau tempat yang luas. Kota Medan sebelumnya juga adalah sebagai pusat kesultanan Melayu Deli, yang sebelum itu adalah kerajaan Aru. Kemudian pada era selanjutnya terjadilah migrasi besar-besaran dari suku Tionghoa dan Jawa kemudian disusul oleh suku lain pada gelombang selanjutnya termasuk suku Batak. Sehingga dari data tersebut bisa dikatakan bahwa Batak adalah salah satu suku perantauan yang menetap di kota Medan sebagai tempat suku Melayu yang pernah jaya di masa kesulatanan Deli. B. Deskripsi Tempat Pernikahan Adat Batak (Gorga Batak) Gambar 4.1. Gorga Batak Mangampu Tua Tampak Depan (Sumber: Doc. Peneliti) 51 Secara harfiah Gorga merupakan ukiran atau kesenian ukir khas Batak yang dipahat di atas kayu dan terdapat pada bagian luar rumah adat Batak. Namun Gorga juga dapat disebut sebagai corak atau lukisan yang dibuat dengan tiga warna aitu hitam, putih, dan merah yang mewakili warna khas suku Batak. Tempat acara adat kemudian dinamakan Gorga karena tempat tersebut dipenuhi oleh ragam corak khas Batak. Dan dianggap seagai rumah atau tempat berlangsungnya para orang Batak bertemu sebagai keluarga. Namun belakangan ini seiring keterbatasannya Gorga di daerah-daerah tertentu dan juga telah banyak pula yang meninggalkan adat kemudian Gorga di modernkan yaitu dengan menjalankan pernikahan adat di Gereja atau juga gedung. Tapi biar begitu masih banyak juga yang mempertahankan adat dengan menggelar acara adat di Gorga. Sebelumnya pada masa gedung-gedung masih terbatas, adat dilaksanakan di tanah terbuka atau di tempat terbuka. Di Medan karena suku Batak memenuhi populasi urutan kedua maka dari itu di Kota tersebut Gorga Batak masih mudah ditemukan dengan harga sewa yang variatif. Gorga Batak di Kota Tersebut merupakan gedung yang dimiliki oleh perorangan yang bisa digunakan dalam segala bentuk pesta adat Batak. 52 Dalam penelitian ini pesta adat digelar di Ruma Gorga Mangampu Tua dikarenakan Gorga tersebut merupakan Gorga yang ditunjuk sebagai tempat mangadati (acara adat) yang menjadi sumber dalam penelitian ini. Selain itu Ruma Gorga Mangampu Tua adalah gorga yang terdekat dari gereja yang dijadikan sebagai tempat pemberkatan untuk acara adat tersebut yang diadakan di HKBP Simpang Limun hal tersebut turut menjadi alasan keduabelah mempelai mengadakan pesta adat di tempat tersebut. 4.1.2 Identitas Informan Dalam penelitian ini, peneliti mengobservasi dahulu pelaksanaan pesta adat dan mencari tahu keterlibatan orang-orang yang merupakan instrument penting dalam acara adat tersebut. Lalu kemudian didapatilah beberapa informan dalam penelitian ini merupakan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam proses kegiatan acara pernikahan adat dan sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan oleh peneliti yang telah dibahas sebelumnya. Informan yang diwawancarai adalah sebagai berikut: A. Raja Parhata (Informan Kunci) Raja parhata adalah orang yang memimpin keberlangsungan acara pernikahan adat yang diutus dari masing-masing keduabelah pihak mempelai yaitu Raja Parhata dari paranak (dari mempelai laki-laki) dan Raja Parhata dari parboru (dari pihak perempuan). Raja Parhata 53 diharuskan dari kerabat mempelai atau setidaknya memiliki kesamaan marga dengan masing-masing mempelai. Sesuai dengan pembahasan sebelumnya Raja Parhata haruslah paham adat dan dianggap paling mengerti adat sehingga bisa memimpin pesta dengan baik dan sesuai. Mencari informasi mengenai ini tentu saja menarik bagi peneliti, dikarenakan yang mengerti adat lama-kelamaan semakin mengerucut sehingga selain untuk menggenapkan penelitian ini peneliti juga mendapat pengetahuan lebih dalam mengenai adat Batak melalui wawancara mendalam dengan informan. Sebelum melakukan penelitian peneliti berusaha bersikap objektif sebagai bahan pertimbangan ketika melakukan penelitian juga disesuaikan dengan kategori yang dibutuhkan yakni Raja Parhata dari salah satu mempelai dalam pernikahan adat tersebut. Pada penelitian ini yang bertugas sebagai Raja Parhata dari pihak Parboru adalah Manupan Siburian lalu kemudian akan dipanggil Opung Michelle karena pada adat adalah tabu menyebut nama yang lebih tua. Opung Michelle lahir di Dolok Sanggul pada 10 September 1943, dalam usia 73 tahun ini Opung Michelle sering dipercaya sebagai Raja Parhata. Beliau mengaku setidaknya dua kali dalam setiap bulan memenuhi panggilan untuk menjadi Raja Parhata Siburian-Simatupang. Peneliti memilih Opung Michelle yang merupakan Raja Parhata dari pihak parboru dikarenakan Raja Parhata dari pihak Paranak yaitu R. Nainggolan tidak dapat berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia 54 sehingga pada akhirnya peneliti memilih Raja Parhata dari pihak parboru sebagai informan pada kategori Raja Parhata. Opung Michelle tinggal di Jl. Menteng VII Gang. Haji No 12 sejak tahun 1987. Dan merupakan perantau dari daerah kelahirannya yaitu Dolok Sanggul. Merupakan Batak asli, ibunya adalah Boru Purba dari daerah yang sama. Beliau sudah berkecimpung sebagai Raja Parhata sejak 20 tahunan lalu. Menjadi Raja Parhata merupakan sebuah kebanggaan untuk dirinya karena bisa menyalurkan kecintaannya terhadap suku Batak dan juga berperan langsung dalam melestarikan adat Batak yang sudah mulai terkikis di Era ini. Opung Michelle menikah dengan Boru Sitompul dan dikaruniai tiga anak perempuan dan dua anak laki-laki. Pada umurnya sekarang telah dikaruniai enam orang cucu, dan yang terbesar bernama Michelle yang kemudian menjadi namanya karena dalam adat Batak jika seseorang telah memiliki anak maka nama anak tertuanya menjadi panggilannya dan setelah memiliki cucu maka cucu tertuanya menjadi namanya menggantikan nama anak tertuanya. B. Pengantin yang Diadati (Informan Kunci) Dalam penelitian ini pengantin yang menjadi informan dan proses adatnya dijadikan sebagai penelitian adalah pernikahan adat pasangan Sariati Magdalena Siburian sebagai pengantin wanita (boru) dan Loybert Nainggolan sebagai pengantin laki-laki (anak). 55 Pernikahan ini dapat dikatakan sangat unik bagi kalangan yang awam, karena sesunggungnya keduanya telah melangsungkan pernikahan resmi terdaftar dicatatan sipil pada tahun 2000 lalu tepatnya tanggal 13 bulan Juni dan baru melangsungkan pernikahan adat kurang-lebih 16 tahun setelahnya yaitu jatuh pada tanggal 10 Juni 2016. Hal tersebut mencerminkan bahwa dalam suku Batak adalah penting mengikuti dan melaksanakan tatanan adat yang berlaku agar genap menjadi orang Batak yang lengkap. Hal tersebut juga dikemukakan oleh pengantin pria yang kerap disapa Loy bahwa: “Pernikahan yang belum diadati adalah tidak sempurna dikalangan suku Batak sehingga pada lintas waktu yang cukup lama pun keduanya haruslah melaksanakan adat sesuai dengan yang dititipkan oleh para orang Batak terdahulu”. Walaupun tidak sedikit pasangan Batak yang memilih hanya melaksanakan pernikahan dan pemberkatan di Gereja saja bagi yang beragama Kristen dan menikah KUA bagi yang beragama Islam. Tapi pasangan ini memilih untuk mempertahankan adat leluhur agar dirinya merasa tergenapi dengan harapan didoakan oleh seluruh keluarga agar kehidupan pernikahannya diberkati dan dilindungi. Lena merupakan seorang ibu rumah tangga, sedangkan suaminya Loybert Nainggolan merupakan seorang dokter umum. Setelah pernikahan mereka berumur 14 tahun akhirnya mereka dikaruniai seorang anak yang mereka beri nama Samuel Nainggolan yang kini berusia dua tahun. Lena lahir di Medan begitu pula anak mereka Samuel. Berbeda 56 dengan suaminya dr.Loybert yang lahir di Sidoarjo. Kini mereka tinggal di Jl. Menteng VII Gg. Sepakat No. 8 Orang tua dari Lena, keduanya telah meninggal dunia sehingga pada pernikahan adat ini yang memberikan ulos bukan orang tua dari Lena melainkan Hula-hula na sebagai pengganti orang tuanya yang telah meninggal. C. Hula-hula na Parboru Hula-hula na parboru ialah kerabat laki-laki dari pihak wanita. Seperti abang dari pihak parboru atau wanita yang menikah. Dalam adat Batak Hula-hula ibarat raja yang disegani karena merupakan orang pertama yang melindungi para boru ni raja (perempuan Batak). Dalam adat ini Hula-hula na parboru adalah pihak yang memberi ulos (mangulosi) kepada si pengantin. Hula-hula dalam adat Batak dianggap sebagai tangan pertama dari Tuhan yang bertugas untuk melindungi dan membahagiakan keluarganya. Maka yang disebut sebagai hula-hula na Parboru dalam penelitian ini adalah mereka yang bermarga Siburian yang terdiri dari Bapak Tua, Bapak Uda, dan Ito dari mempelai wanita yang merupakan Siburian. Dari sekian Hula-hula na mempelai wanita, peneliti memilih abang dari Lena sebagai informan yaitu Rudi Parlindungan Siburian. Rudi atau biasa disapa Amang Gilbert adalah saudara laki-laki kandung Lena yang kedua. Dalam acara adat ini Rudi beserta isteri dan Ridwan 57 beserta isteri selaku abang tertua dari Lena yang keduanya merupakan Hula-hula berperan memeberikan ulos dan nasihat-nasihat yang dilontarkan kepada pengantin. Rudi beralamat di Jl. Menteng VII Gang Ikhlas No. 7 dan telah menikah dengan Christin Sitompul dan telah dikaruniai dua orang anak laki-laki, Gilbert dan Steven. 4.2 Proses Pernikahan Adat Batak Pernikahan adat Batak merupakan Tona Ni Ompung Sijolojolo Tubu atau merupakan pesan dari nenek moyang yang menjadi tradisi untuk dilakukan secara turun-temurun dan orang-orang terdahulu menjaga terus-menerus hingga sampailah pada generasi sekarang. 4.2.1. Proses Sebelum Pernikahan Sebelum ke tahap pernikahan adat pasangan pengantin melalui tahapan-tahapan adat dahulu yaitu: 1. Martupol Sebelum pada proses pernikahan pengantin harus melalui beberapa rangkaian adat salah satunya adalah martupol. Proses ini sama halnya dengan pertunangan, namun berbeda dari pertunangan pada umumnya yang merupakan proses pertukaran cincin untuk menandakan calon pengantin mengikat satu sama lain sebelum akhirnya menuju pernikahan. 58 Dalam martupol terjadilah kesepakatan berapa jumlah mahar yang disepakati yang disebut dengan Sinamot Ni Boru yang diberikan oleh pihak pria kepada pihak perempuan yang jumlahnya sesuai dengan yang diajukan pihak pria kepada pihak perempuan dan disetujui oleh pihak perempuan. Jumlah Sinamot yang telah disepakati tersebut ditujukan untuk biaya pernikahan dan kehidupan setelahnya. Pada jumlah Sinamot Ni parboru semakin besar biaya yang dikeluarkan keluarga pihak paranak berarti semakin menunjukan bahwa paranak dapat menjamin kebahagiaan parboru karena telah mengabulkan permintaan dari keluarga parboru. Dalam proses ini selain menyepakati jumlah mahar, kedua keluarga menyepakati pula tanggal pernikahan adat yang disepakati yaitu tanggal 10 Juni 2016. Pada pernikahan Lena dan Loybert, martupol diselenggarakan seminggu sebelum pernikahan adat yaitu jatuh pada tanggal 3 Juni 2016 dan diadakan dikediaman Bapak Uda dari Lena di Jl. Menteng VII Gang. Haji No. 8 Medan. 2. Indahan Sibuhabuhai dan Pemberkatan di Gereja Pada hari dan tanggal yang telah disepakati keduabelah pihak keluarga mempelai (10 Juni 2016), Pengantin pria dan wanita hadir di rumah orang tua pengantin perempuan bersama keluarga keduabelah pihak mengadakan acara makan bersama 59 yaitu Indahan Sibuhabuhai yang berarti doa kepada Tuhan agar pelaksanaanan pemberkatan sampai dengan pelaksanaan adat nagok atau adat pardongan saripeon (adat setelah acara pemberkatan digereja) sukses adanya. Setelah acara makan bersama, keduabelah pihak mempelai dan keluarga beriringan menuju Gereja, dalam pernikahan ini mereka melaksanakan pemberkatan di Gereja HKBP Simpang Limun. Acara pemberkatan berlangsung dengan sakral dan menggunakan bahasa Batak. Acara pemberkatan tersebut dimaksudkan untuk memberikan doa dan berkat kepada pengantin agar selalu dalam perlindungan Tuhan dan acara pernikahan ini dilindungi pula sampai selesai juga diberkati kehidupan mempelai setelah acara pernikahan. 4.2.2. Proses Pernikahan Adat 1. Panyambutan Setelah proses pemberkatan di Gereja, pengantin dan keluarga besar menuju Ruma Gorga Manampu Tua untuk menjalankan adat selanjutnya. Pada pernikahan ini pengantin hadir pada pukul 11.00 WIB pada umumnya pesta adat dimulai pada pukul 13.00 WIB. Pernikahan adat kini dilakukan di Gorga atau gedung, (Opung Michelle, Senin 13 Juni 2016) 60 “Kalau sekarang sudah di gorga atau gedung atau ada juga yang di gereja melaksanakan acara adat tersebut. Kalau dulu itu dilaksanakan di lapang terbuka.” Pesta adat dimulai dengan acara penyambutan, yaitu keluarga pria menyambut kedatangan keluarga memepelai wanita. Kedua Raja Parhata dari Nainggolan dan Siburian berdau sajak, sajak tersebut merupakan sajak yang telah ditetapkan dari para leluhur, hal ini menandakan acara pernikahan adat dimulai. (Opung Michelle, Senin 13 Juni 2016) Raja Pahata Ni Parboru: “Dihamu tutur nami, tondong nami, amang boru nami, parjolo tapasahat maliate tu: amanta Debata pardenggan basa, ala hipas do hamu na ro, suang songoni do nang do ro tutur tu bagas ni tondongna, alai huida hami, torop do hamu marnatampak rap dohotambor/iboto nami. Mansai las roha nami manjalo haroro muna, alai manungkun roha, barita aha do ulaning diharoro muna on Amang boru, ai gok do tanan muna mamoan silua. Ima jolo hata nami, asa maralus ma hamu amang boru” . Hal tersebut dimaksudkan untuk menyambut yang hadir dan meminta segenap keluarga meminta berkat dari Tuhan dan berterima kasih karena telah menyambut keluarga parboru dan menerima dengan baik. 61 Kemudian, pihak Raja Parhata dari paranak menjawab: “Ido tutu Rajanami, sungkun do mula ni hata, nuna manungkun Rajai di haroro ami tu bagasta na marampang na majualon. Rajanami/tulang, dipoda ni molo lao ho amang tu abu ni Tulangmu, sotung mangembal ho amang, ingkon do boanonmu sipalas roha ni Tulang dohot Nantulangmu. Ia hami Rajanami, pamoruan muna do jala bere muna, sian marga Nainggolan. Posma roha muna Rajanami barita na denggan jala las ni roha do na. Huharohon hami ditingkion. Ido Rajanami”. Maksudnya adalah kembali mengucapkan terima kasih, bahwa dengan ini berarti kalau lah anak perempuannya sudah menjadi bagian dari keluarga mempelai pria. Gambar 4.2. Panyambutan (Sumber: Doc Peneliti) 62 Pada acara penyambutan atau dalam bahasa Batak disebut panyambutan ini, dimulai dengan laki-laki tertua dari keluarga mempelai wanita sambil menari tortor, kemudian diikuti oleh para wanita dimulai dari tertua juga dari keluarga mempelai wanita dengan membawa boras (beras) di dalam tando (tempat menyimpan beras) yang diletakan di kepala mereka hal ini disebut dengan marjunjung boras atau menjunjung beras. Acara penyambutan ini diiringi oleh musik khas Batak yang disebut dengan gondang panyambutan. Setelah proses penyambutan dari keluarga pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Kemudian keduanya menyambut para kerabat dan tamu undangan. Proses panyembutan telah selesai pasangan pengantin, keluarga dan para tamu undangan telah duduk ditempatnya masing-masing. Pada acara pernikahan ini, keluarga dari parboru dan paranak duduk di kubu terpisah. Mempelai wanita duduk dengan kubu paranak menandakan mempelai wanita sudah menjadi bagian dari mempelai laki-laki dan milik keluarga paranak. Kemudian setelah itu, mempelai dan keluarga serta para kerabat dan tamu undangan memulai acara akan bersama dengan syarat: pihak pengantin pria menyerahkan daging kerbau, atau sapi, atau daging babi. Untuk pasangan pengantin yang beagama muslim biasanya menggunakan kerbau, sapi, atau kambing. 63 Daging itu kemudian diberikan kepada pihak perempuan, dan pihak perempuan membalasnya dengan dekke atau memberikan ikan mas kepada keluarga pihak laki-laki. Hal ini dengan catatan, daging yang diserahkan itu disesuaikan dengan kemampuan keluarga paranak. Adapun simbol yang tedapat dalam pertukaran daging dan ikan ini adalah, daging sebagai lambang kesenangan dan kemakmuran merupakan sebuah janji dari pihak paranak untuk memberikan kebahagiaan dan kemakmuran serta sebagai penanda bahwa disenangkanlah pengantin perempuan dengan seluruh keluarganya agar tenang hatinya bahwa anak perempuannya kini menjadi bagian dari paranak. Hal ini nanti kemudian akan dijabarkan pada deskripsi mengenai jambar. Sedangkan pemberian ikan mewujudkan gotong royong dalam turut mensukseskan acara dan memiliki makna saling memberi atau adanya take and give. 4.3. Gambar Makan Bersama Seluruh Keluarga dan Kerabat (Sumber: Doc. Peneliti) 64 Selesai makan bersama, kemudian keluarga pengantin pria memberikan uang kepada keluarga parboru yang disebut dengan panadaion, yaitu semua keturunan pihak perempuan mulai dari nenek moyangnya sampai generasi sekarang. Apalagi yang hadir dalam pesta ini harus mendapatkan uang walaupun tidak dipatok yaitu jumlah disesuaikan dengan kemampuan keluarga paranak. Hal ini dimaksudkan untuk mengharapkan berkat dari Tuhan. (Opung Michelle, 13 Juni 2016) 2. Pembagian Jambar Gambar 4.4 Pembagian Jambar (Sumber: Doc. Peneliti) Seperti yang telah disinggung pada penjelasan sebelumnya bahwa pihak paranak haruslah membawa daging yang telah disepakati untuk kemudian dibagikan kepada keluarga parboru 65 sebagai jambar. Dalam penyerahannya, Raja Parhata dari keduanya kembali melemparkan sajak, dengan maksud agar diberkatilah daging yang telah diberikan kepada parboru sebagai wujud syukur dan semoga senanglah mereka. Setelah didoakan dan selesaiah proses penyerahan daging tersebut. Kemudian pihak parhobas atau suami dari para perempuan meliputi kakak/adik perempuan dari pengantin perempuan yang selanjutnya bertugas untuk memotong daging jambar dan membagikannya kepada seluruh keluarga perempuan (tak terkecuali). Dengan bagianbagian yang telah ditentukan dan banyaknya yang telah ditentukan pula sesuai adat. Tapi ada juga kata sepakat antara keluarga pihak pria dan kelarga pihak perempuan bahwa sebagian dari diserahkan kepada keluarga pihak laki-laki sebagai “Ulu ni dengke mulak”, atau kembali kepada asalnya. 3. Mangulosi Proses yang terpenting dan paling membutuhkan waktu yang lama dikarenakan semuanya yang terlibat dalam pesta adat ikut melaksanakan adat ini yang terdapat pada rangkaian pernikahan adat Batak Toba adalah mangulosi. Mangulosi adalah proses penyematan ulos yang dari keluarga perempuan untuk kedua pengantin. Seperti yang dibahas pada pembahasan 66 sebelumnya bahwa mangulosi merupakan simbol dari wujud kasih sayang sipemberi ulos kepada sipenerima (yaitu kedua pengantin). Dengan menyematkan ulos kepada si pengantin dipercaya sebagai jalan menyampaikan doa yang bersih untuk kedua mempelai. Ulos dijadikan sebagai “Selimut waktu dingin, dan payung saat panas”, merupakan fungsi nyata ulos sebagai kain namun dari hal tersebutlah diharapkan bahwa pemberian ulos ini adalah sebagai bentuk pelindung dalam situasi apapun menjadi awal dari proses sakral ini sebagai warisan leluhur sehingga hal ini menjadi adat yang sangat melekat hingga saat ini. Pada proses ini pemberi ulos bukan sekedar menyematkan ulos saja, melainkan juga memberi nasihat kepada pengantin agar selalu rukun, dan bahagia juga nasihat-nasihat pernikahan lainnya agar menjadi sebaik-baiknya pasangan. Namun bukan hanya pemberian nasihat, petuah dan doa saja tapi juga mangulosi ini untuk menunjukan rasa suka cita yang tulus kepada pengantin atas suksesnya pemberkatan di Gereja dan juga suksesnya adat yang dilaksanakan kedua belah pihak. Gambar 4.5. Kain Ulos (Sumber: Doc. Peneliti) 67 Mangulosi pada masa sekarang telah melalui modifikasi atau telah dipersingkat tanpa mengurangi makna dari proses mangulosi itu sendiri. Gunanya untuk mempersingkat waktu, bahkan sebagiannya lagi sudah menggantinya dengan uang (bagi para tamu undangan). Dahulu semua keluarga, kerabat dan tamu undangan menggnakan ulos untuk dijadikan hadiah pengantin sebagai wujud suka cita sehingga kemudian bisa menjadi beratus lapis ulos, namun sekarang hal tersebut dibatasi dan diganti dengan material lain seperti uang. Jadi yang memberikan ulos hanyalah keluarga saja. Gambar 4.6. Proses Mangulosi (Sumber: Doc. Peneliti) Proses adat mangulosi ini dimulai dengan pemberian ulos oleh orang tua mempelai parboru kepada pengantin memberikan nasihat-nasihat dan doa-doa pernikahan. Diiringi dengan gondang 68 Batak dan mereka menari tor-tor sebelum pemberian ulos ini, Hal tersebut memiliki makna bahwa memberikan doa dengan penuh gembira. Pada adat pernikahan adat Lena dan Loybert, pemberian ulos ini dilakukan oleh kedua abang Lena beserta istri sebagai hula-hula na mewakili orang tuanya yang telah meninggal. Kemudian dilanjutkan dengan mangulosi orang tua dari Nainggolan atau pihak paranak. Sebagai wujud dititipkannya lah mempelai wanita kepada mereka, agar senentiasa diberikan kasih sayang dan perlindungan juga sebagai wujud penghormatan. Lalu setelah itu diikuti proses pemberian ulos kepada pengantin dari Bapak Uda Na (pamannya) beserta isteri (inang uda na) dengan umpasa-umpasa atau doa-doa yang sama baiknya. Kedua proses ulos ini adalah pemeberian ulos yang sangat penting karena pemberian ulos ini diberikan oleh keluarga yang terdekat dengan pengantin perempuan. Mangulosi dari keluarga inti telah disematkan, dengan pada posisi duduk yang masih tetap sama Gondang Batak kembali dimainkan, kemudian berlanjutlah dengan proses mangulosi selanjutnya dari pihak marga yang berkaitan dengan keluarga inti. Yaitu Keluarga dari istri abangnya, pada pernikahan ini yang kemudian memberikan ulos adalah dari pihak Sitompul yaitu 69 keluarga dari isterinya Rudi dan Juga Opung Michelle Boru (isteri M. Siburian). Setelah proses adat ini, keluarga inti dari pihak parboru yaitu yang memberikan ulos pertama dan kedua diberikan uang oleh keluarga inti tesebut yang mana merupakan uang sisa sinamot yang telah dibahas pada pembahasan sebelumnya dan Semua keluarga inti memberi uang sambil menari Tortor. Maknanya agar yang memeberi ulos merasakan kebahagiaan yang sama dengan keluarga inti. Selanjutnya ulos diberikan oleh marga-marga lain yang berhubungan dengan keluarga. Yaitu keluarga dari marga yang berkaitan dengan si parboru seperti marga opung boru na (opung perempuannya), suami dari kakak atau adik perempuannya, amang boru na (marga dari suami tantenya), dan proses tersebut terus berlangsung berulang-ulang dengan cara yang sama. Kemudian terakhir di tutup dengan keluarga Tulang Na (paman dari keluarga ibu pengantin perempuan). Hal tersebut berbeda karena dalam adat Batak Tulang adalah yang paling dihormati dan disayangi sehingga jumlah uang dan diberkan haruslah lebih besar jumlahnya dari yang jumlah yang lain sebagi wujud martabat keluarga perempuan. Setelah proses mangulosi tersebut, pengantin digiring mengitari tempat pesta sebanyak tiga kali putaran dengan keadaan ulos membelit tubuh keduanya dan ujung ulosnya ditarik oleh 70 kelaurga pihak paranak dan kemudian pada putaran terakhir pengantin diarak ke kursi pelaminan. Sambil menari tortor dan diiringi Gondang Batak sebagai wujud kegembiraan bahwa parboru telah menjadi milik paranak dan diterima dengan senang hati. Dan jadilah pasangan pengantin menjadi pasangan Batak yang lengkap dan diakui secara adat. 4.3 Pembahasan 4.3.1 Mangulosi Dalam Interaksi Simbolik Pada penelitian ini terfokus kepada suatu masalah yaitu bagaimana simbol-simbol mangulosi dalam pernikahan adat Batak yang digambarkan melalui pemberian ulos yang dilaksanakan di Gorga Mangampu Tua, Medan. Dalam penelitian ini peneliti melakukan penelitian dengan cara studi kasus yaitu observasi dengan hadir dan menyaksikan acara pernikahan adat tersebut dan mengikuti prosesnya dari awal-sampai akhir. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat mengetahui secara mendalam tentang mengapa sesuatu terjadi dan bagaimana sehingga dapat memahami objek peneliti dan menjadi riset sebagai bukti baik. Dalam penelitian ini peneliti akan membahas mengenai fokus penelitian, dimana berdasarkan identifikasi masalah yang akan dikaitkan dengan Teori Interaksi Simbolik yang dirumuskan oleh George Harbert Mead. Ada Tiga konsep utama dalam teori Mead ini, yaitu mengenai 71 masyarakat (society) dimana bagaimana mangulosi sebagai simbol dalam membangun hubungan dalam masyarakat. Diri (self) pribadi yang merefleksikan komunikasi yang dibangun melalui mangulosi. Dan pikiran (mind) pemahaman makna dari simbol-simbol yang telah disepakati secara bersama oleh orang-orang Batak terdahulu sampai sekarang. Pada point pertama yaitu konsep mengenai komunikasi non verbal masyarakat mengenai simbol-simbol yang ada dalam pernikahan adat Batak jika dilihat dari teori Mead pada konsep pertama yaitu mengenai masyarakat (society). Bisa ditarik dari hal tersebut bahwa dalam komunikasi tersebut masyarakat Batak yang hadir dalam pernikahan adat yang di selenggarakan di Gorga Mangampu Tua itu saling mendukung keberlangsungan acara adat, berbaur, dan mengikuti sebagaimana mestinya sesuai adat dalam acara tersebut bahwa ada pengakuan bahwa mempelai wanita telah diterima dan sudah menjadi bagian dari adat paranak (keluarga pihak laki-laki). Dari hasil penelitian dan wawancara maka komunikasi Komunikasi dalam hal ini meliputi komunikasi verbal melalui lisan dan juga komunikasi non verbal melalui simbol-simbol. Ulos menjadi alat komunikasi tersebut, dan diakui oleh seluruh masyarakat Batak yang hadir bahwa diberikanlah doa-doa kepada pengantin dengan komunikasi verbal yaitu melalui lisan lalu sampailah doa-doa yang dipanjatkan tersebut kepada pengantin saat pengantin diulosi. 72 Selanjutnya pada point kedua adalah mengenai diri (self), yaitu bagaimana pengantin dan pemberi ulos merefleksikan diri bahwa komunikasi melalui proses mangulosi diberi dan diterima. Sehingga doadoa dan harapan-harapan sipemberi ulos sampai kepada pasangan pengantin. Juga sekaligus sebagai simbol bahwa dirinya (simempelai) telah diterima dalam adat dan telah mejadi Batak yang lengkap setelah pemberian ulos tersebut. Setelah melalui hasil observasi dan wawancara, sipemberi ulos merasa bahwa doa dan harapanya telah sampai dan doa-doa itu biar menjadi pelindung. Ulos merupakan simbolis bahwa doa yang dipanjatkan telah sampai dan didengar Tuhan untuk dikabulkan kepada simempelai. Begitu pula pengantin merasa bahwa setelah diberi ulos doa-doa yang telah diutarakan akan dikabulkan oleh Tuhan bersamaan dengan Ulos yang menepi kepada keduanya saat disematkan. Kemudian pada point ketiga yaitu mangulosi dalam konsep pikiran (mind) dimana hal ini bisa dilihat mengenai bagaimana pengantin memahami makna yang telah disepakati melalui wujud mangulosi dan rangkaian sebelum proses tersebut. Pada hal ini ada kesamaan makna yang diciptakan oleh si pengantin dengan keluarga yang hadir. Bahwa setelah diadati, sipengantin telah tergenapi sebagai orang Batak yang lengkap. 73 4.3.2 Peranan Komunikasi Simbol dalam Mangulosi Sesuai yang telah dibahas pada pembahasan sebelumnya bahwa simbol-simbol sangat berpengaruh kuat dalam proses komunikasi. Sebuah simbol atau kumpulan simbol-simbol bekerja dengan menghubungkan sebuah konsep, ide umum, pola, atau bentuk. Telah dituliskan sebelumnya, Menurut Langer konsep adalah makna yang disepakati sama-sama di antara pelaku komunikasi. Sebuah simbol adalah sebuah instrument pemikiran. Simbol adalah konseptualisasi manusia tentang suatu hal, sebuah simbol ada untuk untuk sesuatu. Setelah melakukan penelitian di pesta adat pernikahan Lena dan Loybert yang dilaksanakan di Gorga Mangampu Tua-Medan, pada tanggal 10 Juni 2016 dengan menggunakan metode studi kasus maka peneliti dapat melihat bahwa pada proses mangulosi ini jelas banyak melibatkan simbol. Simbol tersebut memiliki peranan penting karena merupakan hal yang telah disepakati turun temurun sebagai pesan non verbal yang kemudian didukung dengan umpasa-umpasa yang dipaparkan oleh raja parhata juga doa yang disampaikan oleh sipemberi Ulos kepada sipengantin sebagai pihak yang menerima. Simbol-simbol pada proses ini telah ada jauh sebelum manusia modern lahir dan disepakati oleh generasi ke generasi untuk tetap setia kepada aturan leluhur. Sehingga teori simbol yang diujarkan oleh Langer terlibat dalam proses sakral tersebut. 74 Simbol membawa pengaruh yang besar dalam proses pernikahan adat ini, hal demikian terbukti dengan adanya simbol-simbol dari proses rangkaian adat pernikahan Batak ini berlangsung. Hanya untuk mendaptkan doa dan pengakuan. 75 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan dari pembahasan diatas maka dapat mengambil kesimpulan yaitu sebagai berikut: 1. Bahwa simbol-simbol yang terdapat dalam pernikahan Batak Toba merupakan simbol-simbol komukasi non verbal yang memiliki makna yang telah disepakati para leluhur dan dipahami hingga generas saat ini. Adapun simbolsimbol dan makna tersebut adalah: a. Sinamot: Menunjukan kemampuan dan harga diri dari keluarga pihak paranak kepaa keluarga pihak parboru. b. Indahan Sibuaibuhai: Makan bersama untuk memohon agar acara adat disukseskan. c. Acara Panyambutan: Sebagai makna dari penerimaan dengan suka cita pihak paranak kepada pihak parboru. d. Pemberian Boras dan dekke: Wujud gotong royong untuk mensukseskan acara dan makna bahwa setelah paranak dan parboru bersatu makan kedua keluarga harus saling memberi dan menerima. e. Pemberian Daging Jambar: Memiliki makna memberikan kebahagiaan dan kemakmuran (kemapanan) kepada pihak parboru agar keluarganya tenang bahwa paranak akan memberikan kebahagiaan kepada pihak parboru. 75 76 f. Pembagian daging Jambar: Mewujudkan rasa syukur kepada Tuhan dan makna berbagi kesenangan. g. Manortor (Menari tortor): Wujud kegembiraan. h. Mangulosi: Wujud pengharapan dan doa-doa, suka cita, cita-cita dan kasih sayang yang disimbolkan dengan pemberian ulos yang mana ulos merupakan kain pelindung agar kelak doa-doa dan harapan-harapan yang dicita-citakan kemudian akan menjadi pelindung pernikahan mereka sampai ajal menjemput. 2. Bahwa ada keterkaitan antara teori Interaksi Simbolik yang diujarkan oleh Mead dengan proses pernikahan adat mangulosi yaitu dalam interaksi simbolik akan ada makna yang muncul dan tergambar oleh komunikasi verbal ataupun komunikasi non verbal. Hal ini ditandai dengan adanya nasihat, doa, dan keinginan yang dilontarkan keluarga dan kerabat dalam pernikahan adat dan diiringi dengan simbol-simbol yang telah disepakati sebelumnya dan dipahami bersama. Teori Interaksi Simbolik melibatkan simbol-simbol yang dimengerti maknanya yang berarti bahwa gerakan adalah hal yang menentukan. Sebagaimana dalam mangulosi yang merupakan simbol yang diwujudkan melalui gerak dan benda. Tiga konsep utama pada interaksi simbolik yaitu Mind, Self dan Society terbukti dalam adanya kesepakatan masyarakat bahwa 77 seseorang akan diakui sebagai bagian dari masyarakat Batak apabila telah mengikuti adat dan melengkapinya. Sehingga diwujudkanlah oleh diri sendiri dalam menggenapkan dirinya sebagai orang Batak dengan mengikuti segala bentuk adat karena pikirannya sendiri menyepakati simbol dan makna tersebut bahwa dirina akan lengkap jika mengikuti adat. Dan wujd akhirnya sebagai hasil, pasangan akan diterima dimasyarakat setelah mengikuti adat. 3. Tradisi mangulosi yang murni kini mulai mengalami modifikasi untuk dengan alasan efisiensi seperti mengganti ulos dengan material lain dan menggelar pesta di gedung, ruma gorga, atau di gereja. Bahkan beberapa kalangan justru telah meningalkan adat ini dengan berbagai macam sebab. Karena percampuran budaya, pernikahan lintas etnis, dan juga sebagian masyarakat Batak Protestan menganggap bahwa dalam proses adat tersebut mengandung unsur magis dan melibakan hal gaib. Namun penulis menilai bahwa tidak ada sedikitpun unsur magis didalam adat pernikahan Batak Toba dan hal tersebut adalah murni sebagai budaya. Mungkin memang pada mulanya leluhur melaksanakan adat seperti demikian, namun seiring berkembangnya zaman adat kini dipakai hanya ntuk menghormati leluhur yang membuat adat tersebut dan dilestarikan oleh generasi ke generasi hingga kini. 78 5.2 Saran Berdasarkan keseluruhan dan deskripsi hasil penelitian, penulis mencoba untuk memberi saran yang diharapkan dapat dijadikan bahan rekomendasi yang positif bagi masyarakat khususnya kalangan Batak. Saran yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Saran Praktis a. Adat merupakan budaya dari leluhur yang menjadi tugas generasi ke generasi untuk tetap memeliharanya. Karena tidak ada yang bisa mempertahankan warisan nenek moyang selain kalangan Batak itu sendiri. b. Adat dapat disesuaikan dengan kondisi zaman dan situasi yang berlaku tanpa mengurangi pemaknaan dari makna itu adat itu sendiri untuk memudahkan pelakonnya, jadi adat tidak perlu ditinggalkan secara total. c. Ada baiknya simbol-simbol dan komunikasi yang terdapat dalam adat disampaikan kepada setiap orang Batak melalui komunikasi yang dilakukan oleh setiap keluarga kepada anggoa keluarganya itu sendiri. Sehingga pembeajaran mengenai budaya dan adat dipeajari dari keluarga masing-masing orang Batak agar budaya tetap terpelihara. d. Batak terkenal dengan sikapnya yang menaati adat, sehingga diharapkan oang-orang Batak tetap mempertahankan keterkenalan 79 tersebut dengan tidak terhasut oleh provokasi yang bisa melunturkan kecintaan dan ketaan terhadap budayanya. 2. Saran Akademis: a. Simbol-simbol dan komunikasi yang terdapat dalam budaya harus dipelajari sehingga dapat dipahami oleh orang-orang yang terlibat didalamnya, agar pesan yang dimaksud dapat tersampaikan dengan baik. Sehingga penulis berharap akan ada banyak akademis yang tertarik mempelajari komunikasi budaya secara lebih mendalam agar menumbuhkan sikap cinta budaya agar warisan leluhur tetap terlestarikan ditengah era modern ini. b. Diharap generasi muda mempelajari simbol-simbol, komunikasi verbal dan non verbal serta teori interaksi simbol dalam kehidupan nyata sehingga dapat dipahami kegunaan dan maksud dari hal tersebut agar pesan dapat tersampaikan dengan baik. c. Dikarenakan penelitian ini hanya berbatas pada penelitian lingkup Kota Medan, maka penelitian selanjutnya diharap dapat meneliti di tempat lain yang penduduk suku Batak adalah merupakan minoritas di tempat tersebut. Sehingga bisa menghasilkan penelitian yang lebih baik lagi. 80 Daftar Pustaka Mulyana , Deddy dan Rakhmat, Jalaluddin. 2005, Komunikasi Antar Budaya: Panduang Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Remaja Rosdakarya, Bandung Sitanggang , JP. 2014, Batak Na Marserak, Maradat Adat Na Niadathon, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Silitonga , Pdt. Saut HM. 2010, Manusia Batak Toba (Analisis Filosofis tentang Esensi dan Akulturasi Dirinya), MGU, Jakarta. Mustopo, M. Habib. 1983, Ilmu Budya Dasar Kumpulan Essay-Manusia dan BudayaUsaha Nasional, Surabaya. Bungin, Burhan. 2007, Penulisan Kualitatif, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Mulyana , Deddy. 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Sihombing, T.M. 1989, Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat, C.V. Tulus Jaya, Jakarta. Sobur, Alex. 2004, Semiotika Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung. Sugiyono,. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D, Alfabeta, Bandung. www.semedan.com www.digilib.ui.ac.id www.etnomusikologiusu.com www.digilib.mercubuana.ac.id 81 LAMPIRAN I Transkrip Wawancara 82 Transkrip Wawancara “Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam Pernikahan Adat Suku Batak Toba” Transkrip Wawancara Informan 1 Nama Informan : Manupan Siburian (Opung Michelle) Hari/tanggal : Senin, 13 Juni 2015 Waktu : 09.00 WIB Lokasi : Jl. Menteng VII Gang. Haji No. 12 Keterangan: P: Peneliti I1: Informan pertama P: Horas opung, untuk keperluan penelitian maka saya membutuhkan informasi terkait pernikahan adat dan proses-proses ddalamnya untuk memperkuat penelitian dilapangan yang sudah saya lakukan dalam upacara adat paa pernikahan Bou Lena tangal 10 kemarin. Berkenaah opung untuk diwawancarai terkait itu? I1: Horas pung, ya silakan dengan senang hati. 83 P: Kita mulai wawancaranya ya pung, mohon izin untuk mencatat seluruh isi dari wawancara ini. I1: Iya pung, iya silakan. P: Bagaimana proses sebelum mangadati atau pesta adat dalam pernikahan batak toba? I1: Pada hari atau tanggal yang telah disepakati keluarga kedua belah pihak pengantin pria dan wanita hadir di rumah orang tua pengantin perempuan bersama keluarga kedua belah pihak mengadakan acara makan bersama Indahan sibuhaibuhai namanya. Sibuhaibuhai artinya doa kepada tuhan agar pelaksanaannya pernikahan ini diberkati dan disukseskan, begitu pung. Nah terus penantin itu pergilah sama seluaruh keluarganya ke gereja kaya hari itu kita kesana kan ke HKBP Simpang Limun untuk melakukan acara pemberkatan. Barulah ke wisma dan melakukan acara adat itu. Sebelumnya ada itu namanya proses martupol, atau pembeian sinamot atau harga untuk pengantin perempuan yang dilakukan sebelum acara adat diberlangsungkan. Biasanya seminggu sebelum pesta adat. P: Bagaimana sejarah pernikahan itu sendiri pung? I1: Jadi ini merupakan budaya yang diwariskan dari nenek moyang terdahulu. Kalau sekarang sudah di gorga atau gedung atau ada juga yang di gereja melaksanakan acara adat tersebut. Kalau dulu itu dilaksanakan di lapang terbuka. Maksud nenek moyang menggunakan ulos sebagai simbol adalah ulos merupakan kain khas batak dan sebagai perlindung 84 sehingga adalah pesan yang disampaikan agar kemudian pernikahan itu dilindungi dan diberkati oleh Tuhan. Lalu karena baguslah pesan yang dimaksudkan oleh nenek moyang itu makanya dipakai lah sampai sekarang dan seterusnya. P: Bagaimanakah simbolsimbol yang terdapat dalam pernikahan adat batak? I1: Sinamot: Menunjukan kemampuan dan harga diri dari keluarga pihak paranak kepada keluarga pihak parboru. Indahan Sibuaibuhai: Makan bersama untuk memohon agar acara adat disukseskan. Acara Panyambutan: Sebagai makna dari penerimaan dengan suka cita pihak paranak kepada pihak parboru. Pemberian Boras dan dekke: Wujud gotong royong untuk mensukseskan acara dan makna bahwa setelah paranak dan parboru bersatu makan kedua keluarga harus saling memberi dan menerima. Pemberian Daging Jambar: Memiliki makna memberikan kebahagiaan dan kemakmuran (kemapanan) kepada pihak parboru agar keluarganya tenang bahwa paranak akan memberikan kebahagiaan kepada pihak parboru. Pembagian daging Jambar: Mewujudkan rasa syukur kepada Tuhan dan makna berbagi kesenangan. Manortor (Menari tortor): Wujud kegembiraan. 85 Mangulosi: Wujud pengharapan dan doa-doa, suka cita, cita-cita dank ash sayang yang disimbolkan dengan pemberian ulos yang mana ulos merupakan kain pelindung agar kelak doa-doa dan harapan-harapan yang dicita-ciakan kemudian akan menjadi pelindung pernikahan mereka sampai ajal menjemput. P: Seberapa pentingnyakah mangulosi dalam tradisi pernikahan adat? I1: Dalam adat semua rangkaiannya adalah satu dan berhubungan satu sama lain. Dengan melalui keseluruhan adat ini maka diakuilah dalam adat dan jadilah mereka sebagai manusia batak yang lengkap. Jika tidak melaksanakan adat batak maka dia diasingkan dan tidak diterima dalam adat dan tidak bisa mnegikuti adat. P: Adakah modifikasi dalam pernikahan adat batak? I1: Ada misalnya itu tadi sekarang pesta dakukan di gedung, gorga, atau gereja. Menyesuaikan karena gak ada lagi tempat tanah lapang yang kaya dahulu kala. Susah kan? Apa lagi di kota, udah payah itu. Selain itu sekarang itu proses pemberian ulos udah gak mesti berates-ratus elai kaa dulu. sudah dibatasi keluarga saja yag memberikan ulos. Tamu itu sudah di ganti dengan uang. Disesuaikan dengan kebutuan dan efesiensi. P: Opung kan sebagai raja parhata ya, nah sebenrnya apa sih pung tugas dari raja parhata? I1: Tugasnya itu sebagai jubir dalam pernikahan adat batak, dia lah yang paling paham proses berjalannya adat itu. Raja parhata haruslah semarga 86 dari masing-masing mempelai pengantin dan merupakan kerabat masingmasing mempelai. P: Baik opung, terimakasih telah meluangkan waktu untuk diwawancara. Mauliate godang da! I1: Sama-sama nang. 87 Transkrip Wawancara “Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam Pernikahan Adat Suku Batak Toba” Transkrip Wawancara Informan 2 Nama Informan : dr. Loybert Nainggolan (Amang Samuel) Hari/tanggal : Selasa, 14 Juni 2015 Waktu : 16.00 WIB Lokasi : Jl. Menteng VII Gang. Sepakat No. 10 Medan Keterangan: P: Peneliti I2: Informan 2 P: Hallo Amang Boru, maaf mengganggu waktunya sebentar. Izin wawancara untuk bahan penelitianku tentang pernikahan adat Batak. I2: Iya silakan. Dengan senang hati. P: Dari informasi yang aku tau, amang boru kan sama bou Lena sudah 16 tahun menikah. Nah, apa yang menjadi alasan amang boru mengadakan pesta adatnya baru pada tangal 10 Juni kemarin? 88 I2:Oh iya, benar. Itu karena memang pada saat itu kami belum ada biaya untuk memenuhi adat pesta. Karena memang yang diinginkan pesta adatnya baik. Jadi tunggulah ada uang dulu, baru kemudian nanti jika ada baru diadati. Tuhan baru kasih rejeki tahun ini dan kami memutuskan untuk diadati kemarin. P: Lalu ditengah kemodernan sekarang apa yang menjadi alasan amang boru untuk mengikuti adat? I2: Kami sebagai orang Batak haruslah taat adat. Itu juga merupakan wujud terima kasih kepada Tuhan karena kami sampai saat in masih dipersatukan. Semoga seterusnya dan selamanya. Untuk itu mesti diadati, agar diberkati. Apalagi dalam adat Batak pada saat dimangulosi maka didoakanlah kami sebagai pasangan, itu yang kami harapkan. Agar semuanya baik. Baik dimata adat, dan juga baik di mata keluarga. Dengan begitu pastilah baik di hadapan Tuhan. P: Apa hubungannya rasa syukur dengan pesta adat? I2: Lho itu kan kita makan bersama, berkumpul bersama keluarga, didoakan, mengharapkan berkat Tuhan. Itu semuakan dalam bentuk yang positif tidak ada yang negative, kita berbuat yang baik-baik itu kan artinya tanda syukur. Macam di Muslim juga kan, ada syukuran. Gak jauh beda lah dengan itu. Ini juga syukurannya orang Batak kan gitu hehe. Ditalnya dalam adat ini, bentuk syukurnya semuanya melalui simbol dari makan bersama dalam Indahan Sibuhaibuhai, lalu acara pemberkatan di gereja, makan bersama, pembagian jambar, sampai dengan mangulosi. Itu 89 semuanya selain untk membahagiakan dan makna-makna lain yang terdapat didalanya juga merupakan wuud syukur kami. P: Sebagai pelaku dalam pernikahan adat, apakah harus mengetahui apa makna-makna dari simbol-simbol yang terdapat dalam adat? I2: Tentu harus tau, karena akan sia-sia nantinya kalau kita gak tau apa dan bagaimana adat itu berlangsung. Arena tau bahwasanya maknanya bagus makanya dibuat adat itu. P: Bagaimana pengakuan masyarakat setelah melakukan adat? I2: Dalam budayanya Batak itu kan memang semuanya serba adat ya, dari kita lahir, meninggal, menikah, mempunyai anak itu semuanya ada adatnya. Nah kalau lah kita lahir diadati, kalau punya hidup baru gak diadati macam mana? Biar semuanya pakai adat biar kami merasa tergenapi, biar gak malu kalau kita datang ke pesta adat. Biar dakui kita dalam adat itu. Selain itu kita kan manusia, biar tinggi harkat kita kalau kita jadi manusia yang menjunjung adat istiadat. pernikahan yang belum diadati adalah tidak sempurna dikalangan suku Batak sehingga pada lintas waktu yang cukup lama pun keduanya haruslah melaksanakan adat sesuai dengan yang dititipkan oleh para orang Batak terdahulu. P: Bagaimana perasaan amang boru dan bou setelah diadati? I2: Lega, dan suka cita, akhirnya hutang selama 16 tahun dapat direalisasikan. Kami bersyukur. 90 P: Terima kasih amang boru atas waktunya, maaf nih baru pulang kerja langsung ditodong wawancara. Makasih ya amang boru, semoga selalu dalam lindungan Tuhan dan pernikahanya selalu diberkati. I2: Begitu pula Mutia. Sama-sama. 91 Transkrip Wawancara “Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam Pernikahan Adat Suku Batak Toba” Transkrip Wawancara Informan 3 (Informan Pendukung) Nama Informan : Rudi Parlindungan (Amang Gilbert) Hari/tanggal : Rabu, 15 Juni 2015 Waktu : 10.00 WIB Lokasi : Jl. Menteng VII Gang. Ikhlas No. 7 Medan Keterangan: P: Peneliti I3: Informan 3 P: Horas Uda Rudi, aku boleh wawancara untuk keperluan penelitianku da? I3: Boleh Tia, silakan. P: Uda kan dalam acaranya Bou Lena menyematkan ulos untuk mempelai. Nah kenapa uda yang berperan? 92 I3: Uda ini kan Hula-hula jadi memang begitulah tugas hula-hula ini untuk menggantikan peran dari Orang Tua. Mamak Bapak kan udah meninggal. Jadi kami lah yang harus mewakili doa dari mamak an bapak kami. Dalam acara itu yang menguluskan itu Uda dan Inang Uda, terus Abangku Si Ridwan dan Isterinya. Karena kami dual ah ganti Orang tua kami. P: Mangulosi kan sebagai simbol, sebenarnya apa kah yang menjadi makna dari ulos yang diberikan oleh Hula-hula? I3: Sebagai doa-dan pengharapan. Pas kami mangulosi kana da umpasa yang kami sebutkan untuk si Lena, itu lah maksudnya doa. Itu lah maksud dari mangulosi ini. P: Apa yang menjadi doa Uda dalam mangulosi itu? I3: Yang dikatakan Uda? Jadi sebelum uda memberi ulos ini lah yang uda katakan: Lena, jangan kau berkecil hati gak ada Bapak sama Mamak dipesta adat ini, tapi aku yakin mamak dan bapak hadir dalam acara pesta ini. Kau baik-baik jadi isteri, semoga selalu diberkati kau dalam segala hal. Semoga sukses bere kita Samuel. Sehat-sehat kau, bahagia. Tuhan memberkati pesta mu. Buat kau juga Loybert, ku titip lah adik ku si Lena, kasihi dia, cintai dia sebagaimana seharusnya suami mencintai dan mengasihi isterinya. Semoga lancar kerjaanmu, semoga selalu bahagia kalian dua. Tuhan memberkati. Baru lah uda ulosi mereka. P: Apakah dengan memberi ulos doa dan harapan telah tersampaikan? 93 I3: Ya, pemberian ulos itu adalah simbol bahwa doa itu tersampaikan. P: Oh begitu. Terima kasih uda, semoga Tuhan mengabulkan segala doa uda pada pernikahan. I3: Ok Boru. Sama-sama. 94 LAMPIRAN II Dokumentasi 95 Gbr. Perikahan adat Batak Toba Pada Proses Pemberian Sisa Sinamot Dari PihakParanak Kepada Pihak Parboru (doc. Peneliti) Gbr.Manortor dan pemberian uang pada keluarga yang telah memberi Ulos (Doc. Peneliti) 96 Gbr. Peneliti berpoto bersama Opng Michelle Usai Wawancara (doc. Peneliti) Gbr. Pemberian doa kepada Dekke (ikan) yang diberian oleh parboru untuk keluarga parana (doc. Peneliti) 97 Gbr. Bersama Lena, Loybert, dan Samuel. Seusai wawancara dengan Lobert. (doc. Peneliti) Gbr. Bersama Rudi pada pernikahan adat Lena dan Loybert. (doc. Peneliti 98 99 100 RIWAYAT HIDUP PENELITI Nama Lengkap : Mutia Nurdalilah Simatupang Tempat, Tanggal Lahir : Serang, 23 September 1993 Agama : Islam Alamat : Taman Lopang Indah Blok FU 4 No. 3 Kelurahan Unyur, Kecamatan Serang Serang, Banten Nomor Telepon : 0813-1290-8767 Alamat Email : [email protected] Twitter : @RahelMutia LATAR BELAKANG PENDIDIKAN 2000 – 2003 : SD Negeri Lontar Baru Serang 2003 – 2006 : SD Negeri 1 Cibeber Tasikmalaya 2006 – 2009 : SMP Swasta Primbana, Medan 2010 – 2012 : SMA Swasta Wage Rudolf Supratman 2 Medan 2012 – 2016 : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa – Ilmu Komunikasi (Konsentrasi Jurnalistik) PENGALAMAN ORGANISASI 2012 – 2014 : LPM Orange FISIP-Untirta 2013 – 2015 : Crew UNTIRTA TV