MASALAH DAN TANTANGAN DALAM PENGELOLAAN JAKARTA

advertisement
Jurnal Bisnis & Birokrasi, Volume XIV, No. 4 Desember 2006, ISSN 0854-3844 hal 732-743
1
MASALAH DAN TANTANGAN DALAM PENGELOLAAN JAKARTA:
ASPEK POPULASI, RUANG MUKA BUMI, DAN INFRASTRUKTUR KOTA
Teguh Kurniawan*
Abstract
In managing cities, every city’s government needs to make priority on several influenced aspects.
These efforts need to be done by considering the scarcity of available resources within the city. This
small paper tries to describe several aspects that should be prioritizing in managing Jakarta in the
future times. Those aspects according to the writer are population, land spaces and infrastructures.
The three aspects will be much determined for the achievements of sustainable development and better
live in Jakarta.
Keywords: population, land spaces, insfrastructures, Jakarta, sustainable development
Pendahuluan
Ketika kita membicarakan tentang kota dan pengelolaannya, setidaknya terdapat 3 (tiga)
aspek terpenting menurut pendapat penulis yang tidak boleh kita lupakan. Ketiga aspek
tersebut adalah populasi, ketersediaan ruang muka bumi, dan infrastruktur. Ketiga aspek
ini adalah aspek paling penting yang harus kita hadapi dan pertimbangkan ketika kita
mengelola kota. Tanpa mempertimbangkan ketiga aspek ini akan mengarahkan kita pada
kehancuran besar di masa depan buat kota kita dan segenap penduduk yang hidup
didalamnya. Besarnya jumlah penduduk apabila dibandingkan dengan ketersediaan ruang
muka bumi untuk mengakomodasi kebutuhan mereka dan juga ketersediaan infrastruktur
dalam mendukung aktivitas kehidupan sehari-hari, perlu dikelola dengan baik melalui
suatu perencanaan yang komprehensif dan hati-hati. Kegiatan perencanaan ini haruslah
juga melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders) kota atau setidaknya pihak
yang berwenang dalam perencanaan kota haruslah memiliki informasi dan pengetahuan
yang cukup mengenai kondisi terkini dan sebenarnya yang ada di masyarakat, masalah
ekologi dari kondisi lingkungan, serta tindakan atau kebijakan apa yang sangat
dibutuhkan di sebuah lokasi tertentu yang ada di kota itu. Sehingga dengan segala
pengetahuan dan informasi tersebut dapat membuat mereka mampu membuat rencana
yang tepat bagi kemajuan kota mereka di masa datang.
Dengan menggunakan pendekatan seperti tersebut di atas, diharapkan akan mampu
mendorong pencapaian tujuan dari keberadaan sebuah pemerintahan kota di seluruh
dunia, yang dalam hal ini adalah mencapai kemakmuran bagi semua penduduknya yaitu
bagaimana membuat kota kita sebagai tempat yang terbaik untuk kehidupan penduduk
dan makhluk hidup lainnya yang hidup disekitar kita.
*
Dosen Inti FISIP UI. Dapat dihubungi di email: [email protected]
Jurnal Bisnis & Birokrasi, Volume XIV, No. 4 Desember 2006, ISSN 0854-3844 hal 732-743
2
Tulisan ini berusaha untuk mengidentifikasikan situasi menyangkut ketiga aspek penting
seperti yang telah disebutkan di atas yang terjadi di DKI Jakarta. Dengan informasi ini
diharapkan pemahaman yang lebih baik bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam
mengelola kota mereka menuju pembangunan yang berkelanjutan. Tulisan ini diharapkan
juga dapat menjadi masukan dalam upaya revisi UU 34/1999 tentang Pemerintahan
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia yang saat ini sedang
digulirkan.
Mengapa ketiga aspek ini dan bukan aspek yang lainnya?
Dalam publikasinya mengenai “Sustainable Development in Asia”, 2000, Bank
Pembangunan Asia (ADB) menyatakan dan berpendapat bahwa tiga faktor determinan
dari pembangunan berkelanjutan di Asia adalah: konsumsi, produksi, dan distribusi.
Ketiga faktor ini, menurut hemat penulis masih relevan untuk digunakan dalam
menganalisis permasalahan yang dihadapi dalam mencapai pembangunan berkelanjutan
di Indonesia. Konsumsi layaknya dibatasi oleh alam; produksi memiliki karakteristik
ketidak efisienan secara umum dalam penggunaan air, energi, dan mineral; dan distribusi
yang tidak seimbang terhadap sumberdaya—menyebabkan kemiskinan dan menghambat
pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan sendiri
membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang pro terhadap kemiskinan, pembangunan
sosial, dan kepemerintahan yang baik (good governance), dan karenanya berusaha untuk
mengurangi kemiskinan.
Jika kita mengacu kepada pernyataan dari ADB tersebut dan menghubungkannya dengan
pendekatan pengelolaan kota berkelanjutan, maka kita pasti setuju bahwa populasi,
ketersediaan ruang muka bumi, dan infrastruktur adalah elemen yang terpenting dalam
mencapai kota yang berkelanjutan.
Konsumsi, produksi, dan distribusi adalah konsep inti dalam ekonomi seperti yang
dinyatakan oleh Samuelson dan Nordhaus (1998) bahwa ekonomi adalah studi yang
mempelajari bagaimana masyarakat menggunakan sumberdaya yang terbatas untuk
menghasilkan komoditas yang memiliki kegunaan dan mendistribusikannya diantara
masyarakat yang berbeda. Dengan mempelajari dan mengerti ekonomi dan permasalahan
lingkungan, kita dapat mengerti bagaimana mengelola sebuah kota menuju kota yang
berkelanjutan dan menyadari bahwa permasalahan ekonomi akan mengarahkan kita pada
pentingnya populasi, ketersediaan ruang muka bumi, dan infrastruktur dalam pengelolaan
kota dengan pendekatan yang berkelanjutan.
Populasi merupakan subyek yang sangat penting ketika kita membicarakan konsumsi,
produksi, dan distribusi. Populasi menjadi faktor yang sangat krusial karena permintaan
dan penawaran yang terjadi di dalam pasar akan sangat ditentukan oleh jumlah penduduk
yang membutuhkan akan barang dan jasa tertentu yang diproduksi melalui suatu aktivitas
perekonomian. Ketika sebuah komunitas mencoba untuk memproduksi barang dan jasa
tertentu, mereka akan berhadapan dengan permasalahan terbatasnya sumber daya yang
tersedia untuk menghasilkan barang dan jasa tersebut. Sumber daya yang terbatas
tersebut dapat berupa ketersediaan ruang muka bumi yang ada di dalam kota kita.
Jurnal Bisnis & Birokrasi, Volume XIV, No. 4 Desember 2006, ISSN 0854-3844 hal 732-743
3
Keterbatasan tersebut tidak hanya karena dibatasi oleh batas-batas administratif dari kota
kita, tetapi juga menyangkut kapasitas atau kemampuan dari alam yang ada di kota kita
dalam mengakomodasi aktivitas perekonomian dan aktivitas lainnya. Alam memiliki
keterbatasan ketika kita gunakan untuk aktivitas produksi. Kita harus selalu ingat bahwa
ada sejumlah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Karenanya, merupakan
hal yang sangat penting untuk selalu mempertimbangkan ketersediaan ruang muka bumi
dalam arti ketersediaan sumber daya di dalam kota ketika kita berusaha mewujudkan
pengelolaan kota yang berkelanjutan. Dalam proses konsumsi, produksi, dan distribusi di
dalam kota, infrastruktur juga memainkan peranan yang penting. Hal ini karena fungsi
dari infrastruktur yang sangat dibutuhkan dalam proses konsumsi, produksi, dan
distribusi tersebut. Kita tentu saja dapat membayangkan apa yang akan terjadi apabila
infrastruktur yang tersedia di kota kita dalam kondisi yang yang tidak baik dan dapat
menyebabkan masalah dalam memproduksi, mendistribusikan, dan mengkonsumsi
barang dan jasa.
Tentu saja tidak semua orang sependapat bahwa dalam pengelolaan kota masalah
populasi, ketersediaan ruang muka bumi, dan infrastruktur adalah faktor yang paling
penting. Situasi yang berbeda dapat terjadi dalam bentuk yang berbeda di kota yang
berbeda, yang dapat disebabkan karena perbedaan cara pandang dari masyarakatnya
dalam menentukan faktor yang paling penting di kota mereka, yang dibutuhkan dalam
pengelolaan kotanya. Tetapi sekali lagi, menurut pandangan penulis, ketika kita berbicara
tentang pengelolaan kota berkelanjutan khususnya di Jakarta, maka ketiga elemen
tersebut: populasi, ketersediaan ruang muka bumi, dan infrastruktur akan memainkan
peranan yang penting dan harus menjadi prioritas dalam pengelolaan DKI Jakarta.
Bagaimana ketiga elemen ini menjadi begitu penting bagi DKI Jakarta? Penjelasan dalam
bagian berikut akan mencoba memberikan jawabannya.
Profil DKI Jakarta: kondisi saat ini di Jakarta
Dalam usaha memberikan analisa mengapa populasi, ketersediaan ruang muka bumi, dan
infrastruktur haruslah menjadi prioritas dalam pengelolaan DKI Jakarta, penulis akan
mencoba untuk menyajikan beberapa informasi menyangkut ketiga aspek tersebut.
Informasi diperoleh dari berbagai sumber, diantaranya berasal dari “Jakarta dalam Angka
2003”. Informasi yang tersedia disajikan dalam format tabel dan dibagi menurut wilayah
yang ada di Jakarta untuk kemudian dianalisa secara singkat terkait kondisi yang terjadi
di lapangan.
Populasi
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Jakarta, pada tahun 2003 Jakarta dengan luas
wilayah seluas 661,52 kilometer persegi, dihuni oleh 7.456.931 jiwa penduduk. Dengan
angka yang sedemikian, Jakarta memiliki kepadatan penduduk sebesar 11.272 jiwa
penduduk per kilometer perseginya. Jika data ini kita bagi per wilayah, maka kita akan
mendapatkan informasi berikut ini.
Jurnal Bisnis & Birokrasi, Volume XIV, No. 4 Desember 2006, ISSN 0854-3844 hal 732-743
4
Tabel 1
Luas Wilayah, Populasi, dan Kepadatan Penduduk Jakarta tahun 2003
Kotamadya/Kabupaten
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
Jakarta Selatan
Jakarta Barat
Jakarta Timur
Kepulauan Seribu
Luas Wilayah
(km2)
47,90
142,30
145,73
126,15
187,73
11,71
661,52
Populasi (jiwa)
897.941
1.176.355
1.701.555
1.567.571
2.094.586
18.923
7.456.931
Kepadatan penduduk
(ribu jiwa/ km2)
18,746
8,267
11,676
12,426
11,157
1,616
11,272
Sumber: Jakarta Dalam Angka 2003, BPS Provinsi DKI Jakarta
Dari tabel 1 di atas, kita mendapatkan informasi bahwa berdasarkan luas wilayahnya,
Kotamadya Jakarta Timur adalah wilayah yang terluas di Jakarta dengan luas wilayah
187,73 kilometer persegi, sementara Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu adalah
wilayah tersempit dengan luas wilayah hanya 11,71 kilometer persegi disusul oleh
Kotamadya Jakarta Pusat dengan luas wilayah 47,90 kilometer persegi. Urutan yang
sama akan kita dapatkan apabila kita melihatnya dari sisi populasi penduduk. Namun
demikian, apabila kita melihat kepadatan penduduk yang ada, maka wilayah yang
terpadat adalah Kotamadya Jakarta Pusat dengan kepadatan sebesar 18.746 jiwa
penduduk per kilometer perseginya, diikuti oleh Kotamadya Jakarta Barat dengan
kepadatan penduduk sebesar 12.426 jiwa penduduk per kilometer persegi.
Dengan kepadatan yang sedemikian, apabila kita mengacu pada Wackernagel et al.
(1997) dan juga Meadows (1995), maka kepadatan penduduk Jakarta adalah sangat kritis
dan cenderung merusak terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Meadows,
kepadatan penduduk yang ideal untuk pembangunan berkelanjutan adalah dibawah 50
jiwa penduduk per hektarnya, dan akan cenderung kritis apabila kepadatan penduduk
berkisar 100 – 150 jiwa penduduk per hektar dan akan merusak terhadap pembangunan
berkelanjutan apabila kepadatan penduduk di atas 200 jiwa penduduk per hektarnya.
Jika kita melihat pada tabel 1 di atas, maka kita akan menemukan bahwa tingkat
kepadatan penduduk di wilayah-wilayah yang ada di Jakarta berkisar antara 17 jiwa
(Kepulauan Seribu) – 187 jiwa penduduk per hektarnya. Kondisi ini tentu saja sangat
berbahaya bagi pembangunan kota yang berkelanjutan untuk Jakarta. Kita harus ingat
bahwa di masa yang akan datang terdapat kemungkinan bertambahnya jumlah penduduk
Jakarta. Bahkan berdasarkan proyeksi dari Biro Pusat Statistik, pada tahun 2000 – 2025
rata-rata tingkat pertumbuhan penduduk Jakarta akan berada pada tingkatan 0,39 %.
Angka ini apabila mengacu kepada pendapat Meadows juga sangatlah kritis terhadap
pembangunan yang berkelanjutan, dimana setiap tahunnya akan terjadi penambahan
jumlah penduduk di Jakarta sementara luasan wilayahnya tidak bertambah. Karenanyalah
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus memberikan perhatian yang lebih besar untuk
melakukan segenap upaya terbaik yang dapat dilakukannya dalam menangani
pertumbuhan penduduk Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga harus
Jurnal Bisnis & Birokrasi, Volume XIV, No. 4 Desember 2006, ISSN 0854-3844 hal 732-743
5
memperhatikan bagaimana menyediakan jasa dan pelayanan yang lebih baik bagi
penduduk yang ada saat ini berdasarkan karakteristik yang ada di setiap wilayahnya.
Ketersediaan Ruang Muka Bumi
Besar dan tidak terkontrolnya populasi penduduk di Jakarta jika tidak segera
mendapatkan perhatian dari pemerintah akan mengarahkan pada kerusakan lingkungan.
Hal ini dapat terjadi mengingat fakta bahwa peningkatan jumlah populasi akan
meningkatkan jumlah ruang yang dibutuhkan untuk aktivitas manusia. Dan kita semua
tahu bahwa dalam melakukan aktivitasnya, penduduk kadangkala cenderung untuk
mengabaikan kapasitas yang dimiliki oleh lingkungan dalam proses penyediaan jasa
tersebut.
Istilah ketersediaan ruang muka bumi yang digunakan di sini mengacu pada ketersediaan
sumber daya lahan di Jakarta yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan barang dan
jasa. Luas keseluruhan wilayah Jakarta dapat menunjukkan kepada kita betapa
terbatasnya ruang muka bumi yang dapat digunakan. Dari informasi yang berhasil
dikumpulkan, didapatkan gambaran sebagai berikut.
Tabel 2
Luas Wilayah, Populasi, dan Penggunaan Tanah Utama Jakarta 2003
Kotamadya/
Kabupaten
Luas
Wilayah
(Ha)
Populasi
(jiwa)
Penggunaan Tanah Utama (ha)
Perumahan Industri Kantor Taman Lainnya
&
Gudang
2.992,31
87,66
1.008,30 164,78
536,96
8.117,87
2.351,73 1.597,08 137,07 3.197,25
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
& Kep
Seribu
Jakarta
Selatan
Jakarta Barat
Jakarta
Timur
4.790
15.401
897.941
1.195.278
14.573
1.701.555
10.638,29
209,85
1.578,25
154,47
1.992,12
12.615
18.773
1.567.571
2.094.586
8.899,88
13.403,92
508,38
1.101,98
1.327,01
1.832,24
132,46
212,13
1.747,17
2.222,73
66.152
7.456.931
44.052,27
4.259,60
7.342,88
800,91
9.696,23
Sumber: Jakarta dalam Angka 2003, BPS Provinsi DKI, Data diolah kembali
Dari data yang terdapat dalam tabel 2 di atas, kita dapat menemukan bahwa berdasarkan
penggunaan lahan utama di Jakarta, penggunaan lahan untuk perumahan adalah yang
paling dominan dengan luas 44.052,27 hektar atau sekitar 66,59 % dari keseluruhan luas
wilayah, sementara penggunaan lahan untuk taman hanya 800,91 hektar atau hanya 1,81
% dari keseluruhan luas wilayah Jakarta. Berdasarkan angka tahun 2003 ini, untuk luas
lahan perumahan, lebih besar dibandingkan luas lahan di tahun 2000 (41.331,32 hektar)
dan 2001 (43.475,09 hektar); sementara untuk luas taman, lebih kecil dibandingkan luas
taman di tahun 2000 (1.314,23 hektar) dan 2001 (1.270,11 hektar).
Jurnal Bisnis & Birokrasi, Volume XIV, No. 4 Desember 2006, ISSN 0854-3844 hal 732-743
6
Berdasarkan gambaran ini dapat diketahui betapa Jakarta sangat kekurangan akan ruang
hijau atau ruang terbuka untuk penduduknya. Pembangunan berkelanjutan adalah
bagaimana kita bertindak dalam menyeimbangkan antara kegiatan ekonomi, sosial, dan
keuntungan dari lingkungan melalui implementasi kebijakan pembangunan, program, dan
proyek yang tidak akan memberikan keuntungan kepada satu aspek (ekonomi, sosial,
atau lingkungan saja) dengan mengambil biaya terhadap aspek yang lain. Berdasarkan
data dalam tabel 2 di atas, secara umum kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa
situasi yang ada sekarang di Jakarta berdasarkan penggunaan lahan utamanya adalah
tidak mendukung terhadap kota yang berkelanjutan. Dari data di atas, ditunjukkan bahwa
terdapat ketidakseimbangan antara kegiatan ekonomi, sosial, dan kondisi lingkungan di
Jakarta.
Infrastruktur
Infrastruktur di sini adalah perangkat yang tersedia di kota yang disediakan oleh
pemerintah untuk keuntungan penduduknya dalam melakukan aktivitas sehari-hari
mereka. Dalam bagian ini, karena keterbatasan waktu dan ruang yang tersedia, penulis
hanya akan mendiskusikan masalah infrastruktur yang berhubungan dengan kondisi
lingkungan di Jakarta. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengkedepankan
infrastruktur dalam pengelolaan sampah di Jakarta. Pengelolaan sampah menjadi sangat
penting bagi Jakarta dikarenakan jumlah penduduknya yang sangat besar. Setiap harinya,
penduduk Jakarta—dan tentu saja ini juga terjadi di kota-kota lainnya di dunia—akan
menghasilkan sampah dari aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Sampah ini tentu saja
harus dikelola secara baik agar tidak menyebabkan permasalahan lingkungan di
kemudian hari.
Jika kita melihat pada kegiatan pengelolaan sampah di Jakarta, kita akan menemukan
informasi berikut ini.
Tabel 3
Volume Sampah dan Jumlah Truk Sampah yang tersedia di Jakarta 2003
Kota
Jumlah sampah
per harinya
(m3)
Sampah yang
dikumpulkan
per harinya
(m3)
Jumlah truk
yang tersedia
(unit)
5.217
4.162
5.060
5.116
5.120
-
Sampah yang
tidak
terkumpulkan
per harinya
(m3)
63
20
247
360
322
-
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
Jakarta Selatan
Jakarta Barat
Jakarta Timur
Dinas
Kenersihan
5.280
4.182
5.307
5.476
5.442
25.687
24.675
1.012
770
Sumber: Jakarta dalam Angka 2003, BPS Provinsi DKI Jakarta, Data diolah kembali
153
136
148
157
129
47
Jurnal Bisnis & Birokrasi, Volume XIV, No. 4 Desember 2006, ISSN 0854-3844 hal 732-743
7
Berdasarkan tabel 3 di atas, kita dapat menemukan bahwa tidak semua sampah yang
diproduksi dari kegiatan penduduk dapat dikumpulkan untuk kemudian diolah. Masih
terdapat sampah yang tidak terkumpulkan sebesar 3,94 % dari jumlah keseluruhan
sampah. Keterbatasan perlengkapan seperti truk yang digunakan untuk mengelola
sampah dapat merupakan salah satu penyebab mengapa tidak semua sampah dapat
dikumpulkan. Dengan masih adanya sampah yang belum dapat terangkut secara
keseluruhan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus memberikan perhatian lebih
terhadap pengelolaan sampah. Sampah yang tidak terkumpul dapat menjadi sumber
permasalahan bagi kondisi lingkungan di Jakarta apabila pemerintah tidak dapat
mengelola permasalahan ini dengan cara-cara yang tepat.
Selain pengelolaan sampah, infrastruktur lainnya juga perlu dikelola secara baik oleh
Pemerintah DKI Jakarta. Tanpa pengelolaan yang lebih baik di masa depan akan
mengarahkan Jakarta menjadi kota yang tidak sehat dan nyaman untuk penduduknya
dimana kita telah dapat memprediksikan bahwa jumlah penduduk Jakarta di masa datang
akan jauh lebih besar dibandingkan saat ini. Karenanya tantangan ke depan bagi
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan jauh lebih banyak dan sulit dibandingkan saat ini.
Bagaimana mengelola Jakarta di masa depan?
Dalam upaya untuk menemukan cara yang terbaik dalam mengelola kota Jakarta
khususnya untuk pembangunan yang berkelanjutan, kita harus melihatnya dan belajar
dari praktek terbaik yang pernah dilakukan oleh kota-kota lain di dunia.
Salah satu pendekatan menarik dari program kota berkelanjutan menurut Brilhante (2001)
adalah “kota ekologi” yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda. Pendekatan ini lebih
dikenal dengan istilah strategi “ekopolis” yang didalam kerangka strateginya
memasukkan tiga fokus yang saling melengkapi bagi pembangunan kota, yaitu: kota yang
bertanggung jawab (the responsible city), kota berkehidupan (the living city), dan kota
yang partisipatif (the participating city).
Jika kita kembali pada pembahasan mengenai tiga aspek yang penulis usulkan yang harus
diprioritaskan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan dengan memberikan perhatian
kepada aktor-aktor yang harus dilibatkan dalam pelaksanaan ketiga aspek tersebut, maka
kita dapat menggunakan konsep dari kota yang partisipatif seperti yang terdapat dalam
strategi “ekopolis” di atas.
Konsep kota yang partisipatif adalah suatu tindakan yang dilakukan dalam membuat
setiap aktor yang berbeda yang ada di kota dapat ikut memainkan peranan aktif dalam
pengelolaan kota. Hanya dengan partisipasi dari setiap aktor akan memungkinkan bagi
penggunaan segenap sumber daya hebat potensial yang dimiliki oleh DKI Jakarta baik
sumber daya manusia maupun modal.
Ketika kita membicarakan populasi, ketersediaan ruang muka bumi, dan infrastruktur
maka kita akan dapat mengidentifikasikan semua kemungkinan aktor yang harus
Jurnal Bisnis & Birokrasi, Volume XIV, No. 4 Desember 2006, ISSN 0854-3844 hal 732-743
8
dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan di Jakarta. Aktor-aktor ini adalah
pemerintah dalam semua tingkatannya (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota), sektor
swasta, dan sektor populis (organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat,
rumah tangga, dan media massa).
Pemerintah Pusat menjadi aktor utama karena pemerintah pusat memiliki kewenangan
untuk menetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional.
Peraturan perundang-undangan ini akan menjadi arahan dan acuan bagi pemerintah
daerah dalam membuat kebijakan daerahnya. Pemerintah Pusat juga berperan dalam
menyediakan alokasi dana tertentu yang akan dibutuhkan dalam pengelolaan sebuah kota
seperti Jakarta. Selain Pemerintah Pusat, terdapat juga pemerintah regional yakni
pemerintah daerah lainnya yang dalam hal ini Pemerintah Provinsi Jawa Barat,
Pemerintah Provinsi Banten dan semua Pemerintah Kabupaten dan Kota yang ada di
kedua wilayah tersebut dalam kawasan JaBoDeTaBekJur. Kesemua pemerintah regional
tersebut menjadi aktor utama karena kebutuhan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk
bekerjasama dengan mereka dalam pengelolaan Jakarta. Kita tentu menyadari bahwa
tidak semua permasalahan dalam pengelolaan Jakarta dapat diselesaikan semuanya
didalam batas wilayah Jakarta. Kadangkala kita akan membutuhkan bantuan dari wilayah
lainnya di luar Jakarta untuk menyelesaikan beberapa masalah tertentu.
Dalam pendekatan pengelolaan kota yang baru, sektor swasta akan memainkan peranan
yang lebih besar dibandingkan masa-masa sebelumnya. Kecenderungan yang terjadi saat
ini dalam pengelolaan kota adalah dengan melibatkan sektor swasta bersama-sama
dengan sektor publik dalam penyediaan barang dan jasa untuk warga kota. Pendekatan ini
disebut “Pola Kemitraan antara Sektor Publik dan Sektor Swasta”. Berkaitan dengan
masalah yang diangkat dalam tulisan ini, maka pihak swasta misalnya, dapat ikut
dilibatkan dalam penyediaan infrastruktur lingkungan kota untuk masyarakat.
Terakhir, menyangkut peranan masyarakat akan menjadi sangat penting di masa datang.
Ketika kita berbicara tentang kebijakan kota maka kita yakin bahwa masyarakatlah yang
akan terkena dampak dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Karenanya
pemerintah haruslah membuat kebijakan yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat
dan untuk itu pemerintah haruslah melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan
kebijakannya.
Setelah kita mengidentifikasikan permasalahan yang harus menjadi prioritas dalam
Pengelolaan Jakarta dan mengidentifikasikan aktor-aktor utama yang terlibat, maka kini
kita mencoba untuk mengidentifikasi langkah-langkah potensial yang harus diambil
menuju sebuah visi pembangunan strategis yang terintegrasi yang dapat dilakukan
dengan menggunakan konsep kapasitas organisasi dan pengelolaan kota terpadu.
Mengacu kepada GTZ dan USAID-CLEAN (2001), yang dimaksud dengan kapasitas
adalah kemampuan dari individu, organisasi atau sistem untuk menjalankan fungsinya
dan mencapai tujuannya secara efektif dan efisien. Hal ini haruslah didasarkan pada
peninjauan secara berkala terhadap kondisi pola kerja dan penyesuaian yang dinamis
terhadap fungsi dan tujuan dari individu, organisasi atau sistem tersebut.
Jurnal Bisnis & Birokrasi, Volume XIV, No. 4 Desember 2006, ISSN 0854-3844 hal 732-743
9
Terintegrasi disini dapat diartikan sebagai usaha-usaha untuk mempertimbangkan
segenap aspek yang dapat mempengaruhi kinerja kota dalam proses perencanaannya.
Berkaitan dengan pengelolaan kota yang berkelanjutan, aspek-aspek yang harus
dipertimbangkan disini adalah aspek sosial, ekonomi, dan ekologi.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, apa yang dimaksud dengan kapasitas organisasi dan
pengelolaan kota terpadu di sini adalah adalah suatu upaya dalam pengelolaan kota
dengan mempertimbangkan semua aspek penting dan memadukannya dalam proses
perencanaan melalui visi pembangunan strategis dengan menggunakan segenap kapasitas
yang tersedia di dalam kota. Kapasitas disini dapat berupa kapasitas dari institusi
pemerintah dan aktor utama lainnya.
Berkaitan dengan populasi, ketersediaan ruang muka bumi, dan infrastruktur yang harus
menjadi fokus perhatian dalam pengelolaan Jakarta, maka terdapat sejumlah langkahlangkah umum yang harus dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta yang ditujukan untuk
meningkatkan ketiga aspek ini sebagai berikut. Perlu dicatat bahwa langkah-langkah ini
harus berada dalam kerangka pengelolaan kota yang berkelanjutan.
Pertama, Pemerintah DKI Jakarta haruslah memiliki visi dan misi yang jelas dan terukur
dalam pelaksanaan pembangunan Jakarta. Visi dan misi ini akan menjadi arahan bagi
Pemerintah DKI Jakarta dalam memberikan prioritas kepada aspek pembangunan
tertentu. Visi dan misi ini juga harus mencakup aspek terpenting yang dibutuhkan dalam
proses pembangunan tersebut.
Kedua, dalam melaksanakan visi dan misi tersebut, Pemerintah DKI Jakarta haruslah
membuat beberapa penyesuaian terhadap kapasitas organisasi mereka, dalam hal ini
termasuk penyesuaian terhadap budaya kerja dan perilaku yang ada di dalam
pemerintahan dan masyarakat.
Ketiga, Pemerintah DKI Jakarta harus pula membuat penyesuaian terhadap kapasitas
keuangan mereka. Perlu diingat bahwa ketersediaan dana merupakan hal yang sangat
dibutuhkan dalam implementasi dari rencana yang telah dibuat. Karenanya, Pemerintah
DKI Jakarta perlu melakukan inovasi dalam pengelolaan anggarannya sehingga menjadi
lebih efesien dan efektif selain tentu saja inovasi dalam mencari sumber pendapatan
alternatif. Untuk itu, Pemerintah DKI Jakarta haruslah memiliki kapasitas yang
berorientasi terhadap pasar sehingga dapat mewujudkan penambahan pendapatan dan
pengurangan biaya-biaya yang tidak perlu,.
Keempat, Pemerintah DKI Jakarta juga perlu untuk mengembangkan kapasitas
strategis/antisipatif/inovatif. Dengan demikian, mengacu kepada Osborne, Pemerintah
DKI Jakarta dapat membuat kebijakan dalam rangka “pencegahan” daripada
“mengobati”. Karenanya, untuk alasan ini, pemerintah harus memiliki kapasitas dalam
membuat perencanaan strategis bagi kota mereka yang didukung oleh kepemimpinan
yang visioner.
Jurnal Bisnis & Birokrasi, Volume XIV, No. 4 Desember 2006, ISSN 0854-3844 hal 732-743
10
Kelima, Pemerintah DKI Jakarta harus menyiapkan kapasitas dari masyarakat agar dapat
mendukung aksi yang dilakukan oleh pemerintah.
Penutup
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa mengelola kota bukanlah merupakan
hal yang mudah, khususnya dalam mengelola kota yang besar dan padat penduduk seperti
Jakarta. Namun demikian, permasalahan yang ada saat ini akan menjadi tantangan bagi
Pemerintah DKI Jakarta dalam mengembangkan strategi bagi pembangunan kotanya.
Melalui identifikasi terhadap permasalahan utama yang ada di Jakarta, penulis
berpendapat bahwa di masa depan, Pemerintah DKI Jakarta haruslah memberikan
perhatian yang lebih besar kepada tiga aspek utama dalam pembangunannya, yaitu
populasi, ketersediaan ruang muka bumi dan infrastruktur. Ketiga aspek ini menurut
penulis merupakan tiga aspek penting dalam pengelolaan kota Jakarta di masa datang.
Selain itu, dalam mengelola kotanya, Pemerintah DKI Jakarta juga harus belajar dari
pengalaman terbaik yang pernah dilakukan oleh kota-kota lain di dunia dan
mengadaptasinya dengan terlebih dahulu membuat penyesuaian terhadap kondisi
setempat dari setiap wilayah yang ada di Jakarta. Melalui upaya-upaya tersebut,
diharapkan dapat mewujudkan pembangunan kota berkelanjutan untuk Jakarta.
Referensi
Asian Development Bank, 2000, Sustainable Development in Asia, Manila: Asian
Development Bank
Brilhante, Ogenis M, 2001, “Urban Environmental Management”, Reader for MSc
Students in Urban Environmental Management, IHS Rotterdam
Bruff, Garreth E and Adrian P Wood, 2000, “Local Sustainable Development: Land-use
Planning’s Contribution to Modern Local Government”, Journal of
Environmental Planning and Management, Volume 43, No. 4, July 2000
Cunningham, William P and Barbara Woodworth Saigo, 2001, Environmental Science: A
Global Concern, 6th edition, New York: Mc Graw Hill
Cybriwsky, Roman and Larry R Ford, 2001, “City Profile Jakarta”, in Cities, Volume 18,
No. 3
Kurniawan, Teguh, 2003, “Populasi, Ruang Muka Bumi, dan Infrastruktur Kota”, Sinar
Harapan, Sabtu 28 Juni 2003.
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0306/28/opi02.html
Jurnal Bisnis & Birokrasi, Volume XIV, No. 4 Desember 2006, ISSN 0854-3844 hal 732-743
11
Meadows, D.L. 1995, “It is too late to achieve sustainable development, now let us strive
for survivable development”, In: S. Murai (ed.), Toward Global Planning of
Sustainable Use of the Earth: Development of Global Eco-engineering, Elsevier,
Amsterdam.
Ministry of Home Affairs and Regional Autonomy and National Development Planning
Agency of the Republic Indonesia, 2001, “Capacity Building for Local
Governance: A Framework for Government Action and Donor Support”, Final
Report, GTZ / USAID-CLEAN Urban Capacity Building Needs Assessment for
Local Governments and Legislatures
Samuelson, Paul A and William D Nordhaus, 1998, Economics, 16th edition, New York:
Mc Graw Hill
Wackernagel, Mathis et al., 1997, Ecological Footprints of Nations: How Much Nature
do they Use? How Much Nature Do they Have? Earth Council. San José, Costa
Rica
Yusi, Andriazi Syah, 2000, “A Comparative Analysis of Public and Private Waste
Collection in Jakarta”, MSc Thesis in Urban Infrastructure Management, IHE
Delft and IHS Rotterdam
Download