25 BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Petani Karakteristik petani merupakan sifat-sifat atau ciri-ciri yang dimiliki seseorang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor-faktor biologis dan faktor sosiopsikologis. Faktor biologis mencakup genetik, sistem syaraf dan sistem hormonal. Menurut Sampson (Rakhmat, 2001) faktor sosiopsikologis terdiri dari komponen-komponen kongnitif (intelektual) yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia, aspek konatif yang berhubungan dengan kebiasaan dan aspek afektif (faktor emosional) Lionberger dan Gwin (1982) mengemukakan bahwa peubah-peubah yang penting dalam mengkaji masyarakat lokal diantaranya adalah peubah karakteristik individu. Karakteristik individu merupakan sifat atau ciri yang dimiliki seseoang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkunganya. Menurut Bettinghaus (Wahyudi, 2004) demografis merupakan salah satu peubah yang sering digunakan untuk melihat kemampuan komunikasi seseorang dan juga kemampuan untuk memilih media. Sehubungan dengan perilaku komunikasi dan adopsi inovasi, ada beberapa peubah karakteristik sosial ekonomi yang berhubungan dengan perilaku komunikasi antara lain karakteristik demografi seperti umur, pendidikan, pengetahuan, dan pendapatan. Berdasarkan tinjauan diatas, karakteristik petani merupakan ciri-ciri atau sifat-sifat individual yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungan seseorang termasuk dalam perilaku komunikasi dan perilaku pelestarian hutan (Wahyudi, 2004). 2.1.1. Umur Umur petani akan mempengaruhi kemampuan fisik bekerja dan cara berpikir. Pada umumnya petani yang berumur muda dan keadaannya sehat mempunyai kemampuan fisik yang lebih besar dibanding dengan petani yang berumur tua, petani muda juga lebih mudah untuk menerima hal-hal yang dianjurkan penyuluh. Hal ini disebabkan karena petani yang berumur muda umumnya lebih dinamis serta berani menanggung resiko yang mungkin timbul. 26 Umur petani turut menentukan kecepatan dalam menyerap teknologi, menurut Feaster (Akib, 2002) ada suatu kecenderungan bahwa perbedaan umur akan menyebabkan terjadinya perbedaan sikap terhadap inovasi. Sementara menurut Rakhmat (2001) kelompok orang tua melahirkan pola perilaku yang pasti berbeda dengan kelompok anak-anak muda. Kemampuan mental tumbuh lebih cepat pada masa anak-anak sampai dengan puberitas dan agak lambat sampai awal dua puluhan serta merosot perlahan-lahan sampai tahun-tahun terakhir. 2.1.2. Tingkat Pendidikan Pendidikan pada umumnya akan mempengaruhi cara berpikir petani, mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat mengadopsi teknologi, sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah agak sulit untuk menerima teknologi dengan cepat (Soekartawi, 1988). Selanjutnya Jahi (1988) dalam rangkumannya mengenai pendapat ilmuwan menyatakan bahwa pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan. Seorang yang mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi umumnya lebih menyadari kebutuhan akan informasi, sehingga menggunakan lebih banyak jenis informasi dan lebih terbuka terhadap media massa. Hal ini didukung dengan pandangan Rakhmat (2001) yang menduga bahwa orang yang berpendidikan rendah jarang membaca surat kabar, tetapi sering menonton televisi. 2.1.3. Pengalaman Berusahatani Pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi, karena pengalaman tidak selalu lewat proses belajar formal dan selalu bertambah melalui rangkaian peristiwa yang pernah dihadapi oleh seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Secara psikologis seluruh pemikiran manusia, kepribadian, dan temperamen ditentukan oleh pengalaman indera. Pikiran dan perasaan bukan penyebab perilaku tetapi disebabkan oleh penyebab masa lalu (Rakhmat, 2001). Menurut hasil penelitian Yusmasari (2003) dalam (Wahyudi, 2004) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara pengalaman yang 27 berkaitan dengan hutan terhadap perilaku komunikasi masyarakat terutama pada keterdedahan terhadap saluran interpersonal. 2.1.4. Kepemilikan Media Massa Menurut Akib (2002) bahwa peranan utama yang dilakukan oleh media massa adalah membantu memperkenalkan perubahan sosial. Media massa dapat dimanfaatkan untuk merangsang pengambilan keputusan, memperkenalkan usaha modernisasi serta meenyampaikan program pembangunan nasional. Selanjutnya diperkuat oleh Rogers (Akib, 2002) media massa akan berperan efektif dalam menambah pengetahuan sedangkan komunikasi interpersonal umumnya lebih efekif dalam mengubah sikap petani. 2.1.5. Keikutsertaan dalam Kelompok Menurut Mardikanto (1993) dalam Setiana (2005) yang dimaksud kelompok adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama sehingga terdapat hubungan timbal balik dan saling pengaruh-mempengaruhi serta saling memiliki kesadaran untuk saling tolong menolong. Selanjutnya menurut Gerungan dalam Setiana (2005) kelompok adalah satu kesatuan sosial yang terdiri dua atau lebih orang-orang yang mengadakan interaksi secara intensif dan teratur sehingga di antara mereka terdapat pembagian tugas, struktur, dan norma-norma tertentu yang khas bagi kesatuan tersebut. Selanjutnya dijelaskan bahwa salah satu ciri terpenting dalam kelompok adalah kesatuan sosial yang memiliki kepentingan dan tujuan bersama. Tujuan bersama hanya dapat tercapai apabila ada pola interaksi yang mantap dan masing-masing individu memiliki perannya masingmasing dan menjalankan peran tersebut. Departemen Pertanian RI dalam Setiana (2005) memberikan batasan bahwa kelompok tani adalah sekumpulan orang-orang tani atau petani, yang terdiri atas petani dewasa pria dan wanita mapun petani taruna atau pemuda yang terikat secara informal dalam suatu wilayah kelompok atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama serta berada di lingkungan pengaruh dan pimpinan seorang kontak tani. Menurut Soekanto (2002) didalam hubungan antara manusia dengan manusia lain, yang paling penting adalah reaksi yang timbul sebagai akibat 28 hubungan-hubungan. Reaksi tersebutlah yang meyebabkan tindakan seseorangan menjadi bertambah luas. Selanjutnya dijelaskan bahwa didalam memberikan reaksi tersebut ada suatu kecenderungan manusia untuk memberikan keserasian dengan tindakan-tindakan orang lain. Maka lahirlah dua hasrat atau keinginan dari individu tersebut. Kedua keinginan tersebut yaitu: Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya (yaitu masyarakat) dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekitarnya. Untuk menghadapi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut, manusia menggunakan pikiran, perasaan, dan kehendaknya. Sehingga menimbulkan kelompok-kelompok sosial atau social group di dalam kehidupan manusia. Kelompok-kelompok sosial tersebut merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama. Hubungan tersebut antara lain menyangkut kaitan timbal-balik pengaruh-mempengaruhi dan juga suatu kesatuan untuk saling tolong menolong. Selanjutnta menurut Asir. dkk (Arifin. 2001) peranan kelembagaan merupakan penentu kondisi permasalahan suatu daerah aliran sungai (DAS) apakah masih dalam kondisi normal atau telah mengalami perubahan. Dan berdampak negatif terhadap pelestarian sumber daya hutan, tanah dan air. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator diantaranya adalah faktor fisik (berkaitan dengan tingkat kelestarian) dan fakor sosial ekonomi dapat dilihat secara visual dilapangan banyak penduduk yang sangat menggantungkan kehidupan terhadap lahan. 2.1.6. Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan petani yang relatif rendah akibat dari sistem pertanian bercocok subsisten, sehingga petani tidak mempunyai modal yang cukup untuk meningkatkan teknik pertaniannya. Bahkan untuk mempertahankan produksi subsistennya juga tak mampu. Petani tidak mampu membeli sarana produksi sehingga salah satu bagian dari tindakan konservasi tanah dan air tidak mampu dilakukan walaupun petani telah meyadari bahwa tindakan tersebut adalah sangat penting untuk kelestarian pertaniannya. Kondisi ini menyebabkan produktifitas lahan makin lama makin menurun yang akhirnya lahan tersebut akan ditinggalkan dan kemudian akan mencari lahan baru yang lebih baik untuk dibuka untuk 29 menjadi lahan pertanian baru, hal ini menyebabkan terjadinya padang alang-alang yang luasnya jutaan hektar. Lionberger dan Gwin (1982) mengatakan bahwa seseorang yang memiliki kedudukan pada masyarakat pertanian lebih reaktif terhadap sesuatu gagasan dan cara-cara baru. Temuan di India misalnya menunjukkan bahwa penghasilan atau pendapatan berkorelasi rendah dengan indeks keterdedahan terhadap tiga media massa, yaitu; Radio, Film dan surat kabar. Hasil penelitian Wardhani (1994) memaparkan bahwa penghasilan atau pendapatan berhubungan dengan pengadaan dan pemanfaatan sumber informasi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Soekartawi (1988) yang menyatakan bahwa petani yang berpenghasilan rendah lambat untuk melakukan difusi inovasi, sebaliknya petani yang berpenghasilan tinggi mampu untuk melakukan percobaan dan perubahan. 2.1.7. Luas Lahan Garapan Soekartawi (1988) mengemukakan bahwa ukuran usahatani selalu berhubungan positif dengan adopsi inovasi. Banyak teknologi baru memerlukan skala operasi yang besar dan sumberdaya ekonomi yang tinggi untuk keperluan adopsi inovasi tesebut. Penggunaan teknologi pertanian yang lebih baik akan menghasilkan manfaat ekonomi yang memungkinkan perluasan usahatani selanjutnya. Menurut hasil penelitian Shiddieqy (2001) dalamI (Wahyudi, 2004) mendapatkan bahwa luas lahan garapan berhubungan dengan perilaku komunikasi anggota kelompok tani dalam kekosmopolitan dan akses jaringan komunikasi lokal serta partisipasi sosial. 2.1.8. Status Kepemilikan Tanah Status kepemilikan tanah kebanyakan petani penggarap. Lahan yang dipekerjakan bukan miliknya sehingga untuk melakukkan konservasi tanah dan air hanya sekedar menanam tanaman tahunan karena tidak ada jaminan bahwa petani tersebut akan menikmati hasil jerih payahnya. Status pemilikan atas tanah milik petani sendiri akan menyebabkan adanya rasa lebih bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian pada lahannya. Keadaan ini harus didukung oleh tingkat 30 pengetahuan tentang pengolahan pertanian yang sesuai dengan kondisi lahan, ini agar dapat meningkatkan produktivitasnya. Menurut Soekartawi (1988) telah dikenal baik bahwa pemilik-pemilik tanah mempunyai pengawasan yang lebih lengkap atas pelaksanaan usahataninya, bila dibandingkan dengan para penyewa. Para pemilik dapat membuat keputusan untuk mengadopsi inovasi sesuai dengan keinginannya tetapi penyewa harus sering mendapatkan persetujuan dari para pemilik tanah sebelum mencoba atau mempergunakan teknologi baru yang ia praktekkan. Konsekuensi tingkat adopsi biasanya lebih tinggi untuk pemilik usahatani daripada orang-orang yang menyewa. Tetapi perbedaan-perbedaan antara para pemilik mungkin sangat bervariasi secara lokal ataupun regional karena perbedaan-perbedaan dalam pengaturan penyewaan dan kebebasan yang menyetujui paara penyewa dalam pengambilan keputusan. 2.2. Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Usahatani Konservasi Menurut Sumahadi (1993) Usahatani konservasi pada hakekatnya merupakan pendekatan usahatani terpadu yang menekankan pengembangan kombinasi teknik budidaya/usahatani lahan kering dengan teknik konservasi tanah (vegetatif, sipil teknik dan kimiawi) secara efektif untuk menjamin pemanfaatan lahan, air, vegetasi secara lestari dan menguntungkan. Namun ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi usahatani konservasi baik secara pisik maupun sosial yaitu: 2.2.1. Teknologi Usahatani Konservasi Menurut Saragih (1993) Pada dasarnya usaha konservasi merupakan suatu paket teknologi usahatani yang bertujuan di samping meningkatkan produksi dan pendapatan petani juga melestarikan sumberdaya tanah dan air pada DAS-DAS kritis. Namun penyebaran teknologi tersebut masih relatif lambat, yang antara lain disebabkan (1) besarnya modal yang diperlukan untuk penerapannya (khususnya untuk investasi bangunan konservasi), (2) kurangnya tenaga penyuluh untuk mengkomunikasikan teknologi tersebut kepada petani, (3) masih lemahnya kemampuan pemahaman petani untuk menerapakan teknologi usahatani konservasi sesuai yang diintroduksikan, (4) keragaman komoditas yang 31 diusahakan di DAS-DAS kritis, dan (5) terbatasnya sarana/prasarana pendukung penerapan teknologi konservasi. Hal tersebut mensyaratkan bahwa teknologi usahatani konservasi yang ada sekarang masih belum memadai, hingga perlu diupayakan penemuanpnemuan teknologi usahatani konservasi yang lebih sesuai, baik melalui kegiatan: (1) penelitian komponen-komponen teknologi yang dapat mendukung paket teknologi usahatani konservasi, maupun (2) penelitian pengembangan teknologi yang sudah ada guna memodifikasi teknologi tersebut sesuai dengan kondisi agrofisik dan sosial ekonomi wilayah setempat. Kegiatan pencarian teknologi usahatani konservasi yang lebih sesuai di atas memang mutlak diperlukan, tetapi umumnya memerlukan waktu yang relatif lama. 2.2.2. Permodalan Usahatani Konservasi Seperti sudah diketahui secara luas bahwa keterbatasan modal petani merupakan kendala penting pengembangan usahatani konservasi. Untuk mengatasi hal tersebut petani perlu diberikan kredit usahatani konservasi. Menurut Saragih (1993) masalahnya adalah bagaimana mekanisme pengadaan dana kredit dan lembaga keuangan yang bagaimana yang tepat untuk menyalurkan kredit tersebut. Selanjutnya Saragih (1993) mengatakan bahwa untuk itu perlu dikemukakan ciri-ciri yang melekat pada kredit usahatani konservasi, yaitu: (1) kredit usahatani konservasi diperlukan oleh masyarakat pedesaan yang mengusahakan lahan pertanian marjinal dan berisiko tinggi, (2) kredit usahatani konservasi hanya dapat menjadi kegiatan yang produktif bagi lembaga keuangan, apabila lembaga yang mengelolanya berorientasi pedesaan, mengetahui seluk beluk pedesaan, mengenal perilaku petani dan berkepentingan dalam memajukan derajat hidup petani, (3) kredit usahatani konservasi memerlukan tenaga keuangan yang selalu dapat berhubungan dengan instansi pemerintah baik karena status pemilikkan, hubungan kerja maupun hubungan pembinaan, (4) kredit usahatani konservasi memerlukan lembaga keuangan yang selalu siap melayani petani, dengan kata lain lembaga keuangan tersebut harus mampu menjangkau dan dijangkau petani. 32 Atas dasar keterangan diatas, maka lembaga-lembaga yang mungkin dapat dikembangkan untuk menjadi lembaga keuangan pedesaan yang menangani kredit usahatani konservasi adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Lembaga Dana dan Keuangan Pedasaan (LDKP) dan Koperasi dimana lembaga tersebut baik karena status kepemilikan maupun motivasi pendirian ditujukan untuk melayani masyarakat miskin di pedesaan. 2.2.3. Lembaga Sosial Dalam rangka pengelolaan kawasan taman nasional dan daerah aliran sungai kritis sudah sering didengar istilah keterpaduan. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah pengelolaan kawasan taman nasional dan DAS yang merupakan satu kesatuan kegiatan, dimana di dalamnya terlihat berbagai unsur kelembagaan formal baik instansi pemerintah maupun nonpemerintah. Selanjutnya perlu diingat bahwa kemampuan aparat unsur kelembagaan tersebut (khsusnya pada tingkat daerah) baik dari segi kuantitas maupun kualitas masih sangat terbatas. Oleh karena itu keterpaduan antar lembaga hanya akan efektif apabila tuntunan kuantitas dan kualitas aparat unsur kelembagaan dapat ditingkatkan, baik melalui pendidikan/latihan, pembinaan informal maupun tambahan jumlah aparat. 2.2.4. Organisasi Usahatani Konservasi Sudah banyak kegiatan pengelolaan DAS terpadu dan bersifat lintas sektoral yang pernah dilaksanakan selama ini. Namun sistem organisasi yang dibuat masih bersifat kegiatan proyek yang ditentukan dari pusat dan struktur organisasinnyapun terbentang dari pusat sampai kedaerah. Masalah klasik yang selalu timbul adalah sistem organisasi yang dibuat melalui kegiatan proyek tersebut ternyata tidak melembaga, khususnya pada tingkat daerah di mana pelembagaan sangat diharapkan. Hal ini antara lain disebabkan (1) kurangnya keterlibatan instansi didaerah dalam perencanaan proyek, (2) tidak adanya kebebasan pemerintah daerah untuk memodifikasi organisasi proyek pada tingkat daerah hingga sesuai dengan kondisi daerahnya, (3) kurang jelasnya pembagian fungsi dan tanggung jawab antar instansi di daerah dan (4) terbatasnya kuantitas dan kualitas aparat instansi di daerah. 33 2.2.5. Nilai Sosial Budaya Nilai sosial budaya adalah suatu kesadaran dan emosi yang relatif lama hilangnya terhadap suatu obyek, gagasan atau orang, dan salah satu cirinya bahwa nilai itu merupakan unsur penting yang tidak dapat diremehkan oleh masyarakat penganutnya. Nilai sosial dijunjung tinggi oleh banyak orang karena berdasarkan konsensus masyarakat nilai itu menyangkut kesejahteraan bersama. Nilai itu merupakan petunjuk umum yang telah berlangsung lama yang mengarahkan tingkah laku manusia (Sujarwo, 2004). Selanjutnya Padmowihardjo (Sujarwo, 2004) mengatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat, nilai sosial berfungsi: (1) sebagai alat untuk menetapkan harta sosial suatu masyarakat, (2) mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku, (3) sebagai penentu dalam memenuhi peranan sosial manusia, (4) dan sebagai alat solidaritas di kalangan anggota masyarakat. Dimyati (Sujarwo, 2004) menambahkan lagi bahwa pola sikap dan perilaku seseorang anggota masyarakat banyak dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor antara lain adalah lingkungan alam, faktor keturunan, lingkungan sosial, pengalaman, pendidikan dan pengetahuan. 2.3. Komunikasi Menurut Laswell (Effendy, 2001) memberikan definisi komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan effek tertentu. Paradigma Laswell menunjukan bahwa komunikasi meliputi lima unsur yaitu S-M-C-R—E (Source, message, channel, receiver dan efec). Definisi ini menunjukan bahwa yang dijadikan obyek komunikasi bukan saja pempampaian informasi tetapi juga pembentukan pendapat umum dan sikap publik yang sangat memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial. Definisi khusus Havland menyatakan bahwa komunikasi adalah proses merubah sikap perilaku orang lain. Komunikasi adalah suatu proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan stimuli (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang lain. Komunikasi juga merupakan 34 proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka dan lain-lain. Komunikasi merupakan sebuah proses sosial di masyarakat, proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai kehidupan bersama. Semakin majunya peradaban dalam masyarakat, semakin banyak tantangan yang dihadapi dalam mengkomunikasikan hal-hal baru yang mungkin masuk dalam sistem sosial masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan pola pikir masyarakat tidak akan bermakna jika tidak disebarluaskan dan dikomunuikasikan. Hal-hal baru itu kita kenal sebagai inovasi. Suatu inovasi yang bergerak positif kearah perubahan pada tatanan masyarakat perlu disebarluaskan hingga dapat diserap oleh masyarakat dan dijadikan perilaku. Proses penyebaran dan penyerapan ini disebut difusi. Menurut Berlo (1960) model SMCR merujuk pada perspektif psikologis dalam peristiwa komuniksi meliputi: sumber (source), pesan (message), saluran (channel ), dan penerima (receiver) Model komunikasi Berlo (1960) berbeda dari model linear lainnya yang menekankan pada proses komunikasi diadik, Berlo lebih menekankan pada peran sumber (source) dan penerima (receiver) sebagai peubah penting dalam proses komunikasi. Model ini melintasi sekat pengkategorisasian bentuk komunikasi yang tidak membataskan diri pada komunikasi massa, namun juga pada komunikasi interpersonal dan bersifat merangsang penelitian 2.4. Intensitas Komunikasi Intensitas komunikasi merupakan tingkat kedalaman penyampaian pesan dari individu sebagai anggota keluarga kepada yang lainnya (Djamarah, 2004). Intensitas komunikasi mencakup aspek-aspek seperti: kejujuran, keterbukaan, pengertian, percaya, yang mutlak diantara kedua belah pihak dan dukungan, Intensitas komunikasi dapat diukur dari apap-apa dan siapa yang dibicarakan, pikiran, perasaan, objek tertentu, orang lain atau dirinya sendiri. Conner (1993) dalam (Tubbs dan Moss, 2000) mengemukakan bahwa kebanyakan orang yang disurvey belakangan ini menunjukkan bahwa kehidupan tampaknya berubah dengan kecepatan yang lebih besar daripada yang pernah terjadi selama ini. Ketegangan yang ditimbulkan oleh banyaknya tugas dalam 35 waktu yang teramat sempit, ikut berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas komunikasi modern masa kini. Selanjutnya dijelaskan bahwa model ini memperkenalkan unsur-unsur yang berperan dalam semua komunikasi insani. Komunikasi ini merupakan salah satu bentuk paling sederhana. Bila jumlah komunikator bertambah, jenis atau jumlah gangguan berubah, atau pesan yang disampaikan makin beraneka ragam, maka masalah komukasi menjaddi semakin rumit. Menurut Mulyana (2004) Komunikasi adalah proses berbagi makna melalui perilaku verbal dan nonverbal, segala perilaku dapat disebut komunikasi jika melibatkan dua orang atau lebih. Selanjutnya dikatakan komunikasi terjadi jika setidaknya suatu sumber membangkitkan respons pada penerima melalui penyampaian suatu pesan dalam bentuk tanda atau simbol, baik bentuk verbal (kata-kata) atau bentuk nonverbal (nonkata-kata) tanpa harus memastikan terlebih dahulu bahwa kedua pihak yang berkomunikasi punya sistem simbol yang sama. Perilaku adalah segala tindakan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan (Depdiknas, 2001). Perilaku juga merupakan hasil interaksi antara faktor personal berupa instink individu dengan lingkungan psikologinya (Rakhmat, 2001). Berlo (1960) menyatakan bahwa perilaku komunikasi seseorang akan menjadi kebiasaan perilakunya. perilaku seseorang terbentuk karena adanya stimulus yang sering menimpannya dan respon terhadap stimulus baik secara verbal maupun nonverbal. Sementara itu menurut kamus besar komunikasi. Istilah perilaku komunikasi (Communication behavior) berarti tindakan atau kegiatan seseorang, kelompok atau khalayak, ketika terlibat dalam proses komunikasi. Manusia sebagai makhluk yang berakal dan aktif akan selalu berusaha untuk mencari kebutuhan yang sesuai dengan dirinya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Freud (Gerungan, 1996) bahwa jiwa manusia bukan merupakan sesuatu yang abstrak konsisten dan statis, melainkan sesuatu yang dinamis dalam ruang, waktu dan menyatakan diri sebagai keseluruhan jiwa raga yang aktif serta kebutuhan seseorang akan informasi akan mampu menggerakan secara aktif usaha melakukan pencarian terhadap sumber informasi. 36 Intensitas komunikasi merupakan bagian dari perilaku komunikasi, dapat didefinisikan sebagai tindakan atau respon seseoranng terhadap sumber dan pesan bila di tinjau dari pengertian model komunikasi linier. Pendekatan komunikasi interpersonal, komunikasi ditekankan pada konsep saling berbagi pengalaman (The sharring of experience) maka tindakan atau respon seseorang terjadi dalam kapasitasnya sebagai pelaku komunikasi (Tubbs dan Moss, 2001). Halim (1992) menyatakan bahwa efektifitas komunikasi tatap muka didapatkan dari berbagai peluang individu untuk menyampaikan pesan dan mendapatkan umpan balik secara personal. Menurut Rakhmat (2001) Komunikasi interpersonal dapat dinyatakan efektif bila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan, komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik. Bentuk komunikasi interpersonal memiliki kelebihan sendiri. Sejalan dengan itu Havelock (Halim, 1992) mengemukakan bahwa pada komunikasi tatap muka dapat mengatasi keterbatasan-keterbatasan dalam menangkap dan memahami materi pesan, juga dapat membangkitkan minat, dan menyentuh tahap persuasi. Pada kebanyakan orang, perilaku komunikasinya dapat diamati melalui kebiasaan berkomunikasi. Mengamati perilaku komunikasi, seyogyanya dipertimbangkan bahwa pada dasarnya seseorang akan melakukan penalaran sendiri. Menurut Devito (1997) tujuan dasar komunikasi antar manusia ialah mengenal diri sendiri dan orang lain serta membina hubungan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Memperkuat pendapat ini, Schramm (1982) menyatakan bahwa setiap komunikator maupun penerima mempunyai seperangkat tujuan dan penalaran sendiri-sendiri dan perlu mendapatkan penjelasan yang lebih sistematis dari pada yang dilakukan, selain itu perilaku komunikasi dapat dideskripsikan dalam porsi yang dapat dipertimbangkan yaitu sebagian sebagai permainan perilaku alat, dan sebagian lagi sebagai perilaku egosentris. Rakhmat (2001) menyatakan bahwa sistem peranan yang ditetapkan dalam suatu sistem masyarakat, struktur kelompok dan organisasi, karakteristik populasi, adalah faktor-faktor sosial yang menata perilaku manusia. Perilaku manusia merupakan hasil interaksi yang menarik antara komunikan individual dengan 37 keumuman situsional. Adapun Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa peubah dalam perilaku komunikasi adalah partisipasi sosial, hubungan dengan sistem sosial, kontak dengan agen pembaharu, kekosmopolitan, keterbukaan/keterdedahan terhadap media massa, komunikasi interpersonal, lebih aktif dalam mencari informasi, pengetahuan tentang informasi, keterbukaan kepemimpinan dan memiliki hubungan yang tinggi antar sistem. Ithiel de sola pool (1958) dalam (Onong. U. E, 2005) mengatakan bahwa Cara-cara komunikasi modern jarang sekali mengganti cara-cara yang sudah ada sebelumnya. Televisi tidak menyisihkan radio, radio tidak mematikan buku, penemuan percetakan tidak menghentikan kita menulis surat dengan tinta dan pena, dan guru-guru yang mengajar menulis dan membaca tidak membuat orangorang menjadi kurang terlibat dalam percakapan. Setiap cara baru berkomunikasi tertempatkan diatas yang lama. Mungkin saja ia mengambil alih fungsi tertentu, tetapi fungsi lainnya tertahan oleh cara yang terdahulu. Jadi, dalam sistem komunikasi di masyarakat yang sudah sangat maju. Terdapat interaksi yang rumit antara sistem media massa yang modern dan jaringan tradisional komunikasi mulut ke mulut yang bersifat pribadi. Masyarakat modern bukanlah masyarakat massa yang tanpa kepribadian, kehilangan norma dan nilai, serta bebas dari kelompok-kelompok primer. Ia dalah sistem yang merupakan jalinan yang perkumpulan-perkumpulan, terperinci secara kelompok-kelompok teliti dari ethis, kelurga-keluarga, organisasi-organisasi politik dan kelompok-kelompok persahabatan. 2.5. Pengaruh Lingkungan Terhadap Intensitas Komunikasi Menurut Thoha (2004) bahwa komunikasi itu sangat di pengaruhi oleh beberapa faktor, antaranya orang yang berkomunikasi, motivasinya, latar belakang pendidikannya, prasangka-prasangka pribadinya. Adapun sifat dari informasi yang datang sangat dipengaruhi oleh jumlah besar sedikitnya informasi yang diterima, cara penyajian, dan pemahaman informasi dan proses umpan balik. Kita agaknya harus mengakui bahwa memang lingkungan fisik tempat orang hidup mempengaruhi perilaku mereka, termasuk perilaku komunikasi. Lingkungan fisik ini meliputi letak geografis di bumi, lanskap, iklim, musim, cuaca, suhu udara, cahaya, jenis dan lokasi bangunan, rancangan arsitektur, 38 ukuran dan model furnitur, warna hingga ke jarak antarpribadi saat berkomunikasi (Mulyana, 2004). Asumsi ini sejalan dengan rumusan Lewin bahwa perilaku (behavior) adalah sebagai fungsi dari orang (person) dan lingkungan (environment). Dengan rumus sederhana: B = f (P,E). Dalam rumus Lewin, Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan lingkungan psikologis. Gudykunst dan Kim memasukan unsur lingkungan (environment influences) dalam model komunikasi antarbudaya atau tepatnya komunikasi dengan orang asing. Selanjutnya Mulyana (2004) menambahkan dalam pandangannya, lingkungan yang mempengaruhi manusia terdiri dari lingkungan pisik, lingkungan waktu, dan lingkungan sosial (secara implisit lingkungan psikologis kita sebagai individu). Ketiganya saling mempengaruhi secara timbal-balik. Pekerjaan suatu komunitas dan cara mereka berinteraksi akan dipengaruhi oleh geografi tempat komunitas itu tinggal, apakah di pegunungan atau di dataran rendah, apakah dipantai atau dipedalaman. Budaya orang yang tinggal di pantai akan lebih cepat berubah karena pengaruh luar (kedatangan orang dari seberang laut) daripada orang yang tinggal di pedalaman. Mereka mungkin akan berbicara lebih keras dengan sesamanya karena suara meraka harus mengatasi suara angin dan ombak. 2.5.1. Intensitas Komunikasi Dengan Sesama Petani Komunikasi antarpribadi didefinisikan sebagai pengiriman pesan di antara dua atau lebih individu (Liliweri, 2002). Ada pakar yang menyoroti komunikasi antarpribadi dalam konteks a dyadic (relasi dua orang). Dijelaskan bahwa meskipun terdapat kumpulan 3 orang atau lebih, dyads tetap penting karena dalam kelompok tiga individu (A,B,C) akan tetap muncul dyads antara A-B: A-C; dan B-C. Jadi, akan terbentuk 3 macam dyads dan demikian seterusnya apabila anggota kelompok semakin bertambah (Devito, 1997). Ditegaskan lebih lanjut bahwa komunikasi antarpribadi yang efektif meliputi banyak unsur tetapi hubungan antarpribadilah yang paling penting. Hubungan antarpribadi terdiri atas tiga faktor yaitu saling percaya, sikap suportif, dan sikap terbuka. Selain itu, konsep diri yang meliputi persepsi pribadi, self image,dan self esteem, menyusul rasa empati, dan simpati merupakan pula faktor yang cukup menonjol dalam komunikasi antarpribadi (Rahmat, 2001). 39 Frekuensi dan intensitas komunikasi dengan sesama masyarakat merupakan bagian dari komunikasi interpersonal yang berupa perilaku tatap muka. Perilaku ini pada dasarnya sudah mencakup perilaku mencari dan menyampaikan informasi secara bersamaan. Pada situasi komunikasi interpersonal, proses umpan balik sangat berkaitan dengan selang waktu yang mungkin ada dan mungkin tidak ada. Saluran komunikasi interpersonal yang disampaikan secara tatap muka memiliki beberapa keunggulan, antara lain: 1) bersifat langsung, pribadi dan manusiawi, 2) teknik penyampaian fleksibel dan lebih rinci, 3) keterlibatan khalayak tinggi dan 4) umpan balik dapat langsung diproleh sehingga tingkat pemahaman pesan akan lebih tinggi. Sebaliknya, keterbatasan media interpersonal adalah keterbatas cakupan khalayak (DeVito, 1997). Intensitas komunikasi dengan sesama petani merupakan bagian dari komunikasi interpersonal yang dapat berupa perilaku membicarakan informasi. Perilaku ini pada dasarnya sudah mencakup perilaku mencari dan menyampaikan informasi secara bersamaan. Pada situasi komunikasi interpersonal, dikenal umpan balik yang bercirikan kedua aspek mencari dan menyampaikan informasi. Menurut Gonzales (Jahi, 1988) pada komunikasi tatap muka umpan balik umumnya lebih segera. Di pihak lain, umpan balik memerlukan waktu jika partisipan-partisipan dalam suatu situasi komunikasi satu sama lain terpisah oleh suatu jarak. Kebutuhan seseorang akan informasi mampu menggerakkannya untuk secara aktif melakukan pencaharian informasi. Paling tidak pada proses pencarian sampai dengan perolehan informasi tersebut. Yang bersangkutan telah memberikan berbagai informasi yang dimilikinya yang berkaitan dengan kebutuhannya akan informasi tersebut. Mempertegas hal ini Soekanto (2001) menjelaskan bahwa arti penting komunikasi dapat memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerik badaniah atau sikap), perasan-perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut, selanjutnya orang tersebut memberikan reaksi terhadap perasaan tersebut. Pikiran, perasaan yang akan disampaikan kepada orang lain. 40 Perilaku komunikasi khususnya intensitas komunikasi dengan sesama petani dalam rangka mencari dan menyebarkan informasi dipengaruhi oleh faktor situsional. (Halim, 1992) mengungkapkan bahwa komunikasi, kognisi, sikap, dan perilaku dapat dijelaskan secara lebih baik melalui pendekatan peubah situsional, khususnya mengenai kapan dan bagaimana orang berkomunikasi tentang masalah khusus yang situsional seperti tentang manfaat dan usaha pelestarian alam. 2.5.2. Intensitas Komunikasi dengan Pengelola Taman Nasioanl Intensitas komunikasi dengan pengelola taman nasional penting diketahui, karena hal ini akan berkaitan dengan aktivitas pencarian maupun penyampaian informasi oleh anggota kelompok. Intensitas komunikasi dengan pengelola taman nasional dimaksudkan sebagai interaksi anggota dengan individu atau kelompok lain yang mempunyai keterkaitan pembinaan dengan anggota yang bersangkutan seperti penyuluh lapangan dan tokoh masyarakat lainnya. Menurut Soekanto (2001) kontak merupakan tahap pertama dari tejadinya interkasi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok, yang hanya mungkin terjadi apabila dipenuhinya dua syarat, yaitu: a) adanya kontak sosial (Social contact) dan b) adanya komunikasi. Komunikasi yang terjadi pada saat intensitas komunikasi dengan pembina tidak hanya bersifat verbal, melainkan juga nonverbal. Komunikasi nonverbal menurut Devito (1997) memiliki tingkat kepercayaan antara 60 sampai 65 persen dari mana yang dikomunikasikan. Selain tersebut tingkat pemahaman komunikan terhadap pesan yang disampaikan komunikator (pembina) tergantung kepada persepsi tentang pesan verbal dan noverbal yang disampaikan, karena persepsi merupakan inti komunikasi (Mulyana, 2001). Menurut Gonzales (Jahi, 1988) riset jaringan sosial telah menunjukkan bagaimana hubungan diantara individu-individu yang memiliki banyak persamaan dan perbedaan memperlancar aliran informasi dan inovasi dari orang-orang yang lebih banyak berhubungan dengan kelompok-kelompok yang berbeda, cenderung mempelajari topik-topik tertentu lebih dulu daripada yang lain. 41 2.5.3. Intensitas Komunikasi dengan Media Massa Menurut Onong U. E (2004) Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa, jelasnya merupakan singkatan dari komunikasi media massa (mass media communication). Hal ini berbeda dengan pendapat ahli psikologi sosial yang menyatakan bahwa komunikasi massa tidak selalu dengan menggunkan media massa. Sedangkan menurut Saverin dan Tankard (2004) yang dimaksud komunikasi masa adalah sebagian keterampilan, sebagian seni, dan sebagian ilmu. Keterampilan dalam pengertian bahwa ia meliputi teknik-teknik fundamental tertentu yang dapat dipelajari seperti memfokuskan kamera televisi, mengoperasikan tape recorder, atau mencatat ketika berwawancara. Seni dalam pengertian bahwa ia meliputi tantangan-tantangan kreatif seperti menulis skrip untuk program televisi, mengembangkan tata letak yang ektetis untuk iklan majalah, atau menampilkan teras berita yang memikat bagi sebuah kisah berita. Dan ilmu dalam pengertian bahwa ia meliputi prinsip-prinsip tertentu tentang bagaimana berlangsungnya komunikasi yang dapat dikukuhkan dan dipergunakan untuk membuat berbagai hal menjadi lebih baik). Intensitas komunikasi dengan media massa bagian dari usaha mencari dan menyebarkan informasi di mana individu atau masyarakat mendapatkan informasi melalui media massa baik media cetak, maupun media elektronik. Intensitas komunikasi dengan media massa juga merupakan keterdedahan masyarakat terhadap media. Menurut Shore (Halim, 1992) keterdedahan adalah mendengarkan, melihat, membaca atau secara lebih umum mengalami dengan sedikitnya jumlah perhatian minimal pada pesan media. Menurut Donald K. Robert (Rakhmat, 2004) menyatakan bahwa efek hanyalah perubahan perilaku manusia setelah diterpa pesan media massa. Karena fokusnya pesan, maka efek haruslah berkaitan dengan pesan yang disampaikan media massa. Selanjutnya Rogers (1966) menyatakan bahwa keterdedahan seseorang terhadap media-media massa mempunyai korelasi yang sangat tinggi antara satu dengan lainnya. Sehingga dapat dibuat suatu indeks keterdedahan pada media massa. Setiap indikator keterdedahan pada media massa paling tidak 42 didikotomikan ke dalam: (1) Sedikitnya pernah terdedah (minimalnya membaca surat kabar dalam seminggu) dan (2) Tidak terdedah. 2.5.4. Intensitas Penyuluhan Menurut Syahyuti (2006) Penyuluhan pertanian (agricultural extenstion) diartikan sebagai suatu sistem pendidikan luar sekolah untuk para petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu, sanggup, dan berswasembada memperbaiki kesejahteraan hidupnya sendiri serta masyarakatnya. Tujuan penyuluhan pertanian adalah mengembangkan petani dan keluarganya secara bertahap agar memiliki kemampuan intelektual yang semakin meningkat, perbendaharaan informasi yang memadai, serta mampu pula memecahkan serta memutuskan sesuatu yang terbaik untuk dirinya dan keluarganya. Seluruh aktivitas penyuluhan berpedoman pada asas pokoknya yaitu ”menolong petani agar ia mampu menolong dirinya sendiri” Selanjutnya dijelaskan bahwa ada tiga hal yang menjadi obyek untuk diubah dalam kegiatan penyuluhan, yaitu pengetahuan (aspek kognitif), sikap (aspek afektif) dan keterampilan (aspek psikomotorik). Perubahan perilaku adalah tujuan akhir dari seluruh rangkaian kegiatan, yaitu bertambahnya perbendaharaan informasi, tumbuhnya keterampilan, serta timbulnya sikap mental dan motivasi yang lebih kuat sesuai dengan yang dikehendaki. Khusus untuk penyuluhan dibidang pertanian, maka hal yang pokok yang dibicarakan adalah pencampuran pengetahuan dan keputusan sehingga faktorfaktor tanah, air, iklim, dan kapital dapat didayagunakan secara optimal. penyuluhan pertanian memformulasikan pengetahuan, dan mengajar petani untuk menjadi manajer di dalam usahanya sendiri (competent decision makers). Karena itulah, penyuluhan berperan penting dalam pembangunan pertanian. Ia menjadi bagian dari sistem, yakni sebagai aktor yang mempengaruhi petani dalam membuat keputusan. Untuk menambah tingkat pengetahuan dan keterampilan seorang petani dan keluarganya, maka peranan penyuluh mempunyai andil yang besar. Penyuluhan pertanian merupakan agen pembangunan pertanian, penyuluh pertanian memiliki berbagai peran antara lain sebagai guru, penasehat, 43 penganalisis, organisatoris, pembimbing petani, dinamisator, teknisi dan jembatan penghubung antar lembaga penelitian dengan petani. Menurut Slamet (Akib, 2002) menyebutkan penyuluhan pertanian sebagai ujung tombak pembangunan pertanian. Setidak-tidaknya bila dilihat dalam jajaran pemerintah yang menangani pertanian. Penyuluhan pertanian membawakan peranan yang penting dalam pembentukan sikap positif sehingga petani selanjutnya akan lebih giat dalam mengadopsi teknologi. 2.6. Perilaku Petani (Pengetahuan, Sikap dan Tindakan) 2.6.1. Pengetahuan Menurut Kilbler (Zahid, 1997) Pengetahuan dapat didefinisikan sebagai ingatan mengenai sesuatu yang bersifat spesifik atau umum, ingatan mengenai metode atau proses, ingatan mengenai pola, susunan atau keadaan. Selanjutnya Lahlry (Severin dan Tankard, 2005) memberikan definisi persepsi sebagai proses yang kita gunakan untuk menginterpretasikan data-data sensoris. Data sensoriks sampai kepada kita melalui lima indra kita. dan hasil penelitian telah mengidentifikasi dua jenis pengaruh dalam persepsi, yaitu pengaruh struktural dan pengaruh fungsional Selanjutnya Berelson dan Steiner (1994) dalam menyatakan bahwa persepsi merupakan proses yang konpleks di mana orang memilih, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan respon terhadap suatu rangsangan kedalam situasi masyarakat dunia yang penuh arti dan logis. Bennett, dkk (1989). menyatakan bahwa persepsi merupakan aktivitas aktif yang melibatkan pembelajaran tingkah laku yang melibatkan aktivitas kognitif. Persepsi juga meliputi juga aktivitas pembuatan inferensi. Didalam bentuk-bentuk persepsi, sebuah rangsangan ditentukan sebagai salah satu kategori khusus berdasarkan informasi yang tidak lengkap. Akhirnya dapat ditarik pengertian bahwa inferensiinferensi ini tidak selalu benar. 2.6.2. Sikap Sikap dapat didefinisikan sebagai perasaan, pikiran dan kecenderungan, seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya (Van den Ban dan Hawkins, 1999). Sikap juga adalah 44 kecondongan evaluatif terhadap suatu obyek atau subyek yang memiliki konsekuensi yakni bagaimana seseorang berhadap-hadapan denagan obyek sikap. Hal ini sejalan dengan pernyataan Meyrs (Sarwono, 2002) bahwa sikap adalah sesuatu atau seseorang yang ditunjukkan dalam kepercayaan, perasaan atau perilaku seseorang. Konsep sikap yang telah dideskripsikan oleh Goldon Allport (Severin dan Tankard, 2005) mungkin adalah yang paling istimewa atau penting dalam psikologi sosial Amerika komtemporer. Allport menyebutkan bahwa istilah itu muncul untuk menggantikan istilah-istilah samar dalam psikologi seperti naluri, adat istiadat, tekanan sosial, dan sentimen. Menurut Krech dkk. (Severin dan Tankard, 2005) sebuah sistem evaluasi positif atau negatif yang awet, perasaan-perasaan emosional, dan tendensi tindakan pro atau kontra terhadap sebuah obyek sosial. Allpot menambahkan bahwa sikap adalah kesiapan mental dan sistem syaraf, yang diorganisasikan melalui pengalaman, menimbulkan pengaruh langsung atau dinamis pada responsrespon seseorang terhadap semua obyek dan situasi terkait. lebih lanjt lagi Murphy dan Newcomb (Severin dan Tankard, 2005) menyebutkan bahwa sikap pada dasarnya adalah suatu cara pandang terhadap sesuatu. Mar’at (1981) meyebutkan bahwa sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertenttu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek tersebut, selanjutnya memberikan nilai terhadap stimulus dalam bentuk baik dan buruk, positif negatif, menyenangkan tidak menyenangkan, setuju tidak setuju kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi tehadap obyek sikap. Sikap terbentuk dari pengalaman, melalui proses belajar (Sarwono, 2002) pengalaman yang dimaksud adalah tentang obyek yang menjadi respon evaluasi dari sikap. Proses belajar dalam pengalaman adalah sebagai peningkatan pengetahuan individu terhadap obyek sikap. Proses belajar tersebut didapat melalu interaksi dengan pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama serta pengaruh faktor emosional (Azwar, 2003). 45 2.6.3. Tindakan Menurut Pouson (Mahmud, 1997). Konsep perilaku merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam psikologi modern, sikap merupakan mental kesediaan yang terorganisir melalui pengalaman dan mempunyai pengaruh atas sesuatu yang dinamis terhadap respon seseorang, obyek dan situasi yang saling berhubungan. Dengan demikian sikap adalah kecenderungan seseorang dalam menjawab atau merespon orang lain, suatu ide atau keadaan dalam cara tertentu. Sikap merupakan suatu yang abstrak, tak terlihat tidak terdengar, dan tidak tersentuh. Sikap hanya dapat diduga melalui apa yang dikatakan atau dilakukan seseorang. Cara ini menurut para psikologis disebut hypothctical construrs. Selanjutnya menurut Heubert Kelmen (Mahmud, 1997) syarat-syarat perubahan perilaku yang menentukan kepermanenan suatu perubahan adalah: a) Kerelaan. Seorang merubah perilakunya hanya ia berharap dapat menerima reaksi yang menyenangkan dari orang lain atau karena ia berharap dapat terhindar dari hukuman. b) Identifikasi. Seseorang mungkin mengubah perilakunya terhadap ide-ide baru karena menemukan kepuasan dalam berhubungan dengan orang lain atau sesuatu kelompok yang mengemukakan ide tersebut. Petani yang bekerjasama dengan sesuatu kelompok diskusi mungkin menerima banyak ide kelompok tersebut karena ia menikmati hubungan yang ada dengan anggota-anggota kelompok tersebut dan karena dia menemukan kepuasan beroganisasi. Pemeliharaan hubungan tergantung apakah hubungan tersebut memuaskan masing-masing pihak. Walaupun perilaku dapat dikendalikan, hal ini bergantung pada hubungan antara orang yang mengarah dan orang atau kelompok yang diidentifikasikan. Jika hubungan ini berakhir dengan memuaskan maka perilaku dapat dirubah. c) Internalisasi. Perubahan perilaku akan berlanjut meskipun hubungan dengan orang lain berubah. Saat petani menginternalisasikan sesuatu perilaku yang diubah melalui pengaruh penyuluhan dia tidak akan mengubahnya kembali jika ia tidak berhenti memberikan respek terhadap penyuluh walaupun telah meninggalkan daerah tersebut. 46 Perilaku merupakan suatu tidakan nyata (action) yang dapat dilihat atau diamati (Rogers dan Shoemaker,1989). Perilaku tersebut terjadi akibat adanya proses penyampaian pengetahuan suatu stimulus sampai pada penentuan sikap atau bertindak, dan hal ini dapat dilihat dengan menggunakan panca indera. Pola perilaku seseorang bisa saja berbeda satu sama lain, tetapi proses terjadinya adalah mendasar bagi semua individu, yakni dapat terjadi karena disebabkan, digerakkan, dan ditujukkan pada sasaran. Kast dan Rosenzweig (Suparta, 2001). Hal ini berarti bahwa perilaku itu tidak bisa secara spontan dan tanpa tujuan, melainkan harus ada sasaran baik ekplisit maupun inplisit 2.7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Menurut para ahli perilaku individu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Suparta (2001) menyatakan bahwa dalam pendekatan interaksionis perilaku individu secara umum dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Hasil penelitinya menunjukan bahwa kondisi situsional luar mempengaruhi sikap dalam dan selanjutnya sikap ini dapat mempengruhi perilaku terbuka. Perilaku dianggap sebagai hasil interaksi antara faktor-faktor yang terdapat didalam diri sendiri (karakteristik individu) dan faktor luar (faktor eksternal) proses interaksi itu sendiri terjadi pada kesadaran atau pengetahuan seseorang (Sarwono, 2002). Menurut Rukminto (2001) dalam (Setiana, 2005) merencanakan perubahan perilaku pada individu atau pada sekelompok masyarakat melalui intervensi komunitas tidak mudah. Pada kenyataan di lapangan, ada beberapa kendala yang sering ditemui, kendala tersebut meliputi kendala yang bersal dari kepribadian individu dan kendala yang berasal dari sistem sosial yang berkembang dilingkungan kelompok masyarakat tersebut. Kendala individu antara lain adalah kestabilan, kebiasaan, hal-hal utama yang diyakini, seleksi ingatan dan persepsi, ketergantungan, superego, rasa tidak percaya, serta rasa tidak aman. Kendala sistem sosial antara lain meliputi kesepakatan terhadap norma tertentu, kesatuan dan kepatuhan terhadap sistem dan budaya, hal-hal yang bersifat sakral, kelompok kepentingan, penolakan terhadap ’orang luar yang’ datang ke dalam komunitas tersebut. 47 2.8. Hubungan antara Faktor Karakteristik dan Faktor Lingkungan Menurut Sunyoto (2004) dinyatakan bahwa ada hubungan timbal balik antara pola perilaku sosial dan kondisi lingkungan. Pola perilaku sosial dipengaruhi oleh karakteristik dan kualitas lingkungan, dan sebaliknya pola perilaku sosial juga mempengaruhi karakteristik dan kualitas lingkungan. Pernyataan tersebut dapat dijelaskan dengan keterangan sebagai berikut. Manusia, dalam upaya memenuhi sebagian besar kebutuhan hidup dasarnya (teruma sandang, pangan, dan papan), tidak dapat dilepaskan dari lingkungan. Secara umum, lingkungan alam dapat dipilah ke dalam dua kategori: lingkungan fisik (the physical environment) dan lingkungan biologis (the biological environment). Lingkungan fisik, antara lain, mencakup tanah, topografi, cuaca dan sumbersumber alam (mineral dan minyak). Di samping itu, juga termasuk dalam kategori tersebut adalah apa yang lazim disebut dengan istilah natural physical-agencies (seperti angin, air yang bergerak), dan natural physical forces (seperti gravitasi dan radiasi). Tanah tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal untuk memenuhi kebutuhan papan, melainkan juga sebagai tempat sandaran hidup untuk memenuhi kebutuhan pangan. Sudah banyak bukti memperlihatkan kecenderungan bahwa daerah-daerah yang tanahnya tergolong tandus dan tidak subur, tidak banyak dihuni manusia karena tidak dapat memproduksi pangan. Sebaliknya daerahdaerah yang tanahnya subur cenderung dipadati manusia. Berbagai macam tanaman tumbuh subur dan hasilnya sangat memuaskan. Karena itu, didaerahdaerah semacam itu berkembang sistem pertanian. Manusia melakukan budidaya tanaman, mengarahkan segala macam kemampuan dan keterampilan yang dimiliki untuk melipatgandakan hasil produksinya. Lahirlah kemudian institusi pertanian yang dilengkapi dengan organisasi-organisasi sosial yang sistem kerjanya amat berbeda dengan organisasi-organisasi sosial yang tumbuh atau berkembang di daerah-daerah tandus. Sunyoto (2004) selanjutnya menambahkan bahwa sedangkan dalam hubungannya dengan topografi, bahwa daerah yang berbukit-bukit (pegunungan) atau daerah-daerah yang berawa-rawa tidak banyak dihuni manusia. Sebaliknya, banyak daerah datar yang menjadi tempat konsentrasi pemukiman manusia. 48 Kebanyakan kota juga tumbuh di daerah-daerah semacam itu, terutama karena memiliki kemudahan akses pada dunia luar. Memang ada pula kota di daerah pegungnan, tetapi jumlahnya tidak begitu banyak dan biasanya juga lamban perkembangannya. Topografi seperti itu juga mempengaruhi sikap dan tindakan sosial. Bentuk perkampungan di daerah pegunungan biasanya tersebar (scattered). Banyak rumah tangga yang terisolasi satu sama lain. Maka mudah dimengerti apabila kemudian interaksi sosial yang terjalin diantara sesama anggota masyarakat kurang intense. Meskipun tidak berarti terjadi antagonisme (sikap permusuhan). Mereka melakukan kontak dengan tetangganya hanya tatkala ada kebutuhan tertentu yang tidak dapat dikerjakan sendiri, dan selebihnya semua masalah diusahakan untuk diselesaikan di antara anggota keluarganya sendiri. Dibeberapa daerah bahkan terbentuk the individualistic family, yang hanya mementingkan kecukupan anggota keluarganya sendiri. Faktor berikutnya yang juga berpengaruh terhadap kehiddupan manusia adalah cuaca. Cuaca adalah kondisi yang antara lain ditentukan oleh temperatur, curah hujan dan arah angin. Cuaca sangat sulit dimodifikasi atau diubah, manusia hanya dapat menyesuaikan diri terhadapnya. Manusia membangun berbagai bentuk rumah dan ruangan tempat kerja yang sesuai dengan keadaan cuaca. Yang tampak kemudian adalah perbedaan arsitektur rumah di daerah-daerah bercuaca panas dengan yang terdapat di daerah-daerah bercuaca dingin. Bentuk-bentuk penyesuaian tersebut kemudian mempengaruhi ritme interaksi sosial yang terjalin diantara para penghuninya. 2.9. Pengaruh Karakteristik Petani (Pengetahuan,Sikap, dan Tindakan) terhadap Perilaku Petani Manusia adalah makhluk sosial, dari proses sosial manusia memproleh beberapa karakteristik yang mempengaruhi perilakunya. Terdapat tiga komponen yang mempengaruhi hal tersebut, yaitu komponen afektif, komponen kongnitif dan komponen konatif. Komponen afektif merupakan aspek emosional. Komponen kongnitif merupakan aspek intelektual, yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia. Komponen konatif adalah aspek volisional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak (Rakhmat, 2001). 49 Komponen afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis. Komponen afektif terdiri dari motif sosiogenis, sikap dan emosi. Selanjutnya Rakhmat (2001) merangkum tentang komponen dari pada sikap yaitu: (1) sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai, (2) sikap mempuyai daya dorong atau motivasi, (3) sikap relatif lebiih menetap, (4) sikap mengandung aspek evaluatif dan 5) sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir tetapi merupakan hasil belajar, sehingga sikap dapat diperteguh atau diubah. Komponen konatif adalah aspek volisional yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak. Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis tidak direncanakan sehingga kebiasaan dapat memberikan pola perilaku yang dapat diramalkan. Adapun kemauan adalah tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan (Rakhmat, 2001). 2.10. Taman Nasional dan Pengelolaannya Taman Nasional (TN) merupakan aset nasional dan internasional yang memiliki nilai manfaat penting bagi kehidupan umat manusia, IUCN (international union for the conservation of nature and natural resources,1994) dalam (Sarbi, 2006) memberikan kriteria penetapannya yang berfungsi sebagai upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan lestari. Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya juga memberikan panduan dalam pengelolaan taman nasional yang didasarkan pada sistem zonasi (zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona lainya). Selanjutnya Taman Nasional menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 menjelaskan juga tentang konservasi sumberdaya alam Hayati dan Ekosistemnya adalah kawasan pelestaria alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang diamnfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam. Fungsi taman nasional adalah: (1) sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) sebagai kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuh dan satwa, (3) sebagai kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan eksistemnya. 50 Salah satu fungsi dari sebuah taman nasional dan kawasan konservasi adalah sebagai pengatur tata air atau fungsi hidrologis, apakah itu sebagai reservoir atau sebagai areal penangkapan air yang ada di hulu. Hal itu sangat tegas sebagaimana fungsinya dalam siklus air yang terjadi di bumi ini. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) merupakan kawasan pengatur air bagi kawasan di sekitarnya yang meliputi Cianjur, Sukabumi, Bogor, Jakarta, Karawang, dan daerah lainnya di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) termasuk di dalamnya daerah hilir dari sungai-sungai yang bagian hulunya berada di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP). Dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) ini mengalir 60 sungai dari arah hulu yang kemudian menjadi 4 aliran DAS. Melihat fungsinya yang sangat besar bagi wilayah sekitarnya, dimana wilayah-wilayah tersebut bergantung pada kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) ini, seperti halnya sumber air bagi kegiatan kehidupan termasuk kegiatan perekonomian seperti pertanian, perikanan, dan air untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Selain itu air yang bersumber dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) diolah menjadi air mineral. Perusahaan-perusahaan pengolah air mineral tersebut baik yang ada di Jawa Barat, Banten dan Jakarta, hampir semua sumber airnya berasal dari mata air-mata air di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP). Karena fungsinya yang sangat vital dalam keberlanjutan sumberdaya dan stok. Maka areal taman nasional harus terjaga kelestariannya demi kepentingan dan kebutuhan masa depan. Dan salah satu metode untuk menjaga kelestariannya yaitu menerapkan teknik dan konsep konservasi dalam melakukan usaha pertanian di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP). 2.11. Konservasi Tanah dan Air secara Berkelanjutan Konservasi berasal dari bahasa inggris ”to converse” yang diartikan sebagai melestarikan pemanfaatan. Bila ini dikaitkan dengan potensi alam yang dapat diperbaharui, dibina untuk dapat menguatkan fungsi produktivitas dan kualitasnya maka akan sangat tepat. Misalnya konservasi flora dan fauna, konservasi alam, konservasi tanah dan air (Yulianto, 2001) selanjutnya Menurut Sismomartono (1989). Konservasi diartikan sebagai perlindungan, perbaikan, dan 51 pemakaian sumberdaya alam menurut prinsip-prinsip yang akan menjamin keuntungan ekonomi atau sosial yang tinggi secara lestari. Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah,sifat-sifat fisik dan kimia tanah dan keadaan topografi lapangan menentukan kemampuan tanah untuk suatu penggunaan dan perlakuan yang diperlukan (Arsyad, 2000). Dikatakan selanjutnya bahwa konservasi tanah tidaklah berarti penundaan atau pelarangan pengunaan tanah, tetapi menyesuaikan jenis penggunaannya dengan kemampuan tanah dan memberikan perlakuan sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan, agar tanah dapat berfungsi secara lestari. Konservasi tanah berhubungan erat dengan konservasi air. Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air, dan usaha untuk mengkonservasi tanah juga merupakan konservasi air. Salah satu tujuan konservasi tanah adalah meminimumkan erosi pada suatu lahan. Laju erosi yang masih lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan merupakan masalah yang bila tidak ditanggulangi akan menjebak petani kembali ke dalam siklus yang saling memiskinkan. Tindakan konservasi tanah merupakan cara untuk melestarikan sumberdaya alam. Konservasi tanah dan air merupakan hal yang esensial untuk melanjutkan produktivitas lahan pada pertanian tanaman semusim, terutama pada lahan-lahan berbukit yang mempunyai kemiringan lereng curam. Tanpa tindakan konservasi tanah akan terjadi erosi yang serius, menghasilkan lahan-lahan yang terdegradasi, sehingga produktivitas lahan menurun, aliran permukaan meningkat dan disisi lain akan menimbulkan masalah sedimentasi (Meyer, 1981). Konservasi air adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah untuk pertanian se-efisien mungkin, dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau. Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air pada tempat itu dan tempat-tempat di hilirnya. Oleh karena itu, konservasi tanah dan konservasi air merupakan dua hal yang berhubungan erat sekali, berbagai 52 tindakan konservasi tanah merupakan juga tindakan konservasi air (Arsyad, 2000). Upaya memperbaiki produktivitas lahan kering dan lahan-lahan marginal sebenarnya telah dilakukan pemerintah sejak lama melalui reboisasi dan penghijauan, akan tetapi upaya tersebut masih jauh dari berhasil. Pada dasarnya usahatani konservasi merupakan suatu paket teknologi usahatani yang bertujuan meningkatkan produksi dan pendapatan petani, serta melestarikan sumberdaya tanah dan air (Saragih, 1996), akan tetapi penyerapan teknologi tersebut masih relatif lambat yang disebabkan karena: (1) besarnya modal yang diperlukan untuk penerapannya (khususnya untuk investasi bangunan konservasi); (2) kurangnya tenaga penyuluh untuk mengkomunikasikan teknologi tersebut kepada petani; (3) masih lemahnya kemampuan dan pemahaman petani untuk menerapkan teknologi usahatani konservasi sesuai yang diintroduksikan; (4) keragaman komoditas yang diusahakan di DAS-DAS kritis; dan (5) terbatasnya sarana-prasarana pendukung penerapan teknologi usahatani konservasi. Konservasi bertujuan untuk; (1) mencegah kerusakan tanah oleh erosi; (2) memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat digunakan secara lestari. Konservasi tanah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan konservasi air yang pada prinsipnya adalah penggunaan air se-efisien mungkin, dan melakukan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau. Sehingga setiap tindakan konservasi terhadap tanah juga merupakan konservasi terhadap air. Dalam usaha konservasi tanah dan air, ada tiga cara pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu (1) metode vegetatif; (2) metode mekanik; dan (3) metode kimia. Tiap-tiap metode ini mempunyai kelebihan masing-masing. Dalam tulisan ini, akan ditekankan pada metode vegetatif dan kimia, sedangkan metode mekanik akan dibahas lebih khusus pada bangunan konservasi. 2.11.1. Metode Vegetatif Konservasi Tanah dan Air Teknik konservasi tanah dan air dapat dilakukan secara vegetatif dalam bentuk pengelolaan tanaman berupa pohon atau semak, baik tanaman tahunan 53 maupun tanaman setahun dan rumput-rumputan. Teknologi ini sering dipadukan dengan tindakan konservasi tanah dan air secara pengelolaan (Sinukaban, 1989). Pengelolaan tanah secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan keberadaan tanah dan air karena memiliki sifat: (1) memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakaran dengan memperbesar granulasi tanah, (2) penutupan lahan oleh seresah dan tajuk mengurangi evaporasi, (3) disamping itu dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan porositas tanah, sehingga memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi. Fungsi lain daripada vegetasi berupa tanaman kehutanan yang tak kalah pentingnya yaitu memiliki nilai ekonomi sehingga dapat menambah penghasilan petani (Hamilton, 1997). Metode vegetatif merupakan metode yang menggunakan tanaman dan sisa-sisa tanaman yang bertujuan untuk: (1) melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan; (2) melindungi tanah terhadap daya perusak aliran air di atas permukaan tanah; (3) menurunkan kecepatan aliran dengan meningkatkan tahanan hidrolik pada saluran sehingga akan sangat mengurangi daya rusak dan abrasi dari aliran. Jika kecepatan aliran dapat dikurangi, maka sedimen dapat diendapkan; dan (3) memperbaiki kapasitas infiltrasi dan penahanan air yang langsung mempengaruhi besarnya aliran permukaan. Teknik pengelolaan tanah dan tanaman yang termasuk dalam metode vegetatif ini adalah: (a) Penanaman tanaman penutup tanah, (b) Penanaman dalam strip (strip cropping), (c) Pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah (Conservation rotation), (d) Pemanfaatan sisa tanaman (crop residue management), dan (e) Tanaman lorong (Alley cropping) . Tanaman Penutup Tanah Tanaman penutup tanah adalah tanaman yang khusus ditanam untuk mengurangi daya rusak butir hujan dan aliran permukaan sehingga dapat melindungi tanah dari ancaman kerusakan karena erosi, menambah bahan organik tanah dan melakukan transpirasi yang mengurangi kadar air tanah yang berlebihan. Tanaman yang digunakan sebagai penutup tanah harus memenuhi syaratsyarat: (1) mudah diperbanyak, terutama dengan biji; (2) mempunyai sistem 54 perakaran yang tidak menimbulkan kompetisi yang berlebihan terhadap tanaman pokok tetapi malah mampu menekan pertumbuhan gulma; (3) pertumbuhannya cepat dan banyak menghasilkan daun dan toleran terhadap pemangkasan; (4) tahan terhadap serangan hama dan penyakit dan kekeringan; (5) sesuai dengan fungsinya untuk reklamasi tanah. Tanaman penutup tanah yang paling banyak digunakan adalah dari jenis Leguminosa, karena dapat menambah nitrogen tanah dan perakarannya tidak menyebabkan kompetisi yang berat terhadap tanaman pokok. Secara umum, tanaman penutup tanah dapat digolongkan dalam: 1) Tanaman penutup tanah rendah; jenis rumput-rumputan dan tanaman merambat atau menjalar. Jenis ini dapat digunakan pada pola tanam rapat, barisan dan juga untuk penggunaan perlindungan khusus seperti tebing, talud terras, dinding saluran draenase dan irigasi. 2) Tanaman penutup tanah sedang; berupa semak. Umumnya digunakan pada pola pertanaman teratur diantara barisan tanaman utama, barisan pagar, sebagai sumber mulsa atau pupuk hijau diluar tanaman utama. 3) Tanaman penutup tanah tinggi; jenis pohon-pohonan. Tanaman ini digunakan pada pertanaman teratur diantara barisan tanaman utama dan di dalam barisan, digunakan untuk reboisasi dan sebagai cover tebing. 4) Tumbuhan rendah alami. Umumnya diterapkan pada perkebunan terutama perkebunan karet. 5) Tanaman atau rumput pengganggu yang tidak disukai. Strip Cropping Merupakan suatu sistem bertanam dimana beberapa jenis tanaman ditanam dalam strip-strip yang berselang-seling pada sebidang tanah dan disusun memotong lereng atau menurut garis kontur. Ada tiga tipe strip cropping, yaitu: (a) strip cropping menurut kontur dengan urutan pergiliran tanaman yang tepat; (b) strip cropping lapangan yang terdiri atas strip tanaman yang lebarnya seragam yang disusun melintang arah lereng; (c) strip cropping berpenyangga yang terdiri atas strip rumput atau leguminosa yang dibuat di antara strip tanaman pokok menurut kontur. 55 Strip cropping umumnya diterapkan pada tanah-tanah dengan klasifikasi kemampuan tanah kelas II-IV, dengan kelerengan 6-15%. Lebar strip antara 20-50 m tergantung dari curah hujan, sifat tanah, topografi dan jenis tanaman yang digunakan. Pergiliran Tanaman Pergiliran tanaman adalah sistem penanaman berbagai tanaman secara bergilir dalam urutan waktu tertentu pada satu bidang tanah. Pergiliran merupakan suatu cara yang penting dalam sistem konservasi tanah dan mempunyai peranan mengurangi atau menghindarkan terhadap bahaya erosi dan penting artinya dalam meningkatkan produksi tanaman. Pada tanah-tanah berlereng, pergiliran sangat efektif untuk pencegahan erosi. Pergiliran tanaman dapat memperbaiki sifat fisika dan kesuburan tanah jika sisa atau potongan tanaman gilir dijadikan mulsa atau dibenamkan, sehingga mempertinggi kemampuan tanah menahan dan menyerap air, mempertinggi stabilitas agregat dan kapasitas infiltrasi tanah Pergiliran tanaman dengan menggilirkan antara tanaman pangan dan tanaman penutup tanah/pupuk hijau adalah salah satu cara penting dalam konservasi tanah. Pergiliran tanaman mempengaruhi lamanya pergantian penutupan tanah oleh tajuk tanaman. Selain berfungsi sebagai pencegahan erosi, pergiliran tanaman memberikan keuntungan-keuntungan lain seperti: 1. Pemberantasan hama penyakit, menekan populasi hama dan penyakit karena memutuskan si klus hidup hama dan penyakit atau mengurangi sumber makanan dan tempat hidupnya 2. Pemberantasan gulma, penanaman satu jenis tanaman tertentu terus menerus akan meningkatkan pertumbuhan jenis-jenis gulma tertentu 3. Mempertahankan dan memperbaiki sifat-sifat fisik dan kesuburan tanah, jika sisa tanaman pergiliran dijadikan mulsa atau dibenamkan dalam tanah akan mempertinggi kemampuan tanah menahan dan menyerap air, mempertinggi stabilitas agregat dan kapasitas infiltrasi tanah dan tanaman tersebut adalah tanaman leguminosa akan menambah kandungan nitrogen tanah, dan akan memelihara keseimbangan unsur hara karena absorpsi unsur dari kedalaman yang berbeda 56 Pemanfaatan sisa tanaman (Crop residue management) Penggunaan sisa tanaman untuk konservasi tanah dapat dalam bentuk mulsa atau pupuk hijau. Mulsa mengurangi erosi dengan cara meredam energi hujan yang jatuh sehingga tidak merusak struktur tanah, mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan dan mengurangi daya kuras aliran permukaan. Mulsa sebagai sumber energi akan meningkatkan kegiatan biologi tanah dan dalam proses perombakannya akan terbentuk senyawa-senyawa organik yang penting dalam pembentukan struktur tanah. Pengaruh mulsa selain mengurangi erosi juga mempengaruhi suhu tanah dan aerasi. Suhu tanah maksimum pada kedalaman 5 cm turun 6-12oC, dan pada kedalaman 10 cm turun 4-6oC, sedangkan suhu minimum rata-rata naik 1oC. Dengan menurunnya suhu maksimum, maka kecepatan perombakan bahan organik akan menurun, hal ini penting karena menurunnya kadar bahan organik dapat mempengaruhi laju erosi. Pemanfaatan sisa-sisa panen sebagai sebagai pupuk juga telah dilakukan sebagian petani di beberapa daerah sejak jaman dulu. Sisa-sisa panen yang dibiarkan atau ditinggalkan di lahan pertanian mempunyai banyak fungsi dalam menunjang usaha tani, diantaranya adalah sebagai mulsa yang dapat menghindarkan pengrusakan permukaan tanah oleh energi hujan, mempertahankan kelembaban tanah mengurangi penguapan, sisa panen lambat laun akan terdekomposisi terjadi mineralisasi yaitu perubahan bentuk organik menjadi anorganik sehingga unsur hara yang dilepaskan akan menjadi tersedia untuk tanaman, disamping itu asam-asam organik yang dihasilkan dapat berfungsi sebagai bahan pembenah tanah atau soil conditioner. Tanaman Lorong (Alley cropping) Tanaman lorong adalah suatu bentuk usahatani agroforestry dimana tanaman semusim atau pangan ditanam di antara lorong-lorong yang ada di antara barisan pagar tanaman pohonan. Pertanaman lorong sangat tepat dilakukan baik pada lahan usaha tani yang datar maupun berlereng. Pada lahan berlereng, barisan tanaman harus ditanam menurut kontur agar dapat mencegah erosi. Efektivitas tanaman lorong sangat ditentukan oleh jenis tanaman yang digunakan, jarak tanam dan kemiringan. Tanaman lorong mampu menahan 57 kehilangan tanah sampai dengan 93% dan kehilangan air hingga 83% dibandingkan dengan pertanaman semusim. Selain itu efektivitasnya didukung karena terbentuknya terras alami yang mencapai ketinggian 25-30 cm pada dasar tanaman pagar. 2.11.2. Metode Mekanik Konservasi Tanah dan Air Metode mekanik adalah semua perlakuan fissik mekanis yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan pembangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi, dan meningkatkan kemampuan penggunaan tanah. (Arsyad, 2000). Metode mekanik dalam konservasi tanah berfungsi; (a) memperlambat aliran permukaan, (b) menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengaaan kekuatan yang tidak merusak, (c) memperbaiki atau memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah, dan (d) penyedian air bagi tanaman. Termasuk ke dalam metode mekanik adalah; (1) pengolahan tanah (tillage), (2) pengolahan tanah menurut kontur (countur cultivation), (3) guludan dan guludan bersaluran menurut kontur, (4) terras, (5) dam penghambat (chek dam), waaduk, (balong) (farm pond), rorak, tanggul, dan (6) perbaikan drainase dan irigasi Pengolahan Tanah Pengolahan tanah merupakan kebudayaan yang tertua dalam pertanian dan tetap diperlukan dalam pertanian modern. Pengolahan tanah bagaimana yang tepat untuk kelestarian sumberdaya tanah? (Arsyad, 2000) mendefinisikan pengolahan tanah sebagai setiap manipulasi mekanik terhadap tanah yang diperlukan untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Tujuan pengolahan tanah adalah untuk menyiapkan tempat pesemaian, tempat bertanam, menciptakan daerah perakaran yang baik, membenamkan sisa tanaman, dan memberantas gulma. Soepardi (1979) mengatakan mengolah tanah adalah untuk menciptakan sifat olah yang baik, dan sifat ini mencerminkan keadaan fisik tanah yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman. Cara pengolahan tanah sangat mempengaruhi struktur tanah alami yang baik yang terbentuk karena penetrasi akar atau fauna tauna, apabila pengolahan tanah terlalu intensif maka struktur tanah akan rusak. Kebiasaan petani yang mengolah tanah secara berlebihan dimana tanah diolah 58 sampai bersih permukaannya merupakan salah satu contoh pengolahan yang keliru karena kondisi seperti ini mengakibatkan surface sealing yaitu butir tanah terdispersi oleh butir hujan, menyumbat pori-pori tanah sehingga terbentuk surface crusting. Untuk mengatasi pengaruh buruk pengolahan tanah, maka dianjurkan beberapa cara pengolahan tanah konservasi yang dapat memperkecil terjadinya erosi. Cara yang dimaksud adalah: 1. Tanpa olah tanah (TOT), tanah yang akan ditanami tidak diolah dan sisasisa tanaman sebelumnya dibiarkan tersebar di permukaan, yang akan melindungi tanah dari ancaman erosi selama masa yang sangat rawan yaitu pada saat pertumbuhan awal tanaman. Penanaman dilakukan dengan tugal. Gulma diberantas dengan menggunakan herbisida. 2. Pengolahan tanah minimal, tidak semua permukaan tanah diolah, hanya barisan tanaman saja yang diolah dan sebagian sisa-sisa tanaman dibiarkan pada permukaan tanah. 3. Pengolahan tanah menurut kontur, pengolahan tanah dilakukan memotong lereng sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah dan alur yang menurut kontur atau melintang lereng. Pengolahan tanah menurut kontur akan lebih efektif jika diikuti dengan penanaman menurut kontur juga yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah. Sebagian dari praktek pengolahan tanah seperti ini sebenarnya sudah ada sejak dulu dan telah dilakukan oleh petani di beberapa daerah di Indonesia. Petani mungkin menganggapnya sebagai tradisi nenek moyangnya yang perlu dipertahankan. Walaupun saat itu belum ada penyuluh pertanian ataupun literatur tentang konservasi tanah, tetapi para petani telah menerapkan cara bertani yang berasaskan konservasi tanah. Mengolah tanah secara konservasi telah dilakukan oleh orang jaman dulu dengan tujuan untuk mendapatkan hasil dari usahataninya guna memenuhi kebutuhan hidup jangka pendek, dan mungkin belum terpikirkan oleh mereka untuk melestarikan sumberdaya tanah. Pengolahan Tanah Menurut Kontur Pada pengolahan tanah menurut kontur maka pembajakan dilakukan meurut kontur atau memotong lorong, sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan 59 tanah dan alur yang menurut kontur atau melintang lereng. Pengolahan tanah meurut kontur akan lebih efektif jika diikuti dengan penanaman menurut kontur juga, yaitu barisan tananaman dibuat sejalan dengan arah garis kontur. Keuntungan utama pengolahan menurut kontur adalah terbentuknya penghambat aliran permukaan yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah. Oleh karena itu, terutama di daerah beriklim kering, pengolahan menurut kontur juga sangat efektif untuk konservasi air. Guludan dan Guludan Bersaluran Guludan adalah tumpukan tanah yang dibuat memanjang menurut arah garis kontur atau memotong arah lereng. Tinggi tumpukan tanah dibuat sekitar 25-30 cm dengan lebar sekitar 25 sampai 30 cm. Jarak antara guludan tergantungpada kecuraman lereng, kepekaan erosi tanah dan erosivitas hujan. Untuk tanah yang kepekaan erosinya rendah guludan dapat diterapkan pada tanah dengan kemiringan sampai 6 persen. Guludan bersaluran juga dibuat memanjang menurut arah garis kontur atau memotong lereng. Pada guludan yang bersaluran, di sebelah atas lereng dari guludan dibuat saluran yang memanjang mengikuti guludan. Ukuran guludan bersaluran sama seperti guludan biasa, sedangkan kedalaman saluran adalah 25 sampai 30 cm, lebar permukaan 30 cm. Pada metode ini guludan diperkuat dengan menanam rumput, perdu atau pohonan yang tidak begitu tinggi dan rindang. Guludan bersaluran dapat dibuat pada tanah dengan lereng sampai 12 persen. Terras Terras berfungsi mengurangi panjang lereng dan menahan air sehingga mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan, dan memungkinkan penyerapan air oleh tanah. Dengan demikian maka erosi berkurang. Terdapat dua tipe terras yaitu (a) terras tangga atau terras bangku (bencch terrace) dan (b) terras berdasar lebar (broadbase terrace). Terras bangku atau tangga. Terras tangga dibuat dengan jalan memotong lereng dan meratakan tanah di bagian bawah sehingga terjadi suatu deretan bentuk tangga atau bangku. Terras bangku dapat dibuat pada tanah berlereng dua persen sampai jauh lebih lebar. Terras tangga dapat datar atau miring ke dalam . terras 60 bangku berlereng ke dalam dipergunakan untuk tanah-tanah yang permealibilitasnya rendah, dengan tujuan agar air tidak segera terinfiltrasi tidak mengalir keluar melalui talud. Terras berdasar lebar. Terras berdasar lebar merupakan suatu saluran yang permukaannya lebar atau galengan yang dibuat memotong lereng pada tanah-tanah yang berombak dan bergelombang. Berdasarkan fungsi utamanya terras berdasar lebar ada dua macam yaitu terras berlereng dan terras datar. Terras berdasar lebar dapat di gunakan pada tanah berlereng antara 2 sampai 8 persen yaitu tanah-tanah klas II dan III. Waduk, Dam Penghambat, Rorak dan Tanggul Konservasi tanah, seperti telah dikemukakan sebelumnya, juga tergantung pada pengendalian air yang mengalir secara berlebihan di atas permukaan tanah. Dam penghambat (check dam), balong/waduk, rorak dan tanggul merupakan bangunan-bangunan yang dapat dipergunakan sebagai metode mekanik dalam konservasi tanah dan air. Bangunan tersebut selain mengurangi jumlah dan kecepatan aliran permukaan juga memaksa air masuk kedalam tanah yang kan menambah atau mengganti aair tanah dan air bawah tanah. Air yang tertampung dalam waduk atau balong dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti irigasi, ternak, perikanan dan lebutuhan manusia sendiri. Drainase dan Irigasi Pembangunan fasilitas-fasilitas drainase dan irigasi adalah usaha-usaha pengaturan air sehingga tanah lebih dapat memenuhi kebutuhan manusia. Usahausaha ini sesuai dangan dasar konservasi tanah yaitu memperlakukan setiap bidang tanah sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat dipergunakan dalam produksi dan tidak terjadi kerusakan tanah. Jones, (Arsyad, 2000). Drainase berarti keadaan dan cara keluarnya air lebih (excess water). Air lebih adalah air yang tidak dapat dipegang atau ditahan oleh butir-butir tanah dan memenuhi atau menjenuhi pori-pori tanah. Dalam arti keadaan air lebih, drainase menunjukkan frekuensi dan lamanya tanah bebas dari air lebih, dan mencerminkan kecepatan air lebih keluar dari tanah. Sebagai contoh, pada tanah 61 berdrainasebaik, air lebih segera keluar dari tanah tetapi tidak terlalu cepat, pada tanah berdrainase buruk air lebih tidak segera keluar akan tetapi tetap menjenuhi tanah pada daerah perakaran untuk waktu yang lama sehingga akar tidak dapat mengambil oksigen, sedangkan pada tanah berdrainase berlebihan (excessively drained) semua air keluar dari tanah dengan cepat sehingga tanaman menderita kekurangan air. Irigasi berarti pemberian air kepada tanah untuk memenuhi kebutuhan air bagi pertumbuhan tanaman. Pekerjaan irigasi meliputi penampungan dan pengambilan air dari sumbernya, pengaliran air melaluio saluran atau pipa ke tanah, dan pembuangan air yang berlebihan. Tujuan irigasi adalah memberikan tambahan air terhadap air hujan, dan memberikan air kepada tanaman dalam jumlah yang cukup dan pada waktu diperlukan. Selain dari kegunaan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman, air irigasi mempunyai kegunaan lain, seprti; (a) mempermudah pengolahan tanah, (b) mengatur suhu tanah dan iklim mikro, (c) membersihkan tanah dari kadar garam atau asam yang terlalu tinggi, (d) membersihkan kotoran-kotoran dari selokan(sanitasi), (e) menggenangi tanah untuk memberantas tumbuhan pengganggu dan hama/penyakit tanaman. (Arsyad, 2000). 2.11.3. Metode Kimia Konservasi Tanah dan Air Metode kimia dalam konservasi tanah dan air adalah dengan penggunaan preparat kimia sintetis atau alami. Awal tahun 1950 telah dikembangkan preparat kimia yang digunakan untuk pembentukan struktur tanah yang stabil. Preparat kimia tersebut secara umum disebut Soil Conditioner. Sarief (1985) dalam Suripin (2004) mengemukakan bahwa usaha pemantapan tanah yang bertujuan untuk sifat fisik tanah dengan menggunakan preparat-preparat kimia baik secara buatan atau alami, telah dikemukakan pertama kali pada simposium di Philadelpia pada tahun 1951. Pada saat itu diperkenalkan krilium sebagai bahan pemantap tanah pertama oleh perusahaan Amerika Serikat. Krilium adalah senyawa garam natrium dari polycrylonitrile. Salah satu usaha pertama dalam penggunaan senyawa kimia tersebut dilakukan oleh Bavel pada tahun 1950 yang menyatakan bahwa senyawa organik tertentu dapat memperbaiki stabilitas agregat terhadap pengaruh merusak air hujan secara efektif, akan tetapi penggunaannya terlalu mahal bila digunakan 62 secara luas (Suripin, 2004). Bahan yang digunakan adalah campuran dimethyl dichlorosilane yang dinamai MSC. Bahan kimia ini merupakan cairan yang mudah menguap, dimana gas yang terbentuk bercampur dengan air tanah. Senyawa yang terbentuk menyebabkan agregat tanah menjadi stabil. PAM direaksikan dengan air dengan perbandingan volume tertentu, dicampurkan dengan tanah dengan cara menyemprotkan emulsi tersebut ke permukaan tanah yang kemudian diratakan dengan cangkul dan digaru. Pengaruh soil conditioner ini dalam perbaikan struktur tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: berat molekul PAM, lengas tanah dan konsentrasi emulsi. Soil conditioner yang paling murah adalah Emulsi bitumen. Reaksi bahan ini dipengaruhi oleh modus bahan aktif bergerak ke arah titik pertemuan antara butir-butir liat. Emulsi bitumen yang belum dirombak menyebabkan tanah bersifat lebih hidrophobik, yang sangat bermanfaat bagi pembentukan agregat tanah yang mudah mengeras dan mengurangi penguapan air jika dicampurkan pada kedalaman 5-8 cm dari permukaan tanah. Untuk membuat tanah menjadi lebih hidrophilik maka bagian aktif (karboksil) harus diberikan asam kuat melalui sulfonasi atau penggunaan pengemulsi yang mengandung asam sulfonik sehingga gugus aktif mengandung –HSO3-. 2.12. Pembangunan Berkelanjutan Menurut komisi Brundtland (Soerjani dkk, 2006) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah ”pembangunan yang mencukupi kebutuhan generasi sekarang tanpa berkompromi (mengurangi) kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi aspirasi dan mencukupi kebutuhan mereka sendiri” di samping itu kemudian muncul berbagai batasan tentang pembangunan yang terdukung dan berkelanjutan itu. Word Consevation Society (WCS), IUCN bersama UNEP dan WWP yang antara lain menekankan makna pembangunan pada perbaikan social-ekonomi, pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam serta perhatian pada daya dukung dan keanekaragamannya dalam jangka panjang. International Institute for Sustainable development (IISD) di Naitoba (Kanada) pimpinan Dr. Arthur Hanson merumuskan: “Sustainable development means conducting business in a way which meet the need of the enterprice and its 63 stakehorders today while protecting, sustaining, and enhanding the human and natural resourses needed tomorrow” (Soerjani, 2006). Selanjutnya pembangunan baru dikatakan sustainable apabila pemanfaatan sumberdaya alam dilaksankan sehemat mungkin, seefisien dan seefektif mungkin. Di samping itu perlu diupayakan nilai tambah sumberdaya alam itu melalui rekayasa teknologi jasa, budaya dan seni. Andaikata kita memerlukan sumberdaya alam sebesar 17-18%, kalau hal itu direkayasa dengan memberikan nilai tambah, tabungan kita cukup besar, sehingga sisa yang dikonsumsi masih cukup untuk merehabilitasi atau memulihkan sumber daya alam yang kita pergunakan. Syahyuti (2006) meberikan makna secara umum tentang pembangunan yang berkelanjutan yaitu “upaya menciptakan suatu kondisi, berbagai kemungkinan, dan peluang bagi tiap anggota atau kelompok masyarakat dari tiap lapisan sosial, ekonomi dan budaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap alam”. Selanjutnya dikatakan pembangunan berkelanjutan terdapat tiga aspek penting yang membangunnya yaitu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pembangunan sosial yang berkelanjutan dan pengelolaan kualitas lingkungan hidup yang berkelanjutan. Emil Salim (Syahyuti, 2006) memberikan definisi pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dalam pembangunan. Pembangunan berkelanjutan menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia untuk meningkatkan hidupnya di satu sisi, dengan pemeliharaan sumberdaya alam dan ekosistem di sisi lainnya. Jadi pertumbuhan ekonomi tetap berjalan, namun bersama-sama dengan proteksi terhadap kualitas lingkungan. Satu sama lain harus saling bersinergi. Agar lingkungan tetap terjaga, maka manusia jangan mengambil lebih dari apa yang dia berikan ke alam. Selanjutnya Suripin (2004) mengemukakan bahwa konsep pembangunan yang berkelanjutan menjadikan konservasi sumberdaya alam sebagai pusat perhatian. Hampir semua dari kita setuju konsep dasar konservasi adalah ”Jangan membuang-buang sumberdaya alam”. 64 2.13. Kerangka Berpikir dan Hipotesis 2.13.1. Kerangka Berpikir Tanah dan air merupakan sumberdaya alam karunia Tuhan. Manusia diberikan mandat untuk memeliharanya, bukan dengan tidak menjamahnya tetapi mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam tersebut berdasarkan azas kelestarian untuk mencapai kemakmuran yang dapat memenuhi kebutuhan sekarang dan generasi yang akan datang. Hal ini sesuai dengan inti dari pembangunan berkelanjutan, yang adalah isu pokok seluruh permasalahan pembangunan, yaitu pembangunan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana, kelestarian produksi terhadap konsumsi dan penanggulangan kemiskinan. Sebagai suatu bangsa yang mendapat karunia, maka bangsa Indonesia mempunyai kewajiban untuk memanfaatkan sumber daya alam berdasarkan asas kelestarian untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, kesejahteraan masyarakat dan negara. Disamping kesadaran masyarakat/petani untuk melakukan konservasi tanah dan air, perlu adanya kaidah-kaidah konservasi tanah yang diwujudkan dalam suatu kebijakan pemerintah yang secara operasional dapat diterapkan di lapangan. Apabila pertambahan penduduk dan peningkatan kebutuhan lahan tidak diimbangi dengan pemanfaatan yang baik dan benar menurut kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, maka hal ini akan mengancam kehidupan manusia untuk masa yang akan datang Menurut School (Sahaka, 1998) mengemukakan bahwa pada umumnya pembangunan Agraria itu di pandang sebagai tujuan utama dari perkembangan pedesaan. Faktor-faktor yang penting yang berpengaruh menentukan dalam realisasi tujuan itu adalah: (a) Perbandingan manusia dengan tanah, luas lahan yang tersedia bagi seorang petani untuk keperluan pertanian, (b) Kepadatan dan pertambahan penduduk, (c) Perkembangan industri dan urbanisai, (d) Sistem kebudayaan yang cocok, (e). Struktur sosial yang cocok, (f) Struktur agraria yang baik, (g) Penggunaan metode dan teknik yang baru, jenis tanaman baru, pendek kata penerapan gagasan baru (inovasi baru), (h) Adanya fasilitas informasi dan 65 komunikasi yang baik, (i) Faktor infrastruktur agraria yang baik, jalan, pasar, dan sistem kredit. Konservasi sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) adalah pengelolaan sumber daya alam yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya, dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas, nilai dan keanekaragamannya. Hal ini dimaksudkan untuk terwujudnya kelestarian sumber daya alam serta kesinambungan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan petani dan kehidupan manusia. Dalam kontek pembangunan berkelanjutan maka upaya konservasi tanah dan air perlu dimaknai dengan pemanfaatan sumber daya alam, tanah dan air yang bertanggung jawab dengan prinsip akan menjamin persediaan sumber daya alam tersebut agar tidak akan habis. Menurut Arifin (2001) bahwa umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, tingkat pendapatan di luar usahatani, jarak kejalan (pasar), faktor kelembagaan, status kepemilikkan lahan, keanggotaan dalam suatu organisasi dan akses dalam bantuan teknis dapat mempengaruhi petani dalam melakukan konservasi tanah dan air. Selanjutnya ada beberapa yang dapat mempengaruhi petani dalam melakukan konservasi tanah dan air yang bersifat internal/karakteristik petani yaitu umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, kepemilikan media massa, keikutsertaan dalam kelompok, pendapatan, luas lahan serta status kepemilikan lahan dan faktor lingkungan yang bersifat eksternal yang dapat mempengaruhi petani dalam melakukan konservasi tanah dan air yaitu faktor pisik dan faktor sosial diantaranya: Tersedianya teknologi usahatani konservasi, tersedianya permodalan usahatani konservasi, lembaga sosial, adanya organisasi usahatani konservasi dan nilai sosial budaya. yang tidak kalah pentingnya adanya interaksi dan intensitas komunikasi yang efektif antara pelaku pembangunan (stakeholder) yang bermakna konservasi seperti intensitas komunikasi sesama petani, intensitas komunikasi dengan pengelola taman nasional, intensitas komunikasi dengan media massa dan intensitas penyuluhan serta yang terakhir adalah perilaku petani itu sendiri yang terdiri dari aspek pengetahuan, sikap dan 66 tindakan yang memadai sehingga usahatani yang bermakna konservasi tanah dan air dapat dipahami yang selanjutnya dapat diterapkan dalam usahataninya. Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka berpikir penelitian ini secara skematis disajikan pada Gambar 1. Karakteristik Petani (X1 ) (X1 .1) Umur (X1 .2) Tingkat Pendidikan (X1 .3) Pengalaman berusahatani (X1 .4) kepemilikkan Media massa (X1 .5) Keikutsertaan dalam kelompok (X1 .6) Pendapatan Intensitas Komunikasi (Y1 ) (Y (X1 .7) Luas lahan garapan (X1 .8) Status kepemilikan lahan (Y (Y Faktor Lingkungan (X2 ) (X (X (X (X (X 2.1) Teknologi Usahatani konservasi ) Permodalan 2.2 (Y 1.1) Intensitas komunikasi dengan sesama petani ) Intensitas 1.2 komunikasi dengan pengelola TNGP ) Intensitas 1.3 komunikasi dengan media massa/ keterpaan media massa ) Intensitas Perilaku Petani Dalam Melakukan Konservasi Tanah dan Air Secara Berkelanjutan (Y2 ) (Y 2.1) Pengetahuan (Y ) Sikap 2.2 (Y Tindakan 1.4 Penyuluhan Usahatani konservasi ) Lembaga Sosial 2.3 2.4) 2.3) Organisasi Usahatani konservasi ) Nilai sosial budaya 2.5 Gambar 1. Model kerangka berpikir penelitian Intensitas komunikasi petani di daerah penyangga kawasan taman nasional dalam melakukan konservasi tanah dan air secara berkelanjutan di daerah penyangga kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 67 2.13.2. Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka pemikiran, maka hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Intensitas komunikasi petani (Y1 ) daerah penyangga kawasan taman nasional secara signifikan dipengaruhi oleh karakteristik petani (X1 ) dan faktor lingkungan (X2 ). Adapun model konseptual hipotesis pertama disajikan pada Gambar 2. Karakteristik Petani (X1 ) Intensitas Komunikasi (Y1 ) Faktor Lingkungan (X2 ) Gambar 2. Model konseptual hipotesis kedua 2. Faktor karakteristik petani (X1 ) daerah penyangga kawasan taman nasional dan faktor lingkungan (X2 ) secara signifikan mempengaruhi perilaku petani dalam melakukan konservasi tanah dan air secara berkelanjutan. Adapun model konseptual hipotesis kedua disajikan pada Gambar 3. Karakteristik Petani (X1 ) Faktor Lingkungan (X2 ) Perilaku Petani (Y2 ) Gambar 3. Model konseptual hipotesis pertama 68 3. Perilaku petani daerah penyangga kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dalam melakukan konservasi tanah dan air secara berkelanjutan (Y2 ) secara signifikan dipengaruhi oleh intensitas komunikasi (Y1 ). Adapun model konseptual hipotesis ketiga disajikan pada Gambar 4. Intensitas Komunikasi (Y1 ) Perilaku Petani (Y2 ) Gambar 4 Model konseptual hipotesis ketiga