Intensitas Komunikasi Petani Daerah Penyangga

advertisement
25
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Petani
Karakteristik petani merupakan sifat-sifat atau ciri-ciri yang dimiliki
seseorang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya.
Karakteristik tersebut
terbentuk
oleh faktor-faktor
biologis
dan
faktor
sosiopsikologis. Faktor biologis mencakup genetik, sistem syaraf dan sistem
hormonal. Menurut Sampson (Rakhmat, 2001) faktor sosiopsikologis terdiri dari
komponen-komponen kongnitif (intelektual) yang berkaitan dengan apa yang
diketahui manusia, aspek konatif yang berhubungan dengan kebiasaan dan aspek
afektif (faktor emosional)
Lionberger dan Gwin (1982) mengemukakan bahwa peubah-peubah yang
penting dalam mengkaji masyarakat lokal diantaranya adalah peubah karakteristik
individu. Karakteristik individu merupakan sifat atau ciri yang dimiliki seseoang
yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkunganya.
Menurut Bettinghaus (Wahyudi, 2004) demografis merupakan salah satu
peubah yang sering digunakan untuk melihat kemampuan komunikasi seseorang
dan juga kemampuan untuk memilih media. Sehubungan dengan perilaku
komunikasi dan adopsi inovasi, ada beberapa peubah karakteristik sosial ekonomi
yang berhubungan dengan perilaku komunikasi antara lain karakteristik demografi
seperti umur, pendidikan, pengetahuan, dan pendapatan. Berdasarkan tinjauan
diatas, karakteristik petani merupakan ciri-ciri atau sifat-sifat individual yang
berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungan seseorang termasuk
dalam perilaku komunikasi dan perilaku pelestarian hutan (Wahyudi, 2004).
2.1.1. Umur
Umur petani akan mempengaruhi kemampuan fisik bekerja dan cara
berpikir. Pada umumnya petani yang berumur muda dan keadaannya sehat
mempunyai kemampuan fisik yang lebih besar dibanding dengan petani yang
berumur tua, petani muda juga lebih mudah untuk menerima hal-hal yang
dianjurkan penyuluh. Hal ini disebabkan karena petani yang berumur muda
umumnya lebih dinamis serta berani menanggung resiko yang mungkin timbul.
26
Umur petani turut menentukan kecepatan dalam menyerap teknologi,
menurut Feaster (Akib, 2002) ada suatu kecenderungan bahwa perbedaan umur
akan menyebabkan terjadinya perbedaan sikap terhadap inovasi. Sementara
menurut Rakhmat (2001) kelompok orang tua melahirkan pola perilaku yang
pasti berbeda dengan kelompok anak-anak muda. Kemampuan mental tumbuh
lebih cepat pada masa anak-anak sampai dengan puberitas dan agak lambat
sampai awal dua puluhan serta merosot perlahan-lahan sampai tahun-tahun
terakhir.
2.1.2. Tingkat Pendidikan
Pendidikan pada umumnya akan mempengaruhi cara berpikir petani,
mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat mengadopsi
teknologi, sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah agak sulit untuk
menerima teknologi dengan cepat (Soekartawi, 1988).
Selanjutnya Jahi (1988) dalam rangkumannya mengenai pendapat
ilmuwan menyatakan bahwa pendidikan merupakan suatu faktor yang
menentukan dalam mendapatkan pengetahuan. Seorang yang mempunyai tingkat
pendidikan lebih tinggi umumnya lebih menyadari kebutuhan akan informasi,
sehingga menggunakan lebih banyak jenis informasi dan lebih terbuka terhadap
media massa. Hal ini didukung dengan pandangan Rakhmat (2001) yang menduga
bahwa orang yang berpendidikan rendah jarang membaca surat kabar, tetapi
sering menonton televisi.
2.1.3. Pengalaman Berusahatani
Pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi, karena pengalaman
tidak selalu lewat proses belajar formal dan selalu bertambah melalui rangkaian
peristiwa yang pernah dihadapi oleh seseorang dalam kurun waktu yang tidak
ditentukan. Secara psikologis seluruh pemikiran manusia, kepribadian, dan
temperamen ditentukan oleh pengalaman indera. Pikiran dan perasaan bukan
penyebab perilaku tetapi disebabkan oleh penyebab masa lalu (Rakhmat, 2001).
Menurut hasil penelitian Yusmasari (2003) dalam (Wahyudi, 2004)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara pengalaman yang
27
berkaitan dengan hutan terhadap perilaku komunikasi masyarakat terutama pada
keterdedahan terhadap saluran interpersonal.
2.1.4. Kepemilikan Media Massa
Menurut Akib (2002) bahwa peranan utama yang dilakukan oleh media
massa adalah membantu memperkenalkan perubahan sosial. Media massa dapat
dimanfaatkan untuk merangsang pengambilan keputusan, memperkenalkan usaha
modernisasi serta meenyampaikan program pembangunan nasional. Selanjutnya
diperkuat oleh Rogers (Akib, 2002) media massa akan berperan efektif dalam
menambah pengetahuan sedangkan komunikasi interpersonal umumnya lebih
efekif dalam mengubah sikap petani.
2.1.5. Keikutsertaan dalam Kelompok
Menurut Mardikanto (1993) dalam Setiana (2005) yang dimaksud
kelompok adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama sehingga
terdapat hubungan timbal balik dan saling pengaruh-mempengaruhi serta saling
memiliki kesadaran untuk saling tolong menolong. Selanjutnya menurut
Gerungan dalam Setiana (2005) kelompok adalah satu kesatuan sosial yang terdiri
dua atau lebih orang-orang yang mengadakan interaksi secara intensif dan teratur
sehingga di antara mereka terdapat pembagian tugas, struktur, dan norma-norma
tertentu yang khas bagi kesatuan tersebut. Selanjutnya dijelaskan bahwa salah satu
ciri terpenting dalam kelompok adalah kesatuan sosial yang memiliki kepentingan
dan tujuan bersama. Tujuan bersama hanya dapat tercapai apabila ada pola
interaksi yang mantap dan masing-masing individu memiliki perannya masingmasing dan menjalankan peran tersebut.
Departemen Pertanian RI dalam Setiana (2005) memberikan batasan
bahwa kelompok tani adalah sekumpulan orang-orang tani atau petani, yang
terdiri atas petani dewasa pria dan wanita mapun petani taruna atau pemuda yang
terikat secara informal dalam suatu wilayah kelompok atas dasar keserasian dan
kebutuhan bersama serta berada di lingkungan pengaruh dan pimpinan seorang
kontak tani.
Menurut Soekanto (2002) didalam hubungan antara manusia dengan
manusia lain, yang paling penting adalah reaksi yang timbul sebagai akibat
28
hubungan-hubungan. Reaksi tersebutlah yang meyebabkan tindakan seseorangan
menjadi bertambah luas. Selanjutnya dijelaskan bahwa didalam memberikan
reaksi tersebut ada suatu kecenderungan manusia untuk memberikan keserasian
dengan tindakan-tindakan orang lain. Maka lahirlah dua hasrat atau keinginan dari
individu tersebut. Kedua keinginan tersebut yaitu: Keinginan untuk menjadi satu
dengan manusia lain di sekelilingnya (yaitu masyarakat) dan keinginan untuk
menjadi satu dengan suasana alam sekitarnya.
Untuk menghadapi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut,
manusia
menggunakan
pikiran,
perasaan,
dan
kehendaknya.
Sehingga
menimbulkan kelompok-kelompok sosial atau social group di dalam kehidupan
manusia. Kelompok-kelompok sosial tersebut merupakan himpunan atau
kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama. Hubungan tersebut antara lain
menyangkut kaitan timbal-balik pengaruh-mempengaruhi dan juga suatu kesatuan
untuk saling tolong menolong.
Selanjutnta menurut Asir. dkk (Arifin. 2001) peranan kelembagaan
merupakan penentu kondisi permasalahan suatu daerah aliran sungai (DAS)
apakah masih
dalam kondisi normal atau telah mengalami perubahan. Dan
berdampak negatif terhadap pelestarian sumber daya hutan, tanah dan air. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa indikator diantaranya adalah faktor fisik (berkaitan
dengan tingkat kelestarian) dan fakor sosial ekonomi dapat dilihat secara visual
dilapangan banyak penduduk yang sangat menggantungkan kehidupan terhadap
lahan.
2.1.6. Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan petani yang relatif rendah akibat dari sistem pertanian
bercocok subsisten, sehingga petani tidak mempunyai modal yang cukup untuk
meningkatkan teknik pertaniannya. Bahkan untuk mempertahankan produksi
subsistennya juga tak mampu. Petani tidak mampu membeli sarana produksi
sehingga salah satu bagian dari tindakan konservasi tanah dan air tidak mampu
dilakukan walaupun petani telah meyadari bahwa tindakan tersebut adalah sangat
penting untuk kelestarian pertaniannya. Kondisi ini menyebabkan produktifitas
lahan makin lama makin menurun yang akhirnya lahan tersebut akan ditinggalkan
dan kemudian akan mencari lahan baru yang lebih baik untuk dibuka untuk
29
menjadi lahan pertanian baru, hal ini menyebabkan terjadinya padang alang-alang
yang luasnya jutaan hektar.
Lionberger dan Gwin (1982) mengatakan bahwa seseorang yang memiliki
kedudukan pada masyarakat pertanian lebih reaktif terhadap sesuatu gagasan
dan cara-cara baru. Temuan di India misalnya menunjukkan bahwa penghasilan
atau pendapatan berkorelasi rendah dengan indeks keterdedahan terhadap tiga
media massa, yaitu; Radio, Film dan surat kabar. Hasil penelitian Wardhani
(1994) memaparkan bahwa penghasilan atau pendapatan berhubungan dengan
pengadaan dan pemanfaatan sumber informasi. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Soekartawi (1988) yang menyatakan bahwa petani yang berpenghasilan rendah
lambat untuk melakukan difusi inovasi, sebaliknya petani yang berpenghasilan
tinggi mampu untuk melakukan percobaan dan perubahan.
2.1.7. Luas Lahan Garapan
Soekartawi (1988) mengemukakan bahwa ukuran usahatani selalu
berhubungan positif dengan adopsi inovasi. Banyak teknologi baru memerlukan
skala operasi yang besar dan sumberdaya ekonomi yang tinggi untuk keperluan
adopsi inovasi tesebut. Penggunaan teknologi pertanian yang lebih baik akan
menghasilkan manfaat ekonomi yang memungkinkan perluasan usahatani
selanjutnya.
Menurut hasil penelitian Shiddieqy (2001) dalamI (Wahyudi, 2004)
mendapatkan bahwa luas
lahan garapan berhubungan dengan perilaku
komunikasi anggota kelompok tani dalam kekosmopolitan dan akses jaringan
komunikasi lokal serta partisipasi sosial.
2.1.8. Status Kepemilikan Tanah
Status kepemilikan tanah kebanyakan petani penggarap. Lahan yang
dipekerjakan bukan miliknya sehingga untuk melakukkan konservasi tanah dan
air hanya sekedar menanam tanaman tahunan karena tidak ada jaminan bahwa
petani tersebut akan menikmati hasil jerih payahnya. Status pemilikan atas tanah
milik petani sendiri akan menyebabkan adanya rasa lebih bertanggung jawab atas
keuntungan dan kerugian pada lahannya. Keadaan ini harus didukung oleh tingkat
30
pengetahuan tentang pengolahan pertanian yang sesuai dengan kondisi lahan, ini
agar dapat meningkatkan produktivitasnya.
Menurut Soekartawi (1988) telah dikenal baik bahwa pemilik-pemilik
tanah mempunyai pengawasan yang lebih lengkap atas pelaksanaan usahataninya,
bila dibandingkan dengan para penyewa. Para pemilik dapat membuat keputusan
untuk mengadopsi inovasi sesuai dengan keinginannya tetapi penyewa harus
sering mendapatkan persetujuan dari para pemilik tanah sebelum mencoba atau
mempergunakan teknologi baru yang ia praktekkan. Konsekuensi tingkat adopsi
biasanya lebih tinggi untuk pemilik usahatani daripada orang-orang yang
menyewa. Tetapi perbedaan-perbedaan antara para pemilik mungkin sangat
bervariasi secara lokal ataupun regional karena perbedaan-perbedaan dalam
pengaturan penyewaan dan kebebasan yang menyetujui paara penyewa dalam
pengambilan keputusan.
2.2. Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Usahatani Konservasi
Menurut Sumahadi (1993) Usahatani konservasi pada hakekatnya
merupakan pendekatan usahatani terpadu yang menekankan pengembangan
kombinasi teknik budidaya/usahatani lahan kering dengan teknik konservasi tanah
(vegetatif, sipil teknik dan kimiawi) secara efektif untuk menjamin pemanfaatan
lahan, air, vegetasi secara lestari dan menguntungkan. Namun ada beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi usahatani konservasi baik secara pisik maupun sosial
yaitu:
2.2.1. Teknologi Usahatani Konservasi
Menurut Saragih (1993) Pada dasarnya usaha konservasi merupakan suatu
paket teknologi usahatani yang bertujuan di samping meningkatkan produksi dan
pendapatan petani juga melestarikan sumberdaya tanah dan air pada DAS-DAS
kritis. Namun penyebaran teknologi tersebut masih relatif lambat, yang antara lain
disebabkan (1) besarnya modal yang diperlukan untuk penerapannya (khususnya
untuk investasi bangunan konservasi), (2) kurangnya tenaga penyuluh untuk
mengkomunikasikan teknologi tersebut kepada petani, (3) masih lemahnya
kemampuan pemahaman petani untuk menerapakan teknologi usahatani
konservasi sesuai yang diintroduksikan, (4) keragaman komoditas yang
31
diusahakan di DAS-DAS kritis, dan (5) terbatasnya sarana/prasarana pendukung
penerapan teknologi konservasi.
Hal tersebut mensyaratkan bahwa teknologi usahatani konservasi yang
ada sekarang masih belum memadai, hingga perlu diupayakan penemuanpnemuan teknologi usahatani konservasi yang lebih sesuai, baik melalui kegiatan:
(1) penelitian komponen-komponen teknologi yang dapat mendukung paket
teknologi usahatani konservasi, maupun (2) penelitian pengembangan teknologi
yang sudah ada guna memodifikasi teknologi tersebut sesuai dengan kondisi agrofisik dan sosial ekonomi wilayah setempat. Kegiatan pencarian teknologi
usahatani konservasi yang lebih sesuai di atas memang mutlak diperlukan, tetapi
umumnya memerlukan waktu yang relatif lama.
2.2.2. Permodalan Usahatani Konservasi
Seperti sudah diketahui secara luas bahwa keterbatasan modal petani
merupakan kendala penting pengembangan usahatani konservasi. Untuk
mengatasi hal tersebut petani perlu diberikan kredit usahatani konservasi. Menurut
Saragih (1993) masalahnya adalah bagaimana mekanisme pengadaan dana kredit
dan lembaga keuangan yang bagaimana yang tepat untuk menyalurkan kredit
tersebut.
Selanjutnya Saragih (1993) mengatakan bahwa untuk itu perlu
dikemukakan ciri-ciri yang melekat pada kredit usahatani konservasi, yaitu: (1)
kredit usahatani konservasi diperlukan oleh masyarakat pedesaan yang
mengusahakan lahan pertanian marjinal dan berisiko tinggi, (2) kredit usahatani
konservasi hanya dapat menjadi kegiatan yang produktif bagi lembaga keuangan,
apabila lembaga yang mengelolanya berorientasi pedesaan, mengetahui seluk
beluk pedesaan, mengenal perilaku petani dan berkepentingan dalam memajukan
derajat hidup petani, (3) kredit usahatani konservasi memerlukan tenaga keuangan
yang selalu dapat berhubungan dengan instansi pemerintah baik karena status
pemilikkan, hubungan kerja maupun hubungan pembinaan, (4) kredit usahatani
konservasi memerlukan lembaga keuangan yang selalu siap melayani petani,
dengan kata lain lembaga keuangan tersebut harus mampu menjangkau dan
dijangkau petani.
32
Atas dasar keterangan diatas, maka lembaga-lembaga yang mungkin dapat
dikembangkan
untuk menjadi lembaga keuangan pedesaan yang menangani
kredit usahatani konservasi adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Lembaga
Dana dan Keuangan Pedasaan (LDKP) dan Koperasi dimana lembaga tersebut
baik karena status kepemilikan maupun motivasi pendirian ditujukan untuk
melayani masyarakat miskin di pedesaan.
2.2.3. Lembaga Sosial
Dalam rangka pengelolaan kawasan taman nasional dan daerah aliran
sungai kritis sudah sering didengar istilah keterpaduan. Dalam hal ini yang
dimaksudkan adalah pengelolaan kawasan taman nasional dan DAS yang
merupakan satu kesatuan kegiatan, dimana di dalamnya terlihat berbagai unsur
kelembagaan
formal
baik
instansi
pemerintah
maupun
nonpemerintah.
Selanjutnya perlu diingat bahwa kemampuan aparat unsur kelembagaan tersebut
(khsusnya pada tingkat daerah) baik dari segi kuantitas maupun kualitas masih
sangat terbatas. Oleh karena itu keterpaduan antar lembaga hanya akan efektif
apabila tuntunan kuantitas dan kualitas aparat unsur kelembagaan dapat
ditingkatkan, baik melalui pendidikan/latihan, pembinaan informal maupun
tambahan jumlah aparat.
2.2.4. Organisasi Usahatani Konservasi
Sudah banyak kegiatan pengelolaan DAS terpadu dan bersifat lintas
sektoral yang pernah dilaksanakan selama ini. Namun sistem organisasi yang
dibuat masih bersifat kegiatan proyek yang ditentukan dari pusat dan struktur
organisasinnyapun terbentang dari pusat sampai kedaerah. Masalah klasik yang
selalu timbul adalah sistem organisasi yang dibuat melalui kegiatan proyek
tersebut ternyata tidak melembaga, khususnya pada tingkat daerah di mana
pelembagaan sangat diharapkan. Hal ini antara lain disebabkan (1) kurangnya
keterlibatan instansi didaerah dalam perencanaan proyek, (2) tidak adanya
kebebasan pemerintah daerah untuk memodifikasi organisasi proyek pada tingkat
daerah hingga sesuai dengan kondisi daerahnya, (3) kurang jelasnya pembagian
fungsi dan tanggung jawab antar instansi di daerah dan (4) terbatasnya kuantitas
dan kualitas aparat instansi di daerah.
33
2.2.5. Nilai Sosial Budaya
Nilai sosial budaya adalah suatu kesadaran dan emosi yang relatif lama
hilangnya terhadap suatu obyek, gagasan atau orang, dan salah satu cirinya bahwa
nilai itu merupakan unsur penting yang tidak dapat diremehkan oleh masyarakat
penganutnya. Nilai sosial dijunjung tinggi oleh banyak orang karena berdasarkan
konsensus masyarakat nilai itu menyangkut kesejahteraan bersama. Nilai itu
merupakan petunjuk umum yang telah berlangsung lama yang mengarahkan
tingkah laku manusia (Sujarwo, 2004).
Selanjutnya Padmowihardjo (Sujarwo, 2004) mengatakan bahwa dalam
kehidupan masyarakat, nilai sosial berfungsi: (1) sebagai alat untuk menetapkan
harta sosial suatu masyarakat, (2) mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan
bertingkah laku, (3) sebagai penentu dalam memenuhi peranan sosial manusia, (4)
dan sebagai alat solidaritas di kalangan anggota masyarakat. Dimyati (Sujarwo,
2004) menambahkan lagi bahwa pola sikap dan perilaku seseorang anggota
masyarakat banyak dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor antara lain adalah
lingkungan alam, faktor keturunan, lingkungan sosial, pengalaman, pendidikan
dan pengetahuan.
2.3. Komunikasi
Menurut Laswell (Effendy, 2001) memberikan definisi komunikasi
merupakan sebuah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada
komunikan melalui media yang menimbulkan effek tertentu. Paradigma Laswell
menunjukan bahwa komunikasi meliputi lima unsur yaitu S-M-C-R—E (Source,
message, channel, receiver dan efec).
Definisi ini menunjukan bahwa yang dijadikan obyek komunikasi bukan
saja pempampaian informasi tetapi juga pembentukan pendapat umum dan sikap
publik yang sangat memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial. Definisi
khusus Havland menyatakan bahwa komunikasi adalah proses merubah sikap
perilaku orang lain.
Komunikasi adalah suatu proses dimana seseorang (komunikator)
menyampaikan stimuli (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan
mengubah atau membentuk perilaku orang lain. Komunikasi juga merupakan
34
proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian melalui penggunaan
simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka dan lain-lain.
Komunikasi merupakan sebuah proses sosial di masyarakat, proses sosial
diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai kehidupan bersama.
Semakin majunya peradaban dalam masyarakat, semakin banyak tantangan yang
dihadapi dalam mengkomunikasikan hal-hal baru yang mungkin masuk dalam
sistem sosial masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
kemajuan pola pikir masyarakat tidak akan bermakna jika tidak disebarluaskan
dan dikomunuikasikan. Hal-hal baru itu kita kenal sebagai inovasi. Suatu inovasi
yang bergerak positif kearah perubahan pada tatanan masyarakat perlu
disebarluaskan hingga dapat diserap oleh masyarakat dan dijadikan perilaku.
Proses penyebaran dan penyerapan ini disebut difusi.
Menurut Berlo (1960) model SMCR merujuk pada perspektif psikologis
dalam peristiwa komuniksi meliputi: sumber (source), pesan (message), saluran
(channel ), dan penerima (receiver) Model komunikasi Berlo (1960) berbeda dari
model linear lainnya yang menekankan pada proses komunikasi diadik, Berlo lebih
menekankan pada peran sumber (source) dan penerima (receiver) sebagai peubah
penting dalam proses komunikasi. Model ini melintasi sekat pengkategorisasian
bentuk komunikasi yang tidak membataskan diri pada komunikasi massa, namun
juga pada komunikasi interpersonal dan bersifat merangsang penelitian
2.4. Intensitas Komunikasi
Intensitas komunikasi merupakan tingkat kedalaman penyampaian pesan
dari individu sebagai anggota keluarga kepada yang lainnya (Djamarah, 2004).
Intensitas komunikasi mencakup aspek-aspek seperti: kejujuran, keterbukaan,
pengertian, percaya, yang mutlak diantara kedua belah pihak dan dukungan,
Intensitas komunikasi dapat diukur dari apap-apa dan siapa yang dibicarakan,
pikiran, perasaan, objek tertentu, orang lain atau dirinya sendiri.
Conner (1993) dalam (Tubbs dan Moss, 2000) mengemukakan bahwa
kebanyakan orang yang disurvey belakangan ini menunjukkan bahwa kehidupan
tampaknya berubah dengan kecepatan yang lebih besar daripada yang pernah
terjadi selama ini. Ketegangan yang ditimbulkan oleh banyaknya tugas dalam
35
waktu yang teramat sempit, ikut berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas
komunikasi modern masa kini.
Selanjutnya dijelaskan bahwa model ini memperkenalkan unsur-unsur yang
berperan dalam semua komunikasi insani. Komunikasi ini merupakan salah satu
bentuk paling sederhana. Bila jumlah komunikator bertambah, jenis atau jumlah
gangguan berubah, atau pesan yang disampaikan makin beraneka ragam, maka
masalah komukasi menjaddi semakin rumit.
Menurut Mulyana (2004) Komunikasi adalah proses berbagi makna
melalui perilaku verbal dan nonverbal, segala perilaku dapat disebut komunikasi
jika melibatkan dua orang atau lebih. Selanjutnya dikatakan komunikasi terjadi
jika setidaknya suatu sumber membangkitkan respons pada penerima melalui
penyampaian suatu pesan dalam bentuk tanda atau simbol, baik bentuk verbal
(kata-kata) atau bentuk nonverbal (nonkata-kata) tanpa harus memastikan
terlebih dahulu bahwa kedua pihak yang berkomunikasi punya sistem simbol
yang sama.
Perilaku adalah segala tindakan atau reaksi individu terhadap rangsangan
atau lingkungan (Depdiknas, 2001). Perilaku juga merupakan hasil interaksi
antara faktor personal berupa instink individu dengan lingkungan psikologinya
(Rakhmat, 2001). Berlo (1960) menyatakan bahwa perilaku komunikasi seseorang
akan menjadi kebiasaan perilakunya. perilaku seseorang terbentuk karena adanya
stimulus yang sering menimpannya dan respon terhadap stimulus baik secara
verbal maupun nonverbal. Sementara itu menurut kamus besar komunikasi. Istilah
perilaku komunikasi (Communication behavior) berarti tindakan atau kegiatan
seseorang, kelompok atau khalayak, ketika terlibat dalam proses komunikasi.
Manusia sebagai makhluk yang berakal dan aktif akan selalu berusaha
untuk mencari kebutuhan yang sesuai dengan dirinya, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Freud (Gerungan, 1996) bahwa jiwa manusia bukan merupakan
sesuatu yang abstrak konsisten dan statis, melainkan sesuatu yang dinamis dalam
ruang, waktu dan menyatakan diri sebagai keseluruhan jiwa raga yang aktif serta
kebutuhan seseorang akan informasi akan mampu menggerakan secara aktif usaha
melakukan pencarian terhadap sumber informasi.
36
Intensitas komunikasi merupakan bagian dari perilaku komunikasi, dapat
didefinisikan sebagai tindakan atau respon seseoranng terhadap sumber dan pesan
bila di tinjau dari pengertian model komunikasi linier. Pendekatan komunikasi
interpersonal, komunikasi ditekankan pada konsep saling berbagi pengalaman
(The sharring of experience) maka tindakan atau respon seseorang terjadi dalam
kapasitasnya sebagai pelaku komunikasi (Tubbs dan Moss, 2001).
Halim (1992) menyatakan bahwa efektifitas komunikasi tatap muka
didapatkan dari berbagai peluang individu untuk menyampaikan pesan dan
mendapatkan umpan balik secara personal. Menurut Rakhmat (2001) Komunikasi
interpersonal dapat dinyatakan efektif bila pertemuan komunikasi merupakan hal
yang menyenangkan bagi komunikan, komunikasi yang efektif ditandai dengan
hubungan interpersonal yang baik. Bentuk komunikasi interpersonal memiliki
kelebihan sendiri. Sejalan dengan itu Havelock (Halim, 1992) mengemukakan
bahwa pada komunikasi tatap muka dapat mengatasi keterbatasan-keterbatasan
dalam menangkap dan memahami materi pesan, juga dapat membangkitkan
minat, dan menyentuh tahap persuasi.
Pada kebanyakan orang, perilaku komunikasinya dapat diamati melalui
kebiasaan
berkomunikasi.
Mengamati
perilaku
komunikasi,
seyogyanya
dipertimbangkan bahwa pada dasarnya seseorang akan melakukan penalaran
sendiri. Menurut Devito (1997) tujuan dasar komunikasi antar manusia ialah
mengenal diri sendiri dan orang lain serta membina hubungan sesuai dengan
tujuan yang akan dicapai. Memperkuat pendapat ini, Schramm (1982)
menyatakan
bahwa
setiap
komunikator
maupun
penerima
mempunyai
seperangkat tujuan dan penalaran sendiri-sendiri dan perlu mendapatkan
penjelasan yang lebih sistematis dari pada yang dilakukan, selain itu perilaku
komunikasi dapat dideskripsikan dalam porsi yang dapat dipertimbangkan yaitu
sebagian sebagai permainan perilaku alat, dan sebagian lagi sebagai perilaku
egosentris.
Rakhmat (2001) menyatakan bahwa sistem peranan yang ditetapkan dalam
suatu sistem masyarakat, struktur kelompok dan organisasi, karakteristik populasi,
adalah faktor-faktor sosial yang menata perilaku manusia. Perilaku manusia
merupakan hasil interaksi yang menarik antara komunikan individual dengan
37
keumuman situsional. Adapun Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa
peubah dalam perilaku komunikasi adalah partisipasi sosial, hubungan dengan
sistem
sosial,
kontak
dengan
agen
pembaharu,
kekosmopolitan,
keterbukaan/keterdedahan terhadap media massa, komunikasi interpersonal, lebih
aktif dalam mencari informasi, pengetahuan tentang informasi, keterbukaan
kepemimpinan dan memiliki hubungan yang tinggi antar sistem.
Ithiel de sola pool (1958) dalam (Onong. U. E, 2005) mengatakan bahwa
Cara-cara komunikasi modern jarang sekali mengganti cara-cara yang sudah ada
sebelumnya. Televisi tidak menyisihkan radio, radio tidak mematikan buku,
penemuan percetakan tidak menghentikan kita menulis surat dengan tinta dan
pena, dan guru-guru yang mengajar menulis dan membaca tidak membuat orangorang menjadi kurang terlibat dalam percakapan.
Setiap cara baru berkomunikasi tertempatkan diatas yang lama. Mungkin
saja ia mengambil alih fungsi tertentu, tetapi fungsi lainnya tertahan oleh cara
yang terdahulu. Jadi, dalam sistem komunikasi di masyarakat yang sudah sangat
maju. Terdapat interaksi yang rumit antara sistem media massa yang modern dan
jaringan tradisional komunikasi mulut ke mulut yang bersifat pribadi. Masyarakat
modern bukanlah masyarakat massa yang tanpa kepribadian, kehilangan norma
dan nilai, serta bebas dari kelompok-kelompok primer. Ia dalah sistem yang
merupakan
jalinan
yang
perkumpulan-perkumpulan,
terperinci
secara
kelompok-kelompok
teliti
dari
ethis,
kelurga-keluarga,
organisasi-organisasi
politik dan kelompok-kelompok persahabatan.
2.5. Pengaruh Lingkungan Terhadap Intensitas Komunikasi
Menurut Thoha (2004) bahwa komunikasi itu sangat di pengaruhi oleh
beberapa faktor, antaranya orang yang berkomunikasi, motivasinya, latar belakang
pendidikannya, prasangka-prasangka pribadinya. Adapun sifat dari informasi yang
datang sangat dipengaruhi oleh jumlah besar sedikitnya informasi yang diterima,
cara penyajian, dan pemahaman informasi dan proses umpan balik.
Kita agaknya harus mengakui bahwa memang lingkungan fisik tempat
orang hidup mempengaruhi perilaku mereka, termasuk perilaku komunikasi.
Lingkungan fisik ini meliputi letak geografis di bumi, lanskap, iklim, musim,
cuaca, suhu udara, cahaya, jenis dan lokasi bangunan, rancangan arsitektur,
38
ukuran dan model furnitur, warna hingga ke jarak antarpribadi saat berkomunikasi
(Mulyana, 2004). Asumsi ini sejalan dengan rumusan Lewin bahwa perilaku
(behavior) adalah sebagai fungsi dari orang (person) dan lingkungan
(environment). Dengan rumus sederhana: B = f (P,E). Dalam rumus Lewin,
Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan lingkungan psikologis. Gudykunst
dan Kim memasukan unsur lingkungan (environment influences) dalam model
komunikasi antarbudaya atau tepatnya komunikasi dengan orang asing.
Selanjutnya
Mulyana
(2004)
menambahkan
dalam
pandangannya,
lingkungan yang mempengaruhi manusia terdiri dari lingkungan pisik, lingkungan
waktu, dan lingkungan sosial (secara implisit lingkungan psikologis kita sebagai
individu). Ketiganya saling mempengaruhi secara timbal-balik. Pekerjaan suatu
komunitas dan cara mereka berinteraksi akan dipengaruhi oleh geografi tempat
komunitas itu tinggal, apakah di pegunungan atau di dataran rendah, apakah
dipantai atau dipedalaman. Budaya orang yang tinggal di pantai akan lebih cepat
berubah karena pengaruh luar (kedatangan orang dari seberang laut) daripada
orang yang tinggal di pedalaman. Mereka mungkin akan berbicara lebih keras
dengan sesamanya karena suara meraka harus mengatasi suara angin dan ombak.
2.5.1. Intensitas Komunikasi Dengan Sesama Petani
Komunikasi antarpribadi didefinisikan sebagai pengiriman pesan di antara
dua atau lebih individu (Liliweri, 2002). Ada pakar yang menyoroti komunikasi
antarpribadi dalam konteks a dyadic (relasi dua orang). Dijelaskan bahwa
meskipun terdapat kumpulan 3 orang atau lebih, dyads tetap penting karena dalam
kelompok tiga individu (A,B,C) akan tetap muncul dyads antara A-B: A-C; dan
B-C. Jadi, akan terbentuk 3 macam dyads dan demikian seterusnya apabila
anggota kelompok semakin bertambah (Devito, 1997).
Ditegaskan lebih lanjut bahwa komunikasi antarpribadi yang efektif
meliputi banyak unsur tetapi hubungan antarpribadilah yang paling penting.
Hubungan antarpribadi terdiri atas tiga faktor yaitu saling percaya, sikap suportif,
dan sikap terbuka. Selain itu, konsep diri yang meliputi persepsi pribadi, self
image,dan self esteem, menyusul rasa empati, dan simpati merupakan pula faktor
yang cukup menonjol dalam komunikasi antarpribadi (Rahmat, 2001).
39
Frekuensi
dan
intensitas
komunikasi
dengan
sesama
masyarakat
merupakan bagian dari komunikasi interpersonal yang berupa perilaku tatap
muka. Perilaku ini pada dasarnya sudah mencakup perilaku mencari dan
menyampaikan
informasi
secara
bersamaan.
Pada
situasi
komunikasi
interpersonal, proses umpan balik sangat berkaitan dengan selang waktu yang
mungkin ada dan mungkin tidak ada.
Saluran komunikasi interpersonal yang disampaikan secara tatap muka
memiliki beberapa keunggulan, antara lain: 1) bersifat langsung, pribadi dan
manusiawi, 2) teknik penyampaian fleksibel dan lebih rinci, 3) keterlibatan
khalayak tinggi dan 4) umpan balik dapat langsung diproleh sehingga tingkat
pemahaman pesan akan lebih tinggi. Sebaliknya, keterbatasan media interpersonal
adalah keterbatas cakupan khalayak (DeVito, 1997).
Intensitas komunikasi dengan sesama petani merupakan bagian dari
komunikasi interpersonal yang dapat berupa perilaku membicarakan informasi.
Perilaku ini pada dasarnya sudah mencakup perilaku mencari dan menyampaikan
informasi secara bersamaan. Pada situasi komunikasi interpersonal, dikenal
umpan balik yang bercirikan kedua aspek mencari dan menyampaikan informasi.
Menurut Gonzales (Jahi, 1988) pada komunikasi tatap muka umpan balik
umumnya lebih segera. Di pihak lain, umpan balik memerlukan waktu jika
partisipan-partisipan dalam suatu situasi komunikasi satu sama lain terpisah oleh
suatu jarak.
Kebutuhan seseorang akan informasi mampu menggerakkannya untuk
secara aktif melakukan pencaharian informasi. Paling tidak pada proses pencarian
sampai dengan perolehan informasi tersebut. Yang bersangkutan telah
memberikan berbagai informasi yang dimilikinya yang berkaitan dengan
kebutuhannya akan informasi tersebut. Mempertegas hal ini Soekanto (2001)
menjelaskan bahwa arti penting komunikasi dapat memberikan tafsiran pada
perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerik badaniah atau
sikap), perasan-perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut, selanjutnya
orang tersebut memberikan reaksi terhadap perasaan tersebut. Pikiran, perasaan
yang akan disampaikan kepada orang lain.
40
Perilaku komunikasi khususnya intensitas komunikasi dengan sesama
petani dalam rangka mencari dan menyebarkan informasi dipengaruhi oleh faktor
situsional. (Halim, 1992) mengungkapkan bahwa komunikasi, kognisi, sikap, dan
perilaku dapat dijelaskan secara lebih baik melalui pendekatan peubah situsional,
khususnya mengenai kapan dan bagaimana orang berkomunikasi tentang masalah
khusus yang situsional seperti tentang manfaat dan usaha pelestarian alam.
2.5.2. Intensitas Komunikasi dengan Pengelola Taman Nasioanl
Intensitas komunikasi dengan pengelola taman nasional penting diketahui,
karena hal ini akan berkaitan dengan aktivitas pencarian maupun penyampaian
informasi oleh anggota kelompok. Intensitas komunikasi dengan pengelola taman
nasional dimaksudkan sebagai interaksi anggota dengan individu atau kelompok
lain yang mempunyai keterkaitan pembinaan dengan anggota yang bersangkutan
seperti penyuluh lapangan dan tokoh masyarakat lainnya. Menurut Soekanto
(2001) kontak merupakan tahap pertama dari tejadinya interkasi sosial. Interaksi
sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara
individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok, yang hanya
mungkin terjadi apabila dipenuhinya dua syarat, yaitu: a) adanya kontak sosial
(Social contact) dan b) adanya komunikasi.
Komunikasi yang terjadi pada saat intensitas komunikasi dengan pembina
tidak hanya bersifat verbal, melainkan juga nonverbal. Komunikasi nonverbal
menurut Devito (1997) memiliki tingkat kepercayaan antara 60 sampai 65 persen
dari mana yang dikomunikasikan. Selain tersebut tingkat pemahaman komunikan
terhadap pesan yang disampaikan komunikator (pembina) tergantung kepada
persepsi tentang pesan verbal dan noverbal yang disampaikan, karena persepsi
merupakan inti komunikasi (Mulyana, 2001).
Menurut Gonzales (Jahi, 1988) riset jaringan sosial telah menunjukkan
bagaimana hubungan diantara individu-individu yang memiliki banyak persamaan
dan perbedaan memperlancar aliran informasi dan inovasi dari orang-orang yang
lebih banyak berhubungan dengan kelompok-kelompok yang berbeda, cenderung
mempelajari topik-topik tertentu lebih dulu daripada yang lain.
41
2.5.3. Intensitas Komunikasi dengan Media Massa
Menurut Onong U. E (2004) Komunikasi massa adalah komunikasi melalui
media massa, jelasnya merupakan singkatan dari komunikasi media massa (mass
media communication). Hal ini berbeda dengan pendapat ahli psikologi sosial
yang menyatakan bahwa komunikasi massa tidak selalu dengan menggunkan
media massa.
Sedangkan menurut Saverin dan Tankard (2004) yang dimaksud
komunikasi masa adalah sebagian keterampilan, sebagian seni, dan sebagian ilmu.
Keterampilan dalam pengertian bahwa ia meliputi teknik-teknik fundamental
tertentu
yang
dapat
dipelajari
seperti
memfokuskan
kamera
televisi,
mengoperasikan tape recorder, atau mencatat ketika berwawancara. Seni dalam
pengertian bahwa ia meliputi tantangan-tantangan kreatif seperti menulis skrip
untuk program televisi, mengembangkan tata letak yang ektetis untuk iklan
majalah, atau menampilkan teras berita yang memikat bagi sebuah kisah berita.
Dan ilmu dalam pengertian bahwa ia meliputi prinsip-prinsip tertentu tentang
bagaimana berlangsungnya komunikasi yang dapat dikukuhkan dan dipergunakan
untuk membuat berbagai hal menjadi lebih baik).
Intensitas komunikasi dengan media massa bagian dari usaha mencari dan
menyebarkan informasi di mana individu atau masyarakat mendapatkan
informasi melalui media massa baik media cetak, maupun media elektronik.
Intensitas komunikasi dengan media massa juga merupakan keterdedahan
masyarakat terhadap media. Menurut Shore (Halim, 1992) keterdedahan adalah
mendengarkan, melihat, membaca atau secara lebih umum mengalami dengan
sedikitnya jumlah perhatian minimal pada pesan media.
Menurut Donald K. Robert (Rakhmat, 2004) menyatakan bahwa efek
hanyalah perubahan perilaku manusia setelah diterpa pesan media massa. Karena
fokusnya pesan, maka efek haruslah berkaitan dengan pesan yang disampaikan
media massa. Selanjutnya Rogers (1966) menyatakan bahwa keterdedahan
seseorang terhadap media-media massa mempunyai korelasi yang sangat tinggi
antara satu dengan lainnya. Sehingga dapat dibuat suatu indeks keterdedahan pada
media massa. Setiap indikator keterdedahan pada media massa paling tidak
42
didikotomikan ke dalam: (1) Sedikitnya pernah terdedah (minimalnya membaca
surat kabar dalam seminggu) dan (2) Tidak terdedah.
2.5.4. Intensitas Penyuluhan
Menurut Syahyuti (2006) Penyuluhan pertanian (agricultural extenstion)
diartikan sebagai suatu sistem pendidikan luar sekolah untuk para petani dan
keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu, sanggup, dan berswasembada
memperbaiki kesejahteraan hidupnya sendiri serta masyarakatnya. Tujuan
penyuluhan pertanian adalah mengembangkan petani dan keluarganya secara
bertahap agar memiliki kemampuan intelektual yang semakin meningkat,
perbendaharaan informasi yang memadai, serta mampu pula memecahkan serta
memutuskan sesuatu yang terbaik untuk dirinya dan keluarganya. Seluruh
aktivitas penyuluhan berpedoman pada asas pokoknya yaitu ”menolong petani
agar ia mampu menolong dirinya sendiri”
Selanjutnya dijelaskan bahwa ada tiga hal yang menjadi obyek untuk
diubah dalam kegiatan penyuluhan, yaitu pengetahuan (aspek kognitif), sikap
(aspek afektif) dan keterampilan (aspek psikomotorik). Perubahan perilaku adalah
tujuan akhir dari seluruh rangkaian kegiatan, yaitu bertambahnya perbendaharaan
informasi, tumbuhnya keterampilan, serta timbulnya sikap mental dan motivasi
yang lebih kuat sesuai dengan yang dikehendaki.
Khusus untuk penyuluhan dibidang pertanian, maka hal yang pokok yang
dibicarakan adalah pencampuran pengetahuan dan keputusan sehingga faktorfaktor tanah, air, iklim, dan kapital dapat didayagunakan secara optimal.
penyuluhan pertanian memformulasikan pengetahuan, dan mengajar petani untuk
menjadi manajer di dalam usahanya sendiri (competent decision makers). Karena
itulah, penyuluhan berperan penting dalam pembangunan pertanian. Ia menjadi
bagian dari sistem, yakni sebagai aktor yang mempengaruhi petani dalam
membuat keputusan.
Untuk menambah tingkat pengetahuan dan keterampilan seorang petani
dan keluarganya, maka peranan penyuluh mempunyai andil yang besar.
Penyuluhan pertanian merupakan agen pembangunan pertanian, penyuluh
pertanian memiliki berbagai peran antara lain sebagai guru, penasehat,
43
penganalisis, organisatoris, pembimbing petani, dinamisator, teknisi dan jembatan
penghubung antar lembaga penelitian dengan petani.
Menurut Slamet (Akib, 2002) menyebutkan penyuluhan pertanian sebagai
ujung tombak pembangunan pertanian. Setidak-tidaknya bila dilihat dalam jajaran
pemerintah yang menangani pertanian. Penyuluhan pertanian membawakan
peranan yang penting dalam pembentukan sikap positif sehingga petani
selanjutnya akan lebih giat dalam mengadopsi teknologi.
2.6. Perilaku Petani (Pengetahuan, Sikap dan Tindakan)
2.6.1. Pengetahuan
Menurut Kilbler (Zahid, 1997) Pengetahuan dapat didefinisikan sebagai
ingatan mengenai sesuatu yang bersifat spesifik atau umum, ingatan mengenai
metode atau proses, ingatan mengenai pola, susunan atau keadaan. Selanjutnya
Lahlry (Severin dan Tankard, 2005) memberikan definisi persepsi sebagai proses
yang kita gunakan untuk menginterpretasikan data-data sensoris. Data sensoriks
sampai kepada kita melalui lima indra kita. dan hasil penelitian telah
mengidentifikasi dua jenis pengaruh dalam persepsi, yaitu pengaruh struktural
dan pengaruh fungsional
Selanjutnya Berelson dan Steiner (1994) dalam menyatakan bahwa
persepsi
merupakan
proses
yang
konpleks
di
mana
orang
memilih,
mengorganisasikan, dan menginterpretasikan respon terhadap suatu rangsangan
kedalam situasi masyarakat dunia yang penuh arti dan logis. Bennett, dkk (1989).
menyatakan bahwa persepsi merupakan aktivitas aktif yang melibatkan
pembelajaran tingkah laku yang melibatkan aktivitas kognitif. Persepsi juga
meliputi juga aktivitas pembuatan inferensi. Didalam bentuk-bentuk persepsi,
sebuah rangsangan ditentukan sebagai salah satu kategori khusus berdasarkan
informasi yang tidak lengkap. Akhirnya dapat ditarik pengertian bahwa inferensiinferensi ini tidak selalu benar.
2.6.2. Sikap
Sikap dapat didefinisikan sebagai perasaan, pikiran dan kecenderungan,
seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu
dalam lingkungannya (Van den Ban dan Hawkins, 1999). Sikap juga adalah
44
kecondongan evaluatif terhadap suatu obyek atau subyek yang memiliki
konsekuensi yakni bagaimana seseorang berhadap-hadapan denagan obyek sikap.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Meyrs (Sarwono, 2002) bahwa sikap adalah
sesuatu atau seseorang yang ditunjukkan dalam kepercayaan, perasaan atau
perilaku seseorang.
Konsep sikap yang telah dideskripsikan oleh Goldon Allport (Severin dan
Tankard, 2005) mungkin adalah yang paling istimewa atau penting dalam
psikologi sosial Amerika komtemporer. Allport menyebutkan bahwa istilah itu
muncul untuk menggantikan istilah-istilah samar dalam psikologi seperti naluri,
adat istiadat, tekanan sosial, dan sentimen.
Menurut Krech dkk. (Severin dan Tankard, 2005) sebuah sistem evaluasi
positif atau negatif yang awet, perasaan-perasaan emosional, dan tendensi
tindakan pro atau kontra terhadap sebuah obyek sosial. Allpot menambahkan
bahwa sikap adalah kesiapan mental dan sistem syaraf, yang diorganisasikan
melalui pengalaman, menimbulkan pengaruh langsung atau dinamis pada responsrespon seseorang terhadap semua obyek dan situasi terkait. lebih lanjt lagi
Murphy dan Newcomb (Severin dan Tankard, 2005) menyebutkan bahwa sikap
pada dasarnya adalah suatu cara pandang terhadap sesuatu.
Mar’at (1981) meyebutkan bahwa sikap merupakan kesiapan untuk
bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertenttu sebagai suatu penghayatan
terhadap obyek tersebut, selanjutnya memberikan nilai terhadap stimulus dalam
bentuk baik dan buruk, positif negatif, menyenangkan tidak menyenangkan,
setuju tidak setuju kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi tehadap obyek
sikap.
Sikap terbentuk dari pengalaman, melalui proses belajar (Sarwono, 2002)
pengalaman yang dimaksud adalah tentang obyek yang menjadi respon evaluasi
dari sikap. Proses belajar dalam pengalaman adalah sebagai peningkatan
pengetahuan individu terhadap obyek sikap. Proses belajar tersebut didapat
melalu interaksi dengan pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap
penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga
agama serta pengaruh faktor emosional (Azwar, 2003).
45
2.6.3. Tindakan
Menurut Pouson (Mahmud, 1997). Konsep perilaku merupakan salah satu
faktor yang sangat penting dalam psikologi modern, sikap merupakan mental
kesediaan yang terorganisir melalui pengalaman dan mempunyai pengaruh atas
sesuatu yang dinamis terhadap respon seseorang, obyek dan situasi yang saling
berhubungan. Dengan demikian sikap adalah kecenderungan seseorang dalam
menjawab atau merespon orang lain, suatu ide atau keadaan dalam cara tertentu.
Sikap merupakan suatu yang abstrak, tak terlihat tidak terdengar, dan
tidak tersentuh. Sikap hanya dapat diduga melalui apa yang dikatakan atau
dilakukan seseorang. Cara ini menurut para psikologis disebut hypothctical
construrs. Selanjutnya menurut Heubert Kelmen (Mahmud, 1997) syarat-syarat
perubahan perilaku yang menentukan kepermanenan suatu perubahan adalah:
a) Kerelaan. Seorang merubah perilakunya hanya ia berharap dapat
menerima reaksi yang menyenangkan dari orang lain atau karena ia
berharap dapat terhindar dari hukuman.
b) Identifikasi. Seseorang mungkin mengubah perilakunya terhadap ide-ide
baru karena menemukan kepuasan dalam berhubungan dengan orang lain
atau sesuatu kelompok yang mengemukakan ide tersebut. Petani yang
bekerjasama dengan sesuatu kelompok diskusi mungkin menerima
banyak ide kelompok tersebut karena ia menikmati hubungan yang ada
dengan anggota-anggota kelompok tersebut dan karena dia menemukan
kepuasan beroganisasi. Pemeliharaan hubungan tergantung apakah
hubungan tersebut memuaskan masing-masing pihak. Walaupun perilaku
dapat dikendalikan, hal ini bergantung pada hubungan antara orang yang
mengarah dan orang atau kelompok yang diidentifikasikan. Jika hubungan
ini berakhir dengan memuaskan maka perilaku dapat dirubah.
c) Internalisasi. Perubahan perilaku akan berlanjut meskipun hubungan
dengan orang lain berubah. Saat petani menginternalisasikan sesuatu
perilaku yang diubah melalui pengaruh penyuluhan dia tidak akan
mengubahnya kembali jika ia tidak berhenti memberikan respek terhadap
penyuluh walaupun telah meninggalkan daerah tersebut.
46
Perilaku merupakan suatu tidakan nyata (action) yang dapat dilihat atau
diamati (Rogers dan Shoemaker,1989). Perilaku tersebut terjadi akibat adanya
proses penyampaian pengetahuan suatu stimulus sampai pada penentuan sikap
atau bertindak, dan hal ini dapat dilihat dengan menggunakan panca indera. Pola
perilaku seseorang bisa saja berbeda satu sama lain, tetapi proses terjadinya
adalah mendasar bagi semua individu, yakni dapat terjadi karena disebabkan,
digerakkan, dan ditujukkan pada sasaran. Kast dan Rosenzweig (Suparta, 2001).
Hal ini berarti bahwa perilaku itu tidak bisa secara spontan dan tanpa tujuan,
melainkan harus ada sasaran baik ekplisit maupun inplisit
2.7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku
Menurut para ahli perilaku individu dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Suparta (2001) menyatakan bahwa dalam pendekatan interaksionis
perilaku individu secara umum dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar.
Hasil penelitinya menunjukan bahwa kondisi situsional luar mempengaruhi sikap
dalam dan selanjutnya sikap ini dapat mempengruhi perilaku terbuka. Perilaku
dianggap sebagai hasil interaksi antara faktor-faktor yang terdapat didalam diri
sendiri (karakteristik individu) dan faktor luar (faktor eksternal) proses interaksi
itu sendiri terjadi pada kesadaran atau pengetahuan seseorang (Sarwono, 2002).
Menurut Rukminto (2001) dalam (Setiana, 2005) merencanakan
perubahan perilaku pada individu atau pada sekelompok masyarakat melalui
intervensi komunitas tidak mudah. Pada kenyataan di lapangan, ada beberapa
kendala yang sering ditemui, kendala tersebut meliputi kendala yang bersal dari
kepribadian individu dan kendala yang berasal dari sistem sosial yang
berkembang dilingkungan kelompok masyarakat tersebut. Kendala individu
antara lain adalah kestabilan, kebiasaan, hal-hal utama yang diyakini, seleksi
ingatan dan persepsi, ketergantungan, superego, rasa tidak percaya, serta rasa
tidak aman. Kendala sistem sosial antara lain meliputi kesepakatan terhadap
norma tertentu, kesatuan dan kepatuhan terhadap sistem dan budaya, hal-hal yang
bersifat sakral, kelompok kepentingan, penolakan terhadap ’orang luar yang’
datang ke dalam komunitas tersebut.
47
2.8. Hubungan antara Faktor Karakteristik dan Faktor Lingkungan
Menurut Sunyoto (2004) dinyatakan bahwa ada hubungan timbal balik
antara pola perilaku sosial dan kondisi lingkungan. Pola perilaku sosial
dipengaruhi oleh karakteristik dan kualitas lingkungan, dan sebaliknya pola
perilaku sosial juga mempengaruhi karakteristik dan kualitas lingkungan.
Pernyataan tersebut dapat dijelaskan dengan keterangan sebagai berikut. Manusia,
dalam upaya memenuhi sebagian besar kebutuhan hidup dasarnya (teruma
sandang, pangan, dan papan), tidak dapat dilepaskan dari lingkungan. Secara
umum, lingkungan alam dapat dipilah ke dalam dua kategori: lingkungan fisik
(the physical environment) dan lingkungan biologis (the biological environment).
Lingkungan fisik, antara lain, mencakup tanah, topografi, cuaca dan sumbersumber alam (mineral dan minyak). Di samping itu, juga termasuk dalam kategori
tersebut adalah apa yang lazim disebut dengan istilah natural physical-agencies
(seperti angin, air yang bergerak), dan natural physical forces (seperti gravitasi
dan radiasi).
Tanah tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal untuk memenuhi
kebutuhan papan, melainkan juga sebagai tempat sandaran hidup untuk memenuhi
kebutuhan pangan. Sudah banyak bukti memperlihatkan kecenderungan bahwa
daerah-daerah yang tanahnya tergolong tandus dan tidak subur, tidak banyak
dihuni manusia karena tidak dapat memproduksi pangan. Sebaliknya daerahdaerah yang tanahnya subur cenderung dipadati manusia. Berbagai macam
tanaman tumbuh subur dan hasilnya sangat memuaskan. Karena itu, didaerahdaerah semacam itu berkembang sistem pertanian. Manusia melakukan budidaya
tanaman, mengarahkan segala macam kemampuan dan keterampilan yang dimiliki
untuk melipatgandakan hasil produksinya. Lahirlah kemudian institusi pertanian
yang dilengkapi dengan organisasi-organisasi sosial yang sistem kerjanya amat
berbeda dengan organisasi-organisasi sosial yang tumbuh atau berkembang di
daerah-daerah tandus.
Sunyoto (2004) selanjutnya menambahkan bahwa sedangkan dalam
hubungannya dengan topografi, bahwa daerah yang berbukit-bukit (pegunungan)
atau daerah-daerah yang berawa-rawa tidak banyak dihuni manusia. Sebaliknya,
banyak daerah datar yang menjadi tempat konsentrasi pemukiman manusia.
48
Kebanyakan kota juga tumbuh di daerah-daerah semacam itu, terutama karena
memiliki kemudahan akses pada dunia luar. Memang ada pula kota di daerah
pegungnan, tetapi jumlahnya tidak begitu banyak dan biasanya juga lamban
perkembangannya.
Topografi seperti itu juga mempengaruhi sikap dan tindakan sosial.
Bentuk perkampungan di daerah pegunungan biasanya tersebar (scattered).
Banyak rumah tangga yang terisolasi satu sama lain. Maka mudah dimengerti
apabila kemudian interaksi sosial yang terjalin diantara sesama anggota
masyarakat kurang intense. Meskipun tidak berarti terjadi antagonisme (sikap
permusuhan). Mereka melakukan kontak dengan tetangganya hanya tatkala ada
kebutuhan tertentu yang tidak dapat dikerjakan sendiri, dan selebihnya semua
masalah diusahakan untuk diselesaikan di antara anggota keluarganya sendiri.
Dibeberapa daerah bahkan terbentuk the individualistic family, yang hanya
mementingkan kecukupan anggota keluarganya sendiri.
Faktor berikutnya yang juga berpengaruh terhadap kehiddupan manusia
adalah cuaca. Cuaca adalah kondisi yang antara lain ditentukan oleh temperatur,
curah hujan dan arah angin. Cuaca sangat sulit dimodifikasi atau diubah, manusia
hanya dapat menyesuaikan diri terhadapnya. Manusia membangun berbagai
bentuk rumah dan ruangan tempat kerja yang sesuai dengan keadaan cuaca. Yang
tampak kemudian adalah perbedaan arsitektur rumah di daerah-daerah bercuaca
panas dengan yang terdapat di daerah-daerah bercuaca dingin. Bentuk-bentuk
penyesuaian tersebut kemudian mempengaruhi ritme interaksi sosial yang terjalin
diantara para penghuninya.
2.9.
Pengaruh Karakteristik Petani
(Pengetahuan,Sikap, dan Tindakan)
terhadap
Perilaku
Petani
Manusia adalah makhluk sosial, dari proses sosial manusia memproleh
beberapa karakteristik yang mempengaruhi perilakunya. Terdapat tiga komponen
yang mempengaruhi hal tersebut, yaitu komponen afektif, komponen kongnitif
dan komponen konatif. Komponen afektif merupakan aspek emosional.
Komponen kongnitif merupakan aspek intelektual, yang berkaitan dengan apa
yang diketahui manusia. Komponen konatif adalah aspek volisional, yang
berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak (Rakhmat, 2001).
49
Komponen afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis.
Komponen afektif terdiri dari motif sosiogenis, sikap dan emosi. Selanjutnya
Rakhmat (2001) merangkum tentang komponen dari pada sikap yaitu: (1) sikap
adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam
menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai, (2) sikap mempuyai daya dorong atau
motivasi, (3) sikap relatif lebiih menetap, (4) sikap mengandung aspek evaluatif
dan 5) sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir tetapi merupakan
hasil belajar, sehingga sikap dapat diperteguh atau diubah.
Komponen konatif adalah aspek volisional yang berhubungan dengan
kebiasaan dan kemauan bertindak. Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia
yang menetap, berlangsung secara otomatis tidak direncanakan sehingga
kebiasaan dapat memberikan pola perilaku yang dapat diramalkan. Adapun
kemauan adalah tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapai
tujuan (Rakhmat, 2001).
2.10. Taman Nasional dan Pengelolaannya
Taman Nasional (TN) merupakan aset nasional dan internasional yang
memiliki nilai manfaat penting bagi kehidupan umat manusia, IUCN
(international union for the conservation of nature and natural resources,1994)
dalam (Sarbi, 2006) memberikan kriteria penetapannya yang berfungsi sebagai
upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan lestari. Undang-undang No 5
tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya juga
memberikan panduan dalam pengelolaan taman nasional yang didasarkan pada
sistem zonasi (zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona lainya).
Selanjutnya Taman Nasional menurut Undang-undang Nomor 5 tahun
1990 menjelaskan juga tentang konservasi sumberdaya alam Hayati dan
Ekosistemnya adalah kawasan pelestaria alam yang mempunyai ekosistem asli,
dikelola dengan sistem zonasi yang diamnfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam.
Fungsi taman nasional adalah: (1) sebagai kawasan perlindungan sistem
penyangga kehidupan, (2) sebagai kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuh
dan satwa, (3) sebagai kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya
alam hayati dan eksistemnya.
50
Salah satu fungsi dari sebuah taman nasional dan kawasan konservasi
adalah sebagai pengatur tata air atau fungsi hidrologis, apakah itu sebagai
reservoir atau sebagai areal penangkapan air yang ada di hulu. Hal itu sangat tegas
sebagaimana fungsinya dalam siklus air yang terjadi di bumi ini. Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango (TNGP) merupakan kawasan pengatur air bagi kawasan
di sekitarnya yang meliputi Cianjur, Sukabumi, Bogor, Jakarta, Karawang, dan
daerah lainnya di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP)
termasuk di dalamnya daerah hilir dari sungai-sungai yang bagian hulunya berada
di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP). Dari Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango (TNGP) ini mengalir 60 sungai dari arah hulu yang
kemudian menjadi 4 aliran DAS.
Melihat fungsinya yang sangat besar bagi wilayah sekitarnya, dimana
wilayah-wilayah tersebut bergantung pada kawasan Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango (TNGP) ini, seperti halnya sumber air bagi kegiatan kehidupan
termasuk kegiatan perekonomian seperti pertanian, perikanan, dan air untuk
kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Selain itu air yang bersumber dari Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) diolah menjadi air mineral.
Perusahaan-perusahaan pengolah air mineral tersebut baik yang ada di Jawa Barat,
Banten dan Jakarta, hampir semua sumber airnya berasal dari mata air-mata air di
sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP). Karena fungsinya
yang sangat vital dalam keberlanjutan sumberdaya dan stok. Maka areal taman
nasional harus terjaga kelestariannya demi kepentingan dan kebutuhan masa
depan. Dan salah satu metode untuk menjaga kelestariannya yaitu menerapkan
teknik dan konsep konservasi dalam melakukan usaha pertanian di sekitar
kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP).
2.11. Konservasi Tanah dan Air secara Berkelanjutan
Konservasi berasal dari bahasa inggris ”to converse” yang diartikan
sebagai melestarikan pemanfaatan. Bila ini dikaitkan dengan potensi alam yang
dapat diperbaharui, dibina untuk dapat menguatkan fungsi produktivitas dan
kualitasnya maka akan sangat tepat. Misalnya konservasi flora dan fauna,
konservasi alam, konservasi tanah dan air (Yulianto, 2001) selanjutnya Menurut
Sismomartono (1989). Konservasi diartikan sebagai perlindungan, perbaikan, dan
51
pemakaian sumberdaya alam menurut prinsip-prinsip yang akan menjamin
keuntungan ekonomi atau sosial yang tinggi secara lestari.
Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada
cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan
memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi
kerusakan tanah,sifat-sifat fisik dan kimia tanah dan keadaan topografi lapangan
menentukan kemampuan tanah untuk suatu penggunaan dan perlakuan yang
diperlukan (Arsyad, 2000). Dikatakan selanjutnya bahwa konservasi tanah
tidaklah berarti penundaan atau pelarangan pengunaan tanah, tetapi menyesuaikan
jenis penggunaannya dengan kemampuan tanah dan memberikan perlakuan sesuai
dengan syarat-syarat yang diperlukan, agar tanah dapat berfungsi secara lestari.
Konservasi tanah berhubungan erat dengan konservasi air. Setiap perlakuan yang
diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air, dan usaha untuk
mengkonservasi tanah juga merupakan konservasi air. Salah satu tujuan
konservasi tanah adalah meminimumkan erosi pada suatu lahan. Laju erosi yang
masih lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan merupakan masalah yang
bila tidak ditanggulangi akan menjebak petani kembali ke dalam siklus yang
saling memiskinkan. Tindakan konservasi tanah merupakan cara untuk
melestarikan sumberdaya alam.
Konservasi tanah dan air merupakan hal yang esensial untuk melanjutkan
produktivitas lahan pada pertanian tanaman semusim, terutama pada lahan-lahan
berbukit yang mempunyai kemiringan lereng curam. Tanpa tindakan konservasi
tanah akan terjadi erosi yang serius, menghasilkan lahan-lahan yang terdegradasi,
sehingga produktivitas lahan menurun, aliran permukaan meningkat dan disisi
lain akan menimbulkan masalah sedimentasi (Meyer, 1981).
Konservasi air adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah untuk pertanian
se-efisien mungkin, dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir
yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau. Setiap
perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air pada
tempat itu dan tempat-tempat di hilirnya. Oleh karena itu, konservasi tanah dan
konservasi air merupakan dua hal yang berhubungan erat sekali, berbagai
52
tindakan konservasi tanah merupakan juga tindakan konservasi air (Arsyad,
2000).
Upaya memperbaiki produktivitas lahan kering dan lahan-lahan marginal
sebenarnya telah dilakukan pemerintah sejak lama melalui reboisasi dan
penghijauan, akan tetapi upaya tersebut masih jauh dari berhasil. Pada dasarnya
usahatani konservasi merupakan suatu paket teknologi usahatani yang bertujuan
meningkatkan produksi dan pendapatan petani, serta melestarikan sumberdaya
tanah dan air (Saragih, 1996), akan tetapi penyerapan teknologi tersebut masih
relatif lambat yang disebabkan karena: (1) besarnya modal yang diperlukan untuk
penerapannya (khususnya untuk investasi bangunan konservasi); (2) kurangnya
tenaga penyuluh untuk mengkomunikasikan teknologi tersebut kepada petani; (3)
masih lemahnya kemampuan dan pemahaman petani untuk menerapkan teknologi
usahatani konservasi sesuai yang diintroduksikan; (4) keragaman komoditas yang
diusahakan di DAS-DAS kritis; dan (5) terbatasnya sarana-prasarana pendukung
penerapan teknologi usahatani konservasi.
Konservasi bertujuan untuk; (1) mencegah kerusakan tanah oleh erosi; (2)
memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan
produktivitas tanah agar dapat digunakan secara lestari. Konservasi tanah
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan konservasi air yang pada
prinsipnya adalah penggunaan air se-efisien mungkin, dan melakukan pengaturan
waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air
pada waktu musim kemarau. Sehingga setiap tindakan konservasi terhadap tanah
juga merupakan konservasi terhadap air.
Dalam usaha konservasi tanah dan air, ada tiga cara pendekatan yang
dapat dilakukan, yaitu (1) metode vegetatif; (2) metode mekanik; dan (3) metode
kimia. Tiap-tiap metode ini mempunyai kelebihan masing-masing. Dalam tulisan
ini, akan ditekankan pada metode vegetatif dan kimia, sedangkan metode mekanik
akan dibahas lebih khusus pada bangunan konservasi.
2.11.1. Metode Vegetatif Konservasi Tanah dan Air
Teknik konservasi tanah dan air dapat dilakukan secara vegetatif dalam
bentuk pengelolaan tanaman berupa pohon atau semak, baik tanaman tahunan
53
maupun tanaman setahun dan rumput-rumputan. Teknologi ini sering dipadukan
dengan tindakan konservasi tanah dan air secara pengelolaan (Sinukaban, 1989).
Pengelolaan tanah secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan
keberadaan tanah dan air karena memiliki sifat: (1) memelihara kestabilan struktur
tanah melalui sistem perakaran dengan memperbesar granulasi tanah, (2)
penutupan lahan oleh seresah dan tajuk mengurangi evaporasi, (3) disamping itu
dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan
porositas tanah, sehingga memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya
erosi. Fungsi lain daripada vegetasi berupa tanaman kehutanan yang tak kalah
pentingnya yaitu memiliki nilai ekonomi sehingga dapat menambah penghasilan
petani (Hamilton, 1997).
Metode vegetatif merupakan metode yang menggunakan tanaman dan
sisa-sisa tanaman yang bertujuan untuk: (1) melindungi tanah terhadap daya
perusak butir-butir hujan; (2) melindungi tanah terhadap daya perusak aliran air di
atas permukaan tanah; (3) menurunkan kecepatan aliran dengan meningkatkan
tahanan hidrolik pada saluran sehingga akan sangat mengurangi daya rusak dan
abrasi dari aliran. Jika kecepatan aliran dapat dikurangi, maka sedimen dapat
diendapkan; dan (3) memperbaiki kapasitas infiltrasi dan penahanan air yang
langsung mempengaruhi besarnya aliran permukaan.
Teknik pengelolaan tanah dan tanaman yang termasuk dalam metode
vegetatif ini adalah: (a) Penanaman tanaman penutup tanah, (b) Penanaman dalam
strip (strip cropping), (c) Pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau atau
tanaman penutup tanah (Conservation rotation), (d) Pemanfaatan sisa tanaman
(crop residue management), dan (e) Tanaman lorong (Alley cropping) .
Tanaman Penutup Tanah
Tanaman penutup tanah adalah tanaman yang khusus ditanam untuk
mengurangi daya rusak butir hujan dan aliran permukaan sehingga dapat
melindungi tanah dari ancaman kerusakan karena erosi, menambah bahan organik
tanah dan melakukan transpirasi yang mengurangi kadar air tanah yang
berlebihan.
Tanaman yang digunakan sebagai penutup tanah harus memenuhi syaratsyarat: (1) mudah diperbanyak, terutama dengan biji; (2) mempunyai sistem
54
perakaran yang tidak menimbulkan kompetisi yang berlebihan terhadap tanaman
pokok tetapi malah mampu menekan pertumbuhan gulma; (3) pertumbuhannya
cepat dan banyak menghasilkan daun dan toleran terhadap pemangkasan; (4)
tahan terhadap serangan hama dan penyakit dan kekeringan; (5) sesuai dengan
fungsinya untuk reklamasi tanah.
Tanaman penutup tanah yang paling banyak digunakan adalah dari jenis
Leguminosa, karena dapat menambah nitrogen tanah dan perakarannya tidak
menyebabkan kompetisi yang berat terhadap tanaman pokok. Secara umum,
tanaman penutup tanah dapat digolongkan dalam:
1) Tanaman penutup tanah rendah; jenis rumput-rumputan dan tanaman
merambat atau menjalar. Jenis ini dapat digunakan pada pola tanam rapat,
barisan dan juga untuk penggunaan perlindungan khusus seperti tebing, talud
terras, dinding saluran draenase dan irigasi.
2) Tanaman penutup tanah sedang; berupa semak. Umumnya digunakan pada
pola pertanaman teratur diantara barisan tanaman utama, barisan pagar,
sebagai sumber mulsa atau pupuk hijau diluar tanaman utama.
3) Tanaman penutup tanah tinggi; jenis pohon-pohonan. Tanaman ini digunakan
pada pertanaman teratur diantara barisan tanaman utama dan di dalam barisan,
digunakan untuk reboisasi dan sebagai cover tebing.
4) Tumbuhan rendah alami. Umumnya diterapkan pada perkebunan terutama
perkebunan karet.
5) Tanaman atau rumput pengganggu yang tidak disukai.
Strip Cropping
Merupakan suatu sistem bertanam dimana beberapa jenis tanaman ditanam
dalam strip-strip yang berselang-seling pada sebidang tanah dan disusun
memotong lereng atau menurut garis kontur. Ada tiga tipe strip cropping, yaitu:
(a) strip cropping menurut kontur dengan urutan pergiliran tanaman yang tepat;
(b) strip cropping lapangan yang terdiri atas strip tanaman yang lebarnya seragam
yang disusun melintang arah lereng; (c) strip cropping berpenyangga yang terdiri
atas strip rumput atau leguminosa yang dibuat di antara strip tanaman pokok
menurut kontur.
55
Strip cropping umumnya diterapkan pada tanah-tanah dengan klasifikasi
kemampuan tanah kelas II-IV, dengan kelerengan 6-15%. Lebar strip antara 20-50
m tergantung dari curah hujan, sifat tanah, topografi dan jenis tanaman yang
digunakan.
Pergiliran Tanaman
Pergiliran tanaman adalah sistem penanaman berbagai tanaman secara
bergilir dalam urutan waktu tertentu pada satu bidang tanah. Pergiliran merupakan
suatu cara yang penting dalam sistem konservasi tanah dan mempunyai peranan
mengurangi atau menghindarkan terhadap bahaya erosi dan penting artinya dalam
meningkatkan produksi tanaman. Pada tanah-tanah berlereng, pergiliran sangat
efektif untuk pencegahan erosi. Pergiliran tanaman dapat memperbaiki sifat fisika
dan kesuburan tanah jika sisa atau potongan tanaman gilir dijadikan mulsa atau
dibenamkan, sehingga mempertinggi kemampuan tanah menahan dan menyerap
air, mempertinggi stabilitas agregat dan kapasitas infiltrasi tanah
Pergiliran tanaman dengan menggilirkan antara tanaman pangan dan
tanaman penutup tanah/pupuk hijau adalah salah satu cara penting dalam
konservasi tanah. Pergiliran tanaman mempengaruhi lamanya pergantian
penutupan tanah oleh tajuk tanaman. Selain berfungsi sebagai pencegahan erosi,
pergiliran tanaman memberikan keuntungan-keuntungan lain seperti:
1. Pemberantasan hama penyakit, menekan populasi hama dan penyakit
karena memutuskan si klus hidup hama dan penyakit atau mengurangi
sumber makanan dan tempat hidupnya
2.
Pemberantasan gulma, penanaman satu jenis tanaman tertentu terus
menerus akan meningkatkan pertumbuhan jenis-jenis gulma tertentu
3. Mempertahankan dan memperbaiki sifat-sifat fisik dan kesuburan tanah,
jika sisa tanaman pergiliran dijadikan mulsa atau dibenamkan dalam
tanah akan mempertinggi kemampuan tanah menahan dan menyerap air,
mempertinggi stabilitas agregat dan kapasitas infiltrasi tanah dan
tanaman tersebut adalah tanaman leguminosa akan menambah
kandungan nitrogen tanah, dan akan memelihara keseimbangan unsur
hara karena absorpsi unsur dari kedalaman yang berbeda
56
Pemanfaatan sisa tanaman (Crop residue management)
Penggunaan sisa tanaman untuk konservasi tanah dapat dalam bentuk
mulsa atau pupuk hijau. Mulsa mengurangi erosi dengan cara meredam energi
hujan yang jatuh sehingga tidak merusak struktur tanah, mengurangi kecepatan
dan jumlah aliran permukaan dan mengurangi daya kuras aliran permukaan.
Mulsa sebagai sumber energi akan meningkatkan kegiatan biologi tanah dan
dalam proses perombakannya akan terbentuk senyawa-senyawa organik yang
penting dalam pembentukan struktur tanah.
Pengaruh mulsa selain mengurangi erosi juga mempengaruhi suhu tanah
dan aerasi. Suhu tanah maksimum pada kedalaman 5 cm turun 6-12oC, dan pada
kedalaman 10 cm turun 4-6oC, sedangkan suhu minimum rata-rata naik 1oC.
Dengan menurunnya suhu maksimum, maka kecepatan perombakan bahan
organik akan menurun, hal ini penting karena menurunnya kadar bahan organik
dapat mempengaruhi laju erosi.
Pemanfaatan sisa-sisa panen sebagai sebagai pupuk juga telah dilakukan
sebagian petani di beberapa daerah sejak jaman dulu.
Sisa-sisa panen yang
dibiarkan atau ditinggalkan di lahan pertanian mempunyai banyak fungsi dalam
menunjang usaha tani, diantaranya adalah sebagai mulsa yang dapat
menghindarkan
pengrusakan
permukaan
tanah
oleh
energi
hujan,
mempertahankan kelembaban tanah mengurangi penguapan, sisa panen lambat
laun akan terdekomposisi terjadi mineralisasi yaitu perubahan bentuk organik
menjadi anorganik sehingga unsur hara yang dilepaskan akan menjadi tersedia
untuk tanaman, disamping itu asam-asam organik yang dihasilkan dapat berfungsi
sebagai bahan pembenah tanah atau soil conditioner.
Tanaman Lorong (Alley cropping)
Tanaman lorong adalah suatu bentuk usahatani agroforestry dimana tanaman
semusim atau pangan ditanam di antara lorong-lorong yang ada di antara barisan
pagar tanaman pohonan. Pertanaman lorong sangat tepat dilakukan baik pada
lahan usaha tani yang datar maupun berlereng. Pada lahan berlereng, barisan
tanaman harus ditanam menurut kontur agar dapat mencegah erosi.
Efektivitas tanaman lorong sangat ditentukan oleh jenis tanaman yang
digunakan, jarak tanam dan kemiringan. Tanaman lorong mampu menahan
57
kehilangan tanah sampai dengan 93% dan kehilangan air hingga 83%
dibandingkan dengan pertanaman semusim. Selain itu efektivitasnya didukung
karena terbentuknya terras alami yang mencapai ketinggian 25-30 cm pada dasar
tanaman pagar.
2.11.2. Metode Mekanik Konservasi Tanah dan Air
Metode mekanik adalah semua perlakuan fissik mekanis yang diberikan
terhadap tanah dan pembuatan pembangunan untuk mengurangi aliran permukaan
dan erosi, dan meningkatkan kemampuan penggunaan tanah. (Arsyad, 2000).
Metode mekanik dalam konservasi tanah berfungsi; (a) memperlambat
aliran permukaan, (b) menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengaaan
kekuatan yang tidak merusak, (c) memperbaiki atau memperbesar infiltrasi air ke
dalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah, dan (d) penyedian air bagi tanaman.
Termasuk ke dalam metode mekanik adalah; (1) pengolahan tanah (tillage), (2)
pengolahan tanah menurut kontur (countur cultivation), (3) guludan dan guludan
bersaluran menurut kontur, (4) terras, (5) dam penghambat (chek dam), waaduk,
(balong) (farm pond), rorak, tanggul, dan (6) perbaikan drainase dan irigasi
Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah merupakan kebudayaan yang tertua dalam pertanian dan
tetap diperlukan dalam pertanian modern. Pengolahan tanah bagaimana yang tepat
untuk kelestarian sumberdaya tanah? (Arsyad, 2000) mendefinisikan pengolahan
tanah sebagai setiap manipulasi mekanik terhadap tanah yang diperlukan untuk
menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Tujuan
pengolahan tanah adalah untuk menyiapkan tempat pesemaian, tempat bertanam,
menciptakan daerah perakaran yang baik, membenamkan sisa tanaman, dan
memberantas gulma.
Soepardi (1979) mengatakan mengolah tanah adalah untuk menciptakan
sifat olah yang baik, dan sifat ini mencerminkan keadaan fisik tanah yang sesuai
untuk pertumbuhan tanaman. Cara pengolahan tanah sangat mempengaruhi
struktur tanah alami yang baik yang terbentuk karena penetrasi akar atau fauna
tauna, apabila pengolahan tanah terlalu intensif maka struktur tanah akan rusak.
Kebiasaan petani yang mengolah tanah secara berlebihan dimana tanah diolah
58
sampai bersih permukaannya merupakan salah satu contoh pengolahan yang
keliru karena kondisi seperti ini mengakibatkan surface sealing yaitu butir tanah
terdispersi oleh butir hujan, menyumbat pori-pori tanah sehingga terbentuk
surface crusting. Untuk mengatasi pengaruh buruk pengolahan tanah, maka
dianjurkan beberapa cara pengolahan tanah konservasi yang dapat memperkecil
terjadinya erosi. Cara yang dimaksud adalah:
1. Tanpa olah tanah (TOT), tanah yang akan ditanami tidak diolah dan sisasisa tanaman sebelumnya dibiarkan tersebar di permukaan, yang akan
melindungi tanah dari ancaman erosi selama masa yang sangat rawan
yaitu pada saat pertumbuhan awal tanaman. Penanaman dilakukan
dengan tugal. Gulma diberantas dengan menggunakan herbisida.
2. Pengolahan tanah minimal, tidak semua permukaan tanah diolah, hanya
barisan tanaman saja yang diolah dan sebagian sisa-sisa tanaman
dibiarkan pada permukaan tanah.
3. Pengolahan tanah menurut kontur, pengolahan tanah dilakukan
memotong lereng sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah dan alur
yang menurut kontur atau melintang lereng. Pengolahan tanah menurut
kontur akan lebih efektif jika diikuti dengan penanaman menurut kontur
juga
yang
memungkinkan
penyerapan
air
dan
menghindarkan
pengangkutan tanah.
Sebagian dari praktek pengolahan tanah seperti ini sebenarnya sudah ada
sejak dulu dan telah dilakukan oleh petani di beberapa daerah di Indonesia. Petani
mungkin menganggapnya sebagai tradisi nenek moyangnya yang perlu
dipertahankan. Walaupun saat itu belum ada penyuluh pertanian ataupun literatur
tentang konservasi tanah, tetapi para petani telah menerapkan cara bertani yang
berasaskan konservasi tanah. Mengolah tanah secara konservasi telah dilakukan
oleh orang jaman dulu dengan tujuan untuk mendapatkan hasil dari usahataninya
guna memenuhi kebutuhan hidup jangka pendek, dan mungkin belum terpikirkan
oleh mereka untuk melestarikan sumberdaya tanah.
Pengolahan Tanah Menurut Kontur
Pada pengolahan tanah menurut kontur maka pembajakan dilakukan
meurut kontur atau memotong lorong, sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan
59
tanah dan alur yang menurut kontur atau melintang lereng. Pengolahan tanah
meurut kontur akan lebih efektif jika diikuti dengan penanaman menurut kontur
juga, yaitu barisan tananaman dibuat sejalan dengan arah garis kontur.
Keuntungan utama pengolahan menurut kontur adalah terbentuknya
penghambat aliran permukaan yang memungkinkan penyerapan air dan
menghindarkan pengangkutan tanah. Oleh karena itu, terutama di daerah beriklim
kering, pengolahan menurut kontur juga sangat efektif untuk konservasi air.
Guludan dan Guludan Bersaluran
Guludan adalah tumpukan tanah yang dibuat memanjang menurut arah
garis kontur atau memotong arah lereng. Tinggi tumpukan tanah dibuat sekitar
25-30 cm dengan lebar sekitar 25 sampai 30 cm. Jarak antara guludan
tergantungpada kecuraman lereng, kepekaan erosi tanah dan erosivitas hujan.
Untuk tanah yang kepekaan erosinya rendah guludan dapat diterapkan pada tanah
dengan kemiringan sampai 6 persen.
Guludan bersaluran juga dibuat memanjang menurut arah garis kontur
atau memotong lereng. Pada guludan yang bersaluran, di sebelah atas lereng dari
guludan dibuat saluran yang memanjang mengikuti guludan. Ukuran guludan
bersaluran sama seperti guludan biasa, sedangkan kedalaman saluran adalah 25
sampai 30 cm, lebar permukaan 30 cm. Pada metode ini guludan diperkuat dengan
menanam rumput, perdu atau pohonan yang tidak begitu tinggi dan rindang.
Guludan bersaluran dapat dibuat pada tanah dengan lereng sampai 12 persen.
Terras
Terras berfungsi mengurangi panjang lereng dan menahan air sehingga
mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan, dan memungkinkan
penyerapan air oleh tanah. Dengan demikian maka erosi berkurang. Terdapat dua
tipe terras yaitu (a) terras tangga atau terras bangku (bencch terrace) dan (b) terras
berdasar lebar (broadbase terrace).
Terras bangku atau tangga. Terras tangga dibuat dengan jalan memotong
lereng dan meratakan tanah di bagian bawah sehingga terjadi suatu deretan bentuk
tangga atau bangku. Terras bangku dapat dibuat pada tanah berlereng dua persen
sampai jauh lebih lebar. Terras tangga dapat datar atau miring ke dalam . terras
60
bangku
berlereng
ke
dalam
dipergunakan
untuk
tanah-tanah
yang
permealibilitasnya rendah, dengan tujuan agar air tidak segera terinfiltrasi tidak
mengalir keluar melalui talud.
Terras berdasar lebar. Terras berdasar lebar merupakan suatu saluran
yang permukaannya lebar atau galengan yang dibuat memotong lereng pada
tanah-tanah yang berombak dan bergelombang. Berdasarkan fungsi utamanya
terras berdasar lebar ada dua macam yaitu terras berlereng dan terras datar. Terras
berdasar lebar dapat di gunakan pada tanah berlereng antara 2 sampai 8 persen
yaitu tanah-tanah klas II dan III.
Waduk, Dam Penghambat, Rorak dan Tanggul
Konservasi tanah, seperti telah dikemukakan sebelumnya, juga tergantung
pada pengendalian air yang mengalir secara berlebihan di atas permukaan tanah.
Dam penghambat (check dam), balong/waduk, rorak dan tanggul merupakan
bangunan-bangunan yang dapat dipergunakan sebagai metode mekanik dalam
konservasi tanah dan air. Bangunan tersebut selain mengurangi jumlah dan
kecepatan aliran permukaan juga memaksa air masuk kedalam tanah yang kan
menambah atau mengganti aair tanah dan air bawah tanah. Air yang tertampung
dalam waduk atau balong dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti irigasi,
ternak, perikanan dan lebutuhan manusia sendiri.
Drainase dan Irigasi
Pembangunan fasilitas-fasilitas drainase dan irigasi adalah usaha-usaha
pengaturan air sehingga tanah lebih dapat memenuhi kebutuhan manusia. Usahausaha ini sesuai dangan dasar konservasi tanah
yaitu memperlakukan setiap
bidang tanah sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat
dipergunakan dalam produksi dan tidak terjadi kerusakan tanah. Jones, (Arsyad,
2000).
Drainase berarti keadaan dan cara keluarnya air lebih (excess water). Air
lebih adalah air yang tidak dapat dipegang atau ditahan oleh butir-butir tanah dan
memenuhi atau menjenuhi pori-pori tanah. Dalam arti keadaan air lebih, drainase
menunjukkan frekuensi dan lamanya tanah bebas dari air lebih, dan
mencerminkan kecepatan air lebih keluar dari tanah. Sebagai contoh, pada tanah
61
berdrainasebaik, air lebih segera keluar dari tanah tetapi tidak terlalu cepat, pada
tanah berdrainase buruk air lebih tidak segera keluar akan tetapi tetap menjenuhi
tanah pada daerah perakaran untuk waktu yang lama sehingga akar tidak dapat
mengambil oksigen, sedangkan pada tanah berdrainase berlebihan (excessively
drained) semua air keluar dari tanah dengan cepat sehingga tanaman menderita
kekurangan air.
Irigasi berarti pemberian air kepada tanah untuk memenuhi kebutuhan air
bagi pertumbuhan tanaman. Pekerjaan irigasi meliputi penampungan dan
pengambilan air dari sumbernya, pengaliran air melaluio saluran atau pipa ke
tanah, dan pembuangan air yang berlebihan. Tujuan irigasi adalah memberikan
tambahan air terhadap air hujan, dan memberikan air kepada tanaman dalam
jumlah yang cukup dan pada waktu diperlukan. Selain dari kegunaan untuk
memenuhi kebutuhan air tanaman, air irigasi mempunyai kegunaan lain, seprti; (a)
mempermudah pengolahan tanah, (b) mengatur suhu tanah dan iklim mikro, (c)
membersihkan tanah dari kadar garam atau asam yang terlalu tinggi, (d)
membersihkan kotoran-kotoran dari selokan(sanitasi), (e) menggenangi tanah
untuk memberantas tumbuhan pengganggu dan hama/penyakit tanaman. (Arsyad,
2000).
2.11.3. Metode Kimia Konservasi Tanah dan Air
Metode kimia dalam konservasi tanah dan air adalah dengan penggunaan
preparat kimia sintetis atau alami. Awal tahun 1950 telah dikembangkan preparat
kimia yang digunakan untuk pembentukan struktur tanah yang stabil. Preparat
kimia tersebut secara umum disebut Soil Conditioner. Sarief (1985) dalam Suripin
(2004) mengemukakan bahwa usaha pemantapan tanah yang bertujuan untuk sifat
fisik tanah dengan menggunakan preparat-preparat kimia baik secara buatan atau
alami, telah dikemukakan pertama kali pada simposium di Philadelpia pada tahun
1951. Pada saat itu diperkenalkan krilium sebagai bahan pemantap tanah pertama
oleh perusahaan Amerika Serikat. Krilium adalah senyawa garam natrium dari
polycrylonitrile. Salah satu usaha pertama dalam penggunaan senyawa kimia
tersebut dilakukan oleh Bavel pada tahun 1950 yang menyatakan bahwa senyawa
organik tertentu dapat memperbaiki stabilitas agregat terhadap pengaruh merusak
air hujan secara efektif, akan tetapi penggunaannya terlalu mahal bila digunakan
62
secara luas (Suripin, 2004). Bahan yang digunakan adalah campuran dimethyl
dichlorosilane yang dinamai MSC. Bahan kimia ini merupakan cairan yang
mudah menguap, dimana gas yang terbentuk bercampur dengan air tanah.
Senyawa yang terbentuk menyebabkan agregat tanah menjadi stabil.
PAM direaksikan dengan air dengan perbandingan volume tertentu,
dicampurkan dengan tanah dengan cara menyemprotkan emulsi tersebut ke
permukaan tanah yang kemudian diratakan dengan cangkul dan digaru. Pengaruh
soil conditioner ini dalam perbaikan struktur tanah dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain: berat molekul PAM, lengas tanah dan konsentrasi emulsi.
Soil conditioner yang paling murah adalah Emulsi bitumen. Reaksi bahan
ini dipengaruhi oleh modus bahan aktif bergerak ke arah titik pertemuan antara
butir-butir liat. Emulsi bitumen yang belum dirombak menyebabkan tanah bersifat
lebih hidrophobik, yang sangat bermanfaat bagi pembentukan agregat tanah yang
mudah mengeras dan mengurangi penguapan air jika dicampurkan pada
kedalaman 5-8 cm dari permukaan tanah. Untuk membuat tanah menjadi lebih
hidrophilik maka bagian aktif (karboksil) harus diberikan asam kuat melalui
sulfonasi atau penggunaan pengemulsi yang mengandung asam sulfonik sehingga
gugus aktif mengandung –HSO3-.
2.12. Pembangunan Berkelanjutan
Menurut komisi Brundtland (Soerjani dkk, 2006) mendefinisikan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah ”pembangunan
yang mencukupi kebutuhan generasi sekarang tanpa berkompromi (mengurangi)
kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi aspirasi dan mencukupi
kebutuhan mereka sendiri” di samping itu kemudian muncul berbagai batasan
tentang pembangunan yang terdukung dan berkelanjutan itu. Word Consevation
Society (WCS), IUCN bersama UNEP dan WWP yang antara lain menekankan
makna pembangunan pada perbaikan social-ekonomi, pemanfaatan secara lestari
sumberdaya alam serta perhatian pada daya dukung dan keanekaragamannya
dalam jangka panjang.
International Institute for Sustainable development (IISD) di Naitoba
(Kanada) pimpinan Dr. Arthur Hanson merumuskan: “Sustainable development
means conducting business in a way which meet the need of the enterprice and its
63
stakehorders today while protecting, sustaining, and enhanding the human and
natural resourses needed tomorrow” (Soerjani, 2006).
Selanjutnya pembangunan baru dikatakan sustainable apabila pemanfaatan
sumberdaya alam dilaksankan sehemat mungkin, seefisien dan seefektif mungkin.
Di samping itu perlu diupayakan nilai tambah sumberdaya alam itu melalui
rekayasa teknologi jasa, budaya dan seni. Andaikata kita memerlukan sumberdaya
alam sebesar 17-18%, kalau hal itu direkayasa dengan memberikan nilai tambah,
tabungan kita cukup besar, sehingga sisa yang dikonsumsi masih cukup untuk
merehabilitasi atau memulihkan sumber daya alam yang kita pergunakan.
Syahyuti (2006) meberikan makna secara umum tentang pembangunan
yang berkelanjutan
yaitu “upaya menciptakan suatu kondisi, berbagai
kemungkinan, dan peluang bagi tiap anggota atau kelompok masyarakat dari tiap
lapisan sosial, ekonomi dan budaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya
tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap alam”. Selanjutnya dikatakan
pembangunan berkelanjutan terdapat tiga aspek penting yang membangunnya
yaitu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pembangunan sosial yang
berkelanjutan dan pengelolaan kualitas lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Emil Salim (Syahyuti, 2006) memberikan definisi pembangunan
berkelanjutan adalah suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat
dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dalam pembangunan.
Pembangunan berkelanjutan menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia
untuk meningkatkan hidupnya di satu sisi, dengan pemeliharaan sumberdaya
alam dan ekosistem di sisi lainnya. Jadi pertumbuhan ekonomi tetap berjalan,
namun bersama-sama dengan proteksi terhadap kualitas lingkungan. Satu sama
lain harus saling bersinergi. Agar lingkungan tetap terjaga, maka manusia jangan
mengambil lebih dari apa yang dia berikan ke alam.
Selanjutnya Suripin (2004) mengemukakan bahwa konsep pembangunan
yang berkelanjutan menjadikan konservasi sumberdaya alam sebagai pusat
perhatian. Hampir semua dari kita setuju konsep dasar konservasi adalah ”Jangan
membuang-buang sumberdaya alam”.
64
2.13. Kerangka Berpikir dan Hipotesis
2.13.1. Kerangka Berpikir
Tanah dan air merupakan sumberdaya alam karunia Tuhan. Manusia
diberikan mandat untuk memeliharanya, bukan dengan tidak menjamahnya tetapi
mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam tersebut berdasarkan azas
kelestarian untuk mencapai kemakmuran yang dapat memenuhi kebutuhan
sekarang dan generasi yang akan datang. Hal ini sesuai dengan inti dari
pembangunan berkelanjutan, yang adalah isu pokok seluruh permasalahan
pembangunan, yaitu pembangunan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan
hidup, pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana, kelestarian produksi
terhadap konsumsi dan penanggulangan kemiskinan.
Sebagai suatu bangsa yang mendapat karunia, maka bangsa Indonesia
mempunyai kewajiban untuk memanfaatkan sumber daya alam berdasarkan asas
kelestarian untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, kesejahteraan
masyarakat dan negara. Disamping kesadaran masyarakat/petani untuk melakukan
konservasi tanah dan air, perlu adanya kaidah-kaidah konservasi tanah yang
diwujudkan dalam suatu kebijakan pemerintah yang secara operasional dapat
diterapkan di lapangan.
Apabila pertambahan penduduk dan peningkatan kebutuhan lahan tidak
diimbangi dengan pemanfaatan yang baik dan benar menurut kaidah-kaidah
konservasi tanah dan air, maka hal ini akan mengancam kehidupan manusia
untuk masa yang akan datang
Menurut School (Sahaka, 1998) mengemukakan bahwa pada umumnya
pembangunan Agraria itu di pandang sebagai tujuan utama dari perkembangan
pedesaan. Faktor-faktor yang penting yang berpengaruh menentukan dalam
realisasi tujuan itu adalah: (a) Perbandingan manusia dengan tanah, luas lahan
yang tersedia bagi seorang petani untuk keperluan pertanian, (b) Kepadatan dan
pertambahan penduduk, (c) Perkembangan industri dan urbanisai, (d) Sistem
kebudayaan yang cocok, (e). Struktur sosial yang cocok, (f) Struktur agraria yang
baik, (g) Penggunaan metode dan teknik yang baru, jenis tanaman baru, pendek
kata penerapan gagasan baru (inovasi baru), (h) Adanya fasilitas informasi dan
65
komunikasi yang baik, (i) Faktor infrastruktur agraria yang baik, jalan, pasar, dan
sistem kredit.
Konservasi sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) adalah pengelolaan
sumber daya alam yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk
menjamin kesinambungan persediaannya, dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas, nilai dan keanekaragamannya. Hal ini dimaksudkan untuk
terwujudnya kelestarian sumber daya alam serta kesinambungan ekosistemnya
sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan petani dan
kehidupan manusia.
Dalam kontek pembangunan berkelanjutan maka upaya konservasi tanah
dan air perlu dimaknai dengan pemanfaatan sumber daya alam, tanah dan air yang
bertanggung jawab dengan prinsip akan menjamin persediaan sumber daya alam
tersebut agar tidak akan habis.
Menurut Arifin (2001) bahwa umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota
keluarga, tingkat pendapatan di luar usahatani, jarak kejalan (pasar), faktor
kelembagaan, status kepemilikkan lahan, keanggotaan dalam suatu organisasi dan
akses dalam bantuan teknis dapat mempengaruhi petani dalam melakukan
konservasi tanah dan air.
Selanjutnya ada beberapa yang dapat mempengaruhi petani dalam
melakukan konservasi tanah dan air yang bersifat internal/karakteristik petani
yaitu umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, kepemilikan media
massa, keikutsertaan dalam kelompok, pendapatan, luas lahan serta status
kepemilikan lahan dan
faktor lingkungan yang bersifat eksternal yang dapat
mempengaruhi petani dalam melakukan konservasi tanah dan air yaitu faktor pisik
dan faktor sosial diantaranya: Tersedianya teknologi usahatani konservasi,
tersedianya permodalan usahatani konservasi, lembaga sosial, adanya organisasi
usahatani konservasi dan nilai sosial budaya. yang tidak kalah pentingnya adanya
interaksi dan intensitas komunikasi yang efektif antara pelaku pembangunan
(stakeholder) yang bermakna konservasi seperti intensitas komunikasi sesama
petani, intensitas komunikasi dengan pengelola taman nasional, intensitas
komunikasi dengan media massa dan intensitas penyuluhan serta yang terakhir
adalah perilaku petani itu sendiri yang terdiri dari aspek pengetahuan, sikap dan
66
tindakan yang memadai sehingga usahatani yang bermakna konservasi tanah dan
air dapat dipahami yang selanjutnya dapat diterapkan dalam usahataninya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka berpikir penelitian ini secara
skematis disajikan pada Gambar 1.
Karakteristik Petani
(X1
)
(X1
.1) Umur
(X1
.2) Tingkat Pendidikan
(X1
.3) Pengalaman
berusahatani
(X1
.4) kepemilikkan
Media massa
(X1
.5) Keikutsertaan
dalam kelompok
(X1
.6) Pendapatan
Intensitas Komunikasi
(Y1
)
(Y
(X1
.7) Luas lahan garapan
(X1
.8) Status kepemilikan
lahan
(Y
(Y
Faktor Lingkungan (X2
)
(X
(X
(X
(X
(X
2.1) Teknologi
Usahatani
konservasi
) Permodalan
2.2
(Y
1.1)
Intensitas
komunikasi dengan
sesama petani
) Intensitas
1.2
komunikasi dengan
pengelola TNGP
) Intensitas
1.3
komunikasi dengan
media massa/
keterpaan media
massa
) Intensitas
Perilaku Petani Dalam
Melakukan Konservasi
Tanah dan Air Secara
Berkelanjutan (Y2
)
(Y
2.1)
Pengetahuan
(Y ) Sikap
2.2
(Y
Tindakan
1.4
Penyuluhan
Usahatani
konservasi
) Lembaga Sosial
2.3
2.4)
2.3)
Organisasi
Usahatani
konservasi
) Nilai sosial budaya
2.5
Gambar 1. Model kerangka berpikir penelitian Intensitas komunikasi petani di
daerah penyangga kawasan taman nasional dalam melakukan
konservasi tanah dan air secara berkelanjutan di daerah penyangga
kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
67
2.13.2. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka pemikiran, maka hipotesis
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Intensitas komunikasi petani (Y1
) daerah penyangga kawasan taman
nasional secara signifikan dipengaruhi oleh karakteristik petani (X1
) dan
faktor lingkungan (X2
). Adapun model konseptual hipotesis pertama
disajikan pada Gambar 2.
Karakteristik
Petani
(X1
)
Intensitas
Komunikasi
(Y1
)
Faktor
Lingkungan
(X2
)
Gambar 2. Model konseptual hipotesis kedua
2. Faktor karakteristik petani (X1
) daerah penyangga kawasan taman
nasional dan faktor lingkungan (X2
) secara signifikan mempengaruhi
perilaku petani dalam melakukan konservasi tanah dan air secara
berkelanjutan. Adapun model konseptual hipotesis kedua disajikan pada
Gambar 3.
Karakteristik
Petani
(X1
)
Faktor
Lingkungan
(X2
)
Perilaku
Petani
(Y2
)
Gambar 3. Model konseptual hipotesis pertama
68
3. Perilaku petani daerah penyangga kawasan Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango (TNGP) dalam melakukan konservasi tanah dan air secara
berkelanjutan (Y2
) secara signifikan dipengaruhi oleh intensitas
komunikasi (Y1
). Adapun model konseptual hipotesis ketiga disajikan
pada Gambar 4.
Intensitas
Komunikasi
(Y1
)
Perilaku
Petani
(Y2
)
Gambar 4 Model konseptual hipotesis ketiga
Download