perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI Pada Bab II ini membahas tentang tinjauan pustaka, penelitan yang relevan, dan kerangka pikir. Tinjauan pustaka, diuraikan kajian teori sosiolinguistik, wacana, konteks, peristiwa tutur, eufemisme, dan disfemisme. Kajian eufemisme dan disfemisme di dalamnya mencakup bentuk, tipe, referensi serta makna dan fungsi penggunaan bahasa. Penelitian yang relevan berisi tentang penelitian-penelitian yang pernah ada, yaitu yang berhubungan dengan eufemisme dan disfemisme. Dalam kerangka pikir akan diuraikan kerangka pikir penelitian ini. A. Tinjauan Pustaka 1. Sosiolinguistik Eufemisme dan disfemisme pada penelitian ini adalah merupakan jenis penelitian sosiolinguistik, karena yang diteliti yaitu penggunaan bahasa atau konteks bahasa yang digunakan di dalam sebuah masyarakat budaya dalam situasi tertentu. Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji hubungan bahasa dengan masyarakat. Menurut Wardhaugh dan Holmes (dalam Sumarsono, 2004:2) sosiolinguistik adalah cabang ilmu bahasa yang berusaha menerangkan korelasi antara perwujudan struktur atau elemen bahasa dengan faktor-faktor sosiokultural penuturnya. Halliday (dalam Sumarsono, 2004:2) menyebutkan sosiolinguistik sebagai linguistik institusional, yaitu berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-orang yang memakai bahasa itu. Kita bayangkan perilaku manusia pemakai bahasa itu tentu mempunyai berbagai aspek, seperti jumlah, sikap, adat istiadat, dan budayanya. Sedangkan Fishman (dalam Sumarsono & Pranata, 2004:2) sosiolinguistik menyoroti keseluruhan masalah yang berhubungan dengan organisasi sosial perilaku bahasa, tidak hanya mencakup pemakaian bahasa saja, tetapi juga sikap-sikap bahasa, perilaku bahasa dan pemakai bahasa. Tambahan pula, Chaer dan Agustina (2004:2) menyatakan sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam masyarakat. Sosiolinguistik erat hubungannya dengan commit to user 12 13 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id cara-cara masyarakat pengguna bahasa dalam interaksi sosialnya sehari-hari seperti cara mengungkapkan sesuatu dalam situasi tertentu atau pada kelompok tertentu. Penggunaan bahasa itu dapat ditentukan oleh faktor-faktor seperti faktor sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, faktor siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan mengenai apa. Bahasa dilihat dari dimensi sosiolinguistik adalah sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Pemakaian bahasa adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi di dalam situasi-situasi yang kongkret. Ini berarti pendekatan sosiolinguistik itu mempelajari bahasa dalam konteks sosiokultural serta situasi pemakainya (Suwito, 1982:5). Wijana dan Rohmadi (2006:7) juga mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang ilmu linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa dalam masyarakat. Hal ini disebabkan di dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu akan tetapi sebagai masyarakat sosial. Berbeda dengan linguistik yang mempelajari struktur bahasa secara mandiri atau terpisah dari konteksnya, sosiolinguistik meneliti bahasa dalam posisinya di dalam konteks sosial dan konteks situasional (Biber & Finegan, 1994:v). Dalam pandangan sosiolinguistik, sebagai gejala sosial bahasa dan pemakaiannya tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik dan situasional, yang oleh Hymes (dalam Fishman, 1975:2) dirumuskan Who speaks, what language, to whom and when. Dengan kata lain, studi bahasa dalam sosiolinguistik akan menghasilkan deskripsi bahasa yang memperhatikan fungsinya sebagai alat komunikasi dalam kelompok sosial, sehingga bahasa selalu kontekstual. Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik sangat erat hubungannya dengan penggunaan bahasa dalam kehidupan masyarakat sebagai alat komunikasi. Bahasa juga berperan penting dalam perkembangan budaya suatu kelompok masyarakat. Pemakaian bahasa tidak bisa dipisahkan dengan konteksnya yang ditentukan oleh faktor-faktor di luar bahasa itu sendiri, seperti faktor sosial, pendidikan, umur, tingkat ekonomi, faktor siapa yang berbicara, kepada siapa berbicara, mengenai apa, dan dalam situasi apa. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 14 digilib.uns.ac.id 2. Wacana Menurut Wijana (2009:70) menyatakan wacana adalah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peritiwa komunikasi. Peristiwa komunikasi yang dilakukan oleh manusia dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, secara tertulis dan secara lisan. Dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan bentuk pengungkapan ide baik secara lisan maupun tertulis yang berwujud kalimat, paragraf, atau beberapa paragraf yang tidak terbatas jumlahnya. Foucault (dalam Eriyanto, 2001:65) mendefinisikan bahwa wacana bukan hanya merupakan serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi merupakan sesuatu yang memproduksi hal lainnya, yaitu gagasan, konsep atau efek. Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu. Darma (2009:3) menyimpulkan bahwa wacana merupakan rangkaian ujaran atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu kesatuan koheren, yang dibentuk oleh unsur-unsur segmental dalam sebuah wacana yang paling besar. Unsur nonsegmental dalam sebuah wacana pada hakikatnya berhubungan dengan situasi, waktu, gambaran, tujuan, makna, intonasi, dan tekanan dalam pemakaian bahasa, serta rasa bahasa yang sering disebut dengan istilah konteks. Semua itu berada dalam satu rangkaian ujar maupun tindak tutur. 3. Konteks Konteks dalam pandangan sosiolinguistik adalah lingkungan nonlinguistik dari ujaran yang merupakan alat untuk merinci ciri-ciri situasi yang diperlukan untuk memahami ujaran tersebut. Suatu ujaran yang sama dapat bermakna lain dalam situasi yang berbeda. Kata ‘bunga’ dalam konteks yang berbeda dapat bermakna lain, misalnya bunga bank dengan bunga desa. Bunga bank adalah sejumlah uang sebagai jasa simpanan atau pinjaman, sedangkan bunga desa adalah gadis tercantik di sebuah desa. Jadi konteks di sini dimaknai dengan hubungan antara faktor bahasa dengan faktor di luar bahasa itu sendiri. Konteks situasi adalah lingkungan langsung tempat teks itu berfungsi. Dalam pemakaian bahasa ada keterkaitan yang erat antara teks dengan konteks situasi. Penutur dalam berkomunikasi selalu melakukancommit perkiraan-perkiraan atau dugaan-dugaan akan to user 15 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id makna sesuai dengan konteks pembicaraan yang sedang dilakukan. Haliday dan Hasan (1994:4) memberi batasan tentang teks sebagai berikut; teks adalah bahasa yang berfungsi, yaitu bahasa yang melakukan tugas tertentu dalam konteks situasi. Teks dapat berwujud tuturan atau tulisan-tulisan yang mempunyai kesatuan makna. Maknamakna itu dikodekan dalam kata-kata atau kalimat untuk dikomunikasikan. Sebagai sesuatu yang mandiri, teks itu pada dasarnya adalah satuan makna. Teks tidak dapat diberi batasan seperti sejenis kalimat, melainkan lebih besar karena teks adalah suatu bentuk pertukaran makna yang bersifat sosial, dan bentuk teks yang paling dasar adalah percakapan, suatu interaksi antara pembicara dengan pendengar. Percakapan merupakan jenis teks tempat orang menggali secara optimal sumber-sumber bahasa yang mereka miliki; tempat mereka memunculkan hal-hal baru dan tempat terjadinya perubahanperubahan sistem. Perubahan dan perkembangan dalam bahasa dapat ditemukan dalam teks-teks yang alami. Konteks percakapan sebagai salah satu jenis teks yang merupakan suatu proses pertukaran makna antarmanusia. Keberhasilan komunikasi ditentukan oleh kemampuan penutur untuk saling memperkirakan secara tepat makna yang akan muncul dalam sebuah pemakaian bahasa. Kemampuan mempraktikan itu sangat penting, sebab tanpa kemampuan itu, proses keseluruhannya menjadi tidak jelas jika pendengar tidak menyertakan perkiraan makna yang tepat yang bersumber dari konteks situasi. Konteks situasi adalah lingkungan yang langsung terlibat dalam pembicaraan. Akan tetapi, masih ada latar belakang lebih luas yang harus diacu dalam menafsirkan teks yaitu konteks budaya. Orang melakukan hal tertentu pada kesempatan tertentu dan memberinya makna dan nilai: inilah yang dimaksud dengan kebudayaan (Haliday & Hasan, 1994:63). Oleh karena itu warga masyarakat dari kebudayaan tertentu akan membentuk konsep-konsep dan menemukan kecocokan dalam situasi atau kejadian tertentu (Ohoiwutun, 1997:83). Dengan demikian, teks adalah hasil lingkungannya, hasil suatu proses pemilihan makna yang terus-menerus, yang membentuk suatu sistem kebahasaan. Oleh karena itu, konteks situasi merupakan suatu hubungan yang sistematis antara lingkungan sosial di suatu pihak, dengan organisasi bahasa yang berfungsi di lain pihak (Haliday & Hasan, 1994:15-16). commit to user 16 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 4. Peristiwa Tutur Menurut Chaer dan Agustina (2004:47) yang dimaksud peristiwa tutur (speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan mitra tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Dalam pemakaian bahasanya, setiap penutur akan selalu memperhitungkan kepada siapa ia berbicara, di mana, mengenai masalah apa dan dalam suasana bagaimana. Dengan demikian maka tempat berbicara akan menentukan cara pemakaian bahasa penutur, demikian pula pokok pembicaraan dan situasi bicara akan memberikan warna terhadap pembicaraan yang sedang berlangsung. Ditambahkan oleh Suwito (1983:35) peristiwa tutur (speech event) adalah keseluruhan peristiwa pembicaraan dengan segala faktor serta peranan faktor-faktor itu dalam peristiwa pembicaraan. Faktor-faktor yang mengambil peranan dalam peristiwa tutur itu antara lain: penutur (speaker), lawan bicara (hear, receiver), pokok pembicaraan (topic), tempat bicara (setting), dan suasana bicara (situation scene). Sehubungan dengan konsep peristiwa tutur tersebut, Hymes (dalam Wardhaugh, 1988:238-240) mengemukakan adanya faktor-faktor yang menandai terjadinya peristiwa tutur itu dengan akronim SPEAKING, yang masing-masing bunyi merupakan fonem awal dari faktor-faktor yang dimaksud. a) Setting and Scene (S) Hal ini berhubungan dengan tempat, waktu, dan suasana pembicaraan. Apakah suatu ujaran itu dilakukan dalam situasi formal atau nonformal. b) Participants (P) Faktor ini mengacu pada peserta tutur atau pihak-pihak yang terlibat dalam pembicaraan, yaitu pembicara, lawan bicara, dan pendengar. c) End : purpose and goal (E) Faktor ini berkaitan dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pembicaraan. d) Act sequences (A) Faktor ini berhubungan dengan bentuk aktual dan isi tuturan, yaitu suatu peristiwa dimana seseorang pembicara sedang mempergunakan kesempatan bicaranya. commit to user 17 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id e) Key : tone or spirit of act (K) Faktor ini berhubungan dengan nada suara, cara menyampaikan, keadaan pembicara, dan faktor-faktor emosional lainnya yang mempengaruhi tuturan itu, seperti: santai, serius, senang, atau sedih. f) Instrumentalities (I) Faktor yang berkaitan dengan alat atau media dan bentuk bahasa yang digunakan untuk menyampaikan tuturan. Media yang digunakan itu dapat berwujud lisan, tulisan, atau telepon; sedangkan bentuk bahasa menyangkut ragam, variasi, atau register. g) Norms of interaction and interpretation (N) Faktor ini menyangkut norma-norma atau kaidah-kaidah kebahasaan yang harus ditaati oleh para anggotanya dan penafsiran terhadap tuturan dari lawan bicara. h) Genres (G) Faktor ini menyangkut bentuk-bentuk tuturan yang digunakan dalam berkomunikasi, seperti; puisi, peribahasa, khotbah, kuliah. 5. Eufemisme Menurut Wardhaugh (1986:237) secara etimologi, eufemisme berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti bagus dan phemeoo yang berarti berbicara. Jadi, eufemisme berarti berbicara dengan menggunakan perkataan yang baik atau halus, yang memberikan kesan baik. Wardhaugh mengemukakan juga bahwa eufemisme digunakan untuk menghindari penyebutan kata-kata atau ungkapan tertentu yang ditabukan di suatu masyarakat. Dalam Leech (1993:45) mendefinisikan eufemisme sebagai praktek penggunaan istilah yang lebih sopan untuk istilah-istilah yang kurang menyenangkan. Pendapat ini diperkuat oleh Webster (1997:222) yang menyatakan bahwa eufemisme adalah ekspresi yang lebih disepakati atau yang lebih halus digunakan untuk mengganti ekspresiekspresi yang kurang sopan. Hal senada juga diungkapkan Scott (1998:5) yang berpendapat bahwa eufemisme adalah kata-kata yang digunakan untuk memperhalus kenyataan atau apapun yang kita ungkapkan pada pembaca (penutur) atau pendengar (mitra tutur). commit to user 18 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Moeliono dan Apte (dalam Darma, 2009:33), menyatakan bahwa eufemisme merupakan ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan tidak mengenakkan, memalukan, atau menyakitkan hati. Ungkapan-ungkapan yang membuat lawan bicara marah, tersinggung, sakit hati, jengkel, dan sebagainya sangat penting untuk dihindari agar tidak mengganggu komunikasi. Begitu juga, Allan dan Burridge (1991:11) mendefinisikan eufemisme adalah penggunaan istilah untuk mengganti ekspresi yang kurang pantas untuk menghindari kemungkinan kehilangan muka, baik orang yang diajak bicara maupun pihak ketiga (yang mendengarkan). Dengan kata lain, eufemisme adalah beberapa alternatif yang digunakan untuk ekspresi-ekspresi yang kurang pantas, serta digunakan untuk menghindari kemungkinan kehilangan muka. Ekspresi-ekspresi yang kurang pantas dapat berupa kata-kata tabu, yang menakutkan, atau beberapa alasan yang memiliki konotasi negatif bagi penutur maupun mitra tutur serta orang lain yang mendengar. Dari penjelasan di atas maka disimpulkan bahwa kriteria untuk menentukan klasifikasi secara umum ungkapan eufemisme adalah bentuk alternatif (pilihan) yang dirasa lebih halus atau santun untuk mengganti ungkapan yang kurang berkenan untuk diucapkan dan digunakan untuk menghindari kehilangan muka (rasa malu). Berikut contoh eufemisme yang ditemukan dalam Talk Show Mata Najwa antara lain sebagai berikut: a) Nah, ini yang menurut pribadi saya sangat ganjil karena Kader Halid hanya merasa malu dan tidak menyebabkan luka secara fisik atau luka secara mental atau ada penghinaan yang secara dahsyatnya yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. (Mata Najwa, 25 Februari 2015) b) Pemirsa Ervani Emy Handayani adalah ibu rumah tangga biasa, istri dari petugas keamanan dari sebuah perusahaan di Yogyakarta. (Mata Najwa, 25 Februari 2015) c) Dan dalam mutasi itu karna mendadak dan tidak ada pembicaraan sebelumya, kami menolak mutasi tersebut sehingga terjadi PHK. d) Iya karna kami dari keluarga tidak mampu jadi kami juga apa, tidak bisa mencari kuasa hukumgitu. (Mata Najwa, 25 Februari 2015) e) Dia kurang ajar dibully sama banyak orang tapi begitu dia ditangkap menggunakan Undang – undang ITE, berbalik publik membela dia ini pelajaran menarik. (Mata Najwa, 25 Februari 2015) commit to user 19 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pada contoh (a), terdapat penggunaan eufemisme berupa luka secara mental untuk menggantikan istilah depresi, stress, atau gila. Penggunaan istilah tersebut merupakan bentuk satuan ekspresi eufemisme yang berupa klausa. Satuan ekspresi eufemisme berupa klausa digunakan untuk memperhalus makna dengan memperpanjang ungkapan dan tidak langsung disebut juga dengan sirkumlokusi. Adapun frase petugas keamanan pada contoh kalimat (b) menyatakan penggunaan eufemisme yang menggantikan istilah satpam. Frase petugas keamanan dalam kalimat tersebut digunakan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang lain karena dengan makna lebih halus agar tidak menyinggung perasaan orang tersebut karena menyebutkan secara langsung profesi pekerjaan seseorang. Kemudian kalimat (c) terdapat kata PHK yang dirasa lebih tepat digunakan dalam kalimat tersebut dan lebih menghormati orang lain. Menggunakan kata PHK untuk menggantikan istilah pecat karena bertujuan untuk menghindari ketersinggungan yang akan menimbulkan kesalahpahaman. Pada contoh (d) terdapat klausa keluarga tidak mampu yang merupakan menanda adanya penggunaan ungkapan eufemisme. Istilah keluarga tidak mampu digunakan untuk menggantikan kata miskin. Penggunaan istilah tersebut merupakan bentuk satuan ekspresi eufemisme yang berupa klausa. Selanjutnya contoh kalimat (e) terdapat istilah dibully. Istilah tersebut digunakan untuk menggantikan kata dihina yang merupakan bahasa pinjaman dari bahasa asing yang lebih halus maknanya. 6. Disfemisme Allan dan Burridge (1991:26), mendefinisikan disfemisme adalah ekspresiekspresi dengan konotasi yang menyakitkan bagi yang diajak bicara maupun yang mendengar, sehingga ungkapan tersebut biasanya diganti dengan ekspresi-ekspresi yang lebih netral atau lebih eufemisme. Disfemisme digunakan untuk membicarakan lawan, sesuatu yang diharapkan dapat menunjukkan ketidaksukaan, serta sesuatu yang diharapkan lebih menghina, meremehkan, atau merendahkan lawan. Allan dan Burridge (1991:31) juga menambahkan bahwa disfemisme adalah kata atau frase yang berkonotasi menyakitkan atau mengganggu baik orang yang diajak bicara dan/atau orang yang dibicarakan serta orang yangcommit mendengar ungkapan tersebut. to user 20 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Menurut Abdul Chaer, selain berfungsi untuk mengasarkan, disfemisme juga digunakan untuk memberi tekanan tetapi tanpa terasa kekasarannya (1994:145). Selain itu, Abdul Chaer menambahkan disfemisme sengaja dilakukan untuk mencapai efek pembicaraan menjadi tegas (1994:315). Hal ini secara otomatis akan mempengaruhi kelaziman pemakaian kata atau bentuk kebahasaan lainnya. Bentuk-bentuk kebahasaan tidak lazim dipakai dalam kesepakatan kelaziman di dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa disfemisme adalah bentuk penggunaan istilah yang tabu atau lebih kasar dengan maksud untuk memperkuat efek penghinaan yang ditujukan kepada pihak tertentu. Dapat dilihat kriteria untuk menentukan klasifikasi secara umum ungkapan disfemisme yaitu, ungkapan menghina, mengejek, merendahkan, atau memojokkan orang lain, maka dapat dikatakan pula bahwa disfemisme di sini muncul sebagai akibat dari rasa marah, tidak suka, tidak puas, atau kecewa yang dialami oleh penutur. Contoh disfemisme yang ditemukan dalam talk show Mata Najwa antara sebagai berikut: a) Banyak hal terjadi di media sosial, dari berbagi hingga mendatangkan sial. (Mata Najwa, 25 Februari 2015) b) Merasa dirugikan, Arsyad pun menuangkan dalam status BBM “No fear ancaman koruptor Nurdin Halid !! Jangan pilih adik koruptor !” (Mata Najwa, 25 Februari 2015) c) Iya maksud saya gitu pak, kita memproses kalau dasarnya adalah pemberhentian yang nongol. (Mata Najwa, 18 Februari 2015) d) Puluhan tahun dunia bahari diabaikan, nelayan kita seakan jadi pecundang di lautan. (Mata Najwa, 11 Februari 2015) e) Ada beberapa yang tokoh masyarakat, ada yang bekas pejabat, pebisnis juga. (Mata Najwa, 11 Februari 2015) Pada contoh (a), terdapat penggunaan kata sial yang menunjukkan adanya penggunaan disfemisme. Kata sial digunakan untuk menggantikan istilah kurang beruntung atau bernasib malang. Penggunaan istilah sial dalam kalimat tersebut mempunyai tujuan untuk mengungkapkan rasa kemarahan atau kekecewaan atas apa yang terjadi di masyarakat. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 21 digilib.uns.ac.id Pada contoh (b), terdapat penggunaan kata koruptor yang menunjukkan adanya disfemisme yang lebih kasar daripada ungkapan orang yang menggelapkan uang Negara. Dalam hal ini orang yang menggunakan istilah tersebut jelas untuk menunjukkan kemarahan atau kekecewaan kepada pihak yang terkait, yakni Nurdin Halid yang diasumsikan menjadi penyebab terjadinya pemukulan terhadap dirinya. Penggunaan istilah ini tentunya memiliki muatan politis, dalam pengucapannya orang tersebut juga menambahkan kalimat jangan pilih adik koruptor di belakangnya agar efek disfemisme yang ditimbulkan semakin kuat. Adapun kata nongol pada contoh (c), digunakan untuk menggantikan kata muncul. Istilah nongol merupakan penanda adanya ungkapan disfemisme yang digunakan untuk menggambarkan keadaan emosional seseorang dengan bahasa yang lebih kasar agar lebih mempertajam maksud penutur. Penggunaan istilah lebih kasar dari istilah lainnya dalam kalimat tersebut menandakan adanya disfemisme. Begitu pula pada contoh (d) terdapat kata pecundang digunakan untuk menggantikan istilah orang yang dikalahkan atau selalu kalah. Ungkapan tersebut merupakan jenis kata makian atau umpatan untuk menggambarkan kemarahan dan kekecewaan kepada seseorang. Kata pecundang pada contoh kalimat di atas menghasilkan konotasi yang lebih kasar atau kurang sopan. Selanjutnya pada contoh (e), penggunaan istilah bekas dapat dikelompokkan ke dalam disfemisme bentuk satu kata yang menggantikan satu kata lainnya (one for one substitution). Pada kata bekas tersebut digunakan untuk menyepelekan atau tidak menghargai orang lain karena dirasa lebih kasar daripada kata eks yang lebih sopan. 7. Tipe-tipe Eufemisme dan Disfemisme Adapun tipe-tipe eufemisme dan disfemisme menurut Allan & Burridge (1991:14) adalah sebagai berikut: a. Ekspresi figuratif (figurative exspressions), yaitu bersifat perlambangan, ibarat atau kiasan. Misalnya penggunaan majas metafora, ironi, simile, personifikasi dan lainlain. Contoh : Yang menjadi salah satu gebrakan dari kebijakan menteri Susi Pujiastuti adalah dengan dihidupkannya kembali peraturan menteri no 1 & 2 tentang larangan penggunaan alat tangkap yangto user merusak ekosistem lainnya. (Kata commit 22 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dihidupkannya kembali yang terdapat pada kallimat tersebut dapat diartikan sama dengan kata diterapkan kembali. Kata dihidupkannya kembali termasuk dalam bentuk eufemisme ekspresi figuratif, yaitu bentuk eufemisme yang menghaluskan kata dengan melambangkan, mengibaratkan, atau mengkiaskan sesuatu dengan bentuk lain). b. Flipansi (flippancy), yaitu menghaluskan suatu kata tetapi makna kata yang dihasilkan di luar pernyataan dari kata yang dihaluskan. Contoh : Puluhan ribu warga melakukan long march menuju kantor wali kota Tarakan, Jawa Timur. (Frasa long march dikutip dari bahasa asing yang makna sebenarnya adalah bulan maret yang panjang. Akan tetapi pada kalimat di atas frasa long march dapat diartikan dengan berdemo atau unjuk rasa dengan berjalan beriring-iringan dengan jarak tempuh yang cukup jauh. Frasa long march termasuk bentuk eufemisme flipansi (flippancy), atau makna di luar pernyataan). c. Pemodelan kembali (remodeling), yaitu memodelkan kembali ungkapan yang sudah terkenal menjadi ungkapan baru, misalnya kata, frase, idiom, atau peribahasa. Contoh : Karena keterpurukannya Hopenhagen pun berubah menjadi Hopelesshagen alias tidak ada harapan. (Istilah Hopelesshagen pada kalimat di atas merupakan istilah disfemisme yang dibentuk dari pemodelan kembali (remodeling). Istilah Hopelesshagen digunakan oleh para jurnalis untuk mengungkapkan kekecewaan atas putusan konferensi iklim yang dilakukan di Copenhagen, yang ternyata masih belum ada realisasi nyata dari Negara-negara tersebut). d. Sirkumlokusi (circumlocutions), yaitu penggunaan beberapa kata yang lebih panjang dan bersifat tidak langsung. Contoh : Banyak gedung perkantoran pemerintah di sekitar pasar induk wonosobo dalam kondisi sudah rusak dan dijadikan masyarakat sebagai tempat penyimpanan barang. (Istilah tempat penyimpanan barang dapat diartikan dengan kata gudang. Penggantian kata dalam kalimat tersebut termasuk bentuk eufemisme sirkumlokusi (circumlocutions), karena menggunakan beberapa kata yang lebih panjang dan bersifat tidak langsung dengan maksud mengaburkan makna yang sebenarnya). commit to user 23 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id e. Kliping (clipping), yaitu pemotongan, membuat menjadi pendek atau singkat. Contoh : Kebobrokan di pemerintahan perlahan mulai terungkap dengan banyaknya anggota DPR yang kedapatan menerima upah dari perijinan pengadaan proyekproyek yang tidak jelas. (Kata upah bisa diartikan dengan menerima uang jasa. Kata upah pada kalimat diatas menghasilkan konotasi yang lebih kasar atau kurang sopan, dan kata upah dirasa lebih singkat dari kelompok kata menerima uang jasa. Oleh karena itu termasuk dalam bentuk disfemisme kliping (clipping)). f. Akronim (acronym), yaitu penyingkatan atas beberapa kata menjadi satu. Contoh : Akhir-akhir ini masalah yang meresahkan masyarakat seperti, judi togel tengah berlangsung dengan aman di daerah-daerah. Bahkan sudah blak-blakan pihak penjual berani memberikan kupon kepada pembeli nomor. (Frasa judi togel termasuk bentuk disfemisme akronim (acronym), karena dirasakan kasar atau kurang sopan dan juga merupakan penyingkatan dari beberapa kata menjadi satu yaitu dari frasa judi toto gelap yang disingkat menjadi judi togel). g. Singkatan (abbreviations), yaitu singkatan kata-kata menjadi beberapa huruf. Contoh : Petugas Satpol PP di wilayah Ibu Kota sedang gencar melakukan razia para PSK yang sering menjajakan jasa mereka di daerah Taman Lawang. (Singkatan PSK biasanya digunakan untuk menyingkat frasa Pekerja Seks Komersial. Dalam kalimat tersebut kata PSK dirasakan kasar atau kurang sopan dibandingkan dengan kata tunasusila. Oleh karena itu, kata PSK termasuk ke dalam bentuk disfemisme singkatan (abbreviations), yaitu menggunakan suatu bentuk kata kasar atau kurang sopan dengan menyingkat kata-kata menjadi beberapa huruf). h. Pelepasan (omission), yaitu menghilangkan satu atau beberapa fonem. i. Satu kata untuk menggantikan satu kata yang lain (one for one substations). Contoh : KPK akan memanggil puluhan saksi setiap harinya untuk menyelesaikan kasus Hambalang yang melilit eks ketum partai Demokrat. (Kata melilit pada kalimat tersebut sebenarnya memiliki makna bahwa seseorang sedang tersandung suatu kasus atau hukum. Bisa saja kalimat di atas menggunakan kata menjerat atau membelenggu tetapi masih terasa kurang halus (eufemisme) dibandingkan kata melilit. Selain itu juga terdapat kata eks, kata tersebut dipakai untuk membuat orang yang dituju tidak tersinggung atau terasa lebih dihormati dibandingkan commit to user 24 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dengan menyebutkan bekas, mantan, atau dengan menyebut namanya secara langsung). j. Synecdoche totem pro parte (general for specific), kata yang umum menjadi kata yang khusus. Contoh : Batalnya Bapak Presiden berkunjung ke lumpur Sidoarjo langsung saja banyak menimbulkan isu-isu politik di masyarakat. (penggunaan eufemisme pada frase lumpur sidoarjo lebih halus daripada penggunaan istilah lumpur Lapindo karena tidak menyinggung pihak-pihak yang terkait. Istilah lumpu Sidoarjo juga merupakan synecdoche totem pro parte karena tidak semua wilayah Sidoarjo yang terkena dampak semburan lumpur, melainkan hanya sebagian saja). k. Synecdoche pars pro toto (part for whole), kata yang khusus menjadi kata yang umum. l. Hiperbola (hyperbole), ungkapan yang melebih-lebihkan. Contoh : Konflik agraria, khususnya masalah pertahanan di kemajuan jaman ini semakin marak di berbagai daerah di Indonesia. (Frasa konflik agrarian dalam kalimat tersebut dapat diartikan sebagai permasalahan (sengketa) lahan antara rakyat dengan pemerintah ataupun dengan sesama masyarakat yang lain yang kerap tidak menemukan titik penyelesaian. Frasa konflik agraria termasuk dalam bentuk hiperbola karena menghaluskan kata dengan menggunakan ungkapan yang melebihlebihkan). m. Makna di luar pernyataan (understatement), yaitu satu makna kata yang terlepas dari makna kata tersebut. Contoh : Setumpuk pengalaman pahit itulah yang membuat sebagian warga di Jawa Timur berkeras menolak kegiatan eksplorasi migas. (dalam kalimat tersebut terdapat kata pahit yang digunakan untuk menjelaskan kata pengalaman. Hal ini menandakan adanya pergeseran makna karena penggunaan ungkapan yang bersangkutan oleh indra yang dipakai untuk objek atau konsep tertentu, yang biasanya disangkutkan dengan indra lain. Terlihat dari pergeseran makna indra perasa (lidah) yang digunakan untuk digunakan untuk makna di luar pernyataan yaitu pengalaman). n. Penggunaan istilah teknis atau jargon, yaitu kata yang memiliki makna yang sama tetapi berbeda bentuk. commit to user 25 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id o. Penggunaan istilah yang umum atau kolokial (colloquial), yaitu ungkapan yang dipakai sehari-hari. Contoh : Seorang yang terlibat perampokan sebuah ATM ternyata memiliki tiga bini dan 8 anak. (kata bini dalam kalimat tersebut merupakan penggunaan ungkapan disfemisme yang dirasakan kurang sopan tetapi sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari masyarakat Jakarta). p. Penggunaan istilah pinjaman dari bahasa lain (borrowing). Contoh : KPK berjanji untuk melakukan speed up dalam menyusut tuntas kasuskasus korupsi di tanah air. (Dalam kalimat tersebut terdapat kata pinjaman atau mengkutip dari bahasa asing speed up yang makna sebenarnya adalah percepatan. Agar terdengar atau terasa lebih eufemis, maka kata percepatan itu digunakan kata speed up). 8. Referensi Eufemisme dan Disfemisme Menurut Sunarso (1998:70) menyatakan eufemisme pada dasarnya merupakan sifat yang khas dari semua bahasa. Pernyataan ini tentu saja tidak mengimplikasi bahwa semua bahasa mempunyai bidang-bidang eufemisme yang sama. Apa yang oleh suatu masyarakat bahasa dipadang kasar atau tabu belum tentu dipandang demikian oleh masyarakat bahasa yang lain. Begitu pula bidang-bidang eufemisme pun tidak selalu sama antara bahasa yang satu dengan yang lainnya. Menurut Wijana dan Rohmadi (2008:97) referensi eufemisme dan disfemisme dapat dibedakan menjadi 7 jenis yaitu: (a) benda dan binatang, (b) bagian tubuh, (c) profesi, (d) penyakit, (e) aktivitas, (f) peristiwa, dan (g) sifat atau keadaan. Masingmasing referensi eufemisme dan disfemisme tersebut akan dijelaskan di bawah ini. a) Benda dan binatang Benda-benda tertentu yang dikeluarkan oleh organ tubuh manusia dianggap menjijikan dan tidak sopan diucapkan di depan umum. Misalnya ‘air kencing’. Agar kata tersebut lebih nyaman didengar atau dibaca orang lain kemudian digunakan ungkapan eufemisme ‘urine’ jika itu digunakan dalam konteksnya di bidang kesehatan. Akan berbeda pula ungkapan yang digunakan jika konteksnya dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga ungkapan eufemisme yang digunakan menjadi ‘pipis’. commit to user 26 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Di lingkungan masyarakat tradisional nama-nama binatang tertentu juga dianggap tabu jika diucapkan secara langsung. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan supranatural terhadap ‘tulah’ yang akan diterima jika binatang tersebut disebut secara langsung. Masyarakat Jawa zaman dulu jika melewati hutan tidak berani menyebut binatang ‘harimau atau macan’ secara langsung karena takut binatang tersebut marah. Mereka biasa menyebutnya dengan ‘simbah’. Hal ini juga dilakukan para pemburu di Sumatra di tengah hutan mereka menyebut harimau dengan sebutan ‘datuk’. Masyarakat Surakarta dan sekitarnya menyebut kerbau kraton kasunanan dengan sebutan ‘Kyai Slamet’ karena dianggap memiliki ‘daya magis’. Sebagian masyarakat petani di Wonosobo menyebut binatang tikus dengan sebutan ‘den baguse’ dengan harapan binatang tersebut tidak menyerang tanaman padi mereka. b) Bagian tubuh Bagian tubuh tertentu yang fungsinya menyangkut aktivitas seksual sering dianggap tabu diucapkan secara terus terang. Sehingga biasanya diucapkan dengan ungkapan lain yang lebih halus. Misalnya alat kelamin pada perempuan diganti dengan istilah: Mrs V, Miss V, organ intim, dan sebagainya. c) Profesi Di dalam masyarakat banyak profesi yang dinilai rendah dan kurang hormat. Walaupun demikian orang yang menjalani profesi tersebut akan tersinggung jika disebut secara langsung nama profesinya. Sehingga perlu diungkapkan dengan istilah lain yang lebih halus untuk mewakili profesi tersebut. Contohnya kata “pekerja seks komersial (PSK)” kemudian diungkapkan dengan istilah lain yaitu pramuria, tuna susila itu yang biasa digunakan dalam lingkungan media massa. Berbeda jika dalam lingkungan suatu masyarakat tentunya mempunyai ungkapan eufemisme yang berbeda seperti di Kota Semarang mereka menggunakan istilah “gadis kinjeng”. Penjual barang keliling, pelayan toko, buruh, babu, pesuruh adalah profesi yang tidak biasa diungkapkan secara langsung yang kemudian diungkapkan dengan istilah lain salesman, pramuniaga, pekerja, bibi, dan office boy (OB). commit to user 27 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id d) Penyakit Tidak semua penyakit harus menggunakan ungkapan eufemisme dalam penggunaannya. Hanya penyakit-penyakit tertentu yang memiliki sifat menjijikan, berbahaya, dan menimbulkan rasa malu atau tidak nyaman bagi penderita maupun keluarga juga orang-orang lainnya sehingga perlu menggunakan ungkapan eufemisme agar lebih halus tidak menyinggung, bisa juga untuk menyamarkan atau sedikit merahasiakan nama penyakit yang sebenarnya. Beberapa penyakit yang memiliki ungkapan eufemisme misalnya; penyakit ayan, gila, tuli dan sebagainya. e) Aktivitas Berbagai aktivitas organ atau perbuatan manusia juga mendapatkan perlakuan eufemistik. Tidak hanya yang menyangkut aktivitas seksual saja tetapi juga yang menyangkut aktivitas organ lainnya. Kata “menyeleweng” diganti dengan “berselingkuh” …. Aktivitas menyangkut kebijakan penguasa pun juga menggunakan ungkapan eufemisme. “dipecat” disebut “pemutusan hubungan kerja (PHK)”, “dipindah tugas” diganti dengan “dimutasi”…. f) Peristiwa Peristiwa-peristiwa tertentu yang menimpa seseorang juga mendapatkan perlakuan eufemisme. Hal ini sebagai upaya untuk mengurangi beban perasaan orang yang tertimpa kemalangan, sekaligus untuk menjaga nilai-nilai etika dalam komunikasi. Di bawah ini disebutkan contoh-contoh penggunaan istilah eufemisme untuk menggantikan kata atau istilah yang dirasa kurang halus. - Orang mati disebut meninggal, wafat, gugur dsb. - Mengalami kecelakaan disebut mendapat musibah. - Bangkrut disebut pailit, gulung tikar. - Dipenjara disebut diamankan. g) Sifat atau keadaan Sifat atau keadaan yang ada pada seseorang harus dihormati agar tidak merasa diremehkan oleh orang lain merupakan hal yang sangat penting dalam komunikasi. Di bawah ini dicontohkan penggunaan ungkapan eufemisme untuk menyebut sifat atau keadaan yang dialami seseorang. commit to user 28 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id - Bodoh; goblok disebut kurang pandai; kurang cerdas. - Gila disebut bertukar akal; tidak waras. - Melarat; miskin disebut kurang mampu; prasejahtera. - Jelek muka disebut bertampang pas-pasan Menurut Allan dan Burridge (1991), disfemisme secara umum dapat diperoleh dari beberapa hal berikut: a. Istilah tabu yang digunakan sebagai penghinaan, julukan, dan kata seru. Istilah tabu tersebut bersumber dari hal-hal berikut; Organ tubuh yang tertutup oleh bikini dan pakaian renang karena bagian tersebut dikenai hasrat seksual atau digunakan untuk aktivitas seksual dan pembuangan hajat. Misalnya: tetek, dubur, dsb. Aktivitas yang melibatkan organ seksual, micturitions dan defekasi. Misalnya: berak, kencing, dsb. Sesuatu yang dihasilkan oleh organ seksual, micturitions dan defekasi. Misalnya: air kencing, tinja, dsb. Kematian dan hal-hal yang berkaitan dengan kematian. Misalnya: pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan, dsb. Penyakit. Misalnya: gila, tuli, buta, dsb. Makanan dan bau sesuatu yang gaib. Misalnya: apek, amis, dsb. b. Umpatan kotor, makian, dan sumpah serapah. Misalnya: setan, kere, dsb. c. Membandingkan manusia dengan binatang yang dianggap memiliki kesamaan sifat buruk. Misalnya: keledai, babi, ular, anjing, dsb. d. Memberi julukan yang menggunakan karakteristik keabnormalan fisik seseorang. Si pincang, buta, dsb. e. Umpatan dan julukan yang menunjukkan kekurangan mental seseorang. Misalnya: gila, autis, idiot, dsb. f. Sexist, racist, classist, ageist, speciesist, chauvinist, dan –ist disfemisme lain. g. Istilah atau ungkapan yang menunjukkan penghinaan dan ketidakhormatan yang ditunjukkan pada karakter dan sifat seseorang. Misalnya: banci, maling, koruptor, dsb. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 29 digilib.uns.ac.id 9. Fungsi Eufemisme dan Disfemisme Hymes (dalam Saville-Troike, 2003:13), menyatakan bahwa fungsi bahasa sebagai alat komunikasi ada enam, yaitu (1) fungsi ekspresif (untuk menyampaikan perasaaan atau emosi), (2) fungsi direktif (permintaan atau tuntutan), (3) fungsi referensial (untuk menyatakan kebenaran dan kesalahan isi proposisi), (4) fungsi puitis (keindahan), (5) fungsi fatis (empati dan solidaritas), (6) fungsi metalinguistik (referen bagi bahasa sendiri). Dalam hal ini, penggunaan eufemisme dan disfemisme dalam komunikasi merupakan fungsi ekpresif bahasa, yaitu untuk mengungkapkan perasaan atau emosi penutur. Fungsi eufemisme tidak dapat terlepas dari fungsi ekspresi bahasa, yaitu untuk mengungkapkan perasaan manusia. Allan dan Burridge (1991:11), mengungkapkan bahwa fungsi eufemisme secara garis besar adalah sebagai berikut: a. Menghindari tabu (bagian tubuh, bagian tubuh khusus, seks, menstruasi, penyakit, cacat mental dan cacat tubuh, sesuatu yang dibuang atau dikeluarkan tubuh, kematian dan seni). b. Mengungkapkan sesuatu yang dianggap menakutkan, seperti tentang perang, penyakit, hal-hal gaib, termasuk Tuhan, hal-hal yang berkaitan dengan kematian, termasuk tentang binatang. c. Menunjukkan rasa hormat dan menghindari perasaan tidak nyaman lawan bicara, terutama untuk hal-hal yang berhubungan dengan agama, politik, Tuhan, fisik manusia, penyakit, cacat fisik ataupun mental, atau aksi kriminal. Adapun penggunaan disfemisme dalam berkomunikasi secara umum memiliki dua kemungkinan. Pertama, disfemisme digunakan untuk menghina seseorang, dalam hal ini biasanya lawan penutur. Kedua, penutur menggunakan disfemisme untuk memaksimalkan efek penghinaan kepada orang yang dihina. Fungsi disfemisme antara lain untuk membicarakan seseorang yang membuat penutur merasa terganggu, kecewa, tidak setuju, sehingga penutur ingin menghina dan merendahkan seseorang tersebut agar orang tersebut merasa terpojokkan (Allan & Burridge, 1991:78). Menurut Zollner dalam Kurniawati (2009:30), latar belakang penggunaan disfemisme antara lain: (1) merendahkan atau mengungkapkan penghinaan kepada seseorang atau sesuatu, (2) untuk menunjukkan atau mengungkapkan rasa tidak suka kepada seseorang atau sesuatu, juga ketidaksetujuan commit to user terhadap seseorang atau sesuatu, perpustakaan.uns.ac.id 30 digilib.uns.ac.id (3) untuk memperkuat atau mempertajam penghinaan yang dilakukan sehingga orang yang mendengar semakin terluka, (4) dalam bidang politik disfemisme merupakan suatu alat untuk memberikan penggambaran yang negatif tentang lawan politik, baik pandangan, sikap, maupun prestasinya, (5) disfemisme dapat digunakan untuk mengungkapkan kemarahan dan kejengkelan terhadap seseorang atau sesuatu, dan (6) disfemisme digunakan untuk mengumpat atau menunjukkan kekuasaan yang dimiliki. B. Penelitian yang Relevan Penelitian tentang eufemisme maupun disfemisme sudah cukup banyak dilakukan, namun dalam sebuah media elektronik khususnya talk show penelitiannya masih sedikit. Beberapa kajian pustaka sebelumnya yang penulis temukan sejenis dan masih relevan adalah sebagai berikut: Tesis Purba (2002) yang berjudul Eufemisme dalam Bahasa Simalungun membahas bentuk dan fungsi eufemisme yang terdapat dalam bahasa Simalungun. Penelitian ini menggunakan pandangan Allan dan Burridge (1991) sebagai sumber acuan untuk mencari bentuk dan fungsi eufemisme, tetapi tidak membicarakan referensi eufemisme. Ada dua belas bentuk eufemisme dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Anita Purba antara lain; ekspresi figuratif, metafora, sirkumlokusi, kliping, pelepasan satu kata untuk menggantikan kata yang lain, umum ke khusus, hiberbola, pernyataan yang tidak lengkap, kolokial, remodeling, dan sebagian untuk semua. Fungsi eufemisme dalam bahasa Simalungun berhubungan dengan sapaan atau penamaan yang menghindari tabu. Menurutnya, bahasa simalungun mempunyai pola dan struktur yang lebih kompleks dari pada pola bahasa lain. Penelitian lainnya adalah tesis Kurniawati (2009), yang meneliti Eufemisme dan Disfemisme dalam Spiegel Online meneliti bentuk satuan gramatikal eufemisme dan disfemisme, serta latar belakang penggunaan eufemisme dan disfemisme. Hasil dari penelitian ini sebagai berikut; bentuk satuan gramatikal eufemisme yang digunakan dalam Spiegel Online terdiri atas kata (tunggal dan majemuk), frasa dan kalimat. Bentuk satuan gramatikal disfemisme juga terdiri atas kata (tunggal dan majemuk), frasa, dan kalimat. Latar belakang penggunaan eufemisme dalam Spiegel Online adalah ditafsirkan untuk; (1) menghindari pengunaan kata-kata yang dapat menimbulkan kepanikan atau ketakutan, (2) memperhalus ucapancommit agar totidak user menyinggung, menghina, atau perpustakaan.uns.ac.id 31 digilib.uns.ac.id merendahkan seseorang, (3) mengurangi atau tidak menyinggung hal-hal yang menyakitkan atau tragedi, (4) berdiplomasi atau bertujuan retoris, (5) menggantikan kata-kata yang dilarang, tabu, vulgar atau bercitra negatif, (6) merahasiakan sesuatu, (7) menghormati atau menghargai orang lain, (8) menyindir atau mengkritik dengan halus. Latar belakang pengunaan disfemisme ditafsirkan untuk; (1) menyatakan hal yang tabu, tidak senonoh, asusila, (2) menunjukkan rasa tidak suka atau tidak setuju terhadap seseorang atau sesuatu, (3) penggambaran yang negatif tentang seseorang atau sesuatu, (4) mengungkapkan kemarahan atau kejengkelan, (5) mengumpat atau memaki, (6) menujukkan rasa tidak hormat atau merendahkan seseorang, (7) mengolok-olok, mencela, atau menghina, (8) melebih-lebihkan sesuatu, (9) menghujat atau mengkritik, (10) menunjukkan sesuatu hal yang bernilai rendah. Faridah (2002) dalam tesisnya Eufemisme dalam Bahasa Melayu Serdang membahas bentuk, fungsi, dan makna eufemisme. Faridah juga menggunakan pandangan Allan dan Burridge dalam penelitiannya tetapi mengacu kepada kajian semantik. Ia mengatakan bahwa bentuk-bentuk eufemisme dalam bahasa Melayu Serdang terdiri atas ekspresi figuratif, metafora, satu kata untuk menggantikan kata yang lain, umum ke khusus, hiperbola, dan kolokial. Fungsi-fungsi eufemisme dari hasil penelitian Faridah adalah sapaan dan penamaan, menghindari tabu, menyatakan cara eufemisme digunakan, dan menyatakan situasi. Dari bentuk dan fungsi tersebut diperoleh makna eufemisme yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tuturan sebagai bentuk tindak atau aktivitas, dan tuturan sebagai bentuk tindak verbal. Jurnal Humaniora Sunarso (1998) meneliti Eufemisme: Referensi dan Latar Belakangnya. Dalam penelitiannya, referensi eufemisme bersangkutan dengan tubuh manusia, baik yang berhubungan dengan tubuh, sifat, maupun perbuatannya. Eufemisme berkaitan dengan tubuh manusia yakni hal-hal yang berhubungan dengan seks (khususnya nama organ seks), penyakit dan cacat tubuh, pengeluaran kotoran badan, dan kematian. Sedangkan eufemisme yang berkaitan dengan sifat manusia, yakni berhubungan dengan sifat yang tidak baik. Adapun eufemisme yang berhubungan dengan perbuatan manusia dapat berupa hal-hal yang berkenaan denngan nasib yang tidak menyenangkan. Eufemisme yang berkaitan dengan kenyataan sosial yang dianggap sebagai sesuatu yang buruk commit pun berpusat to user pada manusia. Eufemisme yang perpustakaan.uns.ac.id 32 digilib.uns.ac.id tidak berhubungan dengan manusia hanyalah bidang eufemisme yang menyangkut hal yang dapat menimbulkan bahaya. Sebab-sebab timbulnya eufemisme menurut Sunarso antara lain yaitu karena rasa takut yang dialami oleh penutur akan bahaya yang akan timbul, keinginan untuk menutupi atau menyembunyikan sesuatu atau keadaan buruk, dan keinginan untuk menghormati lawan bicara atau mitra tutur. Penggunaan bentuk eufemistis juga mencerminkan sikap penutur terhadap peristiwa, keadaan, atau realitas yang dihadapi. Sikap yang dimaksud antara lain berupa sikap keagamaan, seperti eufemisme tentang kematian dan sikap ilmiah, seperti penggunaan istilah yang berasal dari bahasa asing. Penelitian lainnya yang berhubungan dengan eufemisme adalah tesis Sutarman (2012) yang berjudul Eufemisme dalam Rubrik ‘Konsultasi Seks dan Kejiwaan’ di Tabloid Nyata meneliti tentang bentuk-bentuk ungkapan eufemisme, makna ungkapan eufemisme, dan penggunaan citraan eufemisme dalam rubrik konsultasi seks dan kejiwaan di tabloid Nyata. Hasil dari penelitian Sutarman adalah sebagai berikut bentuk-bentuk ungkapan eufemisme secara umum dapat diklasifikasikan menjadi: (1) penggunaan singkatan, (2) penggunaan kata serapan, (3) penggunaan campur kode, (4) penggunaan metafora, dan (5) penggunaan citraan. Menurut Sutarman dalam penelitiannya tidak semua ungkapan eufemisme dapat dipahami secara langsung maknanya, karena diperlukan deskripsi makna yang jelas dan santun agar tidak menimbulkan salah penafsiran dalam memahami istilah-istilah tertentu. Misalnya, istilah Mrs V, Miss V, Mr P, Making Love (ML), petting, masturbasi, ejakulasi, dan sebagainya. Penggunaan ungkapan eufemisme lebih didominasi pada penyebutan alat kelamin dan aktivitas seksual. Penggunaan citraan dalam rubrik konsultasi seks dan kejiwaan dalam tabloid Nyata meliputi, citraan penglihatan (visual imagery), citraan perabaan (tactile/thermal imagery), citraan gerak (movement / kinaesthetic imagery), dan citraan intelektual (intellectual imagery). Citraan intelektual mempunyai frekuensi kemunculan paling tinggi, hal ini disebabkan citraan intelektual mencakup penggunaan kata serapan maupun penggunaan istilah asing. Penelitian Wijana (2004) dalam jurnal yang berjudul Makian dalam Bahasa Indonesia: Studi tentang Bentuk dan Referensinya membahas bentuk dan referensi makian dalam bahasa Indonesia. Menurut Wijana, bentuk makian dalam bahasa Indonesia ada tiga, yaitu kata, frase, dan klausa. Sedangkan referensi makian dalam commit to user 33 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bahasa Indonesia ada delapan, yaitu keadaan, binatang, makhluk halus, benda-benda, bagian tubuh, kekerabatan, aktivitas dan profesi. Selanjutnya dalam jurnal ilmiah bahasa dan sastra Rubby (2008) dengan judul Eufemisme pada Harian Seputar Indonesia. Dalam penelitiannya Rubby hanya meneliti bentuk eufemisme saja yang terdapat pada Harian Seputar Indonesia dengan menggunakan teori yang dikemukakan oleh Allan & Burridge dan dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk eufemisme pada harian Seputar Indonesia ada tujuh yaitu ekspresi figuratif, flipansi, sirkomlokusi, singkatan, satu kata untuk menggantikan satu kata yang lain, umum ke khusus, dan hiperbola. Bentuk yang sering muncul pada harian ini adalah satu kata untuk menggantikan satu kata yang lain sebanyak 40%. Penelitian lainnya yang berhubungan dengan eufemisme terdapat pada jurnal Humaniora Tommi (2005) meneliti Teknik Penciptaan Asosiasi Pornografi dalam Wacana Humor Bahasa Indonesia. Dalam penelitian tersebut eufemisme merupakan salah satu teknik dan fungsi penciptaan asosiasi pornografi dalam wacana humor dalam bahasa Indonesia, eufemisme muncul disebabkan oleh keinginan penutur untuk menutup-nutupi atau menyembunyikan sesuatu atau keadaan yang tidak baik. Selain itu eufemisme terbentuk karena keinginan penutur untuk menghormati lawan tutur. Dalam jurnal linguistik Sanaty (2010) berjudul A Study of Euphemisms from the Perspectives of Cultural Translation and Linguistics. Penelitiannya membahas tentang apa dan bagaimana seseorang harus mengekspresikan apa yang mereka maksud dengan meneliti eufemisme dalam proses penerjemahan, ketika bahasa target dan sumber memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda. Sanity menyimpulkan kesopanan merupakan unsur terpenting dalam kebudayan yang berarti bahwa perilaku tertentu atau ucapan yang sopan dalam satu budaya mungkin berarti tidak sopan dalam budaya lainnya. commit to user 34 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id C. Kerangka Berpikir Kerangka pikir adalah sebuah cara kerja yang dilakukan oleh penulis untuk menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Kerangka pikir yang terkait dengan penelitian ini secara garis besar dilukiskan pada bagan di bawah ini. Talk show Mata Najwa di Metro TV Najwa Shihab (pembawa acara) Nara Sumber / Bintang Tamu Ungkapan Eufemisme dan Disfemisme Analisis Data Bentuk dan tipe-tipe Referensi Makna dan Fungsi Kaidah-kaidah Teori Bagan 2.1 Kerangka Berpikir Bagan di atas dapat menggambarkan bahwa tahap awal penelitian ini adalah munculnya fenomena penggunaan bahasa dalam talk show Mata Najwa di Metro TV. Banyaknya ungkapan-ungkapan eufemisme dan disfemisme yang terdapat dalam talk show Mata Najwa, ungkapan tersebut yang akan menjadi sumber data dalam penelitian ini. Dalam hal ini penulis mengumpulkan data selama commit to userbulan Februari 2015 dengan tema 35 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id politik. Dari sumber data tersebut yang dikaji adalah ungkapan-ungkapan eufemisme dan disfemisme dengan menggunakan pendekatan sosiolinguistik sehingga dengan mengacu pada sumber data maka dapat diketahui bahwa data dalam penelitian ini adalah sebagian tuturan yang mengandung ungkapan eufemisme dan disfemisme dalam Talk Show Mata Najwa baik dari pembawa acara maupun dari nara sumber/bintang tamu. Dalam talk show Mata Najwa akan terjadi proses tanya jawab antara pembawa acara dengan nara sumber. Di talk show ini, Najwa Shihab selaku pembawa acara akan memberikan beberapa pertanyaan yang mungkin tidak terjawab atau enggan dijawab oleh nara sumber. Di situasi inilah yang memungkinkan penggunaan ungkapanungkapan eufemisme dan disfemisme karena rasa ketidaknyamanan, ketidakpuasan, dan sebagainya. Dari proses tanya jawab itulah yang dapat menimbulkan berbagai bentuk, tipe, makna, referensi dan fungsi ungkapan eufemisme serta disfemisme itu digunakan dalam komunikasi. Melalui teori Allan dan Burridge serta teori-teori yang lain nantinya akan diketahui bagaimana bentuk, tipe, referensi, makna, dan fungsi ungkapan eufemisme serta disfemisme yang digunakan dalam talk show Mata Najwa. commit to user