perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 12 BAB II

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada Bab II ini membahas tentang tinjauan pustaka, penelitan yang relevan, dan
kerangka pikir. Tinjauan pustaka, diuraikan kajian teori sosiolinguistik, wacana,
konteks, peristiwa tutur, eufemisme, dan disfemisme. Kajian eufemisme dan
disfemisme di dalamnya mencakup bentuk, tipe, referensi serta makna dan fungsi
penggunaan bahasa. Penelitian yang relevan berisi tentang penelitian-penelitian yang
pernah ada, yaitu yang berhubungan dengan eufemisme dan disfemisme. Dalam
kerangka pikir akan diuraikan kerangka pikir penelitian ini.
A. Tinjauan Pustaka
1. Sosiolinguistik
Eufemisme dan disfemisme pada penelitian ini adalah merupakan jenis
penelitian sosiolinguistik, karena yang diteliti yaitu penggunaan bahasa atau konteks
bahasa yang digunakan di dalam sebuah masyarakat budaya dalam situasi tertentu.
Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji hubungan bahasa dengan masyarakat.
Menurut Wardhaugh dan Holmes (dalam Sumarsono, 2004:2) sosiolinguistik adalah
cabang ilmu bahasa yang berusaha menerangkan korelasi antara perwujudan struktur
atau elemen bahasa dengan faktor-faktor sosiokultural penuturnya.
Halliday (dalam Sumarsono, 2004:2) menyebutkan sosiolinguistik sebagai
linguistik institusional, yaitu berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-orang
yang memakai bahasa itu. Kita bayangkan perilaku manusia pemakai bahasa itu tentu
mempunyai berbagai aspek, seperti jumlah, sikap, adat istiadat, dan budayanya.
Sedangkan Fishman (dalam Sumarsono & Pranata, 2004:2) sosiolinguistik menyoroti
keseluruhan masalah yang berhubungan dengan organisasi sosial perilaku bahasa, tidak
hanya mencakup pemakaian bahasa saja, tetapi juga sikap-sikap bahasa, perilaku bahasa
dan pemakai bahasa.
Tambahan pula, Chaer dan Agustina (2004:2) menyatakan sosiolinguistik adalah
bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan
penggunaan bahasa itu dalam masyarakat.
Sosiolinguistik
erat hubungannya dengan
commit
to user
12
13
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
cara-cara masyarakat pengguna bahasa dalam interaksi sosialnya sehari-hari seperti cara
mengungkapkan sesuatu dalam situasi tertentu atau pada kelompok tertentu.
Penggunaan bahasa itu dapat ditentukan oleh faktor-faktor seperti faktor sosial, tingkat
pendidikan, umur, tingkat ekonomi, faktor siapa yang berbicara, dengan bahasa apa,
kepada siapa, kapan dan mengenai apa.
Bahasa dilihat dari dimensi sosiolinguistik adalah sebagai sistem sosial dan
sistem komunikasi serta bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Pemakaian
bahasa adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi di dalam situasi-situasi yang kongkret.
Ini berarti pendekatan sosiolinguistik itu mempelajari bahasa dalam konteks
sosiokultural serta situasi pemakainya (Suwito, 1982:5).
Wijana dan Rohmadi (2006:7) juga mendefinisikan sosiolinguistik sebagai
cabang ilmu linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam
hubungannya dengan pemakai bahasa dalam masyarakat. Hal ini disebabkan di dalam
kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu akan tetapi sebagai
masyarakat sosial.
Berbeda dengan linguistik yang mempelajari struktur bahasa secara mandiri atau
terpisah dari konteksnya, sosiolinguistik meneliti bahasa dalam posisinya di dalam
konteks sosial dan konteks situasional (Biber & Finegan, 1994:v). Dalam pandangan
sosiolinguistik, sebagai gejala sosial bahasa dan pemakaiannya tidak hanya ditentukan
oleh faktor-faktor linguistik tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik dan situasional,
yang oleh Hymes (dalam Fishman, 1975:2) dirumuskan Who speaks, what language, to
whom and when. Dengan kata lain, studi bahasa dalam sosiolinguistik akan
menghasilkan deskripsi bahasa yang memperhatikan fungsinya sebagai alat komunikasi
dalam kelompok sosial, sehingga bahasa selalu kontekstual.
Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik sangat
erat hubungannya dengan penggunaan bahasa dalam kehidupan masyarakat sebagai alat
komunikasi. Bahasa juga berperan penting dalam perkembangan budaya suatu
kelompok masyarakat. Pemakaian bahasa tidak bisa dipisahkan dengan konteksnya
yang ditentukan oleh faktor-faktor di luar bahasa itu sendiri, seperti faktor sosial,
pendidikan, umur, tingkat ekonomi, faktor siapa yang berbicara, kepada siapa berbicara,
mengenai apa, dan dalam situasi apa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
14
digilib.uns.ac.id
2. Wacana
Menurut Wijana (2009:70) menyatakan wacana adalah rekaman kebahasaan
yang utuh tentang peritiwa komunikasi. Peristiwa komunikasi yang dilakukan oleh
manusia dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, secara tertulis dan secara lisan. Dapat
disimpulkan bahwa wacana merupakan bentuk pengungkapan ide baik secara lisan
maupun tertulis yang berwujud kalimat, paragraf, atau beberapa paragraf yang tidak
terbatas jumlahnya.
Foucault (dalam Eriyanto, 2001:65) mendefinisikan bahwa wacana bukan hanya
merupakan serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi merupakan sesuatu yang
memproduksi hal lainnya, yaitu gagasan, konsep atau efek. Wacana dapat dideteksi
karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam
suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.
Darma (2009:3) menyimpulkan bahwa wacana merupakan rangkaian ujaran atau
rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal yang disajikan secara teratur,
sistematis, dalam satu kesatuan koheren, yang dibentuk oleh unsur-unsur segmental
dalam sebuah wacana yang paling besar. Unsur nonsegmental dalam sebuah wacana
pada hakikatnya berhubungan dengan situasi, waktu, gambaran, tujuan, makna, intonasi,
dan tekanan dalam pemakaian bahasa, serta rasa bahasa yang sering disebut dengan
istilah konteks. Semua itu berada dalam satu rangkaian ujar maupun tindak tutur.
3. Konteks
Konteks dalam pandangan sosiolinguistik adalah lingkungan nonlinguistik dari
ujaran yang merupakan alat untuk merinci ciri-ciri situasi yang diperlukan untuk
memahami ujaran tersebut. Suatu ujaran yang sama dapat bermakna lain dalam situasi
yang berbeda. Kata ‘bunga’ dalam konteks yang berbeda dapat bermakna lain, misalnya
bunga bank dengan bunga desa. Bunga bank adalah sejumlah uang sebagai jasa
simpanan atau pinjaman, sedangkan bunga desa adalah gadis tercantik di sebuah desa.
Jadi konteks di sini dimaknai dengan hubungan antara faktor bahasa dengan faktor di
luar bahasa itu sendiri.
Konteks situasi adalah lingkungan langsung tempat teks itu berfungsi. Dalam
pemakaian bahasa ada keterkaitan yang erat antara teks dengan konteks situasi. Penutur
dalam berkomunikasi selalu melakukancommit
perkiraan-perkiraan
atau dugaan-dugaan akan
to user
15
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
makna sesuai dengan konteks pembicaraan yang sedang dilakukan. Haliday dan Hasan
(1994:4) memberi batasan tentang teks sebagai berikut; teks adalah bahasa yang
berfungsi, yaitu bahasa yang melakukan tugas tertentu dalam konteks situasi. Teks
dapat berwujud tuturan atau tulisan-tulisan yang mempunyai kesatuan makna. Maknamakna itu dikodekan dalam kata-kata atau kalimat untuk dikomunikasikan. Sebagai
sesuatu yang mandiri, teks itu pada dasarnya adalah satuan makna. Teks tidak dapat
diberi batasan seperti sejenis kalimat, melainkan lebih besar karena teks adalah suatu
bentuk pertukaran makna yang bersifat sosial, dan bentuk teks yang paling dasar adalah
percakapan, suatu interaksi antara pembicara dengan pendengar. Percakapan merupakan
jenis teks tempat orang menggali secara optimal sumber-sumber bahasa yang mereka
miliki; tempat mereka memunculkan hal-hal baru dan tempat terjadinya perubahanperubahan sistem. Perubahan dan perkembangan dalam bahasa dapat ditemukan dalam
teks-teks yang alami. Konteks percakapan sebagai salah satu jenis teks yang merupakan
suatu proses pertukaran makna antarmanusia.
Keberhasilan komunikasi ditentukan oleh kemampuan penutur untuk saling
memperkirakan secara tepat makna yang akan muncul dalam sebuah pemakaian bahasa.
Kemampuan mempraktikan itu sangat penting, sebab tanpa kemampuan itu, proses
keseluruhannya menjadi tidak jelas jika pendengar tidak menyertakan perkiraan makna
yang tepat yang bersumber dari konteks situasi.
Konteks situasi adalah lingkungan yang langsung terlibat dalam pembicaraan.
Akan tetapi, masih ada latar belakang lebih luas yang harus diacu dalam menafsirkan
teks yaitu konteks budaya. Orang melakukan hal tertentu pada kesempatan tertentu dan
memberinya makna dan nilai: inilah yang dimaksud dengan kebudayaan (Haliday &
Hasan, 1994:63). Oleh karena itu warga masyarakat dari kebudayaan tertentu akan
membentuk konsep-konsep dan menemukan kecocokan dalam situasi atau kejadian
tertentu (Ohoiwutun, 1997:83).
Dengan demikian, teks adalah hasil lingkungannya, hasil suatu proses pemilihan
makna yang terus-menerus, yang membentuk suatu sistem kebahasaan. Oleh karena itu,
konteks situasi merupakan suatu hubungan yang sistematis antara lingkungan sosial di
suatu pihak, dengan organisasi bahasa yang berfungsi di lain pihak (Haliday & Hasan,
1994:15-16).
commit to user
16
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Peristiwa Tutur
Menurut Chaer dan Agustina (2004:47) yang dimaksud peristiwa tutur (speech
event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk
ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan mitra tutur, dengan satu
pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Dalam pemakaian
bahasanya, setiap penutur akan selalu memperhitungkan kepada siapa ia berbicara, di
mana, mengenai masalah apa dan dalam suasana bagaimana. Dengan demikian maka
tempat berbicara akan menentukan cara pemakaian bahasa penutur, demikian pula
pokok pembicaraan dan situasi bicara akan memberikan warna terhadap pembicaraan
yang sedang berlangsung.
Ditambahkan oleh Suwito (1983:35) peristiwa tutur (speech event) adalah
keseluruhan peristiwa pembicaraan dengan segala faktor serta peranan faktor-faktor itu
dalam peristiwa pembicaraan. Faktor-faktor yang mengambil peranan dalam peristiwa
tutur itu antara lain: penutur (speaker), lawan bicara (hear, receiver), pokok
pembicaraan (topic), tempat bicara (setting), dan suasana bicara (situation scene).
Sehubungan dengan konsep peristiwa tutur tersebut, Hymes (dalam Wardhaugh,
1988:238-240) mengemukakan adanya faktor-faktor yang menandai terjadinya
peristiwa tutur itu dengan akronim SPEAKING, yang masing-masing bunyi merupakan
fonem awal dari faktor-faktor yang dimaksud.
a) Setting and Scene (S)
Hal ini berhubungan dengan tempat, waktu, dan suasana pembicaraan. Apakah suatu
ujaran itu dilakukan dalam situasi formal atau nonformal.
b) Participants (P)
Faktor ini mengacu pada peserta tutur atau pihak-pihak yang terlibat dalam
pembicaraan, yaitu pembicara, lawan bicara, dan pendengar.
c) End : purpose and goal (E)
Faktor ini berkaitan dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak
yang terlibat dalam pembicaraan.
d) Act sequences (A)
Faktor ini berhubungan dengan bentuk aktual dan isi tuturan, yaitu suatu peristiwa
dimana seseorang pembicara sedang mempergunakan kesempatan bicaranya.
commit to user
17
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e) Key : tone or spirit of act (K)
Faktor ini berhubungan dengan nada suara, cara menyampaikan, keadaan
pembicara, dan faktor-faktor emosional lainnya yang mempengaruhi tuturan itu,
seperti: santai, serius, senang, atau sedih.
f) Instrumentalities (I)
Faktor yang berkaitan dengan alat atau media dan bentuk bahasa yang digunakan
untuk menyampaikan tuturan. Media yang digunakan itu dapat berwujud lisan,
tulisan, atau telepon; sedangkan bentuk bahasa menyangkut ragam, variasi, atau
register.
g) Norms of interaction and interpretation (N)
Faktor ini menyangkut norma-norma atau kaidah-kaidah kebahasaan yang harus
ditaati oleh para anggotanya dan penafsiran terhadap tuturan dari lawan bicara.
h) Genres (G)
Faktor
ini
menyangkut
bentuk-bentuk
tuturan
yang
digunakan
dalam
berkomunikasi, seperti; puisi, peribahasa, khotbah, kuliah.
5. Eufemisme
Menurut Wardhaugh (1986:237) secara etimologi, eufemisme berasal dari
bahasa Yunani eu yang berarti bagus dan phemeoo yang berarti berbicara. Jadi,
eufemisme berarti berbicara dengan menggunakan perkataan yang baik atau halus, yang
memberikan kesan baik. Wardhaugh mengemukakan juga bahwa eufemisme digunakan
untuk menghindari penyebutan kata-kata atau ungkapan tertentu yang ditabukan di
suatu masyarakat.
Dalam Leech (1993:45) mendefinisikan eufemisme sebagai praktek penggunaan
istilah yang lebih sopan untuk istilah-istilah yang kurang menyenangkan. Pendapat ini
diperkuat oleh Webster (1997:222) yang menyatakan bahwa eufemisme adalah ekspresi
yang lebih disepakati atau yang lebih halus digunakan untuk mengganti ekspresiekspresi yang kurang sopan. Hal senada juga diungkapkan Scott (1998:5) yang
berpendapat bahwa eufemisme adalah kata-kata yang digunakan untuk memperhalus
kenyataan atau apapun yang kita ungkapkan pada pembaca (penutur) atau pendengar
(mitra tutur).
commit to user
18
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Moeliono dan Apte (dalam Darma, 2009:33), menyatakan bahwa eufemisme
merupakan ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan
tidak mengenakkan, memalukan, atau menyakitkan hati. Ungkapan-ungkapan yang
membuat lawan bicara marah, tersinggung, sakit hati, jengkel, dan sebagainya sangat
penting untuk dihindari agar tidak mengganggu komunikasi.
Begitu juga, Allan dan Burridge (1991:11) mendefinisikan eufemisme adalah
penggunaan istilah untuk mengganti ekspresi yang kurang pantas untuk menghindari
kemungkinan kehilangan muka, baik orang yang diajak bicara maupun pihak ketiga
(yang mendengarkan). Dengan kata lain, eufemisme adalah beberapa alternatif yang
digunakan untuk ekspresi-ekspresi yang kurang pantas, serta digunakan untuk
menghindari kemungkinan kehilangan muka. Ekspresi-ekspresi yang kurang pantas
dapat berupa kata-kata tabu, yang menakutkan, atau beberapa alasan yang memiliki
konotasi negatif bagi penutur maupun mitra tutur serta orang lain yang mendengar.
Dari penjelasan di atas maka disimpulkan bahwa kriteria untuk menentukan
klasifikasi secara umum ungkapan eufemisme adalah bentuk alternatif (pilihan) yang
dirasa lebih halus atau santun untuk mengganti ungkapan yang kurang berkenan untuk
diucapkan dan digunakan untuk menghindari kehilangan muka (rasa malu). Berikut
contoh eufemisme yang ditemukan dalam Talk Show Mata Najwa antara lain sebagai
berikut:
a) Nah, ini yang menurut pribadi saya sangat ganjil karena Kader Halid hanya merasa
malu dan tidak menyebabkan luka secara fisik atau luka secara mental atau ada
penghinaan yang secara dahsyatnya yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya.
(Mata Najwa, 25 Februari 2015)
b) Pemirsa Ervani Emy Handayani adalah ibu rumah tangga biasa, istri dari petugas
keamanan dari sebuah perusahaan di Yogyakarta. (Mata Najwa, 25 Februari 2015)
c) Dan dalam mutasi itu karna mendadak dan tidak ada pembicaraan sebelumya, kami
menolak mutasi tersebut sehingga terjadi PHK.
d) Iya karna kami dari keluarga tidak mampu jadi kami juga apa, tidak bisa mencari
kuasa hukumgitu. (Mata Najwa, 25 Februari 2015)
e) Dia kurang ajar dibully sama banyak orang tapi begitu dia ditangkap menggunakan
Undang – undang ITE, berbalik publik membela dia ini pelajaran menarik. (Mata
Najwa, 25 Februari 2015)
commit to user
19
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada contoh (a), terdapat penggunaan eufemisme berupa luka secara mental
untuk menggantikan istilah depresi, stress, atau gila. Penggunaan istilah tersebut
merupakan bentuk satuan ekspresi eufemisme yang berupa klausa. Satuan ekspresi
eufemisme
berupa
klausa
digunakan
untuk
memperhalus
makna
dengan
memperpanjang ungkapan dan tidak langsung disebut juga dengan sirkumlokusi.
Adapun frase petugas keamanan pada contoh kalimat (b) menyatakan
penggunaan eufemisme yang menggantikan istilah satpam. Frase petugas keamanan
dalam kalimat tersebut digunakan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang lain
karena dengan makna lebih halus agar tidak menyinggung perasaan orang tersebut
karena menyebutkan secara langsung profesi pekerjaan seseorang. Kemudian kalimat
(c) terdapat kata PHK yang dirasa lebih tepat digunakan dalam kalimat tersebut dan
lebih menghormati orang lain. Menggunakan kata PHK untuk menggantikan istilah
pecat karena bertujuan untuk menghindari ketersinggungan yang akan menimbulkan
kesalahpahaman.
Pada contoh (d) terdapat klausa keluarga tidak mampu yang merupakan
menanda adanya penggunaan ungkapan eufemisme. Istilah keluarga tidak mampu
digunakan untuk menggantikan kata miskin. Penggunaan istilah tersebut merupakan
bentuk satuan ekspresi eufemisme yang berupa klausa.
Selanjutnya contoh kalimat (e) terdapat istilah dibully. Istilah tersebut digunakan
untuk menggantikan kata dihina yang merupakan bahasa pinjaman dari bahasa asing
yang lebih halus maknanya.
6. Disfemisme
Allan dan Burridge (1991:26), mendefinisikan disfemisme adalah ekspresiekspresi dengan konotasi yang menyakitkan bagi yang diajak bicara maupun yang
mendengar, sehingga ungkapan tersebut biasanya diganti dengan ekspresi-ekspresi yang
lebih netral atau lebih eufemisme. Disfemisme digunakan untuk membicarakan lawan,
sesuatu yang diharapkan dapat menunjukkan ketidaksukaan, serta sesuatu yang
diharapkan lebih menghina, meremehkan, atau merendahkan lawan. Allan dan Burridge
(1991:31) juga menambahkan bahwa disfemisme adalah kata atau frase yang
berkonotasi menyakitkan atau mengganggu baik orang yang diajak bicara dan/atau
orang yang dibicarakan serta orang yangcommit
mendengar
ungkapan tersebut.
to user
20
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Abdul Chaer, selain berfungsi untuk mengasarkan, disfemisme juga
digunakan untuk memberi tekanan tetapi tanpa terasa kekasarannya (1994:145). Selain
itu, Abdul Chaer menambahkan disfemisme sengaja dilakukan untuk mencapai efek
pembicaraan menjadi tegas (1994:315). Hal ini secara otomatis akan mempengaruhi
kelaziman pemakaian kata atau bentuk kebahasaan lainnya. Bentuk-bentuk kebahasaan
tidak lazim dipakai dalam kesepakatan kelaziman di dalam masyarakat bahasa yang
bersangkutan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa disfemisme adalah bentuk
penggunaan istilah yang tabu atau lebih kasar dengan maksud untuk memperkuat efek
penghinaan yang ditujukan kepada pihak tertentu. Dapat dilihat kriteria untuk
menentukan klasifikasi secara umum ungkapan disfemisme yaitu, ungkapan menghina,
mengejek, merendahkan, atau memojokkan orang lain, maka dapat dikatakan pula
bahwa disfemisme di sini muncul sebagai akibat dari rasa marah, tidak suka, tidak puas,
atau kecewa yang dialami oleh penutur. Contoh disfemisme yang ditemukan dalam talk
show Mata Najwa antara sebagai berikut:
a) Banyak hal terjadi di media sosial, dari berbagi hingga mendatangkan sial. (Mata
Najwa, 25 Februari 2015)
b) Merasa dirugikan, Arsyad pun menuangkan dalam status BBM “No fear ancaman
koruptor Nurdin Halid !! Jangan pilih adik koruptor !” (Mata Najwa, 25 Februari
2015)
c) Iya maksud saya gitu pak, kita memproses kalau dasarnya adalah pemberhentian
yang nongol. (Mata Najwa, 18 Februari 2015)
d) Puluhan tahun dunia bahari diabaikan, nelayan kita seakan jadi pecundang di
lautan. (Mata Najwa, 11 Februari 2015)
e) Ada beberapa yang tokoh masyarakat, ada yang bekas pejabat, pebisnis juga. (Mata
Najwa, 11 Februari 2015)
Pada contoh (a), terdapat penggunaan kata sial yang menunjukkan adanya
penggunaan disfemisme. Kata sial digunakan untuk menggantikan istilah kurang
beruntung atau bernasib malang. Penggunaan istilah sial dalam kalimat tersebut
mempunyai tujuan untuk mengungkapkan rasa kemarahan atau kekecewaan atas apa
yang terjadi di masyarakat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
21
digilib.uns.ac.id
Pada contoh (b), terdapat penggunaan kata koruptor yang menunjukkan adanya
disfemisme yang lebih kasar daripada ungkapan orang yang menggelapkan uang
Negara. Dalam hal ini orang yang menggunakan istilah tersebut jelas untuk
menunjukkan kemarahan atau kekecewaan kepada pihak yang terkait, yakni Nurdin
Halid yang diasumsikan menjadi penyebab terjadinya pemukulan terhadap dirinya.
Penggunaan istilah ini tentunya memiliki muatan politis, dalam pengucapannya orang
tersebut juga menambahkan kalimat jangan pilih adik koruptor di belakangnya agar
efek disfemisme yang ditimbulkan semakin kuat.
Adapun kata nongol pada contoh (c), digunakan untuk menggantikan kata
muncul. Istilah nongol merupakan penanda adanya ungkapan disfemisme yang
digunakan untuk menggambarkan keadaan emosional seseorang dengan bahasa yang
lebih kasar agar lebih mempertajam maksud penutur. Penggunaan istilah lebih kasar
dari istilah lainnya dalam kalimat tersebut menandakan adanya disfemisme. Begitu pula
pada contoh (d) terdapat kata pecundang digunakan untuk menggantikan istilah orang
yang dikalahkan atau selalu kalah. Ungkapan tersebut merupakan jenis kata makian
atau umpatan untuk menggambarkan kemarahan dan kekecewaan kepada seseorang.
Kata pecundang pada contoh kalimat di atas menghasilkan konotasi yang lebih kasar
atau kurang sopan.
Selanjutnya pada contoh (e), penggunaan istilah bekas dapat dikelompokkan ke
dalam disfemisme bentuk satu kata yang menggantikan satu kata lainnya (one for one
substitution). Pada kata bekas tersebut digunakan untuk menyepelekan atau tidak
menghargai orang lain karena dirasa lebih kasar daripada kata eks yang lebih sopan.
7. Tipe-tipe Eufemisme dan Disfemisme
Adapun tipe-tipe eufemisme dan disfemisme menurut Allan & Burridge
(1991:14) adalah sebagai berikut:
a. Ekspresi figuratif (figurative exspressions), yaitu bersifat perlambangan, ibarat atau
kiasan. Misalnya penggunaan majas metafora, ironi, simile, personifikasi dan lainlain.
Contoh : Yang menjadi salah satu gebrakan dari kebijakan menteri Susi Pujiastuti
adalah dengan dihidupkannya kembali peraturan menteri no 1 & 2 tentang
larangan penggunaan alat tangkap
yangto user
merusak ekosistem lainnya. (Kata
commit
22
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dihidupkannya kembali yang terdapat pada kallimat tersebut dapat diartikan sama
dengan kata diterapkan kembali. Kata dihidupkannya kembali termasuk dalam
bentuk eufemisme ekspresi figuratif, yaitu bentuk eufemisme yang menghaluskan
kata dengan melambangkan, mengibaratkan, atau mengkiaskan sesuatu dengan
bentuk lain).
b. Flipansi (flippancy), yaitu menghaluskan suatu kata tetapi makna kata yang
dihasilkan di luar pernyataan dari kata yang dihaluskan.
Contoh : Puluhan ribu warga melakukan long march menuju kantor wali kota
Tarakan, Jawa Timur. (Frasa long march dikutip dari bahasa asing yang makna
sebenarnya adalah bulan maret yang panjang. Akan tetapi pada kalimat di atas frasa
long march dapat diartikan dengan berdemo atau unjuk rasa dengan berjalan
beriring-iringan dengan jarak tempuh yang cukup jauh. Frasa long march termasuk
bentuk eufemisme flipansi (flippancy), atau makna di luar pernyataan).
c. Pemodelan kembali (remodeling), yaitu memodelkan kembali ungkapan yang sudah
terkenal menjadi ungkapan baru, misalnya kata, frase, idiom, atau peribahasa.
Contoh
:
Karena
keterpurukannya
Hopenhagen
pun
berubah
menjadi
Hopelesshagen alias tidak ada harapan. (Istilah Hopelesshagen pada kalimat di atas
merupakan istilah disfemisme yang dibentuk dari pemodelan kembali (remodeling).
Istilah Hopelesshagen digunakan oleh para jurnalis untuk mengungkapkan
kekecewaan atas putusan konferensi iklim yang dilakukan di Copenhagen, yang
ternyata masih belum ada realisasi nyata dari Negara-negara tersebut).
d. Sirkumlokusi (circumlocutions), yaitu penggunaan beberapa kata yang lebih
panjang dan bersifat tidak langsung.
Contoh : Banyak gedung perkantoran pemerintah di sekitar pasar induk wonosobo
dalam kondisi sudah rusak dan dijadikan masyarakat sebagai tempat penyimpanan
barang. (Istilah tempat penyimpanan barang dapat diartikan dengan kata
gudang. Penggantian kata dalam kalimat tersebut termasuk bentuk eufemisme
sirkumlokusi (circumlocutions), karena menggunakan beberapa kata yang lebih
panjang dan bersifat tidak langsung dengan maksud mengaburkan makna yang
sebenarnya).
commit to user
23
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e. Kliping (clipping), yaitu pemotongan, membuat menjadi pendek atau singkat.
Contoh : Kebobrokan di pemerintahan perlahan mulai terungkap dengan banyaknya
anggota DPR yang kedapatan menerima upah dari perijinan pengadaan proyekproyek yang tidak jelas. (Kata upah bisa diartikan dengan menerima uang jasa. Kata
upah pada kalimat diatas menghasilkan konotasi yang lebih kasar atau kurang
sopan, dan kata upah dirasa lebih singkat dari kelompok kata menerima uang jasa.
Oleh karena itu termasuk dalam bentuk disfemisme kliping (clipping)).
f. Akronim (acronym), yaitu penyingkatan atas beberapa kata menjadi satu.
Contoh : Akhir-akhir ini masalah yang meresahkan masyarakat seperti, judi togel
tengah berlangsung dengan aman di daerah-daerah. Bahkan sudah blak-blakan pihak
penjual berani memberikan kupon kepada pembeli nomor. (Frasa judi togel
termasuk bentuk disfemisme akronim (acronym), karena dirasakan kasar atau
kurang sopan dan juga merupakan penyingkatan dari beberapa kata menjadi satu
yaitu dari frasa judi toto gelap yang disingkat menjadi judi togel).
g. Singkatan (abbreviations), yaitu singkatan kata-kata menjadi beberapa huruf.
Contoh : Petugas Satpol PP di wilayah Ibu Kota sedang gencar melakukan razia
para PSK yang sering menjajakan jasa mereka di daerah Taman Lawang. (Singkatan
PSK biasanya digunakan untuk menyingkat frasa Pekerja Seks Komersial. Dalam
kalimat tersebut kata PSK dirasakan kasar atau kurang sopan dibandingkan dengan
kata tunasusila. Oleh karena itu, kata PSK termasuk ke dalam bentuk disfemisme
singkatan (abbreviations), yaitu menggunakan suatu bentuk kata kasar atau kurang
sopan dengan menyingkat kata-kata menjadi beberapa huruf).
h. Pelepasan (omission), yaitu menghilangkan satu atau beberapa fonem.
i. Satu kata untuk menggantikan satu kata yang lain (one for one substations).
Contoh : KPK akan memanggil puluhan saksi setiap harinya untuk menyelesaikan
kasus Hambalang yang melilit eks ketum partai Demokrat. (Kata melilit pada
kalimat tersebut sebenarnya memiliki makna bahwa seseorang sedang tersandung
suatu kasus atau hukum. Bisa saja kalimat di atas menggunakan kata menjerat
atau membelenggu tetapi masih terasa kurang halus (eufemisme) dibandingkan
kata melilit. Selain itu juga terdapat kata eks, kata tersebut dipakai untuk membuat
orang yang dituju tidak tersinggung atau terasa lebih dihormati dibandingkan
commit to user
24
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan menyebutkan bekas, mantan, atau dengan menyebut namanya secara
langsung).
j. Synecdoche totem pro parte (general for specific), kata yang umum menjadi kata
yang khusus.
Contoh : Batalnya Bapak Presiden berkunjung ke lumpur Sidoarjo langsung saja
banyak menimbulkan isu-isu politik di masyarakat. (penggunaan eufemisme pada
frase lumpur sidoarjo lebih halus daripada penggunaan istilah lumpur Lapindo
karena tidak menyinggung pihak-pihak yang terkait. Istilah lumpu Sidoarjo juga
merupakan synecdoche totem pro parte karena tidak semua wilayah Sidoarjo yang
terkena dampak semburan lumpur, melainkan hanya sebagian saja).
k. Synecdoche pars pro toto (part for whole), kata yang khusus menjadi kata yang
umum.
l. Hiperbola (hyperbole), ungkapan yang melebih-lebihkan.
Contoh : Konflik agraria, khususnya masalah pertahanan di kemajuan jaman ini
semakin marak di berbagai daerah di Indonesia. (Frasa konflik agrarian dalam
kalimat tersebut dapat diartikan sebagai permasalahan (sengketa) lahan antara
rakyat dengan pemerintah ataupun dengan sesama masyarakat yang lain yang kerap
tidak menemukan titik penyelesaian. Frasa konflik agraria termasuk dalam bentuk
hiperbola karena menghaluskan kata dengan menggunakan ungkapan yang melebihlebihkan).
m. Makna di luar pernyataan (understatement), yaitu satu makna kata yang terlepas dari
makna kata tersebut.
Contoh : Setumpuk pengalaman pahit itulah yang membuat sebagian warga di
Jawa Timur berkeras menolak kegiatan eksplorasi migas. (dalam kalimat tersebut
terdapat kata pahit yang digunakan untuk menjelaskan kata pengalaman. Hal ini
menandakan adanya pergeseran makna karena penggunaan ungkapan yang
bersangkutan oleh indra yang dipakai untuk objek atau konsep tertentu, yang
biasanya disangkutkan dengan indra lain. Terlihat dari pergeseran makna indra
perasa (lidah) yang digunakan untuk digunakan untuk makna di luar pernyataan
yaitu pengalaman).
n. Penggunaan istilah teknis atau jargon, yaitu kata yang memiliki makna yang sama
tetapi berbeda bentuk.
commit to user
25
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
o. Penggunaan istilah yang umum atau kolokial (colloquial), yaitu ungkapan yang
dipakai sehari-hari.
Contoh : Seorang yang terlibat perampokan sebuah ATM ternyata memiliki tiga
bini dan 8 anak. (kata bini dalam kalimat tersebut merupakan penggunaan ungkapan
disfemisme yang dirasakan kurang sopan tetapi sering digunakan dalam komunikasi
sehari-hari masyarakat Jakarta).
p. Penggunaan istilah pinjaman dari bahasa lain (borrowing).
Contoh : KPK berjanji untuk melakukan speed up dalam menyusut tuntas kasuskasus korupsi di tanah air. (Dalam kalimat tersebut terdapat kata pinjaman atau
mengkutip dari bahasa asing speed up yang makna sebenarnya adalah percepatan.
Agar terdengar atau terasa lebih eufemis, maka kata percepatan itu digunakan kata
speed up).
8. Referensi Eufemisme dan Disfemisme
Menurut Sunarso (1998:70) menyatakan eufemisme pada dasarnya merupakan
sifat yang khas dari semua bahasa. Pernyataan ini tentu saja tidak mengimplikasi bahwa
semua bahasa mempunyai bidang-bidang eufemisme yang sama. Apa yang oleh suatu
masyarakat bahasa dipadang kasar atau tabu belum tentu dipandang demikian oleh
masyarakat bahasa yang lain. Begitu pula bidang-bidang eufemisme pun tidak selalu
sama antara bahasa yang satu dengan yang lainnya.
Menurut Wijana dan Rohmadi (2008:97) referensi eufemisme dan disfemisme
dapat dibedakan menjadi 7 jenis yaitu: (a) benda dan binatang, (b) bagian tubuh, (c)
profesi, (d) penyakit, (e) aktivitas, (f) peristiwa, dan (g) sifat atau keadaan. Masingmasing referensi eufemisme dan disfemisme tersebut akan dijelaskan di bawah ini.
a) Benda dan binatang
Benda-benda tertentu yang dikeluarkan oleh organ tubuh manusia dianggap
menjijikan dan tidak sopan diucapkan di depan umum. Misalnya ‘air kencing’.
Agar kata tersebut lebih nyaman didengar atau dibaca orang lain kemudian
digunakan ungkapan eufemisme ‘urine’ jika itu digunakan dalam konteksnya di
bidang kesehatan. Akan berbeda pula ungkapan yang digunakan jika konteksnya
dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga ungkapan eufemisme yang digunakan
menjadi ‘pipis’.
commit to user
26
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Di lingkungan masyarakat tradisional nama-nama binatang tertentu juga
dianggap tabu jika diucapkan secara langsung. Hal ini berkaitan dengan
kepercayaan supranatural terhadap ‘tulah’ yang akan diterima jika binatang tersebut
disebut secara langsung. Masyarakat Jawa zaman dulu jika melewati hutan tidak
berani menyebut binatang ‘harimau atau macan’ secara langsung karena takut
binatang tersebut marah. Mereka biasa menyebutnya dengan ‘simbah’. Hal ini juga
dilakukan para pemburu di Sumatra di tengah hutan mereka menyebut harimau
dengan sebutan ‘datuk’.
Masyarakat Surakarta dan sekitarnya menyebut kerbau kraton kasunanan
dengan sebutan ‘Kyai Slamet’ karena dianggap memiliki ‘daya magis’. Sebagian
masyarakat petani di Wonosobo menyebut binatang tikus dengan sebutan ‘den
baguse’ dengan harapan binatang tersebut tidak menyerang tanaman padi mereka.
b) Bagian tubuh
Bagian tubuh tertentu yang fungsinya menyangkut aktivitas seksual sering
dianggap tabu diucapkan secara terus terang. Sehingga biasanya diucapkan dengan
ungkapan lain yang lebih halus. Misalnya alat kelamin pada perempuan diganti
dengan istilah: Mrs V, Miss V, organ intim, dan sebagainya.
c) Profesi
Di dalam masyarakat banyak profesi yang dinilai rendah dan kurang hormat.
Walaupun demikian orang yang menjalani profesi tersebut akan tersinggung jika
disebut secara langsung nama profesinya. Sehingga perlu diungkapkan dengan
istilah lain yang lebih halus untuk mewakili profesi tersebut. Contohnya kata
“pekerja seks komersial (PSK)” kemudian diungkapkan dengan istilah lain yaitu
pramuria, tuna susila itu yang biasa digunakan dalam lingkungan media massa.
Berbeda jika dalam lingkungan suatu masyarakat tentunya mempunyai ungkapan
eufemisme yang berbeda seperti di Kota Semarang mereka menggunakan istilah
“gadis kinjeng”.
Penjual barang keliling, pelayan toko, buruh, babu, pesuruh adalah profesi
yang tidak biasa diungkapkan secara langsung yang kemudian diungkapkan dengan
istilah lain salesman, pramuniaga, pekerja, bibi, dan office boy (OB).
commit to user
27
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d) Penyakit
Tidak semua penyakit harus menggunakan ungkapan eufemisme dalam
penggunaannya. Hanya penyakit-penyakit tertentu yang memiliki sifat menjijikan,
berbahaya, dan menimbulkan rasa malu atau tidak nyaman bagi penderita maupun
keluarga juga orang-orang lainnya sehingga perlu menggunakan ungkapan
eufemisme agar lebih halus tidak menyinggung, bisa juga untuk menyamarkan atau
sedikit merahasiakan nama penyakit yang sebenarnya. Beberapa penyakit yang
memiliki ungkapan eufemisme misalnya; penyakit ayan, gila, tuli dan sebagainya.
e) Aktivitas
Berbagai aktivitas organ atau perbuatan manusia juga mendapatkan perlakuan
eufemistik. Tidak hanya yang menyangkut aktivitas seksual saja tetapi juga yang
menyangkut aktivitas organ lainnya. Kata “menyeleweng” diganti dengan
“berselingkuh” ….
Aktivitas menyangkut kebijakan penguasa pun juga menggunakan ungkapan
eufemisme. “dipecat” disebut “pemutusan hubungan kerja (PHK)”, “dipindah
tugas” diganti dengan “dimutasi”….
f) Peristiwa
Peristiwa-peristiwa tertentu yang menimpa seseorang juga mendapatkan
perlakuan eufemisme. Hal ini sebagai upaya untuk mengurangi beban perasaan
orang yang tertimpa kemalangan, sekaligus untuk menjaga nilai-nilai etika dalam
komunikasi. Di bawah ini disebutkan contoh-contoh penggunaan istilah eufemisme
untuk menggantikan kata atau istilah yang dirasa kurang halus.
-
Orang mati
disebut
meninggal, wafat, gugur dsb.
-
Mengalami kecelakaan
disebut
mendapat musibah.
-
Bangkrut
disebut
pailit, gulung tikar.
-
Dipenjara
disebut
diamankan.
g) Sifat atau keadaan
Sifat atau keadaan yang ada pada seseorang harus dihormati agar tidak merasa
diremehkan oleh orang lain merupakan hal yang sangat penting dalam komunikasi.
Di bawah ini dicontohkan penggunaan ungkapan eufemisme untuk menyebut sifat
atau keadaan yang dialami seseorang.
commit to user
28
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
-
Bodoh; goblok
disebut
kurang pandai; kurang cerdas.
-
Gila
disebut
bertukar akal; tidak waras.
-
Melarat; miskin
disebut
kurang mampu; prasejahtera.
-
Jelek muka
disebut
bertampang pas-pasan
Menurut Allan dan Burridge (1991), disfemisme secara umum dapat diperoleh
dari beberapa hal berikut:
a. Istilah tabu yang digunakan sebagai penghinaan, julukan, dan kata seru. Istilah tabu
tersebut bersumber dari hal-hal berikut;

Organ tubuh yang tertutup oleh bikini dan pakaian renang karena bagian tersebut
dikenai hasrat seksual atau digunakan untuk aktivitas seksual dan pembuangan
hajat. Misalnya: tetek, dubur, dsb.

Aktivitas yang melibatkan organ seksual, micturitions dan defekasi. Misalnya:
berak, kencing, dsb.

Sesuatu yang dihasilkan oleh organ seksual, micturitions dan defekasi.
Misalnya: air kencing, tinja, dsb.

Kematian
dan
hal-hal
yang
berkaitan
dengan
kematian.
Misalnya:
pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan, dsb.

Penyakit. Misalnya: gila, tuli, buta, dsb.

Makanan dan bau sesuatu yang gaib. Misalnya: apek, amis, dsb.
b. Umpatan kotor, makian, dan sumpah serapah. Misalnya: setan, kere, dsb.
c. Membandingkan manusia dengan binatang yang dianggap memiliki kesamaan sifat
buruk. Misalnya: keledai, babi, ular, anjing, dsb.
d. Memberi julukan yang menggunakan karakteristik keabnormalan fisik seseorang. Si
pincang, buta, dsb.
e. Umpatan dan julukan yang menunjukkan kekurangan mental seseorang. Misalnya:
gila, autis, idiot, dsb.
f. Sexist, racist, classist, ageist, speciesist, chauvinist, dan –ist disfemisme lain.
g. Istilah atau ungkapan yang menunjukkan penghinaan dan ketidakhormatan yang
ditunjukkan pada karakter dan sifat seseorang. Misalnya: banci, maling, koruptor,
dsb.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
29
digilib.uns.ac.id
9. Fungsi Eufemisme dan Disfemisme
Hymes (dalam Saville-Troike, 2003:13), menyatakan bahwa fungsi bahasa
sebagai alat komunikasi ada enam, yaitu (1) fungsi ekspresif (untuk menyampaikan
perasaaan atau emosi), (2) fungsi direktif (permintaan atau tuntutan), (3) fungsi
referensial (untuk menyatakan kebenaran dan kesalahan isi proposisi), (4) fungsi puitis
(keindahan), (5) fungsi fatis (empati dan solidaritas), (6) fungsi metalinguistik (referen
bagi bahasa sendiri). Dalam hal ini, penggunaan eufemisme dan disfemisme dalam
komunikasi merupakan fungsi ekpresif bahasa, yaitu untuk mengungkapkan perasaan
atau emosi penutur.
Fungsi eufemisme tidak dapat terlepas dari fungsi ekspresi bahasa, yaitu untuk
mengungkapkan perasaan manusia. Allan dan Burridge (1991:11), mengungkapkan
bahwa fungsi eufemisme secara garis besar adalah sebagai berikut:
a. Menghindari tabu (bagian tubuh, bagian tubuh khusus, seks, menstruasi, penyakit,
cacat mental dan cacat tubuh, sesuatu yang dibuang atau dikeluarkan tubuh,
kematian dan seni).
b. Mengungkapkan sesuatu yang dianggap menakutkan, seperti tentang perang,
penyakit, hal-hal gaib, termasuk Tuhan, hal-hal yang berkaitan dengan kematian,
termasuk tentang binatang.
c. Menunjukkan rasa hormat dan menghindari perasaan tidak nyaman lawan bicara,
terutama untuk hal-hal yang berhubungan dengan agama, politik, Tuhan, fisik
manusia, penyakit, cacat fisik ataupun mental, atau aksi kriminal.
Adapun penggunaan disfemisme dalam berkomunikasi secara umum memiliki
dua kemungkinan. Pertama, disfemisme digunakan untuk menghina seseorang, dalam
hal ini biasanya lawan penutur. Kedua, penutur menggunakan disfemisme untuk
memaksimalkan efek penghinaan kepada orang yang dihina. Fungsi disfemisme antara
lain untuk membicarakan seseorang yang membuat penutur merasa terganggu, kecewa,
tidak setuju, sehingga penutur ingin menghina dan merendahkan seseorang tersebut agar
orang tersebut merasa terpojokkan (Allan & Burridge, 1991:78).
Menurut Zollner dalam Kurniawati (2009:30), latar belakang penggunaan
disfemisme antara lain: (1) merendahkan atau mengungkapkan penghinaan kepada
seseorang atau sesuatu, (2) untuk menunjukkan atau mengungkapkan rasa tidak suka
kepada seseorang atau sesuatu, juga ketidaksetujuan
commit to user terhadap seseorang atau sesuatu,
perpustakaan.uns.ac.id
30
digilib.uns.ac.id
(3) untuk memperkuat atau mempertajam penghinaan yang dilakukan sehingga orang
yang mendengar semakin terluka, (4) dalam bidang politik disfemisme merupakan suatu
alat untuk memberikan penggambaran yang negatif tentang lawan politik, baik
pandangan, sikap, maupun prestasinya, (5) disfemisme dapat digunakan untuk
mengungkapkan kemarahan dan kejengkelan terhadap seseorang atau sesuatu, dan (6)
disfemisme digunakan untuk mengumpat atau menunjukkan kekuasaan yang dimiliki.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang eufemisme maupun disfemisme sudah cukup banyak
dilakukan, namun dalam sebuah media elektronik khususnya talk show penelitiannya
masih sedikit. Beberapa kajian pustaka sebelumnya yang penulis temukan sejenis dan
masih relevan adalah sebagai berikut:
Tesis Purba (2002) yang berjudul Eufemisme dalam Bahasa Simalungun
membahas bentuk dan fungsi eufemisme yang terdapat dalam bahasa Simalungun.
Penelitian ini menggunakan pandangan Allan dan Burridge (1991) sebagai sumber
acuan untuk mencari bentuk dan fungsi eufemisme, tetapi tidak membicarakan referensi
eufemisme. Ada dua belas bentuk eufemisme dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Anita Purba antara lain; ekspresi figuratif, metafora, sirkumlokusi, kliping, pelepasan
satu kata untuk menggantikan kata yang lain, umum ke khusus, hiberbola, pernyataan
yang tidak lengkap, kolokial, remodeling, dan sebagian untuk semua. Fungsi eufemisme
dalam bahasa Simalungun berhubungan dengan sapaan atau penamaan yang
menghindari tabu. Menurutnya, bahasa simalungun mempunyai pola dan struktur yang
lebih kompleks dari pada pola bahasa lain.
Penelitian lainnya adalah tesis Kurniawati (2009), yang meneliti Eufemisme dan
Disfemisme dalam Spiegel Online meneliti bentuk satuan gramatikal eufemisme dan
disfemisme, serta latar belakang penggunaan eufemisme dan disfemisme. Hasil dari
penelitian ini sebagai berikut; bentuk satuan gramatikal eufemisme yang digunakan
dalam Spiegel Online terdiri atas kata (tunggal dan majemuk), frasa dan kalimat. Bentuk
satuan gramatikal disfemisme juga terdiri atas kata (tunggal dan majemuk), frasa, dan
kalimat. Latar belakang penggunaan eufemisme dalam Spiegel Online adalah ditafsirkan
untuk; (1) menghindari pengunaan kata-kata yang dapat menimbulkan kepanikan atau
ketakutan, (2) memperhalus ucapancommit
agar totidak
user menyinggung, menghina, atau
perpustakaan.uns.ac.id
31
digilib.uns.ac.id
merendahkan seseorang, (3) mengurangi atau tidak menyinggung hal-hal yang
menyakitkan atau tragedi, (4) berdiplomasi atau bertujuan retoris, (5) menggantikan
kata-kata yang dilarang, tabu, vulgar atau bercitra negatif, (6) merahasiakan sesuatu, (7)
menghormati atau menghargai orang lain, (8) menyindir atau mengkritik dengan halus.
Latar belakang pengunaan disfemisme ditafsirkan untuk; (1) menyatakan hal yang tabu,
tidak senonoh, asusila, (2) menunjukkan rasa tidak suka atau tidak setuju terhadap
seseorang atau sesuatu, (3) penggambaran yang negatif tentang seseorang atau sesuatu,
(4) mengungkapkan kemarahan atau kejengkelan, (5) mengumpat atau memaki, (6)
menujukkan rasa tidak hormat atau merendahkan seseorang, (7) mengolok-olok,
mencela, atau menghina, (8) melebih-lebihkan sesuatu, (9) menghujat atau mengkritik,
(10) menunjukkan sesuatu hal yang bernilai rendah.
Faridah (2002) dalam tesisnya Eufemisme dalam Bahasa Melayu Serdang
membahas bentuk, fungsi, dan makna eufemisme. Faridah juga menggunakan
pandangan Allan dan Burridge dalam penelitiannya tetapi mengacu kepada kajian
semantik. Ia mengatakan bahwa bentuk-bentuk eufemisme dalam bahasa Melayu
Serdang terdiri atas ekspresi figuratif, metafora, satu kata untuk menggantikan kata
yang lain, umum ke khusus, hiperbola, dan kolokial. Fungsi-fungsi eufemisme dari hasil
penelitian Faridah adalah sapaan dan penamaan, menghindari tabu, menyatakan cara
eufemisme digunakan, dan menyatakan situasi. Dari bentuk dan fungsi tersebut
diperoleh makna eufemisme yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur, konteks
tuturan, tujuan tuturan, tuturan sebagai bentuk tindak atau aktivitas, dan tuturan sebagai
bentuk tindak verbal.
Jurnal Humaniora Sunarso (1998) meneliti Eufemisme: Referensi dan Latar
Belakangnya. Dalam penelitiannya, referensi eufemisme bersangkutan dengan tubuh
manusia, baik yang berhubungan dengan tubuh, sifat, maupun perbuatannya.
Eufemisme berkaitan dengan tubuh manusia yakni hal-hal yang berhubungan dengan
seks (khususnya nama organ seks), penyakit dan cacat tubuh, pengeluaran kotoran
badan, dan kematian. Sedangkan eufemisme yang berkaitan dengan sifat manusia, yakni
berhubungan dengan sifat yang tidak baik. Adapun eufemisme yang berhubungan
dengan perbuatan manusia dapat berupa hal-hal yang berkenaan denngan nasib yang
tidak menyenangkan. Eufemisme yang berkaitan dengan kenyataan sosial yang
dianggap sebagai sesuatu yang buruk commit
pun berpusat
to user pada manusia. Eufemisme yang
perpustakaan.uns.ac.id
32
digilib.uns.ac.id
tidak berhubungan dengan manusia hanyalah bidang eufemisme yang menyangkut hal
yang dapat menimbulkan bahaya. Sebab-sebab timbulnya eufemisme menurut Sunarso
antara lain yaitu karena rasa takut yang dialami oleh penutur akan bahaya yang akan
timbul, keinginan untuk menutupi atau menyembunyikan sesuatu atau keadaan buruk,
dan keinginan untuk menghormati lawan bicara atau mitra tutur. Penggunaan bentuk
eufemistis juga mencerminkan sikap penutur terhadap peristiwa, keadaan, atau realitas
yang dihadapi. Sikap yang dimaksud antara lain berupa sikap keagamaan, seperti
eufemisme tentang kematian dan sikap ilmiah, seperti penggunaan istilah yang berasal
dari bahasa asing.
Penelitian lainnya yang berhubungan dengan eufemisme adalah tesis Sutarman
(2012) yang berjudul Eufemisme dalam Rubrik ‘Konsultasi Seks dan Kejiwaan’ di
Tabloid Nyata meneliti tentang bentuk-bentuk ungkapan eufemisme, makna ungkapan
eufemisme, dan penggunaan citraan eufemisme dalam rubrik konsultasi seks dan
kejiwaan di tabloid Nyata. Hasil dari penelitian Sutarman adalah sebagai berikut
bentuk-bentuk ungkapan eufemisme secara umum dapat diklasifikasikan menjadi: (1)
penggunaan singkatan, (2) penggunaan kata serapan, (3) penggunaan campur kode, (4)
penggunaan metafora, dan (5) penggunaan citraan. Menurut Sutarman dalam
penelitiannya tidak semua ungkapan eufemisme dapat dipahami secara langsung
maknanya, karena diperlukan deskripsi makna yang jelas dan santun agar tidak
menimbulkan salah penafsiran dalam memahami istilah-istilah tertentu. Misalnya,
istilah Mrs V, Miss V, Mr P, Making Love (ML), petting, masturbasi, ejakulasi, dan
sebagainya. Penggunaan ungkapan eufemisme lebih didominasi pada penyebutan alat
kelamin dan aktivitas seksual. Penggunaan citraan dalam rubrik konsultasi seks dan
kejiwaan dalam tabloid Nyata meliputi, citraan penglihatan (visual imagery), citraan
perabaan (tactile/thermal imagery), citraan gerak (movement / kinaesthetic imagery),
dan citraan intelektual (intellectual imagery). Citraan intelektual mempunyai frekuensi
kemunculan paling tinggi, hal ini disebabkan citraan intelektual mencakup penggunaan
kata serapan maupun penggunaan istilah asing.
Penelitian Wijana (2004) dalam jurnal yang berjudul Makian dalam Bahasa
Indonesia: Studi tentang Bentuk dan Referensinya membahas bentuk dan referensi
makian dalam bahasa Indonesia. Menurut Wijana, bentuk makian dalam bahasa
Indonesia ada tiga, yaitu kata, frase, dan
klausa.
Sedangkan referensi makian dalam
commit
to user
33
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahasa Indonesia ada delapan, yaitu keadaan, binatang, makhluk halus, benda-benda,
bagian tubuh, kekerabatan, aktivitas dan profesi.
Selanjutnya dalam jurnal ilmiah bahasa dan sastra Rubby (2008) dengan judul
Eufemisme pada Harian Seputar Indonesia. Dalam penelitiannya Rubby hanya meneliti
bentuk eufemisme saja yang terdapat pada Harian Seputar Indonesia dengan
menggunakan teori yang dikemukakan oleh Allan & Burridge dan dapat disimpulkan
bahwa bentuk-bentuk eufemisme pada harian Seputar Indonesia ada tujuh yaitu ekspresi
figuratif, flipansi, sirkomlokusi, singkatan, satu kata untuk menggantikan satu kata yang
lain, umum ke khusus, dan hiperbola. Bentuk yang sering muncul pada harian ini adalah
satu kata untuk menggantikan satu kata yang lain sebanyak 40%.
Penelitian lainnya yang berhubungan dengan eufemisme terdapat pada jurnal
Humaniora Tommi (2005) meneliti Teknik Penciptaan Asosiasi Pornografi dalam
Wacana Humor Bahasa Indonesia. Dalam penelitian tersebut eufemisme merupakan
salah satu teknik dan fungsi penciptaan asosiasi pornografi dalam wacana humor dalam
bahasa Indonesia, eufemisme muncul disebabkan oleh keinginan penutur untuk
menutup-nutupi atau menyembunyikan sesuatu atau keadaan yang tidak baik. Selain itu
eufemisme terbentuk karena keinginan penutur untuk menghormati lawan tutur.
Dalam jurnal linguistik Sanaty (2010) berjudul A Study of Euphemisms from the
Perspectives of Cultural Translation and Linguistics. Penelitiannya membahas tentang
apa dan bagaimana seseorang harus mengekspresikan apa yang mereka maksud dengan
meneliti eufemisme dalam proses penerjemahan, ketika bahasa target dan sumber
memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda. Sanity menyimpulkan kesopanan
merupakan unsur terpenting dalam kebudayan yang berarti bahwa perilaku tertentu atau
ucapan yang sopan dalam satu budaya mungkin berarti tidak sopan dalam budaya
lainnya.
commit to user
34
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Kerangka Berpikir
Kerangka pikir adalah sebuah cara kerja yang dilakukan oleh penulis untuk
menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Kerangka pikir yang terkait dengan
penelitian ini secara garis besar dilukiskan pada bagan di bawah ini.
Talk show Mata Najwa di Metro TV
Najwa Shihab
(pembawa acara)
Nara Sumber /
Bintang Tamu
Ungkapan Eufemisme dan Disfemisme
Analisis Data
Bentuk dan
tipe-tipe
Referensi
Makna dan
Fungsi
Kaidah-kaidah Teori
Bagan 2.1 Kerangka Berpikir
Bagan di atas dapat menggambarkan bahwa tahap awal penelitian ini adalah
munculnya fenomena penggunaan bahasa dalam talk show Mata Najwa di Metro TV.
Banyaknya ungkapan-ungkapan eufemisme dan disfemisme yang terdapat dalam talk
show Mata Najwa, ungkapan tersebut yang akan menjadi sumber data dalam penelitian
ini. Dalam hal ini penulis mengumpulkan
data selama
commit
to userbulan Februari 2015 dengan tema
35
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
politik. Dari sumber data tersebut yang dikaji adalah ungkapan-ungkapan eufemisme
dan disfemisme dengan menggunakan pendekatan sosiolinguistik sehingga dengan
mengacu pada sumber data maka dapat diketahui bahwa data dalam penelitian ini
adalah sebagian tuturan yang mengandung ungkapan eufemisme dan disfemisme dalam
Talk Show Mata Najwa baik dari pembawa acara maupun dari nara sumber/bintang
tamu.
Dalam talk show Mata Najwa akan terjadi proses tanya jawab antara pembawa
acara dengan nara sumber. Di talk show ini, Najwa Shihab selaku pembawa acara akan
memberikan beberapa pertanyaan yang mungkin tidak terjawab atau enggan dijawab
oleh nara sumber. Di situasi inilah yang memungkinkan penggunaan ungkapanungkapan eufemisme dan disfemisme karena rasa ketidaknyamanan, ketidakpuasan, dan
sebagainya. Dari proses tanya jawab itulah yang dapat menimbulkan berbagai bentuk,
tipe, makna, referensi dan fungsi ungkapan eufemisme serta disfemisme itu digunakan
dalam komunikasi. Melalui teori Allan dan Burridge serta teori-teori yang lain nantinya
akan diketahui bagaimana bentuk, tipe, referensi, makna, dan fungsi ungkapan
eufemisme serta disfemisme yang digunakan dalam talk show Mata Najwa.
commit to user
Download