Pemanfaatan Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis

advertisement
Formatted: Left: 4 cm, Right:
3 cm, Width: 21 cm, Height:
29,7 cm, Different first page
TINJAUAN PUSTAKA
Padi dan Beras
Morfologi Biji Padi
Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman pangan utama di
dunia. Sentral produksi padi yaitu China dan India, berturut-turut sebesar 35 dan
20% dari total produksi dunia. Biji padi terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang
dapat dimakan
(rice caryopsis) dan kulit (hull or husk).
Struktur biji padi
disajikan pada Gambar 1 (Juliano, 1972). Beras pecah kulit, yaitu gabah yang
telah dihilangkan kulit atau sekamnya, terdiri atas perikap (1-2%), aleuron dan
testa (4-6%), lembaga (2-3%) dan endosperm (89- 94%).
Tipe padi yang tumbuh di Asia ada tiga, yaitu indica, javanica atau padi
bulu serta japonica. Masing-masing tipe mempunyai karakteristik biji yang
berbeda. Tipe indica paling banyak tumbuh di daerah tropis dan subtropis, ukuran
biji pendek sampai panjang, ramping dan mudah rontok. Tipe javanica,
mempunyai ukuran biji panjang, ujung gabah seperti bulu (awn) yang panjang dan
tidak mudah rontok. Sedangkan tipe japonica, kebanyakan tumbuh di daerah
subtropis yang dingin, ukuran biji pendek, bulat dan tidak mudah rontok
(Damardjati 1983).
Namun, kemajuan teknologi persilangan saat ini telah
mengaburkan ciri-ciri tersebut.
Bulu
Sekam
Endosperma
Perikarp
Testa
Aleuron
Bkl batang
Bakal daun
Bakal akar
Lembaga
Tangkai
Gambar 1. Struktur biji padi (Juliano 1972)
7
Komposisi Gizi dan Peran Beras
Beras yang dihasilkan dari tanaman padi, merupakan komoditas pertanian
yang sangat penting di Asia, termasuk Indonesia. Beras merupakan bahan pangan
pokok yang dikonsumsi lebih dari 90 persen penduduk Indonesia. Sejarah
perberasan Indonesia telah mencatat sebuah dinamika produksi dan mutu beras
yang cukup menarik. Pada periode awal bangkitnya negeri ini, rakyat telah
mengalami situasi pangan yang sulit karena pasokan beras sangat terbatas. Untuk
memenuhi kebutuhan pangan saat itu telah dimanfaatkan berbagai sumber
karbohidrat yang ada, seperti jagung, sorgum, dan umbi-umbian. Sejak paruh
kedua tahun 1960-an pemerintah berusaha meningkatkan produksi beras di dalam
negeri. Keberhasilan Revolusi Hijau melalui penerapan teknologi varietas unggul
baru, pemupukan dan perawatan tanaman telah dimanfaatkan oleh Indonesia
untuk mendorong upaya peningkatan produksi beras tersebut. Pemerintah, melalui
program Intensifikasi Khusus (Insus), Supra Insus dan lain-lain, telah berhasil
mencapai keadaan swa-sembada beras pada tahun 1984 (Damardjati et al. 2004).
Kini usaha peningkatan produksi beras pun tetap dilakukan, karena produksi beras
domestik belakangan ini mengalami kemunduran relatif terhadap kebutuhan beras
yang tetap tinggi. BPS (2002) mencatat peningkatan kebutuhan beras akibat
peningkatan jumlah penduduk di Indonesia ialah 1.49%.
Mutu beras meliputi mutu pasar, mutu fisik dan mutu giling, mutu tanak
dan cita rasa, serta mutu gizi. Di Indonesia, sampai dengan tercapainya swasembada beras, mutu gizi masih terabaikan. Hal ini antara lain karena pemerintah
masih memfokuskan pada usaha peningkatan produksi beras untuk memenuhi
kebutuhan penduduk. Pada era pasca swa-sembada beras, dengan didorong oleh
perbaikan ekonomi dan kemajuan teknologi, mutu gizi beras mulai mendapat
perhatian. Keberhasilan pembangunan ekonomi saat itu telah membawa
konsumen pada status yang memungkinkan munculnya tuntutan mutu beras yang
lebih tinggi (Damardjati 1995).
Beras giling mengandung protein 6.8%, lemak 0.7%, karbohidrat 78.9%
dan menghasilkan energi sebesar 360 kkal/100g (Dep. Kes. 1992). Selain sumber
karbohidrat, beras merupakan sumber protein penting dalam menu masyarakat
Indonesia. Kadar protein beras relatif rendah, tetapi mempunyai mutu protein
Deleted: alori
8
terbaik dibandingkan dengan serealia lain (Damardjati 1983). Protein beras dapat
secara langsung meningkatkan penyediaan protein dalam menu makanan,
khususnya bagi penduduk berpenghasilan rendah.
Upaya peningkatan kandungan mineral dan vitamin pada bahan makanan
pokok, khususnya mineral besi pada tanaman padi telah dilakukan melalui
program biofortifikasi. Penelitian tersebut merupakan salah satu strategi
pemuliaan tanaman untuk meningkatkan kandungan besi dalam beras, dan
sekaligus
memperbaiki
gizi
masyarakat
dengan
biaya
relatif
murah.
Pembentukkan materi pemuliaan tersebut dapat dilakukan secara konvensional
(hibridisasi dan seleksi) atau non konvensional (kultur anter dan transformasi).
Beras berkadar besi tinggi tersebut dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat
menengah ke bawah sebagai sumber energi dan sumber zat besi (Indrasari et al.
2004).
Jenis Beras
Berdasarkan cara prosesnya dikenal beberapa jenis beras, antara lain beras
Deleted: yaitu
tumbuk, beras sosoh, beras giling, beras pecah kulit, beras kepala, beras patah,
beras instan dan beras pratanak. Dua jenis beras yang disebut terakhir akan
diuraikan khusus, karena akan diteliti pada kegiatan ini. Beras tumbuk ialah beras
yang dihasilkan dari gabah yang ditumbuk secara manual, misal menggunakan
lumpang (Alat penumbuk tradisional, terbuat dari kayu). Dalam proses
penggilingan padi, gabah yang telah dihilangkan sekamnya disebut beras pecah
kulit, kemudian dilanjutkan proses penyosohan dan hasilnya disebut beras sosoh
atau beras giling. Beras giling dipisahkan berdasarkan ukuran biji. Apabila biji
beras berukuran ≥ 2/3 utuh disebut beras kepala, ukuran 1/3-2/3 biji utuh disebut
beras patah dan bila < 1/3 biji utuh disebut menir.
Beras Instan. Dalam era industrialisasi, manusia dituntut untuk bergerak
cepat, termasuk dalam menyiapkan makanan sehari-hari. Oleh sebab itu, bahan
pangan yang cepat saji menjadi sangat bermanfaat. Bahan pangan pokok yang
telah tersedia dalam bentuk instan dan mulai memasyarakat di Indonesia ialah
bentuk mi. Mengingat budaya makan nasi di Indonesia sangat kuat, diharapkan
Deleted: e
beras instan dapat menjadi salah satu alternatif bahan pangan yang cepat saji,
disamping mi instan.
Deleted: e
9
Produk instan merupakan jenis produk pangan yang mudah untuk disajikan
dalam waktu yang relatif singkat. Pangan instan merupakan produk makanan yang
mengalami proses pengeringan air, sehingga mudah mengabsorpsi air dan
disajikan hanya dengan menambahkan air panas atau air dingin sehingga tidak
terlalu menyita banyak waktu (Hartomo & Widiatmoko 1993). Instanisasi
merupakan suatu istilah yang mencakup berbagai perlakuan, baik kimia ataupun
fisika yang akan memperbaiki karakteristik hidrasi dari suatu produk.
Karakteristik hidrasi pada produk yang harus dimiliki bahan makanan agar
dapat membentuk produk pangan instan, adalah: a) sifat hidrofilik, yaitu sifat yang
mudah mengikat air, b) tidak memiliki lapisan gel yang tidak permeabel sebelum
digunakan sehingga dapat menghambat laju pemanasan, c) hidrasi produk tidak
menghasilkan produk yang menggumpal dan mengendap (Hartomo &
Widiatmoko 1993).
Beras instan merupakan produk yang populer di Amerika, Jepang, dan
beberapa negara barat. Hingga sekarang beras cepat saji tersedia di pasaran dan
dapat dimasak dalam waktu 5 menit untuk mendapatkan tingkat kepuasan
penerimaan konsumen. Setelah pemasakan, produk tersebut harus sesuai dengan
karakteristik flavor, rasa dan tekstur nasi pada umumnya. Nasi instan ini harus
stabil dalam penyimpanan selama 6-12 bulan pada suhu ruang. Produk dikemas
sebaik-baiknya dalam kemasan khusus untuk menghindari perubahan kadar air
selama penyimpanan, salah satunya adalah dengan cara pengalengan (canned
rice) (Luh 1991).
Beras instan yang telah mengalami gelatinisasi dapat dikeringkan, tetapi
molekul – molekul tersebut tidak dapat kembali lagi ke sifat-sifat asal sebelum
gelatinisasi. Bahan yang telah kering tersebut masih mampu menyerap air kembali
dalam jumlah yang besar. Sifat inilah yang digunakan agar instant rice dapat
menyerap air kembali dengan mudah, yaitu dengan menggunakan pati yang telah
mengalami gelatinisasi (Winarno 1997).
Beras yang telah disiapkan dalam bentuk Quick Cooking Rice (QCR) akan
mudah menyerap air karena telah mengalami perubahan struktur, tekstur, dan
kecepatan penyerapan air akan lebih tinggi dibandingkan dengan beras yang tanpa
diproses lebih dahulu. Produk yang dihasilkan dengan metode QCR mudah
Deleted: ai
10
dimasak yaitu cukup dengan menambah air panas sehingga dengan cepat beras
akan mengalami rehidrasi menjadi nasi dan siap untuk dikonsumsi. Di Amerika,
dengan metode ini mengakibatkan konsumsi beras mengalami peningkatan.
Dalam pengolahan QCR, perendaman beras dapat dilakukan di dalam air
dingin, air panas atau dalam larutan bahan kimia tertentu selama 10 sampai 30
menit. Menurut Lipton, perendaman dalam larutan
asam sitrat dapat
menyebabkan produk menjadi jernih, bahkan dapat menghambat terjadinya proses
ketengikan, sedangkan perendaman dalam larutan garam NaCl akan menghambat
proses gelatinisasi pada waktu pemanasan (Keneaster 1974).
Perendaman meningkatkan keseragaman masuknya air pemasakan ke dalam
butir beras. Jumlah air perendaman yang masuk ke dalam butir beras tergantung
pada lamanya waktu perendaman dan suhu air perendaman. Perembesan air ini
memperkecil kecenderungan butir beras terpisah atau pecah akibat tekanan
osmotik pada butir beras selama pemasakan, dan pati mulai terlepas ke dalam air
pemasakan.
Selama pemasakan beras, akan terjadi pengembangan granula pati.
Pengembangan ini menyebabkan permukaan butir beras menjadi retak.
Pengembangan beras selama dimasak tidak sebesar kemampuan pengembangan
pati yang volumenya bisa mencapai 64 kali lebih besar dibandingkan dengan butir
pati asal. Tertahannya pengembangan pati beras dapat disebabkan oleh adanya
Deleted: karena
pembatas komponen bukan pati. Kandungan lemak, protein, mineral dan dinding
sel berpengaruh terhadap kualitas pemasakan nasi.
Pengeringan merupakan langkah kritis pada pembuatan QCR. Karakteristik
dari nasi instan kering tergantung pada karakteristik pengeringannya. Beberapa
kerugian seperti penyimpangan bentuk, kerusakan dan hasil yang tidak bagus pada
saat rehidrasi merupakan akibat dari prosedur pengeringan yang tidak tepat.
Semakin cepat produk dikeringkan, semakin bagus kualitas proses rehidrasi.
Proses pengeringan akan menghasilkan struktur porous yang akan memudahkan
air untuk meresap ke dalam beras pada waktu rehidrasi.
Beras Pratanak. Pembuatan beras pratanak merupakan proses yang unik,
karena tahap pengolahan dimulai pada saat bahan masih berbentuk gabah
(Garibaldi 1974). Cara pembuatan beras pratanak sangat beragam, namun pada
Deleted: hasil
11
prinsipnya melalui tiga tahapan proses, yaitu perendaman (steeping), pengukusan
(steaming), dan pengeringan (drying). Gabah yang telah mengalami perlakuan
diatas akan lebih awet, dapat mencegah perkecambahan. Gabah tersebut kemudian
digiling hingga diperoleh beras pratanak. Proses pratanak
berpengaruh lebih
nyata terhadap sifat fisik butiran beras dibandingkan dengan sifat kimianya.
Proses pratanak dipilih karena cenderung menurunkan indeks glikemik beras
(Foster-Powell et al. 2002).
Pembuatan beras pratanak merupakan proses pemberian air dan uap panas
terhadap gabah sebelum gabah tersebut dikeringkan. Tujuan dari proses pratanak
adalah untuk menghindari kehilangan dan kerusakan beras, baik ditinjau dari nilai
gizi maupun segi rendeman beras yang dihasilkan.
Oleh karena itu proses
pratanak harus dilakukan dengan cara yang tepat (De Datta 1981, Hoseney 1994).
Beras pratanak banyak diproduksi di Afrika dan India.
Peningkatan nilai gizi pada beras pratanak disebabkan oleh proses difusi dan
panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrien lainnya dalam endosperm,
serta derajat sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya lapisan aleuron yang
mengakibatkan sedikitnya bekatul dan nutrien yang hilang.
Beras pratanak
memiliki kandungan vitamin B yang lebih tinggi dibandingkan beras biasa serta
kandungan minyak dan lemak yang rendah dibandingkan dengan beras biasa
sehingga beras pratanak lebih tahan lama untuk disimpan (Nurhaeni 1980).
Proses pratanak adalah proses gelatinisasi pati di dalam beras. Pada proses
gelatinisasi pati terjadi pengembangn granula secara irreversible dan kompaknya
granula pati. Kejadian tersebut membutuhkan kandungan air 30-35% dan panas
kurang lebih 26 kkal per kg gabah untuk kesempurnaan proses (Garibaldi 1974).
Pada proses pratanak, terjadi perubahan zat gizi (Tabel 1).
Perendaman bertujuan untuk memasukkan air ke dalam ruang interseluler
dari sel-sel pati endosperm, dan sebagian air diserap oleh sel-sel pati tersebut
sampai tingkat tertentu sehingga cukup untuk proses gelatinisasi (Nurhaeni 1980;
De Datta 1981). Pemasakan bertujuan untuk melunakkan struktur sel-sel pati
endosperm sehingga tekstur granula pati endosperm menjadi seperti pasta akibat
proses gelatinisasi. Pemasakan harus dilakukan dengan hati-hati agar gelatinisasi
Halaman
Deleted: di
12
pati dan sterilisasi yang homogen dari gabah tercapai, yaitu dengan
menggunakan uap panas yang bersuhu tinggi dan tekanan uap yang rendah.
Tabel 1. Kandungan zat gizi beras (per 100 g) dari berbagai cara pengolahan
Air
Energi
Protein Lemak Karbohidrat
Macam beras
(g)
(kkal)
(g)
(g)
(g)
Beras pecah kulit
13
335
7.4
1.9
76.2
Beras setengah
giling
Beras giling
12
353
7.6
1.1
78.3
13
360
6.8
0.7
78.9
Beras parboiled
12
364
6.8
0.6
80.1
Sumber : Darmajati (1981).
Prinsip proses pengeringan bahan adalah pemindahan uap air dari bahan
melalui cara evaporasi. Evaporasi terjadi terutama pada permukaan bahan
tersebut, yaitu melalui proses difusi dari air di dalam bahan ke permukaan bahan
akibat panas yang diberikan baik secara konveksi, konduksi maupun radiasi
(Darmadjati 1981).
Pengeringan dilakukan dua kali untuk mencapai kadar air 14%.
Pengeringan pertama pada suhu 100oC sampai kadar air 20%, pengeringan kedua
pada suhu 60oC sampai kadar air 14%. Pengeringan pada proses pembuatan beras
pratanak memerlukan suhu yang lebih tinggi (bisa mencapai 100oC) karena kadar
air gabah yang tinggi (dapat mencapai 45%), dan tekstur butir yang berbeda akibat
pemanasan yang dilakukan terutama pada saat pemasakan
(De Datta 1981).
Pengeringan gabah dilakukan hingga kadar air sekitar 14%, karena kadar air 14%
merupakan kondisi optimum gabah untuk digiling.
Pengeringan gabah pratanak bertujuan untuk mengurangi kadar air sampai
tingkat optimal untuk penggilingan dan penyimpanan, serta memaksimumkan
hasil giling. Pengeringan juga mempengaruhi tekstur dan warna produk akhir
(Garibaldi 1974, Luh & Mickus 1981). Pengeringan sebaiknya dilakukan segera
setelah pemasakan.
Penundaan pengeringan menyebabkan proses gelatinisasi
terus berlanjut sehingga warna menjadi lebih gelap. Penundaan pengeringan juga
menyebabkan pertumbuhan mikroba meskipun gabah pratanak dalam keadaan
steril, karena suhu dan kadar air tersebut sangat disukai mikroba, terutama kapang
Formatted Table
13
dan cendawan. Akan tetapi bila pengeringan terlalu cepat akan menyebabkan
retak (cracking).
Pada proses penggilingan beras, gabah kering giling yang telah dibersihkan
Deleted:
dari kotoran dilakukan proses penghilangan sekam sehingga diperoleh beras pecah
kulit (brown rice), dilanjutkan dengan proses penyosohan sehingga diperoleh
Deleted: dilaku
Deleted: cara
beras giling. Penyosohan akan menyebabkan kulit ari dan lembaga terpisahkan,
yang berarti kehilangan protein, lemak, vitamin dan mineral yang lebih banyak.
Proses beras pratanak mampu mengurangi kehilangan zat gizi dalam proses
penggilingan. Nilai gizi yang tinggi disebabkan oleh proses difusi dan panas yang
melekatkan vitamin-vitamin dan nutrien lainnya dalam endosperm, serta derajat
Deleted: t
sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya aleuron mengakibatkan sedikitnya
bekatul dan zat gizi yang hilang (Nurhaeni 1980).
Deleted: ¶
¶
Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM)
atau biasa disebut diabet merupakan penyakit
kronik yang timbul karena terlalu banyak glukosa di dalam darah. Dengan kata
lain, DM merupakan suatu kelompok gangguan metabolik dengan ciri umum,
yaitu hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi). Jenis penyakit ini telah dikenal
ribuan tahun yang lalu oleh masyarakat Mesir kuno, seperti dalam Ebers Papirus
(± 1500 SM), mengungkapkan beberapa pengobatan terhadap suatu penyakit yang
ditandai dengan sering kencing (Pusparaj et al. 2001). Disebutkan bahwa DM
diambil dari kata diabetes = mengalir terus, dan melitus = madu, yang berarti
minum dan urine yang dikeluarkan mengandung glukosa. DM merupakan
penyakit metabolik serius dengan tanda kandungan glukosa darah meningkat
sebagai akibat berkurangnya insulin secara relatif maupun absolut. Perubahan ini
akan diperburuk dengan meningkatnya sekresi glukagon oleh pankreas ke dalam
tubuh (Brody 1999).
Klasifikasi
Badan kesehatan dunia (WHO), melalui laporan kedua Expert Committee
on Diabetes Melitus mengelompokkan diabetes menjadi dua kelompok utama,
yaitu Insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) dan Non-insulin-dependent
14
diabetes mellitus (NIDDM) (WHO 1980). Pada IDDM, pankreas tidak
menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup, sedangkan NIDDM pankreas
masih relatif cukup menghasilkan insulin, tetapi insulin yang ada tidak bekerja
secara baik karena adanya resistensi insulin akibat kegemukan (Dalimartha 2004).
Pada tahun 1997, Expert Committee on the Diagnosis dan Classification of
Diabetes Melitus (ECDCDM) menyepakati klasifikasi baru diabetes melitus,
menjadi DM tipe 1 (yang sebelumnya disebut IDDM atau juvenil diabetes), tipe 2
(sebelumnya disebut NIDDM atau adult-onset) dan gestational diabetes (FosterPowel et al. 2002; Rimbawan & Siagian 2004).
Kelompok DM
tipe 1 adalah penderita penyakit DM yang sangat
tergantung pada suntikan insulin. Kebanyakan penderitanya masih muda dan tidak
gemuk. Gejala biasanya timbul pada masa kanak-kanak dan puncaknya pada masa
akil balig (Dalimartha 2004). Sekitar 95% penderita DM tipe 1 terjadi sebelum
usia 25 tahun, dengan prevalensi kejadian yang sama pada pria dan wanita.
Individu yang mengalami DM tipe 1 mempunyai ciri-ciri polyuria (sering
kencing), polydipsia (rasa haus yang terus menerus), dan polyphagia (perasaan
lapar yang berlebih). Dalam pengujian glukosa darah, pasien yang mengalami
diabetes tipe ini apabila diberi 75 g glukosa secara oral dan sebelumnya telah
melakukan puasa selama semalam, konsentrasi glukosa darahnya akan meningkat
lebih dari 200 mg/dl. Sedangkan pada individu normal perlakuan yang sama akan
meningkatkan glukosa darahnya berkisar 140 mg/dl.
glukosa
Tingginya kandungan
darah dalam tubuh, mengakibatkan laju filtrasi glomerulus terhadap
glukosa menjadi berlebih dan urine akan mengandung banyak glukosa (Champe
& Harvey 1994).
Kelompok DM tipe 2 dicirikan oleh resistensi insulin pada jaringan perifer
dan gangguan sekresi insulin dari sel-β pankreas. DM tipe 2 adalah jenis penyakit
diabet yang paling lazim dan berkaitan dengan riwayat diabetes keluarga, usia
lanjut, obesitas, perubahan pola makan dan aktivitas fisik yang kurang (Wallett et
al. 2002). Resistensi insulin dan hiperinsulinemia akan menyebabkan kerusakan
toleransi glukosa. Sel-β yang rusak akhirnya menjadi lemah, selanjutnya
mendorong intoleransi glukosa dan hiperglikemia (Mayfield 1998). Penyebab
terjadinya DM ini belum diketahui dengan pasti, namun individu yang menderita
Deleted: disebabkan oleh insulin
yang
15
diabetes, secara metabolik mengalami penurunan sensitivitas insulin akibat
disfungsi sel-β pankreas dan insulin resisten (Lebovitz 1999)
Gestational diabetes merupakan klasifikasi operasional, bukan klasifikasi
berdasarkan kondisi fisiologis. Diabetes yang diderita oleh wanita sebelum hamil
disebut pregestational diabetes. Wanita yang mengalami DM tipe 1 pada saat
hamil dan wanita dengan asimptomatik DM tipe 2 yang tidak terdiagnosis
dikelompokkan menjadi gestational diabetes. Kebanyakkan wanita penderita
gestational diabetes memiliki homeostatis glukosa yang normal selama paruh
pertama (sampai bulan kelima) masa hamil. Pada paruh kedua masa hamil (antara
bulan keempat dan kelima) mengalami defisiensi insulin relatif. Pada umumnya
kadar glukosa darah kembali normal setelah melahirkan. Gestational diabetes
dapat meningkatkan resiko DM tipe 2 pada usia lanjut.
Diagnosis dan Perubahan Metabolisme
Sebagai kriteria diagnosis yang baru, ECDCDM telah menggantikan tes
toleransi glukosa oral (oral glucose tolerance test) dengan kadar glukosa plasma
puasa (fasting plasma glucose level). Diabetes ditandai dengan kadar glukosa
darah ≥ 200 mg/dL atau kandungan glukosa darah puasa (GDP) lebih dari 126
mg/dL. Dalam pengujian glukosa darah 2 jam post prandial (2jPP), penderita
diabetes bila diberi 75g glukosa secara oral, dan sebelumnya telah melakukan
puasa semalam, maka kadar glukosa darahnya mencapai lebih dari 200 mg/dl.
Pada individu normal, GDP < 110 mg/dl dan
didiagnosis gangguan homeostatis glukosa
2jPP < 140 mg/dl. Individu
bila GDP antara 110-126 mg/dl
(gangguan glukosa puasa) atau 2jPP antara 140-200 mg/dl (gangguan toleransi
glukosa) (Mayfield 1998).
Komplikasi Diabetes Melitus
Kondisi hiperglikemik kronis dapat menyebabkan terjadinya komplikasi
DM. Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain: pengerasan kapiler dan venavena kecil, perubahan retina (kebutaan), pengerasan ginjal (nephosklerosis),
pengapuran pembuluh darah besar pada penderita diabetes yang lama dapat
menimbulkan atherosklerosis.
16
Kondisi hiperglikemik kronis dapat mendorong produksi radikal bebas
yang berlebihan dari proses auto-oksidasi glukosa, progresi protein dan terjadi
perubahan kesetimbangan oksidan dan antioksidan tubuh. Pembentukan radikal
bebas yang berlebih pada penderita DM dapat memicu penurunan kandungan
antioksidan enzimatik tubuh dan kerusakan jaringan. Hal ini dapat mengakibatkan
timbulnya atherosklerosis dan katarak (Szaleczky et al. 1999; Ferrari & Torres
2003)
Enzim antioksidan dalam tubuh mempunyai fungsi utama sebagai
pertahanan sel dengan cara mendekomposisi spesies oksigen reaktif. Perubaham
proses metabolisme yang terjadi pada DM akan mempengaruhi fungsi antioksidan
tubuh.
Tiga enzim antioksidan utama di dalam tubuh, yaitu superoksida
dismutase (SOD), glutathion peroksidase (Gpx) dan katalase (Cat). Mekanisme
perubahan keseimbangan antioksidan tubuh sebagai akibat DM yaitu adanya
induksi
terhadap
ekspresi
antioksidan
enzimatis
meningkatnya pengikatan non-enzimatis
saat
fase
glukosa terhadap
transkripsi,
protein serta
gangguan ketersediaan mikronutrien (Szaleczky et al. 1999).
Penderita DM mempunyai resiko terkena atherosklerosis 2-6 kali lipat
dibandingkan individu sehat (Wagenknecht et al. 1998; Gerrity et al. 2001 ).
Faktor penyebab terjadinya atherosklerosis pada penderita DM yaitu akselerasi
proliferasi sel otot halus arteri dan disfungsi platelet. Proliferasi sel otot halus
mendorong pembentukan lesi atherosklerosis lanjut. Hiperinsulinemia dan
hiperglikemia dapat menyebabkan akselerasi progresi atherosklerosis. Platelet
Deleted:
merupakan salah satu komponen darah yang mempunyai fungsi untuk pembekuan
darah. Pada kondisi DM, platelet mengalami disfungsi dan
hiperaktif untuk
membeku, dan cenderung untuk menempel dan beragregasi dengan endotel.
Pankreas
Pankreas
merupakan
organ
yang
mempunyai
dua
fungsi,
yaitu
menghasilkan enzim pencernaan dan hormon. Sebagian besar massa sel pankreas
merupakan sel-sel acinar, berfungsi sebagai penghasil enzim pencernaan, sisanya
sel-sel penghasil hormon (pulau Langerhans). Enzim-enzim pencernaan yang
disekresikan oleh pankreas adalah: α-amilase (menghidrolisis pati Æ dekstrin +
Deleted: berfungsi
17
maltosa); lipase (menghidrolisis trigliserida Æ monogliserida + asam lemak +
gliserol); fosfolipase (menghidrolisis lesitin Æ lisolesitin + asam lemak);
kolesterol ester hidrolase/esterase (menghidrolisis ester kolesterol ÅÆ kolesterol
bebas + asam lemak; tripsin (menghidrolisis protein/polipeptida Æ peptida kecil);
kimotripsin (menghidrolisis protein/polipeptida Æ peptida kecil); elastase
(menghidrolisis
protein
fibrous);
kolagenase
(menghidrolisis
kolagen);
ribonuklease (menghidrolisis RNA Æ nukleotida) dan dioksiribonuklease DNA
Æ nukleotida).
Pulau Langerhans merupakan kumpulan sel ovoid berukuran 76 x 0.2 μm
yang tersebar di seluruh pankreas dan berbentuk seperti pulau. Sel pulau
Langerhans mensekresikan empat macam peptida yang mempunyai aktivitas
hormon, yaitu glukagon, insulin, somatostatin dan peptida pankreas. Insulin dan
glukagon merupakan hormon yang berperan dalam metabolisme karbohidrat,
protein dan lemak. Kedua hormon tersebut berlawanan dalam keseluruhan
fungsinya. Insulin disekresikan oleh sel-α bersifat anabolik, meningkatkan
simpanan glukosa, protein dan lemak. Glukagon disekresikan oleh sel-β bersifat
katabolik, memobilisasi glukosa, asam lemak dan asam amino dari tempat
penyimpanan ke dalam darah. Somatostatin berperan dalam pengaturan sekresi
insulin dan glukagon, sedangkan peptida pankreas lainnya belum diketahui benar
fungsinya.
Insulin
Insulin merupakan suatu hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel-β dari
pulau Langerhans dan merupakan kelompok sel yang terdiri dari 1%
massa
pankreas. Insulin adalah salah satu hormon terpenting yang mengkoordinasikan
penggunaan energi oleh jaringan.
Efek metaboliknya ialah anabolik, seperti
sintesis glikogen, triasilgliserol, dan protein (Champe & Harvey 1994).
Struktur Insulin. Insulin dibentuk oleh 51 asam amino yang tersusun
dalam dua rantai polipeptida (rantai A dan rantai B). Rantai A dihubungkan
dengan rantai B melalui jembatan disulfida. Molekul insulin juga mengandung
jembatan disulfida intramolekuler antara residu asam amino 6 dan 11 pada rantai
A. Struktur insulin manusia berbeda dengan struktur insulun babi atau sapi. Pada
18
rantai A, posisi asam amino treonin dan isoleusin (residu ke 8 dan ke 10) pada
insulin manusia, berturut-turut digantikan oleh alanin dan valin. Sementara treonin
pada ujung-C (C-terminal) rantai B digantikan oleh alanin. Insulin babi berbeda
dengan manusia hanya pada ujung-C rantai B, yaitu alanin menggantikan treonin
pada insulin manusia (Champe & Harvey 1994). Secara alami, kebutuhan insulin
di dalam tubuh dipenuhi dengan mensintesisnya (biosintesis) dari dua prekursor
(bahan dasar insulin), yaitu preproinsulin dan proinsulin. Sintesis ini berlangsung
pada sitoplasma sel-β pankreas.
Pengaturan Sekresi Insulin.
Pengaturan sekresi insulin
merupakan
proses kunci dalam pengendalian kadar glukosa darah. Mekanisme sekresi insulin
juga berperan dalam pengendalian kadar trigliserida plasma. Sekresi insulin oleh
sel-β pulau Langerhans pankreas dikoordinasikan dengan pelepasan glukagon dari
sel-α pankreas. Jumlah relatif insulin dan glukagon yang dilepaskan oleh pankreas
diatur sehingga laju pembentukan glukosa di hati dijaga agar sama dengan laju
penggunaan glukosa oleh jaringan perifer. Dari peran koordinasinya,
sel-β
merespon berbagai rangsangan. Secara khusus, sekresi insulin ditingkatkan oleh
glukosa, asam amino, hormon gastrointestinal dan glukagon.
Sel-β merupakan pengindera utama glukosa di dalam tubuh. Asupan
glukosa atau makanan kaya karbohidrat mengakibatkan
peningkatan kadar
glukosa darah. Hal ini merupakan penanda untuk sekresi insulin atau penurunan
pelepasan glukagon.
Glukosa merupakan stimulan terpenting untuk sekresi
insulin.
Bahan lain non-glukosa yang juga mampu menstimulir pelepasan insulin
dengan suatu mekanisme yang berbeda, antara lain beberapa asam-asam amino.
Pada manusia, asam-asam amino, arginin, leusin, lisin dan penilalanin secara
intravena merupakan bahan yang kuat untuk menstimulir palepasan insulin.
Asupan protein menyebabkan peningkatan sementara kadar asam amino plasma.
Krisetiana et al. (2001) melaporkan bahwa selain arginin, metionin juga
menunjukkan adanya kecenderungan dalam menstimulasi sekresi insulin.
Hormon peptida intestinal
dan hormon-hormon gastrointestinal
lain
merangsang sekresi insulin. Hormon ini dilepaskan setelah asupan pangan yang
menyebabkan peningkatan insulin, sebelum terjadi peningkatan aktual kadar
19
glukosa darah. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah glukosa yang sama yang
diberikan secara oral menginduksi lebih banyak sekresi insulin daripada diberikan
secara intravena. Glukosa menstimulir sekresi insulin dan menghambat pelepasan
glukagon. Aksi yang terakhir ini sangat penting bagi penderita DM tipe 1, karena
kerusakan sel-β menghilangkan efek penghambatan dalam pelepasan glukagon
oleh insulin.
Sintesis dan pelepasan insulin berkurang saat kekurangan pangan dan
selama periode trauma. Efek ini diperantarai oleh epineprin yang disekresi oleh
medulla adrenal
untuk merespon stres, trauma atau aktivitas fisik ekstrem.
Epineprin mempunyai efek langsung terhadap metabolisme energi yang
menyebabkan mobilisasi cepat pada bahan pembentuk energi, termasuk glukosa
dari hati dan lemak dari jaringan adiposa. Epineprin juga dapat mengesampingkan
pelepasan insulin secara
normal
dengan rangsangan glukosa. Jadi, dalam
keadaan darurat, sistem syaraf simpatetik menggantikan kosentrasi plasma
glukosa sebagai pengendali sekresi insulin oleh sel-β.
Mekanisme Kerja Insulin.
yang memiliki afinitas
Insulin berikatan dengan reseptor spesifik
(reaktivitas) tinggi pada membran sel kebanyakan
jaringan, termasuk hati, otot, dan adiposa. Ini merupakan tahap pertama aliran
reaksi yang akhirnya menuju kepada susunan aksi biologis yang beranekaragam.
Pengikatan insulin menimbulkan aksi luas. Respon yang paling cepat ialah
peningkatan transpor glukosa ke dalam sel yang terjadi segera setelah insulin
berikatan dengan reseptor membran (Champe & Harvey 1994).
Sesaat setelah glukosa terserap dan masuk ke dalam sistem peredaran darah,
maka glukosa akan segera terdistribusi ke seluruh jaringan tubuh. Dampak
tersebarnya glukosa ke seluruh tubuh akan meningkatkan keberadaan insulin
pada jaringan tersebut.
Mekanisme klasik kerja insulin ialah meningkatkan
pemindahan glukosa darah menuju otot dan mencegah proses glikogenolisis,
glukoneogenesis dalam hati dan lipolisis pada jaringan adiposa (Gambar 2).
Proses ini akan diikuti dengan penyimpanan dan pembentukan glikogen dalam
sel otot (Bessesen 2001).
Reseptor yang dikenali dan diikat oleh insulin, merupakan reseptor spesifik
yang terdapat pada jaringan hati, otot dan adiposa. Reseptor insulin disintesis
20
sebagai polipeptida tunggal. Reseptor tersebut diglikosilasi dan dipecah menjadi
sub-unit α dan β, kemudian dirangkai menjadi ikatan tetramer oleh ikatan
disulfida. Domain hidrofobik pada masing-masing sub-unit β merenggangkan
membran plasma. Sub-unit α ekstraseluler mengandung sisi pengikat insulin
(insulin binding site). Domain sitisolik sub-unit β adalah tirosin kinase yang
diaktifkan oleh insulin (Champe & Harvey 1994; Rimbawan & Siagian 2004).
Efek membran dari hadirnya insulin yaitu meningkatnya transpor glukosa
pada berbagai jaringan, seperti otot skeletal dan adiposa. Pengikatan insulin pada
sub-unit α menginduksi perubahan komformasi yang ditransduksikan ke sub-unit
β. Pengikatan ini mendorong autofosforilasi residu tirosin spesifik yang cepat
dari setiap sub-unit β. Substrat insulin reseptor yang telah terfosforilasi akan
menstimulasi vesicle yang mengandung glukosa transporter untuk dipindahkan ke
membran sel. Keberadaan glukosa transporter akan memfasilitasi proses difusi
glukosa untuk masuk ke dalam sel. Bessesen (2001) menyatakan bahwa
masuknya glukosa ke dalam sel akan memberikan efek pertumbuhan dan
metabolik.
Hati
Glikogenolisis
Glukoneogenesis
Karbohidrat
Pankreas
Insulin
Glukosa
ALB
Saluran
Pencernaan
Jaringan Adiposa
Otot Skeletal
Gambar 2. Mekanisme klasik kerja insulin (Bessessen 2001)
Pengikatan insulin diikuti oleh internalisasi kompleks hormon-reseptor. Di
bagian sisi dalam sel, insulin didegradasi di
dalam lisosom.
Reseptor
21
kemungkinan didegradasi, namun lebih banyak di daur ulang ke permukaan sel.
Taraf insulin yang meningkat akan mendorong pendegradasian reseptor,
kemudian menurunkan jumlah reseptor insulin pada permukaan.
Sekresi Insulin pada Kasus Diabetes.
DM tipe 1 dicirikan dengan
kekurangan insulin absolut akibat dari kerusakan
disebabkan oleh autoimmun
sel-β.
Kerusakan tersebut
Deleted:
secara besar-besaran. Proses perusakan ini
membutuhkan stimulan dari luar (misal infeksi virus) dan determinan genetik. Tlymphocyte
teraktifkan dan merembes ke pulau Langerhans sehingga
menyebabkan suatu keadaan yang disebut insulitis.
terserang aotuimmun, terjadi penurunan perlahan-lahan
Setelah beberapa tahun
jumlah sel-β. Gejala
akan nampak secara tiba-tiba ketika 80-90 % sel β telah rusak. Pada keadaan ini,
pankreas gagal merespon glukosa dari makanan. Terapi insulin dibutuhkan untuk
mengembalikan pengendalian metabolik (Champe & Harvey 1994).
Pada DM tipe 2, pankreas menahan kapasitas sel-β yang mengakibatkan
taraf insulin bervariasi dari di bawah normal sampai di atas normal. Namun, pada
semua kasus, sel-β mengalami gangguan fungsi karena gagal mensekresikan
insulin untuk memperbaiki hiperglikemia.
Resistensi Insulin. Resistensi insulin merupakan kelainan metabolik yang
Deleted: a
dicirikan oleh menurunnya sensitivitas jaringan terhadap insulin (Kendall &
Harmel 2002). Brady dan Saltiel (1999) mengatakan bahwa resistensi insulin
adalah keadaan dimana konsentrasi insulin
Deleted: a
yang dihasilkan normal, namun
respon biologisnya rendah. Keadaan ini terjadi ketika jaringan gagal merespon
insulin secara normal. DM tipe 2 sering disertai oleh resistensi insulin pada organ
Deleted: a
sasaran yang mengakibatkan penurunan responsivitas, baik terhadap insulin
endogenous maupun eksogenous.
Sebagai contoh, resistensi insulin di hati
Deleted: a
menyebabkan produksi glukosa hepatik (glukoneogenesis) tidak terkendali. Pada
Formatted: German
(Germany)
otot dan jaringan adiposa, resistensi insulin mengakibatkan penurunan ambilan
Deleted: a
glukosa oleh jaringan tersebut (Gambar 3). Resistensi insulin yang berkembang
secara terus-menerus akan mengakibatkan sekresi insulin oleh sel-β mengalami
gangguan (Cefalu 2001).
Deleted: a
Formatted: German
(Germany)
22
Hati
Glikogenolisis
Glukoneogenesis
Karbohidrat
Pankreas
Insulin
Glukosa
ALB
X
Saluran
Pencernaan
Jaringan Adiposa
Otot Skeletal
Gambar 3. Hubungan organ dalam resistansi insulin
Indeks Glikemik Pangan
Pengertian dan Konsep Indeks Glikemik
Hasil penelitian tahun 1980-an menunjukkan bahwa kecepatan pencernaan
karbohidrat di dalam saluran pencernaan berpengaruh penting pada pemahaman
peran karbohidrat bagi kesehatan. Tidak setiap karbohidrat bekerja dengan cara
yang sama. Indeks glikemik (IG) memberi petunjuk kepada efek faali makanan
pada kadar glukosa darah dan respon insulin (Rimbawan & Siagian 2004). IG
memberikan cara yang lebih mudah dan efektif dalam mengendalikan fluktuasi
kadar glukosa darah.
Indeks glikemik pangan merupakan tingkatan pangan menurut efeknya
terhadap kadar glukosa darah. Pangan yang menaikkan kadar glukosa darah
dengan cepat, memiliki IG tinggi. Sebaliknya pangan yang menaikkan kadar
glukosa darah dengan lambat, memiliki IG rendah. Sebagai pembanding, IG
glukosa murni ialah 100. IG beberapa bahan sumber karbohidrat disajikan pada
Tabel 2. Pengenalan karbohidrat berdasarkan efeknya terhadap kadar glukosa
darah dan respon insulin, yaitu karbohidrat berdasarkan IG-nya, dapat digunakan
sebagai acuan dalam menentukan jumlah dan jenis pangan sumber karbohidrat
yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan.
Jenkins et al. (1981) menguji IG berbagai jenis pangan (Willett et al. 2002).
Hasil yang diperoleh sangat menarik. Ternyata, es krim walaupun kaya Halaman
23
akan gula, pengaruhnya terhadap kenaikkan kadar glukosa darah lebih kecil
dibandingkan dengan kenaikkan glukosa darah akibat mengonsumsi roti biasa.
Hingga 15 tahun kemudian, para peneliti medik dan ilmuwan di seluruh dunia
menguji pengaruh berbagai jenis pangan terhadap kadar glukosa darah dan
mengembangkan konsep baru dalam pengelompokkan karbohidrat. Dengan
mengetahui IG pangan, penderita DM dapat memilih makanan yang tidak
menaikkan kadar glukosa darah secara drastis, sehingga kadar glukosa darah dapat
dikontrol pada tingkat yang aman. Makanan dengan IG rendah akan membantu
orang untuk mengendalikan rasa lapar, selera makan dan kadar glukosa darah.
Tabel 2. Indeks glikemik beberapa pangan sumber karbohidrat
Jenis pangan
Indeks
glikemik*)
Ukuran
saji (g)
59
69
41
150
150
150
33
43
40
20
30
16
58
51
150
150
38
38
22
19
88
37
46
150
150
150
43
39
42
38
14
19
87
150
42
36
42
15-21
29-45
73-97
54-68
150
150
150
150
150
33
6
36
30
28
14
1
13
26
17
1. Jagung manis (Kanada)
2. Beras putih,ditanak (India)
3. Beras panjang ditanak
5 menit (Kanada)
4. Beras Basmati putih,ditanak
5. Parboiled rice, amilosa 12%
(Bangladesh, var. BR2)
6. Ketan, amilosa 0-2% (Australia)
7. Beras Bangladesh, amilosa 28%
8. Beras putih instan, ditanak 1
menit (Kanada)
9. Beras putih instan, ditanak 6
Menit (Australia)
10.Terigu, biji utuh (Kanada)
11. Kedelai
12.Ubikayu rebus (New Zealand)
13.Kentang panggang
14.Ubijalar
Sumber: Foster-Powell et al. (2002)
Kadar KH
(g/Uk saji)
Beban
glikemik
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan
Berbagai faktor dapat menyebabkan IG pangan yang satu berbeda dengan
pangan lainnya.
Bahkan, pangan jenis yang sama
bila diolah dengan cara
berbeda, dapat memiliki IG yang berbeda, karena pengolahan dapat menyebabkan
perubahan struktur dan komposisi kimia pangan. Dampak dari perubahan tersebut
antara lain ialah perubahan daya serap zat gizi.
Pengolahan pada umumnya
meningkatkan daya cerna pangan. Semakin cepat karbohidrat dapat diserap tubuh,
maka IG nya semakin tinggi. Sebagai contoh, beras mempunyai kisaran IG sangat
luas, dari IG rendah (< 50) sampai IG tinggi (>70). Bahkan, beras Yasmin dari
Deleted: didihkan
Deleted: didihk
Deleted: didihk
Deleted: y
24
Thailand yang dimasak dengan rice cooker mempunyai IG lebih tinggi daripada
glukosa (Foster-Powell et al. 2002). Hal ini menunjukkan bahwa beras memiliki
jenis varietas yang sangat banyak. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap IG
pangan, yaitu proses pengolahan, perbandingan amilosa dan amilopektin, kadar
gula dan daya osmotik, kandungan serat, kandungan lemak dan protein serta
kandungan zat antigizi (Miller et al. 1996; Rimbawan & Siagian 2004) .
1. Proses Pengolahan. Pada masa sebelum teknologi pengolahan pangan
berkembang pesat seperti saat ini, masyarakat mengonsumsi pangan dengan
pengolahan yang sangat sederhana, misalnya dengan membakar atau merebus.
Mereka mengonsumsi pangan sumber karbohidrat dari serealia, kacang-kacangan
dan umbi-umbian.
Proses pengolahan serealia dan kacang-kacangan sangat
sederhana, yaitu ditumbuk lalu dimasak (Miller et al.
1996). Pangan yang
diproses dengan cara tersebut akan dicerna dan diserap dengan lambat, sehingga
kadar glukosa darah meningkat secara perlahan.
Saat ini, teknologi pengolahan pangan sangat berbeda. Teknik proses
pangan saat ini menjadikan pangan dalam bentuk dan ukuran yang lebih mudah
Deleted: i
dicerna serta mempunyai rasa bervariasi dan tentunya jauh lebih enak. Proses
penggilingan menyebabkan struktur pangan menjadi lebih halus, permukaan
menjadi lebih luas, sehingga pangan tersebut menjadi lebih mudah dicerna dan
diserap. Penyerapan yang cepat mengakibatkan timbulnya rasa lapar. Pangan yang
mudah dicerna dan diserap akan menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat.
Peningkatan kadar glukosa darah yang cepat ini akan menstimulir pankreas untuk
mensekresikan insulin lebih banyak. Oleh karena itu kadar glukosa darah yang
tinggi juga meningkatkan respon insulin (Ostman et al. 2001).
Ukuran
pengolahan
partikel
yang
dan
tingkat
berpengaruh
gelatinisasi
terhadap
IG
merupakan
pangan.
faktor-faktor
Ukuran
partikel
mempengaruhi proses gelatinasi pati. Penumbukan dan penggilingan biji-bijian
akan memperkecil ukuran partikel sehingga lebih mudah menyerap air. Ukuran
butiran pati yang semakin kecil semakin mudah terdegradasi oleh enzim sehingga
semakin mudah dicerna dan diserap. Oleh karena itu, semakin kecil ukuran
partikel maka IG pangan semakin tinggi. Liljeberg et al. (1992) menyebutkan
bahwa butiran utuh serealia, misalnya gandum, menghasilkan respon glukosa dan
Deleted: k
25
insulin yang rendah. Ketika butiran tersebut digiling sebelum direbus, maka
respon glukosa dan insulin postprandial mengalami
peningkatan bermakna.
Kenaikkan kadar gula darah postprandial tepung terigu halus > tepung terigu
kasar > biji gandum pecah > biji gandum utuh.
2. Kadar Amilosa dan Amilopektin. Golongan karbohidrat yang paling
banyak dikonsumsi oleh manusia ialah
pati, polisakarida dan selulosa yang
berasal dari tanaman serta glikogen yang berasal dari hewan. Amilosa merupakan
salah satu parameter penting yang menentukan mutu tanak dan mutu rasa beras.
Oleh karena itu, dalam melepas varietas padi baru, amilosa menjadi salah satu
komponen yang harus dianalisis. Berdasarkan kadar amilosanya beras dibagi
menjadi tiga golongan, yaitu beras pera (kadar amilosa 25-30%), sedang (20-25%)
dan pulen (10- <20%) (Kush et al. 1986).
Pati dan glikogen dihidrolisis sempurna oleh aktivitas enzim yang terdapat
dalam saluran pencernaan, menjadi unit pembangunnya D-glukosa bebas
(Lehninger 1982). Pati terdiri dari amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan
polimer gula sederhana yang tidak bercabang. Struktur yang lurus ini membuat
amilosa dapat dihidrolisis sempurna oleh satu enzim saja (α-amilase), dengan kata
lain mudah dicerna. Sedangkan amilopektin merupakan polimer gula sederhana
yang mempunyai cabang dan memiliki ukuran molekul lebih besar dibandingkan
dengan amilosa. Oleh karena itu untuk menghidrolisis amilopektin diperlukan
dua enzim, yaitu α-amilase dan α(1 Æ 6) glukosidase ), sehingga lebih sulit dan
lama dicerna (Lehninger 1982 ). Berdasarkan pengertian diatas, maka pangan
yang mengandung amilopektin tinggi akan memiliki daya cerna rendah. Hal ini
berarti pula bahwa IG nya juga rendah. Pengalaman sehari-hari menunjukkan
bahwa ketan (kadar amilopektinnya tinggi, yaitu lebih dari 90%) memerlukan
waktu pemasakan lebih lama, susah dicerna dan laju pengosongan lambung lebih
lambat.
3. Kadar Gula. Orang awam sering menganggap sukrosa (gula meja/gula
tebu) dapat menaikkan kadar glukosa darah secara cepat. Hal ini ditunjang oleh
beberapa publikasi populer yang menyatakan bahaya konsumsi gula tebu (Willett
et al. 2002) Padahal gula tebu memiliki IG sedang (65) dan ternyata menaikkan
Deleted: (
Deleted: malto dekstrin
26
kadar glukosa darah tidak lebih tinggi dibandingkan dengan karbohidrat kompleks
lain, seperti roti. Sukrosa merupakan disakarida yang dibentuk oleh satu molekul
fruktosa dan satu molekul glukosa. Dalam pencernaan, disakarida diuraikan oleh
enzim-enzim yang terletak di bagian luar lapisan sel-sel epitel yang membatasi
usus halus. Sukrosa dihidrolisis menjadi D-glukosa dan D-fruktosa oleh enzim
sukrase atau invertase (Lehninger 1982). Fruktosa diserap dan diambil langsung
ke hati. Di dalam hati kebanyakan fruktosa diubah secara perlahan menjadi
glukosa. Oleh sebab itu, respon gula darah terhadap fruktosa murni sangat kecil
(IG = 23) (Foster-Powell, et al. 2002). Hal ini mengakibatkan respon gula darah
terhadap 50 gram gula meja sekitar setengah dari responnya terhadap pati yang
tergelatinisasi penuh (hampir seluruh molekulnya adalah glukosa).
Pangan yang mengandung sukrosa dalam jumlah besar memiliki IG
mendekati 60. Madu (sebagian besar sukrosa) memiliki IG = 58, namun ada jenis
madu yang mempunyai IG diatas gula meja, yaitu 87. Hal ini kemungkinan jenis
madu yang tidak murni, campuran dengan sirup glukosa (Rimbawan & Siagian
2004). Beberapa jenis buah memiliki IG rendah, misalnya cerri (IG = 22), apel
dan pear (IG = 38) serta plum (IG = 39). Namun ada juga buah yang memiliki IG
relatif tinggi (semangka, IG = 72).
4. Kadar Serat Pangan. Serat pangan didefinisikan sebagai dinding sel
tumbuhan yang tahan terhadap hidrolisis oleh enzim di dalam usus halus manusia,
meliputi polisakarida bukan pati (non starch polysaccharide) dan lignin (Trowell
et al. 1976, diacu dalam Marsono 2004).
Definisi tersebut telah mengalami
beberapa kali perubahan karena tinjauan struktur kimia maupun efek fisiologis
serat pangan. Definisi terbaru diberikan oleh The American Association of Cereal
Chemistry (AACC) pada tahun 2001, yang
menyatakan bahwa serat pangan
adalah bagian tumbuhan yang dapat dimakan atau analog dengan karbohidrat,
yang tahan terhadap pencernaan dan absorpsi di dalam usus halus manusia dan
mengalami fermentasi sebagian atau seluruhnya di dalam usus besar.
Serat
pangan meliputi polisakarida, karbohidrat analog, oligosakarida, lignin, dan bahan
yang terkait dengan dinding sel tanaman (Marsono 2004). Komponen tersebut
dapat dikelompokkan menjadi serat larut dan tidak larut, atau terfermentasi dan
tidak terfermentasi. Serat pangan tidak larut diartikan sebagai serat pangan yang
Deleted: f
27
tidak dapat larut di dalam air panas maupun air dingin (Muchtadi 2001).
Kelompok terfermentasi berkaitan dengan bisa tidaknya serat diuraikan oleh
bakteri anaerob. Fermentasi berlangsung di dalam usus besar untuk menghasilkan
asam lemak berantai pendek, yang dapat diserap dan digunakan sebagai sumber
energi, serta gas-gas metan dan hidrogen.
Efek fisiologis serat, ada yang diperkirakan mempengaruhi pengaturan
energi. Kandungan energi per unit bobot pangan adalah rendah. Oleh karena itu,
penambahan serat pada diet efektif menurunkan kerapatan (densitas) energi,
terutama serat larut karena serat tersebut mengikat air. Pangan berserat tinggi
juga meningkatkan distensi (pelebaran) lambung yang berkaitan dengan
peningkatan rasa kenyang. Serat terfermentasi juga mendorong produksi hormon
usus, seperti glucagon-like peptide-1 yang berkaitan dengan sinyal lapar. Jadi
beberapa serat, terutama yang lebih larut (misalnya serat terfermentasi dari buah
Deleted: .
dan sayur) menurunkan penyerapan seluruh lemak dan protein (Howart et al.
2001).
5. Kadar Lemak dan Protein Pangan. Pangan yang mengandung lemak
dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga
pencernaan makanan di usus halus juga di perlambat. Oleh karena itu, pangan
berkadar lemak tinggi cenderung mempunyai IG lebih rendah dibandingkan
dengan pangan sejenis, berlemak rendah. Misalnya kentang goreng IG nya lebih
rendah (IG = 44–58) dibandingkan dengan kentang panggang/ bakar (IG = 73-97);
susu full fat Italy (IG = 11) dan susu skim Kanada (IG = 27-37) (Foster-Powell et
al. 2002). Namun kecenderungan ini tidak selalu sama, karena pengolahan dan
varietas juga berpengaruh terhadap IG pangan. Pangan berlemak tinggi, apapun
jenis dan IG-nya rendah maupun tinggi, perlu dikonsumsi secara bijaksana.
Konsumsi protein untuk kebanyakan orang berubah dengan kisaran sempit.
Asupan lemak yang rendah akan digantikan oleh karbohidrat. Peningkatan laju
penyerapan karbohidrat yang menyebabkan peningkatan IG setelah mengonsumsi
pangan berkadar lemak rendah disebabkan karena tertundanya laju pengosongan
lambung oleh lemak (Rimbawan & Siagian 2004).
Deleted: .
28
6. Kadar Antigizi Pangan.
Bahan pangan secara alami ada yang
mengandung senyawa-senyawa yang bersifat toksik
bila dikonsumsi dalam
jumlah besar, misalnya sianida pada ubikayu (terutama jenis pahit). Beberapa
bahan pangan mengandung senyawa yang berpotensi menyebabkan efek
merugikan status gizi, yang disebut sebagai zat antigizi (Rimbawan & Siagian
Formatted: German
(Germany)
2004). Kacang-kacangan mengandung antigizi, antara lain antitripsin, saponin,
hemaglutinin, fitat maupun polifenol. Disisi lain, antigizi juga dapat bermanfaat.
Kandungan antitripsin dan fitat di dalam kedelai menyebabkan jenis kacangkacangan ini dapat digunakan sebagai pangan antidiabetes (Noor 2003). Asupan
asam fitat dan lektin menunjukkan korelasi negatif terhadap respon glukosa darah
Formatted: German
(Germany)
(Yoon et al. 1983; Thompson et al. 1984). Penambahan asam fitat pada tepung
terigu secara in vitro menunjukkan penurunan pelepasan glukosa secara nyata
(Yoon et al. 1983).
Asam fitat (myo-inositol haksakisfosfat) merupakan bentuk utama fosfat
Formatted: Font: Italic
Formatted: German
(Germany)
Formatted: German
(Germany)
tersimpan dalam biji-bijian dan serbuk sari. Asam fitat dikatagorikan sebagai
antigizi karena mempunyai bagian yang sifatnya sebagai pengkelat yang kuat.
Asam fitat membentuk ikatan dengan mineral-mineral penting, seperti Zn, Ca,
Mg, dan Fe, menjadi bentuk yang tidak terlarut, sehingga menurunkan
bioviabilitasnya di dalam saluran pencernaan (Greiner et al. 1993). Asam fitat
membentuk garam-garam kompleks yang disebut fitin. Pada biji-bijian, fitin
terlokalisasi di dalam aleuron dan endosperm, sedangkan pada kacang-kacangan
terdapat pada kotiledon (Singh & Reddy 1977).
Senyawa polifenolik sering juga disebut dengan tannin merupakan agen
pereduksi yang kuat
Formatted: German
(Germany)
dan banyak terkandung di dalam tanaman pangan
(Thompson et al. 1984). Senyawa ini dapat membentuk kompleks dengan protein
sehingga menurunkan daya cerna protein dan mutu protein. Polifenol juga dapat
menghambat aktivitas enzim pencernaan sehingga dapat menurunkan daya cerna
pati (Deshpande & Salunke 1982). Berdasarkan sifat-sifat tersebut, polifenol
yang terkandung didalam teh berpotensi menurunkan daya cerna pati beras.
Deleted: Dengan analog antigizi
Deleted: juga
Deleted: sebagai antidiabetes
Pemanasan dapat menurunkan aktivitas antigizi. Namun, beberapa antigizi
tetap aktif walaupun telah melalui proses pemasakan. Zat antigizi pada biji-bijian
dapat memperlambat pencernaan karbohidrat di dalam usus halus, sehingga
Deleted: karbohidrat
29
menurunkan IG pangan tersebut. Kacang-kacangan mengandung zat antigizi, oleh
karena itu IG kacang-kacangan umumnya rendah. Sebagai contoh, IG kacang
Deleted: Hal ini dapat
menerangkan kenapa
merah 24 - 32, IG kedelai 15 - 21, IG kacang tanah 23 dan IG kacang hijau 32
(Foster-Powell et al. 2002; Marsono et al. 2002). Hal ini diperkuat dengan daya
cerna kacang-kacangan yang juga rendah (50-65 %).
Tanaman Teh
Botani dan Produk Teh
Tanaman teh berasal dari negeri China dan telah dikenal lebih dari 1500
tahun yang lalu. Tanaman teh yang tumbuh liar (tidak dibudidayakan)
Deleted:
menghasilkan bunga dan buah, tetapi sangat sedikit pucuk daun yang dapat dibuat
minuman teh. Pada budidaya secara komersial, tanaman teh dipertahankan
tingginya sekitar satu meter dengan cara pemangkasan, untuk kenyamanan
pemetikan daun muda (pucuk). Linnaeus menggolongkan tanaman teh dalam
klas Thea sinensis, spesies Camellia. Terdapat dua varietas utama, yaitu Camellia
sinensis varietas sinensis (var. China) dan
Deleted: e
Camellia sinensis varietas assamica
(var. Assam). Perbanyakkan dapat dilakukan secara generatif maupun vegetatif
Formatted: German
(Germany)
(Hara et al. 1995).
Deleted: bis
Jenis produk teh yang banyak dikonsumsi masyarakat internasional, yaitu
Formatted: German
(Germany)
teh hitam dan teh hijau. Jenis lain yang diproduksi dan dikonsumsi dalam jumlah
Formatted: German
(Germany)
lebih sedikit dari dua jenis tersebut, yaitu teh instan, teh oolong dan pouchong.
Perbedaan jenis teh diatas didasarkan pada tingkat fermentasinya. Teh hitam
difermentasi sempurna, teh hijau tidak mengalami fermentasi, teh oolong dan
pouchong berturut-turut mengalami fermentasi setengah dan seperempat
sempurna. Teh hitam dibedakan menjadi dua, yaitu tanpa aroma (plain) dan
beraroma (flavory) (Hara et al. 1995; Balentine & Paetau-Robinson 2000). Di
Indonesia, masyarakat pada umumnya mengonsumsi teh wangi, dalam bentuk
potongan daun kering yang difermentasi penuh dan diberi aroma bunga melati
atau gambir.
30
Kandungan Kimia Teh dan Peran dalam Kesehatan
Pengolahan daun teh segar menjadi berbagai produk menyebabkan
terjadinya perubahan kimiawi yang ditandai oleh perbedaan warna, aroma dan
flavor pada teh hitam, teh hijau, oolong dan pouchong. Teh mengandung
Deleted: dengan
Deleted:
flavonoid dan methylxanthine, yang merupakan komponen bioaktif yang sangat
penting dalam flavor teh dan potensi peranan teh sebagai minuman yang dapat
membantu mencegah penyakit kronis seperti cancer (Dreosti 1996) dan penyakit
kardiovaskuler (Tijburg et al. 1997). Sifat flavonoid antara lain berfungsi sebagai
Formatted: Finnish
antioksidan .
Flavonoid merupakan famili fenolik tanaman yang tersebar luas di dalam
Deleted: y
Formatted: Finnish
buah-buahan, sayuran dan minuman. Contoh flavonoid antara lain katekin yang
Formatted: Finnish
terkandung di dalam teh; anthocyanin di dalam blueberrie, anggur dan wine;
Formatted: Finnish
isoflavon pada kedelai dan flavonol pada bawang merah, apel dan teh. Komponen
Formatted: Finnish
Deleted: dalam
flavonoid utama yang terkandung di dalam daun teh segar ialah catechin (flavan-
Formatted: Finnish
3-ols) (Gambar 4.), dan flavonol (Gambar 5.). Kadar flavonoid mencapai lebih
Deleted: utama
dari 30% berat daun kering, dan Epigalokatekin galat (EGCG) merupakan katekin
Formatted: Finnish
Formatted: Finnish
yang paling banyak terkandung di dalam produk-produk teh. Secangkir teh hijau
Deleted: .
dan oolong mengandung
Formatted: Finnish
EGCG 30-130 mg, sedangkan secangkir teh hitam
mengandung 0-70 mg EGCG. Kandungan flavonol, seperti quercetin, kaemferol
dan myricetin, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan katekin, yaitu 5-15
mg/cangkir teh (Balentine & Paetau-Robinson 2000).
Gambar 4. Komponen katekin (flavan-3-ols) utama dalam teh
Formatted: Finnish
Formatted: Finnish
Formatted: Finnish
Deleted: ¶
31
Teh hijau diproduksi menggunakan proses thermal, seperti uap atau
pemanasan kering untuk menginaktifkan enzim yang mengoksidasi catechin
menjadi flavonoid yang lebih komplek, yang merupakan karakteristik dari teh
hitam dan oolong (Hara et al. 1995; Chen et al. 2003).
Namun, beberapa
oksidasi katekin terjadi selama proses pelayuan yang merupakan ciri khas teh
hijau, dan 20-30% dari total flavonoid di dalam teh hijau akan menjadi produk
oksidasi katekin yang merupakan karakteristik teh hitam dan oolong. Sejumlah
kecil theaflavin, yang merupakan flavonoid yang mencirikan teh hitam dan oolong
juga terdapat di dalam teh hijau. Teh hitam mengandung beberapa flavonoid unik,
yang merupakan hasil dari porses fermentasi, yaitu theaflavin, theasinensin
(bisflavonol), theaflagallin, dan thearubigen.
Gambar 5. Komponen flavonol utama dalam teh
Teh hijau merupakan minuman yang populer di Asia Timur, dan digunakan
sebagai obat herbal di Eropa dan Amerika Utara, Teh hitam lebih banyak di
konsumsi di negara-negara Barat (Tsuneki et al. 2004). Teh hijau mempunyai
peranan sebagai antiinflamasi, antioksidatif, antimutagenik dan antikarsinogenik
dan dapat mencegah penyakit kardiovaskuler. Konsumsi teh hijau secara rutin
dapat mencegah timbulnya penyakit DM tipe 2 (Tsuneki et al. 2004). Polifenol
yang terkandung di dalam teh (katekin, epikatekin, epigalokatekin dan
Deleted:
32
Epigalokatekin galat) mempunyai sifat sebagai antioksidan. Polifenol mempunyai
kemampuan menangkap radikal bebas seperti peroksinitrit (ONNO-), dan
superoksida (O2-) (Malinski et al. 1993). Kerusakan oksidatif sel dan jaringan
oleh spesies nitrogen reaktif dan oksigen reaktif berperan dalam timbulnya
penyakit kronis termasuk kanker, penyakit kardiovaskuler dan diabetes
(Wickremasinghe 1976; Balentine & Paetau-Robinson 2000). Menu makan kaya
nabati dapat menurunkan resiko kejadian penyakit kronis diatas. Sedangkan serat,
vitamin dan mineral merupakan nutrien penting di dalam diet yang menyehatkan.
Teh merupakan minuman berbasis tanaman yang mengandung flavonoid dan
fitokimia yang mempunyai aktivitas biologi lain, sehingga teh merupakan bagian
dari menu sehat.
Tabel 3. Potensi antioksidan relatif dari vitamin, teh, flavonoid dan
karotenoid (Balentine & Paetau-Robinson 2000)
Antioksidan
Trolox Equivalent Antioxidant Capacity
(TEAC mM)*
Vitamin
Asam askorbat
1.0
Vitamin E
1.0
Teh
Teh hijau (1.000 ppm teh)
3.8
The hitam (1.000 ppm teh)
3.5
Katekin
Epigalokatekin
3.8
Epikatekin galat
4.9
Epigalokatekin galat
4.8
Flavonol
Quercetin
4.7
Rutin
2.4
Theaflavins
Theaflavin
2.9
Theaflavin 3-monogalat
4.7
Theaflavin 3’-monogalat
4.8
Theaflavin digalat
6.2
Karotenoid
Likopen
2.9
β-karotin
1.9
Lutein
1.5
* TEAC is the millimolar concentration of a Trolox Solution having the antioxidant capacity
equivalent to a 1.0 mM solution of the substance under investigation.
Flavonoid yang terkandung di dalam teh berperan melawan spesies oksigen
reaktif dan radikal bebas dengan berbagai makanisme, antara lain delokalisasi
Deleted: Flavonoid dalam teh
melawan spesies oksigen reaktif
dan radikal bebas dengan berbagai
makanisme, antara lain
delokalisasi elektron dan formasi
ikatan hidrogen intramolekuler
(Van Aker et al. 1996). Flavonoid
dalam teh juga mempunyai sifat
sebagai pengkelat Cu dan Fe
bebas, yang dapat mencegah reaksi
oksidatif, karena logam ini
diketahui sebagai katalisator
pembentukan spesies oksigen
reaktif secara in vivo ( Balentine &
Paetau-Robinson 2000).¶
Flavonoid dalam teh mempunyai
potensi antioksidan lebih besar
dibandingkan dengan vitamin C,
vitamin E, dan karotenoid. Hasil
pengujian potensi antioksidan
tersebut disajikan dalam Tabel 3 (
Balentine & Paetau-Robinson
2000).¶
33
elektron dan formasi ikatan hidrogen intramolekuler. Flavonoid dalam teh juga
mempunyai sifat sebagai pengkelat Cu dan Fe bebas, yang dapat mencegah reaksi
oksidatif, karena logam ini diketahui sebagai katalisator pembentukan spesies
oksigen reaktif secara in vivo ( Balentine & Paetau-Robinson 2000).
Formatted: English (U.S.)
Berbagai tanaman yang mengandung senyawa berkaitan dengan katekin,
seperti teh hijau, menunjukkan efek protektif pada kerusakan sel-β pankreas oleh
aloksan ataupun streptozocin, namun pemberian katekin setelah kerusakan sel-β
pankreas tidak menunjukkan regenerasi sel (Al-Achi 2005).
Flavonoid teh mempunyai potensi antioksidan lebih besar dibandingkan
dengan vitamin C, vitamin E, dan karotenoid. Hasil pengujian potensi antioksidan
tersebut disajikan dalam Tabel 3 ( Balentine & Paetau-Robinson 2000).
Pangan Fungsional
Pengertian dan Perkembangan Pangan Fungsional
Saat ini konsumen dalam memilih
pangan tidak lagi sekedar untuk
memenuhi kebutuhan energi, mengenyangkan, atau memberi kenikmatan dengan
rasanya yang lezat serta penampilan menarik. Namun, juga mempertimbangkan
potensi aktivitas fisiologis komponen yang dikandungnya. Kesadaran masyarakat
akan pentingnya kesehatan semakin tinggi, seiring dengan meningkatnya
pengetahuan dan kemajuan teknologi pangan. Peningkatan prevalensi penyakit
pada beberapa dekade terakhir, telah mendorong perubahan sikap masyarakat,
yaitu cenderung mencegah penyakit dan berusaha menjalani hidup sehat. Oleh
sebab itu pangan fungsional menjadi lebih disukai dibandingkan dengan obatobatan, karena efek psikologis yang menyehatkan tanpa mengonsumsi obat serta
resiko efek samping yang jauh lebih rendah (Muchtadi 2004)
Pangan fungsional merupakan generasi ketiga dari healthy foods. Pada era
1970-an dikenal istilah healthy eating, saat itu marak dikonsumsi aneka sari buah,
yogurt, serealia dan whole meal bread. Pada era 1980-an, banyak dikonsumsi
makanan rendah lemak (kolesterol), rendah gula dan rendah garam. Sedangkan
pangan fungsional (PF) mulai diintroduksikan pada tahun 1990-an.
Menurut konsensus pada the First International Conference on East-West
Perspective on Functional Foods tahun 1996, PF merupakan pangan yang karena
Deleted: di
34
kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, diluar
manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya. Badan
POM (Pengawasan Obat dan Makanan) mendefinisikan PF sebagai pangan yang
secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih
senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsifungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Cara mengonsumsi PF
dilakukan selayaknya makanan dan minuman, serta memiliki karakteristik sensori
meliputi warna, tekstur, penampakan dan citarasa yang dapat diterima oleh
konsumen (Fardiaz
2004). Dari konsep yang telah dikembangkan oleh para
ilmuwan, jelaslah bahwa PF tidak sama dengan pangan suplemen maupun obat.
PF dapat dikonsumsi tanpa dosis tertentu, dapat dinikmati sebagaimana makanan
pada umumnya, serta lezat dan bergizi (Astawan 2003).
Istilah awal yang
digunakan untuk menyebut makanan berkhasiat ini, yaitu healthy foods (makanan
kesehatan), designer foods (makanan yang dirancang), dan nutraceutical atau
pharmafoods (makanan farmasi).
Peran Pangan Fungsional dalam Kesehatan
Dalam definisi sebelumnya disebutkan bahwa PF mengandung satu atau
Formatted: Swedish (Sweden)
Deleted: diatas
lebih komponen yang mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu. Komponenkomponen tersebut antara lain: serat pangan, gula alkohol, asam lemak tidak
jenuh, peptida dan protein tertentu, asam amino, prebiotik, probiotik, glikosida
dan isoprenoid, polifenol (teh) dan isoflavon (kedelai), kolin, lesitin, dan inositol,
karnitin dan skualen, fitosterol dan fitostanol, serta vitamin dan mineral. Pangan
Fungsional selalu terkait dengan klaim kesehatan. Serat larut dan β-glukan
diklaim dapat menurunkan kolesterol, frukto dan galakto-oligosakarida untuk
membantu pertumbuhan flora usus besar, gula alkohol (maltitol, xilitol, sorbitol)
Deleted:
Deleted: s
dapat mengurangi resiko kerusakan gigi, kalsium dan susu rendah lemak dapat
mengurangi resiko osteroporosis, serta vitamin, fitokimia dan serat pangan dapat
mengurangi resiko kanker (Fardiaz 2004). Flavonoid dari teh mempunyai aktivitas
antioksidan, dapat membantu menurunkan resiko berbagai penyakit kronis, seperti
kanker, penyakit kardiovaskuler dan DM (Balentine & Paetau-Robinson 2000).
Akhir-akhir ini, banyak beredar produk pangan dengan klaim kesehatan,
disertai dengan promosi (iklan) yang sering bombastis. Beberapa contoh produk
Formatted: Swedish (Sweden)
Deleted: pasar Indonesia
dibanjiri dengan
35
berikut mempunyai klaim yang berhubungan dengan kalsium dan osteroporosis
(Anlene, Produgen, Tropicana Slim), lemak dan kanker (Vegeta, Fiber, Slimmy),
biji-bijian, omega-3 dan resiko PJK (Quacker Oats, Produgen, Nestle Omega),
(Muchtadi 2004). Produk-produk dengan klaim kesehatan yang banyak beredar
di pasaran tersebut sering menyebabkan masyarakat awam mengartikan bahwa PF
identik dengan pangan modern. Padahal, banyak produk pangan tradisional yang
memenuhi persyaratan PF, namun informasinya masih terbatas. Minuman khas
daerah yang mempunyai khasiat untuk kesehatan dan kebugaran, antara lain bir
plethok dari Betawi, teh, wedang (Jw: minuman) jahe, wedang ronde, sekoteng
serbat, wedang secang, bir temulawak, beras kencur, kunyit asam,
dadih
(fermentasi susu kerbau, khas Sumatera Barat), serta makanan tradisional dari
kedelai dan bekatul (Widowati 2004).
Deleted: Utara
Download