Formatted: Left: 4 cm, Right: 3 cm, Width: 21 cm, Height: 29,7 cm, Different first page TINJAUAN PUSTAKA Padi dan Beras Morfologi Biji Padi Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman pangan utama di dunia. Sentral produksi padi yaitu China dan India, berturut-turut sebesar 35 dan 20% dari total produksi dunia. Biji padi terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang dapat dimakan (rice caryopsis) dan kulit (hull or husk). Struktur biji padi disajikan pada Gambar 1 (Juliano, 1972). Beras pecah kulit, yaitu gabah yang telah dihilangkan kulit atau sekamnya, terdiri atas perikap (1-2%), aleuron dan testa (4-6%), lembaga (2-3%) dan endosperm (89- 94%). Tipe padi yang tumbuh di Asia ada tiga, yaitu indica, javanica atau padi bulu serta japonica. Masing-masing tipe mempunyai karakteristik biji yang berbeda. Tipe indica paling banyak tumbuh di daerah tropis dan subtropis, ukuran biji pendek sampai panjang, ramping dan mudah rontok. Tipe javanica, mempunyai ukuran biji panjang, ujung gabah seperti bulu (awn) yang panjang dan tidak mudah rontok. Sedangkan tipe japonica, kebanyakan tumbuh di daerah subtropis yang dingin, ukuran biji pendek, bulat dan tidak mudah rontok (Damardjati 1983). Namun, kemajuan teknologi persilangan saat ini telah mengaburkan ciri-ciri tersebut. Bulu Sekam Endosperma Perikarp Testa Aleuron Bkl batang Bakal daun Bakal akar Lembaga Tangkai Gambar 1. Struktur biji padi (Juliano 1972) 7 Komposisi Gizi dan Peran Beras Beras yang dihasilkan dari tanaman padi, merupakan komoditas pertanian yang sangat penting di Asia, termasuk Indonesia. Beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi lebih dari 90 persen penduduk Indonesia. Sejarah perberasan Indonesia telah mencatat sebuah dinamika produksi dan mutu beras yang cukup menarik. Pada periode awal bangkitnya negeri ini, rakyat telah mengalami situasi pangan yang sulit karena pasokan beras sangat terbatas. Untuk memenuhi kebutuhan pangan saat itu telah dimanfaatkan berbagai sumber karbohidrat yang ada, seperti jagung, sorgum, dan umbi-umbian. Sejak paruh kedua tahun 1960-an pemerintah berusaha meningkatkan produksi beras di dalam negeri. Keberhasilan Revolusi Hijau melalui penerapan teknologi varietas unggul baru, pemupukan dan perawatan tanaman telah dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mendorong upaya peningkatan produksi beras tersebut. Pemerintah, melalui program Intensifikasi Khusus (Insus), Supra Insus dan lain-lain, telah berhasil mencapai keadaan swa-sembada beras pada tahun 1984 (Damardjati et al. 2004). Kini usaha peningkatan produksi beras pun tetap dilakukan, karena produksi beras domestik belakangan ini mengalami kemunduran relatif terhadap kebutuhan beras yang tetap tinggi. BPS (2002) mencatat peningkatan kebutuhan beras akibat peningkatan jumlah penduduk di Indonesia ialah 1.49%. Mutu beras meliputi mutu pasar, mutu fisik dan mutu giling, mutu tanak dan cita rasa, serta mutu gizi. Di Indonesia, sampai dengan tercapainya swasembada beras, mutu gizi masih terabaikan. Hal ini antara lain karena pemerintah masih memfokuskan pada usaha peningkatan produksi beras untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Pada era pasca swa-sembada beras, dengan didorong oleh perbaikan ekonomi dan kemajuan teknologi, mutu gizi beras mulai mendapat perhatian. Keberhasilan pembangunan ekonomi saat itu telah membawa konsumen pada status yang memungkinkan munculnya tuntutan mutu beras yang lebih tinggi (Damardjati 1995). Beras giling mengandung protein 6.8%, lemak 0.7%, karbohidrat 78.9% dan menghasilkan energi sebesar 360 kkal/100g (Dep. Kes. 1992). Selain sumber karbohidrat, beras merupakan sumber protein penting dalam menu masyarakat Indonesia. Kadar protein beras relatif rendah, tetapi mempunyai mutu protein Deleted: alori 8 terbaik dibandingkan dengan serealia lain (Damardjati 1983). Protein beras dapat secara langsung meningkatkan penyediaan protein dalam menu makanan, khususnya bagi penduduk berpenghasilan rendah. Upaya peningkatan kandungan mineral dan vitamin pada bahan makanan pokok, khususnya mineral besi pada tanaman padi telah dilakukan melalui program biofortifikasi. Penelitian tersebut merupakan salah satu strategi pemuliaan tanaman untuk meningkatkan kandungan besi dalam beras, dan sekaligus memperbaiki gizi masyarakat dengan biaya relatif murah. Pembentukkan materi pemuliaan tersebut dapat dilakukan secara konvensional (hibridisasi dan seleksi) atau non konvensional (kultur anter dan transformasi). Beras berkadar besi tinggi tersebut dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat menengah ke bawah sebagai sumber energi dan sumber zat besi (Indrasari et al. 2004). Jenis Beras Berdasarkan cara prosesnya dikenal beberapa jenis beras, antara lain beras Deleted: yaitu tumbuk, beras sosoh, beras giling, beras pecah kulit, beras kepala, beras patah, beras instan dan beras pratanak. Dua jenis beras yang disebut terakhir akan diuraikan khusus, karena akan diteliti pada kegiatan ini. Beras tumbuk ialah beras yang dihasilkan dari gabah yang ditumbuk secara manual, misal menggunakan lumpang (Alat penumbuk tradisional, terbuat dari kayu). Dalam proses penggilingan padi, gabah yang telah dihilangkan sekamnya disebut beras pecah kulit, kemudian dilanjutkan proses penyosohan dan hasilnya disebut beras sosoh atau beras giling. Beras giling dipisahkan berdasarkan ukuran biji. Apabila biji beras berukuran ≥ 2/3 utuh disebut beras kepala, ukuran 1/3-2/3 biji utuh disebut beras patah dan bila < 1/3 biji utuh disebut menir. Beras Instan. Dalam era industrialisasi, manusia dituntut untuk bergerak cepat, termasuk dalam menyiapkan makanan sehari-hari. Oleh sebab itu, bahan pangan yang cepat saji menjadi sangat bermanfaat. Bahan pangan pokok yang telah tersedia dalam bentuk instan dan mulai memasyarakat di Indonesia ialah bentuk mi. Mengingat budaya makan nasi di Indonesia sangat kuat, diharapkan Deleted: e beras instan dapat menjadi salah satu alternatif bahan pangan yang cepat saji, disamping mi instan. Deleted: e 9 Produk instan merupakan jenis produk pangan yang mudah untuk disajikan dalam waktu yang relatif singkat. Pangan instan merupakan produk makanan yang mengalami proses pengeringan air, sehingga mudah mengabsorpsi air dan disajikan hanya dengan menambahkan air panas atau air dingin sehingga tidak terlalu menyita banyak waktu (Hartomo & Widiatmoko 1993). Instanisasi merupakan suatu istilah yang mencakup berbagai perlakuan, baik kimia ataupun fisika yang akan memperbaiki karakteristik hidrasi dari suatu produk. Karakteristik hidrasi pada produk yang harus dimiliki bahan makanan agar dapat membentuk produk pangan instan, adalah: a) sifat hidrofilik, yaitu sifat yang mudah mengikat air, b) tidak memiliki lapisan gel yang tidak permeabel sebelum digunakan sehingga dapat menghambat laju pemanasan, c) hidrasi produk tidak menghasilkan produk yang menggumpal dan mengendap (Hartomo & Widiatmoko 1993). Beras instan merupakan produk yang populer di Amerika, Jepang, dan beberapa negara barat. Hingga sekarang beras cepat saji tersedia di pasaran dan dapat dimasak dalam waktu 5 menit untuk mendapatkan tingkat kepuasan penerimaan konsumen. Setelah pemasakan, produk tersebut harus sesuai dengan karakteristik flavor, rasa dan tekstur nasi pada umumnya. Nasi instan ini harus stabil dalam penyimpanan selama 6-12 bulan pada suhu ruang. Produk dikemas sebaik-baiknya dalam kemasan khusus untuk menghindari perubahan kadar air selama penyimpanan, salah satunya adalah dengan cara pengalengan (canned rice) (Luh 1991). Beras instan yang telah mengalami gelatinisasi dapat dikeringkan, tetapi molekul – molekul tersebut tidak dapat kembali lagi ke sifat-sifat asal sebelum gelatinisasi. Bahan yang telah kering tersebut masih mampu menyerap air kembali dalam jumlah yang besar. Sifat inilah yang digunakan agar instant rice dapat menyerap air kembali dengan mudah, yaitu dengan menggunakan pati yang telah mengalami gelatinisasi (Winarno 1997). Beras yang telah disiapkan dalam bentuk Quick Cooking Rice (QCR) akan mudah menyerap air karena telah mengalami perubahan struktur, tekstur, dan kecepatan penyerapan air akan lebih tinggi dibandingkan dengan beras yang tanpa diproses lebih dahulu. Produk yang dihasilkan dengan metode QCR mudah Deleted: ai 10 dimasak yaitu cukup dengan menambah air panas sehingga dengan cepat beras akan mengalami rehidrasi menjadi nasi dan siap untuk dikonsumsi. Di Amerika, dengan metode ini mengakibatkan konsumsi beras mengalami peningkatan. Dalam pengolahan QCR, perendaman beras dapat dilakukan di dalam air dingin, air panas atau dalam larutan bahan kimia tertentu selama 10 sampai 30 menit. Menurut Lipton, perendaman dalam larutan asam sitrat dapat menyebabkan produk menjadi jernih, bahkan dapat menghambat terjadinya proses ketengikan, sedangkan perendaman dalam larutan garam NaCl akan menghambat proses gelatinisasi pada waktu pemanasan (Keneaster 1974). Perendaman meningkatkan keseragaman masuknya air pemasakan ke dalam butir beras. Jumlah air perendaman yang masuk ke dalam butir beras tergantung pada lamanya waktu perendaman dan suhu air perendaman. Perembesan air ini memperkecil kecenderungan butir beras terpisah atau pecah akibat tekanan osmotik pada butir beras selama pemasakan, dan pati mulai terlepas ke dalam air pemasakan. Selama pemasakan beras, akan terjadi pengembangan granula pati. Pengembangan ini menyebabkan permukaan butir beras menjadi retak. Pengembangan beras selama dimasak tidak sebesar kemampuan pengembangan pati yang volumenya bisa mencapai 64 kali lebih besar dibandingkan dengan butir pati asal. Tertahannya pengembangan pati beras dapat disebabkan oleh adanya Deleted: karena pembatas komponen bukan pati. Kandungan lemak, protein, mineral dan dinding sel berpengaruh terhadap kualitas pemasakan nasi. Pengeringan merupakan langkah kritis pada pembuatan QCR. Karakteristik dari nasi instan kering tergantung pada karakteristik pengeringannya. Beberapa kerugian seperti penyimpangan bentuk, kerusakan dan hasil yang tidak bagus pada saat rehidrasi merupakan akibat dari prosedur pengeringan yang tidak tepat. Semakin cepat produk dikeringkan, semakin bagus kualitas proses rehidrasi. Proses pengeringan akan menghasilkan struktur porous yang akan memudahkan air untuk meresap ke dalam beras pada waktu rehidrasi. Beras Pratanak. Pembuatan beras pratanak merupakan proses yang unik, karena tahap pengolahan dimulai pada saat bahan masih berbentuk gabah (Garibaldi 1974). Cara pembuatan beras pratanak sangat beragam, namun pada Deleted: hasil 11 prinsipnya melalui tiga tahapan proses, yaitu perendaman (steeping), pengukusan (steaming), dan pengeringan (drying). Gabah yang telah mengalami perlakuan diatas akan lebih awet, dapat mencegah perkecambahan. Gabah tersebut kemudian digiling hingga diperoleh beras pratanak. Proses pratanak berpengaruh lebih nyata terhadap sifat fisik butiran beras dibandingkan dengan sifat kimianya. Proses pratanak dipilih karena cenderung menurunkan indeks glikemik beras (Foster-Powell et al. 2002). Pembuatan beras pratanak merupakan proses pemberian air dan uap panas terhadap gabah sebelum gabah tersebut dikeringkan. Tujuan dari proses pratanak adalah untuk menghindari kehilangan dan kerusakan beras, baik ditinjau dari nilai gizi maupun segi rendeman beras yang dihasilkan. Oleh karena itu proses pratanak harus dilakukan dengan cara yang tepat (De Datta 1981, Hoseney 1994). Beras pratanak banyak diproduksi di Afrika dan India. Peningkatan nilai gizi pada beras pratanak disebabkan oleh proses difusi dan panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrien lainnya dalam endosperm, serta derajat sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya lapisan aleuron yang mengakibatkan sedikitnya bekatul dan nutrien yang hilang. Beras pratanak memiliki kandungan vitamin B yang lebih tinggi dibandingkan beras biasa serta kandungan minyak dan lemak yang rendah dibandingkan dengan beras biasa sehingga beras pratanak lebih tahan lama untuk disimpan (Nurhaeni 1980). Proses pratanak adalah proses gelatinisasi pati di dalam beras. Pada proses gelatinisasi pati terjadi pengembangn granula secara irreversible dan kompaknya granula pati. Kejadian tersebut membutuhkan kandungan air 30-35% dan panas kurang lebih 26 kkal per kg gabah untuk kesempurnaan proses (Garibaldi 1974). Pada proses pratanak, terjadi perubahan zat gizi (Tabel 1). Perendaman bertujuan untuk memasukkan air ke dalam ruang interseluler dari sel-sel pati endosperm, dan sebagian air diserap oleh sel-sel pati tersebut sampai tingkat tertentu sehingga cukup untuk proses gelatinisasi (Nurhaeni 1980; De Datta 1981). Pemasakan bertujuan untuk melunakkan struktur sel-sel pati endosperm sehingga tekstur granula pati endosperm menjadi seperti pasta akibat proses gelatinisasi. Pemasakan harus dilakukan dengan hati-hati agar gelatinisasi Halaman Deleted: di 12 pati dan sterilisasi yang homogen dari gabah tercapai, yaitu dengan menggunakan uap panas yang bersuhu tinggi dan tekanan uap yang rendah. Tabel 1. Kandungan zat gizi beras (per 100 g) dari berbagai cara pengolahan Air Energi Protein Lemak Karbohidrat Macam beras (g) (kkal) (g) (g) (g) Beras pecah kulit 13 335 7.4 1.9 76.2 Beras setengah giling Beras giling 12 353 7.6 1.1 78.3 13 360 6.8 0.7 78.9 Beras parboiled 12 364 6.8 0.6 80.1 Sumber : Darmajati (1981). Prinsip proses pengeringan bahan adalah pemindahan uap air dari bahan melalui cara evaporasi. Evaporasi terjadi terutama pada permukaan bahan tersebut, yaitu melalui proses difusi dari air di dalam bahan ke permukaan bahan akibat panas yang diberikan baik secara konveksi, konduksi maupun radiasi (Darmadjati 1981). Pengeringan dilakukan dua kali untuk mencapai kadar air 14%. Pengeringan pertama pada suhu 100oC sampai kadar air 20%, pengeringan kedua pada suhu 60oC sampai kadar air 14%. Pengeringan pada proses pembuatan beras pratanak memerlukan suhu yang lebih tinggi (bisa mencapai 100oC) karena kadar air gabah yang tinggi (dapat mencapai 45%), dan tekstur butir yang berbeda akibat pemanasan yang dilakukan terutama pada saat pemasakan (De Datta 1981). Pengeringan gabah dilakukan hingga kadar air sekitar 14%, karena kadar air 14% merupakan kondisi optimum gabah untuk digiling. Pengeringan gabah pratanak bertujuan untuk mengurangi kadar air sampai tingkat optimal untuk penggilingan dan penyimpanan, serta memaksimumkan hasil giling. Pengeringan juga mempengaruhi tekstur dan warna produk akhir (Garibaldi 1974, Luh & Mickus 1981). Pengeringan sebaiknya dilakukan segera setelah pemasakan. Penundaan pengeringan menyebabkan proses gelatinisasi terus berlanjut sehingga warna menjadi lebih gelap. Penundaan pengeringan juga menyebabkan pertumbuhan mikroba meskipun gabah pratanak dalam keadaan steril, karena suhu dan kadar air tersebut sangat disukai mikroba, terutama kapang Formatted Table 13 dan cendawan. Akan tetapi bila pengeringan terlalu cepat akan menyebabkan retak (cracking). Pada proses penggilingan beras, gabah kering giling yang telah dibersihkan Deleted: dari kotoran dilakukan proses penghilangan sekam sehingga diperoleh beras pecah kulit (brown rice), dilanjutkan dengan proses penyosohan sehingga diperoleh Deleted: dilaku Deleted: cara beras giling. Penyosohan akan menyebabkan kulit ari dan lembaga terpisahkan, yang berarti kehilangan protein, lemak, vitamin dan mineral yang lebih banyak. Proses beras pratanak mampu mengurangi kehilangan zat gizi dalam proses penggilingan. Nilai gizi yang tinggi disebabkan oleh proses difusi dan panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrien lainnya dalam endosperm, serta derajat Deleted: t sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya aleuron mengakibatkan sedikitnya bekatul dan zat gizi yang hilang (Nurhaeni 1980). Deleted: ¶ ¶ Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) atau biasa disebut diabet merupakan penyakit kronik yang timbul karena terlalu banyak glukosa di dalam darah. Dengan kata lain, DM merupakan suatu kelompok gangguan metabolik dengan ciri umum, yaitu hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi). Jenis penyakit ini telah dikenal ribuan tahun yang lalu oleh masyarakat Mesir kuno, seperti dalam Ebers Papirus (± 1500 SM), mengungkapkan beberapa pengobatan terhadap suatu penyakit yang ditandai dengan sering kencing (Pusparaj et al. 2001). Disebutkan bahwa DM diambil dari kata diabetes = mengalir terus, dan melitus = madu, yang berarti minum dan urine yang dikeluarkan mengandung glukosa. DM merupakan penyakit metabolik serius dengan tanda kandungan glukosa darah meningkat sebagai akibat berkurangnya insulin secara relatif maupun absolut. Perubahan ini akan diperburuk dengan meningkatnya sekresi glukagon oleh pankreas ke dalam tubuh (Brody 1999). Klasifikasi Badan kesehatan dunia (WHO), melalui laporan kedua Expert Committee on Diabetes Melitus mengelompokkan diabetes menjadi dua kelompok utama, yaitu Insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) dan Non-insulin-dependent 14 diabetes mellitus (NIDDM) (WHO 1980). Pada IDDM, pankreas tidak menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup, sedangkan NIDDM pankreas masih relatif cukup menghasilkan insulin, tetapi insulin yang ada tidak bekerja secara baik karena adanya resistensi insulin akibat kegemukan (Dalimartha 2004). Pada tahun 1997, Expert Committee on the Diagnosis dan Classification of Diabetes Melitus (ECDCDM) menyepakati klasifikasi baru diabetes melitus, menjadi DM tipe 1 (yang sebelumnya disebut IDDM atau juvenil diabetes), tipe 2 (sebelumnya disebut NIDDM atau adult-onset) dan gestational diabetes (FosterPowel et al. 2002; Rimbawan & Siagian 2004). Kelompok DM tipe 1 adalah penderita penyakit DM yang sangat tergantung pada suntikan insulin. Kebanyakan penderitanya masih muda dan tidak gemuk. Gejala biasanya timbul pada masa kanak-kanak dan puncaknya pada masa akil balig (Dalimartha 2004). Sekitar 95% penderita DM tipe 1 terjadi sebelum usia 25 tahun, dengan prevalensi kejadian yang sama pada pria dan wanita. Individu yang mengalami DM tipe 1 mempunyai ciri-ciri polyuria (sering kencing), polydipsia (rasa haus yang terus menerus), dan polyphagia (perasaan lapar yang berlebih). Dalam pengujian glukosa darah, pasien yang mengalami diabetes tipe ini apabila diberi 75 g glukosa secara oral dan sebelumnya telah melakukan puasa selama semalam, konsentrasi glukosa darahnya akan meningkat lebih dari 200 mg/dl. Sedangkan pada individu normal perlakuan yang sama akan meningkatkan glukosa darahnya berkisar 140 mg/dl. glukosa Tingginya kandungan darah dalam tubuh, mengakibatkan laju filtrasi glomerulus terhadap glukosa menjadi berlebih dan urine akan mengandung banyak glukosa (Champe & Harvey 1994). Kelompok DM tipe 2 dicirikan oleh resistensi insulin pada jaringan perifer dan gangguan sekresi insulin dari sel-β pankreas. DM tipe 2 adalah jenis penyakit diabet yang paling lazim dan berkaitan dengan riwayat diabetes keluarga, usia lanjut, obesitas, perubahan pola makan dan aktivitas fisik yang kurang (Wallett et al. 2002). Resistensi insulin dan hiperinsulinemia akan menyebabkan kerusakan toleransi glukosa. Sel-β yang rusak akhirnya menjadi lemah, selanjutnya mendorong intoleransi glukosa dan hiperglikemia (Mayfield 1998). Penyebab terjadinya DM ini belum diketahui dengan pasti, namun individu yang menderita Deleted: disebabkan oleh insulin yang 15 diabetes, secara metabolik mengalami penurunan sensitivitas insulin akibat disfungsi sel-β pankreas dan insulin resisten (Lebovitz 1999) Gestational diabetes merupakan klasifikasi operasional, bukan klasifikasi berdasarkan kondisi fisiologis. Diabetes yang diderita oleh wanita sebelum hamil disebut pregestational diabetes. Wanita yang mengalami DM tipe 1 pada saat hamil dan wanita dengan asimptomatik DM tipe 2 yang tidak terdiagnosis dikelompokkan menjadi gestational diabetes. Kebanyakkan wanita penderita gestational diabetes memiliki homeostatis glukosa yang normal selama paruh pertama (sampai bulan kelima) masa hamil. Pada paruh kedua masa hamil (antara bulan keempat dan kelima) mengalami defisiensi insulin relatif. Pada umumnya kadar glukosa darah kembali normal setelah melahirkan. Gestational diabetes dapat meningkatkan resiko DM tipe 2 pada usia lanjut. Diagnosis dan Perubahan Metabolisme Sebagai kriteria diagnosis yang baru, ECDCDM telah menggantikan tes toleransi glukosa oral (oral glucose tolerance test) dengan kadar glukosa plasma puasa (fasting plasma glucose level). Diabetes ditandai dengan kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dL atau kandungan glukosa darah puasa (GDP) lebih dari 126 mg/dL. Dalam pengujian glukosa darah 2 jam post prandial (2jPP), penderita diabetes bila diberi 75g glukosa secara oral, dan sebelumnya telah melakukan puasa semalam, maka kadar glukosa darahnya mencapai lebih dari 200 mg/dl. Pada individu normal, GDP < 110 mg/dl dan didiagnosis gangguan homeostatis glukosa 2jPP < 140 mg/dl. Individu bila GDP antara 110-126 mg/dl (gangguan glukosa puasa) atau 2jPP antara 140-200 mg/dl (gangguan toleransi glukosa) (Mayfield 1998). Komplikasi Diabetes Melitus Kondisi hiperglikemik kronis dapat menyebabkan terjadinya komplikasi DM. Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain: pengerasan kapiler dan venavena kecil, perubahan retina (kebutaan), pengerasan ginjal (nephosklerosis), pengapuran pembuluh darah besar pada penderita diabetes yang lama dapat menimbulkan atherosklerosis. 16 Kondisi hiperglikemik kronis dapat mendorong produksi radikal bebas yang berlebihan dari proses auto-oksidasi glukosa, progresi protein dan terjadi perubahan kesetimbangan oksidan dan antioksidan tubuh. Pembentukan radikal bebas yang berlebih pada penderita DM dapat memicu penurunan kandungan antioksidan enzimatik tubuh dan kerusakan jaringan. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya atherosklerosis dan katarak (Szaleczky et al. 1999; Ferrari & Torres 2003) Enzim antioksidan dalam tubuh mempunyai fungsi utama sebagai pertahanan sel dengan cara mendekomposisi spesies oksigen reaktif. Perubaham proses metabolisme yang terjadi pada DM akan mempengaruhi fungsi antioksidan tubuh. Tiga enzim antioksidan utama di dalam tubuh, yaitu superoksida dismutase (SOD), glutathion peroksidase (Gpx) dan katalase (Cat). Mekanisme perubahan keseimbangan antioksidan tubuh sebagai akibat DM yaitu adanya induksi terhadap ekspresi antioksidan enzimatis meningkatnya pengikatan non-enzimatis saat fase glukosa terhadap transkripsi, protein serta gangguan ketersediaan mikronutrien (Szaleczky et al. 1999). Penderita DM mempunyai resiko terkena atherosklerosis 2-6 kali lipat dibandingkan individu sehat (Wagenknecht et al. 1998; Gerrity et al. 2001 ). Faktor penyebab terjadinya atherosklerosis pada penderita DM yaitu akselerasi proliferasi sel otot halus arteri dan disfungsi platelet. Proliferasi sel otot halus mendorong pembentukan lesi atherosklerosis lanjut. Hiperinsulinemia dan hiperglikemia dapat menyebabkan akselerasi progresi atherosklerosis. Platelet Deleted: merupakan salah satu komponen darah yang mempunyai fungsi untuk pembekuan darah. Pada kondisi DM, platelet mengalami disfungsi dan hiperaktif untuk membeku, dan cenderung untuk menempel dan beragregasi dengan endotel. Pankreas Pankreas merupakan organ yang mempunyai dua fungsi, yaitu menghasilkan enzim pencernaan dan hormon. Sebagian besar massa sel pankreas merupakan sel-sel acinar, berfungsi sebagai penghasil enzim pencernaan, sisanya sel-sel penghasil hormon (pulau Langerhans). Enzim-enzim pencernaan yang disekresikan oleh pankreas adalah: α-amilase (menghidrolisis pati Æ dekstrin + Deleted: berfungsi 17 maltosa); lipase (menghidrolisis trigliserida Æ monogliserida + asam lemak + gliserol); fosfolipase (menghidrolisis lesitin Æ lisolesitin + asam lemak); kolesterol ester hidrolase/esterase (menghidrolisis ester kolesterol ÅÆ kolesterol bebas + asam lemak; tripsin (menghidrolisis protein/polipeptida Æ peptida kecil); kimotripsin (menghidrolisis protein/polipeptida Æ peptida kecil); elastase (menghidrolisis protein fibrous); kolagenase (menghidrolisis kolagen); ribonuklease (menghidrolisis RNA Æ nukleotida) dan dioksiribonuklease DNA Æ nukleotida). Pulau Langerhans merupakan kumpulan sel ovoid berukuran 76 x 0.2 μm yang tersebar di seluruh pankreas dan berbentuk seperti pulau. Sel pulau Langerhans mensekresikan empat macam peptida yang mempunyai aktivitas hormon, yaitu glukagon, insulin, somatostatin dan peptida pankreas. Insulin dan glukagon merupakan hormon yang berperan dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Kedua hormon tersebut berlawanan dalam keseluruhan fungsinya. Insulin disekresikan oleh sel-α bersifat anabolik, meningkatkan simpanan glukosa, protein dan lemak. Glukagon disekresikan oleh sel-β bersifat katabolik, memobilisasi glukosa, asam lemak dan asam amino dari tempat penyimpanan ke dalam darah. Somatostatin berperan dalam pengaturan sekresi insulin dan glukagon, sedangkan peptida pankreas lainnya belum diketahui benar fungsinya. Insulin Insulin merupakan suatu hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel-β dari pulau Langerhans dan merupakan kelompok sel yang terdiri dari 1% massa pankreas. Insulin adalah salah satu hormon terpenting yang mengkoordinasikan penggunaan energi oleh jaringan. Efek metaboliknya ialah anabolik, seperti sintesis glikogen, triasilgliserol, dan protein (Champe & Harvey 1994). Struktur Insulin. Insulin dibentuk oleh 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai polipeptida (rantai A dan rantai B). Rantai A dihubungkan dengan rantai B melalui jembatan disulfida. Molekul insulin juga mengandung jembatan disulfida intramolekuler antara residu asam amino 6 dan 11 pada rantai A. Struktur insulin manusia berbeda dengan struktur insulun babi atau sapi. Pada 18 rantai A, posisi asam amino treonin dan isoleusin (residu ke 8 dan ke 10) pada insulin manusia, berturut-turut digantikan oleh alanin dan valin. Sementara treonin pada ujung-C (C-terminal) rantai B digantikan oleh alanin. Insulin babi berbeda dengan manusia hanya pada ujung-C rantai B, yaitu alanin menggantikan treonin pada insulin manusia (Champe & Harvey 1994). Secara alami, kebutuhan insulin di dalam tubuh dipenuhi dengan mensintesisnya (biosintesis) dari dua prekursor (bahan dasar insulin), yaitu preproinsulin dan proinsulin. Sintesis ini berlangsung pada sitoplasma sel-β pankreas. Pengaturan Sekresi Insulin. Pengaturan sekresi insulin merupakan proses kunci dalam pengendalian kadar glukosa darah. Mekanisme sekresi insulin juga berperan dalam pengendalian kadar trigliserida plasma. Sekresi insulin oleh sel-β pulau Langerhans pankreas dikoordinasikan dengan pelepasan glukagon dari sel-α pankreas. Jumlah relatif insulin dan glukagon yang dilepaskan oleh pankreas diatur sehingga laju pembentukan glukosa di hati dijaga agar sama dengan laju penggunaan glukosa oleh jaringan perifer. Dari peran koordinasinya, sel-β merespon berbagai rangsangan. Secara khusus, sekresi insulin ditingkatkan oleh glukosa, asam amino, hormon gastrointestinal dan glukagon. Sel-β merupakan pengindera utama glukosa di dalam tubuh. Asupan glukosa atau makanan kaya karbohidrat mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah. Hal ini merupakan penanda untuk sekresi insulin atau penurunan pelepasan glukagon. Glukosa merupakan stimulan terpenting untuk sekresi insulin. Bahan lain non-glukosa yang juga mampu menstimulir pelepasan insulin dengan suatu mekanisme yang berbeda, antara lain beberapa asam-asam amino. Pada manusia, asam-asam amino, arginin, leusin, lisin dan penilalanin secara intravena merupakan bahan yang kuat untuk menstimulir palepasan insulin. Asupan protein menyebabkan peningkatan sementara kadar asam amino plasma. Krisetiana et al. (2001) melaporkan bahwa selain arginin, metionin juga menunjukkan adanya kecenderungan dalam menstimulasi sekresi insulin. Hormon peptida intestinal dan hormon-hormon gastrointestinal lain merangsang sekresi insulin. Hormon ini dilepaskan setelah asupan pangan yang menyebabkan peningkatan insulin, sebelum terjadi peningkatan aktual kadar 19 glukosa darah. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah glukosa yang sama yang diberikan secara oral menginduksi lebih banyak sekresi insulin daripada diberikan secara intravena. Glukosa menstimulir sekresi insulin dan menghambat pelepasan glukagon. Aksi yang terakhir ini sangat penting bagi penderita DM tipe 1, karena kerusakan sel-β menghilangkan efek penghambatan dalam pelepasan glukagon oleh insulin. Sintesis dan pelepasan insulin berkurang saat kekurangan pangan dan selama periode trauma. Efek ini diperantarai oleh epineprin yang disekresi oleh medulla adrenal untuk merespon stres, trauma atau aktivitas fisik ekstrem. Epineprin mempunyai efek langsung terhadap metabolisme energi yang menyebabkan mobilisasi cepat pada bahan pembentuk energi, termasuk glukosa dari hati dan lemak dari jaringan adiposa. Epineprin juga dapat mengesampingkan pelepasan insulin secara normal dengan rangsangan glukosa. Jadi, dalam keadaan darurat, sistem syaraf simpatetik menggantikan kosentrasi plasma glukosa sebagai pengendali sekresi insulin oleh sel-β. Mekanisme Kerja Insulin. yang memiliki afinitas Insulin berikatan dengan reseptor spesifik (reaktivitas) tinggi pada membran sel kebanyakan jaringan, termasuk hati, otot, dan adiposa. Ini merupakan tahap pertama aliran reaksi yang akhirnya menuju kepada susunan aksi biologis yang beranekaragam. Pengikatan insulin menimbulkan aksi luas. Respon yang paling cepat ialah peningkatan transpor glukosa ke dalam sel yang terjadi segera setelah insulin berikatan dengan reseptor membran (Champe & Harvey 1994). Sesaat setelah glukosa terserap dan masuk ke dalam sistem peredaran darah, maka glukosa akan segera terdistribusi ke seluruh jaringan tubuh. Dampak tersebarnya glukosa ke seluruh tubuh akan meningkatkan keberadaan insulin pada jaringan tersebut. Mekanisme klasik kerja insulin ialah meningkatkan pemindahan glukosa darah menuju otot dan mencegah proses glikogenolisis, glukoneogenesis dalam hati dan lipolisis pada jaringan adiposa (Gambar 2). Proses ini akan diikuti dengan penyimpanan dan pembentukan glikogen dalam sel otot (Bessesen 2001). Reseptor yang dikenali dan diikat oleh insulin, merupakan reseptor spesifik yang terdapat pada jaringan hati, otot dan adiposa. Reseptor insulin disintesis 20 sebagai polipeptida tunggal. Reseptor tersebut diglikosilasi dan dipecah menjadi sub-unit α dan β, kemudian dirangkai menjadi ikatan tetramer oleh ikatan disulfida. Domain hidrofobik pada masing-masing sub-unit β merenggangkan membran plasma. Sub-unit α ekstraseluler mengandung sisi pengikat insulin (insulin binding site). Domain sitisolik sub-unit β adalah tirosin kinase yang diaktifkan oleh insulin (Champe & Harvey 1994; Rimbawan & Siagian 2004). Efek membran dari hadirnya insulin yaitu meningkatnya transpor glukosa pada berbagai jaringan, seperti otot skeletal dan adiposa. Pengikatan insulin pada sub-unit α menginduksi perubahan komformasi yang ditransduksikan ke sub-unit β. Pengikatan ini mendorong autofosforilasi residu tirosin spesifik yang cepat dari setiap sub-unit β. Substrat insulin reseptor yang telah terfosforilasi akan menstimulasi vesicle yang mengandung glukosa transporter untuk dipindahkan ke membran sel. Keberadaan glukosa transporter akan memfasilitasi proses difusi glukosa untuk masuk ke dalam sel. Bessesen (2001) menyatakan bahwa masuknya glukosa ke dalam sel akan memberikan efek pertumbuhan dan metabolik. Hati Glikogenolisis Glukoneogenesis Karbohidrat Pankreas Insulin Glukosa ALB Saluran Pencernaan Jaringan Adiposa Otot Skeletal Gambar 2. Mekanisme klasik kerja insulin (Bessessen 2001) Pengikatan insulin diikuti oleh internalisasi kompleks hormon-reseptor. Di bagian sisi dalam sel, insulin didegradasi di dalam lisosom. Reseptor 21 kemungkinan didegradasi, namun lebih banyak di daur ulang ke permukaan sel. Taraf insulin yang meningkat akan mendorong pendegradasian reseptor, kemudian menurunkan jumlah reseptor insulin pada permukaan. Sekresi Insulin pada Kasus Diabetes. DM tipe 1 dicirikan dengan kekurangan insulin absolut akibat dari kerusakan disebabkan oleh autoimmun sel-β. Kerusakan tersebut Deleted: secara besar-besaran. Proses perusakan ini membutuhkan stimulan dari luar (misal infeksi virus) dan determinan genetik. Tlymphocyte teraktifkan dan merembes ke pulau Langerhans sehingga menyebabkan suatu keadaan yang disebut insulitis. terserang aotuimmun, terjadi penurunan perlahan-lahan Setelah beberapa tahun jumlah sel-β. Gejala akan nampak secara tiba-tiba ketika 80-90 % sel β telah rusak. Pada keadaan ini, pankreas gagal merespon glukosa dari makanan. Terapi insulin dibutuhkan untuk mengembalikan pengendalian metabolik (Champe & Harvey 1994). Pada DM tipe 2, pankreas menahan kapasitas sel-β yang mengakibatkan taraf insulin bervariasi dari di bawah normal sampai di atas normal. Namun, pada semua kasus, sel-β mengalami gangguan fungsi karena gagal mensekresikan insulin untuk memperbaiki hiperglikemia. Resistensi Insulin. Resistensi insulin merupakan kelainan metabolik yang Deleted: a dicirikan oleh menurunnya sensitivitas jaringan terhadap insulin (Kendall & Harmel 2002). Brady dan Saltiel (1999) mengatakan bahwa resistensi insulin adalah keadaan dimana konsentrasi insulin Deleted: a yang dihasilkan normal, namun respon biologisnya rendah. Keadaan ini terjadi ketika jaringan gagal merespon insulin secara normal. DM tipe 2 sering disertai oleh resistensi insulin pada organ Deleted: a sasaran yang mengakibatkan penurunan responsivitas, baik terhadap insulin endogenous maupun eksogenous. Sebagai contoh, resistensi insulin di hati Deleted: a menyebabkan produksi glukosa hepatik (glukoneogenesis) tidak terkendali. Pada Formatted: German (Germany) otot dan jaringan adiposa, resistensi insulin mengakibatkan penurunan ambilan Deleted: a glukosa oleh jaringan tersebut (Gambar 3). Resistensi insulin yang berkembang secara terus-menerus akan mengakibatkan sekresi insulin oleh sel-β mengalami gangguan (Cefalu 2001). Deleted: a Formatted: German (Germany) 22 Hati Glikogenolisis Glukoneogenesis Karbohidrat Pankreas Insulin Glukosa ALB X Saluran Pencernaan Jaringan Adiposa Otot Skeletal Gambar 3. Hubungan organ dalam resistansi insulin Indeks Glikemik Pangan Pengertian dan Konsep Indeks Glikemik Hasil penelitian tahun 1980-an menunjukkan bahwa kecepatan pencernaan karbohidrat di dalam saluran pencernaan berpengaruh penting pada pemahaman peran karbohidrat bagi kesehatan. Tidak setiap karbohidrat bekerja dengan cara yang sama. Indeks glikemik (IG) memberi petunjuk kepada efek faali makanan pada kadar glukosa darah dan respon insulin (Rimbawan & Siagian 2004). IG memberikan cara yang lebih mudah dan efektif dalam mengendalikan fluktuasi kadar glukosa darah. Indeks glikemik pangan merupakan tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa darah. Pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat, memiliki IG tinggi. Sebaliknya pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan lambat, memiliki IG rendah. Sebagai pembanding, IG glukosa murni ialah 100. IG beberapa bahan sumber karbohidrat disajikan pada Tabel 2. Pengenalan karbohidrat berdasarkan efeknya terhadap kadar glukosa darah dan respon insulin, yaitu karbohidrat berdasarkan IG-nya, dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan jumlah dan jenis pangan sumber karbohidrat yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan. Jenkins et al. (1981) menguji IG berbagai jenis pangan (Willett et al. 2002). Hasil yang diperoleh sangat menarik. Ternyata, es krim walaupun kaya Halaman 23 akan gula, pengaruhnya terhadap kenaikkan kadar glukosa darah lebih kecil dibandingkan dengan kenaikkan glukosa darah akibat mengonsumsi roti biasa. Hingga 15 tahun kemudian, para peneliti medik dan ilmuwan di seluruh dunia menguji pengaruh berbagai jenis pangan terhadap kadar glukosa darah dan mengembangkan konsep baru dalam pengelompokkan karbohidrat. Dengan mengetahui IG pangan, penderita DM dapat memilih makanan yang tidak menaikkan kadar glukosa darah secara drastis, sehingga kadar glukosa darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman. Makanan dengan IG rendah akan membantu orang untuk mengendalikan rasa lapar, selera makan dan kadar glukosa darah. Tabel 2. Indeks glikemik beberapa pangan sumber karbohidrat Jenis pangan Indeks glikemik*) Ukuran saji (g) 59 69 41 150 150 150 33 43 40 20 30 16 58 51 150 150 38 38 22 19 88 37 46 150 150 150 43 39 42 38 14 19 87 150 42 36 42 15-21 29-45 73-97 54-68 150 150 150 150 150 33 6 36 30 28 14 1 13 26 17 1. Jagung manis (Kanada) 2. Beras putih,ditanak (India) 3. Beras panjang ditanak 5 menit (Kanada) 4. Beras Basmati putih,ditanak 5. Parboiled rice, amilosa 12% (Bangladesh, var. BR2) 6. Ketan, amilosa 0-2% (Australia) 7. Beras Bangladesh, amilosa 28% 8. Beras putih instan, ditanak 1 menit (Kanada) 9. Beras putih instan, ditanak 6 Menit (Australia) 10.Terigu, biji utuh (Kanada) 11. Kedelai 12.Ubikayu rebus (New Zealand) 13.Kentang panggang 14.Ubijalar Sumber: Foster-Powell et al. (2002) Kadar KH (g/Uk saji) Beban glikemik Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan Berbagai faktor dapat menyebabkan IG pangan yang satu berbeda dengan pangan lainnya. Bahkan, pangan jenis yang sama bila diolah dengan cara berbeda, dapat memiliki IG yang berbeda, karena pengolahan dapat menyebabkan perubahan struktur dan komposisi kimia pangan. Dampak dari perubahan tersebut antara lain ialah perubahan daya serap zat gizi. Pengolahan pada umumnya meningkatkan daya cerna pangan. Semakin cepat karbohidrat dapat diserap tubuh, maka IG nya semakin tinggi. Sebagai contoh, beras mempunyai kisaran IG sangat luas, dari IG rendah (< 50) sampai IG tinggi (>70). Bahkan, beras Yasmin dari Deleted: didihkan Deleted: didihk Deleted: didihk Deleted: y 24 Thailand yang dimasak dengan rice cooker mempunyai IG lebih tinggi daripada glukosa (Foster-Powell et al. 2002). Hal ini menunjukkan bahwa beras memiliki jenis varietas yang sangat banyak. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap IG pangan, yaitu proses pengolahan, perbandingan amilosa dan amilopektin, kadar gula dan daya osmotik, kandungan serat, kandungan lemak dan protein serta kandungan zat antigizi (Miller et al. 1996; Rimbawan & Siagian 2004) . 1. Proses Pengolahan. Pada masa sebelum teknologi pengolahan pangan berkembang pesat seperti saat ini, masyarakat mengonsumsi pangan dengan pengolahan yang sangat sederhana, misalnya dengan membakar atau merebus. Mereka mengonsumsi pangan sumber karbohidrat dari serealia, kacang-kacangan dan umbi-umbian. Proses pengolahan serealia dan kacang-kacangan sangat sederhana, yaitu ditumbuk lalu dimasak (Miller et al. 1996). Pangan yang diproses dengan cara tersebut akan dicerna dan diserap dengan lambat, sehingga kadar glukosa darah meningkat secara perlahan. Saat ini, teknologi pengolahan pangan sangat berbeda. Teknik proses pangan saat ini menjadikan pangan dalam bentuk dan ukuran yang lebih mudah Deleted: i dicerna serta mempunyai rasa bervariasi dan tentunya jauh lebih enak. Proses penggilingan menyebabkan struktur pangan menjadi lebih halus, permukaan menjadi lebih luas, sehingga pangan tersebut menjadi lebih mudah dicerna dan diserap. Penyerapan yang cepat mengakibatkan timbulnya rasa lapar. Pangan yang mudah dicerna dan diserap akan menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat. Peningkatan kadar glukosa darah yang cepat ini akan menstimulir pankreas untuk mensekresikan insulin lebih banyak. Oleh karena itu kadar glukosa darah yang tinggi juga meningkatkan respon insulin (Ostman et al. 2001). Ukuran pengolahan partikel yang dan tingkat berpengaruh gelatinisasi terhadap IG merupakan pangan. faktor-faktor Ukuran partikel mempengaruhi proses gelatinasi pati. Penumbukan dan penggilingan biji-bijian akan memperkecil ukuran partikel sehingga lebih mudah menyerap air. Ukuran butiran pati yang semakin kecil semakin mudah terdegradasi oleh enzim sehingga semakin mudah dicerna dan diserap. Oleh karena itu, semakin kecil ukuran partikel maka IG pangan semakin tinggi. Liljeberg et al. (1992) menyebutkan bahwa butiran utuh serealia, misalnya gandum, menghasilkan respon glukosa dan Deleted: k 25 insulin yang rendah. Ketika butiran tersebut digiling sebelum direbus, maka respon glukosa dan insulin postprandial mengalami peningkatan bermakna. Kenaikkan kadar gula darah postprandial tepung terigu halus > tepung terigu kasar > biji gandum pecah > biji gandum utuh. 2. Kadar Amilosa dan Amilopektin. Golongan karbohidrat yang paling banyak dikonsumsi oleh manusia ialah pati, polisakarida dan selulosa yang berasal dari tanaman serta glikogen yang berasal dari hewan. Amilosa merupakan salah satu parameter penting yang menentukan mutu tanak dan mutu rasa beras. Oleh karena itu, dalam melepas varietas padi baru, amilosa menjadi salah satu komponen yang harus dianalisis. Berdasarkan kadar amilosanya beras dibagi menjadi tiga golongan, yaitu beras pera (kadar amilosa 25-30%), sedang (20-25%) dan pulen (10- <20%) (Kush et al. 1986). Pati dan glikogen dihidrolisis sempurna oleh aktivitas enzim yang terdapat dalam saluran pencernaan, menjadi unit pembangunnya D-glukosa bebas (Lehninger 1982). Pati terdiri dari amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan polimer gula sederhana yang tidak bercabang. Struktur yang lurus ini membuat amilosa dapat dihidrolisis sempurna oleh satu enzim saja (α-amilase), dengan kata lain mudah dicerna. Sedangkan amilopektin merupakan polimer gula sederhana yang mempunyai cabang dan memiliki ukuran molekul lebih besar dibandingkan dengan amilosa. Oleh karena itu untuk menghidrolisis amilopektin diperlukan dua enzim, yaitu α-amilase dan α(1 Æ 6) glukosidase ), sehingga lebih sulit dan lama dicerna (Lehninger 1982 ). Berdasarkan pengertian diatas, maka pangan yang mengandung amilopektin tinggi akan memiliki daya cerna rendah. Hal ini berarti pula bahwa IG nya juga rendah. Pengalaman sehari-hari menunjukkan bahwa ketan (kadar amilopektinnya tinggi, yaitu lebih dari 90%) memerlukan waktu pemasakan lebih lama, susah dicerna dan laju pengosongan lambung lebih lambat. 3. Kadar Gula. Orang awam sering menganggap sukrosa (gula meja/gula tebu) dapat menaikkan kadar glukosa darah secara cepat. Hal ini ditunjang oleh beberapa publikasi populer yang menyatakan bahaya konsumsi gula tebu (Willett et al. 2002) Padahal gula tebu memiliki IG sedang (65) dan ternyata menaikkan Deleted: ( Deleted: malto dekstrin 26 kadar glukosa darah tidak lebih tinggi dibandingkan dengan karbohidrat kompleks lain, seperti roti. Sukrosa merupakan disakarida yang dibentuk oleh satu molekul fruktosa dan satu molekul glukosa. Dalam pencernaan, disakarida diuraikan oleh enzim-enzim yang terletak di bagian luar lapisan sel-sel epitel yang membatasi usus halus. Sukrosa dihidrolisis menjadi D-glukosa dan D-fruktosa oleh enzim sukrase atau invertase (Lehninger 1982). Fruktosa diserap dan diambil langsung ke hati. Di dalam hati kebanyakan fruktosa diubah secara perlahan menjadi glukosa. Oleh sebab itu, respon gula darah terhadap fruktosa murni sangat kecil (IG = 23) (Foster-Powell, et al. 2002). Hal ini mengakibatkan respon gula darah terhadap 50 gram gula meja sekitar setengah dari responnya terhadap pati yang tergelatinisasi penuh (hampir seluruh molekulnya adalah glukosa). Pangan yang mengandung sukrosa dalam jumlah besar memiliki IG mendekati 60. Madu (sebagian besar sukrosa) memiliki IG = 58, namun ada jenis madu yang mempunyai IG diatas gula meja, yaitu 87. Hal ini kemungkinan jenis madu yang tidak murni, campuran dengan sirup glukosa (Rimbawan & Siagian 2004). Beberapa jenis buah memiliki IG rendah, misalnya cerri (IG = 22), apel dan pear (IG = 38) serta plum (IG = 39). Namun ada juga buah yang memiliki IG relatif tinggi (semangka, IG = 72). 4. Kadar Serat Pangan. Serat pangan didefinisikan sebagai dinding sel tumbuhan yang tahan terhadap hidrolisis oleh enzim di dalam usus halus manusia, meliputi polisakarida bukan pati (non starch polysaccharide) dan lignin (Trowell et al. 1976, diacu dalam Marsono 2004). Definisi tersebut telah mengalami beberapa kali perubahan karena tinjauan struktur kimia maupun efek fisiologis serat pangan. Definisi terbaru diberikan oleh The American Association of Cereal Chemistry (AACC) pada tahun 2001, yang menyatakan bahwa serat pangan adalah bagian tumbuhan yang dapat dimakan atau analog dengan karbohidrat, yang tahan terhadap pencernaan dan absorpsi di dalam usus halus manusia dan mengalami fermentasi sebagian atau seluruhnya di dalam usus besar. Serat pangan meliputi polisakarida, karbohidrat analog, oligosakarida, lignin, dan bahan yang terkait dengan dinding sel tanaman (Marsono 2004). Komponen tersebut dapat dikelompokkan menjadi serat larut dan tidak larut, atau terfermentasi dan tidak terfermentasi. Serat pangan tidak larut diartikan sebagai serat pangan yang Deleted: f 27 tidak dapat larut di dalam air panas maupun air dingin (Muchtadi 2001). Kelompok terfermentasi berkaitan dengan bisa tidaknya serat diuraikan oleh bakteri anaerob. Fermentasi berlangsung di dalam usus besar untuk menghasilkan asam lemak berantai pendek, yang dapat diserap dan digunakan sebagai sumber energi, serta gas-gas metan dan hidrogen. Efek fisiologis serat, ada yang diperkirakan mempengaruhi pengaturan energi. Kandungan energi per unit bobot pangan adalah rendah. Oleh karena itu, penambahan serat pada diet efektif menurunkan kerapatan (densitas) energi, terutama serat larut karena serat tersebut mengikat air. Pangan berserat tinggi juga meningkatkan distensi (pelebaran) lambung yang berkaitan dengan peningkatan rasa kenyang. Serat terfermentasi juga mendorong produksi hormon usus, seperti glucagon-like peptide-1 yang berkaitan dengan sinyal lapar. Jadi beberapa serat, terutama yang lebih larut (misalnya serat terfermentasi dari buah Deleted: . dan sayur) menurunkan penyerapan seluruh lemak dan protein (Howart et al. 2001). 5. Kadar Lemak dan Protein Pangan. Pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga pencernaan makanan di usus halus juga di perlambat. Oleh karena itu, pangan berkadar lemak tinggi cenderung mempunyai IG lebih rendah dibandingkan dengan pangan sejenis, berlemak rendah. Misalnya kentang goreng IG nya lebih rendah (IG = 44–58) dibandingkan dengan kentang panggang/ bakar (IG = 73-97); susu full fat Italy (IG = 11) dan susu skim Kanada (IG = 27-37) (Foster-Powell et al. 2002). Namun kecenderungan ini tidak selalu sama, karena pengolahan dan varietas juga berpengaruh terhadap IG pangan. Pangan berlemak tinggi, apapun jenis dan IG-nya rendah maupun tinggi, perlu dikonsumsi secara bijaksana. Konsumsi protein untuk kebanyakan orang berubah dengan kisaran sempit. Asupan lemak yang rendah akan digantikan oleh karbohidrat. Peningkatan laju penyerapan karbohidrat yang menyebabkan peningkatan IG setelah mengonsumsi pangan berkadar lemak rendah disebabkan karena tertundanya laju pengosongan lambung oleh lemak (Rimbawan & Siagian 2004). Deleted: . 28 6. Kadar Antigizi Pangan. Bahan pangan secara alami ada yang mengandung senyawa-senyawa yang bersifat toksik bila dikonsumsi dalam jumlah besar, misalnya sianida pada ubikayu (terutama jenis pahit). Beberapa bahan pangan mengandung senyawa yang berpotensi menyebabkan efek merugikan status gizi, yang disebut sebagai zat antigizi (Rimbawan & Siagian Formatted: German (Germany) 2004). Kacang-kacangan mengandung antigizi, antara lain antitripsin, saponin, hemaglutinin, fitat maupun polifenol. Disisi lain, antigizi juga dapat bermanfaat. Kandungan antitripsin dan fitat di dalam kedelai menyebabkan jenis kacangkacangan ini dapat digunakan sebagai pangan antidiabetes (Noor 2003). Asupan asam fitat dan lektin menunjukkan korelasi negatif terhadap respon glukosa darah Formatted: German (Germany) (Yoon et al. 1983; Thompson et al. 1984). Penambahan asam fitat pada tepung terigu secara in vitro menunjukkan penurunan pelepasan glukosa secara nyata (Yoon et al. 1983). Asam fitat (myo-inositol haksakisfosfat) merupakan bentuk utama fosfat Formatted: Font: Italic Formatted: German (Germany) Formatted: German (Germany) tersimpan dalam biji-bijian dan serbuk sari. Asam fitat dikatagorikan sebagai antigizi karena mempunyai bagian yang sifatnya sebagai pengkelat yang kuat. Asam fitat membentuk ikatan dengan mineral-mineral penting, seperti Zn, Ca, Mg, dan Fe, menjadi bentuk yang tidak terlarut, sehingga menurunkan bioviabilitasnya di dalam saluran pencernaan (Greiner et al. 1993). Asam fitat membentuk garam-garam kompleks yang disebut fitin. Pada biji-bijian, fitin terlokalisasi di dalam aleuron dan endosperm, sedangkan pada kacang-kacangan terdapat pada kotiledon (Singh & Reddy 1977). Senyawa polifenolik sering juga disebut dengan tannin merupakan agen pereduksi yang kuat Formatted: German (Germany) dan banyak terkandung di dalam tanaman pangan (Thompson et al. 1984). Senyawa ini dapat membentuk kompleks dengan protein sehingga menurunkan daya cerna protein dan mutu protein. Polifenol juga dapat menghambat aktivitas enzim pencernaan sehingga dapat menurunkan daya cerna pati (Deshpande & Salunke 1982). Berdasarkan sifat-sifat tersebut, polifenol yang terkandung didalam teh berpotensi menurunkan daya cerna pati beras. Deleted: Dengan analog antigizi Deleted: juga Deleted: sebagai antidiabetes Pemanasan dapat menurunkan aktivitas antigizi. Namun, beberapa antigizi tetap aktif walaupun telah melalui proses pemasakan. Zat antigizi pada biji-bijian dapat memperlambat pencernaan karbohidrat di dalam usus halus, sehingga Deleted: karbohidrat 29 menurunkan IG pangan tersebut. Kacang-kacangan mengandung zat antigizi, oleh karena itu IG kacang-kacangan umumnya rendah. Sebagai contoh, IG kacang Deleted: Hal ini dapat menerangkan kenapa merah 24 - 32, IG kedelai 15 - 21, IG kacang tanah 23 dan IG kacang hijau 32 (Foster-Powell et al. 2002; Marsono et al. 2002). Hal ini diperkuat dengan daya cerna kacang-kacangan yang juga rendah (50-65 %). Tanaman Teh Botani dan Produk Teh Tanaman teh berasal dari negeri China dan telah dikenal lebih dari 1500 tahun yang lalu. Tanaman teh yang tumbuh liar (tidak dibudidayakan) Deleted: menghasilkan bunga dan buah, tetapi sangat sedikit pucuk daun yang dapat dibuat minuman teh. Pada budidaya secara komersial, tanaman teh dipertahankan tingginya sekitar satu meter dengan cara pemangkasan, untuk kenyamanan pemetikan daun muda (pucuk). Linnaeus menggolongkan tanaman teh dalam klas Thea sinensis, spesies Camellia. Terdapat dua varietas utama, yaitu Camellia sinensis varietas sinensis (var. China) dan Deleted: e Camellia sinensis varietas assamica (var. Assam). Perbanyakkan dapat dilakukan secara generatif maupun vegetatif Formatted: German (Germany) (Hara et al. 1995). Deleted: bis Jenis produk teh yang banyak dikonsumsi masyarakat internasional, yaitu Formatted: German (Germany) teh hitam dan teh hijau. Jenis lain yang diproduksi dan dikonsumsi dalam jumlah Formatted: German (Germany) lebih sedikit dari dua jenis tersebut, yaitu teh instan, teh oolong dan pouchong. Perbedaan jenis teh diatas didasarkan pada tingkat fermentasinya. Teh hitam difermentasi sempurna, teh hijau tidak mengalami fermentasi, teh oolong dan pouchong berturut-turut mengalami fermentasi setengah dan seperempat sempurna. Teh hitam dibedakan menjadi dua, yaitu tanpa aroma (plain) dan beraroma (flavory) (Hara et al. 1995; Balentine & Paetau-Robinson 2000). Di Indonesia, masyarakat pada umumnya mengonsumsi teh wangi, dalam bentuk potongan daun kering yang difermentasi penuh dan diberi aroma bunga melati atau gambir. 30 Kandungan Kimia Teh dan Peran dalam Kesehatan Pengolahan daun teh segar menjadi berbagai produk menyebabkan terjadinya perubahan kimiawi yang ditandai oleh perbedaan warna, aroma dan flavor pada teh hitam, teh hijau, oolong dan pouchong. Teh mengandung Deleted: dengan Deleted: flavonoid dan methylxanthine, yang merupakan komponen bioaktif yang sangat penting dalam flavor teh dan potensi peranan teh sebagai minuman yang dapat membantu mencegah penyakit kronis seperti cancer (Dreosti 1996) dan penyakit kardiovaskuler (Tijburg et al. 1997). Sifat flavonoid antara lain berfungsi sebagai Formatted: Finnish antioksidan . Flavonoid merupakan famili fenolik tanaman yang tersebar luas di dalam Deleted: y Formatted: Finnish buah-buahan, sayuran dan minuman. Contoh flavonoid antara lain katekin yang Formatted: Finnish terkandung di dalam teh; anthocyanin di dalam blueberrie, anggur dan wine; Formatted: Finnish isoflavon pada kedelai dan flavonol pada bawang merah, apel dan teh. Komponen Formatted: Finnish Deleted: dalam flavonoid utama yang terkandung di dalam daun teh segar ialah catechin (flavan- Formatted: Finnish 3-ols) (Gambar 4.), dan flavonol (Gambar 5.). Kadar flavonoid mencapai lebih Deleted: utama dari 30% berat daun kering, dan Epigalokatekin galat (EGCG) merupakan katekin Formatted: Finnish Formatted: Finnish yang paling banyak terkandung di dalam produk-produk teh. Secangkir teh hijau Deleted: . dan oolong mengandung Formatted: Finnish EGCG 30-130 mg, sedangkan secangkir teh hitam mengandung 0-70 mg EGCG. Kandungan flavonol, seperti quercetin, kaemferol dan myricetin, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan katekin, yaitu 5-15 mg/cangkir teh (Balentine & Paetau-Robinson 2000). Gambar 4. Komponen katekin (flavan-3-ols) utama dalam teh Formatted: Finnish Formatted: Finnish Formatted: Finnish Deleted: ¶ 31 Teh hijau diproduksi menggunakan proses thermal, seperti uap atau pemanasan kering untuk menginaktifkan enzim yang mengoksidasi catechin menjadi flavonoid yang lebih komplek, yang merupakan karakteristik dari teh hitam dan oolong (Hara et al. 1995; Chen et al. 2003). Namun, beberapa oksidasi katekin terjadi selama proses pelayuan yang merupakan ciri khas teh hijau, dan 20-30% dari total flavonoid di dalam teh hijau akan menjadi produk oksidasi katekin yang merupakan karakteristik teh hitam dan oolong. Sejumlah kecil theaflavin, yang merupakan flavonoid yang mencirikan teh hitam dan oolong juga terdapat di dalam teh hijau. Teh hitam mengandung beberapa flavonoid unik, yang merupakan hasil dari porses fermentasi, yaitu theaflavin, theasinensin (bisflavonol), theaflagallin, dan thearubigen. Gambar 5. Komponen flavonol utama dalam teh Teh hijau merupakan minuman yang populer di Asia Timur, dan digunakan sebagai obat herbal di Eropa dan Amerika Utara, Teh hitam lebih banyak di konsumsi di negara-negara Barat (Tsuneki et al. 2004). Teh hijau mempunyai peranan sebagai antiinflamasi, antioksidatif, antimutagenik dan antikarsinogenik dan dapat mencegah penyakit kardiovaskuler. Konsumsi teh hijau secara rutin dapat mencegah timbulnya penyakit DM tipe 2 (Tsuneki et al. 2004). Polifenol yang terkandung di dalam teh (katekin, epikatekin, epigalokatekin dan Deleted: 32 Epigalokatekin galat) mempunyai sifat sebagai antioksidan. Polifenol mempunyai kemampuan menangkap radikal bebas seperti peroksinitrit (ONNO-), dan superoksida (O2-) (Malinski et al. 1993). Kerusakan oksidatif sel dan jaringan oleh spesies nitrogen reaktif dan oksigen reaktif berperan dalam timbulnya penyakit kronis termasuk kanker, penyakit kardiovaskuler dan diabetes (Wickremasinghe 1976; Balentine & Paetau-Robinson 2000). Menu makan kaya nabati dapat menurunkan resiko kejadian penyakit kronis diatas. Sedangkan serat, vitamin dan mineral merupakan nutrien penting di dalam diet yang menyehatkan. Teh merupakan minuman berbasis tanaman yang mengandung flavonoid dan fitokimia yang mempunyai aktivitas biologi lain, sehingga teh merupakan bagian dari menu sehat. Tabel 3. Potensi antioksidan relatif dari vitamin, teh, flavonoid dan karotenoid (Balentine & Paetau-Robinson 2000) Antioksidan Trolox Equivalent Antioxidant Capacity (TEAC mM)* Vitamin Asam askorbat 1.0 Vitamin E 1.0 Teh Teh hijau (1.000 ppm teh) 3.8 The hitam (1.000 ppm teh) 3.5 Katekin Epigalokatekin 3.8 Epikatekin galat 4.9 Epigalokatekin galat 4.8 Flavonol Quercetin 4.7 Rutin 2.4 Theaflavins Theaflavin 2.9 Theaflavin 3-monogalat 4.7 Theaflavin 3’-monogalat 4.8 Theaflavin digalat 6.2 Karotenoid Likopen 2.9 β-karotin 1.9 Lutein 1.5 * TEAC is the millimolar concentration of a Trolox Solution having the antioxidant capacity equivalent to a 1.0 mM solution of the substance under investigation. Flavonoid yang terkandung di dalam teh berperan melawan spesies oksigen reaktif dan radikal bebas dengan berbagai makanisme, antara lain delokalisasi Deleted: Flavonoid dalam teh melawan spesies oksigen reaktif dan radikal bebas dengan berbagai makanisme, antara lain delokalisasi elektron dan formasi ikatan hidrogen intramolekuler (Van Aker et al. 1996). Flavonoid dalam teh juga mempunyai sifat sebagai pengkelat Cu dan Fe bebas, yang dapat mencegah reaksi oksidatif, karena logam ini diketahui sebagai katalisator pembentukan spesies oksigen reaktif secara in vivo ( Balentine & Paetau-Robinson 2000).¶ Flavonoid dalam teh mempunyai potensi antioksidan lebih besar dibandingkan dengan vitamin C, vitamin E, dan karotenoid. Hasil pengujian potensi antioksidan tersebut disajikan dalam Tabel 3 ( Balentine & Paetau-Robinson 2000).¶ 33 elektron dan formasi ikatan hidrogen intramolekuler. Flavonoid dalam teh juga mempunyai sifat sebagai pengkelat Cu dan Fe bebas, yang dapat mencegah reaksi oksidatif, karena logam ini diketahui sebagai katalisator pembentukan spesies oksigen reaktif secara in vivo ( Balentine & Paetau-Robinson 2000). Formatted: English (U.S.) Berbagai tanaman yang mengandung senyawa berkaitan dengan katekin, seperti teh hijau, menunjukkan efek protektif pada kerusakan sel-β pankreas oleh aloksan ataupun streptozocin, namun pemberian katekin setelah kerusakan sel-β pankreas tidak menunjukkan regenerasi sel (Al-Achi 2005). Flavonoid teh mempunyai potensi antioksidan lebih besar dibandingkan dengan vitamin C, vitamin E, dan karotenoid. Hasil pengujian potensi antioksidan tersebut disajikan dalam Tabel 3 ( Balentine & Paetau-Robinson 2000). Pangan Fungsional Pengertian dan Perkembangan Pangan Fungsional Saat ini konsumen dalam memilih pangan tidak lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan energi, mengenyangkan, atau memberi kenikmatan dengan rasanya yang lezat serta penampilan menarik. Namun, juga mempertimbangkan potensi aktivitas fisiologis komponen yang dikandungnya. Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan semakin tinggi, seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan kemajuan teknologi pangan. Peningkatan prevalensi penyakit pada beberapa dekade terakhir, telah mendorong perubahan sikap masyarakat, yaitu cenderung mencegah penyakit dan berusaha menjalani hidup sehat. Oleh sebab itu pangan fungsional menjadi lebih disukai dibandingkan dengan obatobatan, karena efek psikologis yang menyehatkan tanpa mengonsumsi obat serta resiko efek samping yang jauh lebih rendah (Muchtadi 2004) Pangan fungsional merupakan generasi ketiga dari healthy foods. Pada era 1970-an dikenal istilah healthy eating, saat itu marak dikonsumsi aneka sari buah, yogurt, serealia dan whole meal bread. Pada era 1980-an, banyak dikonsumsi makanan rendah lemak (kolesterol), rendah gula dan rendah garam. Sedangkan pangan fungsional (PF) mulai diintroduksikan pada tahun 1990-an. Menurut konsensus pada the First International Conference on East-West Perspective on Functional Foods tahun 1996, PF merupakan pangan yang karena Deleted: di 34 kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, diluar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya. Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan) mendefinisikan PF sebagai pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsifungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Cara mengonsumsi PF dilakukan selayaknya makanan dan minuman, serta memiliki karakteristik sensori meliputi warna, tekstur, penampakan dan citarasa yang dapat diterima oleh konsumen (Fardiaz 2004). Dari konsep yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan, jelaslah bahwa PF tidak sama dengan pangan suplemen maupun obat. PF dapat dikonsumsi tanpa dosis tertentu, dapat dinikmati sebagaimana makanan pada umumnya, serta lezat dan bergizi (Astawan 2003). Istilah awal yang digunakan untuk menyebut makanan berkhasiat ini, yaitu healthy foods (makanan kesehatan), designer foods (makanan yang dirancang), dan nutraceutical atau pharmafoods (makanan farmasi). Peran Pangan Fungsional dalam Kesehatan Dalam definisi sebelumnya disebutkan bahwa PF mengandung satu atau Formatted: Swedish (Sweden) Deleted: diatas lebih komponen yang mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu. Komponenkomponen tersebut antara lain: serat pangan, gula alkohol, asam lemak tidak jenuh, peptida dan protein tertentu, asam amino, prebiotik, probiotik, glikosida dan isoprenoid, polifenol (teh) dan isoflavon (kedelai), kolin, lesitin, dan inositol, karnitin dan skualen, fitosterol dan fitostanol, serta vitamin dan mineral. Pangan Fungsional selalu terkait dengan klaim kesehatan. Serat larut dan β-glukan diklaim dapat menurunkan kolesterol, frukto dan galakto-oligosakarida untuk membantu pertumbuhan flora usus besar, gula alkohol (maltitol, xilitol, sorbitol) Deleted: Deleted: s dapat mengurangi resiko kerusakan gigi, kalsium dan susu rendah lemak dapat mengurangi resiko osteroporosis, serta vitamin, fitokimia dan serat pangan dapat mengurangi resiko kanker (Fardiaz 2004). Flavonoid dari teh mempunyai aktivitas antioksidan, dapat membantu menurunkan resiko berbagai penyakit kronis, seperti kanker, penyakit kardiovaskuler dan DM (Balentine & Paetau-Robinson 2000). Akhir-akhir ini, banyak beredar produk pangan dengan klaim kesehatan, disertai dengan promosi (iklan) yang sering bombastis. Beberapa contoh produk Formatted: Swedish (Sweden) Deleted: pasar Indonesia dibanjiri dengan 35 berikut mempunyai klaim yang berhubungan dengan kalsium dan osteroporosis (Anlene, Produgen, Tropicana Slim), lemak dan kanker (Vegeta, Fiber, Slimmy), biji-bijian, omega-3 dan resiko PJK (Quacker Oats, Produgen, Nestle Omega), (Muchtadi 2004). Produk-produk dengan klaim kesehatan yang banyak beredar di pasaran tersebut sering menyebabkan masyarakat awam mengartikan bahwa PF identik dengan pangan modern. Padahal, banyak produk pangan tradisional yang memenuhi persyaratan PF, namun informasinya masih terbatas. Minuman khas daerah yang mempunyai khasiat untuk kesehatan dan kebugaran, antara lain bir plethok dari Betawi, teh, wedang (Jw: minuman) jahe, wedang ronde, sekoteng serbat, wedang secang, bir temulawak, beras kencur, kunyit asam, dadih (fermentasi susu kerbau, khas Sumatera Barat), serta makanan tradisional dari kedelai dan bekatul (Widowati 2004). Deleted: Utara