TINJAUAN PUSTAKA Isolat Bakteri Pencerna Serat asal Rumen Kerbau Kerbau memiliki kemampuan istimewa untuk tumbuh dan berkembang pada kondisi lingkungan yang buruk serta cukup efisien dalam memanfaatkan pakan berkualitas rendah untuk menjadi daging. Kerbau mampu memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah karena didukung oleh volume rumen kerbau yang besar, sekresi saliva tinggi, laju pakan meninggalkan rumen lambat serta aktivitas selulolitik dan populasi mikroba yang lebih tinggi. Menurut Suryahadi et al, (1996) jenis bakteri selulolitik yang dapat diisolasi dari cairan rumen sapi dan kerbau antara lain Ruminococcus flavefacien, R. albus, Bacteroides ruminicola. Dinyatakan pula bahwa aktivitas selulolitik dari ternak kerbau lebih tinggi dibanding ternak sapi (43,2%/hari vs 16,3%/hari). Isolasi adalah proses pemurnian bakteri dari sekelompok bakteri dalam habitat yang sama. Isolat bakteri hasil isolasi Astuti (2010) dari tiga cairan rumen kerbau yang berbeda didapatkan 48 isolat. Sebanyak 17 isolat bakteri mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang pada substrat jerami padi, serat sawit, dan alang-alang. Hasil penelitian Gayatri (2010) menyatakan bahwa aktivitas enzim selulase dari setiap isolat mempunyai nilai yang berbeda walaupun populasi bakterinya sama. Semua isolat bakteri dari tiga sumber cairan rumen kerbau mempunyai potensi untuk dijadikan sebagai inokulum yang dapat mencerna pakan berkadar serat tinggi. Sebagian isolat bakteri rumen kerbau bersifat fakultatif dan dapat tumbuh dengan baik pada media yang mengandung cairan rumen steril Rifai (2010). Isolat bakteri pencerna serat hasil penelitian Gayatri (2010), Astuti (2010) dan Rifai (2010), belum diuji kemampuannya dalam mencerna pakan sumber protein. Bakteri penghasil enzim selulolitik yang dapat diidentifikasi di dalam rumen adalah Bacteroides amylophilus, Butirivibrio sp., Selenomonas ruminantium, Lachnospiro multipharus, dan Peptostreptococcus elsdenii. Sebagian besar bakteri tersebut mempunyai aktivitas exopeptidase (Arora, 1995). Exopeptidase merupakan enzim yang dihasilkan oleh bakteri yang dapat menghidrolisis protein dari ujung rantai polipeptida. Isolat bakteri hasil isolasi Astuti (2010) dan Gayatri (2010) berhasil dijadikan sebagai probiotik untuk pedet dalam upaya memeprcepat 3 penyapihan. Pemberian isolat bakteri pencerna serat ini diharapkan mampu mempercepat terjadinya fermentasi di dalam rumen. Hasil penelitian Hadziq (2011) menyatakan bahwa inokulan bakteri pencerna serat yang berasal dari rumen kerbau berpotensi memperbaiki kondisi fisiologis dan mendorong peningkatan konsumsi nutrien, pertambahan bobot badan, ukuran tubuh, dan peningkatan kemampuan pedet beradaptasi dengan lingkungan. Jumlah inokulan yang diberikan sebanyak 20 ml/ hari dengan konsentrasi bakteri 4,56 x 109 CFU/ml. Inokulasi isolat bakteri dapat memacu peningkatan konsumsi bahan kering, sehingga meningkatkan konsumsi nutrien khususnya mineral (Sihombing, 2010). Inokulasi bakteri pencerna serat dapat meningkatkan fermentasi serat secara berkelanjutan. Kebutuhan TDN meningkat seiring dengan meningkatnya pertambahan bobot badan (Yunitasari, 2011). Bakteri Cairan rumen Perut hewan ruminansia terdiri atas rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Volume rumen pada ternak sapi dapat mencapai 100 liter atau lebih dan untuk domba berkisar 10 liter (Putnam, 1991). Bagian cair dari isi rumen sekitar 810% dari berat sapi yang dipuasakan sebelum dipotong (Gohl, 1981). Bagian cair dari isi rumen kaya akan protein, vitamin B kompleks serta mengandung enzimenzim hasil sintesa mikroba rumen (Gohl, 1981). Retikulo rumen didalamnya terdapat mikroba yang terdiri atas protozoa dan bakteri yang berfungsi melakukan fermentasi untuk mensintesa asam amino, vitamin B-komplek dan vitamin K sebagai sumber nutrien bagi hewan induk semang (Hungate, 1966). Mikroba-mikroba rumen terutama bakteri yang menempel pada partikel pakan tersebut aktif mendegradasi polisakarida hijauan pakan. Bakteri merupakan penghuni terbesar dalam rumen, yaitu 1010-1012/ ml cairan rumen, sedangkan populasi protozoa 105-106/ ml cairan rumen (Ogimoto dan Imai, 1981) Church (1979) menyatakan bahwa cairan rumen mengandung enzim alfa amylase, galaktosidase, hemiselulosa dan selulosa. Rumen merupakan tabung besar untuk menyimpan dan mencampur ingesta bagi fermentasi mikroba. Kerja ekstensif bakteri dan mikroba lain dalam menghidrolisis dan mendegradasi nutrien pakan menghasilkan produk akhir yang dapat diasimilasi. Kondisi dalam rumen adalah anaerobik dengan temperatur 38-42ºC. Tekanan osmosis pada rumen mirip dengan 4 tekanan aliran darah, pH dipertahankan oleh adanya absorpsi asam lemak dan amonia. Peranan Mikroba Rumen dalam Nutrisi Ruminansia Counotte (1981) menyatakan bahwa rumen adalah tempat yang berfungsi untuk fermentasi pakan yang masuk dan menyediakan energi dan protein mikroba untuk kebutuhan proses metabolisme dalam tubuh ternak. Spesies-spesies bakteri dan protozoa yang berbeda saling berinteraksi dalam hubungan simbiosis dalam mencerna selulosa, hemiselulosa, pati, lemak dan protein. Bakteri-bakteri tertentu bertanggung jawab dalam proses fermentasi karbohidrat dan menghasilkan asam asetat, propionat, butirat yang merupakan sumber energi utama bagi ruminansia. Disamping itu juga dihasilkan asam isobutirat dan isovalerat. Selain sebagai sumber energi, VFA juga digunakan sebagai kerangka karbon dalam pembentukan protein mikroba (McDonald, 2002). Sutardi (1980) menyatakan bahwa kemampuan ternak ruminansia mencerna selulosa adalah karena kerja enzim selulase yang dihasilkan oleh mikroba rumennya. Ada dua macam enzim selulase yang memecah ikatan hidrogen antarmolekul glukosa dalam selulosa dan yang bersifat hidrolitik yang berfungsi memecah ikatan β-1,4. Selain merombak karbohidrat, mikroba rumen juga merombak protein dan menghasilkan asam amino, NH3, CO2, dan VFA. Beberapa mikroorganisme mengeluarkan urease yang merubah urea menjadi ammonia dan CO2. Degradasi protein di dalam rumen seperti dijelaskan oleh Huber dan Kung (1981) dipengaruhi oleh sumber protein, bentuk fisik dan kimia makanan, jumlah konsumsi energi, pertumbuhan mikroba dan ukuran partikel pakan, dan dinyatakan pula oleh Orskov (1982) bahwa rata-rata 60% true protein dan 100% NBP didegradasi di dalam rumen. Pemanfaatan Protein Mikroba Rumen oleh Ternak Ruminansia Selain protein by pass, ternak ruminansia mendapatkan asam amino yang dibutuhkannya dari protein mikroba yang masuk ke dalam usus halus. Asam amino yang tersedia bagi produksi ternak sebagian besar berasal dari protein mikroba rumen. Diperkirakan kontribusi protein mikroba ini mencapai 60%-70% dari total asam amino atau protein yang diserap ternak (Russel et al., 1992; Sauvant et al., 5 1995). Sekitar 40-80% protein yang masuk ke dalam usus halus adalah protein mikroba yang terbentuk di dalam rumen (Sniffen dan Robinson, 1987). Goedeken et al, (1990) menyatakan bahwa populasi mikroba rumen mampu membentuk semua asam amino yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia. Hal ini berarti bahwa keberhasilan memacu laju pembentukan protein mikroba akan sangat berpengaruh dalam pemenuhan kebutuhan asam amino ternaknya. Amonia adalah senyawa yang paling banyak digunakan dalam pembentukan protein mikroba dan diperoleh dari degradasi protein pakan, NBP, maupun urea darah yang masuk kembali ke dalam rumen melalui saliva maupun dinding rumen. Pembentukan protein mikroba rumen sangat tergantung pada ketersediaan energi yang mudah dicerna, prekursor asam amino, amonia, dan faktor lainnya (Huber dan Kung, 1981). ARC (1984) menyatakan untuk mencukupi pertumbuhan mikroba dan pembentukan protein mikroba yang maksimum, diperlukan konsentrasi amonia minimal 5 mg N-NH3/100 ml cairan rumen. Kekurangan N yang dibutuhkan oleh mikroba rumen akan menimbulkan efek negatif pada perombakan komponen pakan lainnya, khususnya dinding sel yang kaya akan selulosa. Aktivitas fermentasi mikroba yang optimum diperlukan konsentrasi amonia lebih banyak dari yang dibutuhkan untuk produksi maksimum protein mikroba (Oosting et al., 1989). Evaluasi Nilai Nutrisi Pakan in vitro Metode evaluasi nilai nutrisi pakan in vitro merupakan metode pengukuran kecernaan dan evaluasi pakan dengan menggunakan mikroorganisme rumen seperti yang dilakukan Tilley dan Terry (1963) atau menggunakan metode gas test oleh Menke (1979), inkubasi in sacco dengan menggunakan kantong nilon di dalam rumen oleh Mehrez dan Orskov (1977) dan cell-free fungal cellulose oleh De Boever pada tahun 1986. Evaluasi nilai nutrisi metode Tilley dan Terry (1963) yang dimodifikasi Makkar (2004) merupakan metode in vitro yang mengevaluasi proses metabolisme yang terjadi di luar tubuh ternak yaitu dalam rumen dan abomasum. Metode ini sering digunakan untuk mengetahui kecernaan bahan pakan dari hasil proses pencernaan dalam saluran pencernaan ternak. Teknik in vitro memberikan hasil analisa yang cepat dan proses yang murah, serta dapat digunakan untuk 6 mengevaluasi bahan pakan dalam jumlah besar. Metode ini sulit diterapkan pada material seperti sampel jaringan atau fraksi dinding sel (Makkar, 2004). Dasar metode ini adalah menirukan proses yang terjadi di dalam rumen dan cara yang paling sering digunakan adalah teknik in vitro yang dikembangkan oleh Tilley dan Terry (1963). Inkubasi yang terlalu pendek, hasil yang diperoleh cenderung besar keragamannya. Inkubasi 24 jam bermaksud untuk mengetahui konsentrasi produk akhir fermentasi sebelum terjadi pencernaan hidrolitik oleh enzim pepsin. Kamaruddin dan Sutardi (1977) menggunakan waktu inkubasi 24 jam dengan pertimbangan selain praktis dan juga memperkecil keragaman hasil fermentasi. Metode in vitro harus menyerupai sistem in vivo agar dapat menghasilkan pola yang sama sehingga nilai yang didapat juga mendekati nilai in vivo sehingga memudahkan untuk mengintepretasikan hasil dan memperkecil perbedaan dari standar. Kecernaan pakan pada ruminansia dapat diukur secara akurat di laboratorium dengan menggunakan metode two stage in vitro (Omed et al., 2000). Tahapan metode ini adalah dengan cara menginkubasi sampel selama 48 jam dengan larutan buffer cairan rumen dalam tabung dengan kondisi anaerob. Pada periode kedua, bakteri dimatikan dengan penambahan HCl pada pH 2, lalu diberi larutan pepsin-HCl dan diinkubasi selama 48 jam. Periode kedua ini merupakan model pencernaan yang terjadi di dalam organ pasca rumen (abomasum). Residu bahan yang tidak larut disaring, kemudian dikeringkan dengan oven 105ºC dan terakhir dilakukan pengabuan dengan tanur 600ºC hingga didapatkan bahan anorganik, bahan anorganik tersebut dapat dipergunakan untuk menentukan jumlah bahan organik yang kemudian dapat menentukan kecernaan bahan organik (McDonald et al., 2002). Indikator Nilai Nutrisi Pakan Vollatile Fatty Acid (VFA) Vollatil fatty acid (VFA) yang biasa disebut dengan asam lemak terbang merupakan salah satu produk fermentasi karbohidrat di dalam rumen yang menjadi sumber energi utama bagi ternak ruminansia dan dapat menyumbang 55-60% dari kebutuhan energi. Konsentrasi VFA pada cairan rumen dapat digunakan sebagai salah satu tolok ukur fermentabilitas pakan dan sangat erat kaitannya dengan aktivitas mikroba rumen (Parakkasi, 1999). 7 Karbohidrat pakan di dalam rumen mengalami dua tahap pencernaan oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Tahap pertama, karbohidrat mengalami hidrolisis menjadi monosakarida, seperti glukosa, fruktosa, dan pentosa. Selanjutnya gula sederhana tersebut dipecah menjadi asam asetat, asam propionat, asam butirat, CO2, dan CH4 (McDonald et al., 2002). Proses pencernaan karbohidrat di dalam rumen ternak ruminansia akan menghasilkan energi berupa VFA antara lain asetat, propionat dan butirat dengan perbandingan di dalam rumen berkisar 65% asetat, 20% propionat, dan 5% valerat. VFA diserap melalui dinding rumen lewat penonjolan yang menyerupai jari yang disebut vili. Sekitar 75% dari total VFA yang diproduksi akan diserap langsung dalam retikulorumen masuk ke darah, sekitar 20% diserap di abomasum dan omasum, dan sisanya sekitar 5% diserap di usus halus (McDonald et al., 2002). VFA dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme rumen yang membantu mencerna serat kasar dalam rumen serta sebagai sumber kerangka karbon bagi pembentukan protein mikroba (Sakinah, 2005). VFA total menunjukkan jumlah pakan, terutama karbohidrat yang merupakan prekursor VFA total, yang difermentasikan oleh mikroba rumen. Produksi VFA total yang dihasilkan dalam rumen sangat bervariasi tergantung pada ransum yang dikonsumsi dan lama waktu setelah makan yaitu antara 70-150 mM (McDonald et al., 2002). Kadar VFA yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan optimal rumen adalah 80-160 mM (Sutardi, 1980). Menurut penelitian yang dilakukan Sakinah (2005), semakin sedikit produksi VFA yang dihasilkan maka semakin sedikit pula protein dan karbohidrat yang mudah larut. Penurunan VFA diduga berhubungan dengan peningkatan kecernaan nutrien. VFA tersebut digunakan sebagai sumber energi mikroba untuk sintesis protein mikroba dan digunakan untuk pertumbuhan sel tubuhnya. Amonia (NH3) dalam Rumen Amonia merupakan hasil perombakan protein pakan menjadi peptida dan asam amino oleh mikroba rumen dan hidrolisis urea (Perry et al., 2003). Menurut Sakinah (2005), amonia tersebut digunakan oleh mikroba sebagai sumber nitrogen utama untuk sintesis protein mikroba. Mikroorganisme di dalam rumen dan retikulum ternak ruminansia dapat mensintesis asam-asam amino esensial untuk 8 kebutuhannya. Protein pakan yang berkualitas baik dibutuhkan untuk memenuhi hal itu, namun juga terdapat kelemahan dimana protein yang masuk akan dirombak oleh mikroba rumen menjadi amonia untuk sintesis protein tubuhnya. Protein bahan makanan yang masuk ke dalam rumen pada awalnya akan mengalami proteolisis oleh enzim-enzim protease menjadi peptida, lalu dihidrolisa menjadi asam amino yang kemudian secara cepat dideaminasi menjadi amonia. Keduanya akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba. Pertumbuhan mikroba rumen dapat mencapai optimum apabila jumlah protein asal pakan yang didegradasi dalam rumen sekitar 14-15% BK (Rimbawanto, 2001). Produksi NH3 tergantung pada kelarutan protein ransum, jumlah protein ransum, lamanya pakan di dalam rumen, dan pH rumen. Arora (1989) menyatakan bahwa produksi amonia dalam rumen sangat tergantung pada sifat protein pakan yang mengalami degradasi oleh mikroba rumen. Proporsi protein pakan yang masuk ke dalam tubuh perlu diatur untuk menghindari adanya produksi amonia berlebih. Ammonia yang melebihi 5% akan diserap dan disekresikan dalam urin. Menurut McDonald et al. (2002), proporsi protein pakan yang mendukung pertumbuhan mikroba rumen maupun ternak terdiri atas protein yang mudah didegradasi sebesar 70%-80% dan 30%-40% berupa protein yang lebih sulit didegradasi. Protein yang mudah larut dapat berasal dari pakan hijauan yang kaya akan protein, pakan bentuk bungkil, dan bijian. Konsentrasi NH3 yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 85-300 mg/l atau 6-21 mM (McDonald et al., 2002). Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Kecernaan merupakan perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan pakan dalam alat pencernaan. Kecernaan dapat dinyatakan dalam bahan kering dan bahan organik dan apabila dinyatakan dalam persentase maka disebut koefisien cerna. Kecernaan adalah indikasi awal ketersediaan nutrien yang terkandung dalam bahan pakan tertentu bagi ternak. Kecernaan yang tinggi mencerminkan besarnya sumbangan nutrien pada ternak, sementara pakan yang memiliki kecernaan rendah menunjukkan pakan tersebut kurang mampu menyuplai nutrien baik untuk hidup pokok maupun produksi. Sebagian besar komponen bahan kering terdiri atas bahan organik sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya koefisien bahan 9 kering (KCBK) akan mempengaruhi juga tinggi rendahnya koefisien cerna bahan organik (KCBO). Semakin tinggi KCBK maka semakin tinggi pula peluang nutrien yang dapat dimanfaatkan ternak untuk pertumbuhannya. Kecernaan bahan organik menunjukkan senyawa protein, lemak dan karbohidrat yang dapat dicerna oleh ternak. Kecernaan dapat dipengaruhi oleh kandungan lignin pakan, dan kandungan protein pakan. Setiap sumber protein pakan memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda. Senyawa anti nutrisi seperti tanin dapat menurunkan kecernaan dan menghambat aktivitas enzim pencernaan seperti protease, lipase, dan glikosidase. Kecernaan hidrolitis bahan pakan secara in vitro nutrien yang dicerna adalah protein mikroba dan protein pakan yang lolos fermentasi, sedangkan karbohidrat tidak dicerna karena hanya digunakan enzim pepsin sebagai pencerna protein. Komponen struktural tanaman seperti selulosa, lignin, dinding sel, neutral ditergent fiber (NDF), dan acid ditergent fiber (ADF) mempengaruhi secara negatif kecernaan nutrient ransum domba, sedangkan kerbohidrat mudah larut (pati) dan protein kasar dapat meningkatkan kecernaan nutrien tersebut (De Boever et al., 2005). Hasil penelitian Rahmawati (2001) menyatakan bahwa produksi amonia dan VFA pada rumen dapat menunjukkan nilai kecernaan bahan organik ransum yang dikonsumsi. Semakin tinggi produksi amonia dan VFA dalam rumen menunjukkan bahwa kecernaan bahan organik semakin tinggi pula. Hijauan Leguminosa Leucaena leucocephala Lamtoro, petai cina, atau petai selong merupakan leguminosa pohon sejenis perdu (polong-polongan) yang sering digunakan dalam penghijauan lahan atau pencegahan erosi dan sebagai pakan ternak. Pemotongan pertama tanaman untuk hijauan pakan dapat dilakukan pada waktu tanaman berumur 6-9 bulan kemudian pemotongan dapat diulang 4 bulan sekali (Mathius, 1993). Kecernaan bahan kering lamtoro berkisar antara 65-87% dengan kandungan protein kasar 25,9%, kalsium 2,36%, dan phosphor 0,23%. Winugroho (2009) melaporkan bahwa senyawa sekunder utama yang ditemukan dalam lamtoro adalah mimosin, namun jumlahnya relatif kecil yaitu sekitar 3-4%. Mimosin merupakan 10 asam amino yang terkandung pada daun-daun dan biji lamtoro. Oleh karena itu, penggunaan daun lamtoro dalam ransum direkomendasikan tidak lebih dari 50% total ransum yang diberikan. Pengaruh mimosin pada ternak bisa meyebabkan kerontokan bulu dan mempengaruhi fetus pada ternak non ruminansia (Rohmatin, 2010). Haryanto dan Djajanegara (1993), meyatakan bahwa daun lamtoro mengandung protein yang relatif rendah tingkat pemecahannya di dalam rumen yang merupakan sumber protein yang bagus untuk ternak ruminansia. Adanya mimosin dapat menimbulkan masalah pada ternak ruminansia, diantaranya kerontokan bulu, namun dengan adanya mikroorganisme yang sesuai, mimosin dapat dipecah menjadi 3-hidroksi-4 (1H) phyridone (3,4 DHP) di dalam rumen. Indigofera sp. Indigofera sp. adalah genus besar dari sekitar 700 jenis tanaman berbunga milik keluarga Fabaceae (Schrire, 2005). Terdapat di seluruh daerah tropis dan subtropis di dunia, dengan beberapa jenis mencapai zona di kawasan timur Asia. Indigofera sp. memberikan peluang yang menjanjikan dalam hal pemenuhan kebutuhan ternak ruminansia terhadap penyediaan hijauan pakan. Menurut Hassen et al. (2008) produksi bahan kering (BK) total Indigofera sp. adalah 21 ton/ha/tahun dan produksi bahan kering daun 5 ton/ha/tahun. Indigofera sp. memiliki kandungan protein yang tinggi, toleran terhadap musim kering, genangan air, dan tahan terhadap salinitas. Tepung daun Indigofera sp. mengandung protein kasar (PK) 22,30%31,10%, serat kasar sekitar 15,25%, NDF 18,9%-50,4%, kecernaan in vitro bahan organik berkisar 55-8%-71,7%. Selain itu legum ini memiliki kandungan mineral yang cukup untuk memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan optimal ternak. Kandungan mineral yang terkandung yaitu Ca 0,97%-4,52%, P 0,19%-0,33%, Mg 0,21%-1,07%, Cu 9 ppm-15,30 ppm, Zn 27,2 ppm-50,2 ppm, dan Mn 137,4 ppm281,3 ppm (Hassen et al., 2007). Menurut Abdullah dan Suharlina (2010), kandungan PK 20,47%-27,6%, serat kasar 10,97%-21,4%, NDF 49,4%-59,97%, ADF 26,23%-37,82%, KCBK 67-39%-81,8%, dan KCBO 65,77%-80,47%. Ciri-ciri legum Indigofera sp. adalah mempunyai kandungan protein yang tinggi, toleran terhadap kekeringan dan salinitas menyebabkan sifat agronominya sangat diinginkan. Mempunyai akar yang dalam dan saat akar terdalamnya 11 berkembang, tanaman ini mempunyai kemampuan untuk merespon curah hujan yang kurang dan tahan terhadap herbivore. Karakteristik tersebut merupakan potensi yang baik sebagai cover crop (tanaman penutup tanah) untuk daerah semi kering dan daerah kering (Hassen et al., 2006). Interval defoliasi tanaman ini yaitu 60 hari dengan intensitas defoliasi 100 cm dari permukaan tanah pada batang utama dan 10 cm dari pangkal percabangan pada cabang tanaman (Suharlina, 2010). Calliandra calothyrsus Kaliandra adalah jenis tanaman yang termasuk jenis sub-famili mimosoidae serta merupakan tanaman yang termasuk famili leguminosa. Tanaman ini didatangkan ke Indonesia pada tahun 1936 dari Guatemala, Amerika Serikat (Tangendjaja et al., 1992). Sebenarnya terdapat dua jenis Kaliandra yaitu kaliandra berbunga merah (Calliandra calothyrsus) dan kaliandra berbunga putih (Calliandra tetragona). C. tetragona memiliki batang yang berwarna cokelat tua, tajuk rimbun, perakarannya dalam dan bercabang banyak, banyak bintil akar, tahan terhadap naungan walaupun buahnya berkurang, daya pangkas besar sekali dan bertunas dengan baik serta dapat berbuah sepanjang tahun terutama pada bulan Juni sampai September. Kaliandra memiliki daya adaptasi yang baik terhadap tempat tumbuhnya yang berbeda-beda keadaannya. Tanaman ini mudah tumbuh pada berbagai jenis tanah, juga pada tanah liat yang sedikit sekali aerasinya, ketinggian dapat mencapai 10 meter dengan diameter batas maksimum 20 cm (Tangendjaja et al., 1992). Tanaman Kaliandra tumbuh optimal di daerah basah dengan curah hujan sekitar 1.000 mm/tahun, dapat tumbuh disegala bentuk lahan pada ketinggian 150-1.500 meter di atas permukaan laut dan di segala jenis tanah tanpa syarat tumbuh yang tinggi. Kaliandra cukup baik untuk dijadikan sebagai makanan ternak karena memiliki nilai gizi yang tinggi (Suliasih, 1985). Tangendjaja et al. (1992) menyatakan bahwa hijauan kaliandra mengandung protein kasar 24%, serat kasar 2434%, lemak 4,1-5%, abu 5-7,5%, ADF 27%, selulase 15%, dan lignin 10-11,9% serta produksi 1-10 ton bahan kering/ha/tahun. 12 Gliricidia sepium Gliricidia sepium atau Gamal merupakan salah satu jenis tanaman pakan ternak yang banyak disukai oleh ternak ruminansia kecil seperti kambing dan domba. Gamal diklasifikasikan ke dalam famili: Fabaceae (Papilionoideae); sinonim: Gliricidia lambii; Fernald, G. maculata var multijuga Micheli, Lonchocarpus roseus (Miller) DC., L. sepium (Jacq.) DC., Millettia luzonensis A. Gray, Robinia rosea Miller, R. sepium Jacq., R. variegata Schltdl. Gamal mempunyai batang tunggal atau bercabang dengan tinggi 2-15 m, batang tegak mempunyai diameter pangkal batang 5-30 cm. Tanaman mempunyai daun majemuk menyirip dengan panjang 19-30 cm, terdiri dari 7-17 helai daun. Helai daun berhadapan mempunyai panjang 4-8 cm dengan ujung runcing dan jarang. Semakin menuju pada ujung daun, ukuran daunnya semakin mengecil. Pemanfaatan daun gamal sepenuhnya dalam ransum tidak mampu memenuhi kebutuhan nutrien untuk produksi ternak yang optimal. Selain itu kandungan zat anti nutrisi daun gamal dapat mengurangi konsumsi dan palatabilitas pakan tersebut yang berakibat terambatnya produktivitas ternak. Suplementasi pakan berkualitas yang mengandung cukup nutrien diperlukan untuk meningkatkan produktivitas ternak yang hanya mengkonsumsi daun gamal. Gamal mengandung bahan kering 90,5%, TDN 63,4%, DE 2,80 Mcal/kg, ME 2,29%, serat kasar 24%, protein kasar 23,62%, abu 9,81%, Ca 2,35% dan P 0,35% (FAO, 2004). Gamal mempunyai molekul alkaloid dan senyawa pengikat protein yang belum dapat diidentifikasi dan tergolong zat anti nutrisi, serta tanin walaupun dalam konsentrasi cukup rendah dibandingkan Kaliandra (Calliandra calothyrsus). Selain itu menurut Tangendjaja et al. (1991) melaporkan bahwa gamal mempunyai 10 komponen asam fenolat dan 3 komponen merupakan senyawa fitokimia yang memiliki konsentrasi tinggi adalah kumarin. Urea sebagai Sumber Nitrogen Urea dapat digunakan sebagai sumber protein yang secara tidak langsung dapat dikonversi menjadi protein dengan melewati fermentasi mikroba rumen. Krebs et al. (1982) menyatakan bahwa pertumbuhan dan produksi domba yang diberi ransum berprotein rendah ternyata dapat diperbaiki dengan suplementasi 12 gram 13 urea dalam ransum hariannya, karena urea telah meningkatkan pertumbuhan mikroba di dalam rumennya. Rihani et al. (1993) menyatakan bahwa penggunaan urea akan menjadi lebih efisien jika ditambahkan karbohidrat mudah dicerna seperti molasses, dekstrosa atau pati karena akan merangsang penggunaan amonia oleh mikroorganisme rumen. Parakkasi (1987) menyatakan bahwa dalam pemanfaatan urea ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1) sumber karbohidrat yang mudah dicerna, seperti molases, pati harus cukup tersedia, 2) urea dalam pakan harus dicampur dengan baik, 3) diberi waktu adaptasi sekitar 2-3 minggu, 4) jangan menggunakan urea untuk mensuplai lebih dari sepertiga N protein ekuivalen dalam ransum penggemukan, 5) jangan menggunakan urea lebih dari 1% ransum lengkap atau lebih dari 5% konsentrat, dan 6) harus disertai dengan penambahan mineral S dan P. 14