DRUG RELATED PROBLEMS (DRP`s) OF ANTIBIOTICS USE ON

advertisement
DRUG RELATED PROBLEMS (DRP’s) OF ANTIBIOTICS USE
ON INPATIENTS CHILDREN IN SARI MEDIKA CLINIC
AMBARAWA
Nova Hasani Furdiyanti, Nyla Amelia Maharani, Meilinda Saputri
[email protected]
ABSTRACT
Infection is invasive proccess conducted by microorganisms that
proliferate within the body causing an illness. Infections can be killed by giving
antibiotic. But, the use of proper antibiotic is very important to maintain the
resistance of antibiotic. Drug Related Problems (DRP’s) are a system that can
measure the correct doses of using antibiotic. The aim of the study is to analyze
the use of DRP’s in using the antibiotic in patients correctly at Sari Medika Clinic
Ambarawa from January to May 2016..
The method used non experimental study through retrospective aprroach
and was analyzed by using descriptive approach meaning that the research used
data were collected in one time and used past data. Sampling used total sampling.
There was 61 patients who filled the inclusion criteria, it could be
classificed that 54 (88,52%) of them got correct indication and 7 (11,48%) got
incorrect indication. On the other hand, 45 (73,77%) got correct dosage and 16
(26,23%) got incorrect or underdose dosage. There was no potential drug
interactions.
The conclusion was that 39 patients (63,93%) got rational antibiotic and
22 patients (36,07%) got irrational antibiotic.
Keywords
: Antibiotics, Drug Related Problems, pediatric
11
Analisis Drug Related Problems (DRP’S) dalam Penggunaan
Antibiotik Pada Pasien Anak Rawat Inap di Klinik Sari Medika
Ambarawa
Nova Hasani Furdiyanti, Nyla Amelia Maharani, Meilinda Saputri
ABSTRAK
Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berpoliferasi
didalam tubuh yang menyebabkan sakit. Infeksi dapat diterapi menggunakan
antibiotik, dan penggunaan antibiotik yang tepat dibutuhkan untuk mengatasi
masalah resistensi antibiotik. Drug Related Problems (DRP’s) penggunaan
antibiotik merupakan masalah serius akibat ketidaktepatan pemakaian antibiotik
yang dapat memberikan dampak negatif dan mempengaruhi tercapainya tujuan
terapi. Untuk menganalisis DRP’s dalam penggunaan antibiotik pada pasien anak
rawat inap di Klinik Sari Medika Ambarawa periode Januari-Mei 2016.
Metode penelitian ini adalah non eksperimental menggunakan pendekatan
retrospektif dan dianalisis secara deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan
dengan cara mengumpulkan data sekaligus pada satu waktu dan menggunakan
data yang lalu. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik total sampling.
Terdapat 61 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, dan diperoleh 54
kasus (88,52%) tepat indikasi, 7 kasus (11,48%) tidak tepat indikasi. Sedangkan
45 kasus (73,77%) tepat dosis dan 16 kasus (26,23%) tidak tepat dosis yaitu dosis
yang diberikan terlalu rendah (underdose). Tidak ada potensi interaksi obat pada
pasien.
Berdasarkan parameter tepat indikasi, tepat dosis, dan potensi interaksi,
penggunaan antibiotik yang rasional sebanyak 39 pasien (63,93%), sedangkan
penggunaan antibiotik yang tidak rasional sebanyak 22 pasien (36,07%).
Kata Kunci : Antibiotik, Drug Related Problems, pediatri
PENDAHULUAN
Infeksi adalah proses invasif
oleh
mikroorganisme
dan
berpoliferasi didalam tubuh yang
menyebabkan sakit (Potter dan Perry,
2005). Kejadian penyakit infeksi
masih menjadi masalah kesehatan
yang tinggi baik di negara maju
maupun
berkembang.
Menurut
Riskesdas tahun 2007 terdapat 28,1%
penyakit infeksi di Indonesia
(Kemenkes RI, 2012). Berdasarkan
Profil Kesehatan Indonesia tahun
2009, penyakit infeksi dan parasit
tertentu menempati urutan ke-2
dalam 10 penyakit utama penyebab
kematian di rumah sakit (Kemenkes
RI, 2012).
Penggunaan antibiotik atau
antiinfeksi masih paling dominan
dalam
pelayanan
kesehatan.
Antibiotik adalah zat yang dihasilkan
oleh suatu mikroba, terutama yang
dapat menghambat atau dapat
membasmi mikroba jenis lain
(Refdanita et, al, 2004). Antibiotik
11
merupakan obat yang paling banyak
digunakan pada infeksi yang
disebabkan oleh bakteri. Maka dari
itu penggunaan antibiotik yang tepat
dibutuhkan untuk mengatasi masalah
resistensi
antibiotik.
Resistensi
antibiotik
adalah
perubahan
kemampuan bakteri hingga menjadi
kebal terhadap antibiotik (WHO,
2012).
Peresepan
antibiotik
di
Indonesia yang cukup tinggi dan
kurang bijak akan meningkatkan
kejadian resistensi. Hasil penelitian
“Antimicrobial
Resistance
in
Indonesia,
Prevalence
and
Prevention
(AMRIN
Study)”
membuktikan
adanya
masalah
resistensi
antimikroba,
yakni
penggunaan antibiotik yang tidak
bijaksana, serta pengendalian infeksi
yang belum dilaksanakan secara
benar. Penelitian tim AMRIN di dua
rumah sakit pendidikan di Indonesia
mendapatkan hanya 21% peresepan
antibiotik yang tergolong rasional,
dan menghasilkan juga rekomendasi
berupa metode yang telah divalidasi
(validated
method)
untuk
mengendalikan resistensi bakteri
secara efisien dan baku (Kemenkes
RI, 2011).
Penelitian yang dilakukan
oleh Ismayati pada tahun 2010 di
salah satu rumah sakit besar di Jawa
Tengah
menunjukkan
bahwa
penggunaan antibiotik secara tidak
bijak mencapai 80%. Pada kasus
yang terjadi di Kabupaten Semarang
menunjukkan bahwa angka kejadian
resisten terhadap antibiotik lini
pertama (penyakit infeksi ringan)
bisa mencapai 90% dan lini kedua
(infeksi sedang) mendekati 50%. Hal
ini dapat terjadi karena penggunaan
antibiotik yang tidak tepat (Sanjaya,
2007).
Drug
Related
Problems
(DRP)
penggunaan
antibiotik
merupakan masalah serius akibat
ketidaktepatan pemakaian antibiotik
dalam klinik yang dapat memberikan
dampak
negatif
mempengaruhi
tercapainya tujuan terapi (Depkes RI,
2005). Berdasarkan permasalahan
mengenai
ketidakrasionalan
penggunaan antibiotik, maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian
yang berjudul “Analisis DRP’s
Dalam Penggunaan Antibiotik Pada
Pasien Anak Rawat Inap Di Klinik
Sari Medika Ambarawa” sehingga
dapat meminimalisir pemberian
antibiotik yang tidak rasional dalam
peresepan obat selanjutnya.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah non
eksperimental
menggunakan
pendekatan
retrospektif
dan
dianalisis secara deskriptif, yaitu
penelitian yang dilakukan dengan
cara mengumpulkan data sekaligus
pada satu waktu dan menggunakan
data yang lalu (Notoatmodjo, 2012).
Populasi dalam penelitian ini
adalah pasien anak rawat inap yang
menggunakan antibiotik di Klinik
Sari Medika Ambarawa periode
Januari-Mei 2016 yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi yaitu
sebanyak 61 anak.
Teknik analisa data penelitian
dengan
menggunakan
“teknik
analisis kuantitatif yang mengolah
data
berbentuk
angka”
(Notoatmodjo, 2012). Data hasil
penelitian yang diperoleh dicatat dan
dikelompokkan. Kemudian dianalisis
dengan metode deskriptif non
11
analitik
menggunakan
persentase sebagai berikut :
P=
rumus
F
× 100%
N
Keterangan :
P = Persentase
F = Frekuensi (jumlah)
N = Responden (total jumlah)
100% = Pengali tetap
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Karakteristik Pasien
Keterangan
Jenis
Kelamin
Umur
Diagnosis
Laki-laki
Perempuan
Total
0-4 tahun
5-9 tahun
10-14 tahun
Total
Demam tifoid
Gastroenteritis Akut (GEA)
Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA)
Total
Hasil
penelitian
ini
menunjukkan bahwa pasien anak
penderita infeksi di Klinik Sari
Medika Ambarawa bulan JanuariMei 2016 lebih banyak yang berjenis
kelamin laki-laki yaitu sebanyak 36
pasien (59,02%), dibandingkan anak
dengan jenis kelamin perempuan
yang hanya berjumlah 25 pasien
(40,98%). Anak laki-laki lebih sering
melakukan aktivitas di luar rumah
yang memungkinkan anak laki-laki
mendapatkan resiko lebih besar
terpapar bakteri dan terkena penyakit
infeksi dibandingkan dengan anak
perempuan (Nasronuddin, et al,
2007).
Kejadian
infeksi
paling
banyak terjadi pada kelompok usia
rentang 10–14 tahun yang berjumlah
28 pasien (45,90%). Usia 10-14
tahun merupakan usia rawan terkena
infeksi, karena usia tersebut adalah
usia sekolah, dan biasanya anak-anak
Frekuensi
36
25
61
15
18
28
61
42
10
9
61
Persentase (%)
59,02
40,98
100
24,59
29,51
45,90
100
68,85
16,39
14,75
100
masih menyukai membeli makanan
dan minuman di lingkungan sekolah
dan
di
pinggir
jalan
yang
kebersihannya tidak dapat dijamin.
Masalah lain penyebab infeksi pada
anak usia 10-14 tahun adalah karena
anak usia tersebut lebih aktif bermain
atau beraktivitas diluar rumah
sehingga anak usia tersebut mudah
terpapar asap polusi dan debu.
Lingkungan dan pola hidup yang
tidak bersih juga dapat menyebabkan
tubuh mudah terpapar bakteri
(Musnelina et al, 2004).
Sedangkan diagnosis tertinggi
adalah penyakit demam tifoid dengan
jumlah 42 pasien (68,85%). Demam
tifoid atau tifus abdominalis menjadi
diagnosis tertinggi karena penyakit
ini merupakan salah satu penyakit
infeksi tersering di wilayah tropik
dan di negara berkembang seperti
Indonesia. Demam tifoid adalah
11
penyakit sistemik akut akibat infeksi
Salmonella typhi (Eddy, 2002).
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa golongan antibiotik yang
paling banyak digunakan adalah
golongan Sefalosporin generasi
ketiga, yaitu sebanyak 46 antibiotik
(74,20%).
Antibiotik
golongan
Sefalosporin generasi ketiga lebih
banyak digunakan karena antibiotik
ini memiliki spektrum yang lebih
luas pada bakteri gram negatif dan
gram positif, serta dapat menembus
sawar darah otak (Katzung, 2007).
Jenis antibiotik yang paling banyak
digunakan adalah Cefixime dengan
jumlah 24 antibiotik (38,71%).
Cefixime menjadi pilihan utama
pengobatan penyakit infeksi yang
banyak digunakan di Klinik Sari
Medika Ambarawa karena Cefixime
dianggap sebagai antibiotik yang
poten dan efektif untuk pengobatan
penyakit
infeksi.
Sifat
yang
menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak
struktur
bakteri
dan
tidak
mengganggu sel tubuh manusia,
mempunyai spektrum luas, penetrasi
jaringan cukup baik, dan resistensi
bakteri masih terbatas (Istiantoro,
2007).
Tabel 2 Pola Penggunaan Antibiotik
Golongan
Antibiotik
Jenis
Antibiotik
Penisilin spektrum
luas
Amoxicillin
Sefalosporin
generasi I
Cefadroxil
Ceftriaxone
Sefalosporin
generasi III
Cefixime
Cefotaxime
Makrolida
Azithromycin
Sulfamethoxazole
dan Trimetoprim
Cotrimoxazole
Cara
Pemberian
Frekuensi
Oral
8
Injeksi
Oral
Injeksi
Oral
Injeksi
Oral
Injeksi
Oral
Injeksi
Oral
Injeksi
Oral
Injeksi
1
6
24
15
4
3
61
Total
Sedangkan cara pemberian
antibiotik yang paling banyak
digunakan adalah oral yaitu sebesar
40 pasien (64,52%). Pemberian
antibiotik secara oral menjadi pilihan
utama karena memiliki tujuan untuk
memudahkan pemakaian serta untuk
mencapai efek terapi yang diinginkan
dimana cara atau rute pemberian
Persentase
Jenis (%)
Persentase
Golongan
(%)
13,11
13,11
1,64
1,64
9,84
39,34
73,77
24,59
6,56
6,56
4,92
4,92
100
100
antibiotik
harus
aman
dan
bermanfaat bagi pasien. Penggunaan
antibiotik oral penyerapannya tepat
dan sempurna melalui saluran cerna,
sehingga
menghasilkan
kadar
maksimal dan bioavailabilitas yang
tinggi. Sedangkan pemakaian injeksi
memberikan efek kerja yang lebih
cepat karena langsung masuk ke
11
sirkulasi sistemik tanpa adanya
absorpsi sehingga lebih cepat untuk
mencapai kadar terapetik. Jadi
dengan cara pemberian oral maupun
injeksi dapat memberikan manfaat
yang besar bagi pasien dalam terapi
pengobatan dengan memperhatikan
segi keamanannya.
Tepat Indikasi
Tabel 3. Persentase Ketepatan Indikasi Berdasarkan WHO
Tahun 2011, WGO Tahun 2012 dan Pharmaceutical Care Tahun
2005
Jenis Antibiotik
Amoxicillin
Cefadroxil
Ceftriaxone
Cefixime
Cefotaxime
Azithromycin
Cotrimoxazole
Total
Tepat
Indikasi
8
6
24
11
4
1
54
Persentase (%)
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian antibiotik di Klinik
Sari Medika yang tepat indikasi
adalah sebanyak 54 pasien (88,52%),
sedangkan yang tidak tepat indikasi
hanya sebanyak 7 pasien (11,48%).
Pada penyakit Demam Tifoid
terdapat 1 pasien yang diterapi
antibiotik tidak sesuai dengan
indikasinya,
yaitu
diberikan
Cefadroxil. Menurut WHO (2011),
antibiotik Cefadroxil tidak termasuk
dalam jenis antibiotik yang dapat
digunakan dalam kasus Demam
Tifoid, karena antibiotik jenis ini
hanya aktif untuk menghambat
bakteri Streptococcus Pneumoniae,
Streptococcus
Aureus
dan
Escherichia Coli, namun tidak aktif
menghambat bakteri Salmonella
Thypii.
Pada penyakit GEA diperoleh
6 pasien yang diberikan antibiotik
tidak tepat indikasi, yaitu 2 pasien
diberikan antibiotik Cotrimoxazole.
Menurut World Gastroenterology
Organisation (WGO) tahun 2012,
13,11
9,84
39,34
18,03
6,56
1,64
88,52
Tidak Tepat
Indikasi
1
4
2
7
Persentase (%)
1,64
6,56
3,28
11,48
antibiotik Cotrimoxazole adalah
alternatif kedua untuk penyakit
Kolera. Namun pada 2 pasien
tersebut tidak ditemukan adanya
gejala penyakit Kolera seperti
muntah, dehidrasi berat, feses
berwarna
putih
keruh
dan
mengeluarkan gumpalan-gumpalan
putih. Maka dari itu pemberian
antibiotik Cotrimoxazole dikatakan
tidak tepat indikasi jika diberikan
pada pasien tanpa adanya gejala
penyakit Kolera (WGO, 2012).
Pada 4 pasien anak yang
didiagnosis GEA dengan gejala diare
berdarah
diberikan
antibiotik
Cefotaxime. Dapat dikatakan tidak
tepat indikasi karena apabila anak
mengalami diare akut berdarah
berarti dicurigai terinfeksi bakteri
Shigella, maka diperlukan antibiotik
yang efektif terhadap kemungkinan
terjadinya shigellosis (WHO, 2009).
Namun
Cefotaxime merupakan
antibiotik Sefalosporin generasi
ketiga yang memiliki aktivitas luas
terhadap bakteri gram positif dan
11
gram negatif yang pada umumnya
kurang aktif terhadap Shigella
(Depkes, 2011).
Pemberian antibiotik yang
tidak sesuai indikasi dikatakan tidak
rasional karena dapat menyebabkan
resistensi atau kebalnya bakteri
terhadap
antibiotik,
akibatnya
pengobatan pada penyakit infeksi
akan menjadi lebih lama dan sulit
dilakukan.
Tepat Dosis
Tabel 4. Persentase Ketepatan Dosis Berdasarkan DIH Tahun
2015
Golongan
antibiotik
Jenis
Antibiotik
Penisilin
spektrum luas
Amoxicillin
Sefalosporin
generasi I
Cefadroxil
Ceftriaxone
Sefalosporin
generasi III
Cefixime
Cefotaxime
Makrolida
Sulfamethoxazole
dan Trimetoprim
Azithromycin
Cotrimoxazole
Keterangan
Frekuensi
Underdose
Tepat dosis
Underdose
Tepat dosis
Underdose
Tepat dosis
Underdose
Tepat dosis
Underdose
Tepat dosis
Underdose
Tepat dosis
Underdose
Tepat dosis
0
8
0
1
2
4
5
19
7
8
1
3
1
2
61
Total
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebesar 73,76% pemberian
antibiotik pada pasien anak penderita
infeksi sudah tepat. Namun dari 61
data rekam medik pasien, diperoleh
sebanyak 26,24% yang pemberian
antibiotiknya tidak tepat dosis.
Ketidaktepatan
dosis
tersebut
dikarenakan dosis yang terlalu
rendah (underdose), yakni pada
penggunaan Cefotaxime (11,48%),
Cefixime
(8,20%),
Ceftriaxone
(3,28%), Azithromycin (1,64%), dan
Cotrimoxazole (1,64%).
Dosis antibiotik tersebut
sesuai dosis lazim tiap obat.
Perhitungan dosis berdasarkan berat
Persentase
Underdose
(%)
Persentase
Tepat
Dosis (%)
0
13,11
0
1,64
3,28
6,56
8,20
31,15
11,48
13,11
1,64
4,92
1,64
3,28
26,24
73,76
badan setiap anak dikali dengan
dosis yang ditentukan dalam Drug
Information Handbook (DIH) tahun
2015. Dosis
untuk Cefotaxime
sebagai pengobatan Demam Tifoid
anak yaitu 150-200 mg/kg/hari
terbagi dalam 3-4 dosis, dosis
Cefixime
sebagai
pengobatan
Demam Tifoid anak yaitu 15-20
mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis,
dosis
Ceftriaxone
sebagai
pengobatan Demam Tifoid yaitu 7580
mg/kg/hari,
serta
sebagai
pengobatan GEA yaitu 50-100
mg/kg/hari.
Sedangkan
Azithromycin sebagai pengobatan
ISPA pada anak yaitu 30 mg/kg
11
(Lacy, et al, 2015). Dan untuk
Cotrimoxazole sebagai pengobatan
GEA pada anak yaitu 40 mg
SMX/kg/hari dan 8 mg TMP/kg/hari
terbagi dalam 2 dosis.
Dosis obat yang terlalu
rendah (underdose) secara langsung
dapat mempengaruhi efektivitas
terapi
yang
ingin
dicapai.
Penggunaan antibiotik dengan dosis
yang terlalu rendah atau tidak tepat
juga
berpotensi
mengakibatkan
timbulnya
resistensi
antibiotik
(Roespandi, et al, 2009).
Tepat Frekuensi Pemberian
Tabel 5. Persentase Ketepatan Frekuensi Berdasarkan DIH Tahun 2015
Jenis Antibiotik
Amoxicillin
Cefadroxil
Ceftriaxone
Cefixime
Cefotaxime
Azithromycin
Cotrimoxazole
Total
Tepat
8
1
6
24
15
4
3
61
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pasien anak penderita infeksi
diberikan antibiotik dengan frekuensi
yang sudah tepat berdasarkan buku
acuan Drug Information Handbook
(DIH) tahun 2015. Dapat dikatakan
sudah tepat karena dilihat dari
jumlah pasien yang mendapatkan
antibiotik sesuai frekuensi pemberian
sebanyak 61 pasien (100%).
Persentase (%)
13,11
1,64
9,84
39,34
24,59
6,56
4,92
100,00
Penggunaan antibiotik dapat
dikatakan rasional apabila antibiotik
diberikan pada diagnosis yang tepat,
indikasi yang tepat, pemilihan obat
yang tepat, penderita yang tepat,
informasi yang tepat, dosis yang
tepat, dan frekuensi serta lama
pemberian yang tepat yaitu sesuai
jangka waktu yang dianjurkan
(Kemenkes, 2011).
Interaksi Obat
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Ada Tidaknya Interaksi Obat
Interaksi Obat
Ada
Tidak Ada
Total
Jumlah Pasien
0
61
61
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tidak dijumpai potensi
interaksi obat pada pasien infeksi di
Klinik Sari Medika. Maka dapat
dikatakan bahwa Klinik Sari Medika
dalam penggunaan dan pemberian
Persentase (%)
0
100
100
antibiotik dalam hal penanggulangan
interaksi obat telah dilakukan dengan
baik. Kombinasi antibiotik dengan
obat lain dibuat dalam rute yang
berbeda, sehingga tidak terjadi
interaksi.
11
Tabel 7. Kerasionalan Penggunaan Antibiotik
Kerasionalan
Rasional
Tidak rasional
Total
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan antibiotik pada
pasien anak rawat inap penderita
infeksi di Klinik Sari Medika
Ambarawa bulan Januari-Mei 2016
yang rasional sebanyak 39 pasien
(63,93%). Dapat dikatakan rasional
karena antibiotik yang diberikan
sudah tepat berdasarkan parameter
penelitian, yaitu tepat indikasi, tepat
dosis, dan frekuensi. Namun dari 61
data rekam medik pasien, dapat
dilihat bahwa sebanyak 22 pasien
(36,07%) pemberian antibiotiknya
belum
rasional.
Penyebab
ketidakrasionalan
pemberian
antibiotik pada penelitian ini adalah
karena pasien diberikan antibiotik
tidak tepat indikasi dan tidak tepat
dosis. Dianggap tidak rasional karena
pada 22 pasien tersebut terdapat satu
atau lebih parameter yang tidak tepat
berdasarkan pedoman acuan.
Penggunaan antibiotik yang
tidak rasional dapat menyebabkan
menyebarnya
mikroorganisme
resisten. Resistensi mikroorganisme
terhadap antibiotik inilah yang
menyebabkan
penyakit
infeksi
menjadi sulit untuk diobati dan dapat
membahayakan nyawa pasien yang
terinfeksi.
KESIMPULAN
1. Kasus penyakit infeksi anak
yang terbanyak adalah jenis
kelamin laki-laki (59,02%),
rentang umur yaitu 10-14 tahun
(45,90%), dengan diagnosis
Frekuensi
39
22
61
2.
3.
4.
Persentase %
63,93
36,07
100,00
penyakit
demam
tifoid
(68,85%).
Berdasarkan
golongan
antibitotik, yang paling banyak
digunakan adalah golongan
Sefalosporin generasi ketiga
(73,77%) dengan jenis Sefiksim
(39,34%). Sedangkan cara atau
rute pemberian yang paling
banyak digunakan adalah oral
(65,57%).
Pemberian antibiotik yang tepat
indikasi sebanyak 54 pasien
(88,52%). Sedangkan yang
diberikan antibiotik tepat dosis
sebanyak 45 pasien (73,76%),
frekuensi pemberian yang tepat
sebanyak 61 pasien (100%), dan
ketepatan berdasarkan interaksi
obat sebesar 100%.
Berdasarkan hasil penelitian
yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa pada 61
pasien anak penderita infeksi
didapatkan 39 pasien (63,93%)
yang
pemberian
atau
penggunaan antibiotiknya sudah
rasional berdasarkan parameter
tepat indikasi, tepat dosis, dan
potensi
interaksi
obat.
Sedangkan sebanyak 22 pasien
(36,07%)
penggunaan
antibiotiknya tidak rasional
berdasarkan parameter tepat
indikasi dan tepat dosis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes
RI.
Pharmaceutical Care
2005.
Untuk
11
Penyakit
Infeksi
Saluran
Pernapasan.
Departemen
Kesehatan RI. Jakarta
2. Depkes RI. 2011. Buku Saku
Lintas
Diare.
Departemen
Kesehatan RI. Jakarta
3. Eddy, S. S, 2002. Seri Penyakit
Tropik Infeksi; Perkembangan
Terkini Dalam Pengelolaan
Beberapa Penyakit TropikInfeksi.
Penerbit Airlangga University
Press.
4. Istiantoro,Y. H, Gan. V.G.H.
2007. Penisilin, sefalosporin, dan
antibiotik betalaktam lainnya
dalam farmakologi dan terapi.
Edisi kelima. Editor Sulistia G.
Ganiswara. Jakarta.
5. Katzung, B.G. 2007. Basic &
Clinical Pharmacology, Tenth
Edition.United States: Lange
Medical Publications.
6. Kemenkes RI. 2011. Pedoman
Umum Penggunaan Antibiotik.
Kementerian Kesehatan RI.
Jakarta
7. Kemenkes RI. 2012. Survei
Demografi
dan
Kesehatan
Indonesia.
Kementerian
Kesehatan RI. Jakarta
8. Lacy, F.,C., et al. 2015. Drug
Information Handbook, 24th
Edition. Lexi-comp. USA
9. Musnelina, et al. 2004. Analisis
Efektivitas Biaya Pengobatan
Demam
Tifoid
Anak
Menggunakan Kloramfenikol dan
Seftriakson di Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta Tahun 20012002, Makara Kesehatan, 8 (2):
59-64.
10. Nasronuddin, et al., 2007.
Penyakit infeksi di indonesia.
Surabaya: Airlangga University
Press. 121
11. Notoatmodjo,
S.
2012.
Metodologi
Penelitian
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
12. Potter & Perry. 2005. Buku Ajar
Fundamental
Keperawatan
Konsep, Proses, dan Praktik.
Edisi 4 volume 1. EGC. Jakarta
13. Refdanita, et al., 2004. Pola
Kepekaan Kuman Terhadap
Antibiotika Di Ruang Rawat
Intensif Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta Tahun 2001 – 2002:
Makara, Kesehatan. 8(02): 41-48
14. Roespandi H, et al. 2009.
Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit. Jakarta: WHO
Indonesia: 68.
15. Sanjaya, N. 2007. Bahaya
Antibiotik.
http://fk.umy.ac.id/mod/forum/di
scuss.pdf. [Maret 2016]
16. World
Gastroenterology
Organisation.
2012.
Acute
Diarrhea in Adults and Children:
a global perspective. [9 April
2016]
17. World Health Organization.
2009. Diarrhoea. Available
from:
http://www.who.int/mediacentre/
fs330/en/index.html. [ 15 Juni
2016 ]
18. World Health Organization.
2011.
Guidelines
for
the
Management of Typhoid Fever.
[12 April 2016]
19. World Health Organization.
2012. Antimicrobial Resistance.
World
Health Organization
Media Centre. Available From
http://www.who.int/mediacentre/
factsheets. [28 April 2016]
11
Download