DRUG RELATED PROBLEMS (DRP’s) OF ANTIBIOTICS USE ON INPATIENTS CHILDREN IN SARI MEDIKA CLINIC AMBARAWA Nova Hasani Furdiyanti, Nyla Amelia Maharani, Meilinda Saputri [email protected] ABSTRACT Infection is invasive proccess conducted by microorganisms that proliferate within the body causing an illness. Infections can be killed by giving antibiotic. But, the use of proper antibiotic is very important to maintain the resistance of antibiotic. Drug Related Problems (DRP’s) are a system that can measure the correct doses of using antibiotic. The aim of the study is to analyze the use of DRP’s in using the antibiotic in patients correctly at Sari Medika Clinic Ambarawa from January to May 2016.. The method used non experimental study through retrospective aprroach and was analyzed by using descriptive approach meaning that the research used data were collected in one time and used past data. Sampling used total sampling. There was 61 patients who filled the inclusion criteria, it could be classificed that 54 (88,52%) of them got correct indication and 7 (11,48%) got incorrect indication. On the other hand, 45 (73,77%) got correct dosage and 16 (26,23%) got incorrect or underdose dosage. There was no potential drug interactions. The conclusion was that 39 patients (63,93%) got rational antibiotic and 22 patients (36,07%) got irrational antibiotic. Keywords : Antibiotics, Drug Related Problems, pediatric 11 Analisis Drug Related Problems (DRP’S) dalam Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Rawat Inap di Klinik Sari Medika Ambarawa Nova Hasani Furdiyanti, Nyla Amelia Maharani, Meilinda Saputri ABSTRAK Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berpoliferasi didalam tubuh yang menyebabkan sakit. Infeksi dapat diterapi menggunakan antibiotik, dan penggunaan antibiotik yang tepat dibutuhkan untuk mengatasi masalah resistensi antibiotik. Drug Related Problems (DRP’s) penggunaan antibiotik merupakan masalah serius akibat ketidaktepatan pemakaian antibiotik yang dapat memberikan dampak negatif dan mempengaruhi tercapainya tujuan terapi. Untuk menganalisis DRP’s dalam penggunaan antibiotik pada pasien anak rawat inap di Klinik Sari Medika Ambarawa periode Januari-Mei 2016. Metode penelitian ini adalah non eksperimental menggunakan pendekatan retrospektif dan dianalisis secara deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekaligus pada satu waktu dan menggunakan data yang lalu. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik total sampling. Terdapat 61 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, dan diperoleh 54 kasus (88,52%) tepat indikasi, 7 kasus (11,48%) tidak tepat indikasi. Sedangkan 45 kasus (73,77%) tepat dosis dan 16 kasus (26,23%) tidak tepat dosis yaitu dosis yang diberikan terlalu rendah (underdose). Tidak ada potensi interaksi obat pada pasien. Berdasarkan parameter tepat indikasi, tepat dosis, dan potensi interaksi, penggunaan antibiotik yang rasional sebanyak 39 pasien (63,93%), sedangkan penggunaan antibiotik yang tidak rasional sebanyak 22 pasien (36,07%). Kata Kunci : Antibiotik, Drug Related Problems, pediatri PENDAHULUAN Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berpoliferasi didalam tubuh yang menyebabkan sakit (Potter dan Perry, 2005). Kejadian penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan yang tinggi baik di negara maju maupun berkembang. Menurut Riskesdas tahun 2007 terdapat 28,1% penyakit infeksi di Indonesia (Kemenkes RI, 2012). Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009, penyakit infeksi dan parasit tertentu menempati urutan ke-2 dalam 10 penyakit utama penyebab kematian di rumah sakit (Kemenkes RI, 2012). Penggunaan antibiotik atau antiinfeksi masih paling dominan dalam pelayanan kesehatan. Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain (Refdanita et, al, 2004). Antibiotik 11 merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Maka dari itu penggunaan antibiotik yang tepat dibutuhkan untuk mengatasi masalah resistensi antibiotik. Resistensi antibiotik adalah perubahan kemampuan bakteri hingga menjadi kebal terhadap antibiotik (WHO, 2012). Peresepan antibiotik di Indonesia yang cukup tinggi dan kurang bijak akan meningkatkan kejadian resistensi. Hasil penelitian “Antimicrobial Resistance in Indonesia, Prevalence and Prevention (AMRIN Study)” membuktikan adanya masalah resistensi antimikroba, yakni penggunaan antibiotik yang tidak bijaksana, serta pengendalian infeksi yang belum dilaksanakan secara benar. Penelitian tim AMRIN di dua rumah sakit pendidikan di Indonesia mendapatkan hanya 21% peresepan antibiotik yang tergolong rasional, dan menghasilkan juga rekomendasi berupa metode yang telah divalidasi (validated method) untuk mengendalikan resistensi bakteri secara efisien dan baku (Kemenkes RI, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Ismayati pada tahun 2010 di salah satu rumah sakit besar di Jawa Tengah menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik secara tidak bijak mencapai 80%. Pada kasus yang terjadi di Kabupaten Semarang menunjukkan bahwa angka kejadian resisten terhadap antibiotik lini pertama (penyakit infeksi ringan) bisa mencapai 90% dan lini kedua (infeksi sedang) mendekati 50%. Hal ini dapat terjadi karena penggunaan antibiotik yang tidak tepat (Sanjaya, 2007). Drug Related Problems (DRP) penggunaan antibiotik merupakan masalah serius akibat ketidaktepatan pemakaian antibiotik dalam klinik yang dapat memberikan dampak negatif mempengaruhi tercapainya tujuan terapi (Depkes RI, 2005). Berdasarkan permasalahan mengenai ketidakrasionalan penggunaan antibiotik, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Analisis DRP’s Dalam Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Rawat Inap Di Klinik Sari Medika Ambarawa” sehingga dapat meminimalisir pemberian antibiotik yang tidak rasional dalam peresepan obat selanjutnya. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah non eksperimental menggunakan pendekatan retrospektif dan dianalisis secara deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekaligus pada satu waktu dan menggunakan data yang lalu (Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien anak rawat inap yang menggunakan antibiotik di Klinik Sari Medika Ambarawa periode Januari-Mei 2016 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yaitu sebanyak 61 anak. Teknik analisa data penelitian dengan menggunakan “teknik analisis kuantitatif yang mengolah data berbentuk angka” (Notoatmodjo, 2012). Data hasil penelitian yang diperoleh dicatat dan dikelompokkan. Kemudian dianalisis dengan metode deskriptif non 11 analitik menggunakan persentase sebagai berikut : P= rumus F × 100% N Keterangan : P = Persentase F = Frekuensi (jumlah) N = Responden (total jumlah) 100% = Pengali tetap HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Karakteristik Pasien Keterangan Jenis Kelamin Umur Diagnosis Laki-laki Perempuan Total 0-4 tahun 5-9 tahun 10-14 tahun Total Demam tifoid Gastroenteritis Akut (GEA) Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Total Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien anak penderita infeksi di Klinik Sari Medika Ambarawa bulan JanuariMei 2016 lebih banyak yang berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 36 pasien (59,02%), dibandingkan anak dengan jenis kelamin perempuan yang hanya berjumlah 25 pasien (40,98%). Anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah yang memungkinkan anak laki-laki mendapatkan resiko lebih besar terpapar bakteri dan terkena penyakit infeksi dibandingkan dengan anak perempuan (Nasronuddin, et al, 2007). Kejadian infeksi paling banyak terjadi pada kelompok usia rentang 10–14 tahun yang berjumlah 28 pasien (45,90%). Usia 10-14 tahun merupakan usia rawan terkena infeksi, karena usia tersebut adalah usia sekolah, dan biasanya anak-anak Frekuensi 36 25 61 15 18 28 61 42 10 9 61 Persentase (%) 59,02 40,98 100 24,59 29,51 45,90 100 68,85 16,39 14,75 100 masih menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di pinggir jalan yang kebersihannya tidak dapat dijamin. Masalah lain penyebab infeksi pada anak usia 10-14 tahun adalah karena anak usia tersebut lebih aktif bermain atau beraktivitas diluar rumah sehingga anak usia tersebut mudah terpapar asap polusi dan debu. Lingkungan dan pola hidup yang tidak bersih juga dapat menyebabkan tubuh mudah terpapar bakteri (Musnelina et al, 2004). Sedangkan diagnosis tertinggi adalah penyakit demam tifoid dengan jumlah 42 pasien (68,85%). Demam tifoid atau tifus abdominalis menjadi diagnosis tertinggi karena penyakit ini merupakan salah satu penyakit infeksi tersering di wilayah tropik dan di negara berkembang seperti Indonesia. Demam tifoid adalah 11 penyakit sistemik akut akibat infeksi Salmonella typhi (Eddy, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa golongan antibiotik yang paling banyak digunakan adalah golongan Sefalosporin generasi ketiga, yaitu sebanyak 46 antibiotik (74,20%). Antibiotik golongan Sefalosporin generasi ketiga lebih banyak digunakan karena antibiotik ini memiliki spektrum yang lebih luas pada bakteri gram negatif dan gram positif, serta dapat menembus sawar darah otak (Katzung, 2007). Jenis antibiotik yang paling banyak digunakan adalah Cefixime dengan jumlah 24 antibiotik (38,71%). Cefixime menjadi pilihan utama pengobatan penyakit infeksi yang banyak digunakan di Klinik Sari Medika Ambarawa karena Cefixime dianggap sebagai antibiotik yang poten dan efektif untuk pengobatan penyakit infeksi. Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah secara selektif dapat merusak struktur bakteri dan tidak mengganggu sel tubuh manusia, mempunyai spektrum luas, penetrasi jaringan cukup baik, dan resistensi bakteri masih terbatas (Istiantoro, 2007). Tabel 2 Pola Penggunaan Antibiotik Golongan Antibiotik Jenis Antibiotik Penisilin spektrum luas Amoxicillin Sefalosporin generasi I Cefadroxil Ceftriaxone Sefalosporin generasi III Cefixime Cefotaxime Makrolida Azithromycin Sulfamethoxazole dan Trimetoprim Cotrimoxazole Cara Pemberian Frekuensi Oral 8 Injeksi Oral Injeksi Oral Injeksi Oral Injeksi Oral Injeksi Oral Injeksi Oral Injeksi 1 6 24 15 4 3 61 Total Sedangkan cara pemberian antibiotik yang paling banyak digunakan adalah oral yaitu sebesar 40 pasien (64,52%). Pemberian antibiotik secara oral menjadi pilihan utama karena memiliki tujuan untuk memudahkan pemakaian serta untuk mencapai efek terapi yang diinginkan dimana cara atau rute pemberian Persentase Jenis (%) Persentase Golongan (%) 13,11 13,11 1,64 1,64 9,84 39,34 73,77 24,59 6,56 6,56 4,92 4,92 100 100 antibiotik harus aman dan bermanfaat bagi pasien. Penggunaan antibiotik oral penyerapannya tepat dan sempurna melalui saluran cerna, sehingga menghasilkan kadar maksimal dan bioavailabilitas yang tinggi. Sedangkan pemakaian injeksi memberikan efek kerja yang lebih cepat karena langsung masuk ke 11 sirkulasi sistemik tanpa adanya absorpsi sehingga lebih cepat untuk mencapai kadar terapetik. Jadi dengan cara pemberian oral maupun injeksi dapat memberikan manfaat yang besar bagi pasien dalam terapi pengobatan dengan memperhatikan segi keamanannya. Tepat Indikasi Tabel 3. Persentase Ketepatan Indikasi Berdasarkan WHO Tahun 2011, WGO Tahun 2012 dan Pharmaceutical Care Tahun 2005 Jenis Antibiotik Amoxicillin Cefadroxil Ceftriaxone Cefixime Cefotaxime Azithromycin Cotrimoxazole Total Tepat Indikasi 8 6 24 11 4 1 54 Persentase (%) Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian antibiotik di Klinik Sari Medika yang tepat indikasi adalah sebanyak 54 pasien (88,52%), sedangkan yang tidak tepat indikasi hanya sebanyak 7 pasien (11,48%). Pada penyakit Demam Tifoid terdapat 1 pasien yang diterapi antibiotik tidak sesuai dengan indikasinya, yaitu diberikan Cefadroxil. Menurut WHO (2011), antibiotik Cefadroxil tidak termasuk dalam jenis antibiotik yang dapat digunakan dalam kasus Demam Tifoid, karena antibiotik jenis ini hanya aktif untuk menghambat bakteri Streptococcus Pneumoniae, Streptococcus Aureus dan Escherichia Coli, namun tidak aktif menghambat bakteri Salmonella Thypii. Pada penyakit GEA diperoleh 6 pasien yang diberikan antibiotik tidak tepat indikasi, yaitu 2 pasien diberikan antibiotik Cotrimoxazole. Menurut World Gastroenterology Organisation (WGO) tahun 2012, 13,11 9,84 39,34 18,03 6,56 1,64 88,52 Tidak Tepat Indikasi 1 4 2 7 Persentase (%) 1,64 6,56 3,28 11,48 antibiotik Cotrimoxazole adalah alternatif kedua untuk penyakit Kolera. Namun pada 2 pasien tersebut tidak ditemukan adanya gejala penyakit Kolera seperti muntah, dehidrasi berat, feses berwarna putih keruh dan mengeluarkan gumpalan-gumpalan putih. Maka dari itu pemberian antibiotik Cotrimoxazole dikatakan tidak tepat indikasi jika diberikan pada pasien tanpa adanya gejala penyakit Kolera (WGO, 2012). Pada 4 pasien anak yang didiagnosis GEA dengan gejala diare berdarah diberikan antibiotik Cefotaxime. Dapat dikatakan tidak tepat indikasi karena apabila anak mengalami diare akut berdarah berarti dicurigai terinfeksi bakteri Shigella, maka diperlukan antibiotik yang efektif terhadap kemungkinan terjadinya shigellosis (WHO, 2009). Namun Cefotaxime merupakan antibiotik Sefalosporin generasi ketiga yang memiliki aktivitas luas terhadap bakteri gram positif dan 11 gram negatif yang pada umumnya kurang aktif terhadap Shigella (Depkes, 2011). Pemberian antibiotik yang tidak sesuai indikasi dikatakan tidak rasional karena dapat menyebabkan resistensi atau kebalnya bakteri terhadap antibiotik, akibatnya pengobatan pada penyakit infeksi akan menjadi lebih lama dan sulit dilakukan. Tepat Dosis Tabel 4. Persentase Ketepatan Dosis Berdasarkan DIH Tahun 2015 Golongan antibiotik Jenis Antibiotik Penisilin spektrum luas Amoxicillin Sefalosporin generasi I Cefadroxil Ceftriaxone Sefalosporin generasi III Cefixime Cefotaxime Makrolida Sulfamethoxazole dan Trimetoprim Azithromycin Cotrimoxazole Keterangan Frekuensi Underdose Tepat dosis Underdose Tepat dosis Underdose Tepat dosis Underdose Tepat dosis Underdose Tepat dosis Underdose Tepat dosis Underdose Tepat dosis 0 8 0 1 2 4 5 19 7 8 1 3 1 2 61 Total Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 73,76% pemberian antibiotik pada pasien anak penderita infeksi sudah tepat. Namun dari 61 data rekam medik pasien, diperoleh sebanyak 26,24% yang pemberian antibiotiknya tidak tepat dosis. Ketidaktepatan dosis tersebut dikarenakan dosis yang terlalu rendah (underdose), yakni pada penggunaan Cefotaxime (11,48%), Cefixime (8,20%), Ceftriaxone (3,28%), Azithromycin (1,64%), dan Cotrimoxazole (1,64%). Dosis antibiotik tersebut sesuai dosis lazim tiap obat. Perhitungan dosis berdasarkan berat Persentase Underdose (%) Persentase Tepat Dosis (%) 0 13,11 0 1,64 3,28 6,56 8,20 31,15 11,48 13,11 1,64 4,92 1,64 3,28 26,24 73,76 badan setiap anak dikali dengan dosis yang ditentukan dalam Drug Information Handbook (DIH) tahun 2015. Dosis untuk Cefotaxime sebagai pengobatan Demam Tifoid anak yaitu 150-200 mg/kg/hari terbagi dalam 3-4 dosis, dosis Cefixime sebagai pengobatan Demam Tifoid anak yaitu 15-20 mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis, dosis Ceftriaxone sebagai pengobatan Demam Tifoid yaitu 7580 mg/kg/hari, serta sebagai pengobatan GEA yaitu 50-100 mg/kg/hari. Sedangkan Azithromycin sebagai pengobatan ISPA pada anak yaitu 30 mg/kg 11 (Lacy, et al, 2015). Dan untuk Cotrimoxazole sebagai pengobatan GEA pada anak yaitu 40 mg SMX/kg/hari dan 8 mg TMP/kg/hari terbagi dalam 2 dosis. Dosis obat yang terlalu rendah (underdose) secara langsung dapat mempengaruhi efektivitas terapi yang ingin dicapai. Penggunaan antibiotik dengan dosis yang terlalu rendah atau tidak tepat juga berpotensi mengakibatkan timbulnya resistensi antibiotik (Roespandi, et al, 2009). Tepat Frekuensi Pemberian Tabel 5. Persentase Ketepatan Frekuensi Berdasarkan DIH Tahun 2015 Jenis Antibiotik Amoxicillin Cefadroxil Ceftriaxone Cefixime Cefotaxime Azithromycin Cotrimoxazole Total Tepat 8 1 6 24 15 4 3 61 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien anak penderita infeksi diberikan antibiotik dengan frekuensi yang sudah tepat berdasarkan buku acuan Drug Information Handbook (DIH) tahun 2015. Dapat dikatakan sudah tepat karena dilihat dari jumlah pasien yang mendapatkan antibiotik sesuai frekuensi pemberian sebanyak 61 pasien (100%). Persentase (%) 13,11 1,64 9,84 39,34 24,59 6,56 4,92 100,00 Penggunaan antibiotik dapat dikatakan rasional apabila antibiotik diberikan pada diagnosis yang tepat, indikasi yang tepat, pemilihan obat yang tepat, penderita yang tepat, informasi yang tepat, dosis yang tepat, dan frekuensi serta lama pemberian yang tepat yaitu sesuai jangka waktu yang dianjurkan (Kemenkes, 2011). Interaksi Obat Tabel 6. Distribusi Frekuensi Ada Tidaknya Interaksi Obat Interaksi Obat Ada Tidak Ada Total Jumlah Pasien 0 61 61 Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak dijumpai potensi interaksi obat pada pasien infeksi di Klinik Sari Medika. Maka dapat dikatakan bahwa Klinik Sari Medika dalam penggunaan dan pemberian Persentase (%) 0 100 100 antibiotik dalam hal penanggulangan interaksi obat telah dilakukan dengan baik. Kombinasi antibiotik dengan obat lain dibuat dalam rute yang berbeda, sehingga tidak terjadi interaksi. 11 Tabel 7. Kerasionalan Penggunaan Antibiotik Kerasionalan Rasional Tidak rasional Total Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik pada pasien anak rawat inap penderita infeksi di Klinik Sari Medika Ambarawa bulan Januari-Mei 2016 yang rasional sebanyak 39 pasien (63,93%). Dapat dikatakan rasional karena antibiotik yang diberikan sudah tepat berdasarkan parameter penelitian, yaitu tepat indikasi, tepat dosis, dan frekuensi. Namun dari 61 data rekam medik pasien, dapat dilihat bahwa sebanyak 22 pasien (36,07%) pemberian antibiotiknya belum rasional. Penyebab ketidakrasionalan pemberian antibiotik pada penelitian ini adalah karena pasien diberikan antibiotik tidak tepat indikasi dan tidak tepat dosis. Dianggap tidak rasional karena pada 22 pasien tersebut terdapat satu atau lebih parameter yang tidak tepat berdasarkan pedoman acuan. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dapat menyebabkan menyebarnya mikroorganisme resisten. Resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik inilah yang menyebabkan penyakit infeksi menjadi sulit untuk diobati dan dapat membahayakan nyawa pasien yang terinfeksi. KESIMPULAN 1. Kasus penyakit infeksi anak yang terbanyak adalah jenis kelamin laki-laki (59,02%), rentang umur yaitu 10-14 tahun (45,90%), dengan diagnosis Frekuensi 39 22 61 2. 3. 4. Persentase % 63,93 36,07 100,00 penyakit demam tifoid (68,85%). Berdasarkan golongan antibitotik, yang paling banyak digunakan adalah golongan Sefalosporin generasi ketiga (73,77%) dengan jenis Sefiksim (39,34%). Sedangkan cara atau rute pemberian yang paling banyak digunakan adalah oral (65,57%). Pemberian antibiotik yang tepat indikasi sebanyak 54 pasien (88,52%). Sedangkan yang diberikan antibiotik tepat dosis sebanyak 45 pasien (73,76%), frekuensi pemberian yang tepat sebanyak 61 pasien (100%), dan ketepatan berdasarkan interaksi obat sebesar 100%. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pada 61 pasien anak penderita infeksi didapatkan 39 pasien (63,93%) yang pemberian atau penggunaan antibiotiknya sudah rasional berdasarkan parameter tepat indikasi, tepat dosis, dan potensi interaksi obat. Sedangkan sebanyak 22 pasien (36,07%) penggunaan antibiotiknya tidak rasional berdasarkan parameter tepat indikasi dan tepat dosis. DAFTAR PUSTAKA 1. Depkes RI. Pharmaceutical Care 2005. Untuk 11 Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta 2. Depkes RI. 2011. Buku Saku Lintas Diare. Departemen Kesehatan RI. Jakarta 3. Eddy, S. S, 2002. Seri Penyakit Tropik Infeksi; Perkembangan Terkini Dalam Pengelolaan Beberapa Penyakit TropikInfeksi. Penerbit Airlangga University Press. 4. Istiantoro,Y. H, Gan. V.G.H. 2007. Penisilin, sefalosporin, dan antibiotik betalaktam lainnya dalam farmakologi dan terapi. Edisi kelima. Editor Sulistia G. Ganiswara. Jakarta. 5. Katzung, B.G. 2007. Basic & Clinical Pharmacology, Tenth Edition.United States: Lange Medical Publications. 6. Kemenkes RI. 2011. Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta 7. Kemenkes RI. 2012. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta 8. Lacy, F.,C., et al. 2015. Drug Information Handbook, 24th Edition. Lexi-comp. USA 9. Musnelina, et al. 2004. Analisis Efektivitas Biaya Pengobatan Demam Tifoid Anak Menggunakan Kloramfenikol dan Seftriakson di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 20012002, Makara Kesehatan, 8 (2): 59-64. 10. Nasronuddin, et al., 2007. Penyakit infeksi di indonesia. Surabaya: Airlangga University Press. 121 11. Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta 12. Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4 volume 1. EGC. Jakarta 13. Refdanita, et al., 2004. Pola Kepekaan Kuman Terhadap Antibiotika Di Ruang Rawat Intensif Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001 – 2002: Makara, Kesehatan. 8(02): 41-48 14. Roespandi H, et al. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO Indonesia: 68. 15. Sanjaya, N. 2007. Bahaya Antibiotik. http://fk.umy.ac.id/mod/forum/di scuss.pdf. [Maret 2016] 16. World Gastroenterology Organisation. 2012. Acute Diarrhea in Adults and Children: a global perspective. [9 April 2016] 17. World Health Organization. 2009. Diarrhoea. Available from: http://www.who.int/mediacentre/ fs330/en/index.html. [ 15 Juni 2016 ] 18. World Health Organization. 2011. Guidelines for the Management of Typhoid Fever. [12 April 2016] 19. World Health Organization. 2012. Antimicrobial Resistance. World Health Organization Media Centre. Available From http://www.who.int/mediacentre/ factsheets. [28 April 2016] 11