BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Seiring dengan perkembangaan teknologi dan media masa membuat kebaya memiliki sebuah arti baru dalam masyarakat yang mengakibatkan sebuah gaya hidup baru. Terlebih lagi dengan pencintraan terhadap kebaya semikin dilegitimasi dalam masyarakat melalui kontes-kontes kecantikan yang selalu mempromosikan kebaya. Persaingan kebaya sangat jelas terjadi di kalangan masyarakat Ubud. Penelitian Jayanti (2008: 49-59) menghasilkan bahwa di kalangan perempuan Hindu di Ubud, panggung-panggung kontestasi dalam setiap seremonial di kawasan Ubud memperlihatkan adanya gaya hidup yang menjunjung budaya material sebagai cara untuk mengangkat identis dan kelasnya secara personalitas. Perkembangan kebaya di Bali terjadi karena berkembangnya teknologi dan komunikasi. Sehingga perkembangan kebaya mulai dari corak dan modelnya membuat keinginan perempuan di Bali ingin mengkonsumsi kebaya tersebut. Hasil penelitian Jayanti (2008: 60) menunjukkan bahwa dengan kebaya dapat melahirkan suatu gaya hidup baru di dalam masyarakat. Kebaya kemudian berubah menjadi sebuah simbol dalam masyakarat, dimana mereka akan berlomba-lomba untuk menggunakan kebaya terbaiknya. Akan tetapi, dalam penelitian ini membahas tentang bagaimana perpaduan pemakaian kebaya, fashion penunjang lainnya, dan gerak tubuh 8 perempuan Hindu Bali dapat 9 mengkonsepsikan citra perempuan yang ideal. Untuk mendapatkan citra yang ideal, maka berbagai aktivitas pun dilakukan, seperti berdiet, menyewa kebaya, ataupun membeli kebaya dengan cara kredit. Penelitian Hendraningrum (2008: 25-29) mengungkapkan bahwa fashion dapat menjadi sebuah etalase kecil tentang seseorang bagi orang lain. Gaya berbusana merupakan sebuah bahan penilaian awal seseorang. Bagi seorang individu gaya pakaian, gaya rambut, aksesoris yang menempel atau kegiatankegiatan yang dilakukan adalah bagian dari pertunjukan identitas dan kepribadian diri. Ekspresi wajah pada saat berhadapan dengan orang lain juga semakin diperhatikan. Senyuman merupakan suatu ideologi baru, seperti layaknya pakaian seragam yang harus dipakai di bibir seseorang. Senyuman bermanfaat untuk menciptakan, memelihara, mendidik, mempresentasikan dan membangun citra diri di depan publik. Berbeda dengan penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh Hendraningrum (2008) berfokus kepada cara berpakaian masyarakat luas. Sehingga objek dan subjek dari penelitian ini juga berbeda. Penelitian ini melihat bagaimana kebaya dapat mempresentasikan diri perempuan Hindu Bali, khususnya mereka yang berdomisili di Ubud. Salah satu tujuan dari mempresentasikan diri ke lingkungannya adalah untuk mendapatkan citra yang ideal. Budiastuti (2012: 3) melakukan penelitian tentang makna penggunaan jilbab di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Penelitiannya menghasilkan bahwa penggunaan jilbab memiliki makna sebagai 10 pencitraan identitas religius dan identitas sosial yang bernuansa budaya yang dipengaruhi oleh peradaban manusia. Menggunakan jilbab di lingkungan kampus menjadi bagian dari realitas dan tindakan seseorang yang mendorongnya untuk mengekspresikan diri dalam berpenampilan yang dilatarbelakangi oleh berbagai motif. Akhirnya, Budiastuti (2012: 130) menyimpulkan bahwa terdapat tiga makna jilbab di lingkungan kampus Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta yaitu jilbab biasa, jilbab tanggung, dan jilbab modis. Pengguna jilbab biasa adalah mereka yang menggunakan jilbab tanpa dimodifikasi dan tujuan menggunakan jilbab adalah untuk menutupi aurat. Jilbab tanggung adalah mereka yang menggunakan jilbab masih kurang mengerti dan bingung dalam menentukan pilihan berjilbab. Hal ini terlihat dari penggunaan pakaian dari bahan yang ketat atau tipis dan bagian tubuh yang masih terlihat, sehingga sedikit melenceng dari ketentuan agama Islam. Pengguna jilbab modis adalah mereka yang menggunakan jilbab dengan model terkini. Tujuan utama dari pengguna jilbab modis karena tuntutan agama, akan tetapi di lain sisi mereka juga ingin tetap terlihat modis dan mengikuti perkembangan mode. Berbeda dengan penelitian Budiastuti (2012), penelitian ini memiliki subjek penelitian yaitu perempuan Bali di Ubud. Adapun objek dari penelitian ini juga berbeda dari penelitian Budiastuti, yaitu penelitian ini meneliti bagaimana perempuan Bali di Ubud mempresentasikan diri kepada orang lain dengan menggunakan kebaya sehingga dapat menciptakan kesan yang ideal. 11 2.2 Kerangka Konseptual Untuk memperjelas pembahasan dalam proposal penelitian ini, maka dipergunakan beberapa konsep yang berkaitan dengan judul penelitian. Konsepkonsep tersebut adalah sebagai berikut. 1.2.1 Kebaya Secara etimologi kebaya berasal dari bahasa Arab kaba yang berarti pakaian dan diperkenalkan dalam bahasa Portugis (Suciati, t.t.: 1-2). Kebaya didefinisikan sebagai baju perempuan bagian atas, berlengan panjang, dipakai dengan kain panjang. Kebaya adalah pakaian atasan yang biasanya berlengan panjang. Biasanya kebaya memiliki panjang sebatas garis pinggul sampai dengan batas lutut. Kain kebaya terbuat dari kain katun dengan berbagai motif, kain sutera, kain brokat, kain sintetis, ataupun organdi. Kebaya dapat pula terbuat dari kain katun polos dengan pinggiran yang dihiasi dengan renda. Menurut Lombard (2005), kebaya adalah atasan atau blouse yang mulai populer di kalangan masyarakat Indonesia pada abad ke-15 dan ke-16. Pada zaman tersebut kebaya merupakan ciri khas busana perempuan Jawa. Sebelum tahun 1600, kebaya hanya digunakan oleh keluarga kerajaan yang ada di pulau Jawa. Pada saat Belanda berkuasa di tanah Jawa, lambat laun pakaian ini juga digunakan oleh perempuan-perempuan Eropa sebagai pakaian resmi. Pada umumnya bentuk kebaya yang dipergunakan oleh perempuan Bali sama dengan kebaya yang digunakan oleh perempuan dari etnis lainnya. Akan tetapi, perbedaan nampak pada saat kebaya dikombinasikan dengan benda fashion 12 lainnya sehingga menjadi busana untuk melangsungkan upacara adat agama dan seremonial lainnya. Bagi perempuan Bali saat menggunakan kebaya biasanya dilengkapi dengan kamben, longtorso, dan selendang dalam acara-acara tersebut. 1.2.2 Presentasi Diri Pada dasarnya setiap individu melakukan berbagai cara untuk mempresentasikan dirinya kepada orang lain. Goffman (1959: 132) mengatakan bahwa individu akan mempresentasikan dirinya dengan cara verbal dan nonverbal pada saat berinteraksi dengan orang lain. Presentasi diri disebut oleh Goffman sebagai impression management atau manajemen kesan. Manajemen kesan adalah sebuah tindakan menampilkan diri yang dilakukan oleh seorang individu untuk mendapatkan citra yang diharapkan. Melalui penggunaan kebaya maka seorang individu ingin mengirim pesan kepada orang lain tentang citra yang diinginkan. Presentasi diri atau self presentation adalah proses dimana individu menyeleksi dan mengontrol perilakunya sesuai dengan situasi sehingga orang lain dapat mendapatkan suatu kesan atau citra. Proses ini dilakukan karena pada dasarnya manusia mendapatkan afeksi oleh lingkungannya, dapat mempengaruhi lingkungannya, memperbaiki posisi dan memelihara status yang telah diraih dalam lingkungannya. Dengan kata lain, presentasi diri adalah pengelolaan pesan yang dibatasi sehingga seseorang dengan berbagai cara yang sudah dipikirkan dapat diterima oleh orang lain. Argyle (1970) mengemukakan bahwa ada tiga motivasi yang diinginkan manusia dalam mempresentasikan dirinya. Pertama, motivasi ingin mendapatkan 13 imbalan materi atau sosial. Kedua, ingin mempertahankan atau meningkatkan harga diri. Ketiga adalah untuk mempermudah pengembangan identitas diri. Perempuan Bali di Ubud menggunakan media kebaya sebagai alat untuk mempresentasikan dirinya di masyarakat. Menggunakan kebaya pada saat berinteraksi dengan lingkungannya, seorang perempuan ingin mengirim suatu kesan atau pesan kepada orang lain. Pesan atau kesan yang ingin disampaikan adalah tentang dirinya atau status sosialnya di dalam masyarakat. 1.2.3 Perempuan Bali Perempuan adalah mahluk hidup yang secara biologis berbeda dengan laki-laki sejak lahir, terutama mengenani alat reproduksi. Terdapat sejumlah perbedaan antara laki-laki dan perempuan selain perbedaan biologis. Salah satu perbedaan kasat mata antara perempuan dan laki-laki adalah pakaian yang digunakan. Umumnya, perempuan identik menggunakan rok sedangkan laki-laki menggunakan celana panjang. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu perempuan pun telah terbiasa menggunakan celana panjang untuk busana mereka. Pada masyarakat Hindu-Bali, mereka akan dihadapkan dengan berbagai kegiatan adat dan keagamaan. Perempuan Bali yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perempuan etnis Bali yang memeluk agama Hindu. Dalam kehidupan bermasyarakat sudah terjadi kesepakatan sosial dalam penggunaan kebaya bagi perempuan Hindu Bali pada upacara adat dan keagamaan (Jayanti, 2008: 60). Pada masyarakat Hindu Bali terdapat perbedaan busana bersembahyang dan melakukan upacara adat dan keagamaan. Cara berpakaian antara laki-laki dan 14 perempuan Hindu Bali berbeda karena setiap pakaian memiliki artinya masingmasing. Para perempuan menggunakan kebaya, kamben, selendang dan rambut yang diikat rapi. Sedangkan laki-laki menggunakan udeng (kain yang melingkar di kepala dengan simpul di tengah), baju yang sopan, saput dan kamben. Bagi laki-laki Hindu-Bali kamben melingkar dari kiri ke kanan, dengan bagian depan kamben diisikan kancut. Kancut adalah bagian ujung kamben yang lancip dan menyentuh tanah. Kebaya merupakan simbol bagi perempuan, khususnya perempuan Hindu di Bali. Pakaian ini merupakan salah satu pakaian tradisional yang digunakan untuk mengangkat citra feminitas dalam diri perempuan (Jayanti, 2008: 57). 2.3 Kerangka Teori Setiap manusia ingin mempresentasikan dirinya di masyarakat. Teori dramaturgi oleh Erving Goffman mengatakan bahwa individu akan selalu bertindak untuk mengekspresikan dirinya sehingga membuat orang lain menjadi terkesan. Teori dramaturgi menurut Goffman dalam Stolley (2005: 70) adalah masyarakat berinteraksi seperti layaknya sebuah drama teatrikal. Individu berinteraksi selayaknya seorang aktor yang sedang berakting di panggung. Individu dapat menyajikan suatu pertunjukan bagi orang lain, akan tetapi kesan yang diterima orang lain memiliki kesan yang berbeda-beda. Goffman membagi interaksi sosial menjadi dua bagian; panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage) (Poloma, 2010: 232). 15 Panggung depan adalah penampilan individu yang secara teratur berfungsi di dalam mode yang umum dan tetap didefinisikan untuk situasi bagi mereka yang menyaksikan penampilan tersebut. Singkat kata, panggung depan adalah aksi-aksi yang dipertontonkan kepada penonton sepeti layaknya sebuah pertunjukan (Hughness dan Kroehler, 2011: 83). Dalam panggung depan, individu akan selalu mencoba untuk menampilan sosok yang ideal menurut masyarakat dan dirinya. Panggung depan dikategorikan lagi ke dalam dua bagian yaitu; setting dan personal depan atau personal front. Setting adalah pandangan fisik yang biasanya harus ada jika aktor ingin memerankan perannya. Tanpa adanya setting maka aktor tidak akan bisa memainkan perannya. Personal front adalah berbagai macam perlengkapan yang berfungsi sebagai bahasa perasaan dari aktor. Personal front dibagi menjadi dua yaitu penampilan dan gaya. Penampilan adalah berbagai atribut yang akan menunjang penampilan aktor yang dapat menggambarkan status sosial aktor. Sedangkan, gaya adalah peran macam apa yang diharapkan aktor untuk dimainkan dalam situasi tertentu (Ritzer, 2014: 281). Skema dari teori dramaturgi Goffman dapat digambarkan sebagai berikut. Bagan 2.1: Alur Teori Dramaturgi dari Erving Goffman* Teori Dramaturgi Panggung Belakang Setting Panggung Depan Penampilan Front Personal Gaya *sumber: diformulasikan dari Ritzer (2014) dan Poloma (2010). Teori ini dijadikan sebagai alat analisis dalam penelitian ini, sebagai panggung depan perempuan Hindu Bali akan menggunakan kebaya yang 16 dianggap trend di masyarakat. Ditambah lagi dengan perpaduan aksesoris seperti menggunakan satu set perhiasan dengan sandal hak tinggi. Tubuh yang ideal juga menjadi salah satu hal penting dalam mengkonstruksi kesan ‘ideal’. Tidak hanya itu gaya perempuan Bali di Ubud juga dikonstruksikan agar dapat digambarkan sebagai perempuan yang anggun. Hal ini disampaikan melalui cara berjalan atau cara berbicara dengan orang lain, dan mungkin berlawanan dengan cara mereka bertingkah laku di rumah. Seorang pelaku cenderung mengenyampingkan kegiatan, fakta-fakta, dan motif yang tidak sesuai dengan citra dirinya dan produk yang ideal (Poloma, 2010: 233). Tidak hanya panggung depan, Goffman juga mengkategorikan interaksi individu ke dalam panggung belakang. Panggung belakang adalah tingkah laku yang timbul tanpa sepengetahuan para penonton (Stolley, 2005: 70). Panggung belakang adalah ruang dimana individu akan melakukan skenario pertunjukan oleh ‘tim’. Tim adalah masyarakat yang dirahasiakan oleh individu yang mengatur pementasannya. Seperti halnya dengan perempuan di Ubud, untuk meraih citra ‘ideal’ mereka melakukan berbagai kegiatan. Mendapatkan tubuh yang ideal sehingga akan tercipta kesan seksi menggunakan kebaya dengan metode diet dapat menjadi salah satu contoh nyata. Kasus lainnya yang dapat dikategorikan sebagai panggung belakang adalah pada saat perempuan menggunakan kebaya yang disewa atau kebaya yang digunakan masih kredit. Menyewa atau kredit kebaya tentu saja tidak akan menciptakan citra yang ideal di mata individu dan masyarakat, sehingga hal tersebut akan disembunyikan. 17 Dalam teori dramaturgi Goffman menjelaskan bahwa individu berinteraksi dalam posisi aktor dan penonton dalam waktu yang bersamaan (Stolley, 2005: 71). Seseorang akan mendapatkan suatu kesan dari orang lain, sehingga nantinya kesan yang diperoleh kemudian diterapkan juga dalam kehidupannya. Melihat kesan yang diterima melalui penggunaan kebaya tersebut, maka nantinya orang tersebut juga menggunakan kebaya dengan model yang sama dengan tujuan memberikan kesan kepada orang lain. Menurut Goffman, masyarakat berinteraksi sebagai aktor yang memainkan perannya di dalam panggung kehidupan. Peran tersebut secara langsung mengkontrol kesan terhadap aktor dari para penonton. Goffman menjelaskan hal ini sebagai impression management atau manajemen kesan. Dari presentasi tentang diri ini akan mempengaruhi kesan orang lain terhadap diri individu (Hughes dan Kroehler, 2005: 83). Manajemen kesan kemudian disebut oleh Goffman sebagai presentation of self (Goffman, 1959: 160). 18 Bagan 2.2: Kerangka Pemikiran Budaya Bali Kegiatan adat Upacara keagamaan Interaksi perempuan Bali dengan lingkungan Modernisasi Media Fashion Pendidikan Ekonomi Presentasi diri perempuan Bali melalui kebaya Verbal Non-Verbal Panggung depan Panggung belakang Menyewa/mengkredit kebaya Melakukan berbagai metode diet Rasa tidak nyaman dalam berinteraksi Penampilan: Memakai kebaya model terbaru Aksesoris senada Sandal hak tinggi Tubuh langsing Sikap: Berjalan seperti model Duduk dengan anggun Keterangan: : Berhubungan : Hasil yang diinginkan Citra ideal 19 Penjelasan Terdapat dua faktor yang mempengaruhi perempuan Hindu Bali pada saat berinteraksi dengan lingkungannya. Pertama adalah budaya Bali. Budaya Bali akan mempengaruhi seseorang dalam menentukan busana yang digunakan pada saat upacara adat dan keagamaan. Walaupun tidak ada aturan resmi yang mengatur harus memakai kebaya, akan tetapi karena sudah ada kesepakatan sosial yang membuat kebaya sebagai busana untuk menghadiri acara adat dan keagamaan. Kedua, modernisasi sangat berpengaruh pada cara perempuan Hindu Bali berinteraksi dengan lingkungannya. Salah satunya adalah media yang akan memberikan berbagai gambaran tentang fashion terkini, gaya hidup yang sedang digemari dan gambaran tentang kehidupan yang ideal. Kedua faktor tersebut kemudian berpengaruh kepada cara seseorang mempresentasikan dirinya melalui kebaya. Presentasi diri dilakukan dengan dua cara yaitu dengan komunikasi verbal dan nonverbal. Penelitian ini akan berfokus kepada komunikasi nonverbal dimana perempuan Hindu Bali di Ubud akan melakukan berbagai tindakan untuk citra ideal di mata masyarakat. Tindakan dibagi menjadi dua yaitu tindakan yang dipertontonkan kepada masyarakat (panggung depan) dan tindakan yang dirahasiakan kepada masyarakat (panggung belakang). Tindakan-tindakan yang dipertontonkan ke masyarakat seperti berpenampilan dengan kebaya terbaik ke acara adat dan keagaam yang dipadupadankan dengan aksesoris, sandal high heels dan tubuh yang langsing. Tidak hanya penampilan yang diutamakan, sikap juga sangat diperhatikan 20 sehingga mendapatkan citra yang ideal. Sikap dalam hal ini dapat berupa cara bertutur kata atau cara berjalan. Disisi lain, ada beberapa aktivitas yang disembunyikan oleh individu, mendapatkan tubuh yang ‘ideal’ diraih dengan melakukan diet ketat. Aktivitas ini disembunyikan oleh perempuan di Ubud karena berbagai alasan. Berdiet pun dilakukan dengan berbagai metode, mulai dari diet yang sehat sampai dengan diet ekstrem. Aktivitas lainnya adalah memakai kebaya yang disewa atau membeli kebaya dengan cara kredit. Tentu saja tidak semua dapat membeli kebaya dengan model termuhtahir, maka dari itu berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan kebaya tersebut. Aktivitas menyewa atau menyicil kebaya tentu saja akan menurunkan rasa kepercayaan diri seseorang, sehingga kegiatan ini tidak dipublikasikan atau dilakukan diam-diam. Tindakan yang dipertontonkan kepada masyarakat maupun yang dirahasiakan dari masyarakat akan menghasilkan citra kepada seseorang. Penampilan yang menarik dan ideal oleh perempuan Bali di Ubud diharapkan menghasilkan citra yang baik di dalam masyarakat.