Bab 2 Landasan Teori Dalam bab ini penulis akan menjelaskan teori-teori yang menjadi landasan dalam membahas permasalahan yang mendukung penelitian. Pertama-tama penulis akan menjelaskan secara detil tentang Diskriminasi Gender kemudian, sejarah daripada Feminisme, dan mencakup pembahasan yang lebih spesifik yaitu Feminisme Liberal. Penulis juga akan menjelaskan Feminisme Liberal yang terjadi di Jepang sebagai gambaran yang lebih jelas. Terakhir, penulis memasukkan teori Tokoh dan Penokohan untuk mendukung penelitian. 2.1. Teori Gender Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2008: 8). Dengan kata lain gender berarti konstruksi sosial yang memberikan stereotipe (penanda) kepada laki-laki dan wanita. Hal yang sama dikatakan oleh Narwoko dan Suyanto (2007: 287-289), gender adalah kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan. Hasil konstruksi sosial dan kultural yang menghasilkan gender yang membedakan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Di dalam masyarakat, peran gender sesuai dengan masyarakat yang berbudaya dan tata nilai dibentuk sedemikian rupa sehingga ada peran yang dimainkan oleh kaum laki-laki dan peran yang diserahkan kepada perempuan. Peran publik yang menghasilkan uang, kedudukan yang berpengaruh dan kekuasaan diserahkan kepada kaum laki-laki. Akibat pembagian kerja seperti itu terjadi ketimpangan peran antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki berada di daerah yang semakin berkuasa, menghasilkan uang dan pengaruh, sedangkan perempuan tidak menghasilkan uang dan pengaruh. Dengan demikian, lahir ketimpangan gender dan ketidakadilan gender. 7 8 Koalisi Perempuan Indonesia (4 Mei 2011) menyatakan bahwa, seperangkat ideide dan sistem nilai yang didasarkan pada determinisme biologis telah menghasilkan seksisme dan diskriminasi utamanya terhadap perempuan. Sebagai ilustrasi, karena perempuan berkemampuan hamil dan melahirkan, ia diasumsikan sebagai orang yang paling mampu mengurusi rumah tangga dan keluarga, dan karenanya ia tidak diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan di luar rumah. Gender dan marginalisasi perempuan erat hubungannya dengan ketimpangan gender. Proses marginalisasi terbentuk adanya keyakinan masyarakat terhadap kurangnya kemampuan perempuan dalam bidang publik, sehingga tidak adanya kepercayaan terhadap kekuasaan terhadap suatu hal yang bersifat kepemimpinan. Marginalisasi merupakan suatu proses pengabaian hak-hak yang seharusnya diterima oleh kaum perempuan sebagai pihak yang termarginalkan (Murniati, 2004: 20). Hal ini didukung oleh Fakih yang menyatakan bahwa bentuk ketidakadilan gender yang berupa proses marginalisasi perempuan merupakan suatu proses pemiskinan, atas satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini merujuk kepada perempuan yang kemudian diperkuat oleh adat istiadat dan tafsir keagamaan. Marginalisasi perempuan dapat terjadi di mana saja seperti di tempat pekerjaan, dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan negara (2008: 13-14). Pandangan gender juga dapat menimbulkan subordinasi terhadap perempuan, anggapan bahwa perempuan pola pikirnya adalah irrasional atau emosional sehingga berimbas pada stigma ketidakmampuan tampil untuk memimpin, berakibat munculnya sikap bahwa perempuan berada disisi yang tidak penting dan tidak strategis (second person) (Fakih, 2008: 15). Kedudukan sebagai “Liyan” mempengaruhi segala bentuk eksistensi sosial dan kultural perempuan (Cavallaro, 2004: 202). Sedangkan stereotipe menurut Fakih (2008: 16), merupakan pemberian citra baku atau pelabelan atau penandaan terhadap seseorang atau suatu kelompok tertentu yang sering kali menimbulkan ketidakadilan. Pelabelan ini sering diberikan kepada perempuan yang dianggap memiliki sifat rajin sehingga, perempuan dibebankan dengan tanggung jawab dalam pekerjaan domestik rumah tangga (Fakih, 2008: 21). 9 Ketidakadilan gender dapat berupa wujud kekerasan. Kekerasan merupakan bentuk serangan fisik atau mental yang dilakukan salah satu jenis kelamin atau kelompok terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan sering terjadi pada jenis kelamin tertentu yaitu perempuan, kekerasan ini disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan. Banyak contoh kekerasan gender diantaranya bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, tindakan pemukulan dalam rumah tangga, bentuk penyiksaan terhadap organ vital, kekerasan dalam bentuk pelacuran dimana wanita dijadikan sebagai mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan, kekerasan non fisik dalam bentuk pornografi perempuan dijadikan obyek untuk kekerasan seksual terhadap perempuan (Fakih, 2008: 18). Tindakan kekerasan apapun bentuknya akan mengakibatkan hak-hak dasar sesorang teraniaya, termasuk bentuk kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk tindakan kekerasan fisik seperti pemukulan, mengigit, menampar dan pencederaan fisik lainnya, penganiayaan non fisik yang bertujuan merendahkan citra dan kepercayaan diri seorang, melalui kata-kata atau perbuatan yang tidak disukai oleh korban, tindakan kekerasan psikologis yang merupakan tindakan terselubung yang mengakibatkan hak dasar manusia diabaikan, sebab seorang manusia dilahirkan merdeka dan memiliki hak-hak yang sama sehingga mereka juga berhak untuk memperoleh perlakuan yang baik (Zuhriah, 2012: 1). 2.2. Konsep Diskriminasi Diskriminasi terhadap perempuan telah terjadi sejak berabad-abad lamanya. Hal ini dapat dilihat pada zaman dahulu sekitar abad ke-18, hanya kaum laki-laki yang dapat mengenyam pendidikan tinggi. Ketika pada zaman itu, tidak hanya terjadi di negaranegara berkembang melainkan, negara-negara maju seperti negara barat dan negara Jepang pun mengalami hal yang sama. Pada dasarnya diskriminasi adalah pembedaan perlakuan dengan perlakuan buruk yang ditujukan terhadap kumpulan manusia tertentu. Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang yang dilakukan untuk membedakan terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas 10 sosial (Futhoni, et.al, 2009: 8). Menurut Koalisi Perempuan Indonesia, (4 Mei 2011) diskriminasi gender merupakan tindakan memperlakukan kelompok atau individu secara berbeda karena jenis kelaminnya. Istilah diskriminasi gender berarti salah satu jenis kelamin diutamakan atau dibatasi dibandingkan dengan yang lainnya, yang didasarkan tidak pada kemampuan dan kebutuhannya, tapi pada peran stereotip gendernya. Koalisi Perempuan Indonesia (4 Mei 2011) juga menyatakan isu-isu dan permasalahan yang ada disebabkan oleh ketimpangan gender. Bagian dari permasalahan adalah diskriminasi terhadap perempuan, terutama dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber kehidupan, kesempatan, status, peran, hak, dan penghargaan. 2.3. Konsep Feminisme Kata feminisme yang sering dikenal dengan sebutan emansipasi berasal dari Bahasa Latin ‘Femina’ – wanita/perempuan – yang mulai digunakan dalam tahun 1890an dengan mengacu ke teori kesetaraan laki-laki dan perempuan dan pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan. Kini, perpustakaan internasional mendefinisikannya sebagai pembelaan terhadap hak-hak perempuan yang didasarkan pada kesetaraan perempuan dan laki-laki. Dalam pengertian yang lebih luas, kata feminis mengacu kepada siapa saja yang sadar dan berupaya untuk mengakhiri subordinasi yang dialami oleh perempuan (Koalisi Perempuan Indonesia, 4 Mei 2011). Feminisme merupakan salah satu bentuk perjuangan wanita dalam mencari sebuah emasipasi. Emansipasi wanita terjadi oleh karena selama ini wanita merasa tidak dihargai hak-hak-haknya dan merasa diskriminasi oleh para pria. Feminisme adalah suatu sistem kepercayaan mengenai hal-hal yang berkenaan dengan perempuan, pengalaman-pengalaman serta ide-ide perempuan dihargai, yaitu bahwa laki-laki dan perempuan harus setara secara sosial, ekonomi; dan hukum. Mereka percaya bahwa hanya dengan mendapatkan hak pilih, perempuan telah sungguh-sungguh setara dengan laki-laki. Feminisme dibagi menjadi enam yaitu feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis, feminisme psikoanalis dan gender, feminisme posmodern, feminisme multikultural dan global, dan ekofeminisme (Tong, 2010: 33–34). 11 Feminisme menurut Fakih adalah suatu gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa diskriminasi yang dialami kaum perempuan menyebabkan timbulnya usaha untuk menghentikan aksi diskriminasi tersebut. (2008: 38) Ia juga menyatakan bahwa ketidakadilan gender merupakan sistem atau struktur sosial kaum laki-laki atau perempuan yang menjadi korban. Ketidakadilan termanifestasikan dalam bentuk marjinalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi, stereotip, diskriminasi dan kekerasan. (2008: 12-13) Narwoko dan Suyanto (2007: 309) menegaskan bahwa, feminisme bukan merupakan suatu pemikiran dan gerakan yang berdiri sendiri, akan tetapi meliputi berbagai ideologi, paradigma serta teori yang dipakainya. Meskipun gerakan feminisme berasal dari analisis dan ideologi yang berbeda tapi mempunyai kesamaan tujuan yaitu kepedulian memperjuangkan nasib perempuan. Sebab gerakan ini berangkat dari asumsi kesadaran bahwa perempuan ditindas, dan dieksploitasi sehingga harus ada upaya mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut (Fakih, 2008: 79). Feminisme merupakan gerakan yang berawal dari Barat, dimulai dengan adanya industrialisasi dan kelas dalam masyarakat yang memarginalkan kelas perempuan. Dengan ketimpangan seperti itu muncul gerakan yang menginginkan kesetaraan hak antara pria dan wanita. Asumsi yang mendasari feminisme ialah adanya perlakuan diskriminatif dan marginalitas kaum wanita dalam menentukan langkah hidupnya. Bahkan, hak asasi wanita tidak sebanding dengan lelaki, kaum lelaki seringkali mendapat posisi tertinggidan diunggulkan dalam setiap bidang (Tickner, 2002: 278). Wolf dalam Sofia (2009: 13) mengartikan feminisme sebagai sebuah teori yang mengungkapkan harga diri pribadi dan harga diri perempuan. Sementara itu, dalam pengertian yang lebih luas feminis menurut Megawangi (2009: 184) adalah gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan dalam bidang politik, ekonomi dan kehidupan sosial pada umumnya sebagai wujud dari salah satu aspek gerakan emansipasi perempuan. Menurut Ratna, (2004: 186) teori feminis muncul seiring dengan bangkitnya kesadaran bahwa sebagai manusia, perempuan juga selayaknya memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki. 12 2.3.1. Konsep Feminisme Liberal Pergerakan feminisme sudah dimulai sejak abad ke-18. Gelombang pergerakan perempuan zaman ini dikenal dengan istilah feminisme liberal karena pada umumnya tujuan pergerakan ini adalah untuk menciptakan “masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang”. Hanya di dalam masyarakat yang seperti itu, perempuan dan juga laki-laki dapat mengembangkan diri (Tong, 2010: 18). Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Megawangi, (2009: 228) menyatakan bahwa kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Meskipun demikian, dalam beberapa hal antara laki-laki dan perempuan masih tetap ada pembedaan (distinction) seperti pada contohnya perempuan memiliki fungsi organ reproduksi. Bagi perempuan, hal ini membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat. Aliran feminisme liberal dipengaruhi oleh teori struktural fungsionalisme, yang muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan, dan nilai moral serta kebebasan individu, akan tetapi pada saat yang sama dianggap mendiskriminasi kaum perempuan. Menurut Wollstonecraft (1759-1799), Mill, dan Friedan dalam Fakih (2008: 81), asumsi dasar feminisme liberal adalah bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Dalam memperjuangkan persoalan masyarakat, menurut kerangka kerja feminis liberal, tertuju pada “kesempatan yang sama dan hak yang sama” bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini penting, sehingga tidak perlu pembedaan kesempatan (Narwoko dan Suyanto, 2007: 313). Oleh karena itu, ketika ditanyakan ’Mengapa kaum perempuan dalam keadaan terbelakang atau tertinggal?’ Menurut aliran ini, hal ini disebabkan karena kesalahan ”mereka sendiri”. Artinya, ketika sistem sudah memberikan kesempatan yang sama pada laki-laki dan perempuan, tetapi ternyata kaum perempuan tersebut kalah dalam bersaing, maka kaum perempuan itu sendiri yang perlu disalahkan. Aliran ini kemudian mengusulkan 13 pemecahan masalah ini dengan cara menyiapkan kaum perempuan agar dapat bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas (Narwoko & Suyanto, 2007: 347.) Marzuki (2007: 9) menyatakan, kaum feminisme liberal menginginkan agar semua peran dapat diintegrasikan secara total seperti misalnya dengan bekerja di luar rumah. Hal ini bertujuan supaya tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan karena organ reproduksi bukan merupakan penghalang bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik. Di lain sisi, Pria tidak menerima perempuan sebagai pasangan yang kedudukan statusnya setara dengan pria karena pria tidak menginginkan status yang sama dengan perempuan. Perempuan terpaksa menerima keadaan status mereka sebagai objek lelaki. Laki-laki menciptakan keadaan tersebut sehingga mereka dapat menjaga eksistensi subjek mereka. Konsekuensinya, perempuan diperlakukan sebagai objek dalam seluruh hidupnya. Feminisme liberal memiliki dasar filosofis bahwa semua orang diciptakan dengan hak-hak yang sama, dan setiap orang harus punya kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Friedan dalam Tong (2008: 48) menyatakan menentang diskriminasi seks di segala bidang kehidupan: sosial, politik, ekonomi, dan personal. Sebagai seorang feminis liberal, Friedan ingin membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah atau tidak memberikan tempat sama sekali bagi perempuan, baik dalam bidang akademik, forum, maupun pasar. Dalam perspektif feminis liberal, persoalan kaum perempuan dianggap sebagai masalah ekonomi modern atau bagian dari partisipasi politik. Keterbelakangan perempuan adalah akibat dari kebodohan dan sikap irrasional serta teguh pada nilai-nilai tradisional. Industrialisasi dan modernisasi adalah jalan untuk meningkatkan status perempuan, karena akan mengurangi akibat dari ketidaksamaan kekuatan biologis antara laki-laki dan perempuan, dengan cara menyiapkan kaum perempuan agar dapat bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan, diantaranya melalui peningkatan pendidikan perempuan dengan menekankan bahwa kemampuan intelektual laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah sama. Perbedaan pencapaian intelektual antara laki-laki dan perempuan adalah semata-mata hasil dari pendidikan yang lebih lengkap diterima oleh laki-laki, dan posisi laki-laki lebih diuntungkan (Farida, 2010: 208). 14 Kemudian, pada abad ke 19, Mill dan Taylor dalam Tong (2010: 17) menyatakan bahwa perempuan perlu dilibatkan lebih mendalam di dalam masyarakat dan mereka sama-sama mendukung gerakan hak pilih. Menurut kaum liberal, “hak” harus diberikan sebagai prioritas diatas “kebaikan” Hal ini berarti hak keseluruhan sistem atas hak individu dibenarkan, karena hak ini merupakan dasar bagi kita untuk memilih apa yang terbaik bagi kita masing-masing, selama kita tidak merampas hak orang lain (Tong, 2010: 3). Mill dan Taylor dalam Tong (2010: 23) menyatakan bahwa untuk memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan/kenikmatan) adalah dengan membiarkan setiap individu mengejar apa yang mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses pencapaian tersebut. Mill dan Taylor yakin bahwa, jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual atau keadilan gender, maka masyarakat harus memberi perempuan hak politik dan kesempatan, serta pendidikan yang sama dengan yang dinikmati oleh laki-laki. Hal tersebut didukung oleh Koalisi Perempuan Indonesia (4 Mei 2011) yang menyatakan bahwa keadilan gender adalah proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki. Agar proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki terwujud, diperlukan langkah-langkah untuk menghentikan berbagai hal yang secara sosial dan menurut sejarah telah menghambat perempuan dan laki-laki untuk dapat berperan dan menikmati hasil dari peran yang dimainkannya. Keadilan gender mengantar ke kesetaraan gender. 2.3.2. Feminisme Liberal di Jepang Feminisme liberal pertama kali dipelopori oleh Mary Wollstonescraft di penghujung abad ke-XIX kemudian mendapat dukungan dari John Stuart Mill dan Dart Harriet Taylor. Dalam perkembangannya, perjuangan emansipasi wanita di Jepang digerakkan oleh kaum sosialis. Dalam aksinya melalui organisasi perempuan, wanita sosialis berusaha meyakinkan kaum laki-laki bahwa wanita bukan hanya sebagai pekerja, 15 akan tetapi juga sebagai kelompok pekerja yang potensial (Mackie, 2003: 79). Mackie (2003: 77) mengemukakan mengenai hubungan sosialisme dengan feminisme samasama mengalami perkembangan yang berakar dari pergerakan awal liberal. Pemikiran sosialis dan pemikiran feminisme ditujukan pada keterbatasan dari liberalism dengan cara yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa keterkaitan antara sosialisme dan feminisme ialah karena sama-sama berasal dari liberalisme. Sosialisme dan feminisme muncul akibat dari keterbatasan terwujudnya liberal. Menurut kaum liberal hak harus diberikan sebagai prioritas diatas kebaikan. Dengan kata lain, keseluruhan sistem atas hak individu dibenarkan, karena hak ini merupakan dasar bagi kita untuk memilih apa yang terbaik bagi kita masing-masing selama kita tidak merampas hak orang lain. Seperti yang Maruyama dalam Karube katakan bahwa, Maruyama mungkin memiliki sedikit pengaruh. Akan tetapi hal utama yang Maruyama pikirkan terus-menerus sepanjang periode sesudah perang adalah apa artinya menjadi seorang penganut liberal dalam konteks Jepang, dan pilihan apa yang harus dibuat untuk mewujudkan liberalisme dalam beraksi. Maruyama dalam Karube juga mendefinisikan arti kebebasan oleh Voltaire, seorang tokoh feminis liberal dari Eropa. Kebebasan menurut Voltaire adalah menyetujui apa yang lawan bicara katakan, tetapi Voltaire akan membela sampai mati hak orang tersebut untuk mengatakan hal tersebut (Karube, 2008: 93). Ia juga mendefinisikan arti kebebasan dari tokoh Rosa Luxembourg: “Freedom is always the freedom to think differently from others.” For him, to be a liberal−and especially to be a Japanese Liberal−meant believing in the value of freedom, no matter what the circumstances. (Karube, 2008: 93) Terjemahan: “Kebebasan ialah selalu memiliki kebebasan untuk berpikir secara berbeda dari orang lain". Baginya, menjadi liberal-dan terutama untuk menjadi seorang penganut Liberal Jepang-berarti percaya pada nilai kebebasan, tidak peduli apa situasinya. Maruyama dalam Karube menyimpulkan masa pada era Taishoo adalah masa 16 keterlibatan perempuan dalam masyarakat menjadi lebih jelas; munculnya "wanita yang bekerja" adalah manifestasi dari permintaan masyarakat untuk pembebasan dan kemerdekaan perempuan (Karube, 2008: 18). Feminisme Asia dalam kehidupan praktis berbeda dengan feminisme barat. Feminisme Asia yang berbeda satu sama lain karena mereka diterapkan dalam konteks budaya yang berbeda. Seperti yang Chizuko katakan, wanita Asia memiliki kekuatan yang signifikan, walaupun itu bukan merupakan bentuk kekuatan yang diketahui oleh feminis non-Asia. Ia berpendapat bahwa wanita harus lebih peka terhadap perbedaan budaya. Sangat mungkin bagi wanita Asia untuk mengembangkan feminisme yang merupakan produk dari budaya mereka sendiri dan berarti bagi mereka. Karena itu, seperti yang Collins katakan, dalam kebudayaan Jepang, ibu dihormati karena perannya dalam memelihara anak. Inilah alasan mengapa Feminisme Jepang tidak pernah memiliki tujuan untuk menghancurkan setiap peran sosial dan gender, karena mayoritas wanita Jepang relatif puas dengan posisinya. Tidak ada keinginan yang besar atau tekanan sosial untuk mengekspresikan aspek identitas dari seseorang yang tidak terkait dengan masalah keluarga karena banyak wanita yang menganggap hal tersebut sebagai bagian utama dalam identitas mereka dan tidak merasa tersaingi oleh wanita Amerika. Menurut Shuji dalam Olson (2006: 197) masyarakat Jepang adalah masyarakat patriarkal (Olson, 2006: 125). Ia juga menerangkan bahwa sistem patriarkal adalah suatu sistem yang menunjukkan kedudukan para pria lebih dominan dibandingkan para wanitanya di lingkungan pekerjaan dan di kehidupan rumah tangga. Para pria di Jepang memainkan peranan penting di dalam masyarakat dan mereka cenderung lebih mementingkan pekerjaannya daripada perkawinannya. Jepang sebagai negara penganut paham Konfusianisme, menekankan nilai berkelompok dalam lingkungan keluarga dan bermasyarakat. Hal ini berlangsung sampai sekarang dipengaruhi oleh sistem keluarga pada wanita sebagai gilirannya. Paham Konfusianisme menekankan superioritas laki-laki di atas wanita, perempuan harus mematuhi ayah mereka sebagai anak, suami mereka sebagai istri, dan putra mereka setelah beranjak dewasa. Pada era Meiji, terdapat perkembangan legislatif yang mengontrol keterbatasan keterlibatan perempuan dalam masyarakat. Pada tahun 1889, Konstitusi Meiji tidak memberikan wanita hak untuk memilih Jumlah wanita Jepang akan pendidikan tinggi 17 meningkat cukup besar dari sekitar tahun 1880-an. Ini kemudian didukung oleh sejarawan Murakami Nobuhiko (1978) menurut dia perlawanan memiliki aspek yang liberal (membebaskan). Kano menyatakan wanita berada di 'depan rumah' adalah salah satu bentuk liberal (pembebasan) (Ueno, 2004: 38). 2.4. Sejarah Perkembangan Feminisme Perkembangan sejarah dan teori-teori feminisme telah mengantarkan perempuan di seluruh dunia kepada pemikiran baru.Feminisme lahir dan digunakan untuk membongkar persoalan penindasan terhadap perempuan dan laki-laki.Dari situah lahir teori-teori feminisme yang dijadikan sebuah area pemikiran untuk memahami penindasan perempuan dalam hal gender, ras, kelas, dan orientasi seksual dan bagaimana menghapus penindasan tersebut. Sejarah mencatat feminisme sebagai filsafat dan gerakan emansipasi wanita lahir di era pencerahan di Eropa oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet, perkumpulan masyarakat kaum perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di Belanda selatan pada tahun 1785. Menjelang abad ke-19, feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapat perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan-perempuan di Negara Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Feminisme liberal dimulai pada abad ke-18 dan 19 sehingga sekarang.Pergerakan feminisme liberal dalam sepanjang sejarahnya sehingga saat ini masih berfokus pada peng-ngeliminasi-an subordinasi perempuan, “… subordinasi perempuan berakar dari serangkaian hambatan berdasarkan adat kebiasaan dan hambatan hukum, yang membatasi masuknya−serta keberhasilan−perempuan pada apa yang disebut sebagai dunia publik”. Sejarah yang panjang tersebut merupakan bukti seberapa baik hal tersebut mampu beradaptasi dan berubah ke berbagai masalah yang dihadapi perempuan (Tong, 2010: 2). Terdapat tiga gelombang feminisme, berikut penulis jabarkan untuk lebih mudah dipahami: I. The First Feminist Wave : Votes for Women 18 Kata feminisme sendiri pertama kali dikreasikan oleh aktivis sosialis utopis yaitu Charles Fourier pada tahun 1837. Kemudian pergerakan yang berpusat di Eropa ini pindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak adanya publikasi buku yang berjudul the subjection of women (1869) karya John Stuart Mill, dan perjuangan ini menandai kelahiran gerakan feminisme pada gelombang pertama. Seperti yang Tanaka Mitsu (Shigematsu, 2012: 116) katakan, Gerakan feminisme pada gelombang pertama menginginkan kesetaraan hak dan kedudukan antara pria dan wanita di bidang pendidikan dan pekerjaan, politik dan sebagainya. II. The Second Feminist Wave : The Personal Is Political Setelah berakhirnya perang dunia kedua, yang ditandai dengan lahirnya Negara- negara baru yang terbebas dari penjajahan negara-negara Eropa maka lahir gerakan Feminisme gelombang kedua pada tahun 1960 dimana fenomena ini mencapai puncaknya dengan diikutsertakannya kaum perempuan dan hak suara perempuan dalam hak suara parlemen. Feminisme gelombang kedua menginginkan penghapusan diskriminasi perempuan di segala bidang, dan pembagian kerja dalam rumah tangga. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dari selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan. III. The Third Feminist Wave : Transversal Political Feminisme spade geombang ini tetap memperjuangkan kesempatan dalam bidang politikkegiatan politik. Kaum perempuan tetap aktif sehingga sekarang dalam kampanye-kampanye dengan isu tunggal seputar, misalnya pornografi, hak reproduksi, kekerasaan terhadap perempuan dan hak-hak legal perempuan. Kaum feminis juga terlibat dan memberikan kontribusi yang khas terhadap gerakan-gerakan sosial yang lebh luas, seperti gerakan perdamaian dan kampanye menuntut hak-hak kaum lesbian dan gay. Gagasan-gagasan feminis juga memiliki pengaruh dalam politik arus utama dan berbagai perdebatan publik yang lebih luas. 19 2.5. Tokoh dan Penokohan Tokoh dan Penokohan merupakan unsur penting dalam karya naratif. Kata Tokoh menunjuk pada si pelaku cerita. Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan di dalam berbagai peristiwa atau berkelakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2007: 165). Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2007: 167). Nurgiyantoro (2007: 176-177) juga mengutarakan bahwa, seorang tokoh dapat dibagi ke dalam 2 kategori yaitu: 1. Berdasarkan segi peranan dan pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada yang disebut tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama tergolong penting karena dimunculkan terus-menerus, sehingga terasa mendominasi seluruh rangkaian cerita. Tokoh ini disebut tokoh utama cerita (central character, main character). Adapun tokoh yang dimunculkan sekalu atau beberapa kali dalam porsi yang relatif singkat, disebut dengan tokoh tambahan (peripheral character). 2. Berdasarkan fungsi tokoh dalam sebuah cerita, ada yang disebut tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral disebut juga tokoh pentagonis, karena memegang pimpinan dalam sebuah cerita. Sedangkan yang disebut dengan tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam sebuah cerita, tetapi kehadirannya sangat menunjang tokoh utama. Penokohan berkaitan dengan tokoh, meliputi siapa saja tokoh cerita, penulisan tokoh, dan karakterisasi (Nurgiyantoro, 2007: 164-165). Penokohan mencakup pengertian yang lebih luas daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2007: 166). 20 Stereotip perempuan dalam karya sastra dapat dilihat pada lakuan dan pikiran tokoh-tokoh cerita serta penggambaran tokoh-tokoh cerita oleh narator. Secara umum, stereotip perempuan adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Akan tetapi, stereotip selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip itu adalah yang berumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotip) yang dilekatkan pada mereka (Fakih, 2008: 16). Menurut Siswanto (2008: 142-145), tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh tersebut disebut penokohan. Siswanto (2008: 145) juga menyatakan, ada beberapa cara memahami watak tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lain. Cara itu adalah melalui, a. Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya b. Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun cara berpakaian c. Menunjukkan bagaimana perilakunya d. Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri e. Memahami bagaimana jalan pikirannya f. Melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya g. Melihat tokoh lain berbincang dengannya h. Melihat bagaimanakah tokoh-tokoh yang lain itu memberi reaksi terhadapnya i. Melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lain