Implikasi Globalisasi terhadapan Kehidupan Perempuan

advertisement
Implikasi Globalisasi terhadapan Kehidupan Perempuan :
Sebuah Telaah Feminisme1
Oleh : Adzkar Ahsinin2
Pengantar
Buku karya Susan George, The Lugano Report (edisi baru 2003), merefleksikan
persoalan pertautan feminisme dengan globalisasi. Dalam buku tersebut, Susan George
membuat skenario di mana sekelompok perwakilan industri maju, menugaskan
beberapa ilmuwan terkemuka dari latar belakang akademik yang berbeda-beda
membuat riset mengenai bagaimana mempertahankan kapitalisme pada abad ke-21.
Setelah bekerja keras setahun penuh sejak November 1996 – November 1997 disebuah
tempat peristirahatan di Lugano, Swiss. Hasil riset menunjukkan salah satu persoalan
terbesar yang potensial mengganggu kapitalisme global adalah pertumbuhan penduduk.
Dengan tingkat pertumbuhan penduduk dunia seperti saat ini, kapitalisme akan
terhambat karena kekurangan bahan baku, lingkungan rusak, daya beli merosot, dan
ancaman konflik sosial. Solusi yang ditawarkan para ahli tersebut demikian : Bila
kapitalisme global hendak dilanggengkan, jumlah penduduk dunia yang sekarang
berjumlah sekitar 6 miliar harus dikurangi menjadi 4 miliar. Artinya, 2 miliar penduduk
dunia ini sebenarnya tidak dibutuhkan.
Sementara PBB memperkirakan jumlah penduduk dunia nanti pada tahun 2020 akan
menjadi 8 miliar, padahal jumlah penduduk ideal menurut para ahli tersebut tidak lebih
dari 4 miliar. Untuk mewujudkannya dalam jangka waktu 20 tahun sejak sekarang,
pertambahan penduduk dunia harus dicegah dan dikurangi sebanyak 4 miliar.
Persyaratan ini 133 kali lebih ambisius dari pada Holocaust, program genosida 6 juta
orang dalam jangka waktu 4 tahun.3
Jika solusi Lugano diterapkan maka jelas
sasarannya adalah orang-orang miskin. Data UNDP 1999 menunjukkan bahwa jumlah
orang miskin yang hidupnya kurang dari 1 dollar AS sehari meningkat dari 1,197 milyar
pada tahun 1987 menjadi 1,214 milyar pada tahun 1997 atau sekitar 20% dari penduduk
dunia. Duapuluh lima persennya lagi (sekitar 1,6 milyar) dari penduduk dunia bertahan
dengan 1-2 dollar AS setiap hari. Kemiskinan yang mendera berakibat setiap hari 11.000
anak mati kelaparan di seluruh dunia, sedangkan 200 juta anak menderita kekurangan
gizi, protein, dan kalori (satu dari empat anak di dunia). Selain itu lebih dari 800 juta
orang menderita kelaparan kronis di seluruh dunia. Kira-kira 70% dari mereka adalah
anak-anak dan perempuan.4
Disampaikan pada Serial Diskusi dan Bedah Buku “Globalisasi dalam Perspektif Feminisme”, DebtWATCH
Indonesia, KoAGE, dan UIN Syarif Hidayatullah, 12 April 2006.
1
Bekerja pada Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA) dan aktif di Komunitas Anti Globalisasi Ekonomi
(KoAGE)
3 B. Hari Juliawan, Keretaku Tak Berhenti Lama, Majalah BASIS, No. 05 – 06, Tahun ke-53, Mei – Juni 2004, hal.
9 - 10
4 Amalia Pulungan dan Roysepta Abimanyu, Bukan Sekedar Anti-Globalisasi, Jakarta, IGJ, 2005, hal. 169-170
2
1
Pijakan-Pijakan Kerangka Berpikir
Untuk dapat memahami dan memetakan pertautan globalisasi dengan feminismisme,
diperlukan pijakan-pijakan kerangka berpikir sehingga titik-titik pertautannya dapat
kita tangkap. Konsep-konsep di bawah ini menjadi alas pijak pengantar diskusi.
1. Globalisasi
Globalisasi merupakan proses penghapusan berbagai kendali yang menghalangi
gerak kinerja perdagangan dan modal untuk merentangkan jangkauan seluas bola
dunia.5 Rentangan tersebut melibatkan tiga agency utama globalisasi ,menurut
Leslie Sklair sosiolog-ekonomi London School of Economic, yakni : Pertama,
globalisasi berisi berbagai praktik (terutama transaksi ekonomi) lintas negara.
Kedua, sebagai penggerak utama adalah praktisi bisnis transisional dan badanbadan yang terkait dengan praktik-praktik transnasional. Ketiga, dalam coraknya
dewasa ini globalisasi disangga oleh kultur-ideologi konsumtifisme.6
Hapusnya kendali yang menghalangi gerak kinerja modal dan perdagangan muncul
tata ekonomi-poli tik yang lepas kaitan instrinsik dengan definisi teritorial. Seiring
dengan progresifitas globalisasi, mengemuka fenomena apa yang disebut oleh Alvaro
J. De Regil sebagai corpocracy. Artinya, dalam tata-ekonomi politik global muncul
secara dramatis sentralitas sosok kekuasaan perusahaan-perusahaan raksasa yang
menentukan semakin banyak aspek kehidupan kita.7 Diskursus akademis
menyebutkan kondisi ini dengan sebutan neoliberlisme, yang di dalamnya
terkandung dua definisi. Pertama, neoliberalisme adalah paham/agenda pengaturan
masyarakat yang didasarkan pada dominasi homo oeconomicus atas dimensi lain
dalam diri manusia (homo culturalis, zoon politicon, homo socialis). Kedua,
neoliberlisme juga dipahami sebagai dominasi sector finansial atas sector riil dalam
tata ekonomi-politik.8
2. Feminisme
Feminisme merupakan ideologi untuk memperjuangkan posisi asali perempuan
sebagai manusia utuh. Akar masalah ketertindasan perempuan berada dalam
tatanan masyarakat sebagai locus kehidupan perempuan, baik fora domestik
maupun fora internasional yang patriarkhis.9 Dalam titik ini, feminisme digunakan
sebagai alat untuk melakukan transformasi sosial menuju pola-pola relasional yang
yang setara antara perempuan dan laki-laki.
Tatanan global menghasilkan
pembagian secara geopolitik-ekonomi menjadi negara negara utara – negara selatan;
negara dunia pertama – negara dunia ketiga. Pembagian ini secara substansi lebih
menindas kaum perempuan dunia ketiga ketimbang perempuan dunia pertama.
Herry Priyono mengutip Alvaro J. de Regil dalam Marginalisasi ala Neoliberalisme, Majalah BASIS, No. 05 – 06,
Tahun ke-53, Mei – Juni 2004, hal. 15
6 ibid
7 ibid, hal 17
8 ibid, hal. 18
9 Baca lebih jauh Arimbi Heroepoetri dan R. Valentina, Percakapan tentang Feminisme vs Neoliberalisme, Jakarta,
debtWATCH Indonesia dan Institut Perempuan, 2004, hal. 5 - 13
5
2
Kondisi ini melahirkan feminisme global, di mana terdapat dua tujuan kangka
panjang sebagaimana diidentifikasi oleh Chalotte Bunch, yakni :10
a. ... hak perempuan atas kebebasan untuk memilih dan kekuatan untuk
mengendalikan hidupnya sendiri di dalam dan di luar rumah. Memiliki
kekuasaan atas hidup dan tubuh perempuan sendiri adalah esensial untuk
memastikan adanya rasa kebanggaan dan otonomi pada setiap perempuan.
b. ... penghapusan semua bentuk ketidakadilan dan ketertindasan dengan
menciptakan tatanan sosial dan ekonomi yang lebih adil, secara nasional dan
internasional. Hal ini berarti keterlibatan perempuan di dalam perjuangan
kebebasan nasional, dalam perencanaan pembangunan nasional, dan perjuangan
bagi perubahan di tingkat lokal dan global.
Locus dan Relasi Aktor-Aktor Globalisasi
Fenomena globalisasi yang mengalami percepatan melalui teknologi informasi dan
transportasi memang sudah menjadi fakta notoir. Namun revolusi teknologi ini, yang
hanya dikuasai dan untuk menyalurkan interest negara-negara Dunia pertama (G-7)
dalam rangka memelihara status quo mereka atas negara-negara Dunia Ketiga. Status
quo kemudian dilanggengkan melalui : Pertama, menciptakan pola-pola relasi
internasional yang tidak berkesetaraan. Kedua, mengembangkan sistem dan mekanisme
hukum ekonomi internasional yang ditujukan untuk melanggengkan pola relasi yang
dominatif. Ketiga, mengintervensi kebijakan dan hukum suatu negara sehingga prinsipprinsip, nilai-nilai, dan norma hukum ekonomi internasional pada akhirnya menjadi
bagian hukum nasional suatu negara.
Pola relasi antar negara, jika mendasarkan pada mazhab dependensia, sejatinya
merepresentasikan diferensiasi kekuatan ekonomi-politik, yakni antara center dan
periphery. Sebangun dengan konsepsi ini, sistem kapitalis dunia ditandai oleh struktur
metropolis-satelite, di mana metropolis mengeksploitasi satelite. Satelite cenderung
semakin didominasi oleh metropolis dan semakin tergantung.11 Dalam perspektif realis,
pertarungan negara-negara Dunia Pertama vis a vis negara-negara Dunia Ketiga
merepresentasikan wajah globalisasi bersifat chaostic dan anarchi yang berpotensi
memunculkan relasi konfliktual antar negara-negara. Dalam situasi ini, politik
internasional adalah arena perjuangan kekuasaan (struggle for power) melalui
kepentingan negara. Persoalan keamanan dan pemenuhan kepentingan ekonomi
negara kemudian menjadi isu sentral hubungan internasional kekinian.
Bagaimana, negara-negara Dunia Pertama memelihara hegemoni dan mempertahankan
relasi dominatifnya atas negara-negara Dunia Ketiga ¿ Hukum Internasional sebagai
koridor relasi antar negara sebagai subyek hukum utama, menjadi alat untuk
melampiaskan tujuan tersebut. Untuk itu, mereka mengkreasi hukum ekonomi
internasional12 yang harus diturut oleh negara-negara Dunia Ketiga. Tidak ada sistem,
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis,
Yogyakarta, 2005, hal. 331-332
11 Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta, Insist Press dan Pustaka Pelajar,
2002, hal. 123-130
12 Mengadopsi pemikiran Mochtar Kusumaatmadja, maka hukum ekonomi internasional didefinisikan sebagai
keseluruhan kaidah dan asas yang terkandung di dalam perjanjian-perjanjian internasional maupun hukum
kebiasaan internasional yang menjadikan persoalan ekonomi sebagai obyek yang diatur yang oleh masyarakat
10
3
termasuk sistem neoliberal dapat eksis tanpa peraturan/hukum, dan peraturan baru
dibuat setiap hari oleh institusi global secara internasional yang misinya mengkodifikasi
dan membentengi 3 kebebasan fundamental dari neo liberalisme :13
a. Kebebasan sirkulasi modal
b. Kebebasan perdagangan atas barang dan jasa
c. Kebebasan investasi
World Trade Organization (WTO)14, merupakan sosok organisasi internasional yang
kekuasaan dapat menembus prinsip kedaulatan negara-negera melalui produk
hukumnya. Hukum mengenai trade related aspects of intelectual property rights
(TRIP’s)15, dapat menjadi contoh nyata bagaimana negara-negara Dunia Ketiga tunduk
dan patuh mengadopsi bulat-bulat ketentuan-ketentuan tersebut. Indonesia, begitu
meratifikasi perjanjian internasional pendirian WTO, secara revolusioner merombak
tatanan hukum yang melindungi kekayaan intelektual untuk menyesuaikan dengan
ketentuan global. Padahal dampak dari pengaturan tersebut menguntungkan negaranegara Dunia Pertama. Sementara aksesibilitas negara-negara Dunia Ketiga untuk
mengejar ketertinggalannya di semua aspek yang diatur TRIP’s semakin tertutup.
Selain WTO, institusi keuangan global (international financial institutions/IFI’s) yang
meliputi World Bank, International Monetery Fund, dan bank-bank regional seperti
ADB, IDB, AfDB, mempengaruhi kebijakan negara melalui persyaratan/kondisionalitas
yang digariskan oleh intitusi-institusi ini sebelum negara tersebut menerima kucuran
dana. Structural Adjusment Program (SAP) merupakan salah satu instrumen hukum
yang didesain IMF dan WB untuk mengendalikan negara penerima bantuan agar
melayani interest negara-negara Dunia Pertama. Karena kepemilikan saham terbesar
dalam institusi-institusi tersebut di miliki oleh negara-negara Dunia Pertama. Ekonom
Universitas Cambridge, Ha Joon Chang, menegaskan bahwa negara-negara Dunia
Pertama lewat tuntunan SAP sedang menendang tangga (kicking away the ladder) yang
dulu mereka pakai untuk memancat puncak, sehingga tak mungkin dikejar negaranegara sedang berkembang.16
Lebih jauh, globalisasi telah mereduksi peran esensi negara sebagai penjaga bonum
commune. Diagnosis Martin van Crevell menyatakan bahwa Sejak pertengahan abad ke
17, negara adalah institusi yang paling dominan diantara semua jenis institutusi,
sekarang ia memudar, entah secara suka rela ataupun terpaksa. Senada ungkapan ini,
George Soros memberi kesaksiannya bahwa ancaman paling serius terhadap kebebasan
dan demokrasi dalam tatanan dunia dewasa ini berasal dari persekongkolan (unholly
alliances) antara bisnis dan pemerintah. Prosedur demokrasi memang dipatuhi, tetapi
internasional diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan
internasional.
13 Susan George, Republik Pasar Bebas : Menjual Kekuasaan Negara, Demokrasi dan Civil Society kepada Kapitalisme
Global, Jakarta, INFID-Bina Rena Pariwara, 2002, hal. 20-21
14 WTO adalah organisasi internasional yang bertugas menjalankan seperangkat aturan pedagangan seperti,
General Agreement on Tariffs and Trade/GATT (Perjanjian Bea-masuk dan Perdagangan), Trade Related Intellectual
Property Measures/TRIPS (Perdagangan yang Berhubungan dengaan Hak Atas Kekayaan Intelektual), General
Agreement on Trade in Services/GATS (Perjanjian Perdagangan Jasa).
15 TRIPS’s merupakan hukum perjanjian internasional yang mengatur aspek-aspek kekayaan intelektual, yang
meliputi paten, merek, hak cipta, rahasia dagang, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu. .
16 Herry Priyono, op. cit. hal. 20
4
berbagai otoritas negara telah dipangkas dan dibengkokkan oleh kepentingankepentingan bisnis privat.17 Noreena Herzt menyebutkan fenomena ini sebagai
pengambilalihan diam-diam (silent take over) negara yakni suatu kondisi di mana
kekayaan perusahaan multi nasional (MNC) menyerap habis kekayaan negera, pebisnis
memiliki peringkat di atas politisi, dan kepentingan komersial menjadi lebih penting.
Data ini mendeskripsikan fenomena tersebut, penjualan General Motor dan Ford lebih
besar daripada GDP seluruh negara-negara sub sahara Afrika. Aset IBM, BP dan General
Electric melampaui kemampuan ekonomi kebanyakan negara-negara kecil. Wal-Mart,
pengecer supermarket AS, memiliki penghasilan yang lebih besar daripada kebanyakaan
negara-negara Eropa Timur dan Tengah termasuk Polandia, Republik Ceko, Ukraina,
Hungaria, Rumania, dan Slovakia.18 Dalam buku ”The Case Against the Global
Economy”, Tony Clarke menyebutkan saat ini dari 100 pemegang ekonomi dunia, 52nya adalah MNC, dan sebanyak 70% perdagangan global dikontrol oleh hanya sekitar
500 perusahaan. Dan setengah dari seluruh investasi (foreign direct investment) di
dunia sahamnya dimiliki oleh hanya 1% MNC. Lebih lanjut, sebanyak 443 dari 500
perusahaan terkaya di dunia berasal atau berlokasi di AS (185), Eropa (158) dan Jepang
(100). Korporasi inilah yang menjadi ”mesin penggerak” atau lokomotif dari sistem
ekonomi neo-liberal di seluruh dunia.19
Konteks Keindonesiaan
Indonesia, barangkali dapat dijadikan laboratorium besar, untuk menganalisis
bagaimana penetrasi kepentingan global telah mengatur hampir semua dimensi
kehidupan kebernegaraan kita. Moment awal penjejakan kaki-kaki kapitalisme secara
vulgar ditandai pada 1997, manakala kita terhembas badai crisis moneter yang
menerjang region Asia. Kemudian IMF diundang untuk memberikan solusi
memecahkan permasalahan crisis ekonomi Indonesia. Dalam memberikan solusi, IMF
biasanya meminta agar dilakukan perubahan fundamental dalam relasi antara negara
dengan pasar. Dalam kasus Indonesi, IMF conditionality tersebut tertuang dalam Letter
of Intent (LoI), yakni program-program yang disepakati oleh kedua belah pihak. LoI
yang ditawarkan oleh IMF secara substansi merupakan realisasi structural adjusment
program. Elemen intinya, Indonesia harus melakukan 3 hal : liberalisasi, deregulasi,
dan privatisasi. Ketiganya merupakan pilar utama dari konsep pemulihan ekonomi bagi
negara-negara berkembang, yang kemudian dikenal dengan ”Washington Consensus”.20
Dalam LoI, IMF mengajukan sejumlah kebijakan ekonomi yang harus
diimplementasikan oleh negara yang mengajukan bantuan. Berdasarkan LoI ini pula,
IMF mengevaluasi kinerja kepatuhan negara dalam mengimplementasikan
kondisionalitas IMF.
Herry Priyono, op. cit. ,hal. 18
Noreena Herzt, Perampokan Negara : Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi, Yogyakarta, Alenia, 2005,
hal. 8 -12
19 Nadia Hadad dalam Pengantar, Republik Pasar Bebas : Menjual Kekuasaan Negara, Demokrasi dan Civil Society
kepada Kapitalisme Global, op.cit, hal. xv-xvi
20 A. Tony Prasetianto, IMF, dalam Neoliberalisme, Editor I. Wibowo dan Francis Wahono, Yogyakarta,
Cindelaras, 2003, hal. 118-119. Terdapat 10 elemen Washington Consensus yang dapat dikategorisasikan dalam
3 elemen isu utama yakni : pertama, reformasi anggaran (disiplin fiscal, prioritas bagi pengeluaran Publio);
kedua liberalisasi perdagangan internasional (liberalisasi finansial, kebijakan nilai tukar, liberalisasi perdagangan,
liberalisasi masuknya penanaman modal asing); dan ketiga liberalisasi pasar domestik (reformasi pajak,
privatisasi, deregulasi, perlindungan hak kekayaan intelectual). Lihat Martin Manurung, The Washington
Consensus, The IMF, and Indonesian Crisis, hal. 1-2
17
18
5
Dalam titik ini, bantuan IMF sejatinya merupakan secondary tier defence apabila negara
tersebut tidak menjalankan kebijakan ekonomi yang sudah digariskan IMF.21 Dari
banyak syarat itu, antara lain Indonesia harus menaikkan harga BBM. Kenaikan ini
memicu amuk massa menolak kenaikan ini. Social cost ini tidak menjadi kalkulasi IMF
dalam menawarkan terapinya. Dalam pandangan Jeffrey Sach, terapi pemotongan
anggaran pemerintah (budget cuts) merupakan kesalahan terbesar IMF. Karena
pemotongan ini berdampak pada melemahnya daya stimulus terhadap perekonomian.
Padahal dalam krisis ekonomi, hal yang paling penting dibutuhkan adalah stimulus yang
diantaranya berasal dari APBN. 22
Dalam perpsektif ilmu hukum internasional, LoI menjadi landas pijak yuridis bagi
masuknya kepentingan aktor-aktor globalisasi, utamanya MNC melalui pintu privatisasi.
Pada tingkat masyarakat internasional, ada dua cara yang kerap dilakukan negara maju
dalam pemanfaatan hukum sebagai alat politik terhadap negara berkembang. Pertama,
dengan memanfaatkan perjanjian internasional. Kedua, dengan memanfaatkan
ketergantungan di bidang tertentu untuk mendesak pemerintahan negara berkembang
melakukan pembentukan atau perubahan terhadap peraturan perundangundangannya.23
Intervensi dengan memanfaatkan perjanjian internasional dimulai saat ada suatu
kebijakan tertentu di negara maju yang berimplikasi bagi negara berkembang. Sebagai
contoh pelaku usaha dari negara maju kerap mengeluhkan tertutupnya akses pasar dari
negara berkembang, minimnya perlindungan yang didapat atas hak atas kekayaan
intelektualnya, bahkan keamanan investasi mereka secara keseluruhan. Dalam konteks
seperti inilah kemudian perjanjian internasional dimanfaatkan. Perjanjian internasional
umumnya dirancang negara maju yang memiliki kepentingan. Perjanjian internasional
dibuat sedemikian rupa sehingga kepentingan negara maju terbungkus dengan berbagai
kalimat hukum yang canggih untuk melindungi kepentingan mereka yang akan
membebani berbagai kewajiban bagi negara berkembang. 24
Neo-liberalisme masuk ke dalam hukum dan kebijakan melalui (i) proses pembentukan
maupun (ii) penegakkannya. Proses pembentukan dan penegakkan hukum dan
kebijakan dapat dilihat sebagai arena pertarungan antara kelompok yang memiliki akses
dan yang tidak. Masuknya neo-liberalisme ke dalam hukum menjadi konsekuensi dari
merasuknya ideologi neo-liberal dalam berbagai sendi kehidupan – pandangan yang
melihat bahwa negara harus menjauh dari aras ekonomi dan semua individu harus
berkompetisi dalam mekanisme pasar.25
Martin Manurung, ibid
A. Tony Prasetianto, op. cit, hal. 121.
Perspektif
Keynesian justru
menyarankan
agar negara turut campur secara langsung guna menyelamatkan keterpurukan ekonomi melalui kebijakan
fiskalnya. Resep Keynes untuk memperbaiki ekonomi negara-negara akibat resesi ekonomi dunia sekitar 1930an. Pendekatan ini mengkoreksi pendekatan ekonomi liberal ala Adam Smith yang dianggap sebagai penyebab
resesi ekonomi masa itu.
23 Hikmahanto Juwana, Hukum sebagai Instrumen Politik, Kompas 26 April 2004
24 Hikmahanto Juwana, ibid
25 Bivitri Susanti, Implikasi Globalisasi terhadap Perubahan Kebijakan Pemerintah di Bidang Ekonomi, Politik, dan
Pembangunan, Makalah disampaikan dalam Peluncuran Jurnal HAM dan Seminar “Globalisasi dan Implikasinya
Terhadap Pemenuhan HAM,” Jakarta, 21 Oktober 2003
21
22
6
Lantas, di mana peran pemerintah atau negara sebagai pembuat hukum dan kebijakan
yang legitimate? Milton Friedman menyatakan bahwa hukum sangat penting bagi neoliberalisme karena hukum pada dasarnya adalah materialisasi dari kekuatan negara
sebagai “pembentuk aturan dan wasit.” Terlihat di sini bahwa di satu sisi, neoliberalisme menginginkan agar negara tidak ikut campur dalam arus perdagangan antarnegara. Namun di sisi lainnya, negara diharapkan ikut serta dalam memberikan aturanaturan yang memudahkan liberalisasi perdagangan. Di titik inilah kemudian muncul
upaya-upaya untuk mempengaruhi negara sebagai pembuat hukum yang memuluskan
liberalisasi. Dalam konteks hukum, konstitusionalis pro-neo-liberalisme semacam
Schneiderman misalnya, dengan mengutip Panitch dan Santos, menyatakan bahwa
negara seharusnya tidak dipinggirkan dalam sistem ekonomi global. Yang diperlukan
justru adalah reorganisasi negara. Hal ini dikarenakan fakta bahwa negara adalah
penyusun perangkat hukum yang dapat menata kembali batas-batas bagi tindakan yang
dapat dilakukan dalam kerangkan neo-liberalisme.26 Dalam konteks keindonesiaan,
benih-benih kekuasaan MNC bermula pada tahun 1967, manakala kuku-kuku PT
Freeport McMorran mencengkram
bumi Papua untuk mengeksplorasi dan
mengeksploitasi tambang. Investasi tersebut diberikan alas hukum oleh Pemerintah RI
melalui UU Penanaman Modal Asing.
Seturut hal itu, menjelang awal tahun 1970-an, atas kerjasama dengan World Bank, IMF,
dan ADB dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI)
yang terdiri atas sejumlah negara industri maju untuk membiayai pembangunan di
Indonesia. Kemudian memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an, sistem
ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran. Kebijakan ekonomi Pemerintah
banyak dibawa ke arah libelarisasi ekonomi; baik libelarisasi sektor keuangan, sektor
industri, maupun sektor perdagangan. Pakto '88 dapat dianggap sebagai titik tonggak
kebijakan libelarisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di
Indonesia, yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi utang luar negeri
perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi
Indonesia saat itu.27 Jejakan kepentingan agen-agen neo liberal semakin kentara pasca
krisis moneter pertengahan 1997. LoI, menjadi ’karpet merah” selebritis aktor-aktor
neoliberalisme dalam kancah permainan selingkuh antara pemerintah dengan korporasi.
Perselingkuhan ini membuncahkan
produk peraturan perundang-undangan yang
mengatur tatanan rumah tangga perekonomian Indonesia.
Tahap pertama telah terjadi di Indonesia misalnya dengan adanya penerapan SAP dari
IMF untuk mengubah proses yudisial terhadap transaksi ekonomi. Maka dibuatlah
penyesuaian dalam struktur organisasi negara dengan adanya peradilan niaga, yang
pendiriannya diamanatkan oleh LoI dari IMF. Diperkenalkan pula lembaga-lembaga
baru dalam negara di bidang ekonomi seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU), yang merupakan hasil godokan dari asistensi beberapa negara, terutama
Amerika Serikat dan Jerman. Tahap kedua terlihat jelas dengan adanya perubahan rejim
pengaturan HAKI untuk menerapkan TRIPs, dibukanya keran investasi asing dan
perubahan kebijakan di bidang pasar modal. Sementara tahap ketiga terlihat dari
serangkaian program dalam LoI pemerintahan Indonesia kepada IMF: penguatan
peraturan kehati-hatian dalam perbankan yang sesuai dengan Basle Committee's Core
Principles of banking supervision, perubahan struktural di bidang pengelolaan
26
27
Bivitri Susanti, ibid
Dwi Condro Triono, Bahaya Ekonomi Neo-Liberal di Indonesia
7
lingkungan, dan penguatan program jaring pengaman sosial.28 Perubahan tatanan
hukum tidak terbatas pada hukum yang mengatur transaksi ekonomi semata, namun
juga aspek-aspek yang lain seperti
pemanfaatan sumber daya alam, energi,
ketenagakerjaan, komunikasi dan permasalahan yang menyangkut hajat hidup publik
lainnya. UU Sumber Daya Air, UU Kehutanan, UU Ketenagakerjaan, UU Pertambangan,
UU Pertamina, UU Ketenagalistrikan, UU Telekomunikasi, UU Pendidikan, UU Advokat,
dan banyak peraturan perundang-undangan yang lain secara substansi mengandung
spirit neo liberalisme.
Dampak Globalisasi terhadap Kehidupan Personal Perempuan
Globalisasi memperlihatkan 2 (dua) dimensi yakni, pertama dimensi ekonomi dan
korporasi (economic and corporation globalization). Kedua, dimensi politik dan negara
(political and state globalization).29 Melalui mesin-mesin globalisasi di atas, negaranegara maju semakin memperkokoh hegemoni mereka untuk mengatur dan mengontrol
sumber-sumber di dunia. Lewat tangan WTO mereka mengatur kebijakan perdagangan
dunia.30 Melalui lembaga keuangan multilateral, mereka dapat menentukan negara
mana yang dapat menikmati kucuran uang. Kemudian dengan meminjam kekuatan
IMF, mereka menekan negara-negara untuk melakukan deregulasi, privatisasi, dan
liberalisasi.31 Kemudian investasi oleh MNC selalu menagih negara untuk menisbikan
peran untuk mengemban kewajiban konstitusionalnya dalam melayani publik dan
sekaligus menagih negara untuk memberikan kemudahan melalui aneka fasilitasi.
Untuk dapat melihat titik-titik taut globalisasi dengan kehidupan perempuan melalui
perspektif feminisme setidaknya terdapat 2 pijakan analisis, yakni : pertama, analisis
yuridis; dan kedua analisis dampak. Rasionalitasnya, neoliberalisme mengasumsikan
hal-hal berikut:
Bivitri Susanti, op. cit
M. Ridha Saleh, Ecoside : Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jakarta, Walhi, 2005,
hal. 50
30 Salah satu aspek yang diatur oleh WTO adalah perdagangan yang terkait dengan Hak atas Kekayaan
Intelektual (HaKI)/Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights (TRIPs). TRIPs merupakan instrumen hukum
internasional untuk melindungi kekayaan intelektual dan penemuan termasuk makhluk hidup yang salah
satunya adalah benih atau varietas pertanian. Dengan hak paten atas mahkluk hidup, seseorang atau suatu
lembaga memiliki hak sepenuhnya untuk memanfaatkan atau menjual jenis atau varietas yang telah dipatenkan.
Bila orang lain ingin memanfaatkan atau menjual jenis atau varietas yang sama mereka harus membayar pada
pemilik paten. Implikasinya para petani dan masyarakat adat tidak dapat lagi menjalankan aktivitas seperti
menyimpan benih, mempertukarkan, menanam, dan menjual tanpa seijin pemilik paten. Lihat Posisi Koalisi
Ornop terhadap WTO dalam Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, Gender &
Pengelolaan Sumber Daya Alam : Sebuah Panduan Analisis, Yayasan PIKUL, 2001, hal. 1
31 Aflina Mustafainah et. al, Aflina Mustafainah, et. al. Manual Pendidikan Dasar Globalisasi, Jakarta, debtWATCH
Indonesia, JK-LPK, dan Community Development Bethesda, 2004,. Kebijakan yang dikembangkan oleh
lembaga keuangan multilateral selalu mengarah kepada privatisasi (yang selalu didahului oleh restrukturisasi)
dan liberalisasi lewat mesin mereka : pinjaman (loan). Setiap pinjaman yang diberikan kepada negara-negara
debitor selalu disertai syarat-syarat (conditionalities) yang lebih dikenal sebagai Program Penyesuaian Struktural
(Structural Adjusment Program/SAP). Fungsi utama SAP adalah untuk meromabk sistem lama disuatu negara
agar sesuai dengan mekanisme pasar bebas murni yang diusung oleh aliran neoliberalisme. Lihat Arimbi
Heroepoetri dalam Fabby Tumiwa, Listrik yang Menyengat Rakyat : Menggugat Peranan Bank-Bank Pembangunan
Multilarel, Jakarta, WGPSR, 2002, hal. Xii. Berdasarkan kesepakatan dengan IMF, Indonesia akan membuka
keran impor beras dengan bea masuk 0% pada bulan Agustus 2002. Artinya beras dari luar akan membanjiri
pasar eras di Indonesia dengan harga murah. Harga beras di pasar dunia pada tahun 2000 berkisar 1500 rupaiah
sementara harga beras lokal berkisar antara 2000 hingga 3000 rupiah perkila gram. Lihat Meentje Simatauw,
Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, ibid. hal 34
28
29
8
a. Dalam tradisi libertarian, setiap manusia diasumsikan mempunyai akses dan
kemampuan yang sama dalam kancah demokratisasi karena setiap individu telah
dilekati hak-hak dan kebebasan yang sama. Asumsi ini diterapkan pula dalam
lapangan ekonomi, setiap individu harus bersaing dalam sebuah tatanan pasar
bebas. Namun asumsi ini keliru, karena proses ekonomi-politik yang berlaku
tidak memosisikan dan menempatkan kelompok-kelompok marjinal baik sebagai
pelaku maupun penerima manfaat proses tersebut.
b. Karena kekuasaan aktor-aktor global membutuhkan legitimasi, maka mereka
membangun tatanan hukum sebagai rational legal yang menjadi fundamen
bangunan imperium mereka. Dalam titik ini, jelas negara sebagai subyek utama
hukum internasional yang mempunyai kapasitas dan kewenangan dalam
memberlakukan suatu perjanjian internasional dalam yurisdiksinya.
c. Hukum merupakan refleksi dan hanya melekat pada otoritas negara. Melalui
hukum negara dapat membebani setumpuk kewajiban pada setiap warga negara.
Analisis Yuridis
Ilmu hukum mengenal beragam aliran, namun untuk melihat pertautan globalisasi
dengan feminisme, aliran hukum kritis (critical legal studies/CLS) dapat dijadikan
sebagai pisau analisis. Secara garis besar, pemikiran CLS terhadap hukum bisa
dikelompokan ke dalam 3 tema, yakni:
a. ketidakdeterminan hukum;
b. peranan hukum dalam membentuk politik legitimasi dan mistifikasi; dan
c. fundasi ideologi dari hukum.
Belakangan, CLS juga menaruh perhatian terhadap isu anti diskriminasi dan subordinasi
perempuan. Bagi CLS, konsep netralitas hukum adalah kebohong besar. Bagi CLS
hukum tidak lebih dari hasil dari pertarungan kekuasaan, persitiwa-peristiwa bersejarah
dan konflik ideology. Hukum tidak pernah netral, kebal apalagi otonom dari faktorfaktor di luar hukum. Bagi CLS, hukum hanya otonomi secara relatif.32 CLS apabila
ditarik dalam periodesasi aliran filsafat menjadi bagian era postmodern. Aliran ini
merupakan upaya melawan dominasi era modern yang digawangi aliran positivisme
yang menekankan uniformitas khususnya dalam hal penafsiran terhadap makna normanorma hukum ekonomi internasional. Tafsir monolitik akhirnya menjadi monopolitis,
dalam arti tafsir yang dikuasai oleh sudut pandang penguasa ekonomi dan politik saat
ini, yakni nnegara-negara Dunia Pertama.
Untuk melihat dampak globalisasi terhadap kehidupan personal perempuan analisis
hukum kritis memerlukan perspektif feminisme. Terkait dengan perspektif feminisme,
maka untuk melihat substansi peraturan perundang-undangan berperspektif feminis
atau tidak, termasuk hukum ekonomi atau hukum yang terkait dengan aspek ekonomi,
dapat mempergunakan pisau analisis Feminist Legal Theory. Feminist Legal Theory
menyangkut 2 (dua) aspek yakni teori hukum berperspektif feminis dan praktik hukum
Rikardo Simamarta, Teori Hukum Kritis : Varian Lain dari Pemikiran Kritis Tentang Hukum, Makalah pada
Pelatihan Pengacara Publik Yang Berwawasan Lingkungan, ELAW Indonesia, Jakarta, 15-19 September 2003,
hal. 7-8
32
9
berperspektif feminis.33 Teori hukum berperspektif feminis membantu memetakan
persoalan-persoalan yang terkait dengan adanya kebutuhan untuk menangani persoalan
yang menyangkut hak-hak perempuan di hadapan hukum. Untuk itu karakteristik dasar
teori hukum berperpektif feminis menjadi hal yang patut untuk dijadikan pijakan untuk
melakukan perubahan substansi hukum. Karakteristik dasar tersebut meliputi : (i)
mengubah pandangan bahwa hukum adalah sesuatu yang netral dan obyektif; (ii)
mengidentifikasi implikasi hukum yang menyokong subordinasi terhadap perempuan;
(iii) bagaimana hukum itu bekerja dalam konteks yang lebih luas.34 Kemudian praktik
hukum yang berperspektif femisnis setidak-tidaknya mencermati pada 2 (dua) focus
sebagai berikut: pertama,
bagaimana hukum mempengaruhi perempuan dan
menyumbangkan penindasan terhadap mereka. Kedua, bagaimana hukum digunakan
untuk meningkatkan posisi social perempuan.35
Jika substansi hukum ekonomi dianalisis dengan perspektif feminist legal theory maka
perspektif ini dapat dipergunakan untuk mengeksaminasi sampai sejauhmana substansi
tersebut berpihak pada perempuan atau malah menyumbang terjadinya subordinasi
terhadap perempuan. Dalam kerangka ini maka analisis substansi, proses pembentukan
hukum, metode pemikiran hukum dan epistemology hukum yang berobyek kepentingan
ekonomi perlu dilakukan.36
Analisis Dampak
Jika solusi Lugano Report dibumikan dalam konteks keindonesiaan, maka jelas
pereduksian populasi penduduk ditujukan pada kelompok orang-orang marjinal karena
pada galibnya masyarakat sebagai medan konflik : konflik antara kelas sosial, konflik
ekonomis, konflik kultural, dan mungkin clash of civilizations. Fenomena masyarakat
berlantai dua mengkonkrit dalam era globalisasi ini. Di lantai atas terdapat mereka yang
karena keterampilan ataupun modal yang mereka miliki, memainkan suatu peran dalam
sistem perekonomianm sedangkan mereka yang tidak mempunyai sesuatu yang bisa
ditawarkan, mereka yang tidak dengan cukup cepat mempelajarai sesuatu yang
”mempunyai masa depan”, jatuh ke lantai bawah. Di Jerman, misalnya orang berbicara
”masyarakat dua pertiga”. Dua pertiga menghuni lantai atas. Di situ terdapat para
pemilik modal, wiraswasta, profesional, tetapi juga buruh industri, tukang ahli, dan
pengusaha pertanian. Di lantai bawah terdapat mereka yang sudah lebih dari dua tahun
tidak mendapatkan pekerjaan dan tidak mempunyai harapan bisa mempunyai
keterampilan baru, anak muda yang tidak pernah menemukan tempat kerja, orang yang
terlilit utang, kehilangan tempat kerja, tidak dapat membayar lagi bunga dam cicilan
kembali, akhirnya eksistensi mereka hancur; pelbagai macam orang yang tidak mampu
lagi tahan ikut hingar bingar kehidupan sosial, misalnya drop out, tinggal di kaki lima,
dan dianggap tidak dapat ”disosialisasi” lagi juga pelbagai kelompok pendatang.37 Hal
Ratna Kapoor, Pendekatan Hukum Berperspektif Gender, disarikan dan diterjemahkan oleh sri Wiyanti Eddyono,
dalam Materi Pelatihan HAM bagi Pengacara Angkatan VII, Jakarta, Elsam, 2002
34 ibid.
35 ibid
36 ibid
37 Di dunia internasional terdapat pembagian yang mirip. Pembagian menurut ”dunia ketiga” atau ”negaranegara berkembang” atau ”Selatan lawan Utara” sejatinya merefleksikan derajat keterlibatan negara dalam
dinamika ekonomi global. Di lantai atas terdapat negara-negara industri maju (G 7), ditambah Hongkong,
Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura. Juga Malaysia, Cina, Afrika Selatan, India, dan beberapa negara Amerika
Latin dan Timur Tengah. Negara-negara lain dapat dibagi dua. Paling bawah di lantai bawah terdapat ”negara33
10
yang sama berlaku bagi orang-orang yang di dalam masyarakat-masyarakat ketinggalan
kereta api kemajuan. Andaikata malaikat Allah, sebagaimana dilakukan-Nya di Mesir
3000 tahun yang lalu, dalam satu malam mengangkat mereka semua ke alam baka,
sisanya ”dua pertiga” itu, tidak akan rugi sedikitpun. Tidak akan ada gangguan berarti
dalam perekonomian nasional, tak ada fungsi-fungsi penting bagi kehidupan masyarakat
yang akan terganggu. Malah hilangnya mereka memberikan lebih banyak kelonggoran
untuk menata kembali wilayah yang sebelumnya terpaksa dilepaskan kepeda sepertiga
non produktif yang hanya merupakan beban itu.38
Di Indonesia pembagian masyarakat dalam dua lantai ada, tetapi berbeda. Ada the
golden crowd dan the rest. Lebih tepat, di lantai atas tidak hanya tinggal the golden
crowd, tetapi juga sekitar 20% masyarakat yang memiliki tempat kerja modern. The
golden crowd ini memang bergelimang harta. Kemudian ditambah dengan para
”aspiran” yang meskipun kemampuan finansial terbatas, masih mampu makan
direstoran glamour, malam hari join the crowd dan mengunjungi nigth spot yang in.
The rest, inilah massa masyarakat yang bekerja keras untuk sekedar mempertahankan
kehidupan mereka dengan susah payah. Bahkan mereka tulang punggung ”ekonomi
rakyat”. Di sini termasuk petani dan buruh tani, buruh perkebunan, nelayan. Lalu di
kota, buruh industri, karyawan rendahan, wiraswasta di kaki lima, dsb.39 Jika kita
mengacu pada angka kemiskinan di Indonesia yang mencapai angka 37,4 juta, dan
menempatkannya dalam struktur piramida tatanan sosial yang berjejak pada konstruksi
patriarkhi, maka jelas perempuan dan anak-anak kelompok marjinal(keluarga miskin)
yang disasar solusi Lugano Report. Artinya kelompok ini lah yang akan direduksi dan
dihilangkan eksistensinya di bumi pertiwi. Data-data berikut dapat dijadikan indikasi :40
a. Setiap hari lahir 11 ribu anak Indonesia, namun 800 orang diantaranya
meninggal sebelum lima tahun akibat penyakit yang mudah dicegah (preventable
disease).
b. Badan PBB urusan anak, UNICEF, menyatakan bahwa Indonesia akan memilki
2 sampai 3 juta anak-anak yang disebut generasi yang hilang (lost generation)
akibat kekurangan pangan, berpenyakitan dan kurang-pendidikan.
c. Meskipun cenderung turun angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu
(AKI) di Indonesia tergolong tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN.
AKB di Indonesia tercatat 68 jiwa per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1991 dan
menurun menjadi 35 jiwa per 1000 kelahiran pada tahun 2002. Rasio yang
hampir sama pada AKI yaitu dari 390 jiwa per 1000 kelahiran hidup pada tahun
1994, turun menjadi 307 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2003. Data dari
negara gagal”, the failed states, seperti Somalia, Hait, Kongo, Bangladesh atau Sudan. Mereka dianggap beyond hope.
Di atas mereka ada negara seperti Argentina, Pakistan, dan Indonesia di mana negara-negara lantai atas Belum
kehilangan harapan, Namur berada dalam bahaya nyata akan “gagal” juga. Dalam menjalin relasinya
perhitungan ekonomi-politik menjadi hal yang utama. Masing-masing negara akan mendirikan tembok agar
negara lain tidak menganggu. Negara yang tidak menguntungkan akan dicoret dari daftar kepentingan politik
negara-negera dunia pertama. Franz Magnis-Suseno, Mereka yang Ditinggalkan, Majalah BASIS, No. 05 – 06,
Tahun ke-53, Mei – Juni 2004, hal. 24-26
38 Franz Magnis-Suseno, ibid
39 Franz Magnis-Suseno, ibid
40 Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), Merubah Paradigma dan Alokasi Anggaran 2006 akan Merubah Nasib
Anak-Anak dan Orang Miskin : Dampak Alokasi APBD DKI 2005 terhadap Pemenuhan Hak-Hak Anak Atas
Pendidikan, Kesehatan, dan Permukiman, Kertas Posisi 2005
11
d.
e.
f.
g.
h.
Departemen Kesehatan (2005) malah menunjukkan angka kematian balita
meningkat dari 45/1000 kelahiran hidup tahun 2001 menjadi 46/1000 kelahiran
hidup pada 2003.
Persentase indikator kecukupan gizi anak Indonesia yang beratnya di bawah
standar pada usia 5 (tahun) jumlahnya masih cukup besar mencapai 34%,
dibandingkan dengan Cina 10%, Philipina 28%, Thailand 19 %, Malaysia 18%,
dan Papua Nugini 30%.
Kemudian diperkirakan kasus busung lapar yang menyerang anak-anak di bawah
usia lima tahun di Indonesia mencapai angka 8%. Berarti saat ini ada sekitar 1,67
juta anak balita yang menderita busung lapar. Angka ini sesuai dengan proyeksi
penduduk Indonesia yang disusun BPS, tahun 2005 ini jumlah anak usia 0-4
tahun di Indonesia mencapai 20,87 juta.
Jumlah warga yang hidup di rumah-rumah kumuh semakin meningkat.
Gambaran suram sektor perumahan terlihat dari data berikut : 47 ribu hektar
permukiman kumuh dihuni 2,3 juta jiwa di Indonesia (1999), setelah krisis
pertambahannya meningkat tajam, terutama di Jawa dan Sulawesi padahal
kebutuhan unit perumahan baru di Indonesia memiliki backlog (kebutuhan yang
tidak bisa terpenuhi) sebesar 4,5 juta unit (2001), 7,3 juta unit (2004), dan 11,7
juta unit (2009);
Lebih lanjut data Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan di
Indonesia terdapat 4.201.452 anak terlibat dalam pekerjaan berbahaya, lebih
dari 1,5 juta orang diantaranya anak perempuan. Data IPEC/ILO memperkirakan
terdapat 2,6 juta pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia dan sedikitnya 34,83
persennya tergolong anak. Sekitar 93 persennya anak perempuan. Kemudian
data Komnas Perlindungan Anak (Maret 2005) menunjukkan, angka penjualan
anak balita yang melibatkan sindikat internasional menunjukkan peningkatan.
Pada tahun 2003 ada 102 kasus yang terbongkar, tahun 2004 bertambah
menjadi 192 kasus. Jumlah anak korban trafficking untuk tujuan prostitusi
meningkat, dari berbagai rumah bordil di Indonesia, 30 persen atau sekitar
200.000-300.000 perempuan yang dilacurkan adalah anak-anak. Catatan
Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan, pada tahun 2004 teridentifikasi
14.020 kasus kekerasan terhadap perempuan (meningkat dari tahun 2003, yaitu
sebesar 7.787 kasus). Dari angka ini, 562 merupakan kasus trafficking (R.
Valentina Sagala, 2005).
Indikator Human Development Report (HDR) yang dikeluarkan oleh United
Nation Development Program (UNDP) tahun 2004 yang memasukkan Negara
Indonesia berdasarkan Human Development Index (HDI) dalam peringkat 111
dari 175 negara.
Proses reduksi tersebut salah satunya melalui politik kebijakan anggaran publik yang
tidak berpihak pada orang miskin. Struktur anggaran publik41 suatu negara sejatinya
memperlihatkan keberpihakan suatu rezim. Indikatornya nampak pada berapa besaran
Struktur anggaran belanja negara bisa dibedakan atas : struktur yang konservatif dan struktur yang ekspansif.
Struktur yang pertama berarti pengeluaran pemerintah dilakukan secara hati-hati atau kontraktif. Indikasinya
struktur anggaran ini memfasilitasi dan menstimulasi investasi baik asing maupun domestik bukan pengeluaran
pemerintah. Sedangkan struktur yang kedua kinerja pembangunan didorong oleh pengeluaran pemerintah.
Struktur yang pertama kebijakan pemerintah merefleksikan ideologi neoliberal. Sedangkan yang kedua
merefleksikan ideologi di luar neoliberalisme (populisme, sosialisme atau nasionalisme). Lihat Coen Husain
Pontoh, Anggaran Partisipatif : Pengalaman Sukses di Porto Alegre, Brazil dalam Gerakan Massa Menghadang
Imperialisme Global, Yogyakarta, Resist Book, 2005, hal. 39-40.
41
12
alokasi anggaran untuk pembangunan fasilitas layanan publik yang meliputi kesehatan,
pendidikan, dan permukiman ; berapa banyak disiapkan untuk subsidi bahan kebutuhan
pokok; berapa pula alokasi untuk membayar utang luar negeri, belanja rutin, atau
modernisasi angkatan bersenjata. Kalau alokasi dana untuk untuk keperluan terakhir
ini, misalnya saja , lebih besar ketimbang buat dua kelompok yang pertama, hampir
pasti dapat disimpulkan bahwa rezim ini tidak berpihak kepada rakyat miskin.42
Pereferensi politik alokasi anggaran publik yang lebih mengutamakan prioritas
membayar utang luar negeri ketimbang mengalokasikan dan mendistibusikan bagi
kepentingan publik juga merupakan pelanggaran HAM. Pembayaran utang luar negeri
telah menggerogoti 25,10% dari total belanja negara yang berjumlah Rp 441,61 trilyun,
serta menguras pendapatan negara sebesar 29,33%. Alokasi ini terdiri dari bunga hutang
dalam negeri sebesar Rp 38,84 trilyun, bunga hutang luar negeri Rp 25,14 trilyun dan
cicilan pokok hutang luar negeri Rp 46,84 trilyun. Selain utang luar negeri, anggaran
negara juga digerogoti utang dalam negeri, akibat politik pereferensi negara yang lebih
memilih menyelamatkan kolapsnya perbankan. Dalam nota keuangan APBN-P,
pembayaran bunga hutang dalam negeri diperkirakan mencapai Rp 41.587,1 miliar, atau
Rp 2.592,6 millliar (6,8 %) lebih tinggi dari yang ditetapkan dalam APBN 2005.43
Artinya puluhan tahun ke depan alokasi pemerintah untuk pendidikan, kesehatan, dan
pelayanan sosial lainnya jelas akan dikorbankan. Padahal menurut seorang ekonom
untuk menggratiskan pendidikan dasar cukup mengalokasikan dana sebesar Rp 10
trilyun.44 Hal ini tentu tidak lah adil jika kita membandingkannya dengan alokasi
anggaran publik untuk menutup kejahatan perbankan yang besarnya mencapai puluhan
trilyun per tahun. Seharusnya dana masyarakat tersebut harus dikembalikan dalam
bentuk pemenuhan hak konstitusi rakyat. Namun karena alokasi pembayaran utang
sudah menyedot lebih dari sepertiga dari anggaran belanja pemerintah. Tentu saja
alokasi untuk memenuhi kebutuhan pubik yang bersifat fundamental dan subsisten
yang menjadi korban. Kebijakan pemerintah yang mengorbankan pemenuhan hak
konstitusi rakyat ini disebabkan ketiadaan good will pemerintah untuk mengatasi beban
utang yang sudah menguras uang rakyat dalam pos belanja negara. Ketimpangan alokasi
tersebut, nampak dalam grafik perbandingan pembayaran utang luar negeri dengan
alokasi untuk menjalani kewajiban konstitusional negara (belanja sosial) dalam RAPBN
2005.45
42
43
44
45
ibid
Isadi, Analisa APBN-P dan Pendidikan, www.kau.or.id, 2005
Eko Prasetyo, Orang Miskin Tanpa Subsidi, Yogyakarta, Resist Book, 2005, hal. 75 – 76
Kusfiardi, RAPBN 2005 Melanggar Hak Konstitusi Rakyat, www.kau.or.id
13
Politik kebijakan anggaran ini merupakan intervensi kekuatan ideologi neoliberal yang
ditancapkan melalui LoI. IMF menekankan bahwa untuk mengurangi defisit anggaran
publik dilakukan dengan cara menghilangkan subsidi.
Persoalan keperempuanan muncul ketika SAP, diadopsi oleh IMF dan Bank Dunia.
Paket SAP diterapkan diberbagai negara dengan fokus memotong uang belanja publik
untuk menyeimbangkan anggaran pemerintah dan hutang. 46 Dalam perspektif lain,
Desai memberi argumentasi bahwa SAP telah mempengaruhi perempuan secara
mendunia sebab pengaturan tersebut telah membuat peranan perempuan banyak
berubah dari kemungkinan perempuan menjadi produser menjadi nonproduser, dan
krisis yang diakibatkan diambil dari bantuan “dana sosial” yang mengakibatkan lagi
keterpurukan perempuan.47 Kondisi ini diungkapkan oleh Bernard Andrew Mudho,
seorang pakar independen PBB on human rights of structural adjustment policies and
foreign debt yang menyatakan, terdapat fakta meyakinkan yang menunjukkan hampir
semua kebijakan yang diambil negara-negara berkembang (developing countries) dalam
menghadapi efek hutang luar negeri yang berakibat negatif pada pemenuhan hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya rakyat karena mengandung syarat-syarat tertentu dari
pihak pemberi hutang, telah mengakibatkan perluasan kemiskinan ketimbang
menguranginya. Apa yang disebut dengan syarat-syarat oleh Mudho, seperti perubahanperubahan kebijakan Negara yang mesti disesuaikan dengan agenda pasar bebas dan
liberalisasi ekonomi – dengan impak semisal pencabutan subsidi atas pelayanan publik
dan kebijakan privatisasi sektor-sektor kepentingan umum.48
Hal senada juga diungkapkan oleh Committee on Economic, Social and Cultural Rights
(CSCR), yang melihat beberapa kemungkinan dampak negatif globalisasi terhadap
pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak dalam melakukan pekerjaan
terabaikan akibat kompetisi yang mengedepankan comparative advantages. Represi
Gadis Arivia mengutip Wiegersma dalam Feminisme Global : Melokalkan yang Global, Mengglobalkan yang Lokal,
Kompas 20 Desember 2002
47 Gadis Arivia mengutip Desai, ibid
48 Lihat A. Patra M. Zen, Tak Ada Hak Asasi yang Diberi, Jakarta, YLBHI, 2005, hal. 9
46
14
atas hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat buruh atas nama “global
economy”. Hak setiap orang mendapatkan jaminan sosial (social security) akibat
kebijakan privatisasi. Kebijakan pencabutan subsidi atas desakan globalisasi telah
menyebabkan situasi menjadi amat sulit bagi keluarga miskin untuk menikmati fasilitas
kesehatan dan pendidikan. Selain itu, CESCR juga menilai potensi negatif dari
perdagangan bebas yang didesakkan World Trade Organisation (WTO). Kebijakan
Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) telah
berdampak buruk pada keamanan pangan, pengetahuan penduduk adat, dan akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.49 Lebih jauh, dampak globalisasi tersebut
juga membentuk pola relasional berbasis gender50 yang tidak adil, yang salah satunya
bersumber pada aksesibilitas sumber daya. Analisis feminis dapat digunakan untuk
membongkar pola relasi ketidakadilan tersebut. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender
antara lain : (i) stereotipi; (ii) dominasi; (iii) diskriminasi; (iv) beban ganda; dan (v)
kekerasan.51
Dalam titik ini, perspektif dan nilai-nilai feminisme perlu pula dijadikan pisau analisis
untuk melengkapi sehingga dalam memandang
persoalan perempuan lebih
komprehensif dan lebih utuh. Nilai-nilai feminisme tersebut meliputi : pengetahuan dan
pengalaman personal; rumusan tentang diri sendiri; kekuasaan personal; otentitas;
kreativitas; sintesis; personal is political (diri sendiri bersifat politis); kesataraan;
hubungan sosial timbal balik; kemandirian ekonomi; kebebasan seksual; kebebasan
reproduksi; identifikasi diri pada perempuan; perubahan sosial; dan berkekuatan politik
dalam masyarakat.52 Adapun perspektif feminisme terdiri dari : (i) pendekatan holistic;
(ii) berorientasi pada proses; (iii) menghargai keanekaragaman; (iv) pendekatan win-win
terhadap konflik; (v) menghargai intuisi, rasio, dan logika; (vi) menolak pemisahan
antara pikiran, perasaan, dan ketubuhan; (vii) pengambilan keputusan tidak hierarkis;
(viii) menolak naturalisme; (ix) pembagian kekuasaan yang adil; dan (x) menghargai
pengorganisasian secara kolektif untuk melakukan perubahan.53
Nilai-nilai dan perspektif feminisme ini pada prinsipnya merupakan manifestasi dan
refleksi dari aliran-lairan feminisme yang ada. Secara teoritis aliran-aliran feminisme
variannya antara lain meliputi : feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme Marxis
dan sosialis, feminisme global dan multikultural, dan ekofiminisme.54 Namun untuk
menajamkan analisis agar pertautan globalisasi dengan fiminisme nampak, maka
penulis memilih aliran feminisme Marxis dan Sosialis, aliran feminisme global, dan
ekofeminisme. Pilihan ini dilandasi pertimbangan bahwa dampak globalisasi secara
kasat mata mewujud dalam :
a. Relasi antar negara dalam tatanan global
b. Kerusakan lingkungan yang makin massive
c. Relasi buruh dengan pengusaha
ibid, hal. 26
Gender adalah pembedaan peran, status, pembagian kerja yang dibuat oleh masyarakat berdasarkan jenis
kelamin.
51 Rio Ismail, Risma Umar, Titi Soentoro, Suara Mayoritas yang Samar : Studi tentang Respon Partai Politik terhadap
Kepentingan Perempuan Menjelang Pemilu 2004, Jakarta, Solidaritas Perempuan, 2004, hal. 13 - 21
52 Lihat Arimbi Heroepoetri & R. Valentina, op. cit hal. 17 – 24
53 Lihat Arimbi Heroepoetri dan R. Valentina, op. cit, hal. 25-29
54 Baca lebih lanjut Lihat Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: Pengantra Paling Komprehensif Kepada Arus
Utama Pemikiran Feminis, Yogyakarta, Jalasutra, 2005
49
50
15
Relasi antar negara dapat kita teropong menggunakan aliran feminisme global karena
keminisme global menekankan bahwa penindasan terhadap perempuan di satu bagian
dunia seringkali disebabkan oleh apa yang terjadi di bagian dunia yang lain dan tidak
ada akan ada perempuan yang bebas dari kondisi tertindas hingga semua kondisi
penindasan dihapuskan.55 Feminisme global memperlihatkan adanya perbedaan cara
pandang antara feminis dunia pertama dengan feminis dunia ketiga dalam melihat
persoalan perempuan. Bagi feminis dunia ketiga, persoalan penindasan seksual dan
reproduksi lebih terkait dengan persoalan-persoalan ekonomi dan politik serta
kebijakan-kebijakan nasional dan internasional.56
Seturut dengan berkembangnya feminisme global, muncul pula aliran feminisme baru
untuk mengkritisi dampak globalisasi. Namun penekanannya lebih pada dampak
globalisasi terhadap lingkungan. Aliran ini dikenal dengan ekofeminisme. Menurut
pandangan aliran feminisme ini antara feminisme dengan ekologi mempunyai
ketersinggungan yang sangat erat dan berkehendak untuk membangun sebuah
pandangan baru terhadap dunia yang ditandai dengan nihilnya model-model dominasi,
eksploitasi apalagi pemusnahan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Radford Ruether
yang menyatakan ada keterkaitan anatara pola dominasi terhadap perempuan dan
perlakukan dominasi terhadap alam.57 Kemudian Karen J. Warren menspesifikan lebih
jauh asumsi dasar dari ekofeminisme : (1) ada keterkaitan penting antara opresi
terhadap perempuan dan opresi terhadap alam; (2) pemahaman terhadap alam dalam
kaitan ini adalah penting untuk mendapatkan pemahaman yang memadai atas opresi
terhadap perempuan dan opresi terhadap alam; (3) teori dan praktik feminisme harus
memasukkan perspektif ekologi; dan (4) pemecahan masalah ekologi harus
menyertakan perspektif feminisme.58
Aliran feminisme Marxis dan sosialis menyoroti pola relasional antara buruh dengan
pemodal stricto sensu MNC. Basis aliran ini adalah penindasan perempuan adalah
bagian dari eksplotasi kelas dalam cara produksi. Oleh karenanya masalah perempuan
selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. Aliran ini mengalami
pembaharuan oleh aliran feminisme sosialis yang mengakomodasi trade mark
feminisme radikal59 “the personal is political”. Menurut aliran ini penindasan terjadi di
kelas manapun. Atas dasar ini, visi Marxis klasik yang meletakkan eksploitasi ekonomi
sebagai dasar penindasan gender ditolak. Analisis patriarkhi perlu dikombinasikan
Rosemarie Putnam Tong, ibid, hal. 330
Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta, YJP, 2003, hal. 138 - 140
57 Lihat Intan Darmawati dalam M. Ridha Saleh, Ecoside : Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran HAM,
Jakarta, Walhi, 2005, hal. 85 – 86
58 Lebih lanjut Warren menawarkan feminisme transformatif untuk menyikapi kegagalan 4 (empat) cabang
pemikiran feminis – liberal, marxis, radikal, dan sosialis – untuk melaksanakan praktik ekofeminisme.
Feminisme transformatif mempunyai 6 (enam) karakteristik: (1) feminisme transformatif mengakui dan
mengeksplisitkan saling keterkaitaan antara semua sistem opresi; (2) menekankan keberagaman pengalaman
perempuan; (3) menolak logika dominasi; (4) memikirkan ulang apa artinya menjadi manusia; (5) bergantung
pada etika yang menekankan nilai-nilai etika “feminin” tradisional yang cenderung untuk menjalin, saling
menghubungkan, dan menyatukan manusia; dan (6) ilmu pengetahuan dan teknologi hanya dipergunakan
untuk menjaga kelangsungan bumi. Lihat Rosemarrie Putnam Tong, op. cit., hal. 366 – 391
59 Feminisme radikal menegaskan bahwa sumber penindasan perempuan berakar dari penguasaan laki-laki.
Patriarkhi adalah sistem hierarki seksual yang memberi peluang pada lelaki untuk memiliki kekuasaan lebih
tinggi dan privilese ekonomi. Mansour Fakih, Pengantar dalam Vandana Shiva, Bebas dari Pembangunan, Jakarta,
YOI, 1997, hal. Xx - xxi
55
56
16
dengan analisis kelas. Kritik kapitalisme harus disertai kritik dominasi atas
perempuan.60
Fenomena globalisasi sebagaimana telah dipaparkan mempercepat proses terjadinya
feminisasi kemiskinan yang dampaknya dirasakan berbeda antara individu perempuan
yang satu dengan individu perempuan yang lain, bahkan oleh seorang individu
perempuan yang sama dalam locus dan tempus yang berbeda. Untuk melihat dampak
globalisasi secara personal pada diri perempuan dibutuhkan metode-metode penelitian
feminis dalam penelitian sosial. Penelitian melalui wawancara feminis menawarkan para
peneliti jalan masuk ke pendapat, pikiran, dan ingatan seorang perempuan dalam
bahasa mereka sendiri ketimbang bahasa peneliti. Metode ini mengarah pada
wawancara fenomenalogis yakni suatu investigasi yang dibangun berdasarkan
kehidupan dan pengalaman perempuan yang otentik. 61 Selanjutnya, etnografi feminis
yang melibatkan peneliti secara aktif ke dalam kehidupan perempuan melengkapi
gambaran peta permasalahan perempuan yang terkena imbas globalilasi yang kini
semakin menderu. 62 Namun, celakanya perempuan diabaikan eksistensinya dalam
merancang tatanan global ini.
Mansour Fakih, ibid
Shulamit Reinharz, Metode-Metode Feminis dalam Penelitian Sosial, Jakarta, Women Research Institute, 2005, hal.
23 - 25
62 Shulamit Reinharz, ibid, hal. 59
60
61
17
Download