MENIMBANG RELASI GENDER DALAM KELUARGA (SEBUAH TELA’AH KRITIS-FILOSOFIS-HUMANISTIK) Rohinah Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga [email protected] Abstract: The discourse of gender equality as promoted by the feminist movement is intended to criticize the practice of the tradition in which men dominate women in various lines of life, including family life and more specifically is in relation to the child. Such patriarchialism gains legitimacy from many directions, including from the customary laws, traditions, and theological-philosophical. Apart from the discursive conflict, both sides that are opposite each other have the same attitude in treating their child to build a discourse concerning their rights to the child. In this condition, the child is as passive party, where he is just a dead object and has no contribution during the determination of the rights of parents over their children. Criticism also comes with a reverse way of thinking, which puts the child in an active position, the object of life, and contributes. The rights of fathers and mothers that have established and understood differently as in patriarchialism and feminism then reformulated. This reformulation leads to a new discourse that could be called a post-feminism. Keywords : Patriarkalisme, Feminisme, Post-feminisme Abstrak: Wacana kesetaraan gender seperti yang dipromosikan oleh gerakan feminis dimaksudkan untuk mengkritik praktek tradisi di mana laki-laki mendominasi perempuan dalam berbagai lini kehidupan , termasuk kehidupan keluarga dan lebih khusus dalam kaitannya dengan anak . Seperti keuntungan patriarchialism legitimasi dari berbagai arah , termasuk dari hukum adat , tradisi , dan teologis - filosofis . Terlepas dari konflik diskursif , kedua belah pihak yang saling berlawanan memiliki sikap yang sama dalam mengobati anak mereka untuk membangun wacana tentang hak-hak mereka untuk anak . Dalam kondisi ini , anak sebagai pihak yang pasif , di mana ia hanya benda mati dan tidak memiliki kontribusi dalam penentuan hak-hak orang tua atas anak-anak mereka . Kritik Menimbang Relasi Gender dalam Keluarga (Rohinah) |1 juga datang dengan cara kebalikan dari berpikir , yang menempatkan anak dalam posisi aktif , objek hidup , dan memberikan kontribusi . Hak-hak ayah dan ibu yang telah ditetapkan dan dipahami secara berbeda seperti di patriarchialism dan feminisme kemudian dirumuskan . Reformulasi ini mengarah ke wacana baru yang bisa disebut post - feminisme Kata Kunci : Patriarkalisme, Feminisme, Post-feminisme perbedaan yang tidak dapat dinafikan, Pendahuluan Sejauh ini diskursus kesetaran gender dimana kesetaraan model apapun tidak dan gerakan feminisme tidak terbendung dapat menggantikannya. Sehingga dengan lagi. Kaum perempuan memperjuangkan begitu, susunan yang hirarkis harus tetap hak-haknya dengan mengusung nilai-nilai ada dalam relasi gender, sekalipun tidak dan filosofi kesataraan antara perempuan mesti laki-laki yang mendominasi, dimana dan posisi perempuan terkadang harus di laki-laki. Perjuangan gerakan feminisme seoalah-olah telah berhasil ‘depan’. Kehadiran menembus batas-batas yang selama ini disebut itu dibuktikan dengan adanya kesempatan mempertegas batas-batas perbedaan antara dan kesetaraan bagi perempuan untuk laki-laki dan perempuan. Dalam sebuah mendapatkan hak-haknya di berbagai institusi lapangan kerja, pentas politik, di hadapan dicerabut dari status dan perannya sebagai hukum, yang tolok ukur untuk melihat sisi perbedaan laki-laki. dan persamaan pada kedua orang tuanya. feminisme Hak-hak anak adalah sangat penting selanjutnya menjelma raksasa ‘kebenaran’ diperhatikan guna mencegah kesewenang- yang wenangan kaum ibu dalam menuntut sebelumnya Diskursus ranah domestik didominasi kesetaraan mengerikan dan dan mengancam. keluarga, ‘anak’ yang tertutup untuk perempuan. Keberhasilan dan dengan ‘pihak-ketiga’ anak semakin tidak dapat yang haknya dari kaum bapak, sehingga pada direbutnya dari kuasa patriarki, ia abai moment tertentu kaum ibu harus rela akan ‘celah-celah’ kekurangan dirinya memberikan dominasi yang lebih terhadap sendiri, sehingga batas-batas tertentu dan kaum laki-laki. Begitu pula kaum bapak hak-hak tertentu dilibas secara ‘anarki’. harus mempertimbangkan hak-hak anak, Kaum perempuan dan kaum laki-laki agar pada kondisi tertentu dengan rendah secara kodrati dan alamiah memiliki hati mengakui bahwa kaum perempuan Dengan 2| mahkota kemenangan MUWÂZÂH, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012 lebih berhak berada di depan untuk sepenuhnya berwajah buruk. Tulisan ini memimpin. Dengan begitu, diskursus tidak untuk membela sistem patriarki dan kesetaraan gender mendapat tantangan tidak pula menolak cita-cita gerakan baru di atas pentas kehidupan berkeluarga. feminisme, melainkan ingin menegaskan Anak dapat dikatakan sebagai the batas-batas yang khusus untuk laki-laki other dari posisi kedua orang tuanya, yang dan yang khusus untuk perempuan dalam tentunya membutuhkan perlakuan khusus, bingkai memiliki dan kemanusiaan anak akan menjadi alasan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu mengapa kita harus menerima hal-hal pula. Dengan atribut ini anak adalah positif baik yang datang dari sistem sosial individu atau manusia lain yang—tanpa yang partiarkal maupun idealisme kaum disengaja feminis, dan menolak hal-hal negatif yang hak-hak dan istimewa, atas dasar pilihannya kehidupan sendiri—memiliki pertalian darah dan datang hubungan genetis dengan kedua orang konfrotatif itu. tuanya. Sebagai individu dua kubu yang Sisi saling dan Relasi gender dan anak dalam manusia, anak menuntut perlakuan yang tulisan ini akan didekati melalui perspektif humanis dari bapak-ibunya dalam wilayah Humanisme. Manusia (bapak, ibu, dan institusi anak) keluarga. lain dari berkeluarga. ‘Kemanusiaan’ akan dipahami (humanity) sang anak ini seolah adalah kemanusiaannya. garis panjang yang membentang di atas kemampuan alamiah, bidang, intelektualitas, arah-arah lalu menempatkan ibu dan sisi-sisi Kemampuanbakat-bakat pembentukan bapaknya di kedua sisi yang berbeda. karakter Berangkat dari kemanusiaan anak inilah, terhadap nilai-nilai estetisnya adalah sisi- idealisme perjuangan gerakan feminisme sisi ‘kemanusiaan’ manusia yang mesti dan dimengerti, kesetaraan jejak-jejak gender meninggalkan patut dipersoalkan yang yang dibutuhkan, dipahami, apresiasi diperlakukan, dimanfaatkan dengan baik dan optimal. kembali; terdapat celah-celah kosong yang Humanisme, perlu sistem mencurahkan perhatiannya pada sikap partriarkal—dimana toleransi, vitalitas dan nilai penting jiwa, kaum laki-laki banyak mendominasi hak- keindahan fisik dan raga, persahabatan hak perempuan, dan yang selama ini dan dianggap kelembutan, dikritisi. masyarakat yang Sebaliknya, ‘musuh utama’ dan sasaran kritik gerakan feminisme sendiri—tidak dengan keakraban, begitu, akan keperkasaan dan maskulinitas dan feminimitas, dan lain sebagainya. Sisi-sisi Menimbang Relasi Gender dalam Keluarga (Rohinah) |3 kemanusian manusia semacam itu memiliki sebutan secara khusus tentang terhimpun dalam kata humanus (Wilhelm peran seorang ayah dalam mendidik anak. Gossmann, 1978: 52). Ini bukanlah kesalahan, tetapi pengakuan fakta bahwa gambaran inti dalam Pembahasan aktivitas ini adalah ibu. Anak, baik A. Demi Solidaritas Keluarga perempuan atau laki-laki, dari lahir Kaum feminisme meneriakkan hingga menginjak masa puberitas bahwa perempuan memiliki kesetaraan terutama ditunjukkan dari peran ibu dengan laki-laki di hadapan anak. Peran mereka. Eksperiensi sosial dan pengaruh yang dalam yang membentuk mereka adalah hasil dari pendidikan anaknya sangat penting dan apa yang mereka bagi dengan ibu mereka. tidak bisa diabaikan. Para ibu (selain Lukisan seorang ibu di atas lembar menjadi tuntutan) juga merasa memiliki kosong dalam kehidupan anak yang ingin kapasitas yang cukup seperti halnya para ia lukiskan adalah sebuah proses yang bapak berlanjut hingga anak berusia 14 tahun. dimainkan untuk seorang membentuk anak-anaknya. Karena ibu kepribadian itulah, segala Seperti yang dinyatakan Alphonse bentuk diskriminasi yang datang dari adat- Daudet, terdapat kemustahilan untuk istiadat, hukum keluarga, maupun ajaran menambah atau mengurangi apa yang teologi harus ditentang dan ditempatkan telah pada tersebut, bahkan dalam lukisan yang interpretasi yang mendukung kesetaraan kaum ibu dan kaum bapak. tergores dalam pikiran anak terkecil pun (Qasim Amin, 2003: 121). Qasim Amin menginginkan kaum Sayangnya, pembela paham feminisme ini berlebihan dalam menempatkan peran prempuan, perempuan di atas laki-laki untuk konteks memiliki bekal ilmu dan pengetahuan pendidikan yang anak mereka. Tanpa khususnya memadai seorang guna ibu, dapat membedakan jenis kelamin anak yang memperlakukan anaknya dengan sangat lahir apakah laki-laki atau perempuan, baik terlebih dalam urusan pendidikannya. Qasim Amin, seorang intelektual Mesir, Tanpa kecakapan mendidik yang memadai menilai bahwa peran ibu dalam mendidik maka kaum ibu akan melahirkan generasi anak sangatlah membela paham mengatakan: memperhatikan 4| Dengan tegas yang gagal. Sementara itu, kebiasaan dan feminisme dia tradisi di Mesir membatasi ruang gerak pembaca bisa bagi perempuan. Baginya, tradisi Mesir tidak tersebut merupakan perlakukan buruk inti. Para bahwa saya MUWÂZÂH, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012 terhadap perempuan mengancam masa sekaligus depan anak-anak, bisnis), tetapi hukum keluarga tidaklah demikian...( Fatima Mernissi, 1975: 82). menumpulkan jiwa dan perasaan mereka, Hak pengasuhan terhadap anak karena anak akan diasuh oleh kaum ibu masih berpihak kepada kaum laki-laki. yang tidak profesional. Salah satu hukum adat yang ditentang Di samping dukungan penuh atas perempuan, oleh gerakan feminisme berbunyi bahwa kaum feminis menolak pasangan suami-istri yang sudah bercerai dan mengkritik dengan maka anak laki-laki harus tinggal bersama tajam terhadap pola hukum dan adat yang ibunya sampai berusia tujuh tahun, dan tidak adil memperlakukan perempuan anak perempuan sampai usia sembilan (ibu), terutama yang berkaitan dengan tahun. Setelah anak melewati usia asuhan perbedaan dan untuk ibunya maka mereka diserahkan mengasuh anak. Perlakukan tidak adil kepada pihak bapak. Berbeda lagi apabila terhadap mendapat sang ibu yang bercerai memilih menikah legitimasi hukum dan adat, khususnya lagi dengan suami yang baru sebelum dalam dianggap masa pengasuh dilewati maka anak harus sangat kasatmata. Bahkan sekalipun di segera diserahkan kepada pihak bapak ruang-ruang perempuan (Abu al-Yakzan Atiyah al-Jabbouri, 1978: sedikit bisa bernapas lega namun dalam 89). Hukum dan adat semacam itulah urusan keluarga dan hukum keluarga yang dikritik dan ditentang keras-keras mereka Fatima oleh kaum feminis. Mereka menilai, Mernissi misalnya sempat mencatat situasi hukum adat semacam itu sangatlah tidak yang berlangsung di Maroko: Apa yang adil dalam memperlakukan perempuan menjadi dan masih menjadi isu terbesar di yang sesungguhnya memiliki hak yang Marokko sama dengan laki-laki dalam mengasuh terang-terang kesempatan perempuan kehidupan mendidik yang keluarga, sosial-politik masih terpinggirkan. bukan ideologi inferioritas perempuan melainkan seperangkat hukum anak-anak mereka. Aliran dan adat yang menjaga agar status feminisme ini juga perempuan tetap berada di bawah. Yang memiliki ‘tameng’ teologis dalam rangka pertama adalah hukum keluarga yang meloloskan targets and goals perjuangan didasarkan pada otoritas laki-laki. mereka. Perempuan dan laki-laki sederajat Walaupun telah banyak pranata di hadapan Tuhan, khususnya dalam hal dilepaskan dari kontrol hukum-hukum kewajiban agama (QS Al-Ahzab(33): 35). agama Hukuman dijatuhkan tanpa membedakan (misalnya perjanjian/kotrak Menimbang Relasi Gender dalam Keluarga (Rohinah) |5 perbedaan gender (QS an-Nur(24): 2). tahun awal pertumbuhannya seorang anak Ada pula ayat yang menjelaskan tentang harus tinggal bersama ibunya. Para yuris kesamaan hak dan kewajiban antara laki- lain mengatakan bahwa seorang anak di laki dan perempuan, bertindak hak-hak serta larangan usia awal-awal pertumbuhan adalah hak sewenang-wenang terhadap bersama kedua orang tuanya. Namun, kaum perempuan Al- setelah anak menginjak masa dewasa Baqarah (2): 228-229).Sementara di pihak maka bapak memiliki hak penuh untuk yang mengarahkan berseberangan, (QS para pembela dan membentuk dominasi laki-laki atas perempuan juga kepribadiannya. Yang lebih ekstrim lain, berlebihan. Pandangan-pandangan mereka sebagian yuris Islam itu mengatakan terkait porsi waktu untuk mendidik anak bahwa bagi ibu dan bapak tidak sama dan membutuhkan pendidikan dan penanaman mengesankan moralitas maka pihak bapaklah yang ketidakadilan. Dengan seorang anak yang sedang kemampuannya memberi nafkah secara sepenuhnya finansial, mereka kemudian menghukumi jawab untuk itu (Abu al-Yakzan Atiyah bahwa seorang anak harus diserahkan al-Jabbouri, 1978:89). Mengingat otoritas kepada bapaknya dan kaum laki-laki sangat istimewa melebihi dididik. Seorang berhak apa yang dimiliki kaum perempuan, maka merawat dan mengasuh anaknya pada seorang sarjana muslim pembela sistem masa awal-awal pertumbuhannya. Bahkan patriarki ketika pada putrinya, “sekalipun suamimu sekejam pendidikan dan penanam moralitas ke Fir’aun, engkau harus tetap mematuhinya, dalam jiwanya, seorang ibu sama sekali memikul dan menjalankan tugas darinya tidak diberikan porsi untuk itu. dengan seorang Abu untuk ibu diasuh hanya anak butuh Al-Yakzan Atiyah al- berhak dan sempat baik” Ibsheehi, bertanggung berpesan kepada (Muhammad 1981: Ali 112-113). al- Setiap Jabbouri memaparkan beberapa komentar pengarahan yang ditunjuk oleh seorang dari para yuris Islam (ahli hukum islam) suami terhadap istri dan anaknya harus yang rata-rata mendukung dominasi dan diamini, kuasa laki-laki atas perempuan. Ketika Termasuk untuk urusan pendidikan anak, para bapak yuris Islam mempertanyakan siapakah yang berhak mengasuh dan 6| memiliki hak bentuknya. penuh untuk mengarahkannya. mendidikan anak, maka sebagian ahli hukum Islam mengatakan bahwa di tahun- bagaimanapun Dari sudut pandang lain, para penulis kontemporer dari kelompok MUWÂZÂH, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012 pembela atas harta mereka” (QS an-Nisa’ (4): 34) dan perempuan menguraikan peran penting ayat “akan tetapi Para suami, mempunyai keterlibatan bapak/suami dalam keluarga. satu Menurut mereka, patrilinearitas keluarga isterinya” (QS al-Baqarah (2): 228). merupakan sebuah kebijakan yang banyak Kedua ayat ini umumnya menjadi fondasi diamini oleh masyarakat muslim dan bagi bangunan sistem sosial masyarakat bangsa-bangsa barat yang telah modern Muslim yang patriarki. Sehingga hak dan Bahkan pengasuhan anak yang lebih didominasi psikoanalisis modern dan berbagai studi- oleh kepentingan kaum laki-laki dianggap studi kebudayaan kontemporer memiliki telah mendapat restu legitimatif dari kesimpulan yang sama dengan kearifan agama. yang dominasi berperadaban diajarkan laki-laki tinggi. Islam, kelebihan daripada betapa Secara umum, semua pandangan pentingnya peran bapak dalam keluarga. yang datang dari kedua kubu yang saling Keterlibatan konfrontatif seorang keluarga yakni tingkatan laki-laki dan tanggungjawab dalam memasrahkan atas sama-sama menempatkan ‘anak’ pada posisi yang untuk pasif. Sarjana dan ilmuan yang bergabung memiliki pada kubu feminisme maupun yang keuntungan yang tak dapat dipungkiri. menjunjung bendera patriarkalisme tidak Dengan kata lain, kontribusi seorang membaca relasi gender tersebut dari sudut suami dalam sebuah institusi keluarga pandang dan posisi sang anak. Apabila sangat bermanfaat dan menguntungkan sang (Wilfried Ver Eecke, 1988: th). sebagai pihak yang menuntut perlakukan- membesarkan kepadanya di anak-anak, anak ditempatkan pada posisi Sementara dasar teologis yang perlakukan tertentu dari kedua orang banyak diacu oleh para yuris Islam, yang tuanya (bapak-ibu) maka relasi gender keputusan hukumnya mendukung yang mempertentangkan konsekuensi dari kepentingan patriarkal, antaranya sistem masyarakat yang partiarkis dengan di adalah rekomendasi firman suci Al-Quran idealisme dalam ayat “kaum laki-laki itu adalah feminisme, perlu dikaji ulang. yang diusung gerakan Anak’ sebagai manusia yang hadir pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena sebahagian ke dunia berkat dan pasca hubungan mereka (laki-laki) atas sebahagian yang biologis antara laki-laki dan perempuan lain (wanita), dan karena mereka (laki- memiliki hak-hak alamiah atas kedua laki) telah menafkahkan sebagian dari orang tuanya. Sebagai manusia yang utuh, Allah telah melebihkan Menimbang Relasi Gender dalam Keluarga (Rohinah) |7 seorang anak memiliki hak untuk diberi sejarah. Kenyataan dan kebenaran dapat nafkah, dan berubah sesuai perubahan pada language perhatian game ini (Richard Rorty, 1989:. 26). mendapat menerima pendidikan, sentuhan emosional dari dan kedua orang tuanya ‘Kosakata akhir’ dalam konteks (Lembaga Darut Tauhid, 1978: 135-136). pembicaraan kita adalah klaim kebenaran Tanpa diberi makan maka bayi yang baru yang datang dari patriarkalisme maupu lahir tidak akan mampu hidup, tanpa feminisme, sebab tak seorang pun atau tak diberi pendidikan maka rasionalitas anak sekelompok pun yang memiliki sudut akan pandang yang mengatasi sejarah. tumpul, dan tanpa sentuhan emosional-spiritual maka jiwanya akan Paham patriarkalisme merasa bahwa mati. Tiga jenis kebutuhan dasar anak ini kaum laki-laki layak mendapatkan posisi merupakan haknya sekaligus kewajiban yang bagi bapak-ibunya. mendominasi Anak sebagai ‘manusia’ harus diperlakukan sebagai ‘manusia lebih superior atas kaum dan berhak perempuan, setidaknya, karena berangkat dari dua faktor, pertama, konteks historis di seutuhnya’; yang haknya harus dipenuhi masanya, kedua, interpretasi atas ajaran dan kewajibannya dapat ditagih. Kaum teologis. Ayat QS An-Nisa’ (4): 34 dan feminisme maupun kaum patriarkalisme ayat QS An-Nisa’: 4: 124 memberikan tidak semestinya menganggap keyakinan superioritas kelompoknya sendiri sebagai suatu menurut Az-Zamakhsyari, seperti yang ‘kebenaran akhir’ yang tidak dikutip oleh Asghar Ali Engineer, “ayat terbantahkan. Sisi kemanusiaan dan posisi tersebut merujuk pada superioritas laki- sang anak harus dipertimbangkan untuk laki pada konteks sosial yag ada, dan tidak menguji klaim-klaim dalam diskursus punya gender yang berkembang selama ini. menundukkan, atau menindas terhadap Dengan mengacu kepada Wittgensteins, perempuan.” Ayat tersebut turun sebagai Richard Rorty, seorang filsuf aliran nasihat untuk mengontrol kekerasan yang pragmatis menolak dilakukan laki-laki terhadap perempuan adanya ‘kosakata akhir’ yang dapat pada waktu itu, dan untuk menenangkan dipakai sebagai tolok ukur bagi permainan perempuan agar menyesuaikan diri di bahasa (language game). ‘Permainan tengah-tengah masyarakat yang secara bahasa’ absolut didominasi laki-laki. Hal tersebut Amerika ini kenyataan, 8| adalah hakikat, Serikat, diskripsi tentang kebenaran, dan kepada relevansi laki-laki. untuk Namun mengontrol, (pemberian superioritas kepada laki-laki) MUWÂZÂH, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012 adalah keputusan sementara dan bukan teks agama yang selama ini dianggap keputusan abadi... Pada perkembangan mendukung dominasi laki-laki. Kaum berikutnya, para yuris Islam, dalam suatu feminis juga mengkritik secara amat pedas masyarakat yang didominasi laki-laki, dan tajam terhadap praktek-praktek tradisi mengabadikan dan yang patriarkal. Ilmu pengetahuan baru, perempuan kebudayaan baru, dan kebijakan politik inferior di bawah laki-laki dalam semua baru, seluruhnya diformulasikan kembali. kondisi (Asghar Ali Engineer, 2007:253). Studi-studi feminisme berkembang pesat aturan-aturan mendeklarasikan status ini Bahasa pun berubah. Demokrasi, dan kebijakan politik mulai berpihak sebagai salah satu contoh, menjadi sebuah kepada bahasa baru dan diskursus baru yang lahirlah pengamalan akan kebudayaan melabrak semua kebekuan-kebekuan yang baru yang menempatkan perempuan pada selama ini memenjarakan perempuan di posisi yang setara dengan laki-laki. Semua pojok ini tampil sebagai fenomena baru dalam peradaban. Kesadaran akan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki kaum perempuan, sehingga panggung sejarah manusia. di berbagai ranah: politik, ekonomi, sosial, Arti ‘Kemanusiaan’ yang hukum dan agama sebagai dampak dari ditangkap oleh penganjur adanya perubahan dan permainan bahasa, feminisme telah menggantikan melahirkan sebuah gerakan baru yang ‘kemanusiaan’ yang sebelumnya dipahami dikenal dalam patriarkalisme. Sistem dan struktur dengan Kesetaraan sebutan gender feminisme. menjadi sebuah sosial yang patriarkal paham arti beserta ‘bahasa baru’ menggantikan ‘bahasa’ konsekuensi-konsekuensinya yang dianggap usang dan lawas, yakni terbenam dan dibenamkan oleh sistem dan sistem struktur sosial baru, yaitu masyarakat masyarakat Munculnya yang ‘bahasa patriarkal. yang yang menghargai perempuan dan hak- menggantikan ‘bahasa lama’ ini turut haknya. Lantas, bagaimana seandainya menggerakkan sejarah manusia, sehingga kini arti kemanusiaan yang dipuja-puja kaum perempuan mulai mendapatkan hak- oleh kaum feminis dirombak lagi? Apa haknya yang setara dengan laki-laki di yang akan terjadi jika sisi kemanusiaan berbagai pos-pos strategis kehidupan yang anak selama ini tertutup bagi mereka. Kaum patriarki pada moment tertentu, dan pada feminis interpretasi- moment lain kesetaraan gender diperlukan interpretasi teologis baru terhadap teks- dan mesti diterapkan dalam kehidupan melakukan baru’ telah Menimbang Relasi Gender dalam Keluarga (Rohinah) menuntut kelanggengan sistem |9 berkeluarga? ‘Bahasa baru’ apakah yang dan tradisi dalam masyarakat patriarkal pas dan mengandung banyak cacat. Perempuan mendeskripsikan sebuah ‘situasi’ dimana harus ‘duduk sejajar’ dan setara dengan nilai-nilai patriarkalisme maupun nilai- laki-laki, memiliki hak-hak yang sama, nilai secara karena ‘sisi kemanusiaa’ sang anak dan bergantian dalam tempo yang relatif hak-hak beserta kebutuhannya menuntut singkat? yang demikian itu. Bahkan, apabila pada untuk menggambarkan feminisme Sistem dibutuhkan patriarkalisme yang moment-moment tertentu sisi memposisikan laki-laki di atas perempuan kemanusiaan sang anak menuntut seorang dapat ibu mendominasi laki-laki dalam sebuah dibenarkan argumentasinya dan bisa argumentasisecara kehidupan rumah tangga maka dengan rasional bukan karena laki-laki memiliki suka rela laki-laki harus berada di superioritas oleh belakang perempuan, dan ini artinya keyakinan agama maupun adat dan tradisi. perempuanlah yang harus memimpin laki- Laki-laki laki. yang tetap diterima dilegitimasi harus mendominasi perempuan karena ‘sisi kemanusiaan’ sang anak —pada Kondisi sebuah keluarga yang moment-moment relasi-relasi gendernya mengizinkan kaum tertentu—menuntut peranan bapak yang laki-laki mendomiasi kaum perempuan lebih dominan daripada kebutuhan anak pada akan peranan ibu dalam hidupnya. Dengan mendominasi laki-laki pada moment lain, begitu, dan bahkan perempuan dan laki-laki perempuan terpaksa harus moment tertentu, perempuan ‘mengalah’ pada laki-laki apabila tidak memiliki memiliki kapasitas dan kapabilitas yang berikutnya—dimana pergantian dominasi cukup untuk memenuhi hak-hak dan semacam itu boleh saja berlangsung kebutuhan-kebutuhan anak. Sebaliknya, cepat—adalah seruan-seruan feminisme yang hendak tentang makna gender, khususnya di menempatkan posisi perempuan setara lingkungan dengan laki-laki dapat pula dibenarkan penulis, dan bisa feminism)’ adalah metafor baru atau diterima secara rasional bukan saja karena bahasa baru yang menggantikan metafor perempuan secara kodrati dan rasional sebelumnya, yakni feminisme. ‘Metafor memiliki kesederajatan hak dibanding baru’ argumentasi-argumentasinya setara pada sebuah deskripsi baru keluarga. ‘pasca semacam moment Menurut feminisme ini adalah hemat (post- sebuah laki-laki, dan bukan pula karena hukum 10 | MUWÂZÂH, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012 kemungkinan yang juga diamini oleh perbedaan gender antara laki-laki dan Rorty (Richard Rorty, Tt: 63). perempuan; antara bapak dan ibu, perlu Post-feminisme adalah metafor diabaikan. Sebaliknya, bapak-ibu turut untuk mendeskripsikan sebuah kondisi merasakan keluarga yang relasi-relasi gendernya dibutuhkan untuk kebaikan anak, dan seperti Penerimaan siapa yang paling mampu memberikan sekaligus penolakan terhadap praktek dan memenuhi hak-hak anak maka dialah sistem patriarkalisme maupun feminisme yang harus di depan. Pergantian dominasi bukan karena kedua-duanya merupakan apakah pandangan yang rasional, perintah agama, perempuan (kaum ibu) yang harus di dan tuntutan adat dan tradisi. Melainkan depan, atau bahkan ada kesetaraan di hak-hak sang anak harus dipenuhi secara antara optimal oleh bapak-ibunya. Kualitas- kemampuan mereka untuk memberikan kualitas bahan apa yang terbaik buat anak-anak mereka, dominasi adalah bentuk solidaritas keluarga sebagai yang orang pertimbangan, demikian. tua dan menjadi soal apa laki-laki yang dirasakan (kaum mereka, bapak) disebabkan dan atau oleh ditentukan oleh siapa yang berkualitas bagian lebih baik. Apabila seorang bapak dan ibu diinginkan Rorty (Richard Rorty, Th: memperhatikan 307). kualitas diri masing- dari solidaritas sosial yang masing maka mereka dapat bersepakat dalam menentukan kualitas manakah yang paling dibutuhkan oleh sang anak dan siapakah yang mampu B. Bukan Sekedar Seorang Anak Hal penting berikutnya adalah status memberikan anak sebagai manusia seutuhnya. Manusia perlakuan terbaik pada anaknya. Dari memiliki kompleksitas pemaknaan yang kesepakatan bapak dan ibu sebagai orang tidak bisa direduksi begitu saja. Status tua dari sang anak inilah akan muncul sebagai anak adalah status komunikasi solidaritas dalam keluarga. yang melekat pada seorang individu Solidaritas ini, menurut Rorty, manusia yang lahir dari laki-laki dan tidak perlu didefinisikan secara metafisis perempuan, yang kelak disebut dengan melainkan dialami secara sentimental. istilah Sentimentalitas menurut Rorty, adalah keluarga. Individu yang dilahirkan ini kemampuan tidak cukup hanya diberi satu status, yakni untuk perbedaan-perbedaan. mengabaikan Dalam ‘bapak-ibu’, dalam sebuah konteks sebagai seorang anak bagi ibu-bapaknya. relasi gender sebuah institusi keluarga, Status sebagai ‘manusia utuh’ yang Menimbang Relasi Gender dalam Keluarga (Rohinah) | 11 berhak memiliki berbagai status lain di terjadinya kemudian setelah perempuan, atau dominasi perempuan atas menginjak usia dewasa kelak, adalah lebih laki-laki, atau adanya kesetaraan antara tepat Status laki-laki dan perempuan, dalam sebuah sebagai seorang anak hanyalah satu dari institusi keluarga merupakan kondisi yang sekian banyak banyak status lain yang sah dan dapat dibenarkan—sepanjang potensial disandang oleh individu yang ditemukan dilahirkan dengan antara anak dan bapak-ibunya. Jika kita menyematkan status sebagai ‘manusia sepakat menyebut kondisi sebuah keluarga utuh’ pada individu yang dilahirkan maka yang diskursus-diskursus yang didengungkan terminologis ‘pasca feminisme (post- dalam patriarkalisme maupun feminisme feminism)’, seperti yang sudah untuk disampaikan di maka wacana kiranya hari, terutama disandangkan itu. Karenanya, konteks perlu padanya. kehidupan dikaji keluarga, laki-laki kesepakatan semacam ini atau kontrak dengan atas, atas sebutan Sebagai patriarkalisme dan feminisme menjadi manusia utuh, individu yang dilahirkan metafor usang yang sudah kritis dengan dapat berdiri tegak untuk membangun hadirnya metafor baru ini post-feminism. ‘kontrak-kontrak’ kesepakatan- Post-feminism tidak lain hanya kesepakatan bersama individu-individu ingin menempatkan seorang anak pada lain yang disebut sebagai bapak-ibunya. status Individu yang dilahirkan ini, dengan melepaskannya sistem komunikasi yang statusnya sebagai manusia utuh, dapat saja sempit (sebatas berperan sebagai seorang melepas statusnya sebagai seorang anak, anak), atau boleh saja melengkapinya dengan ‘mendamaikan’ status dalam lain dan ulang. dominasi yang membangun dibutuhkan relasi, kontrak, dalam dan Seorang kemanusiaannya dan yang terpenting permusuhan patriarkalisme filosuf secara dan Jerman utuh, untuk diskursif feminisme. kontemporer kesepakatan bersama bapak-ibunya dalam Niklas Luhmann memberikan pencerahan kehidupan keluarga. kepada kita tentang ‘kemanusiaan Berangkat dari kenyataan bahwa manusia’. Bagi Niklas, manusia bukan seorang anak tidak sekedar menyandang bagian masyarakat melainkan bagian dari status sebagai anak melainkan juga dapat lingkungan masyarakat. Secara teoritis memiliki berbagai status lain dalam Niklas memberikan penjabaran tentang berkomunikasi distingsi maka 12 | dengan bapak-ibunya, kemungkinan-kemungkinan (perbedaan) antara sistem (system) dan lingkungan (umwelt). Sistem MUWÂZÂH, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012 selalu berupa reduksi besar-besaran kehidupan keluarga. Tingkat kepentingan terhadap kompleksitas yang dimiliki oleh dan kebutuhan yang berbeda dari anak lingkugan. Sementara lingkungan selalu terhadap lebih kompleks dan lebih rumit dari juga terhadap tingkat dominasi laki-laki sekedar yang maupun perempuan dalam keluarga yang sangat relevan dalam tema pembahasan bersangkutan. Boleh jadi, patriarkalisme, kita ini adalah bahwa bahwa manusia matriarkalisme, dan feminisme secara tidak lagi menjadi ukuran masyarakat bergantian dibutuhkan untuk diterapkan (Niklas Luhmann, 1995: 213). dalam satu keluarga yang sama dan dalam sistem. Pernyataannya Seorang anak sebagai manusia yang seluruh sisi bapak-ibunya mempengaruhi tempo yang relatif singkat. kemanusiaannya Post-feminism ingin juga dihargai bukan sekedar sebagai sekedar memperkenalkan bahwa seorang anak seorang anak. Sebab terminologi ‘anak’ sebagai individu merupakan semacam hanya dapat dipahami apabila direlasikan ‘masyarakat’ yang memiliki kompleksitas pada yang sistem dalam dirinya sendiri. Menurut menjadi penyebab kelahirannya di dunia. Niklas, manusia memiliki kemajemukan Terminologi ‘anak’ menjadi tidak relevan internal sehingga ia tidak bisa dibatasi apabila relasi tersebut diarahkan pada oleh sistem-sistem tertentu yang sempit. individu-individu lain, sehingga ia bisa Karenanya, seorang anak yang telah memiliki status sebagai seorang cucu bagi menanggalkan statusnya sebagai anak atau kakek-neneknya, kemenakan bagi paman- melengkapinya dengan status lain yang bibinya, suami bagi istrinya, istri bagi dibutuhkan, maka ia memiliki kebebasan suaminya, bahkan bapak atau ibu bagi untuk ‘bersekutu’ dengan siapa saja yang anak-anaknya kelak. Seorang anak yang dikehendakinya. Dalam ruang lingkup ditempatkan utuh yang terbatas, yakni kehidupan keluarga, memiliki kompleksitas yang jauh lebih seorang anak boleh saja bersekutu dengan rumit. Status sebagai anak hanyalah satu bapaknya dengan porsi yang jauh lebih sistem relasi dari sekian banyak sistem besar dibanding ibunya. Atau, pada relasi lainnya. Pada titik kompleksitas moment inilah pertimbangan-pertimbangan menyediakan porsi yang lebih besar untuk kepentingan dan kebutuhan anak akan ibunya dibanding bapaknya. Bahkan, pada mempengaruhi laki-laki dimainkan dan perempuan sebagai oleh peranan manusia lain seorang anak lebih yang harus waktu dan kesempatan tertentu bapak dan bapak-ibunya dalam ibunya ditempatkan pada level yang Menimbang Relasi Gender dalam Keluarga (Rohinah) | 13 setara. Dengan kata lain, seorang anak berlangsung selama ini dalam rata-rata tidak kehidupan keluarga. bertindak pasif seperti yang berlangsung selama ini, sehingga klaimklaim kebenaran dari patriarkalisme dan feminisme mengambil sudut pandang dari C. Membebaskan Anak Hasil Konvensi Hak-Hak Anak yang diri mereka sendiri. Sebaliknya, seorang disetujui anak harus berada pada posisi yang aktif (PBB) pada 20 November 1989 di Bagian dan dapat menentukan pilihannya sendiri, I Pasal (1) berbunyi: “untuk digunakan sehingga dari dalam konvensi yang sekarang ini, anak patriarkalisme maupun feminisme baru berarti setiap manusia yang berusia di dapat mendapat bawah delapan belas tahun kecuali, persetujuan bersama. Di samping akan berdasarkan undang-undang yang berlaku terbentuk untuk klaim-klaim dibenarkan kebenaran setelah solidaritas dalam keluarga, Perserikatan anak-anak, Bangsa-Bangsa kedewasaan telah seorang anak juga berperan tidak sekedar dicapai lebih cepat” (United Nations sebagai anak melainkan juga sebagai Convention on the Rights of the Child, patner bersama. 1989: Th).Sudut pandang dalam konvensi Status bapak- PBB ini adalah tingkat kedewasaan dan terkesan usia. Dari sudut pandang lain, hukum sebagai sesuatu yang ‘irrasional’ dan tradisi maupun ajaran teologis melekatkan ‘immoral’ jika dilihat dari kacamata status anak pada seorang individu untuk pemaknaan terhadap kosakata anak dalam kurun lingkup setidaknya sepanjang kedua orangtuanya ibunya, sebagai misalnya, patner memang keluarganya, terutama bagi waktu selama-lamanya atau bapak-ibunya. Menanggalkan status anak masih hidup. dan menggantinya dengan status patner, atas—usia anak dan relasi hirarkisnya misalnya, sama halnya dengan memaksa dengan orang tua—merupakan hakikat- bapak-ibunya untuk menanggalkan pula hakikat status mereka sebagai bapak dan ibu, lalu mendeskripskan dan memahami siapa menggantinya pula dengan status sebagai manusia yang disebut ‘anak’. Pada point patner. Namun, kemanusiaan seorang ini kemanusiaan anak yang kompleks dan anak yang utuh memperbolehkan tindakan utuh kembali direduksi, dan anak sebagai yang irrasional dan immoral terhadap ‘Ada’ (being) tidak cukup dipahami hanya sistem komunikasi yang telah usang dan sekedar dari kategori usia maupun relasi 14 | Kedua sudut pandang di yang digunakan untuk MUWÂZÂH, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012 hirarkisnya dengan orang lain (bapak- disetarakan dengan the others (bapak- ibunya). ibunya). Penempatan bapak dan ibu Seorang anak harus dilepaskan dari hakikat-hakikat yang selalu tidak sebagai the others bagi sang anak berpengaruh pada pendefinisian mereka mencukupi untuk mendefinisikan ke-Ada- sebagai annya, yang kompleksitas dan lebih rumit. tinggi dari anak-anak mereka. Sebaliknya, Dengan mencukupkan diri pada sudut dengan menempatkan bapak dan ibu pandang-sudut pandang yang ditawarkan sebagai the others maka kesetaraan akan oleh tercipta, hukum tradisi, ajaran teologis, individu-individu kontrak yang dan lebih kesepatakan maupun konvensi apapun, sama halnya dimungkinkan terjalin dengan baik, dan dengan tentunya susunan khirarkis akan sedikit mengkerangkeng kemanusiaan seorang anak pada hakikat tertentu. terkikis. Padahal, merupakan kompleksitas kemanusiaan anak direduksi pengungkapan atau pemahaman tentang dan dipenjarakan dalam definisi substantif bagaimana ‘Ada’ itu ditangkap. Menurut yang tunggal maka susunan khirarkis filsuf besar abad ke-20, Martin Heidegger, antara humanisme terjadi. hakikat melupakan hubungan ‘hakikat’ itu dengan ‘Ada’ (being) (Martin Heideggger, 1978: 202). Dengan Berbeda anak dan lagi apabila bapak-ibunya akan Pembebasan anak dari hakikathakikat di atas juga berpengaruh pada membebaskan anak dari hakikat-hakikat upaya yang diciptakan maka kemanusiaannya melibatkan patriarkalisme dan feminisme. akan betul-betul dihargai. Dua kubu ini saling berseberangan karena Dengan membebaskan anak dari mendamaikan ‘konflik’ yang mereka memiliki hakikat pemaknaan yang hakikat-hakikat tersebut maka selanjutnya berbeda ia akan memasuki kemanusiaan yang sehingga masing-masing dari mereka universal seperti yang dikehendaki oleh merasa humanisme itu sendiri. Seperti yang memperlakukan dikatakan oleh Dr. F. Budi Hardiman, perspektif mereka sendiri. Membebaskan kemanusiaan humanisme anak dari hakikat-hakikat yang diproduksi didesentralisasikan dan dipluralisasikan dalam patriarkalisme dan feminisme ini (Dr. F. Budi Hardiman, 2009: Th). Dalam sama halnya dengan menyadarkan kaum hal ini, kemanusiaan seorang anak hanya bapak dan kaum ibu tentang kemanusiaan dapat dipahami secara utuh apabila ia sang anak yang kompleks dan bukan universal Menimbang Relasi Gender dalam Keluarga (Rohinah) tentang anak-anak memiliki sang mereka, hak untuk anak menurut | 15 sekedar sosok manusia yang mereka seorang anak bagi kedua orang tuanya. lahirkan. Sebab, menurut Heidegger, Seorang anak adalah manusia utuh, yang ‘hakikat’ berbeda dengan ‘Ada’, dan bebas dan mampu menentukan kontrak- hakikat-hakikat yang kontrak tertentu dengan bapak-ibunya. dipahami oleh kaum patriarkalis maupun Kebebasan sang anak di sini menciptakan kaum feminis berbeda dengan hakikat semacam ‘ruang kosong’ dalam sistem anak sebagai manusia yang kompleks. kehidupan berkeluarga, dan ruang kosong Karenanya, tersebut dapat dimasuki secara bebas dan tentang anak membebaskan anak dari hakikat yang mereka produksi adalah bergantian langkah menuju pendamaian diskursi, patriarkalisme maupun feminisme. Pada pembentukan solidaritas keluarga, dan model gerbang untuk memasuki wacana post- keluarga dan kebebasan anak tercipta. feminism. Bahkan, sistem sosial yang patriarkis oleh semacam klaims-klaims inilah, dalam solidaritas maupun gambaran ideal dalam bayangan gerakan feminis bukan dua hal yang saling Penutup yang bertabrakan melainkan dua hal yang dapat memberikan superioritas laki-laki atas saling mengalah serta saling memberikan perempuan mengklaims anak harus berada peluang. Tradisi dibawah dan hukum perintah, adat asuhan, didikan, pengawasan bapaknya, sementara sang DAFTAR PUSTAKA ibu hanya diberi porsi yang sangat sedikit. praktek al-Ibsheehi, Muhammad Ali, 1981, Rasâil tradisi semacam itu beserta segala macam ila Ibnati, Baeirut: Mu’assaset al- argumentasi Risalah Gerakan feminisme menolak pembenarnya. Tuntutan utama gerakan ini adalah kesetaraan gender antara perempuan laki-laki (ibu), (bapak) dalam dan konteks pembahasan ini mengenai hak-hak ibu al-Jabbouri, Abu al-Yakzan Atiyah, 1978, al-Hadits al-Syarif wa Ahkamah, Kairo: Dar al-Anshar, Amin, Qasim, 2003, Sejarah Penindasan Perempuan, menggugat islam laki- atas anaknya. ini laki, menggurat perempuan baru, mendapatkan tantangannya ketika seorang terj. Syariful Alam, Yogyakarta: anak dipahami sebagai manusia utuh yang IRCiSoD Wacana kesetaraan kompleks, dan bukan sekedar sebagai 16 | MUWÂZÂH, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012 Dokumen United Nations Convention on the Rights of the Child, 20 November 1989. Eecke, Wilfried Phenomenology Metaphor Ver, 1988, and Pateral melalui and studi psikoanalisisnya, juga memberikan uraian yang panjang lebar tentang pentingnya 2009, makalah “Humanisme dan Para Kritikusnya” Sabtu 13 Juni 2009. Phenomenology Psychoanalysis, Hardiman, F. Budi, hubugan anak-ayah semacam ini. Engineer, Asghar Ali, 2007, Pembebasan Heideggger, Martin, 1978, “Letter on Humanism”, Heidegger Martin Basics Writtings, Routledge & Kegan Paul, London Luhmann, Niklas, 1995, Social Systems, Stanford University Press, Stanford Mernissi, Fatima, 1975, Beyond the Veil; Male-Female Dynamics in a Modern Muslim Society, Cambridge, Perempuan, terj. Agus Nuryanto, Mass: cet. II, Yogyakarta: LKiS Company Gossmann, Wilhelm, 1978, Deutsche dalam: Shenkman Publishing Rorty, Richard, 1989, Kontingenz, Ironie Kulturgeschichte im Grudriss, Max und Hueer Verlag, Ismaning, Frankfurt a.M., Menimbang Relasi Gender dalam Keluarga (Rohinah) Solidarität, Suhrkamp, | 17