menimbang relasi gender dalam keluarga (sebuah tela`ah kritis

advertisement
MENIMBANG RELASI GENDER DALAM KELUARGA
(SEBUAH TELA’AH KRITIS-FILOSOFIS-HUMANISTIK)
Rohinah
Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga
[email protected]
Abstract: The discourse of gender equality as promoted by the feminist movement is
intended to criticize the practice of the tradition in which men dominate women in various
lines of life, including family life and more specifically is in relation to the child. Such
patriarchialism gains legitimacy from many directions, including from the customary laws,
traditions, and theological-philosophical. Apart from the discursive conflict, both sides
that are opposite each other have the same attitude in treating their child to build a
discourse concerning their rights to the child. In this condition, the child is as passive
party, where he is just a dead object and has no contribution during the determination of
the rights of parents over their children. Criticism also comes with a reverse way of
thinking, which puts the child in an active position, the object of life, and contributes. The
rights of fathers and mothers that have established and understood differently as in
patriarchialism and feminism then reformulated. This reformulation leads to a new
discourse that could be called a post-feminism.
Keywords : Patriarkalisme, Feminisme, Post-feminisme
Abstrak: Wacana kesetaraan gender seperti yang dipromosikan oleh gerakan feminis
dimaksudkan untuk mengkritik praktek tradisi di mana laki-laki mendominasi perempuan
dalam berbagai lini kehidupan , termasuk kehidupan keluarga dan lebih khusus dalam
kaitannya dengan anak . Seperti keuntungan patriarchialism legitimasi dari berbagai arah ,
termasuk dari hukum adat , tradisi , dan teologis - filosofis . Terlepas dari konflik diskursif
, kedua belah pihak yang saling berlawanan memiliki sikap yang sama dalam mengobati
anak mereka untuk membangun wacana tentang hak-hak mereka untuk anak . Dalam
kondisi ini , anak sebagai pihak yang pasif , di mana ia hanya benda mati dan tidak
memiliki kontribusi dalam penentuan hak-hak orang tua atas anak-anak mereka . Kritik
Menimbang Relasi Gender dalam Keluarga (Rohinah)
|1
juga datang dengan cara kebalikan dari berpikir , yang menempatkan anak dalam posisi
aktif , objek hidup , dan memberikan kontribusi . Hak-hak ayah dan ibu yang telah
ditetapkan dan dipahami secara berbeda seperti di patriarchialism dan feminisme kemudian
dirumuskan . Reformulasi ini mengarah ke wacana baru yang bisa disebut post - feminisme
Kata Kunci : Patriarkalisme, Feminisme, Post-feminisme
perbedaan yang tidak dapat dinafikan,
Pendahuluan
Sejauh ini diskursus kesetaran gender
dimana kesetaraan model apapun tidak
dan gerakan feminisme tidak terbendung
dapat menggantikannya. Sehingga dengan
lagi. Kaum perempuan memperjuangkan
begitu, susunan yang hirarkis harus tetap
hak-haknya dengan mengusung nilai-nilai
ada dalam relasi gender, sekalipun tidak
dan filosofi kesataraan antara perempuan
mesti laki-laki yang mendominasi, dimana
dan
posisi perempuan terkadang harus di
laki-laki.
Perjuangan
gerakan
feminisme seoalah-olah telah berhasil
‘depan’.
Kehadiran
menembus batas-batas yang selama ini
disebut
itu dibuktikan dengan adanya kesempatan
mempertegas batas-batas perbedaan antara
dan kesetaraan bagi perempuan untuk
laki-laki dan perempuan. Dalam sebuah
mendapatkan hak-haknya di berbagai
institusi
lapangan kerja, pentas politik, di hadapan
dicerabut dari status dan perannya sebagai
hukum,
yang
tolok ukur untuk melihat sisi perbedaan
laki-laki.
dan persamaan pada kedua orang tuanya.
feminisme
Hak-hak anak adalah sangat penting
selanjutnya menjelma raksasa ‘kebenaran’
diperhatikan guna mencegah kesewenang-
yang
wenangan kaum ibu dalam menuntut
sebelumnya
Diskursus
ranah
domestik
didominasi
kesetaraan
mengerikan
dan
dan
mengancam.
keluarga,
‘anak’
yang
tertutup untuk perempuan. Keberhasilan
dan
dengan
‘pihak-ketiga’
anak
semakin
tidak
dapat
yang
haknya dari kaum bapak, sehingga pada
direbutnya dari kuasa patriarki, ia abai
moment tertentu kaum ibu harus rela
akan ‘celah-celah’ kekurangan dirinya
memberikan dominasi yang lebih terhadap
sendiri, sehingga batas-batas tertentu dan
kaum laki-laki. Begitu pula kaum bapak
hak-hak tertentu dilibas secara ‘anarki’.
harus mempertimbangkan hak-hak anak,
Kaum perempuan dan kaum laki-laki
agar pada kondisi tertentu dengan rendah
secara kodrati dan alamiah memiliki
hati mengakui bahwa kaum perempuan
Dengan
2|
mahkota
kemenangan
MUWÂZÂH, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012
lebih berhak berada di depan untuk
sepenuhnya berwajah buruk. Tulisan ini
memimpin. Dengan begitu, diskursus
tidak untuk membela sistem patriarki dan
kesetaraan gender mendapat tantangan
tidak pula menolak cita-cita gerakan
baru di atas pentas kehidupan berkeluarga.
feminisme, melainkan ingin menegaskan
Anak dapat dikatakan sebagai the
batas-batas yang khusus untuk laki-laki
other dari posisi kedua orang tuanya, yang
dan yang khusus untuk perempuan dalam
tentunya membutuhkan perlakuan khusus,
bingkai
memiliki
dan
kemanusiaan anak akan menjadi alasan
mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu
mengapa kita harus menerima hal-hal
pula. Dengan atribut ini anak adalah
positif baik yang datang dari sistem sosial
individu atau manusia lain yang—tanpa
yang partiarkal maupun idealisme kaum
disengaja
feminis, dan menolak hal-hal negatif yang
hak-hak
dan
istimewa,
atas
dasar
pilihannya
kehidupan
sendiri—memiliki pertalian darah dan
datang
hubungan genetis dengan kedua orang
konfrotatif itu.
tuanya.
Sebagai
individu
dua
kubu
yang
Sisi
saling
dan
Relasi gender dan anak dalam
manusia, anak menuntut perlakuan yang
tulisan ini akan didekati melalui perspektif
humanis dari bapak-ibunya dalam wilayah
Humanisme. Manusia (bapak, ibu, dan
institusi
anak)
keluarga.
lain
dari
berkeluarga.
‘Kemanusiaan’
akan
dipahami
(humanity) sang anak ini seolah adalah
kemanusiaannya.
garis panjang yang membentang di atas
kemampuan
alamiah,
bidang,
intelektualitas,
arah-arah
lalu
menempatkan
ibu
dan
sisi-sisi
Kemampuanbakat-bakat
pembentukan
bapaknya di kedua sisi yang berbeda.
karakter
Berangkat dari kemanusiaan anak inilah,
terhadap nilai-nilai estetisnya adalah sisi-
idealisme perjuangan gerakan feminisme
sisi ‘kemanusiaan’ manusia yang mesti
dan
dimengerti,
kesetaraan
jejak-jejak
gender
meninggalkan
patut
dipersoalkan
yang
yang
dibutuhkan,
dipahami,
apresiasi
diperlakukan,
dimanfaatkan dengan baik dan optimal.
kembali; terdapat celah-celah kosong yang
Humanisme,
perlu
sistem
mencurahkan perhatiannya pada sikap
partriarkal—dimana
toleransi, vitalitas dan nilai penting jiwa,
kaum laki-laki banyak mendominasi hak-
keindahan fisik dan raga, persahabatan
hak perempuan, dan yang selama ini
dan
dianggap
kelembutan,
dikritisi.
masyarakat
yang
Sebaliknya,
‘musuh utama’ dan sasaran
kritik gerakan feminisme sendiri—tidak
dengan
keakraban,
begitu,
akan
keperkasaan
dan
maskulinitas
dan
feminimitas, dan lain sebagainya. Sisi-sisi
Menimbang Relasi Gender dalam Keluarga (Rohinah)
|3
kemanusian
manusia
semacam
itu
memiliki sebutan secara khusus tentang
terhimpun dalam kata humanus (Wilhelm
peran seorang ayah dalam mendidik anak.
Gossmann, 1978: 52).
Ini bukanlah kesalahan, tetapi pengakuan
fakta
bahwa
gambaran
inti
dalam
Pembahasan
aktivitas ini adalah ibu. Anak, baik
A. Demi Solidaritas Keluarga
perempuan atau laki-laki, dari lahir
Kaum
feminisme
meneriakkan
hingga
menginjak
masa
puberitas
bahwa perempuan memiliki kesetaraan
terutama ditunjukkan dari peran ibu
dengan laki-laki di hadapan anak. Peran
mereka. Eksperiensi sosial dan pengaruh
yang
dalam
yang membentuk mereka adalah hasil dari
pendidikan anaknya sangat penting dan
apa yang mereka bagi dengan ibu mereka.
tidak bisa diabaikan. Para ibu (selain
Lukisan seorang ibu di atas lembar
menjadi tuntutan) juga merasa memiliki
kosong dalam kehidupan anak yang ingin
kapasitas yang cukup seperti halnya para
ia lukiskan adalah sebuah proses yang
bapak
berlanjut hingga anak berusia 14 tahun.
dimainkan
untuk
seorang
membentuk
anak-anaknya.
Karena
ibu
kepribadian
itulah,
segala
Seperti
yang
dinyatakan
Alphonse
bentuk diskriminasi yang datang dari adat-
Daudet, terdapat kemustahilan untuk
istiadat, hukum keluarga, maupun ajaran
menambah atau mengurangi apa yang
teologi harus ditentang dan ditempatkan
telah
pada
tersebut, bahkan dalam lukisan yang
interpretasi
yang
mendukung
kesetaraan kaum ibu dan kaum bapak.
tergores
dalam
pikiran
anak
terkecil pun (Qasim Amin, 2003: 121).
Qasim Amin menginginkan kaum
Sayangnya, pembela paham feminisme ini
berlebihan dalam menempatkan peran
prempuan,
perempuan di atas laki-laki untuk konteks
memiliki bekal ilmu dan pengetahuan
pendidikan
yang
anak
mereka.
Tanpa
khususnya
memadai
seorang
guna
ibu,
dapat
membedakan jenis kelamin anak yang
memperlakukan anaknya dengan sangat
lahir apakah laki-laki atau perempuan,
baik terlebih dalam urusan pendidikannya.
Qasim Amin, seorang intelektual Mesir,
Tanpa kecakapan mendidik yang memadai
menilai bahwa peran ibu dalam mendidik
maka kaum ibu akan melahirkan generasi
anak
sangatlah
membela
paham
mengatakan:
memperhatikan
4|
Dengan
tegas
yang gagal. Sementara itu, kebiasaan dan
feminisme
dia
tradisi di Mesir membatasi ruang gerak
pembaca
bisa
bagi perempuan. Baginya, tradisi Mesir
tidak
tersebut merupakan perlakukan buruk
inti.
Para
bahwa
saya
MUWÂZÂH, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012
terhadap
perempuan
mengancam
masa
sekaligus
depan
anak-anak,
bisnis), tetapi hukum keluarga tidaklah
demikian...( Fatima Mernissi, 1975: 82).
menumpulkan jiwa dan perasaan mereka,
Hak pengasuhan terhadap anak
karena anak akan diasuh oleh kaum ibu
masih berpihak kepada kaum laki-laki.
yang tidak profesional.
Salah satu hukum adat yang ditentang
Di samping dukungan penuh atas
perempuan,
oleh gerakan feminisme berbunyi bahwa
kaum
feminis
menolak
pasangan suami-istri yang sudah bercerai
dan
mengkritik
dengan
maka anak laki-laki harus tinggal bersama
tajam terhadap pola hukum dan adat yang
ibunya sampai berusia tujuh tahun, dan
tidak adil memperlakukan perempuan
anak perempuan sampai usia sembilan
(ibu), terutama yang berkaitan dengan
tahun. Setelah anak melewati usia asuhan
perbedaan
dan
untuk ibunya maka mereka diserahkan
mengasuh anak. Perlakukan tidak adil
kepada pihak bapak. Berbeda lagi apabila
terhadap
mendapat
sang ibu yang bercerai memilih menikah
legitimasi hukum dan adat, khususnya
lagi dengan suami yang baru sebelum
dalam
dianggap
masa pengasuh dilewati maka anak harus
sangat kasatmata. Bahkan sekalipun di
segera diserahkan kepada pihak bapak
ruang-ruang
perempuan
(Abu al-Yakzan Atiyah al-Jabbouri, 1978:
sedikit bisa bernapas lega namun dalam
89). Hukum dan adat semacam itulah
urusan keluarga dan hukum keluarga
yang dikritik dan ditentang keras-keras
mereka
Fatima
oleh kaum feminis. Mereka menilai,
Mernissi misalnya sempat mencatat situasi
hukum adat semacam itu sangatlah tidak
yang berlangsung di Maroko: Apa yang
adil dalam memperlakukan perempuan
menjadi dan masih menjadi isu terbesar di
yang sesungguhnya memiliki hak yang
Marokko
sama dengan laki-laki dalam mengasuh
terang-terang
kesempatan
perempuan
kehidupan
mendidik
yang
keluarga,
sosial-politik
masih
terpinggirkan.
bukan
ideologi
inferioritas
perempuan melainkan seperangkat hukum
anak-anak mereka.
Aliran
dan adat yang menjaga agar status
feminisme
ini
juga
perempuan tetap berada di bawah. Yang
memiliki ‘tameng’ teologis dalam rangka
pertama adalah hukum keluarga yang
meloloskan targets and goals perjuangan
didasarkan
pada
otoritas
laki-laki.
mereka. Perempuan dan laki-laki sederajat
Walaupun
telah
banyak
pranata
di hadapan Tuhan, khususnya dalam hal
dilepaskan dari kontrol hukum-hukum
kewajiban agama (QS Al-Ahzab(33): 35).
agama
Hukuman dijatuhkan tanpa membedakan
(misalnya
perjanjian/kotrak
Menimbang Relasi Gender dalam Keluarga (Rohinah)
|5
perbedaan gender (QS an-Nur(24): 2).
tahun awal pertumbuhannya seorang anak
Ada pula ayat yang menjelaskan tentang
harus tinggal bersama ibunya. Para yuris
kesamaan hak dan kewajiban antara laki-
lain mengatakan bahwa seorang anak di
laki
dan
perempuan,
bertindak
hak-hak
serta
larangan
usia awal-awal pertumbuhan adalah hak
sewenang-wenang
terhadap
bersama kedua orang tuanya. Namun,
kaum
perempuan
Al-
setelah anak menginjak masa dewasa
Baqarah (2): 228-229).Sementara di pihak
maka bapak memiliki hak penuh untuk
yang
mengarahkan
berseberangan,
(QS
para
pembela
dan
membentuk
dominasi laki-laki atas perempuan juga
kepribadiannya. Yang lebih ekstrim lain,
berlebihan. Pandangan-pandangan mereka
sebagian yuris Islam itu mengatakan
terkait porsi waktu untuk mendidik anak
bahwa
bagi ibu dan bapak tidak sama dan
membutuhkan pendidikan dan penanaman
mengesankan
moralitas maka pihak bapaklah yang
ketidakadilan.
Dengan
seorang
anak
yang
sedang
kemampuannya memberi nafkah secara
sepenuhnya
finansial, mereka kemudian menghukumi
jawab untuk itu (Abu al-Yakzan Atiyah
bahwa seorang anak harus diserahkan
al-Jabbouri, 1978:89). Mengingat otoritas
kepada
bapaknya
dan
kaum laki-laki sangat istimewa melebihi
dididik.
Seorang
berhak
apa yang dimiliki kaum perempuan, maka
merawat dan mengasuh anaknya pada
seorang sarjana muslim pembela sistem
masa awal-awal pertumbuhannya. Bahkan
patriarki
ketika
pada
putrinya, “sekalipun suamimu sekejam
pendidikan dan penanam moralitas ke
Fir’aun, engkau harus tetap mematuhinya,
dalam jiwanya, seorang ibu sama sekali
memikul dan menjalankan tugas darinya
tidak diberikan porsi untuk itu.
dengan
seorang
Abu
untuk
ibu
diasuh
hanya
anak
butuh
Al-Yakzan
Atiyah
al-
berhak
dan
sempat
baik”
Ibsheehi,
bertanggung
berpesan
kepada
(Muhammad
1981:
Ali
112-113).
al-
Setiap
Jabbouri memaparkan beberapa komentar
pengarahan yang ditunjuk oleh seorang
dari para yuris Islam (ahli hukum islam)
suami terhadap istri dan anaknya harus
yang rata-rata mendukung dominasi dan
diamini,
kuasa laki-laki atas perempuan. Ketika
Termasuk untuk urusan pendidikan anak,
para
bapak
yuris
Islam
mempertanyakan
siapakah yang berhak mengasuh dan
6|
memiliki
hak
bentuknya.
penuh
untuk
mengarahkannya.
mendidikan anak, maka sebagian ahli
hukum Islam mengatakan bahwa di tahun-
bagaimanapun
Dari sudut pandang lain, para
penulis
kontemporer
dari
kelompok
MUWÂZÂH, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012
pembela
atas
harta mereka” (QS an-Nisa’ (4): 34) dan
perempuan menguraikan peran penting
ayat “akan tetapi Para suami, mempunyai
keterlibatan bapak/suami dalam keluarga.
satu
Menurut mereka, patrilinearitas keluarga
isterinya” (QS al-Baqarah (2): 228).
merupakan sebuah kebijakan yang banyak
Kedua ayat ini umumnya menjadi fondasi
diamini oleh masyarakat muslim dan
bagi bangunan sistem sosial masyarakat
bangsa-bangsa barat yang telah modern
Muslim yang patriarki. Sehingga hak
dan
Bahkan
pengasuhan anak yang lebih didominasi
psikoanalisis modern dan berbagai studi-
oleh kepentingan kaum laki-laki dianggap
studi kebudayaan kontemporer memiliki
telah mendapat restu legitimatif dari
kesimpulan yang sama dengan kearifan
agama.
yang
dominasi
berperadaban
diajarkan
laki-laki
tinggi.
Islam,
kelebihan
daripada
betapa
Secara umum, semua pandangan
pentingnya peran bapak dalam keluarga.
yang datang dari kedua kubu yang saling
Keterlibatan
konfrontatif
seorang
keluarga
yakni
tingkatan
laki-laki
dan
tanggungjawab
dalam
memasrahkan
atas
sama-sama
menempatkan ‘anak’ pada posisi yang
untuk
pasif. Sarjana dan ilmuan yang bergabung
memiliki
pada kubu feminisme maupun yang
keuntungan yang tak dapat dipungkiri.
menjunjung bendera patriarkalisme tidak
Dengan kata lain, kontribusi seorang
membaca relasi gender tersebut dari sudut
suami dalam sebuah institusi keluarga
pandang dan posisi sang anak. Apabila
sangat bermanfaat dan menguntungkan
sang
(Wilfried Ver Eecke, 1988: th).
sebagai pihak yang menuntut perlakukan-
membesarkan
kepadanya
di
anak-anak,
anak
ditempatkan
pada
posisi
Sementara dasar teologis yang
perlakukan tertentu dari kedua orang
banyak diacu oleh para yuris Islam, yang
tuanya (bapak-ibu) maka relasi gender
keputusan
hukumnya
mendukung
yang mempertentangkan konsekuensi dari
kepentingan
patriarkal,
antaranya
sistem masyarakat yang partiarkis dengan
di
adalah rekomendasi firman suci Al-Quran
idealisme
dalam ayat “kaum laki-laki itu adalah
feminisme, perlu dikaji ulang.
yang
diusung
gerakan
Anak’ sebagai manusia yang hadir
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
sebahagian
ke dunia berkat dan pasca hubungan
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang
biologis antara laki-laki dan perempuan
lain (wanita), dan karena mereka (laki-
memiliki hak-hak alamiah atas kedua
laki) telah menafkahkan sebagian dari
orang tuanya. Sebagai manusia yang utuh,
Allah
telah
melebihkan
Menimbang Relasi Gender dalam Keluarga (Rohinah)
|7
seorang anak memiliki hak untuk diberi
sejarah. Kenyataan dan kebenaran dapat
nafkah,
dan
berubah sesuai perubahan pada language
perhatian
game ini (Richard Rorty, 1989:. 26).
mendapat
menerima
pendidikan,
sentuhan
emosional
dari
dan
kedua
orang
tuanya
‘Kosakata
akhir’
dalam
konteks
(Lembaga Darut Tauhid, 1978: 135-136).
pembicaraan kita adalah klaim kebenaran
Tanpa diberi makan maka bayi yang baru
yang datang dari patriarkalisme maupu
lahir tidak akan mampu hidup, tanpa
feminisme, sebab tak seorang pun atau tak
diberi pendidikan maka rasionalitas anak
sekelompok pun yang memiliki sudut
akan
pandang yang mengatasi sejarah.
tumpul,
dan
tanpa
sentuhan
emosional-spiritual maka jiwanya akan
Paham patriarkalisme merasa bahwa
mati. Tiga jenis kebutuhan dasar anak ini
kaum laki-laki layak mendapatkan posisi
merupakan haknya sekaligus kewajiban
yang
bagi bapak-ibunya.
mendominasi
Anak sebagai ‘manusia’ harus
diperlakukan
sebagai
‘manusia
lebih
superior
atas
kaum
dan
berhak
perempuan,
setidaknya, karena berangkat dari dua
faktor,
pertama,
konteks
historis
di
seutuhnya’; yang haknya harus dipenuhi
masanya, kedua, interpretasi atas ajaran
dan kewajibannya dapat ditagih. Kaum
teologis. Ayat QS An-Nisa’ (4): 34 dan
feminisme maupun kaum patriarkalisme
ayat QS An-Nisa’: 4: 124 memberikan
tidak semestinya menganggap keyakinan
superioritas
kelompoknya
sendiri
sebagai
suatu
menurut Az-Zamakhsyari, seperti yang
‘kebenaran
akhir’
yang
tidak
dikutip oleh Asghar Ali Engineer, “ayat
terbantahkan. Sisi kemanusiaan dan posisi
tersebut merujuk pada superioritas laki-
sang anak harus dipertimbangkan untuk
laki pada konteks sosial yag ada, dan tidak
menguji klaim-klaim dalam diskursus
punya
gender yang berkembang selama ini.
menundukkan, atau menindas terhadap
Dengan mengacu kepada Wittgensteins,
perempuan.” Ayat tersebut turun sebagai
Richard Rorty, seorang filsuf aliran
nasihat untuk mengontrol kekerasan yang
pragmatis
menolak
dilakukan laki-laki terhadap perempuan
adanya ‘kosakata akhir’ yang dapat
pada waktu itu, dan untuk menenangkan
dipakai sebagai tolok ukur bagi permainan
perempuan agar menyesuaikan diri di
bahasa (language game). ‘Permainan
tengah-tengah masyarakat yang secara
bahasa’
absolut didominasi laki-laki. Hal tersebut
Amerika
ini
kenyataan,
8|
adalah
hakikat,
Serikat,
diskripsi
tentang
kebenaran,
dan
kepada
relevansi
laki-laki.
untuk
Namun
mengontrol,
(pemberian superioritas kepada laki-laki)
MUWÂZÂH, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012
adalah keputusan sementara dan bukan
teks agama yang selama ini dianggap
keputusan abadi... Pada perkembangan
mendukung dominasi laki-laki. Kaum
berikutnya, para yuris Islam, dalam suatu
feminis juga mengkritik secara amat pedas
masyarakat yang didominasi laki-laki,
dan tajam terhadap praktek-praktek tradisi
mengabadikan
dan
yang patriarkal. Ilmu pengetahuan baru,
perempuan
kebudayaan baru, dan kebijakan politik
inferior di bawah laki-laki dalam semua
baru, seluruhnya diformulasikan kembali.
kondisi (Asghar Ali Engineer, 2007:253).
Studi-studi feminisme berkembang pesat
aturan-aturan
mendeklarasikan
status
ini
Bahasa pun berubah. Demokrasi,
dan kebijakan politik mulai berpihak
sebagai salah satu contoh, menjadi sebuah
kepada
bahasa baru dan diskursus baru yang
lahirlah pengamalan akan kebudayaan
melabrak semua kebekuan-kebekuan yang
baru yang menempatkan perempuan pada
selama ini memenjarakan perempuan di
posisi yang setara dengan laki-laki. Semua
pojok
ini tampil sebagai fenomena baru dalam
peradaban.
Kesadaran
akan
kesetaraan antara perempuan dan laki-laki
kaum
perempuan,
sehingga
panggung sejarah manusia.
di berbagai ranah: politik, ekonomi, sosial,
Arti
‘Kemanusiaan’
yang
hukum dan agama sebagai dampak dari
ditangkap
oleh
penganjur
adanya perubahan dan permainan bahasa,
feminisme
telah
menggantikan
melahirkan sebuah gerakan baru yang
‘kemanusiaan’ yang sebelumnya dipahami
dikenal
dalam patriarkalisme. Sistem dan struktur
dengan
Kesetaraan
sebutan
gender
feminisme.
menjadi
sebuah
sosial
yang
patriarkal
paham
arti
beserta
‘bahasa baru’ menggantikan ‘bahasa’
konsekuensi-konsekuensinya
yang dianggap usang dan lawas, yakni
terbenam dan dibenamkan oleh sistem dan
sistem
struktur sosial baru, yaitu masyarakat
masyarakat
Munculnya
yang
‘bahasa
patriarkal.
yang
yang menghargai perempuan dan hak-
menggantikan ‘bahasa lama’ ini turut
haknya. Lantas, bagaimana seandainya
menggerakkan sejarah manusia, sehingga
kini arti kemanusiaan yang dipuja-puja
kaum perempuan mulai mendapatkan hak-
oleh kaum feminis dirombak lagi? Apa
haknya yang setara dengan laki-laki di
yang akan terjadi jika sisi kemanusiaan
berbagai pos-pos strategis kehidupan yang
anak
selama ini tertutup bagi mereka. Kaum
patriarki pada moment tertentu, dan pada
feminis
interpretasi-
moment lain kesetaraan gender diperlukan
interpretasi teologis baru terhadap teks-
dan mesti diterapkan dalam kehidupan
melakukan
baru’
telah
Menimbang Relasi Gender dalam Keluarga (Rohinah)
menuntut
kelanggengan
sistem
|9
berkeluarga? ‘Bahasa baru’ apakah yang
dan tradisi dalam masyarakat patriarkal
pas
dan
mengandung banyak cacat. Perempuan
mendeskripsikan sebuah ‘situasi’ dimana
harus ‘duduk sejajar’ dan setara dengan
nilai-nilai patriarkalisme maupun nilai-
laki-laki, memiliki hak-hak yang sama,
nilai
secara
karena ‘sisi kemanusiaa’ sang anak dan
bergantian dalam tempo yang relatif
hak-hak beserta kebutuhannya menuntut
singkat?
yang demikian itu. Bahkan, apabila pada
untuk
menggambarkan
feminisme
Sistem
dibutuhkan
patriarkalisme
yang
moment-moment
tertentu
sisi
memposisikan laki-laki di atas perempuan
kemanusiaan sang anak menuntut seorang
dapat
ibu mendominasi laki-laki dalam sebuah
dibenarkan
argumentasinya
dan
bisa
argumentasisecara
kehidupan rumah tangga maka dengan
rasional bukan karena laki-laki memiliki
suka rela laki-laki harus berada di
superioritas
oleh
belakang perempuan, dan ini artinya
keyakinan agama maupun adat dan tradisi.
perempuanlah yang harus memimpin laki-
Laki-laki
laki.
yang
tetap
diterima
dilegitimasi
harus
mendominasi
perempuan karena ‘sisi kemanusiaan’
sang
anak
—pada
Kondisi sebuah keluarga yang
moment-moment
relasi-relasi gendernya mengizinkan kaum
tertentu—menuntut peranan bapak yang
laki-laki mendomiasi kaum perempuan
lebih dominan daripada kebutuhan anak
pada
akan peranan ibu dalam hidupnya. Dengan
mendominasi laki-laki pada moment lain,
begitu,
dan bahkan perempuan dan laki-laki
perempuan
terpaksa
harus
moment
tertentu,
perempuan
‘mengalah’ pada laki-laki apabila tidak
memiliki
memiliki kapasitas dan kapabilitas yang
berikutnya—dimana pergantian dominasi
cukup untuk memenuhi hak-hak dan
semacam itu boleh saja berlangsung
kebutuhan-kebutuhan anak. Sebaliknya,
cepat—adalah
seruan-seruan feminisme yang hendak
tentang makna gender, khususnya di
menempatkan posisi perempuan setara
lingkungan
dengan laki-laki dapat pula dibenarkan
penulis,
dan
bisa
feminism)’ adalah metafor baru atau
diterima secara rasional bukan saja karena
bahasa baru yang menggantikan metafor
perempuan secara kodrati dan rasional
sebelumnya, yakni feminisme. ‘Metafor
memiliki kesederajatan hak dibanding
baru’
argumentasi-argumentasinya
setara
pada
sebuah deskripsi baru
keluarga.
‘pasca
semacam
moment
Menurut
feminisme
ini
adalah
hemat
(post-
sebuah
laki-laki, dan bukan pula karena hukum
10 |
MUWÂZÂH, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012
kemungkinan yang juga diamini oleh
perbedaan gender antara laki-laki dan
Rorty (Richard Rorty, Tt: 63).
perempuan; antara bapak dan ibu, perlu
Post-feminisme
adalah
metafor
diabaikan. Sebaliknya, bapak-ibu turut
untuk mendeskripsikan sebuah kondisi
merasakan
keluarga yang relasi-relasi gendernya
dibutuhkan untuk kebaikan anak, dan
seperti
Penerimaan
siapa yang paling mampu memberikan
sekaligus penolakan terhadap praktek
dan memenuhi hak-hak anak maka dialah
sistem patriarkalisme maupun feminisme
yang harus di depan. Pergantian dominasi
bukan karena kedua-duanya merupakan
apakah
pandangan yang rasional, perintah agama,
perempuan (kaum ibu) yang harus di
dan tuntutan adat dan tradisi. Melainkan
depan, atau bahkan ada kesetaraan di
hak-hak sang anak harus dipenuhi secara
antara
optimal oleh bapak-ibunya. Kualitas-
kemampuan mereka untuk memberikan
kualitas
bahan
apa yang terbaik buat anak-anak mereka,
dominasi
adalah bentuk solidaritas keluarga sebagai
yang
orang
pertimbangan,
demikian.
tua
dan
menjadi
soal
apa
laki-laki
yang
dirasakan
(kaum
mereka,
bapak)
disebabkan
dan
atau
oleh
ditentukan oleh siapa yang berkualitas
bagian
lebih baik. Apabila seorang bapak dan ibu
diinginkan Rorty (Richard Rorty, Th:
memperhatikan
307).
kualitas
diri
masing-
dari
solidaritas
sosial
yang
masing maka mereka dapat bersepakat
dalam menentukan kualitas manakah yang
paling dibutuhkan oleh sang anak dan
siapakah
yang
mampu
B. Bukan Sekedar Seorang Anak
Hal penting berikutnya adalah status
memberikan
anak sebagai manusia seutuhnya. Manusia
perlakuan terbaik pada anaknya. Dari
memiliki kompleksitas pemaknaan yang
kesepakatan bapak dan ibu sebagai orang
tidak bisa direduksi begitu saja. Status
tua dari sang anak inilah akan muncul
sebagai anak adalah status komunikasi
solidaritas dalam keluarga.
yang melekat pada seorang individu
Solidaritas ini, menurut Rorty,
manusia yang lahir dari laki-laki dan
tidak perlu didefinisikan secara metafisis
perempuan, yang kelak disebut dengan
melainkan dialami secara sentimental.
istilah
Sentimentalitas menurut Rorty, adalah
keluarga. Individu yang dilahirkan ini
kemampuan
tidak cukup hanya diberi satu status, yakni
untuk
perbedaan-perbedaan.
mengabaikan
Dalam
‘bapak-ibu’,
dalam
sebuah
konteks
sebagai seorang anak bagi ibu-bapaknya.
relasi gender sebuah institusi keluarga,
Status sebagai ‘manusia utuh’ yang
Menimbang Relasi Gender dalam Keluarga (Rohinah)
| 11
berhak memiliki berbagai status lain di
terjadinya
kemudian
setelah
perempuan, atau dominasi perempuan atas
menginjak usia dewasa kelak, adalah lebih
laki-laki, atau adanya kesetaraan antara
tepat
Status
laki-laki dan perempuan, dalam sebuah
sebagai seorang anak hanyalah satu dari
institusi keluarga merupakan kondisi yang
sekian banyak banyak status lain yang
sah dan dapat dibenarkan—sepanjang
potensial disandang oleh individu yang
ditemukan
dilahirkan
dengan
antara anak dan bapak-ibunya. Jika kita
menyematkan status sebagai ‘manusia
sepakat menyebut kondisi sebuah keluarga
utuh’ pada individu yang dilahirkan maka
yang
diskursus-diskursus yang didengungkan
terminologis ‘pasca feminisme (post-
dalam patriarkalisme maupun feminisme
feminism)’,
seperti
yang
sudah
untuk
disampaikan
di
maka
wacana
kiranya
hari,
terutama
disandangkan
itu.
Karenanya,
konteks
perlu
padanya.
kehidupan
dikaji
keluarga,
laki-laki
kesepakatan
semacam
ini
atau
kontrak
dengan
atas,
atas
sebutan
Sebagai
patriarkalisme dan feminisme menjadi
manusia utuh, individu yang dilahirkan
metafor usang yang sudah kritis dengan
dapat berdiri tegak untuk membangun
hadirnya metafor baru ini post-feminism.
‘kontrak-kontrak’
kesepakatan-
Post-feminism tidak lain hanya
kesepakatan bersama individu-individu
ingin menempatkan seorang anak pada
lain yang disebut sebagai bapak-ibunya.
status
Individu yang dilahirkan ini, dengan
melepaskannya sistem komunikasi yang
statusnya sebagai manusia utuh, dapat saja
sempit (sebatas berperan sebagai seorang
melepas statusnya sebagai seorang anak,
anak),
atau boleh saja melengkapinya dengan
‘mendamaikan’
status
dalam
lain
dan
ulang.
dominasi
yang
membangun
dibutuhkan
relasi,
kontrak,
dalam
dan
Seorang
kemanusiaannya
dan
yang
terpenting
permusuhan
patriarkalisme
filosuf
secara
dan
Jerman
utuh,
untuk
diskursif
feminisme.
kontemporer
kesepakatan bersama bapak-ibunya dalam
Niklas Luhmann memberikan pencerahan
kehidupan keluarga.
kepada
kita
tentang
‘kemanusiaan
Berangkat dari kenyataan bahwa
manusia’. Bagi Niklas, manusia bukan
seorang anak tidak sekedar menyandang
bagian masyarakat melainkan bagian dari
status sebagai anak melainkan juga dapat
lingkungan masyarakat. Secara teoritis
memiliki berbagai status lain dalam
Niklas memberikan penjabaran tentang
berkomunikasi
distingsi
maka
12 |
dengan
bapak-ibunya,
kemungkinan-kemungkinan
(perbedaan)
antara
sistem
(system) dan lingkungan (umwelt). Sistem
MUWÂZÂH, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012
selalu
berupa
reduksi
besar-besaran
kehidupan keluarga. Tingkat kepentingan
terhadap kompleksitas yang dimiliki oleh
dan kebutuhan yang berbeda dari anak
lingkugan. Sementara lingkungan selalu
terhadap
lebih kompleks dan lebih rumit dari
juga terhadap tingkat dominasi laki-laki
sekedar
yang
maupun perempuan dalam keluarga yang
sangat relevan dalam tema pembahasan
bersangkutan. Boleh jadi, patriarkalisme,
kita ini adalah bahwa bahwa manusia
matriarkalisme, dan feminisme secara
tidak lagi menjadi ukuran masyarakat
bergantian dibutuhkan untuk diterapkan
(Niklas Luhmann, 1995: 213).
dalam satu keluarga yang sama dan dalam
sistem.
Pernyataannya
Seorang anak sebagai manusia
yang
seluruh
sisi
bapak-ibunya
mempengaruhi
tempo yang relatif singkat.
kemanusiaannya
Post-feminism
ingin
juga
dihargai bukan sekedar sebagai sekedar
memperkenalkan bahwa seorang anak
seorang anak. Sebab terminologi ‘anak’
sebagai individu merupakan semacam
hanya dapat dipahami apabila direlasikan
‘masyarakat’ yang memiliki kompleksitas
pada
yang
sistem dalam dirinya sendiri. Menurut
menjadi penyebab kelahirannya di dunia.
Niklas, manusia memiliki kemajemukan
Terminologi ‘anak’ menjadi tidak relevan
internal sehingga ia tidak bisa dibatasi
apabila relasi tersebut diarahkan pada
oleh sistem-sistem tertentu yang sempit.
individu-individu lain, sehingga ia bisa
Karenanya, seorang anak yang telah
memiliki status sebagai seorang cucu bagi
menanggalkan statusnya sebagai anak atau
kakek-neneknya, kemenakan bagi paman-
melengkapinya dengan status lain yang
bibinya, suami bagi istrinya, istri bagi
dibutuhkan, maka ia memiliki kebebasan
suaminya, bahkan bapak atau ibu bagi
untuk ‘bersekutu’ dengan siapa saja yang
anak-anaknya kelak. Seorang anak yang
dikehendakinya. Dalam ruang lingkup
ditempatkan
utuh
yang terbatas, yakni kehidupan keluarga,
memiliki kompleksitas yang jauh lebih
seorang anak boleh saja bersekutu dengan
rumit. Status sebagai anak hanyalah satu
bapaknya dengan porsi yang jauh lebih
sistem relasi dari sekian banyak sistem
besar dibanding ibunya. Atau, pada
relasi lainnya. Pada titik kompleksitas
moment
inilah
pertimbangan-pertimbangan
menyediakan porsi yang lebih besar untuk
kepentingan dan kebutuhan anak akan
ibunya dibanding bapaknya. Bahkan, pada
mempengaruhi
laki-laki
dimainkan
dan
perempuan
sebagai
oleh
peranan
manusia
lain
seorang
anak
lebih
yang
harus
waktu dan kesempatan tertentu bapak dan
bapak-ibunya
dalam
ibunya ditempatkan pada level yang
Menimbang Relasi Gender dalam Keluarga (Rohinah)
| 13
setara. Dengan kata lain, seorang anak
berlangsung selama ini dalam rata-rata
tidak
kehidupan keluarga.
bertindak
pasif
seperti
yang
berlangsung selama ini, sehingga klaimklaim kebenaran dari patriarkalisme dan
feminisme mengambil sudut pandang dari
C. Membebaskan Anak
Hasil Konvensi Hak-Hak Anak yang
diri mereka sendiri. Sebaliknya, seorang
disetujui
anak harus berada pada posisi yang aktif
(PBB) pada 20 November 1989 di Bagian
dan dapat menentukan pilihannya sendiri,
I Pasal (1) berbunyi: “untuk digunakan
sehingga
dari
dalam konvensi yang sekarang ini, anak
patriarkalisme maupun feminisme baru
berarti setiap manusia yang berusia di
dapat
mendapat
bawah delapan belas tahun kecuali,
persetujuan bersama. Di samping akan
berdasarkan undang-undang yang berlaku
terbentuk
untuk
klaim-klaim
dibenarkan
kebenaran
setelah
solidaritas
dalam
keluarga,
Perserikatan
anak-anak,
Bangsa-Bangsa
kedewasaan
telah
seorang anak juga berperan tidak sekedar
dicapai lebih cepat” (United Nations
sebagai anak melainkan juga sebagai
Convention on the Rights of the Child,
patner bersama.
1989: Th).Sudut pandang dalam konvensi
Status
bapak-
PBB ini adalah tingkat kedewasaan dan
terkesan
usia. Dari sudut pandang lain, hukum
sebagai sesuatu yang ‘irrasional’ dan
tradisi maupun ajaran teologis melekatkan
‘immoral’ jika dilihat dari kacamata
status anak pada seorang individu untuk
pemaknaan terhadap kosakata anak dalam
kurun
lingkup
setidaknya sepanjang kedua orangtuanya
ibunya,
sebagai
misalnya,
patner
memang
keluarganya,
terutama
bagi
waktu
selama-lamanya
atau
bapak-ibunya. Menanggalkan status anak
masih hidup.
dan menggantinya dengan status patner,
atas—usia anak dan relasi hirarkisnya
misalnya, sama halnya dengan memaksa
dengan orang tua—merupakan hakikat-
bapak-ibunya untuk menanggalkan pula
hakikat
status mereka sebagai bapak dan ibu, lalu
mendeskripskan dan memahami siapa
menggantinya pula dengan status sebagai
manusia yang disebut ‘anak’. Pada point
patner. Namun, kemanusiaan seorang
ini kemanusiaan anak yang kompleks dan
anak yang utuh memperbolehkan tindakan
utuh kembali direduksi, dan anak sebagai
yang irrasional dan immoral terhadap
‘Ada’ (being) tidak cukup dipahami hanya
sistem komunikasi yang telah usang dan
sekedar dari kategori usia maupun relasi
14 |
Kedua sudut pandang di
yang
digunakan
untuk
MUWÂZÂH, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012
hirarkisnya dengan orang lain (bapak-
disetarakan dengan the others (bapak-
ibunya).
ibunya). Penempatan bapak dan ibu
Seorang anak harus dilepaskan dari
hakikat-hakikat
yang
selalu
tidak
sebagai the others bagi sang anak
berpengaruh pada pendefinisian mereka
mencukupi untuk mendefinisikan ke-Ada-
sebagai
annya, yang kompleksitas dan lebih rumit.
tinggi dari anak-anak mereka. Sebaliknya,
Dengan mencukupkan diri pada sudut
dengan menempatkan bapak dan ibu
pandang-sudut pandang yang ditawarkan
sebagai the others maka kesetaraan akan
oleh
tercipta,
hukum tradisi,
ajaran
teologis,
individu-individu
kontrak
yang
dan
lebih
kesepatakan
maupun konvensi apapun, sama halnya
dimungkinkan terjalin dengan baik, dan
dengan
tentunya susunan khirarkis akan sedikit
mengkerangkeng
kemanusiaan
seorang anak pada hakikat tertentu.
terkikis.
Padahal,
merupakan
kompleksitas kemanusiaan anak direduksi
pengungkapan atau pemahaman tentang
dan dipenjarakan dalam definisi substantif
bagaimana ‘Ada’ itu ditangkap. Menurut
yang tunggal maka susunan khirarkis
filsuf besar abad ke-20, Martin Heidegger,
antara
humanisme
terjadi.
hakikat
melupakan
hubungan
‘hakikat’ itu dengan ‘Ada’ (being) (Martin
Heideggger,
1978:
202).
Dengan
Berbeda
anak
dan
lagi
apabila
bapak-ibunya
akan
Pembebasan anak dari hakikathakikat di atas juga berpengaruh pada
membebaskan anak dari hakikat-hakikat
upaya
yang diciptakan maka kemanusiaannya
melibatkan patriarkalisme dan feminisme.
akan betul-betul dihargai.
Dua kubu ini saling berseberangan karena
Dengan membebaskan anak dari
mendamaikan
‘konflik’
yang
mereka memiliki hakikat pemaknaan yang
hakikat-hakikat tersebut maka selanjutnya
berbeda
ia akan memasuki kemanusiaan yang
sehingga masing-masing dari mereka
universal seperti yang dikehendaki oleh
merasa
humanisme itu sendiri. Seperti yang
memperlakukan
dikatakan oleh Dr. F. Budi Hardiman,
perspektif mereka sendiri. Membebaskan
kemanusiaan
humanisme
anak dari hakikat-hakikat yang diproduksi
didesentralisasikan dan dipluralisasikan
dalam patriarkalisme dan feminisme ini
(Dr. F. Budi Hardiman, 2009: Th). Dalam
sama halnya dengan menyadarkan kaum
hal ini, kemanusiaan seorang anak hanya
bapak dan kaum ibu tentang kemanusiaan
dapat dipahami secara utuh apabila ia
sang anak yang kompleks dan bukan
universal
Menimbang Relasi Gender dalam Keluarga (Rohinah)
tentang
anak-anak
memiliki
sang
mereka,
hak
untuk
anak
menurut
| 15
sekedar sosok manusia yang mereka
seorang anak bagi kedua orang tuanya.
lahirkan.
Sebab, menurut Heidegger,
Seorang anak adalah manusia utuh, yang
‘hakikat’ berbeda dengan ‘Ada’, dan
bebas dan mampu menentukan kontrak-
hakikat-hakikat
yang
kontrak tertentu dengan bapak-ibunya.
dipahami oleh kaum patriarkalis maupun
Kebebasan sang anak di sini menciptakan
kaum feminis berbeda dengan hakikat
semacam ‘ruang kosong’ dalam sistem
anak sebagai manusia yang kompleks.
kehidupan berkeluarga, dan ruang kosong
Karenanya,
tersebut dapat dimasuki secara bebas dan
tentang
anak
membebaskan
anak
dari
hakikat yang mereka produksi adalah
bergantian
langkah menuju pendamaian diskursi,
patriarkalisme maupun feminisme. Pada
pembentukan solidaritas keluarga, dan
model
gerbang untuk memasuki wacana post-
keluarga dan kebebasan anak tercipta.
feminism.
Bahkan, sistem sosial yang patriarkis
oleh
semacam
klaims-klaims
inilah,
dalam
solidaritas
maupun gambaran ideal dalam bayangan
gerakan feminis bukan dua hal yang saling
Penutup
yang
bertabrakan melainkan dua hal yang dapat
memberikan superioritas laki-laki atas
saling mengalah serta saling memberikan
perempuan mengklaims anak harus berada
peluang.
Tradisi
dibawah
dan
hukum
perintah,
adat
asuhan,
didikan,
pengawasan bapaknya, sementara sang
DAFTAR PUSTAKA
ibu hanya diberi porsi yang sangat sedikit.
praktek
al-Ibsheehi, Muhammad Ali, 1981, Rasâil
tradisi semacam itu beserta segala macam
ila Ibnati, Baeirut: Mu’assaset al-
argumentasi
Risalah
Gerakan
feminisme
menolak
pembenarnya.
Tuntutan
utama gerakan ini adalah kesetaraan
gender
antara
perempuan
laki-laki
(ibu),
(bapak)
dalam
dan
konteks
pembahasan ini mengenai hak-hak ibu
al-Jabbouri, Abu al-Yakzan Atiyah, 1978,
al-Hadits al-Syarif wa Ahkamah,
Kairo: Dar al-Anshar,
Amin, Qasim, 2003, Sejarah Penindasan
Perempuan, menggugat islam laki-
atas anaknya.
ini
laki, menggurat perempuan baru,
mendapatkan tantangannya ketika seorang
terj. Syariful Alam, Yogyakarta:
anak dipahami sebagai manusia utuh yang
IRCiSoD
Wacana
kesetaraan
kompleks, dan bukan sekedar sebagai
16 |
MUWÂZÂH, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012
Dokumen United Nations Convention on
the
Rights
of
the
Child,
20
November 1989.
Eecke,
Wilfried
Phenomenology
Metaphor
Ver,
1988,
and
Pateral
melalui
and
studi
psikoanalisisnya, juga memberikan
uraian yang panjang lebar tentang
pentingnya
2009, makalah
“Humanisme
dan
Para
Kritikusnya” Sabtu 13 Juni 2009.
Phenomenology
Psychoanalysis,
Hardiman, F. Budi,
hubugan
anak-ayah
semacam ini.
Engineer, Asghar Ali, 2007, Pembebasan
Heideggger, Martin, 1978, “Letter on
Humanism”,
Heidegger
Martin
Basics
Writtings,
Routledge & Kegan Paul, London
Luhmann, Niklas, 1995, Social Systems,
Stanford University Press, Stanford
Mernissi, Fatima, 1975, Beyond the Veil;
Male-Female
Dynamics
in
a
Modern Muslim Society, Cambridge,
Perempuan, terj. Agus Nuryanto,
Mass:
cet. II, Yogyakarta: LKiS
Company
Gossmann, Wilhelm, 1978, Deutsche
dalam:
Shenkman
Publishing
Rorty, Richard, 1989, Kontingenz, Ironie
Kulturgeschichte im Grudriss, Max
und
Hueer Verlag, Ismaning,
Frankfurt a.M.,
Menimbang Relasi Gender dalam Keluarga (Rohinah)
Solidarität,
Suhrkamp,
| 17
Download