Syubah Asa MARI KEMBANGKAN TEOLOGI PEMBERANTASAN KORUPSI Akhir-akhir ini di kalangan Muhammadiyah sepertinya ada dua wajah pemikiran keislaman. Satu sisi berfikir liberal dan sisi yang lain berfikir literal. Keduanya sangat berlawanan dan mengarah menjadi dua kutub ektrem. Sebenarnya fenomena tersebut tidak hanya terjadi di Muhammadiyah, bahkan di kalangan Nahdliyin-pun juga ada pemikiran yang demikian. Mengapa pemikiran leberal harus berbenturan atau dibenturkan dengan pemikiran literal? Banarkah kehadiran mereka memiliki makna politik yang signifikan? Untuk menjawabnya berikut kita ikuti wawancara Ton Martono dengan Syu’bah Asa, pengamat perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, kolomnis di berbagai media cetak, Pemimpin Redaksi Panjimas, mantan Redaktur Senior Majalah Berita Mingguan Tempo, EDITOR, Wapemred Harian Umum PELITA, Lulusan Mu’alimin Muhammadiyah Pekajangan, Staf Pengajar Drama di IKIP Negeri Yogyakarta, dan mantan Guru Balaghah di PGAAN atas nama Bapak H.Djarnawi Hadikusumo (Alm). Sekarang menjadi Staf Pengajar di LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) bidang Kritik seni dan mengikuti studi banding pengajaran teater di Amerika Serikat, Penulis buku Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, terbitan Gramedia 2000, Perbandingan Kitab-kitab Lama Tinjauan Lintas Agama dan Renungan Al-Quran “Bagaimana Tuhan Bicara”. Bagaimana sesungguhnya dinamika pemikiran Islam klasik dan modern di Indonesia, dan sejauh mana pasang surut hubungan antara pengikut pemikiran Islam klasik dengan modern? Klasik itu berhubungan dengan jenis bukan dengan zaman atau sejarah melainkan tentang kelompok. Jadi melihat kelompok Islam klasik itu orientasinya ke kitab-kitab klasik dan kalau dilihat dari perilakunya adalah tradisional. Tetapi yang dimaksud dengan kita klasik itu yang mana, mungkin kitab paling awal sekitar abad ke -2 atau ke-3, Kitab kuning itu muncul pada zamannya Imam Syafii, Imam Malik sampai Iqbal. Sedangkan yang kita kenal kitab-kitab fiqih dan tafsir at-Tabari sekitas tahun 310. Jadi kalau alam kita dunia pikiran kita ini tergantung pada kitab-kitab klasik itu berarti mempelajari hanya turunan, epigon dan kitab-kitab peniru bukan aslinya, karena yang asli itu ditulis pada sekitar 25 abad yang lalu. Kitab yang agak baru lagi seperti yang ditulis oleh ulama Banten tafsir “Al Munir “ yang ditulis oleh syeih Nawawi itu juga dunia kitab klasik, kitab kuning. Ciri-ciri dari kelompok ini misalnya mereka punya bahan banyak, dan kaya bahan, karena kaya bahan mereka punya pilihan metode sesuai dengan mereka punya manhaj di dalam istimbat dalam pengambilan hukum tidak langsung ke Al-Quran dan Hadits tetapi langsung ke kitab-kitab kuno saja. Misalnya hukumnya makruh maka mereka tidak langsung ke Al-Quran begitu seterusnya. Jadi banyak alternatif untuk memilih, makruh itu hukumnya luwes dalam arti positif sesuai dengan tuntutan, tetapi dalam arti negatif harus menuruti sebuah kemauan atau akomodatif. Dan nanti akan berbeda dengan golongan yang tidak berafiliasi pada kitab-kitab kuno klasik. Nah ini sebenarnya mereka yang bukan golongan dari kitab klasik arahnya akan berfikiran liberal, yang selalu berbeda pendapat dan mereka juga belum bisa menerima kitab-kitab baru pemikiran Muhammad Abduh dan sebagainya itu mereka tidak bisa terima seperti tokoh-tokoh yang menolak tawasul. Dan mereka justru mengikatkan diri dengan salah satu madzab yakni Hambali walaupun di Indonesia ini sebenarnya kebanyakan ikut mazhab Syafii. Sementara yang beraliran Islam modern, selalu memiliki keinginan untuk berubah, perubahan ini bukan saja dari “sarung ke celana” tetapi menurut saya juga berubah itu dari “celana ke sarung”. Satu contoh perubahan itu misalnya antara takbir satu kali dengan takbir tujuh kali dalam shalat Id kan ada perubahan terus menerus bahkan di Muhammadiyah sendiri pernah melakukan takbir satu kali kemudian sekarang menjadi tujuh kali. Itu berarti di Muhammadiyah tidak berubah, nah kalau ada salah satu hadits yang lebih dekat pemahamannya dan kemudian kita berubah itu modern, tetapi modern dalam wacana dan tata caranya. Muhammadiyah itu bisa berkembang dan modern karena berani berubah terutama dalam soal pendidikan dari sistem sorogan menjadi klasikal, kemudian berkembang lagi setelah membangun Rumah Sakit dan seterusnya. Lebih modern lagi dalam menggeserkan tekanan keberagamaan dari ritual kepada amal sosial. Nah hal ini kalau di dalam pemahaman keagamaan bisa lebih praktis, dan tidak banyak kesrimpet, tetapi dalam menentukan hukum lebih banyak, karena tidak memanfaatkan kepentingan-kepentingan yang demikian kaya. Seperti bunga Bank, masalah drama, cangkok katub jantung babi itu di kalangan NU sudah lebih dulu maju, nggak tahu kalau di Muhammadiyah apakah boleh atau tidak dan bagaimana kalau darurat. Tetapi sekalipun demikian baik yang klasik maupun yang modern ternyata tidak bisa menjawab tantangan-tantangan yang melahirkan apa yang disebut Islam liberal sekarang ini. Artinya bukan dua-duanya salah. Apa makna kultural dan sosial dari hadirnya pemikiran Islam modern di Indonesia? Yang pertama merupakan kepanjangan dari hadirnya pemikiran Islam modern di Mesir, memberikan senjata umat Muslim untuk mempertahankan harga diri. Karena ketika itu Islam dianggap terbelakang, bodoh dan miskin, karena itu senjata diberikan Jadi dengan adanya gerakan Islam modern itu mestinya kita berbangga, seperti Muhammad Abduh itu merupakan kebanggaan bagi kita, bahkan pemikiran yang di tulis dalam The Holy AlQuran itu juga merupakan kebanggaan juga. Karena disana menangkis serangan-serangan orientalis dan kolonialis pada zaman Snouck Hugronye dan kawan-kawannya. Kemudian yang kedua memperbesar kemajuan khususnya penggeseran pemikiran yang dilakukan oleh KHA. Dahlan dalam surat Al-Ma’un itu betul-betul penggeseran, sementara Muh Abduh tidak melakukan hal yang demikian, artinya bukan pada amal sosialnya tetapi lebih dari itu. Bahkan kemudian Muhammadiyah bisa membangun amal usaha termasuk amal sosialnya begitu besar dan berkembang seperti sekarang ini. Dan hal demikian termasuk mempercepat kemajuan bangsa Indonesia. Bahkan di kalangan Nahdhiyin di rural termasuk juga pembaharuan artinya mereka juga menggarap yang tidak tersentuh oleh Muhammadiyah. Karena itu dalam satu wilayah atau daerah tertentu yang tidak ada gerakan Muhammadiyah ataupun NU, maka daerah tersebut akan terbelakang, baik terbelakang masalah pendidikannya, sosial dan ekonominya. Makanya di daerah yang terpencil Muhammadiyah bisa masuk, maka daerah tersebut akan maju, bagitu juga NU terutama di pelosok Jawa Timuran, dimana NU ada di situ daerah tersebut akan maju. Nah daerah-daerah yang tidak ada NU dan Muhammadiyah bisa dipastikan akan terbelakang, contoh Betawi, Banten dan sebagainya. Lalu bagaimana dengan proses pertumbuhan pemikiran Islam neo modernisme sekarang ini? Bila kita bicara tentang Islam dan kelembagaan, disana mesti ada bibit-bibit tentang neo modernisme itu dan bibit yang ke liberal, dua-duanya bisa bermuara ke Wahabi, Padahal mereka bicara tentang Islam ternyata Islamnya hanya didapat dari dari kampung. Makanya kalau dibandingkan dengan puncak pemikiran Islam dari luar misalnya dari Katolik, teologi kristiani tampak pucat sekali Islam itu. Seandainya dulu Wahabi itu mempelajari pemikiran Islam yang lain misalnya dia membaca Al Manar, Al-Jawahir dan sebagainya, maka pemikiran kelompok ini akan memiliki kelebihan, tetapi sayangnya hal itu tidak dilakukan, maka lalu kelompok ini nyempal ke Islam liberal dan neo modernisme, makanya mereka ini melepaskan Islam dan politik seperti yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid, Cak Nur ini kan berasal dari NU tradisional, yang belum tahu tentang doa-doa, lalu berhadapan dengan kaum modern di dalam dunia politik Bulan Bintang, jadi bukan aspek agamanya, bukan agama ansich, nah neo modernisme itu dari sana sumbernya. Bagaimana sesungguhnya peta pemikiran Islam Liberal yang muncul belakangan ini? Pada hakekatnya Islam itu liberal, dalam sebuah hadits misalnya kalau kita berijtihad benar akan dapat nilai 2 dan manakala salah dapat nilai satu, itu kan merupakan sikapsikap liberal. Imam Hanafi juga berpendapat bahwa pendapat kita ini benar meskipun ada kemungkinan salah dan hal ini juga dipakai oleh kebanyakan ulama, berarti Islam dan juga ulama itu liberal termasuk M. Natsir, Masdar Farid dan sebagainya itu pemikirannya liberal. Mengapa pemikiran Islam liberal harus berbenturan atau dibenturkan dengan pemikiran Islam literal? Mengapa harus berbenturan karena aturan mainnya berbeda, ada kemanusian, sosial dan agama semuanya universal. Mengapa di kalangan Muhammadiyah bahkan NU banyak melahirkan anak muda yang radikal dalam berfikiran tentang Islam? Karena sekarang orang boleh bergerak dan berfikir apa saja. Di dalam Muhammadiyah dan NU tokoh-tokoh ulamanya tidak pernah memikirkan dan menangkap wacana kelompok mereka. Sementara Majelis Tarjih yang ada di Muhammadiyah belum juga menangkap wacana kalangan muda yang penuh gejolak intelektualnya. Padahal kalau mau berijtihad cara melihat Quran dan sunnah Rasulullah beserta pentahapannya ilmu itu akan tumbuh dan berkembang terus. Sayangnya di Muhammadiyah dan NU serta Ormas Islam lain itu tidak memikirkan tentang perbudakan. Islam itu menghalangi perbudakan tetapi fiqih kan diam saja, sementara yang membebaskan perbudakan adalah orang Nasrani. Demikian juga para ulama yang memberi fatwa tentang seni misalnya drama, yang dilihatkan lahirnya saja, pakaiannya, jarak anatara lelaki dan perempuan seberapa, mereka bukan melihat seni sebagai medium, melihat seni bukan lahirnya tetapi fenomena lain yakni ketokohannya, tapi sayang mereka tidak memandang hal itu. Karena itu anakanak muda Muhammadiyah dan NU itu berani bergerak membongkar bukan saja dari akarnya tetapi pohonnya sekalian. Makanya lalu Muhammadiyah mengubah nama Majelis yarjih dengan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Apakah fenomena tersebut memiliki ekses dan implikasi terhadap persyarikatan Muhammadiyah? Saya kira masih memerlukan waktu yang agak lama dan implikasinya selama ini hampir tidak ada. Lalu apakah kehadiran mereka memiliki makna politik yang signifikan? Dalam waktu dekat ini tidak, kecuali kalau mereka itu memberontak terhadap keberadaan Muhammadiyah dan NU, mereka bisa tersingkir. Di samping itu ada fenomena menarik tentang Gus Dur, Gus Dur itu merupakan dedengkot di NU dan di PKB dan merupakan sosok liberal, sehingga banyak anak muda NU yang berani berfikiran kontroversial bahkan berbeda dengan pemikiran ulama. Keberanian mereka muncul karena ada fenomena tersebut dan ada backing kuat dari nama besar Gus Dur. Apa harapan anda terhadap masa depan Islam di Indonesia pasca Pemilu 2004 nanti? Setiap gerakan yang harus mendapatkan dukungan harus inklusif, parpol kalau mau mendapatkan dukungan, mereka harus inklusif juga. Sekarang ini yang menarik adalah mengembangkan teologi memberantas korupsi dan pemebersihan pemerintahan dari tangan-tangan kotor, pemberdayaan rakyat kecil dan nahi mungkar kita di masa depan adalah memberantas korupsi dan kalau ada ajaran-ajaran apapun yang mengarah kepada penyuburan korupsi harus kita lawan. Oleh karena itu misi Islam lebih ditonjolkan kearah inklusifitas untuk pemberdayaan umat. Sumber: Suara Muhammadiyah Edisi 04 2004