Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) TEOLOGI ISLAM KONTEKSTUALTRANSFORMATIF Nur Said STAIN Kudus Email: [email protected] ABSTRACT A Religion has strong influence on humanity, morality, ethics, and aesthetics in the process of humankind development. This of course, will construct the worldview individually and socially as well. It may be said that nearly all the social life haven’t been ignored the role of religion in the making humanity as an expression of the whole of collective life. Therefore the religious spirit is also in constant change, which formulated in a certain theology in line with the historical progress contextually. In addition, theology is a discourse through which believers develop and express the content of their faith as they have confessed it. The notion of this article tries to elaborate the contextualization of Islamic Theology in Indonesia in respecting to the social phenomena such as colonialism, oppression, human right, and pluralism in Indonesia. It also gives paradigmatic contribution to interpret the Secret text on historical situation in order to determine public morality more than just individual morality. The main points are a searching of meaning between “text” and context in Indonesia society as manifestation of Islamic contextual theology. It means that Islam should be “translated” in particular way in order may “come down to earth” and meet in the contemporary demands. Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 87 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) Keywords: Islam, contextual-transformative theology, human right, Indonesia Pendahuluan Agama sebagai suatu sistem keyakinan dan pedoman hidup sangatlah penting dan fundamental bagi umat manusia, lebih-lebih untuk para pemeluknya. Namun dalam kelompok masyarakat yang mengalami derita sosial, multikrisis yang berkepanjangan, selain agama yang sebenarnya memiliki fungsi profetik yang mulia, tidak jarang dalam bias perilaku para pengikutnya mendorong pelarian diri dari kehidupan duniawi seperti hidup zuhud kaum sufi atau sebaliknya memicu radikalisme dan militansi perilaku yang serba mutlak seperti konsep jihad yang serba fisik belaka. Sehingga secara kasat mata seringkali menemukan sekelompok umat beragama dengan berbagai simbol keagamaan yang kental dan atraktif justru menunjukkan perilaku kekerasan fisik, teror, ancaman, hingga ke kesediaan untuk menumpahkan darah sesama. Wajah seperti ini menampakkan Agama justru akan membawa keterbelakangan umat dan belum bisa memberikan peran yang begitu berarti lantaran ketidakmampuan para pemeluknya dalam merumuskan persoalan dengan jelas, terutama bagaimana konteks teologi dibenturkan dengan kenyataan kehidupan yang begitu kompleks dan selalu berubah. Disamping itu, teologi agama-agama yang telah ada kurang memberikan sentuhan yang berarti untuk perkembangan ilmu-ilmu sosial dan historisitas keagamaan yang sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari tradisi keagamaan sejalan dengan locus dan tempus yang menyelimutinya. Akibatnya teologi agama-agama tidak punya komitmen yang sungguh-sungguh terhadap masa depan kemanusiaan di planet ini. Bagaimana Islam sebagai agama besar di dunia ini mampu menjawab berbagai tantangan di tengah tantangan global dan transformasi sosial yang begitu cepat. Tulisan singkat ini akan mencoba menawarkan beberapa pointer menuju terbangunnya teologi kontekstual yang membebaskan, membumi dan menyentuh persoalan riil kemanusiaan dengan meletakkan Islam 88a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) sebagai rohnya. Oleh karena itu yang dikedepankan adalah bagaimana menjadikan Islam sebagai spirit bagi terciptanya budaya perdamaian dan pembebasan sejalan dengan tuntutan konteksnya. Posisi Agama dalam Struktur Sosial Penting kiranya terlebih dahulu memahami agama dalam ranah sosial, karena paradigma yang ingin dibangun adalah bagamana memahami agama secara sosiologis-kontekstual sebagai kerangka menuju teologi Islam yang kontekstual. Untuk kepentingan ini menuntut adanya analisa kenyataan sosial sebagaimana adanya, tanpa memberikan penilaian etis ataupun politis dan bersamaan itu pula akan kita temukan bahwa dalam realitas sosial mengandung makna dan nilai yang melingkupinya. Hal ini mengandaikan suatu penafsiran dalam pemahaman makna dan pranata sosial berikut hubungan kausalnya. Dalam konteks inilah relevan kiranya mengaktualkan konsep umum yang dibangun oleh Berger dalam menggambarkan fenomena kenyataan sosial ini secara lebih komprehensif dan di mana posisi agama itu terposisikan. Bagi Berger fenomenologi merupakan aspek yang penting bagi pemahaman dunia sehari-hari sebagai obyek penelitian sosiologi. Setidaknya ada 3 (tiga) macam fenomenologi, pertama, fenomenologi transendental yang berusaha mencapai pengetahuan tanpa pengandaian. Kedua, fenomenologi hermenetik, lebih menekankan pada sifat linguistik manusia, sehingga teks menjadi obyek dari analisa fenomenologi. Ketiga, fenomenologi eksistensial, menekankan analisa dunia kehidupan (life-world). Fenomenologi jenis ketiga inilah yang banyak mempengaruhi Berger dalam kajian sosiologisnya. Pengaruh ini dapat dilihat dari pandangannya tentang manusia. Baginya dunia manusia ditandai dengan keterbukaan, sehingga perilaku manusia hanya sedikit saja dipengaruhi oleh naluri. Oleh karenanya manusia harus membentuk sendiri perilakunya melalui pengaturan dan penertiban yang berlangsung Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 89 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) secara terus menerus.1 Ini menandakan bahwa perilaku manusia merupakan manifestasi dari fenomena dialektika antar manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam suatu masyarakat tertentu. Pola kausalitas dalam kenyataan sosial digambarkan Berger dalam uraiannya: Masyarakat adalah suatu gejala dialektik, yaitu suatu hasil manusia dan tak lain adalah hasil manusia, tetapi terus menerus mempengaruhi hasil itu. Masyarakat adalah hasil produk manusia. Ia tak lain adalah aktifitas dan kesadaran manusia. Tidak ada kenyataan sosial lepas dari manusia, tapi dapat juga dikatakan bahwa manusia adalah hasil dari masyarakat. Biografi setiap individu adalah suatu episode dalam sejarah masyarakat yang mendahului dan melestarikannya. Masyarakat sudah ada sebelum individu dilahirkan dan tetap ada sesuadah individu itu mati.2 Kejelian Berger dalam melihat relasi manusia dengan masyarakat sebagai yang berinteraksi secara dialektis, dengan demikian menyangkal suatu determinisme sepihak yang mengganggap individu dibentuk oleh struktur sosial yang tidak memililiki peran dalam menentukan struktur lainnya. Dengan kata lain Berger ingin menegaskan bahwa manusia dibentuk oleh struktur sosial, bersamaan itu pula manusia juga mempengaruhi untuk mengubah institusi dan struktur sosialnya. Bagi Berger ada tiga momen dialektis yang terjadi dalam masyarakat yaitu eksternalisasi, obyektifikasi dan internalisasi. Melalui eksternalisasi, manusia mengekpresikan diri membangun dunianya. Expresi ini memanifestasikan suatu relitas obyektif setelah melalui proses obyektifikasi. Demikian pula realitas James Davison Hunter, Stephan C. Ainly, “Introduction” dalam Making Sense of Modern Time, Peter L. Berger and the Vision of Interpretatif Sosiologi, Roudledge & Kegan Paul, (London, 1986) hlm. 1-8. Berger juga melihat kesadaran manusia sebagai kesadaran yang intensional yang selalu terarah kepada obyek. Demikian pula kesadaran juga dipengaruhi oleh obyek di luarnya, Peter L. Berger, The Social Construction of Reality, diterj. Hasan Basari, Tafsir Sosial atas Kenyataan, Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta, LP3ES, 1990) hlm. 30 2 Peter L. Berger, The Sacred Canopy, (Doubleday, Garden City, New York, 1967) hlm. 3 1 90a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) obyektif juga akan berpengaruh kuat bagi pembentukan perilaku manusia, setelah manusia tadi melewati tahap internalisasi.3 Sampai di sini bukan berarti harus berhenti, akan tetapi setiap masyarakat masih mewariskan pranata sosial yang dibangun kepada generasi berikutnya. Di sinilah proses sosialasi di upayakan. Dalam proses sosialisasi ini makna dan nilai dari pranata sosial harus di dijelaskan sedemikian rupa secara legitimatif, sehingga individu dapat menerimanya. Menurut Sastraprateja, fungsi legitimasi adalah kognitif dan sekaligus normatif. Kognitif karena menjelaskan mengenai makna realitas sosial dan normatif dalam arti akan memberi pedoman bagaimana seseorang harus berlaku dalam kehidupan riil. Legitimasi memiliki tujuan mempertahankan realitas. Ada beberapa tingkat legitimasi yang bisa mewujud pada kata-kata mutiara, legenda, perumpamaan, perintah-perintah moral, sistem simbol sampai pada perkembangan yang paling mutakhir dan sistematis yakni teori ilmiah.4 Dan bagi Berger agama merupakan satu satu bentuk legitimasi yang paling efektif. Karena agama yang paling komprehensif membicarakan tentang realitas seperti tragedi, penderitaan, ketidakadilan dan kematian.5 Penjelasan di atas memberikan suatu kerangka teoritik bahwa agama merupakan suatu penutup atau kanopi sakral (sacred canopy) yang melindungi manusia dari chaos, sesuatu yang tidak menentu tanpa arti. Dengan demikian agama meligitimasi institusi sosial dengan menempatkannya dalam suatu kerangka sakral. Sebegitu kuat posisi agama dalam konstruksi sosial, oleh karena itu agama yang secara operasional menjelma dalam berbagai bentuk teologi agama-agama harus tetap terintegrasi secara positif pada konteks sosial yang mewarnainya. Hal ini tentu dilakukan dengan tidak mengabaikan tahap-tahap dialektika sosial 3 Ibid, hal 2-4 4 M. Sastraprateja, dalam Pengantar, Peter L. Berger, Kabar dari Langit, Makna Teologis Dalam Masyarakat Modern, (Jakarta, LP3ES, 1991) hlm. xvi 5 Peter L. Berger , The Sacred Canopy…hlm. 105-107. Dan ternyata legitimasi kematian merupakan potensi transendensi dari universom simbolis memanifestasikan diri dengan cara yang paling jelas Peter L. Berger, The Social…hlm.145 Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 91 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) yang sedang berproses. Pada tahap inilah kontekstualisasi teologi menjadi penting dengan menempatkan iman secara transformatif dan beranjak dari pemahaman agama yang doktriner-normatif menuju menuju historis-empiris. Kontekstualisasi Teologi Agama-agama Dalam dialektikanya, antara iman dan komunitasnya ada interaksi yang begitu kuat dan berkelanjutan secara terus menerus. Macquarrie menegaskan bahwa teologi mensyaratkan adanya partisipasi dan refleksi dalam suatu komunitas iman dan berusaha menyatakan inti iman itu dalam bahasa yang sejelas mungkin.6 Partisipasi-refleksi ini menuntut suatu kelanjutan (continuity), sekaligus keterputusan (discontinuity). Berkelanjutan karena teologi bergumul dalam iman yang sudah ada dan bertitik tolak dari iman itu, sehingga teologi merupakan suatu kegiatan yang terlibat. Teologi juga merupakan suatu keterputusan lantaran melalui teologi iman dirumuskan dalam suatu pandangan (thought), sehingga teologi juga sebagai suatu ekspresi.7 Ini menandakan bahwa teologi secara sosiologis akan selalu bersinggungan dengan konteks sosial dan berhadapan dengan arus perubahan yang sebegitu pesat dalam suatu bingkai kebudayaan tertentu. Sementara Geert menilai, kebudayaan sebagai seperangkat nilai dan makna yang memberi petunjuk untuk hidup dalam institusi sosial yang beragam Baginya agama adalah “sistem budaya” (cultural system).8 Ini menandakan dalam setiap agama manapun akan mengandung sistem sosio-kultural yang memberikan suatu konsepsi tentang realitas dan rancangan untuk mewujudkannya. Artinya konsepsi manusia tentang realitas itu sendiri tidaklah bersumber dari pengetahuan, akan tetapi dari kepercayaan pada suatu otoritas mutlak yang berbeda menurut John Macquarrie, Principle of Christian Theology, (London, SCM Press, 1966) hlm. 1-3 7 John A. Titaley, Th.D, Menuju Teologi Agama-agama yang Kontektual, Pidato Pengukuhan Jabatan Fungsional Akademik Guru Besar Ilmu Teologi, Universitas Satya Wacana, Salatiga, 29 Nopember 2001, hlm. 4-5 8 Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, (New York: Basic Books, 1973) 6 92a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) agama dan keyakinannya. Karena agama juga merupakan realitas sosial, maka akan selalu hidup dan termanifestasikan dalam masyarakat. Dengan demikian konstruksi teologi agama selayaknya mengakar kepada dinamika sosial dengan segala keprihatinan dan keajaibannya. Maka cukup beralasan kalau Bevans secara tegas menilai, suatu teologi bisa disebut teologi apabila dia kontekstual,9 atau –dengan meminjam istilah Azyumardi Azra- perlu adanya akomodasi budaya dalam berteologi10 agar teologi agama-agama yang terbangun tidak berbenturan dengan realitas sosial yang selalu berubah. Apalagi kalau mau berpikir lebih jauh bahwa dalam wacana keagamaan tidak bisa terlepaskan dari persentuhannya dengan konsepsi tentang Yang Transesden atau -menurut bahasa Hick- the Real. Bagi Hick konsepsi manusia tentang the Real11 tak terlepas dari pengalaman keadaan yang historis dan adanya intervensi kebudayaan tertentu yang melingkupinya. Sehingga ketika konteks teologi ini telah menyentuh pada dimensi kebenaran, Hick menegaskan itu terjadi sebagai sesuatu yang budayawi, dalam pengertian bahwa pemahaman itu terjadi dalam Stephan B. Bevans, Model of Contextual Theology, Faith and Cultures Series, (Maryknoll-New York: 1996) hlm. 33. Gagasan kontekstualisasi teologi mulai diprakarsai Theological Education Fund (TEF) dalam upaya mengembangkan suatu teologi yang memadai dan menyentuh kebutuhan manusia, David J. Hasselgrave & Edward Roman, Kontektualisasi: Makna, Metode dan Model, Terj. Stephan Suleeman, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1996) hlm. 49-50 10 Azyumardi Azra, MA, Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam, (Bandung, Mizan, 1999) hlm. 11 11 Hick menerapkan konsep distingsi Imanuel Kant dalam memahami perbedaan fenomena keagamaan antara the Real sebagai sesuatu yang eksis dan the Real sebagai hasil pemahaman dari pengalaman individu dalam tradisi tertentu, John Hick, An Interpretation of Religion (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1989), hlm. 236. Oleh karena itu akan ada perbedaan persepsi tentang the Real sebagai akibat tidak adanya akses secara langsung kepada the Real sehingga melahirkan konflik konsepsi terhadap the Real (conflicting conception of the Real). Semua persepsi terhadap the Real selalu melalui mediator yaitu tradisi keagmaan yang unik (unique religious tradition), John Hick, Disputed Questions in Theology and the Philosophy of Religion (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1993), 159. 9 Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 93 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) kondisi-kondisi simbol budaya suatu masyarakat tertentu. Dalam masyarakat Israil kebenaran atau disebutnya eternal one, yang kekal hanya dapat dipahamai sebagai Yahweh secara kongrit dalam bentuk Tuhan Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Sedangkan dalam masyarakat India yang kekal itu dipahami sebagai Syiwa atau Krishna.12 Kesadaran bahwa kapasitas imaginasi dan pengalaman manusia dalam beragama yang terbatas dan selalu bersentuhan dengan budaya meyakinkan kita bahwa teologi yang kontekstual akan senantiasa dinamis, terbuka dan menyadari bahwa pluralisme adalah sebuah keniscayaan yang akan selalu hadir dalam kehidupan. Dengan demikian meletakkan kriteria kemanusiaan (humanum)13 atau lebih rincinya –seperti ditegaskan pula oleh Engineer-14 persaudaraan universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), dan keadilan sosial (social justice) dalam berteologi cukuplah mendesak sebagai tanggung jawab global setiap manusia. Islam dan Konteks Teologi di Indonesia Mencermati perjalanan Islam di Indonesia, maka akan menemukan konteks teologi yang begitu dinamis dan responsible terhadap kondisi sosial yang mengiringinya. Benar bahwa secara historis aliran teologi Islam yang dominan adalah aliran teologi Asy’ariyah yang kemudian menjadi aliran utama (mainstream school of theology) madzhab Ahl Sunnah wa-al-Jama’ah (Sunni) yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslim di Indonesia. Teologi Asy’ari muncul sebagai respon atas aliran Mu’tazilah. Dalam masalah kebebasan berkehendak Mu’tazilah memandang Tuhan tidak benar-benar memainkan peran dalam John Hick, God Has Many Names (London: Macmillian, 1980), 12 hlm. 52-54 Hans Kung menggambarkan resiprokal antara agama dan kemanusiaan secara dialektis dalam suatu statemennya, “The Humanity is the presupposition for the true religion…and the true religion is the fullfilment of true humanity…” Hans Kung, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic, trans. John Bowden (New York, Crossroad, 1991) hlm. 91-92 14 Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999) hlm. 33 13 94a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) kegiatan manusia dan manusia diposisikan sebagai pusat segalanya.15 Teologi Asy’ariyah sebaliknya berkeyakinan pada posisi ekstremnya dengan menolak ide bahwa manusia bisa bertindak semuanya dan berkehendak bebas. Menurutnya Tuhan menciptakan semua tindakan manusia dan manusia hanya memperolehnya (acquire) bukan melakukan (do). Dapat dilihat di sini teologi Asy’ary cenderung menekankan pada takdir (predestination), kendatipun ia memiliki potensi untuk mewujudkan kenginan dan perbuatannya (kasb) di bawah kekuasaan Tuhan.16 Kecenderungan teologi Asy’ary yang bersifat jabariyah (predestination) seperti itu oleh para pengamat dan peneliti dipandang sebagai yang bertanggung jawab atas kemunduran dan keterbelakangan sosial ekonomi karena akan melemahkan berkembangnya semangat etos kerja. Namun kalau mau meniti lebih jauh bagaimana teologi itu berkembang dan memberikan respon terhadap realitas sosial sepertinya harus berhati-hati karena dalam kenyataannya Islam mampu memberikan spirit bagi perlawanan terhadap kekuatan penjajah dengan adanya perubahan dan pergeseran teologi Islam (Asy’ariyah) dari waktu ke waktu. Kenyataan ini bisa dilacak sejak berkembangnya paham neosufisme yang disebarkan oleh ulama-ulama Indonesia yang baru kembali dari menuntut ilmu di Timur Tengah. Sufisme yang dikembangkan adalah reform sufism, sufisme yang telah dimurnikan dari praktek-praktek yang antinomian17, sehingga menjadi selaras dengan hukum Islam. Salah satu tema sentral neosufism adalah rekonstruksi sosio-moral masyarakat Muslim melalui aktifitas dan upaya kaum Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Tentang Fundamentalisme Islam, penyunting Ebrahim Moosa, (Jakarta, PT RajaGrafindo, Persada) hlm. 78-79 16 Ibid. hal 79. Bandingkan dengan Azyumardi Azra, Konteks Teologi di Indonesia:Pengalaman Islam, (Jakarta, Paramadina, 1999) hlm. 44-45 17 Antinomianisme merupakan suatu keloyalan terhadap agama tertentu namun kurang respek terhadap hukum-hukum moral yang dianggapnya sebagai sekuler, lihat Jonathan Z. Smith, The Harper Dictionary of Religion, (San Francisco, HarperCollin, 1995) hlm. 54 15 Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 95 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) Muslim sendiri, tanpa harus menunggu campur tangan eskatologi.18 Kesadaran ini memungkinkan para Ulama terlibat di berbagai urusan sosial antara lain menjadi mufti yang memberikan saran kepada para penguasa tidak saja pada urusan keagamaan tetapi juga dalam urusan perdagangan, diplomatik dan politik seperti yang terjadi pada Syekh Yusuf ketika bekerja sama dengan Sultan Ageng Tirtayasa dalam perang Banten dengan melawan melawan Belanda19. Bahkan seiring dengan terjadinya konsolidasi kolinialisme Belanda, abad 18, neosufisme mengalami proses politisasi dan radikalisasi yang kemudian munculah “teologi jihad” melawan penjajah Belanda yang jelas-jelas melakukan ekploitasi dan penindasan terhadap bangsa Indonesi. Teologi jihad ini semakin menguat setelah terbitnya sebuah buku khusus yang membicarakan tentang keutamaan jihad dalam Fadha’il alJihad20, yang dimotori oleh Syekh Abd al Shomad al-Palimbani, seorang ulama dan pemikir tasawuf yang beraliran al Ghozaly. Manifestasi teologi jihad di Jawa juga bisa terlihat pada perang Diponegoro melawan Belanda tahun 1825-1830. Demikian juga yang terjadi pada abad 19 di Kalisalak, Pekalongan dengan munculnya Syekh Ahmad Rifa’i. Setelah belajar cukup lama di Mekkah lalu beliau kembali ke desanya dan membentuk kelompok “Santri Tarjamah”. Melalui kelompoknya beliau mengecam penghulu yang diangkat oleh pemerintah Belanda dan berfatwa bahwa pernikahan yang melalui penghulu yang diangkat oleh Belanda dianggapnya sebagai tidak sah.21 Dari beberapa data di atas semakin meyakinkan bahwa teologi Islam telah begitu mengalami pergeseran secara dinamis sejalan dengan tatangan yang dihadapinya. Kemudian kalau melangkah ke era kontemporer pergeseran teologi ini semakin kompleks dan progresif. Hal ini bisa dilihat saat bangsa Indonesia mulai Azyumardi Azra, Konteks Teologi…,hlm. 46-47 Ibid. hlm.47 20 Buku ini membawa pengaruh yang cukup besar bagi kaum Muslim saat itu dan puncaknya adalah meletusnya pemberontakan kuam thariqat Naqsabandiyah dan Qodiriyah di Cilegon, Banten, 1888. Ibid. hal 48 21 Ibid. hlm. 48 18 19 96a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) mempersiapkan kemerdekaannya yang diwarnai adanya suatu “pergulatan” berbagai pandangan dunia (world view) yang diwarnai prinsip teologi tertentu mengenai posisi negara vis-a-vis doktrin agama. Melihat kenyataan bangsa Indonesia yang sangat majmuk dengan beragam suku, ras agama dan kepercayaan, mustahil terbentuk suatu negara kesatuan yang berdaulat tanpa adanya sebuah kesadaran akan pentingnya mengedepankan nilainilai kemanusiaan dan kebangsaan di atas segalanya sehingga muncullah ‘teologi kebangsaan”.22 Kebesaran tokoh-tokoh Islam -yang lebih mengedepankan kepentingan kebangsaan sebagai buah ijtihad politiknya – menjelang kemerdekaan tak heran kalau para pengamat dan peneliti memberikan suatu catatan sejarah yang mengagumkan terhadap fenomena keberagamaan di Indonesia terutama terkait dengan eksistensi minoritas non-Muslim dalam masyarakat Muslim. Hal ini bisa lihat misalnya uraian Smith: “Nowhere in the Moslem world (except perhap in Indonesia?) do Muslims feel that a non-Moslim member of their nation is ‘one of us”. And Nowhere do monorities feel accepted”23 Meskipun penilaian itu sebagai hasil dari suatu interpretasi terhadap fakta-fakta yang dilihatnya sebagai seorang peneliti, setidaknya itu dapat dijadikan bahan pertimbangan bahwa kesadaran keagamaan para tokoh-tokoh Islam terdepan saat itu begitu humanis an inklusif. Di sinilah nampak teologi Islam telah begitu membumi dan senantiasa bersentuhan dengan konteks sosialnya. Dan nampaknya upaya kontektualisasi teologi dalam Islam itu tak pernah berhenti hingga sekarang dengan agenda persoalan yang lebih serious. Maka tak heran kalau proses kreatif melalui Hal ini menunjukkan terjadinya suatu pergeseran dan meninggakan keharusan adanya suatu negara Islam. Memang pada era ini awalnya terjadi polemik yang sangat keras antara kelompok Nasionalis dan Islam terutama perdebatan seputar dasar Negara yang akhirnya memutuskan Pancasila sebagai Dasar negara setelah terjadi perdebatan sengit seputar Piagam Jakarta, lihat misalnya BJ Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesian, The Hague Martinus Nijhoff, 1971, p. 27-29 23 Wilfred Cantwell Smith, Islam in Mdern History, (Princeton, 1957) hlm.80 atau bisa disimak pada BJ Boland, The Struggle…hlm. 224 22 Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 97 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) “ijtihad” secara terus menerus melahirkan beragam formulasi teologi yang berbasis Islam. Dari beragamnya teologi itu misalnya, teologi modernisme yang dipelopori oleh Harun Nasution dan Nurcholish Madjid, teologi transformatif yang dimotori oleh para tokoh LSM semisal Adi Sasono, M. Dawam Raharjo dan Muslim Adurrahman, teologi Inklusifisme dengan Mukti Ali, Abdurrahman Wahid, dan Djohan Effendi sebagai tokohnya, dan teologi Neotradisionalisme yang dikembangkan oleh Sayyed Hussain Nasr dan sangat berpengaruh di Indonesia.24 Semua itu sebagai wujud upaya kontektualisasi teologi Islam dalam menjawab tantangan zaman menuju kehidupan yang berkeadaban dilandasi semangat keislaman dan keilahian. Dan upaya-upaya itu tidak mungkin terwujud tanpa kesadaran pentingnya pemahaman Islam secara kontekstualtransformatif. Pemahaman Islam Kontekstual-Transformatif Jelaslah bahwa teologi yang mampu hidup di tengah manusia adalah setidaknya teologi yang terbangun mampu merespon persoalan riil kehidupan kemanusiaan. Teologi yang tidak hanya berkutat pada persoalan metafisik tetapi yang mampu merubah ritus menjadi aksi sosial. Akan tetapi persoalannya tidak semudah dengan hanya mengedepankan kekuatan apologisme tanpa pemahaman wacana keislaman yang terangkum dalam teks-teks Kitab suci secara progresif-revolusioner. Tak cukup hanya menekankan pada pemahaman tekstual-normatif-skriptualis terhadap Islam seperti yang mengedepan pada kalangan ahli fiqh, akan tetapi perlu secara cerdas menangkap “term-term kunci” dalam doktrin Islam dengan menyerap makna terdalam (deep insight) darinya teksteks itu kepada konteksnya. Celakanya gejala pemahaman ahli fiqh ternyata Azyumardi Azra, Konteks Teologi…,hlm. 50-51 Sebenarnya masih banyak jenis teologi Islam dengan segala keunikannya sebagai respon iman terhadap realitas sosial dengan segala problematikanya, uraian lebih terinci mengenai keragaman pemikiran yang sangat berpengaruh bagi wacana teologi di Indosesia dapat dilihat dalam Dr. H. Abuddin Nata, MA., Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001) 24 98a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) mengedepan setidaknya sebagimana dirasakan oleh Arkoun dalam suatu keprihatinannya: ”Para ahli fiqh yang sekaligus teolog tidak mengetahui hal itu, mereka mempraktekkan jenis interpretasi terbatas dan membuat metodologi tertentu, yakni fiqh dan perundang-undangan. Dua hal ini mengubah diskursus al-Qur’an yang mempunyai makna mitis majazi, yang terbuka bagi berbagi makna dan pengertian, menjadi diskursus baku dan kaku dan …telah menyebabkan diabaikannya historisitas norma-norma etika keagamaan dan hukum-hukum fiqh. Jadilah norma-norma dan hukum fiqh itu seakan-akan berada diluar sejarah dan diluar kemestian sosial, menjadi suci: tidak boleh disentuh dan didiskusikan...”25 Hal ini membuktikan betapa umat Islam umumnya masih begitu sempit dalam menangkap semangat Islam dan terkesan sudah tercerabut dari realitasnya. Sehingga teologi yang terbangun hanya menyentuh pada wilayah metafisik dan isu-isu transendental saja. Keprihatinan inilah –setidaknyayang mendorong Engineer membangun landasan keislaman bagi teologi pembebasan sebagai jawaban atas persoalan kemanusiaan yang dihadapi saat itu. Menurut Engineer teologi pembebasan ini tidak hanya terbatas pada logika spekulatif metafisik akan tetapi lebih menekankan pada wilayah praksis dengan mengubah iman menjadi spirit bagi kesalehan sosial.26 Penegasan di atas mengukuhkan bahwa antara iman dan praksis dalam teologi pembebasan merupakan dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Asumsi dasar dalam teologi pembebasan menegaskan bahwa Islam senantiasa tidak memberikan ruang bagi adanya tindak kedlaliman dan diskriminasi. Kerena sejak awal diturunkan Islam telah mengadung missi pembebasan dan perdamaian. Menurut Mukti Ali, setidaknya ada tiga pesan penting Islam yang dibawa oleh Nabi SAW, pertama, membawa ajaran tauhid, kedua, perlawanan Nabi SAW tehadap penumpukan harta Muhammad Arkoun, al-Islam: al-Akhlaq wa al-siyasah, (Beirut: Markaz al-Inma’ al_Qauni, 1986) hlm. 172-173 26 Asghar Ali Engineer, “Islam and Liberation”, In Islam and Its Relevan to our Age, (Kuala Lumpur : Iqroq, 1987) hlm.59 25 Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 99 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) benda pada sekelompok orang tertentu, karena ini bisa berakibat pada ketdakadilan dan jatuh pda syirk. Ketiga, menghapuskan rasdiskriminasi, yang menganggap hubungan kekerabatan mereka hanya didasarkan pada hubungan darah/suku.27 Dengan kata lain, munculnya Islam sebenarnya tidak bisa terpisahkan dari konteks sosial dan sekaligus sebagai respon teologis atas fenomena ketidakadilan, eksploitasi dan penindasan yang merebak kala itu. Ketidakadilan bukanlah kondisi yang “given” secara metafisik, tetapi lebih merupakan konstruksi manusia melalui pemaksaan yang harus direspon dengan perlawanan. Wujud perlawanan dengan menjadikan agama sebagai sumber inspirasi juga dilakukan oleh Farid Esack di Afrika Selatan dengan mencoba secara kreatif menemukan makna terdalam teks dalam konteks karena baginya antara wahyu dan konteks ada hubungan yang kuat, …the process of revelation itself was never independent of the community’s context but consisted of a dynamics interaction between the two.28 Nampaknya Esack ingin menegaskan bahwa Islam harus ditransformasikan menjadi spirit untuk menjawab segala tatangan sosial yang empiris dan historis. Di sinilah pentingnya teologi pembebasan itu digagas dan kembangkan secara kontinyu meskipun dengan format dan bentuk yang berbeda. Sejalan dengan Engineer, Esack menilai teologi pembebasan merupakan upaya pembebasan agama dari bentuk ketidakadilan dan eksploitasi termasik di dalamnya adalah ras, gender, kelas dan agama.29 Dan ini semua mensyaratkan adanya suatu dialektika antara teks dengan konteks sehingga “hidup” dan selalu menemukan “kata kunci” dalam Islam yang mampu melahirkan api perubahan dalam perdamaian. Setidaknya ada empat kata kunci yang bisa dijadikan bahan renungan bagi bagi misi pembebasan sebagai respon H.A. Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, (Bandung, Mizan, 1991) hlm. 64-65 28 Farid Esack, Qur’an,Liberation and Pluralition an Islamic Perspectiveof interreligius solidarity again operation, (Oxford: Oneworld, 1997) hlm.16 29 Farid Esack, Qur’an,Liberation … hlm.83 27 100a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) terhadap konteks: Pertama, tauhid, menurut Engineer doktrin ini nerupakan inti ajaran Islam yang memiliki dua dimensi yaitu; pertama dimensi spiritual, menegasikan penyembahan terhadap “berhala” dalam masyarakat Mekkah saat itu. Kedua dimensi sosial politik, berhubungan dengan pertahanan Nabi Muhammad terhadap dominasi kelompok-kelompok tertentu dalam bidang ekonomi. Dengan demikian Tauhid tidak hanya menunjukkan keesaan Tuhan tetapi kesatuan umat manusia tanpa kelas.30 Sejalan dengan Engineer, Ali Syari’ati memahami Tauhid sebagai kesatuan universal dan eksistensinya antara Tuhan, alam dan manusia.31 Kesadaran ini secara tidak langsung juga memposiskan manusia secara egaliter memupuk semangat humanisme lintas kultur dan iman. Kedua, Adl (keadilan), karena adanya kesatuan kemanusiaan maka keadilan harus ditegakkan secara komprehensif. Islam tidak membolehkan adanya diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin, agama bahasa dan pertimbangan etnis. Al-Qur’an menggunakan terminologi adl dan Qist untuk menjelaskan persoalan keadilan.32 Dengan tetap mengacu pada semangat tauhid, menjadi jelas bahwa keadilan sebagai suatu sistem nilai yang perlu diperjuangkan harus mampu masuk pada berbagai wilayah yang multireligious dan multikulturalisme. Ketiga, Iman. Al-qur’an selalu menghubungkan “iman” dengan perbuatan-perbuatan yang baik (amal sholeh). Izutzu menjelaskan amal baik dan iman sebagai dua unit yang tidak bisa dipisahkan. Mereka yang merasa beriman idealnya Asghaar Ali Engineer, Islam and Liberation Teologi, hlm. 8 Doktrin tauhid ini Esack mampu mentransformasikannya menjadi konsep “masyarakat tauhidi (tauhidi society) sebagai idiologi yang mampu merangkul semua elemen masyarakat dalam suatu kehidupan yang lebih damai dan membebaskan perpecahan tradisional karena agama dan politik dan sekaligus sebagai konter terhadap idiologi apatheid, Farid Esac, Qur’an,Liberation … hlm. 91. Bandingkan juga dengan Nur Said, Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005) hlm. 70 – 75. 31 Ali Syari’ati, On the Sosiologi of Islam, (Barkeley : Mizan Press, 1984) hlm.83 32 QS. 49 ayat 9, lihat juga QS. 59 ayat 7, Qs 51 ayat 19, Qs. 69 ayat 33,34, Qs. 89 ayat 17,18. Uraian lebih terinci bisa juga dilihat pada Farid Esack, Qur’an,Liberation … hlm. 103-106 30 Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 101 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) mengaktualisasikan perilaku yang baik termasuk dalam hal penegakan keadilan.33 Sebagai implikasinya orang yang benarbenar beriman akan selalu menempatkan nilai keadilan sebagai hal penting dalam kehidupannya Keempat, jihad. Memahami makna jihad menarik mencermati uraian Esack yang lebih mengandung nuansa pembelaan hak-hak kemanusiaan. Bagi Esack jihad harus diletakkan pada konteks kebangsaan dan kemanusiaan yang selalu bersentuhan pada kehidupan praksis. Karenanya konsep Esack –dengan mengutip Qibla- cenderung mengkontekskan jihad sebagai paradigma Islam bagi perjuangan pembebasan (the islamic paradigm of the liberation struggle…an effort, an exertion to the utmost, a striving for truth and justice)34. Jelas sekali penekanan Esack bahwa menegakkan keadilan merupakan tujuan utama jihad daripada mengedepankan Islam sebagai sistem keagamaan namun bersamaan itu masih berlanjut terus penindasan, ekploitasi maupun diskriminasi. Namun tak jarang oleh sekelompok orang memahami jihad sebagai “perang suci” dan memberangus naluri kemanusiaan yang semestinya harus dikedepankan. Oleh Satha-Anand, pemikir muslim dari Thailand, kelompok ini mendapat kritik tajam. Menurut Satha-Anand; “Istilah jihad yang umumnya diterjemahkan dengan “perang suci’ mengandung arti suatu tindakan putus asa orang-orang irasional dan fanatik yang ingin memaksakan pandangan hidup mereka pada orang lain”35. Satha-Anand cenderung memaknai jihad sebagai perjuangan melawan penindasan, kedzaliman dan ketidakadilan dalam semua bentuknya, dimanapun ditemui dan demi mereka yang tertindas siapapun mereka.36 Model-model pemahaman Thoshihiko Izutsu, Etnicho Religious Concepts in the Qur’an (Montreal; McGill University Press, 1966) hlm. 204 34 Farid Esack, Qur’an,Liberation … hal 106-110 35 Satha-Anand memberikan penjelasan cukup rinci dengan menguraikan beberapa ayat al Qur’an yang menguatkan, lihat, Chaiwat SathaAnand, Agama dan Budaya Perdamaian, pent. Taufik Adnan Amal (Yogyakarta, Forum Kajian Agama dan Budaya, 2002) cet.II. hlm. 6 36 Ibid, hlm.8 bisa dilihat juga dalam Asghaar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, pent. Agung Prihantoro (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 33 102a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) yang yang bernuansa pembebasan seperti di atas setidaknya akan memberikan wawasan yang mencerahkan manakala pada tataran berikutnya diimplementasikan pada kehidupan nyata, dengan menghadirkan Islam secara kontekstual-transformatif. Masih banyak “kata kunci” lainnya dalam tradisi keislaman yang mengharuskan pola-pola penafsiran yang lebih progresiftransformatif dengan penggunaan metode dan pendekatan yang tepat. Untuk kepentingan ini al Jabiri menekankan pentingnya “obyektivisme” dan “rasionalitas” dalam memahami tradisi itu. Dengan obyektivisme (maudluiyyah) akan menjadikan tradisi lebih kontekstual dengan keberadaannya sendiri dan berarti memisahkan dirinya dari kondisi kekinian kita. Sebaliknya rasionalitas (ma’quliyyat) yaitu menjadikan tradisi itu lebih kontekstual dengan kondisi kekinian kita.37 Maka Al Jabiri- juga menegaskan begitu pentingnya “dekonstruksi” yakni merombak sistem relasi yang baku (dan beku) dalam satu struktur tertentu dan menjadikannya sebagai bukan struktur melainkan menjadikannya sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan “cair”38. Hubungan obyektifikasi dan rasionalitas sebagaimana Al Jabiri agaknya sejalan dengan pola penafsiran Fazlur Raham seperti dikedepankan oleh Esack dalam diagram sebagai berikut 39 : 1999) hlm. 33-39 37 Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalime Islam, terj. Ahmad Baso (Yogyakarta: LkiS, 2000) hlm.28. 38 ibid hlm. 30 Pola dekonstruksi terhadap wacana keagamaan ini sepertinya merupakan suatu keharusan lantaran bagi Armstrong umat manusia tak akan mampu menahankan kehampaan dan ketandusan, mereka akan selalu mengisi kekosongan itu dengan menciptakan sebuah pusat perhatian baru tentang “makna”. Mereka akan mencari tuhan-tuhan baru jika Tuhan yang diajarkan agama tidak relevan lagi. Dalam kegelisahan inilah Armstrong merasakan pentingnya mempertimbangkan “sejarah Tuhan” sebagai pelajaran dan peringatan sebagai bentuk dekonstruksi yang begitu radikal, lihat Karen Amstrong, Karel Amstrong, A History of God, The 4,000 Year Quest of Judaism, Christianity and Islam, (United States of America, First Ballatin Books Edition, 1994) hal 399 39 Dikutip dari pemaparan Esack tentang suatu “pencarian makna antara teks dan konteks” Farid Esack, Qur’an,Liberation … hlm. 66 Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 103 pentingnya “dekonstruksi” yakni merombak sistem relasi yang baku (dan beku) dalam satu struktur tertentu dan menjadikannya sebagai bukan struktur melainkan menjadikannya sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan “cair”38. Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) n rasionalitas sebagaimana Al Jabiri agaknya Historical Situation Qur’anic Response Generalizing Specific Answer Determining Moral-Social Objectives of the Qur’an Qur’anic Values Contemporary Islamic Diagram di atas mengilustrasikan bahwa untuk memahami al Qur’an setidaknya melalui dua langkah; pertama, menganalisa situasi sejarah serta tuntutan moral-etik (ethicomoral requirements) yang dilanjutkan dengan kajian terhadap teks-teks al Qur’an pada situasi tertentu. Selanjutnya, melakukan suatu “generalisasi” jawaban spesifik dari hasil hubungan antara teks dengan konteks menjadi sebuah “hukum moral sosial” (determining Moral-Social Objectives of the Qur’an). Langkah kedua adalah implementasi “hukum moral sosial” dalam konteks sosial yang kongrit saat ini setelah melalui kajian lebih serius tentang realitas sosial itu secara kritis. Pola ini diharapkan mampu mendudukkan semangat teks benar-benar memberikan alternatif solusi terhadap permasalahan yang dihadapinya. Lebih jauh Amin Abdullah menambahkan pentingnya penjelajahan penafsiran dengan pola (abductive)40 yang lebih menekankan the logic of discovery daripada the logic of justification.41 Semangat inilah yang akan meneguhkan pola penalaran kontekstual historis-empiris yang agaknya memang relevan untuk era kontemporer yang sarat dengan problematika dengan mengembalikan kesadaran komunitas keagamaan yang deep insight ‘hati nurani” manusia yang paling dalam. Dengan Pola pikir ini lebih menekankan unsur hipotesis, interpretasi, proses pengujian di lapangan terhadap rumus-rumus, konsep-konsep, dalil-dalil dan gagasan-gagasan yang dihasilkan oleh kombinasi pola pokir deduktif dan induktif, Amin Adullah, “Agama Masa Depan: Intersubjektif dan Posdogmatik”, dalam BASIS No.05-06, Tahun ke-51, Mei-Juni 2002, hlm. 54 41 Ibid 40 104a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) cara pemahaman seperti inilah agaknya teologi Islam yang kontekstual akan bisa hidup dalam segala zaman (shalihun li kulli zaman wa makan). Penutup Kehadiran Islam di tengah pergumulan manusia ini sejak awal membawa misi kemanusiaan di samping ketuhanan. Ini sekaligus respon atas hegemoni kultur dan idiologi yang tak beradab, menindas dan diskriminatif. Islam akan tetap memenuhi tantangan zaman dengan berbagai persoalan yang dihadapinya manakala umat pemeluknya secara kreatif mengkontekskan dan mentransformasikan ajaran-ajarannya dengan senantiasa berusaha menemukan “makna terdalam” dari semangat teks-teks Kitab Suci. Pada tahap inilah teologi Islam kontekstual-transformatif menjadi penting dan relevan untuk dikembangkan di tengah masyarakat global yang multireligious dan multikultur menuju perdamaian bersama terutama bagi STAIN Kudus yang sedang mengusung Islam trnasformatif sebagai Pola Ilmiah Pokok (PIP) nya.*** Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 105 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Amin, “Agama Masa Depan: Intersubjektif dan Posdogmatik”, dalam BASIS No.05-06, Tahun ke-51, Mei-Juni 2002 Ali, Mukti H.A., Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, (Bandung, Mizan, 1991) Al-Jabiri, Muhammad Abed, Post Tradisionalime Islam, terj. Ahmad Baso (Yogyakarta: LkiS, 2000) Amstrong, Karel, A History of God, The 4,000 Year Quest of Judaism, Christianity and Islam, (United States of America, First Ballatin Books Edition, 1994) Anand, Chaiwat Satha-, Agama dan Budaya Perdamaian, pent. Taufik Adnan Amal (Yogyakarta, Forum Kajian Agama dan Budaya, 2002) Arkoun, Muhammad, al-Islam: al-Akhlaq wa al-siyasah, (Beirut: Markaz al-Inma’ al_Qauni, 1986) Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam, (Bandung, Mizan, 1999) Bevans, Stephan B., Model of Contextual Theology, Faith and Cultures Series, (Maryknoll-New York: 1996). Boland, BJ, The Struggle of Islam in Modern Indonesian, The Hague Martinus Nijhoff, 1971, Engineer, Asghaar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, pent. Agung Prihantoro (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999) Engineer, Asghar Ali, “Islam and Liberation”, In Islam and Its Relevan to our Age, (Kuala Lumpur : Iqroq, 1987) Esack, Farid, Qur’an,Liberation and Pluralition an Islamic Perspectiveof interreligius solidarity again operation, (Oxford: Oneworld, 1997) Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture, (New York: Basic Books, 1973) Hasselgrave, David J. & Edward Roman, Kontektualisasi: Makna, Metode dan Model, Terj. Stephan Suleeman, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1996) 106a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) Hick, John, An Interpretation of Religion (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1989), Hick, John, Disputed Questions in Theology and the Philosophy of Religion (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1993), Hick, John, God Has Many Names (London: Macmillian, 1980), Hunter, James Davison, Stephan C. Ainly, “Introduction” dalam Making Sense of Modern Time, Peter L. Berger and the Vision of Interpretatif Sosiologi, Roudledge & Kegan Paul, (London, 1986) Izutsu, Thoshihiko, Etnicho Religious Concepts in the Qur’an (Montreal; McGill University Press, 1966) Kung, Hans, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic, trans. John Bowden (New York, Crossroad, 1991) Macquarrie, John, Principle of Christian Theology, (London, SCM Press, 1966) Nata, Abuddin Dr. H., MA., Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001) Rahman, Fazlur, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Tentang Fundamentalisme Islam, penyunting Ebrahim Moosa, (Jakarta, PT RajaGrafindo, Persada) Said, Nur, Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia, (Yogyakarta, Pilar Media, 2005). Sastraprateja, M., dalam Pengantar, Peter L. Berger, Kabar dari Langit, Makna Teologis Dalam Masyarakat Modern, (Jakarta, LP3ES, 1991) Smith, Jonathan Z., The Harper Dictionary of Religion, (San Francisco, HarperCollin, 1995) Smith, Wilfred Cantwell, Islam in Mdern History, (Princeton, 1957) Syari’ati, Ali, On the Sosiologi of Islam, (Bandung: Mizan Press, 1984) Titaley, John A, Menuju Teologi Agama-agama yang Kontektual, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Teologi, Univ. Satya Wacana, Salatiga, 29 Nopember 2001. Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 107 Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said) 108a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013