87 teologi islam kontekstual- transformatif

advertisement
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
TEOLOGI ISLAM KONTEKSTUALTRANSFORMATIF
Nur Said
STAIN Kudus
Email: [email protected]
ABSTRACT
A Religion has strong influence on humanity, morality, ethics,
and aesthetics in the process of humankind development. This
of course, will construct the worldview individually and socially
as well. It may be said that nearly all the social life haven’t
been ignored the role of religion in the making humanity as an
expression of the whole of collective life. Therefore the religious
spirit is also in constant change, which formulated in a certain
theology in line with the historical progress contextually. In
addition, theology is a discourse through which believers develop
and express the content of their faith as they have confessed it.
The notion of this article tries to elaborate the contextualization
of Islamic Theology in Indonesia in respecting to the social
phenomena such as colonialism, oppression, human right, and
pluralism in Indonesia. It also gives paradigmatic contribution
to interpret the Secret text on historical situation in order to
determine public morality more than just individual morality.
The main points are a searching of meaning between “text”
and context in Indonesia society as manifestation of Islamic
contextual theology. It means that Islam should be “translated”
in particular way in order may “come down to earth” and meet
in the contemporary demands.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
87
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
Keywords: Islam, contextual-transformative theology, human
right, Indonesia
Pendahuluan
Agama sebagai suatu sistem keyakinan dan pedoman hidup
sangatlah penting dan fundamental bagi umat manusia, lebih-lebih
untuk para pemeluknya. Namun dalam kelompok masyarakat yang
mengalami derita sosial, multikrisis yang berkepanjangan, selain
agama yang sebenarnya memiliki fungsi profetik yang mulia,
tidak jarang dalam bias perilaku para pengikutnya mendorong
pelarian diri dari kehidupan duniawi seperti hidup zuhud kaum
sufi atau sebaliknya memicu radikalisme dan militansi perilaku
yang serba mutlak seperti konsep jihad yang serba fisik belaka.
Sehingga secara kasat mata seringkali menemukan sekelompok
umat beragama dengan berbagai simbol keagamaan yang kental
dan atraktif justru menunjukkan perilaku kekerasan fisik, teror,
ancaman, hingga ke kesediaan untuk menumpahkan darah
sesama.
Wajah seperti ini menampakkan Agama justru akan
membawa keterbelakangan umat dan belum bisa memberikan
peran yang begitu berarti lantaran ketidakmampuan para
pemeluknya dalam merumuskan persoalan dengan jelas, terutama
bagaimana konteks teologi dibenturkan dengan kenyataan
kehidupan yang begitu kompleks dan selalu berubah. Disamping
itu, teologi agama-agama yang telah ada kurang memberikan
sentuhan yang berarti untuk perkembangan ilmu-ilmu sosial dan
historisitas keagamaan yang sebenarnya tidak bisa dilepaskan
dari tradisi keagamaan sejalan dengan locus dan tempus yang
menyelimutinya. Akibatnya teologi agama-agama tidak
punya komitmen yang sungguh-sungguh terhadap masa depan
kemanusiaan di planet ini.
Bagaimana Islam sebagai agama besar di dunia ini mampu
menjawab berbagai tantangan di tengah tantangan global dan
transformasi sosial yang begitu cepat. Tulisan singkat ini akan
mencoba menawarkan beberapa pointer menuju terbangunnya
teologi kontekstual yang membebaskan,
membumi dan
menyentuh persoalan riil kemanusiaan dengan meletakkan Islam
88a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
sebagai rohnya. Oleh karena itu yang dikedepankan adalah
bagaimana menjadikan Islam sebagai spirit bagi terciptanya
budaya perdamaian dan pembebasan sejalan dengan tuntutan
konteksnya.
Posisi Agama dalam Struktur Sosial
Penting kiranya terlebih dahulu memahami agama dalam
ranah sosial, karena paradigma yang ingin dibangun adalah
bagamana memahami agama secara sosiologis-kontekstual
sebagai kerangka menuju teologi Islam yang kontekstual.
Untuk kepentingan ini menuntut adanya analisa kenyataan
sosial sebagaimana adanya, tanpa memberikan penilaian etis
ataupun politis dan bersamaan itu pula akan kita temukan
bahwa dalam realitas sosial mengandung makna dan nilai yang
melingkupinya.
Hal ini mengandaikan suatu penafsiran dalam pemahaman
makna dan pranata sosial berikut hubungan kausalnya. Dalam
konteks inilah relevan kiranya mengaktualkan konsep umum
yang dibangun oleh Berger dalam menggambarkan fenomena
kenyataan sosial ini secara lebih komprehensif dan di mana posisi
agama itu terposisikan.
Bagi Berger fenomenologi merupakan aspek yang penting
bagi pemahaman dunia sehari-hari sebagai obyek penelitian
sosiologi. Setidaknya ada 3 (tiga) macam fenomenologi, pertama,
fenomenologi transendental yang berusaha mencapai pengetahuan
tanpa pengandaian. Kedua, fenomenologi hermenetik, lebih
menekankan pada sifat linguistik manusia, sehingga teks
menjadi obyek dari analisa fenomenologi. Ketiga, fenomenologi
eksistensial, menekankan analisa dunia kehidupan (life-world).
Fenomenologi jenis ketiga inilah yang banyak mempengaruhi
Berger dalam kajian sosiologisnya.
Pengaruh ini dapat dilihat dari pandangannya tentang
manusia. Baginya dunia manusia ditandai dengan keterbukaan,
sehingga perilaku manusia hanya sedikit saja dipengaruhi
oleh naluri. Oleh karenanya manusia harus membentuk sendiri
perilakunya melalui pengaturan dan penertiban yang berlangsung
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
89
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
secara terus menerus.1 Ini menandakan bahwa perilaku manusia
merupakan manifestasi dari fenomena dialektika antar manusia
yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam suatu masyarakat
tertentu. Pola kausalitas dalam kenyataan sosial digambarkan
Berger dalam uraiannya:
Masyarakat adalah suatu gejala dialektik, yaitu suatu hasil
manusia dan tak lain adalah hasil manusia, tetapi terus menerus
mempengaruhi hasil itu. Masyarakat adalah hasil produk
manusia. Ia tak lain adalah aktifitas dan kesadaran manusia.
Tidak ada kenyataan sosial lepas dari manusia, tapi dapat juga
dikatakan bahwa manusia adalah hasil dari masyarakat. Biografi
setiap individu adalah suatu episode dalam sejarah masyarakat
yang mendahului dan melestarikannya. Masyarakat sudah ada
sebelum individu dilahirkan dan tetap ada sesuadah individu itu
mati.2
Kejelian Berger dalam melihat relasi manusia dengan
masyarakat sebagai yang berinteraksi secara dialektis, dengan
demikian menyangkal suatu determinisme sepihak yang
mengganggap individu dibentuk oleh struktur sosial yang tidak
memililiki peran dalam menentukan struktur lainnya. Dengan
kata lain Berger ingin menegaskan bahwa manusia dibentuk oleh
struktur sosial, bersamaan itu pula manusia juga mempengaruhi
untuk mengubah institusi dan struktur sosialnya.
Bagi Berger ada tiga momen dialektis yang terjadi dalam
masyarakat yaitu eksternalisasi, obyektifikasi dan internalisasi.
Melalui eksternalisasi, manusia mengekpresikan diri membangun
dunianya. Expresi ini memanifestasikan suatu relitas obyektif
setelah melalui proses obyektifikasi. Demikian pula realitas
James Davison Hunter, Stephan C. Ainly, “Introduction” dalam
Making Sense of Modern Time, Peter L. Berger and the Vision of Interpretatif
Sosiologi, Roudledge & Kegan Paul, (London, 1986) hlm. 1-8. Berger juga
melihat kesadaran manusia sebagai kesadaran yang intensional yang selalu
terarah kepada obyek. Demikian pula kesadaran juga dipengaruhi oleh obyek
di luarnya, Peter L. Berger, The Social Construction of Reality, diterj. Hasan
Basari, Tafsir Sosial atas Kenyataan, Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan,
(Jakarta, LP3ES, 1990) hlm. 30
2
Peter L. Berger, The Sacred Canopy, (Doubleday, Garden City, New
York, 1967) hlm. 3
1
90a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
obyektif juga akan berpengaruh kuat bagi pembentukan perilaku
manusia, setelah manusia tadi melewati tahap internalisasi.3
Sampai di sini bukan berarti harus berhenti, akan tetapi
setiap masyarakat masih mewariskan pranata sosial yang
dibangun kepada generasi berikutnya. Di sinilah proses sosialasi
di upayakan. Dalam proses sosialisasi ini makna dan nilai
dari pranata sosial harus di dijelaskan sedemikian rupa secara
legitimatif, sehingga individu dapat menerimanya.
Menurut Sastraprateja, fungsi legitimasi adalah kognitif
dan sekaligus normatif. Kognitif karena menjelaskan mengenai
makna realitas sosial dan normatif dalam arti akan memberi
pedoman bagaimana seseorang harus berlaku dalam kehidupan
riil. Legitimasi memiliki tujuan mempertahankan realitas. Ada
beberapa tingkat legitimasi yang bisa mewujud pada kata-kata
mutiara, legenda, perumpamaan, perintah-perintah moral, sistem
simbol sampai pada perkembangan yang paling mutakhir dan
sistematis yakni teori ilmiah.4 Dan bagi Berger agama merupakan
satu satu bentuk legitimasi yang paling efektif. Karena agama
yang paling komprehensif membicarakan tentang realitas seperti
tragedi, penderitaan, ketidakadilan dan kematian.5
Penjelasan di atas memberikan suatu kerangka teoritik
bahwa agama merupakan suatu penutup atau kanopi sakral (sacred
canopy) yang melindungi manusia dari chaos, sesuatu yang
tidak menentu tanpa arti. Dengan demikian agama meligitimasi
institusi sosial dengan menempatkannya dalam suatu kerangka
sakral. Sebegitu kuat posisi agama dalam konstruksi sosial,
oleh karena itu agama yang secara operasional menjelma dalam
berbagai bentuk teologi agama-agama harus tetap terintegrasi
secara positif pada konteks sosial yang mewarnainya. Hal ini tentu
dilakukan dengan tidak mengabaikan tahap-tahap dialektika sosial
3 Ibid, hal 2-4
4
M. Sastraprateja, dalam Pengantar, Peter L. Berger, Kabar dari
Langit, Makna Teologis Dalam Masyarakat Modern, (Jakarta, LP3ES, 1991)
hlm. xvi
5
Peter L. Berger , The Sacred Canopy…hlm. 105-107. Dan ternyata
legitimasi kematian merupakan potensi transendensi dari universom simbolis
memanifestasikan diri dengan cara yang paling jelas Peter L. Berger, The
Social…hlm.145
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
91
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
yang sedang berproses. Pada tahap inilah kontekstualisasi teologi
menjadi penting dengan menempatkan iman secara transformatif
dan beranjak dari pemahaman agama yang doktriner-normatif
menuju menuju historis-empiris.
Kontekstualisasi Teologi Agama-agama
Dalam dialektikanya, antara iman dan komunitasnya ada
interaksi yang begitu kuat dan berkelanjutan secara terus menerus.
Macquarrie menegaskan bahwa teologi mensyaratkan adanya
partisipasi dan refleksi dalam suatu komunitas iman dan berusaha
menyatakan inti iman itu dalam bahasa yang sejelas mungkin.6
Partisipasi-refleksi ini menuntut suatu kelanjutan (continuity),
sekaligus keterputusan (discontinuity). Berkelanjutan karena
teologi bergumul dalam iman yang sudah ada dan bertitik tolak
dari iman itu, sehingga teologi merupakan suatu kegiatan yang
terlibat.
Teologi juga merupakan suatu keterputusan lantaran
melalui teologi iman dirumuskan dalam suatu pandangan (thought),
sehingga teologi juga sebagai suatu ekspresi.7 Ini menandakan
bahwa teologi secara sosiologis akan selalu bersinggungan
dengan konteks sosial dan berhadapan dengan arus perubahan
yang sebegitu pesat dalam suatu bingkai kebudayaan tertentu.
Sementara Geert menilai, kebudayaan sebagai seperangkat
nilai dan makna yang memberi petunjuk untuk hidup dalam
institusi sosial yang beragam Baginya agama adalah “sistem
budaya” (cultural system).8 Ini menandakan dalam setiap
agama manapun akan mengandung sistem sosio-kultural yang
memberikan suatu konsepsi tentang realitas dan rancangan untuk
mewujudkannya. Artinya konsepsi manusia tentang realitas itu
sendiri tidaklah bersumber dari pengetahuan, akan tetapi dari
kepercayaan pada suatu otoritas mutlak yang berbeda menurut
John Macquarrie, Principle of Christian Theology, (London, SCM
Press, 1966) hlm. 1-3
7
John A. Titaley, Th.D, Menuju Teologi Agama-agama yang
Kontektual, Pidato Pengukuhan Jabatan Fungsional Akademik Guru Besar Ilmu
Teologi, Universitas Satya Wacana, Salatiga, 29 Nopember 2001, hlm. 4-5
8
Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, (New York: Basic
Books, 1973)
6
92a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
agama dan keyakinannya.
Karena agama juga merupakan realitas sosial, maka akan
selalu hidup dan termanifestasikan dalam masyarakat. Dengan
demikian konstruksi teologi agama selayaknya mengakar kepada
dinamika sosial dengan segala keprihatinan dan keajaibannya.
Maka cukup beralasan kalau Bevans secara tegas menilai, suatu
teologi bisa disebut teologi apabila dia kontekstual,9 atau –dengan
meminjam istilah Azyumardi Azra- perlu adanya akomodasi
budaya dalam berteologi10 agar teologi agama-agama yang
terbangun tidak berbenturan dengan realitas sosial yang selalu
berubah.
Apalagi kalau mau berpikir lebih jauh bahwa dalam
wacana keagamaan tidak bisa terlepaskan dari persentuhannya
dengan konsepsi tentang Yang Transesden atau -menurut bahasa
Hick- the Real. Bagi Hick konsepsi manusia tentang the Real11
tak terlepas dari pengalaman keadaan yang historis dan adanya
intervensi kebudayaan tertentu yang melingkupinya. Sehingga
ketika konteks teologi ini telah menyentuh pada dimensi
kebenaran, Hick menegaskan itu terjadi sebagai sesuatu yang
budayawi, dalam pengertian bahwa pemahaman itu terjadi dalam
Stephan B. Bevans, Model of Contextual Theology, Faith and
Cultures Series, (Maryknoll-New York: 1996) hlm. 33. Gagasan kontekstualisasi
teologi mulai diprakarsai Theological Education Fund (TEF) dalam upaya
mengembangkan suatu teologi yang memadai dan menyentuh kebutuhan
manusia, David J. Hasselgrave & Edward Roman, Kontektualisasi: Makna,
Metode dan Model, Terj. Stephan Suleeman, (Jakarta, BPK Gunung Mulia,
1996) hlm. 49-50
10
Azyumardi Azra, MA, Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman
Islam, (Bandung, Mizan, 1999) hlm. 11
11
Hick menerapkan konsep distingsi Imanuel Kant dalam memahami
perbedaan fenomena keagamaan antara the Real sebagai sesuatu yang eksis
dan the Real sebagai hasil pemahaman dari pengalaman individu dalam tradisi
tertentu, John Hick, An Interpretation of Religion (New Haven, Conn.: Yale
University Press, 1989), hlm. 236. Oleh karena itu akan ada perbedaan persepsi
tentang the Real sebagai akibat tidak adanya akses secara langsung kepada
the Real sehingga melahirkan konflik konsepsi terhadap the Real (conflicting
conception of the Real). Semua persepsi terhadap the Real selalu melalui
mediator yaitu tradisi keagmaan yang unik (unique religious tradition), John
Hick, Disputed Questions in Theology and the Philosophy of Religion (New
Haven, Conn.: Yale University Press, 1993), 159.
9
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
93
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
kondisi-kondisi simbol budaya suatu masyarakat tertentu.
Dalam masyarakat Israil kebenaran atau disebutnya
eternal one, yang kekal hanya dapat dipahamai sebagai Yahweh
secara kongrit dalam bentuk Tuhan Abraham, Allah Ishak dan
Allah Yakub. Sedangkan dalam masyarakat India yang kekal itu
dipahami sebagai Syiwa atau Krishna.12
Kesadaran bahwa kapasitas imaginasi dan pengalaman
manusia dalam beragama yang terbatas dan selalu bersentuhan
dengan budaya meyakinkan kita bahwa teologi yang kontekstual
akan senantiasa dinamis, terbuka dan menyadari bahwa pluralisme
adalah sebuah keniscayaan yang akan selalu hadir dalam
kehidupan. Dengan demikian meletakkan kriteria kemanusiaan
(humanum)13 atau lebih rincinya –seperti ditegaskan pula oleh
Engineer-14 persaudaraan universal (universal brotherhood),
kesetaraan (equality), dan keadilan sosial (social justice) dalam
berteologi cukuplah mendesak sebagai tanggung jawab global
setiap manusia.
Islam dan Konteks Teologi di Indonesia
Mencermati perjalanan Islam di Indonesia, maka akan
menemukan konteks teologi yang begitu dinamis dan responsible
terhadap kondisi sosial yang mengiringinya. Benar bahwa secara
historis aliran teologi Islam yang dominan adalah aliran teologi
Asy’ariyah yang kemudian menjadi aliran utama (mainstream
school of theology) madzhab Ahl Sunnah wa-al-Jama’ah (Sunni)
yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslim di Indonesia.
Teologi Asy’ari muncul sebagai respon atas aliran
Mu’tazilah. Dalam masalah kebebasan berkehendak Mu’tazilah
memandang Tuhan tidak benar-benar memainkan peran dalam
John Hick, God Has Many Names (London: Macmillian, 1980),
12
hlm. 52-54
Hans Kung menggambarkan resiprokal antara agama dan
kemanusiaan secara dialektis dalam suatu statemennya, “The Humanity is the
presupposition for the true religion…and the true religion is the fullfilment of
true humanity…” Hans Kung, Global Responsibility: In Search of a New World
Ethic, trans. John Bowden (New York, Crossroad, 1991) hlm. 91-92
14
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 1999) hlm. 33
13
94a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
kegiatan manusia dan manusia diposisikan sebagai pusat
segalanya.15
Teologi Asy’ariyah sebaliknya berkeyakinan
pada posisi ekstremnya dengan menolak ide bahwa manusia
bisa bertindak semuanya dan berkehendak bebas. Menurutnya
Tuhan menciptakan semua tindakan manusia dan manusia
hanya memperolehnya (acquire) bukan melakukan (do). Dapat
dilihat di sini teologi Asy’ary cenderung menekankan pada
takdir (predestination), kendatipun ia memiliki potensi untuk
mewujudkan kenginan dan perbuatannya (kasb) di bawah
kekuasaan Tuhan.16
Kecenderungan teologi Asy’ary yang bersifat jabariyah
(predestination) seperti itu oleh para pengamat dan peneliti
dipandang sebagai yang bertanggung jawab atas kemunduran
dan keterbelakangan sosial ekonomi karena akan melemahkan
berkembangnya semangat etos kerja. Namun kalau mau meniti
lebih jauh bagaimana teologi itu berkembang dan memberikan
respon terhadap realitas sosial sepertinya harus berhati-hati
karena dalam kenyataannya Islam mampu memberikan spirit
bagi perlawanan terhadap kekuatan penjajah dengan adanya
perubahan dan pergeseran teologi Islam (Asy’ariyah) dari waktu
ke waktu.
Kenyataan ini bisa dilacak sejak berkembangnya paham
neosufisme yang disebarkan oleh ulama-ulama Indonesia yang
baru kembali dari menuntut ilmu di Timur Tengah. Sufisme
yang dikembangkan adalah reform sufism, sufisme yang telah
dimurnikan dari praktek-praktek yang antinomian17, sehingga
menjadi selaras dengan hukum Islam.
Salah satu tema sentral neosufism adalah rekonstruksi
sosio-moral masyarakat Muslim melalui aktifitas dan upaya kaum
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Tentang
Fundamentalisme Islam, penyunting Ebrahim Moosa, (Jakarta, PT RajaGrafindo,
Persada) hlm. 78-79
16
Ibid. hal 79. Bandingkan dengan Azyumardi Azra, Konteks Teologi
di Indonesia:Pengalaman Islam, (Jakarta, Paramadina, 1999) hlm. 44-45
17
Antinomianisme merupakan suatu keloyalan terhadap agama
tertentu namun kurang respek terhadap hukum-hukum moral yang dianggapnya
sebagai sekuler, lihat Jonathan Z. Smith, The Harper Dictionary of Religion,
(San Francisco, HarperCollin, 1995) hlm. 54
15
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
95
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
Muslim sendiri, tanpa harus menunggu campur tangan eskatologi.18
Kesadaran ini memungkinkan para Ulama terlibat di berbagai
urusan sosial antara lain menjadi mufti yang memberikan saran
kepada para penguasa tidak saja pada urusan keagamaan tetapi
juga dalam urusan perdagangan, diplomatik dan politik seperti
yang terjadi pada Syekh Yusuf ketika bekerja sama dengan Sultan
Ageng Tirtayasa dalam perang Banten dengan melawan melawan
Belanda19.
Bahkan seiring dengan terjadinya konsolidasi kolinialisme
Belanda, abad 18, neosufisme mengalami proses politisasi dan
radikalisasi yang kemudian munculah “teologi jihad” melawan
penjajah Belanda yang jelas-jelas melakukan ekploitasi
dan penindasan terhadap bangsa Indonesi. Teologi jihad ini
semakin menguat setelah terbitnya sebuah buku khusus yang
membicarakan tentang keutamaan jihad dalam Fadha’il alJihad20, yang dimotori oleh Syekh Abd al Shomad al-Palimbani,
seorang ulama dan pemikir tasawuf yang beraliran al Ghozaly.
Manifestasi teologi jihad di Jawa juga bisa terlihat pada
perang Diponegoro melawan Belanda tahun 1825-1830. Demikian
juga yang terjadi pada abad 19 di Kalisalak, Pekalongan dengan
munculnya Syekh Ahmad Rifa’i. Setelah belajar cukup lama di
Mekkah lalu beliau kembali ke desanya dan membentuk kelompok
“Santri Tarjamah”. Melalui kelompoknya beliau mengecam
penghulu yang diangkat oleh pemerintah Belanda dan berfatwa
bahwa pernikahan yang melalui penghulu yang diangkat oleh
Belanda dianggapnya sebagai tidak sah.21
Dari beberapa data di atas semakin meyakinkan bahwa
teologi Islam telah begitu mengalami pergeseran secara dinamis
sejalan dengan tatangan yang dihadapinya. Kemudian kalau
melangkah ke era kontemporer pergeseran teologi ini semakin
kompleks dan progresif.
Hal ini bisa dilihat saat bangsa Indonesia mulai
Azyumardi Azra, Konteks Teologi…,hlm. 46-47
Ibid. hlm.47
20
Buku ini membawa pengaruh yang cukup besar bagi kaum Muslim
saat itu dan puncaknya adalah meletusnya pemberontakan kuam thariqat
Naqsabandiyah dan Qodiriyah di Cilegon, Banten, 1888. Ibid. hal 48
21
Ibid. hlm. 48
18
19
96a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
mempersiapkan kemerdekaannya yang diwarnai adanya suatu
“pergulatan” berbagai pandangan dunia (world view) yang
diwarnai prinsip teologi tertentu mengenai posisi negara vis-a-vis
doktrin agama. Melihat kenyataan bangsa Indonesia yang sangat
majmuk dengan beragam suku, ras agama dan kepercayaan,
mustahil terbentuk suatu negara kesatuan yang berdaulat tanpa
adanya sebuah kesadaran akan pentingnya mengedepankan nilainilai kemanusiaan dan kebangsaan di atas segalanya sehingga
muncullah ‘teologi kebangsaan”.22
Kebesaran tokoh-tokoh Islam -yang lebih mengedepankan
kepentingan kebangsaan sebagai buah ijtihad politiknya –
menjelang kemerdekaan tak heran kalau para pengamat dan
peneliti memberikan suatu catatan sejarah yang mengagumkan
terhadap fenomena keberagamaan di Indonesia terutama terkait
dengan eksistensi minoritas non-Muslim dalam masyarakat
Muslim. Hal ini bisa lihat misalnya uraian Smith: “Nowhere in
the Moslem world (except perhap in Indonesia?) do Muslims feel
that a non-Moslim member of their nation is ‘one of us”. And
Nowhere do monorities feel accepted”23
Meskipun penilaian itu sebagai hasil dari suatu interpretasi
terhadap fakta-fakta yang dilihatnya sebagai seorang peneliti,
setidaknya itu dapat dijadikan bahan pertimbangan bahwa
kesadaran keagamaan para tokoh-tokoh Islam terdepan saat itu
begitu humanis an inklusif. Di sinilah nampak teologi Islam telah
begitu membumi dan senantiasa bersentuhan dengan konteks
sosialnya.
Dan nampaknya upaya kontektualisasi teologi dalam Islam
itu tak pernah berhenti hingga sekarang dengan agenda persoalan
yang lebih serious. Maka tak heran kalau proses kreatif melalui
Hal ini menunjukkan terjadinya suatu pergeseran dan meninggakan
keharusan adanya suatu negara Islam. Memang pada era ini awalnya terjadi
polemik yang sangat keras antara kelompok Nasionalis dan Islam terutama
perdebatan seputar dasar Negara yang akhirnya memutuskan Pancasila sebagai
Dasar negara setelah terjadi perdebatan sengit seputar Piagam Jakarta, lihat
misalnya BJ Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesian, The Hague
Martinus Nijhoff, 1971, p. 27-29
23
Wilfred Cantwell Smith, Islam in Mdern History, (Princeton, 1957)
hlm.80 atau bisa disimak pada BJ Boland, The Struggle…hlm. 224
22
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
97
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
“ijtihad” secara terus menerus melahirkan beragam formulasi
teologi yang berbasis Islam.
Dari beragamnya teologi itu misalnya, teologi modernisme
yang dipelopori oleh Harun Nasution dan Nurcholish Madjid,
teologi transformatif yang dimotori oleh para tokoh LSM semisal
Adi Sasono, M. Dawam Raharjo dan Muslim Adurrahman, teologi
Inklusifisme dengan Mukti Ali, Abdurrahman Wahid, dan Djohan
Effendi sebagai tokohnya, dan teologi Neotradisionalisme yang
dikembangkan oleh Sayyed Hussain Nasr dan sangat berpengaruh
di Indonesia.24 Semua itu sebagai wujud upaya kontektualisasi
teologi Islam dalam menjawab tantangan zaman menuju
kehidupan yang berkeadaban dilandasi semangat keislaman dan
keilahian. Dan upaya-upaya itu tidak mungkin terwujud tanpa
kesadaran pentingnya pemahaman Islam secara kontekstualtransformatif.
Pemahaman Islam Kontekstual-Transformatif
Jelaslah bahwa teologi yang mampu hidup di tengah
manusia adalah setidaknya teologi yang terbangun mampu
merespon persoalan riil kehidupan kemanusiaan. Teologi yang
tidak hanya berkutat pada persoalan metafisik tetapi yang mampu
merubah ritus menjadi aksi sosial.
Akan tetapi persoalannya tidak semudah dengan hanya
mengedepankan kekuatan apologisme tanpa pemahaman wacana
keislaman yang terangkum dalam teks-teks Kitab suci secara
progresif-revolusioner. Tak cukup hanya menekankan pada
pemahaman tekstual-normatif-skriptualis terhadap Islam seperti
yang mengedepan pada kalangan ahli fiqh, akan tetapi perlu
secara cerdas menangkap “term-term kunci” dalam doktrin Islam
dengan menyerap makna terdalam (deep insight) darinya teksteks itu kepada konteksnya.
Celakanya gejala
pemahaman ahli fiqh
ternyata
Azyumardi Azra, Konteks Teologi…,hlm. 50-51 Sebenarnya masih
banyak jenis teologi Islam dengan segala keunikannya sebagai respon iman
terhadap realitas sosial dengan segala problematikanya, uraian lebih terinci
mengenai keragaman pemikiran yang sangat berpengaruh bagi wacana teologi
di Indosesia dapat dilihat dalam Dr. H. Abuddin Nata, MA., Peta Keragaman
Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001)
24
98a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
mengedepan setidaknya sebagimana dirasakan oleh Arkoun
dalam suatu keprihatinannya:
”Para ahli fiqh yang sekaligus teolog tidak mengetahui hal itu,
mereka mempraktekkan jenis interpretasi terbatas dan membuat
metodologi tertentu, yakni fiqh dan perundang-undangan. Dua
hal ini mengubah diskursus al-Qur’an yang mempunyai makna
mitis majazi, yang terbuka bagi berbagi makna dan pengertian,
menjadi diskursus baku dan kaku dan …telah menyebabkan
diabaikannya historisitas norma-norma etika keagamaan dan
hukum-hukum fiqh. Jadilah norma-norma dan hukum fiqh itu
seakan-akan berada diluar sejarah dan diluar kemestian sosial,
menjadi suci: tidak boleh disentuh dan didiskusikan...”25
Hal ini membuktikan betapa umat Islam umumnya
masih begitu sempit dalam menangkap semangat Islam dan
terkesan sudah tercerabut dari realitasnya. Sehingga teologi
yang terbangun hanya menyentuh pada wilayah metafisik dan
isu-isu transendental saja. Keprihatinan inilah –setidaknyayang mendorong Engineer membangun landasan keislaman bagi
teologi pembebasan sebagai jawaban atas persoalan kemanusiaan
yang dihadapi saat itu. Menurut Engineer teologi pembebasan
ini tidak hanya terbatas pada logika spekulatif metafisik akan
tetapi lebih menekankan pada wilayah praksis dengan mengubah
iman menjadi spirit bagi kesalehan sosial.26
Penegasan di atas mengukuhkan bahwa antara iman dan
praksis dalam teologi pembebasan merupakan dua sisi yang
tidak bisa dipisahkan. Asumsi dasar dalam teologi pembebasan
menegaskan bahwa Islam senantiasa tidak memberikan ruang
bagi adanya tindak kedlaliman dan diskriminasi. Kerena sejak
awal diturunkan Islam telah mengadung missi pembebasan dan
perdamaian.
Menurut Mukti Ali, setidaknya ada tiga pesan penting
Islam yang dibawa oleh Nabi SAW, pertama, membawa ajaran
tauhid, kedua, perlawanan Nabi SAW tehadap penumpukan harta
Muhammad Arkoun, al-Islam: al-Akhlaq wa al-siyasah, (Beirut:
Markaz al-Inma’ al_Qauni, 1986) hlm. 172-173
26
Asghar Ali Engineer, “Islam and Liberation”, In Islam and Its
Relevan to our Age, (Kuala Lumpur : Iqroq, 1987) hlm.59
25
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
99
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
benda pada sekelompok orang tertentu, karena ini bisa berakibat
pada ketdakadilan dan jatuh pda syirk. Ketiga, menghapuskan
rasdiskriminasi, yang menganggap hubungan kekerabatan mereka
hanya didasarkan pada hubungan darah/suku.27
Dengan kata lain, munculnya Islam sebenarnya tidak
bisa terpisahkan dari konteks sosial dan sekaligus sebagai
respon teologis atas fenomena ketidakadilan, eksploitasi dan
penindasan yang merebak kala itu. Ketidakadilan bukanlah
kondisi yang “given” secara metafisik, tetapi lebih merupakan
konstruksi manusia melalui pemaksaan yang harus direspon
dengan perlawanan.
Wujud perlawanan dengan menjadikan agama sebagai
sumber inspirasi juga dilakukan oleh Farid Esack di Afrika Selatan
dengan mencoba secara kreatif menemukan makna terdalam
teks dalam konteks karena baginya antara wahyu dan konteks
ada hubungan yang kuat, …the process of revelation itself was
never independent of the community’s context but consisted of a
dynamics interaction between the two.28
Nampaknya Esack ingin menegaskan bahwa Islam
harus ditransformasikan menjadi spirit untuk menjawab segala
tatangan sosial yang empiris dan historis. Di sinilah pentingnya
teologi pembebasan itu digagas dan kembangkan secara kontinyu
meskipun dengan format dan bentuk yang berbeda. Sejalan dengan
Engineer, Esack menilai teologi pembebasan merupakan upaya
pembebasan agama dari bentuk ketidakadilan dan eksploitasi
termasik di dalamnya adalah ras, gender, kelas dan agama.29 Dan
ini semua mensyaratkan adanya suatu dialektika antara teks
dengan konteks sehingga “hidup” dan selalu menemukan “kata
kunci” dalam Islam yang mampu melahirkan api perubahan dalam
perdamaian.
Setidaknya ada empat kata kunci yang bisa dijadikan
bahan renungan bagi bagi misi pembebasan sebagai respon
H.A. Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam,
(Bandung, Mizan, 1991) hlm. 64-65
28
Farid Esack, Qur’an,Liberation and Pluralition an Islamic
Perspectiveof interreligius solidarity again operation, (Oxford: Oneworld, 1997)
hlm.16
29
Farid Esack, Qur’an,Liberation … hlm.83
27
100a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
terhadap konteks: Pertama, tauhid, menurut Engineer doktrin
ini nerupakan inti ajaran Islam yang memiliki dua dimensi yaitu;
pertama dimensi spiritual, menegasikan penyembahan terhadap
“berhala” dalam masyarakat Mekkah saat itu. Kedua dimensi
sosial politik, berhubungan dengan pertahanan Nabi Muhammad
terhadap dominasi kelompok-kelompok tertentu dalam bidang
ekonomi. Dengan demikian Tauhid tidak hanya menunjukkan
keesaan Tuhan tetapi kesatuan umat manusia tanpa kelas.30
Sejalan dengan Engineer, Ali Syari’ati memahami Tauhid
sebagai kesatuan universal dan eksistensinya antara Tuhan,
alam dan manusia.31 Kesadaran ini secara tidak langsung juga
memposiskan manusia secara egaliter memupuk semangat
humanisme lintas kultur dan iman.
Kedua, Adl
(keadilan),
karena adanya kesatuan
kemanusiaan maka keadilan harus ditegakkan secara
komprehensif. Islam tidak membolehkan adanya diskriminasi
berdasarkan ras, jenis kelamin, agama bahasa dan pertimbangan
etnis. Al-Qur’an menggunakan terminologi adl dan Qist untuk
menjelaskan persoalan keadilan.32 Dengan tetap mengacu pada
semangat tauhid, menjadi jelas bahwa keadilan sebagai suatu
sistem nilai yang perlu diperjuangkan harus mampu masuk pada
berbagai wilayah yang multireligious dan multikulturalisme.
Ketiga, Iman. Al-qur’an selalu menghubungkan
“iman” dengan perbuatan-perbuatan yang baik (amal sholeh).
Izutzu menjelaskan amal baik dan iman sebagai dua unit yang
tidak bisa dipisahkan. Mereka yang merasa beriman idealnya
Asghaar Ali Engineer, Islam and Liberation Teologi, hlm. 8 Doktrin
tauhid ini Esack mampu mentransformasikannya menjadi konsep “masyarakat
tauhidi (tauhidi society) sebagai idiologi yang mampu merangkul semua elemen
masyarakat dalam suatu kehidupan yang lebih damai dan membebaskan
perpecahan tradisional karena agama dan politik dan sekaligus sebagai
konter terhadap idiologi apatheid, Farid Esac, Qur’an,Liberation … hlm. 91.
Bandingkan juga dengan Nur Said, Perempuan dalam Himpitan Teologi dan
HAM di Indonesia, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005) hlm. 70 – 75.
31
Ali Syari’ati, On the Sosiologi of Islam, (Barkeley : Mizan Press,
1984) hlm.83
32
QS. 49 ayat 9, lihat juga QS. 59 ayat 7, Qs 51 ayat 19, Qs. 69 ayat
33,34, Qs. 89 ayat 17,18. Uraian lebih terinci bisa juga dilihat pada Farid Esack,
Qur’an,Liberation … hlm. 103-106
30
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
101
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
mengaktualisasikan perilaku yang baik termasuk dalam hal
penegakan keadilan.33 Sebagai implikasinya orang yang benarbenar beriman akan selalu menempatkan nilai keadilan sebagai
hal penting dalam kehidupannya
Keempat, jihad. Memahami makna jihad menarik
mencermati uraian Esack yang lebih mengandung nuansa
pembelaan hak-hak kemanusiaan. Bagi Esack jihad harus
diletakkan pada konteks kebangsaan dan kemanusiaan yang
selalu bersentuhan pada kehidupan praksis. Karenanya konsep
Esack –dengan mengutip Qibla- cenderung mengkontekskan
jihad sebagai paradigma Islam bagi perjuangan pembebasan (the
islamic paradigm of the liberation struggle…an effort, an exertion
to the utmost, a striving for truth and justice)34.
Jelas sekali penekanan Esack bahwa menegakkan keadilan
merupakan tujuan utama jihad daripada mengedepankan Islam
sebagai sistem keagamaan namun bersamaan itu masih berlanjut
terus penindasan, ekploitasi maupun diskriminasi. Namun tak
jarang oleh sekelompok orang memahami jihad sebagai “perang
suci” dan memberangus naluri kemanusiaan yang semestinya
harus dikedepankan.
Oleh Satha-Anand, pemikir muslim dari Thailand,
kelompok ini mendapat kritik tajam. Menurut Satha-Anand;
“Istilah jihad yang umumnya diterjemahkan dengan “perang suci’
mengandung arti suatu tindakan putus asa orang-orang irasional
dan fanatik yang ingin memaksakan pandangan hidup mereka pada
orang lain”35. Satha-Anand cenderung memaknai jihad sebagai
perjuangan melawan penindasan, kedzaliman dan ketidakadilan
dalam semua bentuknya, dimanapun ditemui dan demi mereka
yang tertindas siapapun mereka.36 Model-model pemahaman
Thoshihiko Izutsu, Etnicho Religious Concepts in the Qur’an
(Montreal; McGill University Press, 1966) hlm. 204
34
Farid Esack, Qur’an,Liberation … hal 106-110
35
Satha-Anand memberikan penjelasan cukup rinci dengan
menguraikan beberapa ayat al Qur’an yang menguatkan, lihat, Chaiwat SathaAnand, Agama dan Budaya Perdamaian, pent. Taufik Adnan Amal (Yogyakarta,
Forum Kajian Agama dan Budaya, 2002) cet.II. hlm. 6
36
Ibid, hlm.8 bisa dilihat juga dalam Asghaar Ali Engineer, Islam
dan Teologi Pembebasan, pent. Agung Prihantoro (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
33
102a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
yang yang bernuansa pembebasan seperti di atas setidaknya akan
memberikan wawasan yang mencerahkan manakala pada tataran
berikutnya diimplementasikan pada kehidupan nyata, dengan
menghadirkan Islam secara kontekstual-transformatif.
Masih banyak “kata kunci” lainnya dalam tradisi keislaman
yang mengharuskan pola-pola penafsiran yang lebih progresiftransformatif dengan penggunaan metode dan pendekatan yang
tepat. Untuk kepentingan ini al Jabiri menekankan pentingnya
“obyektivisme” dan “rasionalitas” dalam memahami tradisi itu.
Dengan obyektivisme (maudluiyyah) akan menjadikan tradisi
lebih kontekstual dengan keberadaannya sendiri dan berarti
memisahkan dirinya dari kondisi kekinian kita. Sebaliknya
rasionalitas (ma’quliyyat) yaitu menjadikan tradisi itu lebih
kontekstual dengan kondisi kekinian kita.37 Maka Al Jabiri- juga
menegaskan begitu pentingnya “dekonstruksi” yakni merombak
sistem relasi yang baku (dan beku) dalam satu struktur tertentu dan
menjadikannya sebagai bukan struktur melainkan menjadikannya
sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan “cair”38.
Hubungan obyektifikasi dan rasionalitas sebagaimana
Al Jabiri agaknya sejalan dengan pola penafsiran Fazlur Raham
seperti dikedepankan oleh Esack dalam diagram sebagai berikut
39
:
1999) hlm. 33-39
37
Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalime Islam, terj. Ahmad
Baso (Yogyakarta: LkiS, 2000) hlm.28.
38
ibid hlm. 30 Pola dekonstruksi terhadap wacana keagamaan ini
sepertinya merupakan suatu keharusan lantaran bagi Armstrong umat manusia
tak akan mampu menahankan kehampaan dan ketandusan, mereka akan selalu
mengisi kekosongan itu dengan menciptakan sebuah pusat perhatian baru
tentang “makna”. Mereka akan mencari tuhan-tuhan baru jika Tuhan yang
diajarkan agama tidak relevan lagi. Dalam kegelisahan inilah Armstrong
merasakan pentingnya mempertimbangkan “sejarah Tuhan” sebagai pelajaran
dan peringatan sebagai bentuk dekonstruksi yang begitu radikal, lihat Karen
Amstrong, Karel Amstrong, A History of God, The 4,000 Year Quest of Judaism,
Christianity and Islam, (United States of America, First Ballatin Books Edition,
1994) hal 399
39
Dikutip dari pemaparan Esack tentang suatu “pencarian makna
antara teks dan konteks” Farid Esack, Qur’an,Liberation … hlm. 66
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
103
pentingnya “dekonstruksi” yakni merombak sistem relasi yang baku (dan beku)
dalam satu struktur tertentu dan menjadikannya sebagai bukan struktur melainkan
menjadikannya sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan “cair”38.
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif
(oleh: Nur Said)
n rasionalitas
sebagaimana Al Jabiri agaknya
Historical Situation
Qur’anic Response
Generalizing Specific Answer
Determining Moral-Social Objectives of the Qur’an
Qur’anic Values
Contemporary
Islamic
Diagram di atas mengilustrasikan bahwa untuk
memahami al Qur’an setidaknya melalui dua langkah; pertama,
menganalisa situasi sejarah serta tuntutan moral-etik (ethicomoral requirements) yang dilanjutkan dengan kajian terhadap
teks-teks al Qur’an pada situasi tertentu. Selanjutnya, melakukan
suatu “generalisasi” jawaban spesifik dari hasil hubungan antara
teks dengan konteks menjadi sebuah “hukum moral sosial”
(determining Moral-Social Objectives of the Qur’an). Langkah
kedua adalah implementasi “hukum moral sosial” dalam konteks
sosial yang kongrit saat ini setelah melalui kajian lebih serius
tentang realitas sosial itu secara kritis. Pola ini diharapkan mampu
mendudukkan semangat teks benar-benar memberikan alternatif
solusi terhadap permasalahan yang dihadapinya.
Lebih jauh Amin Abdullah menambahkan pentingnya
penjelajahan penafsiran dengan pola (abductive)40 yang lebih
menekankan the logic of discovery daripada the logic of
justification.41 Semangat inilah yang akan meneguhkan pola
penalaran kontekstual historis-empiris yang agaknya memang
relevan untuk era kontemporer yang sarat dengan problematika
dengan mengembalikan kesadaran komunitas keagamaan yang
deep insight ‘hati nurani” manusia yang paling dalam. Dengan
Pola pikir ini lebih menekankan unsur hipotesis, interpretasi,
proses pengujian di lapangan terhadap rumus-rumus, konsep-konsep, dalil-dalil
dan gagasan-gagasan yang dihasilkan oleh kombinasi pola pokir deduktif dan
induktif, Amin Adullah, “Agama Masa Depan: Intersubjektif dan Posdogmatik”,
dalam BASIS No.05-06, Tahun ke-51, Mei-Juni 2002, hlm. 54
41
Ibid
40
104a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
cara pemahaman seperti inilah agaknya teologi Islam yang
kontekstual akan bisa hidup dalam segala zaman (shalihun li kulli
zaman wa makan).
Penutup
Kehadiran Islam di tengah pergumulan manusia ini sejak
awal membawa misi kemanusiaan di samping ketuhanan. Ini
sekaligus respon atas hegemoni kultur dan idiologi yang tak
beradab, menindas dan diskriminatif. Islam akan tetap memenuhi
tantangan zaman dengan berbagai persoalan yang dihadapinya
manakala umat pemeluknya secara kreatif mengkontekskan
dan mentransformasikan ajaran-ajarannya dengan senantiasa
berusaha menemukan “makna terdalam” dari semangat teks-teks
Kitab Suci.
Pada tahap inilah teologi Islam kontekstual-transformatif
menjadi penting dan relevan untuk dikembangkan di tengah
masyarakat global yang multireligious dan multikultur menuju
perdamaian bersama terutama bagi STAIN Kudus yang sedang
mengusung Islam trnasformatif sebagai Pola Ilmiah Pokok (PIP)
nya.***
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
105
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, “Agama Masa Depan: Intersubjektif dan
Posdogmatik”, dalam BASIS No.05-06, Tahun ke-51,
Mei-Juni 2002
Ali, Mukti H.A., Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam,
(Bandung, Mizan, 1991)
Al-Jabiri, Muhammad Abed, Post Tradisionalime Islam, terj.
Ahmad Baso (Yogyakarta: LkiS, 2000)
Amstrong, Karel, A History of God, The 4,000 Year Quest of
Judaism, Christianity and Islam, (United States of
America, First Ballatin Books Edition, 1994)
Anand, Chaiwat Satha-, Agama dan Budaya Perdamaian, pent.
Taufik Adnan Amal (Yogyakarta, Forum Kajian Agama
dan Budaya, 2002)
Arkoun, Muhammad, al-Islam: al-Akhlaq wa al-siyasah, (Beirut:
Markaz al-Inma’ al_Qauni, 1986)
Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman
Islam, (Bandung, Mizan, 1999)
Bevans, Stephan B., Model of Contextual Theology, Faith and
Cultures Series, (Maryknoll-New York: 1996).
Boland, BJ, The Struggle of Islam in Modern Indonesian, The
Hague Martinus Nijhoff, 1971,
Engineer, Asghaar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, pent.
Agung Prihantoro (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999)
Engineer, Asghar Ali, “Islam and Liberation”, In Islam and Its
Relevan to our Age, (Kuala Lumpur : Iqroq, 1987)
Esack, Farid, Qur’an,Liberation and Pluralition an Islamic
Perspectiveof interreligius solidarity again operation,
(Oxford: Oneworld, 1997)
Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture, (New York: Basic
Books, 1973)
Hasselgrave, David J. & Edward Roman, Kontektualisasi: Makna,
Metode dan Model, Terj. Stephan Suleeman, (Jakarta,
BPK Gunung Mulia, 1996)
106a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
Hick, John, An Interpretation of Religion (New Haven, Conn.:
Yale University Press, 1989),
Hick, John, Disputed Questions in Theology and the Philosophy
of Religion (New Haven, Conn.: Yale University Press,
1993),
Hick, John, God Has Many Names (London: Macmillian, 1980),
Hunter, James Davison, Stephan C. Ainly, “Introduction” dalam
Making Sense of Modern Time, Peter L. Berger and the
Vision of Interpretatif Sosiologi, Roudledge & Kegan
Paul, (London, 1986)
Izutsu, Thoshihiko, Etnicho Religious Concepts in the Qur’an
(Montreal; McGill University Press, 1966)
Kung, Hans, Global Responsibility: In Search of a New World
Ethic, trans. John Bowden (New York, Crossroad,
1991)
Macquarrie, John, Principle of Christian Theology, (London,
SCM Press, 1966)
Nata, Abuddin Dr. H., MA., Peta Keragaman Pemikiran Islam di
Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001)
Rahman, Fazlur, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi
Tentang Fundamentalisme Islam, penyunting Ebrahim
Moosa, (Jakarta, PT RajaGrafindo, Persada)
Said, Nur, Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di
Indonesia, (Yogyakarta, Pilar Media, 2005).
Sastraprateja, M., dalam Pengantar, Peter L. Berger, Kabar dari
Langit, Makna Teologis Dalam Masyarakat Modern,
(Jakarta, LP3ES, 1991)
Smith, Jonathan Z., The Harper Dictionary of Religion, (San
Francisco, HarperCollin, 1995)
Smith, Wilfred Cantwell, Islam in Mdern History, (Princeton,
1957)
Syari’ati, Ali, On the Sosiologi of Islam, (Bandung: Mizan Press,
1984)
Titaley, John A, Menuju Teologi Agama-agama yang Kontektual,
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Teologi,
Univ. Satya Wacana, Salatiga, 29 Nopember 2001.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
107
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
108a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Download