43 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Epidemiologi Diperkirakan sekitar dua miliar orang menderita TB laten oleh Mycobacterium tuberculosis, dan menyebabkan kasus baru TB aktif pada 9.2 juta orang dan kematian pada 1.7 juta orang di dunia.1 Diperkirakan Asia merupakan penyumbang sekitar 55% kasus baru TB aktif tersebut dan hanya 78% diantaranya yang terdeteksi. Pada daerah dengan sarana terbatas dan prevalensi TB yang tinggi, anak-anak mengambil proporsi besar dari keseluruhan beban kasus TB. Hampir satu juta kasus TB anak diperkirakan terjadi setiap tahun dan 10% sampai 20% diantaranya bersifat fatal. Meskipun begitu, TB anak masih merupakan penyakit selalu diabaikan.3,4 Sejak tahun 2009, Indonesia telah turun dari urutan ketiga menjadi urutan kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia setelah India, Cina, Nigeria dan Afrika Selatan.2,7 Jumlah kasus TB di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 528 063 orang atau 228 orang per 100 000 penduduk per tahun, di Sumatera Utara jumlahnya 264 orang per 100 000 penduduk per tahun. Proporsi penderita TB anak diantara seluruh penderita TB pada tahun 2000 sampai 2007 berkisar 0.6% sampai 0.8%, pada tahun 2010 meningkat menjadi 9.9%. Di Sumatera Utara tahun 2010 jumlah kasus TB anak ada sebesar 2% dari keseluruhan kasus TB.7 Jika tidak dilakukan tindakan segera untuk menghentikan penyebaran TB, World Health Organization (WHO) Universitas Sumatera Utara 43 memperkirakan sekitar 70 milyar orang akan meninggal oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis selama 20 tahun mendatang.1,8 2.2 Definisi TB laten Tuberkulosis laten didefinisikan sebagai keadaan asimtomatik dengan karakteristik adanya respon sel T spesifik mikobakterium ditandai dengan hasil uji tuberkulin positif, tidak ada manifestasi klinis TB paru atau ekstra paru, dan tidak ada bukti sembuh dari sakit TB.12 Hanya sebagian kecil individu yang penderita TB laten yang mengalami perkembangan menjadi sakit TB. Jumlah kuman pada TB laten tidak cukup menyebabkan sakit TB.1 Tuberkulosis laten mempunyai karakteristik dorman dan metabolisme kuman Mycobacterium tuberculosis bersifat inaktif.10 2.3. Patogenesis Penyakit Tuberkulosis Patogenesis terjadinya infeksi TB dimulai dari masuknya Mycobacterium tuberculosis yang terdapat dalam percik renik, karena ukurannya sangat kecil (<5 μm) maka bakteri tersebut dapat mencapai alveolus. Selanjutnya terjadi proses fagositosis oleh makrofag, sebagian bakteri akan mati sedangkan sebagian lagi akan terus berkembang biak dalam makrofag dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Setelah itu Mycobacterium tuberculosis membentuk lesi disebut fokus primer atau Ghon. Dari fokus primer, Mycobacterium tuberculosis menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar Universitas Sumatera Utara 43 limfe regional. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi pada saluran limfe (limfangitis), dan di kelenjar limfe (limfadenitis). Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer. Pada saat terbentuknya kompleks primer akan terbentuk imunitas seluler dan dinyatakan infeksi primer telah terjadi.4 Selama masa inkubasi, sebelum terbentuk imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian bersarang pada berbagai organ tubuh dengan vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal dan lainlain. Pada umumnya, kuman disarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang). Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.5 Universitas Sumatera Utara 43 Gambar 2. 1. Bagan patogenesis tuberkulosis11 Secara imunopatogenesis, setelah terinhalasi di paru, kuman TB mempunyai beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, respon imun awal penjamu secara efektif membunuh semua kuman TB, sehingga TB tidak terjadi. Kedua segera setelah infeksi terjadi multiplikasi, pertumbuhan kuman TB dan muncul manisfestasi klinis, yang dikenal sebagai TB primer. Ketiga, kuman TB dalam keadaan dorman, terjadi infeksi laten dengan uji tuberkulin positif sebagai satu-satunya manifestasi. Keempat, kuman TB laten tumbuh Universitas Sumatera Utara 43 dan muncul manifestasi klinis, disebut sebagai reaktivasi TB (TB pasca primer). Hal ini seperti seperti digambarkan pada gambar 2.4 Gambar 2. 2. Perjalanan Mycobacterium tuberculosis 12 2.4. Faktor Risiko Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya TB laten dan sakit TB pada anak.3 Faktor-faktor risiko tersebut antara lain: 2.4.1 Faktor demografi Kejadian TB laten tidak sama pada semua kelompok umur. Kemungkinan terjadinya TB laten lebih tinggi pada kelompok umur yang lebih muda, karena kemampuan yang rendah melawan infeksi akibat sistem imun yang belum berkembang sempurna (immature).13-15 Anak usia muda berada pada risiko tinggi mengalami TB laten. Penelitian menunjukkan risiko mengalami TB laten pada anak kurang dari lima tahun sebesar 10% sampai 20%.16 Tuberkulosis laten akan berkembang menjadi sakit TB pada 50% bayi dalam 3 sampai 9 bulan setelah infeksi, 25% anak pada usia 1 sampai 5 tahun, dan 15% remaja dalam 1 sampai 2 tahun setelah infeksi.4 Pasien TB Universitas Sumatera Utara 43 anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di sekitarnya, dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien anak. Hal ini disebabkan jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lemah, jumlah yang tersebut sudah mampu menyebabkan sakit. Lokasi infeksi primer biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum. Tidak adanya/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.5 2.4.2 Faktor penjamu : Status imunologis Daya tahan anak mempengaruhi kejadian TB laten. Kondisi yang membuat daya tahan anak turun meningkatkan kejadian TB laten anak. Adanya kejadian epidemik dari infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) saat ini, meningkatkan insidensi kejadian TB laten anak. Suatu penelitian di Kenya melaporkan prevalensi TB meningkat 50% pada yang terinfeksi HIV.14 2.4.3 Faktor lingkungan Faktor risiko terjadinya TB laten pada anak antara lain anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak BTA positif), tinggal di daerah endemis, tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), lingkungan dengan kebersihan dan sanitasi yang tidak baik, serta faktor kemiskinan. Tidak semua anak yang menderita TB laten akan mengalami sakit TB.5 Universitas Sumatera Utara 43 Sumber infeksi pada TB laten anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius. Kemungkinan terjadinya TB laten pada anak yang kontak dengan penderita TB dengan BTA positif lebih tinggi dibandingkan jika kontak dengan penderita TB dengan BTA negatif. Risiko akan meningkat apabila kontak merupakan close contact yaitu tinggal serumah dengan penderita TB. Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi (ventilasi rumah) yang kurang baik, kondisi rumah tempat tinggal yaitu ukuran rumah, kepadatan penghuni dan status ekonomi.15 Dilaporkan dalam sebuah penelitian bahwa anak dengan kontak BTA positif dewasa meningkat risiko menderita TB laten dengan OR 3.3, 95% IK : 1.4-7.7.4 Kemungkinan TB laten dipengaruhi oleh kedekatan dan lama kontak dengan penderita TB dewasa. Anak dengan kontak serumah yang lama dengan penderita TB dewasa sebanyak 60% sampai 80% akan menderita TB laten. Kontak dengan penderita TB dewasa yang BTA sudah negatif juga merupakan risiko anak mengalami TB laten, tetapi lebih rendah, yaitu sebesar 30% sampai 40%.15 Universitas Sumatera Utara 43 2.5. Diagnosis Pengambilan spesimen atau sputum sulit dilakukan pada anak, karena lokasi kelainannya di parenkim yang tidak berhubungan langsung dengan bronkus, maka produksi sputum tidak ada atau minimal dan gejala batuk juga jarang.3 Karena jumlah kuman sangat sedikit pada TB laten, pemeriksaan direk untuk mendeteksi keberadaan kuman tidak mungkin bisa dilakukan.1 Belum ada pemeriksaan baku emas yang dapat mendiagnosis TB laten pada anak.17 Tidak adanya alat diagnotik mikrobiologis untuk TB laten, sehubungan dengan rendahnya jumlah bakteri yang juga nonreplikasi, diagnosis TB laten hanya mungkin dengan metode imunologis.18 Pemeriksaan indirek seperti foto dada bukan pemeriksaan yang sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis TB laten.19,20 Pemeriksaan serologis untuk mendeteksi imunologik antigen-antibodi spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dengan menggunakan Purified Protein Derivative (PPD), A60, 38kDa, lipoarabinomanan (LAM) dengan bahan pemeriksaan dari darah, sputum, cairan bronkus (bronkus dan bronchoalveolar lavage/BAL) dan cairan serebrospinal sampai saat ini masih diteliti serta dikembangkan yang diharapkan dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB. Beberapa pemeriksaan serologis yang ada antara lain PAP TB, Mycodot, immunochromatografic test (ICT) dan lain-lain, tetapi hingga saat ini masih menunjukkan akurasi yang sangat rendah dan sangat terbatas penggunaannya di klinik.1 Universitas Sumatera Utara 43 Pemeriksaan terbaru yang sedang dikembangkan adalah geneXpert, yaitu pemeriksaan berbasis Polimerase Chain Reaction (PCR) yang mendeteksi keberadaan amplifikasi dan ekstraksi asam nukleat M. tuberculosis pada region gen rpoB, dimana mutasi pada region ini akan meningkatkan resistensi terhadap rifampisin hingga 95%.21 World Health Organisation merekomendasikan pemeriksaan ini sebagai tes diagnostik inisial terhadap pasien terduga Multiple Drug Resistant/MDR-TB atau HIV/TB, dan sebagai tes ikutan setelah tes mikroskopis pada pasien MDR-TB dan atau HIV dengan apusan spesimen negatif.22 2.6. Respon Imun terhadap M. tuberculosis Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD=T dependent antigen), artinya antigen akan mengaktifkan sel imunokompoten dengan bantuan sel T helper (Th) melalui zat yang dilepaskan sel Th aktif. Sedangkan antigen yang tidak memerlukan sel T (TI=T independent) untuk menghasilkan antibodi dengan cara langsung merangsang limfosit B. Limfosit B umumnya mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul produk MHC (mayor histocompatibility complex) kelas I & II yaitu molekul yang antara lain terdapat pada membrane sel makrofag. Setelah antigen diproses oleh sel makrofag akan dipresentasikan bersama MHC kelas I & II kepada sel Th sehingga terjadi ikatan antara TCR (T cell receptor) dengan antigen. Kemudian akan terjadi diferensiasi menjadi sel Th efektor, sel Tc efektor, serta sel Th memori Universitas Sumatera Utara 43 dan sel Tc memori atas pengaruh sitokin. Sel Th efektor mengaktivasi makrofag.5 Pada manusia terdapat dua jenis sel Th yaitu sel Th1 dan Th2 yang dapat dibedakan dari sitokin yang dihasilkannya dan fungsi efektornya. Sedangkan peran utama sel Tc atau sel CD8 adalah untuk mengenal dan kemudian melisiskan sel target yang terinfeksi sehingga disebut juga sel cytotoxic T lymphocyte (CTLs) yang berperan pada infeksi virus, bakteri dan parasit.11 2.7. Uji Tuberkulin Tuberkulosis, tidak seperti penyakit infeksi yang lain, memiliki dua tingkatan proses dalam patogenesisnya. Manifestasi klinis penyakit timbul setelah adanya infeksi beberapa tahun atau dekade sebelumnya. mempunyai fase laten, Infeksi TB dimana terdapat infeksi dari kuman TB tetapi bersifat dorman, namun terdapat imunogenitas yang dapat dideteksi oleh sistem imun pada orang yang terinfeksi. Pada fase ini uji tuberkulin bermanfaat sebagai alat diagnostik untuk mengetahui infeksi TB walaupun tidak ditemukan manifestasi.14 Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang memiliki sifat antigen yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB maka akan terbentuk indurasi di lokasi suntikan.3 Uji tuberkulin pertama kali ditemukan oleh Koch, lima belas tahun setelah mycobacterium tuberculosis ditemukan. Terdapat dua teknik melakukan uji Universitas Sumatera Utara 43 tuberkulin kulit yaitu secara Mantoux dan multiple punction.14 Uji tuberkulin secara Mantoux merupakan metode standar untuk menentukan infeksi TB, dan Committee on Infectious Disease of the American Academy of Pediatrics, pada Januari 1994 telah merekomendasikan uji tuberkulin cara Mantoux sebagai prosedur standar untuk menentukan infeksi TB karena memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik.17 Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml tuberkulin PPD secara intrakutan di bagian volar sentral lengan bawah kiri. Suntikan dilakukan dengan menggunakan jarum tuberkulin, jika penyuntikan dilakukan secara benar akan timbul benjolan berdiameter 4-6 mm berwarna kepucatan. Tuberkulin yang saat ini tersedia di Indonesia adalah PPD RT-23 buatan Statens Serum Institute Denmark dan PPD buatan Biofarma. Pembacaan dilakukan setelah 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul bukan hiperemi/eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan pulpen, kemudian diameter transversal indurasi diukur dengan alat pengukur transparan.19 Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi ≥ 10 mm dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-14 mm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan BCG. Pengaruh BCG terhadap reaksi positif tuberkulin secara Universitas Sumatera Utara 43 bertahap akan semakin berkurang dengan berjalannya waktu, dan paling lama berlangsung hingga 5 tahun setelah penyuntikan.3,5 Apabila diameter indurasi 0-4 mm, dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9 mm dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan oleh kesalahan teknis (trauma, dan lain-lain), keadaan anergi, atau reaksi silang dengan M. atipik. Bila mendapatkan hasil yang meragukan, uji tuberculin dapat diulang. Untuk menghindari efek booster tuberkulin, ulangan dilakukan 2 minggu kemudian dan penyuntikan dilakukan di lokasi yang lain, minimal berjarak 2 cm.4 Pada keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun (imunokompromais) maka cut off-point hasil positif yang digunakan adalah ≥5 mm. Keadaan ini dapat dijumpai pada pasien gizi buruk, infeksi HIV, keganasan, morbili, pertusis, varisela, atau pasien yang mendapat imunosupresan jangka panjang (≥2 minggu). Pada keadaan diatas, uji tuberkulin dapat positif sehingga pasien dengan dugaan anergi tetap dilakukan uji tuberkulin jika dicurigai TB. Pada anak yang mengalami kontak erat dengan pasien TB dewasa akitif disertai BTA positif, juga digunakan batas ≥ 5 mm.19 Universitas Sumatera Utara 43 2.8. Kerangka Konseptual Kontak dengan penderita TB dewasa Kuman TB merangsang imunitas seluler Respon imun terhadap M. tuberculosis Uji tuberkulin positif Status BTA kontak Status Imunologi (HIV) TB laten pada anak Kontak dengan penderita TB dewasa (close contact) Umur Status BCG Status ekonomi (kemiskinan) Kepadatan penghuni rumah Ventilasi rumah : yang diamati dalam penelitian Gambar 2. 3. Kerangka konseptual Universitas Sumatera Utara