PENDUGAAN DEBIT PUNCAK MENGGUNAKAN

advertisement
PENDUGAAN DEBIT PUNCAK MENGGUNAKAN
MODEL RASIONAL DAN SCS-CN (SOIL CONSERVATION
SERVICE-CURVE NUMBER)
(Studi Kasus di Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran;
Sub DAS Kali Madiun, DAS Solo)
SONI SETIA BUDIAWAN
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PENDUGAAN DEBIT PUNCAK MENGGUNAKAN
MODEL RASIONAL DAN SCS-CN (SOIL CONSERVATION
SERVICE-CURVE NUMBER)
(Studi Kasus di Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran;
Sub DAS Kali Madiun, DAS Solo)
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
SONI SETIA BUDIAWAN
E14070040
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
RINGKASAN
Soni Setia Budiawan (E14070040). Pendugaan Debit Puncak Menggunakan
Model Rasional dan SCS-CN (Soil Conservation Service-Curve Number); Studi
Kasus di Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran; Sub DAS Kali Madiun,
DAS Solo. Dibimbing oleh Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr
Banjir dapat terjadi akibat peningkatan jumlah dan kecepatan aliran
permukaan melebihi kapasitas saluran drainase. Selain itu banjir dapat terjadi
akibat kapasitas saluran drainase berkurang, sehingga jumlah dan kecepatan aliran
permukaan melebihi kapasitas saluran drainase. Penurunan kapasitas saluran
drainase dapat disebabkan oleh pendangkalan sungai baik oleh adanya
sedimentasi dari erosi di bagian hulu, maupun penyumbatan oleh sampah, dan
penyempitan akibat penimbunan badan sungai. Peningkatan jumlah dan kecepatan
aliran permukaan, selain akibat hujan ekstrim juga oleh perubahan penggunaan
lahan yang menyebabkan lahan terbuka, dan pemadatan tanah. Jumlah dan
kecepatan aliran permukaan maksimum yang menyebabkan debit puncak (Qp)
penting diketahui karena berpotensi menyebabkan banjir.
Debit puncak sebagai informasi penting dalam perancangan pengendalian
banjir umumnya diduga dengan menggunakan model rasional dan model Soil
Conservation Service-Curve Number (SCS-CN). Untuk mengetahui keberlakuan
kedua model dilakukan pengujian menggunakan data-data yang tersedia di Subsub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran (KST) dengan membandingkan data
Qp hasil observasi dengan kedua model tersebut.
Pendugaan Qp menggunakan model rasional dengan data waktu terjadinya
debit maksimum tahun 2009 (curah hujan 39,10 mm) lebih besar 30,82% dari
hasil observasi, sedangkan model SCS-CN lebih besar 113,87% dari hasil
observasi. Pendugaan Qp menggunakan model rasional dengan data curah hujan
maksimum tahun 2009 (45,97 mm) lebih besar 4.074,74% dari hasil observasi,
sedangkan model SCS-CN lebih kecil 18,06% dari hasil observasi. Nilai koefisien
aliran permukaan dalam model rasional hasil pendugaan (0,375) lebih besar
dibandingkan dengan hasil perhitungan langsung data observasi (0,34).
Kata Kunci: DAS Solo, debit puncak, model rasional, model SCS-CN, koefisien
aliran permukaan
SUMMARY
Soni Setia Budiawan (E14070040).Peak Discharge Forcasting Using Rational
Model and SCS-CN (Soil Conservation Service-Curve Number); Case Study in
Sub-sub of Watershed Keyang, Slahung, and Tempuran; Sub of Watershed Kali
Madiun; Wathershed Solo. Under supervision of Dr. Ir.Hendrayanto, M. Agr
Flooding can occur as a result of an increase in the amount and velocity of
run-off exceeds the capacity of drainage channels. In addition, floods can occur as
a result when drainage channel capacity is reduced, so the amount and velocity of
run-off exceeds the capacity whendrainage channels. The decreasing of dranaige
channel capacity can occur because of the superficiality of the river due to
sedimentation from erosion in the upstream, blockage by garbage or constriction
by the accumulation in water bodies. The increasing of amount and velocity of
run-off caused by extreme rainfall and changes in land us that causes land clearing
and soil compaction. The amount and velocity of run-off that causes the maximum
peak discharge (Qp) is important to be known, because it has potential to cause
flooding.
Peak discharge as important information fordesign of flood control is
generally estimated by using the rational model and model of Soil Conervation
Service-Curve Number (SCS-CN). To know the validity of both models by using
available data in Sub-sub Watershed of Keyang, Slahung and Tampuran (KST),
the models are tested by comparing the esimated and obsered Qp.
Estimated Qp by using rational model with the peak discharge data in
2009 (39.10 mm precipitation) is 30.82% greater than observed Qp, while the
result by using SCS-CN model is 113.87% greater. Estimted Qp by using rational
model with maximum rainfall data in 2009 (45.97 mm) is 4,074.74% greater than
observed Qp, while the result by using SCS-CN model is 18.06% smaller than
observed Qp. The coefficient run-off that calculated by using the rational model is
greater (0.375) than calculation by direct observational data (0.34).
Keywords: Watershed Solo, peak discharge, rational models, SCS-CN models,
surface flow coefficient
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pendugaan
Debit Puncak Menggunakan Model Rasional dan SCS-CN (Soil Conservation
Service-Curve Number); Studi Kasus di Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan
Tempuran; Sub DAS Kali Madiun, DAS Solo adalah benar-benar hasil karya
sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan
sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2012
Soni Setia Budiawan
NIM E14070040
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Pendugaan Debit Puncak Menggunakan Model Rasional dan SCSCN (Soil Conservation Service-Curve Number); Studi Kasus di
Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran; Sub DAS Kali
Madiun, DAS Solo
Nama
: Soni Setia Budiawan
NIM
: E14070040
Menyetujui,
Pembimbing,
Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr
NIP. 19611126 198601 1 001
Mengetahui:
Ketua Departemen Manajemen Hutan
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS
NIP. 19630401 199403 1 001
Tanggal Lulus :
ii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 29 April 1988 sebagai anak
pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Drs. Basuni, MA dan Ibu Mujiati.
Penulis menyelesaikaan pendidikan dasar dan menengah pertama di kota
kelahirannya sampai tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan
menengah atas di SMA Darul Ulum 2 Unggulan BPPT sekaligus belajar
pendidikan non-formal di Pondok Pesantren Darul Ulum, Kec. Peterongan,
Jombang hingga lulus tahun 2007. Tahun 2007 penulis diterima di IPB melalui
jalur USMI mengambil jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Organisasi Mahasiswa Daerah
(OMDA) Manggolo Putro Ponorogo dan OMDA IKALUM (Ikatan Alumni PP.
Darul Ulum) Jombang tahun 2007–2009. Penulis juga aktif di UKM Uni
Konservasi Fauna (UKF-IPB) dengan bidang ilmu spesifik Divisi Konservasi
Herbivora tahun 2007–2010 dan Himpunan Mahasiswa Profesi (Himpro) Forest
Management Student Club (FMSC) tahun 2009–2010. Selain itu penulis juga aktif
di organisasi luar kampus yang bergerak di bidang lingkungan, yaitu Forum
Badak Indonesia (FBI) tahun 2008–sekarang dan kegiatan lingkungan lain di luar
kampus.
Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di
Cikeong, Kab. Karawang dan Gunung Burangrang, Kab. Purwakarta tahun 2009.
Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kec.
Cibadak-Kab. Sukabumi, KPH Cianjur, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan
Banten tahun 2010. Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Restorasi Ekosistem
Indonesia (REKI) Kabupaten Batanghari, Jambi tahun 2011. Selain itu, penulis
juga aktif menjadi asisten praktikum Hidrologi Hutan dan praktikum Pengelolaan
Hutan & DAS tahun ajaran 2010/2011 dan 2011/2012, asisten praktikum Ilmu
Ukur Tanah dan Pemetaan Wilayah (IUTPW) tahun ajaran 2011/2012 dan asisten
praktikum Inventarisasi Sumberdaya Hutan tahun ajaran 2011/2012. Penulis juga
pernah lulus seleksi Program Mahasiswa Wirausaha kategori kelompok yang
diadakan DPKHA-IPB dengan tema “Wisata Satwaliar” tahun 2011.
iii
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan
inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan penuh
rasa syukur. Penghargaan yang luar biasa penulis sampaikan kepada orangtua
tercinta atas inspirasi dan motivasi serta do’a dan kasih sayang yang telah
diberikan. Keluarga besar penulis di Ponorogo atas do’a dan dorongan semangat
kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besanya
kepada:
1. Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr selaku dosen pembimbing, atas keikhlasan
dalam membimbing, memberikan ilmu dan nasihatnya, serta dorongan
kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
2. Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS selaku ketua sidang, Prof. Dr. Ir. Imam
Wahyudi, MS selaku dosen penguji, dan Dr. Ir. Nining Puspaningsih, M.Si
yang banyak memberikan masukan dalam penulisan tugas akhir ini.
3. BPDAS Solo, Pak Siswo, Pak Sarmo dan Pak Joko “Cling” yang banyak
membantu penulis dalam memperoleh data yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan tugas akhir.
4. Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo (BBWS BS), Bu Susan,
Mbak Sari dan Mbak Ika atas data hidrologi DAS Solo.
5. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS (BPTKPDAS)
Solo, Bu Sasa atas jurnal elektronik (publikasi digital) yang banyak
membantu dalam penyusunan tugas akhir.
6. Diah Rany “Baki” P.S., Kuntoro B.A., Reza P., Rudi “ Pow” E.S. dan Pak
Uus Saefull atas sharing ilmu dan masukannya dalam pengolahan data
spasial GIS.
7. Teman-teman yang rela meluangkan waktu, memberikan opini, kritik dan
saran dalam penulisan skripsi. Semua pihak yang membantu namun tidak
dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih.
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Pendugaan Debit Puncak Menggunakan Model Rasional dan SCS-CN
(Soil Conservation Service-Curve Number); Studi Kasus di Sub-sub DAS Keyang,
Slahung, dan Tempuran; Sub DAS Kali Madiun, DAS Solo”. Penulisan karya
ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir.
Hendrayanto, M.Agr selaku dosen pembimbing yang telah memberikan nasihat
dan arahan dalam penulisan karya ilmiah ini. Selain itu penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam
penyelesaian karya ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan karya ilmiah ini jauh dari
kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan skripsi ini, sehingga dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
Bogor, Desember 2012
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ................................................................................................. iiv DAFTAR GAMBAR............................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 2 1.3 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3 2.1 Siklus Hidrologi ........................................................................................ 3 2.2 Sistem Hidrologi Daerah Aliran Sungai .................................................... 3 2.3 Periode Ulang Kejadian Hujan .................................................................. 5 2.4 Aliran Permukaan ...................................................................................... 5 2.5 Banjir ......................................................................................................... 6 2.6 Pendugaan Debit Puncak ........................................................................... 8 BAB III METODOLOGI ...................................................................................... 15 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... 15 3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................ 15 3.3 Metode Pengumpulan Data ..................................................................... 16 3.3.1 Jenis Data ....................................................................................... 16 3.3.2 Cara Pengumpulan Data ................................................................. 16 3.4 Analisis Data Spasial GIS ....................................................................... 16 3.5 Analisis Data Pendugaan Debit Puncak .................................................. 17 3.5.1 Analisis Curah Hujan Wilayah....................................................... 17 3.5.2 Metode Rational ............................................................................. 18 3.5.3 Metode SCS-CN............................................................................. 20 3.5.4 Koefisien Aliran Permukaan .......................................................... 22 BAB IV KONDISI UMUM ................................................................................... 24 4.1 Letak dan Luas ........................................................................................ 24 4.2 Iklim ........................................................................................................ 25 4.3 Tanah ....................................................................................................... 27 4.4 Penggunaan Lahan .................................................................................. 29 4.5 Hidrologi DAS ........................................................................................ 31 4.6 Jumlah Penduduk .................................................................................... 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 33 5.1 Morfometri Sungai .................................................................................. 33 5.2 Kelompok Hidrologi Tanah dan Penggunaan Lahan .............................. 33 5.3 Hujan dan Debit....................................................................................... 36 5.3.1 Hidrograf Aliran Langsung ............................................................ 37 5.3.2 Koefisien Aliran Permukaan dan Jumlah Aliran Permukaan ........ 40 5.4 Debit Puncak Dugaan .............................................................................. 42 ii
iii
5.4.1 Model rasional dan SCS-CN ......................................................... 42 5.4.2 Keakuratan Model ......................................................................... 44 BAB VI PENUTUP............................................................................................... 48 6.1 Kesimpulan ............................................................................................. 48 6.2 Saran ....................................................................................................... 48 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 50 LAMPIRAN .......................................................................................................... 52 iii
DAFTAR TABEL
No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 iv
Halaman
Hubungan laju infiltrasi minimum dengan kelompok tanah ........................ 13 Kondisi kandungan air tanah dan batas besarnya curah hujan..................... 14 Luas (%) dan koefisien aliran permukaan tiap penggunaan lahan ............... 19 Luas (%) dan CN tiap penggunaan lahan..................................................... 22 Stasiun iklim: Bandara Iswahyudi, Madiun ................................................. 26 Distribusi jenis tanah di Sub-sub DAS KST (BPDAS 2009) ...................... 29 Tipe penggunaan lahan di Sub-sub DAS KST (BPDAS 2009) ................... 30 Kelas tekstur dan infiltrasi jenis tanah di Sub-sub DAS Keyang,
Slahung, dan Tempuran (BPDAS 2009) ...................................................... 34 Tipe penggunaan lahan dan nilai C dan CN di Sub-sub DAS KST ............. 35 Perbandingan jumlah aliran permukaan menggunakan metode
rasional, SCS-CN, dan perhitungan langsung data observasi ...................... 40 Perbandingan jumlah aliran permukaan berdasarkan perhitungan
langsung data observasi ............................................................................... 41 Hasil debit dugaan di Sub-sub DAS KST .................................................... 42 Perbandingan model rasional dan SCS-CN menggunakan
koefisien aliran permukaan hasil perhitungan langsung data
observasi di Sub-sub DAS KST ................................................................... 43 Perbandingan model rasional dan SCS-CN setelah dilakukan optimasi...... 43 v
DAFTAR GAMBAR
No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Halaman
Peta curah hujan wilayah menggunakan interpolasi IDW. .......................... 18 Hidrograf untuk analisis koefisien aliran permukaan. ................................. 23 Peta Lokasi Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran...................... 24 Peta Lokasi Sub-sub DAS KST Berdasarkan batas Kabupaten. ................. 25 Curah hujan tahunan di Sub-sub DAS KST. ............................................... 26 Hujan bulanan selama tahun 2005-2010. .................................................... 27 Curah hujan harian tahun 2005-2010. ......................................................... 27 Peta jenis tanah Sub-sub DAS KST. ........................................................... 28 Peta penggunaan lahan tahun 2009. ............................................................ 30 Peta Jaringan Sungai Sub-sub DAS KST. ................................................... 31 Jumlah penduduk (jiwa) setiap Kabupaten pada tahun 2006-2009
(Sumber: BPS, 2007-2010)...........................................................................32 Kejadian hujan harian dan debit tahun 2009 di Sub-sub DAS KST. .......... 37 Hubungan curah hujan dan debit selama tahun 2008-2010. ........................ 38 Hidrograf debit langsung harian maksimum di Sub-sub DAS KST
Tahun 2009. ..................................................................................................38 Hidrograf debit langsung harian ketika curah hujan harian
maksimum di Sub-sub DAS KST Tahun 2009. ...........................................39 v
DAFTAR LAMPIRAN
No
1 2 3 vi
Halaman
Nilai C menurut Schwab, et al. (1981) dalam Arsyad (2010) ..................... 53 Nilai CN pada AMC II (Mc Cuen (1982) dalam Arsyad (2010) ................. 55 Perhitungan koefisien aliran permukaan menggunakan debit aliran
langsung hasil observasi tahun 2009 ............................................................ 58 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banjir dapat diberi batasan sebagai laju aliran permukaan yang
menyebabkan aliran sungai melebihi kapasitas saluran-saluran drainase (Lee
1990). Hal tersebut dapat terjadi akibat jumlah dan kecepatan aliran permukaan
meningkat melebihi kapasitas saluran drainase, dan atau kapasitas saluran
drainase berkurang, sehingga lebih kecil dari jumlah dan kecepatan aliran
permukaan.
Penurunan kapasitas saluran drainase dapat disebabkan oleh pendangkalan
sungai, baik oleh adanya sedimentasi dari erosi di bagian hulu, maupun
penyumbatan oleh sampah, dan penyempitan akibat penimbunanan badan sungai.
Peningkatan jumlah dan kecepatan aliran permukaan, selain akibat hujan
ekstrim juga oleh perubahan penggunaan lahan yang menyebabkan lahan terbuka,
dan pemadatan tanah. Keterbukaan lahan menyebabkan jumlah dan intensitas
hujan yang sampai di permukaan tanah meningkat, sedangkan pemadatan tanah
menyebabkan berkurangnya kapasitas infiltrasi tanah, sehingga jumlah dan aliran
permukaan meningkat.
Debit puncak dapat dikatakan sebagai debit kritis yang menyebabkan
banjir. Debit puncak terjadi ketika seluruh aliran permukaan yang berada di
daerah aliran sungai (DAS) mencapai titik outlet (Asdak 2002, Rahim 2006,
Arsyad 2010). Ada dua faktor utama yang mempengaruhi besarnya debit puncak,
yaitu karakteristik hujan dan karakteristik DAS (Pramono et al. 2009).
Karakteristik hujan, meliputi lama, jumlah, intensitas, dan distribusi hujan.
Sedangkan karakteristik DAS meliputi ukuran, bentuk, topografi, jenis tanah,
geologi, dan penggunaan lahan.
Debit puncak penting untuk diketahui dalam kerangka pengendalian banjir
dan perancangan bangunan pengendali debit banjir (Rahim 2006). Untuk
mengetahui debit puncak telah dikembangkan model-model pendugaan debit
puncak, diantarnya adalah model rasional dan Soil Conervation Service-Curve
2
Number (SCS-CN) yang merupakan model-model umum dalam menduga debit
puncak.
Untuk mengetahui keberlakuan kedua model tersebut dalam menduga
debit puncak, dilakukan pengujian menggunakan data yang tersedia di Sub-sub
DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran (KST) yang merupakan Sub DAS Kali
Madiun Hulu. Pemilihan Sub-sub DAS KST didasarkan pada pertimbangan
bahwa data di DAS Solo relatif tersedia.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui perilaku debit puncak (Qp) di Sub-sub DAS KST.
2. Mengetahui keakuratan model rasional dan SCS-CN dalam menduga debit
puncak di DAS yang berukuran besar.
1.3 Manfaat Penelitian
Memberikan informasi perilaku debit puncak dan model pendugaan yang
lebih baik bagi pengelola dalam upaya membangun kebijakan pengelolaan DAS
Solo, khususnya Sub-sub DAS KST Sub DAS Kali Madiun.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi (hydrological cycle) merupakan rangkaian proses
perubahan fase dan pergerakan air dalam suatu sistem hidrologi (Hendrayanto
2009). Menurut Seyhan (1990) siklus hidrologi merupakan tahapan yang dilalui
air dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfer.
Air yang berada di atmosfer mengalami kondensasi membentuk awan,
kemudian menjadi hujan atau disebut presipitasi. Hujan dari atmosfer tidak
semuanya akan sampai ke bumi karena ada sebagian akan berkondensasi kembali
(virga), sebagian lagi hujan ada yang tertahan oleh permukaan vegetasi pada suatu
lahan (intersepsi). Air hujan yang sampai ke permukaan tanah sebagian akan
masuk ke dalam tanah (infiltrasi) sebagian lagi akan menjadi aliran permukaan
(run off). Air yang masuk ke dalam tanah mengisi air tanah (ground water)
mengalir secara perlahan-lahan di dalam tanah kemudian keluar dari tanah di
tempat-tempat yang lebih rendah. Air tersebut kemudian mengalami penguapan
(evaporasi) dan pada tumbuhan disebut transpirasi. Air yang menguap ini akan
menuju ke atmosfer kembali (Hendrayanto 2009).
Menurut Sosrodarsono dan Takeda (2006) sebagian air hujan yang sampai
ke permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Sisanya yang tidak
terinfiltrasi akan mengisi permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah-daerah
yang rendah, masuk ke sungai-sungai dan akhirnya sampai ke laut. Tidak semua
air yang mengalir akan sampai ke laut. Dalam perjalanan ke laut sebagian akan
menguap dan kembali ke udara. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah keluar
melalui sungai (interflow). Tetapi sebagian besar akan tersimpan sebagai air tanah
(groundwater) yang akan keluar ke permukaan tanah melalui daerah yang lebih
rendah (groundwater run off) sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama.
2.2 Sistem Hidrologi Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang
dipisahkan oleh pemisah alam topografi seperti punggungan bukit atau gunung,
4
yang menerima, menampung dan mengalirkan air hujan melalui suatu jaringan
sungai utama ke suatu outlet, yaitu laut/danau (Asdak 2002).
Menurut Asdak (2002) DAS mempunyai karakteristik yang spesifik dalam
hubungannya dengan jenis tanah, tataguna lahan, topografi, kemiringan dan
panjang lereng. Karakter DAS tersebut dalam merespon curah hujan yang jatuh di
tempat
tersebut
dapat
memberikan
pengaruh
terhadap
besar
kecilnya
evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, laju aliran permukaan, aliran permukaan,
kandungan air tanah, dan aliran sungai.
Suatu DAS dapat dianggap sebagai ekosistem yang saling terkait antara
ekosistem alam dengan ekosistem buatan manusia, dimana manusia dengan segala
aktivitasnya akan mempengaruhi tanggapan atau respon DAS terhadap input air
hujan yang jatuh di dalam DAS. Aktivitas manusia tersebut merupakan
manifestasi dari tindakan pengelolaan terhadap sumber daya alam yang ada di
dalamnya baik vegetasi, tanah maupun air dalam rangka pengelolaan DAS
(Supangat dan Murtiono 2002).
Komponen biotik maupun abiotik dalam ekosistem DAS sangat
berpengaruh terhadap perubahan siklus hidrologi. Jika ekosistem DAS mengalami
perubahan, maka komponen-komponen dalam siklus hidrologi juga akan berubah.
Perubahan ekosistem DAS umumnya diakibatkan oleh aktivitas manusia dalam
upaya penggunaan lahan yang ada dalam suatu DAS. Bertambahnya jumlah
manusia menuntut bertambahnya kebutuhan manusia terhadap lahan. Hal inilah
yang menjadi dasar utama terjadinya perubahan penggunaan lahan (Murtiono
2008).
Perubahan penggunaan lahan dampaknya akan mulai dirasakan secara
bertahap. Perubahan musim kemarau dan musim hujan, khusunya di daerah tropik
mengalami defisit dan surplus air. Pada musim kemarau mulai mengalami
kekeringan (defisit) dan pada musim hujan mengalami banjir (surplus). Untuk itu
perlu dilakukan pengeloaan DAS secara terpadu dalam mengalami permasalahan
tersebut, agar sistem hidrologi dalam suatu ekosistem DAS tetap baik (Murtiono
2008).
5
2.3 Periode Ulang Kejadian Hujan
Asdak (2002) berpendapat bahwa dalam bidang geomorfologi, kejadian
hujan yang sangat besar dapat menjadi penyebab terjadinya tanah longsor dan
gerakan tanah lainnya, seperti erosi. Namun pada umumnya kejadian hujan kecil
lebih sering terjadi, sehingga pakar geomorfologi lebih tertarik memberi perhatian
lebih pada besaran dan frekuensi hujan tertentu disuatu daerah.
Menurut Asdak (2002) di daerah tropis curah hujan sangat intensif
umumnya berlangsung singkat, sedangkan curah hujan yang berlangsung lama
umumnya tidak terlalu deras. Arsyad (2010) berpendapat hujan kecil sering terjadi
dan semakin besar hujan, semakin kecil frekuensinya. Frekuensi kejadian hujan
adalah jangka waktu rata-rata terjadinya suatu hujan dengan jumlah yang sama
atau lebih terhadap suatu besaran tertentu (Arsyad 2010).
Konsep periode ulang seharusnya tidak boleh diartikan bahwa suatu
kejadian hujan atau banjir besar dengan periode ulang misalnya 20 tahun akan
berlangsung setiap 20 tahun, melainkan apabila kejadian terjadi pada tahun ini,
maka probabilitas kejadian tersebut akan terulang lagi tahun depan adalah 5%
(Asdak 2002). Besarnya periode ulang menunjukkan interval tahun rata-rata
berlangsungnya kejadian ekstrem dalam kurun waktu yang sangat panjang (Asdak
2002).
Interval kejadian hujan 10 tahun umum digunakan untuk merencanakan
pembangunan bangunan yang menggunakan tanah dan vegetasi, sedangkan untuk
bangunan permanen digunakan interval yang lebih besar (menggunakan hujan
maksimum yang lebih besar) (Arsyad 2010).
2.4 Aliran Permukaan
Aliran permukaan (run off) adalah bagian dari air hujan yang mengalir di
atas permukaan tanah (Murtiono 2008). Menurut Rahim (2006) air hujan yang
menjadi run off sangat bergantung kepada intensitas hujan, penutupan tanah, dan
ada tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya (kadar air tanah sebelum terjadinya
hujan). Kadar air tanah sebelum terjadinya hujan biasa disebut AMC (Antecedent
Moisture Content).
6
Jumlah dan kecepatan aliran permukaan selain bergantung kepada luas
areal tangkapan, juga yang tidak kalah pentingnya kepada koefisien run off dan
intensitas hujan maksimum. Aliran permukaan dengan jumlah dan kecepatan yang
besar sering menyebabkan pemindahan atau pengangkutan massa tanah secara
besar-besaran. Inilah yang sering diistilahkan dengan banjir. Banjir ini meluapkan
sedimentasi depresi alami, saluran-saluran, anak-anak sungai, sungai-sungai, dan
selanjutnya waduk-waduk (Rahim 2006).
Menurut Arsyad (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi aliran
permukaan adalah:
1. Curah hujan: jumlah, intensitas, dan distribusi
2. Temperatur
3. Tanah: tipe, jenis substratum, dan topografi
4. Luas daerah aliran
5. Tanaman/tumbuhan penutup tanah
6. Sistem pengelolaan tanah.
Faktor-faktor diatas sangat kompleks, sehingga untuk menduga aliran
permukaan hanya dapat dihitung dengan pendekatan keadaan sebenarnya. Untuk
itu perlu adanya penelitian keadaan setempat, agar prediksi aliran permukaan
mendekati keadaan sebenarnya. Sehingga dapat diketahui seberapa besar tingkat
keakuratan suatu model dalam menduga aliran permukaan di lapangan (Arsyad
2010).
Menurut Rahim (2006) ada dua tujuan dalam mengetahui jumlah dan laju
aliran permukaan, yaitu (a) merancang jumlah dan dimensi saluran atau struktur
lain untuk menyimpan aliran permukaan, (b) mengetahui besarnya laju aliran
permukaan di suatu wilayah yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan
mitigasi.
2.5 Banjir
Banjir dapat diberi batasan sebagai laju aliran permukaan yang
menyebabkan aliran sungai melebihi kapasitas saluran-saluran drainase (Lee
1990). Menurut Lee (1990) di bagian hulu yang berhutan tidak banyak dibangun
tanggul oleh manusia dan banjir-banjir yang utama sedikit menyebabkan
7
kerusakan. Tetapi di bagian hilir, banjir merupakan bencana alam yang paling
merusak.
Debit puncak sering terjadi di DAS-DAS yang berhutan dengan presipitasi
lebih besar, tanah-tanah lebih dangkal, dan topografi lebih curam (Lee 1990).
Sebagian besar banjir dapat dikendalikan dengan menggunakan bangunanbangunan keteknikan, pengelolaan lahan bagian hulu dan vegetasi secara umum.
Bendungan (reservoir) pengendali banjir diperkirakan mengurangi kerugian
ekonomis sekitar 60% (Holt dan Langbein 1955 dalam Lee 1990).
Sedimen-sedimen organik dan anorganik meningkatkan volume banjir,
dan apabila mengendap dalam suatu saluran sungai akan mengurangi daya dukung
dan meningkatkan kemungkinan banjir melintasi atau melebihi tepi sungai.
Pendangkalan waduk-waduk yang disebabkan sedimen tersebut menurunkan
kegunaan sebagai pengendalian banjir dan maksud-maksud lainnya (Lee 1990).
Umumnya air banjir yang kotor lebih merusak daripada air yang relatif
jernih dan sedimen yang ditinggalkan oleh suatu banjir dapat mengakibatkan
suatu bagian besar dari kerusakan totalnya (Anderson, Hoover dan Reinhart
1976). Hal tersebut dapat disimpulkan jika penutupan hutan menghambat erosi
dan memberikan sumbangan yang berarti terhadap pencegahan kerusakan akibat
terjadinya banjir (Lee 1990).
Hutan memberikan penutupan terbaik yang mungkin untuk pencegahan
kerusakan-kerusakan banjir, khususnya kerusakan-kerusakan yang terjadi sebagai
akibat dari erosi dan pendangkalan (sedimentasi). Kegiatan-kegiatan penebangan
hutan dengan sistem tebang habis, pembuatan jalan, dan pengelolaan hutan
lainnya, bahkan penambangan permukaan, dapat dilakukan tanpa meningkatkan
erosi atau aliran-aliran puncak secara substansional, namun seringkali perawatan
dan biaya tambahan yang terlibat telah menghalangi penggunaan prosedurprosedur yang dianjurkan. Pencegahan kebakaran hutan, pembatasan-pembatasan
penggembalaan, reboisasi lahan yang ditinggalkan dan pengawasan penebangan
hutan yang lebih ketat dan lain-lain gangguan DAS merupakan cara-cara dimana
pengelolaan hutan dapat memberikan sumbangan kepada pengurangan kerusakan
akibat banjir (Lee 1990).
8
2.6 Pendugaan Debit Puncak
Sebagian besar DAS yang akan dilakukan perencanaan pengelolaan DAS
kurang tersedia data hidrologi yang memadai, untuk itu diperlukan suatu
pemodelan hidrologi yang sesuai dengan kondisi biofisik DAS tersebut (Murtiono
2008). Pemodelan hidrologi sudah sejak lama diterapkan (Murtiono 2008).
Prediksi debit maksimum (metode rasional) yang berdasarkan pada curah hujan,
luas DAS, dan karakteristik DAS telah diperkenalkan pada tahun 1850 oleh
Mulvaney (Fleming 1979 dalam Murtiono 2008).
Metode rasional dalam menentukan laju puncak aliran permukaan (debit
puncak) mempertimbangkan waktu konsentrasi, yaitu waktu yang dibutuhkan air
yang mengalir di permukaan tanah dari tempat yang terjauh sampai tempat
keluarnya (outlet) di suatu daerah aliran (Arsyad 2010).
Persamaan dalam menghitung debit puncak dengan model rasional (United
State Soil Conservation Service 1987) adalah sebagai berikut (Asdak 2002;
Arsyad 2010):
Qp = 0,0028 CiA .................. (1)
yang menyatakan Qp adalah debit puncak untuk suatu hujan dengan interval
tertentu, dalam m3 detik-1, C adalah koefisien aliran permukaan, i adalah intensitas
hujan yaitu banyaknya curah hujan per satuan waktu dari hujan maksimum yang
diharapkan lamanya hujan yang terjadi sama dengan waktu konsentrasi suatu
DAS, dalam mm jam-1, dan A luas suatu DAS dalam hektar.
Model rasional seperti yang dikemukakan oleh Larson dan Reich (1973)
mengasumsikan, bahwa frekuensi jatuhnya hujan dan aliran permukaan adalah
sama. Menurut Rahim (2006) dan Arsyad (2010) model rasional mengasumsikan
bahwa waktu konsentrasi DAS sama dengan hujan yang terjadi dengan intensitas
yang seragam di seluruh DAS.
Menurut Arsyad (2010) dalam model rasional perlu diperhatikan; (a)
penetapan interval kejadian hujan yang akan digunakan, (b) luas DAS dan (c)
sistem penggunaan lahan, topografi dan sifat-sifat tanah dalam DAS tersebut.
Informasi ini diperlukan untuk penetapan koefisien aliran permukaan dan waktu
konsentrasi.
9
Koefisien run off (C) didefinisikan sebagai nisbah antara laju puncak
aliran permukaan terhadap intensitas hujan. Faktor utama yang mempengaruhi
nilai C adalah laju infiltrasi tanah, tanaman penutup tanah, dan intensitas hujan
(Arsyad 2010). Menurut Rahim (2006) koefisien merupakan kombinasi dari tiga
faktor, yaitu topografi, penggunaan lahan, dan tekstur tanah. Nilai C umumnya
sudah diklasifikasikan berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah ada.
Menurut Volker (1968) dalam Seyhan (1990) koefisien sudah mencakup
kehilangan dan keberagaman hujan. Suatu koefisien yang konstan tidak dapat
dipergunakan dalam suatu DAS karena karakteristik suatu DAS selalu bersifat
dinamis.
Koefisien dalam model rasional seperti Bilangan Kurva (Curve Number)
dalam model SCS-CN. Perbedaannya, model rasional menggunakan faktor
intensitas hujan dalam penentuan nilai koefisien dan model SCS-CN
menggunakan kondisi kandungan air tanah sebelumnya biasa disebut AMC yang
diketahui dengan akumulasi hujan lima hari terakhir (Arsyad 2010).
Menurut Sosrodarsono dan Takeda (2006) pemisahan antara aliran
permukaan dan aliran dasar adalah sulit. Namun kesalahan pemisahan dengan cara
tersebut tidak terlalu besar, sehingga sebagai pendekatan cara ini umum
digunakan. Sebagaimana yang juga juga dikemukaan oleh Gray (1973) dalam
Seyhan (1990) bahwa belum ada metode yang tepat dalam memisahkan aliran
dasar dan aliran permukaan. Semua teknik pada dasarnya adalah alat-alat analitik
untuk memperoleh pembagian yang mendekati.
Intensitas hujan (i) adalah banyaknya curah hujan per satuan waktu.
Menurut Sosrodarsono dan Takeda (2006) intensitas hujan berbeda-beda karena
lamanya hujan atau frekuensinya. Intensitas hujan berbanding lurus dengan debit
puncak. Jika intensitas hujan meningkat, maka debit puncak akan meningkat pula.
Menurut Rahim (2006) fenomena yang menarik dengan aliran permukaan
adalah waktu konsentrasi, lamanya hujan diasumsikan sama dengan waktu
konsentasi. Maka persamaan untuk menghitung intensitas hujan adalah (Subarkah
1980 dalam Pramono et al. 2009):
....................................(2)
10
dimana I adalah intensitas hujan dalam mm jam-1, R adalah hujan harian dalam
mm dan Tc adalah waktu konsentrasi dalam jam.
Asdak (2002) berpendapat bahwa intensitas hujan terbesar dalam suatu
DAS ditentukan dengan memperkirakan waktu konsentrasi dalam suatu DAS
tersebut, serta intensitas hujan maksimum untuk periode ulang tertentu dan untuk
lama waktu hujan sama dengan waktu konsentrasi.
Waktu konsentrasi (Tc) suatu daerah aliran adalah waktu yang diperlukan
oleh air untuk mengalir dari titik yang paling jauh ke tempat keluar yang
ditentukan, setelah tanah menjadi jenuh air dan depresi-depresi kecil terpenuhi
(Arsyad 2010). Salah satu metode yang umum untuk menghitung waktu
konsentrasi adalah yang dikembangkan oleh Kirpich (1940) dalam Arsyad (2010),
sebagai berikut:
Tc = 0,0195 L0,77Sg-0,385..............................(3)
yang menyatakan Tc adalah waktu konsentrasi dalam menit, L adalah panjang
aliran dalam meter dan Sg adalah lereng daerah aliran dalam meter per meter atau
perbedaan elevasi antara tempat keluar dengan titik terjauh dibagi panjang aliran
(Seyhan 1990; Asdak 2002; Rahim 2006).
Berdasarkan penelitian Murtiono (2008) pendugaan debit puncak
menggunakan model rasional di DAS Keduang dengan luas DAS 35.993 ha
terjadi over estimate sebesar 49,96% dibandingkan dengan nilai aktualnya dari
hasil pengamatan hidrologi (SPAS). Nilai tersebut didasarkan pada kejadian hujan
maksimum 108 mm dan tinggi muka air 3,30 m pada tanggal 20 Desember 2005.
Pramono et al. (2009) dalam menerapkan model rasional untuk pendugaan
debit puncak di Sub DAS Tapan (161 ha) dan Wuryantoro (1.792 ha) terjadi over
estimate, masing-masing sebesar 185% dan 615%. Sedangkan di Sub DAS
Ngunut I (596 ha) memberikan hasil yang hampir sesuai dibandingkan dengan
hasil pengukuran, yaitu under estimate sebesar 4%.
Berdasarkan penelitian tersebut Pramono et al. (2009) menyimpulkan
bahwa model rasional memberikan hasil yang paling baik di Sub DAS yang
secara umum datar, dimana hujan terjadi lebih merata. Sedangkan di Sub DAS
kecil yang memiliki topografi sangat curam, dimana curah hujan terjadi tidak
merata di seluruh Sub DAS, hasil pendugaan mengalami penyimpangan yang
11
cukup besar dibandingakan dengan hasil pengukuran di lapangan. Menurut Asdak
(2002) kelemahan model rasional tidak dapat menerangkan hubungan curah hujan
terhadap debit puncak dalam bentuk hidrograf satuan.
Medel (Soil Conservation Service-Curve Number) SCS-CN untuk
menentukan debit puncak aliran permukaan dikemukakan oleh Dinas Konservasi
Tanah Amerika Serikat (1973) untuk curah hujan yang seragam di suatu DAS.
Debit puncak aliran permukaan dengan model SCS-CN menggunakan persamaan
(Neitsch 2005; Arsyad 2010):
Qp = 0,0021 Q A/Tp...........................(4)
dimana Q adalah volume aliran permukaan dalam mm, Qp adalah laju puncak
aliran permukaan dalam m3 detik-1, A adalah luas DAS dalam hektar dan Tp
adalah waktu puncak dalam jam. Menurut Neitsch et al. (2005) model SCS-CN
merupakan modifikasi dari model rasional.
Menurut Asdak (2002) model SCS dikembangkan berdasarkan hasil
pengamatan bertahun-tahun yang melibatkan banyak daerah pertanian di Amerika
Serikat. Model ini berlaku untuk daerah dengan luas kurang dari 13 km2 dengan
kemiringan lahan kurang dari 30%.
Asdak (2002) beranggapan bahwa medel SCS berusaha mengaitkan
karakteristik DAS seperti tanah, vegetasi dan tataguna lahan dengan CN yang
menunjukkan potensi volume aliran permukaan untuk curah hujan tertentu.
Waktu yang diperlukan untuk mencapai laju puncak aliran permukaan
diperoleh berdasarkan persamaan (US-SCS 1973 dalam Arsyad 2010):
Tp = D/2 + 0,6 Tc...............................(5)
dimana Tp adalah waktu untuk mencapai puncak aliran dalam jam, D adalah
lamanya hujan lebih dalam jam dan Tc adalah waktu konsentrasi dalam jam.
Waktu lamanya hujan lebih (D) dapat ditentukan dengan persamaan (Seyhan
1990):
R = 380 D0,5..............................(6)
yang menyatakan R adalah curah hujan (mm) dan D adalah lama hujan dalam
jam. Dalam menduga debit puncak, nilai R dalam penelitian ini menggunakan
curah hujan harian. Waktu puncak (Tc) ditentukan menggunakan persamaan (3a)
dan (3b) yang sudah dijelaskan dalam model rasional.
12
Dinas Konservasi Tanah Amerika Serikat (1973) dalam Arsyad (2010)
menyatakan bahwa volume aliran permukaan (Q) tergantung besarnya curah hujan
(P) dan volume simpanan yang tersedia untuk menahan air (S). Penahanan
(retensi) aktual (F) adalah perbedaan curah hujan dan aliran permukaan. Volume
air hujan pada permulaan hujan disebut abstraksi awal (Ia). Abstraksi awal tidak
akan menjadi aliran permukaan. Model SCS-CN mengasumsikan hubungan curah
hujan dan aliran permukaan sebagai berikut:
.................................(7a)
dimana S adalah retensi air maksimum potensial. Retensi aktual, dengan
memperhitungkan abstraksi aktual awal, persamaannya:
F = (P – Ia) – Q......................(7b)
dengan mensubtitusi persamaan (7a) ke dalam persamaan (7b), didapatkan
persamaan berikut:
..............(7c)
yang dapat disederhanakan menjadi persamaan:
...........................(7d)
Abstraksi awal adalah fungsi penggunaan tanah, perlakuan dan kondisi
hidrologi, dan kandungan air tanah sebelumnya. Nilai Ia dapat diduga dengan baik
menggunakan persamaan:
Ia = 0,2 S..............................(7e)
Faktor yang mempengaruhi Ia akan juga mempengaruhi S. Dengan
mensubtitusi persamaan (7d) ke dalam persamaan (7e) didapatkan persamaan
menjadi:
Q=
.....................(7f)
dimana Q adalah volume aliran permukaan (mm), P adalah curah hujan (mm), dan
S adalah retensi potensial maksimum (mm). Dari penelitian empirik didapatkan,
bahwa S dapat diduga dengan persamaan:
13
S=
254................(7g)
yang menyatakan CN adalah bilangan kurva yang nilainya berkisar antara 0–100.
Nilai CN dapat dihitung berdasarkan prosedur yang dibuat oleh Mc Cuen (1982)
dalam Arsyad (2010) dengan mempertimbangkan jenis tanah yang berkaitan
dengan laju infiltrasi tanah, penutupan atau penggunaan lahan dalam suatu DAS
dan kandungan air tanah.
Volume dan laju aliran permukaan bergantung pada sifat-sifat meteorologi
dan daerah aliran sungai serta pendugaan aliran permukaan memerlukan suatu
indeks yang mewakili kedua faktor tersebut. Volume curah hujan mungkin
merupakan satu-satunya sifat meteorologi yang penting dalam menduga volume
aliran permukaan. Tipe tanah, penggunaan tanah, dan kondisi hidrologi penutup
adalah sifat-sifat daerah aliran yang mempunyai pengaruh paling penting dalam
pendugaan volume aliran permukaan. Kandungan air tanah sebelumnya juga
penting dalam mempengaruhi volume aliran permukaan (Arsyad 2010).
Klasifikasi kelompok hidrologi tanah model SCS-CN dikelompokkan ke
dalam empat kelompok dengan simbol huruf A, B, C dan D. Menurut Mc Cuen
(1982) dalam Arsyad (2010) kelompok hidrologi tanah dalam SCS-CN dapat
ditentukan di tempat dengan menggunakan salah satu dari ketiga cara, yaitu sifatsifat fisik tanah, peta tanah detail dan laju infiltrasi minimum tanah.
Peta tanah detail dan sifat fisik tanah untuk memberikan informasi dan
deskripsi lokasi terkait dengan sifat-sifat tanah terhadap air. Laju infiltrasi
minimum tanah dan sifat-sifat tanah yang sesuai dengan keempat kelompok oleh
Mc Cuen (1982) dalam Arsyad (2010) ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Hubungan laju infiltrasi minimum dengan kelompok tanah
Kelompok
Hidrologi
A
B
Laju Infiltrasi
(mm/jam)
8 – 12
4 - 8
C
1 - 4
D
0 - 1
Tekstur
Pasir dalam, loess dalam, debu yang beragregat
Loess dangkal, lempung berpasir
Lempung berliat, lempung berpasir dangkal, tanah
berkadar bahan organik rendah, dan tanah-tanah
berkadar liat tinggi
Tanah-tanah yang mengembang secara nyata jika
basah, liat berat, plastis, dan tanah-tanah saline
tertentu
14
Klasifikasi penggunaan lahan dalam model SCS-CN mempengaruhi
besarnya aliran permukaan. Lahan yang berhutan akan menyumbangkan aliran
permukaan yang lebih sedikit dibandingkan dengan lahan yang kedap air, seperti
pemukiman yang lantainya dilakukan pengerasan. Hal ini akan mempengaruhi
tingkat infiltrasi tanah (Arsyad 2010).
Menurut Arsyad (2010) klasifikasi kompleks penutup penutup tanah
(penggunaan lahan) terdiri tiga faktor yaitu penggunaan tanah, perlakuan atau
tindakan yang diberikan dan keadaan hidrologi. Penggunaan lahan untuk
pertanian diklasifikasikan berdasarkan keadaan di lapangan, seperti penanaman
menurut kontur (pembuatan teras) yang merupakan salah satu tindakan konservasi
tanah dan air (KTA). Klasifikasi ini diperlukan karena potensi pengaruh terhadap
aliran permukaan.
Kandungan air tanah sebelumnya mempengaruhi volume dan laju aliran
permukaan. Mengingat pentingnya pengaruh faktor ini maka SCS menyusun tiga
kondisi kandungan air tanah sebelumnya. Kondisi kandungan air tanah
sebelumnya biasa disebut AMC (Antecedent Moisture Content). Batas besarnya
curah hujan dan keadaan tanah untuk ketiga kondisi tersebut ditunjukkan pada
Tabel 2 (Mc Cuen 1982 dalam Arsyad 2010).
Menurut Arsyad (2010) dalam perencanaan pengelolaan DAS, kandungan
air tanah sebelumnya seringkali lebih merupakan ketetapan kebijaksanaan bukan
merupakan keadaan tanah setempat sebelumnya.
Tabel 2 Kondisi kandungan air tanah dan batas besarnya curah hujan
AMC
Keterangan
I
Tanah dalam keadaan kering tetapi tidak
sampai ke titik layu, telah pernah ditanam
dengan hasil memuaskan
II
Keadaan rata-rata
III
Hujan lebat atau hujan ringan dan
temperatur rendah telah terjadi dalam
lima hari terakhir, tanah jenuh air
Total CH 5 hari Sebelumnya (mm)
Musim Dorman
Musim Tumbuh
< 13
< 35
13–28
35–53
> 28
> 53
15
BAB III
METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran
(KST); Sub DAS Kali Madiun, DAS Solo. Sebagian besar Sub-sub DAS KST
secara administratif masuk dalam Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Pengolahan data dilaksanakan di Laboratorium Hidrologi Hutan dan DAS,
Bagian Perencanaan Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan
Oktober–November 2012 dan pengolahan data dilakukan pada bulan Februari–
Juni 2012.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk penelitian adalah perangkat lunak (software)
meliputi Arc GIS 9.3, Google Earth Pro 6.0.2074 dan Stitch Maps Plus 2.40.
Bahan yang diperlukan untuk penelitian antara lain:
1.
Peta DAS Solo,
2.
Data curah hujan dan debit
3.
Data koordinat lokasi SPAS dan Stasiun Pengukur Curah Hujan
4.
Batas Sub DAS Solo tahun 2009
5.
Peta jaringan sungai
6.
Data Image Sub-sub DAS KST jaringan sungai dari Google Earth
7.
Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Jawa Timur
8.
Peta penggunan lahan tahun 2009
9.
Data jenis tanah
10. Data kelas lereng
11. Data sifat tanah dikaitkan dengan data yang diperlukan dalam model rasional
dan SCS-CN.
16
3.3 Metode Pengumpulan Data
3.3.1 Jenis Data
Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data hidrologi dan
data spasial (Geographic Information System) GIS. Data hidrologi meliputi data
curah hujan 2005-2010 di Stasiun curah hujan (CH) Slahung, Sooko dan
Purwantoro dan data debit SPAS Sekayu 2008–2010. Data spasial GIS meliputi
koordinat Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) dan Stasiun CH, penggunaan
lahan DAS Solo tahun 2009, jenis tanah, batas sub DAS Solo, jaringan sungai
Balai pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS), kelerengan dan RBI kontur
Jawa Timur.
3.3.2 Cara Pengumpulan Data
3.3.2.1 Data Hidrologi
Data hidrologi yang meliputi data curah hujan, tinggi muka air (TMA) dan
debit aliran sungai diperoleh dari Laporan Balai Besar Wilayah Sungi Bengawan
Solo (BBWS BS), baik yang berupa cetakan (hard copy) maupun digital. Data
curah hujan yang dikumpulkan berasal dari stasiun pengukur hujan Slahung,
Sooko dan Purwantoro. Data TMA dan debit berasal dari SPAS Sekayu.
3.3.2.2 Data Ciri Fisik DAS dan Penggunaan Lahan
Data ciri fisik DAS mencakup batas sub DAS, kelas kemiringan, dan sifat
jenis tanah. Data penggunaan lahan mencakup penggunaan lahan sebagai faktor
dalam menetukan nilai koefisien run off dan curve number.
Batas sub DAS, kelas kemiringan dan sifat jenis tanah diperoleh dari
BPDAS Solo. Data penggunaan lahan diperoleh dari BPDAS Solo. Data
penggunaan lahan yang diperoleh yaitu data tahun 2009.
3.4 Analisis Data Spasial GIS
Analisis data spasial GIS menggunakan software Arc-GIS 9.3. Penggunaan
ArcToolbox di software Arc-GIS ini meliputi 3D Analyst Tools, Analysis Tools,
Conversion Tools, Data Management Tools dan Spatial Analyst Tools, serta
editor.
17
3D Analyst Tools digunakan untuk interpolasi data. Analysis Tools
digunakan untuk memotong citra dengan format shapfile, overlay, buffer.
Conversion untuk merubah format data spasial. Data Management Tools untuk
mengubah project koordinat sistem. Sedangkan Spatial Analyst Tools digunakan
untuk memotong citra dengan format raster dan analisis hidrologi seperti
membuat jaringan drainase, panjang sungai dan luas area suatu DAS. Editor
digunakan untuk koreksi hasil analisis dengan data RBI kontur Jawa Timur dan
jaringan sungai BPDAS Solo.
Pengambilan image dari Google Earth untuk mengetahui lebar jaringan
sungai yang kemudian akan didigitasi dan direktifikasi dengan hasil analisis
menggunakan peta kontur, RBI kontur dan jaringan sungai BPDAS. Analisis
tersebut dengan menggunakan georeferensing, editor dan rektifikasi peta hasil
koreksi dengan image tersebut.
3.5 Analisis Data Pendugaan Debit Puncak
Analisis pendugaan debit puncak menggunakan model rasional dan SCSCN bertujuan untuk mengetahui model terbaik diantara kedua model, serta
kelebihan dan kelemahan dari model tersebut, khususnya di Sub-sub DAS KST.
Kedua model tersebut memiliki persamaan dan sekaligus perbedaan dalam
variabel persamaannya.
3.5.1 Analisis Curah Hujan Wilayah
Perbedaan curah hujan disetiap stasiun pengukur curah hujan dalam suatu
DAS perlu dilakukan analisis untuk mengetahui curah hujan rata-rata. Analisis
yang digunakan yaitu menggunakan metode interpolasi IDW (Inverse Distance
Weighted). Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
P = ∑(AxPx/A)
Keterangan:
P = Curah hujan wilayah (mm)
Ax = Luas wilayah untuk stasiun x (ha)
Px = Curah hujan pada stasiun x (mm)
A = Luas wilayah/DAS (ha)
18
Gambar 1 Peta curah hujan wilayah menggunakan interpolasi IDW.
3.5.2 Metode Rational
Persamaan yang digunakan untuk menghitung debit puncak aliran
permukaan adalah sebagai berikut (Asdak 2002; Arsyad 2010):
Qp = 0,0028 CiA
Keterangan:
Qp = Laju puncak aliran permukaan (m3 detik-1)
C = Koefisien aliran permukaan
I = Intensitas hujan (mm jam-1)
A = Luas daerah aliran (ha)
1. Koefisien Aliran Permukaan (C)
Nilai C dipengaruhi oleh laju infiltrasi tanah, tanaman penutup tanah, dan
intensitas hujan. Nilai C dan konversi nilai C berdasarkan kelompok hidrologi di
Sub-sub DAS KST disajikan pada Tabel 3.
19
Tabel 3 Luas (%) dan koefisien aliran permukaan tiap penggunaan lahan
Tipe Tutupan Lahan
Sungai
Semak Belukar
Sawah
Sawah
Sawah
Pertanian Lahan Kering Campur Semak
Pertanian Lahan Kering Campur Semak
Pertanian Lahan Kering
Pertanian Lahan Kering
Pertanian Lahan Kering
Pemukiman/Lahan Terbangun
Pemukiman/Lahan Terbangun
Pemukiman/Lahan Terbangun
Lahan Terbuka
Lahan Terbuka
Hutan Tanaman
Hutan Tanaman
Hutan Tanaman
Hutan Sekunder
Hutan Sekunder
C Tertimbang
Kelas
Hidrologi
C
A
B
C
A
C
A
B
C
A
B
C
B
C
A
B
C
B
C
Luas (%)
0,51
0,01
0,83
2,62
6,33
7,07
9,38
5,35
5,50
18,58
0,21
4,57
2,10
3,74
0,02
10,30
7,04
12,25
0,25
3,34
100
C
1,000
0,450
0,200
0,400
0,500
0,200
0,500
0,200
0,400
0,500
0,500
0,500
0,500
0,630
0,687
0,100
0,300
0,400
0,020
0,025
0,375
2. Intensitas Hujan (I)
Intensitas hujan dapat dihitung dengan persamaan berikut (Subarkah 1980
dalam Pramono et al. 2009):
Keterangan:
I = intensitas hujan (mm jam-1)
R = Hujan harian (mm)
Tc = Waktu konsentrasi (jam)
3. Waktu Konsentrasi (Tc)
Waktu konsentrasi dihitung dengan menggunakan persamaan berikut
(Kirpich 1940 dalam Arsyad 2010):
20
Keterangan:
Tc = Waktu konsentrasi (menit)
L = Panjang aliran (m)
Sg = Lereng daerah aliran
3.5.3 Metode SCS-CN
Persamaan yang digunakan untuk menghitung debit puncak aliran
permukaan adalah sebagai berikut (Neitsch et al 2005; Arsyad 2010):
Qp = 0,0021 Q A/Tp
Keterangan:
Qp = Laju puncak aliran permukaan (m3 detik-1)
Q = Volume aliran permukaan (mm)
A = Luas DAS (ha)
Tp = Waktu puncak (jam)
1. Waktu Puncak (Tp)
Waktu puncak dapat dihitung dengan persamaan berikut (Arsyad 2010):
Tp = D/2 + 0,6 Tc
Keterangan:
D = Waktu (lamanya) hujan lebih (jam)
Tc =Waktu konsentrasi (jam)
2. Waktu Hujan Lebih (D)
Waktu hujan lebih dapat dihitung dengan persamaan (Seyhan 1990):
R = 380 D0,5
Keterangan:
R = Curah hujan (mm)
D = Lama hujan (jam)
3. Waktu Konsentrasi (Tc)
Waktu konsentrasi dihitung dengan menggunakan persamaan berikut
(Kirpich 1940 dalam Arsyad 2010):
21
Keterangan:
Tc = Waktu konsentrasi (menit)
L = Panjang aliran (m)
Sg = Lereng daerah aliran
4. Volume Aliran Permukaan (Q)
Volume aliran permukaan dalam metode SCS-CN dapat dihitung dengan
persamaan berikut (Asdak 2002; Arsyad 2010):
Keterangan:
Q = Volume aliran permukaan (mm)
P = Curah hujan (mm)
S = Retensi potensial maksimum (mm)
5. Retensi Potensial Maksimum (S)
Persamaan yang umum dalam menghitung retensi potensial maksimum
dalam metode SCS-CN adalah sebagai berikut (Asdak 2002; Arsyad 2010):
Keterangan:
S = Retensi potensial maksimum (mm)
CN = Bilangan kurva yang nilainya berkisar antara 0 hingga 100
6. Nilai Curve Number (CN)
Nilai CN dipengaruhi oleh tutupan lahan, kondisi air tanah sebelumnya
atau AMC (antecedent moisture condition) dan tekstur tanah. Nilai CN dan
konversi nilai CN yang disesuaikan dengan kondisi tutupan lahan di Sub-sub DAS
KST disajikan pada Tabel 4.
22
Tabel 4 Luas (%) dan CN tiap penggunaan lahan
Tipe Tutupan Lahan
Kelas
Hidrologi
C
A
B
C
Luas
(%)
0,51
0,01
0,83
2,62
6,33
AMC I
AMC II
AMC III
100,00
55,80
41,00
53,40
61,80
100,00
74,00
61,00
72,00
79,00
100,00
90,20
79,80
89,40
93,40
A
7,07
31,80
51,00
71,00
C
9,38
58,20
76,00
91,60
A
B
C
A
B
C
B
C
A
B
C
B
C
5,35
5,50
18,58
0,21
4,57
2,10
3,74
0,02
10,30
7,04
12,25
0,25
3,34
47,00
52,20
60,60
31,80
48,60
61,80
49,80
61,80
19,80
40,00
54,60
35,00
51,00
49,31
62,00
71,00
78,00
51,00
68,00
79,00
69,00
79,00
36,00
60,00
73,00
55,00
70,00
67,18
80,60
87,80
92,80
71,00
85,40
93,40
86,20
93,40
61,00
79,00
89,40
75,00
87,00
84,58
Sungai
Semak Belukar
Sawah
Sawah
Sawah
Pertanian Lahan Kering Campur
Semak
Pertanian Lahan Kering Campur
Semak
Pertanian Lahan Kering
Pertanian Lahan Kering
Pertanian Lahan Kering
Pemukiman/Lahan Terbangun
Pemukiman/Lahan Terbangun
Pemukiman/Lahan Terbangun
Lahan Terbuka
Lahan Terbuka
Hutan Tanaman
Hutan Tanaman
Hutan Tanaman
Hutan Sekunder
Hutan Sekunder
CN Tertimbang
3.5.4 Koefisien Aliran Permukaan
Nilai koefisien aliran permukaan adalah nilai perbandingan antara jumlah
aliran permukaan dengan jumlah curah hujan. Untuk mendapatkan besarnya aliran
permukaan, dilakukan pemisahan debit langsung dari debit total. Cara yang
digunakan adalah cara yang paling mudah, yaitu dengan menarik garis lurus
antara lengkungan dasar yang mengapit debit puncak.
Gambar 2 merupakan contoh pemisahan antara aliran dasar dan aliran
permukaan dari suatu hidrograf. Konversi debit dalam satuan m3/s menjadi satuan
yang sama dengan curah hujan dilakukan dengan cara membagi m3/s dengan luas
DAS (m2).
600
0
400
50
200
100
0
150
CH (mm)
Debit (m3/s)
23
CH
Debit
Base Flow
Gambar 2 Hidrograf untuk analisis koefisien aliran permukaan.
24
25
BAB IV
KONDISI UMUM
4.1 Letak dan Luas
Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran (KST) terletak di Sub
DAS Kali Madiun Hulu. Secara geografis Sub-sub DAS KST berada di antara 7º
48’ 14,1”–8º 05’ 04,3” LS dan 111º 10’ 12,6” –111º 45’ 11,3” BT. Sebelah Utara
berbatasan dengan Sub-sub DAS Gonggang, Sub-sub DAS Galok, Sub-sub DAS
Sambi, Sub-sub DAS Bulu, Sub-sub DAS Asin dan Sub-sub DAS Catur, di
sebelah Timur berbatasan dengan Gunung Wilis yang memisahkan DAS Solo
dengan DAS Brantas, di sebelah Selatan berbatasan dengan dataran tinggi
Pegunungan Kidul yang memisahkannya dengan DAS Grindulu dan DAS Lorok,
dan di sebelah Barat berbatasan dengan Sub-DAS Keduang dan Sub DAS Wiroko
(Gambar 3). Sub-sub DAS KST mencakup wilayah seluas 110.890,48 Ha
(BPDAS Solo, 2008). Sedangkan Luas Sub-sub DAS KST berdasarkan hasil
pengolahan data spasial yang menuju outlet SPAS Sekayu adalah 103.157,86 Ha.
Gambar 3 Peta Lokasi Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran.
26
Berdasarkan pembagian wilayah administrasi, Sub-sub DAS KST
mencakup enam Kabupaten, lima Kabupaten di Jawa Timur, yaitu Ponorogo,
Magetan, Pacitan, Trenggalek dan Kabupaten Madiun, serta satu Kabupaten di
Jawa Tengah, yaitu Wonogiri. Sebagian besar wilayah Sub-sub DAS KST terletak
di Kabupaten Ponorogo. Peta lokasi Sub-sub DAS KST berdasarkan letak
administrasi Kabupaten disajikan dalam Gambar 4.
Gambar 4 Peta Lokasi Sub-sub DAS KST Berdasarkan batas Kabupaten.
4.2 Iklim
Keadaan iklim di Sub-sub DAS KST berdasarkan klasifikasi SchmidthFerguson dengan data hujan selama 2005-2010 termasuk tipe iklim C dengan 7
bulan basah dan 3 bulan kering. Rata-rata curah hujan tahunan selama tahun
2005–2010 adalah 2029 mm/tahun.
Suhu rata-rata berdasarkan stasiun iklim di Bandara Iswahyudi, Madiun
adalah 26,0 ºC. Suhu terendah terjadi pada bulan Februari sebesar 25,3 ºC dan
suhu tertinggi pada bulan Oktober sebesar 27,0 ºC. Kelembaban udara (RH) ratarata adalah 76% dengan RH terendah adalah 67% pada bulan September dan RH
tertinggi adalah 85% pada bulan Januari sampai Maret. Keadaan penyinaran
27
matahari (sunshine) rata-rata adalah 67% dengan penyinaran terendah pada bulan
Februari sebesar 43% dan tertinggi pada bulan Juli sebesar 86%. Tabel 5
menunjukkan data unsur iklim di Stasiun iklim Bandara Iswahyudi Madiun
(CDMP 2001 dalam BPDAS 2008).
Tabel 5 Stasiun iklim: Bandara Iswahyudi, Madiun
Bulan
Unsur
Iklim
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Suhu (ºC)
25,4
25,3
25,4
26,2
26,2
25,9
25,6
25,8
26,5
27,0
26,8
26,2
26,0
RH (%)
Sunshine
(%)
85
85
85
81
79
73
68
70
67
69
74
80
76
45
43
51
73
74
79
86
84
81
73
64
55
67
Rataan
Curah hujan tahunan di Sub-sub DAS KST selama tahun 2005–2010
berkisar antara 1.357 mm/tahun sampai 2.788 mm/tahun, Rata-rata hujan tahunan
selama tahun 2005–2010 adalah 2029 mm/tahun. Berdasarkan Gambar 5, curah
hujan tertinggi terjadi pada tahun 2010 sebesar 2.788 mm, sedangkan curah hujan
terendah terjadi pada tahun 2009 sebesar 1.357 mm. Hujan tahunan selama tahun
2005-2010 disajikan dalam Gambar 5.
Gambar 5 Curah hujan tahunan di Sub-sub DAS KST.
Rata-rata curah hujan bulanan bulanan di Sub-sub DAS KST selama tahun
2005-2010 disajikan dalam Gambar 6. Curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada
bulan Desember sebesar 354 mm/bulan, sedangkan curah hujan terendah terjadi
pada bulan Agustus sebesar 11 mm/bulan.
28
Gambar 6 Hujan bulanan selama tahun 2005-2010.
Curah hujan harian tertinggi di Sub-sub DAS KST selama periode 20052010 adalah pada 26 Desember 2007 sebesar 127,25 mm (Gambar 7). Hujan
tersebut berbeda dengan kejadian hujan yang lain. Kejadian hujan harian tertinggi
lainnya setiap tahunnya hanya berkisar antara 40 sampai 60 mm. Secara berturutturut curah hujan harian tertinggi setiap tahunnya periode 2005-2010 adalah 63
mm, 47,95 mm, 127,25 mm, 59,64 mm, 45, 97 mm, dan 52,43 mm.
Gambar 7 Curah hujan harian tahun 2005-2010.
4.3 Tanah
Berdasarkan peta jenis tanah Sub-sub DAS KST (Gambar 8) terdapat 15
jenis tanah, yaitu Mediteran coklat kemerahan volkan intermediet, Asosiasi
aluvial kelabu & aluvial coklat kekelabuan, Aluvial coklat, Asosiasi litosol &
mediteran coklat, Litosol dan Regosol, Mediteran coklat kemerahan volkan
29
intermediet, Asosiasi aluvial kelabu & aluvial coklat kekelabuan, Aluvial coklat
kekelabuan, serta Kompleks andosol coklat, andosol coklat kekuningan & litosol.
Gambar 8 Peta jenis tanah Sub-sub DAS KST.
Berdasarkan data spasial BPDAS Solo 2009, di Sub-sub DAS KST
terdapat tiga kelas tekstur tanah dengan tingkat infiltrasi yang berbeda. Jenis tanah
dengan tekstur kasar memiliki tingkat infiltrasi ekstrim, tekstur sedang dengan
tingkat infiltrasi cepat dan tekstur halus dengan tingkat infiltrasi sedang. Jenis
tanah dengan tingkat infiltrasi cepat, yaitu Mediteran coklat kemerahan volkan
intermediet, Asosiasi aluvial kelabu & aluvial coklat kekelabuan, Aluvial coklat
kekelabuan dan Kompleks andosol coklat, andosol coklat kekuningan & litosol.
Jenis tanah dengan tingkat infiltrasi ekstrim, yaitu Asosiasi litosol & mediteran
coklat, Litosol dan Regosol, sedangkan sisanya termasuk dalam tekstur halus
dengan tingkat infiltrasi sedang.
Tabel 6 menunjukkan luas tiap jenis tanah di Sub-sub DAS KST. Jenis
tanah yang paling dominan adalah aluvial kelabu dengan luas 27,28%. Jenis tanah
yang luasannya kurang dari 1% dari luas Sub-sub DAS KST adalah kompleks
30
andosol coklat, andosol coklat kekuningan & litosol, latosol coklat kemerahan
volkan intermedier, latosol merah, dan latosol merah kekuningan.
Tabel 6 Distribusi jenis tanah di Sub-sub DAS KST (BPDAS 2009)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Jenis Tanah
aluvial coklat kekelabuan
aluvial kelabu
asosiasi aluvial kelabu & aluvial coklat kekelabuan
asosiasi litosol & mediteran coklat
Grumosol
kompleks andosol coklat, andosol coklat kekuningan &
litosol
kompleks latosol coklat kemerahan & litosol volkan
Latosol
latosol coklat
latosol coklat kemerahan volkan intermedier
latosol merah
latosol merah kekuningan
Litosol
mediteran coklat kemerahan volkan intermedier
Regosol
Total
Luas (Ha)
Luas (%)
5.749,62
28.144,50
5.565,88
947,91
4.332,16
5,57
27,28
5,40
0,92
4,20
548,50
0,53
2.532,10
11.982,79
5.829,78
698,13
276,79
111,94
18.645,24
12.771,03
5.021,51
2,45
11,62
5,65
0,68
0,27
0,11
18,07
12,38
4,87
103.157,88
100
4.4 Penggunaan Lahan
Sub-sub DAS KST terdiri dari sembilan tipe penggunaan lahan, yaitu
hutan sekunder, hutan tanaman, sungai, semak belukar, sawah, pertanian lahan
kering campur semak, pertanian lahan kering, pemukiman/lahan terbangun, dan
lahan terbuka. Gambar 9 menunjukkan peta tipe penggunaan lahan di Sub-sub
DAS KST tahun 2009 (BPDAS Solo 2009).
Hutan sekunder dan pertanian lahan kering mendominasi Sub-sub DAS
Keyang. Sub-sub DAS Slahung didominasi hutan sekunder, pertanian lahan
kering, dan sawah, sedangkan Sub-sub DAS Tempuran didominasi pertanian
lahan kering campur semak dan pertanian lahan kering. Dibagian hilir ketiga Subsub DAS di dominasi sawah, pertanian lahan kering, pemukiman/lahan terbangun,
dan lahan terbuka (Gambar 9).
31
Gambar 9 Peta penggunaan lahan tahun 2009.
Tipe penggunaan lahan yang terdapat di Sub-sub DAS TSK didominasi
oleh hutan tanaman dan pertanian lahan kering, masing-masing secara berturutturut 29,59% dan 29,43%. Semak belukar sangat jarang di Sub-sub DAS KST,
yang hanya seluas 0,01% (Tabel 7).
Tabel 7 Tipe penggunaan lahan di Sub-sub DAS KST (BPDAS 2009)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Tipe Penggunaan Lahan
Sungai
Semak Belukar
Sawah
Pertanian Lahan Kering Campur Semak
Pertanian Lahan Kering
Pemukiman/Lahan Terbangun
Lahan Terbuka
Hutan Tanaman
Hutan Sekunder
Total
Luas_ha
520,95
11,58
10.085,70
16.973,98
30.360,48
7.094,10
3.882,45
30.523,51
3.705,14
103.157,88
Luas (%)
0,51
0,01
9,78
16,45
29,43
6,88
3,76
29,59
3,59
100
32
4.5 Hidrologi DAS
Di Sub-sub DAS KST terdapat tiga Pos Duga Air atau Stasiun
Pengamatan Arus Sungai (SPAS) dan 3 stasiun hujan. SPAS berlokasi di Sekayu,
Bendo dan Badegan, sedangkan stasiun hujan berada di Slahung, Sooko dan
Purwantoro. Gambar 10 menunjukkan peta jaringan sungai di Sub-sub DAS KST,
serta letak SPAS dan stasiun hujan.
Gambar 10 Peta Jaringan Sungai Sub-sub DAS KST.
Debit rata-rata tahun 2009 di SPAS Sekayu adalah 20,14 m3/s dengan
debit puncak pada tanggal 3 Februari sebesar 369,72 m3/s (BBWS BS 2009).
Tinggi Muka Air (TMA) rata-rata tahun 2009 di Sekayu, Bendo dan Badegan
berturut-turut adalah 0,82 m, 0,26 m dan 0,25 m (BBWS BS 2009). Perbedaan
TMA di Sekayu berbeda dengan dengan di Bendo dan Badegan karena kedua
aliran sungai di SPAS Bendo dan Badegan menuju SPAS Sekayu. TMA terbesar
tahun 2009 di Sekayu terjadi pada tanggal 3 Februari dengan tinggi 4,09 m, di
Bendo pada tanggal 24 Februari dengan tinggi 0,87 m, dan di Badegan pada
tanggal 21 April dengan tinggi 0,98 m (BBWS BS 2009).
33
4.6 Jumlah Penduduk
Kabupaten Wonogiri merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk
terbanyak dibandingkan dengan lima kabupaten lainnya, dengan jumlah penduduk
pada tahun 2009 adalah 985.024 jiwa. Sedangkan Kabupaten dengan jumlah
penduduk paling sedikit adalah Kabupaten Pacitan, dengan jumlah penduduk pada
tahun 2009 adalah 558.644 jiwa. Kabupaten Magetan mengalami pertambahan
penduduk yang sangat signifikikan, dari tahun 2006 ke 2007. (Gambar 11).
Gambar 11 Jumlah penduduk (jiwa) setiap Kabupaten pada tahun 2006-2009
(Sumber: BPS, 2007-2010).
34
35
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Morfometri Sungai
Berdasarkan hasil pengukuran morfometri DAS menggunakan software
Arc-GIS 9.3 diperoleh panjang total sungai di Sub-sub DAS Keyang, Slahung,
dan Sekayu (KST) dengan outlet di SPAS Sekayu adalah 914,97 km dengan
sungai terpanjang adalah 53,99 km yang berasal dari hulu Sub-sub DAS Keyang.
Titik tertinggi (elevasi) jaringan sungai adalah 1.862,5 m dan titik terendahnya
adalah 87,22 m yang berada di SPAS Sekayu. Dari data tersebut dengan
menggunakan persamaan (3) diperoleh waktu konsentrasi (Tc) di Sub-sub DAS
KST sebesar 5,33 jam (319,79 menit).
5.2 Kelompok Hidrologi Tanah dan Penggunaan Lahan
Kelompok hidrologi tanah menggambarkan kelas kemampuan tanah dalam
meloloskan air atau infiltrasi, sedangkan penggunaan lahan mempengaruhi
koefisien aliran permukaan (C) dan interaksinya dengan kelas hidrologi tanah
akan menentukan tingkat reduksi terhadap curah hujan (CN) yang akhirnya akan
mempengaruhi retensi potential maksimum tanah (S).
Kelas tekstur dan infiltrasi dari jenis tanah yang terdapat di Sub-sub DAS
KST disajikan dalam Tabel 8, sedangkan kelompok hidrologi tanah dan nilai CN
untuk berbagai kombinasi kelompok hidrologi tanah dan jenis penggunaan lahan
Tahun 2009 di Sub-sub DAS KST disajikan dalam Tabel 9.
Berdasarkan Tabel 8, terdapat empat jenis tanah yang termasuk dalam
tekstur sedang dengan tingkat infiltrasi cepat, yaitu Mediteran coklat kemerahan
volkan intermediet, Asosiasi aluvial kelabu & aluvial coklat kekelabuan, Aluvial
coklat kekelabuan dan Kompleks andosol coklat, andosol coklat kekuningan &
litosol. Selain itu, jenis tanah yang termasuk dalam tekstur kasar dengan tingkat
infiltrasi ekstrim, yaitu Asosiasi litosol & mediteran coklat, Litosol dan Regosol,
serta sisanya termasuk dalam tekstur halus dengan tingkat infiltrasi sedang.
36
Tabel 8 Kelas tekstur dan infiltrasi jenis tanah di Sub-sub DAS Keyang, Slahung,
dan Tempuran (BPDAS 2009)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Jenis Tanah
Mediteran coklat kemerahan volkan intermediet
Asosiasi aluvial kelabu & aluvial coklat kekelabuan
Aluvial coklat kekelabuan
Kompleks andosol coklat, andosol coklat kekuningan & litosol
Asosiasi litosol & mediteran coklat
Litosol
Regosol
Aluvial kelabu
Kompleks latosol coklat kemerahan & litosol volkan
Latosol coklat
Latosol merah
Grumosol
Latosol coklat kemerahan volkan intermediet
Latosol
Latosol merah kekuningan
Tekstur
Infiltasi
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Kasar
Kasar
Kasar
Halus
Halus
Halus
Halus
Halus
Halus
Halus
Halus
Cepat
Cepat
Cepat
Cepat
Ekstrim
Ekstrim
Ekstrim
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Tekstur tanah mempengaruhi proses infiltrasi tanah. Semakin kasar tekstur
tanah semakin cepat proses infiltrasinya. Tanah bertekstur kasar memiliki poripori tanah yang lebih besar, sehingga air yang berada dipermukaan tanah dapat
terinfiltrasi melalui pori-pori tanah tersebut.
Mc Cuen (1982) dalam Arsyad (2010) mengelompokkan kelompok
hidrologi tanah berdasarkan tekstur tanah menjadi empat bagian. Berdasarkan
Tabel 8, kelompok hidrologi yang memiliki tekstur kasar termasuk kelompok
hidrologi A. Kelompok hidrologi yang memiliki tekstur sedang termasuk
kelompok hidrologi B dan kelompok hidrologi yang memiliki tekstur halus
termasuk kelompok hidrologi C.
Proses infiltrasi tidak hanya dipengaruhi oleh tekstur tanah saja. Menurut
Asdak (2002) proses infiltrasi dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah,
persediaan air awal, kegiatan biologi dan unsur organik, jenis dan kedalam
serasah, dan tumbuhan bawah atau tajuk penutup tanah.
Berdasarkan Tabel 9, pertanian lahan kering dan hutan tanaman yang
mendominasi penggunaan lahan di Sub-sub DAS KST terbagi menjadi dua
kelompok hidrologi untuk pertanian lahan kering dan tiga kelompok hidrologi
untuk hutan tanaman. Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan nilai C dan CN.
37
Penggunaan lahan yang sama nilai C dan CN belum tentu sama jika kelompok
hidrologi berbeda.
Tabel 9 Tipe penggunaan lahan dan nilai C dan CN di Sub-sub DAS KST
Tipe Tutupan Lahan
KH**
Luas (%)
Sungai
Semak Belukar
Sawah
Sawah
Sawah
Pertanian Lahan Kering
Campur Semak
Pertanian Lahan Kering
Campur Semak
Pertanian Lahan Kering
Pertanian Lahan Kering
Pertanian Lahan Kering
Pemukiman/Lahan
Terbangun
Pemukiman/Lahan
Terbangun
Pemukiman/Lahan
Terbangun
Lahan Terbuka
Lahan Terbuka
Hutan Tanaman
Hutan Tanaman
Hutan Tanaman
Hutan Sekunder
Hutan Sekunder
C
A
B
C
0,51
0,01
0,83
2,62
6,33
A
C
CN I*
CN II*
CN III*
1,000
0,450
0,200
0,400
0,500
100,00
55,80
41,00
53,40
61,80
100,00
74,00
61,00
72,00
79,00
100,00
90,20
79,80
89,40
93,40
7,07
0,200
31,80
51,00
71,00
C
9,38
0,500
58,20
76,00
91,60
A
B
C
5,35
5,50
18,58
0,200
0,400
0,500
47,00
52,20
60,60
62,00
71,00
78,00
80,60
87,80
92,80
A
0,21
0,500
31,80
51,00
71,00
B
4,57
0,500
48,60
68,00
85,40
C
2,10
0,500
61,80
79,00
93,40
B
C
A
B
C
B
C
3,74
0,02
10,30
7,04
12,25
0,25
3,34
0,630
0,687
0,100
0,300
0,400
0,020
0,025
49,80
61,80
19,80
40,00
54,60
35,00
51,00
69,00
79,00
36,00
60,00
73,00
55,00
70,00
86,20
93,40
61,00
79,00
89,40
75,00
87,00
C Tertimbang
100
0,375
49,31
67,18
84,58
Keterangan :
(*) CN = Curve Number untuk AMC I, II dan III
AMC = Antecedent Moisture Content (Kadar air tanah sebelum terjadinya hujan biasa)
C = koefisien aliran permukaan
(**) KH = Kelompok Hidrologi
Tutupan lahan mempengaruhi koefisien limpasan permukaan (C) melalui
proses intersepsi dan meningkatkan infiltrasi tanah. Curah hujan sebelum jatuh ke
tanah diintersepsi oleh bagian-bagian vegetasi, yang akan mengurangi jumlah
curah hujan yang sampai di permukaan tanah dan mengurangi kekuatan benturan
akibat energi kinetik yang ditimbulkan oleh air hujan, sehingga energi ke tanah
menjadi lebih kecil. Benturan air hujan dengan tanah dapat mempengaruhi kondisi
pori-pori tanah. Seperti yang dinyatakan Rahim (2006) bahwa terjadinya
38
penghancuran agregat tanah oleh air hujan akan menyumbat pori-pori tanah yang
mengakibatkan kapasitas infiltrasi menurun, sehingga air mengalir dipermukaan
tanah. Lee (1980) berpendapat bahwa infiltrasi lahan bervegetasi umumnya baik
karena serasah permukaan mengurangi pengaruh-pengaruh pukulan tetesan hujan,
dan bahan organik, mikroorganisme serta akar-akar tanaman cenderung
meningkatkan porositas tanah dan memantapkan struktur tanah.
Menurut Lee (1980) kapasitas infiltrasi umumnya meningkat dengan
urutan tipe penutup tanah dari tanah yang gundul, tanaman dalam baris, butir
padi-padian, padang gembala, padang, rumput sampai hutan, dengan kondisi
hidrologis mulai dari yang buruk (penutup tanaman <50%), cukup (50%–75%)
dan baik (>75%). Hal tersebut berbanding terbalik dengan nilai koefisien
limpasan permukaan (C) dan Curve Number (CN). Semakin baik tutupan lahan,
maka akan semakin kecil nilai C dan CN, karena besarnya kapasitas infiltrasi
berbanding terbalik dengan besarnya limpasan permukaan. Tabel 9 menunjukkan
nilai C dan CN di Sub-sub DAS KST berdasarkan hasil penampalan (overlay)
data tutupan lahan dan jenis tanah. Di Sub-sub DAS KST terdapat tiga kelompok
hidrologi tanah yang masing-masing memiliki nilai C dan CN yang berbeda-beda
dengan nilai C tertimbang adalah 0,375 (37,5%) dan nilai CN tertimbang sebesar
49,31 (kondisi AMC I), 67,18 (kondisi AMC II) dan 84,58 (kondisi AMC III).
5.3 Hujan dan Debit
Kejadian hujan harian dan debit harian selama tahun 2009 disajikan dalam
Gambar 12. Hujan harian yang digunakan adalah hujan wilayah yang ditentukan
berdasarkan pendekatan IDW (Inverse Distance Weighted) dan data hujan dari
tiga stasiun hujan. Debit harian yang digunakan adalah data debit di Pos Duga Air
atau Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) Sekayu dari Balai Besar Wilayah
Sungai-Bengawan Solo (BBWS-BS).
Berdasarkan Gambar 12, curah hujan harian tertinggi (maksimum) tahun
2009 pada tanggal 26 Desember sebesar 45,97 mm dan 12 Februari sebesar 41,68
mm. Debit harian tertinggi terjadi (maksimum) pada tanggal 3 Februari sebesar
369,72 m³/s, sedangkan debit terendah adalah 0,03 m³/s yang terjadi pada tanggal
18–23 Oktober.
39
Data hujan dan debit yang digunakan untuk pendugaan debit puncak
menggunakan model rasional dan SCS-CN adalah terjadinya debit maksimum dan
curah hujan maksimum. Hal tersebut didasarkan kedua kejadian memiliki respon
debit yang berbeda terhadap curah hujan. Waktu terjadi debit maksimum tanggal
3 Februari bukan merupakan curah hujan maksimum, sedangkan waktu terjadinya
curah hujan maksimum bukan merupakan debit maksimum. Waktu terjadinya
debit maksimum curah hujan sebesar 39,08 mm, sedangkan waktu terjadinya
curah hujan maksimum debit di SPAS Sekayu hanya 12,35 m³/s.
Gambar 12 Kejadian hujan harian dan debit tahun 2009 di Sub-sub DAS KST.
5.3.1 Hidrograf Aliran Langsung
Analisis hidrograf digunakan untuk mengetahui respon DAS dalam
mengalihragamkan (transformation) hujan menjadi debit aliran. Hidrograf
merupakan gambaran debit total, sedangkan hidrograf aliran langsung
menggambarkan debit yang disebabkan oleh aliran permukaan, yaitu debit total
dikurangi dengan debit aliran dasar (base flow).
Gambar 13 menunjukkan kejadian hujan harian dan debit harian selama
peridoe 2008-2010.
40
Gambar 13 Hubungan curah hujan dan debit selama tahun 2008-2010.
Gambar 13 menunujkkan bahwa hujan lebih besar tidak selalu
mengakibatkan debit lebih besar, demikian juga sebaliknya. Respon DAS dalam
mengalihragamkan hujan menjadi debit lebih digambarkan oleh debit aliran
langsung. Untuk itu dilakukan analisis hidrograf untuk mengetahui debit aliran
langsung. Data yang digunakan untuk analisis hidrograf adalah data debit ketika
debit maksimum dan debit ketika curah hujan maksimum pada tahun 2009.
Kejadian hujan ketika debit maksimum disajikan dalam Gambar 14 dan debit
ketika hujan maksimum disajikan dalam Gambar 15.
Gambar 14 Hidrograf debit langsung harian maksimum di Sub-sub DAS KST
Tahun 2009.
Berdasarkan data hujan dan debit langsung dalam Gambar 14 dan 15, debit
aliran langsung harian maksimum terjadi bukan ketika curah hujan harian
41
maksimum, namun terjadi ketika hujan terjadi secara berturut-turut selama
beberapa hari, yang menunjukkan bahwa debit langsung tidak hanya dipengaruhi
oleh curah hujan pada waktu yang sama, tetapi dipengaruhi juga oleh curah hujan
sebelumnya. Hal tersebut berkaitan dengan kapasitas infiltrasi tanah, yaitu ketika
terjadi hujan sebelumnya kadar air tanah meningkat yang menyebabkan kapasitas
infiltrasi menurun.
Curah hujan maksimum tahun 2009 (Gambar 15) terjadi tanggal 26
Desember 2009 sebesar 45,97 mm dengan debit aliran sebesar 12,35 m3/s. Curah
hujan maksimum tersebut tidak menunjukkan respon debit maksimum karena hari
sebelumnya kejadian hujan sangat jarang. Sedangkan tanggal 3 Februari 2009
(Gambar 14) dengan curah hujan 39,08 mm memberikan respon debit maksimum
sebesar 369,72 m3/s. Hal tersebut terjadi karena kejadian hujan sebelumnya terjadi
secara terus menerus, sehingga mengakibatkan tanah menjadi jenuh. Akibatnya
hujan yang jatuh kepermukaan tanah sebagian besar menjadi aliran permukaan
karena kapasitas infiltrasi menurun.
Gambar 15 Hidrograf debit langsung harian ketika curah hujan harian maksimum
di Sub-sub DAS KST Tahun 2009.
Kedua kondisi hujan dan debit selanjutnya digunakan untuk pendugaan
debit puncak menggunakan model rasional dan SCS-CN.
42
5.3.2 Koefisien Aliran Permukaan dan Jumlah Aliran Permukaan
Nilai
Koefisien
aliran
permukaan
berdasarkan
hasil
pendugaan
menggunakan model rasional adalah 0,375 (Tabel 9), sedangkan berdasarkan
perhitungan langsung data observasi sebesar 0,34 (34%). Nilai koefisien aliran
permukaan berdasarkan hasil pendugaan diperoleh dengan menggunakan
pendekatan tabel koefisien aliran permukaan yang dikembangkan Schwab, et al.
(1981) dalam Arsyad (2010). Variabel yang digunakan dalam tabel tersebut
adalah penggunaan lahan dan kelompok hidrologi tanah. Hal tersebut berbeda
dengan perhitungan langsung data observasi, dimana nilai koefisien aliran
permukaan diperoleh dengan memisahkan aliran dasar dan aliran permukaan
untuk mendapatkan aliran permukaan langsung dalam hidrograf.
Nilai koefisien aliran permukaan menunjukkan persentase hujan menjadi
aliran permukaan. Sehingga dengan nilai koefisien aliran permukaan sebesar
0,375 (metode rasional), dan 0,34 (perhitungan langsung data observasi), pada
kejadian hujan sebesar 39,08 mm (hujan ketika debit maksimum) dan 45,97 mm
(ketika hujan maksimum) menghasilkan aliran permukaan masing-masing sebesar
14,66 mm dan 17,24 mm; serta 13,29 mm dan 15,63 mm.
Tabel 10 Perbandingan jumlah aliran permukaan menggunakan metode rasional,
SCS-CN, dan perhitungan langsung data observasi
Metode
Rational
SCS-CN
Observasi
Aliran permukaan (mm)
X
Y
14,66
17,24
11,68
0,15
13,29
15,63
Keterangan : X = waktu debit ketika debit maksimum
Y = waktu debit ketika curah hujan maksimum
Nilai Koefisien aliran permukaan menggunakan model SCS-CN berbeda
pada dua kejadian ketika debit maksimum dan curah hujan maksimum. Seperti
penjelasan sebelumnya, bahwa model SCS-CN mempertimbangkan AMC
(Antecedent Moisture Content), yaitu kondisi kadar air tanah sebelum terjadinya
hujan biasa. Pada kejadian debit maksimum nilai CN adalah 84,58 dan kemudian
dengan menggunakan persamaan (7f dan 7g) diperoleh aliran permukaan sebesar
11,68 mm, yang berarti nilai koefisien aliran permukaan sebesar 0,299. Ketika
43
curah hujan maksimum nilai CN adalah 49,51 sehingga diperoleh aliran
permukaan sebesar 0,15 mm, yang berarti nilai koefisien aliran permukaan
sebesar 0,003.
Tabel 10 menunjukkan jumlah aliran permukaan menggunakan model
rasional, SCS-CN dan perhitungan langsung data observasi. Berdasarkan gambar
tersebut terdapat perbedaan hasil besarnya aliran permukaan menggunakan ketiga
metode. Nilai aliran permukaan yang sangat berbeda pada waktu terjadinya hujan
maksimum menggunakan metode SCS-CN. Hal tersebut dipengaruhi oleh nilai
CN yang memperhitungkan kadar air dalam tanah. Karena nilai kadar air dalam
tanah minim, maka nilai CN yang diperoleh kecil, sehingga mempengaruhi
besarnya aliran permukaan.
Nilai aliran permukaan menggunakan model rasional dan perhitungan
langsung data observasi tidak jauh berbeda (waktu hujan ketika debit maksimum
dan hujan maksimum). Hal tersebut dipengaruhi nilai koefisien aliran permukaan
menggunakan kedua metode tidak jauh berbeda, yaitu 0,375 dan 0,34. Metode
SCS-CN untuk memperoleh nilai aliran permukaan sangat berbeda dengan model
rasional dan perhitungan langsung data observasi karena mempertimbangkan
kadar air dalam tanah dan variabel rumus yang mempertimbangkan hujan.
Sehingga jumlah aliran permukaan menggunakan model SCS-CN berbeda dengan
menggunakan model rasional dan perhitungan langsung data observasi.
Tabel 11 Perbandingan jumlah aliran permukaan berdasarkan perhitungan
langsung data observasi
Metode
Rational
SCS-CN
Aliran permukaan (mm) waktu :
X
Y
13,29
15,63
20,36
0,97
Keterangan : X = waktu debit ketika debit maksimum
Y = waktu debit ketika curah hujan maksimum
Tabel 11 merupakan jumlah aliran permukaan yang diperoleh berdasarkan
perhitungan langsung data observasi. Jumlah aliran permukaan ini digunakan
untuk pendugaan debit puncak (Qp) menggunakan model rasional dan SCS-CN
berdasarkan hasil observasi. Jumlah aliran permukaan untuk model rasional dan
SCS-CN diperoleh dari koefisien aliran permukaan berdasarkan pemisahan aliran
44
langsung dengan aliran dasar data curah hujan dan debit di SPAS Sekayu.
Bedanya untuk model rasional menggunakan data selama tahun 2009, sedangkan
untuk model SCS-CN menggunakan hidrograf satuan saat terjadinya curah hujan
maksimum dan debit maksimum tahun 2009.
5.4 Debit Puncak Dugaan
5.4.1 Model rasional dan SCS-CN
Pendugaan debit puncak (Qp) menggunakan model rasional dan SCS-CN
pada tahun 2009 diujikan terhadap dua kejadian yang berbeda, yaitu terjadinya
hujan ketika debit maksimum dan hujan maksimum. Hasil pendugaan
sebagaimana disajikan dalam pada Tabel 12.
Tabel 12 menunjukkan bahwa pendugaan Qp menggunakan metode
rasional maupun SCS-CN berbeda nyata dengan hasil pengukuran. Model rasional
memberikan pendugaan lebih baik pada saat menggunakan hujan pada saat debit
maksimum yang ditunjukkan dengan selisih Qp dugaan dan observasi yang lebih
kecil. Namun sebaliknya ketika menggunakan curah hujan maksimum model
SCS-CN yang memberikan pendugaan lebih baik.
Tabel 12 Hasil debit dugaan di Sub-sub DAS KST
Waktu
Qp (m3/s)
Observasi
Qp (m3/s)
Rasional
SCS-CN
Selisih (%)
Rasional
SCS-CN
Debit Maks (Q-Max,
CH=39,1 mm)
369,72
483,68
790,71
30,82
113,87
CH Maks (CH-Max
=45,97 mm)
12,35
568,57
10,12
4.503,81
-18,06
Berdasarkan Tabel 12, debit dugaan mengunakan model rasional yang
diujikan terhadap dua kejadian berbanding lurus terhadap besarnya hujan. Hujan
sebesar 39,1 mm diperoleh Qp sebesar 483,68 m3/s dan hujan sebesar 45,97 mm
diperoleh Qp sebesar 568,57 m3/s. Hasil debit dugaan berbeda ketika
menggunakan model SCS-CN. Ketika hujan 39,1 mm diperoleh Qp sebesar
790,71 m3/s sedangkan ketika hujan 45,97 mm diperoleh Qp lebih kecil, yaitu
10,12 m3/s. Hal tersebut karena hasil pendugaan Qp pada model rasional bersifat
linier, sedangkan pada model SCS-CN hasil pendugaan Qp tidak linier, melainkan
dipengaruhi kondisi hujan sebelumnya. Perbedaan Qp yang besar terhadap dua
45
kejadian berbeda pada model SCS-CN dipengaruhi oleh model yang
memperhatikan kondisi air dalam tanah yang biasa disebut AMC. Nilai AMC ini
mempengaruhi besar kecilnya nilai CN yang merupakan salah satu komponen
dalam model SCS-CN.
Tabel 13 Perbandingan model rasional dan SCS-CN menggunakan koefisien
aliran permukaan hasil perhitungan langsung data observasi di Sub-sub
DAS KST
Waktu
Qp (m3/s)
Observasi
Qp (m3/s)
Rasional
SCS-CN
Selisih (%)
Rasional
SCS-CN
Debit Maks (Q-Max,
CH=39,1 mm)
369,72
438,98
1.378,32
18,73
272,80
CH Maks (CH-Max
=45,97 mm)
12,35
515,58
65,12
4.074,74
427,32
Pendugaan Qp menggunakan metode Rasional dan SCS-CN dengan
menggunakan koefisien aliran permukaan hasil pengukuran disajikan pada Tabel
13. Pendugaan Qp menggunakan koefisien aliran permukaan bertujuan untuk
memperbaiki (optimasi) hasil pendugaan Qp sebelumnya (Tabel 12). Model
rasional memberikan pendugaan yang lebih baik dibandingkan dengan model
SCS-CN. Model SCS-CN memberikan pendugaan yang lebih buruk dibandingkan
dengan pendugaan sebelumnya (Tabel 12).
Tabel 14 Perbandingan model rasional dan SCS-CN setelah dilakukan optimasi
Waktu
Qp (m³/s)
Observasi
Qp (m³/s)
Rasional SCS-CN
Selisih (%)
Rasional SCS-CN
Debit Maks (Q-Max,
CH=39,1 mm)
369,72
438,98
790,71
18,73
113,87
CH Maks (CH-Max
=45,97 mm)
12,35
515,58
10,12
4.074,74
-18,06
Tabel 14 adalah perbandingan model rasional dan SCS-CN setelah
dilakukan optimasi. Berdasarkan hasil pendugaan Qp (Tabel 12) dan hasil
pendugaan Qp menggunakan koefisien aliran permukaan (Tabel 13) maka dipilih
hasil pendugaan terbaik dari kedua model. Pendugaan Qp menggunakan koefisien
aliran permukaan hasil pengukuran (Tabel 13) hanya digunakan pada model
rasional. Hal tersebut berdasarkan hasil pendugaan Qp pada model rasional lebih
46
baik dari pendugaan sebelumnya, sedangkan pada metode SCS-CN menggunakan
koefisien aliran permukaan hasil pengukuran lebih buruk dibandingkan dengan
hasil pendugaan sebelumnya (Tabel 12).
Pendugaan Qp menggunakan koefisien aliran permukaan hasil pengukuran
kurang baik pada model SCS-CN karena nilai koefisien aliran permukaan ini
berdasarkan data debit langsung selama periode tertentu (dalam satu tahun, yaitu
2009). Sehingga pendugaan Qp pada model SCS-CN menggunakan koefisien
aliran permukaan hasil pengukuran tidak memperhatikan kondisi air tanah.
5.4.2 Keakuratan Model
Model rasional dan SCS-CN memiliki persamaan dan sekaligus perbedaan
variabel dalam menduga Qp. Persamaan dalam menduga Qp diantaranya
memperhitungkan luas dan bentuk DAS, topografi, jenis tanah dan tutupan lahan.
Luas dan bentuk DAS, serta topografi kaitannya dengan laju aliran permukaan
dan sebaran curah hujan. Jenis tanah dan tutupan lahan berkaitan dengan
penentuan nilai koefisien aliran permukaan (C) dalam Model Rasional dan CN
(curve number) dalam Model SCS-CN.
Penentuan nilai CN dalam model SCS-CN berbeda dengan penentuan nilai
C dalam Model rasional, yaitu penentuan nilai CN memperhatikan besarnya AMC
(Antecedent Moisture Content), yaitu kondisi kadar air tanah sebelum terjadinya
hujan biasa. Nilai AMC ini sangat berpengaruh terhadap besarnya nilai CN
sedangkan nilai C tidak mempertimbangkan AMC, sehingga model rasional
bersifat linear terhadap kejadian hujan harian, sedangan model SCS-CN tidak
bersifat linear, namun dipengaruhi oleh kejadian hujan berturut-turut yang
mempengaruhi AMC.
Waktu puncak (Tp) dalam model SCS-CN memperhatikan nilai Tc yang
digunakan dalam model rasional, tetapi Tp juga dipengarhi oleh waktu lamanya
hujan lebih (D). Nilai Tc dipengaruhi oleh panjang jaringan sungai utama dan
kemiringan sungai. Nilai D diduga dengan menggunakan data jumlah hujan
harian, karena tidak tersedia data lama kejadian hujan.
Kedua model tersebut menggunakan asumsi bahwa kejadian hujan merata
di seluruh DAS. Untuk mendapatkan kejadian hujan yang merata di seluruh DAS
47
maka luasan DAS menjadi faktor penting dalam pendugaan Qp yang lebih baik.
Arsyad (2010) menyatakan bahwa model rasional umumnya digunakan untuk
DAS dengan luas kurang dari 800 ha, sedangkan menurut Cawley dan Cunnane
(2003) dalam Pramono et al. (2009) kurang dari 2.500 ha. Penelitian Pramono et
al. (2009) di Sub DAS Wuryanto yang memiliki luas sebesar 1.792 ha dan
Murtiono (2008) di DAS Keduang dengan luas DAS 35.993 ha menggunakan
model rasional dalam menduga debit puncak, keduanya menghasilkan pendugaan
over estimate di Sub DAS Wuryanto sebesar 615% dan DAS Keduang sebesar
49,96%. Menurut Asdak (2002) model SCS-CN berlaku untuk luas DAS kurang
dari 1.300 ha dengan kemiringan lahan kurang dari 30%.
Model rasional dan model SCS-CN dalam penelitian ini mencakup area
yang sangat luas, yaitu 103.157,88 ha, sehingga nilai pendugaan menjadi jauh
berbeda dengan nilai hasil pengukuran.
Model rasional menggunakan peluang hujan dalam periode tertentu yang
disebut sebagi periode ulang, jadi bukan untuk menduga debit akibat hujan
tertentu. Hal tersebut sesuai pernyataan Seyhan (1990) bahwa data hujan yang
diperlukan dalam menduga Qp menggunakan model rasional adalah data hujan
dalam periode tertentu. Menurut Arsyad (2010) model pendugaan Qp digunakan
untuk memprediksi besarnya Qp yang digunakan untuk merancang bangunan
pengendali banjir umumnya menggunakan interval hujan 10 tahun. Model
pendugaan Qp pada dasarnya tidak digunakan untuk menduga Qp pada kejadian
hujan pada satu waktu. Namun, model digunakan untuk memprediksi Qp dengan
menggunakan data hujan selama periode hujan tertentu. Data hujan tersebut
digunakan untuk mengetahui peluang hujan tertentu yang digunakan untuk
menjalankan model.
Menurut Asdak (2002) model rasional tidak dapat menerangkan hubungan
curah hujan terhadap debit dalam bentuk hidrograf. Hal tersebut didasarkan bahwa
pendugaan Qp menggunakan model rasional memiliki hubungan lurus terhadap
curah hujan. Jika curah hujannya tinggi maka nilai Qp akan besar, dan jika curah
hujan rendah maka nilai Qp kecil. Hal tersebut, tidak sesuai dengan kondisi di
lapangan bahwa curah hujan tinggi belum tentu respon debit juga tinggi karena
dipengaruhi oleh faktor fisik dan biologi DAS. Sedangkan untuk model SCS-CN
48
karena mempertimbangkan AMC, hasil pendugaan Qp lebih mirip seperti kondisi
di lapangan. Dengan kata lain, model SCS-CN masih dapat menerangkan
hubungan curah hujan terhadap debit dalam bentuk hidrograf.
Model rasional dan SCS-CN juga mengasumsikan bahwa curah hujan
diseluruh area adalah sama, sedangkan di area tersebut hanya terdapat tiga stasiun
hujan. Hal tersebut kurang sesuai karena area ini berbentuk memanjang dari Barat
ke Timur mulai dari Gunung Lawu sampai Gunung Wilis yang memiliki
ketinggian lebih dari 2.000 mdpl dan adanya kedua Gunung tersebut dapat
mempengaruhi tipe hujan yang terjadi di wilayah ini. Selain itu, menurut aturan
WMO (1981) dalam Seyhan (1990) dan Asdak (2002) yang menyatakan bahwa
untuk daerah bergunung-gunung satu alat pengukur curah hujan untuk wilayah
seluas 10.000–25.000 ha. Jika areal tersebut dianalogikan dalam bentuk lingkaran,
maka setiap stasiun mencakup wilayah dengan radius 5,64–8,92 km. Aturan yang
dibuat MWO tersebut kurang sesuai untuk kawasan yang beriklim tropis. Hal
tersebut karena di kawasan tropis curah hujan sangat beragam dan banyak
dipengaruhi oleh kondisi topografi dan tutupan lahan yang mengakibatkan
perbedaan suhu, kelembaban, dan penyinaran matahari.
Asdak (2002) menyimpulkan berdasarkan penelitian Bernard (1945)
dalam Penman (1963) bahwa wilayah yang didominasi vegetasi berkayu/hutan
memiliki curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang di
dominasi semak belukar dan padang rumput. Dengan hanya terdapat tiga alat
pengukur curah hujan di Sub-sub DAS KST, kemungkinan besar dapat mewakili
kondisi curah hujan di DAS tersebut sangat kecil karena distribusi curah hujan
sangat beragam khususnya di daerah tropis, bertopografi gelombang, dan tutupan
lahan yang beragam. Menurut Pramano et al. (2010) topografi yang berbukit atau
bergelombang dapat menyebabkan hujan yang tidak merata
sehingga hasil
penaksiran Qp akan menyimpang cukup jauh bila dibandingkan denga n hasil
pengukuran. Ketidak merataan curah hujan pada suatu DAS dapat mempengaruhi
hasil dari model ini. Sehingga untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kondisi
topografi terhadap perbedaan curah hujan diperlukan lebih banyak alat pengukur
curah hujan.
49
Menurut Asdak (2002) posisi Indonesia yang letaknya antara daratan
Asia dan Australia menyebabkan tipe hujan yang umum adalah tipe hujan
konvektif dan orografik. Hujan konvektif disebabkan oleh adanya beda panas
yang diterima permukaan tanah dengan lapisan udara di atasnya. Hujan
orografik adalah hujan yang sering terjadi di daerah pegunungan. Hujan ini
terjadi ketika massa udara bergerak ke tempat yang lebih tinggi mengikuti
bentang lahan pegunungan sampai saatnya terjadi proses kondensasi.
50
51
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
1. Perilaku debit dipengaruhi oleh perilaku hujan, namun kejadian debit pada hari
tertentu tidak berhubungan linear dengan kejadian hujan pada waktu yang sama
dengan kejadian debit.
2. Debit puncak (Qp) tidak selalu terjadi pada saat kejadian curah hujan
maksimum. Qp lebih dipengaruhi oleh jumlah kumulatif kejadian hujan secara
berturut-turut diseluruh DAS yang mempengaruhi kondisi kadar air tanah dan
aliran permukaan.
2. Model rasional bersifat linear terhadap kejadian hujan sedankang model SCSCN (Soil Conservation Service-Curve Number) tidak bersifat linear terhadap
kejadian hujan, namun dipengaruhi oleh kadar air tanah, yang dipngaruhi oleh
kejadian hujan berturut-turut, sehingga secara teoritas model SCS-CN dapat
lebih baik menduga debit dan debit maksimum.
3. Model rasional dan model SCS-CN menghasilkan Qp dugaan yang bebeda jauh
dengan Qp hasil pengukuran di Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran
(KST) yang memiliki luas 103.157,88 ha, namun dari segi perilaku Qp dugaan
dengan model SCS-CN lebih sesuai dengan Qp pengukuran.
4. Perbedaan nilai Qp dugaan menggunakan model SCS-CN dengan Qp hasil
pengukuran di DAS yang sangat luas seperti Sub-sub DAS Keyang, Slahung,
dan Tempuran (KST), diduga akibat curah hujan daerah hasil perataan curah
hujan di 3 stasiun hujan tidak mewakili kejadian hujan yang merata di seluruh
DAS, mengingat variasi ruang kejadian hujan harian di DAS tersebut besar,
sehingga peluang terjadinya hujan harian secara merata di seluruh DAS yang
luas adalah kecil.
6.2 Saran
1. Pendugaan Qp menggunakan model rasional maupun SCS-CN disarankan
menggunakan data hujan untuk kejadian hujan periode ulang tertentu, dan
menggunakan unit DAS dengan luas < 800 ha. Alat pengukur hujan di Sub-sub
52
DAS KST perlu ditambah dan ditempatkan di lokasi-lokasi yang lebih tersebar
merata.
2. Pengukuran debit di SPAS Badegan dan Bendo perlu dilakukan untuk dapat
mengetahui hubungan model pendugaan Qp dengan hasil pengukuran di outletoutlet/SPAS tersebut.
53
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
[BPDAS Solo] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Solo. 2008. Laporan
Utama Rencana Tindak DAS Melalui RHL di Bagian Hulu DAS Solo
Dalam Rangka Pengendalian Banjir dan Tanah Longsor. Volume-2. Solo:
BPDAS Solo Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan
Sosial Departemen Kehutanan.
[BPDAS Solo] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Solo. 2011. Laporan
Utama Rencana Tindak Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Dalam
Rangka Pengendalian Banjir dan Longsor DAS Solo Tengah-Hilir. Solo:
BPDAS Solo Direktorat Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan DAS
Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial
Kementrian Kehutanan.
Hendrayanto. 2009. Modul Mata Kuliah Hidrologi Hutan. Bogor: Departemen
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Lee R. 1980. Hidrologi Hutan. Subagio S, penerjemah; Prawirohatmodjo S,
editor. 1986. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan
dari: Forest Hydrology.
Murtiono UH. 2008. Kajian Model Estimasi Volume Limpasan Permukaan, Debit
Puncak Aliran, dan Erosi Tanah Dengan Model Soil Conservation Service
(SCS), Rasional dan Modified Universal Soil Loss Equation (MUSLE)
(Studi Kasus di Das Keduang, Wonogiri). Jurnal Forum Geografi Volume
(22, No. 2, Desember 2008: 169-185).
Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Williams JR. 2005. Soil and Water Assessment
Tool Theoretical Documentation: Version 2005. Texas USA: Grassland
Soil adn Water Research Laboratory, Agricultural Research Service.
Pramono IB, Wahyuningrum N, Wuryanta A. 2009. Penerapan Metode Rational
Untuk Estimasi Debit Puncak Pada Beberapa Luas Sub DAS. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Volume (VII No. 2: 161-176,
2010).
Rahim SE. 2006. Pengendalian Erosi Tanah: Dalam Rangka Pelestarian
Lingkungan Hidup. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Seyhan E. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
54
[BBWS BS] Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo. 2009. Data Hidrologi:
Wilayah Sungai Bengawan Solo Tahun 2008. Solo: Sie Data dan Informasi
BBWS BS Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementrian Pekerjaan
Umum.
[BBWS BS] Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo. 2010. Data Hidrologi:
Wilayah Sungai Bengawan Solo Tahun 2009. Solo: Sie Data dan Informasi
BBWS BS Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementrian Pekerjaan
Umum.
[BBWS BS] Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo. 2011. Data Hidrologi:
Wilayah Sungai Bengawan Solo Tahun 2010. Solo: Sie Data dan Informasi
BBWS BS Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementrian Pekerjaan
Umum.
Sosrodarsono S, Takeda K. 2006. Hidrologi Untuk Pengairan. Jakarta: PT.
Pradnya Paramitha.
Supangat AB, Murtiono UH. 2002. Kajian Koefisien Aliran Pada Beberapa Sub
DAS di DAS Solo Hulu (Studi Kasus di Sub DAS Padas, Goseng,
Dumpul, Keduang dan Gobeh). Di dalam: Monitoring dan Evaluasi
Pengelolaan DAS. Prosiding Seminar; Surakarta, 23 Desember 2002.
55
LAMPIRAN
56
57
Lampiran 1 Nilai C menurut Schwab, et al. (1981) dalam Arsyad (2010)
Tabel 1. Koefisien Aliran permukaan (C) untuk Daerah Pertanian Bagi Tanah
Kelompok Hidrologi B
No
Tanaman Penutup Tanah dan Kondisi
Hidrologi
1
2
3
4
5
6
7
Tanaman dalam baris, buruk
Tanaman dalam baris, baik
Padian, buruk
Padian, baik
Padang rumput potong, pergiliran tanaman, baik
Padang rumput penggembalaan tetap, baik
Hutan dewasa, baik
Koefisien C untuk Laju Hujan
25 mm
100 mm 2000 mm
per jam per jam per jam
0,63
0,65
0,66
0,47
0,56
0,62
0,38
0,38
0,38
0,18
0,21
0,22
0,29
0,36
0,39
0,02
0,17
0,23
0,02
0,10
0,15
Tabel 2. Faktor Konversi Nilai C ke dalam Kelompok Hidrologi Lainnya
No
1
2
3
4
5
6
7
Tanaman Penutup Tanah dan Kondisi
Hidrologi
Tanaman dalam baris, buruk
Tanaman dalam baris, baik
Padian, buruk
Padian, baik
Padang rumput potong, pergiliran tanaman, baik
Padang rumput penggembalaan tetap, baik
Hutan dewasa, baik
Faktor Konversi dari Kel. B Ke
Kel. A
Kel. C
Kel. D
0,89
1,09
1,12
0,86
1,09
1,14
0,86
1,11
1,16
0,84
1,11
1,16
0,81
1,13
1,18
0,64
1,21
1,31
0,45
1,27
1,40
Tabel 3. Koefisien Aliran Permukaan (C) untuk Daerah Urban
No
1
2
3
4
5
6
Macam Daerah
Daerah perdagangan:
Pertokoan (down town)
Pinggiran
Permukiman:
Perumahan satu keluarga
Perumahan berkelompok, terpisah-pisah
Perumahan berkelompok, bersambungan
Suburban
Daerah apartemen
Industri:
Daerah industri ringan
Daerah industri berat
Taman, pekuburan
Tempat bermain
Daerah stasiun kereta api
Koefisien C
0,70 - 0,90
0,50 - 0,70
0,30 - 0, 50
0,40 - 0,60
0,60 - 0,75
0,25 - 0,40
0,50 - 0,70
0,50 - 0,80
0,60 - 0,90
0,10 - 0,25
0,20 - 0,35
0,20 - 0,40
58
No
7
8
9
Macam Daerah
Daerah belum diperbaiki
Jalan
Bata:
Jalan, hamparan
Atap
Koefisien C
0,10 - 0,30
0,70 - 0,95
0,75 - 0,85
0,75 - 0,95
Nilai C menurut Dune & Leopold (1978) dalam Pramono et al. (2009)
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Keadaan daerah pengaliran (Watershed condition)
Tanah berpasir dan berkerikil untuk pertanian (Sandy and
gravelly soils on cultiv ted land)
Tanah berpasir dan berkerikil untuk rumput (Sandy and
gravelly soils on pasture land)
Tanah berpasir dan berkerikil untuk hutan (Sandy and gravelly
soils on woodland)
Tanah berdebu tanpa impending horizons untuk pertanian
(Loams with out impending horizons on cultivated land)
Tanah berdebu tanpa impending horizons untuk rumput (Loams
with out impending horizons on pasture land)
Tanah berdebu tanpa impending horizons untuk hutan (Loams
with out impending horizons on woodland)
Tanah berlempung berat untuk pertanian (Heavy clay on
cultivated land)
Tanah berlempung berat untuk rumput (Heavy clay on pasture
land)
Tanah berlempung berat untuk hutan (Heavy clay on woodland)
Koefisien runoff
0, 20
0, 15
0, 10
0, 40
0, 35
0, 30
0, 50
0, 45
0, 40
59
Lampiran 2 Nilai CN pada AMC II (Mc Cuen (1982) dalam Arsyad (2010)
No
Penggunaan Tanah/Perlakuan/Kondisi
Hidrologi
1
Permukiman
2
Persentase rata-rata
Kedap Air**
< 500 m2
65
1000 m2
38
1300 m2
30
2000 m2
25
4000 m2
20
Tempat parkir diaspal, atap, dan jalan aspal,
dan lain-lain***
Jalan Umum :
beraspal dan saluran pembuangan air
kerikil
Tanah
Daerah perdagangan dan pertokoan (85%
kedap)
Daerah industri (72% kedap)
Kel. Hidrologi Tanah
A
B
C
D
Luas Kapling
3
4
5
6
7
8
9
77
61
57
54
51
85
75
72
70
68
90
83
81
80
79
92
87
86
85
84
98
98
98
98
98
76
72
98
85
82
98
89
87
98
91
89
89
92
94
95
81
88
91
93
39
49
77
61
69
86
74
79
91
80
84
94
72
81
88
91
67
78
85
89
70
79
84
88
65
75
82
86
66
74
80
82
62
71
78
81
65
76
84
88
63
75
83
87
63
74
82
85
61
73
81
84
61
72
79
82
Tempat terbuka, padang rumput yang
dipelihara, taman, lapangan golf, kuburan
dan lain-lain :
Kondisi baik 75% atau lebih tertutup rumput
Kondisi sedang 50% - 75% tertutup rumput
Bera-larikan menurut lereng
Tanaman Semusim : dalam baris
menurut lereng – buruk
menurut lereng –
baik
menurut kontur – buruk
menurut kontur –
baik
kontur & teras buruk
kontur & teras - baik
Padi-padian :
menurut lereng – buruk
menurut lereng –
baik
menurut kontur – buruk
menurut kontur –
baik
kontur & teras buruk
60
No
10
11
12
13
14
*)
**)
***)
****)
Penggunaan Tanah/Perlakuan/Kondisi
Hidrologi
Kel. Hidrologi Tanah
A
B
C
D
59
70
78
81
kontur & teras - baik
Leguminosa**** ditanam rapat :
menurut lereng – buruk
66
77
85
89
menurut lereng –
58
72
81
85
baik
menurut kontur – buruk
64
75
83
85
menurut kontur –
55
69
78
83
baik
kontur & teras 63
73
80
83
buruk
kontur & teras - baik
51
67
76
80
Padang rumput pengembalaan :
buruk
68
79
86
89
sedang
49
69
79
84
Baik
39
61
74
80
menurut kontur – buruk
47
67
81
88
menurut kontur – sedang
25
59
75
83
menurut kontur –
6
35
70
79
baik
Padang rumput dipotong – baik
30
58
71
78
Hutan :
buruk
45
66
77
83
sedang
36
60
73
79
Baik
25
55
70
77
Perumahan petani
59
74
82
86
Bilangan kurva dihitung berdasarkan asumsi bahwa aliran permukaan dari
rumah dan jalan masuk diarahkan ke jalan umum dengan sejumlah minimum
air dari atap diarahkan ke halaman berumput yang menyatakan infiltrasi
dapat terjadi.
Areal sisa yang tidak kedap air (pekarangan berumput) dianggap berada
sebagai rumput yang baik.
Dibagian yang lebih panas bilangan kurva 95 dapat digunakan.
Dalam barisan rapat atau disebar.
61
(Lanjutan Lampiran 5) Nilai CN untuk AMC I dan III
CN setara untuk AMC
CN untuk AMC II
100
95
90
85
80
75
70
65
60
55
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
I
100
87
78
70
63
57
51
45
40
35
31
27
23
19
15
12
9
7
4
2
0
III
100
99
98
97
94
91
87
83
79
75
70
65
60
55
50
45
39
33
26
17
0
62
Lampiran 3 Perhitungan koefisien aliran permukaan menggunakan debit aliran
langsung hasil observasi tahun 2009
Curah hujan tahun 2009
= 1.356,64 mm
Direct run off 2009
= 5.561,11 m3/s
Luas Sub-sub DAS KST
= 103.157,88 ha
1 hari = 24 jam
= 86400 detik (s)
Tebal DRO = 465,66 mm
Koefisien run off = 0,34 (34%)
Download