Bab 5-edited Ekonomi

advertisement
BAB 5
EKONOMI
Pembangunan
ekonomi
nasional
diarahkan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
rakyat
melalui
peningkatan
pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pengurangan
kemiskinan disertai dengan upaya pelestarian lingkungan hidup agar
pembangunan senantiasa berkelanjutan. Perkembangan terakhir
menunjukkan bahwa kinerja pembangunan ekonomi Indonesia secara
umum menunjukkan hasil yang menggembirakan di tengah belum
stabilnya pemulihan ekonomi di negara maju dan meningkatnya
harga-harga komoditas. Kinerja perekonomian nasional telah berada
dalam koridor sasaran yang ditetapkan dalam RPJMN 2010-2014,
RKP 2010 dan RKP 2011 (lihat Tabel 5.1).
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2011 mencatat
pertumbuhan sebesar 6,5 persen (yoy). Pertumbuhan ekonomi yang
relatif cukup tinggi tersebut ditopang oleh sumber-sumber
pertumbuhan yang semakin berimbang seiring dengan kinerja
investasi yang terus meningkat dan kinerja ekspor yang solid,
sehingga mengimbangi solidnya kinerja konsumsi rumah tangga
sebagai sumber pertumbuhan selama ini. Peran investasi untuk
menambah kapasitas perekonomian, terutama melalui penanaman
modal asing (PMA) menunjukkan peningkatan, sejalan dengan
membaiknya peringkat kredit (sovereign credit rating) Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi tersebut diikuti dengan meningkatnya
kualitas
pertumbuhan
ekonomi.
Kondisi
ketenagakerjaan
menunjukkan perbaikan yang ditandai dengan menurunnya tingkat
pengangguran. Pada Februari 2011, tingkat pengangguran terbuka
sebesar 6,8 persen, menurun dibandingkan dengan periode yang
sama tahun sebelumnya (7,4 persen).
Dengan terjaganya momentum pertumbuhan ekonomi dan
menurunnya tingkat pengangguran terbuka, indikator kemiskinan
juga menunjukkan hal yang cukup menggembirakan. Jumlah
penduduk miskin tercatat menurun, yaitu dari 13,33 persen pada
Maret 2010 menjadi 12,49 persen pada Maret 2011.
Hasil yang dicapai tersebut tentunya merupakan hasil kerja
keras pemerintah bersama masyarakat dalam menjawab
permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam perekonomian
Indonesia. Ke depan, perekonomian diproyeksikan tetap tumbuh
tinggi meskipun dihadapkan pada beberapa tantangan. Selanjutnya,
langkah tindak lanjut diperlukan pada masing-masing bidang
ekonomi untuk menjawab tantangan dan permasalahan yang
dihadapi.
5-2
TABEL 5.1
SASARAN EKONOMI DAN REALISASI
2010-2011
(PERSEN)
Pertumbuhan
Ekonomi
Inflasi
Tingkat
Pengangguran
(terbuka)
Tingkat
Kemiskinan
RPJMN
2010-2014
Rata-rata 6,3
– 6,8 persen
pertahun,
Sebelum
tahun 2014
tumbuh 7%
Rata-rata 4 6 persen
pertahun
5 - 6 persen
pada akhir
tahun 2014
8 - 10 persen
pada akhir
tahun 2014
Sasaran
RKP
2010
5,0
RKP
2011
6,3
Realisasi
2010
2011*
6,1
6,5
5
7,0
6,96
4,61
(yoy)
8,0
7,0
7,41
6,8
12,0 13,5
11,512,5
13,33
12,49
Catatan: * )
Data pertumbuhan ekonomi 2011 sampai dengan Triwulan II 2011
Data inflasi sampai dengan Juli 2011
Data tingkat kemiskinan Maret 2011
**) Data tingkat pengangguran Februari
5.1
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
5.1.1 Investasi
Berbagai permasalahan yang masih dihadapi dan dikeluhkan
oleh para investor terutama adalah: (i) pelayanan proses perijinan,
dinilai masih lama dan sulit, terutama dibandingkan dengan negaranegara anggota ASEAN lainnya, juga prosedur dan peraturan
perijinan yang cukup bervariasi di masing-masing daerah karena
5-3
pandangan daerah yang berbeda terhadap pentingnya investasi; (ii)
banyaknya perda yang kontra produktif serta tidak kondusif bagi
iklim investasi di daerah; (iii) belum harmonisnya berbagai peraturan
perundangan antar sector di pusat dan belum sinkronnya berbagai
peraturan antara pusat dengan daerah; (iv) masih sulitnya akses
kredit usaha, dan masih tingginya suku bunga kredit usaha terutama
bagi investor domestik.
Masalah yang cukup mendesak dan harus segera ditangani
adalah percepatan penyediaan infrastruktur dan energi seperti
pelabuhan laut dan bandar udara, jalan, serta listrik dan air bersih.
Sebagai salah satu upaya untuk memenuhi tersedianya dukungan
infrastruktur dan energy yang membutuhkan dana investasi yang
sangat besar, maka pemerintah juga telah mempersiapkan skema
pendanaan kemitraan pemerintah dan swasta (KPS). Namun
demikian, implementasi KPS saat ini masih terkendala terutama
dalam antara lain oleh penyediaan lahan akibat sulitnya pembebasan
tanah.
Selain faktor domestik, sebagaimana telah diuraikan di atas,
faktor eksternal juga berpotensi untuk diwaspadai bagi
perkembangan perekonomian Indonesia. Tantangan perekonomian
global yang dihadapi pada tahun 2011, di antaranya adalah: (i)
potensi berlanjutnya gejolak pasar keuangan yang terjadi di beberapa
negara Eropa; (ii) perlu diwaspadainya dampak dan semakin
meningkatnya beban hutang Amerika Serikat dalam satu dekade
terakhir; serta (iii) belum pulihnya arus kredit perbankan dunia yang
menyebabkan perbankan global mengurangi ekspansi kredit ke
sektor riil.
5.1.2 Ekspor
Kondisi perekonomian global pada tahun 2010 secara bertahap
kembali pulih lebih baik dari yang diperkirakan semula, walaupun
dengan tingkat kecepatan pemulihan yang berbeda-beda di antara
5-4
negara-negara maju dengan negara berkembang. Di sepanjang tahun
2010 ekspor non migas Indonesia kembali pulih dengan
pertumbuhan sebesar 33 persen. Meskipun demikian, Indonesia
masih menghadapi permasalahan utama di bidang perdagangan luar
negeri, yang antara lain disebabkan karena:
1.
Semakin tingginya tingkat kompetisi produk di pasar
internasional. Hal ini disebabkan meningkatnya efisiensi
produksi dan strategi perdagangan dari negara-negara pesaing
Indonesia (seperti: RRT, Malaysia, Vietnam, dan Korea
Selatan), di mana negara-negara tersebut dapat menjual
produk berkualitas dan harga yang sangat kompetitif;
2.
Masih belum kuatnya daya saing produk Indonesia di pasar
internasional yang disebabkan oleh masih tingginya biaya
produksi dan logistik di Indonesia. Adapun faktor penyebab
utamanya
adalah
belum
memadainya
ketersediaan
infrastruktur dan masih adanya berbagai pungutan tidak resmi;
3.
Masih rendahnya kualitas produk ekspor dan masih tingginya
ekspor bahan non-olahan yang bernilai tambah masih rendah;
4.
Masih belum memadainya teknologi pendukung produk,
seperti: desain, finishing, sertifikasi dan laboratorium uji
komponen, dimana faktor pendukung ini sangat penting untuk
meningkatkan kualitas produk ekspor;
5.
Masih adanya hambatan nontarif di beberapa negara tujuan
ekspor, terutama terkait dengan aspek kesehatan, keselamatan,
dan lingkungan;
6.
Masih belum optimalnya proses
ekspor-impor, terutama terkait
pengeluaran barang dari dan
internasional maupuan Kawasan
Pelabuhan Bebas;
penyederhanaan prosedur
dengan pemasukan dan
ke kawasan pelabuhan
Perdagangan Bebas dan
5-5
7.
Belum tingginya pemahaman industri domestik terhadap
instrumen safeguard dan antidumping yang sebenarnya dapat
dioptimalkan pemanfaatannya untuk melindungi industri
dalam negeri dari serbuan barang-barang impor.
5.1.3 Pariwisata
Meskipun kepariwisataan nasional telah menunjukkan
perkembangan yang cukup menggembirakan, beberapa permasalahan
masih dihadapi antara lain: 1) destinasi pariwisata yang belum
sepenuhnya siap bersaing di pasar global, dikarenakan: (a) belum
optimalnya
pengelolaan
destinasi
pariwisata
(destination
management) yang berbasis pada penilaian destinasi (destination
assessment), dan berorientasi pada pengembangan pariwisata
berkelanjutan (sustainable tourism development); (b) terbatasnya
sarana dan prasarana pendukung pariwisata, seperti transportasi
darat, laut dan udara, dan ketersediaan fasilitas umum yang layak dan
terpelihara dengan baik; dan (c) belum optimalnya kemitraan dan
kerja sama antara pemerintah dan swasta termasuk masyarakat
(public and private partnership); 2) belum efektifnya pelaksanaan
promosi dan pemasaran pariwisata antara lain oleh: (a) terbatasnya
informasi dan belum memadainya promosi destinasi pariwisata di
dalam dan luar negeri; (b) belum optimalnya kemitraan antar
pemangku kepentingan dalam melakukan pemasaran dan promosi;
(c) belum optimalnya pemanfaatan media massa, elektronik, dan
media cetak serta teknologi informasi dan komunikasi (information
and communication technology/ICT) sebagai sarana promosi; dan (d)
masih terbatasnya dukungan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
dalam mendukung promosi pariwisata daerah; dan 3) belum
optimalnya kapasitas sumber daya pariwisata dikarenakan antara lain
oleh: (a) terbatasnya jumlah, jenis, dan kualitas SDM di bidang
pariwisata; dan (b) belum optimalnya kapasitas dan kualitas
penelitian dan pengembangan di bidang pariwisata.
5-6
Peringkat daya saing pariwisata Indonesia meningkat dari
peringkat 81 dari 133 negara pada tahun 2009 menjadi peringkat 74
dari 139 negara pada tahun 2011, namun peringkat tersebut masih
jauh di bawah negara ASEAN lainnya, seperti Singapura (peringkat
10), Malaysia (35), dan Thailand (41), oleh karena itu masih
diperlukan kebijakan-kebijakan yang dapat mendorong percepatan
pembangunan kepariwisataan nasional.
5.1.4 Konsumsi Masyarakat
Perekonomian Indonesia tahun 2010 yang tumbuh sebesar 6,1
persen didukung oleh pertumbuhan terbesar di sektor pengangkutan
dan komunikasi sebesar 12,8 persen serta sub sektor perdagangan
besar dan eceran sebesar 9,7 persen. Pertumbuhan sub sektor
perdagangan besar dan eceran pada tahun 2011 diperkirakan akan
terus membaik, seiring dengan perkiraan meningkatnya aktivitas
perekonomian Indonesia di tahun ini.
Namun demikian, beberapa permasalahan masih dihadapi di
bidang perdagangan dalam negeri yang memerlukan solusi dan
kebijakan yang tepat untuk penyelesaiannya, seperti:
1.
Masih belum optimalnya upaya-upaya untuk penataan
distribusi dan peningkatan sarana perdagangan, sehingga: (i)
masih terdapatnya disparitas harga antar wilayah dan fluktuasi
harga di beberapa wilayah; (ii) masih belum memadainya
sarana dan prasarana perdagangan, seperti: pasar induk dan
pasar ritel, terutama di daerah tertinggal dan terpencil; (iii)
masih belum seimbangnya antara penyebaran sentra produksi
dan sentra distribusi, yang menyebabkan tidak optimalnya
sistem rantai pasok; serta (iv) masih terdapatnya pungutan
dalam pengangkutan barang dari produsen sampai ke
konsumen, yang mengakibatkan meningkatnya biaya
distribusi;
5-7
2.
Masih relatif rendahnya kesadaran masyarakat terhadap
penggunaan produksi dalam negeri, menyebabkan produk
dalam negeri kurang dapat bersaing dengan produk impor;
3.
Masih belum optimalnya upaya untuk melindungi konsumen
dan menata kelembagaan pengawas perdagangan, seperti:
lembaga perlindungan konsumen, kemetrologian, pengawasan
barang beredar, persaingan usaha, dan komoditas berjangka;
4.
Masih belum optimalnya pelaksanaan kebijakan persaingan
usaha yang antara lain disebabkan oleh: (i) masih belum
intensifnya pengawasan persaingan usaha baik di pusat
maupun di daerah; (ii) masih belum optimalnya dukungan
publik dan kerjasama antar lembaga terkait persaingan usaha
dan proses penyelesaian hukum perkara persaingan usaha; dan
(iii) masih rendahnya pemahaman stakeholder mengenai peran
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan arti penting
nilai persaingan usaha yang sehat.
5.1.5 Keuangan Negara
Hingga semester I tahun 2011, kinerja keuangan negara
(APBN) menunjukkan peningkatan. Peningkatan ini ditopang oleh
peningkatan kinerja perekonomian domestik seperti membaiknya
pertumbuhan ekonomi dan menguatnya nilai tukar. Meski secara
umum mengalami peningkatan, kinerja keuangan negara tetap
menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan dalam
pengelolaannya.
Di sisi penerimaan perpajakan, semakin meningkatnya
kebutuhan belanja Negara perlu diimbangi dengan peningkatan
penerimaan Negara sehingga sasaran defisit anggaran dalam rangka
menciptakan kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dapat
tercapai. Peningkatan penerimaan perpajakan perlu diupayakan
dengan tetap memperhatikan kendala, potensi, perkembangan dunia
usaha dan aspek keadilan sehingga tidak menghambat atau
5-8
mematikan perkembangan kegiatan ekonomi yang menjadi basis
pajak.
Sementara itu di sisi belanja pemerintah pusat, masih terdapat
beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaannya, antara
lain: (a) terbatasnya kemampuan keuangan Negara untuk memenuhi
semua usulan kebutuhan dari Kementerian Negara/Lembaga; (b)
rendahnya daya serap anggaran Kementerian Negara/Lembaga
terutama pada triwulan pertama tahun anggaran, terkait dengan
proses tender pengadaan barang dan jasa pemerintah; dan (c) kurang
optimalnya alokasi dan pelaksanaan anggaran dari sisi
pembelanjaannya. Terkait dengan belanja subsidi, khususnya subsidi
BBM, tantangan dan permasalahan yang dihadapi adalah tingginya
harga minyak mentah dunia peningkatan volume konsumsi BBM
bersubsidi. Hal ini mendorong meningkatnya beban subsidi BBM
dalam APBN.
Dari sisi pembiayaan anggaran, permasalahan yang dihadapi
dalam pembiayaan utang di antaranya adalah: (a) ketergantungan
penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) pada kondisi pasar, baik
dalam negeri maupun luar negeri; (b) tingginya beban pemerintah
dalam pengelolaan SBN sebagai akibat struktur jatuh tempo SBN
yang tidak merata; (c) fluktuasi yield; serta (d) masih rendahnya
efisiensi dan likuiditas pasar sekunder SBN. Sementara itu untuk
pembiayaan utang luar negeri menghadapi risiko fluktuasi nilai tukar
dan politik (dalam bentuk keterikatan pandangan politik dengan
Negara kreditor)
Memasuki semester II tahun 2011, kinerja keuangan Negara
diperkirakan masih terus menghadapi tantangan yang harus
diantisipasi ke depan. Di sisi internal, keuangan Negara dituntut
untuk tetap memberikan dukungan fiskal agar perekonomian
semakin menguat, terutama dari segi pemberantasan kemiskinan dan
pengangguran. Sementara itu dari sisi eksternal, kecenderungan
kenaikan harga pangan membutuhkan kebijakan antisipatif dari sisi
5-9
fiskal untuk tetap menjaga daya beli masyarakat. Perkembangan
ekonomi global, krisis utang Eropa dan Amerika Serikat, dapat
memberikan pelajaran, terutama terkait perlunya peningkatan
manajemen utang yang menjadi lebih baik dan disiplin.
5.1.6 Moneter
Secara umum tingkat inflasi selama tahun 2010 sampai dengan
pertengahan tahun 2011 cukup terkendali. Kondisi ini antara lain
ditopang oleh tersedianya pasokan barang dan jasa yang mencukupi,
terutama bahan pangan yang harganya mudah bergejolak (volatile
foods) serta terkendalinya harga barang yang ditentukan oleh
Pemerintah (administered prices), terutama bahan bakar minyak, gas,
dan listrik. Meskipun laju inflasi relatif terkendali dan menunjukkan
perlambatan, namun masih terdapat beberapa permasalahan dan
tantangan ke depan yang perlu disikapi dengan seksama, baik dari
sisi eksternal maupun internal.
Dari sisi eksternal, permasalahan dan tantangan pertama
adalah masih terus berlangsungnya konflik politik negara-negara di
kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang memproduksi sekitar
36 persen dari pasokan minyak dunia. Konflik yang tak kunjung usai
di kawasan tersebut berpotensi menyebabkan terganggunya pasokan
minyak dunia sehingga dapat memicu gejolak harga. Sementara
dalam dua tahun terakhir indeks harga energi dunia (Gambar 5.2)
menunjukkan kecenderuangan meningkat dan pada bulan Juni 2011
telah mengalami kenaikan sebesar 110,16 persen dibandingkan
dengan awal tahun 2009.
Kedua, tersendatnya proses pemulihan ekonomi negara-negara
maju, terutama prospek ekonomi Amerika Serikat yang tidak sesuai
dengan harapan serta krisis hutang sebagian negara anggota Uni
Eropa seperti Portugal, Irlandia, Italia, Yunani (Greece), dan Spanyol
(PIIGS). Hal ini mendorong derasnya aliran modal yang masuk
(capital inflow) ke negara-negara yang sedang berkembang
5 - 10
(emerging markets), termasuk Indonesia dan menopang
kecenderungan penguatan nilai tukar Rupiah sekaligus meredam
kenaikan harga barang dan jasa yang diimpor (imported inflation).
GAMBAR 5.2
INDEKS PERKEMBANGAN HARGA KOMODITI DUNIA
World Bank Commodity Price Index
2000=100
500,00
450,00
400,00
350,00
300,00
250,00
200,00
150,00
100,00
50,00
2006M01
2006M03
2006M05
2006M07
2006M09
2006M11
2007M01
2007M03
2007M05
2007M07
2007M09
2007M11
2008M01
2008M03
2008M05
2008M07
2008M09
2008M11
2009M01
2009M03
2009M05
2009M07
2009M09
2009M11
2010M01
2010M03
2010M05
2010M07
2010M09
2010M11
2011M01
2011M03
2011M05
0,00
Energy
Food
Metals & Minerals
Sumber : World Bank
Masalah dan tantangan ketiga adalah terus berlanjutnya
perubahan iklim global (global climate change) yang berpotensi
memicu timbulnya cuaca ekstrim di berbagai wilayah yang dapat
mengganggu produksi dan pasokan bahan pangan dunia seperti beras
dan gandum sehingga berpotensi menimbulkan gejolak harga pangan
dunia. Sementara itu indeks harga makanan yang diterbitkan oleh
Organisai Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pada bulan Juni 2011
adalah sebesar 205,7 (Gambar 5.3) dan hal ini menunjukkan
peningkatan sebesar 43 persen dibanding bulan Juni 2010 (yoy).
5 - 11
GAMBAR 5.3
INDEKS PERKEMBANGAN HARGA PANGAN DUNIA
FAO Food Index
2000-­‐2004=100
380,0
330,0
280,0
230,0
180,0
130,0
Meat Price Index
Dairy Price Index
Cereals Price Index
Oils Price Index
Sugar Price Index
5/2011
3/2011
1/2011
9/2010
Food Price Index
11/2010
7/2010
5/2010
3/2010
1/2010
11/2009
9/2009
7/2009
5/2009
3/2009
1/2009
9/2008
11/2008
7/2008
5/2008
3/2008
1/2008
80,0
Sumber: Food and Agricultural Organization (FAO)
Permasalahan lain yang juga perlu diwaspadai adalah
kebijakan harga dan perdagangan luar negeri produsen komoditi
tertentu yang dapat
mempengaruhi harga komoditi yang
bersangkutan di pasar internasional. Ke depan salah satu komoditi
yang beresiko mengalami kenaikan adalah beras karena Thailand
sebagai salah satu produsen beras terbesar di dunia akan menerapkan
kebijakan kenaikan harga ekspor beras yang diperkirakan bisa
mencapai 100 persen. Hal ini dilatarbelakangi oleh keinginan
Pemerintah baru hasil Pemilu Thailand untuk memberikan imbal jasa
yang lebih tinggi kepada para petani sesuai dengan janjinya pada
waktu kampanye. Kenaikan beras di pasar internasional akan
5 - 12
berpotensi menaikkan harga beras di dalam negeri karena untuk
memenuhi sebagian kebutuhan beras domestik Indonesia masih
mengimpor.
Dari sisi internal, masalah dan tantangan yang harus dihadapi
antara lain adalah ketersediaan infrastruktur yang masih belum
memadai dalam kondisi geografis negara kepulauan menyebabkan
distribusi barang menjadi tersendat, iklim usaha yang menimbulkan
ekonomi biaya tinggi (high cost economy) sehingga menyebabkan
tingginya biaya transaksi, serta cuaca ekstrim yang berpotensi
mengganggu produksi/ pasokan dan distribusi barang terutama bahan
makanan sehingga dapat memicu gejolak harga.
Selain permasalahan di atas, masih terdapat sejumlah hal yang
perlu mendapat perhatian karena menyumbang inflasi secara berarti
sehingga bisa menjadi lebih tinggi dari yang diperkirakan. Risiko
tersebut terkait dengan kenaikan harga minyak dunia, yang dapat
direspon Pemerintah dalam rangka menjaga kesinambungan fiskal
melalui penyesuaian harga barang atau jasa yang dapat
ditentukannya seperti Tarif Tenaga Listrik (TTL), harga gas elpiji,
harga BBM bersubsidi, maupun tarif angkutan
5.1.7 Sektor Keuangan
Kinerja sektor keuangan sampai dengan triwulan II 2011
secara umum terus membaik, meskipun sempat mengalami tekanan
yang bersumber dari faktor eksternal, yaitu dampak bencana Jepang,
masalah krisis Yunani, dampak kebijakan moneter ketat China,
volatilitas harga minyak dunia serta prospek pemulihan ekonomi
Amerika Serikat. Namun, perkembangan fundamental ekonomi
Indonesia yang tetap solid mampu meredakan tekanan tersebut.
Ketahanan sektor keuangan Indonesia terus menguat yang antara lain
ditunjukkan oleh beberapa indikator berikut yaitu: (i) kinerja sektor
perbankan yang relatif baik dengan rasio kecukupan modal (capital
adequacy ratio – CAR) di atas minimum (8 persen) dan kredit
5 - 13
bermasalah (non performing loans – NPL) di bawah batas
maksimum (5 persen dari total kredit yang disalurkan); (ii) indeks
harga saham gabungan yang terus menguat dan mencapai level
3.850,27 pada tanggal 8 Agustus 2011; serta (iv) nilai tukar yang
stabil dan terus menguat.
Meskipun demikian, sektor keuangan masih menghadapi
sejumlah permasalahan dan tantangan, yaitu: pertama masih
terkendalanya fungsi intermediasi perbankan. Salah satu penyebab
masih terkendalanya fungsi intermediasi perbankan adalah masih
tingginya net interest margin (NIM) yang didorong oleh masih
tingginya tingkat suku bunga kredit di Indonesia. Kondisi tersebut
mencerminkan masih lambatnya respon industri perbankan dalam
menurunkan tingkat suku bunga kredit, meskipun Bank Indonesia
telah menurunkan BI Rate sejak akhir tahun 2008. Nilai NIM di
Indonesia mendekati angka 6 persen (Gambar 5.4) dan merupakan
nilai tertinggi di kawasan Asia Timur. Tingginya nilai NIM yang
didorong oleh tingginya suku bunga kredit perbankan dapat
berpotensi menghambat investasi kepada sektor riil sehingga dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi.
5 - 14
GAMBAR 5.4
PERBANDINGAN NET INTEREST MARGIN (NIM)
BANK UMUM
DI KAWASAN ASIA
Sumber: Website Bank Sentral masing-masing negara
Kedua, terkait dengan penyaluran kredit kepada usaha mikro,
kecil dan menengah (UMKM), permasalahan yang masih dihadapi
yaitu adanya kesenjangan antara jumlah pinjaman yang diberikan
oleh bank dengan jumlah pinjaman yang dibutuhkan UMKM
khususnya usaha mikro (kesenjangan skala), kesenjangan antara
persyaratan yang ditetapkan bank seperti perizinan dan agunan
dengan pemenuhan persyaratan tersebut oleh UMKM (kesenjangan
formalitas), dan kesenjangan informasi antara produk kredit dari
bank dan persyaratannya dengan pengetahuan yang dimiliki oleh
UMKM terhadap produk-produk kredit tersebut (kesenjangan
informasi).
5 - 15
Ketiga, meskipun perbankan syariah terus berkembang pesat,
perannya dalam perbankan nasional masih relatif terbatas, yaitu
sebesar 3,2 persen terhadap total aset perbankan nasional. Peran
perbankan syariah yang relatif kecil ini tidak terlepas dari beberapa
permasalahan antara lain: (i) pemahaman publik yang belum
menyeluruh dan mendalam tentang perbankan syariah sehingga
memerlukan edukasi dan promosi yang lebih intensif; (iii) jumlah
SDM perbankan syariah yang belum memadai untuk mendukung
pertumbuhan industri sehingga memerlukan peningkatan jumlah
SDM baik secara kuantitas maupun kualitas; dan (iv) pasar keuangan
syariah (pasar sukuk, pasar saham, dll) yang belum berkembang.
Keempat, dari sisi pembiayaan mikro, industri Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) masih menghadapi sejumlah
permasalahan, antara lain: (i) kondisi permodalan sebagian besar
BPR yang relatif kecil dan terbatas menyebabkan BPR kurang
optimal dalam menjalankan usahanya; (ii) gap industri BPR yang
cukup besar dari sisi aset, modal serta produk dan pelayanan
membutuhkan kebijakan pengawasan dan pengaturan yang lebih
spesifik sesuai dengan kondisi masing-masing BPR; (iii) kemampuan
BPR menghimpun dana murah dari masyarakat (tabungan) masih
terbatas yang mengakibatkan biaya dana BPR cukup tinggi sehingga
berpengaruh terhadap tingginya suku bunga kredit BPR.
Kelima, peran lembaga keuangan bukan bank (LKBB) masih
sangat kecil dalam perekonomian, sehingga belum dapat menjadi
sumber pendanaan jangka panjang secara memadai. Total aset yang
terhimpun melalui asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan,
perusahaan modal ventura dan pegadaian baru sekitar 12,1 persen
dari PDB pada tahun 2010. Nilai tersebut masih jauh jika
dibandingkan dengan perbankan yang mendominasi sektor finansial
dengan total aset yang mencapai sekitar 47,6 persen dari PDB tahun
2010. Di sisi lain, pasar modal sebagai penggerak dana jangka
panjang bagi sektor swasta juga masih perlu ditingkatkan.
5 - 16
Keenam, kebutuhan akan lembaga seperti Otoritas Jasa
Keuangan yang berfungsi untuk mengawasi kesehatan dan stabilitas
keseluruhan sistem keuangan dirasakan semakin penting, terutama
pascakrisis keuangan global. Peran lembaga ini mencakup: (i)
pengumpulan, analisis, dan pelaporan informasi terkait interaksi dan
risiko yang ada di pasar keuangan, (ii) meneliti kemungkinan adanya
lembaga keuangan yang menyebabkan sistem keuangan terekspos
terhadap risiko sistemik, (iii) merancang dan mengimplementasikan
regulasi di pasar keuangan, (iv) serta melakukan koordinasi dengan
lembaga regulator lainnya, termasuk otoritas fiskal, dalam mengelola
krisis-krisis sistemik yang mungkin timbul.
5.1.8 Industri
Permasalahan yang dihadapi sektor industri secara umum
dapat dikelompokkan atas permasalahan yang ada dalam sektor itu
sendiri (masalah internal) dan permasalahan yang berada di luar
sektor industri (masalah eksternal). Isu internal industri ditandai tiga
masalah utama yakni: (i) populasi industri yang rentan baik jumlah
maupun posturnya, (ii) struktur industri nasional yang belum kokoh,
dan (iii) produktivitas yang masih rendah. Sedangkan permasalahan
eksternal industri mencakup (i) ketersediaan dan kualitas
infrastruktur (jaringan jalan, pelabuhan, kereta api, listrik, pasokan
gas) yang belum memadai, (ii) pengawasan barang-barang impor
yang belum mampu menghentikan peredaran barang impor illegal di
pasar domestik, (iii) hubungan industrial dalam perburuhan belum
terbangun dengan baik, (iv) masalah kepastian hukum, dan (5) suku
bunga perbankan yang relatif masih tinggi.
Sedangkan permasalahan yang dihadapi oleh subsektor
industri pupuk, industri gula, dan industri tekstil dan produk tekstil
(TPT) umumnya adalah banyaknya pabrik yang sudah tua sehingga
tidak efisien serta tingkat konsumsi energi yang semakin boros. Oleh
karena itu diperlukan upaya-upaya restrukturisasi permesinan
5 - 17
industri. Untuk industri karet, masalah yang dihadapi adalah masih
lemahnya penelitian dan pengembangan untuk produk karet inovatif
dan bernilai tambah tinggi, seperti: aspal karet, seismic rubbber,
komponen otomotif, dsb. Untuk industri pengolahan rumput laut
masalah utama yang harus diselesaikan adalah belum
berkembangnya industri penyedia bahan pendukung dan penghasil
alat pengolahan merupakan masalah utama. Untuk industri
kendaraan bermotor masalah utama yang dihadapi adalah
ketergantungan pengadaan bahan baku/komponen impor yang masih
tinggi, sedangkan untuk industri mesin listrik dan peralatan listrik
permasalahan yang dihadapi adalah terbatasnya kemampuan SDM
dalam rangka pemenuhan kebutuhan untuk program pemerintah,
serta penguasaan teknologi dan riset yang masih kurang kuat.
5.1.9 Ketenagakerjaan
Pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat hingga Triwulan
I tahun 2011 memungkinkan pertumbuhan kesempatan kerja
melampaui pertumbuhan angkatan kerja. Antara 2010-2011,
lapangan kerja yang tercipta mencapai 3,87 juta dan angkatan kerja
bertambah 3,4 juta. Dengan demikian, tingkat pengangguran terbuka
(TPT) berhasil diturunkan menjadi 6,8 persen pada Februari 2011.
Meskipun demikian, lapangan kerja yang tersedia sampai saat ini
masih didominasi oleh lapangan kerja informal. Selain itu, jumlah
setengah penganggur pada tahun 2011 meningkat 457.000 juta orang
dibandingkan dengan tahun 2010, yaitu mencapai 15,73 juta orang
atau 14,14 persen dari jumlah orang yang bekerja.
Dari sisi pendidikan pekerja, sebagian besar masih
berpendidikan rendah. Pada Februari 2011, 68,60 persen dari orang
yang bekerja adalah lulusan SMP ke bawah, 23,44 persen
berpendidikan setingkat SMA, dan hanya 7,96 persen memiliki
ijazah diploma/universitas. Kondisi ini lebih baik jika dibandingkan
dengan kondisi pada bulan Februari 2010 dengan 70,39 persen dari
penduduk yang bekerja masih memiliki pendidikan setingkat SMP ke
5 - 18
bawah, 22,32 persen berpendidikan setingkat SMA/SMK, dan 7,29
persen berpendidikan diploma/universitas. Secara umum, TPT
menurut tingkat pendidikan telah menurun, tetapi untuk TPT SMA
mengalami peningkatan dari 11,90 persen menjadi 12,17 persen.
TABEL 5.5
PEKERJA DAN TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA
BERDASARKAN PENDIDIKAN
FEBRUARI 2009—FEBRUARI 2011
Tingkat
Pendidikan
SD ke bawah
SMP
SMA
SMK
Diploma I/II/III
Universitas
Total
Pekerja (juta orang)
Feb09
%
Feb10
%
Feb11
%
55,43
19,85
15,13
7,19
2,68
4,22
104,49
53,05
18,99
14,48
6,88
2,56
4,04
100,00
55,31
20,30
15,63
8,34
2,89
4,94
107,41
51,49
18,90
14,55
7,76
2,69
4,60
100,00
55,12
21,22
16,35
9,73
3,32
5,54
111,28
49,53
19,07
14,69
8,74
2,98
4,98
100,00
Tingkat
Pengangguran
Terbuka (%)
FebFebFeb09
10
11
4,51
9,38
12,36
15,69
15,38
12,94
8,14
3,71
7,55
11,90
13,81
15,71
14,24
7,41
Sumber: Sakernas (BPS)
Meskipun meningkat setiap tahun, produktivitas tenaga kerja
masih termasuk rendah, terutama jika dibandingkan dengan
produktivitas negara-negara ASEAN lainnya. Hal ini terjadi akibat
rendahnya pendidikan angkatan kerja, terbatasnya lembaga pelatihan
kerja berkualitas, dan masih rendahnya pengakuan sertifikat
kompetensi oleh pengguna tenaga kerja. Akibatnya, posisi daya saing
Indonesia pun masih rendah. Posisi daya saing Indonesia menurut
IMD World Competitiveness Yearbook 2011 berada di urutan ke 37
dari 59 negara, sementara dalam Global Competitiveness Index
2010–2011 dari World Economic Forum Indonesia masih berada di
posisi 44 dari 139 negara.
5 - 19
3,37
7,83
12,17
10,00
11,59
9,95
6,80
Selain rendahnya produktivitas tenaga kerja, pasar kerja
Indonesia hingga saat ini masih belum ramah terhadap iklim
industry, sehingga Indonesia masih menempati urutan 149 dari 183
negara di dunia. Jika dibandingkan dengan negara-negara pesaing
dalam menarik investasi di Asia Pasifik, Indonesia bahkan
menempati urutan 23 dari 24 negara (Doing Business 2010).
Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, terutama yang terkait dengan pemberian pesangon,
antara lain juga berdampak memberatkan perusahaan dalam
merekrut dan memberhentikan pekerjanya.
Terkait konteks migrasi, Warga Negara Indonesia (WNI) yang
bekerja di luar negeri, setiap tahun terdapat sekitar 700.000 orang
yang diberangkatkan melalui jalur formal. Saat ini terdapat sekitar 4
juta tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri yang
sekitar 70 persennya adalah perempuan dan mayoritas bekerja di
sektor domestik. Tingkat pendidikan TKI yang bekerja di luar negeri
sebagian besar hanya lulusan SD sehingga kemampuan mereka
dalam mengurus dokumen persyaratan bekerja juga sangat terbatas.
Permasalahan regulasi penempatan dan perlindungan TKI masih
mengalami kendala sehingga menimbulkan berulangnya kasus yang
sama menimpa tenaga kerja di luar negeri.
5.1.10 Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Secara umum, permasalahan yang dihadapi dalam
pemberdayaan koperasi dan UMKM mencakup iklim usaha yang
kurang kondusif, keterbatasan sistem pendukung, dan rendahnya
kapasitas dan kualitas sumber daya manusia. Masalah iklim usaha
umumnya terkait dengan tingginya biaya transaksi sebagai akibat
dari ketidakjelasan perijinan, adanya pungutan tidak resmi,
keterbatasan infrastruktur penunjang, dan belum efektifnya
pengawasan terhadap persaingan usaha yang tidak sehat. Masalah
sistem pendukung berkaitan dengan keterbatasan akses koperasi dan
UMKM kepada sumber daya produktif, terutama bahan baku,
5 - 20
pembiayaan, informasi, pasar, dan teknologi. Sementara itu
permasalahan sumber daya manusia berkaitan erat dengan tingkat
produktivitas dan kapasitas pengelolaan usaha yang rendah, sehingga
koperasi dan UMKM sulit untuk berkembang dan bersaing.
Pemberdayaan koperasi juga masih menghadapi permasalahan
khusus yaitu masih rendahnya pemahaman masyarakat mengenai
prinsip dan praktik berkoperasi. Pemasyarakatan praktek-praktek
berkoperasi yang benar masih kurang intensif, sehingga minat
masyarakat untuk memilih koperasi sebagai bentuk lembaga
ekonomi lokal untuk mewadahi dan memfasilitasi usaha ekonomi
produktif masih rendah. Akuntabilitas koperasi juga masih perlu
ditingkatkan karena proporsi koperasi aktif yang menjalankan rapat
anggota tahunan (RAT) pada tahun 2010 hanya mencapai 44,71
persen, dan jumlah koperasi yang sudah menerapkan sistem
pelaporan keuangan yang terstandarisasi masih terbatas. Struktur
usaha dan pengelolaan koperasi juga masih terbatas sehingga belum
mencapai skala usaha yang memadai dan kemandirian untuk dapat
merespon perubahan pasar yang dinamis.
Permasalahan yang secara khusus dihadapi oleh UMKM yaitu
masih rendahnya motivasi dan kemampuan berwirausaha. Kondisi ini
dan ditambah dengan masalah rendahnya keterampilan dalam
pengelolaan usaha dan pemasaran menyebabkan kelayakan usaha,
khususnya pada usaha mikro dan kecil, masih rendah. Penerapan
teknologi oleh UMKM juga masih terbatas sehingga sistem produksi
yang dijalankannya belum efisien dan belum dapat menghasilkan
produk dengan kualitas yang memadai.
Rendahnya kelayakan usaha juga menjadi salah satu penyebab
keterbatasan akses UMKM kepada sumber pembiayaan. Di sisi lain,
fasilitas pembiayaan yang ada belum dapat memenuhi kebutuhan
UMKM sesuai dengan taraf perkembangannya, terutama untuk modal
awal usaha (start-up capital). Program dan kegiatan pemberdayaan
UMKM telah diupayakan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut,
5 - 21
meskipun masih menghadapi tantangan berupa keragaman lokasi dan
bidang usaha UMKM.
Penguatan kapasitas produksi dan sumber daya manusia,
fasilitasi pengembangan pemasaran, dan penguatan struktur usaha
UMKM, baik dari sisi sistem, produk, dan lembaga pendukung,
sebenarnya telah memberikan hasil yang memadai sebagai stimulan.
Namun hasil tersebut masih belum efektif untuk mendorong
perkembangan kapasitas, produktivitas dan daya saing UMKM karena
fasilitasi dan perkuatan yang diberikan belum dilaksanakan secara
terintegrasi. Keterbatasan jumlah dan kapasitas lembaga penyedia jasa
pengembangan usaha juga menyebabkan lembaga-lembaga ini belum
dapat melengkapi peran pemerintah dalam menyediakan pembinaan
dan pendampingan bagi UMKM. Kondisi ini membutuhkan adanya
perbaikan, baik dari sisi UMKM, maupun dari sisi kebijakan.
5.1.11 Jaminan Sosial
Pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia, sesuai hasil
pendataan Sensus Penduduk diperkirakan mencapai 237,6 juta jiwa.
Berbagai tantangan dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan
sosial masih akan dihadapi, artinya belum seluruh masyarakat dapat
menikmati hasil-hasil pembangunan. Dalam menghadapi tantangan
tersebut, pemerintah telah mengupayakan menyelenggarakan
perlindungan sosial selain melalui bantuan sosial (social assistance),
juga melalui jaminan sosial (social insurance). Namun, paradigma
berpikir akan pentingnya jaminan sosial belum berkembang di
Indonesia, selain itu kebijakan di bidang ini masih terbatas dan
terpisah-pisah.
Jaminan sosial merupakan elemen penting dalam perlindungan
sosial karena menyangkut intervensi dalam melindungi seluruh
masyarakat termasuk kelompok miskin dan rentan dalam
menghadapi berbagai risiko, misalnya krisis ekonomi, dan
ketidakpastian. Untuk mengurangi risiko dan ketidakpastian tersebut,
5 - 22
Pemerintah wajib menyelenggarakan jaminan sosial yang layak.
Namun, cakupan penyelenggaraan jaminan sosial saat ini masih
sangat rendah, dengan pelayanan yang terbatas dan tidak terintegrasi.
Selain itu, masyarakat belum banyak mengenal prinsip jaminan
sosial yang berbasis asuransi terutama mengenai ketentuan mengenai
kepesertaan wajib.
Pelaksanaan jaminan sosial nasional adalah program
pemerintah dan masyarakat yang bertujuan memberi kepastian
perlindungan kesejahteraan sosial, agar setiap penduduk dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya menuju terwujudnya kesejahteraan
sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pengembangan SJSN pada
dasarnya merupakan upaya memenuhi amanat konstitusi. Namun,
hingga saat ini Indonesia hanya melaksanakan sistem jaminan sosial
yang terbatas bagi pegawai negeri dan sebagian kelompok pekerja
sektor formal melalui program jaminan kesehatan, jaminan
kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pensiun, dan jaminan
hari tua.
5.2
LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN
HASIL YANG DICAPAI
DAN
HASIL-
5.2.1 Investasi
Dengan memperhatikan permasalahan dan tantangan yang
dihadapi akan terus dilakukan upaya untuk meningkatkan kinerja
investasi seperti: (i) Dimulainya penerapan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu (PTSP) dengan Sistem Pelayanan Informasi dan Perijinan
Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Batam pada Januari 2010.
Penerapan SPIPISE merupakan langkah untuk menciptakan iklim
usaha yang kondusif dan meminimalisir birokrasi yang panjang; (ii)
Terbitnya Inpres No. 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan
Prioritas Pembangunan Nasional tahun 2010, yang salah satu
5 - 23
fokusnya memuat prioritas nasional ke-7: Iklim investasi dan iklim
usaha, lengkap dengan kegiatan dan instansi penanggungjawabnya;
(iii) Terwujudnya pola kerjasama pemerintah dan swasta (KPS),
dengan dikeluarkan Perpres No. 13 tahun 2010 yang merupakan
revisi atas Perpres No. 67 tahun 2005 tentang Kerjasama pemerintah
dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur, guna
meringankan pendanaan, meningkatkan transparansi, efisiensi dan
kualitas pelayanan pada masyarakat; (iv) Terbitnya Perpres No. 36
tahun 2010 tentang Daftar Negatif Investasi (DNI) perubahan resmi
terhadap Perpres No. 77 tahun 2007 dan Perpres No. 111 tahun 2007.
Revisi DNI ini diharapkan untuk menghindarkan ketidakpastian
dalam berinvestasi dan untuk melindungi kepentingan nasional
dalam kerangka penciptaan iklim investasi yang sehat dengan
mempertimbangkan dinamika yang bersifat lintas sektor; (v)
Terbitnya Perpres No. 33 tahun 2010 tentang Dewan Nasional dan
Dewan Kawasan untuk Kawasan Ekonomi Khusus; (vi) Terbitnya
Kepres No. 8 Tahun 2010 tentang Keanggotaan Dewan Nasional
KEK; dan (vii) Penghapusan terhadap berbagai Perda bermasalah
untuk meningkatkan iklim investasi di seluruh Indonesia.
Selain itu, dalam rangka menarik investor telah dilakukan
promosi baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Promosi
investasi yang dilakukan adalah: (i) Forum Gelar Potensi Investasi
Daerah (GPID); (ii) Talkshow di media elektronik; (iii) Pameran
investasi di dalam dan di luar negeri; (iv) Kegiatan door to door
untuk mendatangi investor asing; dan (v) Peningkatan kelembagaan
promosi di luar negeri melalui kantor perwakilan investasi di luar
negeri (Indonesia Investment Promotion Center/IIPC) di Tokyo, Los
Angeles, London, Singapura, dan Sydney.
Kondisi makro ekonomi domestik yang relatif stabil,
perkembangan mata uang dolar AS yang cenderung tertekan, dan
belum selesainya masalah hutang Yunani, berkontribusi mendorong
aliran modal asing ke wilayah Asia, termasuk Indonesia.
5 - 24
Membaiknya iklim investasi dan prospek ekonomi Indonesia,
tercermin dari meningkatnya peringkat Indonesia di beberapa survei
yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat internasional. Prospek
untuk berinvestasi di Indonesia dalam World Investment Prospect
2009-2011, Indonesia menduduki peringkat ke 9 (sembilan) dan
UNCTAD menilai Indonesia cukup prospektif terutama karena
pertumbuhan pasar dan ketersediaan sumber daya alam yang
dimilikinya. Meskipun demikian, faktor-faktor tersebut belum cukup
untuk meningkatkan daya tarik bagi investor, apabila tanpa didukung
oleh iklim investasi yang berdaya saing, terutama ketersediaan
infrastruktur dan energi. Untuk indikator pengukuran daya saing,
Indonesia menduduki peringkat ke 44 dari 133 negara dalam
penilaian Global Competitiveness Index (GCI) tahun 2010-2011
berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh World Economic
Forum. Peringkat ini naik dari posisi Indonesia tahun 2009-2010,
yang menempati peringkat ke 54. Peringkat Indonesia di GCI masih
lebih baik dibandingkan dengan Brazil, Rusia dan India, selain
China, yang dikenal dengan kelompok BRIC.
Berdasarkan hasil survei British Broadcasting Corporation
(BBC) pada Mei 2011 telah menempatkan Indonesia dalam peringkat
pertama dari 25 negara yang disurvei dalam hal iklim terbaik bagi
pengusaha untuk memulai usaha, yang antara lain diikuti oleh
Amerika Serikat, Kanada, India dan Australia. Hasil survei lainnya,
dari Bloomberg, terkait dengan Indeks Momentum Ekonomi 2011,
menempatkan Indonesia pada peringkat ke-7 negara di Asia untuk
kategori stabilitas pertumbuhan ekonomi sampai dengan 5 tahun ke
depan. Dalam indeks “The Foreign Direct Investment Confidence”
yang diselenggarakan oleh A. T. Kearney, Indonesia masuk dalam 20
besar tujuan investasi perusahaan-perusahaan multinasional.
Pada semester I tahun 2011, Moody’s Investors Service juga
telah memperbaiki rating Indonesia dari Ba2 menjadi Ba1, satu level
lagi menuju “investment grade”. Sementara itu, Fitch menegaskan
5 - 25
peringkat utang Indonesia atau longterm foreign and local currency
issuer default ratings (IDRs) pada rating BB+ dan merevisi outlook
keduanya menjadi positif dari stabil. Outlook positif tersebut
memberikan peluang yang lebih besar bagi sovereign rating
Indonesia untuk meningkat dalam jangka waktu 12-18 bulan ke
depan.
Peningkatan rating ini merupakan cerminan perbaikan
persepsi terhadap situasi perekonomian Indonesia. Predikat
investment grade akan menambah kepercayaan investor asing dalam
menanamkan modalnya di Indonesia.
TABEL 5.6
REALISASI NILAI PMDN DAN PMA SEKTOR NONMIGAS
TAHUN 2004 S.D TRIWULAN I TAHUN 20111)
Tahun2)
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Semester I 20103)
Semester I 2011
PMDN
Proyek
Rp.
Miliar
130
15.409,4
215
30.724,2
162
20.649,0
159
34.878,7
239
20.363,4
248
37.799,8
875
60.626,3
530
21.888,1
761
33.013,5
PMA
Proyek
USD
Juta
548
4.572,7
907
8.911,0
869
5.991,7
982
10.341,4
1.138
14.871,4
1.221
10.815,2
3.081
16.214,8
1.572
7.613,7
2.358
9.180,0
Sumber : BKPM
Catatan:
1) Diluar Investasi Perbankan, Lembaga Keuangan Non Bank, Asuransi,
dan Sewa Guna Usaha
2)
Sampai dengan tahun 2009 pencatatan nilai PMDN dan PMA
berdasarkan Ijin Usaha Tetap (IUT)
3) Mulai Tahun 2010 pencatatan nilai PMDN dan PMA berdasarkan
Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM)
5 - 26
Mulai tahun 2010 Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) telah melakukan perubahan pencatatan realisasi penanaman
modal dengan menggunakan data Laporan Kegiatan Penanaman
Modal (LKPM) yang menggantikan Ijin Usaha Tetap (IUT). LKPM
merupakan metode pencatatan investasi berdasarkan aliran modal
masuk pada suatu periode pelaporan tertentu. Oleh karena IUT tidak
lagi dilaporkan sebagai pencatatan realisasi investasi karena
merupakan data akumulasi seluruh kegiatan investasi yang dilakukan
selama pelaksanaan pembangunan proyek investasi yang
bersangkutan.
Pada tahun 2010, realisasi Penanaman Modal Dalam
Negeri/PMDN (berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman
Modal/LKPM) mencapai Rp. 60,6 triliun, sedangkan Penanaman
Modal Asing/PMA mencapai USD 16,2 miliar (Tabel 5.1).
Pada semester I tahun 2011, realisasi PMDN maupun PMA
mencapai Rp. 33,0 triliun dan USD 9,2 miliar, atau masing-masing
meningkat sebesar 50,8 persen dan 20,6 persen dibandingkan periode
yang sama tahun 2010.
5 - 27
TABEL 5.7
5 BIDANG USAHA UTAMA SEKTOR NONMIGAS
PMDN DAN PMA
SEMESTER I TAHUN 2011
PMDN
PMA
Nilai
Nilai
No
Bidang Usaha
Investasi
Bidang Usaha
Investasi
(Rp. Triliun)
(USD Miliar)
1. Industri Makanan
4,6
Pertambangan
2,6
2. Tanaman Pangan
4,6
Transportasi,
1,1
dan Perkebunan
Gudang, dan
Telekomunikasi
3. Transportasi,
4,4
Industri Kimia
0,9
Gudang, dan
Dasar, Barang
Telekomunikasi
Kimia dan Farmasi
4. Industri
3,5
Industri Logam
0,8
NonLogam
Dasar, Barang
Mineral
Logam, Mesin dan
Elektronik
5. Industri Logam
3,2
Tanaman Pangan
0,7
Dasar, Barang
dan Perkebunan
Logam, Mesin dan
Elektronik
6. Lainnya
12,9
Lainnya
3,1
Sumber : BKPM
Berdasarkan bidang usaha, pada semester I tahun 2011 untuk
bidang-bidang usaha industri makanan; pertambangan; tanaman
pangan dan perkebunan; serta transportasi, gudang, dan
telekomunikasi adalah bidang-bidang yang paling diminati baik oleh
PMDN maupun PMA (Tabel 5.7). Sementara itu, berdasarkan lokasi
yang diminati PMDN dan PMA, umumnya masih didominasi di
Pulau Jawa (Tabel 5.8).
5 - 28
TABEL 5.8
5 LOKASI UTAMA SEKTOR NONMIGAS PMDN DAN PMA
SEMESTER I TAHUN 2011
PMDN
PMA
No
Nilai Investasi
Nilai Investasi
Lokasi/Propinsi
Lokasi/Propinsi
(Rp. Triliun)
(USD Miliar)
1. Jawa Barat
5,1
Jawa Barat
2,0
2. DKI Jakarta
5,0
DKI Jakarta
1,5
3. Jawa Timur
4,6
Papua
0,8
4. Kalimantan Tengah
2,3
Banten
0,8
5. Sulawesi Selatan
2,1
Sumatera Selatan
0,5
6. Lainnya
13,9
Lainnya
3,6
Sumber : BKPM
Negara utama asal PMA sepanjang Semester I tahun 2011
adalah Singapura (USD 1,9 miliar), Amerika Serikat (USD 0,9
miliar), Jepang (USD 0,7 miliar), Belanda (USD 0,7 miliar), dan
Korea Selatan (USD 0,3 miliar).
Sebagai pedoman pelaksanaan perizinan dan nonperizinan
penanaman modal, Pemerintah telah menerbitkan Norma, Standar,
Prosedur dan Kriteria (NSPK) penanaman modal. Pada proses
pelayanan perizinan telah diperkenalkan mekanisme baru dalam
perizinan penanaman modal yaitu front office dan back office yang di
dalam proses penyelesaian perizinan tidak diperlukan face-to-face
contact dengan investor. Dengan adanya proses pelayanan perizinan
dengan mekanisme baru secara elektronik tersebut maka pelayanan
dapat menjadi lebih cepat dari 51 hari kerja menjadi 32 hari kerja dan
dapat diselesaikan sesuai dengan Standard Operation Procedure
(SOP) yang telah ditetapkan dalam Peraturan Kepala BKPM No. 12
tahun 2009.
Sementara itu, perkembangan dari penerapan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Bidang Penanaman Modal adalah
telah terimplementasinya Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan
5 - 29
Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di 15 Pelayanan Terpadu Satu
Pintu (PTSP) Kabupaten/Kota, dari total target 50 PTSP pada akhir
tahun 2011.
5.2.2
Ekspor
Meskipun kondisi pemulihan ekonomi global di tahun 2010
penuh dengan resiko dan ketidakseimbangan, kinerja perekonomian
domestik selama tahun 2010 terus mengalami perbaikan. Bahkan,
ekspor Indonesia pulih dengan sangat cepat di tahun 2010 dengan
pertumbuhan total ekspor sebesar 33,4 persen dan ekspor nonmigas
sebesar 31,3 persen.
Perbaikan kinerja ekspor tersebut diiringi pula dengan
meningkatnya neraca perdagangan Indonesia, membaiknya tingkat
diversifikasi pasar tujuan ekspor, serta tingginya pertumbuhan ekspor
produk manufaktur. Neraca perdagangan tahun 2010 mengalami
surplus sebesar USD 21,4 miliar atau lebih tinggi 12,4 persen dari
tahun 2009. Diperkirakan surplus neraca perdagangan di tahun 2011
akan mencapai angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun
2010, seiring dengan terus membaiknya kinerja perekonomian
Indonesia dan perekonomian global. Selain itu, kontribusi 5 (lima)
pasar tujuan ekspor Indonesia pada tahun 2011 terlihat lebih kecil
dibandingkan dengan tahun sebelumnya; di mana pada tahun 2010
adalah sebesar 48,8 persen sedangkan di tahun 2011 (Jan-Jun) adalah
sebesar 48,2 persen. Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa
pasar ekspor nonmigas mulai bergeser sedikit demi sedikit ke negara
non-utama, sehingga tingkat kebergantungan ekspor Indonesia ke
pasar utama menjadi lebih kecil.
5 - 30
TABEL 5.9
PERKEMBANGAN EKSPOR INDONESIA
2009-2011
URAIAN
Nilai Ekspor
(Juta USD)
Total Ekspor
Ekspor Non Migas
Pertanian
Industri
Pertambangan
Pertumbuhan
(%) **)
Total Ekspor
Ekspor Migas
Ekspor Non Migas
Pertanian
Industri
Pertambangan
2009
2010
116.490,7 157.779,1
97.472,4 129.739,5
4.363,2
5.001,9
73.430,2 98.015,1
19.679,0 26.722,5
-15,0
-34,7
-9,7
-4,8
-16,9
32,0
35,4
47,4
33,1
14,6
33,5
35,8
2011*)
98.644,0
79.061,6
2.564,4
60.736,8
15.760,4
36,0
48,8
33,2
17,8
36,7
23,5
Sumber: BPS (diolah Bappenas)
Keterangan:* ) Periode Januari-Juni
**) Pertumbuhan terhadap tahun sebelumnya dalam
periode yang sama
5 - 31
TABEL 5.10
PANGSA NEGARA TUJUAN UTAMA EKSPOR
Sumbangan Terhadap Total
Ekspor
NO
Negara Tujuan Ekspor
2009
2010
2011*)
1
Jepang
12,3%
12,7%
11,4%
2
Amerika Serikat
10,7%
10,3%
10,2%
3
Singapura
8,2%
7,4%
7,1%
4
China
9,1%
10,9%
10,9%
5
India
7,5%
7,6%
7,8%
Total 5 Negara Tujuan Utama
47,9%
48,8%
47,5%
Total Pasar Ekspor Lainnya
52,1%
51,2%
52,5%
Total Ekspor
100,0%
100,0%
100,0%
Sumber: BPS (diolah Bappenas)
Keterangan:
* ) Periode Januari-Juni
**)Pertumbuhan terhadap tahun sebelumnya dalam periode yang
sama
Selain itu, beberapa hasil yang telah dicapai selama ini antara
lain adalah:
1.
Secara kumulatif nilai ekspor Indonesia untuk periode JanuariJuni 2011 telah mencapai USD 98,6 miliar atau meningkat
36,0 persen dibanding periode yang sama tahun 2010,
sementara ekspor nonmigas mencapai USD 79,0 miliar atau
meningkat 33,3 persen. Angka pertumbuhan ini
telah
melampaui target ekspor nonmigas yang telah ditetapkan
Pemerintah tahun 2011, yaitu sebesar 12,0 persen-15,0 persen.
2.
Di sisi impor, nilai impor nonmigas selama Januari-Jun 2011
mencapai USD 83,6 miliar atau naik 32,8 persen dibanding
impor nonmigas periode yang sama tahun 2010 (USD 62,9
miliar). Nilai impor terbesar Januari-Juni 2011 adalah
golongan barang peralatan mesin dan peralatan mekanik yang
5 - 32
nilainya mencapai USD 11,1 miliar atau meningkat 21,4
persen (USD 1,9 miliar) dibanding tahun sebelumnya. Adapun
negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama
Januari-Juni 2011 masih ditempati oleh China dengan nilai
USD 12,0 miliar dengan pangsa 18,7 persen, diikuti Jepang
USD 8,7 miliar (13,5 persen) dan Thailand USD 5,2 miliar
(8,1 persen). Impor nonmigas dari ASEAN mencapai 23,0
persen, sementara dari Uni Eropa sebesar 8,9 persen.
3.
Sepanjang tahun 2010, pameran dagang Indonesia di luar
negeri telah dilaksanakan sebanyak 25 kegiatan dengan total
transaksi yang dicapai sebanyak USD 38,2 juta yang dibagi
dalam tiga kawasan, yaitu: Afrika dan Timur Tengah sebanyak
10 pameran dengan transaksi USD 33,1 juta dan peserta 69
UKM; Amerika dan Eropa sebanyak 9 pameran dengan
transaksi USD 2,5 juta dan 120 peserta UKM; serta Asia,
Australia dan Selandia Baru sebanyak 6 pameran dengan
transaksi USD 2,5 juta dan 108 peserta UKM.
4.
Pada tanggal 13 - 17 Oktober 2010, Kementerian Perdagangan
menyelenggarakan Trade Expo Indonesia (TEI) ke-25 tahun
2010 yang berlangsung bertempat di Jakarta International
Expo-Kemayoran dengan mengangkat tema “Remarkable
Indonesia”. TEI merupakan suatu pameran multiproduk
bertaraf internasional dan sudah menjadi agenda pameran
tahunan internasional (calendar of event). Total transaksi yang
berhasil diraih oleh seluruh peserta (927 perusahaan) selama
penyelenggaraan TEI 2010 mencapai USD 369,3 juta atau
meningkat 29,4 persen jika dibandingkan dengan transaksi
yang diperoleh tahun 2009 dan meningkat 23,1 persen dari
target yang ditetapkan (USD 300 juta). Transaksi tersebut
terdiri dari USD 224,9 juta untuk sektor produk dan USD
144,1 juta dari sektor jasa.
5 - 33
5.
Dalam rangka memperluas akses dan pangsa pasar,
Kementerian Perdagangan telah mendirikan Indonesian Trade
Promotion Centre (ITPC) di negara tujuan ekspor.Hingga
pertengahan tahun 2011 telah berdiri 19 (sembilan-belas)
kantor ITPC di berbagai benua. ITPC bertanggung jawab
untuk melakukan terobosan pasar ekspor, membuka jaringan
hubungan dagang, memfasilitasi dunia usaha dalam kegiatan
promosi dan pemasaran di luar negeri, serta mempermudah
akses mendapatkan jejaring bisnis dan informasi ekspor.
6.
Selain itu, dalam rangka memperluas akses dan melakukan
penetrasi pasar ekspor, upaya-upaya lain yang dilakukan
adalah: pengamatan langsung (market intelligence) terhadap
pasar produk potensial segmen pasar, strategi pesaing, dengan
melihat kondisi negara target pasar untuk melakukan kegiatan
penetrasi pasar produk Indonesia; Pelayanan Inquiries; Buyer
Reception Desk /BRD; serta Pengembangan SDM melalui
Diklat Ekspor.
7.
Peningkatan penanganan terhadap sejumlah kasus tuduhan
dumping, subsidi, dan safeguard untuk produk ekspor
Indonesia. Kasus-kasus tersebut cenderung meningkat dalam
satu tahun terakhir, karena dampak krisis finansial global telah
membuat
negara-negara
tujuan
ekspor
cenderung
meningkatkan proteksi untuk pasar dalam negerinya. Jumlah
kasus tuduhan dumping terhadap Indonesia yang ditangani
sampai dengan bulan Desember 2010 sebanyak 204 kasus,
yang terdiri dari 166 kasus tuduhan dumping, 13 kasus
tuduhan subsidi dan 25 kasus tindakan safeguards. Dari
berbagai tuduhan tersebut, sekitar 49,5 persen telah dihentikan
karena tidak terbukti melakukan dumping, subsidi dan
tindakan safeguard. Namun masih terdapat 94 kasus (46,1
persen) yang dikenakan, dan sekitar 4.4 persen masih dalam
proses penanganan kasus.
5 - 34
8.
Di sisi lain Pemerintah juga mengintensifkan penyelidikan
anti-dumping dan subsidi terhadap produk impor yang
merugikan industri sejenis di dalam negeri. Sebanyak 12 kasus
anti dumping telah diinvestigasi sejak 2009 sampai dengan
Juni 2011. Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) telah
dikenakan terhadap 6 produk impor, yaitu Bi-Axially Oriented
Polypropylene Film, Alumunium Mealdish dari Malaysia,
Polyester Staple Fiber dari India, H&I Section (steel) dari
RRT, Hot Rolled Coil dari Malaysia dan Korea, Review
Uncoated Writing & Printing Paper dari Finlandia.
5.2.3 Pariwisata
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi, pada tahun 2010
sampai dengan Juni 2011, telah dilakukan berbagai langkah-langkah
kebijakan untuk meningkatkan intensitas kepariwisataan yang
berbasis pemberdayaan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan
serta tetap memperhatikan tata pemerintahan yang baik, yaitu: (1)
peningkatan daya saing destinasi pariwisata Indonesia di tingkat
internasional, (2) peningkatan ketersediaan informasi pariwisata
Indonesia di dalam dan di luar negeri sebagai sarana promosi, dan (3)
optimalisasi koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi dalam
pengembangan destinasi dan promosi pariwisata lintas sektor dan
lintas daerah. Berbagai langkah kebijakan tersebut diharapkan
mampu meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara
(wisman) ke Indonesia, meningkatkan perolehan devisa dari wisman,
dan meningkatkan pengeluaran wisatawan nusantara (wisnus).
Perkembangan kepariwisataan Indonesia sampai akhir tahun
2010 menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Hal ini
ditandai dengan meningkatnya kunjungan wisman pada tahun 2010
sebesar 7,00 juta orang dari 6,32 juta orang pada tahun 2009, atau
mengalami peningkatan sebesar 10,74 persen. Perkembangan
kepariwisataan ditunjukkan pula dengan meningkatnya pergerakan
5 - 35
wisnus menjadi 234,38 juta perjalanan pada tahun 2010, dari 229,73
juta perjalanan pada tahun 2009, serta total pengeluaran wisnus
meningkat menjadi Rp150.49 triliun pada tahun 2010, dari Rp137,91
triliun pada tahun 2009.
TABEL 5.11
PERKEMBANGAN PARIWISATA INDONESIA
2009—2010
Pertumbuhan
Uraian
2009
2010
(%)
Wisatawan Mancanegara:
6,32
7,00
10,74
− Jumlah kunjungan (juta orang)
6,30
7,60
20,63
− Devisa yang dihasilkan (miliar USD)
7,69
8,04
9,02
− Rata-rata lama tinggal
4,20
− Rata-rata pengeluaran per hari (USD) 129,57 135,01
9,02
− Rata-rata Pengeluaran per kunjungan 995.93 1,085.75
(US$)
Wisatawan Nusantara
229,73 234,38
2,02
− Jumlah pergerakan (juta perjalanan)
137,91 150,49
9,12
− Total pengeluaran (Rp. triliun)
Sumber: BPS 2011, Survei PES 2010 Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata
Sementara itu, perkembangan jumlah kunjungan wisman
selama periode Januari-Juni 2011 menunjukkan kecenderungan
meningkat. Secara kumulatif, selama periode Januari-Juni 2011,
jumlah kunjungan wisman mencapai 3,60 juta orang, atau mengalami
pertumbuhan sebesar 6,42 persen dibandingkan periode yang sama
pada tahun 2010 yang sebanyak 3,38 juta orang.
Selain itu, hasil-hasil yang dicapai dalam pembangunan
kepariwisataan dalam kurun waktu tahun 2010 sampai dengan Juni
2011, antara lain:
5 - 36
1.
Pengembangan destinasi pariwisata antara lain (a)
pengembangan daya tarik pariwisata yang meliputi
pengembangan geopark nasional dan internasional yang telah
diusulkan kepada UNESCO sebanyak 2 lokasi, penyusunan
data base situs selam yang mencakup 10 dive sites, dan
dukungan pengembangan daya tarik wisata di 20 provinsi (b)
pemberdayaan masyarakat di destinasi pariwisata yang
meliputi peningkatan sadar wisata masyarakat sebanyak 4.900
orang dan 126 kelompok; (c) pengembangan standardisasi
pariwisata yang meliputi penyusunan 12 standar kompetensi,
penyusunan 19 standar usaha, pelatihan 310 orang master
asesor dan asesor, fasilitasi sertifikasi kompetensi pada 8.000
orang, dan pengembangan Lembaga Sertifikasi Profesi dan
Lembaga Sertifikasi Usaha; (d) pengembangan industri
pariwisata yang meliput penyusunan 2 buah pola perjalanan
(travel pattern) yaitu trail of civilization dan wisata kesehatan,
penyusunan 3 profil investasi, dan dukungan pada 4
industri/asosiasi pariwisata; (e) penyelenggaraan PNPM
Mandiri Bidang Pariwisata di 200 desa wisata, yang mencakup
75 daya tarik wisata di desa, 25 usaha masyarakat desa
berbasis industri kreatif di bidang pariwisata, dan 100 desa
yang mendukung usaha pariwisata; (f) dukungan
pengembangan tata kelola destinasi pariwisata (destination
management organisation/DMO) di 15 destinasi yaitu Toba,
Pangandaran, Flores, Bali, Borobudur, Kota Tua Jakarta,
Wakatobi, Derawan, Raja Ampat, Tanjung Puting, Bromo
Tengger Semeru, Rinjani, Sabang, Tana Toraja dan Bunaken;
dan (g) dukungan amenitas pariwisata di 23 provinsi pada
tahun 2010 dan 8 provinsi pada tahun 2011;
2.
Pengembangan pemasaran dan promosi pariwisata, antara lain
(a) peningkatan promosi pariwisata di luar negeri yang
meliputi partisipasi pada bursa pariwisata internasional
sebanyak 74 event, antara lain Perth Holiday and Travel Expo
5 - 37
di Australia, ITB Berlin di Jerman, FITUR Madrid di Spanyol,
Tour Expo Osaka di Jepang, World Travel Market di London,
ASEAN Tourism Fair 2011 di Kamboja, MATTA Fair di
Malaysia; pelaksanaan misi penjualan (sales mission) di fokus
pasar wisatawan sebanyak 25 event, antara lain ke Korea,
Jepang (Nagoya dan Osaka), Jeddah, Australia, China;
penyelenggaraan festival Indonesia di luar negeri sebanyak 15
event, antara lain Festival Indonesia ASEAN, Pagelaran Seni
Budaya di Manila, Indonesia Food Festival di Perth;
penyelenggaraan Indonesia tourism promotion representative
offices di 12 negara, yaitu Visit Indonesia Tourism Officers
(VITO) Perancis, VITO Jerman, VITO Australia, VITO
Belanda, VITO China-Beijing (China), VITO ChinaGuangzhou (China), VITO India, VITO Jepang, VITO
Malaysia, VITO Singapura, VITO Rusia dan VITO Timur
Tengah; (b) peningkatan promosi pariwisata dalam negeri
yang meliputi penyelenggaraan promosi langsung (direct
promotion) sebanyak 30 kali, antara lain di Yogyakarta, Solo,
Makassar, Medan, Pekanbaru, Palembang, Bandung, Jakarta,
Surabaya dan Batam; penyelenggaraan event pariwisata
berskala nasional dan internasional sebanyak 27 event, antara
lain Festival Cap Go Meh, Festival Legu Gam, Tour de
Singkarak,Tournament of Flower 2010 Tomohon, ASEAN Jazz
Festival di Batam, Festival Budaya Lembah Baliem; (c)
pengembangan sarana dan prasarana promosi pariwisata yang
meliputi penyediaan data dan informasi lengkap pada 10
daerah, yaitu Aceh, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, D.I.
Yogyakarta, Bali, NTB, NTT, Maluku Utara dan Papua Barat;
penyediaann bahan promosi cetak sebanyak 1 juta eksemplar
terdiri dari bahan cetak umum, bahan promosi cetak khusus
dan bahan promosi cetak lainnya, seperti Tourist Map,
Calendar of Event 2011, Booklet “Welcome to Indonesia”,
booklet “Indonesia Ecotourism”; pembuatan bahan promosi
5 - 38
elektronik sebanyak 149 ribu keping, antara lain E-brochure,
CD/DVD, film promosi pariwisata dan film promosi
internasional; publikasi melalui 76 media, yaitu media cetak,
media elektronik, media luar ruang dan media on-line seperti
Times Magazine, Majalah Venue, CNN, Kompas, Metro TV
dan www.indonesia.travel; diseminasi bahan promosi
elektronik sebanyak 90 ribu keping, yaitu E-Brochure,
CD/DVD, film promosi pariwisata dan film promosi
internasional; (d) pengembangan informasi pasar pariwisata
yang meliputi tersusunnya 23 naskah hasil analisis pasar
dalam dan luar negeri, seperti Analisis Pasar Nusantara,
Pemantauan Hari Libur, Riset Pasar, Pemantauan Pintu Masuk
Wisman, Analisis Perkembangan Pasar Luar Negeri dan
Market Intelligence; penyebaran 640 eksemplar informasi
produk pariwisata Indonesia ke fokus pasar seperti Malaysia,
Jepang, Timur Tengah, Rusia dan India; penyelenggaraan
familiarization trip/fam trip yang melibatkan 795 orang
peserta, antara lain dari negara Jerman, China, Australia,
Singapura; penerbitan 6.000 eksemplar Newsletter Pariwisata
Indonesia; dan (e) peningkatan penyelenggaraan pertemuan,
perjalanan insentif, konvensi dan pameran (meetings,
incentives travel, conventions and exhibitions/MICE) yang
meliputi penyelenggaraan event internasional di Indonesia
sebanyak 57 event, antara lain Seminar International Tourism
Business Opportunities 2011-2015, International Ecotourism
Business Forum and Mart, Global Spa Summit dan KTT
ASEAN; dan
3.
Pengembangan sumber daya pariwisata, antara lain: (a)
pengembangan SDM kebudayaan dan pariwisata yang
meliputi pelatihan untuk peningkatan kapasitas pelaku industri
pariwisata dan masyarakat sebanyak 1.902 orang; pelatihan
untuk aparatur pemerintah daerah sebanyak 1453 orang; (b)
terlaksananya penelitian dan pengembangan (litbang) bidang
5 - 39
pariwisata sebanyak 16 buah antara lain litbang wisata bahari,
penelitian trail of civilization, penelitian kerja sama ASEAN,
penelitian dampak event pariwisata, penelitian daya saing
pariwisata regional, penelitian destinasi unggulan, dan
penerbitan jurnal kepariwisataan; (c) pendidikan tinggi bidang
pariwisata yang meliputi kelulusan 2.233 orang mahasiswa
dari lembaga pendidikan tinggi pariwisata (4 UPT).
5.2.4 Konsumsi Masyarakat
Langkah-langkah kebijakan yang telah dilakukan dalam
bidang perdagangan dalam negeri adalah peningkatan efisiensi
perdagangan dalam negeri yang akan dititikberatkan pada
pengembangan sarana perdagangan dan peningkatan pengamanan
pasar domestik. Beberapa hasil-hasil yang dicapai selama ini adalah:
1.
Peningkatan kualitas layanan unit pelayanan perijinan (UPP)
perdagangan dalam negeri, seperti ijin pembinaan pasar dan
distribusi serta ijin bidang pembinaan usaha dan pendaftaran
perusahaan, dengan layanan perijinan”single entry and single
exit point” sehingga proses perijinan tidak lagi dilakukan
secara tatap muka antara pemohon dengan pejabat pemroses.
Sampai saat ini, 12 jenis Perijinan Perdagangan Dalam Negeri
yang dilayani oleh Kementerian Perdagangan sudah dapat
dilakukan secara online, dengan waktu penyelesaian sekitar 515 hari kerja dan tanpa dipungut biaya. Di samping itu, ratarata waktu penyelesaian permohonan perijinan bidang
perdagangan berjangka komoditi dan sistem resi gudang
menjadi lebih singkat, dari semula 45 hari kerja menjadi 32
hari kerja.
2.
Peningkatan iklim berusaha di Indonesia yang terlihat dari: (i)
meningkatnya jumlah ijin pembinaan pasar dan distribusi yang
dikeluarkan Kementerian Perdagangan sebanyak 451 ijin
usaha hingga Desember 2010; (ii) meningkatnya jumlah ijin
5 - 40
bidang pembinaan usaha dan pendaftaran perusahaan
(terutama ijin keagenan yang banyaknya 1853 ijin);
3.
Peningkatan upaya kemetrologian, yang terlihat dari
meningkatnya jumlah ijin bidang kemetrologian hingga
Desember 2010, seperti ijin kalibrasi sebanyak 2.746 alat ukur
dan ijin tera ulang sebanyak 2.410. Hal ini menunjukkan
adanya peningkatan kesadaran pentingnya keakuratan dan
ketertelusuran alat ukur yang digunakan dalam melayani
konsumen.
4.
Pembangunan gudang SRG sebanyak 41 buah (35 Gudang
Flat dan 6 Gudang Silo) serta 35 rumah dryer dan dryer di 35
kabupaten sentra produksi gabah, beras, dan jagung. Pada
tahun 2010 telah dibangun 11 gudang di 11 kabupaten serta
pada tahun 2011 akan dibangun 15 gudang di 15 kabupaten
yang merupakan sentra produksi.
5.
Penguatan jumlah dan petugas pengawas barang beredar dan
jasa (PPBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan
Konsumen (PPNS-PK). Total PPBJ di seluruh Indonesia yang
telah dididik sampai dengan akhir tahun 2010 berjumlah 994
orang dan yang masih aktif adalah 710 orang. Sedangkan
untuk pendidikan dan pelatihan telah dilaksanakan pendidikan
dan pelatihan PPNS-PK untuk 3 (tiga) angkatan (88 orang).
Total PPNS-PK diseluruh Indonesia yang telah dididik sampai
dengan saat ini berjumlah 906 dan masih aktif adalah 797
orang.
6.
Pelaksanaan Pengawasan Berkala pada beberapa daerah untuk
produk yang telah diterapkan SNI Wajib yaitu lampu
swaballast, regulator, tabung baja, baja tulangan beton, baja
lapis seng, kotak kontak, tusuk kontak, kipas angin, kompor
gas satu tungku, selang karet, ban mobil, ban sepeda motor, air
minum dalam kemasan, tepung terigu, semen, dan garam
5 - 41
beryodium. Pengawasan dilakukan melalui pengamatan secara
kasat mata dan pembelian sampel terhadap beberapa merek
untuk setiap komoditi, dan apabila terdapat produk yang
diduga tidak sesuai dengan persyaratan SNI maka dilakukan
pengujian laboratorium di Pusat Pengawasan dan
Pengendalian Mutu Barang (PPMB).
7.
Pengawasan barang terpadu di pasar-pasar dan inspeksi
mendadak pengawasan barang beredar produk pangan dan non
pangan di beberapa daerah. Tim Terpadu Pengawasan Barang
Beredar (TPBB) telah menemukan sekitar 225.228 lembar
produk Baja Lembaran Lapis Seng (BjLS) berbagai ukuran
yang tidak memenuhi standar ukuran ketebalan, tinggi
gelombang dan massa per luas barang, tidak terdapat
penandaan SNI yang jelas, serta tidak memiliki Nomor
Registrasi Produk (NRP) dan SPPT SNI. Selain itu, juga
ditemukan adanya berbagai jenis produk perlengkapan makan
dan minum impor berbasis melamine yang juga disinyalir
tidak memenuhi standar SNI sebanyak 254.040 buah, serta
ditemukan adanya 800 kotak produk impor makanan jenis
asparagus kalengan dan 500 sawi putih kemasan plastik yang
tidak sesuai standar serta tidak memiliki label bahasa
Indonesia.
8.
Dikeluarkannya kewajiban Pencantuman Label Berbahasa
Indonesia pada Barang berdasarkan Permendag Nomor
62/M.DAG/PER/12/2009 sebagaimana diubah dengan
Permendag 22/M.DAG/PER/3/2010. Sampai dengan tanggal
31 Desember 2010, proses permohonan Surat Keterangan
Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia (SKPLBI) yang
telah diterbitkan sebanyak 2315 permohonan yang terdiri dari
1967 untuk importir dan 348 untuk produsen. Sedangkan
untuk
permohonan
Surat
Pembebasan
Keterangan
Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia (SPKPLBI) telah
5 - 42
diterbitkan sebanyak 458 permohonan terdiri dari 397 untuk
importir dan 61 untuk produsen.
9.
Upaya pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi dan
Sistem Resi Gudang (SRG) telah dilaksanakan secara berkala
setiap bulannya, serta audit pelaku usaha terhadap 14 Pialang
Berjangka, yaitu audit rutin terhadap 4 Pialang Berjangka dan
audit sewaktu-waktu terhadap 10 Pialang Berjangka.
Sedangkan
dalam
rangka
meningkatkan
efektivitas
pengawasan telah dilakukan pelatihan Inspektur Pengawas
SRG bekerjasama dengan IFC, kepada 30 orang.
10.
Peningkatan upaya untuk menegakkan hukum persaingan
usaha tetap terus dilakukan, karena upaya ini merupakan
bagian dari dukungan untuk menciptakan klim usaha yang
lebih kondusif. Hasil yang dicapai adalah: (i) meningkatnya
jumlah laporan yang ditangani oleh KPPU; (ii) meningkatnya
jumlah laporan pemberkasan dan penanganan perkara; (iii)
meningkatnya jumlah litigasi yang disertai dengan monitoring
pelaksanaannya; serta (iv) meningkatnya jumlah penilaian dan
pemberian notifikasi atas merger dan akuisisi kepada pelaku
usaha yang dilakukan oleh KPPU. Selama kurun waktu tahun
2009 sampai dengan pertengahan tahun 2011 KPPU telah
menerima 316 laporan/pengaduan dari masyarakat mengenai
dugaan pelanggaran persaingan usaha yang sehat, dengan 70
resume laporan yang masuk ke dalam tahap laporan
pemberkasan, 59 perkara yang sedang ditangani/diselidiki, 37
Putusan yang ditetapkan, 50 Putusan sedang dalam tahap
litigasi/banding, dengan 39 laporan dalam tahap eksekusi atau
pelaksanaan sanksi. Selain penanganan perkara, KPPU dalam
menjalankan amanat UU No. 5/1999 juga telah melakukan
penilaian atas merger dan akuisisi badan usaha, dimana dalam
periode tahun 2009 sampai Juni 2011 KPPU telah
5 - 43
menindaklanjuti 11 laporan penilaian dan Notifikasi terhadap
rencana merger dan akuisisi.
GAMBAR 5.12
PERKEMBANGAN JUMLAH PENANGANAN PERKARA
KPPU
Sumber: KPPU (2011)
Dalam pelaksanaan proses penanganan perkara, tentunya
segala keputusan KPPU selalu dikoordinasikan dengan badan hukum
lainnya, seperti Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, sehingga
proses banding dan kasasi atas Putusan KPPU dapat berjalan dengan
baik. Selama tahun 2011, putusan KPPU yang dikuatkan oleh badan
hukum lainnya adalah sebesar 63%.
5.2.5 Keuangan Negara
Sebagaimana tercantum dalam RPJMN 2010-2014, strategi
kebijakan fiskal yang ditempuh dalam periode 5 tahun ke depan
adalah mengupayakan terwujudnya optimalisasi pengeluaran
pemerintah dengan memperhatikan keberlanjutan APBN yang sehat.
Untuk itu, stabilitas ekonomi terus dijaga melalui pelaksanaan
5 - 44
sinergi kebijakan moneter yang berhati-hati, serta pelaksanaan
kebijakan fiskal yang mengarah pada kesinambungan fiskal (fiscal
sustainability) dengan tetap memberi ruang gerak bagi peningkatan
kegiatan ekonomi. Reformasi struktural di bidang pengelolaan fiskal,
diantaranya dilaksanakan melalui reformasi administrasi dan
kebijakan di bidang perpajakan, kepabeanan dan cukai, belanja
negara, serta pengelolaan aset pemerintah.
TABEL 5.13
PERKEMBANGAN PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH
2010-2011
(RP TRILIUN)
2009
2010
2011
Realisasi
Uraian
APBNRealisasi Realisasi APBN Semester
P
I
Pendapatan Negara
dan Hibah
848,8
995,3 1.104,9
497.0 1.169,9
Penenerimaan Dalam
Negeri
847,1
992,2 1.101,2
496,9 1.165,3
• Penerimaan
Perpajakan
619,9
723,3
850,3
387,6
878,7
• Penerimaan Negara
Bukan Pajak
227,2
268,9
250,9
109,3
286,6
Hibah
1,7
3,0
3,7
0,1
4,7
Sumber: Kementerian Keuangan
Melalui berbagai kebijakan yang diambil dan seiring dengan
perkembangan indikator ekonomi makro yang membaik, dalam
periode 2009-2011 perkembangan APBN menunjukkan kinerja yang
baik. Di sisi penerimaan, realisasi pendapatan Negara dan hibah pada
tahun 2010 meningkat sebesar 17,3 persen dibandingkan tahun 2009,
dari Rp 848,8 triliun pada tahun 2009 menjadi Rp995,3 triliun pada
tahun 2010.
5 - 45
Hingga semester I tahun 2011, seiring dengan membaiknya
kinerja perekonomian domestik dan global, serta didukung oleh
pelaksanaan kebijakan-kebijakan di bidang pendapatan Negara,
realisasi pendapatan Negara dan hibah mencapai Rp497,0 triliun
(44,98 persen dari pagu). Realisasi tersebut utamanya didukung oleh
penerimaan perpajakan, yang mencapai Rp 387,6 triliun.
Peningkatan tersebut didorong oleh langkah-langkah pembaharuan
kebijakan serta penyempurnaan sistem dan administrasi perpajakan.
Dengan berbagai kebijakan yang diterapkan pemerintah dan
dikombinasikan dengan perkiraan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi hingga akhir tahun 2011, pendapatan Negara dan hibah
tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp 1.169,9 triliun meningkat 17,5
persen dibandingkan dengan tahun 2010. Peningkatan akan didorong
oleh peningkatan penerimaan perpajakan yang diperkirakan
mencapai Rp 878,7 triliun di akhir tahun atau meningkat sekitar Rp
28,4 triliun bila dibandingkan dengan target APBN.
Di sisi belanja, realisasi belanja Negara juga mengalami
peningkatan sebesar 11,2 persen, yaitu dari Rp 937,4 triliun pada
tahun 2009 menjadi Rp 1.042,1 triliun pada tahun 2010. Peningkatan
tersebut selain disebabkan oleh perkembangan asumsi dasar ekonomi
makro, juga terkait dengan tambahan belanja prioritas. Realisasi
belanja pemerintah pusat pada tahun 2010 hanya sebesar 697,4
triliun atau 89,2 persen dari alokasinya di APBN-P. Di satu sisi,
realisasi transfer ke daerah mencapai Rp344,7 triliun, tidak jauh
berbeda dengan rencana di APBN-P, yang besarnya Rp344,6 triliun.
5 - 46
TABEL 5.14
PERKEMBANGAN BELANJA NEGARA
2010-2011
(RP TRILIUN)
2009
2010
Realisasi
Realisasi
APBN
Realisasi
Semester I
APBN-P
Belanja Negara
Belanja Pemerintah
Pusat
937,4
1.042,1
1.229,6
442,3
1320,8
628,8
697,4
836,6
259,8
908,2
- Belanja Pegawai
127,7
148,1
180,8
80,5
182,9
- Belanja Barang
80,7
97,6
137,8
34,9
139,8
- Belanja Modal
- Pembayaran Bunga
Utang
75,9
80,3
135,9
22,9
136,9
93.8
88,4
115,2
46,7
106,6
138,1
192,7
187,6
62,0
237,2
- Belanja Hibah
0,0
0,07
0,8
0,04
0,4
- Bantuan Sosial
73,8
68,6
63,2
12,1
66,0
- Belanja Lain-Lain
- Penyesuaian
Pendidikan K/L
38,9
21,7
15,3
0,8
15,6
0,0
0,0
0,0
0,0
14,5
- Optimalisasi K/L
0,0
0,0
0,0
0,0
8,4
Transfer Ke Daerah
308,6
344,7
393,0
182,5
412,5
- Dana Perimbangan
287,3
316,7
334,3
164,5
347,5
+ DAU
186,4
203,6
225,5
131,5
225,5
+ DBH
76,1
92,2
83,6
25,9
96,8
21,0
25,2
7,2
25,2
28,0
58,7
18,0
65,0
Uraian
- Subsidi
+ DAK
24,7
- Dana Otsus dan
Penyesuaian
21,3
Sumber: Kementerian Keuangan
2011
Hingga semester I tahun 2011, realisasi belanja Negara
mencapai Rp442,3 triliun (35,97 persen dari pagu), terdiri dari
Rp259,8 triliun belanja pemerintah pusat dan Rp182,5 triliun transfer
5 - 47
ke daerah. Perkembangan realisasi belanja Negara tersebut
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik eksternal maupun internal.
Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap realisasi belanja Negara
antara lain tingginya harga minyak mentah Indonesia (ICP) di pasar
internasional. Kenaikan tersebut sebagai akibat dari krisis politik
yang terjadi di kawasan Timur Tengah. Sementara itu faktor internal
yang berpengaruh terhadap belanja antara lain perkembangan suku
bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN), inflasi, kebutuhan
belanja operasional pemerintahan, dan pelaksanaan langkah-langkah
kebijakan administratif di bidang belanja yang ditetapkan dalam
APBN tahun 2011.
Terkait dengan belanja pemerintah pusat, dari realisasi
semester I tahun 2011, sebagian besar digunakan untuk belanja
pegawai, subsidi, dan pembayaran bunga utang, yakni sekitar 72,8
persen (Rp189,2 triliun), sedangkan sebesar 27,2 persen (Rp70,6
triliun) untuk belanja barang, bantuan sosial, belanja modal, belanja
hibah, dan belanja lain-lain. Secara keseluruhan perkiraan realisasi
anggaran belanja pemerintah pusat mengalami peningkatan jika
dibandingkan dengan realisasi belanja pemerintah pusat dalam
periode yang sama di tahun 2010. Faktor penting yang
mempengaruhi realisasi belanja pemerintah pusat dari sisi kebijakan
antara lain: (a) pencairan anggaran remunerasi pada sejumlah K/L di
triwulan I tahun 2011; (b) penerapan kebijakan efisiensi belanja
Negara (Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2011 tentang Penghematan
Belanja K/L Tahun 2011); (c) implementasi Peraturan Presiden No.
54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang
memperlancar penyerapan belanja modal; dan (d) realokasi bantuan
operasional sekolah (BOS) ke pos transfer ke daerah.
Dari pos belanja pemerintah pusat, belanja subsidi energi
mengalami kenaikan yang cukup tinggi di semester I tahun 2011.
Tingginya realisasi subsidi energi disebabkan oleh faktor tingginya
realisasi rata-rata harga minyak mentah Indonesia, yang diperkirakan
5 - 48
mencapai USD111,0/barel, lebih tinggi USD31,0/barel bila
dibandingkan dengan asumsi yang digunakan dalam APBN. Selain
itu, tingginya volume konsumsi BBM bersubsidi yang diperkirakan
mencapai 20 juta kilo liter juga menjadi faktor penyebab tingginya
belanja subsidi energi, dalam hal ini untuk subsidi BBM.
Berbagai faktor yang terjadi di semester I diperkirakan akan
tetap berpengaruh pada kinerja dan perkiraan realisasi belanja negara
di akhir tahun 2011. Sejalan dengan itu, realisasi belanja pemerintah
pusat pada tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp908,2 triliun atau
108,6 persen dari pagu APBN.
Di sisi transfer ke daerah, hingga semester I tahun 2011
realisasinya mencapai Rp182,5 triliun. Realisasi tersebut bersumber
dari dana perimbangan yang mencapai Rp164,5 triliun pada semester
I tahun 2011. Dilihat proporsinya, 79,9 persen dari perkiraan realisasi
dana perimbangan berupa Dana Alokasi Umum (DAU), dan sisanya
15,7 persen Dana Bagi Hasil (DBH), serta 4,4 persen Dana Alokasi
Khusus (DAK). Sementara itu, realisasi Dana Otonomi Khusus
(Otsus) dan Penyesuaian mencapai Rp18,0 triliun pada semester I
tahun 2011 ini.
Realisasi transfer ke daerah di akhir tahun 2011 diperkirakan
sebesar Rp412,3 triliun. Jumlah tersebut lebih tinggi 5,0 persen bila
dibandingkan dengan pagu APBN 2011. Bila dirinci, dana
perimbangan diperkirakan mencapai Rp347,5 triliun dan Dana Otsus
dan Penyesuaian sebesar Rp65,0 triliun.
Dengan perkembangan pendapatan Negara dan hibah, serta
belanja Negara tersebut, defisit anggaran mencapai Rp88,6 triliun
(1,6 persen PDB) pada tahun 2009, dan sebesar Rp46,8 triliun (0,7
persen PDB) pada tahun 2010. Rendahnya defisit anggaran
berdampak pada menurunnya tambahan pembiayaan defisit. Kondisi
ini berdampak pada stok utang pemerintah yang turun hingga 26,0
persen PDB di akhir tahun 2010. Sementara itu, selama semester I
5 - 49
tahun 2011, realisasi APBN masih mengalami surplus sebesar
Rp54,7 triliun, namun hingga akhir tahun 2011 diperkirakan akan
mengalami defisit sebesar Rp150,8 triliun (2,1 persen PDB).
Dalam rangka memenuhi pembiayaan defisit APBN tahun
2011, kebijakan pembiayaan melalui utang dilakukan antara lain
dengan: (a) memprioritaskan instrument pembiayaan yang lebih cost
efficient dengan resiko yang terkendali, terutama bersumber dari
dalam negeri guna mendukung pengembangan pasar Surat Berharga
Negara (SBN) yang aktif dan likuid; (b) peningkatan daya serap
pinjaman agar sesuai dengan rencana penarikan; dan (c)
mengarahkan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif dalam
rangka mendukung pertumbuhan ekonomi dan mendorong
penurunan rasio utang terhadap PDB secara berkelanjutan. Melalui
strategi pengelolaan utang tersebut, diperkirakan rasio utang
Indonesia di tahun 2011 akan mencapai 25,7 persen PDB. Rasio
tersebut termasuk yang terendah di antara Negara-negara dunia dan
berada jauh di bawah threshold World Bank sebesar 40 persen PDB
atau batas utang yang ditetapkan dalam UU No. 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara, yakni sebesar 60 persen PDB.
Melalui pengelolaan manajemen utang yang disiplin dengan
didukung kondisi perekonomian Indonesia yang lebih baik, prospek
utang Indonesia diperkirakan akan terus membaik. Kondisi ini dapat
dilihat dari pergerakan yield SUN domestik dan credit default swap
yang relatif menurun. Penurunan tersebut berdampak pada
penghematan pembayaran kewajiban utang, baik pembayaran cicilan
pokok maupun bunga utang. Selain itu, tiga lembaga rating, yakni
Moodys’s, Fitch, dan S&P telah meningkatkan rating Indonesia.
Moody’s pada tanggal 17 Januari 2011 meningkatkan rating
Indonesia dari Ba2 menjadi Ba1, Fitch pada tanggal 24 Februari
2011 dari BB+ dengan outlook stable menjadi BB+ dengan outlook
positive, dan S&P pada tanggal 8 April 2011 dari BB menjadi BB+
5 - 50
dengan outlook positive. Diperkirakan dalam waktu dekat, Indonesia
akan masuk dalam kategori investment grade.
GAMBAR 5.15
PERKEMBANGAN RASIO UTANG PEMERINTAH
2006-2011
Sumber: Website Dirjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan
(dmo.or.id)
Keterangan:
* ) Angka Sangat Sementara
**) Angka Sangat Sangat Sementara (Berdasarkan asumsi
APBN 2011)
5.2.6 Moneter
Dalam menyikapi berbagai permasalahan di atas, kebijakan
moneter
diupayakan untuk memantapkan kerangka kebijakan
berbasis suku bunga yang lebih fleksibel melalui penguatan
manajemen moneter dan stabilitas sistem keuangan untuk mencapai
5 - 51
sasaran inflasi. Kerangka kebijakan tersebut pada intinya terdiri dari
bauran kebijakan moneter serta kebijakan makroprudensial terutama
untuk pengelolaan ekses likuiditas dan arus modal asing.
Keseluruhan kebijakan tersebut bertujuan untuk mengurangi dampak
negatif dari aliran masuk modal asing dan ketidakstabilan
perekonomian global terhadap perekonomian domestik dan sistem
keuangan nasional.
Beberapa kebijakan moneter yang telah ditempuh sampai
dengan Juli 2011, antara lain sebagai berikut. Pertama, kebijakan
suku bunga diupayakan antara lain melalui penyesuaian koridor suku
bunga. Tujuan kebijakan tersebut terutama untuk menjaga
kredibilitas sinyal kebijakan moneter serta menjaga stabilitas harga
(inflasi) dan nilai tukar. Penyesuaian koridor suku bunga dilakukan
melalui perubahan suku bunga instrumen standing facilities, yaitu
dari ± 50 basis poin (bps) menjadi ± 100bps dari BI Rate.
Kedua, penerapan kebijakan koridor suku bunga yang
kemudian dilengkapi dengan penggunaan instrumen moneter term
deposit dengan tenor kurang dari 3 bulan. Hal ini sejalan dengan
derasnya aliran masuk modal asing sejak pertengahan Oktober 2010,
pergerakan suku bunga pasar uang cenderung mendekati level bawah
koridor (deposit facility). Di samping itu, juga dioptimalkan
penggunaan instrumen lainnya, seperti pembelian kembali (repo) dan
reverse repo Surat Utang Negara (SUN) dalam rangka pengelolaan
likuiditas di pasar uang.
Ketiga, pelaksanaan kebijakan stabilisasi nilai tukar yang
sekaligus merupakan antisipasi terhadap pembalikan modal dengan
menjaga cadangan devisa pada level yang memadai untuk memenuhi
impor dan kewajiban valuta asing serta self insurance. Upaya
stabilisasi nilai tukar tersebut dilakukan melalui kebijakan intervensi
secara terukur di pasar valuta asing.
Keempat, penetapan minimal masa endap kepemilikan SBI
yang dipegang pemilik. Ketentuan ini berlaku baik bagi penduduk
5 - 52
(residen) maupun non-residen. Pada bulan Juli 2010 masa endap
kepemilikan SBI ditetapkan 1 bulan (one month holding period),
namun kemudian diubah menjadi 6 bulan (six months holding
period) sejak Mei 2011. Kebijakan ini diambil dengan
mempertimbangkan bahwa aliran modal asing diperkirakan cukup
besar dan sebagian dari dana tersebut bersifat jangka pendek
sehingga rentan terhadap pembalikan secara tiba-tiba.
Kelima, peningkatan manajemen perbankan melalui
penyesuaian giro wajib minimum (GWM) valuta asing. Penyesuaian
GWM dilakukan secara bertahap, yaitu menjadi 5% pada Maret 2011
dan menjadi 8% pada Juni 2011. Dalam kondisi likuiditas valuta
asing yang melimpah, kenaikan GWM valuta asing diperkirakan
dapat dipenuhi dengan memanfaatkan kelebihan likuiditas valuta
asing tersebut. Di samping itu, kebijakan ini diperkirakan berdampak
minimal terhadap biaya dana sehingga tidak akan mengganggu
intermediasi perbankan.
Kebijakan lain yang juga penting untuk dilaksanakan adalah
kebijakan penjarangan lelang SBI dan penerbitan SBI dengan jangka
waktu lebih panjang. Strategi ini selain bertujuan meningkatkan
efektivitas pengendalian ekses likuiditas perbankan juga untuk
mendorong penguatan manajemen risiko likuiditas dan mengurangi
volatilitas aliran modal asing jangka pendek. Dengan diterapkannya
strategi pengelolaan likuiditas tersebut, sejak triwulan I 2011 Bank
Indonesia tidak lagi menerbitkan SBI 3 bulan dan 6 bulan,
melainkan hanya menerbitkan SBI dengan tenor 9 bulan. Selanjutnya
untuk menyerap kelebihan likuiditas, Bank Indonesia menyediakan
transaksi Term Deposit (TD) secara non reguler dengan
mengutamakan tenor di atas 1 bulan.
Berbagai kebijakan moneter tersebut telah mempengaruhi
perkembangan nilai tukar dan inflasi menjadi lebih stabil sepanjang
tahun 2010 sampai dengan pertengahan tahun 2011 ini.
5 - 53
TABEL 5.16
LAJU INFLASI, BI RATE, DAN NILAI TUKAR
2004-2011
(PERSEN)
Laju
BI
Nilai
Periode
Inflasi
Rate*)
Tukar
Tahunan
Rp/USD
2004
6,40
6,40
9.290
2005
17,11
12,75
9.830
2006
6,60
9,75
9.020
2007
6,59
8,00
9.419
2008
11,06
9,25
10.950
2009
2,78
6,50
9.400
2010
6,96
6,50
8.991
Jan
7,02
6,50
9.057
Feb
6,84
6,75
8.823
Mar
6,65
6,75
8.709
2011
Apr
6,16
6,75
8.574
Mei
5,98
6,75
8.537
Jun
5,54
6,75
8.597
Jul
4,61
6,75
8.508
Sumber: BPS dan BI
Keterangan: *) posisi akhir periode untuk data
tahunan
Di sisi nilai tukar, rupiah sepanjang tahun 2011 bergerak stabil
dengan kecenderungan menguat sejak awal tahun. Pada akhir Juli
rupiah ditutup pada level Rp8.508 per dolar AS, atau terapresiasi
5,37% dibandingkan dengan akhir tahun 2010. Perkembangan
fundamental domestik yang cukup solid, di tengah faktor risiko
global yang masih tinggi, menyebabkan secara umum rupiah
bergerak menguat. Pemulihan ekonomi negara maju yang masih
5 - 54
diliputi ketidakpastian menjadi salah satu pendorong berlanjutnya
aliran dana ke kawasan Asia, termasuk Indonesia. Beberapa faktor
yang menghambat pemulihan ekonomi negara maju di antaranya
adalah krisis utang Eropa, prospek perekonomian Jepang pascatsunami dan krisis nuklir, serta prospek perekonomian Amerika
Serikat yang terancam resesi kembali.
Pada triwulan I 2011 rupiah bergerak menguat dengan nilai
tukar rata-rata sebesar Rp 8.897 per dolar AS dan ditutup pada level
Rp 8.708 per dolar AS. Berbagai risiko ketidakpastian yang dihadapi
negara-negara maju, serta melimpahnya likuiditas pascakebijakan
stimulus di negara-negara maju menjadi pendorong pergerakan aliran
dana menuju negera-negara emerging markets, termasuk Indonesia.
Apresiasi rupiah masih berlanjut di triwulan II 2011. Hingga akhir
Juli 2011, rata-rata nilai tukar rupiah mencapai Rp8.716 per dolar AS
atau menguat 4,93 persen dibandingkan dengan periode yang sama
2010. Negara-negara emerging markets Asia yang tumbuh lebih
cepat menghadapi tekanan inflasi lebih awal sehingga harus
menaikkan suku bunga. Hal itu justru menjadi daya tarik investasi
bagi investor global, sehingga mata uang negara-negara di kawasan
Asia masih mengalami penguatan, termasuk Indonesia.
Minat investor terhadap aset rupiah tetap tinggi. Investor
mempersepsikan investasi di aset rupiah
relatif aman dan
menguntungkan. Imbal hasil aset rupiah yang cukup menarik
tercermin dari kondisi uncovered interest parity (UIP) maupun
covered interest parity (CIP) yang terus meningkat. CIP yang
meningkat tidak terlepas dari persepsi risiko ekonomi Indonesia yang
terus membaik, tercermin dari indikator Credit Default Swap (CDS)
yang terus bergerak menurun. Namun, penguatan rupiah ke depan
akan dibayangi oleh meningkatnya risiko global terkait dengan
penanganan krisis di Eropa serta berakhirnya kebijakan quantitative
easing di negara maju.
5 - 55
Perkembangan inflasi di Indonesia masih tetap terkendali
sehingga persen pada tahun 2010 tercatat sebesar 6,96 (yoy) dan
menurun menjadi 4,61 persen (yoy) pada bulan Juli 2011. Tekanan
inflasi sepanjang tahun 2011 masih cukup terkendali. Inflasi IHK
2011 sampai dengan Juli mencapai 1,74% (ytd), lebih rendah dari
inflasi IHK periode yang sama tahun lalu yang mencapai 4,02%
(ytd). Penurunan tekanan inflasi terutama berasal dari kelompok
volatile food prices yang mengalami penurunan kenaikan harga.
Penurunan kenaikan harga kelompok volatile food prices didorong
oleh koreksi harga yang cukup signifikan komoditas pangan seperti
cabai dan bawang merah. Selain itu, penurunan kenaikan harga
beberapa komoditas pangan global, di antaranya minyak sawit
mentah (Crude Palm Oil-CPO), mendorong harga komoditas
domestik terkait, yaitu minyak goreng, untuk turun.
Sampai dengan Juli 2011 inflasi inti mencapai 4,55% (yoy).
Peningkatan inflasi kelompok inti terutama bersumber dari eksternal,
terkait dengan kenaikan harga global dan inflasi mitra dagang.
Namun, penguatan nilai tukar rupiah yang masih berlangsung
mampu meredam peningkatan inflasi inti lebih lanjut. Dari sisi
ekspektasi, hingga triwulan I 2011 ekspektasi inflasi relatif masih
tinggi. Kebijakan menaikkan BI Rate sebesar 25 bps pada Februari
2011 mampu menahan pergerakan ekspektasi inflasi dari potensi
peningkatan lebih lanjut. Pada triwulan II 2011 ekspektasi di pasar
keuangan telah menunjukkan tren menurun, meskipun ekspektasi
harga di tingkat pedagang dan konsumen masih meningkat. Dari sisi
administered prices, tekanan inflasi hingga Juni 2011 relatif terjaga,
meskipun meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun
sebelumnya. Terjaganya inflasi kelompok administered prices
terutama disebabkan oleh tidak adanya kebijakan strategis yang
diambil Pemerintah. Inflasi administered prices hingga bulan Juli
mencapai 4,54% (yoy). Komoditas administered prices yang
berkontribusi pada inflasi tahun 2011 adalah rokok dan bahan bakar
rumah tangga.
5 - 56
5.2.7 Sektor Keuangan
Stabilitas sistem keuangan merupakan dampak langsung dari
berbagai upaya serta kebijakan yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah. Secara umum, langkah kebijakan perbankan tahun 2010
yang difokuskan pada penataan dan penguatan perbankan nasional
dapat dicapai dengan baik. Namun, sejalan dengan tantangan yang
semakin kompleks, maka kebijakan perbankan diarahkan pada
bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, selain meningkatkan
fungsi deteksi dini (early warning system) dan kegiatan surveillance
untuk mendukung stabilitas sistem keuangan.
Beberapa kebijakan yang telah ditempuh di sektor perbankan
sampai dengan Juli 2011, antara lain: (i) penyempurnaan ketentuan
terkait giro wajib minimum valuta asing dalam rangka memperkuat
penerapan manajemen risiko likuiditas perbankan dengan
meningkatkan kewajiban giro minimum dari 1 persen menjadi 8
persen yang dilakukan secara bertahap; (ii) penyempurnaan
ketentuan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)
menggunakan pendekatan standar yang ditujukan untuk
meningkatkan daya tahan (resilience) perbankan nasional dalam
menghadapi kondisi krisis dan persaingan global; (iii) Penerapan
ketentuan Giro Wajib Minimum Loan-to-Deposit-Ratio (GWMLDR); (iv) Kewajiban pengumuman suku bunga dasar kredit
(SBDK) kepada masyarakat yang ditujukan sebagai upaya
meningkatkan transparansi dan mendorong kompetisi yang sehat
dalam industri perbankan; dan (v) mendorong terbentuknya Biro
Kredit Swasta dengan mengizinkan pihak swasta untuk turut serta
dalam pengelolaan credit registry.
Sementara itu, kebijakan yang telah ditempuh untuk
meningkatkan akses kredit UMKM kepada perbankan antara lain: (i)
percepatan pendirian Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD);
(ii) percepatan pendirian lembaga pemeringkatan kredit bagi
UMKM; (iii) pelaksanaan Program Financial Identification Number;
5 - 57
(iv) kerjasama dengan Pemerintah dan lembaga lainnya yang terkait,
antara lain: Kerjasama Bank Indonesia dengan Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam rangka Pengembangan
Konsultan Keuangan/Pendamping UMKM Mitra Bank, Kerjasama
dengan Kemenpera dan Bapepam-LK dalam bentuk penambahan dan
sosialisasi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), dll.
Di sisi perbankan syariah, arah pengembangan bank syariah
tetap mengacu kepada Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah
Indonesia sebagai bagian dari Arsitektur Perbankan Indonesia (API),
dimana sistem perbankan syariah dan konvensional secara sinergis
mendukung pembiayaan sektor-sektor ekonomi yang produktif.
Terkait pengembangan BPR, untuk mendukung program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme, telah
dikeluarkan ketentuan yang memuat pedoman pelaksanaan Anti
Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT)
BPR. Di samping itu, sedang disusun Generic Model Apex BPR
sebagai pedoman dalam pembentukan dan pelaksanaan Apex BPR,
pengembangan assessment tools sebagai instrumen untuk menilai
kelayakan BPR dalam memperoleh fasilitas pendanaan dari bank
umum yang bertindak sebagai Apex BPR, dan pelaksanaan capacity
building bagi SDM bank umum yang bertindak sebagai Apex BPR
untuk mendukung pelaksanaan fungsi-fungsi Apex.
Di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang (TPPU), beberapa kebijakan yang ditetapkan, antara
lain: (i) mengembangkan dan melaksanakan kebijakan, peraturan dan
prosedur yang berkaitan dengan anti pencucian uang sesuai dengan
UU TPPU; (ii) membangun kepedulian masyarakat akan pentingnya
rezim anti pencucian uang; (iii) membantu penegak hukum dan
lembaga terkait dalam melakukan penyidikan dan penuntutan TPPU;
(iv) meningkatkan kerjasama dengan lembaga pemerintah domestik;
(v) meningkatkan kerjasama dengan lembaga informasi intelijen di
bidang keuangan internasional dan organisasi anti pencucian uang
5 - 58
lain; dan (vi) mengubah ketentuan-ketentuan yang terkait TPPU guna
mengakomodasi international best practices.
Dengan berbagai kebijakan tersebut di atas ketahanan sektor
keuangan dapat terjaga serta kinerja fungsi intermediasi dan daya
saing sektor keuangan semakin baik. Untuk sektor perbankan, antara
lain ditunjukkan dengan kondisi rasio kecukupan modal (capital
adequacy ratio – CAR) bank umum yang berkisar antara 16-20
persen, yang berada jauh di atas ketentuan Bank Indonesia sebesar 8
persen. Rasio tersebut menunjukkan bahwa secara umum perbankan
memiliki kemampuan yang cukup kuat untuk menghadapi potensi
risiko ke depan. Seiring dengan perkembangan tersebut, kualitas
pembiayaan perbankan pun terus membaik yang tercermin dari
menurunnya indikator rasio kredit bermasalah (non performing loan
– NPL) hingga mencapai 2,92 persen pada bulan Mei 2011 (Tabel
5.17).
TABEL 5.17
INDIKATOR PERBANKAN NASIONAL
2010—2011
(PERSEN)
Indikator
2010
20111)
Rasio kecukupan modal (CAR)
17,18
17,41
Rasio kredit bermasalah (NPL)
2,56
2,92
Rasio pinjaman terhadap simpanan
75,21
78,45
(LDR)
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia
Keterangan: 1) Angka Mei 2011
Fungsi intermediasi perbankan juga terus mengalami kenaikan
yang tercermin dari peningkatan rasio pinjaman terhadap simpanan
(loan to deposit ratio – LDR). Rasio tersebut cenderung meningkat
dari 75,21 persen pada akhir tahun 2010 menjadi 78,45 persen pada
5 - 59
bulan Mei 2011 seiring dengan optimisme pelaku ekonomi terhadap
prospek perekonomian. Di sisi pertumbuhan kredit, sampai dengan
Mei 2011 kredit tumbuh sebesar 23,51 persen (yoy) dengan nilai
Rp1.912,3 triliun. Jika dilihat dari komponennya, pertumbuhan
kredit tertinggi terjadi pada kredit investasi sebesar 29,13 persen
pada periode yang sama. Di sisi penghimpunan dana, simpanan
masyarakat pada bank tumbuh sebesar 20,2 persen (yoy), yaitu dari
Rp1.969,2 triliun pada Mei 2010 menjadi Rp2.366,9 triliun pada Mei
2011. Terjaganya kepercayaan masyarakat menjadi salah satu faktor
pertumbuhan simpanan masyarakat yang tetap tinggi.
TABEL 5.18
PERTUMBUHAN PENYALURAN DAN PENGHIMPUNAN
DANA MASYARAKAT (RUPIAH DAN VALAS)
2010-2011
(PERSEN)
Indikator
2010
20111)
Penghimpunan Dana
20,45
20,20
- Deposito
18,62
16,02
- Tabungan
20,96
25,69
- Giro
23,70
21,71
Penyaluran Dana
23,28
23,51
- Kredit Investasi
16,85
29,13
- Kredit Modal Kerja
26,23
24,43
- Kredit Konsumsi
22,93
18,84
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank
Indonesia
Keterangan: 1) Angka Mei 2011
Sementara itu, penyaluran kredit Mikro, Kecil, dan Menengah
(MKM) oleh perbankan juga terus mengalami peningkatan dengan
pertumbuhan sebesar 24,6 persen (yoy) pada Mei 2011 atau sedikit
5 - 60
menurun dibandingkan pertumbuhan kredit MKM pada Desember
2010 yang sebesar 25,7 persen. Kredit MKM pada Mei 2011
mencapai Rp1.009,9 triliun yang terdistribusi 53,2 persen untuk
kredit konsumsi; 37,2 persen untuk kredit modal kerja, dan 9,6
persen untuk kredit investasi. Secara nominal masing-masing tumbuh
sebesar 21,3 persen; 26,1 persen; dan 39,0 persen. Diharapkan di
masa mendatang penyaluran kredit MKM dapat terus ditingkatkan.
Pembiayaan melalui perbankan syariah juga terus meningkat.
Pembiayaan melalui perbankan syariah tumbuh sebesar 47,7 persen
(yoy) dari Rp53,2 triliun pada bulan Mei 2010 menjadi Rp78,6
triliun pada bulan Mei 2011. Dilihat dari komposisinya, pembiayaan
yang keuntungannya telah disepakati dahulu (piutang murabahah)
masih mendominasi. Selain itu, penghimpunan dana masyarakat
pada Mei 2011 tumbuh sebesar 50,5 persen (yoy) dari Rp55,1 triliun
menjadi Rp82,9 triliun pada periode yang sama. Walaupun
pertumbuhan pembiayaan cukup baik namun masih lebih lambat jika
dibandingkan pertumbuhan penghimpunan dana masyarakat
sehingga menyebabkan rasio pembiayaan terhadap simpanan
(financing to deposit ratio – FDR) melambat dari 96,7 persen
menjadi 92,8 persen pada periode yang sama. Sementara itu kualitas
pembiayaan perbankan syariah yang ditunjukkan dengan rasio
pembiayaan bermasalah (non performing financing – NPF)
cenderung stabil dan berada pada kisaran 3-5 persen.
Terkait dengan pembiayaan mikro, jumlah BPR konvensional
terus menunjukkan penurunan akibat konsolidasi industri dan
pencabutan izin usaha BPR. Kredit yang disalurkan BPR tumbuh
sebesar 20,6 persen (yoy) dari Rp 30,9 triliun pada bulan Mei 2010
menjadi Rp 37,2 triliun pada akhir Mei 2011. Dilihat dari
komposisinya, sebagian besar kredit yang disalurkan BPR
merupakan kredit modal kerja (49,4 persen), diikuti oleh kredit
konsumsi (44,8 persen) kemudian kredit investasi (5,8 persen).
Penghimpunan dana masyarakat pada BPR tumbuh sebesar 21,9
5 - 61
persen (yoy) dari Rp 27,9 triliun menjadi Rp 34,0 triliun pada
periode yang sama. Dengan perkembangan tersebut, LDR BPR
sebesar 81,6 persen pada Mei 2011. Kualitas kredit mengalami
peningkatan yang ditunjukkan oleh menurunnya rasio NPL hingga
mencapai 6,3 persen pada bulan Mei 2011. Namun perlu diwaspadai
adanya potensi risiko pembiayaan kredit mengingat angka tersebut
masih lebih tinggi dari ketentuan yang berlaku yaitu sebesar 5,0
persen.
Sejalan dengan prospek perekonomian Indonesia yang
membaik yang diikuti oleh menurunnya persepsi risiko,
meningkatnya peringkat investasi Indonesia yang semakin mengarah
pada peringkat layak investasi (investment grade) serta masih
tingginya imbal hasil investasi rupiah yang masih menarik
dibandingkan negara kawasan, indeks harga saham gabungan (IHSG)
terus mengalami peningkatan. IHSG yang berada pada level 3.703,5
pada akhir Desember 2010 meningkat hingga mencapai 4.132,8 pada
tanggal 26 Juli 2011. Namun, kinerja apik IHSG ini terganggu oleh
gejolak harga saham yang terjadi di Amerika Serikat dengan
turunnya indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) lebih dari 500
poin atau 4,3 persen pada 4 Agustus 2011. Kejatuhan ini juga
dialami oleh indeks S&P 500 dan Nasdaq. Kondisi tersebut
membawa imbas sentimen negatif terhadap bursa saham dalam
negeri, di mana IHSG turun menjadi 3.850,27 pada sesi penutupan 8
Agustus 2011.
Perkembangan IHSG ini tetap perlu dimonitor secara intensif
dengan mencermati perkembangan global yang masih bergejolak.
Selain itu, perkembangan IHSG juga perlu diwaspadai karena
peningkatan harga yang terindikasi cenderung lebih tinggi dari
perkembangan fundamentalnya sehingga berpotensi menimbulkan
penggelembungan harga aset (asset price bubble).
Dari segi kapitalisasinya, kapitalisasi pasar modal etrhadap
PDB meningkat dari sebesar 47,8 persen terhadap PDB pada tahun
5 - 62
2009 menjadi sekitar 62,3 persen terhadap PDB pada tahun 2010.
Meskipun demikian, peningkatan pesat dalam kapitalisasi pasar
modal tidak diikuti peningkatan pesat dalam nilai emisi pasar modal
yang hanya mengalami sedikit peningkatan dari 10,6 persen terhadap
PDB pada tahun 2009 menjadi 11,1 persen terhadap PDB pada tahun
2010 (Tabel 5.19).
TABEL 5.19
PERKEMBANGAN ASET LEMBAGA KEUANGAN DAN
PASAR MODAL
2009—2010
2009
2010
Nilai
%
PDB
45.8
45.1
0.7
11.1
5.8
1.8
3.1
0.1
0.3
56.9
10.6
7.5
3.1
47.8
36.0
11.8
Nilai
A. Perbankan
2,571.7
3,054,6
- Bank Umum
2,534.1
3,008.9
- BPR
37.6
45.7
B.
Lembaga
Keuangan
621.7
779.4
- Bukan
Asuransi
325.7
399.7
Bank (LKBB)
- Dana Pensiun
102.5
130.0
- Perusahaan Pembiayaan
174.4
230.3
Perusahaan
Modal
3.2
3.5
- Pegadaian*)
15.9
n.a.
Ventura
C. Total (A + B)
3,193.4
3,834.0
D. Emisi Pasar Modal
594.9
710.5
- Nilai Emisi Saham
419.6
495.4
- Nilai Emisi Obligasi
175.3
215.1
Kapitalisasi Pasar Modal
2,682.4
4,003.7
- Saham
2,019.4
3,247.1
- Obligasi (korporasi &
663.0
756.6
Memorandum
Item:
SUN)
PDB Nominal
5,613.4
6,422.9
Sumber: Kementerian Keuangan, BPS, dan Bank Indonesia
%
PDB
47.6
46.8
0.7
12.1
6.2
2.0
3.6
0.1
n.a.
59.7
11.1
7.7
3.3
62.3
50.6
11.8
5 - 63
Selanjutnya, LKBB juga telah menunjukkan perkembangan
yang cukup positif. Kepercayaan masyarakat terhadap LKBB sudah
semakin baik, yang ditunjukkan oleh meningkatnya aset LKBB
(asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, modal ventura,
pegadaian) dari Rp 621,7 triliun pada tahun 2009 menjadi sekitar Rp
779,4 triliun pada tahun 2010 atau meningkat sekitar 24,3 persen per
tahun.
Kesadaran para penyedia jasa keuangan (PJK) untuk
mematuhi ketentuan pelaporan semakin meningkat di berbagai
industri keuangan. Luasnya cakupan wilayah Indonesia, besarnya
jumlah penduduk, beragamnya bentuk kejahatan yang dilakukan
memunculkan tantangan baru dan diperlukan kesungguhan dalam
memanfaatkan semua sumber daya yang ada dalam rangka
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
(TPPU) di Indonesia. Selama beberapa tahun terakhir, jumlah
Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang
disampaikan PJK kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) terus meningkat pesat. Sampai dengan Mei
2011, sebanyak 160 PJK berbentuk bank dan 199 PJK non bank
secara kumulatif telah menyampaikan 74.614 LTKM. Sedangkan
Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) yang diterima oleh
PPATK secara kumulatif berjumlah lebih dari 9,7 juta laporan.
5.2.8 Industri
Arah kebijakan pembangunan industri dalam RPJMN 20102014 adalah melaksanakan revitalisasi sektor industri yang
difokuskan untuk mencapai tiga hal.
1.
Penumbuhan Populasi Usaha Industri, dengan hasil
peningkatan jumlah populasi usaha industri dengan postur
yang lebih sehat.
2.
Penguatan Struktur Industri, dengan hasil yang diharapkan
adalah semakin terintegrasinya IKM dalam gugus (cluster)
5 - 64
industri, tumbuh dan berkembangnya gugus (cluster) industri
demi penguatan daya saing di pasar global.
3.
Peningkatan Produktivitas Usaha Industri, dengan hasil yang
diharapkan adalah meningkatnya nilai tambah produk melalui
penerapan iptek.
Dalam rangka mempercepat pemulihan kinerja industri
periode 2010-2014, Kementerian Perindustrian telah menyusun
serangkaian kegiatan yang tertuang dalam rencana pengembangan
industri nasional dengan mengacu pada Kebijakan Industri Nasional
(Perpres No. 28 Tahun 2008), RPJMN 2010-2014, dan Rencana
Strategis Kementerian Perindustrian 2010-2014, serta strategi
Kabinet Indonesia Bersatu I & II, yaitu pro growth, pro job, dan pro
poor, yang kemudian disebut dengan Trilogi Pembangunan Industri,
yang terdiri dari:
1.
Pertumbuhan industri, melalui pengembangan dan penguatan
35 klaster industri prioritas (pro growth),
2.
Pemerataan industri, melalui pengembangan dan penguatan
industri kecil dan menengah (pro growth dan pro job),
3.
Persebaran industri, melalui pengembangan industri unggulan
di 33 provinsi dan Kompetensi Inti Industri Kabupaten/Kota
(pro job dan pro poor).
Langkah-langkah perbaikan dan kebijakan yang dilakukan
dalam kurun waktu 2009-2010 tersebut ternyata dapat meningkatkan
pertumbuhan industri nasional seperti yang diharapkan seperti yang
terlihat pada tabel berikut ini:
5 - 65
TABEL 5.20
PERTUMBUHAN INDUSTRI PENGOLAHAN
(PERSEN)
Cabang Industri
2010 2011*
INDUSTRI PENGOLAHAN
4,48
6,09
Industri Pengolahan Migas
-2,31
-0,10
Industri Pengolahan Non Migas
5,09
6,61
1) Makanan, Minuman, Tembakau
2,73
9,34
2) Tekstil, Brg. Kulit dan Alas Kaki
1,74
8,03
3) Brg. Kayu dan Hasil Hutan
-3,50
3,01
4) Kertas dan Barang Cetakan
1,64
3,87
5) Pupuk, Kimia dan Barang Karet
4,67
6,62
6) Semen, Brg. Galian Non Logam
2,16
5,66
7) Logam Dasar Besi dan Baja
2,56
15,48
8) Alat Angkut, Mesin, dan Peralatan
10,35
4,41
9) Barang Lainnya
2,98
6,21
Sumber : BPS, 2011
Catatan : *) Angka Triwulan II 2011 (year on year)
Sementara itu, utilisasi rata-rata kapasitas produksi dari 9 sub
sektor industri di atas menunjukkan angka yang cukup stabil dari
tahun 2007 sebesar 72,92 persen, pada 2008 sebesar 72,27 persen,
tahun 2009 sebesar 73,04 persen, dan pada 2010 sebesar 72,01
persen (Sumber: Kementerian Perindustrian).
Jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri
pengolahan dalam periode tahun 2010 sampai dengan 2011
mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Sakernas, BPS 2011)
seperti yang terlihat pada tabel berikut:
5 - 66
TABEL 5.21
PENDUDUK USIA 15 TAHUN KE ATAS YANG BEKERJA DI
SEKTOR INDUSTRI
(JUTA ORANG)
Lapangan Pekerjaan
2010
2011
Utama
(Februari) (Februari)
Sektor Industri
13,05
13,71
Seluruh Sektor
107,41
111,28
Sumber: Sakernas, BPS 2011
Sejalan dengan kondisi perbaikan pertumbuhan ekonomi dunia
dan industri pengolahan, beberapa indikator lain menunjukkan
bahwa sektor industri benar tumbuh dengan baik. Indikator-indikator
tersebut antara lain adalah nilai ekspor produk industri,
perkembangan penanaman modal dalam negeri dan penanaman
modal asing, serta jumlah kredit yang disalurkan oleh perbankan
nasional ke sektor industri sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 5.22
dan Tabel 5.23.
TABEL 5.22
EKSPOR PRODUK INDUSTRI
TAHUN 2010 – 2011
Keterangan
2010
Total Ekspor (Milyar USD)
157,7
Produk Industri (Milyar USD)
98,0
Pertumbuhan Ekspor Produk Industri
33,5
(persen)
2011*
98,6
60,7
36,7
Sumber : Statistik Ekspor dan Impor BPS, 2011
Keterangan: *) sampai dengan Juni 2011
5 - 67
TABEL 5.23
PENANAMAN MODAL DAN PENYALURAN KREDIT DI
SEKTOR INDUSTRI
Keterangan
2010
2011
Jumlah Ijin Usaha Tetap
419
278
PMDN*) Nilai Realisasi Investasi
25,6
10,9
(Rp Triliun)
Jumlah Ijin Usaha Tetap
1.096
542
PMA*)
Nilai Realisasi Investasi
3,4
1,9
(USD Milyar)
Posisi Pinjaman Bank ke Sektor
274,3
291,4
Industri (Rp Triliun) **)
Sumber
:
*)
**)
BKPM, 2011
: s.d Juni 2011
Bank Indonesia, 2011 : s.d Mei 2011
Untuk menunjang pertumbuhan industri, hasil-hasil yang
dicapai per subsektor industri antara lain adalah sebagai berikut:
1.
5 - 68
Industri Pupuk: Dalam rangka pembangunan pabrik urea
Kaltim-5, Natural Gas Supply Agreement (NGSPA) telah
ditanda tangani antara PT. Pupuk kaltim dengan KKKS
Eastkal untuk jangka waktu 10 tahun (2012-2021) serta
kontrak pembangunan pabrik urea kapasitas 1,1 juta ton/tahun
antara PT. Pupuk Kaltim dengan Konsorsium IKPT dan Toyo
Engineering Corporation (TEC) pada tanggal 20 Juni 2011;
telah ditandatangani MoA terkait alokasi pasokan gas bumi
untuk pembangunan pabrik urea II PT. Petrokimia Gresik dari
lapangan gas Cepu sebanyak 85 MMSCFD; telah
ditandatangani Joint Venture Company antara PT. Petrokimia
Gresik (Indonesia) dengan Jordan Phosphate Mines Company
(JPMC) dari Jordan untuk membangun pabrik Phosphoric
Acid (PA) di Gresik Jatim dengan kapasitas produksi 200.000
ton/tahun, pabrik diharapkan dapat beroperasi pada tahun
2013; telah ditandatangani MoU antara PT. Pusri (Persero)
dengan Jordan Phosphate Mines Company (JPMC) tentang
pembangunan pabrik pupuk NPK di Indonesia dengan
kapasitas 200.000 – 300.000 ton/tahun dan penyediaan bahan
baku phosphate dipasok oleh JPMC.
2.
Industri Gula: telah diberikan bantuan keringanan pembelian
mesin/peralatan kepada 47 PG yang melakukan investasi
dalam rangka peningkatan kapasitas produksi, efisiensi dan
mutu gula; bantuan langsung mesin/peralatan kepada Pabrik
Gula (PG) Semboro, PG Jatiroto dan PG Meritjanantara; telah
diberikan bantuan kepada PT. Barata Indonesia dan PT. Boma
Bisma Indra dalam bentuk peralatan foundry, peralatan las,
CNC Cutting Machine, Deep Drill System, Electric Arc
Furnace Heavy Duty, dll.
3.
Zona Industri di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK): telah
disepakati kesepakatan/komitmen antara pemerintah daerah,
pemerintah pusat, PTPN III, serta instansi terkait lainnya
dalam upaya percepatan pengembangan KEK Sei Mangkei;
telah terbentuk kesepahaman antara pemerintah pusat dan
daerah dalam perencanaan pengembangan KEK Bitung.
4.
Industri Hilir Kelapa Sawit: promosi investasi telah menarik
beberapa investor untuk menanamkan investasinya, seperti
Procter & Gambler dan Cargill International dari Amerika
Serikat dan MEC dari UEA; telah diperoleh komitmen dari
Kementerian PU untuk perluasan jalan menuju kawasan IHKS
di Sei Mangke serta rencana pembangunan Rel Kereta Api
yang akan menghubungkan kawasan Sei Mangke dengan
Pelabuhan Kuala Tanjung oleh PT. KAI.
5.
Industri Tekstil dan Aneka: telah diberikan bantuan potongan
harga pengadaan mesin peralatan kepada 511 perusahaan TPT;
telah diberikan bantuan potongan harga pengadaan mesin
5 - 69
peralatan kepada 50 perusahaan industri Alas Kaki dan
Penyamakan Kulit; meningkatnya investasi di sektor industri
TPT dan aneka sebesar Rp.6,44 Triliun; meningkatnya
efisiensi energi sebesar 6%-18%, produktivitas sebesar 7%17%, produksi sebesar 15%-28%, dan penyerapan tenaga kerja
sebesar 55.000 orang
6.
Industri Kakao: pemberlakuan Bea Keluar biji kakao
menyebabkan beberapa industri kakao yang sebelumnya
berhenti beroperasi telah beroperasi kembali; volume ekspor
biji kakao pada tahun 2010 turun sebesar 2% dibandingkan
2009, sementara itu volume ekspor kakao olahan naik sebesar
26%; investor Malaysia telah menanamkan modal dengan
mendirikan pabrik PT. Asia Cocoa Indonesia di Batam yang
mulai beroperasi pada bulan April 2011 dengan kapasitas
55.000 ton/tahun.
7.
Industri Karet: berkembangnya industri barang karet
komponen otomotif yang high precision sehingga mampu
mensuplai OEM permintaan principal; meningkatnya minat
investasi barang karet di Sumatera Utara dan Jawa.
8.
Industri Rumput Laut: telah ditandatangani kesepakatan antar
6 (enam) Kementerian dalam rangka pengembangan industri
rumput laut; meningkatnya jumlah unit usaha dan ekspor hasil
industri rumput laut.
9.
Industri Kenderaan Bermotor: jumlah produksi KBM roda 4
pada tahun 2010 mencapai 702.781 unit dan diperkirakan pada
akhir 2011 sebanyak 800.000 unit sedangkan KBM roda 2
pada tahun 2010 mampu memproduksi 7.395.390 unit dan
diperkirakan sampai akhir tahun 2011 sebanyak 8.150.000
unit; beberapa perusahaan industri kendaraan bermotor roda 4
telah menyatakan keinginannya untuk berinvestasi dalam
pembuatan kendaraan bermotor ramah lingkungan dan hemat
energi seperti antara lain PT Astra Daihatsu Motor dan PT
5 - 70
Suzuki Indomobil; adanya komitmen investasi dari beberapa
perusahaan mobil nasional di bidang otomotif seperti PT
Suzuki Indomobil sebesar 800 juta USD, PT Astra Daihatsu
Motor sebesar Rp. 2,1 Triliun dan PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia sebesar Rp. 1,7 Triliun. Dengan
komitmen investasi tersebut, diharapkan bisa menumbuhkan
industri komponen sekitar 200 perusahaan.
10.
Industri Elektronika dan Telematika
Meningkatnya investasi industri komponen elektronika untuk
optical device pendukung industri telematika; meningkatnya
kapasitas produksi industri printer; fasilitasi pembangunan
pabrik batere kancing (coin battery) baru.
Telah dikembangkan RICE (Regional IT Center of Excellence)
di 10 (sepuluh) kota serta pengembangan IBC (Incubator
Business Center) di 3 (tiga) kota, yang diharapkan dapat
melahirkan wirausaha baru yang berkualitas dan mampu
mendukung pengembangan industri Telematika; nilai belanja
(Capex) peralatan telekomunikasi dalam negeri untuk 5 tahun
ke depan senilai hampir Rp. 150 triliun, saat ini baru sekitar
3% nya yang dibelanjakan dari produk industri telekomunikasi
dalam negeri; industri kabel optik dalam negeri telah mampu
menghasilkan produk yang berkualitas dengan kandungan
lokal mencapai lebih dari 40%. Dengan kapasitas terpasang
produksinya sekitar 930.000 km per tahun, saat ini sedang
diupayakan agar kemampuan industri kabel optik dalam negeri
tersebut dapat dimanfaatkan dalam mendukung mega proyek
"Palapa Ring".
11.
Industri Mesin Listrik dan Peralatan Listrik: pada tahun 2011,
industri dalam negeri telah mampu melaksanakan produksi
barang modal yang mampu bersaing dan memenuhi
permintaan pasar dalam negeri dan luar negeri, seperti
5 - 71
memproduksi wastewater pump, pompa industri dan
komponennya, dengan produk yang sudah digunakan di
Pertamina Balongan, mesin diesel untuk keperluan industri,
mesin proses untuk CNC; terpenuhinya berbagai kebutuhan
untuk pengecoran keperluan industri dan manufaktur di dalam
negeri; produksi dalam negeri (boiler) dalam rangka
penyediaan 10.000 MW
12.
Pengembangan Industri Kecil dan Menengah: telah dilakukan
revitalisasi sebanyak 40 UPT yang dapat melayani kurang
lebih 30 IKM, sehingga dapat diasumsikan 1200 IKM yang
dapat memanfaatkan teknologi; beberapa produk IKM seperti
IKM makanan mengalami peningkatan nilai produksi
disebabkan oleh banyaknya usaha IKM makanan ringan yang
telah menerapkan teknologi proses, diversifikasi produk dan
permintaan masyarakat yang semakin besar; beberapa produk
IKM sandang seperti IKM batik, sutera, dan tenun mengalami
peningkatan nilai produksi, hal ini terutama didorong
tumbuhnya sentra-sentra baru di beberapa daerah dalam skala
kecil, produk yang dihasilkan lebih bersifat spesifik dan khas
daerah juga meningkatnya kontribusi ekspor dengan tujuan ke
beberapa negara.
5.2.9 Ketenagakerjaan
Dengan kondisi dan permasalahan sebagaimana diuraikan di
atas, maka kebijakan ketenagakerjaan diarahkan kepada:
1.
Mendorong terciptanya kesempatan kerja yang baik (decent
work), yaitu lapangan kerja yang produktif dan memberikan
perlindungan dan jaminan sosial yang memadai;
2.
Dalam rangka memperluas lapangan kerja seluas-luasnya,
Pemerintah terus berupaya untuk menyempurnakan kebijakan
ketenagakerjaan telah dilakukan dengan menekankan kepada
prioritas pembangunan bidang ekonomi dalam rangka
5 - 72
meningkatkan daya saing ketenagakerjaan. Daya saing
tenagakerjaan mempunyai tiga fokus prioritas, yaitu: (a)
peningkatan kualitas dan kompetensi tenaga kerja untuk
mempersiapakan calon pekerja/pekerja memasuki pasar kerja,
(b) memperkuat kelembagaan hubungan industrial dan
peraturan ketenagakerjaan, dan (c) meningkatkan mobilitas
tenaga kerja dan fasilitasi perpindahan pekerja.
Antara tahun 2010—2011, jumlah pengangguran terbuka telah
menurun sekitar 472.000 orang dari 8,59 juta atau 7,41 persen dari
seluruh angkatan kerja menjadi 8,12 juta atau 6,80 persen. Jumlah
lapangan kerja yang berhasil tercipta mencapai 3,87 juta orang, yang
sebagian besarnya adalah lapangan kerja sektor jasa (3,57 juta orang)
dan disusul oleh sektor industri (657.000 orang), sementara lapangan
kerja sektor pertanian berkurang 355.000 orang. Terus menyusutnya
lapangan kerja di sektor pertanian dan meningkatnya lapangan kerja
di sektor jasa menunjukkan gejala perpindahan pekerja dari sektor
pertanian ke sektor jasa.
5 - 73
GAMBAR 5.24
ANGKATAN KERJA, BEKERJA, PENGANGGUR TERBUKA
DAN TPT, 2009—2011
119,40
14%
111,28
116,53
108,21
116,00
107,41
113,83
104,87
104,49
12%
10%
80
8%
8,14%
7,87%
7,41%
60
7,14%
6,80%
6%
4%
20
2%
8,12
8,59
8,96
8,32
40
9,26
Jumlah (juta orang)
100
0
TPT (%)
120
113,74
140
0%
Feb-­‐09
Agt-­‐09
Angkatan Kerja
Feb-­‐10
Bekerja
Agt-­‐10
Feb-­‐11
Pengangguran Terbuka
TPT (%)
Sumber: Sakernas (BPS)
TABEL 5.25
LAPANGAN KERJA
MENURUT LAPANGAN KERJA UTAMA
FEBRUARI 2009—FEBRUARI 2011
(JUTA ORANG)
Lapangan
Kerja Utama
Perubahan
2009-2010 2010-2011
-0,20
-0,36
0,43
0,66
Februari
2009
Februari
2010
Februari
2011
Pertanian
43,03
Industri
12,62
Jasa dan
48,84
Lainnya
Total
104,49
Sumber: Sakernas (BPS)
42,83
13,05
42,47
13,71
51,53
55,10
2,69
3,57
107,41
111,28
2,92
3,87
5 - 74
Selain kuantitasnya meningkat, kualitas lapangan kerja yang
tercipta pun membaik. Jumlah lapangan kerja formal meningkat 4,36
juta orang, sedangkan lapangan kerja informal menurun 485.000
orang. Dari seluruh lapangan kerja formal yang tercipta, sekitar
689.000 tenaga kerja atau 15,80 persen berhasil diserap melalui
realisasi penanaman modal baik melalui penanaman modal dalam
negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA) antara
tahun 2010 dan triwulan II/2011, dengan PMA memberikan andil
terbesar, yaitu 10,65 persen.
TABEL 5.26
LAPANGAN KERJA MENURUT STATUS PEKERJAAN
(FORMAL-INFORMAL)
FEBRUARI 2009—FEBRUARI 2011
Lapangan Kerja
Menurut Status
Pekerjaan
Perubahan
Februari
2009
Februari
2010
Februari
2011
2009-2010
2010-2011
31,88
33,74
38,10
1,86
4,36
72,60
73,67
73,18
1,07
-0,49
% Formal
30,51%
Sumber: Sakernas (BPS)
31,41%
34,24%
Formal (juta
orang)
Informal (juta
orang)
Untuk meningkatkan kualitas hubungan industrial, maka
Pemerintah terus melakukan sosialisasi untuk menyamakan persepsi
dan pemahaman tentang pelaksanaan hubungan industrial antara
Pemerintah, pelaku bisnis dan pekerja yang antara lain tekait
peraturan, tata cara penanganan dan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial, serta peningkatan teknik-teknik bernegosiasi.
Pemerintah telah mendorong terbentuknya lembaga tripartit di
tingkat nasional dan provinsi serta lembaga bipartit di tingkat
perusahaan; menyempurnakan peraturan-peraturan hubungan
industrial; serta menangani kasus-kasus perselisihan di tingkat
5 - 75
provinsi dan kasus-kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) selama
tahun 2010 dan 2011. Jumlah kasus perselisihan hubungan industrial
tahun 2010 sebanyak 325 kasus yang terdiri dari kasus pemutusan
hubungan kerja (PHK) sebanyak 80 kasus yang melibatkan 6.357
pekerja, kasus yang bersifat hak sebanyak 201 kasus, dan kasus
kepentingan sebanyak 41 kasus dan kasus antar serikat buruh/pekerja
3 kasus. Sekitar 70 persen kasus dapat diselesaikan melalui jalur
musyawarah/mufakat (bipartit).
Terkait
penyempurnaan
peraturan
ketenagakerjaan,
Pemerintah telah menyelesaikan draft penyempurnaan UndangUndang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan untuk
selanjutnya dibahas dengan lembaga legislatif. Penyempurnaan
dilakukan terhadap isu-isu antara lain tentang pengaturan mengenai
kontrak kerja dan outsourcing, pengupahan, PHK, kompensasi uang
pesangon, istirahat panjang dan penggunaan tenaga kerja asing.
Terkait dengan penyelarasan peraturan pusat dengan daerah,
Pemerintah telah mengidentifikasi dan menginventarisasi peraturan
daerah tentang hubungan industrial dan jaminan sosial. Saat ini
rekomendasi penyelarasan peraturan ketenagakerjaan daerah bidang
hubungan industrial dan jaminan sosial sedang dibahas bersama
antara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian
Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan.
Sementara itu, untuk memantapkan penerapan berbagai
peraturan ketenagakerjaan, Pemerintah telah meningkatkan kualitas
tenaga pengawas ketenagakerjan. Tahun 2010, jumlah tenaga
pengawas kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang bersertifikat
kompetensi meningkat 21,74 persen dari 69 orang menjadi 84 orang.
Jumlah perusahaan yang menerapkan manajemen K3 pun meningkat
dari 440 perusahaan pada tahun 2009 menjadi 508 perusahaan pada
Oktober 2010 atau meningkat sebanyak 68 perusahaan (naik
15,45%).
5 - 76
Upaya peningkatan kualitas dan kompetensi tenaga kerja
dilakukan antara lain dengan mengembangkan standar kompetensi
kerja dan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja, memperkuat
Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), mendorong terbentuknya
lembaga sertifikasi profesi (LSP) dan tempat uji kompetensi (TUK),
meningkatkan jumlah asesor kompetensi, serta melaksanakan
berbagai pelatihan kerja―seperti pelatihan berbasis kompetensi
(telah terlaksana untuk 11.300 orang selama Januari-Juli 2011) dan
berbasis masyarakat (2.000 orang), pemagangan (5.150 orang), dan
pelatihan kewirausahaan (4.120 orang). Selanjutnya, pengembangan
lembaga pelatihan kerja dilakukan dengan meningkatkan kualitas
tenaga pelatih/instruktur, kualitas sarana dan prasarana pelatihan, dan
kualitas manajemen pengelolaan balai latihan kerja.
Dalam rangka memberikan perlindungan TKI sejak proses
penempatan, keberangkatan dan ketika bekerja di luar negeri,
Pemerintah telah: (a) menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor PER.14/MEN/X/2010 tentang Pelaksanaan
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri; (b) menyusun draft penyempurnaan UU Nomor 39 Tahun
2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
di Luar Negeri; (c) mempertimbangkan secepatnya pelaksanaan
ratifikasi konvensi buruh migran dan keluarganya agar Indonesia
memiliki posisi tawar yang lebih kuat; (d) mengevaluasi dan
memonitor kinerja PPTKIS agar diketahui dengan cepat jika terjadi
PPTKIS yang melanggar norma-norma hukum yang berlaku; (e)
meluncurkan program Kredit Usaha Rakyat bagi TKI (KUR-TKI)
dengan tujuan untuk membantu TKI membiayai kebutuhan keuangan
selama proses pengurusan dokumen, kesehatan, dan keberangkatan.
Pada akhir tahun 2010, tiga bank siap menyalurkan KUR TKI yaitu
Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, dan Bank Negara
Indonesia (BNI). Kegiatan yang telah dilakukan terkait peningkatan
pelayanan dan perlindungan TKI dapat dicermati dalam uraian
Prioritas Nasional Bidang Ekonomi Lainnya.
5 - 77
Kegiatan yang telah dilakukan terkait pengembangan
informasi pasar kerja adalah antara lain melanjutkan pengembangan
infrastruktur pelayanan umum dan pendukung pasar kerja melalui
pengembangan bursa kerja online di tingkat kabupaten/kota,
penyelenggaraan job fair, peningkatan kerja sama antara lembaga
bursa kerja dengan perusahaan, dan pembangunan pusat layanan
informasi tenaga kerja percontohan.
5.2.10 Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Langkah-langkah perbaikan dalam pemberdayaan koperasi
dan UKM telah dilaksanakan sesuai dengan arah kebijakan
pemberdayaan koperasi dan UMKM di dalam RPJMN 2010-2014
yaitu:
1.
Meningkatkan iklim usaha yang kondusif bagi koperasi dan
UMKM, yang mencakup penataan peraturan perundangundangan di bidang koperasi dan UMKM, serta
pengembangan, pengendalian dan pengawasan koperasi;
2.
Mengembangkan produk dan pemasaran bagi koperasi dan
UMKM, yang mencakup penyediaan dukungan pemasaran,
produksi, kemitraan, investasi dan pengembangan produk
unggulan;
3.
Meningkatkan daya saing sumber daya manusia (SDM)
koperasi dan UMKM, yang mencakup pemasyarakatan dan
pengembangan kewirausahaan, kapasitas dan kompetensi
SDM, penyediaan layanan pengembangan bisnis, revitalisasi
pendidikan dan pelatihan koperasi dan UMKM, serta
peningkatan peran serta masyarakat dalam pengembangan
SDM koperasi dan UMKM;
4.
Meningkatkan akses usaha mikro dan kecil kepada
sumberdaya produktif, yang meliputi peningkatan askes
permodalan, pengembangan dan pengendalian koperasi
5 - 78
simpan pinjam yang disertai dengan peningkatan kapasitas dan
kompetensi pengelolanya, pengembangan jasa keuangan bagi
koperasi dan UMKM, dan perluasan KUR; dan
5.
Memperkuat kelembagaan koperasi, yang mencakup
peningkatan kualitas organisasi, badan hukum, dan
ketatalaksanaan koperasi, pengembangan keanggotaaan
koperasi melalui gerakan masyarakat sadar koperasi,
peningkatan
kapasitas
kelembagaan
koperasi
dan
pengembangan program pendanaan melalui koperasi.
Secara umum, kemajuan pemberdayaan koperasi ditunjukkan
oleh jumlah koperasi yang mencapai 177.482 unit pada tahun 2010,
dengan jumlah anggota mencapai lebih dari 30,46 juta orang. Jumlah
koperasi dan anggota koperasi tersebut merupakan peningkatan
masing-masing sebesar 4,15 persen dan 4,18 persen dibandingkan
posisi pada tahun 2009. Kinerja usaha koperasi juga menunjukkan
perbaikan. Volume usaha dan sisa hasil usaha koperasi pada tahun
2010 meningkat masing-masing sebesar 19,9 persen dan 5,2 persen,
dibandingkan dengan posisi pada tahun 2009.
Pemberdayaan UMKM juga menunjukkan kemajuan dari sisi
penciptaan produk domestik bruto (PDB), penciptaan lapangan kerja,
dan ekspor. Sumbangan UMKM dalam pembentukan PDB selama
tahun 2010 adalah sebesar 57,12 persen dari total PDB Nasional.
Jumlah UMKM pada tahun 2010 juga meningkat sehingga mencapai
53,82 juta unit, dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 99,40 juta
orang. Jumlah unit UMKM dan serapan tenaga kerja tersebut
meningkat masing-masing 2,01 persen dan 3,32 persen dibandingkan
posisi di tahun 2009. Sementara itu produktivitas per unit UMKM
(berdasarkan harga konstan tahun 2000) pada tahun 2010 juga
menunjukkan peningkatan sebesar 3,69 persen dari produktivitas
usaha pada tahun 2009. Namun sumbangan UMKM pada total
ekspor non migas mengalami penurunan dari 17,02 persen pada
tahun 2009 menjadi 15,81 persen pada tahun 2010.
5 - 79
Sementara itu berbagai hasil pelaksanaan kebijakan, program
dan kegiatan pemberdayaan koperasi dan UMKM pada tahun 2010
sampai dengan semester satu 2011, berdasarkan fokus-fokus prioritas
dalam RPJMN 2010-2014 dan Renstra Kementerian Koperasi dan
UKM 2010-2014, adalah sebagai berikut:
1.
Penyempurnaan dan peninjauan peraturan, yang meliputi (1)
penyusunan dan penyempurnaan Rancangan Undang-Undang
tentang Koperasi yang telah disampaikan Presiden RI kepada
DPR-RI pada 1 September 2010, dan telah dilakukan tahap
pembahasan awal di DPR-RI pada akhir tahun 2010; dan (2)
peninjauan/evaluasi terhadap 60 Perda yang berpotensi
menghambat perkembangan koperasi dan UMKM, dan
mengusulkan 38 Perda untuk pembatalan/pencabutannya ke
Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri. Untuk tahun
2011, jumlah Perda yang akan dievaluasi adalah sebanyak 40
Perda;
2.
Pemberian bantuan dana untuk mendukung pengembangan
usaha koperasi yang bergerak di berbagai sektor telah
dilaksanakan pada tahun 2010 dengan jumlah penerima
sebanyak 62 koperasi di 44 kabupaten/kota di 13 provinsi.
Pada tahun 2011, target koperasi penerima bantuan yaitu 84
koperasi, dan sampai dengan 30 Juni 2011 bantuan telah
direalisasikan kepada 66 koperasi di 49 kabupaten/kota di 15
provinsi;
3.
Perbaikan sistem usaha, standarisasi produk dan
pengembangan usaha, yang dilaksanakan melalui (1)
perkuatan kelembagaan 2 koperasi garam di Jawa Barat pada
tahun 2010 dan peningkatan produktivitas dan mutu garam
dalam mendukung Program Pengembangan Usaha Garam
Nasional (PUGAR); (2) sosialisasi dan pendampingan Hak
Kekayaan Intelektual (HaKI) bagi UMKM di lima provinsi
dengan melibatkan 250 UKM yang ditindaklanjuti dengan
5 - 80
pendaftaran sertifikasi merek sebanyak 100 produk UKM; (3)
pengembangan sentra/klaster usaha mikro dan kecil di daerah
tertinggal melalui bantuan dana bagi 500 usaha mikro dan
kecil yang disalurkan melalui 25 KSP/USP koperasi di 19
Kabupaten di 5 Provinsi; (4) pengembangan rintisan one
village one product (OVOP) melalui koperasi, yang pada
tahun 2011 telah dilaksanakan di Bengkulu, Pacitan,
Prabumulih, Tanggamus, dan Kota Palopo; dan (5) bimbingan
teknis transaksi bisnis bagi 160 UKM industri kreatif/
produsen kerajinan kayu, rotan dan bambu yang berorientasi
ekspor di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan NTB;
4.
Peningkatan jangkauan dan jaringan pemasaran produkproduk UMKM dan koperasi pada tahun 2010 dilaksanakan
melalui: (1) revitalisasi 34 unit pasar tradisional dan 500
pedagang kaki lima (PKL) yang tersebar di 34 kabupaten/kota
pada 22 provinsi dalam rangka perbaikan sarana dan sistem
pengelolaannya; (2) pemberian bantuan sarana bagi PKL di
daerah pasca gempa melalui 2 koperasi di Sumatera Barat dan
5 koperasi di Jawa Barat, serta PKL di 5 kabupaten/kota di 5
provinsi; (3) penyelenggaraan pasar rakyat di 6 lokasi dengan
melibatkan sekitar 1.300 pengusaha skala mikro dan koperasi;
(4) fasilitasi pengembangan kerja sama antara pemilik bisnis
ritel besar dan koperasi dan UMKM dalam pemasaran produkproduk koperasi dan UMKM, serta dalam peningkatan sistem
pengelolaan toko koperasi sehingga lebih modern dan berdaya
saing; dan (5) pengembangan pusat-pusat promosi SMESCO
(Small and Medium Enterprises and Coopetatives) yang
sampai dengan tahun 2011 mencakup lima SMECO UKM di
Provinsi DKI Jakarta, Sumatera Selatan; Jawa Barat, Sulawesi
Selatan, dan Sulawesi Utara;
5.
Peningkatan penyediaan pendampingan usaha dan jasa
informasi/komunikasi melalui pemberdayaan Lembaga
5 - 81
Pendamping (LPB/BDS-P), pengembangan Pusat Komunikasi
Bisnis Koperasi dan UMKM (PUSKOMBIS KUMKM) yang
dikelola oleh koperasi di 10 provinsi, dan pengembangan kerja
sama investasi dan pemasaran yang melibatkan 130 UKM;
6.
Pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi 4.035 orang SDM
koperasi dan UMKM yang meliputi diklat kewirusahaan,
keterampilan teknis di industri kreatif,
perkoperasian;
pengembangan tempat praktek keterampilan usaha (TPKU),
peningkatan kapasitas manajerial dan teknis UMKM, dan
sertifikasi pengelola koperasi jasa keuangan (KJK). Khusus
untuk sertifikasi kompetensi manajer/kepala cabang KJK, pada
tahun 2010 telah diberikan kepada 450 orang;
7.
Pemasyarakatan dan pengembangan kewirausahaan melalui:
(1) penyelenggaraan Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN)
yang meliputi pembekalan kewirausahaan bagi 6.213 sarjana
di 11 provinsi, pengembangan 200 unit TPKU pada lembaga
pendidikan di pedesaan dalam rangka menumbuhkan calon
wirausaha di kalangan siswa sekolah menengah, bimbingan
penyusunan proposal usaha teknis bagi 544 calon wirausaha
untuk mengakses permodalan dari Lembaga Pengelola Dana
Bergulir-KUMKM, dan pengembangan aplikasi untuk
mendukung penyediaan informasi bagi wirausaha; (2)
penguatan UKM tenant di inkubator teknologi dan bisnis
melalui matchmaking dengan lembaga keuangan, pelatihan emarket, dan temu bisnis; (3) penerbitan SKB Kementerian
KUKM, Kementerian Diknas, dan Kementerian Ristek tentang
Gerakan Pengembangan Inkubator Bisnis dan Teknologi
dalam Menumbuhkembangkan Wirausaha Inovatif; dan (4)
penyelenggaraan
lokakarya
internasional
terkait
pengembangan inkubator yang melibatkan peserta dari negaranegara ASEAN dan 11 inkubator dari Indonesia;
5 - 82
8.
Pemasyarakatan perkoperasian melalui Gerakan Masyarakat
Sadar Koperasi (GEMASKOP) yang mulai diluncurkan pada
tahun 2010 yang memiliki tujuan untuk (1) meningkatkan
motivasi masyarakat untuk mau berkoperasi, dan berpartisipasi
dalam memperbaiki kualitas kelembagaan dan usaha koperasi
yang ada; dan (2) mendorong pertumbuhan koperasi berskala
besar di tiap provinsi; dan
9.
Perbaikan kelembagaan koperasi pada tahun 2010
dilaksanakan melalui: (1) pembenahan koperasi tidak aktif, (2)
peningkatan
jumlah
koperasi
yang
menerapkan
pertanggungjawaban laporan keuangan yang transparan dan
akuntabel; (4) peningkatan kapasitas aparat pembina koperasi;
(4) penguatan kerja sama antar koperasi; (5) pemeringkatan
koperasi dari aspek kelembagaan yang mencakup 1.503
koperasi, dengan hasil 1,321 unit koperasi dikategorikan
sebagai koperasi yang berkualitas. Jumlah tersebut menambah
daftar koperasi berkualitas yang sampai dengan tahun 2009
sudah mencapai 53.501 koperasi. Hasil penilaian ini tidak saja
digunakan sebagai indikator kualitas kelembagaan koperasi,
namun juga diharapkan dapat menjadi ukuran bagi mitra
koperasi, terutama dari kalangan lembaga keuangan dan usaha
besar, untuk dapat menjalin kerja sama dan kemitraan dengan
koperasi.
5.2.11 Jaminan Sosial
Langkah-langkah kebijakan dan hasil yang dicapai dalam
perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat dilaksanakan
melalui program-program dan kegiatan yang berkesinambungan.
Dalam rangka pengembangan SJSN, sesuai amanat konstitusi,
akan diterapkan beberapa strategi dan kebijakan untuk perbaikan
pelaksanaan program dan kegiatan jaminan sosial, antara lain dengan
menyusun peraturan perundangan dan peraturan teknis terkait
5 - 83
pelaksanaan jaminan sosial berikut strategi transformasi badan
penyelenggara jaminan sosial. Selain itu, diperlukan upaya
sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya jaminan sosial
berbasis asuransi, serta pemahaman kepada masyarakat mengenai
prinsip-prinsip asuransi seperti kepesertaan wajib. Selanjutnya,
diperlukan sosialisasi kepada masyarakat, khususnya bagi kelompok
masyarakat miskin dan tidak mampu yang akan menjadi penerima
bantuan iuran, sehingga seluruh masyarakat tanpa kecuali akan
tercakup dalam skema jaminan sosial.
Saat ini, Pemerintah dan DPR sedang dalam proses melakukan
pembahasan RUU BPJS (Rancangan Undang-Undang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial) yang merupakan amanat UU SJSN.
Diharapkan pada tahun ini pula, RUU BPJS dapat diundangkan.
Selain itu, kegiatan lain yang dilaksanakan pemerintah dalam waktu
dekat adalah penyusunan peta jalan (roadmap) pencapaian
kepesertaan menyeluruh (universal coverage) program jaminan
kesehatan.
5.3
TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
5.3.1 Investasi
Beberapa langkah penting ke depan yang perlu dilakukan
dalam upaya peningkatan kinerja investasi antara lain adalah:
1.
5 - 84
Percepatan pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah,
terutama di pusat-pusat pertumbuhan. Untuk itu, sebagai
prasyarat diperlukan berbagai langkah perbaikan antara lain
adanya kepastian hukum penanganan prosedur akuisisi lahan,
peningkatan efektivitas koordinasi antar lembaga dalam
proyek-proyek infrastruktur, termasuk kemitraan publikswasta.
2.
Memenuhi kebutuhan energi termasuk mengembangkan
peluang dan berkembangnya penggunaan energi alternatif.
3.
Peningkatan efektivitas koordinasi antar lembaga, antar pusat
dan daerah, serta sinkronisasi kewenangan dalam rangka
peningkatan pelayanan investasi.
4.
Melaksanakan harmonisasi antar peraturan yang terkait
dengan penanaman modal, baik horisontal maupun vertikal,
serta menerbitkan perangkat peraturan lainnya untuk
mempercepat implementasi UU No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal.
5.
Melakukan upaya simplifikasi berbagai perangkat peraturan
untuk mengurangi panjangnya rantai birokrasi termasuk waktu
dan biaya untuk memulai usaha baru, menerapkan efisiensi
perijinan dengan menggabungkan berbagai ijin, dan
mengurangi persyaratan untuk memperoleh perijinan.
Menyelesaikan rencana aksi penerapan PTSP untuk
penanaman modal, malakukan pembinaan, dan peningkatan
kapasitas SDM pelaksana PTSP, termasuk memfasilitasi PTSP
dengan Sistem Pelayanan Informasi dan Perijinan Investasi
Secara Elektronik (SPIPISE).
5.3.2 Ekspor
Untuk terus meningkatkan peran ekspor nonmigas terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia, beberapa upaya tindak lanjut yang
perlu dilakukan antara lain adalah:
1.
Meningkatkan efektivitas upaya untuk peningkatan penetrasi
pasar ekspor, baik melalui promosi maupun diplomasi
perdagangan, untuk dapat meningkatkan peran ekspor
nonmigas di selain pasar ekspor utama.
2.
Meningkatkan upaya untuk memperbaiki kualitas dan mutu
produk ekspor, sehingga dapat sesuai dengan standar produk
internasional, yang antara lain akan dilakukan melalui:
pertemuan teknis peningkatan mutu, koordinasi jejaring
5 - 85
laboratorium penguji mutu, serta fasilitasi sertifikasi terhadap
dunia usaha dalam rangka penerapan SNI wajib.
3.
Meningkatkan kesadaran pelaku usaha dalam negeri tentang
adanya instrumen pengamanan perdagangan yang dapat
dimanfaatkan untuk melindungi produk domestik. Upaya ini
antara lain akan dilakukan melalui desiminasi informasi
berupa sosialisasi dan advokasi tentang mekanisme pengajuan
dan penggunaan BMAD serta instrumen lainnya.
5.3.3 Pariwisata
Dalam rangka meningkatkan kinerja pariwisata, tindak lanjut
yang diperlukan antara lain:
1.
Meningkatkan daya saing destinasi pariwisata nasional melalui
penataan dan penguatan manajemen destinasi pariwisata,
peningkatan daya tarik wisata bahari dan budaya; mendorong
dan memfasilitasi perbaikan dan peningkatan kualitas jaringan
prasarana dan sarana pendukung pariwisata; melakukan
konsolidasi akses transportasi mancanegara dalam dan luar
negeri; meningkatkan daya tarik pariwisata di pulau-pulau
terdepan dan wilayah perbatasan yang mempunyai potensi
pariwisata; dan mengembangkan desa wisata melalui PNPM
Mandiri;
2.
Mengembangkan usaha, industri dan investasi pariwisata,
terutama yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi,
pengentasan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja antara
lain melalui penciptaan iklim yang kondusif dengan penataan
kebijakan usaha pariwisata; penyusunan dan penerapan
pedoman sertifikasi usaha, pengaturan usaha dan kompetensi
tenaga kerja di bidang kepariwisataan;
3.
Mengembangkan pemasaran dan promosi pariwisata di dalam
dan di luar negeri melalui peningkatan efektifitas pemasaran
5 - 86
dan promosi pariwisata terpadu berbasis teknologi informasi
dan komunikasi, dan responsif terhadap pasar; pengembangan
analisa dan informasi pasar; dan memfasilitasi pembentukan
Badan Promosi Pariwisata Indonesia;
4.
Mengembangkan sumber daya pariwisata melalui penguatan
sumber daya pariwisata dengan mendorong peningkatan
kapasitas pemerintah dan pemangku kepentingan pariwisata
lokal untuk mencapai tingkat mutu pelayanan dan hospitality
management yang kompetitif di kawasan Asia; pengembangan
dan penguatan kelembagaan kepariwisataan, dan mendorong
peningkatan kualitas penelitian dan pengembangan
kepariwisataan;
5.
Meningkatkan koordinasi lintas sektor pada tataran kebijakan,
program, dan kegiatan kepariwisataan, terutama di bidang
pelayanan kepabeanan keimigrasian, dan karantina; keamanan
dan ketertiban; prasarana umum yang mencakup jalan, air
bersih, listrik, telekomunikasi, dan kesehatan lingkungan;
transportasi darat, laut, dan udara; promosi dan kerjasama luar
negeri; dan koordinasi dan kerja sama dengan pemerintah
daerah, swasta, dan masyarakat.
5.3.4 Konsumsi Masyarakat
Untuk terus meningkatkan peran perdagangan dalam negeri
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat, beberapa upaya tindak lanjut yang perlu
dilakukan antara lain adalah:
1.
Meningkatkan intensitas pemantauan harga dan suplai
kebutuhan pokok di seluruh Indonesia melalui optimalisasi
sistem peringatan dini (Early Warning System/EWS); serta
efisiensi jalur distribusi, terutama barang-barang pokok,
sehingga dapat dilakukan langkah antisipasi untuk meredam
5 - 87
kenaikan harga akibat adanya gangguan suplai maupun
lonjakan permintaan di hari-hari raya keagamaan.
2.
Peningkatan upaya perlindungan terhadap konsumen dan pasar
domestik, melalui upaya pencegahan barang-barang impor
ilegal, penerapan SNI untuk produk-produk industri yang
beredar, serta peningkatan efektivitas upaya perlindungan
konsumen lainnya seperti meningkatkan awareness konsumen
dengan memberikan advisory.
3.
Peningkatan
penggunaan produk dalam negeri dan
peningkatan citra produk Indonesia, sehingga masyarakat
Indonesia lebih memilih untuk menggunakan barang produksi
dalam negeri dibandingkan dengan barang impor.
4.
Peningkatan penegakan hukum persaingan usaha ke depan
akan difokuskan pada empat kegiatan prioritas yaitu:
Investigasi Dugaan Pelanggaran Persaingan Usaha Sehat;
Penindakan Pelanggaran Persaingan Usaha Sehat; Penilaian
dan Notifikasi Merger dan Akuisisi, serta Harmonisasi
Kebijakan Persaingan Usaha. Upaya ini tentunya akan diiringi
pula dengan sosialisasi yang intensif kepada dunia usaha dan
masyarakat luas, sehingga peran persaingan usaha dalam
mendorong perekonomian akan menjadi lebih besar.
5.3.5 Keuangan Negara
Dengan berbagai tantangan yang akan dihadapi, kebijakan
fiskal diarahkan untuk menjaga defisit anggaran tetap terkendali
tanpa mengurangi dukungan terhadap peningkatan pengelolaan
ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai sasaran tersebut
perlu dilakukan kebijakan paralel berupa optimalisasi penerimaan
Negara yang disertai dengan efisiensi belanja dan penyesuaian
pembiayaan.
5 - 88
Dalam mencapai optimalisasi sumber-sumber pendapatan
negara diperlukan berbagai langkah-langkah kebijakan. Untuk
penerimaan perpajakan, pemerintah melakukan langkah-langkah
kebijakan yang masih merupakan kelanjutan dari kebijakan tahuntahun sebelumnya, yaitu: (a) penggalian potensi perpajakan melalui
perbaikan basis data WP dan pelaksanaan sensus pajak nasional; (b)
peningkatan kualitas pemeriksaan pajak; (c) penyempurnaan
mekanisme atas keberatan dan banding dalam proses pengadilan
pajak; (d) peningkatan pengawasan dan pelayanan di bidang
kepabeanan dan cukai; (e) perbaikan sistem informasi; (f) konsistensi
pelaksanaan road map cukai hasil tembakau; (g) pemberian insentif
perpajakan dalam bentuk pajak DTP. Selain itu, untuk memperbaiki
sistem administrasi perpajakan, pemerintah mengalihkan BPHTB
menjadi pajak daerah pada tahun 2011, serta PBB perdesaan dan
perkotaan secara bertahap sampai dengan 2014.
Sementara itu di bidang kepabeanan, optimalisasi dilakukan
antara lain melalui peningkatan akurasi penelitian nilai pabean dan
klasifikasi barang impor, peningkatan efektivitas pemeriksaan fisik
barang, peningkatan kolektibilitas piutang kepabaenan dan cukai,
dan peningkatan pengawasan di daerah perbatasan, terutama jalur
rawan penyelundupan, serta optimalisasi fungsi unit pengawasan
melalui peningkatan patroli darat dan laut. Di bidang cukai, tindak
lanjut yang diperlukan antara lain berupa konsistensi pelaksanaan
road map cukai dan ekstensifikasi barang kena cukai. Dari sisi
penerimaan negara bukan pajak, langkah-langkah optimalisasi juga
akan terus dilakukan, terutama dari penerimaan SDA dan bagian laba
atas BUMN.
Dari sisi belanja, sebagai bentuk pengalokasian belanja yang
efisien dan efektif, belanja pemerintah pusat diarahkan untuk
mendukung program-program yang masuk dalam 11 prioritas
pembangunan. Sementara itu, belanja pegawai diarahkan untuk
mendukung pelaksanaan reformasi birokrasi dengan tetap
5 - 89
memperhatikan kemampuan anggaran. Alokasi belanja modal
diarahkan untuk mendukung upaya percepatan pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas. Selain itu, upaya untuk mengurangi
belanja subsidi yang tidak tepat sasaran tetap dilanjutkan.
Transfer ke daerah terus diupayakan untuk: (a) meningkatkan
kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan fiskal antara
pusat dan daerah dan antar-daerah; (b) menyelaraskan kebutuhan
pendanaan di daerah sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan
antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota; (c) meningkatkan kualitas
pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan
public antar-daerah; (d) mendukung kesinambungan fiskal nasional
dalam rangka kebijakan ekonomi makro; (e) meningkatkan
kemampuan daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah; (f)
meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; (g)
meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional
dengan
rencana
pembangunan
daerah;
(h)
mendukung
kesinambungan fiskal nasional dalam rangka kebijakan ekonomi
makro.
Dari sisi pembiayaan, langkah-langkah yang tetap harus
dipertahankan adalah dengan tetap mengutamakan penerbitan SBN
(SUN dan Sukuk) rupiah di pasar domestik, sementara pinjaman
Luar Negeri/PLN diprioritaskan dari sumber yang efisien, berisiko
rendah, dan tanpa agenda politik. Selain itu, penggunaan dana SAL
untuk menutupi kekurangan pembiayaan juga harus menjadi
prioritas.
5.3.6 Moneter
Stabilitas harga dan nilai tukar Rupiah serta pengamanan
pasokan bahan pokok, diarahkan pada peningkatan dan pemantapan
koordinasi otoritas fiskal, moneter dan keuangan serta sektor riil
(produksi, perdagangan dalam negeri dan ekspor-impor). Hal
tersebut disertai dengan peningkatan koordinasi kebijakan kerjasama
5 - 90
luar negeri dan koordinasi kebijakan infrastruktur transportasi, serta
meningkatkan kapasitas dan peran aktif para pemangku kepentingan
daerah dalam pengendalian stabilitas ekonomi di tingkat lokal
(Propinsi dan Kabupaten /Kota). Melalui kebijakan tersebut
diharapkan laju inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah dapat terjaga.
Selain itu, upaya tersebut didukung pula oleh upaya pembangunan
dan pengembangan sarana distribusi, pengembangan pasar lelang
daerah serta peningkatan perlindungan konsumen.
Adapun strategi secara rinci akan ditempuh adalah sebagai
berikut:
1.
2.
3.
4.
Meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan fiskal
dan moneter serta kebijakan terkait lainnya dalam rangka
pengendalian inflasi sesuai dengan sasaran yang ditentukan
(inflation targetting).
Menjaga stabilitas harga dan pengamanan produksi/pasokan
dan distribusi barang/jasa, terutama bahan makanan pokok
yang harganya mudah bergejolak, baik di perkotaan maupun di
perdesaan antara lain melalui percepatan pelaksanaan Sistem
Logistik Nasional;
Mendorong keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, baik
di pusat (Kementerian/Lembaga terkait serta asosiasi
produsen/ pedagang dan asosiasi konsumen) maupun di daerah
(provinsi dan kabupaten/kota) dalam pemantauan, evaluasi,
dan pengendalian perkembangan harga bahan pokok secara
intensif. Untuk itu akan didorong perluasan pembentukan Tim
Pengendali Inflasi Daerah (TPID), baik di tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota terkait;
Mengembangkan dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang
terkoordinasi untuk mengatasi masalah struktural, seperti
percepatan pembangunan infrastruktur serta reformasi
regulasi/kebijakan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi,
5 - 91
5.
6.
7.
baik di pusat (Kementerian/Lembaga) maupun daerah
(provinsi dan kabupaten/kota);
Meningkatkan kualitas kelembagaan termasuk pola pikir dunia
usaha dan masyarakat bahwa kenaikan harga yang rendah dan
wajar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
mengurangi tingkat kemiskinan;
Meningkatkan fungsi pengawasan mandiri masyarakat untuk
mengendalikan inflasi antara lain melalui sosialisasi kebijakan
pengendalian harga dan kebijakan terkait lainnya, peningkatan
peran lembaga konsumen dan lembaga-lembaga survei
pemantau harga untuk ikut memantau perkembangan harga di
daerah sehingga kenaikan harga selanjutnya dapat cepat
diantisipasi.
Mendorong pengembangan bauran kebijakan moneter serta
kebijakan makroprudensial terutama untuk pengelolaan ekses
likuiditas dan arus modal asing untuk mengurangi dampak
negatif dari aliran masuk modal asing dan ketidakstabilan
perekonomian global terhadap perekonomian domestik dan
sistem keuangan nasional.
5.3.7 Sektor Keuangan
Posisi perbankan hingga saat ini masih sangat diharapkan dan
diperlukan
sebagai
agen pembangunan dan
katalisator
pertumbuhan ekonomi dalam pembiayaan terhadap sektor riil.
Namun perlu diwaspadai masih tingginya marjin antara suku bunga
kredit dan suku bunga deposito, yang menunjukkan adanya
inefisiensi di dalam industri perbankan. Upaya untuk meningkatkan
efisiensi perbankan telah dimulai semenjak 2010, antara lain dengan
dikeluarkannya ketentuan kewajiban untuk mengumumkan suku
bunga dasar kredit peminjam utama (prime lending rate). Namun,
perlu terus diupayakan langkah-langkah proaktif untuk
meningkatkan efisiensi industri perbankan dengan membantu bank
untuk dapat mengindentifikasi sumber inefisiensi dan mencari cara
5 - 92
untuk meningkatkan efisiensi agar penetapan suku bunga kredit
menjadi lebih wajar. Upaya peningkatan efisiensi industri perbankan
juga didorong melalui pendalaman pasar keuangan (financial
deepening). Di samping itu, program konsolidasi untuk mewujudkan
perbankan yang sehat, kuat, dan kompetitif tetap didorong untuk
dilanjutkan yang disertai dengan upaya-upaya peningkatan sinergi
antara berbagai jenis bank melalui penyempurnaan Arsitektur
Perbankan Indonesia (API).
Selain itu, untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap
layanan jasa keuangan yang relatif masih rendah, sedang dirumuskan
strategi nasional keuangan inklusif sebagai kerangka acuan yang
memuat langkah-langkah strategis. Hal ini diupayakan dalam rangka
membuka akses masyarakat yang belum terhubung dengan jasa
keuangan, maupun lembaga perbankan, termasuk pencanangan
Gerakan Ayo Menabung dan Program TabunganKu.
Industri perbankan dan keuangan syariah secara umum
memiliki potensi besar untuk berkontribusi secara lebih optimal
dalam mendukung stabilitas makroekonomi, meningkatkan harkat
dan kesejahterahan usaha mikro dan kecil, serta mengatasi
permasalahan kesenjangan antara perkembangan sektor keuangan
dan sektor riil (financial detachment). Kontribusi yang lebih optimal
dapat lebih mudah diwujudkan apabila pangsa dan volume kegiatan
usaha keuangan syariah di Indonesia mencapai besaran yang
signifikan. Oleh sebab itu, diharapkan upaya maksimal dari seluruh
pemangku kepentingan dalam: (i) memenuhi kebutuhan SDM bank
syariah, (ii) meningkatkan pemahaman masyarakat dan kepedulian
semua pihak terhadap perbankan syariah, (iii) mengeluarkan regulasi
dan peraturan perbankan yang semakin mendukung perkembangan
bank dan pasar keuangan syariah, (iv) meningkatkan infrastruktur
pendukung operasi perbankan syariah, serta (v) meningkatkan peran
pemerintah utamanya pengelolaan dana haji dan penempatan dana
yang lebih besar di industri perbankan syariah.
5 - 93
Tindak lanjut yang perlu dilakukan untuk mendorong
pengembangan dan pemberdayaan UMKM dari sisi pembiayaan
antara lain: (i) meningkatkan upaya-upaya pemberian bantuan teknis
kepada pemangku kepentingan yang terkait untuk akses pembiayaan
perbankan, serta (ii) melakukan koordinasi dengan Otoritas
Perbankan dalam upaya pengembangan kelembagaan seperti
program linkage program, perluasan lembaga penjaminan kredit
daerah, penguatan kelembagaan BPR, pendirian lembaga-lembaga
yang mendorong akses kredit ke UMKM, pengembangan Apex bank
bagi UMKM, serta kegiatan lainnya.
Upaya pencegahan TPPU dan pendanaan terorisme dilakukan
melalui penerapan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) antara lain: (i) pembuatan
nomor identitas tunggal (single identiy number) bagi semua warga
negara Indonesia, (ii) pengelolaan basis data secara elektronik dan
ketersambungan (connectivity) basis data antar instansi terkait, serta
(iii) peningkatan pengawasan kepatuhan penyedia jasa keuangan.
Pada tahun mendatang arah kebijakan dalam meningkatkan
ketahanan sektor keuangan akan dilakukan melalui: (i) pemantapan
koordinasi kebijakan fiskal, moneter dan sektor keuangan termasuk
kerja sama dengan otoritas pasar modal dan lembaga jasa keuangan
di negara lain, (ii) perkuatan lembaga pengawas jasa keuangan
(Otoritas Jasa Keuangan/OJK) termasuk infrastruktur pendukungnya
seperti Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), Arsitektur Sektor
Keuangan Indonesia (ASKI) dan sistem peringatan dini (early
warning system – EWS) bagi potensi krisis keuangan sistemik, (iii)
perkuatan kualitas manajemen dan operasional lembaga jasa
keuangan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan kemudahan
bertransaksi serta pelaporan di bidang pasar modal/lembaga jasa
keuangan, serta (iv) perkuatan perlindungan bagi konsumen/investor
lembaga jasa keuangan termasuk pemantapan koordinasi penegakan
hukum di bidang pasar modal dan lembaga jasa keuangan.
5 - 94
5.3.8 Industri
Pelaksanaan RPJMN 2010-2014 bidang industri ke depan akan
diarahkan untuk menumbuhkan industri-industri komoditi unggulan
di koridor-koridor ekonomi menurut Master Plan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Koridor ekonomi merupakan pendekatan pembangunan untuk
lebih meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam pada lokasi yang
bersangkutan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi di
daerah penghasil. Untuk dapat mendorong pertumbuhan
pemanfaatan sumber daya alam tersebut diperlukan berbagai
infrastruktur yang terintegrasi dalam suatu struktur ruang spasial atau
kewilayahan di Indonesia, serta dukungan berbagai instrumen yang
dimiliki pemerintah baik berupa insentif fiskal maupun administratif.
Pemerintah merencanakan pengembangan Koridor Ekonomi
Indonesia, yang terbagi dalam 6 (enam) koridor, yaitu Koridor
Ekonomi Pantai Timur Sumatera - Jawa Barat Laut, Koridor
Ekonomi Jawa Utara, Koridor Ekonomi Kalimantan, Koridor
Ekonomi Sulawesi, Koridor Ekonomi Jawa Timur – Bali - Nusa
Tenggara, dan Koridor Ekonomi Papua. Sementara itu Klaster
industri yang akan dikembangkan untuk mendukung MP3EI antara
lain : (1) industri hilir kelapa sawit, (2) industri hilir karet, (3)
industri berbasis migas kondensat, (4) industri baja, (5) industri
nikel, (6) industri aluminium, (7) industri galangan kapal, dan (8)
industri telematika.
Mengingat sumber daya yang tersedia terbatas, maka
diusulkan perlu difokuskan pembangunan koridor ekonomi pada 2
(dua) wilayah untuk dikembangkan yaitu (1) Koridor Pantai Timur
Sumatera - Jawa Barat Laut, dan (2) Koridor Ekonomi Jawa Utara.
Adapun klaster industri yang berlokasi di kedua koridor ekonomi
tersebut di atas yaitu:
5 - 95
1.
2.
Koridor Pantai Timur Sumatera - Jawa Barat Laut
• Industri Hilir Kelapa Sawit di Sei Mangke Sumatera Utara;
• Industri Hilir Kelapa Sawit di Dumai dan Kab.Kuala Enok
Riau;
• Industri Hilir Karet di Sei Bamban, Sumatera Utara;
• Industri Hilir Karet di Sarolangun, Jambi;
• Industri Hilir Karet di Muara Enim, Sumatera Selatan;
• Industri Hilir Karet di Bandung, Subang dan Bogor, Jawa
Barat;
• Industri Berbasis Migas di Cilegon Banten;
• Industri Alumunium di Kuala Tanjung Sumatera Utara;
• Industri Galangan Kapal di Karimun Kepulauan Riau.
Koridor Ekonomi Jawa Utara :
• Industri berbasis Migas Kondensat di Gresik dan Tuban, Jawa
Timur;
• Industri Galangan Kapal di Lamongan, Jawa Timur;
• Industri Telematika di wilayah Jakarta-Bandung;
• Industri Telematika di wilayah Solo-Kudus-Salatiga.
Pembangunan industri dalam rangka mendorong percepatan
pembangunan Papua, Papua Barat dan NTT, akan dilaksanakan
melalui: pembangunan Industri Semen di Manokwari; pembangunan
Pabrik Pupuk Urea di Tangguh; pembangunan Pabrik Petrokimia di
Tangguh; peningkatan Kemampuan SDM Perbengkelan Roda-2 dan
Roda-4; penumbuhan Industri Kecil dan Menengah (IKM) kakao,
kopi, ubi jalar, rumput laut, pengolahan ikan, pengolahan kayu dan
rumput laut; pengembangan industri garam di NTT.
Kemudian untuk mendukung penguatan program pro rakyat (6
program klaster 4), akan dilakukan fasilitasi desain kendaraan
angkutan umum murah. Selain itu mengenai isu ASEAN-China Free
Trade Agreement (ACFTA), peningkatan kemampuan industri
nasional dalam menghadapi ACFTA akan dilaksanakan melalui
peningkatan penggunaan produksi dalam negeri (verifikasi Tingkat
5 - 96
Kandungan Dalam Negeri /TKDN); penguatan Standar Nasional
Indonesia (SNI); meningkatkan kemampuan infrastruktur
laboratorium uji Balai Besar dan Baristand dalam mendukung
percepatan penerapan SNI.
5.3.9
Ketenagakerjaan
Tindak lanjut yang diperlukan adalah:
1.
Terkait
penyempurnaan
dan
penegakan
peraturan
ketenagakerjaan:
(a)
mengupayakan
penyelesaian
penyempurnaan UU Nomor 13 Tahun 2003 pada tahun 2011
dan UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja; (b) menyusun data perusahaan yang berpotensi rawan
masalah ketenagakerjaan dan rawan resiko kecelakaan kerja;
dan
(c)
meningkatkan
kualitas
tenaga
pengawas
ketenagakerjaan.
2.
Terkait peningkatan kualitas dan kompetensi tenaga kerja: (a)
bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk meningkatkan
jumlah dan kualitas instruktur; (b) mengembangkan lembaga
pelatihan kerja, baik milik Pemerintah maupun swasta, sesuai
rencana pengembangan sektor pembangunan di wilayah
koridor ekonomi; dan (c) menyelesaikan penyusunan peta
kebutuhan kompetensi industri manufaktur dan nonmanufaktur.
3.
Terkait fasilitasi TKI bekerja di luar negeri dan mengurangi
permasalahan TKI: (a) percepatan implementasi SIM-TKI
dengan kementerian/lembaga terkait; (b) menetapkan
mekanisme penanganan pengaduan, sehingga diharapkan pada
tahun 2012 seluruh pengaduan yang diterima oleh hotline
service dapat ditangani dalam waktu 2x24 jam; (c) sosialisasi
komprehensif tentang prosedur dan persyaratan bekerja ke luar
negeri secara terus menerus di kantong-kantong TKI; (c)
meningkatkan pelayanan dokumen, kesehatan, keimigrasian,
5 - 97
termasuk pemberian kartu tenaga kerja luar negeri (KTKLN);
(d) melakukan pendidikan dan pelatihan serta pembekalan
sesuai kebutuhan TKI; (e) menetapkan sistem dan prosedur
pengamanan TKI, dan meningkatkan akses layanan bantuan
hukum di perwakilan RI; (f) melaksanakan perundingan
dengan negara penempatan dalam bentuk pembuatan MOU;
(g) meningkatkan kerjasama dalam forum-forum bilateral,
regional, dan multilateral; (h) memaksimalkan fungsi shelter
di perwakilan negara dan memperkuat citizen services; serta
(i) mempercepat penyempurnaan UU Nomor 39 Tahun 2004
dan meratifikasi konvensi buruh migran dan keluarganya.
4.
Terkait pengembangan informasi pasar kerja: (a)
memperbanyak pusat layanan informasi tenaga kerja terutama
di pusat-pusat pengembangan koridor ekonomi; (b)
menuntaskan pembuatan sistem informasi pasar kerja online;
dan (c) meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di pusat
layanan informasi pasar kerja.
5.3.10 Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Berdasarkan hasil-hasil pelaksanaan kebijakan, program dan
kegiatan pemberdayaan koperasi dan UMKM sampai dengan Juni
2011, beberapa tindak lanjut yang masih perlu dilakukan adalah
sebagai berikut:
1.
Percepatan pembahasan RUU tentang Koperasi untuk
menggantikan UU No. 25 tahun 1992 mengenai Koperasi,
serta pemantauan tindak lanjut dari penyampaian rekomendasi
pembatalan/pencabutan 38 Perda yang menghambat
perkembangan koperasi dan UMKM dari Kementerian terkait;
2.
Dukungan bagi pengembangan ragam fasilitas pembiayaan
untuk memenuhi kebutuhan koperasi dan UMKM sesuai taraf
perkembangan dan bidang usahanya, seperti modal awal usaha
(start-up capital), pembiayaan untuk UMKM berbasis
5 - 98
teknologi, anjak piutang, sewa guna usaha, dan skim kredit
lainnya;
3.
Dukungan dalam perbaikan sistem produksi pada koperasi dan
UMKM dalam rangka peningkatan produktivitas, yang disertai
dengan penerapan standar kualitas produk dan penerapan
teknologi;
4.
Dukungan bagi peningkatan akses koperasi dan UMKM
kepada pasar, baik melalui peningkatan sarana prasarana,
perbaikan sistem pemasaran, pengembangan kerja sama
pemasaran, maupun penyediaan informasi pasar;
5.
Penyelesaian
cetak
biru
(blueprint)
pengembangan
kewirausahaan nasional yang menjadi panduan bagi upayaupaya pemasyarakatan budaya usaha dan kewirausahaan baik
dikalangan pemuda, wanita, maupun masyarakat secara
umum;
6.
Revitalisasi sistem pendidikan dan pelatihan bagi SDM
koperasi dan UMKM, termasuk menggiatkan kembali
penyuluhan perkoperasian;
7.
Penguatan lembaga penyedia jasa pengembangan usaha
sebagai
mitra
pemerintah
dalam
pembinaan
dan
pendampingan koperasi dan UMKM;
8.
Peningkatan pemahaman masyarakat mengenai praktik
berkoperasi yang baik, yang disertai dengan pemasyarakatan
contoh-contoh koperasi yang sukses yang dikelola sesuai
dengan nilai dan prinsip-prinsip koperasi yang baik dan sesuai
dengan jati dirinya; dan
9.
Peningkatan koordinasi dengan kementerian dan lembaga
terkait di tingkat pusat, pemerintah daerah, BUMN, perguruan
tinggi, dan organisasi kemasyarakatan dalam pemberdayaan
koperasi dan UMKM.
5 - 99
5.3.11 Jaminan Sosial
Dalam mengatasi permasalahan dalam pembangunan
perlindungan dan kesejahteraan sosial, diperlukan penyempurnaan
sistem jaminan sosial khususnya bagi penduduk miskin, dan rentan
melalui peningkatan kualitas pelayanan serta perluasan kepesertaan.
Pelaksanaan jaminan sosial nasional akan memberikan banyak
manfaat di masa depan, sehingga pengembangan SJSN ke depan
akan memerlukan beberapa strategi dan kebijakan dalam rangka
perbaikan pelaksanaan program dan kegiatan jaminan sosial, serta
akan melibatkan peran dari pemangku kepentingan terkait
penyelenggaraan jaminan sosial.
Beberapa kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain adalah
penyusunan peraturan perundangan dan peraturan teknis terkait
dengan pelaksanaan jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja,
jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun. Selain itu,
juga akan disiapkan peraturan teknis mengenai pemberian bantuan
iuran, dan kepesertaan, termasuk strategi transformasi badan
penyelenggara jaminan sosial.
5 - 100
Download