Project ULAMA: MENDAYUNG DI ANTARA

advertisement
Edisi 013, April 2012
Review Buku
Review Buku, Edisi 013, April 2012
Pro
je
D
ig
ital
ct
n
a
ka
ULAMA: MENDAYUNG DI
ANTARA BANYAK KARANG
Ulil Abshar-Abdalla
1
Edisi 013, April 2012
Informasi
Review Buku Buku: Muhammad Qasim
Zaman, The Ulama in Contemporary
Islam; Custodians of Change, (Princeton:
Princeton University Press, 2002), 293
halaman.
o
ABSTRAK
c
cy
a
r
Dem
Studi mengenai ulama, ter utama pandangan
keagamaan mereka, akhir-akhir ini agaknya
kurang begitu diminati oleh kalangan
sar jana modern, baik di Barat maupun
di dunia Islam sendiri. Alasannya tentu
banyak. Di kalangan sar jana Barat,
perhatian akademis dalam kur un waktu
satu hing ga dua dekade terakhir ini lebih
banyak dicurahkan untuk melihat fenomena
“Islamic resistance”, pembangkangan
kelompok-kelompok di dalam masyarakat
Islam terhadap apa yang secara ambigu
disebut dengan Barat. Studi mengenai ulama
tampak kurang “sexy”.
Pe
rp
us
Alasan lain berkaitan dengan semacam
“modernist prejudice”: bahwa ulama adalah
kateg ori sosial yang statis. Mereka adalah
relik dari masa lampau yang sama sekali
kurang lagi relevan saat ini. Alasan-alasan
2
ta
Edisi 013, April 2012
Review Buku
ini secara eksplisit disebutkan oleh Qasim
Zaman dalam bukunya yang kita diskusikan
saat ini, The Ulama in Contemporar y Islam
(2002).
Pro
je
ct
I
S
D
ig
ital
aya tambahkan alasan lain terkait
dengan ketiadaan perhatian yang
cukup di kalangan sarjana Islam sendiri
terhadap ulama sebagai kelas sosial.
Di kalangan yang terakhir ini, ada
sekurang-kurangnya dua sikap: yang
pertama adalah anggapan bahwa
ulama adalah suatu kelas sosial yang
perannya sudah dianggap alamiah,
“given”, dalam masyarakat Islam. Secara
normatif mereka diandaikan sebagai
kelas sosial yang sudah seharusnya ada
sebagai “the guardian of faith”, atau
dalam rumusan yang populer: sebagai
pewaris para Nabi (warathat al-anbiya’).
Yang kedua, “modernist prejudice”,
hingga tingkat tertentu, juga diidap
oleh sebagian sarjana Muslim: mereka
n
a
ka
3
Edisi 013, April 2012
Review Buku
memandang kelas sosial yang terakhir ini
sebagai peninggalan masa lampau yang
cenderung menentang perubahan.
c
cy
a
r
Dem
o
Pandangan-pandangan semacam ini
“menderita” kelemahan yang sama:
seolah-olah ulama adalah kelas sosial
yang membeku, dan cenderung gagal
menyesuaikan diri dengan perubahan. Di
hadapan perubahan yang terus mengalir
tanpa bisa dibendung, ulama, dalam
pandangan yang klise ini, hanya bisa
mengulang-ulang mantra yang sama,
yaitu taqlid. Pandangan semacam ini
yang hendak dikoreksi oleh Muhammad
Qasim Zaman dalam bukunya ini. Tesis
utama buku ini ialah bahwa ulama
bukan sekedar penjaga tradisi tapi juga
pengawal perubahan – “custodian of
change”, meminjam istilah Zaman.
Qasim mencoba melihat posisi ulama
sebagai kelas sosial yang terjepit di
antara dua model “intelektual baru”
dalam masyarakat Islam, yaitu intelektual
modernis yang, di hadapan Barat yang
perkasa, cenderung bersikap apologetik,
dan intelektual Islamis yang secara kaku
hendak menghidupkan corak Islam
Pe
rp
4
us
ta
Edisi 013, April 2012
Review Buku
Pro
yang pristin dari masa lampau di masa
modern. Kedua kelompok intelektual ini,
mempunyai sikap yang sama terhadap
pada ulama dalam pengertian tradisional
yang dikenal selama ini oleh umat Islam
di manapun: yaitu, mereka cenderung
sinis dan mengambil jarak.
je
D
ig
ital
ct
Peralatan hermeneutis yang selalu
dipakai oleh ulama dalam menghadapi
setiap bentuk perubahan adalah taklid.
Tetapi, taklid sering disalah-artikan
oleh baik kalangan sarjana Barat atau
Muslim yang mengidap “modernist
prejudice”. Zaman merujuk kepada
penelitian yang pernah dilakukan oleh
Sherman Jackson tentang seorang
juris dari lingkungan mazhab Maliki,
Shihabuddin al-Qarafi (w. 1285).
Dengan baik, Jackson memperlihatkan
bahwa taklid bukan sekedar merawat
keterhubungan dengan tradisi dari
masa lampau, tetapi juga sarana untuk
menjaga otonomi bagi model diskursus
tertentu yang dikembangkan oleh para
ulama – otonomi yang dibutuhkan
oleh kalangan yang terakhir ini untuk
melindungi dirinya dari intervensi politik
n
a
ka
5
Edisi 013, April 2012
Review Buku
c
cy
a
r
Dem
o
dari penguasa. Taklid juga bukan berarti
ketiadaan sikap lentur (inflexibility)
dan kekakuan. Mengutip observasi
Martin van Bruinessen yang membuat
pengamatan berdasarkan penelitiannya
di Indonesia, Zama menyatakan
bahwa. “Taqlid is notnecessarily rigid.
Ironically, in the late 20th century,
traditionalist ulama [of Nahdlatul
Ulama] often appear more flexible than
the [modernist] spokesmen for reformist
Islam.” (hal. 188).
Pe
Dengan kata lain, bagi Zaman, ulama
bukanlah kelas sosial yang statis.
Pandangan-pandangan mereka
terus berubah dari waktu ke waktu,
dan kemampuan mereka untuk
menyesuaikan diri dengan zaman, sambil
terus menjaga tradisi yang mereka warisi
dari masa lampau, terutama tradisi
mazhab, sangat mengagumkan. Meang,
kata Zaman, kesediaan para ulama itu
untuk berkompromi terhadap perubahan
itu bukanlah karena mereka memang
sejak awal membela perubahan, tetapi
karena alasan “survival”, menjaga
rp
6
us
ta
Edisi 013, April 2012
Review Buku
Pro
keutuhan dan integritas tradisi. Dengan
kata lain, para ulama itu memang
cenderung menerima perubahan karena
hanya dengan begitulah tradisi mereka
bisa terus dirawat. Jika mereka tak
melakukan itu, boleh jadi yang harus
dikorbankan adalah tradisi mereka
sendiri.
je
ct
D
ig
ital
Fokus penelitian Zaman adalah ulama di
kawasan India dan Pakistan, meskipun
secara komparatif dia mencoba melihat
perubahan-perubahan yang terjadi pada
institusi ulama di banyak negeri lain,
seperti Mesir dan Saudi Arabia. Melalui
bukunya ini, Zaman ingin menunjukkan
bahwa lembaga ulama, dengan seluruh
tantangan yang dihadapinya, bukan saja
tetap bertahan hingga sekarang tetapi
mencoba untuk tetap relevan hingga
saat ini.
n
a
ka
II
Apa yang disebut ulama dalam buku
Zaman ini ialah kelas sosial dalam
masyarakat Islam yang mendasarkan
legitimasi sosialnya pada peran
7
Edisi 013, April 2012
Review Buku
c
cy
a
r
Dem
o
intelektual sebagai penerus tradisi
pemikiran yang berasal dari Islam klasik.
Medium melalui mana kelas sosial ini
melakukan transmisi intelektual adalah
madrasah. Diskursus utama yang
dikembangkan oleh kelas sosial ini ialah
kajian ilmu agama/Islam dengan metode
tertentu. Dalam konteks madrasah
yang berkembang di India dan Pakistan,
salah satu contoh penting dari tradisi
ini digambarkan melalui kurikulum
yang disebut dengan dars-i nizami
yang mula-mula diadopsi oleh lembaga
pendidikan yang didirikan oleh keluarga
Firangi Mahall, di bawah pengaruh Mulla
Nizam al-Din Muhammad (w. 1748).
Kurikulum ini kemudian luas dipakai
oleh semua madrasah tradisional di
India dan Pakistan, meskipun terus
mengalami modifikasi. Ada tiga ilmu
utama yang dipelajari dalam kurikulum
ini: pertama al-‘ulum al-naqliyyah (ilmuilmu tradisional seperti tafsir, hadis,
fikih, kalam, dan ilmu-ilmu pembantunya
[ancillary knowldgeses] seperti morfologi
[sharf], sintaksis [nahw], retorika
[balaghah]), al-‘ulum al-‘aqliyyah (ilmuilmu rasional, seperti falsafah dan
Pe
rp
8
us
ta
Edisi 013, April 2012
Review Buku
logika), dan tasawwuf (mistik Islam).
Pro
je
D
ig
ital
ct
Sejak bermulanya era kolonial
Islam di dunia Islam, lembaga ulama
dan madrasah mengalami tekanan
yang luar biasa. Zaman, dalam bukuny
ini, membahas sejumlah tantangan
yang dihadapi oleh dua institusi ini
di India dan Pakistan – fenomena
yang tampaknya dengan derajat yang
berbeda-beda kita jumpai di berbagai
negeri Islam yang lain. Tantang pertama
tentunya adalah dari pemerintah kolonial
sendiri, yakni pemerintah kolonial
Inggris di India. Kebijakan pendidikan
pemerintah kolonial Inggris di India
didasarkan pada dua fondasi utama.
Yang pertama adalah pemisahan antara
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekular
yang, dalam kaca mata administratur
kolonial, “bermanfaat”. Pemisahan ini
tentu berasal dari redefinisi terhadap
pengertian “religion” dalam masyarakat
Eropa setelah Era Pencerahan. Kedua,
lembaga pendidikan hanya berkewajiban
untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang
bermanfaat (useful).
n
a
ka
9
Edisi 013, April 2012
Review Buku
c
cy
a
r
Dem
o
Pemisahan antara dua model
pengetahuan –agama dan umum—
yang sebetulnya kita jumpai di banyak
negeri Muslim menimbulkan reaksi yang
ambigu di kalangan masyarakat Islam.
Kaum modernis Muslim dan Islamis
tampaknya bersepakat bahwa dualisme
ilmu pengetahuan semacam ini kurang
sehat bagi perkembangan intelektual
di masyarakat Islam. Kedua kubu ini,
meskipun banyak berbeda pandangan
dalam banyak hal, mempunyai titik
temu dalam satu hal, yakni pentingnya
mengatasi dualisme ini. Hanya saja,
pendekatan yang ditempuh oleh kedua
kubu ini berbeda. Kubu modernis
menganjurkan jalan penggabungan
antara ilmu-ilmu tradisional yang berasal
dari tradisi Islam sendiri dan ilmu-ilmu
sekular yang datang dari Barat. Kaum
Islami menempuh jalur lain, yaitu
semacam “Islamisasi” atas pengetahuan
yang datang dari Barat. Pada periode
yang dibicarakan oleh Zaman ini, yakni
abad ke-18, 19 dan awal abad ke-20,
istilah “Islamisasi pengetahuan” tentu
belum dipakai oleh kalangan Islamis
yang diwakili oleh orang-orang seperti
Pe
rp
10
us
ta
Edisi 013, April 2012
Review Buku
Pro
Abul A’la Mawdudi, misalnya. Tetapi ide
mereka yang bertumpu pada gagasan
pokok, yakni Islamisasi pada level sosial
dan negara, sebetulnya merupakan
embrio dari gagasan yang berkembang
belakangan di kalangan Islamis untuk
melakukan Islamisasi pengetahuan.
je
D
ig
ital
ct
Kebijakan untuk mengatasi dualisme
pengetahuan semacam ini juga ditempuh
pemerintah di negeri Muslim yang lahir
setelah berakhirnya era kolonialisme
Eropa. Contoh yang paling baik adalah
Pakistan. Sejumlah kebijakan pendidikan
ditempuh oleh pemerintah Pakistan
untuk melakukan reformasi terhadap
lembaga pendidikan Islam, termasuk
madrasah. Mewarisi sindrom yang
berasal dari era kolonial berkaitan
dengan pemisahan antara dua jenis
pendidikan (agama dan umum),
pemerintah di Pakistan mencoba
melakukan unifikasi, tetapi juga sekaligus
modernisasi atas madrasah.
n
a
ka
Yang menarik adalah reaksi ulama
atas dualisme pengetahuan semacam
ini. Di mata ulama, baik pandangan
11
Edisi 013, April 2012
Review Buku
c
cy
a
r
Dem
o
kaum
modernis atau Islamis, ataupun
1
kebijakan “reformis” negeri-negeri
Muslim pasca-kemerdekaan, ketiganya
mengancam eksistensi lembaga
madrasah dengan kurikulumnya yang
sudah mapan. Pandangan semacam ini,
misalnya, diwakili oleh ulama Pakistan
yang terdidik dalam tradisi madrasah
Deobandi, Mawlana Muhammad Yusuf
Ludhianawi (w. 2000). Menurut dia,
mengintegrasikan sistem pendidikan
madrasah ke dalam sistem pendidikan
nasional yang diprakarsai oleh negara,
meskipun dengan alasan “ideologis”
untuk memuluskan jalan menuju
Islamisasi masyarakat Islam sendiri,
akan mengancam Islam itu sendiri
sebagai agama. Para ulama tradisional
yang berbasis di madrasah mengajukan
argumen bahwa jika spesialisasi adalah
salah satu ciri khas pendidikan modern,
kenapa ulama tidak diperbolehkan
mengembangkan pendidikan khusus
dengan spesialisasi di bidang ilmu
agama?
Pe
rp
Sementara itu, gagasan tentang ilmu
yang bermanfaat yang dikembangkan
12
us
ta
Edisi 013, April 2012
Review Buku
Pro
je
D
ig
ital
ct
oleh pemerintah kolonial Inggris
jelas sangat dipengaruhi oleh filsafat
utilitarian yang sedang menjadi mode
di Inggris pada abad ke-19, terutama
di tangan para filsuf seperti James Mill
dan anaknya, James Stuart Mill. James
Mill pernah menulis bahwa pendidikan
yang hanya mengajarkan ajaran
agama Hindu atau Islam hanyalah
mengerjakan hal yang kurang berguna
dan sepele (frivolous). Bagi dia, tugas
lembaga pendidikan kolonial adalah
mengajarkan, baik kepada bangsa
Hindu atau Muslim, ilmu-ilmu yang
bermanfaat. Diskursus tentang ilmu
bermanfaat ini kemudian menimbulkan
tanggapan yang luas di kalangan ulama.
Mereka mengembangkan diskursus
tandingan yang mereka sebut sebagai
ilmu-ilmu yang nafi’ atau membawa
manfaat – istilah yang kebetulan
memang sudah ada dalam tradisi
intelektual Islam sendiri. Tentu saja, apa
yang disebut dengan ilmu yang “useful”
dalam pandangan pemerintah kolonial
maupun ilmu yang “nafi’”, sangat
berbeda.
n
a
ka
13
Edisi 013, April 2012
Review Buku
c
cy
a
r
Dem
o
Di tengah hantaman yang datang dari
berbagai arah ini, lembaga madrasah
harus menempuh segala siasat
agar tetap bertahan dan sekaligus
relevan. Reformasi dilakukan oleh
ulama terhadap lembaga madrasah.
Sekurang-kurangnya ada tiga lembaga
madrasah dalam pengertian tradisional
yang dikembangkan oleh ulama di
India. Pertama adalah madrasah
yang dikembangkan oleh kelompok
yang disebut Barelwi. Kedua adalah
madrasah yang dikembangkan kelompok
Deobandi. Dan ketiga adalah madrasah
yang dikembangkan oleh Ahl-i Hadith.
Madrasah dari kelompok pertama mirip
dengan pesantran yang dikembangkan
kalangan NU di Indonesia, dengan
tekanan pada tradisi mistik yang kuat.
Sementara madrasah dari kelompok
kedua mirip dengan lembaga pendidikan
yang dikembangkan oleh Pesantren
Gontor atau yang sejenis. Ciri lembaga
ini ialah menggabungkan antara dua
tradisi: tradisi reformis yang berasal
dari kelompok Wahabi, dengan tekanan
pokok pada studi hadis, dan tradisi
mazhab Hanafi. Madrasah Deobandi
inilah yang memiliki pengaruh paling
Pe
rp
14
us
ta
Edisi 013, April 2012
Review Buku
Pro
besar di dalam menjaga tradisi
keulamaan di India dan Pakistan hingga
saat ini. Sementara madrasah ketiga
lebih dikenal dengan tekanannya pada
studi hadis. Persaingan keras biasanya
terjadi antara kelompok Deobandi dan
kelompok Ahl-i Hadith, terutama karena
masalah keterikatan pada mazhab –
hal yang menjadi sasaran serangan
kelompok hadis/salafi/Wahabi di
banyak negeri Muslim.
je
ct
D
ig
ital
Salah satu medium yang dipakai oleh
ulama tradisional untuk menjaga
tradisi intelektual mereka adalah
apa yang disebut dengan tradisi
syuruh atau “commentaries”, yakni
menulis komentar atas karya klasik
atau kompendium (kumpulan) hadis.
Melalui karya-karya komentar semacam
ini, ulama mencoba meraih dua hal
sekaligus, yakni mempertahankan
kontinyuitas tradisi yang ada, tetapi
pada saat yang sama juga memberikan
komentar atas masalah yang dihadapi
oleh masyarakat Islam pada saat karya
tersebut ditulis. Contoh yang sangat
baik adalah I’la al-Sunan karya Mawlana
Zafar Ahmad ‘Uthmani, yang terdiri
dari dua puluh jilid. Karya ini adalah
n
a
ka
15
Edisi 013, April 2012
Review Buku
c
cy
a
r
Dem
o
komentar atas sejumlah hadis yang
berkaitan dengan hukum Islam (ahadith
al-ahkam). Dengan karya ini, Mawlana
‘Uthmani hendak mencapai dua tujuan
sekaligus: mempertahankan validitas
mazhab Hanafi dari serangan kaum Ahl-i
Hadith, sekaligus mengulas sejumlah
isu kontemporer yang berkembang
pada masanya. Contoh yang baik adalah
polemik yang dia lakukan melalui karya
ini melawan ulama Deobandi lain
mengenai soal nasionalisme (qaymiyyat)
– apakah ide nasionalisme sesuai dengan
keyakinan Islam atau tidak. Lawan debat
dia adalah Mawlana Husayn Ahmad
Madani yang juga ulama dari madrasah
Deobandi. Debat ini tentu mengingatkan
kita pada debat serupa yang pernah
terjadi di tanah air kita antara Ahmad
Hassan dan Sukarno mengenai topik
serupa: nasionalisme. Hanya saja, yang
menarik, perdebatan ini terjadi bukan
antara seorang nasionalis sekular dan
ulama, seperti terjadi dalam konteks
Indonesia, tetapi antara ulama sendiri.
Posisi Mawlana ‘Uthmani adalah
menentang nasionalisme vis-a-vis
Mawlana Madani yang mendukung ide
itu.
Pe
rp
16
us
ta
Edisi 013, April 2012
Review Buku
III
Pro
je
D
ig
ital
ct
Setelah berakhirnya era kolonialisme
yang kemudian ditandai dengan
lahirnya sejumlah negeri-negeri
Muslim, tantangan yang dihadapi
oleh lembaga ulama tidaklah surut,
bahkan makin akut. Di berbagai negeri
Muslim, termasuk India dan Pakistan,
sejumlah negeri Muslim mencoba
melakukan konsolidasi, antara lain
melalui reformasi lembaga-lembaga
tradisional yang ada dalam masyarakat
Islam, seperti lembaga keulamaan dan
madrasah. Proyek reformasi ini, yang
menarik, didukung baik oleh kalangan
Islamis, modernis, maupun (sebagian)
kalangan sekularis. Reformasi ini bisa
mengambil banyak bentuk, antara lain
modernisasi madrasah, perombahakan
kurikulum, penyatuan administrasi
lembaga-lembaga yang menjadi sumber
pembiayaan ulama (seperti waqaf) di
bawah adminitrasi negara, atau pun
reorganisasi lembaga ulama itu sendiri.
n
a
ka
Contoh yang baik adalah Universitas
Al-Azhar, lembaga pendidikan Islam
tradisional yang menjadi pusat
pengembangan ilmu-ilmu Islam klasik.
17
Edisi 013, April 2012
Review Buku
c
cy
a
r
Dem
o
Inilah lembaga yang memproduksi
secara terus-menerus selama ratusan
tahun kelas sosial yang disebut
ulama. Lembaga ini, seperti pernah
ditulis dengan baik oleh Malika
Zeghal dalam karyanya yang sudah
menjadi klasik (Gardiens de l’Islam:
Les ulama d’al-Azhar dans l’Egypte
conremporaine [1995]), mengalami
perubahan-perunbahan penting,
terutama sejak abad ke-19. Perubahan
paling penting tentu dimulai dengan
reformisme Muhammad Abduh yang
kemudian, secara internal, dieksekusi
lebih jauh oleh dua ulama penting,
Musthafa al-Maraghi dan Mahmoud
Syaltout. Perubahan paling radikal
terjadi pada 1961, setelah Presiden
Nasser meletakkan lembaga ini di
bawah kontrol pemernintah secara
penuh, antara lain ditandai dengan
jabatan rektor yang diangkat oleh
negara dan posisi Syaikh al-Azhar yang
diletakkan di bawah kementerian wakaf.
Sementara itu, pengelolaan wakaf yang
menjadi basis pembiayaan lembaga
ini diletakkan di bawah wewenang
kementerian wakaf. Dengan demikian,
otonomi ulama menjadi berkurang jauh
Pe
rp
18
us
ta
Edisi 013, April 2012
Review Buku
dibandingkan dengan era sebelumnya.
Dengan bentuk yang beragam, model
yang ditempuh oleh pemerintah Mesir ini
terjadi di negeri-negeri Islam yang lain.
Pro
je
D
ig
ital
ct
Yang menarik adalah proyek Islamisasi
negara yang berkembang di sejumlah
negeri Muslim, antara lain Pakistan
pasca-partisi pada 1947, tidak seluruhnya
menguntungkan ulama sebagai kelas
sosial. Pada saat Presiden Zia ul-Haq
melancarkan program Islamisasi, antara
lain melalui Shari’a Ordinance pada 1988,
ada kehendak politis dari pemerintah
Pakistan saat itu untuk menyelaraskan
semua hukum yang ada di negeri itu
dengan syariah Islam. Semua UU atau
hukum yang berlawanan dengan syariah
akan dibatalkan. Inilah yang disebut
dengan “repugnance clauses”. Hanya
saja, wewenang untuk menentukan
apakah sebuah perundang-undangan
sesuai atau tidak dengan syariah berada
pada High Court atau Mahkamah Agung
yang umumnya didominasi oleh para
juris yang terdidik dalam sistem hukum
Barat, bukan pada Federal Shari’at Court.
n
a
ka
Munculnya ide “negara Islam” sebagai
proyek politik, dengan demikian,
19
Edisi 013, April 2012
Review Buku
c
cy
a
r
Dem
o
tidak dengan sendirinya menaikkan
reputasi dan pengaruh ulama sebagai
kelas sosial. Dalam praktek seharihari, apa yang disebut “negara Islam”
biasanya hanya menguntungkan
dua pihak: kalangan modernis atau
Islamis/revivalis. Sementara kalangan
ulama sendiri cenderung berada pada
pinggiran, dan kurang memainkan peran
yang penting dalam administrasi atau
penyelenggaraan lembaga yang berkaitan
dengan kepentingan umat Islam sendiri,
seperti madrasah misalnya. Dengan kata
lain, proyek negara Islam, pada akhirnya,
mewarisi sindrom politik serupa yang
dialami oleh negara nasional non-agama
yang lain. Negara-negara nasional yang
lahir pasca era kolonial ini, termasuk
di negeri-negeri Muslim sendiri, pada
akhirnya dihadapkan pada imperative
konsolidasi negara, unifikasi sistem
hukum, reformasi lembaga-lembaga
sosial, yang keseluruhannya cenderung
menempatkan kelas ulama pada posisi
defensif.
Pe
rp
En toch demikian, kelas ulama tetap
berhasil menjada terus eksistensinya
sebagai kelas sosial, berikut lembaga20
us
ta
Edisi 013, April 2012
Review Buku
Pro
lembaga yang menyokongnya. Melalui
praktek diskursif yang sudah dikenal
oleh kelas ini sejak lama, misalnya fatwa
atau syuruh (komentar atas karya klasik
yang sudah ada), mereka mencoba
mempertahankan dirinya tetap relevan.
je
D
ig
ital
ct
Yang menarik adalah bahwa berbeda
dengan kalangan modernis atau Islamis/
revivalis, kalangan ulama cenderung
a-politis dan, hingga tingkat tertentu,
juga berwatak “quietist” atau “damai”
(tak membangkang pada kekuasaan
yang ada). Ini diperlihatkan, misalnya,
dengan munculnya dua gerakan ulama di
India. Yang pertama adalah munculnya
kelompok Nadwat al-Ulama (Abul Hasan
Ali al-Nadwi adalah ulama yang populer
yang lahir dari kelompok ini) yang
mencoba melakukan reformasi atas Islam
tetapi dengan tetap menjaga semangat
a-politisme ala Muhammad Abduh.
Yang kedua adalah gerakan Tabligh-i
Jamaat yang terkenal itu. Kedua gerakan
yang diprakarsai oleh ulama di India ini
memperlihatkan watak a-politis yang
sangat kuat. Mungkin karena watak yang
semacam inilah, kelas ulama di negeri
Islam manapun paling mudah melakukan
n
a
ka
21
Edisi 013, April 2012
Review Buku
c
cy
a
r
Dem
o
kompromi dengan kekuasaan politik
yang ada di negeri mereka masingmasing – sikap yang kontras dengan
kalangan Islamis yang umumnya
“resistant”, baik terhadap kekuasaan
eksternal (hegemoni Barat, misalnya)
atau kekuasaan domestik yang mereka
anggap sekular.[]
Pe
rp
22
us
ta
Edisi 013, April 2012
Review Buku
Pro
je
ct
ital
© 2012
Review Buku ini diterbitkan oleh
Democracy Project,
Yayasan Abad Demokrasi.
D
ig
Jika Anda berminat mendapatkan buku
(ebook) yang direview, silakan isi
form permintaan.
Kode
n buku: MQZ001
a
ka
23
Download