1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena kemunculan beauty vlogger menjadi pembicaraan di tengahtengah pecinta kosmetik dan kecantikan. Beauty vlogger pada dasarnya memiliki
konsep yang sama dengan blogger, yaitu memberikan informasi terkait keseharian
atau kehidupan pribadi dan ulasan-ulasan tentang produk atau brand yang telah
mereka gunakan sebelumnya. Namun para beauty vlogger mengkhususkan dirinya
untuk memberikan informasi mengenai dunia kosmetik dan kecantikan serta
mengunggah informasi mereka pada platform media sosial yaitu YouTube, hal
inilah yang membedakan vlogger dengan blogger.
Konsumen kosmetik ataupun produk-produk kecantikan dimudahkan
dalam memberikan nilai atau memilih produk yang akan mereka gunakan dengan
kehadiran beauty vlogger. Kemudahan yang mereka dapatkan adalah salah
satunya dengan adanya insight atau review dari pihak lain, dalam hal ini adalah
para beauty vlogger, yang memberikan informasi-informasi terkait detail produk,
kekurangan dan kelebihan produk bahkan kesan setelah menggunakan produk.
Hal-hal tersebut yang mendorong kemunculan beauty vlogger dan kehadirannya
semakin diminati.
Kebutuhan dan permintaan akan beauty vlogger bagi konsumen produk
kecantikan tidak hanya memberikan keuntungan bagi konsumen, tetapi
permintaan ini turut membawa keuntungan bagi sosok beauty vlogger itu sendiri.
Saat ini, bermunculan sosok beauty vlogger dengan karakteristiknya masingmasing yang berlomba untuk menarik perhatian para penikmat review mereka
dengan inovasi produk yang digunakan maupun cara menyampaikan informasi.
Hal ini menjadi warna tersendiri dalam media sosial YouTube dimana dalam
kategori atau tema produk yang sama, para beauty vlogger mampu mengemasnya
dalam video-video yang beragam. Peluang menjadi beauty vlogger semakin
meningkat dimana ada penawaran menarik yang diberikan oleh pihak YouTube
1
dimana setiap video yang diunggah akan mendapatkan kompensasi dari pihak
YouTube. Hal ini tentu saja menjadi daya tarik tersendiri terkhusus bagi para
beauty vlogger untuk berkreatifitas atau berkarya di bidang ini mengingat industri
kosmetik juga mengalami kenaikan.
Meneliti mengenai fenomena beauty vlogger perlu dilakukan mengingat
saat ini kehadirannya sangat dinanti dan adanya pengaruh terhadap konsumen
produk kecantikan. Disadari atau tidak permintaan akan beauty vlogger membawa
realita bahwa konsumen mulai terpengaruh oleh informasi-informasi yang
diberikan. Konsumen mulai mempercayai perkataan dan informasi yang diberikan
oleh beauty vlogger yang dianggap memiliki kredibilitas dalam bidang produk
kecantikan dan kosmetik, serta konsumen mulai terbawa arus yang dibawa oleh
informasi dari beauty vlogger sehingga konsumen secara tidak langsung telah
memiliki persepsi tentang produk yang diinformasikan oleh beauty vlogger tanpa
harus mencobanya terlebih dahulu. Persepsi ini hanya ada dalam benak konsumen
sehingga dapat dikatakan bahwa beauty vlogger mampu membentuk brand image
sebuah produk dalam benak konsumen. Semakin banyak informasi mengenai
produk yang diberikan dengan intensitas yang tinggi, maka persepsi atau brand
image yang tertinggal di benak konsumen akan semakin kuat.
Dinamika kehadiran beauty vlogger yang mampu mempengaruhi persepsi
konsumen ini mulai disadari oleh para perusahaan kosmetik membawa pengaruh
positif apabila beauty vlogger diikut sertakan dalam proses komunikasi
pemasaran. Beauty vlogger dapat menjadi sosok pendukung (endorser) yang
digunakan oleh perusahaan untuk menyampaikan informasi-informasi yang ingin
disampaikan. Beauty vlogger yang sebelumnya telah mampu membentuk persepsi
konsumen ini pun menjadi dasar bagi perusahaan untuk menggunakan peran
sosok beauty vlogger.
Masuknya beauty vlogger sebagai salah satu inovasi dalam komunikasi
pemasaran inilah yang perlu diperhatikan dan dipelajari lebih lanjut terkait brand
image sebuah produk yang mampu dipengaruhi oleh informasi yang diberikan
oleh beauty vlogger. Hal ini menjadi permasalahan dan perlu di kaji lebih lanjut
2
dikarenakan adanya faktor lain yaitu konsumen tidak lagi menggunakan mass
media sebagai media untuk mengakseses informasi dan beralih menggunakan
media sosial sebagai media informasi serta adanya peran pihak ketiga. Selain itu,
kehadiran beauty vlogger sebagai warna baru dalam dunia endorser yang
sebelumnya terkenal dengan adanya konsep celebrity endorser.
Penggunaan sosok beauty vlogger nyatanya tidak hanya digunakan oleh
perusahaan yang baru merintis usahanya untuk mendapatkan perhatian dari
masyarakat. The Body Shop, anak perusahaan kosmetik terbesar L’Oreal Group,
ikut menjadi salah satu perusahaan yang menggunakan kehadiran beauty vlogger
sebagai salah satu bentuk pendukung brand dan juga untuk tetap bertahan
menghadapi para pesaing di bidang kosmetik. Meskipun The Body Shop telah
memiliki posisi cukup aman di tengah pasar kosmetik, tetapi tidak menutup
kemungkinan untuk berinovasi untuk memenuhi permintaan dan konsumennya.
The Body Shop menggunakan beberapa sosok beauty vlogger Indonesia untuk
menyebarkan informasi tentang produk terbaru mereka, yaitu Drops of Youth
yang merupakan produk yang disasar untuk mengatasi atau menghindari penuaan
dini. The Body Shop sadar bahwa sebagian besar sosok beauty vlogger di
Indonesia berusia rata-rata 20-30 tahun yang dirasa mampu menyampaikan pesan
produk sesuai dengan target mereka. Namun perlu diperhatikan beberapa kriteria
atau kajian lebih lanjut agar The Body Shop mampu memilih beauty vlogger yang
tepat dan pada akhirnya berhasil membawa persepsi atau brand image positif
dalam benak konsumen.
Kekuatan yang dimilik oleh beauty vlogger terkait pengaruhnya untuk
mempersuasi konsumen perlu diteliti lebih lanjut dengan contoh kasusnya adalah
penggunaan beauty vlogger untuk produk baru The Body Shop gunanya
membuktikan apakah informasi-informasi yang diberikan mampu mengarahkan
pemikiran konsumen sehingga membentuk brand image produk. Oleh karena itu,
penelitian ini berfokus pada penerimaan brand image karena adanya faktor pesan
atau informasi yang diberikan oleh beauty vlogger sebagai endorser yang dipilih
oleh perusahaan. Penelitian ini diawali dengan melihat adanya stimulus berupa
3
sosok beauty vlogger yang memberikan informasi ataupun pesan produk kepada
konsumen atau para penikmat informasi yang diberikan beauty vlogger dalam
videonya yang pada akhirnya mampu mempengaruhi persepsi konsumen atau
brand image produk. Dalam penelitian ini diambillah judul, yaitu “Beauty
Vlogger dan Brand Image: Survei Pengaruh Pesan Beauty Vlogger Sebagai
Endorser Terhadap Brand Image Produk The Body Shop”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana pengaruh penggunaan beauty vlogger sebagai
endorser dalam mempengaruhi brand image The Body Shop.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan rumusan masalah di atas,
yaitu mengetahui pengaruh penggunaan beauty vlogger sebagai endorser yang
digunakan oleh The Body Shop dalam membentuk brand image The Body Shop.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat akademik
− Penelitian ini menyajikan informasi mengenai pengaruh antara
informasi atau pesan yang disampaikan oleh beauty vlogger sebagai
endorser yang digunakan oleh The Body Shop untuk membentuk
brand image produk.
− Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khasanah akademik di
bidang komunikasi pemasaran, terkhusus dalam proses pembentukan
brand image produk melalui beauty vlogger.
4
2.
Manfaat praktis
− Penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbahan dalam kebijakan yang
akan ditetapkan dalam memahami dan menghadapi pesan dari
endorser dan sikap terhadap brand yang dipasarkan.
− Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan
pemikiran bagi kepentingan praktis manajerial dalam bidang
penggunaan endorser dan sikap terhadap brand yang dipasarkan.
Selain itu, kontribusi penelitian ini adalah menemukan salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi brand image produk.
E. Objek Penelitian
Penelitian ini mengambil objek penelitian adalah para viewers review
online yang dilakukan oleh beauty vlogger yang bertujuan untuk meneliti
bagaimana khalayak menilai, memandang, menerima, dan memberikan persepsi
terhadap suatu brand yang terkhusus brand kosmetik yang saat ini mulai menjadi
tren. Lokus dari penelitian ini terletak pada ranah pesan dan audiens. Sementara
untuk fokus dalam penelitian ini adalah pada efek yang diterima oleh objek
penelitian terkait sikap yang diberikan objek penelitian dalam bentuk cara
pandang terhadap brand The Body Shop.
Penelitian dengan topik pengaruh endorser terhadap brand image ini
bukan merupakan penelitian yang baru pertama kali dilakukan tetapi telah banyak
penelitian yang mengambil topik yang sama. Namun perlu diperhatikan dan tetap
dilakukan dikarenakan penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu.
Perbedaan yang mendasar adalah pandangan bahwa saat ini konsumen mulai
mempercayai pihak ketiga yang diutamakan memiliki keahlian atau kredibilitas
terhadap sebuah produk. Sehingga kehadiran beauty vlogger yang ahli dalam
bidang kecantikan dan kosmetik mampu dipercaya oleh konsumen sebagai
sumber informasi dalam menentukan keputusan pembelian. Selain itu, penelitian
ini berbeda dengan penelitian terdahulu karena membawa pembaruan dengan
konsep endorser yang digunakan.
5
F. Kerangka Teori
1. Isi Pesan dan Kredibilitas Endorser dalam Pesan Endorser
Kehadiran sosok endorser tidak begitu saja mampu mempengaruhi atau
mempersuasi publik, tetapi terdapat faktor lain yaitu pesan yang dibawa dalam
informasi-informasi yang disampaikan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
tidak hanya kehadirannya yang berpengaruh tetapi terlebih pada pesan yang
dibawa oleh endorser dan bagaimana pesan yang ingin disampaikan tersebut
mampu tersampaikan dengan baik merupakan hal yang juga memiliki peran
penting. Namun terlebih dahulu dapat dijelaskan mengenai bagaimana konsep dan
definisi tentang endorser.
Endorsement adalah segala bentuk pesan yang diberikan dalam kegiatan
pemasaran, dimana konsumen cenderung mempercayai opini, keyakinan,
pendapat, atau pengalaman dari pihak lain selain perusahaan tersebut sebagai
sponsor (Tobin, 1975). Endorser merupakan seorang yang mendapat pengakuan
publik, popular, terkenal, dan menggunakan ketenaran yang dimilikinya itu untuk
mendukung suatu produk dalam iklan (McCracken, 1989). Endorser dapat
dikatakan pula sebagai seseorang yang dikenal luas dan mempunyai kemampuan
untuk memberikan pernyataan yang valid (Atkin and Block, 1983).
Endorser merupakan icon atau sosok tertentu yang sering juga disebut
sebagai direct source (sumber langsung) untuk mengantarkan sebuah pesan dan
atau memperagakan sebuah produk atau jasa dalam kegiatan promosi yang
bertujuan untuk mendukung efektifitas penyampaian pesan produk (Belch and
Belch:2004, 168). Konsep dari kehadiran endorser ini mulai disadari para
perusahaan untuk menggunakannya dalam komunikasi pemasaran. Namun
perusahaan perlu memperhatikan dalam penerapan konsep endorser yaitu pada
pemilihan sosok endorser. Perusahaan harus memilih endorser yang dapat
mewakili produk yang dipasarkan dengan melihat dari kredibilitas dan daya tarik
endorser. Hal ini bertujuan agar pesan yang ingin disampaikan dapat
tersampaikan dengan baik sehingga mendukung keberhasilan tujuan perusahaan.
6
Strategi penggunaan endorser menjadi daya tarik tersendiri bagi
konsumen terlebih apabila endorser yang terpilih mampu mempengaruhi
konsumen dan merepresentasikan produk yang dipasarkan. Sehingga dalam
penggunaan endorser, perusahaan bertujuan untuk menciptakan brand image
yang positif terhadap brand yang dibawa oleh endorser dan menciptakan identitas
sesuai dengan sosok endorser yang digunakan. Hal ini dikarenakan konsep
endorser dapat mempengaruhi emosional konsumen secara umum. Sehingga
penggunaan endorser diharapkan mampu meningkatkan keinginan konsumen
untuk membeli brand yang dipasarkan. Oleh karena itu perusahaan harus mampu
memahami adanya jenis-jenis dukungan yang dapat diberikan kepada brand, yaitu
brand endorser dan brand ambassador. Brand endorser dan brand ambassador
memiliki kesamaan dimana keduanya mendukung keberadaan sebuah brand tetapi
komitmen mereka berbeda. Brand endorser digunakan oleh perusahaan untuk
memasarkan sebuah brand, sementara brand ambassador hanya sebagai duta
yang terpilih yang akan mengikuti keseluruhan kegiatan pemasaran.
Dalam pemilihan sosok endorser, perusahaan harus memperhatikan
kredibilitas dan daya tarik yang dimiliki sosok endorser terkait dengan upaya
menarik konsumen baru maupun mempertahankan konsumen lama. Hal tersebut
dikarenakan apabila perusahaan tidak tepat dalam pemilihan sosok endorser,
maka akan berakibat fatal terkait siklus hidup produk maupun perusahaan.
Persepsi terhadap kredibilitas sosok endorser ditentukan secara subjektif
melalui penilaian secara individual tentang bagaimana persepsi konsumen
terhadap sosok endorser yang dirasa labih penting fakta tentang kualitas yang
dimiliki sosok endorser tersebut dalam membawakan pesan yang dibawa olehnya
serta meyakinkan konsumen (Erdogan, Barker, dan Tagg, 2001). Ohanian (1990)
pada penelitiannya “The Source Credibility” telah dikumpulkan beberapa literatur
terdahulu dan mengusulkan tiga dimensi yang memperngaruhi kredibilitas sebagai
endorser, yaitu attractiveness, trustworthiness dan expertise.
Mowen dan Minor (2002) menjelaskan adanya karakteristik yang dimiliki
oleh endorser sebagai atribut yang mempengaruhi efektivitas proses komunikasi.
7
Dalam membentuk personaliti maupun gambaran sebuah brand, sosok endorser
memiliki peran penting dimana sebuah personaliti maupun gambaran dari sebuah
brand adalah bentuk pembeda dengan brand lain dan para pesaingnya. Melalui
endorser, perusahaan menggambarkan personaliti maupun gambar dari brand
miliknya sehingga konsumen akan sadar akan keberadaan brand tersebut. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa kehadiran sosok endorser dalam kegiatan
pemasaran memiliki arti bahwa dengan menghubungkan sosok endorser dengan
brand, maka perusahaan secara langsung mampu mentransfer arti tersebut ke
dalam brand mereka. Mowen dan Minor kembali menjelaskan bahwa adanya lima
atribut yang memfasilitasi keberhasilan pesan yang disampaikan oleh sosok
endorser untuk dapat mempengaruhi konsumen dan memberikan persepsi tentang
sebuah brand dalam benak konsumen. Kelima atribut tersebut yaitu:
1. Trustworthiness (dapat dipercaya) mengacu kepada kejujuran, integritas,
dan kepercayaan diri dari sosok endorser. Penilaian kepercayaan
bergantung pada persepsi konsumen dan motivasi endorser sebagai
pendukung pesan kegiatan pemasaran. Endorser yang mendukung
kegiatan pemasaran karena motivasi murni dari kepentingan diri sendiri
akan menjadi kurang
meyakinkan bagi konsumen. Endorser sebagai
orang yang objektif dan tidak mengambil keuntungan akan mendapat
kepercayaan konsumen.
2. Expertise (keahlian) menjelaskan pada pengetahuan, pengalaman, atau
keahlian yang dimiliki seorang endorser yang dikaitkan dengan brand
yang didukung. Endorser yang dianggap ahli dalam suatu bidang akan
lebih persuasif dalam mengubah opini konsumen bila mendukung bidang
keahlian endorser tersebut.
3. Attractiveness (daya tarik) yang dimiliki endorser akan menimbulkan
ketertarikan bagi konsumen. Konsumen mengidentifikasi endorser
tersebut dan mempunyai kecenderungan mengadopsi sikap, perilaku,
kepentingan, atau preferensi tertentu dari endorser. Endorser yang
menarik akan menimbulkan asosiasi positif dan merefleksikan brand yang
8
diiklankan dengan lebih baik daripada endorser yang mempunyai daya
tarik rata-rata.
4. Respect (kualitas dihargai) dari endorser yang dicapai secara personal.
Endorser yang dihargai secara umum disukai sehingga dapat digunakan
untuk meningkatkan ekuitas merek (brand equity).
5. Similarity (kesamaan) antara endorser dan konsumen dalam beberapa hal
dapat digunakan untuk meningkatkan perhatian konsumen.
Selain hal-hal tersebut di atas, endorser juga harus memperhatikan isi
pesan dalam informasi-informasi yang disampaikan. Isi pesan merupakan suatu
hal yang disampaikan berupa kata-kata, tulisan atau gambar agar dapat diingat,
dikenali, dipercaya, dan mempengaruhi konsumen untuk membeli (Kasali, 1992).
Menurut Kotler dan Armstong (2001), pesan yang disampaikan mempunyai daya
tarik apabila mempunyai tiga sifat. Sifat yang dimaksud adalah iklan harus
bermakna (meaningful) dengan menunjukkan manfaat-manfaat yang membuat
produk menarik dan lebih diinginkan. Informasi yang diberikan harus dapat
dipercaya (believable) dengan produk yang memberikan manfaat yang telah
dijanjikan dan khas (distinctive) yang harus menjelaskan produk lebih baik
daripada merek-merek pesaing.
2. Beauty Vlogger
Seiring perkembangan teknologi informasi dan media komunikasi,
berbagai platform media sosial pun ikut perkembang dan bertambah. Kehadiran
media sosial memudahkan masyarakat dalam berkomunikasi dan berinteraksi satu
dengan yang lain di dunia maya. Oleh karena itu saat ini media sosial tidak hanya
menjadi pelengkap sebagai media komunikasi, tetapi media sosial telah menjadi
salah satu kebutuhan pokok bagi manusia. Sebelum bermunculan media sosial
seperti saat ini, Facebook, Twitter, LinkedIn dan Instagram, masyarakat pada
umumnya lebih dahulu mengenal adanya blog sebagai media guna berbagi
informasi. Menurut Safko (2012: 149-150) blog atau web log adalah sebuah
website yang dikelola secara individu oleh para pemiliknya (bloggers) melalui
9
pemasangan komentar, pikiran, ide, foto, grafis, suara atau video. Posting yang
paling sering ditampilkan sebagai sebuah urutan kronologis terhadap suatu
fenomena yang dialami atau dikisahkan oleh bloggers.
Kelebihan dari blog
adalah adanya fitur penambahan komentar terhadap postingan yang dapat
diberikan oleh pembaca dan blogger lainnya. Selain itu juga pembaca dapat
memperoleh informasi dengan cara mengakses halaman blog milik blogger tanpa
harus memiliki akun blog atau menjadi blogger.
Sebuah blog, menurut Philips dan Young (2009: 12), dapat bersifat
personal atau terkait dengan bisnis. Blog bisnis dapat digunakan untuk
komunikasi internal kepada karyawan, atau sengaja dirancang untuk dilihat oleh
publik. Oleh karena itu tak jarang blog dimanfaatkan untuk upaya penjualan dan
komunikasi pemasaran. Salah satu peluang yang disadar oleh perusahaan akan
hadirnya blog adalah untuk mendongkrak penyaluran informasi terkait perusahaan
kepada konsumen maupun publik. Para blogger digunakan untuk menyampaikan
informasi tentang brand maupun perusahaan dengan caranya sendiri tetapi tetap
terarah yang kerap kali mampu mempengaruhi alur pemikiran dari penikmat blog
tersebut. Menurut Onggo (2004: 54) salah satu tujuan penting dari keterlibatan
bloggers dalam satu kegiatan bisnis tertentu ialah untuk memenangkan kompetisi
dengan mengalahkan para pesaing di dunia maya.
Pada awal kemunculannya, blog berfokus pada penyebaran informasi oleh
blogger yang disampaikan melalui tulisan dan tidak menutup kemungkinan
disampaikan melalui gambar atau video. Namun perkembangan jaman mengubah
para penikmat blog untuk lebih menikmati informasi dengan format audio visual
atau video yang dirasa memiliki daya tarik dan mampu dipahami lebih mudah.
Oleh karena itu para blogger memutuskan untuk berpindah menggunakan
platform media sosial lain yaitu YouTube yang memfasilitasi penyebaran
informasi dengan format video. Perpindahan ini pun mulai mengubah rutinitas
pada blogger yang tidak lagi menuliskan setiap informasi yang mereka miliki
dalam bentuk tulisan tetapi dengan menyampaikannya melalui video. Perubahan
media sosial yang digunakan dan format dalam menyampaikan informasi yang
10
diberikan ini membawa perubahan dalam penyebutan para blogger yang berubah
menjadi vlogger, video blogger.
Vlogger pada dasarnya memiliki kesamaan konsep dengan blogger dimana
mereka tetap menyampaikan informasi maupun pengalaman pribadi mereka
masing-masing sesuai dengan bidang yang mereka tekuni. Kehadiran vlogger juga
menerpa dalam bidang kecantikan dan kosmetik yang menghadirkan adanya
sosok beauty vlogger. Beauty vlogger merupakan sosok yang memiliki keahlian
atau konsentrasi dalam bidang kecantikan yang memberikan informasi terkait
produk-produk kecantikan yang telah mereka gunakan atau dengan kata lain para
beauty vlogger memberikan pengalaman mereka dalam menggunakan produk
kecantikan. Beauty vlogger bersifat objektif terhadap beragam produk yang
mereka gunakan sehingga informasi yang disampaikan pun dapat berupa positif
maupun negatif dari produk yang telah digunakan.
3. Brand Image
Kehadiran beauty vlogger dalam ranah industri kosmetik dirasa menjadi
penolong tidak hanya bagi konsumen tetapi juga bagi perusahaan. Melalui beauty
vlogger dan informasi yang diberikan, konsumen mendapatkan informasi terkait
produk-produk yang mereka butuhkan dengan ulasan atau review dari beauty
vlogger yang dapat menjadi acuan dalam pemilihan produk. Review yang
diberikan bersifat objektif dari pengalaman penggunaan produk sehingga tak
jarang para beauty vlogger tidak hanya memberikan kelebihan dari sebuah produk
tetapi juga kekurangannya. Hal inilah yang mampu membentuk persepsi
konsumen tentang produk dan juga menjadi salah satu dasar bagi konsumen untuk
mempercayai informasi yang diberikan agar konsumen tidak melakukan
kesalahan pembelian. Berdasarkan sikap konsumen itulah, produsen mulai
menyadari bahwa adanya pengaruh dari beauty vlogger terhadap pemikiran
konsumen yang mampu membentuk brand image bagi sebuah produk.
Keuntungan yang disadari inilah yang menggerakkan perusahaan dalam
membangun sebuah brand image menggunakan peran dari beauty vlogger.
11
“A brand image is a mental image that reflects the way consumers
perceive the brand, including all the identification elements, the product
personality and the emotions and associations evoked in the mind consumers”
(Wells, Burnett, & Moriarty, 2000: 163). Sebuah brand image adalah gambaran
mental yang mencerminkan bagaimana konsumen melihat brand, termasuk
seluruh elemen pengenal, kepribadian produk dan emosi serta asosiasi yang
muncul dalam pikiran konsumen.
Kotler dan Amstrong (2001: 225) mendefinisikan brand image sebagai
seperangkat keyakinan konsumen mengenai brand tertentu. Brand image
memberi penekanan pada penerimaan konsumen dan cara pandang konsumen
terhadap sebuah brand. Sehingga brand image merupakan kumpulan persepsi
mengenai sebuah brand yang saling berkaitan dan hanya ada dalam pikiran
manusia.
Sebelum memahami tentang brand image, maka terlebih dahulu
memahami tentang konsep brand dan image yang dibangun dalam brand. Setiap
perusahaan memerlukan keunikan tersendiri agar dikenal oleh publik yang pada
akhirnya mampu menarik konsumen. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
pembentukan sebuah brand (branding). Brand merupakan pembeda antara satu
produk dengan produk lain dan antar perusahaan. Oleh karena peran brand
tersebut, brand dapat dikatakan sebagai salah satu aset yang dimilik perusahaan
yang apabila dapat dikelola dengan baik maka akan membawa manfaat untuk
kehidupan perusahaan tersebut.
Brand menjadi sebuah fenomena baru yang kompleks dimana dalam
pengelolaannya perusahaan memberikan perhatian lebih karena keberhasilan
sebuah brand juga merupakan keberhasilan dari perusahaan. Berdasaran jurnal
yang berjudul What Is A Brand? A Perspective on Branding Meaning yang ditulis
oleh Upendra Kumar Maurya dalam
European Journal of Business and
Management, vol 4, no 3, hal 123, brand dijelaskan “..as a name, term, design,
symbol, or a combination of them, intended to identify the goods or services of
one seller or group of sellers and to differentiate them from competitor. In the
12
other words brands are means to differentiate from the competitors (or future
competitors)”. Dalam jurnal tersebut, brand dijelaskan sebagai pembeda tidak
hanya sebatas logo perusahaan tetapi brand memiliki peran-peran penting yang
membawa brand sebagai sebuah janji yang diberikan oleh perusahaan sehingga
perusahaan harus semaksimal mungkin meyakinkan konsumen bahwa janji yang
telah diberikan mampu ditepati sesuai dengan kebutuhan dan permintaan
konsumen. Brand sebagai sebuah janji merupakan bentuk dari visi yang diberikan
dalam kegiatan komunikasi pemasaran tentang bagaimana seharusnya sebuah
brand dan apa yang harus dilakukan untuk konsumen dalam jangka waktu singkat
maupun panjang. Brand merupakan bentuk perjalanan sebuah hubungan yang
berkembang berdasarkan pengalaman dan persepsi konsumen.
Kehadiran sebuah brand membawa nilai-nilai yang ingin disampaikan
oleh perusahaan kepada konsumen. Sebuah brand yang kuat dapat membawa
perusahaan kepada keberhasilan, sehingga perusahaan harus menetapkan strategistrategi khusus agar brand mereka mampu diterima oleh konsumen. Salah satunya
adalah dengan brand building adalah dengan membangun, meningkatkan, atau
menaikkan ekuitas brand yang dimensi-dimensi utamanya adalah kesadaran
asosiasi dan loyalitas pelanggan.
Ekuitas brand (brand equity) yang dimaksud adalah berupa nilai tambah
yang diberikan kepada produk dan jasa. Brand equity dapat tercermin dalam cara
konsumen berpikir, merasa, dan bertindak dalam hubungannya dengan merek, dan
juga harga, pangsa pasar, dan profitabilitas yang diberikan merek kepada
perusahaan (Kotler dan Keller, 2012: 263). Keterkaitan konsumen pada sebuah
brand terkait dengan brand equity yang ada mampu membentuk
atau
mempengaruhi persepsi-persepsi yang ada dalam benak konsumen. Persepsipersepsi inilah yang pada akhirnya menjadi sebuah image yang diberikan kepada
konsumen terhadap sebuah brand, atau brand image.
Hogan (2005) menggambarkan brand image sebagai asosiasi dari semua
informasi yang tersedia mengenai produk, jasa dan perusahaan dari brand yang
dimaksud. Informasi yang didapatkan dapat melalui pengalaman konsumen secara
13
langsung yang terdiri dari kepuasan fungsional dan emosional serta informasi
melalui persepsi yang dibentuk oleh perusahaan dari brand tersebut melalui
berbagai bentuk komunikasi, seperti iklan, promosi dan hubungan masyarakat
(public relation). Brand tidak hanya memenuhi janji yang diberikan oleh
perusahaan tetapi juga harus mampu memahami kebutuhan konsumen dan
mengusung nilai-nilai yang diinginkan oleh konsumen.
“Brand image can be defined as a perception about brand as reflected by
the brand association held in consumer memory” (Keller, 1998: 93). Sehingga
brand image dikatakan sebagai persepsi tentang brand yang digambarkan oleh
asosiasi dengan sebuah brand yang ada dalam ingatan manusia sebagai
konsumen. Oleh karena itu, brand image merupaka refleksi konsumen yang
berpegang pada ingatan konsumen dengan cara orang berpikir tentang sebuah
brand secara abstak meskipun konsumen tidak dihadapkan langsung pada brand
tersebut.
Dalam mengupayakan terbentuknya brand image di benak masyarakat,
maka perusahaan membutuhkan program komunikasi pemasaran yang kuat
(strenght), menyenangkan konsumen (favorable), dan berbeda dari pesaing
(unique) sehingga ingatan konsumen tentang brand dapat melekat dalam benak
mereka (brand association). Brand association merupakan segala sesuatu yang
dapat mengaitkan konsumen terhadap suatu merek, seperti pikiran, perasaan,
pengalaman, persepsi, citra, kepercayaan, sikap, dan sebagainya (Kotler dan
Keller, 2012). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa terdapat faktor-faktor yang
mendukung
terbentuknya
brand image
yang
saling
berhubungan
dan
mempengaruhi satu sama lain, yaitu:
a. Strenght of brand association/familiarity of brand association (kekuatan
asosiasi brand)
b. Favorability of brand association (keunggulan asosiasi brand)
c. Uniqueness of brand association (keunikan asosiasi brand)
Strenght of brand association merupakan bentuk dari asosiasi dari sebuah
brand sebagai hasil dari penerimaan informasi oleh konsumen. Semakin kuat atau
14
dalam konsumen memikirkan informasi yang mereka terima tentang suatu
produk, maka akan semakin kuat pula asosiasi sebuah brand yang akan terbentuk.
Oleh karena itu untuk memperkuat asosiasi sebuah brand maka terdapat faktor
pendukung yaitu tingkat relevansi informasi terhadap target dan tingkat
konsistensi penyampaian informasi sepanjang waktu.
Favorability of brand association muncul karena keinginan dari
perusahaan melalui sebuah brand untuk meyakinkan konsumen bahwa brand
tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan sehingga anggapan positif
dapat muncul dengan sendirinya. Terdapat dua nilai yakni nilai positif dan nilai
negatif dimana subjek sudah tidak lagi dilihat sebagai konten dalam brand image
melainkan dilihat sebagai sebuah rasa yang muncul dari konsumen akibat dari
setiap asosiasi yang ada (Riezebos, 2003). Sedangkan uniqueness of brand
association hadir sebagai faktor pembeda dari brand lainnya dan suatu poin yang
dapat diunggulkan perusahaan apabila dibandingkan dengan pesaing lainnya. Hal
inilah yang menjadi dasar konsumen memilih brand tersebut.
Dalam penelitian ini, favorability of brand association mengukur seberapa
kuat responden menyukai The Body Shop sebagai produk yang bermanfaat bagi
mereka. Strenght of brand association mengukur seberapa kuat brand image yang
terbentuk dalam benak konsumen. Asosiasi yang kuat ini terbentuk berdasarkan
bagaimana program komunikasi pemasaran dan pengalaman konsumen terhadap
suatu brand. Uniqueness of brand association mengukur keunikan yang dimiliki
sebuah brand dihadapan konsumen. Beragam keunikan yang dimilik oleh brand
harus dapat ditanamkan oleh brand kepada kosmetik agar konsumen memiliki
kesan tersendiri terhadap brand image.
4. Teori Stimulus Organism Response
Teori Stimulus Organism Response merupakan salah satu teori yang
berada dalam ranah komunikasi massa. “Mass communication is messages
communicated through a mass medium to a large number of people”. Komunikasi
15
massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah
orang (Rakhmat, 2004: 188). Pada umumnya, komunikasi massa memerlukan
khalayak sebagai komunikan. Namun beberapa ahli komunikasi berpendapat
bahwa mass communication adalah komunikasi melalui media massa. Oleh
karena itu, untuk memudahkan penafsiran dari komunikasi massa, terdapat ciriciri komunikasi massa, yaitu berlangsung satu arah, komunikator bersifat
melembaga, pesan yang disampaikan bersifat umum, media yang digunakan
menimbulkan
keserempakan
dan
komunikan
bersifat
heterogen.
Dalam
komunikasi massa, feedback merupakan hal penting dan utama yang dapat
mendukung keberhasilan dari komunikasi massa dengan menculnya responrespon yang terjadi secara sengaja maupun tidak. Feedback yang diberikan
merupakan hasil dari stimulus yang diberikan oleh komunikator, dimana dalam
komunikasi massa dikenal adanya 3 teori mengenai stimulus, yaitu teori stimulus
response, teori stimulus organism response, dan teori stimulus message channel
receiver.
a. Teori Stimulus Response (S-R)
Teori stimulus dan respons adalah salah satu teori yang
menjelaskan bahwa adanya proses komunikasi yang berjalan satu arah.
Teori ini merupakan suatu prinsip sederhana, dimana efek merupakan
rekasi terhadap stimulus tertentu. Stimulus merupakan informasi-informasi
yang diterima secara fisik melewati panca indera (Arens, Schaefer, dan
Weigold, 2009: 130). Sementara respon merupakan bentuk reaksi yang
diberikan individu terhadap dorongan yang ada dalam dirinya yang
mempengaruhi bagaimana mereka berperilaku.
Teori stimulus respon juga dikenal dengan istilah teori peluru atau
teori jarum hipodemik (hypodermic needle theory). Teori ini mengatakan
bahwa rakyat benar-benar rentan terhadap pesan-pesan komunikasi massa
(Fleur & Rokeach, 1989). Apabila pesan-pesan tersebut tepat sasaran,
maka akan mendapatkan efek yang diinginkan (Severin & Tankard, 2007:
16
146-147). Dalam teori ini, media massa memiliki pemikiran bahwa
audience dapat ditundukkan sedemikian rupa atau bahkan bisa dibentuk
dengan cara apapun yang dikehendaki media.
Teori S-R ini berkembang pada tahun 1920 yang dilatarbelakangi
adanya propaganda yang dilakukan oleh pemerintah melalui media massa,
yaitu surat kabar dan radio. Propaganda yang dilakukan oleh pemerintah
ini dirasa efektif untuk mempengaruhi karena mampu menjangkau
masyarakat secara luas. Dalam melakukan propaganda, pemerintah
memberikan pesan-pesan melalui media dengan sangat cepat dan kondisi
ini menyebabkan perkembangan teori peluru (bullet theory) yang
mengibaratkan pesan-pesan yang diberikan seperti peluru-peluru senapan
yang mampu merobohkan siapa saja yang terkena peluru (Wiryanto, 2000:
20).
Dengan demikian, the bullet theory dan hypodermic needle theory
memandang bahwa media massa merupakan wakil dari pemerintah atau
penguasa yang dapat membentuk opini publik dan menggeser perilaku
publik sesuai dengan keinginan pemberi pesan. Sehingga teori ini
dikatakan sebagai proses komunikasi satu arah.
b. Teori Stimulus Organism Response
Teori Stimulus Organism Response (S-O-R) muncul setelah adanya
propaganda yang dilakukan oleh pemerintah. Komunikasi pada masa
propaganda yang bersifat satu arah mulai tergantikan dengan komunikasi
dua arah dimana adanya pemberi pesan (sender) yang mengarapkan
respon atau feedback dari penerima pesan (receiver). Oleh karena itu,
teori ini secara sederhana memiliki elemen utama, yaitu pesan (stimulus),
receiver (organisme), dan efek (response)(Djamal & Fachruddin, 2011:
69). Dalam teori ini terdapat organisme sebagai penengah antara stimulus
dan respons (Miller, 2002: 238). Teori ini melihat bahwa pesan yang
17
diberikan oleh media akan menghasilkan respons yang bervariasi dari
individu yang menerimanya.
c. Teori Stimulus Messages Channel Receiver
Teori yang dikemukakan oleh David K. Berlo ini menekankan
pada adanya source (sumber), message (pesan), channel (saluran), dan
receiver (penerima). Berlo menambahkan penjelasannya bahwa sumber
adalah pihak yang menciptakan pesan, baik seseorang maupun suatu
kelompok. Pesan adalah terjemahan gagasan ke dalam suatu kode
simbolik, seperti bahasa atau isyarat. Saluran adalah medium yang
membawa pesan, dan yang terakhir adalah penerima sebagai orang yang
menjadi sasaran komunikasi (Fiske, 2012: 137). Teori ini memiliki
kelebihan dimana tidak adanya batas pada komunikasi massa tetapi juga
dapat ditemui dalam komunikasi antar pribadi dan berbagai bentuk
komunikasi lainnya.
Dalam teori ini terdapat proses komunikasi secara dinamik,
berkelanjutan dan berubah-ubah (on going) tanpa adanya titik awal
(starting point) atau titik akhir (stopping point). Oleh karena itu, dalam
menganalisa proses komunikasi ini perlu dilakukan pemenggalan
dinamika komunikasi yang menunjukkan siklus komunikasi S-M-C-R
secara utuh
Secara umum, teori-teori komunikasi yang ada memiliki kelebihan dan
kekurangan yang dapat melengkapi satu sama lain. Hal ini mengakibatkan tidak
semua teori dapat digunakan untuk menggambarkan sebuah fenomena yang
terjadi. Seperti yang terjadi pada penelitian ini yang bertujuan untuk melihat
adanya pengaruh endorser terhadap brand image melalui beauty vlogger. Terkait
dengan hal tersebut, terdapat titik awal proses komunikasi yaitu penggunaan
beauty vlogger sebagai bentuk endorser untuk mewakili sebuah brand dengan
18
titik akhirnya adalah brand image yang ada dalam benak konsumen atau audiens.
Sehingga penelitian ini menggunakan teori stimulus organism response.
Untuk mengukur atau mengetahui adanya pengaruh dari endorser terhadap
brand image, maka digunakan teori stimulus organism response dimana teori ini
berasumsi dasar adanya efek terarah yang ditimbulkan oleh media massa secara
segera dan terarah (Effendy, 2003: 252). Teori ini menekankan adanya aksi-reaksi
dimana kata-kata verbal, isyarat non verbal, simbol-simbol tertentu akan
merangsang pihak lain untuk memberikan respon dengan cara tertentu.
Sederhanya bahwa teori ini memiliki prinsip adanya respon sebagai reaksi balik
dari satu pihak ketika merima stimulus dari pihak lain. Unsur-unsur dalam teori
ini adalah pesan (stimulus), komunikan (organism), dan efek (response) (Effendy,
2003: 254).
Gambar 1.1
Model S-O-R
(Sumber: Effendy, 2003: 255)
Teori ini mejelaskan bahwa organisme dapat menghasilkan perilaku
tertentu jika ada stimulus tertentu sehingga efek yang ditimbukan adalah reaksi
khusus. Reaksi ini dikatakan sebagai respon atau perubahan sikap. Namun pada
proses di atas menggambarkan perubahan sikap bergantung kepada proses yang
terjadi pada individu. Stimulus yang diberikan kepada organisme dapat diterima
atau ditolak sehingga proses selanjutnya terhenti. Hal ini menandakan bahwa
stimulus tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi organisme, maka tidak ada
perhatian (attention) dari organisme. Jika stimulus diterima oleh organisme maka
akan terjadi komunikasi dan ada perhatian dari organisme, dalam hal ini stimulus
19
yang diberikan efektif dan mampu menimbulkan reaksi. Langkah selanjutnya
adalah jika stimulus telah mendapatkan perhatian dari organisme maka dapat
terjadi kesediaan dalam mengubah sikap. Dalam perubahan sikap ini dapat terlihat
bahwa sikap dapat berubah hanya jika rangsangan yang diberikan melebihi
rangsangan semula. Perubahan terjadi apabila stimulus yang diberikan dapat
meyakinkan organisme, dan akhirnya secara efektif dapat mengubah sikap.
Hovland (dalam Effendy, 2003: 255) menjelaskan bahwa perubahan sikap adalah
serupa dengan proses belajar. Dalam mempelajari sikap yang baru, ada tiga
variabel penting yang menunjang, yaitu perhatian, pengertian, dan penerimaan.
Terpilihnya teori stimulus organism response dibandingkan dua teori
lainnya adalah karena teori stimulus channel message receiver (S-C-M-R) lebih
menjelaskan secara detail dimana setiap elemen dalam teori perlu penjabaran
secara luas. Teori S-C-M-R memiliki proses komunikasi yang dinamis dan
berkesinambungan sehingga tidak diketahui titik awal dan akhirnya yang apabila
digunakan dalam penelitian ini akan menimbulkan tidak adanya fokus pada satu
sumber tertentu. Sementara teori stimulus response (S-R) menjelaskan bawa
media massa menembakkan keinginan dari sumber langsung ke dalam pemikiran,
sikap dan perilaku yang akan dilakukan oleh penerima pesan yang berakibat
terabaikannya faktor-faktor lain dalam diri komunikan. Dalam teori S-R, hasil
dari komunikasi yang terjadi sesuai dengan apa yang diinginkan oleh komunikator
sehingga dapat dikatakan bahwa teori ini merupakan bentuk komunikasi satu arah.
Pada penelitian ini digunakan teori Stimulus Organisme Response (S-O-R)
dimana memiliki tujuan dengan titik awal dan titik akhir yang jelas. Titik awal
dalam penelitian ini adalah pesan yang disampaikan pada penggunaan beauty
vlogger sebagai sosok endorser kemudian titik akhir dari penelitian ini adalah
brand image yang dihasilkan sebagai bentuk respon. Dikaitkan dengan teori S-OR ini, maka stimulus yang dimaksud adalah pesan yang disampaikan oleh beauty
vlogger sebagai sosok endorser, organisme yang digunakan adalah para audiens,
dan response yang diberikan adalah brand image dari produk The Body Shop.
20
G. Kerangka Konsep
Melalui pemaparan kerangka pemikiran tersebut, maka penelitian ini
menentukan konsep batasan yaitu pada konsep pesan beauty vlogger sebagai salah
satu bentuk dari endorser, konsep audiens, dan konsep brand image. Sementara
untuk teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Stimulus-OrganismRespons (S-O-R). Dalam teori ini diasumsikan bahwa penyebab terjadinya
perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsangan (stimulus) yang
berkomunikasi dengan organisme. Oleh karena itu elemen-elemen yang
dibutuhkan dalam teori ini adalah pesan (stimulus), komunikan (organisme), dan
efek (respon).
Konsep pesan beauty vlogger sebagai endorser merupakan salah satu
bentuk kreatifitas dalam proses komunikasi pemasaran dengan konsep pendukung
(endorser) yang diharapkan mampu membantu dalam pencapaian tujuan
perusahaan dan menciptakan brand image produk pada benak konsumen. Dalam
proses penyampaian pesan yang disampaikan oleh beauty vlogger, perlu
diperhatikan adanya faktor dari pihak endorser agar pesan dapat tersampaikan
dengan baik yaitu trustworthiness (dapat dipercaya), expertise (keahlian),
attractiveness (daya tarik), respect (kualitas dihargai), dan similarity (kesamaan)
dengan memenuhi syarat-syarat pesan yang ideal, yaitu meaningful, believable,
dan destinctive. Sementara konsep audiens dalam hal ini merupakan bentuk
perhatian akan sosok beauty vlogger, pengertian terhadap sosok beauty vlogger,
dan penerimaan akan sosok beauty vlogger yang didapatkan setelah menerima
informasi atau stimulus dari beauty vlogger. Pada akhirnya muncul konsep brand
image sebagai hasil dari konsep-konsep sebelumnya dimana kehadirannya
dipengaruhi oleh faktor-faktor favorability of brand association, strenghtness of
brand association, dan uniqueness of brand association.
Mengacu pada kerangka pemikiran dan teori yang digunakan, berikut
adalah bagan kerangka konsep penelitian ini, untuk menggambarkan alur
konseptual penelitian ini.
21
Gambar 1.2
Kerangka Konsep
STIMULUS
ORGANISM
Kredibilitas beauty
vlogger (X1,1)
Audiens (X2)
− Trustworthiness
(X1,1,1)
− Expertise (X1,1,2)
− Attractiveness
(X1,1,3)
− Respect (X1,1,4)
− Similarity (X1,1,5)
− Perhatian beauty
vlogger (X2,1)
− Pengertian
beauty vlogger
(X2,2)
− Penerimaan
beauty vlogger
(X2,3)
Pesan beauty
vlogger (X1,2)
RESPONSE
Brand Image
− Strenght of
brand
association (Y1)
− Favorability of
brand
association (Y2)
− Uniqueness of
brand
association (Y3)
− Meaningful
(X1,2,1)
− Believable
(X1,2,2)
− Distinctive
(X1,2,3)
Bagan tersebut menunjukkan adanya tiga variabel utama dalam penelitian
ini. Variabel pertama adalah adanya kredibilitas dari beauty vlogger dan pesan
beauty vlogger yang merupakan variabel independen dalam penelitian ini.
Variabel kedua adalah audiens yang merupakan variabel anteseden. Sementara
variabel dependen dalam penelitian ini adalah brand image produk yang diteliti.
Oleh karena itu, untuk mengetahui variabel-variabel dari bagan kerangka konsep
di atas akan dijelaskan dalam tabel operasionalisasi konsep selanjutnya.
22
H. Operasionalisasi Konsep
Tabel 1.1
Operasionalisasi Konsep
No
Konsep
Variabel
Dimensi
Trustworthiness
Expertise
Kredibilitas
Beauty
Vlogger
1
Attractiveness
Stimulus
Respect
Similarity
Meaningful
Pesan
Beauty
Vlogger
2
Organism
Audiens
Believable
Destinctive
Perhatian
Item
Skala
Kejujuran
Likert
Konsistensi
Kepercayaan
Diri
Pengetahuan
terkait brand
Pengalaman
dengan brand
Keahlian dalam
brand
Timbulnya
asosiasi positif
Merefleksikan
brand
Penghargaan
terhadap
endorser
Kesamaan
brand dengan
endorser
Kesamaan
dengan diri
sendiri
Likert
Menampilkan
manfaat
Dapat dipercaya
Menjelaskan
kelebihan dari
pesaing
Perhatian
selektif
Perhatian
terbagi
Likert
Likert
Likert
Likert
Likert
Likert
Likert
Likert
Likert
Likert
Likert
Likert
Likert
Likert
23
Pengertian
Penerimaan
3
Response
Brand
Image
Strenght of
Association
Favorability of
Association
Uniqueness of
Association
Perhatian terusmenerus
Minat
Pengalaman
Penerimaan
positif
Penerimaan
negatif
Atribut
Manfaat
Desirability
Deliverability
Point of parity
Point of
difference
Likert
Likert
Likert
Likert
Likert
Likert
Likert
Likert
Likert
Likert
Likert
I. Definisi Operasional
Dalam penelitian ini digunakan dua variabel, yaitu variabel independen
dan variabel dependen. Variabel adalah sesuatu yang mempunyai variasi nilai
sebagai operasional dari konsep sehingga dapat diteliti secara empiris
(Singarimbun, 1995: 42). Variabel dapat ditentukan dengan memilih dimensidimensi tertentu dengan konsep yang memiliki variasi nilai. Oleh karena itu,
definisi operasional variabel ntuk masing-masing variabel dan indikatornya
adalah:
1. Dimensi kredibiltas endorser dalam pesan beauty vlogger
Pesan yang disampaikan oleh beauty vlogger sebagai bentuk endorser
merupakan variabel bebas dalam penelitian ini. Selain itu di dalam pesan yang
dibawanya, beauty vlogger juga harus memperhatikan kredibilitas dari sosok
endorser yang digunakan agar pesan yang disampaikan dapat dikatakan ideal.
Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi
sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2006: 33).
Variabel bebas (X1) dalam penelitian ini terdapat 8 (delapan) item, yaitu:
a. Trustworthiness (X1,1,1) merupakan model pola kepercayaan dan tingkat
penerimaan konsumen akan suatu pesan yang dibawa oleh sosok beauty
24
vlogger
yang
mengarah
pada
kepercayaan
konsumen
terhadap
kemampuan membawa pesan dalam menyediakan informasi dengan tidak
bias dan dengan cara yang baik. Hal oini diukur dengan indikator
kejujuran, konsistensi, dan kepercayaan diri.
b. Expertise (X1,1,2)merupakan keahlian sosok endorser yang dibuktikan
dengan wawasan yang luas sehingga mampu mempengaruhi kesan dan
persepsi konsumen terhadap kualitas produk tertentu. Hal ini diukur
dengan indikator pengetahuan, pengalaman, dan keahlian endorser
terhadap brand tertentu.
c. Attractiveness (X1,1,3)merupakan sosok endorser yang menimbulkan
asosiasi positif dan merefleksikan brand dengan daya tarik yang
dimilikinya lebih baik daripada sosok endorser lainnya. Hal ini diukur
dengan indikator timbulnya asosiasi positif dan merefleksikan brand.
d. Respect (X1,1,4) merupakan bentuk sosok endorser yang dicapai secara
pesonal dimana sosok endorser dihargai secara umum. Hal ini diukur
dengan indikator seberapa besar konsumen menghargai kualitas yang
dimiliki sosok endorser tersebut.
e. Similarity (X1,1,5) merupakan kesan yang terpancar dari sosok endorser
dan kesan produk yang dibuat sedemikian rupa agar selaras sehingga
proses penyampaian pesan dapat berhasil mencapai tujuannya. Hal ini
diukur dengan indikator kecocokan antara brand dan endorser serta
kecocokan endorser dengan konsumen
f. Meaningful (X1,1,6)merupakan bentuk pesan yang mampu menunjukkan
manfaat-manfaat dari produk. Oleh karena itu indikator dalam variabel ini
adalah pesan yang mampu menampilkan manfaat dari produk.
g. Believable (X1,1,7) merupakan bentuk pesan dimana informasi yang
diberikan harus dapat dipercaya dengan indikator adanya pesan yang
meyakinkan konsumen.
25
h. Destinctive (X1,1,8) merupakan bentuk pesan dimana adanya informasi
pembeda. Sehingga dalam variabel ini terdapat indikator pemberian
informasi kelebihan produk dengan produk pesaing.
2. Dimensi Perhatian, Pengertian, dan Penerimaan audiens
Perhatian, pengertian dan penerimaan audiens merupakan variabel
anteseden (X2). Variabel antesenden merupakan variabel yang mendahului
terjadinya hubungan antara variabel independen dan variabel dependen (Y).
Variabel anteseden ini bisa merupakan variabel yang dapat memediasi
hubungan antara variabel independen dan variabel dependen (intervening)
atau memoderasi sehingga hubungan antara variabel independen dan variabel
dependen semakin kuat (moderating).
a. Perhatian atau atensi (X2,1) adalah proses secara sadar sejumlah kecil
informasi dari sejumlah besar informasi yang tersedia. Informasi
didapatkan dari penginderaan, ingatan maupun proses kognitif lainnya.
Proses atensi membantu efisiensi penggunaan sumberdaya mental yang
terbatas yang kemudian akan membantu kecepatan reaksi terhadap
rangsangan tertentu (Robert J. Sternberg, 2008: 124). Hal ini diukur
dengan indikator: (1) Perhatian selektif, (2) Perhatian terbagi, dan (3)
Perhatian terus-menerus.
b. Pengertian (X2,2) adalah tahap dimana responden mencoba memahami
stimulus yang diberikan. Pengertian ini terjadi apabila responden
memberikan perhatian pada stimulus tersebut. Pengertian ini akan diukur
dengan indikator: (1) Minat dan (2) Pengalaman.
c. Penerimaan (X2,3) adalah tahap dimana responden mengambil kesimpulan
kepada stimulus yang diberikan. Hal ini akan diukur dengan indikator: (1)
Penerimaan positif dan (2) Penerimaan negatif.
3. Dimensi Brand Image
Brand image adalah variabel terikat dalam penelitian ini dimana variabel
terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena
26
adanya variabel bebas (Sugiyono, 2006: 33). Adapun untuk variabel terikat
(Y) dalam penelitian ini memiliki tiga item, yaitu:
a. Strenght of association (Y1) adalah bagaimana kekuatan asosiasi dari
sebuah brand berada dalam benak konsumen. Hal ini diukur dengan
indikator: (1) Atribut yang merupakan bentuk komposisi fisik dari produk
atau brand yang berkaitan dengan aspek tangible dan (2) Manfaat yang
merupakan nilai personal yang melekat pada atribut produk (Keller, 1993:
4).
b. Favorability of association (Y2) merupakan bentuk tingkat kesukaan
terhadap asosiasi sebuah brand. Hal ini diukur dengan indikator (1)
Desirability (keinginan) dan (2) Deliverability (ketersampaian).
c. Uniqueness of association (Y3) merupakan bentuk keunikan sebuah brand
yang membedakan dengan brand lain. Hal ini dapat diukur dengan
indikator
Unique Seling Proposition
yang
merupakan
hal
yang
membedakan dengan milik pesaing.
J. Hipotesis
Hipotesis diartikan sebagai perkiraan hasil atas research question yang ada
dalam penelitian (Punch, 2005). Hipotesis dalam penelitian ini berdasarkan
konsep di atas adalah:
H0
: Beauty vlogger sebagai pendukung (endorser) tidak memiliki
hubungan korelasional dengan brand image produk The Body
Shop.
H1
: Beauty vlogger sebagai pendukung (endorser) memiliki
hubungan korelasional dengan brand image produk The Body
Shop.
27
K. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei.
Penlitian kuantitatif merupakan penelitian yang tidak mementingkan kedalaman
data, yang penting dapat merekam data sebanyak-banyaknya dari populasi yang
luas (Masyhuri dan Zainuddin, 2008: 13). Sementara metode yang digunakan
yaitu metode survei adalah metode yang mengumpulkan dan memperoleh data
secara langsung dari sumber lapangan penelitian, biasanya melalui kuisioner dan
wawancara baik secara lisan maupun tertulis yang memerlukan adanya kontak
secara tatap muka antara peneliti dengan respondennya (Ruslan, 2003: 22).
Metode survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan
menggunakan
kuisioner
sebagai
alat
pengumpulan
data
yang
pokok
(Singarimbun, 1995: 3). Sehingga dengan menggunakan metode survei
memungkinkan peneliti untuk melakukan generalisasi suatu gejala sosial atau
variabel sosial tertentu kepada gejala sosial atau variabel sosial dengan populasi
yang lebih besar (Burgin, 2005: 35).
Penggunaan metode survei dikarenakan metode ini dianggap mampu
melakukan pengukuran secara cermat terhadap penelitian ini. Setelah data telah
diperoleh melalui responden, maka dilakukan pengolahan data untuk mengetahui
hubungan korelasional antara pesan beauty vlogger dengan brand image The
Body Shop.
2. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari subjek penelitian (Arikunto, 2006:
108). Populasi dijelaskan oleh Sugiyono (2006: 72) adalah wilayah
generalisasi yang terdiri dari subjek atau objek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulan. Oleh karena itu populasi pada dasarnya adalah
segala objek dan subjek yang diteliti dalam penelitian ini. Populasi dalam
28
penelitian ini tidak memiliki batasan geografis yaitu para subsribers Abel
Cantika dalam official account YouTube Abel Cantika yang berjumlah
105.995 orang (data per tangal 25 September 2016). Oleh karena itu jumlah
tersebut ditetapkan sebagai populasi dari penelitian ini dikarenakan tidak
adanya sifat intervensi dari pihak manapun sehingga bersifat objektif.
Penetapan populasi dikaitkan oleh media yang digunakan oleh sosok
endorser dalam menyampaikan pesan yaitu menggunakan media sosial, salah
satunya YouTube.
b.
Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi atau bagian dari karakteristik
yang dimiliki oleh populasi yang akan diteliti (Umar, 2000: 145). Penentuan
jumlah sampel pada penelitian ini berdasarkan rumus Slovin (Umar, 2000:
78)
keterangan:
n= ukuran sampel
N= ukuran populasi
e= presentase kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan
pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan.
Dalam penelitian ini sampel tersebut adalah 5%
Dengan menggunakan rumus di atas maka didapatkan sampel
sebanyak 398,49 yang dibulatkan menjadi 400 orang untuk memperoleh
angka genap. Sampel yang akan diambil dari populasi adalah mereka yang
menonton video review produk The Body Shop oleh Abel Cantika sebagai
dasar pertimbangan penetapan kriteria sampel tersebut karena pada penelitian
ini membutuhkan sampel yang tidak mendapatkan intervensi dari pihak
manapun selain dari pihak endorser dalam membentuk brand image.
29
3. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik purposive
sampling. Purposive sampling adalah penunjukan sampel yang didasarkan atas
ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Kasiram,
2008: 277). Dalam teknik ini, pengambilan sampel mencakup pihak-pihak yang
terseleksi atas dasar kriteria-kriteria tertentu yang dibuat peneliti atas dasar tujuan
penelitian, sedangkan pihak-pihak dalam populasi yang tidak sesuai dengan
kriteria tersebut tidak menjadi sampel.
Penelitian ini memilih teknik pengambilan sampel di atas karena tidak
semua masyarakat yang dijumpai dapat dijadikan sampel, karena dalam penelitian
ini, peneliti hanya menggunakan sampel 400 orang yang merupakan subscribers
dalam akun YouTube Abel Cantika.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini akan digunakan sumber data primer yang merupakan
sumber data pertama dimana sebuah data dihasilkan (Bungin, 2001: 19).
Penelitian
ini
menggunakan
teknik
pengumpulan
data
langsung
yaitu
menggunakan kuesioner dan studi pustaka. Studi pustaka digunakan untuk
mengumpulkan data dan teori dalam penelitian ini, maka peneliti memanfaatkan
berbagai macam data dan teori yang dikumpulkan melalui berbagai pustaka
penunjang guna melengkapi daya yang berhubungan dengan topik penelitian.
Kuesioner adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengirimkan suatu daftar
pertanyaan kepada responden untuk diisi (Sukandarrumidi, 2004: 78). Metode
kuesioner dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan skala Likert (Likert
Scale) yang kemudian mendapatkan data ordinal. Menurut Kinnaer dalam (Umar,
2000: 69), skala likert ini berhubungan dengan pernyataan tentang sikap
seseorang terhadap sesuatu, misalnya setuju-tidak setuju, senang-tidak senang,
dan baik-tidak baik. Data ordinal yang didapatkan kemudian akan diubah dalam
bentuk rasio guna memudahkan dalam pengolahan data pada program SPSS.
30
5. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas
Pada penelitian ini, metode uji validitas dilakukan terhadap 30 kuesioner
awal yang terkumpul dengan Pearson test, yaitu membandingkan nilai angka
rhitung dengan nilai korelasi tabel (rtabel), dimana derajat kebebasan = n-2.
Dengan sampel sebesar 30 responden, maka didapatkan nilai derajat kebebasan
(dk) = 28. Tingkat keyakinan dalam penelitian ini sebesar 95 %, sehingga
toleransi kesalahan ( sebesar 5% maka didapatkan nilai dari rtabel adalah
0,239. Apabila angka rhitung > 0,361 maka item kuesioner valid. Namun apabila
angka rhitung 0,361 maka item kuesioner dinyatakan tidak valid/gugur. Hasil
uji validitas akan ditampilkan pada bab 4.
Sementara untuk uji reliabilitas juga dilakukan terhadap 30 kuesioner awal
yang terkumpul. Reliabilitas adalah kemampuan suatu instrumen menunjukkan
kestabilan dan konsistensi dalam mengukur konsep. Adapun pengujian ini
didasarkan pada nilai Cronbach Alpha, dimana ketentuannya jika nilai Cronbach
Alpha > 0,6. Hasil uji reliabilitas akan ditampilkan pada bab 4.
6. Teknik Analisis Data
Setelah mengetahui mengenai metode penelitian, populasi dan sampling
serta teknik pengumpulan data yang akan digunakan saat penelitian, dibutuhkan
pula teknik dalam menganalisis data agar dapat memproses data lebih dalam dan
sederhana sehingga mudah untuk dibaca dan interpretasikan. Penelitian ini akan
menggunakan analisis data deskriptif, analisis regresi, dan analisis korelasional.
a. Analisis Deskriptif (Statistika Deskriptif)
Statistika deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan
pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan
informasi yang berguna. Statistika deskriptif hanya memberikan
informasi mengenai data yang dipunyai dan sama sekali tidak menarik
kesimpulan apapun tentang gugus induknya yang lebih besar (Dedy
Kuswanto, 2012: 27). Pada analisis deskriptif akan dilakukan analisis
mean dan crosstabulation.
31
b. Analisis Regresi
Analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan
menggunakan analisis regresi sederhana dan berganda menggunakan
analisis jalur (path analysis). Analisis regresi sederhana adalah analisis
untuk mengetahui hubungan linier antara variabel independen (X1),
variabel anteseden (X2) dan variabel dependen (Y). Formula persamaan
linier adalah sebagai berikut:
Y= a0 + b1 X1 + b2 X2 + b3 X1 X2
Keterangan:
Y = variabel dependen
X2 = variabel anteseden
X1 = variabel independen
a = konstanta (nilai Y apabila X=0)
b1 = koefisien regresi untuk X1
b2 = koefisien regresi untuk X2
b3 = koefisien regresi untuk X3
c. Analisis Korelasional (Pearson Correlation Test)
Tujuan penelitian korelasional menurut Garu dalam Emzir (2007:
38) adalah untuk menentukan hubungan antara variabel, atau untuk
menggunakan hubungan tersebut untuk membuat prediksi. Sedangkan
menurut Suryabrata (1994: 24) adalah untuk mendeteksi sejauh mana
variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu
atau lebih faktor lain berdasakan pada koefisien korelasi.
Koefisien korelasi ialah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi
antara dua variabel. Besarnya koefisien korelasi berkisar antara +1 s/d -1.
Koefisien korelasi menunjukkan kekuatan (strenght) hubungan linear dan
arah hubungan dua variabel acak. Untuk memudahkan melakukan
interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel, penulis
memberikan kriteria sebagai berikut (Sarwono, 2006: 87):
32
0: tidak ada korelasi antara dua variabel
> 0 - 0,25 : korelasi sangat lemah
> 0,25 – 0,5 : korelasi cukup
> 0,5 – 0,75 : korelasi kuat
> 0,75 – 0,99 : korelasi sangat kuat
1 : korelasi sempurna
7. Timeline Penelitian
Tabel 1.2
Timeline Penelitian
Tanggal
Kegiatan
Oktober 2016
Penyebaran uji kuesioner
Oktober 2016
Uji validitas dan uji reliabilitas
Oktober 2016
Penyebaran kuesioner
Oktober 2016
Pengolahan data
33
!"
Download