BAB II PEMBELAJARAN BERPIKIR KESEJARAHAN A

advertisement
BAB II
PEMBELAJARAN BERPIKIR KESEJARAHAN
A. Pembelajaran Sejarah
1. Pengertian Sejarah dan Pendidikan Sejarah
Melalui kamus online yang tersedia dalam
http://education.yahoo.com/reference/dictionary/entrv7id~h02198Q0. dan diakses
tanggal 15-3-2005),
terdapat beberapa pengertian sejarah. Dalam bentuk kata
benda sejarah diartikan; sebuah narasi dari peristiwa-peristiwa; suatu cerita (A
narraiive of events; a siory), dan
suatu catatan peristiwa secara kronologis (A
chronological record of evenis). Pengertian lain adalah suatu cabang ilmu yang
mencatat dan menganalisa kejadian-kejadian masa laiu ( The branch of knowledge
t hai records and analyzes past events), dan kumpulan keseluruhan peristiwa peristiwa masa lampau dari
kegiatan-kegiatan manusia (The aggregate of past
events or human affairs: basic rools used throughout history). Secara sederhana
diartikan pada sesuatu yang terkait dengan masa lampau (Something that belongs
to the past).
Terminologi
"sejarah" dikenal sebelumnya dari bahasa Arab, syajaratun,
yang berarti pohon kayu. Arti ini dimaknai dalam silsilah {family tree), asal-usul,
pertumbuhan dan perkembangan yang kontinuitas dari suatu komunitas atau
peristiwa (Sjamsuddin, 1996:2). Sedangkan makna yang berkembang kemudian
adalah
sejarah yang diambil dari bahasa Yunani kuno, historia yang berarti
34
35
belajar dengan cara bertanya (inquiry). Kemudian dialihkan ke bahasa Inggris,
history, yang diartikan sebagai sejarah.
Hampir sama dengan batasan di atas, namun secara rinci dan tegas batasan
sejarah menjadi jelas terpisah dengan peristiwa alam pada perkembangan
berikutnya. Seperti yang disampaikan oleh Woolever dan Scoot (1988, 115)
bahwa," sejarah adalah kajian tentang masa lampau manusia, aktivitas manusia di
bidang politik, militer, sosial, agama, ilmu pengetahuan dan hasil kreativitasnya
(seni, musik, literatur dan lainnya)". Lebih lanjut, batasan sejarah, yang terkait
dengan penekanan pada konsep waktu kelampauan ini berkembang pula. Seperti
yang diungkapkan oleh Amy Von Heyking (2003),"sejarah bukanlah cerita masa
lampau, dan bukan catatan peristiwa sejarah yang teijadi di masa lalu, melainkan
sebuah bentuk kegiatan inquiry yang menolong kita membangun sebuah
pemahaman dari kehidupan kita baik secara individu maupun kolektif dalam
waktu tertentu". Ungkapan Heyking ini, tidak terlepas dari pemahaman bahwa
sejarah adalah sebuah disiplin ilmu yang merupakan hasil interpretasi yang
diperlukan kejelasan kevaliditasan, dan kredibilitas bukti sejarah tersebut dalam
kaitannya untuk dianalisis, dibangun dan dibangun kembali narasi tentang
masyarakat, peristiwa, dan gagasan di masa lampau ( Foster dan Yeager,1999, Mc
Neil, 2000).
Dari perkembangan pengertian sejarah di atas, jelaslah bahwa unsur-unsur
yang melekat pada sejarah adalah manusia, peristiwa, masa lalu, catatan/rekaman
peristiwa, tempat/ruang kejadian dan kronologis, kegiatan in^w/Vy/interpretasi dari
suatu peristiwa masa lampau secara ilmiah. Sidi Gazalba (1981 : 2), Gross (1978
36
: 92), dan
Lucey (1984 : 9), menekankan pada tiga aspek
utama yang
menggambarkan secara keseluruhan dari pengertian sejarah, yaitu peristiwa,
manusia dan waktu. Peristiwa yang terjadi hanya satu kali, bersifat unik. Peran
manusia dalam melakoni peristiwa tersebut dan waktu teijadinya peristiwa
tersebut. Dapat dikatakan bahwa menurut ungkapan tersebut, bukan sejarah, jika
tanpa tiga aspek tersebut.
Berkaitan dengan upaya pemahaman dan perekonstruksian sejarah, maka
sejarah juga merupakan sebuah kajian tentang peristiwa masa lalu yang tidak
pernah final dikarenakan tidak lengkapnya. Sejarah sebagai suatu kajian tentang
masa lampau memberikan catatan-catatan yang tidak lengkap. Seperti yang
diungkapkan oleh Lucy dan Mark O'hara (2001:1),"...as ihe study of everything
that has happened, which givert the incomplete record available, would inevitabel
be less than full story but would still be extremely large and complex".
Pemahaman dan kajian tentang sejarah terus berkembang. Sejarah yang
semula hanya terbatas pada cerita masa lalu, kemudian masuk pada kelompok
ilmu pengetahuan, berkat jasa bapak sejarah, Heradotus, Oleh sebab itu sebagai
sebuah kajian peristiwa manusia
masa lalu, sejarah sangat
memerlukan
ketrampilan berpikir kritis. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Mc Neil
(2000),
bahwa," history knowledge is no more and less than carefully and
critically constructed collective memory \ Dengan kata lain, pengetahuan sejarah
itu tidak lebih kurang adalah koleksi ingatan yang dibangun secara hati-hati dan
kritis.
37
Dimensi waktu dalam sejarah, terus disadari bukan hanya untuk upaya
perekonstruksian, tetapi lebih dari itu. Sejarah bukan hanya nostalgia atas kejadian
lampau, tetapi sebagai sebuah dialog yang terus menerus ke masa sekarang dan
akan datang. Sejarah adalah suatu dialog tanpa akhir antara masa sekarang dan
masa lampau (Carr, 1965 : 35). Masa sekarang diketahui melalui penjelasan
tentang masa lampau. Namun dialog tersebut hanya dapat dicapai melalui
penelusuran
jejak-jejak
sejarahnya.
Sebagaimana
Coolingwood (2001:140) yang menyatakan bahwa,
w
juga
dinyatakan
oleh
the past is the etplanation of
the present, bui the pasi only known by analyzing its traces in the present
Terkait dengan penulisan sejarah yang akurat, objektif serta tidak pernah
final, karena dibatasi oleh catatan sejarah. Keterbatasan catatan sumber sejzirah,
menurut Commager (dalam Woolever dan Scoot, 1988: 118), adalah disebabkan
penulisan atau catatan sejarah cenderung dibuat oleh kelompok yang menang
perang,
dan bukan oleh kelompok yang kalah, atau tersisih. Lebih lengkap
dikatakannya," Over the centuries history has been written by the victors, not the
vanquished". Selain itu ditambahkannya, bahwa adanya sekelompok orang
memiliki catatan sejarah yang lengkap dibanding yang lainnya, misal antara
bangsa Eropa dengan bangsa Afrika atau Amerika latin. Selain itu sebelum
adanya perubahan fokus penulisan sejarah yang dilakukan kelompok Annales,
catatan sejarah lebih banyak mencatat kelompok terpelajar, orang besar, penguasa
dan sedikit sekali mencatat aktivitas manusia kelas bawah, "urtderclass - the
commort people - the working classDitambahkan Commager (dalam Woolever
dan Scoot, 1988: 119-120) adanya faktor lain yang menyebabkan biasnya sejarah,
38
yaitu (1) membesarkan, membuat spektakuler suatu kejadian atau individu, (2)
penulisan sejarah yang dipengaruhi oleh rasa kesukuan dan
nasionalisme
sejarawan, (3) memberikan penilaian terhadap peristiwa masa lalu dengan standar
dan nilai yang berlaku sekarang, (4) membiarkan pengetahuan tentang peristiwa
yang belakangan tetjadi mempengaruhi kita dalam-menganalisis, misal sebab
akibat.
Mengenai permasalahan ketidaklengkapan data catatan sejarah, maka
Woolever dan Scoot (1988) membagi sejarawan ke dalam dua golongan,
berdasarkan tulisan sejarah yang dihasilkannya, yaitu "descriptive (narrative
historians)"
dan "scieniific historiartsJika golongan sejarawan yang pertama
lebih diarahkan penulisan sejarah pada kegiatan humanis dan kurang memiliki
karakteristik objektif dari ilmu sosial, maka sejarawan golongan kedua memiliki
komitmen
pada
sifat,
metode,
pendekatan
ilmu
dalam
mengupas dan
merekonstruksi masa lalu.
Sebagai suatu mata pelajaran di sekolah, sejarah merupakan mata
pelajaran yang tertua dibandingkan disiplin ilmu sosial lainnya. Pendidikan
sejarah diajarkan di sekolah
sejak zaman penjajahan, sesudah kemerdekaan
hingga sekarang (Hasan, 2000:9). Pemberian pendidikan sejarah ini lebih
diorientasikan kepada kepentingan penguasa/pemerintah yang ada mulai dari
Belanda dan
Jepang. Gonggong (2003). mengatakan dalam periode tertentu
pelajaran sejarah di Indonesia sesudah kemerdekaan juga dijadikan alat penopang
kekuasaan. Untuk mengurangi ha! tersebut, Gonggong menyarankan agar dalam
39
pengertian pendidikan sejarah harus diberikan di depan kelas sebagai sejarah
dalam pengertian ilmu, tidak dalam pengertian politik.
Pendidikan sejarah tidak hanya dimaknai sebagai alat untuk memberikan
pemahaman tentang kemegahan dan kegagalan suatu bangsa di masa lampau,
tetapi juga memperkenalkan pebeiajar terhadap disiplin ilmu sejarah (berpikir
keilmuan) (Hasan, 2003). Dalam konteks makna pendidikan sejarah yang
pertama,
maka
pendidikan
sejarah
cenderung
bersifat
transmisi
dalam
implementasinya, atau lebih fokus pada sisi manusia, generasi penerus.
Sedangkan yang kedua menempatkan sejarah seperti tradisi kedua "social studies,
as a social sciences", atau dapat dikatakan lebih memfokuskan pada sisi disiplin
ilmu.
Hal ini menekankan pendidikan
sejarah kepada kualitas berpikir,
mempelajari dan mengembangkan berbagai ketrampilan yang diperlukan dalam
ilmu sejarah. Menurut Hamid Hasan (2003) fokus kurikulum pendidikan sejarah
hendaklah menjadikan manusia dan ilmu sebagai salah satu sumber dan bukan
satu-satunya.
Peranan pendidikan sejarah sebagai salah satu tiang atau landasan utama
bagi pendidikan IPS (Wiriaatmadja (1992:12), terutama untuk penanaman nilainilai seperti pengenalan jati diri, empati, toleransi yang akan menumbuhkan sense
of belonging dan sense of solidarity. Nilai-nilai ini diperlukan untuk membentuk
identitas nasional. Di tengah era globalisasi, yang disebut juga era neoliberalisme
oleh Mansour Fakih (2001), pembentukan identitas nasional tidaklah mudah.
Salah satunya tentangan dari cyber media, yang mengakibatkan transnasional.
Sebagai contoh adalah peristiwa sengketa Ambalat antara Indonesia dengan
40
Malaysia, masyarakat Indonesia serentak bertambah semangat nasionalismenya,
tidak saja yang ada di Indonesia, juga yang ada di negara-negara lain.
Contoh
lain, betapa singkat dan mudah terbakar emosi masyarakat dunia pemeluk Islam,
saat tayangan televisi menayangkan serangan Amerika atas Irak, atau juga
tindakan sembrono tentara Amerika terhadap Al-Quran di penjara Guantenamo.
Oleh karena itu menurut Von Laue (1995:22) pengajaran sejarah di masa depan
haruslah memiliki ciri (1) sejarah yang tidak menekankan hanya pada sejarah
nasional dan lokal, tetapi juga diperlukan sejarah globai.(2) sejarah yang
berintikan adanya hubungan yang selaras sesama manusia dengan landasan saling
menyayangi dan memperkokoh kesetiakawanan, dan bukan sebaliknya, (3)
sejarah yang memiliki pandangan ke masa depan dengan bertolak dari peristiwa
masa lampau.
Di dalam proses pengajaran sejarah guru diberi kesempatan
untuk
merancang pengembangan kualitas kesejarahan ini dalam suatu proses pendidikan
yang sinergis (Hasan, 2000). Kemampuan, inovasi guru dalam mengorganisasikan
materi, tujuan, pembelajaran, fasilitas pembelajaran dan pola evaluasi yang akan
digunakan akan menentukan keberhasilan belajar siswa (Hasan, 1996).
GURI
sebagai ugate keepers** memiliki keleluasaan dalam memutuskan bagaimana
rancangan pembelajaran, pelaksanaanya, dan penilaian yang akan dilakukan di
dalam kelasnya (Thornton, 1994: 5).
Secara lebih luas paparan mengenai apa dan bagaimana tujuan dan
manfaat yang diharapkan diperoleh oleh siswa sebagai subjek belajar dalam skala
kecil, dan warga bangsa dalam skala besar, dituangkan dalam sub bab berikut ini.
41
2. Tujuan dan Manfaat Pembelajaran Sejarah
Perubahan zaman yang disebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi,
membawa pengaruh terhadap keberadaan mata pelajaran sejarah di sekolah. Siswa
mulai mempertanyakan tujuan dan manfaat yang didapatnya dari pelajaran
tersebut, selain bernostalgia dengan peristiwa masa lampau. Isu tentang proses
dan hasil belajar sejarah yang kurang menyenangkan selama ini, termasuk juga
sikap, anggapan siswa dan masyarakat yang ditujukan terhadap mata pelajaran
sejarah menjadi bahan diskusi, pemikiran dari para sejarawan dan pakar
pendidikan sejarah.
Sebagaimana ungkapan Collingwood di atas sehubungan dengan kaitan
dimensi waktu dalam sejarah, dialog antara dimensi waktu lalu dan sekarang
bahkan masa depan tidak pernah terputus. Masing-masing dimensi memiliki
posisi yang strategis. Masa lalu diperlukan untuk menjelaskan, memahami
kehidupan yang dijalani manusia sekarang ini dan seterusnya dapat digunakan
untuk kebaikan kehidupan masa depan. Jadi sejarah bukanlah ilmu pendidikan
yang disampaikan hanya untuk bernostalgia. Seperti dipertegas oleh Frankel
(2003) yang menyatakan," ....Hisiory is the study of the past
the past causes
the present, andso the /uture..."".
Sementara itu "ancaman" atas keberadaan pelajaran sejarah di sekolah
sangat dikaitkan oleh masyarakat dengan anggapan keberhasilan hidup (materi,
ekonomi).
Mackinolty (2001:5) mengungkapkan
bahwa pelajaran sejarah
dipertanyakan kerelevanannya untuk dipelajari terkait dengan kemajuan teknologi
yang menekankan pada hasil produksi, ekonomi, kebendaan.
42
u
Keharusan untuk mempelajari sejarah diungkapkan oleh Peter N Stearn
(2001, tersedia dalam http://www.theaha.org/pubs/steam.htm, diakses tanggal 52-2004) yang mengatakan bahwa, "history should be studied because it is
essemial to individuais and to society, and because it harbors beauty". Sejarah
harus dipelajari bukan hanya esensial bagi individu dan masyarakat, tetapi juga
karena ia menghasilkan keindahan/kesenangan". Dia pun mengungkapkan bahwa
ada dua alasan utama yang mendasari mengapa harus belajar sejarah yaitu;
pertama, sejarah menolong kita untuk memahami orang dan masyarakat (History
helps us understand people and societiesj, dan kedua, sejarah menolong kita
memahami perubahan dan bagaimana masyarakat di tempat kita tinggal
ada/muncul (history helps us understandchange and how society we live in came
to be). Selain itu ditambahkannya bahwa sejarah sangat penting dalam kehidupan
manusia, karena sejarah memberikan kontribusi untuk memahami moral, identitas,
dan hakekatnya untuk membentuk warganegara yang baik, dan juga menolong
manusia untuk memahami bagaimana perubahan masa lalu, sekarang dan akan
datang. Lebih lengkap diungkapkan oleh Peter Stern (2001),
...contributes to moral understanding, provides identity, ...essential for
good citizenship,.helps us understand how recent, current, and prospective
changes that effect the Mves of citizens are emerging or may emerge and
what causes are involved.
Ditambahkannya pula bahwa hal yang lebih penting lagi dalam
mempelajari sejarah adalah," ...mendorong perilaku berpikir yang merupakan hal
penting untuk sikap warganegara yang bertanggung jawab, sebagaimana pimpinan
bangsa atau tokoh masyarakat".( encourages habits of mind that are vital for
responsible public behavior. whether as a national or community leader).
1
Selain itu juga, bagi umat Islam, keharusan belajar dari
diantaranya
tertuang daiam Al Qur'an, antara lain dalam
surat A l - H ^ s j ^ " ^ ! ? ^ ^
59:18,".. .perhatikanlah apa yang telah engkau perbuat untuk hari esokmu", dan^
sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang
yang mempunyai akal" (Q.S. Yusuf, 12 : 1II). Dalam AI-Qur'andiuraikan kisah
teladan para nabi, rasul dan
pengkisahan kehidupan bangsa-bangsa
di masa
lampau, ahlak serta bencana-bencana yang menimpa mereka, untuk direnungkan
dan diambil pelajaran dalam upaya memperbaiki kehidupan manusia saat ini dan
nanti.
Pendapat lain yang memberikan alasan mengapa harus dilakukan belajar
dan mengajar sejarah di sekolah adalah agar siwa dapat menjadi warga negara
yang bertanggung jawab dan berpengetahuan. Secara lengkap alasan mengapa
harus
belajar dan mengajar sejarah, menurut Robert Guiterez (1999, tersedia
dalam http://www.theada.ore/pubs/whv/blackevintro.htm. 25-5-04), yaitu:
To understand why people think the way they do, why people behave
the way they do, to determine how people might behave. These goals
reiate to the reason history and social studies are taught at all: that is, to
help students become more responsible and knowledgeable cittzens.
Selain itu pentingnya pelajaran sejarah ini diberikan di sekolah sangat
terkait dengan perkembangan bangsa, bukan sekedar keinginan melainkan
merupakan kebutuhan nasional.
Dinyatakan oleh Cleaf (1991:38), bahwa melalui mata pelajaran sejarah
dapat menolong
siswa
mengembangkan pemahaman dan apresiasi terhadap
warisan dan tradisi-tradisi, serta mereka akan mampu membandingkan kemajuan
yang diperoleh bangsanya dibandingkan dengan bangsa lain. Selain itu melalui
44
mata pelajaran sejarah seyogyanya siswa dapat memahami dan mengapresiasikan
peristiwa-peristiwa sejarah itu sendiri (Syamsuddin, 1999).
Dari penelitian Stanton Burgess Tumer (1987) yang memfokuskan
bagaimana pendapat siswa, guru, instruktur, administratur dan orang tua tentang
kegunaan sejarah, mendapatkan suatu kesimpulan bahwa topik-topik yang relevan
dengan kehidupan siswa dianggap sebagai kurikulum sejarah yang disarankan
untuk menolong siswa mendapatkan manfaat dari belajar sejarah.
Dalam pembelajaran sejarah selain memberikan kesadaran kepada peserta
didik
bahwa perubahan yang tetjadi
merupakan kejadian biasa, juga
membiasakan siswa akan situasi konflik dan kemudian belajar menghadapinya
dengan pengetahuan bagaimana mengelola {conflict management) dan mengatasi
konflik (conflict resolution) (Wiriatmadja, 2002).
Sejarah juga mengajarkan manusia untuk bijaksana dalam memandang
berbagai peristiwa yang kontroversial di masa lalu, sehingga kita mampu
melakukan refleksi terhadap berbagai kecenderungan dalam menjalani kehidupan
saat ini. Di samping itu, sejarah juga juga memberikan makna pemahaman,
apresiasi dan pengertian terhadap berbagai masalah yang tumbuh dan berkembang
di masyarakat (Jarolimek, 1996).
Lebih khusus pendidikan sejarah adalah dasar bagi terbinanya identitas
nasional yang merupakan salah satu modal utama membangun bangsa (Widja,
1989).
Hal senada dikatakan oleh
Buckhardt (dalam Jacques Barzun, 1991)
bahwa tujuan pendidikan sejarah adalah (1) menempa identitas nasional, (2)
45
memelihara hubungan integrative dalam ruang lingkup yang luas, dalam
kehidupan intemasional;(3) menanamkan nilai-nilai kewargaan dan etika.
Melalui sejarahlah nilai-nilai masa lampau dapat dipetik dan digunakan
untuk menghadapi masa kini. Oleh karena itu tanpa sejarah orang tidak akan
mampu membangun ide-ide tentang konsekuensi dari apa yang dilakukannya.
Kitapun pasti ingat ungkapan dari JAS MERAH-nya (Jangan sekali-kali
melupakan sejarah) Bung Kamo, dalam pidatonya tanggal 17-8-1945.
Jorgensen (1993) juga mengatakan bahwa dengan mempelajari sejarah kita
dapat menemukan identitas diri pribadi, masyarakat dan bangsa,
sehingga
menyadarkan akan perbedaan dan perubahan lingkungan, sekaligus membangun
pemahaman yang memadai menyangkut makna dari sejarah yang dialami dalam
kehidupan sehari-hari, karena kemampuan untuk menangkap makna dari sejarah
akan menjadi dasar bagi setiap manusia untuk
mengembangkan sikap positif
terhadap diri dan lingkungannya. Sejarah juga mengajak setiap orang untuk
mampu bersikap bijak dalam menyikapi berbagai masalah di masyarakat dengan
bercermin pada masa lalu (Hasan. 1996).
Dalam bukunya The Methods and Skills of History, Conal Furay dan
Michael J Salevouris (2000),
memaparkan beberapa
kegunaan pendidikan
sejarah, salah satunya yang penting juga adalah memberikan siswa kesempatan
untuk mendapatkan pengalaman dalam
menganalisis dan menginterpretasi
informasi sejarah atau memberikan ketrampilan analisis dan ketrampilan
berkomunikasi.
46
Ha! tersebut searah dengan tujuan pendidikan sejarah bagi siswa di jenjang
SD/SMP yaitu," untuk mengembangkan wawasan kebangsaan dari berbagai
peristiwa sejarah, mengembangkan ketrampilan berpikir logis dan kritis, serta
menghargai sikap kepahlawanan dan menerapkannya dalam kehidupan seharihari". Sedangkan untuk jenjang SMA, tujuan pendidikan sejarah diberikan untuk
mengembangkan; ketrampilan berpikir kesejarahan,
kemampuan mengkaji
sumber-sumber sejarah, kemampuan menulis cerita sejarah dan menerapkan cara
berpikir kesejarahan dalam menganalisis peristiwa di sekitarnya (Hasan, 2003:
290-291).
Oleh karena itu tuntutan terhadap LPTK sangat besar untuk menyiapkan
calon guru sejarah yang memiliki bekal pengetahuan, pemahaman, ketrampilan
berpikir kesejarahan yang diperlukan siswa-siswanya nanti.
Bagaimana hal
tersebut dapat dimiliki oleh mahasiswa calon guru sejarah tersebut, dipengaruhi
oleh bagaimana proses pembelajaran yang mereka alami di LPTK.
3. Pembelajaran Sejarah dalam Kerangka Pendidikan IPS
Diungkapkan oleh Banks (1985) bahwa Pendidikan IPS harus mampu
menjawab tantangan "perubahan dan ketidakpastian", dengan mengembangkan
IPS atas hasil analisis yang mendalam terhadap manusia dan masyarakat
Indonesia serta berorientasi pada nilai-nilai budaya lokal dan global. Oleh karena
itu pembelajaran P IPS harus dapat membekali siswa untuk mampu mengelola
dan mengatasi perubahan dan ketidakpastian
"waktu" tersebut khususnya
kesinambungan
tersebut.
Aspek pemahaman
dan perubahan,
didapat lewat
47
pendidikan sejarah yang pada akhirnya juga dapat memberikan keoptimisan
menyelesaikan permasalahan masyarakat, dan juga bangsa (Wiriaatmadja,
2002:x).
Pelajaran
sejarah
dengan
konsep-konsep di
dalamnya,
sangat
memperkaya kajian pemahaman kehidupan manusia secara komprehensif.
Seperti diketahui bahwa IPS merupakan perpaduan antara konsep-konsep ilmu sosial (sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, dan tatanegara)
dengan konsep pendidikan yang dikaji secara sistimatis, psikologis dan fungsional
sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik (Wisley dalam Hertzberg,
1981:1). Dengan dasar pemikiran itu, menurut
Somantri, (2001) karakteristik
utama yang menjadi jatidiri pendidikan IPS di Indonesia adalah kerjasama ilmu
pendidikan dengan disiplin ilmu-ilmu sosial untuk tujuan pendidikan. Perpaduan
antara ilmu sosial dan pendidikan dalam sajian IPS disebutnya dengan "syrtihetic
disciplinesSebagai
syntetic disciplines, pendidikan IPS memadukan berbagai
konsep ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, serta masalah-masalah sosial dalam
masyarakat.
Begitu luasnya lingkup bahan P IPS, maka menurut Somantri (1996)
pengembangan pendekatannya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pendekatan IPS
sebagai; I) pendekatan kewarganegaraan, 2) pendekatan konsep dan generalisasi
yang
ada
dalam
ilmu-ilmu
sosial,3)
pendekatan
yang
menyerap
dan
mengembangkan bahan pendidikan dari kehidupan sosial kemasyarakatan.
Aplikasi pembelajaran sejarah dalam kerangka pendidikan IPS, tidak
terlepas dengan apa yang menjadi tujuan diajarkannya, yaitu secara umum untuk
membentuk warganegara yang baik dari beragam budaya dan masyarakat
48
demokrasi dalam sebuah dunia yang saling ketergantungan (Evan&Saxe,
1996:197). Kompetensi-kompetensi yang diajarkan dalam pendidikan IPS,
terrangkum
dalam tiga tradisi IPS,
yaitu
social studies as citizenship
irasmission, social studies as social science dari social studies as reflective
inquiry (Ban, 1987). Pembelajaran IPS (sejarah) dalam tradisi pertama ini adalah
untuk menanamkan dan mempertahankan nilai-nilai leluhur, dalam kaitannya
dengan kelangsungan hidup suatu bangsa tersebut ( Barr, 1987: 26). Di dalam
tradisi kedua, pengajaran IPS (sejarah) difokuskan pada struktur, metodologi dan
substansi ilmu sosial. Pembelajaran sejarah berlangsung dengan menempatkan
peserta didik sebagai sejarawan kecil. Pada tradisi ketiga, pendidikan IPS
(sejarah) diberikan dengan mengembangkan kemampuan peserta didik dalam
mengidentifikasi masalah, isu-isu sosial dan mengambil keputusan atas kajian
yang dilakukan (Barr, 1978:21-22). Maka jika pendidikan IPS (sejarah) diberikan
sesuai dengan tiga tradisi tersebut, sebagaimana yang direkomendasikan oleh
NCSS (1994), maka pembelajaran IPS (sejarah) akan berlangsung secara
bermakna (meaningful), menantang (challanging) dan active serta dirasakan
kegunaannya dalam kehidupan peserta didik. Dapat disimpulkan bahwa dalam
IPS tidak melepaskan pendekatan konsep ilmu-ilmu sosial yang ada.
Pemakaian berbagai konsep dan generalisasi dalam ilmu-ilmu
sosial dalam mengkaji permasalahan sosial di masyarakat, juga sesuai dengan
bagaimana pelajaran sejarah mengkaji suatu peristiwa sejarah. Penggunaan
berbagai
disiplin
ilmu,
interdisipliner,
membawa
kajian
sejarah
lebih
komprehensif dan utuh. Berbeda dengan sebelumnya "sejarah lama" pendekatan
49
yang digunakan dalam mengkaji suatu peristiwa sejarah yaitu mono dimensional
atau non interdisipliner, maka dalam perkembangan sekarang, digunakan
pendekatan
ilmu-ilmu
sosial,
yang
multidimensional
atau
interdisipliner
(Kartodiijo, 1993; Sjamsuddin, 1999). Terkait dengan proses pembelajarannya,
maka dua hal yang sama penting adalah "apa" yang di ajarkan dan "bagaimana"
diajarkan. Tetapi hampir semua guru tahu bagaimana sejatah diajarkan tetapi
sedikit yang tahu bagaimana sebaiknya sejarah diajarkan, "...we know a great
deal about how history is taught, bui little about how well is taught" demikian
simpulan dari penelitian Downey dan Levstick (dalam Welton dan Mallan, 1994 :
47). Selain itu menurut Van Sleidrigh (1996), dan Rogers (1987) bahwa untuk
memberikan kesempatan siswa berpikir kesejarahan, maka sejarah tidak hanya
diberikan dengan situasi "what" {historical context) tetapi juga '''how" dan "w/ry"
(historical inquiry) dari peristiwa sejarah. Jadi dapat disimpulkan bahwa proses
pembelajaran sejarah memerlukan ketrampilan berpikir, analisis, interpretasi
dalam merekonstruksi peristiwa sejarah tidaklah terlepas dengan alat analitis,
konsep-konsep, teori-teori yang dipinjam dari disiplin ilmu sosial lainnya.
Lebih konkrit Maxim (1995: 493-494) memberikan perbedaan kurikulum
sejarah lama (The old history curriculum) dan sejarah baru (the modem history
curriculum). Utamanya dalam pembelajaran sejarah modern melibatkan siswa
dalam pengalaman belajar. Guru menggunakan buku teks dan berbagai media lain.
Materi pembelajaran tidak diajarkan dalam bentuk fakta-fakta saja, tetapi sebagai
gagasan yang dihubungkan satu dengan yang lain dan pengalaman siswa
50
sebelumnya. Untuk lebih jelasnya bagaimana perbedaan antara pembelajaran
sejarah lama dan modern dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1
Perbedaan Kurikulum Sejarah lama dan Sejarah Modem
The Modern History Curriculum
The Old History Curriculum
•
Emphasis on facts only
•
Leaming is conceptua!; ideas are
gleaned from facts
•
Leaming is confined to history only
•
Leaming is connectcd to other areas of
curriculum
•
Textbooks, workbooks and worksheet
dominate
•
Uses concretc materials, quaJity
literature, and variety of resources.
•
Children are passive learners
•
Children are physically and mentally
active
•
Student interact with teacher and
lesson malerials
•
Students interact with teacher, lesson
materials. and each other.
Students leam fact. solve problems,
makc decisions, communicate and
collaborate with others.
Sumber : Maxim, George (1995). Social Studies and The elementary School
Child. New Jersey: Prentice Hall Inc.
•
Information is primary leaming goal.
•
Secara rinci Sartono Kartodiijo (1993:120) menguraikan bahwa proses
rapproachment antara ilmu sejarah dan ilmu sosial diantaranya disebabkan oleh
tidak
memuaskannya
masalah/gejala
yang
lagi
sejarah
semakin
deskriptif naratif untuk
kompleks,
karena
itu
pula
menjelaskan
pendekatan
multidimensional atau social scientific diperlukan.
Seperti telah disampaikan Fenton (1996 :l) bahwa "...social studies teach
children how to think..", dan dipertegas lagi oleh Hasan (1996:92) pendidikan
IPS bertujuan untuk mengembangkan ketrampiian berpikir, sikap, dan nilai
peserta didik sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial dan budaya,
maka
51
tentu juga hai ini menjadi tujuan dalam pelajaran sejarah. Ketrampilan berpilar
kesejarahan (historical thinking) juga menjadi tekanan yang perlu dikembangkan
bagi siswa dalam proses pembelajaran sejarah. Hal ini mengantisipasi dan
mengeliminir banyaknya temuan penelitian yang menggambarkan kelemahan
pendidikan IPS dan sejarah, di antaranya mengutamakan peran buku teks dan
fakta-fakta.
Di abad 21, pendidikan sejarah perlu diperbaharui untuk menyiapkan
generasi muda yang dapat mengantisipasi dan beradaptasi dengan masa depan,
karenanya tidak sesuai lagi dengan menekankan hanya pada hapalan fakta, tetapi
lebih menekankan pada aktivitas siswa dengan ketrampilan proses. Seperti
diungkapkan oleh Rose dan Nicholf (1997) bahwa tujuan utama belajar adalah
belajar bagaimana belajar, leam how to learn.
4.
Landasan Filosofis - Konstruktivisme dalam Pembelajaran Berpikir
Kesejarahan
Di dalam proses pembelajaran
terjadi interaksi yang berkesinambungan
antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru/siswa dengan lingkungan
baik di dalam maupun di luar kelas. Proses interaktif yang terjadi menempatkan
siswa terlibat aktif, mengembangkan pengetahuan, potensi, ketrampilan dalam
upaya mencapai tujuan pembelajaran. Di dalam prinsip-prinsip kegiatan belajar
mengajar (Depdiknas, 2002), didudukan posisi siswa sebagai subjek. Siswa
dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran, dan bukan terpusat pada guru.
Secara lebih rinci prinsip pembelajaran yang dimaksud adalah sebagai berikut;
1.
2.
Berpusat pada siswa
Belajar dengan melakukan
52
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Mengembangkan kemampuan sosial
Mengembangkan keinginan, imajinasi dan fitrah bertuhan
Mengembangkan ketrampilan pemecahan masalah
Mengembangkan kreativitas siswa
Mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi
Menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang baik
Belajar sepanjang hayat
10.
Perpaduan kompetisi, keijasama dan solidaritas.
Hal ini bertolak belakang dengan temuan di lapangan saat ini, karena
sebagian besar kegiatan
pembelajaran sejarah memposisikan pebelajar/siswa
sebagai objek. Mereka menerima setumpukan fakta sejarah dan hasil interpretasi
guru terhadap fakta-fakta tersebut yang disampaikan pengajar. Pebelajar tidak
mendapat kesempatan untuk membangun dan
memberikan interpretasinya
terhadap peristiwa masa lampau. Kondisi tersebut, seperti yang dikatakan Paulo
Fraeirc {1984: 192), yaitu dehumanisasi pendidikan atau juga disebut oleh
Azumardi Azra dengan pendidikan
gaya bank
{The Banking Concept of
Educatiori).
Ciri-ciri konkret pendidikan gaya bank adalah : (1) Guru mengajar, murid
diajar, (2) Guru mengetahui sesuatu dan murid tidak mengetahui apa-apa, (3)
Guru berpikir dan murid menjadi objek untuk dipikirkan, (4) Guru bercerita dan
murid patuh mendengarkan, (5) Guru menentukan peraturan dan murid diatur, (6)
Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui, (7) Guru
berbuat,murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya, (8)
Guru memilih bahan pelajaran, murid tanpa diminta pendapatnya menyesuaikan
diri dengan pelajaran itu, (9) guru mencampur adukkan kewenangan ilmu
pengetahuan dan jabatannya yang dilakukan untuk menghalangi kebebasan murid,
53
(10) guru adalah subyek dalam proses belajar dan mengajar, murid hanya obyek
belaka.
Penempatan murid seperti ini jelas tidak sesuai dengan kodrat manusia
yang terlahir sebagai subyek yang harus menunjukan keberadaannya ke dunia
secara bebas. Seperti juga dinyatakan oleh Ahmad Sanusi (1998 : 63) bahwa
belajar bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan,
informasi
tentang
fakta/konsep, tetapi lebih ditujukan untuk memperdalam dan membangun
pengertian atau mengembangkan wawasan makna.
Gerlach dan Ely (1980:41) menyatakan bahwa belajar
melibatkan
keseluruhan diri manusia, yang dibagi dalam tiga bagian yaitu cognitive learning,
psychomotor learning dan affectivd learning.
Tujuan dari cognitive learning
adalah untuk pengembangan kemampuan/ketrampilan intelektual, hal ini
erat
pula kaitannya dengan peningkatan kemampuan pada aspek pengetahuan, baik
secara kuantitas maupun secara kualitas. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
berikut ini akan dikaji secara filosofis, baik secara umum maupun khususnya
terhadap pembelajaran berpikir.
Keraguan akan fungsi subjek dalam mendapatkan pengetahuan, dan
kedudukan objek dalam proses belajar ini kemudian berkembang terus hingga
muncul aliran konstruktivisme. Aliran ini menekankan pada keaktifan pebelajar
dalam
membangun
konsep-konsep,
dan
pemahaman atas
objek
yang
dipelajarinya. Jadi peranan subjek, tidaklah statis. Aliran ini sangat mendukung
untuk terbentuknya pembelajaran yang menekankan pada keterlibatan, partisipasi
aktif
pebelajar.
Pengajar tidak satu-satunya sumber materi,
dan tidak
54
mendominasi dalam proses belajar. Oleh karena itu dalam pembelajaran sejarah,
yang menginginkan adanya pengembangan ketrampilan berpikir kesejarahan juga
pemahaman kesejarahan, maka diperlukan suasana belajar yang memberi mang
kepada pebelajar untuk melatih kemampuan kognitif, afektif dan psikomotornya.
Pengajaran yang mendasarkan pada konstruktivisme menampilkan ketrampilan
berpikir kritis dan menciptakan suasana siswa aktif dan penuh motivasi (Gray,
1997).
Untuk memperjelas keunggulan yang ada pada konstruktivisme ini, dapat
dilihat melalui perbandingannya dengan pendekatan pembelajaran tradisional,
seperti tertuang dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.2
Perbandingan antara Konstruktivisme dan Pengajaran Tradisional
Traditional Pedagogy
(Pengajaran Tradisional)
Construktivist Approach
(Pendekatan Konstruktivisme)
Curriculum is presented part to whole. with Curriculum is presented whole to part with
emphasis on basic skills (Kurikulum disajikan emphasis on big concepts and questions
dari bagian kc keseluruhan dengan menekankan
pada ketrampilan dasar).
(Kurikulum disajikan dari kesel urutan ke
bagian, dengan menempatkan pada konsepkonsep
besar
dan
pertanyaanpertanyaan/masalah-masalah)
Strict adherence to fixed curriculum is highfyPursuits of sludertts'question is highly valued
valued (Kaku. menjalankan kurikulum yang (pertanyaan mahasiswa sangat dinilai)
berlaku)
Curricular actrvities rely heavily on teitbooksCurricular actrvities rely heavify on primary
and workbooks (kegiatan kurikuler bertumpu sources of data and manipulated material s
pada buku teks dan buku kerja)
(kegiatan kurikuler bertumpu pada sumber data
primer dan bahan-bahan yang disiapkan.
Students are viewed as "b/ank states" onto Students are viewed as thinkers with emerging
which the leacher etehes information (Siswa theories about the world (siswa dinilai sebagai
dinilai sebagai kertas kosong)
pemikir)
information to studenis (umumnya guru
the environment ( Guru umumnya berperan
sebagai fasilitator, mediator dalam, kegiatan
belajar)
Teaeher generaliy behaves in a didaetie Teaeher generaliy behave in an irueractive
manner, disseminating authoritative manner, facilitating diseussion and mediating
berperan sebagai pemilik otoritas penyampaian
infomiasi)
Teaeher seek the correct answer to vaJidate Teachers seek students' points of view and
student learning (Guru mencari jawaban benar understandings in order to develop subsetjuent
dari hasil belajar siswa)
les i ons and questions (Guru mencari
55
pandangan dan pemahaman siswa
kaitannya dengan kegiatan belajar)
dalam
Assessmeni of student learnirtg b separate from
Assessmeni is interwoven with and reinforces
teaching and occurs almost enlirely through teaching: i t occurs through efirect observations
"objeciive" testing" (penilaian belajar siswa and muhiple. varied assignments, oral and
terpisah dengan pengajaran dan terjadi hampir written (Penilaian berkaitan dengan pengan
keseluruhan melalui les objektif)
penguatan dan pengajaran, melalui observasi,
berbagai cara penilaian, lisan dan tulisan)
Siudenls primarily work alone (Siswa bekerja Students ofien work and interact in variovs
sendiri)
groups (siswa sering bekerja dan berinteraksi
dalam berabgai kelompok)
Diadaptasi dari John Samsel dan Darryl Wimbeiiey. 1997. Writing for Interactive
Media: The Complete Guide. Dalam mark E Gabehart. 1997. "Teaching, Leaming
and reform in Twenty-First 2000-2003. USA: Education Service Center.
Konstruktivisme sebagai suatu aliran dalam filsafat dikembangkan oleh
Giambastita Vico (1688), dan dalam pendidikan dikembangkan oleh Jean Piaget
(1896) yang disebut konstruktivisme kognitif (personal constructivism), serta
Vygotsky (1896) yang disebut konstruktivisme sosial (Suparno, 1997).
Konstruktivsme pada dasarnya adalah sebuah teori yang
berdasarkan
pengamatan dan kajian ilmiah tentang bagaimana orang belajar. Hal ini juga
menunjukkan bahwa orang mengkonstruk pemahaman, pengetahuannya tentang
dunia melalui pengalaman dan merefleksikan pengalaman tersebut Ketika
dihadapkan pada sesuatu yang baru, maka harus merujukkannya dengan ide,
pengalaman sebelumnya, sehingga mungkin merubah apa yang telah dipercayai,
atau mungkin juga membuang informasi baru karena tidak relevan dan
terus aktif membangun pengetahuan, untuk itu
harus ada kegiatan
harus
bertanya,
menggali dan menilai apa yang diketahui. Di dalam kelas, menurut para
konstruktivis adanya sejumlah perbedaan praktik belajar, yaitu secara umum,
mendorong siswa untuk menggunakan teknik-teknik yang aktif untuk membangun
pengetahuan baru seperti experiments, real-worid problem solving, dan kemudian
56
untuk merefleksikan serta membicarakan tentang apa yang dilakukan dan
bagaimana pemahaman mereka berubah. (Disney Leaming Partnership.tersedia
dalam http://www.thirteen.org/edonline/concept2class/month2 /index sub4.html.
diakses tanggal 9-6-2004).
Bencze,J.L. (2003) menyatakan bahwa penekanan dari constructivism
adalah membangun, building atau constructing
yang teijadi dalam pikiran
manusia ketika mereka belajar. Apa yang setiap orang lihat, sees atau observes
tergantung lebih pada apa yang sudah ada tersimpan dipikirannya. Hal ini berarti
bahwa belajar dari lingkungan, melalui pikiran
adalah proses kegiatan aktif.
Dengan kata lain, masing-masing membangun a unique mental image dengan
mengkombinasikan informasi daiam pikiran dengan informasi yang diterima dari
indera
(tersedia dalam
http://tortoise.oise.utoronto.ca/~lbencze/Constructivsm.
html, diakses tanggal 9-6-2004).
Di dalam teori konstruktivisme penekanan diarahkan pada pebelajar,
daripada pengajar. Hal ini disebabkan, siswa yang berinteraksi dengan objek
atau peristiwa dan mereka juga memperoleh pemahaman dari hal-hal yang
melekat pada objek atau peristiwa tersebut Siswa membangun sendiri konsep*
konsep dan solusi terhadap masalah. Di dalam konstruktivisme, otonomi dan
inisiatif siswa sangat diterima dan didorong.
Para penganut aliran konstruktivisme memandang belajar adalah hasil dari
suatu proses mental. Para siswa belajar dengan menyesuaikan informasi baru
bersama dengan apa yang sudah mereka ketahui.
Selain itu, para konstruktivist
menganggap bahwa setiap orang akan mendapatkan hasil belajar terbaik ketika
57
mereka secara aktif membangun pemahamannya sendiri.
Di dalam belajar
berpikir secara konstruktivis juga dipengaruhi oleh konteks dan kepercayaan,
sikap yang ada pada siswa. Siswa didorong untuk menemukan solusinya sendiri
dan mencoba.
Secara ringkas ada beberapa butir karakteristik konstruktivisme dalam
proses pembelajaran, yaitu:
•
Menekankan pada belajar dan bukan mengajar (emphasises learning and
not teaching ).
• Mendorong dan menerima otonomi dan inisiatif siswa (encourages and
accepts leamer autonomy and initiative)
• Memandang belajar sebagai suatu proses (thinks of learning as a process
• Mendorong keingintahuan siswa (encourages learner inquiry).
• Mengakui peranan pengalaman yang kritis dalam belajar (acknowledges
the critical role of experience in learning )
• Menuntun siswa pada keingintahuan secara alami (nurtures learners
natural curiosity)
• Dalam penilaian belajar, menekankan pada kineija dan pemahaman
(emphasises performance and understanding when assessing learning)
• Proses pembelajaran berdasarkan prinsip yang ada dalam teori kognitif
bases itself on the prineiples of the cognitive theory)
• Memperluas penggunaan terminologi kognitif seperti meramalkan,
menganalisis (makes extensrve use of cognitive terminology such as
predict and analyze)
• Mempertimbangkan bagaimana siswa dapat belajar (considers how the
student leams)
• Mendorong siswa terlibat dalam dialog dengan siswa lain dan guru
(encourages learners to engage in dialogue with other students and the
teacher)
• Mempertimbangkan bagaimana keyakinan dan sikap siswa (considers the
beliefs and attitudes of the leamer )
• Memberikan kesempatan siswa untuk membangun pengetahuan dan
pemahaman baru dari pengalaman yang otentik (provides learners the
opportunity to construct new knowledge and understanding from authentic
experience) (Bencze, 2003).
Elizabeth
Muiphy
(Summer
www.cdli.ca/~elmuephy/emurphy/cle3.html,
1997,
tersedia
diakses
dalam
tanggal
http:
//
9-6-2004).
58
memaparkan
beberapa
butir
ringkasan
dari
karakteristik
pembelajaran
konstruktivis, di antaranya sebagai berikut;
1. Guru berperan sebagai pemandu, pemantau, pelatih, tutor dan fasilitator
(Teachers serve in the role of guides, monitors, coaches, tutors and
facilitators).
2. Siswa memainkan peranan sentral dalam memediasi dan mengontrol
belajar (27ie student plays a central role in mediating and controlling
leaming)
3. Penggunanaan sumber data primer digunakan untuk meyakinkan
kebenaran dan kompleknya dunia (Primary sources of data are used in
order to ensure authenticity and real-world complexity).
4. Penekanan pada membangun pengetahuan dan bukan memproduksi ulang
pengetahuan (Knowledge construction and not reproduction is
emphasized)
5. Penekanan pada pemecahan masalah, ketrampilan berpikir level tinggi
dan pemahaman yang mendalam. (Problem-solving, higher-order
thinking skills and deep understanding are emphasized).
Kelas yang menerapkan konstruktivis memberikan siswa kesempatankesempatan membangun pengetahuan dan pemahaman
sebelumnya, untuk
membangun pengetahuan dan pemahaman baru dari pengalaman otentik. Siswa
diajak untuk menghadapi masalah dengan penuh makna disebabkan oleh konteks
kehidupan nyata mereka. Dalam memecahkan masalah, siswa didorong untuk
menggali kemungkinan-kemungkinan, menginventaris alternatif solusi, kolaborasi
dengan siswa atau nara sumber lain, mencoba ide dan hipotesis, memperbaiki
pikiran mereka, dan akhirnya menampilkan solusi yang terbaik.
Dalam constructivist theory yang dimaksud belajar adalah constructing,
creating, inventing and developing one's own knowledge (Martowe dan Page,
1998 : 10). Para siswa diarahkan untuk aktif bertanya dan menginterpretasi materi
pelajaran dalam upaya mengembangakan pemahaman secara konsep. Dalam
kondisi ini, siswa belajar lebih mendalam, lebih komprehensif dan diir
lama.
v
Peran
guru dalam konstruktivis sebagai
(penyampai) pengetahuan.
Sebagaimana
'•'•"^.«rt?-
fasilitator dan transmiter
StefFe dan Gale (1995 : 399)
mengungkapkan , "From a didactic perspective, a teacher is a presenter of
knowledge. From a discovery perspective, he or she is simpiy a provider of
experiences. In a construclivist approach, bot h these fvnctions are combined."
Maypole dan
Davies ( 2001), menemukan dari hasil penelitiannya,
Students' Perceptions of Constructivism Learning in a Community Coilege
American History II Survey Course, yaitu; (1) siswa merasa lebih percaya diri
dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya untuk membangun
interpretasi sejarah berdasarkan pengetahuan yang telah ada dan informasi yang
baru di dapatnya; (2) Siswa mendapatkan kesempatan
mengkaji bukti-bukti
sejarah dalam berbagai multiperspektif untuk membangun~gambaran besar, dari
kompleksitas peristiwa sejarah; (3) siswa merasa lebih menyenangkan dan mudah
memahami dengan diberikan otonomi, kebebasan dalam memecahkan masalah;
(4) Siswa merasa mendapatkan hasil belajar lebih, karena penggunaan primary
sources yang konsisten dengan hakekat constructivism. Para siswa didorong untuk
berpikir kritis, analisis, sintesis dan evaluasi terhadap sumber-sumber tersebut dan
membangun pengetahuannya sendiri; (5) ketrampilan berpikir kritis siswa menjadi
berkembang; (6) Siswa merasa senang dan termotivasi dalam melakukan tugas
sejarah lisan; (7) siswa merasakan pembelajaran dengan bentuk cooperative atau
coliaborative
learning
(salah
satu
komponen
constructivism)
sangat
60
menyenangkan dan memberikan
kesempatan mengembangkan kemampuan
komunikasi/presentasi; (8) meningkatkan rasa ingin tahu siswa atas suatu
topik/peristiwa sejarah; (9) ketercapaian siswa atas materi tidak jatuh, atau rendah
dibanding metode tradisional, (10) kelas yang menggunakan konstruktivsme
menuntut keterlibatan siswa yang tinggi dan berpikir kritis.
Michael Henry (2002) dalam tulisannya yang beijudul Constructrvsm in the
Community CoUege Classroom dalam jurnal The History Teacher; memberikan
hal yang sama dengan temuan Maypole dan Davies. Ditambahkannya bahwa
proses asesment dalam kelas yang berorientasi konstruktivisme adalah fokus pada
tulisan. Dalam tulisan tersebut siswa menunjukan penguasaan pemahamannya atas
materi sejarah dengan membangun argumentasi, penilaian, mengidentifikasi
berbagai
pendapat-pendapat dan menggunakan
bukti-bukti sejarah untuk
mendukung pernyataannya. Hal yang lebih penting dalam teori konstruktivisme
dalam pelajaran sejarah
adalah siswa manapun melihat, menemukan secara
langsung bagaimana sejarah tersebut dan bukan hanya mendengar dari orang lain.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme memberikan
ruang yang sangat luas bagi setiap peserta didik untuk mengembangkan
kemampuan berpikirnya. Mereka tidaklah dianggap kertas putih yang kosong,
mereka
ditempatkan
sebagai
individu
yang
telah
memiliki
pengetahuan/pengalaman dan dipercayai mampu untuk terus mengembangkan
pengetahuan dan pengalaman yang sudah dimilikinya. Berkaitan tentang
pembelajaran sejarah yang berdasarkan pada konstruktivisme, maka sudah barang
tentu tidaklah menjadikan materi sejarah yang diberikan sebagai tafsiran mati atau
61
finai. Tafsiran sejarah dan
penilaian atas suatu isu sejarah bukanlah harus
diterima sebagai barang jadi dari dosen/guru, atau pelajaran sejarah yang hanya
untuk mengenang kemegahan dan kegagalan masa lampau.
B.
Pembelajaran Berpikir dan Berpikir Kesejarahan
1. Pengertian Berpikir dan Ketrampilan Berpikir
Menurut Raths (1986: 3) berpikir adalah salah satu cara menemukan faktafakta untuk suatu tujuan. Kemudian dengan belajar yang memiliki tujuan,
seseorang menjadi matang karena aktivitasnya diatur oteh tujuan tersebut.
Singkatnya, berpikir adalah sebuah cara belajar. Dalam kamus Webster 's
Twertiieth Century Dictionary, edisi kedua, pengertian thinking, berpikir memiliki
sejumlah arti,yaitu
"to bring the intellectucd faculties into play: to use the mind
for arriving conclusion, making decisions, drawing inferences, ete: to perform
any mental operation, to reason. Sedangkan penjelasan arti kedua, dengan
kata'7/imA:' yaitu, "to judge, to conclude, to device, to hold as a settled opinion, to
reflect, to weigh something mentally. Dapat dikatakan bahwa, berpikir adalah
kegiatan mental, proses kognitif seseorang terhadap fakta, data, informasi yang
diterimanya.
Berdasarkan hasil penelitiannya, J.P Guiiford (dalam Woolever dan Scoot,
1993 : 312) membagi kemampuan intelektual pada dua tipe, yaitu memory dan
thinking. Kemudian thtnking pun dibagi menjadi tiga kelas, yaitu cognitive,
produetion dan evaluation. Production pun dibagi menjadi dua, yaitu convergenl
thinking dan divergent thinking.
bagan berikut:
Secara lebih rinci dapat digambarkan dalam
62
I N T E L L E C T U A L
T I I I N K I N C
JL
MEMORY
A B I U T I E S
fl
COCNTTION
(DISCOVERY)
PRODUCTION
C O N V E R C E N T
T H I N K 1 N C
( C D
Ability (o discovcr relationsfaips, paten», and
cUsses, problem* and implicatioas
Tbinking
is
N T D
to
P I W L K T « K I K C D ( !
rantL
Ooe eorrect l o i w c r (CT)
No tingle correct answer or solutioo
D I V E R G E N T
T H I N K I N C
( D T >
EVALUATION
Tbinking ia uscd to malu dccbions conceruiiig
Ibc goodoess.suitabUity.or efliectivencss of the
raalt of tbinking.
Gambar 2.1
Posisi Berpikir pada Kemampuan Intelektual
Menurut J.P Guilford (dalam Wooleverdan Scoot, 1993 : 312)
Ketrampilan berpikir memiliki tempat yang sangat utama untuk menjalani
kehidupan sebagai individu, anggota masyarakat dan warganegara. Lawson (1980.
x) menyatakan bahwa "Ejffecttve citizenship" tidak mungkin bisa diwujudkan
tanpa ketrampilan berpikir. Ditambahkannya pula bahwa seorang warga negara
yang baik adalah seseorang yang memberikan kontribusi secara efektif dan
bertariggungjawab terhadap berbagai isu dalam masyarakat terbuka dan mampu
mengambil peran di dalamnya. Untuk itu diperlukan ketrampilan berpikir, yang
menurut Gagne (1975:178) merupakan proses untuk menemukan kombinasi dari
sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya mengatasi situasi baru.
Ada empat ketrampilan berpikir, yaitu pemecahan masalah {problem
solving), membuat keputusan (decision making), berpikir kritis,
(Cohen,
1971; Presseisen:l985; Woolever dan Scooth,
berpikir kreatif
1988). Semuanya
63
bermuara pada ketrampilan berpikir tingkat tinggi, yang meliputi aktivitas seperti
analisa, sintesa dan evaluation (La Costa, 1985 :23).
Beberapa bentuk tahapan ketrampilan berpikir yang berkaitan dengan
penggunaan informasi, yaitu classify, interpret, analyze, summarize, synthesize,
evaluaie information. Semua kemampuan itu sangat perlu untuk diberikan pada
siswa agar memiliki kesempatan mengembangkan ketrampilan berpikirnya.
Apaiagi dalam pembelajaran sejarah, siswa dihadapkan dengan berbagai informasi
(Woolever dan Scoot, 1993 : 383).
Clark (dalam Stopsky dan Lee, 1994 :144) menguraikan adanya kategorikategori dalam berpikir, yaitu: Scarming and Focusing, Crealing categories and
classes,
Inducing proposilions from fact,
activating conceptuai knarwledge,
prediciing and planning. developing procedures. Dapat dikatakan bahwa dalam
kegiatan berpikir teijadi kegiatan mental yang terus berkembang atas suatu
pengetahuan.
Sehubungan dengan perkembangan ketrampilan berpikir menurut Piaget
(Bybee dan Sund, 1982) bahwa ada faktor yang mempengaruhi perkembangan
mental (intelektual) seseorang, yaitu maturation, physical experience, social
experience dan equilibrium. Maturation atau proses pemasakan atau kematangan
seseorang adalah proses perubahan fisiologis dan anatomis seperti pertumbuhan
tubuh, otak dan system saraf. Berkaitan dengan fungsi
otak sebagai pusat
ketrampilan berpikir, otak dapat dibedakan berdasarkan kedua belahan, kiri dan
kanan. Fungsi belahan otak kiri adalah untuk berpikir rasional, ilmiah, logis,
kritis, linier, analitis, referensial dan konvergen, yang terkait dengan kemampuan
64
berhitung, membaca dan bahasa. Sedangkan fungsi belahan otak kanan adalah
untuk berpikir holistik, non-linier, non verbal, intuitif, imajinatif, non referensial,
dan divergen (Woolfolk, 1995). Oleh karena itu pembelajaran yang terlalu
verbalistis dengan terutama menekankan segi hapalan dan persefsi kognitif saja,
tanpa memperhatikan perlunya experiential learning, akan kurang memberikan
kesempatan kepada kedua belahan otak tersebut untuk tumbuh secara harmonis
(Semiawan, 1992:22). Experential Learning ini dibentuk dari pengalamanpengalaman. Ada tiga bentuk pengalaman tersebut, yaitu physical experience,
social etperience dan equilibration.
Yang dimaksud dengan pengalaman fisik
{physical experience) adalah tindakan-tindakan fisik yang dilakukan individu
terhadap benda-benda yang ada di lingkungan sekitarnya. Aksi atau tindakan fisik
ini memungkinkan dapat mengembangkan aktivitas dan daya berpikir. Sementara
yang dimaksud dengan pengalaman sosial (social experience) adalah segala
aktivitas dalam hubungannya dengan orang lain.Seseorang dalam pengalaman
sosial bukan hanya dituntut mempertimbangkan atau mendengar pandangan orang
lain, tetapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa ada aturan lain di samping
aturannya sendiri. Yang terakhir, equilibration, adalah proses keseimbangan yang
selalu ada dalam setiap orang, yaitu proses penyesuaian antara pengetahuan yang
sudah ada dengan pengetahuan bani yang ditemukannya.
2.
Teori Kognitif dalam Pembelajaran Berpikir
Salah satu faktor yang menyebabkan permasalahan teijadi dalam
pendidikan sejarah adalah bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan
65
guru/dosen. Mengingat fungsi utama guru adalah mulai dari sebelum masuk kelas,
di dalam kelas hingga keluar
kelas, yaitu merancang, melaksanakan dan
mengevaluasi pembelajaran (Gagne, 1975 : 4). Guru merupakan ujung tombak
dari semua konsep, gagasan, kebijakan, tujuan pendidikan nasional, lebih khusus
lagi tujuan pendidikan sejarah. Jika guru dianalogikan dengan sebuah tombak,
maka dia adalah tombak bermata dua. Satu mata harus memiliki ketajaman dalam
penguasaan materi dan hakekat ilmu yang akan diajarkannya, sedangkan satu
mata tajam lainnya adalah karena memiliki kemampuan/ketrampilan dalam
meramu dan menyajikan materi sehingga siswa/mahasiswa dapat belajar dengan
bermakna, serta memberikan kegunaan yang dapat dirasakan dari proses
pembelajaran yang diikutinya. Bayangkan bagaimana tombak ini mencapai
sasarannya, jika salah satu ujung tombaknya tumpul atau bahkan keduanya. Oleh
karena itu guru/dosen tidak hanya mampu menguasai materi/ilmu yang akan
diajarkan, tetapi juga mampu dan trampil dalam mengkondisikan pembelajaran
bagi siswanya.
Seperti apa proses pembelajaran berlangsung dapat menjadi saiah satu
faktor ketidaktertarikan siswa terhadap pelajaran. Pelajaran yang dianggap terlalu
sukar, atau terlalu mudah dipahami peserta didik dapat memunculkan rasa bosan
pada mata pelajaran ini. Untuk itu salah satu hai yang perlu diketahui oleh guru
sejak awal sebelum melaksanakan pembelajaran adalah
mengenal siapa dan
bagaimana tingkat ketrampilan berpikir peserta didik yang akan belajar di dalam
kelasnya. Dengan kata lain kealpaan guru dalam memahami dan mengkonstruk
66
pengetahuan serta ketrampilan berpikir peserta didiknya, akan berdampak kepada
hasil belajar yang dicapai.
Pada dasarnya ada banyak teori yang
kognitif anak,
terkait dengan perkembangan
ketrampilan berpikir anak daiam proses belajar. Salah satu di
antaranya, yaitu Teori Piaget, dikembangkan sesuai dengan nama penemunya
yaitu Jean Piaget (Swiss). Teori ini menyatakan bahwa proses belajar mengajar
teijadi apabila terjadi proses pengolahan data yang aktif di pihak yang belajar.
Pengolahan data yang aktif tersebut merupakan aktivitas lanjutan dari kegiatan
mencari informasi dan dilanjutkan
dengan kegiatan penemuan-penemuan.
Dengan kata lain siswa dianggap sebagai subjek belajar yang aktif (Sigel dan
Cocking dalam H asan, 1996 : 85). Teori ini berpendapat bahwa setiap orang telah
mempunyai kapasitas dasar intelektual (skema) yang berbeda satu sama lain dan
menjadi dasar untuk menerima hal-hal, informasi yang baru. Skema ini ini selalu
berkembang sesuai dengan kematangan bio-psikoiogis, pengalaman belajarnya,
lingkungan sosialnya. Jadi seseorang baru dapat dikatakan belajar kalau skemanya
berkembang.
Berkaitan dengan perkembangan skema tersebut, Piaget memberikan
adanya istilah asimilasi dan akomodasi. Menurut Ginn (1995 :2) bahwa asimilasi
adalah proses penyesuaian informasi yang akan diterima sehingga menjadi lebih
kepada sesuatu yang dikenal siswa. Caranya adalah dengan mengolah informasi
baru yang akan diterima sedemikian rupa sehingga memiliki kesamaan dengan
apa yang sudah ada dalam skema. Kesamaan- kesamaan tersebut menyebabkan
apa yang akan dipelajari mudah dicerna oleh siswa. Ha! ini dapat disamakan
67
dengan apersepsi. Tahap berikutnya adalah akomodasi, yaitu proses penempatan
informasi ke dalam skema. Skema perlu disesuaikan dengan informasi tersebut
Perkembangan skema tersebut tidak terlepas dengan kematangan biopsykologisnya, karena itu pula Piaget membagi tingkatan perkembangan kognitif,
ketrampilan berpikir menjadi empat tingkatan, yaitu tingkat sensori motor (0-18
bulan), tingat preoperasional (18 bulan - 6 tahun), tingkat operasi konkret ( 7 - 1 2
tahun), tingkat operasi formal (13 tahun ke atas). Ketrampilan berpikir abstrak
baik yang induktif maupun deduktif baru baru bisa dimulai di usia 12 tahun ke
atas (SMP - SMA), sebelumnya di usia SD, siswa masih terbatas pada hal-hal
yang konkret, walaupun telah memilih struktur kognitif relatif stabil. Pada tahap
operasi formal, siswa tidak lagi memerlukan objek konkret dalam memecahkan
suatu masalah. Mereka akan terbiasa dan mampu memberikan gagasan-gagasan
abstrak dan hipotesa tentang beberapa sistem, hal secara bersamaan. Oleh karena
itu hampir sebagian besar siswa yang berada di jenjang sekolah menengah dan
tinggi mampu berpikir abstrak untuk melakukan investigasi kesejarahan (Hasan,
1996 : 86; Wooleverand Scooth, 1988:40-41).
Piaget (dalam Cooper,
1992
:
13) mengungkapkan pula bahwa
perkembangan berpikir anak secara bertahap melalui tiga fase. Pada fase pertama,
anak hanya mampu memahami satu perspektif pada satu posisi waktu. Pada fase
kedua, tingkat ketrampilan berpikir anak dibatasi oleh observasi yang bersifat
realistis dan fase ketiga, anak sudah mampu mengembangkan kemungkinan
hipotesis. Secara rinci Piaget (Bybee dan Sund, 1982 : 137) juga memberikan
perbedaan pola berpikir antara tahap konkret dan formal, pada tabel berikut.
68
Tabel 2.3
Perbedaan Tingkat Pola Pikir pada Tahap Konkrit dan Formal menurut Piaget
Concrete
Students require objects, events, or actions
for logical reasoning. (Untuk penalaran
logis siswa membutuhkan objek, kejadian
ataupun kegiatan)
Conservaiions, class inclusion, ordering
and reversibility are characteristic
reasoning patterns (kaiaktersitik pola
penalaran; pengamatan, keterlibatan kelas,
urutan dan keterbalikannya)
Students are umvare ofinconsistencies and
mistakes reasoning (siswa tidak sadar pada
ketidak konsistenan dan kesalahan
penalaran)
Students need clear, sequential directions
for long and detaildprojects (Siswa
membutuhkan kejelasan petunjuk keija
yang berurutan dan rinci)
Formal
Students can reason abstractly without
re/erence to concrete objects, eveni or
actions (Siswa dapat berpikir secara
abstrak, tidak seperti pada fase konkrit)
Theoritical, prepositional. hypotheticai and
combinatorial reasoning patterns are
characteristic (karakteristik pola penalaran
secara teori, preposisi, hipotesis)
Students are aware of inconsistencies and
mistakes due to the use of mental checks
and balances-reflective thought (sebaliknya
dengan fase konkrit, bahkan dijadikan
untuk berpikir reflektif)
Students can establish their own plans for
long and detailedprojects if given aims
and goals (siswa dapat membangun sendiri
perencanaan keija kegiatan, jika diberikan
tujuannya)
Menurut Bybee dan Sund (1982:33) pemahaman seseorang terhadap dunia
dikembangan melalui adaptasi mental secara terus menerus kepada perubahan
fisik dan lingkungan. Seperti yang ditemukan Piaget bahwa individu membangun
pemahamannya melalui proses interaksi aktif dengan lingkungannya. Manusia
tumbuh berkembang tidak saja secara fisik, biologis, tapi juga dalam pengetahuan
(Marlowe and Page, 1998 : 18). Perkembangan pengetahuan/pemahaman manusia
akan terus teijadi akibat adanya interaksi terus menerus dengan lingkungannya,
seiring juga dengan perkembangan fisik dan biologisnya.
Dengan mengenal tingkatan perkembangan
kognitif anak dari Piaget,
maka seorang guru dari setiap disiplin ilmu dapat meramu sedemikian rupa
informasi, materi yang diberikan kepada siswa sesuai dengan tingkatannya, secara
69
asimilatif dan akomodatif. Kemudian dari tingkatan berpikir Braner (<enactive,
iconic dan symbolic) maka para gurupun diminta untuk melihat dan memahami
struktur disiplin ilmu, kemudian melihat siapa audience atau peserta didiknya
sebelum menyusun rencana pembelajaran dan melaksanakannya di kelas.
Sehubungan dengan itu Bruner, mengemukakan bahwa ada tiga masalah yang
perlu diperhatikan dalam belajar, yaitu pentingnya arti struktur pengetahuan,
kesiapan belajar, menekankan perlunya motivasi dalam belajar (Bower, 1981 :
79).
Senada dengan hal tersebut Schug dan Berry (1992 : 52) kembali
mengingatkan anjuran Bruner bahwa dalam upaya untuk memahami suatu
pelajaran
maka
ditekankan
pada
"structunes
of academic
disciplines
Menurutnya, dalam upaya untuk memahami suatu materi, mata pelajaran, maka
guru harus memegang ide-ide dasar dari struktur ilmu tersebut Lebih lanjut
dikatakan,".. .understanding conceptual structure encovrages transfer of learning
which will allow for continual broadening and deepening of knowledge in terms
of basic ideas ".
Bruner juga mengingatkan para pengajar untuk mengenal siswanya
sebagai individu dengan segala kemampuannya yang harus dikembangkan dalam
proses pembelajaran. Siswa bukanlah seperti kendaraan kosong, melainkan dia
adalah sesorang yang memiliki kemampuan untuk berpikir, memaknai, baik
secara mandiri ataupun melalui percakapan dengan yang lain. Singkatnya siswa
dipandang sebagai pebelajar, orang yang belajar.
The child is nol merely ignoranl or an empty vessel, but somebody able
to reason, to make sense, both on her own and through discourse with
70
others... capable of thinking about her own thinking, and of correcting her
ideas and notions through reflection... The child, in a word, is seen as a
learner. (Woolard, 2003/
Dari
tahapan
kognitif yang
dikemukakan
oleh
Piaget,
Bruner
mengembangkannya dengan tiga tahap bentuk merangsang ketrampilan berpikir
anak yang menurutnya diperlukan dalam pengembangan kemampuan kognitif
anak, yaitu
enactive, iconic dan symbolic. Jika di tahap enactive, anak
memerlukan "hands-on" material dan pengalaman langsung. Misal membuat
wayang, bangunan/model dari kertas atau benda lain. Selain itu juga bisa dengan
kegiatan fisik, seperti menari, menyanyi, memanjat atau juga bermain drama. Hal
ini sering diberikan pada anak di bawah usia 3 tahun hingga sekolah dasar. Pada
Iconic, diberikan rangsangan berpikir siswa melalui tampilan visual, seperti
gambar, peta, bagan, TV, peragaan dan juga karya wisata. Hai ini sesuai dengan
tahapan siswa di sekolah dasar dan sekolah menengah. Pada level symbolic, siswa
akan sangat sesuai dirangsang belajar melalui kegiatan membaca buku teks,
literatur, studi kasus, menulis esay, kisah-kisah dan laporan-laporan, mendengar
penjelasan guru, nara sumber juga dari radio/kaset Pada tahap ini sangat sesuai
dilakukan pada siswa yang berada di tingkat sekolah menengah (Woolever dan
Scooth, 1993:43).
Dari semua teori yang dikemukakan Bruner, maka dapat disimpulkan
bahwa setiap disiplin ilmu dapat diajarkan pada semua jenjang pendidikan,
dengan catatan para guru/pendidik memahami bahwa setiap individu memiliki
tahapan perkembangan pengetahuan yang berbeda, sesuai dengan pertambahan
usianya,
dan
setiap jenjang tahapan
perkembangan
kognitif
memiliki
71
cara/pendekatan yang berbeda dalam memahami pengetahuan, dan bahwa setiap
siswa memiliki ketrampilan berpikir mulai dari anak-anak hingga dewasa dan
perkembangannya secara terus menerus menuju ke tingkat berpikir lebih tinggi
(Spiral curriculum).
Selain itu juga guru harus memahami bahwa proses pemahaman terhadap
materi suatu mata pelajaran, misal sejarah akan dicapai dengan memberikan
struktur ilmu pengetahuan dan attainment concept. Senada dengan apa yang
tertuang dalam teori Bruner itu, Cooper (1992 : 2) juga menyatakan bahwa dalam
proses belajar hendaknya siswa dibawa dalam kondisi pembelajaran yang
memberinya pengalaman nyata dan langsung (concrete and direct experience).
Di dalam Taksonomi Bioom (dalam Sukmadinata, 2004) tentang tujuan
pendidikan atau
kognisi, dalam tingkatan ketrampilan seperti
Knowledge,
Comprehension.
Application.
Evcduation.
Analysis,
Synthesis,
and
Tingkatan/hierarki dari aplikasi, analisis, sintesi dan evaluasi dikritisi oleh
ilmuwan lain, karena sulit dibuktikan dan dianggap dalam satu tingkatan. Revisi
dan pengembangan terhadap tahapan taxonomi Bloom oleh Lorin W. Anderson
dan David R. Krathwoh! (dalam Sukmadinata, 2004 : 77-78) yaitu mengingat,
memahami,
menerapkan,
menganalisis,
mengevaluasi,
dan
mengkreasi.
Sukmadinata (2004: 75) menekankan bahwa,"proses pembelajaran tidak terhenti
pada pengusaan pengetahuan (ingatan) dan pengertian (pehamanan), tetapi
dilanjutkan kepada tahapan yang lebih tinggi, aplikasi, analisis, evaluasi dan
kreativitas". Pemahaman kesejarahan dan ketrampilan berpikir kesejarahan yang
72
ingin dicapai dalam penelitian ini, iebih menekankan kepada Comprehension,
Application, Analysis, Synthesis, and Evaluation.
Dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan perkembangan kognitifnya, maka
mahasiswa calon guru sejarah, sudah selayaknya diberikan kemampuan
pemahaman maupun ketrampilan yang diperlukan dalam disiplin ilmu sejarah.
Mahasiswa
didorong
untuk
mengembangkan wawasan,
pemahaman dan
ketrampilan berpikir kesejarahannya.
3. Pembelajaran Ketrampilan Berpikir di Sekolah
Sehubungan dengan tujuan pengajaran yang dilakukan guru, mereka ingin
peserta didiknya memiliki
kematangan
berpikir yang dapat digunakan
menghadapi masalah yang kompleks dikehidupannya secara efektip. Sayangnya,
apa yang diinginkan berbeda dengan kenyataan yang ada. Data menunjukkan
bahwa sebagian besar peserta didik yang tamat sekolah, lebih mampu dalam
mengingat
dan
menghapal
fakta,
daripada
kemampuan
fakta/informasi tersebut untuk membuat penilaian
menggunakan
terhadapnya, atau juga
terhadap masalah-masalah baru. Hasil pendidikan yang memberikan pengalaman
berpikir masih kurang. Singkatnya, retorika tentang berpikir sudah berkembang,
tetapi aplikasinya dalam pembelajaran di kelas masih jauh tertinggal. Hal ini salah
satunya disebabkan karena pendidik mengajar hanya untuk mempersiapkan siswa
mengeijakan tes, teaching to the test". Kemampuan guru dilihat dari bagaimana
hasil jawaban siswa terhadap tes hasil belajar yang diukur. Sementara itu hasil
belajar siswa bukanlah diukur berdasarkan ketrampilan berpikirnya, melainkan
73
berdasarkan kemampuan mengingat kembali apa yang dia ingat dan dia baca. Hal
diuraikan lebih jelas oleh Wasserman,
...teacher's competence is being assessed by pupil performance on such
measures. Teaching for thinking is fine, in theory, and we want it. But in
the real world, where pupils' leaming is measured, not by their
competence as thinkers, but their ability to recall what has been heard and
read" (Wasserman n, 1986:xxi-xii).
Menurut
filosof
John
Dewey
(hitp
://www.
irujuiry.
Oiuc.
Edu/php/units.phpi, 4-2-04) bahwa pendidikan dimulai dengan keingintahuan,
keragu-raguan siswa, menggunakan alur spiral inquiry, yaitu mengajukan
pertanyaan,
investigasi
solusi,
mengkreasi
pengetahuan
baru
dengan
mengumpulkan informasi, mendiskusikan penemuan dan pengalaman dan
merefleksikan pengetahuan yang baru di dapat.
Dengan kata lain, pengetahuan dan kualitas kemampuan guru turut
menentukan keberhasilan proses pembelajaran berpikir pada siswa. Selain itu
masyarakat juga menyetujui kalau berpikir adalah tujuan penting dari suatu
pendidikan dan hendaknya memang sekolah melakukan hal tersebut untuk
memberi kesempatan-kesempatan kepada siswa berpikir.
Terkait dengan bagaimana peran guru dalam mengembangkan ketrampilan
berpikir siswa serta,
mewujudkan sekolah dan pengajaran yang efektif, dari
temuan Cohen dalam penelitiannya( 1982 : 13-16), diantaranya adalah;
... effective schools emphasize basic academic skills, effective teachers
have high expectations for all pupils, effective teachers dt'agnose learning
problems, evaluate pupil progress andgive feedback to pupils frequently.
Pendapat ini kembali mempertegas pendapat bahwa guru (dosen) memiliki posisi
yang strategis dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas.
74
Menurut komisi kebijakan pendidikan Amerika, 1961, bahwa tujuan utama
pendidikan adalah mengembangkan kondisi kebebasan berpikir dalam diri setiap
siswa. Menurut komisi ini pula dalam mewujudkan kemampuan berpikir, maka
perlu melalui proses;
•
•
•
•
recalling and imagining
classifiying and generalizing
comparing and evaluating
analyzing and synthesizing
•
dedueting and inferring ( Lawson, 1980 : 2)
Di samping itu ada
lima belas cara yang dianjurkan kepada guru untuk
melakukan kegiatan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa
untuk
berpikir,
yaitu:
comparing,
observing,
summarizing,
classifiying,
interpreting, eritieizing, looking for assumptions, imagining, decision making,
designing projecl or investigations, coding, ali or nothing, value statements,
qualifying words and phrases, attributions.
Dalam kaitannya dengan pengajaran berpikir, La Costa (1985 : 20 - 21)
mengklasifikasikan kegiatan tersebut pada tiga istilah, yaitu, teaching of thinking
(pengajaran berpikir), teaching for thinking (pengajaran untuk berpikir) dan
teaching about thinking (pengajaran tentang berpikir).
Pengajaran berpikir adalah pengajaran yang memfokuskan kegiatan
pembelajaran pada pembentukan, pengembangan ketrampilan berpikir. Sedangkan
pengajaran untuk berpikir adalah pengajaran yang diarahkan kepada penciptaan
situasi kelas yang mendorong pengembangan kognitif. Terakhir, pengajaran
tentang berpikir adalah pengajaran yang kegiatannya diarahkan pada upaya untuk
membantu peserta didik sadar terhadap proses berpikirnya.
75
*i
t^
^Ss
f I»**-
o **
/J
Pentingnya pengajaran berpikir diakui juga oleh Tighe dan S c h o U e M b ^ ^ v N r ^ S S fi
h
(1985:3-6) yang membenkan adanya tiga alasan yang mendasari kepentingan ^
tersebut, yaitu: pertama, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedutf
adanya data dari Education Commisiort of the State (La Costa, 1985) yang
menunjukan bahwa persentase tingkat kemampuan perpikir tingkat tinggi peserta
didik menurun dari sebelumnya. Ketiga, adanya temuan yang menunjukan bahwa
proses pengajaran di kelas dengan informasi verbal. Hal ini juga dipertegas oleh
Woolever dan Scoot (1993:361) yang menyatakan,"...without instruction in
higher-level thinking skiils, pupil will be unable to analyze, interpret, synthesize
and evaluate social studies content for meaningful decision making".
Setiap manusia sejak lahir adalah sebagai manusia yang berpikir. Orang
tua. pendidik hanya merancang lingkungan dan pengalaman-pengalaman yang
akan dimiliki siswa yang melatih dan menumbuhkan ketrampilan berpikir kritis.
Berpikir kritis adalah sebagai suatu pandangan hidup yang membuat siswa peduli
pada cara-cara yang memungkinkannya untuk menghadapi masalah (Stopsky dan
Lee. 1994:143-144).
Jika dilihat dari sejarah, pengembangan ketrampilan berpikir kritis ini
dimulai pada 2500 tahun yang lalu, yaitu dari pandangan dan praktik pengajaran
Socrates.
Dengan
metode
bertanya
(method
of probing
guestioning).
Dikatakannya bahwa seseorang tidak boleh terikat atas suatu "authority" untuk
mendapatkan suatu pemahaman pengetahuan, sebaliknya dia harus memiliki
kekuatan dan posisi yang tinggi untuk membangun suatu pemahaman dengan
membangun pertanyaan, mencari bukti-bukti, asumsi, alasan-alasan, menganalisis
(
j
76
konsep-konsep dasar. Metode ini dikenal sekarang dengan nama
"Socratic
questioning" dan dikenal pula sebagai strategi mengajar berpikir kritis. Metode ini
diikuti oleh Plato dan
Aristoteles,
yang
menekankan bahwa sesuatu sering
sangat berbeda dari apa yang terlihat dan bahwa dengan melatih pikiran kita untuk
melihat apa yang bukan hanya pada gambaran permukaan, tetapi lebih jauh
melihat di dalam, di bawah permukaannya. Dalam sejarah perkembangan berpikir
kritis berikutnya, di abad pertengahan, dengan tokohnya Thomas Aquinas (sumna
theologica). Banyak tokoh besar lain yang menekankan ketrampilan berpikir kritis
ini seperti Prancis Bacon, Descartes, Machiavelli, Hobbes dan John Locke, Robert
Boyle, Montesque, Adam Smith, John Dewey
(http'7/www. Criticalthinking.
Org/universitv/cthistory. htm 1).
Pada tahun 1906, William Graham Sumner menerbitkan karyanya
"Folkways" yang berisi tentang kondisi sekolah yang tidak memberikan
ketrampilan berpikir kritis.
Sekolah yang demikian cenderung ortodok,
Dituliskannya" Schools make persons all ort one pattern, orthodoxy...".Oleh
karena itu Sumner menyampaikan perlunya ketrampilan berpikir kritis dalam
hidup dan dalam pendidikan. Pendidikan yang baik, adalah sejauh mana
kemampuannya menghasilkan orang-orang yang mampu berpikir kritis, dalam
kaitannya menjadi warganegara yang baik,
sepert di dalam tulisannya,
The critical faculty is a product of education and training. It is a mental
habit and power
Education is good just so far as it produces welldeveloped critical faculty....Education in the critical faculty is the only
education of which it can be truly said that it makes good
citizens."fhttp://www.Criticalthinking. Org/ universitv/ cthistorv. Html. 22z04)-
77
Dalam sejarah berpikir kritis diawali dengan
pertanyaan-pertanyaan
mendasar dari Socrates yang sekarang masih digunakan. Menurutnya, dalam
setiap domain berpikir manusia dan dalam setiap alasan dari setiap domainnya,
yang perlu diperhatikan dalam proses bertanya, antara lain: tujuan, pertanyaan,
sumber informasi dan fakta, metode dan kualitas pengumpulan data, bentuk
penilaian dan penalaran yang digunakan.
Dengan kata lain pertanyaan yang diarahkan pada kemampuan berpikir
menempatkan penalaran (reasoning) sebagai
dasar dari berpikir kritis.
Ketrampilan bertanya memang bukan ada dengan sendirinya, melainkan perlu
pengarahan dan pembinaan. Para siswa perlu mendapatkan arahan bagaimana
mengajukan
pertanyaan,
seperti juga
mereka
butuh
bimbingan
dalam
mengembangkan ketrampilan berpikir kritis. Pertanyaan seperti apa yang dapat
menarik dan memotivasi siswa untuk berpikir? Ada empat hal yang penting dalam
mengajukan pertanyaan kepada siswa, yaitu;
1)
2)
3)
4)
Pertanyaan harus menarik bagi siswa, dan
Pertanyaan tersebut membawa penambahan ketrampilan berpikir,
Memiliki langkah-langkah yang masuk akal (dari pengetahuan
atau pemahaman yang telah dimiliki sebelumnya dalam kaitannya
untuk kesiapan siswa menjawab dan membuat kesimpulan.
Pertanyaan harus dirancang untuk mengajak siswa melihat hal-hal
khusus. Dengan menggunakan pikiran mereka sendiri, apakah
refleksi gagasannya bagus atau tidak.
( htW/www, lss.Sttthomas.edu/studyguides/pbi.htm. 2/2-04).
Vincent Ryan Ruggiero (dalam http://www.iss.stthomas.edu /studyguides.
28-12-03) mengungkapkan bahwa kemampuan dan keberanian mengajukan
pertanyaan, adalah merupakan salah satu ciri dari seorang pemikir kritis. Di
bawah ini sejumlah karakteristik pemikir kritis, yaitu: mereka jujur terhadap diri
78
sendiri, mereka melawan manipulasi, mereka mengatasi kebingungan,
berani
bertanya, mereka mendasarkan penilaiannya pada bukti, mereka mencari
hubungan antar topik dan bebas secara intelektual.
Moore (1986:12) mengungkapkan ada lima tahapan yang dilakukan dalam
pengajaran berpikir yang membuktikan bahwa adanya kaitan yang erat antara
kemapuan berpikir kreatif dan kritis. Tiga langkah yang pertama, merupakan
ketrampilan berpikir kreatif dan dua yang terakhir adalah ketrampilan berpikir
kritis.
• Mengenal dan mendefinisikan masalah (Recognition and defining of the
problem)
• Mengumpulkan informasi {The gatheringof information)
• Menyusun kesimpulan sementara {Formingthe tentative conclusions)
• Menguji kesimpulan sementara (77ie testing of these tentative conclusions)
• Menilai dan membuat keputusan {Evaluation anddecision making (or
judment)
Terkait dengan penggunaan konstruktivisme di dalam kelas, maka siswa
tidak akan dapat membangun
pengetahuan baru tanpa membuat penilaian
(reasoned judgment), dan dia tidak akan mampu melakukan penilaian tersebut
tanpa mengajukan pertanyaan yang bagus. Sementara di lapangan, siswa
dipersiapkan untuk mendapatkan jawaban yang benar, sehingga mereka
melupakan kebutuhan untuk bertanya dengan pertanyaan yang "benar". Thomas
Holt (1990:26) menyatakan
bahwa mengajukan pertanyaan,"...is part of the
process of leaming about history. It is about the questions as well as answer'\
Ketrampilan bertanya ini akan membantu dalam mengembangkan ketrampilan
berpikir kritis
79
Robert H Ennis (2000) mengungkapkan bahwa berpikir kritis adalah
berpikir secara reflektif dan masuk akal yang diarahkan pada suatu keputusan apa
yang akan dipercaya atau dilakukan. Definisi lain tentang berpikir kritis "(It is)
The art of thinking about your thinking while you are thinking in order to make
your thinking better:
more
clear,
more accurate,
or more defensible."
(http://www.Criticalthinking.org/university/cthistorv.htinl. 2-2-04).
Stgel (1984 :19) memberikan batasan berpikir kritis ini sebagai" active
process involving a number of denotabel mental operation such as induction,
deduction,
reasoning,
relationships"
sequencing,
Karenanya
adalah
classification,
hal
yang
and
wajar
the
dalam
definition
of
pembelajaran
dikembangkan kemampuan siswa untuk bertanya, memberikan alasan, dan
memecahkan masalah.
Sementara itu menurut Stopsky dan Lee (1994:141/" critical thinking
skills are besi developed when siudent work in an environment that is open to a
multitude of possible wavs to solve problems
Sehingga program sekolah
diarahkan untuk mengajarkan berpikir kritis ini kepada siswa secara bertahap. Hal
ini terkait pula dengan semakin kompleknya isu-isu yang ada dalam kehidupan
sehari-hari di sekitar kita.
Elder.L. dan
Paul. R. (1994) mengungkapkan berpikir kritis sangat
dipahami sebagai kemampuan pemikir untuk mengisi, mengolah pikiran mereka.
Mereka mengembangkan kriteria-kriteria, standar-standar untuk menganalisa dan
menerima pikiran mereka dan menggunakan secara rutin kriteria dan standar
tersebut untuk meningkatkan ketrampilan berpikir mereka. Mampu membedakan
80
antara pernyataan dari sebuah fakta, pendapat dan rujukan adalah salah satu
ketrampilan penting dalam berpikir kritis.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa strategi/langkah-langkah
dalam
berpikir kritis, adalah:
•
Tentukan fakta-fakta dari situasi yang baru atau materi bani tanpa ada
prasangka Tempatkan fakta-fakta dan informasi tersebut dalam sebuah pola
sehingga dapat memahaminya.
•
Terima atau tolak nilai-nilai
dan kesimpulan berdasarkan pengalaman,
penilaian dan kepercayaanmu (Accept or reject the source values and
conclusions based upon your experience, judgment, and beiiefs).
(http-J! www, iss. Sttthomas.edu/ studyguides/crthk. htm. 2/2-04)
Di dalam proses belajar mengajar, berpikir kritis cenderung disesuaikan
dengan suatu proses berpikir yang terbuka dari suatu penemuan dan pemahaman
{discovery and understanding), analisis dan aplikasi (analysis and application),
sintesis dan evaluasi (synthesis and evaluation).
<http://www.iss.Sttthomas.edu/
studveuides/crtck.htm. 2/2-04)
Mengajar siswa untuk jadi pemikir kritis adalah membuat suatu
lingkungan dimana siswa menjadikan andalan pengetahuan mereka dan
serangkaian pengalamannya, serta berusaha keras untuk memahami bagaimana
data dan informasi dapat digunakan untuk mengembangkan, mengenal,dan atau
mengkritik pola-pola umum pengetahuan. Kemampuan untuk berada dalam pola
belajar seperti ini tidak lepas dari bagaimana intelegensi siswa, yang oleh Howard
Gardner (2000) dikelompokkan dalam tiga bagian, yaitu; object related:
81
visual/spatial,
body
motion/kinesthetic,
natural ist.
Symbol-related:
verbal/linguistic, logical/mathematical, musical. Person-related: interpersonal,
intrapersonal, existential
Untuk mengaplikasikan ketrampilan berpikir kritis, ketrampilan berpikir
tinggi di dalam kelas, diperlukan langkah-langkah sebagai berikut;
•
•
•
•
•
•
•
•
Pelajaran baru diperkenalkan dengan apa yang sudah diketahui siswa
Jelasnya rancangan tujuan dan langkah keija dalam mempelajari materi
baru tersebut
Konsep dan generalisasi digabungkan dalam proses belajar dan
kerangka keija untuk pemahaman atas apa yang diajarkan.
Internalisasi pengetahuan adalah sebuah tujuan
Belajar tidak hanya dijabarkan oleh guru, tapi juga oleh siswa dan
materi dari berbagai bentuk media
Inquiry dan pertanyaan sebagai alat pengajaran
Menyajikan pembelajaran dalam suatu proses yang integrasi.
Kejelasan standar, tolok ukur dari evaluasi, (http 'M www. iss.
Sttthomas.edu/ studyguides/crtck. htm, 2/2-04)
Selain berpikir kritis, siswapun diarahkan untuk mengembangkan ketrampilan
berpikir kreatifnya. Berpikir kreatif adalah pelajaran yang penuh kontraversi dan
mitos (Woolever and Scoot, 1993:293). Ada empat komponen kemampuan dalam
berpikir kreatif ini, yaitu Jluency, flexibility, originality dan elaboration dalam
mendapatkan, mengungkapkan gagasan dan tindakan (Torrance, 1996).
Dari uraian tentang ketrampilan berpikir kreatif di atas dapat disimpulkan
bahwa seorang pemikir kreatif memerlukan kemampuan melihat sesuatu dari
kacamata pikiran dan bukan dari kacamata biasa, berpikir secara metafora,
mampu mentransformasikan sesuatu ke sesuatu yang baru atau merubah satu ide
ke yang lainnya, mampu menggunakan satu objek dengan cara yang lain dan
mampu berintuisi.
82
4. Ketrampilan Berpikir Kesejarahan
Dalam kamus online "Wikipeda" dan "Science daily encyclopedicT (tersedia
dalam
http://en.wikipeda.org/wiki/Historical thinking
sciencedaily.com/encyclopedia/historicalthinking,
dan
http:/Avww.
diakses tanggal
13-1-2003)
dinyatakan bahwa berpikir kesejarahan didefinisikan sebagai
seperangkat
ketrampilan berpikir yang menjadikan siswa haras belajar dari sejarah,"...that
students of history should learn as a resuil of studying history. Historical thinking
skills juga dikenal dengan sebutan historical reasoning skills.
Bruce A. Van Sledright (2003) dari Cotlege of Education University of
Maryland memberikan pengertian Historical Thinking, berdasarkan temuan
penelitiannya
terhadap
persepsi
dan
kemampuan
mahasiswanya
dalam
pembelajaran sejarah, yang dituangkan dalam tulisannya yang beijudul, " On the
Importance of Historical Posiiionality to
yaitu;
Thinking About and Teaching History\
historical thinking involves retelling the past essentially as it happened
based on what can be constructedfrom residue, traces, artifacts cmd texts dealing
with the past. Senada dengan itu beberapa pakar pendidikan sejarah di Amerika
Utara, memberikan batasan, ... historical thinking as the capacity to recall events
that shaped(Van Sledright, 2003)
Apa yang dilakukan
siswa dalam
upaya untuk mengembangkan
ketrampilan berpikir kesejarahan pada prinsipnya adalah mengajak siswa
melibatkan kegiatan mentalnya dalam menganalisis, mengkritisi sebaran fakta,
informasi, catatan sejarah. Ketrampilan ini juga menuntut siswa
mampu
mendengar, membaca narasi sejarah, dan mampu menjelaskan mengapa sesuatu
83
teijadi. Oleh karena itu kebutuhan akan artefak, dokumen, catatan sejarah sangat
diperlukan dalam membangun ketrampilan berpikir kesejarahan ini. Sebagaimana
dinyatakan oleh The Bradley Commission on History m Schools and the National
Standards for History, Amerika,
di dalam Research precise, edition 02-2, fail
2003 (teresedia dalam http://desienedinstniction.com/research/ briefed022.html.
diakses tanggal 1-3-2004) dinyatakan bahwa:
Historical thinking involves the exploration and analysis of historical
documents, places, arti facts, and other records from the past...this requires
that children thoughtfully listen to and read well-written historical narratives
that reveal conditions, changes, and consequences, and that explain why
things happened as they did. Analysis of the events described and the
explanations offered, in tandem and in comparison with historical artifacts,
records, and the human figures involved, brings a child's ability to "think
historically" fiill circle.
Senada dengan paparan di atas, batasan ketrampilan berpikir kesejarahan
(historical thinking skills) yang tertuang dalam National Center for History,
Amerika (1994) yaitu,"... enable students to evaluate evidence, develop
comparative and causalanalyses, interpret the historical record, and construc
sound historical arguments and perspectives on which informed decisions in
contemporary life can be base
Dari kedua definisi tentang ketrampilan berpikir kesejarahan tersebut, hal
yang sama adalah bahwa dalam ketrampilan berpikir kesejarahan, peranan catatan
sejarah, dokumen, artefak sangat besar dalam mengarahkan siswa untuk
menganalsiis, menilai dan memberikan interpretasinya.
American Historical Association Commissions (dalam Wineburg, 2001:ix)
menyatakan bahwa peranan sejarah sebagai alat untuk mengubah bagaimana kita
berpikir.
Pelajaran sejarah memberikan kesempatan kepada siswa untuk
84
mengembangkan ketrampilan berpikir selain pemahaman materinya. Seperti
disampaikan oleh Robin Coolingwood, ...all history is the history ofthoughC.
Richard, L. Mumpford (1991), dalam artikelnya yang beijudul,'Teac/«ng
History through Analytical and Reflective Thinking Stdlls"
lebih menekankan
perlunya pendekatan dalam proses pembelajaran yang mendorong siswa
melakukan analisis atau berpikir kritis terhadap fakta-fakta sejarah, dibanding
mengarahkan siswa untuk mengingat semua fakta-fakta tersebut. Pendapat ini
juga dikuatkan oleh Peter Stearns (2003) bahwa,"..Mudying history not only
trains students to place events in historical perspective, it also develops research
skills and sharpens student analytical thinking.
Strategi berpikir kesejarahan atau terkadang disebut "historical habits of
mind' dan "discipline based analysis" oleh Husband (1996) biasanya meliputi
kegiatan analisis, sistesis dan evaluasi. Dalam pembelajaran sejarah, Historical
habits of mind atau discipline based analysis ini
dilakukan
dengan mencari
Three C's (comparison, change dan causatiori), yang tertuang secara implisit
dalam empat terakhir dari lima tipe ketrampilan berpikir kesejarahan dalam
National Standard for History (1994). Secara lebih jelas kelima tipe ketrampilan
berpikir kesejarahan, dapat dilihat dalam tulisan di bawah ini.
Lebih lanjut dipaparkan pula bahwa untuk mendapatkan kecakapan dalam
ketrampilan
berpikir
kesejarahan,
maka
siswa
harus
dikembangkan
kompetensinya di dalam lima jenis ketrampilan berpikir kesejarahan (National
Standard for History, 1994), yaitu:
1. Chronological Thinking (Berpikir Kronologis)
a. Distingutsh between past, present and future
85
b. Identify in historical narratives the temporal structurc of a historicai
narratives or story
c. Establish temporal order in constructing historical narratives of their own
d. Measure and calculate calendar time
e. Interpret and presented in time lines
f. Reconstruct pattems of historical succession and duration
g. Compare alternative models for periodization
Di tahap ketrampilan berpikir kronologis, diharapkan peserta didik dalam
belajar sejarah memiliki kemampuan memahami waktu sejarah dan mampu
membedakan tiga dimensi waktu (lampau,sekarang dan yang akan datang) dalam
rangka mengidentifikasikan urutan waktu dari suatu peristiwa. Selain itu
kemapuan peserta didik dalam mengukur waktu kalender, menginterpretasi dan
menyususn garis waktu, menjelaskan/membandingkan
pola urutan dan waktu
suatu periode, dan pola kesinambungan dan perubahan.
2. Historicai Comprehension
a. Reconstruct the Iiteral meaning of historical passage
b. Identify the centraf question (s) the historical narrative addresses
c. Read historicai narratives imaginatively
d. Evidence historical perspectives
e. Draw upon data in historical maps
f. Utilize visual and mathematical data presented in charts, tabels, pie and
bar graphs, flow charts, venn diagrams, and other graphic organizer
g. Draw upon visual data, literacy and musical sources
Pada tahap kedua, ini peserta didik diharapkan memiliki kemampuan
membaca, memahami hasil narative sejarah secara imaginast., mengidentifikasi
elemen-elemen
struktur cerita sejarah • dan
mengembangkan
kemampuan
menjelaskan peristiwa masa lalu melalui pengetahuan dan pengalaman yang
dimilikinya-Selain itu juga mampu menggambarkan peristiwa sejarah dalam peta
sejarah, dan bentuk-bentuk tampilan data lain, seperti grafik, tabel dan lainnya.
3. Historical Aoalysis and Interpretation
a. Identify the author or source of historical documents or narratives
86
b. Compare and contrast deffering sets of ideas, values, personalies, behavior
and institutions
c. Differentiate between historicai facts and historical interpretations
d. Considcr multiple perspcctives
e. Analyze cause and effect relationshi and multiple causation, including the
importance of the individual, the influence of ideas and the role of change
f. Challenge atguments of historical inevitability
g. Compare competing historical narratives
h. Hold interpretations of history as tentalive
i. Evaluate major debates among historians
j. Hypothesize the influence of the past
Di tahap ketiga ini, kemampuan yang diupayakan dimiliki peserta didik
dalam kaitannya mengembangkan ketrampilan berpikir kesejarahannya, yaitu
membandingkan berbagai pengalaman, kepercayaan, motif, tradisi, harapan yang
berbeda dari masyarakat dengan berbagai ragam latarbelakang dan berbagai
variasi waktu dimasa lalu dan sekarang, kemudian menganalisis
perbedaan tersebut mempengaruhi tingkah laku
bagaimana
masyarakat, memiliki multi
perpepektif dalam melihat pengalaman manusia dalam data sejarah dan dalam
menganalisis kejadian sejarah; dan juga mampu membandingkan
dan
mengevaluasi penjelasan-penjelasan sejarah.
4. Historical Research Capabilities
a. Formulate historical questions
b .Obtain historical data
c. Interrogate historical data
d Identify the gaps in the available records, marshal contextual knowledge
and perspectives of the time and place, and construct a sound historical
interpretation
Pada tahap ini, termasuk kemampuan merumuskan pertanyaan-pertanyaan
sejarah dari pertemuan-pertemuan dengan dokumen sejarah, artifak, foto,
mengunjungi situs sejarah, dan penjelasan saksi. Serta
kemampuan mencari,
mendapatkan data, serta mendapatkan informasi dari data yang terkumpul. Selain
87
itu dikembangkan pula kemampuan menemukan kejanggalan atau jarak dari
beberapa catatan sejarah, dari waktu dan konteks dalam suatu artifak, dokumen
dan sumber lain serta membangun interpretasi kesejarahan.
5. Historical Issues-Anatysis and Decision Making
a. Identify issue5,and problems in the past
b. Marshal evidence and anticedent circumstances and contemporary factors
contributing to problems and altemative courses of action
c. Identify relevant historical antecedents
d. Evaluate altemative courses of action.
e. Formulate a position or course of action on an issue
f. Evaluate the implementation of a decision
Di dalam tahap kelima dari ketrampilan berpikir kesejarahan, kemampuan
yang diupayakan muncul adalah kemampuan untuk mengidentifikasi masalah
yang dihadapi manusia pada masa lampau, dan kemampuan menganalisis minat
dan pandangan masyarakat
dalam situasi itu.serta mampu mengevaluasi apakah
keputusan atau tindakan yang diambil bagus dan mengapa, dan mampu membawa
perpektif sejarah
yang berhubungan dengan pengambilan keputusan di masa
sekarang.
Berdasarkan hasil penelitian Lee (dalam Van Sleidrigh , 2003) tentang
berpikir kesejarahan pada
anak-anak dan
remaja,
dia menyimpulkan
bahwa,".. .historical thinking required the use of historical imaginatiori". Untuk
belajar berpikir kesejarahan, maka diperlukan imaginasi terhadap konteks sejarah
dalam kaitannya untuk membuat hai tersebut bisa diterima akal pikirannya. Untuk
pemikir kesejarahan pemula "novice historical thinkersLee menyarankan guru
untuk mengembangkan imaginasi yang kemudian diteruskan pada empati. Dari
rasa yang dimiliki
tersebut
maka kemudian diarahkan
undertanding terhadap bukti, dan peristiwa sejarah.
kepada
historical
88
Ketrampilan berpikir kesejarahan ini juga memerlukan pengetahuan dan
pengalaman
sejarah
yang dimiliki sebelumnya, dalam kaitannya melakukan
analsis, menginterpretasi, memberikan penilaian, membuat analogi atas suatu
sumber sejarah/ dokumen (Winneburg, 2001 : 150).
Terkait dengan pembelajaran yang memberikan ketrampilan berpikir pada
peserta didik, menurut Stopsky dan Lee (1994:141)
para pendidik tahu
kepentingan dari ketrampilan berpikir tahap tinggi/kritis dalam menghadapi
permasalahan dalam bidang kehidupan apapun, tetapi mereka masih kurang
pemahaman terhadap arti/makna dari ketrampilan berpikir kritis itu dan
bagaimana mengajarkannya. Hal tersebut terungkap dari penelitian Stemberg
(1987:196) yang melihat bagaimana esensi program berpikir tahap tinggi/ kritis
yang dilakukan guru. Menurutnya para guru memiliki asumsi yang keliru terhadap
upaya pengembangan berpikir kritis ini, diantaranya;
a. Guru adalah guru (pengajar), dan siswa adalah pebelajar. Seyogyanya
dipahami bahwa orang dewasa sebagaimana orang muda membutuhkan
pertolongan dalam mengembangkan cara efektip berpikir kritis. Guru,
sebagaimana siswa butuh pendidikan yang lebih jauh dan terus menerus dalam
berpikir kritis.
b. Berpikir kritis adalah pekeijaan siswa semata. Guru sering mencari paketpaket program berpikir kritis yang diperuntukan bagi siswa, sehingga dia
terlepas dari beban untuk terikat pada berpikir kritis ini.
c. Hal yang sangat diperhitungkan adalah jawaban yang benar. Hal ii
membunuh upaya pengembangan berpikir kritis siswa, karena
dengan jawaban yang benar.
Salah satu strategi penting yang dapat digunakan untuk mendorong
ketrampilan berpikir kritis adalah dengan susunan bahasa yang tepat dalam :
mengajukan pertanyaan atau menyampaikan informasi. Sebagai contoh;
+
Apa yang kau pikirkan tentang revolusi Amerika? (kurang tepat)
Bagaimana revolusi Amerika dapat merubah pemerintahan di negara kita?
(tepat)
Pembelajaran
berpikir
reasoning; historical habits of
dilakukan dengan
kesejarahan,
(historical
thinking;
historical
mind; atau discipline based analysis) dapat
kerangka operasinya sebagai berikut (tersedia dalam
http://www.studiesfriend.ca/onhist diakses tanggal 20 Mei 2003.)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Menguji bukti sejarah yang terkait dengan isu sejarah yng
kontemporer atau yang controversial (Examine evidence relating to
a controversial historical or contemporary issue)
Mengidentifikasi argumen-argumen dari berbagai sisi (Identify the
arguments advanced by various sides).
membedakan antara kejadian dengan pendapat (Differentiate
between evidence and opinion).
menentukan nilai dan motivasi dari orang-orang yang terlibat
(Determine the values and motivations of the people involved).
mencoba menentukan kredibilitas sumber informasi melalui
pemahaman nilai dan motivasi penulis (Attempt to determine the
credibility of source information by understanding the authors'
values and motivations).
Menulis sebuah narasi sejarah dari suatu isu sejarah ( Write a
narrative description (historical account) of the issue)
Menulis sebuah esay (Write an essay advocating a course of
action).
90
Dalam kerangka seperti itu, siswa dilibatkan dalam kegiatan bertanya, berinquiry, menginvestigasi dan memberikan interpretasinya terhadap sumber
sejarah. Mereka akan menyadari bahwa penitian sejarah bukan final, masih terus
diperdebatkan. Selain itu menyadari bahwa sejarah adalah rekonstruksi dari
kehidupan manusia.
Selain itu guru hendaknya mendorong siswa untuk mampu, berani
bertanya. Kemampuan siswa bertanya, akan mempengaruhi bagaimana dia dapat
melihat masalah tersebut dengan jelas. Kemudian guru harus ingat bahwa hal
yang paling adalah
bagaimana proses siswa menyusun aiasan-alasan dalam
memecahkan masalah, bukan pada hasil,solusinya.
Pada saat siswa berinteraksi dgn mengajukan pertanyaan kepada sumbersumber sejarah, maka mereka akan mengahadapi pemikiran-pemikiran dan posisi
yang rumit. Mereka akan bertanya kepada teman sekelas, guru dan lainnya.
Seringkali hal ini dihadapi jika pertanyaan yang diajukan terkait dengan isu-isu
baru yang tidak dapat dijawab secara jelas oleh bukti-bukti yang ada. Dalam
kondisi
ini
siswa
berhadapan
dengan
"the
messy
world of historical
interpretation"" (Schuerman, 1998 : 10). Hal ini sesuai pula dengan tulisan
Ismaun (2001 :112) yang mengungkapkan bahwa dalam paradigma baru
pendidikan sejarah harus memberikan kesempatan kepada siswa bahwa cerita
sejarah yang ada merupakan hasil karya rekonstruksi para sejarawan, bukanlah
karya yang final.
9!
Mary Ann Davies (2001) memberikan empat strategi dalam menggunakan
pertanyaan untuk membantu siswa menganalisa data, yaitu:
a.
Memahami materi (Undersiand each piece of material). Pertanyaan harus
ditanyakan untuk meyakinkan bahwa materi itu dipahami. Pertanyaan harus
fokus pada pengetahuan dan pemahaman.
b. Menggali keterkaitan antar materi (Explore the inter-relatedness of materials)
Pertanyaan yang menguji keterkaitan antar materi dan menghubungkannya
dengan pengetahuan siswa sebelumnya.
c. Menggali bagaimana materi dapat diekspresikan melalui cara pemahaman lain
(Explore how the material might be expressed through other perceptual
modes) Pertanyaan hanis memandu siswa dalam mengekspresikan data
melalui cara persepsi yang berbeda..
d. Menguji hubungan kronologis pada materi yang berbeda (Examine the
relationship of chronology to the various materials). Pertanyaan dapat berupa
sebuah puisi yang ditulis 50 tahun yang laIu.Mengapa dan mengapa tidak?
Tahapan ini terkait dengan berpikir kritis dan berpikir analisis. (http://www.
historvcooperative.org/Joumals/ht34.4/davies.Html. 1-2-04
Dalam belajar sejarah siswa diarahkan bukan mengingat semua fakta,
melainkan mampu menyusun suatu penalaran kesejarahan (historical reasoning).
Siswa dapat dirancang untuk berpikir kesejarahan. Pada pinsipnya semua siswa
dapat diajar bagaimana belajar mendapatkan kemampuan dasar dari setiap disiplin
ilmu. fhttp://www.Criticalthinking.Org/universitv/cthistory.html diakses 5-2-04).
92
Mengingat belajar sejarah adalah sebuah pendekatan yang unik untuk membantu
mengorganisasikan belajar dari penglaman-pengalaman dan implikasinya.
fhttp;// ccs.mit.edu/LH/ overview.Html, 2/2-04)
Sehubungan dengan hal itu, kemampuan yang dapat dikembangkan oleh
siswa dari belajar sejarah antara lain:
a. Kemampuan untuk menilai bukti (The Ability to Assess Evidence). Mempelajari
sejarah memberikan pengalaman yang terkait dengan berbagai bukti, dan
memberikan penilaian. Para siswa bisa menggunakan macam-macam bukti yang
digunakan sejarawan dalam membentuk gambaran masa lampau dengan tepat.
b.
Kemampuan untuk menilai interpretasi yang tidak sejalan (The Ability to
Assess Conflicting Inierpretations)
Belajar sejarah berarti mendapatkan ketrampilan dalam melakukan seleksi
dari beragam interpretasi.
d.
Pengalaman dalam menilai contoh-contoh perubahan di masa lampau
(Experience in Assessing Past Examples of Change).
Pengalaman dalam menilai contoh-contoh pembahan di masa lampau adalah
penting untuk memahami perubahan dalam masyarakat saat ini (Stanton
Burgess Turner,l987).
Tidaklah mudah untuk memahami bagaimana kehidupan manusia di masa
lampau, cara berpikir, berinteraksi, emosi yang melekat pada mereka saat
peristiwa tersebut terjadi. Hal ini mengingat jauhnya jarak mereka yang hidup di
masa lampau dengan kita yang hidup di era sekarang. Upaya yang bisa ditempuh
adalah dengan menempatkan pikiran
kita
kedalam pikiran mereka di masa
93
lampau. Robert Darnton (dalam Wineburg, 2001:10) mengungkapkan,'....and if
we want to understand their way of thinking we should set out with the idea of
capturing
othemess...,\
Ketrampilan
berpikir
kesejarahan
membutuhkan
penyatuan atas dua sisi yang berlawanan, yaitu satu sisi kita telah memiliki pola
pikir yang sudah mantap karena sebuah warisan yang sulit dihapuskan. Kedua,
kalaupun kita mencoba untuk menghapusnya, kita akan mengalami pemahaman
kekinian yang kaku, yang membaca dari kekinian ke masa lampau. Dengan kata
lain cara pikir kita harus mampu mengkaji peristiwa sejarah secara sinkronik dan
diakronik.
5. Hubungan Ketrampilan Berpikir Kesejarahan dengan Pemafaamas
Kesejarahan
Di dalam National Standard (1994: 2) bagi pendidikan sejarah di Amerika,
dinyatakan adanya dua standar yang harus dicapai oleh setiap siswa, yaitu
historical understanding (pemahaman sejarah) dan historiccd thinking skills
(ketrampilan berpikir sejarah). Pada tingkat berapa ketrampilan sejarah yang
dicapai sangat tergantung pula bagaimana tingkatan pemahaman kesejarahan.
Kondisi ini terlihat dalam bagan berikut ini.
94
Keterwn^n :
GBU: Cibim^n Berflkir KcKfBnlwn dan PcrrahaminKc»cj«r*h«n
Gambar 2.2
Hubungan Ketrampilan Berpikir Kesejarahan dan Pemahaman Kesejarahan
(diadaptasi dari "Integrating Standars in Historical Understanding and Thinking",
National Standars for World History. 1994. National Center for History in the
Schools, University of California, Los Angeles)
Standar pemahaman sejarah (historical understanding) dinyatakan dalam
National Standard for History,yaitu:
what student should know about the history of their nation and the world.
These understanding are drawn from the record of human aspirations,
striving, accomplishments, and failures in at least five spheres of human
activity: the social, scientific/technological, economic,political,and
philosophical/ religious/ aesthetic. They also provide students the
historical perspectives required to anaiyze contemporary issues and
problem s confronting citizens today.
Hal
senada
juga
disampaikan
oleh
Winneburg
(2001:11)
mengungkapkan,".. .the goal of historical understanding should be to
"see
through the eyes ofthe people who w e re the re ".
Ketrampilan berpikir kesejarahan sering pula digambarkan secara kontras
dengan sejarah yang berisi nama, tanggal dan tempat. Dikotomi ini sering disalah
interpretasikan, yaitu di antara pemahaman kesejarahan dan berpikir kesejarahan
95
sebagai satu keunggulan yang lebih dibanding yang lain. Nyatanya bahwa secara
umum pentingnya pengembangan ketrampilan berpikir dapat dilakukan jika
seseorang menggunakan isi/materi sejarah. Sebagian besar pendidik setuju untuk
menggunakan matai sejarah atau fakta-fakta sejarah dan ketrampilan berpikir
kesejarahan menjadikan siswa mampu menginterpretasi, menganalisa, dan
menggunakan
informasi
dari
kejadian-kejadian
masa
http://www.scieneedaily.cxmi/encycioperiia/historical thinkine.
lalu
(dalam
diakses
tanggal
13-1-2003).
Van Sleidrigh (1996) menegaskan dari temuan penelitiannya bahwa posisi
berpikir kesejarahan (historical thinking) dan hubungannya dengan pemahaman
kesejarahan (historical understanding) yaitu bahwa Historical thinking Acts
challenge understanding. Tindakan membangun berpikir
kesejarahan adalah
upaya membantu siswa membangun pemahaman kesejarahannya.
C. Model Pembelajaran Berpikir Kesejarahan
1. Pengertian Model Pembelajaran
Joice
dan
Weil
(2000)
menyatakan
bahwa
model
pengajaran
sesungguhnya adalah juga model belajar. Dikarenakan di dalam model pengajaran
untuk menolong peserta didik mendapatkan informasi, gagasan, ketrampilan,
nilai-nilai, cara berpikir dan mengajar siswa bagaimana untuk belajar.
Model
menggambarkan
pembelajaran
prosedur,
adalah
juga
langkah-langkah
kerangka
dalam
konseptual
yang
mengorganisasikan,
memfasilitasi peserta didik agar memiliki pengalaman belajar untuk mencapai
96
tujuan belajar yang diharapkan, yang selanjutnya dijadikan pedoman bagi para
pengajar untuk kegiatan aktivitas belajar mengajar.
Dalam kaitannya dengan kegiatan pembelajaran tidak lepas juga dengan
penggunaan strategi dalam pembelajaran. Strategi pembelajaran yang dapat
digunakan dalam kegiatan pembelajaran ada yang berpusat pada pengajar (teaeher
ceniered) dan yang berpusat pada peserta belajar (student ceritened) (Abdulhak,
2000:43). Pada awai kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa "student
centered", maka
peran pengajar lebih besar dibanding peserta belajar, tetapi
secara perlahan diarahkan kepada peran peserta didik yang lebih besar dan
pengajar berperan sebagai fasilitator. Di dalam hubungan antara peran pengajar
dengan peserta belajar, digambarkan Sudjana (2000:30) seperti di bawah ini.
Tinggi
Akhir
Gambar 23
Hubungan antara Peranan Pengajar dan Peserta Belajar
Di dalam pendekatan pembelajaran yang terpusat pada siswa, sangat memberikan
pengamh positif terhadap kreativitas siswa, konsep diri, sikap terhadap sekolah
dan keingintahuan..
97
2.
Modcl-Model Pembelajaran Pengembangan Ketrampilan Berpikir
Pada dasarnya pendekatan pembelajaran memiliki penekanan yang berbeda
dalam proses pembelajarannya. Ada yang lebih menekankan pada siswa, yaitu
ketrampilan berpikir, aktivitas, pengalaman siswa, sedangkan yang fokus pada
guru, yaitu fungsi, peran dan aktivitas guru. Selain itu ada juga yang fokus pada
masalah, yaitu masalah personal, sosial, lingkungan, dan yang fokus pada
teknologi, yaitu sistem informasi, media, sumber belajar dtl. Walaupun penekanan
komponen dalam pembelajaran tersebut berbeda, tetapi komponen-komponen
tersebut, seperti
siswa, guru, materi, tujuan, sarana, lingkungan, pengelolaan
belajar tetap terkait (Sukmadinata, 2004:194). Ada tiga komponen utama dalam
pengajaran berpikir, yaitu tujuan pembelajaran, prosedur pembelajaran, serta
prosedur evaluasi. Ketiga komponen tersebut tidak berdiri sendiri dan saling
terkait (Nickerson, 1985:329).
Bagaimana prosedur pengajaran yang baik? Menurut Karplus and Amold,
(1982 : 40), prosedur pengajaran yang baik adalah yang menyediakan aktivitas
belajar dimana setiap siswa mendapatkan tantangan dan keberhasilan sesuai
dengan tingkat berpikirnya. Hal ini dipertegas lagi oleh Piaget (dalam Gedler,
1981:191) bahwa adanya tes baku yang hanya mengukur sejumlah informasi yang
dapat dihapal siswa tidak mencerminkan pengetahuan siswa yang sesungguhnya.
Piaget lebih mengedepankan proses, kebebasan berpikir. Pengetahuan bukanlah
suatu hasil akan tetapi suatu proses.
...For Piaget the continuous interaction
between the individual and the environment is knowledge. That is, knowledge is a
process, not a thing. Singkatnya dapat dikatakan bahwa menurut Piaget, hal yang
98
terpenting
dalam
proses
pembelajaran
adalah
bagaimana
seseorang
itu
memperoleh pengetahuan dan bagaimana mereka menggunakan pengetahuan itu
untuk berperilaku lebih efektip (Bowerdan HiJgard, 1986 : 421).
Secara rinci langkah-langkah kegiatan belajar mengajar di dalam kelas
dalam kaitannya untuk mengembangkan ketrampilan berpikir tahap tinggi,yaitu
sebagai berikut
•
•
•
•
•
•
Fase pendahuluan
Mengulang materi hari sebelumnya, dan tugas pekeijaan rumah
membangun jembatan ke materi yang baru dengan advanced
organizers
Presentasi materi
Gunakan pertanyaan dengan metode Socrates
Tugas dan diskusi kelompok kecil
Tahap refleksi atau penerapan materi baru atau
Laporan-laporan
Ringkasan/latihan-latihan/pengem bangan/apl ikas i/demonstrasi
aktivitas.ftersedia http://www.iss.Sttthomas.edu/studyguides/crtck.htm
(diakses tanggal 2-2-04)
Adapun teknik-teknik yang dapat membantu dalam melakukan pembelajaran yang
mengembangkan kemampuan berpikir kritis, yaitu:
•
•
•
•
•
•
Questianing-. Strategi dengan mengajukan pertanyaan -pertanyaan di
kelas.
Problem-based learning: belajar berdasarkan masalah yang
sebenarnya atau yang disimulasikan
Thinking aloud: mendemonstrasikan ketrampilan berpikir melalui
masalah, teks-teks/dokumen. Model pembelajaran yang menekankan
pada proses pengembangan ide, gagasan, solusi dan lainnya.
Cooperative conflict resolution
belajar dengan catatan kemajuan/fortofolio
Ilustrasi konsep, dengan contoh-contoh dari pengalaman siswa sendiri
yang berkorelasi dengan konsep dan aplikasinya. Kemudian
memberikan umpan balik kepada siswa.
(tersedia dalam
http://www.iss.Stttfiomas.edu/studyguides/crtck.htm. 2/2-04)
99
Secara komprehensif, pembelajaran yang memenuhi unsur-unsur belajar
mencari-bermakna, pembelajaran
kehidupan mahasiswa serta
yang berdasarkan
pengalaman dan konteks
menempatkan mahasiswa sebagai subjek dalam
pembelajaran, memberikan belajar secara kooperatif, mengarahkan kepada
pengajaran berpikir tingkat tinggi, dan menggunakan konteks lingkungan
kehidupan mahasiswa tercakup juga dalam pendekatan pembelajaran kontekstual
(Coruextual
Teaching Learning).
Dalam pendekatan
ini
para guru/dosen
mengarahkan peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga dan masyarakat (Depdiknas, 2003 :1).
Terkait dengan pembelajaran yang mengembangkan ketrampilan berpikir
siswa, Howey (1998) mengungkapkan, "Contextual Teaching and learning (CTL)
emphasizes higher-level thinking, knowledge transfer, collecting, analyzing, and
synthesizing
information
and
data
from
multiple
sources
and
viewpoints".Ungkapan lain yang senada dengan itu, yaitu: Contextual Teaching
and Learning emphasizes higher level thinking, knowledge transfer across
academic disciplines, and collecting, analyzing and synthesizing information and
data
from
multiple
sources
and
viewpoints.
http://depts.washinelon.edu/wctl/definimctl.him
(tersedia
dalam
:
100
3.
Pendekatan Holistik dalam Pembelajaran Berpikir
Sebelum diuraikan lebih dalam mengenai pendekatan holistik dalam
pembelajaran berpikir, maka disampaikan terlebih dahulu tentang esensi
pendekatan ini secara umum. Penerapan pendekatan holistik tidaklah hanya pada
bidang pendidikan, tetapi juga di bidang lain. Di bidang kesehatan, misalnya,
terdapat salah satu klinik anak di Amerika yang menamakan "The Holistic
Approach for Child Health" Klinik ini mengoptimalkan keterlibatan keluarga
pasien, lingkungan social pasien dan pasien itu sendiri dalam mendiagnosa
penyakit dan proses penyembuhannya. Para medis secara kontinyu dan terbuka
memberikan
kesempatan
terapi/pengobatan
pada
pasien
yang diinginkan.
Di
untuk
bidang
tahu
lain,
dan
memilih
jenis
yang menggunakan
pendekatan holistik ini seperti mamyemen inovasi, transportasi, ecology dan
bahasa. Secara umum didapat "benang merah" dari pendekatan holistik ini yaitu
upaya mengatasi suatu hal, atau menganalisis sesuatu dengan melibatkan berbagai
elemen/komponen yang ada dan memprioritaskan "objek" untuk menjadi subjek.
Setiap tujuan atau permasalahan yang dicapai/dihadapi, dalam pandangan
pendekatan ini berbalik menjadi dasar pemikiran untuk melihat elemen terkait,
lingkungan sekitar, pendapat yang ada agar tujuan/masalah yang dihadapi menjadi
jelas ketercapaian, dan kebermaknaannya.
Jack Miller (dalam Johnson, 2005), seorang pakar teori dan praktik
pendidikan holistik, menyatakan bahwa pendidikan holistik adalah sebuah filsafat
pendidikan yang terkait erat dengan pandangan transformative. Belajar dimaknai
101
terjadi jika pengalaman belajar telah melibatkan diri siswa, orang sekitar dan
lingkungan. Fokus pembelajaran adalah untuk menolong siswa melihat sesuatu
secara keseluruhan, tidak bagian per bagian. Penekanan yang sama dalam
pendekatan pendidikan holistik ini adalah juga menolong guru agar dapat melihat
siswanya sebagai keseluruhan sosok manusia, bukan hanya pada hasil skor dan
penampilan akademik. Secara lebih jelas berikut definisi pendidikan holistik yang
disampaikan Jack Miller (dalam Johnson, 2005),
Pendidikan holistik merupakan kegiatan eksplorasi dan membuat
keterhubungan, dan menghindari pembagian-pembagian bahasan. Focus
pendidikan holistik adalah hubungan antara berpikir linear dan intuisi, antara
pikiran dan tubuh, antara beragam ranah pengetahuan, antara individu dan
masyarakat, dan hubungan antara individu dengan individu lainnya.
Jika menurut Miller, prinsip saling keterhubungan "interconnectedness" dalam
pendidikan holistik maka menurut Narve (dalam Johnson, 2005), prinsip utama
dalam pendekatan pendidikan holistik yaitu keseluruhan w wholenessLebih jelas
berikut ungkapan Narve.
" the principle of wholeness, which holds that everything in the imiverse is
interconnected to everything else. Everything that exists is related in a
context of interconnectedness and meaning, and any change or event affects
everything else. The whole is more than the sum of its parts. This means that
the whole is comprised of relational patterns that are not contained in the
parts. Therefore, a phenomenon can never be understood in isolation.
Ditambahkan oleh Johnson (2005) dalam bukunya yang berjudul "Mdking
Connectedness in in Elementary andMiddle School Social Studies" bahwa satu
hal yang terpenting dalam prinsip belajar holistik
adalah tidak bisa
dipisahkannya antara, mengajar dan pengalaman belajar. Setiap manusia
memiliki kemampuan untuk berpikir reflectif, berimajinasi, intuisi, emosi dan
102
berkreasi. Hal inilah yang juga menjadi pemikiran pendidikan secara umum, dan
pembelajaran IPS khususnya.
Dalam pendekatan holistik di pendidikan IPS terdapat tiga esensi
keterhubungan dengan dasar bahwa IPS dan kurikulum lain dapat digunakan
untuk
memahami keterhubungan pada,
pertama,
individu
itu sendiri,
"intrapersonal connections" (aktualisasi diri, inteligen, emosi, imajinasi dan
lainnya). Kedua, keterhubungan dengan orang lain, Interpersonal connections
(empati, memahami nilai-nilai kemanusiaan, ketrampilan social dan lainnya).
Ketiga, saling keterhubungan "Interconnectedness" (melihat dunia sebagai
keseluruhan, memahami adanya saling memiliki keterkaitan dan keterhubungan
pengalaman-pengalaman).
Para pendidik yang berdasarkan holistik mempercayai bahwa manusia
adalah sosok yang kompleks yang memiliki banyak lapisan pengertian.
Sebagaimana dikatakan oleh Johnson (2005),"
We are biological creatures. We are ecological creatures. We have a
psychological dimension, an emotional dimension. We live in an ideological
environment, a social and cultural environment, and we have a spiritual core.
We are very complex creatures because of the interactions of all these
different meanings.
Berdasarkan pemahaman tersebut maka pembenaran holistik mengiringi
perkembangan keseluruhan siswa, dan cenderung untuk menjadikan siswa
mampu mendekati secara kritis pada konteks budaya, moral, politik dan lainnya
dalam kehidupan siswa.
;•<
v? .^i» ,- »•,
The Holistik Education Network of Tasmania (tersedia dalam
J
V
: ^
£
IW^,:::
http://.neat.tas.edu.au/HENT. diakses tanggal 29 Juni 2006) memberikan - ^ V " r* V
<r
beberapa elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran holistik, y a i f i f :
a. pembelajaran memperhatikan
pertumbuhan setiap intelektual,
emosional, fisik, potensi kreativitas dan spiritual individu.
b. Melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran dan
mendorong rasa tanggungjawab personal dan kelompok.
c. Memperhatikan minat/keinginan siswa untuk memahami sesuatu.
d. Menjadikan siswa mampu memahami berbagai konteks baik yang
mempengaruhi atau dipengaruhi dalam hidupnya atau yang membentuk
dan memberikan makna kehidupan.
e. Lehig mementingkan pengenalan dan pemahaman atas keseluruhan
konteks dibandingkan dengan fakta-fakta.
f. Tidak membatasi nilai-nilai spiritual, non sectarian dalam mengkaji
sesuatu.
Dari uraian tentang pendekatan holistik dalam pendidikan, pembelajaran
dan lebih khusus dalam pembelajaran IPS, diketahui bahwa pendekatan ini sangat
memperhatikan sosok individu dan keterhubungannya dengan orang lain, dan
lingkungan sekitarnya. Kebebasan berpikir yang didasari oleh pengetahuan dan
pengalaman belajar, ditempatkan sebagai dasar utama dalam mengembangkan
kemampuan berpikirnya.
Ruggerio dalam bukunya
(1988 : 17-50)
Teaching Thinking Across The Curriculum
memberikan tahapan pembelajaran yang memberi kesempatan
kepada peserta didik untuk mengembangkan ketrampilan berpikir kritis dan
kreatif. Pendekatan yang ditawarkan oleh Ruggerio ini disebut dengan
"Pendekatan Holistik dalam Pengajaran Berpikir - The Holistik Approach to the
Teaching of thinking. Menurut dia, ada dua keuntungan pembelajaran yang dapat
diperoleh, jika model pembelajaran holistik ini dirancang baik, yaitu;
104
(1) A holistik model embraces both the production and evaluation of
ideas and
present students with one coherent, sequential approach to
productive thinking. (2) A holistik thinking model fits a broader range of
thinking situations than does a creative model or a critical model.
Ada lima tahapan dalam pendekatan ini, yaitu terdiri dari Expioration,
Expression, Investigation, Production dan Evaluation/refinement. Pada tahap
eksplorasi, siswa diarahkan dengan pertanyaan-pertanyaan
yang memulai
melakukan analisis terhadap masalah/isu. Hal ini dimulai dengan mendorong rasa
ingin tahu dengan mendengarkan, membaca, menuliskan, mengamati, dan juga
dengan pertanyaan-pertanyaan
mengapa masalah ini seperti ini, mengapa dia
berkata begitu dan sebagainya. Selain itu juga dengan ungkapan perasaan kecewa,
atau menyedihkan. Misal peristiwa ini tidak beijalan dengan semestinya, mestinya
begitu, atau ucapan tokoh itu tidak semestinya begitu, seharusnya begini.
Mengapa muncul masalah dan apa akibat masalah tersebut Kata tanya yang
digunakan dalam tahap ini adalah mengapa iyvhy). Mengapa ini begini, mengapa
tidak begitu.
Di dalam pelaksanaan tahap ini pengajar diminta untuk mampu
menimbulkan rasa ingin tahu dalam upaya memecahkan masalah/isu dengan cara
membaca, mendengar atau mengamati karya, proses sesuatu hal yang terjadi di
dalam kehidupan manusia, termasuk gagasan-gagasan yang ada pada setiap
manusia.
Pada tahap ekspresi, adalah upaya menemukan cara terbaik menyatakan
pemikiran, secara tertulis sejelas dan
sebanyak mungkin dengan kalimat
"bagaimana bisa?" dan memilih pemikiran yang telah dihasilkan. Kata Tanya
105
yang sesuai dengan tahapan ini adalah apakah (what). Apakah esensi dari
isu/masalah ini?
Pada tahap investigasi, adalah mencari, menghimpun informasi yang tepat
untuk memecahkan masalah (sendiri, berpasangan, teman sekelas, guru, ahli atau
buku). Kata Tanya yang digunakan adalah bagaimana (how). Bagaimana sumbersumber informasi yang terkait didapat.
Pada tahap produksi ide, adalah menyampaikan hasil pemecahan dengan
cara,
memberi respon yang tak lazim, menggunakan asosiasi bebas,
menggunakan analogi, kombinasi yang tak lazim, visualisasi hasil pemecahan,
argumentasi pro-kontra dan membuat skenario yang sesuai. Pertanyaan yang
diajukan dalam tahap ini adalah," what technigues will you use to generate good
ideas?
Di tahap terkhir, evaluasi/penyempurnaan, adalah memberikan respon
yang tepat terhadap pemecahan masalah. Pertanyaan yang dikembangkan adalah,
what is your central ideas, your fundamental stance.
Secara singkat dalam pembelajaran pendekatan ini dilakukan dengan cara;
pada tahap eksplorasi, peserta didik diarahkan untuk mengidentifikasi masalah,
rasa ingin tahu terhadap masalah. Pada tahap ekspresi, menemukan cara terbaik
menyatakan pemikiran secara tertulis terhadap masalah yang ditentukan. Pada
tahap investigasi, peserta didik diarahkan untuk mencari bukti, informasi
selengkap-lengkapnya dari berbagai sumber untuk memperkuat dan mempertegas
jawaban yang diberikan, secara individu atau kelompok. Pada tahap produk ide,
peserta didik dimotivasi untuk memberikan alternatif jawaban sebagai hasil
106
pembahasan atas permasalahan, pada tahap ini peserta didik diarahkan untuk
mengembangkan potensinya baik yang bersifat imajinasi ataupun konkriL Tahap
terakhir, evaluasi dan penyempurnaan, peserta didik diarahkan untuk memilih,
menilai alternatif-alternatif jawaban dan memberikan penyempurnaan terhadap
hasil pilihan tersebut.
Pendekatan holistik ini, dalam setiap tahapan mendorong pebelajar untuk
menggunakan pengetahuan dan pengalaman lampaunya yang kemudian dengan
secara aktif sendiri atau bersama kelompok dipandu oleh guru menemukan dan
membangun pengetahuan, konsep-konsep dari materi yang diajarkan. Dalam
kegiatan
ini
kesempatan
pebelajar
untuk
mengembangkan
ketrampilan
berpikirnya. Model Pengajaran berpikir dengan pendekatan holistik ini, adalah
satu pilihan yang mempertemukan pengajaran berpikir kritis dan kreatif, dengan
tiga kegiatan kegiatan utama berpikir yaitu mengambil keputusan, pemecahan
masalah dan analisis isu (Ruggiero, 1988:2).
Pendekatan pengajaran berpikir yang dikemukakan oleh Ruggerio ini, juga
berhasil digunakan oleh Dirk Morrison (2003) dalam artikelnya di Canadian
Journal of learning and Technology, yang beijudul " Using Activity Theory to
Design Constructivist Online Learning environments for Higher Order Thinking:
A Retrospective Analysis". Dari hasil penelitiannya
konstruktivis
dengan
menggunakan
komputer,
terhadap pembelajaran
untuk
mengembangkan
ketrampilan berpikir tahap tinggi, pendekatan ini sangat sesuai.
Dari
hasil
penelitian
Purwadi
(2000)
ditemukan
bahwa
model
pembelajaran berpikir dengan pendekatan holistik yang disusun Ruggeiro (1988)
107
dapat meningkatkan ketrampilan berpikir mahasiswa. Hasil pengembangan model
tersebut, menambah langkah dalam model tersebut menjadi enam, yaitu orientasi,
sebagai langkah awal.
Berkaitan dengan proses memahami sejarah secara holistik, maka
penggunaan berbagai perspektif dan faktor yang mempengaruhi kehidupan
manusia menjadi
bagian yang harus dikaji.
Theodore H.
Von Laue
(http://courses.Ncsu.edu/clases/hi300000/historv.htm. 5-4-04) menyatakan ada
empat hal yang perlu diperhatikan dalam memahami sejarah,yaitu
First, 1 urge you to see how the past fits into the present and foreseeable
future. History makes no sense unfess it is integrated into the dynamics of
the contemporary world. Secondty, you should appreciate the totality of
factors that shape human development, including climate and geography,
which are insufficiently emphasized by historians. Thirdly, 1 hope you
will realize how culturai conditioning shapes your individual
subconscious. Then, you will have to accept the fact that much of your
life is predetermined by global pressures that roli over all linguistic,
ethnic, and culturai diversities; building your future is determined by
factors beyond your control.
Faktor-Faktor yang ada mempengaruhi kehidupan manusia termasuk juga
pengaruh alam, geografi, budaya dan tekanan tuntutan zaman, globalisasi
merupakan bagian dari materi yang dibicarakan untuk memahami bagaimana
kesinambungan dari peristiwa masa lampau menuju kekinian dan masa depan.
Tahapan-tahapan dalam pendekatan
holistik ini, jika dirujukan dengan
esensi dari pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, model pembelajaran
induktif (rumpun model pembelajaran pemrosesan informasi) dan
beberapa
strategi pembelajaran sejarah, seperti yang tertuang dalam sub berikut ini sangat
sesuai, karena memberikan kemampuan mahasiswa berpikir kritis, kreatif,
menggunakan
informasi
dari
dokumen
primer
sejarah
dalam
proses
108
merekonstruksi
atau
juga
memberikan
penilaian.
Kegiatan
ini
pun
mengembangkan ketrampilan berpikir divergen, serta multipersfektif.
Dari uraian di atas dapat digambarkan adanya pertalian yang erat antara
konstruktivisme dan pendekatan holistik dalam proses pembelajaran, yaitu:
•
kegiatan pembelajaran lebih dikondisikan untuk siswa belajar, bukan
bagi guru untuk mengajar
•
kurikulum
disusun
dan
dilaksanakan
pemberdayaan siswa dalam berpikir,
dengan
mengedepankan
mengolah
informasi dan
menilainya.
•
Penggunaan sumber utama (primary sources), sebagai dasar untuk
membangun sendiri pengetahuan baru, dan cendrung tidak menerima
"barang" pendapat/tafsiran yang sudah disusun guru atau penulis
buku.
•
Memberikan
kesempatan
besar
kepada
siswa
untuk
melatih
kemampuan berpikir tahap tinggi.
•
Pengembangan materi tidak dilakukan untuk dihapal (fakta-fakta),
melainkan cenderung menyeluruh, muitiperfektif dan multidisiplin.
•
Kegiatan pembelajaran lebih mengarah pada kegiatan belajar bersama,
agar keragaman pendapat kaya dalam proses membangun pengetahuan
bara.
•
Evaluasi pembelajaran dilakukan dalam berbagai bentuk dan jenis.
109
4.
Model-Model Pembelajaran Sejarah
Tantangan dari mata pelajaran sejarah saat ini dan ke depan, menuntut
guru berperan lebih besar. Soedjatmoko (1976:15) mengingatkan para guru
sejarah agar membuang cara-cara mengajar sejarah yang mengutamakan fakta
sejarah saja. Hal ini dikuatirkan tidak membawa siswa kepada pengembangan
berpikirnya. Sementara itu dengan pengembangan ketrampilan berpikir yang terus
meningkat, siswa akan mampu melihat hal-hal di lingkungan kehidupannya
dengan kritis.
Menurut Garvey dan Krug (1977 :2) ada lima hal yang dicapai dalam
pembelajaran sejarah yang terkait erat dengan bagaimana proses pembelajaran
dilakukan yang menekankan pada aktivitas siswa, yaitu pertama, " to acguire
knowledge of historical facts " (untuk mendapatkan pengetahuan tentang faktafakta kesejarahan). Hal yang sangat lama sudah diketahui bahwa setiap orang
dianggap belum mempelajari sejarah jika belum bisa menyebutkan beberapa fakta
sejarah yang ada di dalam sejarah bangsanya. Bentuk pencapaian ini adalah paling
mendasar dalam belajar sejarah. Oleh karena itu para guru sejarah cenderung
kemudian memberikan fakta-fakta sejarah dan menjadi wajib bagi siswa
mengetahui dan menghapalnya. Sehingga para gurupun tetjebak dalam anggapan
bahwa tugas pokok guru sejarah adalah memberikan fakta sejarah. Maka seperti
yang sebagian dialami siswa adalah mencatat dan menghapalkan tahun-tahun
peristiwa. Akibat lebih jauh masuk kelas bukan karena ingin mendapatkan uraian
cerita peristiwa sejarah melainkan karena takut diabsen saja. Selebihnya pelajaran
tersebut membosankan dan tidak menantang karena fakta-fakta sejarah tersebut
110
cukup dihapal saja. Hal inilah yang dikuatirkan oleh para pakar pendidikan
sejarah, bahwa pelajaran sejarah menjadi kering. Diperparah dengan banyaknya
pendapat bahwa siapapun dapat mengajar sejarah (karena hanya memberikan
fakta sejarah).
Merujuk ha! tersebut
pembaharuan pembelajaran perlu dilakukan.
Keterlibatan murid yang lebih aktif. Berkaitan dengan hal ini Sartono Kartodijo
(1970), pernah mengungkapkan bahwa
apabila sejarah hendak tetap berfungsi dalam pedidikan maka harus dapat
menyesuaikan diri terhadap situasi sosial dewasa ini. Jika studi sejarah
terbatas pada pengetahuan fakta-fakta maka akan menjadi steril dan
mematikan segala minat terhadap sejarah
Tentu saja dalam belajar sejarah atau menjadi sejarawan, pengetahuan
tentang fakta-fakta sejarah adalah hai yang mutlak. Di dalam belajar-mengajar
sejarah, peran bukti, fakta-fakta sangat penting, dikarenakan kegunaan bukti/fakta
akan menjadikan penelusuran, investigasi masa lampu lebih memungkinkan.
Mengajar siswa dengan menggunakan bukti sejarah dapat mengajak siswa melihat
bagaimana jalannya masa lampau dan kemudian
mengajak siswa untuk lebih
peduli dan mampu memecahkan masalah yang dihadapinya, di sekitarnya saat ini
dan kemungkinan masa depan (Lee, 1984 : 4-5). Seperti juga yang diungkapkan
oleh Jarolimek dan Parker ( 1993 : 125),"program pembelajaran hendaknya dapat
membangun jembatan psikologi atau keterkaitan dengan masa lampau melalui
serangkaian pengalaman yang direncanakan". Disarankan oleh mereka untuk
memberikan kesempatan kepada siswa," opportunity to examine objects of
historical significance, opportunity to talk with older people of the community,
...".(1993: 126).
UI
Keutuhan pemahaman sejarah tidak akan bisa dibangun tanpa mengenal
lebih dulu apa saja fakta sejarah yang ada. Kemudian diperluas hingga membantu
siswa menangkap konsep sejarah bahkan ke generalisasi. Dalam proses ini tentu
saja guru sejarah diminta untuk menyiapkan kondisi belajar yang memenuhi
tujuan belajar.
Kedua, to gain an understanding or appreciation of past evens or periods
or people (untuk mendapatkan pemahaman atau penghargaan terhadap kejadiankejadian, orang pada masa lampau). Dalam konteks ini, ungkapan "belajar sejarah
akan membuat orang menjadi bijaksana" dan tentu banyak lagi ungkapan para
sejarawan,
politisi,
pendidik
dan
bahkan dalam
kitab
suci
Al-Qur'an
menyampaikan pesan kegunaan/kepentingan dari belajar tentang peristiwa
manusia masa lampau, tetapi adalah tidak mudah untuk memahami peristiwa yang
telah
lampau tersebut, jika tidak ditumbuhkan ketrampilan berimaginasi,
berempati terhadap peristiwa tersebut. Diharapkan peristiwa masa lampau dapat
dilihat secara utuh, keseluruhan, tetapi bukti dan fakta sejarahnya belum didapat
maka kemampuan anilisis, imajinasi diperlukan. Para siswa sulit mendapatkan
kemampuan tersebut jika pembelajaran di dalam kelasnya hanya menyampaikan
fakta-fakta sejarah saja, melalui convensional method, teacher cenieredapproach.
Model
pembelajaran
yang
ditawarkan
oleh
Judy
Mackinolty,
menggunakan Primary sources (2001 : 135), dan Garvey dan Krug (1977) seperti
picture study, document study, simulation and drama,
bisa juga dengan
memberikan pemahaman sejarah melalui kegiatan mendengar "student listen"
oleh Bryan Cowling, "student read" oleh Tom Marshall dan tentu banyak lagi.
112
Sepanjang pembelajaran tersebut memberikan bekal kepada siswa untuk mampu
melihat masa lampau secara keseluruhan dengan berimajinasi dan ber empati.
Sehingga siswa dapat rangkaian peristiwa dari masa lampau, ke masa sekarang
dan akan datang.
Ketiga, to acguire the ability to evaluate and criticize historical writing
(untuk memiliki kemampuan mengevaluasi dan mengkritisi penulisan sejarah).
Selain penggunaan buku sejarah, metode yang digunakan juga menetukan untuk
menumbuhkan kemampuan siswa mengevaluasi dan mengkritisi penulisan
sejarah. Salah satunya adalah model yang ditawarkan oleh Garvey dan Kru g, yaitu
text book study (1977 :54 - 63). Dikatakan oleh Gravey dan Krug bahwa dengan
menggunakan buku teks maka diharapkan siswa akan memiliki; reference skills,
comprehension skills, amlyticai and critical skills, imaginative skills dan notemaking skills (1977 : 59-60).
Pada siswa
di jenjang pendidikan rendah, kegiatan mengevaluasi dan
mengkritisi penulisan sejarah dilakukan secara bersama dan diarahkan oleh guru
melalui tanya jawab atau dengan lembaran pertanyaan. Misal betulkah nama kota
yang ada ditulisan itu, apakah sekarang nama kota tersebut tetap sama? Darimana
penulis memberitahukan bahwa kerajaan tersebut ada di kota X? Apakah tahun
kejadian peristiwa tersebut, kronologis? Mungkinkah seorang raja berkuasa
ratusan tahun? Apa yang dimaksud dengan raja yang sakti mandraguna? Tentu
masih banyak pertanyaan sederhana yang dapat mebantu siswa mengkritisi tulisan
sejarah.
113
Pada siswa di jenjang pendidikan lebih tinggi tentu dapat dilakukan mulai
dengan menganalisis fakta/peristiwa sejarah dari sumber primer, sekunder hingga
buku teks. Lalu menghubungkannya dengan peristiwa kini dalam kaitan dengan
konsep perubahan dan kesinambungan (change and cominuity). Selain itu,
diberikan tugas membandingkan hasil karya tulisan sejarah dari beberapa penulis,
dan diminta siswa untuk melihat sumber penulis, cara penulisan, apakah penulis
lebih berpihak atau netral.
Sebagai contoh, situasi belajar sejarah yang ada di sekolah menengah
Seattle, Amerika. Melalui kajian terhadap kebijakan Amerika pada masa
pemerintahan Abraham Lincoln dengan menggunakan sumber primer, yaitu teks
pidato Abraham Lincoln dan oposannya, dalam upaya untuk memahami peristiwa
sejarah yang dihubungkan dengan peristiwa, isu kekinian, seperti
racism,
tolerance, faimess and equity\
'prejudice,
Para siswa berpikir kuat, untuk
memahami pikiran Abraham Lincoln dan lawan politiknya terkait dengan konsepkonsep tersebut. Pada saat mencoba memahami teks tersebut dengan konteksnya,
para siswa dengan bimbingan pertanyaan guru melatih
ketrampilan berpikir
kesejarahan, seperti interpretasi data, membangun suatu pemahaman dari sebuah
naskah sejarah, menganalisis, mengevaluasi dan memberikan solusi, keputusan
pada suatu tema/konsep yang dibicarakan (Winneburg, 2001: 18-22).
Keempat, to learn the techniques of historical research (untuk belajar
teknik-teknik penelitian sejarah). Mempelajari teknik teknik penelitian sejarah,
seperti mengumpulkan data (a search of sources)
atau dikenal dengan heuristic,
menguji, mengkritisi data yang didapat (internal dan eksternal), penulisan dan
114
interpretasi (historiografhi) (Lucey, 1984 : 19 - 26; Sjamsuddin, 1996 ; Garvey
and Krug, 1977 : 9) tentu tidak bisa dicapai dalam satu kali pelajaran. Seyogyanya
para guru sejarah sudah membawa siswa untuk belajar teknik-teknik penelitian
sejarah sejak di jenjang pendidikan rendah. Tentu saja bagi siswa di jenjang
pendidikan lebih tinggi sudah lebih mudah karena tahapan perkembangan
kognitifnya sudah bisa diajak berpikir analisis, abstrak. Sedangkan bagi
mahasiswa
sudah tidak ada keraguan lagi untuk memberikannya pengetahuan
how to be a real historian. Senada dengan hal ini, Hunt, J A Appleby (1994)
menyebutnya dengan
"the heroic model of science", atau disebut juga dengan
"historical inquiry" menurut Haitzler Miller C (2001).
Sebenarnya jika dilihat pada tiga tradisi dalam social studies, yang
dikembangkan oleh NCSS untuk pendidikan dasar dan menengah.
Maka pada
tradisi kedua " social science", adalah suatu bentuk pembelajaran social studies
yang juga berkeinginan untuk membentuk warganegara yang baik dengan
penguasaan "mode of thittking from social science discipline; that this mode of
thinhng is generalizable; and hening learned it, he will understand properly,
appreciate deeply, infer carefulfy, and conclude logically (Barr, Barth, Shermis,
1978 : 23 -24). Di dalam tradisi ini dipercaya seorang warga negara yang baik
ditandai dengan kemampuanya dalam melihat dan mengatasi masalah-masalah
sosial dt sekitarnya dengan menggunakan pemahaman prosedur atau cara keija
ahli-ahli ilmu sosial.
Lebih lanjut juga diungkapkan oleh Barr dan kawan-
kawanya dalam buku "The Nature of Social Studies" yaitu,
... if student acquires the habit of mind and the thinhng patterns
associated with a particular social science discipline, he will become more
discriminaiing, make better personal as well as social policy decis
ultimately understand the structure and the process of our societ
71).
" " " " - M .«T'"
Di jenjang pendidikan rendah, siswa dapat juga diajarkan sejarah sebagai
disiplin ilmu sosial, dengan kata lain menjadikannya sejarawan kecil.
Cooper (1992 : 59) memberikan uraian pelajaran sejarah pada kelas
rendah, dengan tema "ME (saya)". Anak mencari jawaban tentang dirinya kepada
orang tuanya, neneknya juga melalui gambar-gambar dirinya sehingga didapatlah
hasil sejarah "ME (saya)" tersebut dengan kronologis yang tepat dan time line
yang baik.
Gravey dan Kru g menyarankan model pembelajaran dengan menggunakan
sumber-sumber primer atau juga field- project dapat membelajarkan siswa tentang
teknik-teknik penelitian sejarah. Bagi Jenjang pendidikan lebih tinggi, siswa dapat
diarahkan menjadi sejarawan kecil dengan discovery method, pembelajaran
inquiry terhadap sejarah di lingkungannya. Misal sejarah desa/kotanya, atau
Mesjid besar, tua di kotanya. Sedangkan bagi mahasiswa tentu sudah lebih luas
dan lebih kompleks lagi.
Kelima, to learn how to write history (untuk belajar bagaimana menulis
sejarah). Jika pemahamannya terhadap teknik-teknik
penelitian sejarah, maka
tentu kemampuan dalam menulis sejarah ikut serta di dalamnya. Karena tugas
sejarawan belum berakhir, jika belum sampai tahap penulisan sejarah. Membekali
siswa memahami cara penulisan, tentu diiringi dengan menyiapkan siswa untuk
rajin membaca. Jika sering dia membaca karya sejarah, maka tentu memiliki
bahan penulisan yang memadai dan mengenal cara-cara penulisan yang baik. Bagi
.
116
siswa latihan menulis sejarah, dapat diawali dengan ketrampilan membuat catatan
"nole-makin}*" melalui membuat ringkasan dari suatu bacaan seperti
yang
dianjurkan Garvey dan Krug. Tetapi tentu hal ini bukan diartikan seperti kegiatan
catat buku sampai habis, melainkan siswa diarahkan, dilatih membuat catatan
dengan melihat apa inti utama setiap paragraf, lalu menggaris bawahi kalimat
pokok yang menjadi main idea dalam paragraf tersebut. Sehingga dengan
memahami struktur penulisan mulai dari setiap paragraf hingga buku maka siswa
akan dapat membuat satu paragraf dan kemudian lebih banyak. Maka dalam tugas
yang diberikan untuk membuat satu tulisan sejarah tentang desa/kotanya, siswa
telah memahami bagaimana menuliskannya. Bisa juga dengan latihan menuliskan
untuk book riview, book repots, Journal article riviews, Journal article reports
dan the term paper (Gawronski, 1969 :32-33).
Dari hasil penelitiannya, Winneburg ( 2001) mengungkapkan bahwa
perlunya penggunaan dokumen dalam pembelajaran sejarah tidak dapat diragukan
lagi, karena dapat mewujudkan belajar dan berpikir kesejarahan. Penggunaan
dokumen di dalam pembelajaran sejarah
dalam
memberikan ketrampilan kepada siswa
mengajukan pertanyaan kepada data-data yang ada tersebut. Seseorang
tidak dapat membangun pengetahuan baru tanpa membuat suatu penilaian yang
beralasan, dan penilaian ini tidak bisa dibuat tanpa mengajukan pertanyaan yang
baik. Sayangnya, siswa sering lebih cenderung untuk menyusun jawaban yang
benar yang
mengabaikan keperluan untuk bertanya dengan pertanyaan yang
benar. Berkaitan dengan hal tersebut Thomas Holt (1990 : 26) menyatakan "is
117
part of the process of iearning about history. It is about the questions as well as
answers."
Jeny J Watson (1991) menemukan bahwa siswa kelas empat dan lima,
dapat membaca dan mengikuti alur novel kesejarahan yang menceritakan tentang
petualangan anggota keluarga, anak dari kehidupan keluarga yang terpisah dari
suatu periode sejarah. Para siswa tidak mendapat kesulitan mendapatkan
penjelasan tentang bagaimana trauma psikologi dari keluarga yang terpisah, anak
yang terpisah dengan orang tuanya, serta karakter-karakter dari tokoh novel
kesejarahan yang dibacanya tersebut. Sementara itu Levstik (dalam Meyer, 1998)
menyimpulkan dari studi kasus yang dilakukannya, bahwa penggunaan novel
kesejarahan sangat menarik minat siswa belajar sejarah dan memperkaya narasi
kesejarahan mereka, dan mampu melihat bagaimana konflik kehidupan manusia
masa lampau yang diangkat dalam novel kesejarahan tersebut, seperti isu moral
yang dikonfrontasikan dengan ditemma moral saat ini.
Bentuk lain pembelajaran sejarah yang mengajak siswa berpikir analisis,
juga dilakukan oleh Ava L. Mc Call (1999) yaitu mengajak siswa belajar sejarah
tentang bangsa Hmong (Laos), salah satu imigran dari Thailand di Amerika,
melalui seni kain yang disebut paj ntaub (poli dow) yang dibuat oleh para wanita
Hmong. Selain itu, dari pengalaman menjadi guru sejarah, Epstein (1994)
mengungkapkan bahwa penggunaan hasil seni kesejarahan seperti lukisan, puisi,
dapat membantu siswa membangun pemahaman kesejarahan. Siswa diajak untuk
melakukan analisis, interpretasi dalam berbagai makna terhadap hasil seni dan
118
memberikan gambaran bagaimana pengalaman kesejarahan yang dialami individu
atau kelompok pada masa lalu.
Winneburg (2001) memberikan dua pendekatan yang terkait dengan
penggunaan dokumen, untuk membawa
kepada berpikir kesejarahan dan
pemahaman kesejarahan, yaitu The sourcing heuristic dan Corroboration
heuristic. Kedua pendekatan ini memerlukan peran guru yang besar dalam
menyiapkan dokumen dan merancang pembelajaran yang membawa siswa kepada
kerja sejarawan.
Para siswa menjadi lebih memahami bagaimana proses
interpretasi terbentuk, dan mengapa teijadi berbeda-beda interpretasi atas suatu
peristiwa- Hasan (2003) juga mengungkapkan bahwa;
....mereka dapat melatih diri dalam penafsiran sejarah dan kalaupun
teijadi perbedaamn di antara mereka, maka itu akan memiliki nilai
pendidikan yang sangat tinggi. ...para sejarawan tidak pernah memiliki
suatu pandangan dan tafsiran yang sama terhadap suatu peristiwa sejarah.
Hal ini disebabkan pendidikan dan pengajaran sejarah di era sekarang
sudah berbeda dengan sebelumnya, yang lebih menekankan keterlibatan siswa.
Model pembelajaran yang sesuai hal tersebut di antaranya seperti dalam bentuk
the reading of histories dan source-based. Menurut Peter Stem dan Seixas (2000)
dalam kaitan untuk mengetahui, menginterpretasi masa lalu dengan mendalam,
dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu collective memory, disciplinary
dan postmodern approach. Jika kumpulan ingatan masa lalu, dapat digunakan
membangun narasi sejarah, maka dalam pendekatan kedua, dilakukan dengan
mengambil cara seorang ilmuwan social, sejarawan. Sedangkan pendekatan
ketiga, membangun pemahaman
kesejarahan dengan mengembangkan keragu-
raguan atas temuan sejarah yang sudah ada. Ketiga pendekatan inipun sangat
119
memberikan kesempatan kepada siswa melatih dan mengembangkan informasi
yang dipunyai, mencari dan menemukan data dari sumber-sumber yang lain,
melalui kegiatan inquiry, interpretasi dan diskusi
maka dibangun pemahaman
kesejarahan baru.
Dari
hasil
penelitian,
Evans
(1988
:203)
menyimpulkan
bahwa
pemahaman sejarah siswa tidak tumbuh dengan sendirinya, peranan guru sejarah
sangat besar di dalamnya. Melaui penelitian pada tiga wilayah di San Fransisco,
Evans, mendapatkan bahwa adanya tiga bentuk pendapat guru terkait dengan
pemilihan /pengembangan tema, pengumpulan data, media,sumber dan pola
pembelajaran yang dilakukan. Pertama, para guru menyatakan bahwa semua yang
dilakukannya
dalam
pembelajaran
sejarah
dengan
tujuan
utama
untuk
memecahkan masalah-masalah sosial terkini, yang dihadapi. Kedua, penyampaian
tentang peristiwa-peristiwa mempengaruhi perilaku yang baik. Ketiga, para guru
percaya fungsi utama pendidikan sejarah adalah membantu dalam memahami
kejadian-kejadian dan isu-isu terkini.
Evans (dalam Voss, 2002:
163)
menyimpulkan adanya lima gaya mengajar guru sejarah yaitu, sebagai storyteller,
scientific historian, relativist/reformer, cosmic phitosopher dan eclectic. Tipe
story teller dan scientific historians adalah tipe guru yang sangat efektip. Namun
memang di lapangan, berbagai kendala yang ada dari setiap elemen pembelajaran.
Ismaun (2001:115) mengungkapkan bahwa metodologi yang sesuai secara
fungsional dan kontekstual menurut karakteristik sejarah, yakni suksesif, regressif
dan tematis. Bagaimanapun bentuk model pembelajaran yang dirancang guru,
pada dasarnya, pendekatan pembelajaran yang baik adalah menjadikan siswa
120
melakukan kegiatan pembelajaran bukan
sebagai objek pembelajaran (Collins
dan George, 1993 ; Sevilla dan Marsh, 1992 : 23).
Allan E. Yarema mengungkapkan bahwa guru sejarah harus diberikan
kebebasan untuk memilih buku teks, sumber materi di kelasnya. Guru sejarah
yang mempunyai misi ke depan dan berusaha membantu siswanya untuk
menyenangi belajar sejarah adalah dengan memberikan kesempatan interaksi
siswa terhadap lingkungannya, melalui berita-berita yang ada di media cetak dan
elektronik setiap hari. Melalui cara ini siswa dapat melihat berbagai peristiwa
yang teijadi di berbagai belahan dunia sekitar mereka dan mencari jawaban atas
masalah terkini tersebut dengan mencari latar belakang sejarah nya. fhttp ^/www.
h i storvcooperati ve.org/JoumaIs/ht3 5.3/yarema.Htm I.
diakses
pada
Cara pendekatan yang diungkapkan Yarema tersebut menurut
1-2-04)
Susan
Shapiro (1991 : 55 ) adalah ibarat "mata pancing" yang menarik siswa untuk
belajar sejarah dan terus mempertahankannya dengan memberikan latihan-latihan
yang meminta partisipasi lebih dari siswa. Voss (2002 : 166) menemukan dari
penelitiannya bahwa, '...what is learned outside the class roorn, especially via the
media, literature often has a significant impact on classroom learning ".
Penggunaan sumber, dokumen dan metode diskusi yang berdasarkan
berpikir kritis akan menolong siswa untuk menilai berbagai perspektif terhadap
kejadian sejarah. Selain itu hal ini akan merangsang minat siswa terhadap sejarah,
meningkatkan pengetahuan kesejarahannya dan mengembangkan ketrampilan
analisisnya (http:brightmindsUs/series/074/index html, diakses tanggal2-2-04).
121
Pada dasarnya, pendekatan pembelajaran yang baik adalah menjadikan
siswa melakukan kegiatan pembelajaran bukan
sebagai objek pembelajaran
(Collins dan George, 1993 ; Sevilla dan Marsh, 1992 : 23).
Hai itu juga
disampaikan oleh Rick Gariikov (1998) seorang guru sejarah yang berpengalaman
mengungkapkan
bahwa, siswa tidak menjadi bosan dan hilang konsentrasi
belajarnya jika mereka secara aktif berpartisipasi dalam proses belajar ( http://
www.garnkov.ComAvriting.htm, 29-12-03).
Beberapa
model
pembelajaran
yang
menekankan
pada
keaktifan
mahasiswa dan sesuai dengan karakteristik, tujuan belajar sejarah dapat dilihat
dari beberapa pendapat berikut ini.
Model pembelajaran kontekstual, membentuk pemahman siswa secara
holistik, komprehensif, bermakna, serta menekankan pada konteks kehidupan dan
lingkungan, dengan berpusat pada aktivitas, pengalaman dan kemandirian peserta
didik dalam pembelajaran (Sukmadinata, 2004 : 196 : Johnson ; tersedia dalam
http://www.Corwinpress.<x>m/book.aspx?pid:787I. diakses pada 20 maret 2003.
Para
guru/dosen
mengarahkan
peserta
didik
membuat
hubungan
antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Depdiknas, 2003 : i).
Joice & Weil (2000 ) memberikan beberapa model pembelajaran yang
dapat dibagi dalam empat kelompok besar, yaitu behavior modijication , social
interaction, personal sowce dan information processing. Mode! behavioral, lebih
menekankan pada perubahan tingkah laku. Model sosial, memfokuskan pada
kemampuan individu berinteraksi sosial, proses demokratisasi dalam masyarakat.
122
Sedangkan model personal source, mengembangkan individu untuk lebih
memahami dirinya sebagai manusia (emosi dan kepribadian) dan dengan
hubungannya pada lingkungan. Diantara empat rumpun model pembelajaran the
information processing models adalah
model pembelajaran yang banyak
berhubungan dengan tujuan pendidikan (kognitif, afektif dan psiko-motor).
Menurut Joyce, Weil (2000) model pemprosesan informasi merupakan
"...the ways in whichpeople handle stimulijrom the environment, organize data,
sense problems, generate concepts and solutions to problems, and employ verbal
and non verbal symbols." Model pemrosesan informasi, mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk peka terhadap peristiwa
di lingkungannya,
dengan kemampuan mendapatkan, mengorganisasikan data, hingga memberikan
solusi atas suatu masalah. Model yang terakhir ini lebih menekankan pada fungsi
intelektual. Ditambahkan oleh Joice dan Weil (2000) bahwa medel tersebut
menekankan pada pengembangan ketrampilan proses dan pengetahuan serta
menngembangkan ketrampilan intelektual siswa. Jika dihubungkan dengan
pengembangan model pembelajaran untuk meningkatkan ketrampilan berpikir
peserta didik, maka model yang terkahir ini lebih sesuai.
Berdasarkan materi yang diajarkan, Steel (dalam Widja, 1989 : 32 - 35)
menuangkan adanya beberapa model pembelajaran sejarah yang dapat digunakan,
yaitu Model Garis Besar Kronologis, Model Tematis, Model Garis Perkembangan
Khusus, dan Model Regrcssif. Ismaun juga
(2001:115) memberikan adanya
model pembelajaran sejarahlain, seperti regresif dan tematis. Secara rinci
penjelasan model pembelajaran tersebut, dituangkan dalam bab dua
A/Jr.
Model Garis Besar Kronologis adalah mengajarkan suatu ]
atas dasar urutan tahun terjadinya peristiwa sejarah itu, dimulai ^ r i ^ p S ^ , ^
perkembangan sampai kepada perkembangan kontemporer dari pegltaiiArt
peristiwa-peristiwa sejarah itu.
penanaman
Sedangkan Model Tematis menekankan pada
pemahaman yang mendalam untuk perode-periode tertentu yang
menyangkut tema-tema kehidupan manusia tertentu yang menarik perhatian.
Mode!
ini
mengajak siswa melakukan
analisis terhadap kecenderungan
masyarakat pada kurun waktu tertentu dalam rangka menarik suatu generalisasi.
Model ini cenderung pada paparan sejarah yang sinkronik. Kebaikan dari model
ini adalah melibatkan siswa dalam pembelajaran lebih besar, misal dengan metode
projek. Selain itu mengembangkan kemampuan siswa berpikir tingkat tinggi dan
topik sejarahpun
berdasarkan minat siswa.
Sedangkan kekurangannya, jika
pengambilan topik sejarah di luar kurikulum akan membuat materi sejarah dalam
kurikulum tidak tercapai.
Model Garis Perkembangan Khusus, tidak jauh berbeda dengan model
Garis besar Kronologis, sama-sama menekankan urutan perkembangan kronologis
dari suatu peristiwa sejarah. Perbedaannya adalah -jika Model
Garis Besar
Kronologis fokus pada perkembangan keseluruhan dari berbagai aspek kehidupan
manusia, maka Model Garis Perkembangan Khusus ini berfokus pada aspek-aspek
khusus yang menarik saja dari kehidupan manusia tersebut Misal tema rumah,
maka akan dilihat pertumbuhannya dari bentuk rumah permulaan, seperti gua-gua
batu, kemudian bentuk rumah sederhana, atap miring dan satu dinding saja,
kemudian dua dinding, lalu bertiang dan seterusnya hingga
bangunan rumah
124
seperti sekarang. Tidak hanya tentang perkembangan bentuk rumah, tetapi juga
pada bahan dan fungsi rumah tersebut Model ini sangat sesuai dengan pengajaran
sejarah yang imegraied ataupun correlaied dengan ilmu-ilmu lain. Pemahaman
atas suatu tema menjadi komprehensif. Kelemahannya, materi sejarah yang telah
dikemas dalam kurikulum menjadi sulit diselesaikan sesuai batasan kalender
akademik sekolah.
Model pembelajaran regressif memulai pengajaran memakai titik tolak,
dari situasi zaman sekarang untuk kemudian menelusuri batik ke belakang ke
masa lampau yang merupakan latar belakang dari perkembangan kontemporer
tersebut Misal, isu toleransi antar umat beragama di Indonesia saat ini, bisa
menelusuri akar-akar dari gejala ini pada perkembangan sejarah sebelumnya,
masa
mempertahankan
kemerdekaan,
perjuangan
merebut
kemerdekaan,
Penjajahan, Sumpah Pemuda, bahkan bisa hingga ke kerajaan Hindu Budha.
Dari paparan konsep pembelajaran sejarah dan solusi-solusi yang
diberikan para pakar dan praktisi pendidikan sejarah terhadap proses pembelajaran
sejarah bagi pencapaian pemahaman kesejarahan dan pengembangan ketrampilan
berpikir kesejarahan mengarahkan agar banyak memberikan kesempatan kepada
siswa beraktivititas mandiri/kelompok, berpikir tahap tinggi, mendapatkan
pengalaman, kebermaknaan dalam lingkungan
kehidupannya. Komponen
pembelajaran yang ditekankan pada kemampuan siswa untuk mampu menggali
pengetahuan/pengalaman yang dimiliki dan digunakan dalam memahami,
mengkaji, menganalisis, merekonstruksi suatu peristiwa sejarah berdasarkan
primary sources, secondary sources yang kemudian digunakan dalam melihat
125
konteks peristiwa kekinian. Proses pembelajaran seperti ini disebut oleh juga oleh
Breisach (1994) sebagai model student as arcivist. Kondisi pembelajaran ini,
menurut Kolb dalam bukunya "Experential Learning" (1984 : 14)," children
became little scientists,
exploring,
experimenting and drawing their own
conclusions ".
Pembelajaran yang memberikan pengalaman (kegiatan sejarawan) adalah
pembelajaran yang memberikan kebermaknaan dan mengembangkan ketrampilan
berpikir mahasiswa. Hal ini menurut Ausabel dan Robinson (dalam Sukmadinata,
2004:222) adalah belajar yang berada pada kuadran I, yaitu belajar mencari
(idiscovery learning)
dan belajar bermakna (meaningful learning). Belajar
mencari adalah belajar yang menekankan pada aktivitas berpikir mahasiswa.
Mereka dididorong untuk melakukan proses berpikir. Belajar bermakna adalah
belajar yang menekankan arti atau makna dari bahan dan kegiatan yang diberikan
bagi kepentingan peserta didik (Sukmadinata, 2004:223).
Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa proses pembelajaran yang
efektif apabila siswa ditempatkan sebagai subjek, tidak hanya dalam rencana
upaya untuk ketercapaian kurikulum juga dalam proses implementasi kurikulum
tersebut di kelas. Singkatnya, siswa terlibat aktif dalam membangun makna atau
pemahaman materi dari suatu topik bahasan. Siswa dapat belajar dengan kondisi
terbaik dan mendapatkan apa yang dipelajarinya ketika mereka tertarik dengan
materi pelajaran tersebut dan konsep-konsep yang diberikan ada pada konteks
kehidupan siswa (ATEEC, 2000; tersedia dalam http://ustudyeducation.Com.
Osu3.html. 2-4-05). Oleh karena itu, sangatlah tepat jika peran guru sangat besar
126
dalam memfasilitasi lingkungan belajar siswa dalam belajar sejarah. Sebagaimana
juga diucapkan oleh
Research in Social
Evans, R.W dalam tulisannya di
jurnal "Theory and
Education" (1988) yang beijudul "Lesson From History;
Teaeher and Student Conceptions of the Meaning of Histroy", bahwa sekolah,
keluarga, media dan kunjungan pada tempat bersejarah memang sangat
mempengaruhi persepsi kesejarahan siswa, tetapi itu tidak bisa teijadi sendiri,
karena peran guru sejarah sangat besar dalam membentuk persepsi tersebut
Frederick D. Drake (2002) menyatakan jika kita ingin siswa kita berpikir
kesejarahan , maka kita perlu guru-guru yang dapat mengatur mereka menuju
berpikir kesejarahan dan juga pemahaman kesajarahan.
5. Penggunaan Primary Sources dalam Pembelajaran Sejarah
Di dalam pembelajaran sejarah cenderung didapati kegiatan siswa yang
hanya mendengarkan interpretasi guru terhadap suatu peristiwa sejarah, atau
mendengarkan interpretasi penulis bulai teks sejarah, melalui mulut guru/dosen.
Siswa sangat jarang diajak memberikan interpretasinya terhadap suatu peristiwa
sejarah, melalui sumber-sumber primer/dokumen. Hal yang lebih mencemaskan
dalam upaya untuk tercapainya tujuan pendidikan sejarah, adalah saat guru hanya
menggunakan seluruh waktu belajar dengan kegiatan mencatat dari bulai teks
yang hanya dimiliki guru/dosen saja.
Winneburg (2001) mengungkapkan bahwa dalam pembelajaran berpikir
kesejarahan guru menggunakan media primay sources atau juga secondary
sources, baik melalui teks sejarah, dokumen, atau gambar, juga buku teks dengan
127
dua pendekatan, yakni "sourcing heuristic" dan
M
corroboration heuristic". Jika
dalam pendekatan pertama, siswa menganalisis pada satu dokumen saja, maka
pada pendekatan kedua, mereka membandingkan dengan sumber-sumber sejarah
yang lain. Pembelajaran berpikir dengan sumber sejarah ini akan terpenuhi, jika
guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir kritis atas masalah
yang ditemukannya, melalui pertanyaan, membandingkan, interpretasi, dan
kemudian menghasilkan suatu ide/jawaban yang dikaitkan dengan pengetahuan
sebelumnya, pengalaman dan isu yang ada dalam kehidupannya.
Di dalam konstruktivisme, pelajaran sejarah lebih ditekankankan kepada
penggunaan sumber-sumber utama (Primary sources) dan dokumen (dacumenis)
sebagai materi mentah sejarah yang menjadi kendaraan bagi siswa untuk
mencapai
membangun
ketrampilan
pemahaman
kesejarahan
baru.
sebagaimana
Dikatakan
oleh
bahwa,'.. .primary sources play a fundamental
mereka
Michael
role
in
mengkonstruk,
Heruy
the
(2002)
constructivist
setting... documents, as the raw materials of history, are the vehicle that students
use to practice historical skills as they construct new understandings.
Menurut bentuknya, primary sources dan secondary sources dibagi
menjadi tiga, yaitu text sources, visual sources dan auditory sources. Text
sources, merupakan dokumen yang sudah diterbitkan (artikel, buku dan lainnya)
ataupun yang tidak diterbitkan (catatan, buku harian, surat, memo dan lainnya).
Visual sources, sumber-sumber sejarah yang bersifat visual, seperti gambar,
lukisan, artifak, barang-barang pribadi yang didapat dari pertempuran (ikat
pinggang, dompet, baju, senjata dan lainnya). Auditory sources, adalah sumber
128
sejarah yang bisa di dengar, misal pidato, lagu, debat, dan bentuk rekaman lainnya
(Leaming Leads, 1999).
Beberapa kegunaan sumber sejarah secara lengkap dituliskan oleh Mary
A!exander (1989), yaitu;
,...exposes students to important historical concepts. First, students
become aware that al! written history reflects an author's interpretation of
past events. Therefore, as students read a historical account, they can
recognize its subjective nature. Second, the students directly touch the
lives of people in the past... .they develop important analytical skills.. „To
many students, history is seen as a series of facts, dates, and events usually
packaged as a textbook. The use of primary sources can change this view.
...they begin to view their textbook as only one historical interpretation
and its author as an interpreter of evidence, not as a purveyor of truth.
Para siswa membaca data (decode data), mendiskusikan arti data tersebut
{debate their meaning), and membangun interpretasi baru {establish new
interpretations). Singkatnya para siswa dalam kelas sejarah diharapkan siswa
membangun pengertian dan pemahaman baru berdasarkan pengetahuan yang
dimilikinya (Madgic, 1971 : 5).
Terkait dengan penggunaan primary sources, Maypole dan Davies (2001)
menyatakan,'... the use of primary sources encourages students to think critically,
analyze, synthesize and evaluate ideas".
Beberapa pendapat mahasiswa yang
pernah terlibat dalam belajar dengan menggunakan primary sources, yaitu;
—it is amazing how much more I learned from real experience rather
than to read it out of a text book
I felt more interested in the events that
occurred because of the real life experience that were told or read....I
became more interested in stories told through people's encounters of
history rather than to read about events that occurred....the role of primary
sources is critical to either understand the background and details in which
the story of the people is gi ven...
129
Dari ungkapan mahasiswa tersebut, dapat disimpulkan bahwa para
mahasiswa mendapatkan pengalaman langsung dalam memahami sejarah, bukan
dari sekedar membaca buku teks
atau mendengarkan cerita guru (dosen),
melainkan dari "dialog" analisis, interpretasi terhadap dokumen sejarah yang
dilakukan sendiri. Seperti diyakinkan oleh bapak metode sejarah kritis, Leopold
van Ronke (dalam Kartodiijo, 1993), bahwa," sejarah baru dimulai apabila
dokumen dapat dipahami".
Penggunaan arsip sebagai informasi primer dalam pembelajaran sejarah,
akan membantu siswa memahami sejarah secara lebih konseptual. Pertama, siswa
akan menyadari bahwa kebanyakan tulisan sejarah merefleksikan interpretasi
pengarangnya terhadap suatu peristiwa. Oleh karena itu, saat siswa menyimak
suatu arsip, mereka akan mengenali sifat subjektif dari suatu tulisan sejarah. Hal
ini juga akan mampu merubah pandangan selama ini terhadap sejarah, yaitu
hanya sebagai sebuah pengetahuan bukan ilmu, karena berisi deretan fakta,
tanggal, dan peristiwa yang biasanya dikemas dalam buku pelajaran sejara, serta
menyadari bahwa buku pelajaran yang mereka baca, adalah salah satu
interpretasi sejarah dan pengarangnya merupakan salah satu interpreter dari
bukti-bukti sejarah. Kedua, melalui arsip, siswa secara langsung bersentuhan
dengan kehidupan masyarakat pada masa lampau. Dengan demikian, jika
guru/dosen menggunakan arsip sebagai sumber primer, mereka secara tidak
langsung mengembangkan kemampuan analisisnya. Ketiga, siswa akan terlibat
secara aktif, berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran, mereka akan berdebat,
berdiskusi dengan guru, teman sekelasnya dalam menginterpretasi suatu arsip
130
sebagai
sumber primer.
interpretasinya
dan
Mereka
mencari
akan
menantang
sumber-sumber
lain
hasil kesimpulan,
untuk
mendukung
interpretasinya. Kelas akan menjadi hidup, dimana para siswa dapat menguji dan
melakukan ketrampilan analisisnya (Mary Alexander, 1989; ANRI, 2002;)
Seperti telah dipaparkan dalam sub bab di atas, bahwa dalam ketrampilan
berpikir kritis, diperlukan ketrampilan mengajukan pertanyaan yang bagus.
Dalam proses mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesa terhadap buktibukti sejarah akan membantu mengembangkan sikap kritis untuk memecahkan
masalah-masalah kesejarahan. Jadi jika siswa belajar dengan menggunakan
primary sources dalam membangun pengetahuan baru, maka mereka akan
mengimbangkan ketrampilan berpikir ( Scheurman, 1998 : 10).
Robert B. Bain (dalam Stearns, 2000 : 345) menyatakan bahwa peran
guru dalam memfasilitasi dan melatih ketrampilan berpikir terutama dalam
memilih dan pengajukan pertanyaan terhadap siswa. Dia menyarankan beberapa
daftar pertanyaan yang bisa digunakan untuk memandu siswa bertanya tentang isi
sumber sejarah dalam kaitannya untuk mendorong ketrampilan berpikir
kesejarahannya, misalnya:
•
•
•
•
•
•
•
Who made the source, and when was it made?
Who is the tntended audience for the source?
What is the story Iine within the source?
Why was the source produced; what purpose did it serve?
Does other evidence support the source?
Does other evidence contest the source?
Is the source believable? (Was the source in a position to know? Is the
source biased?)
• What is the story line that connects all the sources?
131
Selain itu dari kantor arsip nasional Amerika (US National Archieves &
Record Administration yang berpusat di Washington DC dan Kantor Arsip
Nasional Republik Indonesia memiliki kesamaan panduan/format/lembaran keija
yang membantu siswa menganalisis sumber sejarah (dokumen, gambar, peta,
film) yang berisi pertanyaan-pertanyaan dan pilihat jawaban yang mungkin terkait
dengan sumber sejarah yang dianalisisnya. Untuk melihat gambaran secara utuh
lihat lampiran. Seperti juga lembaran keija yang disarankan oleh Frederick D.
Drake (2001) sebagai panduan untuk sumber sejarah, khususnya gambar dengan
menggabungkan dua pendekatan "sourcing heuristic" dan "corroboration
heuristic.
Di samping itu para siswa juga diarahkan untuk membedakan antara fakta
dan pendapat yang ada dalam suatu sumber sejarah dan mencari kata-kata yang
asing/tidak dimengerti serta membuat analogi terhadap peristiwa yang terjadi di
tempat atau di waktu sekarang. Para siswa dilatih membangun interpretasi
terhadap suatu bukti sejarah dan memberikan respon baik dalam tulisan ataupun
lisan (presentasi) dihadapan teman sekelasnya (Pappas, 1999).
Kegiatan
pembelajaran yang demikian diperlukan sekali, agar tidak terjadi verbalisme.
Download