BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Beberapa hasil penelitian yang relevan patut dikaji berkaitan dengan objek penelitian ini. Hasil-hasil penelitian tersebut menyangkut bahasa Or dan linguistik area yang ada di sekitar penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut meliputi ‘Oirata, a Timorese Settlement on Kisar’ (de Jong, 1937), ‘Peoples and Languages of Timor’ (Capell, 1944), ‘The Oirata Language’ (Cowan, 1965), ‘The Indo-Pasific Hypothesis’ (Greenberg, 1971), dan ‘The West Papua Phylum: General and Timor and Areas Further West’ (Capell, 1975). Berikut ini diuraikan secara singkat kajian setiap peneliti tersebut dan relevansinya dengan penelitian ini. Dalam ‘Oirata, a Timorese Settlement on Kisar’, de Jong (1937) menguraikan Oirata disebut juga Oiriaka atau Oiriata sebagai desa yang terdiri dari desa Oirata Timur dan Oirata Warat (barat). Oirata memiliki arti ‘air kotor’. Nama mitosnya adalah Horna Werna, yang konstruksinya mirip dengan Umana Ser(e)na atau lebih tepatnya yaitu ‘ibu pertiwi Timor’. Josselin de Jong sebagai seorang antropolog tidak saja melihat desa Oirata dari perspektif budaya, juga melihat dari aspek bahasanya. Dari aspek antropologi, buku itu melansir situasi desa yang mencakup demografi desa, sistem klan dan kekerabatan, kasta, dan populasi desa. Dari aspek linguistik, bahasa Or diungkap secara deskriptifsinkronis mulai tataran fonologis sampai tataran tata bahasa. Kajian fonologis 10 11 meliputi aspek segmental, yakni sistem vokal, konsonan, semi-vokal, dan diftong, dan aspek suprasegmental. Pada aspek suprasegmental, bahasa Or memiliki aksen dan diasumsikan mempunyai nada yang tidak stabil. Pada tataran tata bahasa, diuraikan aspek morfologi dan aspek sintaksis. Pada aspek morfologi, Josselin de Jong membicarakan proses pembentukan kata, yakni pemajemukan nomina, derivasi nomina melalui sufiks, dan pemajemukan verba. Bahasa Or sangat kaya dengan prefiks, seperti a(a)-, na(a)-, ara-, ia(a)-, ina(a)-, ita(a)-, mal(u)-, mede-, men(i)-, mud(u)-, odot-, pan(u)-, ua(u)-, tawa-, una(a)-, ura(a)-, ut(u)- (1), ut(u)(2), ut(u)- (3). Pada tataran morfologi juga dibicarakan fleksi nomina (jamak dan milik), fleksi verba (transitif-intransitif, aktif-pasif, kala), kata penunjuk, dan kata ganti orang. Pada aspek sintaksis secara sepintas juga dibicarakan klausa (terikat), kalimat imperatif, dan kalimat larangan. Patut dicatat bahwa Josselin de Jong mengkaji semua aspek bahasa Or dengan menggunakan pendekatan sinkronis semata sehingga tidak memberi gambaran yang eksplisit tentang historis dan hubungan bahasa Or dengan bahasa-bahasa di sekitarnya sebagaimana yang diharapkan dalam tujuan penelitian ini. Dalam ‘Peoples and Languages of Timor’, Capell (1944) menyebutkan bahwa di Pulau Timor terdapat dua kelompok bahasa, yakni kelompok bahasa Indonesia dan kelompok bahasa Non-Indonesia. Kelompok bahasa Indonesia meliputi bahasa Tetun (Tt), Mambai (Mb), Tokodede (Tk), Galoli (Gl), dan Idate (Id). Kelompok bahasa Non-Indonesia yang ditemukan di daerah pegunungan Timor (Leste) meliputi bahasa Bn, Mk, Waimoa (Wm), dan Kairui (Kr). Kedua bahasa terakhir telah dibuktikan sebagai bahasa AN (Mandala, 1999 dan 2000). 12 Capell lebih memfokuskan diri pada bahasa Bn dan bahasa Mk sebagai bahasa Non-Indonesia yang diperbandingkan dengan bahasa-bahasa yang bertipe sama dengan bahasa Or di Pulau Kisar dan bahasa-bahasa di HU serta dikontraskan dengan bahasa Indonesia. Secara sekilas, tampak bahwa kesamaan kosakata kelompok bahasa tersebut sangat berbeda dari bahasa Indonesia dan juga menampakkan ciri formal bahasa Papua. Tata bahasanya lebih rumit dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Kelompok bahasa tersebut memiliki kesamaan konstruksi, yaitu struktur SOV dan posposisi pada bahasa-bahasa itu berbeda dengan struktur bahasa Indonesia pada umumnya. Ciri khusus berupa gender gramatikal (mo ‘feminim’ dan ma ‘maskulin’) dimiliki bahasa-bahasa HU dan penanda objek ma yang unik terdapat pada bahasa Mk. Capell, dalam melihat kesamaan kosakata bahasa-bahasa yang diteliti hanya terbatas pada penerapan metode by inspection dan belum menggunakan metode yang lebih akurat. Selain itu, Capell tampaknya lebih banyak memfokuskan diri pada aspek gramatikal dalam pengelompokan bahasa-bahasa itu. Cowan (1965) juga membahas bahasa Or dengan judul ‘The Oirata Language’. Dalam tulisannya, Cowan mengklasifikasikan bahasa Or di Pulau Kisar sebagai bahasa NAN yang satu kelompok dengan bahasa Mk dan bahasa Bn di Pulau Timor (Leste) serta saling berkaitan pula dengan bahasa-bahasa di pantai selatan Kepala Burung Papua Nugini Barat (meliputi bahasa Yahadian, Konda, Kampong Baru, dan Parugi). Semua bahasa itu disebut sebagai kelompok Filum Papua Barat. Pengelompokan bahasa-bahasa tersebut didasarkan atas kemiripan pronomina (pertama, kedua, ketiga tunggal dan jamak) dan dua puluh leksikal 13 dasar lainnya serta kesesuaian bentuk prefiks pesona yang bersifat gramatikal dalam beberapa bahasa itu. Kajian ini dapat memberi arah tentang kedekatan bahasa-bahasa yang diteliti, tetapi belum memberi fakta bahasa yang meyakinkan karena hanya didasarkan atas metode survai dengan beberapa aspek kebahasaan. Tulisan yang relevan juga dikemukakan oleh Greenberg (1971) dengan judul ‘The Indo-Pasific Hypothesis’. Dalam tulisan tersebut, Greenberg menjelaskan istilah Indo-Pasific sebagai nama kelompok bahasa Oceania NAN yang tersebar dari kepulauan Andaman di bagian barat teluk Bengal sampai ke Tasmania. Akan tetapi, pembahasannya difokuskan pada bahasa-bahasa NAN kelompok bahasa Timor-Alor. Berdasarkan data bahasa yang dikumpulkan dua ahli etnografi Nicolspeyer dan Du Bois tahun 1944, Greenberg menetapkan bahwa bahasa Ab di Pulau Alor dan bahasa Or di Pulau Kisar serta bahasa Bn dan Mk di Timor (Leste) sebagai subkelompok internal Timor-Alor. Dalam subkelompok itu, dinyatakan bahwa bahasa Ab lebih dekat dengan Bn, sedangkan Or lebih dekat dengan Mk. Penetapan tersebut didasarkan atas kemiripan pronomina (orang pertama dan kedua tunggal dan jamak) yang dimiliki bahasa-bahasa tersebut. Keempat bahasa itu memiliki n sebagai pronomina orang pertama tunggal yang juga dipakai secara luas dalam bahasa-bahasa Indo-Pasific. Semua bahasa itu juga memiliki kesamaan unsur e sebagai pronomina orang kedua tunggal dan ditemukan pula dalam bahasa-bahasa tertentu pada Filum Papua Barat. Dalam bahasa Bn dilengkapi dengan –to dan pada bahasa Ab dengan –do yang ditambahkan secara bebas. Pronomina orang pertama jamak (eksklusif) dalam bahasa Mk adalah ini, dalam bahasa Or in(te); ina, sedangkan bahasa Bn nei. Bahasa Ab memiliki dua tipe 14 pronomina orang pertama jamak, yaitu ni- (eksklusif) dan pi- (inklusif) sesuai ciri pronomina Timor-Alor. Untuk menyatakan orang pertama jamak (inklusif), bahasa Or menggunakan ap(te), bahasa Mk dengan fi- dan Ab dengan pi-. Pronomina orang pertama jamak umumnya tanpa pembeda inklusif dan eksklusif pada bahasa-bahasa Indo-Pasific sangat lazim dengan ni-. Bahasa HU bersesuaian dengan bahasa Timor-Alor terutama dalam pemakaian p- sebagai orang pertama jamak inklusif. Akan tetapi, hanya bahasa Timor-Alor yang memiliki pola n(eksklusif) dan p- (inklusif). Tentu saja pengklasifikasian tersebut belum cukup kuat dan meyakinkan dipakai sebagai dasar pengelompokan terhadap bahasabahasa sekerabat. Walaupun demikian, patut dihargai bahwa kajian ini cukup memberi sumbangan dan petunjuk ke arah yang layak bagi kajian lebih lanjut terhadap kekerabatan bahasa-bahasa itu. Dalam ‘The West Papua Phylum: General and Timor and Areas Further West’, Capell (1975) mengatakan bahwa bahasa-bahasa Filum Papua Barat NAN menyebar ke luar batas New Guinea masuk ke Indonesia Timur. Bahasa-bahasa NAN di kawasan itu dibagi menjadi kelompok Alor (bahasa Ab) dan kelompok Timor (bahasa Bn, Mk, Ft, Lov, dan Or di Pulau Kisar) yang selanjutnya disebut kelompok TA. Lebih jauh Capell menjelaskan struktur Filum Papua Barat terdiri atas kelompok HU, kelompok TA, dan kelompok KB. Struktur penting HU yang sebagian juga dimiliki TA adalah (1) mempunyai sistem dua kelas kata benda person dan non-person, (2) kata ganti subjek dan objek mendahului verba, (3) HU 1. t- 2.yang n- dimiliki dalam frase posesif, (4) post-posisi pada frase pemilik mendahului Yapen nomina, dan (5) post-posisi pada stem kata kerja terjadi untuk 1. t- perubahan 2. n1. t- 2. b1. t- 2. bKB 1. n- 2. eTA 1. n- 2. e- 15 menandakan transitif (jauh dan dekat), kausatif, jamak, dan ciri lainnya yang pada bahasa AN diindikasikan sebagai sufiks. Pada kelompok KB, selain persesuaian infleksi-prefiksasi juga ditandai dengan pemarkah orang pertama dan kedua tunggal sekaligus memperjelas relasinya dengan kelompok HU dan TA. Berikut ini prefiks orang pertama dan kedua tunggal kelompok KB dan relasinya lebih luas. Bagan 4: Relasi Prefiks Orang Pertama dan Kedua Tunggal HU 1. t- 2. n1. t- 2. nKB 1. t- 2. b- Yapen 1. t- 2. b- 1. n- 2.eeTA 1. n- 2. eDalam tulisan ini pun Capell lebih memfokuskan diri pada aspek struktur (morfologi & sintaksis) dan beberapa data kosakata tentang pronomina. Tentu saja pendekatan ini belum cukup memadai untuk menentukan relasi kekerabatan suatu bahasa sebagaimana juga telah diakuinya (Capell, 1975). Perbandingan struktur cenderung hanya sebagai manifestasi bentuk gambaran tipologi, bukan gambaran geneologi suatu bahasa seperti yang diharapkan dalam tujuan penelitian ini. Semua kajian di atas pada prinsipnya memperbandingkan aspek morfologi dan sintaksis terutama pada pemarkah pronomina yang lebih bersifat sinkronis. Sebaliknya, penelitian ini mengkaji aspek fonologis dan leksikal yang bersifat 16 diakronis dengan penekanan pada pengelompokan bahasa dan rekonstruksi protobahasanya. Selain itu, lingkup kajiannya sampai pada evolusi fonologis baik secara internal maupun eksternal. 2.2 Konsep Sebelum uraian teori, terlebih dahulu dijelaskan beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep yang diuraikan hanya terbatas pada istilah-istilah berikut ini. 1) Evolusi Bahasa Evolusi bahasa dimaknakan sebagai sejarah asal-usul perkembangan bahasa berdasarkan perjalanan waktu (Matthews, 1997). Istilah evolusi bahasa mengacu pada teori biologi Darwin, yakni proses perubahan wujud bahasa, dalam jangka waktu lama berkembang secara alamiah dari bentuk awal menjadi bentuk akhir seperti sekarang ini dengan berbagai variasi, adaptasi, seleksi alam, dan ciri khas dari suatu keturunan (Nerlich, 1989; Lass, 1990; dan McMahon, 1999). Evolusi dalam penelitian ini mengacu pada konsep secara genetis, sebagai proses perubahan bahasa dari suatu protobahasa tertentu menuju mesobahasa sampai kepada bahasa modern; dan secara nongenetis, sebagai suatu perubahan bahasa dengan berbagai variasi, adaptasi, dan seleksi menjadi bahasa Or sekarang ini. 2) Kekerabatan Bahasa Kekerabatan bahasa adalah hubungan keseasalan suatu bahasa yang dibuktikan dengan pengelompokan dan rekonstruksi protobahasanya (Jeffers 17 dan Lehiste, 1979; Hock, 1988). 3) Pengelompokan Bahasa Pengelompokan bahasa adalah penelusuran subkelompok bahasa turunan dari kelompok bahasa yang lebih besar berdasarkan hipotesis pohon kekerabatan yang ditetapkan dengan hukum perubahan bunyi yang beraturan. Hipotesis ini beranggapan bahwa moyang bahasa berbelah secara berturut-turut dan setiap tahapan terjadi perubahan serta mengakibatkan pembelahan lebih lanjut atau berkembang biak dengan proses dan caranya sendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa asumsi perkembangan spesies moyang bahasa melahirkan bahasa-bahasa turunan itu dapat ditelusuri kembali dengan menggunakan metode komparatif yang berdasarkan atas hipotesis keterhubungan dan keteraturan (Jeffers dan Lehiste, 1979:27--31). 4) Rekonstruksi Protobahasa Rekonstruksi protobahasa merupakan penelusuran dan pembentukan kembali unsur-unsur warisan bahasa asal yang telah hilang melalui bentuk evidensi bahasa-bahasa turunan (berkerabat) yang sekarang masih hidup (Hock, 1988:581; Bynon, 1979; Crowley, 1992:164). Penelusuran dan pembentukan kembali unsur warisan itu dapat dilakukan berdasarkan asumsi bahwa bahasa-bahasa sekerabat banyak menyimpan dan mengubah unsur warisan dengan kaidah dan berbagai cara (Dyen, 1978:35). 5) Retensi Bersama Retensi bersama diartikan sebagai unsur warisan baik bentuk maupun makna yang tertinggal atau bertahan pada bahasa-bahasa turunan, sama dengan 18 yang terdapat pada protonya (Dyen, 1978; Crowley, 1992:164). 6) Inovasi Bersama Inovasi bersama adalah unsur warisan dari bahasa asal yang telah mengalami perubahan pada bahasa-bahasa turunan. Bila hal itu terjadi pada kelompok bahasa turunan secara khusus dan tidak terjadi pada kelompok bahasa lain dalam perkembangannya disebut inovasi bersama yang eksklusif (exclusively shared linguistic innovation) (Greenberg, 1957:49). 7) Difusi Difusi adalah proses penyatuan unsur-unsur bahasa tertentu yang dapat menjadi khasanah baru bagi suatu bahasa tertentu sebagai akibat kontak bahasa dan dalam jangka waktu lama dapat menyebar luas melintasi seluruh bagian linguistik area (Dixon, 1997). 8) Stratum Stratum adalah suatu kondisi bahasa dengan ciri tertentu setelah menempuh periode bilingualisme akibat suatu kontak bahasa baik dalam rentang waktu lama maupun pendek. Proses tersebut dapat menimbulkan tiga kemungkinan, yaitu substratum, superstratum, dan adstratum. Substratum dapat terjadi jika bahasa pendatang diadopsi oleh bahasa lokal dengan tetap membawa ciri kelokalannya. Superstratum terjadi bilamana bahasa pendatang mengadopsi unsur-unsur bahasa lokal. Hal itu terjadi apabila kondisi budaya dan jumlah pemakai bahasa pendatang lebih rendah dibandingkan dengan bahasa lokal. Akan tetapi, bila kedua bahasa itu sama-sama memiliki 19 kemampuan untuk saling memengaruhi dengan berbagai cara, kondisi ini disebut adstratum (Jeffers and Lehiste, 1979:141--146). 9) Filum Filum (phylum) adalah istilah yang digunakan untuk merepresentasikan hubungan kelompok bahasa-bahasa berkerabat dengan level rendah yang berdasarkan hasil perhitungan leksikostatistik memiliki angka kesamaan cognat antara 12% sampai dengan kurang dari 1%. Filum dibedakan atas microphylum dengan persentase kesamaan kosakata kerabat 12 - 4%, messophylum memiliki persentase angka kesamaan 4 - 1%, dan macrophylum dengan persentase angka kesamaan kurang dari 1% (Swadesh, 1952, Fernandez, 2010). 10) Non-Austronesia (NAN) Non-Austronesia (NAN) adalah istilah yang digunakan untuk kelompok bahasa-bahasa yang memiliki ciri berbeda dengan kelompok bahasa-bahasa Austronesia (AN). Ciri-ciri kelompok bahasa NAN di antaranya: (a) memiliki sistem dua kelas kata benda person dan nonperson, (b) pemilik mendahului yang dimiliki, (c) posposisi pada frase nomina, (d) kata penunjuk mendahului yang ditunjuk, dan (e) kata ganti subjek dan objek mendahului verba atau memiliki struktur SOV (Capell, 1975). Bahasa NAN dengan ciri sebagaimana disebutkan di atas meliputi kelompok babasa-bahasa TAP, HU, KB, dan Filum Papua Barat (Cowan, 1965; Greenberg, 1971; Capell, 1975). 20 2.3 Kerangka Teori 2.3.1 Evolusi Bahasa Istilah evolusi lebih populer digunakan dalam bidang biologi yang artinya proses perubahan wujud dari suatu organisme yang ada, dalam jangka waktu lama berkembang secara alamiah dari bentuk yang lebih sederhana menjadi bentuk akhir yang lebih kompleks dengan berbagai variasi, modifikasi, dan ciri khas dari suatu keturunan. Teori keturunan dengan modifikasi melalui seleksi alam ini mempunyai nilai yang bersifat universal (Darwin, 2002). Sebenarnya, para linguis telah lebih dahulu memakai konsep ini. Sir William Jones (1786) mengemukakan bahwa bahasa Sansekerta, bahasa Latin, bahasa Gothic, dan bahasa Celtik termasuk satu famili dan berasal dari protobahasa yang sama yang sudah tidak lagi dapat ditemukan. Inilah yang menjadi dasar untuk mengetahui famili IndoEropa dan merekonstruksi bentuk protonya. Jadi, paham perubahan bentuk (transformism) lebih dahulu dipakai dalam linguistik bila dibandingkan dengan ilmu biologi. Fenomena ini terjadi karena bahasa lebih cepat berubah dan mudah diamati bila dibandingkan dengan spesies biologi (McMahon, 1999). Interpretasi konsep evolusi bahasa hingga sekarang sekurang-kurangnya terdapat tiga sudut pandang, yakni menurut pandangan para linguis abad ke-19, pandangan teleologi, dan sudut pandang biologi. Menurut para linguis abad ke-19, evolusi dimaknakan sebagai suatu proses perubahan yang berkelanjutan dari suatu kondisi yang lebih rendah, sederhana atau kurang baik menjadi suatu kondisi yang 21 lebih kompleks atau ke suatu keadaan yang lebih baik. Perkembangannya bersifat progresif atau ketidakbertahanan suatu bahasa (Hodge, 1970:2). Menurut perspektif teleologi, evolusi dianggap sebagai perkembangan yang terjadi secara perlahan dengan perubahan yang mengarah pada pencapaian suatu tujuan, walaupun tujuan itu tidak selalu menguntungkan. Perubahan dapat bersifat adaptif, netral, atau bahkan bisa menimbulkan hasil yang maladaptif (Lass, 1974:312). Jakobson (1963) mengemukakan bahwa setiap perubahan dalam sistem fonologis pada dasarnya memiliki tujuan. Pandangan inilah memicu munculnya istilah muatan fungsional bagi terjadinya suatu perubahan. Dengan demikian, ada kalanya perubahan itu terjadi bagi kepentingan penyederhanaan sistem. Kedua sudut pandang tentang konsep evolusi tersebut, menurut McMahon (1999) kurang tepat diterapkan dalam fenomena linguistik komparatif. Dia berpendapat fenomena linguistik lebih relevan jika dikaitkan dengan konsep evolusi biologi Darwin. Argumentasi yang dikemukakannya adalah bahwa linguistik historis dan biologi historis dipandang sebagai dua bidang khusus yang terkait dengan teori evolusi secara umum (Stevick, 1963). Bahasa dan spesies adalah dua sistem yang ada dan hidup serta berkembang berdasarkan perjalanan waktu yang pada akhirnya mengalami perubahan. Dengan demikian, bahasa dan spesies sama-sama mengalami perubahan bentuk yang berujung pada munculnya klasifikasi yang digambarkan melalui pohon kekerabatan. Bahasa dan populasi biologis memiliki dua jenis ciri yang sama, yaitu (1) struktur dapat diteruskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya, (2) variasi yang terisolasi satu sama lain berkembang sendiri-sendiri (Lass, 1990). Dalam biologi, mekanisme keturunan 22 yang bersifat genetis memberi peluang sifat-sifat induk menurun pada anaknya, sedangkan divergensi genetis yang kadang-kadang disebabkan oleh keterisolasian geografis, selanjutnya menimbulkan independensi dalam bentuk variasi yang pada akhirnya dapat disebut spesies. Seperti halnya dalam biologi, bahasa juga menurunkan sifat-sifat genetis bahasa induk kepada bahasa turunan. Bentukbentuk keterisolasian variasi yang disebabkan oleh jarak secara geografis atau batas sosial politik memberi peluang bagi perkembangan variasi-variasi yang secara lokal berbeda. Pada fase selanjutnya, variasi-variasi tersebut menjadi bahasa-bahasa yang berbeda satu sama lain. Dengan mengacu kesamaan konsep perubahan dan variasi yang ada pada keduanya, maka teori evolusi Darwin sepenuhnya dapat diterapkan dalam linguistik historis. Bahkan, diyakini pula teori evolusi dengan konsep adaptasi, variasi, dan seleksi alam yang diterapkan dalam linguistik historis tersebut dapat dipakai menelusuri perubahan bahasa (Lass, 1990), sekaligus memberi ruang bagi perkembangan kajian linguistik historis komparatif yang lebih baik di masa yang akan datang (McMahon, 1999). Atas dasar argumentasi dan keyakinan McMahon tersebut, konsep evolusi bahasa dalam penelitian ini mengacu pada konsep yang sama. Berdasarkan konsep evolusi bahasa sebagaimana telah digambarkan di atas, kerangka teoritis penelitian ini berlandaskan pada teori perubahan bahasa (Labov, 1994 dan McMahon, 1999). Perubahan suatu bahasa, secara umum dapat terjadi akibat proses internal dan eksternal. Dalam kajian historis komparatif, perubahan bahasa secara internal, yaitu perubahan bahasa sebagai akibat perjalanan waktu menjadi bahasa-bahasa mandiri yang berasal dari sebuah bahasa asal yang sama 23 dapat dijejaki dengan menerapkan teori relasi kekerabatan bahasa (Bynon, 1979; Hock, 1988; Jeffers dan Lehiste, 1979). Perubahan bahasa secara eksternal yang terjadi sebagai akibat proses kontak bahasa, baik dalam konteks linguistik area maupun dalam kerangka hubungan sosial politik, dapat ditelusuri dengan teori difusi (Rickford, 1986; Labov, 1994; dan Dixon, 1997). 2.3.2 Relasi Kekerabatan Bahasa Relasi kekerabatan antarbahasa serumpun dalam kajian komparatif pada dasarnya dapat dibuktikan berdasarkan unsur-unsur warisan dari bahasa asal atau protobahasa (Hock, 1988). Konsep bahasa asal atau protobahasa sesungguhnya bukanlah merupakan wujud nyata bahasa, melainkan suatu bentuk yang dirancang bangun atau dirakit kembali sebagai gambaran tentang masa lalu suatu bahasa. Dengan kata lain, konsep ini merupakan gagasan teoritis yang dirancang dengan cara yang amat sederhana guna menghubungkan sistem-sistem bahasa sekerabat dengan menggunakan sejumlah kaidah (Jeffers dan Lehiste, 1979; Bynon, 1979:71). Fakta-fakta kebahasaan dalam wujud keteraturan dan kesepadanan yang ditemukan pada bahasa-bahasa kerabat menunjukkan bukti adanya keasalian bersama yang terwaris dari moyang yang sama (Bynon, 1979:47). Dengan adanya ciri-ciri warisan yang sama, keeratan hubungan keseasalan antara bahasa kerabat dapat ditemukan dan sistem protobahasanya dapat dijejaki. Pengelompokan berarti penentuan silsilah kelompok bahasa demi kejelasan struktur genetisnya. Dengan pengelompokan, setiap bahasa yang diperbandingkan dapat diketahui kedudukan dan hubungan keseasalannya dengan bahasa-bahasa 24 kerabat lainnya. Di pihak lain, rekonstruksi protobahasa memperjelas hubungan kekerabatan dan ikatan keseasalan bahasa-bahasa itu sesuai jenjang kekerabatan yang dapat disilsilahkan. Hal itu mengandung makna, protobahasa sebagai suatu sistem yang diabstraksikan dari wujud bahasa-bahasa kerabat merupakan pantulan kesejarahan bahwa bahasa-bahasa itu pernah mengalami perkembangan yang sama sebagai bahasa tunggal (Antilla, 1972:213). Rekonstruksi protobahasa berpijak pada dua hipotesis, yakni hipotesis keterhubungan dan hipotesis keteraturan (Jeffers dan Lehiste, 1979:17; Hock, 1988:567). Ciri umum yang dimiliki hipotesis keterhubungan ini adalah kemiripan dan kesamaan wujud kebahasaan. Salah satu ciri yang paling diandalkan adalah kemiripan bentuk dan makna kata-kata. Kata-kata yang memiliki kemiripan atau kesamaan bentuk dan makna yang biasa disebut kosakata seasal (cognate set) bukan sebagai pinjaman, kebetulan, ataupun kecenderungan semesta, tetapi dihipotesiskan sebagai warisan dari asal-usul yang sama. Hipotesis keteraturan berwujud perubahan bunyi yang bersistem dan teratur pada bahasa-bahasa turunan. Sebuah segmen bunyi protobahasa yang terwaris melalui kosakata seasal berubah secara teratur pada suatu bahasa turunan. Penelusuran terhadap unsur warisan bahasa berkerabat meliputi tataran leksikal, fonologi, morfologi, dan sintaksis. Dalam studi komparatif, tataran leksikal dan fonologi lebih umum dipakai sebagai dasar penentuan kekerabatan dan rekonstruksi suatu bahasa serumpun dengan alasan sebagai berikut. Pertama, melalui rekonstruksi leksikal, kita bisa memperoleh informasi tentang budaya, sejarah, kehidupan sosial, dan fakta-fakta geografis suatu masyarakat 25 bahasa. Kedua, rekonstruksi yang paling berhasil pada studi historis komparatif adalah pada tataran fonologis karena berbagai faktor. (a) Segmen atau unsur fonologis merupakan unsur terkecil dalam suatu bahasa, dengan demikian lebih mudah dapat dipahami. (b) Lebih mudah ditemukan fakta yang relevan bila dibandingkan dengan tataran lainnya. Dari sebuah tuturan kecil dengan cepat dan banyak dapat ditemukan fakta yang diperlukan. (c) Masalah bunyi telah banyak dikaji dalam studi linguistik, sehingga telah menjadi kajian yang sangat mapan. (d) Perubahan bunyi itu beraturan dan dapat memberi indikasi hubungan di antaranya (Hock, 1988:573 dan Gordon, 2002:59). Tataran leksikal merupakan salah satu aspek penting dalam studi komparatif. Hal tersebut tampak terutama pada pengamatan tingkat awal dalam upaya pengelompokan antarbahasa sekerabat. Dengan menggunakan bukti-bukti kuantitatif yang lebih berorientasi pada pengamatan sekilas pada sejumlah kosakata dasar, kelompok bahasa sekerabat dapat ditentukan berdasarkan jumlah persentasenya. Tataran fonologis dapat dipakai pada tingkat lanjutan untuk menentukan rekonstruksi protobahasa. Berdasarkan perubahan bunyi secara teratur yang terjadi pada masing-masing bahasa kerabat, dapat disusun kaidahkaidah korespondensi fonem (Dyen, 1978 dan Bynon, 1979:25). Pada dasarnya, inti upaya penelusuran terhadap hubungan kekerabatan suatu bahasa, baik untuk tujuan pengelompokan bahasa (sub-grouping) maupun penemuan asal (reconstruction) bahasa adalah penemuan terhadap bukti-bukti yang meyakinkan yang terdapat dalam setiap bahasa yang diperbandingkan. Bukti-bukti tersebut dapat bersifat kuantitatif dan kualitatif. Bukti kuantitatif 26 adalah dalam bentuk sejumlah kosakata kerabat (cognate set) yang berkaitan dengan retensi bersama (shared retention). Bukti kualitatif berupa inovasi bersama (shared innovation) serta korespondensi fonologis (Crowley, 1983; Jeffers dan Lehiste, 1979:1--16). Penjejakan bukti-bukti kuantitatif atau retensi bersama didasarkan atas asumsi bahwa kosakata tersebut bersifat semesta dan konstan sepanjang masa. Dikatakan bersifat semesta, karena kosakata itu merupakan kosakata inti yang sangat intim dengan kehidupan manusia dan ada dalam setiap bahasa. Kosakata inti itu termasuk kosakata yang usianya setua manusia dan lebih sukar berubah dibandingkan dengan kosakata lainnya. Perubahan kosakata itu hanya sekitar dua puluh persen dalam setiap seribu tahun atau mampu bertahan sebesar 80 % (Crowley, 1983), 81 % (Hockett, 1963 dan Swadesh, 1972). Itulah sebabnya, kosakata itu dikatakan bersifat konstan sepanjang masa. Bukti-bukti kuantitatif tersebut dipakai sebagai dasar pengelompokan pada tahap awal dari suatu bahasa untuk tujuan pemerolehan persentase kosakata kerabat yang dihitung dengan menggunakan leksikostatistik, dan menghitung masa pisah setiap bahasa dengan menggunakan glotokronologi (Dyen, 1978 dan Swadesh, 1972). Penjejakan terhadap bukti-bukti kualitatif merupakan upaya penemuan fakta-fakta tentang perubahan-perubahan yang eksklusif yang hanya terdapat dalam dua bahasa atau lebih. Perubahan bersama yang eksklusif (exclusively shared linguistic innovation) itu merupakan warisan protobahasa asalnya dan tidak ditemukan pada bahasa atau subkelompok bahasa yang lainnya. Perubahan yang dimaksud hanya terjadi satu kali dalam perjalanan sejarah bahasa itu. 27 Perubahan-perubahan itu tampak dalam bentuk perubahan bunyi yang teratur atau sporadis, dapat berupa perubahan leksikon, serta dapat pula berupa perubahan makna (Jeffers dan Lehiste, 1979). Beberapa pola perubahan bunyi dapat terjadi, seperti peleburan (merger), perengkahan (split), penunggalan (monophonemization), penggugusan (diphonemization) dan peluluhan bunyi (phonemic loss) (Penzl, 1969:11--13; Hock, 1988:107--117; Crowley, 1992:44-46). Hal yang sama juga dikemukakan oleh ahli lainnya yang menyatakan bahwa perubahan bunyi dapat terjadi secara beraturan dan tidak beraturan. Perubahan bunyi secara beraturan terjadi bila suatu bunyi berdasarkan kondisi yang sama berubah menjadi bunyi lain (Antilla, 1972:85--86). Perubahan bunyi tidak beraturan cenderung terjadi pada area gramatika atau area fonologis tertentu. Setiap perubahan bunyi terjadi menurut kaidah tanpa kecuali. Bila bunyi berubah, perubahan itu memengaruhi kata yang dibentuk dari bunyi itu (Labov, 1994:422). Penjejakan terhadap bukti-bukti kualitatif ini sesungguhnya merupakan upaya rekonstruksi, yakni pembentukan protobahasa dari suatu kelompok bahasa yang berkerabat dengan penemuan ciri-ciri bersama berdasarkan perubahan-perubahan bunyi yang teratur yang terjadi pada setiap bahasa (bandingkan Hoenigswald, 1974), dengan prosedur sebagaimana yang disarankan Pike (1957). Di samping untuk tujuan rekonstruksi, bukti-bukti kualitatif tersebut juga dipakai dasar untuk tujuan pengelompokan akhir, yakni pencabangan beberapa bahasa dari kumpulan bahasa berkerabat yang lebih besar berdasarkan dekat-jauhnya dipandang dari segi genetisnya, karena masing-masing kelompok tersebut dianggap mempunyai protobahasa tersendiri. 28 2.3.3 Difusi Dalam sebuah linguistik area, peristiwa kontak bahasa biasa terjadi. Jika sejumlah bahasa dipakai di suatu daerah yang dinamis secara geografis dan tidak memiliki hambatan secara sosial dan politik, multilingualisme akan muncul pada masyarakat bahasa itu. Peristiwa tersebut memberi ruang bagi terjadinya perubahan bahasa dari suatu kondisi menuju stratum tertentu (Jeffers dan Lehiste, 1979). Selain itu, dapat terjadi suatu kondisi difusi bagi sejumlah fitur linguistik suatu bahasa ke bahasa lainnya dan menyebar ke seluruh kawasan di daerah geografis tersebut. Bahasa sebagai pranata budaya, pada dasarnya sangat terbuka untuk berdifusi. Adalah benar kiranya bahwa semua aspek kebudayaan manusia bisa saling meminjam dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya (Dixon, 1997). Bentuk peradaban, seperti mitos, agama, berbagai jenis organisasi sosial, peralatan industri, dan berbagai fitur budaya lainnya bisa menyebar dari waktu ke waktu dan secara perlahan beradaptasi dengan budaya yang pada mulanya terasa asing. Fenomena yang sama juga terjadi pada nyanyian, tata upacara, sistem politik, aturan perkawinan, domistikasi binatang dan pertanian (Sapir, 1921:205). Dixon (1997) mengatakan bahwa fitur-fitur linguistik yang dapat berdifusi sangat ditentukan oleh situasi linguistik dari suatu bahasa yang saling kontak. Walaupun demikian, secara umum ada beberapa fitur linguistik yang dapat berdifusi, seperti fonetik dan fonologi, leksem, kategori dan bentuk gramatikal. Dalam hal fonetik dan fonologi, orang secara alamiah cenderung menyesuaikan 29 kebiasaan berbicaranya dengan lawan interaksinya. Fenomena seperti ini dapat melahirkan ciri fonologis baru dan menyebabkan hilangnya ciri fonologis lama. Beberapa bunyi, seperti nasal atau glotal pada dasarnya dengan mudah dapat berdifusi melalui serangkaian perubahan akibat proses asimilasi atau proses lainnya. Dalam suatu proses kontak bahasa, nama untuk suatu peralatan baru, binatang, gagasan, dan lain-lain mungkin diambilkan dari salah satu bahasa yang saling kontak apabila salah satu bahasa itu tidak memiliki padanan atau istilah untuk kata itu. Sesuatu yang dianggap tabu dalam suatu masyarakat, penamaannya dapat digantikan dengan leksem bahasa sekitarnya. Dalam beberapa kasus, leksem nomina lebih leluasa dapat dipinjam dibandingkan verba. Namun demikian, patut dicatat bahwa pada dasarnya semua leksem dapat saja dipinjam dan seiring dengan perjalanan waktu akan berdifusi ke seluruh kawasan. Konsep difusi leksem berdasarkan area atau kawasan, tidak hanya dialami bersama oleh bahasa yang berhubungan, tetapi juga mencakup dialek dalam suatu batas wilayah tertentu (McMahon, 1999). Pada tataran gramatikal, fitur yang lazim berdifusi adalah pola urutan kata. Difusi juga bisa terjadi dalam bentuk inkorporasi, nominalisasi, dan klausa relatif. Dalam hal terjadinya difusi antara dua bahasa yang saling kontak, ada dua faktor utama yang paling menentukan, yakni faktor prestise penuturnya dan kompleksitas bahasanya. Jika dua bahasa memiliki prestise yang sama dalam suatu masyarakat, ada kecenderungan bilingualisme akan terjadi dua arah. Akan tetapi, jika bahasa X memiliki prestise lebih tinggi dari pada bahasa Y, maka penutur bahasa Y akan mempelajari bahasa X, tetapi tidak terjadi sebaliknya. 30 Dengan demikian, bahasa Y pelan tetapi pasti akan berubah menjadi bahasa X dan pergerakannya hanya satu arah (Dixon, 1997). Jika suatu bahasa A lebih kompleks dari pada bahasa B, penutur bahasa A akan lebih mudah mempelajari bahasa B sebagai bahasa kedua. Pada situasi yang demikian, penutur bahasa A lebih cenderung meminjam dari bahasa B. Sebaliknya, penutur bahasa B lebih sulit meminjam dari bahasa A. Kompleksitas suatu bahasa dapat terjadi pada tataran fonologis atau gramatikal. Meskipun demikian, Dixon (1997) menambahkan bahwa kompleksitas suatu bahasa tampaknya sangat relatif sifatnya. Persepsi penutur kadang-kadang tidak sama terhadap fenomena ini, baik menyangkut bahasa tertentu maupun terhadap aspek atau tataran tertentu.