evolusi bahasa oirata

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Beberapa hasil penelitian yang relevan patut dikaji berkaitan dengan objek
penelitian ini. Hasil-hasil penelitian tersebut menyangkut bahasa Or dan linguistik
area yang ada di sekitar penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut meliputi
‘Oirata, a Timorese Settlement on Kisar’ (de Jong, 1937),
‘Peoples
and
Languages of Timor’ (Capell, 1944), ‘The Oirata Language’ (Cowan, 1965),
‘The Indo-Pasific Hypothesis’ (Greenberg, 1971), dan ‘The West Papua Phylum:
General and Timor and Areas Further West’ (Capell, 1975). Berikut ini diuraikan
secara singkat kajian setiap peneliti tersebut dan relevansinya dengan penelitian
ini.
Dalam ‘Oirata, a Timorese Settlement on Kisar’, de Jong (1937)
menguraikan Oirata disebut juga Oiriaka atau Oiriata sebagai desa yang terdiri
dari desa Oirata Timur dan Oirata Warat (barat). Oirata memiliki arti ‘air kotor’.
Nama mitosnya adalah Horna Werna, yang konstruksinya mirip dengan Umana
Ser(e)na atau lebih tepatnya yaitu ‘ibu pertiwi Timor’. Josselin de Jong sebagai
seorang antropolog tidak saja melihat desa Oirata dari perspektif budaya, juga
melihat dari aspek bahasanya. Dari aspek antropologi, buku itu melansir situasi
desa yang mencakup demografi desa, sistem klan dan kekerabatan, kasta, dan
populasi desa. Dari aspek linguistik, bahasa Or diungkap secara deskriptifsinkronis mulai tataran fonologis sampai tataran tata bahasa. Kajian fonologis
10
11
meliputi aspek segmental, yakni sistem vokal, konsonan, semi-vokal, dan diftong,
dan aspek suprasegmental. Pada aspek suprasegmental, bahasa Or memiliki aksen
dan diasumsikan mempunyai nada yang tidak stabil. Pada tataran tata bahasa,
diuraikan aspek morfologi dan aspek sintaksis. Pada aspek morfologi, Josselin de
Jong membicarakan proses pembentukan kata, yakni pemajemukan nomina,
derivasi nomina melalui sufiks, dan pemajemukan verba. Bahasa Or sangat kaya
dengan prefiks, seperti a(a)-, na(a)-, ara-, ia(a)-, ina(a)-, ita(a)-, mal(u)-, mede-,
men(i)-, mud(u)-, odot-, pan(u)-, ua(u)-, tawa-, una(a)-, ura(a)-, ut(u)- (1), ut(u)(2), ut(u)- (3). Pada tataran morfologi juga dibicarakan fleksi nomina (jamak dan
milik), fleksi verba (transitif-intransitif, aktif-pasif, kala), kata penunjuk, dan kata
ganti orang. Pada aspek sintaksis secara sepintas juga dibicarakan klausa (terikat),
kalimat imperatif, dan kalimat larangan. Patut dicatat bahwa Josselin de Jong
mengkaji semua aspek bahasa Or dengan menggunakan pendekatan sinkronis
semata sehingga tidak memberi gambaran yang eksplisit tentang historis dan
hubungan bahasa Or dengan bahasa-bahasa di sekitarnya sebagaimana yang
diharapkan dalam tujuan penelitian ini.
Dalam ‘Peoples and Languages of Timor’, Capell (1944) menyebutkan
bahwa di Pulau Timor terdapat dua kelompok bahasa, yakni kelompok bahasa
Indonesia dan kelompok bahasa Non-Indonesia. Kelompok bahasa Indonesia
meliputi bahasa Tetun (Tt), Mambai (Mb), Tokodede (Tk), Galoli (Gl), dan Idate
(Id). Kelompok bahasa Non-Indonesia yang ditemukan di daerah pegunungan
Timor (Leste) meliputi bahasa Bn, Mk, Waimoa (Wm), dan Kairui (Kr). Kedua
bahasa terakhir telah dibuktikan sebagai bahasa AN (Mandala, 1999 dan 2000).
12
Capell lebih memfokuskan diri pada bahasa Bn dan bahasa Mk sebagai bahasa
Non-Indonesia yang diperbandingkan dengan bahasa-bahasa yang bertipe sama
dengan bahasa Or di Pulau Kisar dan bahasa-bahasa di HU serta dikontraskan
dengan bahasa Indonesia. Secara sekilas, tampak bahwa kesamaan kosakata
kelompok bahasa tersebut sangat berbeda dari bahasa Indonesia dan juga
menampakkan ciri formal bahasa Papua. Tata bahasanya lebih rumit dibandingkan
dengan bahasa Indonesia. Kelompok bahasa tersebut memiliki kesamaan
konstruksi, yaitu struktur SOV dan posposisi pada bahasa-bahasa itu berbeda
dengan struktur bahasa Indonesia pada umumnya. Ciri khusus berupa gender
gramatikal (mo ‘feminim’ dan ma ‘maskulin’) dimiliki bahasa-bahasa HU dan
penanda objek ma yang unik terdapat pada bahasa Mk. Capell, dalam melihat
kesamaan kosakata bahasa-bahasa yang diteliti hanya terbatas pada penerapan
metode by inspection dan belum menggunakan metode yang lebih akurat. Selain
itu, Capell tampaknya lebih banyak memfokuskan diri pada aspek gramatikal
dalam pengelompokan bahasa-bahasa itu.
Cowan (1965) juga membahas bahasa Or dengan judul ‘The Oirata
Language’. Dalam tulisannya, Cowan mengklasifikasikan bahasa Or di Pulau
Kisar sebagai bahasa NAN yang satu kelompok dengan bahasa Mk dan bahasa Bn
di Pulau Timor (Leste) serta saling berkaitan pula dengan bahasa-bahasa di pantai
selatan Kepala Burung Papua Nugini Barat (meliputi bahasa Yahadian, Konda,
Kampong Baru, dan Parugi). Semua bahasa itu disebut sebagai kelompok Filum
Papua Barat. Pengelompokan bahasa-bahasa tersebut didasarkan atas kemiripan
pronomina (pertama, kedua, ketiga tunggal dan jamak) dan dua puluh leksikal
13
dasar lainnya serta kesesuaian bentuk prefiks pesona yang bersifat gramatikal
dalam beberapa bahasa itu. Kajian ini dapat memberi arah tentang kedekatan
bahasa-bahasa yang diteliti, tetapi belum memberi fakta bahasa yang meyakinkan
karena hanya didasarkan atas metode survai dengan beberapa aspek kebahasaan.
Tulisan yang relevan juga dikemukakan oleh Greenberg (1971) dengan judul
‘The Indo-Pasific Hypothesis’. Dalam tulisan tersebut, Greenberg menjelaskan
istilah Indo-Pasific sebagai nama kelompok bahasa Oceania NAN yang tersebar
dari kepulauan Andaman di bagian barat teluk Bengal sampai ke Tasmania. Akan
tetapi, pembahasannya difokuskan pada bahasa-bahasa NAN kelompok bahasa
Timor-Alor. Berdasarkan data bahasa yang dikumpulkan dua ahli etnografi
Nicolspeyer dan Du Bois tahun 1944, Greenberg menetapkan bahwa bahasa Ab di
Pulau Alor dan bahasa Or di Pulau Kisar serta bahasa Bn dan Mk di Timor (Leste)
sebagai subkelompok internal Timor-Alor. Dalam subkelompok itu, dinyatakan
bahwa bahasa Ab lebih dekat dengan Bn, sedangkan Or lebih dekat dengan Mk.
Penetapan tersebut didasarkan atas kemiripan pronomina (orang pertama dan
kedua tunggal dan jamak) yang dimiliki bahasa-bahasa tersebut. Keempat bahasa
itu memiliki n sebagai pronomina orang pertama tunggal yang juga dipakai secara
luas dalam bahasa-bahasa Indo-Pasific. Semua bahasa itu juga memiliki kesamaan
unsur e sebagai pronomina orang kedua tunggal dan ditemukan pula dalam
bahasa-bahasa tertentu pada Filum Papua Barat. Dalam bahasa Bn dilengkapi
dengan –to dan pada bahasa Ab dengan –do yang ditambahkan secara bebas.
Pronomina orang pertama jamak (eksklusif) dalam bahasa Mk adalah ini, dalam
bahasa Or in(te); ina, sedangkan bahasa Bn nei. Bahasa Ab memiliki dua tipe
14
pronomina orang pertama jamak, yaitu ni- (eksklusif) dan pi- (inklusif) sesuai ciri
pronomina Timor-Alor.
Untuk menyatakan orang pertama jamak (inklusif),
bahasa Or menggunakan ap(te), bahasa Mk dengan fi- dan Ab dengan pi-.
Pronomina orang pertama jamak umumnya tanpa pembeda inklusif dan eksklusif
pada bahasa-bahasa Indo-Pasific sangat lazim dengan ni-. Bahasa HU bersesuaian
dengan bahasa Timor-Alor terutama dalam pemakaian p- sebagai orang pertama
jamak inklusif. Akan tetapi, hanya bahasa Timor-Alor yang memiliki pola n(eksklusif) dan p- (inklusif). Tentu saja pengklasifikasian tersebut belum cukup
kuat dan meyakinkan dipakai sebagai dasar pengelompokan terhadap bahasabahasa sekerabat. Walaupun demikian, patut dihargai bahwa kajian ini cukup
memberi sumbangan dan petunjuk ke arah yang layak bagi kajian lebih lanjut
terhadap kekerabatan bahasa-bahasa itu.
Dalam ‘The West Papua Phylum: General and Timor and Areas Further
West’, Capell (1975) mengatakan bahwa bahasa-bahasa Filum Papua Barat NAN
menyebar ke luar batas New Guinea masuk ke Indonesia Timur. Bahasa-bahasa
NAN di kawasan itu dibagi menjadi kelompok Alor (bahasa Ab) dan kelompok
Timor (bahasa Bn, Mk, Ft, Lov, dan Or di Pulau Kisar) yang selanjutnya disebut
kelompok TA. Lebih jauh Capell menjelaskan struktur Filum Papua Barat terdiri
atas kelompok HU, kelompok TA, dan kelompok KB. Struktur penting HU yang
sebagian juga dimiliki TA adalah (1) mempunyai sistem dua kelas kata benda
person dan non-person, (2) kata ganti subjek dan objek mendahului verba, (3)
HU
1. t- 2.yang
n- dimiliki dalam frase posesif, (4) post-posisi pada frase
pemilik mendahului
Yapen
nomina, dan (5) post-posisi pada
stem kata kerja terjadi
untuk
1. t- perubahan
2. n1. t- 2. b1. t- 2. bKB
1. n- 2.
eTA
1. n- 2. e-
15
menandakan transitif (jauh dan dekat), kausatif, jamak, dan ciri lainnya yang pada
bahasa AN diindikasikan sebagai sufiks. Pada kelompok KB, selain persesuaian
infleksi-prefiksasi juga ditandai dengan pemarkah orang pertama dan kedua
tunggal sekaligus memperjelas relasinya dengan kelompok HU dan TA. Berikut
ini prefiks orang pertama dan kedua tunggal kelompok KB dan relasinya lebih
luas.
Bagan 4: Relasi Prefiks Orang Pertama dan Kedua Tunggal
HU
1. t- 2. n1. t- 2. nKB
1. t- 2. b-
Yapen
1. t- 2. b-
1. n- 2.eeTA
1. n- 2. eDalam tulisan ini pun Capell lebih memfokuskan diri pada aspek struktur
(morfologi & sintaksis) dan beberapa data kosakata tentang pronomina. Tentu saja
pendekatan ini belum cukup memadai untuk menentukan relasi kekerabatan suatu
bahasa sebagaimana juga telah diakuinya (Capell, 1975). Perbandingan struktur
cenderung hanya sebagai manifestasi bentuk gambaran tipologi, bukan gambaran
geneologi suatu bahasa seperti yang diharapkan dalam tujuan penelitian ini.
Semua kajian di atas pada prinsipnya memperbandingkan aspek morfologi
dan sintaksis terutama pada pemarkah pronomina yang lebih bersifat sinkronis.
Sebaliknya, penelitian ini mengkaji aspek fonologis dan leksikal yang bersifat
16
diakronis dengan penekanan pada pengelompokan bahasa dan rekonstruksi
protobahasanya. Selain itu, lingkup kajiannya sampai pada evolusi fonologis baik
secara internal maupun eksternal.
2.2 Konsep
Sebelum uraian teori, terlebih dahulu dijelaskan beberapa konsep yang
digunakan dalam penelitian ini. Konsep yang diuraikan hanya terbatas pada
istilah-istilah berikut ini.
1) Evolusi Bahasa
Evolusi bahasa dimaknakan sebagai sejarah asal-usul perkembangan
bahasa berdasarkan perjalanan waktu (Matthews, 1997). Istilah evolusi bahasa
mengacu pada teori biologi Darwin, yakni proses perubahan wujud bahasa,
dalam jangka waktu lama berkembang secara alamiah dari bentuk awal
menjadi bentuk akhir seperti sekarang ini dengan berbagai variasi, adaptasi,
seleksi alam, dan ciri khas dari suatu keturunan (Nerlich, 1989; Lass, 1990;
dan McMahon, 1999). Evolusi dalam penelitian ini mengacu pada konsep
secara genetis, sebagai
proses perubahan bahasa dari suatu protobahasa
tertentu menuju mesobahasa sampai kepada bahasa modern; dan secara nongenetis, sebagai suatu perubahan bahasa dengan berbagai variasi, adaptasi, dan
seleksi menjadi bahasa Or sekarang ini.
2) Kekerabatan Bahasa
Kekerabatan bahasa adalah hubungan keseasalan suatu bahasa yang
dibuktikan dengan pengelompokan dan rekonstruksi protobahasanya (Jeffers
17
dan Lehiste, 1979; Hock, 1988).
3) Pengelompokan Bahasa
Pengelompokan bahasa adalah penelusuran subkelompok bahasa turunan
dari kelompok bahasa yang lebih besar berdasarkan hipotesis pohon
kekerabatan yang ditetapkan dengan hukum perubahan bunyi yang beraturan.
Hipotesis ini beranggapan bahwa moyang bahasa berbelah secara berturut-turut
dan setiap tahapan terjadi perubahan serta mengakibatkan pembelahan lebih
lanjut atau berkembang biak dengan proses dan caranya sendiri. Lebih lanjut
dikatakan bahwa asumsi perkembangan spesies moyang bahasa melahirkan
bahasa-bahasa turunan itu dapat ditelusuri kembali dengan menggunakan
metode komparatif yang berdasarkan atas hipotesis keterhubungan dan
keteraturan (Jeffers dan Lehiste, 1979:27--31).
4) Rekonstruksi Protobahasa
Rekonstruksi protobahasa merupakan penelusuran dan pembentukan
kembali unsur-unsur warisan bahasa asal yang telah hilang melalui bentuk
evidensi bahasa-bahasa turunan (berkerabat) yang sekarang masih hidup
(Hock, 1988:581;
Bynon, 1979; Crowley, 1992:164). Penelusuran dan
pembentukan kembali unsur warisan itu dapat dilakukan berdasarkan asumsi
bahwa bahasa-bahasa sekerabat banyak menyimpan dan mengubah unsur
warisan dengan kaidah dan berbagai cara (Dyen, 1978:35).
5) Retensi Bersama
Retensi bersama diartikan sebagai unsur warisan baik bentuk maupun
makna yang tertinggal atau bertahan pada bahasa-bahasa turunan, sama dengan
18
yang terdapat pada protonya (Dyen, 1978; Crowley, 1992:164).
6) Inovasi Bersama
Inovasi bersama adalah unsur warisan dari bahasa asal yang telah
mengalami perubahan pada bahasa-bahasa turunan. Bila hal itu terjadi pada
kelompok bahasa turunan secara khusus dan tidak terjadi pada kelompok
bahasa lain dalam perkembangannya disebut inovasi bersama yang eksklusif
(exclusively shared linguistic innovation) (Greenberg, 1957:49).
7) Difusi
Difusi adalah proses penyatuan unsur-unsur bahasa tertentu yang dapat
menjadi khasanah baru bagi suatu bahasa tertentu sebagai akibat kontak
bahasa dan dalam jangka waktu lama dapat menyebar luas melintasi seluruh
bagian linguistik area (Dixon, 1997).
8) Stratum
Stratum adalah suatu kondisi bahasa dengan ciri tertentu setelah
menempuh periode
bilingualisme akibat suatu kontak bahasa baik dalam
rentang waktu lama maupun pendek. Proses tersebut dapat menimbulkan tiga
kemungkinan, yaitu substratum, superstratum, dan adstratum. Substratum
dapat terjadi jika bahasa pendatang diadopsi oleh bahasa lokal dengan tetap
membawa ciri kelokalannya. Superstratum terjadi bilamana bahasa pendatang
mengadopsi unsur-unsur bahasa lokal. Hal itu terjadi apabila kondisi budaya
dan jumlah pemakai bahasa pendatang lebih rendah dibandingkan dengan
bahasa lokal.
Akan tetapi,
bila kedua bahasa itu sama-sama memiliki
19
kemampuan untuk saling memengaruhi dengan berbagai cara, kondisi ini
disebut adstratum (Jeffers and Lehiste, 1979:141--146).
9) Filum
Filum (phylum) adalah istilah yang digunakan untuk merepresentasikan
hubungan kelompok bahasa-bahasa berkerabat dengan level rendah yang
berdasarkan hasil perhitungan leksikostatistik memiliki angka kesamaan
cognat antara 12% sampai dengan kurang dari 1%. Filum dibedakan atas
microphylum dengan persentase kesamaan kosakata kerabat 12 - 4%,
messophylum memiliki persentase angka kesamaan 4 - 1%, dan macrophylum
dengan persentase angka kesamaan kurang dari 1% (Swadesh, 1952,
Fernandez, 2010).
10) Non-Austronesia (NAN)
Non-Austronesia (NAN) adalah istilah yang digunakan untuk kelompok
bahasa-bahasa yang memiliki ciri berbeda dengan kelompok bahasa-bahasa
Austronesia (AN). Ciri-ciri kelompok bahasa NAN di antaranya: (a) memiliki
sistem dua kelas kata benda person dan nonperson, (b) pemilik mendahului
yang dimiliki, (c) posposisi pada frase nomina, (d) kata penunjuk mendahului
yang ditunjuk, dan (e) kata ganti subjek dan objek mendahului verba atau
memiliki struktur SOV (Capell, 1975). Bahasa NAN dengan ciri sebagaimana
disebutkan di atas meliputi kelompok babasa-bahasa TAP, HU, KB, dan Filum
Papua Barat (Cowan, 1965; Greenberg, 1971; Capell, 1975).
20
2.3 Kerangka Teori
2.3.1 Evolusi Bahasa
Istilah evolusi lebih populer digunakan dalam bidang biologi yang artinya
proses perubahan wujud dari suatu organisme yang ada, dalam jangka waktu lama
berkembang secara alamiah dari bentuk yang lebih sederhana menjadi bentuk
akhir yang lebih kompleks dengan berbagai variasi, modifikasi, dan ciri khas dari
suatu keturunan. Teori keturunan dengan modifikasi melalui seleksi alam ini
mempunyai nilai yang bersifat universal (Darwin, 2002). Sebenarnya, para linguis
telah lebih dahulu memakai konsep ini. Sir William Jones (1786) mengemukakan
bahwa bahasa Sansekerta, bahasa Latin, bahasa Gothic, dan bahasa Celtik
termasuk satu famili dan berasal dari protobahasa yang sama yang sudah tidak
lagi dapat ditemukan. Inilah yang menjadi dasar untuk mengetahui famili IndoEropa dan merekonstruksi bentuk protonya. Jadi, paham perubahan bentuk
(transformism) lebih dahulu dipakai dalam linguistik bila dibandingkan dengan
ilmu biologi. Fenomena ini terjadi karena bahasa lebih cepat berubah dan mudah
diamati bila dibandingkan dengan spesies biologi (McMahon, 1999).
Interpretasi konsep evolusi bahasa hingga sekarang sekurang-kurangnya
terdapat tiga sudut pandang, yakni menurut pandangan para linguis abad ke-19,
pandangan teleologi, dan sudut pandang biologi. Menurut para linguis abad ke-19,
evolusi dimaknakan sebagai suatu proses perubahan yang berkelanjutan dari suatu
kondisi yang lebih rendah, sederhana atau kurang baik menjadi suatu kondisi yang
21
lebih kompleks atau ke suatu keadaan yang lebih baik. Perkembangannya bersifat
progresif atau ketidakbertahanan suatu bahasa (Hodge, 1970:2). Menurut
perspektif teleologi, evolusi dianggap sebagai perkembangan yang terjadi secara
perlahan dengan perubahan yang mengarah pada pencapaian suatu tujuan,
walaupun tujuan itu tidak selalu menguntungkan. Perubahan dapat bersifat
adaptif, netral, atau bahkan bisa menimbulkan hasil yang maladaptif (Lass,
1974:312). Jakobson (1963) mengemukakan bahwa setiap perubahan dalam
sistem fonologis pada dasarnya memiliki tujuan. Pandangan inilah memicu
munculnya istilah muatan fungsional bagi terjadinya suatu perubahan. Dengan
demikian, ada kalanya perubahan itu terjadi bagi kepentingan penyederhanaan
sistem. Kedua sudut pandang tentang konsep evolusi tersebut, menurut McMahon
(1999) kurang tepat diterapkan dalam fenomena linguistik komparatif. Dia
berpendapat fenomena linguistik lebih relevan jika dikaitkan dengan konsep
evolusi biologi Darwin. Argumentasi yang
dikemukakannya adalah bahwa
linguistik historis dan biologi historis dipandang sebagai dua bidang khusus yang
terkait dengan teori evolusi secara umum (Stevick, 1963). Bahasa dan spesies
adalah dua sistem yang ada dan hidup serta berkembang berdasarkan perjalanan
waktu yang pada akhirnya mengalami perubahan. Dengan demikian, bahasa dan
spesies sama-sama mengalami perubahan bentuk yang berujung pada munculnya
klasifikasi yang digambarkan melalui pohon kekerabatan. Bahasa dan populasi
biologis memiliki dua jenis ciri yang sama, yaitu (1) struktur dapat diteruskan dari
suatu generasi ke generasi berikutnya, (2) variasi yang terisolasi satu sama lain
berkembang sendiri-sendiri (Lass, 1990). Dalam biologi, mekanisme keturunan
22
yang bersifat genetis memberi peluang sifat-sifat induk menurun pada anaknya,
sedangkan divergensi genetis yang kadang-kadang disebabkan oleh keterisolasian
geografis, selanjutnya menimbulkan independensi dalam bentuk variasi yang pada
akhirnya dapat disebut spesies. Seperti halnya dalam biologi, bahasa juga
menurunkan sifat-sifat genetis bahasa induk kepada bahasa turunan. Bentukbentuk keterisolasian variasi yang disebabkan oleh jarak secara geografis atau
batas sosial politik memberi peluang bagi perkembangan variasi-variasi yang
secara lokal berbeda. Pada fase selanjutnya, variasi-variasi tersebut menjadi
bahasa-bahasa yang berbeda satu sama lain. Dengan mengacu kesamaan konsep
perubahan dan variasi yang ada pada keduanya, maka teori evolusi Darwin
sepenuhnya dapat diterapkan dalam linguistik historis. Bahkan, diyakini pula teori
evolusi dengan konsep adaptasi, variasi, dan seleksi alam yang diterapkan dalam
linguistik historis tersebut dapat dipakai menelusuri perubahan bahasa (Lass,
1990), sekaligus memberi ruang bagi perkembangan kajian linguistik historis
komparatif yang lebih baik di masa yang akan datang (McMahon, 1999). Atas
dasar argumentasi dan keyakinan McMahon tersebut, konsep evolusi bahasa
dalam penelitian ini mengacu pada konsep yang sama.
Berdasarkan konsep evolusi bahasa sebagaimana telah digambarkan di atas,
kerangka teoritis penelitian ini berlandaskan pada teori perubahan bahasa (Labov,
1994 dan McMahon, 1999). Perubahan suatu bahasa, secara umum dapat terjadi
akibat proses internal dan eksternal. Dalam kajian historis komparatif, perubahan
bahasa secara internal, yaitu perubahan bahasa sebagai akibat perjalanan waktu
menjadi bahasa-bahasa mandiri yang berasal dari sebuah bahasa asal yang sama
23
dapat dijejaki dengan menerapkan teori relasi kekerabatan bahasa (Bynon, 1979;
Hock, 1988; Jeffers dan Lehiste, 1979). Perubahan bahasa secara eksternal yang
terjadi sebagai akibat proses kontak bahasa, baik dalam konteks linguistik area
maupun dalam kerangka hubungan sosial politik, dapat ditelusuri dengan teori
difusi (Rickford, 1986; Labov, 1994; dan Dixon, 1997).
2.3.2 Relasi Kekerabatan Bahasa
Relasi kekerabatan antarbahasa serumpun dalam kajian komparatif pada
dasarnya dapat dibuktikan berdasarkan unsur-unsur warisan dari bahasa asal atau
protobahasa (Hock, 1988). Konsep bahasa asal atau protobahasa sesungguhnya
bukanlah merupakan wujud nyata bahasa, melainkan suatu bentuk yang dirancang
bangun atau dirakit kembali sebagai gambaran tentang masa lalu suatu bahasa.
Dengan kata lain, konsep ini merupakan gagasan teoritis yang dirancang dengan
cara yang amat sederhana guna menghubungkan sistem-sistem bahasa sekerabat
dengan menggunakan sejumlah kaidah (Jeffers dan Lehiste, 1979; Bynon,
1979:71). Fakta-fakta kebahasaan dalam wujud keteraturan dan kesepadanan
yang ditemukan
pada bahasa-bahasa kerabat menunjukkan bukti adanya
keasalian bersama yang terwaris dari moyang yang sama (Bynon, 1979:47).
Dengan adanya ciri-ciri warisan yang sama, keeratan hubungan keseasalan antara
bahasa kerabat dapat ditemukan dan sistem protobahasanya dapat dijejaki.
Pengelompokan berarti penentuan silsilah kelompok bahasa demi kejelasan
struktur genetisnya. Dengan pengelompokan, setiap bahasa yang diperbandingkan
dapat diketahui kedudukan dan hubungan keseasalannya dengan bahasa-bahasa
24
kerabat lainnya. Di pihak lain, rekonstruksi protobahasa memperjelas hubungan
kekerabatan dan ikatan keseasalan bahasa-bahasa itu sesuai jenjang kekerabatan
yang dapat disilsilahkan. Hal itu mengandung makna, protobahasa sebagai suatu
sistem yang
diabstraksikan dari wujud bahasa-bahasa kerabat merupakan
pantulan kesejarahan bahwa bahasa-bahasa itu pernah mengalami perkembangan
yang sama sebagai bahasa tunggal (Antilla, 1972:213).
Rekonstruksi
protobahasa berpijak pada dua hipotesis, yakni hipotesis
keterhubungan dan hipotesis keteraturan (Jeffers dan Lehiste, 1979:17; Hock,
1988:567).
Ciri umum yang dimiliki hipotesis keterhubungan ini adalah
kemiripan dan kesamaan wujud kebahasaan. Salah satu ciri yang paling
diandalkan adalah kemiripan bentuk dan makna kata-kata. Kata-kata yang
memiliki kemiripan
atau kesamaan bentuk dan makna yang biasa disebut
kosakata seasal (cognate set) bukan sebagai pinjaman, kebetulan, ataupun
kecenderungan semesta, tetapi dihipotesiskan sebagai warisan dari asal-usul yang
sama. Hipotesis keteraturan berwujud perubahan bunyi yang bersistem dan teratur
pada bahasa-bahasa turunan. Sebuah segmen bunyi protobahasa yang terwaris
melalui kosakata seasal berubah secara teratur pada suatu bahasa turunan.
Penelusuran terhadap unsur warisan bahasa berkerabat meliputi tataran
leksikal, fonologi, morfologi, dan sintaksis. Dalam studi komparatif,
tataran
leksikal dan fonologi lebih umum dipakai sebagai dasar penentuan kekerabatan
dan rekonstruksi suatu bahasa serumpun dengan
alasan
sebagai
berikut.
Pertama, melalui rekonstruksi leksikal, kita bisa memperoleh informasi tentang
budaya, sejarah, kehidupan sosial, dan fakta-fakta geografis suatu masyarakat
25
bahasa. Kedua, rekonstruksi yang paling berhasil pada studi historis komparatif
adalah pada tataran fonologis karena berbagai faktor. (a) Segmen atau unsur
fonologis merupakan unsur terkecil dalam suatu bahasa, dengan demikian lebih
mudah dapat dipahami. (b) Lebih mudah ditemukan fakta yang relevan bila
dibandingkan dengan tataran lainnya. Dari sebuah tuturan kecil dengan cepat dan
banyak dapat ditemukan fakta yang diperlukan. (c) Masalah bunyi telah banyak
dikaji dalam studi linguistik, sehingga telah menjadi kajian yang sangat mapan.
(d) Perubahan bunyi itu beraturan dan dapat memberi indikasi hubungan di
antaranya (Hock, 1988:573 dan Gordon, 2002:59).
Tataran leksikal merupakan salah satu aspek penting dalam studi
komparatif. Hal tersebut tampak terutama pada pengamatan tingkat awal dalam
upaya pengelompokan antarbahasa sekerabat. Dengan menggunakan bukti-bukti
kuantitatif yang lebih berorientasi pada pengamatan sekilas pada sejumlah
kosakata dasar, kelompok bahasa sekerabat dapat ditentukan berdasarkan jumlah
persentasenya. Tataran
fonologis dapat dipakai pada tingkat lanjutan untuk
menentukan rekonstruksi protobahasa. Berdasarkan
perubahan bunyi secara
teratur yang terjadi pada masing-masing bahasa kerabat, dapat disusun kaidahkaidah korespondensi fonem (Dyen, 1978 dan Bynon, 1979:25).
Pada dasarnya, inti upaya penelusuran terhadap
hubungan kekerabatan
suatu bahasa, baik untuk tujuan pengelompokan bahasa (sub-grouping) maupun
penemuan asal (reconstruction) bahasa adalah penemuan terhadap bukti-bukti
yang meyakinkan yang terdapat dalam setiap bahasa yang diperbandingkan.
Bukti-bukti tersebut dapat bersifat kuantitatif dan kualitatif. Bukti kuantitatif
26
adalah dalam bentuk sejumlah kosakata kerabat (cognate set) yang berkaitan
dengan retensi bersama (shared retention).
Bukti kualitatif berupa inovasi
bersama (shared innovation) serta korespondensi fonologis (Crowley, 1983;
Jeffers dan Lehiste, 1979:1--16).
Penjejakan bukti-bukti kuantitatif atau
retensi bersama didasarkan atas
asumsi bahwa kosakata tersebut bersifat semesta dan konstan sepanjang masa.
Dikatakan
bersifat semesta, karena kosakata itu merupakan kosakata inti
yang sangat intim dengan kehidupan manusia dan ada dalam setiap bahasa.
Kosakata inti itu termasuk kosakata yang usianya setua manusia dan lebih sukar
berubah dibandingkan dengan kosakata lainnya. Perubahan kosakata itu hanya
sekitar dua puluh persen dalam setiap seribu tahun atau mampu bertahan sebesar
80 % (Crowley, 1983), 81 % (Hockett, 1963 dan Swadesh, 1972). Itulah
sebabnya, kosakata itu dikatakan bersifat konstan sepanjang masa. Bukti-bukti
kuantitatif tersebut dipakai sebagai dasar pengelompokan pada tahap awal dari
suatu bahasa untuk tujuan pemerolehan persentase kosakata kerabat yang dihitung
dengan menggunakan leksikostatistik, dan menghitung masa pisah setiap bahasa
dengan menggunakan glotokronologi (Dyen, 1978 dan Swadesh, 1972).
Penjejakan terhadap bukti-bukti kualitatif merupakan upaya penemuan
fakta-fakta tentang perubahan-perubahan yang eksklusif yang hanya terdapat
dalam dua bahasa atau lebih. Perubahan bersama yang eksklusif (exclusively
shared linguistic innovation) itu merupakan warisan protobahasa asalnya dan
tidak ditemukan pada bahasa atau subkelompok bahasa yang lainnya. Perubahan
yang dimaksud hanya terjadi satu kali dalam perjalanan sejarah bahasa itu.
27
Perubahan-perubahan itu tampak dalam bentuk perubahan bunyi yang teratur atau
sporadis, dapat berupa perubahan leksikon, serta dapat pula berupa perubahan
makna (Jeffers dan Lehiste, 1979). Beberapa pola perubahan bunyi dapat terjadi,
seperti
peleburan
(merger),
perengkahan
(split),
penunggalan
(monophonemization), penggugusan (diphonemization) dan peluluhan bunyi
(phonemic loss) (Penzl, 1969:11--13; Hock, 1988:107--117; Crowley, 1992:44-46). Hal yang sama juga dikemukakan oleh ahli lainnya yang menyatakan bahwa
perubahan bunyi dapat terjadi secara beraturan dan tidak beraturan. Perubahan
bunyi secara beraturan terjadi bila suatu bunyi berdasarkan kondisi yang sama
berubah menjadi bunyi lain (Antilla, 1972:85--86). Perubahan bunyi tidak
beraturan cenderung terjadi pada area gramatika atau area fonologis tertentu.
Setiap perubahan bunyi terjadi menurut kaidah tanpa kecuali. Bila bunyi berubah,
perubahan itu memengaruhi kata yang dibentuk dari bunyi itu (Labov, 1994:422).
Penjejakan terhadap bukti-bukti kualitatif ini sesungguhnya merupakan upaya
rekonstruksi, yakni pembentukan protobahasa dari suatu kelompok bahasa yang
berkerabat dengan penemuan ciri-ciri bersama berdasarkan perubahan-perubahan
bunyi yang teratur yang terjadi pada setiap bahasa (bandingkan Hoenigswald,
1974), dengan prosedur sebagaimana yang disarankan Pike (1957). Di samping
untuk tujuan rekonstruksi, bukti-bukti kualitatif tersebut juga dipakai dasar untuk
tujuan pengelompokan akhir, yakni pencabangan beberapa bahasa dari kumpulan
bahasa berkerabat yang lebih besar berdasarkan dekat-jauhnya dipandang dari
segi genetisnya, karena masing-masing kelompok tersebut dianggap mempunyai
protobahasa tersendiri.
28
2.3.3 Difusi
Dalam sebuah linguistik area, peristiwa kontak bahasa biasa terjadi. Jika
sejumlah bahasa dipakai di suatu daerah yang dinamis secara geografis dan tidak
memiliki hambatan secara sosial dan politik, multilingualisme akan muncul pada
masyarakat bahasa itu. Peristiwa tersebut memberi ruang bagi terjadinya
perubahan bahasa dari suatu kondisi menuju stratum tertentu (Jeffers dan Lehiste,
1979). Selain itu, dapat terjadi suatu kondisi difusi bagi sejumlah fitur linguistik
suatu bahasa ke bahasa lainnya dan menyebar ke seluruh kawasan di daerah
geografis tersebut. Bahasa sebagai pranata budaya, pada dasarnya sangat terbuka
untuk berdifusi. Adalah benar kiranya bahwa semua aspek kebudayaan manusia
bisa saling meminjam dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya (Dixon,
1997). Bentuk peradaban, seperti mitos, agama, berbagai jenis organisasi sosial,
peralatan industri, dan berbagai fitur budaya lainnya bisa menyebar dari waktu ke
waktu dan secara perlahan beradaptasi dengan budaya yang pada mulanya terasa
asing. Fenomena yang sama juga terjadi pada nyanyian, tata upacara, sistem
politik, aturan perkawinan, domistikasi binatang dan pertanian (Sapir, 1921:205).
Dixon (1997) mengatakan bahwa fitur-fitur linguistik yang dapat berdifusi
sangat ditentukan oleh situasi linguistik dari suatu bahasa yang saling kontak.
Walaupun demikian, secara umum ada beberapa fitur linguistik yang dapat
berdifusi, seperti fonetik dan fonologi, leksem, kategori dan bentuk gramatikal.
Dalam hal fonetik dan fonologi, orang secara alamiah cenderung menyesuaikan
29
kebiasaan berbicaranya dengan lawan interaksinya. Fenomena seperti ini dapat
melahirkan ciri fonologis baru dan menyebabkan hilangnya ciri fonologis lama.
Beberapa bunyi, seperti nasal atau glotal pada dasarnya dengan mudah dapat
berdifusi melalui serangkaian perubahan akibat proses asimilasi atau proses
lainnya. Dalam suatu proses kontak bahasa, nama untuk suatu peralatan baru,
binatang, gagasan, dan lain-lain mungkin diambilkan dari salah satu bahasa yang
saling kontak apabila salah satu bahasa itu tidak memiliki padanan atau istilah
untuk kata itu. Sesuatu yang dianggap tabu dalam suatu masyarakat, penamaannya
dapat digantikan dengan leksem bahasa sekitarnya. Dalam beberapa kasus, leksem
nomina lebih leluasa dapat dipinjam dibandingkan verba. Namun demikian, patut
dicatat bahwa pada dasarnya semua leksem dapat saja dipinjam dan seiring
dengan perjalanan waktu akan berdifusi ke seluruh kawasan. Konsep difusi
leksem berdasarkan area atau kawasan, tidak hanya dialami bersama oleh bahasa
yang berhubungan, tetapi juga mencakup dialek dalam suatu batas wilayah
tertentu (McMahon, 1999). Pada tataran gramatikal, fitur yang lazim berdifusi
adalah pola urutan kata. Difusi juga bisa terjadi dalam bentuk inkorporasi,
nominalisasi, dan klausa relatif.
Dalam hal terjadinya difusi antara dua bahasa yang saling kontak, ada dua
faktor utama yang paling menentukan, yakni faktor prestise penuturnya dan
kompleksitas bahasanya. Jika dua bahasa memiliki prestise yang sama dalam
suatu masyarakat, ada kecenderungan bilingualisme akan terjadi dua arah. Akan
tetapi, jika bahasa X memiliki prestise lebih tinggi dari pada bahasa Y, maka
penutur bahasa Y akan mempelajari bahasa X, tetapi tidak terjadi sebaliknya.
30
Dengan demikian, bahasa Y pelan tetapi pasti akan berubah menjadi bahasa X dan
pergerakannya hanya satu arah (Dixon, 1997). Jika suatu bahasa A lebih
kompleks dari pada bahasa B, penutur bahasa A akan lebih mudah mempelajari
bahasa B sebagai bahasa kedua. Pada situasi yang demikian, penutur bahasa A
lebih cenderung meminjam dari bahasa B. Sebaliknya, penutur bahasa B lebih
sulit meminjam dari bahasa A. Kompleksitas suatu bahasa dapat terjadi pada
tataran
fonologis
atau
gramatikal.
Meskipun
demikian,
Dixon
(1997)
menambahkan bahwa kompleksitas suatu bahasa tampaknya sangat relatif
sifatnya. Persepsi penutur kadang-kadang tidak sama terhadap fenomena ini, baik
menyangkut bahasa tertentu maupun terhadap aspek atau tataran tertentu.
Download