BAB I PENDAHULUAN

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Salah satu konsep komunikasi massa adalah proses komunikasi yang pesannya diarahkan
kepada audiens yang relatif lebih besar, heterogen dan anonim. Orientasi arah yang demikian
menandakan proses komunikasi massa berlangsung dalam tingkat kerumitan yang relatif
tinggi (Severin & Tankard, 2007 : 13). Berbagai persoalan yang kompleks muncul dalam
ranah ini sebab komunikasi massa berkaitan dengan komunikator yang berbentuk institusi,
audiens yang heterogen dan keserempakan pesan dalam proses tranmisi. Salah satunya
terlihat dari kehidupan media massa. Kehidupan media massa memainkan peran insitusi
sendiri dan institusi lainnya yang menyelenggarakan kegiatannya dalam lingkungan publik.
Konsep yang memandang media massa sebagai institusi yang berada di antara individu yang
satu dengan individu yang lainnya, segala sesuatunya yang ada dalam ruang dan waktu mau
menggambarkan peran yang dimainkan oleh media massa dan konsekuensi yang ada dalam
peran tersebut (McQuail, 1987 : 51-52).
Kehidupan media massa di Indonesia dalam perjalanannya tidak terlepas dari deretan
sejarah persoalan yang kompleks. Meskipun terdapat etika pers dan hukum yang mengatur
secara khusus tentang media, seperti UU Pers, Perfilman, Penyiaran, KUHP yang mengatur
tentang pencemaran nama baik, rahasia negara dan sebagainya, namun kehidupan media
massa masih jauh dari yang diharapkan. Peran hukum dan etika pers dalam mengatur
kehidupan media lebih banyak dipolitisasi oleh pihak penguasa dan pemilik modal. Dengan
demikian, kehidupan media sebatas menjadi alat kepentingan kelompok tertentu dalam
menciptakan wacana untuk melegitimasi kekuasaan. Misalnya, struktur diskursif yang
dibentuk oleh orde baru, yang salah satu kekuatannya terletak pada normalisasi (Eriyanto,
2008 : 76).
Pada dasarnya, peran hukum dan etika pers di Indonesia dikhususkan pada
penyelenggaraan media (massa) yang disesuaikan dengan penerapan hukum dan etika pers
dalam berbagai jenis. Maka, dikenal pula kode etik yang berisikan tentang aturan-aturan yang
berhubungan dengan profesi, seperti Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik
mencerminkan etika pers, yang dibuat oleh Dewan Pers yang menggantikan kode etik
wartawan untuk mengatur profesi para jurnalis Indonesia dalam tugas kewartawanan. Kode
etik dibuat dengan tujuan melindungi publik dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power) mulai dari teguran sampai dengan pemecatan.
Dibandingkan dengan hukum media, kekuatan kode etik memiliki tingkat kekuatan
hukum yang lebih lemah dalam mempengaruhi manusia sebagai penyelenggara kehidupan
pers. Tetapi, dalam pelaksanaannya kedua jenis aturan tersebut mempunyai ikatan yang kuat
terhadap penyelenggara kehidupan pers. Pada prinsipnya, Kode Etik Jurnalistik merupakan
landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman professional dalam menjaga kepercayaan
publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Oleh karena itu, ketaatan wartawan
terhadap Kode Etik Jurnalistik membentuk moralitas wartawan yang independen, jujur,
objektif dan berkepribadian integritas (Sumadiria, 2006 : 240).
Semenjak masa reformasi yang memberi ruang kemerdekaan berpendapat, kebebasan
berekspresi dan pers, media massa mulai tumbuh subur dan menjamur di berbagai daerah.
Akan tetapi, di tengah situasi tersebut muncul pula persoalan dalam kehidupan media massa
di Indonesia. Beberapa persoalan, misalnya penerbitan surat kabar atau majalah yang illegal,
usia surat kabar, majalah, dan televisi yang singkat, penerbitan surat kabar atau majalah yang
temporal dan pemberitaan yang tidak mencerminkan sebuah berita yang baik. Dengan
berbagai persoalan yang muncul tersebut, kehidupan pers pada masa awal reformasi
menunjukkan ciri-ciri pers yang bebas, lebih terbuka dan independen (Sumadiria, 2006 : 2526).
Dari berbagai fenomena tersebut, salah satu persoalan yang masih terjadi dalam berbagai
pemberitaan baik oleh media massa nasional maupun media massa lokal adalah ditemukan
berita-berita yang belum mencerminkan Kode Etik Jurnalistik. Dalam penulisan berita-berita
tersebut, wartawan cenderung berada pada konflik kepentingan (Biagi, 2010 : 424). Artinya,
wartawan mengalami situasi dilematis dalam memilih antara penulisan berita yang objektif,
jujur dan sesuai dengan fakta dengan memihak kepada salah satu pihak, sehingga
mengabaikan berita yang objektif, jujur dan sesuai dengan fakta dalam penulisan berita.
Selain itu, dalam kerja jurnalistik para jurnalis cenderung mengabaikan nilai berita. Kadangkadang, secara tidak sadar para jurnalis dalam menulis berita mengaburkan objektifitas fakta
dan terjebak pada upaya untuk memarjinalkan kelompok bawah (Eriyanto, 2008 : 106).
Salah satu contoh konkrit yang tersurat dalam bunyi pasal 6 kode etik jurnalistik adalah
suap (www.dewanpers.co.id). Suap merupakan salah satu tindakan yang menyalahi profesi
kewartawanan. Sebab, secara jelas tertera dalam bunyi pasal bahwa suap yang diterima dapat
mempengaruhi independensi. Penerimaan suap oleh seorang jurnalis jelas menunjukkan
rendahnya moral dan tanggung jawab yang inheren pada diri seorang wartawan. Dengan
menerima suap, seorang wartawan akan terancam dari profesi yang sedang dijalani.
Suap menyebabkan kebebasan seorang jurnalis dalam berekspresi (pelaporan berita)
tersudut karena sudah dibatasi dengan pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas
lainnya. Penerimaan suap oleh seorang wartawan akan merendahkan harkat dan martabatnya
sebagai seorang manusia dan wartawan. Misalnya, suap yang diterima oleh wartawan
majalah atau koran Tempo dalam memberitakan tentang kasus penjualan saham krakatau
steel. Sering pula media massa melakukan pengadilan media massa, yaitu mengadili
seseorang melalui pemberitaan media massa.
Pembunuhan karakter adalah juga kejahatan wartawan dalam menulis berita yang dapat
merusak citra. Sejauh ini, hal ini disebabkan karena kualitas wartawan dan reportase yang
tidak memadai dalam memenuhi prasyaratan jurnalisme (Bungin, 2009 : 361). Selain itu, ada
pula kasus pelanggaran Kode Etik Jurnalistik lainnya, kali ini melakukan penyebaran berita
bohong. Hal ini terjadi pada tayangan Silet, di mana skrip yang dibacakan pembawa acara,
mengangkat komentar paranormal, dalam kasus meletusnya gunung Merapi. Komentar
paranormal yang mengatakan gunung merapi akan meletus dalam skala besar merupakan
spekulasi dan tidak terbukti, bisa dikategorikan sebagai hoax atau berita bohong, kasus ini
membuat kegemparan bagi masyarakat Yogyakarta, di tengah derita menghadapi bencana.
Stasiun TV RCTI dalam program acara Silet telah melanggar pasal 4 Kode Etik Jurnalistik,
yang mengungkap bahwa: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah,
sadis, dan cabul. Untuk kasus ini, tayangan Silet telah dicabut penayangannya dalam jangka
waktu yang tidak ditetapkan.
Kasus yang juga penting disimak adalah asas praduga tak bersalah yang terkadang
dilakukan oleh pihak jurnalis. Karena secara langsung juga mencederai pasal ketiga dari kode
etik yang berbunyi: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara
berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan
asas praduga tak bersalah. Namun, dalam penerapannya terdapat keganjilan karena hampir
semua pihak yang bermasalah dengan para jurnalis memanfaatkan pasal ini untuk menyerang
balik pers. Semakin rancu lagi ketika penggunaan hak jawab yang telah diatur undangundang tidak dimanfaatkan oleh terdakwa kasus hukum tertentu. Misalnya kasus
kriminalisasi pers, oleh Raymond yang menuntut tujuh media massa karena menyebutkan
namanya sebagai bandar judi, padahal pengadilan belum memvonisnya. Para jurnalis
mengakui bahwa mereka mengutip pertanyaan resmi kepolisian. Namun Raymond bersikeras
melakukan tuntutan dengan pasal pencemaran nama baik. Semua tuntutan itu kandas di
setiap pengadilan, karena para hakim telah menggunakan UU Pers dalam memutuskan
perkara, dan tidak menggunakan KUHP/KUHAP dalam perkara pengadilan. Namun hal ini
menjadi cerminan bagi jurnalis untuk berhati-hati dalam melakukan penyebutan narasumber
yang bermasalah di mata hukum.
Contoh lainnya adalah pemuatan foto-foto korban kerusuhan Ampera yang terjadi di
jalan Ampera, Jakarta Selatan. Menurut pasal 4 Kode Etik Jurnalistik yang berbunyi ” Wartawan
Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul”. Oleh karena itu, dengan
pemuatan foto-foto tersebut jelas melanggar pasal 4 kode etik jurnalistik yang
menyajikan berita yang sadis. Sebab, dengan adanya pemuatan foto-foto tersebut
dapat menimbulkan emosi pada pihak korban dan berujung pada sikap kebencian dan
balas dendam.
Dari berbagai contoh kasus di atas, dalam penelitian ini penulis lebih memfokuskan pada
bunyi pasal 5 kode Etik Jurnalistik yang menyebutkan pemberitaan yang tidak diperbolehkan
penyebutan identitas korban kejahatan asusila dan identitas anak yang menjadi pelaku
kejahatan. Sejauh hasil studi dokumentasi terhadap isi berita surat kabar, ditemukan bahwa
kedua kesalahan yang sering muncul dalam pemberitaan berkaitan dengan kedua pasal
tersebut pada berita-berita hukum dan kriminal. Munculnya kesalahan tersebut disebabkan
karena tafsir bebas dari para jurnalis terhadap makna kebebasan pers yang diperjuangkan
pada masa-masa awal reformasi.
Oleh karena itu, penelitian ini dapat memposisikan kembali makna kebebasan yang mulai
mengalami kehilangan arti dalam kehidupan pers di Indonesia umumnya, dan NTT
khususnya. Objek penelitian yang dipilih adalah harian Timor Express sebagai salah satu
surat kabar lokal di NTT yang memiliki popularitas yang tinggi. Salah satu contoh berita
pada harian Timor Ekspress yang menunjukkan adanya penyimpangan terhadap bunyi pasal
5 Kode Etik Jurnalistik adalah berita pada Jumat, 16 September 2011, yang berjudul “Kasus
Charles Lalung Jalan di Tempat”. Berdasarkan isinya, berita ini dikategorikan ke dalam
berita kriminal atau asusila karena mengandung unsur kriminal atau asusila. Di dalam berita
ini dikisahkan mengenai kasus perselingkuhan yang melibatkan salah seorang anggota DPRD
NTT. Oleh karena itu, pemilihan berita ini didasarkan pada isi berita yang menunjukkan
adanya tindakan perselingkuhan dimana merupakan perbuatan asusila karena melanggar
norma yang berlaku.
Meskipun isi berita di bawah masih menyebutkan adanya dugaan terhadap pelaku
selingkuh, namun secara kode etik jurnalistik isi berita di atas memperlihatkan adanya
penyimpangan. Dalam berita ini disebutkan secara lengkap (nama) identias pelaku tindakan
asusila (perselingkuhan) yang dalam bunyi pasal 5 dinyatakan bahwa wartawan Indonesia
tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan asusila. Berikut petikan isi
berita di bawah ini:
Penyelidikan kasus dugaan selingkuh yang dilakukan anggota DPRD NTT, Emilianus
Charles Lalung dengan Cesilia Yeni Kabut, istri sah Rizaldus Magul di Labuan Bajo
beberapa bulan lalu dan kini sedang ditangani Kepolisian Resor (Polres) Manggarai
Barat nampaknya jalan di tempat.
Dalam penelitian ini, fokus objek penelitian lebih ditekankan pada berita kriminal. Ada
dua alasan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut, yakni pertama, berita kriminal
merupakan jenis berita yang memiliki nilai berita (news value) yang tinggi, sehingga sering
menjadi perhatian harian Timor Ekspress dalam setiap pemberitaan. Kedua, melalui hasil
studi dokumen terhadap beberapa berita kriminal yang diberitakan oleh Harian Timor Ekpress
ditemukan kesalahan dalam penulisan berita yang menyalahi Kode Etik Jurnalistik, pasal 5.
Maka dari itu, penulis akan melaksanakan sebuah penelitian dengan judul “KONSTRUKSI
BERITA BERDASARKAN KODE ETIK JURNALISTIK PASAL 5 (Suatu Studi kasus
Terhadap Berita Kriminal Harian Timor Express)”.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang, maka perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah bagaimana berita-berita kriminal di Harian Umum Timor Express dikonstruksikan
berdasarkan Kode Etik Jurnalistik pasal 5 ?
1.3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui pengkonstruksian beritaberita kriminal di Harian Umum Timor Express berdasarkan Kode Etik Jurnalistik pasal 5.
1.4
Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini berguna dalam memberikan kontribusi teoritis terhadap
pengembangan keilmuan komunikasi (jurnalistik) yang menekankan pada pemberitaan di
surat kabar lokal, khususnya ketepatan pemberitaan yang sesuai dengan Kode Etik
Jurnalistik.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat berguna, sebagai berikut:
a) Bagi Mahasiswa/I Jurusan Komunikasi
Untuk menambah wawasan tentang dunia jurnalistik bagi mahasiswa jurusan
komunikasi yang menekuni dunia jurnalistik, khususnya dalam penulisan berita
sehingga dalam penerapannya dapat mencerminkan Kode Etik Jurnalistik pada
umumnya.
b) Bagi Jurnalis
Penelitian ini dapat berguna dalam peningkatan kemampuan penulisan beritaberita pada umumnya yang sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik, sehingga dapat
meningkatkan proses kerja yang professional.
c) Bagi Harian Timor Express
Penelitian ini dapat menjadi masukan untuk mengevaluasi proses kerja wartawan,
secara khusus dalam penulisan berita-berita yang memperhatikan Kode Etik
Jurnalistik.
1.5.
Kerangka Pemikiran, Asumsi dan Hipotesis
1.5.1. Kerangka Pemikiran
Salah satu kajian dalam ilmu komunikasi adalah etika komunikasi yang mengkaji tentang
bagaimana prinsip-prinsip dan nilai-nilai etika diterapkan dalam komunikasi sebagai sensor
sosial kemasyarakatan dalam upaya membentuk masyarakat yang tak melek media menjadi
tidak terbawa oleh arus negatif yang terbawa oleh komunikasi. Salah satu faktor yang
memunculkan kajian tersebut adalah adanya fenomena yang memperlihatkan terjadi berbagai
pelanggaran dalam komunikasi antarmanusia yang terlihat dari beberapa bidang kajian,
seperti jurnalistik. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam upaya meminimalisir munculnya
pelanggaran tersebut, maka dibentuklah Kode Etik Jurnalistik oleh para jurnalis untuk
menetapkan sikap mengenai ruang lingkup dan pagar-pagar kebebasan, menegaskan di batasbatas mana telah terjadi penyimpangan menyangkut pelanggaran terhadap kepentingan
pribadi, kepentingan umum dan kepentingan negara. Kode etik merupakan standar nilai yang
mendorong para jurnalis agar bertindak dan menghindari tindakan.
Kode etik disusun sebagai rambu-rambu agar jurnalis dalam bekerja tidak serampangan,
semaunya dan mau menang sendiri. Hal ini disebabkan karena pers (jurnalistik) berhubungan
dan ada kemungkinan menyinggung banyak pihak, maka aturan main dibuat agar pers tak
main hakim dan bekerja secara serampangan. Muncul kemungkinan lain bilamana Kode Etik
Jurnalistik tidak dibuat dimana akan muncul ketegangan, tarik-menarik dan kemungkinan
saling teror antara pers-penguasa dan masyarakat. Dengan demikian kode etik dibuat untuk
mengatur hubungan yang sehat dan seimbang secara proporsional guna memahami batas hak
dan kewajiban masing-masing pihak.
Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan pada tanggal 15 Maret 2006 terdiri dari sebelas
pasal yang mengatur tentang pelaksanaan fungsi, hak, kewajiban dan peran pers dalam
mewujudkan kemerdekaan berpendapat dan berekspresi serta memenuhi hak publik untuk
memperoleh yang benar (www.dewanpers.co.id). Pemberlakuan Kode Etik Jurnalistik
merupakan aktualisasi fungsi kontrol yang diemban dewan pers terhadap praktik jurnalistik
setiap media. Berita sebagai hasil kerja jurnalis akan mencerminkan kepatuhan atau ketaatan
jurnalis terhadap setiap bunyi pasal dalam Kode Etik Jurnalistik. Penulisan berita yang sesuai
dengan bunyi pasal dalam Kode Etik Jurnalistik menunjukkan suatu tanggung jawab moral
jurnalis kepada publik.
Berdasarkan penelusuran terhadap kesebelas Kode Etik Jurnalistik dan fenomena yang
terjadi, penulis lebih memilih pasal 5 kode etik jurnalistik sebagai acuan dalam mengkaji
penyelenggaraan kehidupan pers khususnya para jurnalis dalam kegiatan jurnalistik. Isi pasal
5 mengenai ketepatan atau keakuratan jurnalis dalam penulisan berita kriminal yang tidak
menyebutkan identitas pelaku tindakan asusila dan anak korban atau pelaku tindakan
kejahatan/asusila. Dalam melakukan kajian, penulis memilih berita-berita kriminal pada
harian Timor Express yang cenderung melanggar bunyi pasal 5 tersebut. Hal ini
dilatarbelakangi oleh hasil studi awal penulis yang menemukan ada beberapa penyimpangan
dalam penulisan berita-berita kriminal di harian Timor Express. Ini menunjukkan bahwa
kepatuhan atau ketaatan jurnalis terhadap Kode Etik Jurnalistik yang berlaku belum
maksimal.
Gambar 1.1
Kerangka Pemikiran
Kode Etik
Jurnalistik
Pasal 5
Berita-Berita
Kriminal
Harian
Timor Epress
1.5.2. Asumsi penelitian
Penelitian ini didasarkan pada asumsi yang menyatakan bahwa kehidupan jurnalistik
yang dapat mencerminkan etika pers ditentukan pula oleh kerja wartawan atau jurnalis yang
sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik yang berlaku.
1.5.3. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini, yakni tidak semua berita yang dimuat di harian umum Timor
Express taat terhadap Kode Etik Jurnalistik pasal 5
Download