rekayasa proses produksi hidrolisat gula

advertisement
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sagu dan Ampas Sagu
Sagu (Metroxylon sagu Rottb) merupakan tanaman asli Indonesia yang
diyakini berasal dari daerah sekitar danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua.
Selain di Indonesia, sagu ditemukan dibeberapa negara lain seperti Papua New
Guinea, Malaysia, Thailand, dan Philipina (Ruddle et al. 1978). Sagu tumbuh
baik pada lahan marginal seperti gambut, rawa, payau, atau lahan tergenang di
mana tanaman lain tidak mampu tumbuh (Bintoro 2008).
Flach (1997) dan Balitbanghut (2005) melaporkan areal sagu di Indonesia
umumnya tersebar di Papua, Maluku, Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan
Sulawesi Tenggara. Diperkirakan 90% areal sagu Indonesia berada di Papua.
Lahan sagu berupa hutan sagu terdapat sebesar 1.250 juta ha dengan lahan sagu
semi budidaya terdapat sekitar 148 ribu ha. Lahan semi budi daya ini tersebar di
wilayah kepulauan Riau, Mentawai, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku,
dan Papua (Lampiran 1). Bintoro (2011) lebih lanjut melaporkan bahwa distribusi
areal sagu di Indonesia adalah 1.250 juta ha areal berupa hutan sagu dengan 158
ribu ha berupa lahan semi budidaya.
Potensi luas areal tumbuhan sagu yang dilaporkan di Indonesia sangat
bervariasi antara sumber yang satu dengan yang lain pada wilayah yang sama.
Hasil studi dari kompilasi luas areal yang ditumbuhi sagu di Indonesia, dari
berbagai sumber menunjukkan adanya keragaman yang sangat besar (Mulyanto
dan Suwardi 2000). Di daerah Papua luas areal sagu berkisar antara 800 ribu ha
sampai dengan 4.1 juta ha. Perbedaan luas areal bisa mencapai 4 kali lipat pada
wilayah yang sama, atau terdapat perbedaan lebih dari 3 juta ha. Di Provinsi
Kepulauan Maluku selisih antara sumber yang satu dengan lainnya sekitar 15
ribu ha.
Batang sagu berbentuk silinder dan merupakan bagian yang terpenting
karena sebagai gudang penyimpanan pati/karbohidrat. Pada umur 3-11 tahun
tinggi batang bebas daun sekitar 3-16 m, bahkan mencapai tinggi 20 m. Diameter
batang sagu sekitar 50 cm bahkan dapat mencapai 80-100 cm, umumnya diamater
8
bagian bawah lebih besar dan mengandung pati tinggi dibandingkan dengan
bagian atas (Alfon dan Bustaman 2005).
Batang sagu terdiri atas lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian
dalam berupa empulur (pith) yang mengandung serat dan pati. Berat kulit batang
sagu sekitar 17-25% dari berat batang, sedangkan berat empulurnya sekitar 7583%. Perbandingan antara berat kulit dan empulur selama pertumbuhan sagu
relatif sama (Alfon dan Bustaman 2005). Djoefrie (2003) menyatakan, pengolahan batang sagu menjadi pati sagu hanya 16-28%. Hasil ikutan pengolahan
sagu berupa kulit batang dan ampas sekitar 72%, merupakan limbah yang belum
termanfaatkan secara optimal dan dapat menimbulkan pencemaran (Syakir 2005).
Menurut Flach (1983), komposisi bagian pohon sagu dari bagian korteks
hingga bagian ampas sagu adalah sebagai berikut:
Tabel 1 Rataan komposisi pohon sagu
Komponen
Total Berat Segar
(kg)
Batang
1 250
Korteks
400
Empulur
850
Pati
250
Air
425
Ampas
175
Sumber: Flach (1983)
Perbandingan
terhadap Total
Berat Segar (%)
100
32
68
20
34
14
Perbandingan
terhadap
Empulur Segar (%)
100
29
50
21
Ekstraksi sagu secara tradisional menghasilkan tepung sagu basah
maksimal 150 kg/hari, rendemen hasil hanya 20-26% (Alfon dan Bustaman 2005).
Ramalatu (1981) melaporkan bahwa perbandingan pati dan residu ampas sagu
dari proses ekstraksi adalah 1 : 6. Teti et al. (1989) menyatakan bahwa biomassa
limbah sagu (ampas) merupakan bahan organik yang cukup banyak terbuang
setelah pengolahan sagu, yaitu dari 1 ton bahan empulur sagu dapat diperoleh
limbah 800 kg.
Limbah hasil ekstraksi tepung sagu belum dimanfaatkan secara optimal.
Menurut Kurnia (1991) limbah hasil olahan tepung sagu berupa bagian kulit dan
ampas sagu dapat mencapai 85%. Limbah ampas sagu ini apabila tidak dikelola
dengan baik akan merusak lingkungan, terutama daerah aliran sungai (tempat
9
pengolahan tepung sagu). Limbah ini dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik,
media tumbuh tanaman, maupun mikroorganisme (Bintoro 1999). Sampai saat ini
ampas sagu belum banyak dimanfaakan sehingga cukup banyak yang dibuang
begitu saja sebagai limbah (Mubyarto dan Winahyu 1992).
Ampas sagu adalah bahan seratan bagian dalam pohon sagu yang dibuang
setelah diambil patinya. Analisis nutrisi ampas sagu dari genus Metroxylon yang
dilakukan Bintoro (1990) dilaporkan sebagai berikut: protein kasar 0.62%, lemak
0.4%, abu 4.65%, pati 72.45%, dan ADF 13.42%. Menurut analisis Hangewa
(1992) komposisi komponen ampas sagu adalah sebagai berikut: protein kasar
2.3%, serat kasar 18.86%, BETN 70.04%, dan gross energi 4148 Kkal. Rumawas
et al. (1996) menambahkan, limbah sagu mengandung 53.92% C, 0.045 N, 0.02%
P, 0.69% K, 1-3% Ca, 0.01% Mg, 22.1% selulosa, dan 14.3% hemiselulosa.
Pengujian mikroskopik mengambarkan sejumlah besar pati terperangkap dalam
matrik lignoselulosa (Chew dan Shim 1993).
Penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan pemanfaatan limbah
sagu meliputi: penelitian ampas sagu sebagai substrat untuk menghasilkan laccase
lewat fermentasi substrat padat menggunakan Pleurotur sojur-caju (P. Sojur-caju)
(Kumaran et al. 1997). Akmar dan Kenedy (2001) melaporkan penelitian tentang
potensial limbah batang sagu dan batang sawit sebagai sumber karbohidrat.
Karakterisasi fraksi dan bagian polisakarida non pati serta lignin dari empulur
sagu dilaporkan oleh Sun et al. (1999). Penelitian konversi limbah serat sagu
dalam fermentasi gula lewat hidrolisis asam dan enzimatik dilakukan Kumoro et
al. (2008). Singhal et al. (2008) melakukan penelitian tentang kapang termofilik
Myceliophthora thermophita (M. thermophita) dan kapang mesofilik Clara sp
serta Neurospora sitophila (N. sitophila) yang keseluruhannya menghasilkan
enzim yang signifikan secara ekonomi seperti selulase, amilase, dan enzim pengurai pati kasar glukoamilase yang tumbuh pada bermacam substrat termasuk
ampas sagu. Mishima et al. (2011) melaporkan telah menghasilkan glukosa dari
residu sagu menggunakan enzim Kleitase T10S. Linggang et al. (2011)
menyatakan telah memproduksi biobutanol dari residu ampas sagu. Selanjutnya
Awg Adenil et al. (2011) melaporkan telah berhasil melakukan fermentasi
bioetanol dari glukosa hasil hidrolisis ampas sagu secara enzimatik.
10
2.2 Perlakuan Awal (Pretreatment) dan Lignoselulosa
Biomassa tanaman terutama disusun oleh selulosa, hemiselulosa, lignin,
dan sejumlah kecil pektin, protein, ekstraktif, dan abu. Selulosa, hemiselulosa,
dan lignin hadir dalam jumlah bervariasi pada bagian yang berbeda dari tanaman,
secara kuat berasosiasi membentuk kerangka struktural dari dinding sel tanaman
(Jorgensen et al. 2007).
Pretreatment pada sumber bahan berlignoselulosa
umumnya dilakukan untuk mendorong terjadinya konversi enzimatik dari selulosa
menjadi glukosa dan gula sederhana lainnya dengan mudah. Teknologi perlakuan
awal secara steam explosion dapat mengatasi pengerasan kembali biomassa
selulotik sehingga selulosa dan hemiselulosa dapat tersedia bagi konversi secara
enzimatik menjadi gula untuk fermentasi (Anonim 2008).
Penguraian lignoselulosa dapat melewati tahapan delignifikasi. Dalam
pretreatment menggunakan uap panas, material dipanaskan secara cepat dengan
steam pada 180-210 oC selama 1-10 menit. Pelakuan pemecahan atau degradasi
dengan uap panas tanpa penambahan asam sebagai katalis telah digunakan untuk
pretreatment material pertanian seperti jerami, tongkol jagung, dan kayu keras.
Secara umum diketahui bahwa penambahan atau meresapkan material dengan
H2SO4 atau bahan mengandung SO2 (0.3 sampai 3% w/w) dapat menurunkan
waktu dan temperatur, dimana pada waktu yang sama meningkatkan recovery,
menurunkan pembentukan inhibitor, dan memperbaiki hidrolisis enzimatik
(Ballesteros et al. 2003; Varga et al. 2004; Sassner et al. 2006). Seluruh teknologi pretreatment yang ada secara umum bertumpu pada prinsip pemanasan
material pada temperatur 100-200 oC. Pretreatment pada temperatur yang lebih
rendah dapat mendorong pemisahan/pelarutan bahan tertentu yang berikatan
dengan bahan lignoselulosa.
Material lignoselulosa mengandung gula polimer pada selulosa dan hemiselulosa, yang dapat dibebaskan lewat hidrolisis dan selanjutnya difermentasi
menjadi etanol oleh mikroorganisme seperti S. cerevisiae (Palmgvist dan HahnHagerdal 2000). Selulosa adalah bagian terbesar dari komponen lignoselulosa
tanaman dan sebagai komponen utama penyusun dinding sel tanaman selain
hemiselulosa dan lignin (Lehninger 1982). Selulosa, konstituen utama dari
dinding sel tanaman, merupakan homopolisakarida yang disusun seluruhnya oleh
11
D-glukosa dengan ikatan β-1-4-glukosidik pada suatu derajat polimerisasi di atas
10.000 atau lebih. Secara fisik dan kimia selulosa tersusun rapat di dalam dinding
sel tanaman dan sebagai polimer tunggal dengan bobot molekul tinggi, apabila
dalam jumlah yang berlebih dalam tanaman akan membentuk struktur dasar dari
dinding sel tanaman tersebut (McDonald et al. 2002).
Gambar 1 Struktur kimia selulosa (Anonim 2010a).
Hemiselulosa didefenisikan sebagai polisakarida pada dinding sel tanaman
yang larut dalam alkali serta menyatu dengan selulosa. Komponen utama struktur
hemiselulosa adalah unit D-glukosa, D-galaktosa, D-manosa, D-xilosa, dan Larabinosa yang terbentuk secara bersama dalam kombinasi yang berbeda dan
ikatan glikosidik bermacam-macam (McDonald et al. 2002). Hemiselulosa
berbeda dengan selulosa dalam hubungan keterikatannya dengan lignin. Hemiselulosa terikat lebih erat dengan lignin dibanding dengan selulosa. Kondisi inilah
yang menyebabkan selulosa lebih mudah dicerna dibandingkan hemiselulosa.
Gambar 2 Struktur hemiselulosa (Anonim 2010b).
Lignin merupakan lapisan protektif pada struktur selulosa-hemiselulosa
dan jaringan tanaman selama pertumbuhan. Lignin menjadi penghalang hidrolisis
selulosa, karena lignin berperan sebagai pelindung selulosa terhadap serangan
enzim pemecah selulosa (Enari 1983).
12
Mosier et al. (2005) menyatakan proses pretreatment diperlukan untuk
merusak struktur biomassa yang mengandung selulosa atau ikatan lignin pada
lignoselulosa. Hal ini akan
membuat selulosa terbebaskan dan lebih mudah
dikonversi oleh enzim dari bentuk polimer karbohidrat menjadi gula yang dapat
difermentsi, seperti yang jelaskan Gambar 3.
Lignin
Selulosa
Bagian
Amorpous
Pretreatment
Bagian
Kristalin
Hemiselulosa
Gambar 3 Skema dari proses pretreatment bahan lignoselulosa (Hsu et al.
1980 diacu dalam Mosier et al. 2005).
2.3 Hidrolisis Pati Ampas Sagu
Pati merupakan sumber polisakarida kedua setelah selulosa yang jumlahnya melimpah pada tanaman. Pati dikumpulkan di dalam kloroplas dan kromatofora, disimpan sebagai suatu cadangan energi pada akar, biji, dan akar umbi
sebagai suatu partikel kecil yang dikenal dengan granula (Betancur dan Chel
1997). Pati merupakan butiran atau granula yang berwarna putih mengkilat, tidak
berbau, dan tidak mempunyai rasa (Brautlecht 1953).
Pada dasarnya pati
merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α–glikosidik. Pati terdiri dari dua
fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas.
Fraksi yang larut dalam air
disebut amilosa dan fraksi yang tidak larut disebut amilopektin. Amilosa
mempunyai struktur linear dengan ikatan α-1,4-D-glukosa, sedangkan amilopektin
mempunyai cabang dengan ikatan α-1,6-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total
(Davidson 1967). Ikatan α-1,6 sukar diputuskan, apalagi jika dihidrolisis
menggunakan katalisator asam. Pati sagu mengandung 27% amilosa dan 73%
amilopektin (Wirakartakusumah et al. 1984).
13
Gambar 4 Struktur kimia amilosa (Hart dan Schmetz 1972).
Gambar 5 Struktur kimia amilopektin (Hart dan Schmetz 1972).
Metode physical dengan air panas (hidrotermal) adalah penerapan kondisi
pretreatment secara fisik (panas) yang telah berhasil pada bahan berlignoselulosa.
Metode ini dapat digunakan untuk pemisahan pati dan memperbaiki proses
gelatinisasi pada ampas sagu sehingga dihasilkan gula pereduksi yang lebih besar
diakhir proses.
Suhu gelatinisasi pada pati juga tergantung pada konsentrasi
suspensi pati, semakin tinggi konsentrasi larutan (suspensi) pati, suhu gelatinisasi
semakin lambat tercapai. Suhu gelatinisasi tiap jenis pati berbeda-beda, antara 52
o
C sampai 78 oC. Knight (1986) menyatakan suhu gelatinisasi pati sagu sekitar
60-72 oC, sedangkan menurut Wirakartakusumah et al. (1984), suhu gelatinisasi
pati sagu sekitar 72-90 oC. Hidrolisat pati (sirup glukosa) didefinisikan sebagai
cairan jernih dan kental yang komponen utamanya glukosa yang diperoleh dari
proses hidrolisis pati (Standar Industri Indonesia 1981).
Metode yang umum dilakukan untuk menghidrolisis pati menjadi glukosa
dapat dilakukan dengan bantuan asam atau enzim pada waktu, suhu, dan pH
tertentu. Berbagai cara hidrolisis pati telah banyak dikembangkan diantaranya
yaitu hidrolisis asam, hidrolisis enzim, dan kombinasi asam dan enzim (Tjokroadikoesomo 1986).
14
2.3.1 Hidrolisis Enzimatik
Pada umumnya pembuatan hidrolisat dari pati sagu melalui hidrolisis enzimatik. Terdapat tiga tahapan hidrolisis enzimatik yaitu: tahap gelatinisasi,
likuifikasi, dan sakarifikasi. Tahap gelatinisasi merupakan pembentukan suspensi
kental dari granula pati, tahap likuifikasi yaitu proses hidrolisis pati parsial yang
ditandai dengan menurunnya viskositas dan sakarifikasi yaitu proses lebih lanjut
dari hidrolisis untuk menghasilkan glukosa. Pada tahap likuifikasi terjadi
pemecahan ikatan α-1,4 glikosidik oleh enzim α-amilase pada bagian dalam rantai
polisakarida secara acak sehingga dihasilkan glukosa, maltosa, maltodekstrin dan
α-limit dekstrin. Pada likuifikasi pati α-amilase yang biasa digunakan adalah
yang memiliki aktifitas tinggi, sehingga dosis enzim yang digunakan sekitar 0.50.6 kg/ton pati atau 1500 U/kg substrat kering. Enzim α-amilase komersial dibuat
oleh Novo, antara lain dengan nama Termamyl yang memiliki ketahanan terhadap
suhu sekitar 95-110 oC. Stabilitas Termamyl tergantung pada suhu, konsentrasi
Ca2+, kandungan ion, dan ekuivalen dekstrosa (Chaplin dan Buckle 1990).
α-amilase (α-1,4-glucan-4-glucohydrolase, EC 3.2.1.1) adalah enzim yang
mengkatalisis hidrolisa ikatan α-1,4-glikosidik dalam polisakarida dan hasil
degradasinya (Robyt dan Whelan 1968). Pada proses liquifikasi, α-amilase hanya
akan memecah ikatan α-1,4 yang terdapat pada amilosa menghasilkan polimer
yang dikenal sebagai dekstrin. Ikatan 1,6 dalam amilopektin tidak bisa dihidrolisis oleh enzim ini (Meyer 1973). Ditambahkan Kulp (1975), α-amilse pada
amilopektin menghasilkan glukosa, maltosa, dan oligosakarida dengan jumlah
monomer 4 atau lebih yang semuanya mempunyai ikatan α-1,6-glikosidik.
Keterangan:
: Lokasi pemutusan ikatan α-1,4 glikosidik
oleh α-amilase
Gambar 6 Pemutusan ikatan glikosidik pada pati oleh α-amilase (Tegge 1984).
15
Setelah terjadi likuifikasi, selanjutnya bahan akan mengalami proses sakarafikasi oleh enzim amiloglukosidase. Amiloglukosidase merupakan eksoenzim
yang terutama memecah ikatan α-(1,4) dan α-(1,6) secara lambat dengan
melepaskan unit-unit glukosa dari ujung non reduksi molekul amilosa dan
amilopektin untuk memproduksi 6-D-Glukosa. Pada kondisi yang sesuai, enzim
amiloglukosidase ditambahkan dengan dosis berkisar 1.65-1.80 liter enzim per ton
pati dengan dosis sebesar 200 U/kg pati (Chaplin dan Buckle 1990). Nama
trivial lain yang sering digunakan pada enzim tipe ini adalah amiloglukosidase,
glukoamilase dan gamma–amilase. Enzim kapang yang mempunyai spesifikasi
ini dan sering disebut juga amiloglukosidase dan glukoamilase. Glukoamilase
tersusun dari asam amino yang umum tetapi sedikit mengandung asam amino
bersulfur dan relatif tinggi jumlah asam amino yang mempunyai gugus hidroksi
dan karboksilat.
Glukoamilase dari Aspergillus niger (A. niger) merupakan
glikoprotein yang mengandung D-manosa serta sejumlah kecil D-glukosida dan
D-galaktosa (Pazur 1965).
Keterangan:
: Lokasi pemutusan ikatan α-1,4 dan α-1,6 glikosidik
oleh gukoamilase
Gambar 7 Pemutusan ikatan glikosidik pada pati oleh glukoamilse
(Tegge 1984).
Bagian berpati dari ampas sagu dapat dihidrolisis (konversi) menjadi
glukosa oleh adanya aktifitas enzim glukoamilase. Glukoamilase (α-1,4-glukanglukohidrolase) (EC 3.2.1.3) adalah suatu enzim pengurai dari sisi luar, dimana
memisahkan glukosa dari bagian akhir non reduksi suatu polimer pati. Enzim ini
dapat dihasilkan oleh A. niger dan A. awamori yang secara terpisah dimurnikan
dengan teknik kromatografi konvensional. Glukoamilase atau yang biasa disebut
amiloglukosidase mampu memecah ikatan α-1-4 dalam amilosa, amilopektin, dan
16
glikogen dari ujung gula non pereduksi (Manunjat et al. 1983). Enzim ini juga
dapat menghidrolisis ikatan α-1-6 meskipun pemecahannya lambat.
2.3.2 Hidrolisis Asam
Hidrolisis asam dapat digunakan untuk memecah komponen polisakarida
menjadi monomer-monomer. Proses hidrolisis yang sempurna akan memecah
selulosa dan pati menjadi glukosa, sedangkan hemiselulosa akan terpecah menjadi
pentosa dan heksosa. Asam sulfat (H2SO4) dan asam klorida (HCl) merupakan
asam
yang
dapat
digunakan
sebagai
katalis
dalam
proses
hidrolisis.
Tjokroadikoesoemo (1986) menyatakan pada bahan mengandung pati, hidrolisis
merupakan proses pemecahan (penguraian) pati menjadi unit-unit monomer gula.
Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan bantuan asam atau dengan enzim pada
waktu, suhu, dan pH tertentu. Beberapa polisakarida biasanya terhidrolisis oleh
asam mineral, seperti H2SO4 dan HCl. Selain asam mineral, asam-asam organik
seperti asam oksalat, asam trikloroasetat, dan asam trifluoroasetat juga dapat
dimanfaatkan sebagai katalis dalam proses hidrolisis pati.
Hidrolisis asam merupakan proses yang berlangsung secara acak dan tidak
terpengaruh dengan adanya ikatan α-1,6-glikosidik. Pemotongan rantai pati oleh
asam tidak teratur dibandingkan pemotongan rantai oleh enzim, sehingga hasilnya
adalah campuran antara dekstrin, maltosa, dan glukosa (Chaplin dan Buckle
1990).
Kelemahan dari hidrolisis asam adalah timbulnya senyawa inhibitor
seperti hidroksimetil furfural (HMF) dan furfural yang menghambat pertumbuhan
mikroorganisme dalam proses fermentasi untuk menghasilkan etanol.
Suhu,
waktu, dan konsentrasi asam yang digunakan selama proses hidrolisis sangat
mempengaruhi proses terbentuknya komponen HMF dan furfural (Palmqvist dan
Hagerdal 2000). Keuntungan hidrolisis asam adalah waktu proses lebih singkat,
teknologi sederhana, pengaturan kondisi proses yang lebih mudah, dan biaya yang
lebih murah karena tidak melibatkan enzim.
Lebih lanjut Taherzadeh dan Karimi (2007) menyatakan bahwa bahan
yang mengandung lignoselulosa pada hidrolisis asam dikelompokkan menjadi dua
yaitu hidrolisis dengan konsentrasi tinggi dan konsentrasi rendah. Kelemahan
penggunaan hidrolisis asam dengan konsentrasi tinggi adalah jumlah asam yang
17
digunakan sangat banyak, potensi korosi pada peralatan produksi, penggunaan
energi yang tinggi untuk proses daur ulang asam, dan terbentuk produk samping
yang tidak diharapkan seperti furfural dan HMF. Kelemahan penggunaan asam
dengan konsentrasi rendah antara lain membutuhkan suhu tinggi dalam proses
operasinya, potensi korosi pada peralatan produksi terutama alat yang terbuat dari
besi, dan juga pembentukan produk samping yang tidak diharapkan seperti
furfural dan HMF. Alves et al. (1998) menyatakan bahwa HMF pada konsentrasi 1 g/L, sudah cukup untuk menghambat pertumbuhan S. cerevisiae pada
proses fermentasi. Perlakuan detoksifikasi HMF secara fisik menggunakan arang
aktif dapat dilakukan (Converti et al. 1999). Detoksifikasi dengan arang aktif
sangat baik karena merupakan bahan berbiaya rendah dengan kapasitas menyerap
senyawa yang tinggi (Mussato dan Roberto 2003).
Pada bahan berlignoselulosa, hemiselulosa merupakan komponen yang
paling mudah terhidrolisis oleh asam yang akan terdegradasi menjadi xilosa,
manosa, asam asetat, galaktosa dengan sejumlah kecil ramnosa, asam glukorunat,
dan asam galakturonat (Sjostrom 1993).
Selulosa akan terdegradasi menjadi
glukosa. Pada suhu dan tekanan yang tinggi glukosa, galaktosa, dan manosa
terdegradasi menjadi HMF serta xilosa menjadi furfural. Komponen fenol dapat
terbentuk dari lignin yang terpecah sebagian dan juga selama proses degradasi
karbohidrat (Palmqvist dan Hagerdal 2000). Penggunaan H2SO4 1 M pada suhu
80-120 oC selama 30-240 menit telah dapat menghidrolisis gula dari golongan
pentosa yang umumnya terdapat dalam fraksi hemiselulosa.
Asam dengan
konsentrasi lebih tinggi yaitu 5-20 M H2SO4 dengan suhu 180 oC telah dapat
menghidrolisis gula yang berasal dari golongan heksosa seperti selulosa (Purwadi
2006).
2.4 Selulase
Suatu sistem enzim selulosik mengandung tiga komponen enzim utama
yaitu: exo-1,4-β-D-glucan cellobiohydrolase, memotong dari akhir rantai-rantai
selulosa menjadi unit-unit selobiose; endo-1,4-β-D-glucanase, berfungsi memecah
ikatan glukosidik secara internal; dan 1,4-β-D-glucosidase, berperan memotong
selooligosakarida menjadi unit-unit glukosa (Jorgensen et al. 2007). Gong dan
18
Tsao (1979) menyatakan selulase ekstraseluler dapat diproduksi oleh organisme
bila ada substrat tertentu dalam medium pertumbuhannya. Penginduksi sintesis
selulase adalah selulosa, turunan selulosa, selobiosa, soforosa, dan laktosa.
Penginduksi ini mempunyai fungsi ganda, dapat bertindak sebagai sumber karbon
untuk pertumbuhan sel dan sebagai penginduksi untuk sintesis selulase.
Penginduksi tidak boleh terhidrolisis maupun melakukan perubahan kimia sekali
mereka berada dalam sel. Sintesis selulase setelah induksi dapat dihambat oleh
adanya glukosa atau gula-gula lain dalam medium. Oleh karena itu, sintesis
selulase oleh mikroba diregulasi oleh mekanisme induksi-represi. Mekanisme
dasar dari regulasi sintesis selulase serupa dengan sistem enzim induksi yang telah
diketahui. Penginduksi akan bereaksi dengan protein represor di dalam sel menyebabkan derepresi sintesis selulase.
Diantara kapang selulolitik, Trichoderma merupakan kapang yang sangat
luas dipelajari karena kemampuannya menghasilkan enzim pendegradasi selulosa
dalam jumlah yang sangat besar. Salah satu galur kapang yang sangat potensial,
dapat menghasilkan selulase dalam jumlah besar dan digunakan secara komersial
adalah T. reesei (Sukumaran et al. 2005). Wen et al. (2005) menambahkan
kapang selulolitik T.reesei dan T.viride telah dipelajari secara luas dalam menghasilkan enzim selulase. Mandels dan Weber (1969) diacu dalam Kim et al.
(1997) menyatakan bahwa selulase yang dihasilkan Aspergilus fumigatus (A.
fumigatus) lebih sensitif terhadap gaya penguntingan (shear stress) dibandingkan
enzim yang diproduksi oleh T. reesei. Ahamed dan Vermette (2009) menyatakan
T. reesei secara luas telah digunakan dalam industri fermentasi dan menjadi
sumber yang utama dari enzim selulase dan metabolisme lainnya.
T. reesei adalah tipe kapang mesophilic dimana merupakan kapang yang
membentuk filamen.
Komponen utama dari sistem enzim selulase T. reesei
adalah tipe kedua dari enzim selobiohidrolase yang dinamakan CBH I dan CBH
II, dengan jumlah total mencapai 80% dari total protein selulase yang dihasilkan
(Lynd et al. 2002 diacu dalam Anonim 2009).
Bakare et al (2005) melaporkan bahwa aktifitas selulase dari P.
flourescens diatur oleh represi katabolik. Hampir seluruh produksi selulase dari
strain yang diuji menurun dengan kehadiran glukosa. Pada penelitian pengaruh
19
sumber karbon dalam menghasilkan selulase oleh Chinedu et al. (2007), diketahui
serbuk geraji merupakan sumber kabon yang baik sebagai induser produksi
selulase dari P. chrysogenum PCL501. Material limbah yang mengandung
selulosa ini dapat dijadikan sumber karbon yang murah untuk produksi selulase.
2.5 Bioetanol
Etanol atau etil alkohol merupakan senyawa yang memiliki gugus
hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon. Etanol mempunyai sifat mudah
terbakar dan mudah menguap. Etanol dapat dihasilkan melalui sintesa dari minyak
bumi ataupun dengan fermentasi bahan yang mengandung gula. Bioetanol adalah
etanol yang diproduksi dari sumber daya hayati dengan cara fermentasi menggunakan bantuan S. cerevisiae. Etanol memiliki berat jenis 0.7937 g/ml (t = 15.56
o
C); titik didih 78.32 oC pada tekanan 766 mmHg. Sifat kimia dari etanol adalah
larut dalam air dan eter, mempunyai panas pembakaran 328 Kkal (Paturau 1981).
Bioetanol adalah salah satu dari biofuel. Boetanol (C2H5OH) merupakan
cairan biokimia yang dihasilkan melalui proses fermentasi gula dari sumber
karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme Ristek (2006). Campuran
bioetanol dengan bensin (premium) dikenal dengan istilah gasohol. Etanol
berdasarkan kadar alkoholnya terbagi menjadi tiga grade yaitu grade industri
dengan kadar alkohol 90-95%, netral dengan kadar alkohol 96-99.5% (umumnya
digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi), dan grade bahan bakar
dengan kadar alkohol di atas 99.5-100%.
Secara tradisional telah berhasil dilakukan konversi bahan lignoselulosa
dan bahan berpati menjadi glukosa melalui aktifitas enzim. Pati melalui proses
hidrolisis dengan bantuan asam maupun kerja enzim dapat menghasilkan glukosa
(gula sederhana). Gula sederhana selanjutnya dikonversi menjadi etanol dengan
peran Saccharomyces sp dan Zymomonas mobilis (Z. mobilis).
Chemiawan (2007) menyatakan bahwa mikroorganisme yang dapat
digunakan untuk fermentasi alkohol adalah: (1) Bakteri; Clostridium acetobutylicum (C. acetoutyilicum), Klebsiella pneumoniae (K. pneumoniae), Leuconostoc mesentroides (L. mesentroides), dan Z. mobilis, (2) Kapang; A. oryzae,
Endomyces lactis (E. lactis), Kloeckera sp., Kluyreromyces fragilis (K. fragilis),
20
Mucor sp., Neurospora crassa (N. crassa), Rhizopus sp., Saccharomyces beticus
(S. beticus), S. cerevisiae, Saccharomyces ellipsoideus (S. elipsoides), Saccharomyces oviformis (S. oviformis), Saccharomyces saki (S. saki), dan Torula sp.
Proses perubahan dari berbagai sumber bahan baku menjadi etanol
(bioetanol) yang biasa dilakukan dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.
Gula
Pati
Bahan
Lignoselulosa
Penanakan
Pengolahan
awal
Sakarifikasi
(hidrolisis)
ringan
Sakarifikasi
(hidrolisis)
berat
Fermentasi
alkoholik dan
pemisahan
Etanol
Stillage
Gambar 8 Tahap-tahap proses pembuatan etanol dari bahan baku yang berbeda-beda (Soerawidjaja 2006).
S. cerevisiae yang merupakan khamir yang paling populer dalam pengolahan makanan memproduksi alkohol dari bahan pati dan gula (Paturau 1981).
Menurut Rehm dan Reed (1981), S. cerevisiae sering dipakai pada fermentasi
etanol karena menghasilkan kadar etanol yang tinggi, toleran terhadap kadar
etanol yang tinggi, maupun pada suhu tinggi, tetap stabil selama kondisi
fermentasi, dan dapat bertahan hidup pada pH rendah.
S. cereviseae mempunyai sistem metabolisme gula secara anaerobik yang
efisien, toleransi terhadap inhibitor pada substrat industri lebih baik dari mikroorganisme lainnya (Olsson et al. 1992; Olsson dan Hahn-Hagerdal 1993), dan
21
memfermentasi heksosa yang sangat banyak dari hidrolisat lignoselulosa seperti
glukosa, manosa, dan galaktosa dengan produktifitas dan hasil yang tinggi. S.
cerevisiae tidak mampu memfermentasi xilosa (Prasad et al. 2007). S. cerevisiae
dapat menfermentasi glukosa, manosa, fruktosa, dan galaktosa dalam kondisi
anaerob dan pH rendah (Van Maris et al. 2006).
Pada proses fermentasi etanol, khamir akan melakukan metabolisme
glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur
Embden-Meyerhof-Parnas (EMP) atau glikolisis (Gambar 9). Jalur EMP ini
terdiri dari beberapa tahap, dimana masing-masing tahap dikatalis oleh enzim
tertentu. Jalur tersebut ditandai dengan pembentukan fruktosa difosfat, dilanjutkan dengan pemecahan fruktosa difosfat menjadi dua molekul gliseraldehida
fosfat. Reaksi ini dikatalis oleh enzim aldolase. Kemudian terjadi reaksi
dehidrogenasi gliseraldehida fosfat (fosfogliseraldehida) yang merupakan reaksi
oksidasi yang menghasilkan energi dalam bentuk adenin-tri-phosphat (ATP).
Reaksi ini dikatalis oleh enzim gliseraldehida fosfat dehidrogenase.
Atom
hidrogen yang terlepas akan ditangkap oleh nikotinamida-adenin-dinukleotida
(NAD) membentuk NADH2.
Proses fermentasi dapat berlangsung terus jika
NADH2 dapat dioksidasi kembali pada tahap kedua fermentasi sehingga
melepaskan atom hidrogen kembali. NAD berfungsi sebagai pembawa hidrogen
dalam proses fermentasi (Doelle 1981).
Asam piruvat yang dihasilkan kemudian didekarboksilasi menjadi asetaldehida,
lalu mengalami dehidrogenasi sehingga terkonversi menjadi etanol
(Amerine et al. 1987). Pemecahan asam piruvat menjadi etanol terjadi melalui
reaksi berikut:
CO2
CH3COCO2H
asam piruvat
NADH
CH3CHO
asetaldehida
H+ + NAD+
C2H5OH
etanol
22
Gambar 9 Jalur Embden-Meyerhof-Parnas (Doelle 1981).
Amerine et al. (1987) menyatakan monomer gula dapat diubah secara
anaerobik menjadi alkohol oleh bermacam-macam mikroba.
Secara teoritis,
setiap molekul glukosa diubah menjadi 2 molekul etanol dan 2 molekul CO2
menurut persamaan Gay Lussac seperti berikut:
C6H12O6
2 C2H5OH
glukosa
etanol
+
2 CO2
karbondioksida
atau dalam dasar berat, 51.1% gula diubah menjadi etanol, dan 48.9% diubah
menjadi karbondioksida.
Akan tetapi pada kenyataannya hasil tersebut tidak
23
dapat tercapai karena adanya hasil sampingan, berupa penggunaan gula untuk
pertumbuhan dan metabolisme khamir.
Waktu yang dibutuhkan untuk fermentasi etanol adalah antara 3-7 hari
(Presscot dan Dunn 1981). Etanol dengan kadar sekitar 5% (v/v) dapat mempengaruhi aktivitas khamir, tetapi etanol berantai panjang dengan kadar di atas 5%
(v/v) akan menghambat aktivitas khamir tersebut (Reed dan Peppler
1973).
Etanol dengan konsentrasi tinggi merupakan racun bagi khamir. Etanol pada konsentrasi tinggi dapat mendenaturasi protein dan melarutkan lemak, sehingga dinding sel khamir menjadi rusak dan selanjutnya khamir akan mati (Fiecther 1982).
2.6 Analisis Nilai Tambah
Nilai tambah adalah pertambahan nilai yang terjadi karena suatu komoditi
mengalami proses pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan dalam suatu
proses produksi (penggunaan/pemberian input fungsional).
Gittinger (1986)
menyatakan bahwa nilai tambah (added value) adalah jumlah nilai ekonomi yang
ditimbulkan oleh kegiatan yang diselenggarakan di dalam masing-masing satuan
produksi di dalam perekonomian. Ditambahkan Sa’id dan Intan (2000) nilai
tambah agroindustri adalah nilai yang tercipta dari kegiatan mengubah input
pertanian menjadi produk pertanian atau yang tercipta dari kegiatan mengolah
hasil pertanian menjadi produk akhir.
Aktifitas produksi bukan hanya mengubah satuan input menjadi output,
tetapi ada aktifitas peningkatan nilai tambah yang dilakukan oleh para pelaku
industri dan komponennya (Gaspersz 1999). Hayami et al. (1987) menyatakan
nilai tambah dipengaruhi oleh faktor teknis dan non teknis.
Informasi atau
keluaran yang diperoleh dari hasil analisis nilai tambah adalah besarnya nilai
tambah, rasio nilai tambah, marjin, dan balas jasa yang diterima oleh pemilikpemilik faktor produksi.
Analisis nilai tambah produk dapat dihitung menggunakan metode Hayami
(Hayami et al. 1987), dalam metode tersebut dijelaskan bahwa untuk
meningkatkan nilai tambah suatu produk terdapat tiga komponen pendukung
yaitu: faktor konversi yang menunjukan output persatuan input, faktor tenaga
kerja, dan faktor nilai produk.
24
Nilai Tambah
Pada metode Hayami secara matematis, fungsi nilai tambah (NT) dapat
dirumuskan sebagai berikut:
NT = f (K, B, T, H, U, h, L)
Keterangan:
K = kapasitas produksi (kg)
B = jumlah bahan baku yang digunakan (kg)
T = jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan (orang)
H = harga output (Rp/kg)
U = upah kerja (Rp)
h = harga bahan baku (Rp/kg)
L = nilai input lain (Rp)
Perhitungan nilai tambah secara umum adalah sebagai berikut:
NT = NO – NI
Keterangan:
NT = nilai tambah (Rp/kg)
NO = nilai ouput (NO = Y × H)
J
Keterangan:
Y = jumlah produksi (kg)
H = harga ouput (Rp/kg)
J = jumlah bahan baku (kg)
NI = nilai input (NI = ha + hb)
J
Keterangan:
ha = harga bahan baku (Rp)
hb = harga bahan pendukung lainnya (Rp)
J = jumlah bahan baku (kg)
Download