7 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sagu dan Ampas Sagu Sagu (Metroxylon sagu Rottb) merupakan tanaman asli Indonesia yang diyakini berasal dari daerah sekitar danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Selain di Indonesia, sagu ditemukan dibeberapa negara lain seperti Papua New Guinea, Malaysia, Thailand, dan Philipina (Ruddle et al. 1978). Sagu tumbuh baik pada lahan marginal seperti gambut, rawa, payau, atau lahan tergenang di mana tanaman lain tidak mampu tumbuh (Bintoro 2008). Flach (1997) dan Balitbanghut (2005) melaporkan areal sagu di Indonesia umumnya tersebar di Papua, Maluku, Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Diperkirakan 90% areal sagu Indonesia berada di Papua. Lahan sagu berupa hutan sagu terdapat sebesar 1.250 juta ha dengan lahan sagu semi budidaya terdapat sekitar 148 ribu ha. Lahan semi budi daya ini tersebar di wilayah kepulauan Riau, Mentawai, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua (Lampiran 1). Bintoro (2011) lebih lanjut melaporkan bahwa distribusi areal sagu di Indonesia adalah 1.250 juta ha areal berupa hutan sagu dengan 158 ribu ha berupa lahan semi budidaya. Potensi luas areal tumbuhan sagu yang dilaporkan di Indonesia sangat bervariasi antara sumber yang satu dengan yang lain pada wilayah yang sama. Hasil studi dari kompilasi luas areal yang ditumbuhi sagu di Indonesia, dari berbagai sumber menunjukkan adanya keragaman yang sangat besar (Mulyanto dan Suwardi 2000). Di daerah Papua luas areal sagu berkisar antara 800 ribu ha sampai dengan 4.1 juta ha. Perbedaan luas areal bisa mencapai 4 kali lipat pada wilayah yang sama, atau terdapat perbedaan lebih dari 3 juta ha. Di Provinsi Kepulauan Maluku selisih antara sumber yang satu dengan lainnya sekitar 15 ribu ha. Batang sagu berbentuk silinder dan merupakan bagian yang terpenting karena sebagai gudang penyimpanan pati/karbohidrat. Pada umur 3-11 tahun tinggi batang bebas daun sekitar 3-16 m, bahkan mencapai tinggi 20 m. Diameter batang sagu sekitar 50 cm bahkan dapat mencapai 80-100 cm, umumnya diamater 8 bagian bawah lebih besar dan mengandung pati tinggi dibandingkan dengan bagian atas (Alfon dan Bustaman 2005). Batang sagu terdiri atas lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur (pith) yang mengandung serat dan pati. Berat kulit batang sagu sekitar 17-25% dari berat batang, sedangkan berat empulurnya sekitar 7583%. Perbandingan antara berat kulit dan empulur selama pertumbuhan sagu relatif sama (Alfon dan Bustaman 2005). Djoefrie (2003) menyatakan, pengolahan batang sagu menjadi pati sagu hanya 16-28%. Hasil ikutan pengolahan sagu berupa kulit batang dan ampas sekitar 72%, merupakan limbah yang belum termanfaatkan secara optimal dan dapat menimbulkan pencemaran (Syakir 2005). Menurut Flach (1983), komposisi bagian pohon sagu dari bagian korteks hingga bagian ampas sagu adalah sebagai berikut: Tabel 1 Rataan komposisi pohon sagu Komponen Total Berat Segar (kg) Batang 1 250 Korteks 400 Empulur 850 Pati 250 Air 425 Ampas 175 Sumber: Flach (1983) Perbandingan terhadap Total Berat Segar (%) 100 32 68 20 34 14 Perbandingan terhadap Empulur Segar (%) 100 29 50 21 Ekstraksi sagu secara tradisional menghasilkan tepung sagu basah maksimal 150 kg/hari, rendemen hasil hanya 20-26% (Alfon dan Bustaman 2005). Ramalatu (1981) melaporkan bahwa perbandingan pati dan residu ampas sagu dari proses ekstraksi adalah 1 : 6. Teti et al. (1989) menyatakan bahwa biomassa limbah sagu (ampas) merupakan bahan organik yang cukup banyak terbuang setelah pengolahan sagu, yaitu dari 1 ton bahan empulur sagu dapat diperoleh limbah 800 kg. Limbah hasil ekstraksi tepung sagu belum dimanfaatkan secara optimal. Menurut Kurnia (1991) limbah hasil olahan tepung sagu berupa bagian kulit dan ampas sagu dapat mencapai 85%. Limbah ampas sagu ini apabila tidak dikelola dengan baik akan merusak lingkungan, terutama daerah aliran sungai (tempat 9 pengolahan tepung sagu). Limbah ini dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik, media tumbuh tanaman, maupun mikroorganisme (Bintoro 1999). Sampai saat ini ampas sagu belum banyak dimanfaakan sehingga cukup banyak yang dibuang begitu saja sebagai limbah (Mubyarto dan Winahyu 1992). Ampas sagu adalah bahan seratan bagian dalam pohon sagu yang dibuang setelah diambil patinya. Analisis nutrisi ampas sagu dari genus Metroxylon yang dilakukan Bintoro (1990) dilaporkan sebagai berikut: protein kasar 0.62%, lemak 0.4%, abu 4.65%, pati 72.45%, dan ADF 13.42%. Menurut analisis Hangewa (1992) komposisi komponen ampas sagu adalah sebagai berikut: protein kasar 2.3%, serat kasar 18.86%, BETN 70.04%, dan gross energi 4148 Kkal. Rumawas et al. (1996) menambahkan, limbah sagu mengandung 53.92% C, 0.045 N, 0.02% P, 0.69% K, 1-3% Ca, 0.01% Mg, 22.1% selulosa, dan 14.3% hemiselulosa. Pengujian mikroskopik mengambarkan sejumlah besar pati terperangkap dalam matrik lignoselulosa (Chew dan Shim 1993). Penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan pemanfaatan limbah sagu meliputi: penelitian ampas sagu sebagai substrat untuk menghasilkan laccase lewat fermentasi substrat padat menggunakan Pleurotur sojur-caju (P. Sojur-caju) (Kumaran et al. 1997). Akmar dan Kenedy (2001) melaporkan penelitian tentang potensial limbah batang sagu dan batang sawit sebagai sumber karbohidrat. Karakterisasi fraksi dan bagian polisakarida non pati serta lignin dari empulur sagu dilaporkan oleh Sun et al. (1999). Penelitian konversi limbah serat sagu dalam fermentasi gula lewat hidrolisis asam dan enzimatik dilakukan Kumoro et al. (2008). Singhal et al. (2008) melakukan penelitian tentang kapang termofilik Myceliophthora thermophita (M. thermophita) dan kapang mesofilik Clara sp serta Neurospora sitophila (N. sitophila) yang keseluruhannya menghasilkan enzim yang signifikan secara ekonomi seperti selulase, amilase, dan enzim pengurai pati kasar glukoamilase yang tumbuh pada bermacam substrat termasuk ampas sagu. Mishima et al. (2011) melaporkan telah menghasilkan glukosa dari residu sagu menggunakan enzim Kleitase T10S. Linggang et al. (2011) menyatakan telah memproduksi biobutanol dari residu ampas sagu. Selanjutnya Awg Adenil et al. (2011) melaporkan telah berhasil melakukan fermentasi bioetanol dari glukosa hasil hidrolisis ampas sagu secara enzimatik. 10 2.2 Perlakuan Awal (Pretreatment) dan Lignoselulosa Biomassa tanaman terutama disusun oleh selulosa, hemiselulosa, lignin, dan sejumlah kecil pektin, protein, ekstraktif, dan abu. Selulosa, hemiselulosa, dan lignin hadir dalam jumlah bervariasi pada bagian yang berbeda dari tanaman, secara kuat berasosiasi membentuk kerangka struktural dari dinding sel tanaman (Jorgensen et al. 2007). Pretreatment pada sumber bahan berlignoselulosa umumnya dilakukan untuk mendorong terjadinya konversi enzimatik dari selulosa menjadi glukosa dan gula sederhana lainnya dengan mudah. Teknologi perlakuan awal secara steam explosion dapat mengatasi pengerasan kembali biomassa selulotik sehingga selulosa dan hemiselulosa dapat tersedia bagi konversi secara enzimatik menjadi gula untuk fermentasi (Anonim 2008). Penguraian lignoselulosa dapat melewati tahapan delignifikasi. Dalam pretreatment menggunakan uap panas, material dipanaskan secara cepat dengan steam pada 180-210 oC selama 1-10 menit. Pelakuan pemecahan atau degradasi dengan uap panas tanpa penambahan asam sebagai katalis telah digunakan untuk pretreatment material pertanian seperti jerami, tongkol jagung, dan kayu keras. Secara umum diketahui bahwa penambahan atau meresapkan material dengan H2SO4 atau bahan mengandung SO2 (0.3 sampai 3% w/w) dapat menurunkan waktu dan temperatur, dimana pada waktu yang sama meningkatkan recovery, menurunkan pembentukan inhibitor, dan memperbaiki hidrolisis enzimatik (Ballesteros et al. 2003; Varga et al. 2004; Sassner et al. 2006). Seluruh teknologi pretreatment yang ada secara umum bertumpu pada prinsip pemanasan material pada temperatur 100-200 oC. Pretreatment pada temperatur yang lebih rendah dapat mendorong pemisahan/pelarutan bahan tertentu yang berikatan dengan bahan lignoselulosa. Material lignoselulosa mengandung gula polimer pada selulosa dan hemiselulosa, yang dapat dibebaskan lewat hidrolisis dan selanjutnya difermentasi menjadi etanol oleh mikroorganisme seperti S. cerevisiae (Palmgvist dan HahnHagerdal 2000). Selulosa adalah bagian terbesar dari komponen lignoselulosa tanaman dan sebagai komponen utama penyusun dinding sel tanaman selain hemiselulosa dan lignin (Lehninger 1982). Selulosa, konstituen utama dari dinding sel tanaman, merupakan homopolisakarida yang disusun seluruhnya oleh 11 D-glukosa dengan ikatan β-1-4-glukosidik pada suatu derajat polimerisasi di atas 10.000 atau lebih. Secara fisik dan kimia selulosa tersusun rapat di dalam dinding sel tanaman dan sebagai polimer tunggal dengan bobot molekul tinggi, apabila dalam jumlah yang berlebih dalam tanaman akan membentuk struktur dasar dari dinding sel tanaman tersebut (McDonald et al. 2002). Gambar 1 Struktur kimia selulosa (Anonim 2010a). Hemiselulosa didefenisikan sebagai polisakarida pada dinding sel tanaman yang larut dalam alkali serta menyatu dengan selulosa. Komponen utama struktur hemiselulosa adalah unit D-glukosa, D-galaktosa, D-manosa, D-xilosa, dan Larabinosa yang terbentuk secara bersama dalam kombinasi yang berbeda dan ikatan glikosidik bermacam-macam (McDonald et al. 2002). Hemiselulosa berbeda dengan selulosa dalam hubungan keterikatannya dengan lignin. Hemiselulosa terikat lebih erat dengan lignin dibanding dengan selulosa. Kondisi inilah yang menyebabkan selulosa lebih mudah dicerna dibandingkan hemiselulosa. Gambar 2 Struktur hemiselulosa (Anonim 2010b). Lignin merupakan lapisan protektif pada struktur selulosa-hemiselulosa dan jaringan tanaman selama pertumbuhan. Lignin menjadi penghalang hidrolisis selulosa, karena lignin berperan sebagai pelindung selulosa terhadap serangan enzim pemecah selulosa (Enari 1983). 12 Mosier et al. (2005) menyatakan proses pretreatment diperlukan untuk merusak struktur biomassa yang mengandung selulosa atau ikatan lignin pada lignoselulosa. Hal ini akan membuat selulosa terbebaskan dan lebih mudah dikonversi oleh enzim dari bentuk polimer karbohidrat menjadi gula yang dapat difermentsi, seperti yang jelaskan Gambar 3. Lignin Selulosa Bagian Amorpous Pretreatment Bagian Kristalin Hemiselulosa Gambar 3 Skema dari proses pretreatment bahan lignoselulosa (Hsu et al. 1980 diacu dalam Mosier et al. 2005). 2.3 Hidrolisis Pati Ampas Sagu Pati merupakan sumber polisakarida kedua setelah selulosa yang jumlahnya melimpah pada tanaman. Pati dikumpulkan di dalam kloroplas dan kromatofora, disimpan sebagai suatu cadangan energi pada akar, biji, dan akar umbi sebagai suatu partikel kecil yang dikenal dengan granula (Betancur dan Chel 1997). Pati merupakan butiran atau granula yang berwarna putih mengkilat, tidak berbau, dan tidak mempunyai rasa (Brautlecht 1953). Pada dasarnya pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α–glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi yang larut dalam air disebut amilosa dan fraksi yang tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur linear dengan ikatan α-1,4-D-glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-1,6-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Davidson 1967). Ikatan α-1,6 sukar diputuskan, apalagi jika dihidrolisis menggunakan katalisator asam. Pati sagu mengandung 27% amilosa dan 73% amilopektin (Wirakartakusumah et al. 1984). 13 Gambar 4 Struktur kimia amilosa (Hart dan Schmetz 1972). Gambar 5 Struktur kimia amilopektin (Hart dan Schmetz 1972). Metode physical dengan air panas (hidrotermal) adalah penerapan kondisi pretreatment secara fisik (panas) yang telah berhasil pada bahan berlignoselulosa. Metode ini dapat digunakan untuk pemisahan pati dan memperbaiki proses gelatinisasi pada ampas sagu sehingga dihasilkan gula pereduksi yang lebih besar diakhir proses. Suhu gelatinisasi pada pati juga tergantung pada konsentrasi suspensi pati, semakin tinggi konsentrasi larutan (suspensi) pati, suhu gelatinisasi semakin lambat tercapai. Suhu gelatinisasi tiap jenis pati berbeda-beda, antara 52 o C sampai 78 oC. Knight (1986) menyatakan suhu gelatinisasi pati sagu sekitar 60-72 oC, sedangkan menurut Wirakartakusumah et al. (1984), suhu gelatinisasi pati sagu sekitar 72-90 oC. Hidrolisat pati (sirup glukosa) didefinisikan sebagai cairan jernih dan kental yang komponen utamanya glukosa yang diperoleh dari proses hidrolisis pati (Standar Industri Indonesia 1981). Metode yang umum dilakukan untuk menghidrolisis pati menjadi glukosa dapat dilakukan dengan bantuan asam atau enzim pada waktu, suhu, dan pH tertentu. Berbagai cara hidrolisis pati telah banyak dikembangkan diantaranya yaitu hidrolisis asam, hidrolisis enzim, dan kombinasi asam dan enzim (Tjokroadikoesomo 1986). 14 2.3.1 Hidrolisis Enzimatik Pada umumnya pembuatan hidrolisat dari pati sagu melalui hidrolisis enzimatik. Terdapat tiga tahapan hidrolisis enzimatik yaitu: tahap gelatinisasi, likuifikasi, dan sakarifikasi. Tahap gelatinisasi merupakan pembentukan suspensi kental dari granula pati, tahap likuifikasi yaitu proses hidrolisis pati parsial yang ditandai dengan menurunnya viskositas dan sakarifikasi yaitu proses lebih lanjut dari hidrolisis untuk menghasilkan glukosa. Pada tahap likuifikasi terjadi pemecahan ikatan α-1,4 glikosidik oleh enzim α-amilase pada bagian dalam rantai polisakarida secara acak sehingga dihasilkan glukosa, maltosa, maltodekstrin dan α-limit dekstrin. Pada likuifikasi pati α-amilase yang biasa digunakan adalah yang memiliki aktifitas tinggi, sehingga dosis enzim yang digunakan sekitar 0.50.6 kg/ton pati atau 1500 U/kg substrat kering. Enzim α-amilase komersial dibuat oleh Novo, antara lain dengan nama Termamyl yang memiliki ketahanan terhadap suhu sekitar 95-110 oC. Stabilitas Termamyl tergantung pada suhu, konsentrasi Ca2+, kandungan ion, dan ekuivalen dekstrosa (Chaplin dan Buckle 1990). α-amilase (α-1,4-glucan-4-glucohydrolase, EC 3.2.1.1) adalah enzim yang mengkatalisis hidrolisa ikatan α-1,4-glikosidik dalam polisakarida dan hasil degradasinya (Robyt dan Whelan 1968). Pada proses liquifikasi, α-amilase hanya akan memecah ikatan α-1,4 yang terdapat pada amilosa menghasilkan polimer yang dikenal sebagai dekstrin. Ikatan 1,6 dalam amilopektin tidak bisa dihidrolisis oleh enzim ini (Meyer 1973). Ditambahkan Kulp (1975), α-amilse pada amilopektin menghasilkan glukosa, maltosa, dan oligosakarida dengan jumlah monomer 4 atau lebih yang semuanya mempunyai ikatan α-1,6-glikosidik. Keterangan: : Lokasi pemutusan ikatan α-1,4 glikosidik oleh α-amilase Gambar 6 Pemutusan ikatan glikosidik pada pati oleh α-amilase (Tegge 1984). 15 Setelah terjadi likuifikasi, selanjutnya bahan akan mengalami proses sakarafikasi oleh enzim amiloglukosidase. Amiloglukosidase merupakan eksoenzim yang terutama memecah ikatan α-(1,4) dan α-(1,6) secara lambat dengan melepaskan unit-unit glukosa dari ujung non reduksi molekul amilosa dan amilopektin untuk memproduksi 6-D-Glukosa. Pada kondisi yang sesuai, enzim amiloglukosidase ditambahkan dengan dosis berkisar 1.65-1.80 liter enzim per ton pati dengan dosis sebesar 200 U/kg pati (Chaplin dan Buckle 1990). Nama trivial lain yang sering digunakan pada enzim tipe ini adalah amiloglukosidase, glukoamilase dan gamma–amilase. Enzim kapang yang mempunyai spesifikasi ini dan sering disebut juga amiloglukosidase dan glukoamilase. Glukoamilase tersusun dari asam amino yang umum tetapi sedikit mengandung asam amino bersulfur dan relatif tinggi jumlah asam amino yang mempunyai gugus hidroksi dan karboksilat. Glukoamilase dari Aspergillus niger (A. niger) merupakan glikoprotein yang mengandung D-manosa serta sejumlah kecil D-glukosida dan D-galaktosa (Pazur 1965). Keterangan: : Lokasi pemutusan ikatan α-1,4 dan α-1,6 glikosidik oleh gukoamilase Gambar 7 Pemutusan ikatan glikosidik pada pati oleh glukoamilse (Tegge 1984). Bagian berpati dari ampas sagu dapat dihidrolisis (konversi) menjadi glukosa oleh adanya aktifitas enzim glukoamilase. Glukoamilase (α-1,4-glukanglukohidrolase) (EC 3.2.1.3) adalah suatu enzim pengurai dari sisi luar, dimana memisahkan glukosa dari bagian akhir non reduksi suatu polimer pati. Enzim ini dapat dihasilkan oleh A. niger dan A. awamori yang secara terpisah dimurnikan dengan teknik kromatografi konvensional. Glukoamilase atau yang biasa disebut amiloglukosidase mampu memecah ikatan α-1-4 dalam amilosa, amilopektin, dan 16 glikogen dari ujung gula non pereduksi (Manunjat et al. 1983). Enzim ini juga dapat menghidrolisis ikatan α-1-6 meskipun pemecahannya lambat. 2.3.2 Hidrolisis Asam Hidrolisis asam dapat digunakan untuk memecah komponen polisakarida menjadi monomer-monomer. Proses hidrolisis yang sempurna akan memecah selulosa dan pati menjadi glukosa, sedangkan hemiselulosa akan terpecah menjadi pentosa dan heksosa. Asam sulfat (H2SO4) dan asam klorida (HCl) merupakan asam yang dapat digunakan sebagai katalis dalam proses hidrolisis. Tjokroadikoesoemo (1986) menyatakan pada bahan mengandung pati, hidrolisis merupakan proses pemecahan (penguraian) pati menjadi unit-unit monomer gula. Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan bantuan asam atau dengan enzim pada waktu, suhu, dan pH tertentu. Beberapa polisakarida biasanya terhidrolisis oleh asam mineral, seperti H2SO4 dan HCl. Selain asam mineral, asam-asam organik seperti asam oksalat, asam trikloroasetat, dan asam trifluoroasetat juga dapat dimanfaatkan sebagai katalis dalam proses hidrolisis pati. Hidrolisis asam merupakan proses yang berlangsung secara acak dan tidak terpengaruh dengan adanya ikatan α-1,6-glikosidik. Pemotongan rantai pati oleh asam tidak teratur dibandingkan pemotongan rantai oleh enzim, sehingga hasilnya adalah campuran antara dekstrin, maltosa, dan glukosa (Chaplin dan Buckle 1990). Kelemahan dari hidrolisis asam adalah timbulnya senyawa inhibitor seperti hidroksimetil furfural (HMF) dan furfural yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme dalam proses fermentasi untuk menghasilkan etanol. Suhu, waktu, dan konsentrasi asam yang digunakan selama proses hidrolisis sangat mempengaruhi proses terbentuknya komponen HMF dan furfural (Palmqvist dan Hagerdal 2000). Keuntungan hidrolisis asam adalah waktu proses lebih singkat, teknologi sederhana, pengaturan kondisi proses yang lebih mudah, dan biaya yang lebih murah karena tidak melibatkan enzim. Lebih lanjut Taherzadeh dan Karimi (2007) menyatakan bahwa bahan yang mengandung lignoselulosa pada hidrolisis asam dikelompokkan menjadi dua yaitu hidrolisis dengan konsentrasi tinggi dan konsentrasi rendah. Kelemahan penggunaan hidrolisis asam dengan konsentrasi tinggi adalah jumlah asam yang 17 digunakan sangat banyak, potensi korosi pada peralatan produksi, penggunaan energi yang tinggi untuk proses daur ulang asam, dan terbentuk produk samping yang tidak diharapkan seperti furfural dan HMF. Kelemahan penggunaan asam dengan konsentrasi rendah antara lain membutuhkan suhu tinggi dalam proses operasinya, potensi korosi pada peralatan produksi terutama alat yang terbuat dari besi, dan juga pembentukan produk samping yang tidak diharapkan seperti furfural dan HMF. Alves et al. (1998) menyatakan bahwa HMF pada konsentrasi 1 g/L, sudah cukup untuk menghambat pertumbuhan S. cerevisiae pada proses fermentasi. Perlakuan detoksifikasi HMF secara fisik menggunakan arang aktif dapat dilakukan (Converti et al. 1999). Detoksifikasi dengan arang aktif sangat baik karena merupakan bahan berbiaya rendah dengan kapasitas menyerap senyawa yang tinggi (Mussato dan Roberto 2003). Pada bahan berlignoselulosa, hemiselulosa merupakan komponen yang paling mudah terhidrolisis oleh asam yang akan terdegradasi menjadi xilosa, manosa, asam asetat, galaktosa dengan sejumlah kecil ramnosa, asam glukorunat, dan asam galakturonat (Sjostrom 1993). Selulosa akan terdegradasi menjadi glukosa. Pada suhu dan tekanan yang tinggi glukosa, galaktosa, dan manosa terdegradasi menjadi HMF serta xilosa menjadi furfural. Komponen fenol dapat terbentuk dari lignin yang terpecah sebagian dan juga selama proses degradasi karbohidrat (Palmqvist dan Hagerdal 2000). Penggunaan H2SO4 1 M pada suhu 80-120 oC selama 30-240 menit telah dapat menghidrolisis gula dari golongan pentosa yang umumnya terdapat dalam fraksi hemiselulosa. Asam dengan konsentrasi lebih tinggi yaitu 5-20 M H2SO4 dengan suhu 180 oC telah dapat menghidrolisis gula yang berasal dari golongan heksosa seperti selulosa (Purwadi 2006). 2.4 Selulase Suatu sistem enzim selulosik mengandung tiga komponen enzim utama yaitu: exo-1,4-β-D-glucan cellobiohydrolase, memotong dari akhir rantai-rantai selulosa menjadi unit-unit selobiose; endo-1,4-β-D-glucanase, berfungsi memecah ikatan glukosidik secara internal; dan 1,4-β-D-glucosidase, berperan memotong selooligosakarida menjadi unit-unit glukosa (Jorgensen et al. 2007). Gong dan 18 Tsao (1979) menyatakan selulase ekstraseluler dapat diproduksi oleh organisme bila ada substrat tertentu dalam medium pertumbuhannya. Penginduksi sintesis selulase adalah selulosa, turunan selulosa, selobiosa, soforosa, dan laktosa. Penginduksi ini mempunyai fungsi ganda, dapat bertindak sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan sel dan sebagai penginduksi untuk sintesis selulase. Penginduksi tidak boleh terhidrolisis maupun melakukan perubahan kimia sekali mereka berada dalam sel. Sintesis selulase setelah induksi dapat dihambat oleh adanya glukosa atau gula-gula lain dalam medium. Oleh karena itu, sintesis selulase oleh mikroba diregulasi oleh mekanisme induksi-represi. Mekanisme dasar dari regulasi sintesis selulase serupa dengan sistem enzim induksi yang telah diketahui. Penginduksi akan bereaksi dengan protein represor di dalam sel menyebabkan derepresi sintesis selulase. Diantara kapang selulolitik, Trichoderma merupakan kapang yang sangat luas dipelajari karena kemampuannya menghasilkan enzim pendegradasi selulosa dalam jumlah yang sangat besar. Salah satu galur kapang yang sangat potensial, dapat menghasilkan selulase dalam jumlah besar dan digunakan secara komersial adalah T. reesei (Sukumaran et al. 2005). Wen et al. (2005) menambahkan kapang selulolitik T.reesei dan T.viride telah dipelajari secara luas dalam menghasilkan enzim selulase. Mandels dan Weber (1969) diacu dalam Kim et al. (1997) menyatakan bahwa selulase yang dihasilkan Aspergilus fumigatus (A. fumigatus) lebih sensitif terhadap gaya penguntingan (shear stress) dibandingkan enzim yang diproduksi oleh T. reesei. Ahamed dan Vermette (2009) menyatakan T. reesei secara luas telah digunakan dalam industri fermentasi dan menjadi sumber yang utama dari enzim selulase dan metabolisme lainnya. T. reesei adalah tipe kapang mesophilic dimana merupakan kapang yang membentuk filamen. Komponen utama dari sistem enzim selulase T. reesei adalah tipe kedua dari enzim selobiohidrolase yang dinamakan CBH I dan CBH II, dengan jumlah total mencapai 80% dari total protein selulase yang dihasilkan (Lynd et al. 2002 diacu dalam Anonim 2009). Bakare et al (2005) melaporkan bahwa aktifitas selulase dari P. flourescens diatur oleh represi katabolik. Hampir seluruh produksi selulase dari strain yang diuji menurun dengan kehadiran glukosa. Pada penelitian pengaruh 19 sumber karbon dalam menghasilkan selulase oleh Chinedu et al. (2007), diketahui serbuk geraji merupakan sumber kabon yang baik sebagai induser produksi selulase dari P. chrysogenum PCL501. Material limbah yang mengandung selulosa ini dapat dijadikan sumber karbon yang murah untuk produksi selulase. 2.5 Bioetanol Etanol atau etil alkohol merupakan senyawa yang memiliki gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon. Etanol mempunyai sifat mudah terbakar dan mudah menguap. Etanol dapat dihasilkan melalui sintesa dari minyak bumi ataupun dengan fermentasi bahan yang mengandung gula. Bioetanol adalah etanol yang diproduksi dari sumber daya hayati dengan cara fermentasi menggunakan bantuan S. cerevisiae. Etanol memiliki berat jenis 0.7937 g/ml (t = 15.56 o C); titik didih 78.32 oC pada tekanan 766 mmHg. Sifat kimia dari etanol adalah larut dalam air dan eter, mempunyai panas pembakaran 328 Kkal (Paturau 1981). Bioetanol adalah salah satu dari biofuel. Boetanol (C2H5OH) merupakan cairan biokimia yang dihasilkan melalui proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme Ristek (2006). Campuran bioetanol dengan bensin (premium) dikenal dengan istilah gasohol. Etanol berdasarkan kadar alkoholnya terbagi menjadi tiga grade yaitu grade industri dengan kadar alkohol 90-95%, netral dengan kadar alkohol 96-99.5% (umumnya digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi), dan grade bahan bakar dengan kadar alkohol di atas 99.5-100%. Secara tradisional telah berhasil dilakukan konversi bahan lignoselulosa dan bahan berpati menjadi glukosa melalui aktifitas enzim. Pati melalui proses hidrolisis dengan bantuan asam maupun kerja enzim dapat menghasilkan glukosa (gula sederhana). Gula sederhana selanjutnya dikonversi menjadi etanol dengan peran Saccharomyces sp dan Zymomonas mobilis (Z. mobilis). Chemiawan (2007) menyatakan bahwa mikroorganisme yang dapat digunakan untuk fermentasi alkohol adalah: (1) Bakteri; Clostridium acetobutylicum (C. acetoutyilicum), Klebsiella pneumoniae (K. pneumoniae), Leuconostoc mesentroides (L. mesentroides), dan Z. mobilis, (2) Kapang; A. oryzae, Endomyces lactis (E. lactis), Kloeckera sp., Kluyreromyces fragilis (K. fragilis), 20 Mucor sp., Neurospora crassa (N. crassa), Rhizopus sp., Saccharomyces beticus (S. beticus), S. cerevisiae, Saccharomyces ellipsoideus (S. elipsoides), Saccharomyces oviformis (S. oviformis), Saccharomyces saki (S. saki), dan Torula sp. Proses perubahan dari berbagai sumber bahan baku menjadi etanol (bioetanol) yang biasa dilakukan dapat dilihat pada Gambar 8 berikut. Gula Pati Bahan Lignoselulosa Penanakan Pengolahan awal Sakarifikasi (hidrolisis) ringan Sakarifikasi (hidrolisis) berat Fermentasi alkoholik dan pemisahan Etanol Stillage Gambar 8 Tahap-tahap proses pembuatan etanol dari bahan baku yang berbeda-beda (Soerawidjaja 2006). S. cerevisiae yang merupakan khamir yang paling populer dalam pengolahan makanan memproduksi alkohol dari bahan pati dan gula (Paturau 1981). Menurut Rehm dan Reed (1981), S. cerevisiae sering dipakai pada fermentasi etanol karena menghasilkan kadar etanol yang tinggi, toleran terhadap kadar etanol yang tinggi, maupun pada suhu tinggi, tetap stabil selama kondisi fermentasi, dan dapat bertahan hidup pada pH rendah. S. cereviseae mempunyai sistem metabolisme gula secara anaerobik yang efisien, toleransi terhadap inhibitor pada substrat industri lebih baik dari mikroorganisme lainnya (Olsson et al. 1992; Olsson dan Hahn-Hagerdal 1993), dan 21 memfermentasi heksosa yang sangat banyak dari hidrolisat lignoselulosa seperti glukosa, manosa, dan galaktosa dengan produktifitas dan hasil yang tinggi. S. cerevisiae tidak mampu memfermentasi xilosa (Prasad et al. 2007). S. cerevisiae dapat menfermentasi glukosa, manosa, fruktosa, dan galaktosa dalam kondisi anaerob dan pH rendah (Van Maris et al. 2006). Pada proses fermentasi etanol, khamir akan melakukan metabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-Meyerhof-Parnas (EMP) atau glikolisis (Gambar 9). Jalur EMP ini terdiri dari beberapa tahap, dimana masing-masing tahap dikatalis oleh enzim tertentu. Jalur tersebut ditandai dengan pembentukan fruktosa difosfat, dilanjutkan dengan pemecahan fruktosa difosfat menjadi dua molekul gliseraldehida fosfat. Reaksi ini dikatalis oleh enzim aldolase. Kemudian terjadi reaksi dehidrogenasi gliseraldehida fosfat (fosfogliseraldehida) yang merupakan reaksi oksidasi yang menghasilkan energi dalam bentuk adenin-tri-phosphat (ATP). Reaksi ini dikatalis oleh enzim gliseraldehida fosfat dehidrogenase. Atom hidrogen yang terlepas akan ditangkap oleh nikotinamida-adenin-dinukleotida (NAD) membentuk NADH2. Proses fermentasi dapat berlangsung terus jika NADH2 dapat dioksidasi kembali pada tahap kedua fermentasi sehingga melepaskan atom hidrogen kembali. NAD berfungsi sebagai pembawa hidrogen dalam proses fermentasi (Doelle 1981). Asam piruvat yang dihasilkan kemudian didekarboksilasi menjadi asetaldehida, lalu mengalami dehidrogenasi sehingga terkonversi menjadi etanol (Amerine et al. 1987). Pemecahan asam piruvat menjadi etanol terjadi melalui reaksi berikut: CO2 CH3COCO2H asam piruvat NADH CH3CHO asetaldehida H+ + NAD+ C2H5OH etanol 22 Gambar 9 Jalur Embden-Meyerhof-Parnas (Doelle 1981). Amerine et al. (1987) menyatakan monomer gula dapat diubah secara anaerobik menjadi alkohol oleh bermacam-macam mikroba. Secara teoritis, setiap molekul glukosa diubah menjadi 2 molekul etanol dan 2 molekul CO2 menurut persamaan Gay Lussac seperti berikut: C6H12O6 2 C2H5OH glukosa etanol + 2 CO2 karbondioksida atau dalam dasar berat, 51.1% gula diubah menjadi etanol, dan 48.9% diubah menjadi karbondioksida. Akan tetapi pada kenyataannya hasil tersebut tidak 23 dapat tercapai karena adanya hasil sampingan, berupa penggunaan gula untuk pertumbuhan dan metabolisme khamir. Waktu yang dibutuhkan untuk fermentasi etanol adalah antara 3-7 hari (Presscot dan Dunn 1981). Etanol dengan kadar sekitar 5% (v/v) dapat mempengaruhi aktivitas khamir, tetapi etanol berantai panjang dengan kadar di atas 5% (v/v) akan menghambat aktivitas khamir tersebut (Reed dan Peppler 1973). Etanol dengan konsentrasi tinggi merupakan racun bagi khamir. Etanol pada konsentrasi tinggi dapat mendenaturasi protein dan melarutkan lemak, sehingga dinding sel khamir menjadi rusak dan selanjutnya khamir akan mati (Fiecther 1982). 2.6 Analisis Nilai Tambah Nilai tambah adalah pertambahan nilai yang terjadi karena suatu komoditi mengalami proses pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan dalam suatu proses produksi (penggunaan/pemberian input fungsional). Gittinger (1986) menyatakan bahwa nilai tambah (added value) adalah jumlah nilai ekonomi yang ditimbulkan oleh kegiatan yang diselenggarakan di dalam masing-masing satuan produksi di dalam perekonomian. Ditambahkan Sa’id dan Intan (2000) nilai tambah agroindustri adalah nilai yang tercipta dari kegiatan mengubah input pertanian menjadi produk pertanian atau yang tercipta dari kegiatan mengolah hasil pertanian menjadi produk akhir. Aktifitas produksi bukan hanya mengubah satuan input menjadi output, tetapi ada aktifitas peningkatan nilai tambah yang dilakukan oleh para pelaku industri dan komponennya (Gaspersz 1999). Hayami et al. (1987) menyatakan nilai tambah dipengaruhi oleh faktor teknis dan non teknis. Informasi atau keluaran yang diperoleh dari hasil analisis nilai tambah adalah besarnya nilai tambah, rasio nilai tambah, marjin, dan balas jasa yang diterima oleh pemilikpemilik faktor produksi. Analisis nilai tambah produk dapat dihitung menggunakan metode Hayami (Hayami et al. 1987), dalam metode tersebut dijelaskan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah suatu produk terdapat tiga komponen pendukung yaitu: faktor konversi yang menunjukan output persatuan input, faktor tenaga kerja, dan faktor nilai produk. 24 Nilai Tambah Pada metode Hayami secara matematis, fungsi nilai tambah (NT) dapat dirumuskan sebagai berikut: NT = f (K, B, T, H, U, h, L) Keterangan: K = kapasitas produksi (kg) B = jumlah bahan baku yang digunakan (kg) T = jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan (orang) H = harga output (Rp/kg) U = upah kerja (Rp) h = harga bahan baku (Rp/kg) L = nilai input lain (Rp) Perhitungan nilai tambah secara umum adalah sebagai berikut: NT = NO – NI Keterangan: NT = nilai tambah (Rp/kg) NO = nilai ouput (NO = Y × H) J Keterangan: Y = jumlah produksi (kg) H = harga ouput (Rp/kg) J = jumlah bahan baku (kg) NI = nilai input (NI = ha + hb) J Keterangan: ha = harga bahan baku (Rp) hb = harga bahan pendukung lainnya (Rp) J = jumlah bahan baku (kg)