Laporan Kebijakan Moneter Triwulan I 2015 (2

advertisement
LAPORAN KEBIJAKAN MONETER
Triwulan I 2015
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2015 mengalami perlambatan, namun
stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan tetap terjaga. Perlambatan ekonomi
bersumber dari melambatnya kinerja konsumsi pemerintah dan investasi bangunan serta
masih lemahnya kinerja ekspor. Di sisi lain, stabilitas makroekonomi masih terjaga, yang
ditunjukkan dengan menurunnya defisit transaksi berjalan dan terkendalinya inflasi.
Sementara itu, nilai tukar relatif terkendali meskipun mengalami tekanan. Perkembangan
tersebut tidak terlepas dari dukungan kebijakan pengelolaan makroekonomi yang
dilakukan secara prudent dan konsisten. Kebijakan tersebut juga ditopang oleh koordinasi
dengan pemerintah, baik dalam pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan, serta
dalam rangka mendorong kebijakan yang bersifat struktural untuk memperkuat
fundamental perekonomian dalam jangka menengah-panjang. Ke depan, Bank Indonesia
memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan membaik dengan stabilitas makroekonomi
yang tetap terjaga. Namun, sejumlah risiko eksternal dan internal yang dapat menganggu
pencapaian stabilitas makro dan momentum pertumbuhan ekonomi perlu terus
diwaspadai. Menghadapi kondisi tersebut, respons kebijakan Bank Indonesia tetap fokus
pada upaya menjaga stabilitas makroekonomi dengan tetap mendukung
terpeliharanya momentum pertumbuhan ekonomi.
Pemulihan ekonomi global masih berjalan tidak seimbang dengan risiko di pasar
keuangan global yang masih tinggi. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan tidak secepat
perkiraan semula seiring lebih rendahnya prakiraan pertumbuhan ekonomi AS dan
Tiongkok. Prakiraan ekonomi AS tersebut didorong oleh melambatnya kegiatan produksi,
terutama akibat menurunnya permintaan eksternal sejalan dengan penguatan dolar AS
terhadap mata uang dunia. Perkembangan ini telah mendorong berlanjutnya
ketidakpastian waktu dan besarnya kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) di AS dan
tekanan pembalikan modal portofolio dari emerging markets. Perlambatan ekonomi juga
dialami Tiongkok yang ditandai oleh terus melemahnya sektor perumahan dan sektor
produksi manufaktur, walaupun berbagai kebijakan pelonggaran telah dilakukan untuk
menahan perlambatan ekonomi. Sebaliknya, perekonomian Eropa diperkirakan terus
membaik ditopang pelonggaran kondisi moneter dan keuangan serta dampak penurunan
harga minyak. Perekonomian dunia yang melambat berdampak pada harga komoditas
internasional yang masih terus menurun, meskipun harga minyak dunia mulai kembali
mengalami kenaikan.
Di sisi domestik, pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2015 melambat, namun
diperkirakan akan membaik pada triwulan-triwulan mendatang. Pertumbuhan pada
triwulan I 2015 tercatat sebesar 4,7% (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya
sebesar 5,0% (yoy). Hal ini terutama didorong lemahnya kinerja beberapa komponen
permintaan domestik terutama konsumsi pemerintah dan investasi pada sektor bangunan.
Belum terealisirnya belanja pada beberapa kementerian dan lembaga yang baru serta masih
terbatasnya belanja modal terkait dengan implementasi proyek-proyek infrastruktur
pemerintah mengakibatkan lemahnya kinerja konsumsi pemerintah dan investasi
bangunan. Secara spasial, perlambatan ekonomi pada triwulan I 2015 terjadi hampir
merata di seluruh wilayah Indonesia, baik di wilayah Jawa dan Jakarta, yang mengandalkan
sektor manufaktur, maupun wilayah Sumatera dan Kalimantan, daerah penghasil
Laporan Kebijakan Moneter|1
komoditas sumber daya alam. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan
membaik terutama pada semester II-2015, didukung oleh meningkatnya konsumsi dan
investasi sejalan dengan meningkatnya realisasi pengeluaran fiskal oleh pemerintah serta
meningkatnya penyaluran kredit oleh perbankan. Ke depan, percepatan realisasi belanja
Pemerintah baik di kementrian/lembaga dan untuk implementasi proyek-proyek
infrastruktur menjadi kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi 2015.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan I 2015 mencatat surplus,
terutama ditopang oleh menurunnya defisit transaksi berjalan. Defisit transaksi
berjalan tercatat sebesar 3,8 miliar dolar AS (1,8% PDB) pada triwulan I 2015, lebih rendah
dari triwulan sebelumnya sebesar 5,7 miliar dolar AS (2,6% PDB) dan triwulan yang sama
tahun sebelumnya sebesar 4,1 miliar dolar AS (1,9% PDB). Peningkatan kinerja transaksi
berjalan terutama ditopang oleh perbaikan neraca perdagangan migas, seiring dengan
menyusutnya impor minyak karena harga minyak dunia yang lebih rendah dan turunnya
konsumsi bahan bakar minyak (BBM) sebagai implikasi positif dari reformasi subsidi energi.
Sementara itu, neraca perdagangan Indonesia pada April 2015 menunjukkan
perkembangan yang positif dengan mencatat surplus sebesar 0,45 miliar dolar AS,
ditopang oleh kenaikan surplus neraca nonmigas. Di sisi lain, transaksi modal dan finansial
tetap mencatat surplus triwulan I 2015, di tengah meningkatnya ketidakpastian di pasar
keuangan global. Surplus transaksi modal dan finansial tersebut terutama ditopang oleh
aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi portofolio dan investasi langsung. Dengan
perkembangan tersebut, cadangan devisa pada akhir April 2015 tercatat sebesar 110,9
miliar dolar AS atau setara dengan 6,9 bulan impor atau 6,7 bulan impor dan pembayaran
utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar
3 bulan impor. Ke depan, Bank Indonesia akan terus mewaspadai risiko peningkatan defisit
transaksi berjalan seiring kenaikan impor menjelang lebaran, serta pola musiman
pembayaran Utang Luar Negeri dan dividen
Nilai tukar rupiah mengalami tekanan seiring penguatan dolar AS terhadap hampir
semua mata uang. Pada triwulan I 2015, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 4,4%
(qtq) ke level Rp12.807 per dolar AS. Penguatan dolar AS yang terjadi terhadap mayoritas
mata uang dunia ditopang oleh ekonomi AS yang membaik dan kebijakan QE ECB.
Namun, rupiah kembali menguat di bulan April 2015 sejalan dengan koreksi dolar AS dan
persepsi risiko perekonomian domestik yang membaik. Rupiah secara rata-rata menguat
0,95% (mtm) ke level Rp12.944 per dolar AS. Ke depan, Bank Indonesia terus menjaga
stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya, sehingga dapat mendukung
stabilitas makroekonomi yang terjaga dan penyesuaian ekonomi ke arah yang lebih sehat
dan berkesinambungan.
Inflasi pada April 2015 tetap terkendali dan mendukung pencapaian sasaran inflasi
2015 yakni 4,0±1%. Inflasi IHK bulan April 2015 tercatat sebesar 0,36% (mtm) atau
6,79% (yoy), meningkat dari 0,17% (mtm) dan 6,38% (yoy) di bulan sebelumnya.
Peningkatan tekanan inflasi bersumber dari kenaikan kelompok barang dan jasa yang
harganya diatur Pemerintah (administered prices), sementara tekanan inflasi yang
bersumber dari kelompok inti dan bahan makanan bergejolak (volatile food) relatif masih
terjaga. Peningkatan inflasi administered prices terutama didorong oleh kenaikan harga
bensin premium dan bensin solar di akhir bulan Maret 2015, tarif angkutan dalam kota,
serta bahan bakar rumah tangga. Sementara itu, kelompok volatile food secara bulanan
masih mencatat deflasi seiring dengan masa panen. Di sisi lain, inflasi inti relatif terjaga dan
tercatat sebesar 0,24% (mtm) atau 5,04% (yoy), seiring dengan permintaan domestik yang
masih moderat dan ekspektasi inflasi yang terkendali. Ke depan, Bank Indonesia akan terus
Laporan Kebijakan Moneter|2
mencermati berbagai faktor risiko yang memengaruhi inflasi, khususnya terkait dengan
perkembangan harga minyak dunia, penyesuaian administered prices, serta faktor musiman
menjelang Ramadhan dan lebaran.
Stabilitas sistem keuangan tetap solid ditopang oleh ketahanan sistem perbankan
dan relatif terjaganya kinerja pasar keuangan. Ketahanan industri perbankan tetap
kuat dengan risiko kredit, likuiditas dan pasar yang cukup terjaga, serta dukungan modal
yang kuat. Pada Maret 2015, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) masih
tinggi, sebesar 20,7%, jauh di atas ketentuan minimum 8%. Sementara itu, rasio kredit
bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah dan stabil di kisaran 2,4% (gross).
Kondisi likuiditas cukup memadai sebagaimana tercermin pada pertumbuhan DPK pada
Maret 2015 tercatat sebesar 16,0% (yoy), meningkat dari bulan sebelumnya sebesar
15,2% (yoy). Sementara itu, pertumbuhan kredit masih rendah yaitu tercatat 11,3% (yoy),
menurun dari bulan sebelumnya sebesar 12,2% (yoy). Ke depan, Bank Indonesia meyakini
pertumbuhan kredit akan meningkat dan diperkirakan dapat mendekati kisaran 15%-17%
didukung oleh cukup memadainya kondisi likuiditas perbankan, meningkatnya aktivitas
ekonomi sejalan dengan ekspansi keuangan Pemerintah, serta pelonggaran kebijakan
makroprudensial. Bank Indonesia segera merevisi ketentuan GWM-LDR dan berkoordinasi
dengan OJK melakukan revisi ketentuan LTV untuk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), serta
ketentuan pembayaran uang muka (down payment) untuk Kredit Kendaraan Bermotor
(KKB).
Ke depan, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan membaik
pada triwulan-triwulan mendatang dengan stabilitas makroekonomi yang terjaga.
Pertumbuhan ekonomi 2015 akan membaik, terutama pada semester II 2015, ditopang
oleh konsumsi serta investasi sejalan dengan meningkatnya realisasi proyek-proyek
infrastruktur dan meningkatnya penyaluran kredit perbankan. Sementara itu, ekspor
diprakirakan membaik secara gradual seiring dengan perbaikan ekonomi dunia yang
moderat. Sementara itu, inflasi 2015 diperkirakan masih akan berada di kisaran sasarannya
sebesar 4±1%. Terkendalinya inflasi sejalan dengan kebijakan moneter yang konsisten dan
koordinasi dengan Pemerintah yang berjalan baik. Di sisi keseimbangan eksternal, defisit
transaksi berjalan diperkirakan masih relatif terkendali dengan struktur yang lebih baik.
Bank Indonesia akan terus mencermati risiko perekonomian yang berasal dari
eksternal dan domestik. Dari sisi global, potensi risiko muncul dari PDB dunia yang
berpotensi tumbuh lebih rendah dari prakiraan apabila perekonomian AS tidak tumbuh
seperti yang diperkirakan dan perekonomian Tiongkok mengalami perlambatan yang lebih
dalam. Selain itu, risiko juga berasal dari kemungkinan harga komoditas internasional
turun lebih jauh dari prakiraan. Dari sisi pasar keuangan global, ketidakpastian waktu dan
besarnya kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) di AS maish akan menjadi risiko yang
perlu diwaspasai. Di sisi domestik, belanja pemerintah perlu dicermati karena akan
menentukan implementasi proyek-proyek infrastruktur yang dapat menjaga optimisme
terhadap prospek perekonomian.
Dengan mempertimbangkan kondisi terkini, serta prospek dan risiko
perekonomian ke depan, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 19
Mei 2015 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan
suku bunga Deposit Facility 5,50% dan Lending Facility pada level 8,00%.
Keputusan tersebut sejalan dengan stance kebijakan moneter yang cenderung ketat untuk
menjaga agar inflasi berada dalam sasaran 4±1% pada 2015 dan 2016, serta
mengarahkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat dalam kisaran 2,5-3%
terhadap PDB dalam jangka menengah. Sementara itu, untuk memelihara momentum
Laporan Kebijakan Moneter|3
pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia melonggarkan kebijakan makroprudensial melalui
revisi ketentuan GWM-LDR, ketentuan LTV untuk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), serta
ketentuan pembayaran uang muka (down payment) untuk Kredit Kendaraan Bermotor
(KKB). Bank Indonesia juga terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah tidak saja
dalam mengendalikan inflasi dan defisit transaksi berjalan, tetapi juga dalam mempercepat
stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, Bank Indonesia
mendukung upaya Pemerintah untuk mempercepat realisasi proyek-proyek infrastruktur
dan melanjutkan berbagai kebijakan struktural untuk menumbuhkan optimisme pelaku
ekonomi terhadap perbaikan prospek ekonomi Indonesia.
Laporan Kebijakan Moneter|4
halaman ini sengaja dikosongkan
Laporan Kebijakan Moneter|5
1
PERKEMBANGAN EKONOMI DAN
MONETER TERKINI
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2015 mengalami perlambatan, namun
stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan tetap terjaga. Perlambatan ekonomi
bersumber dari melambatnya kinerja beberapa komponen permintaan domestik, seperti
konsumsi pemerintah dan investasi bangunan. Sementara di sisi ekternal, ekspor masih
melemah. Di sisi lain, stabilitas makroekonomi masih terjaga yang ditunjukkan dengan
defisit transaksi berjalan yang menurun dan inflasi yang terkendali. Sementara itu, nilai
tukar relatif terkendali meskipun mengalami tekanan.
Perkembangan tersebut tidak terlepas dari dukungan kebijakan pengelolaan
makroekonomi yang dilakukan secara prudent dan konsisten. Hal itu tercermin pada
bauran kebijakan Bank Indonesia yang fokus pada upaya menjaga stabilitas makroekonomi.
Kebijakan tersebut juga ditopang oleh koordinasi dengan pemerintah, baik dalam
pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan, serta dalam rangka mendorong
kebijakan yang bersifat struktural untuk memperkuat fundamental perekonomian dalam
jangka menengah-panjang.
Perkembangan Ekonomi Dunia
Pemulihan ekonomi global masih berjalan tidak seimbang dengan risiko di pasar
keuangan global yang masih tinggi. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan tidak
secepat perkiraan semula seiring lebih rendahnya prakiraan pertumbuhan
ekonomi AS dan Tiongkok. Prakiraan ekonomi AS tersebut didorong oleh melambatnya
kegiatan produksi, terutama akibat menurunnya permintaan eksternal sejalan dengan
penguatan dolar AS terhadap mata uang dunia. Perkembangan ini telah mendorong
berlanjutnya ketidakpastian waktu dan besarnya kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR)
di AS dan tekanan pembalikan modal portofolio dari emerging markets. Perlambatan
ekonomi juga dialami Tiongkok yang ditandai oleh terus melemahnya sektor perumahan
dan sektor produksi manufaktur, walaupun berbagai kebijakan pelonggaran telah
dilakukan untuk menahan perlambatan ekonomi. Sebaliknya, perekonomian Eropa
diperkirakan terus membaik ditopang pelonggaran kondisi moneter dan keuangan serta
dampak penurunan harga minyak. Perekonomian dunia yang melambat berdampak pada
harga komoditas internasional yang masih terus menurun, meskipun harga minyak dunia
mulai kembali mengalami kenaikan.
Perekonomian AS diperkirakan tumbuh lebih rendah dari prakiraan semula.
Prakiraan ekonomi AS tersebut didorong oleh melambatnya kegiatan produksi, terutama
akibat menurunnya permintaan eksternal sejalan dengan penguatan dolar AS terhadap
mata uang dunia, yang berdampak pada penurunan ekspor (Grafik 1.1). Selain itu, cuaca
dingin yang menghambat rantai nilai produksi juga turut memperlambat kegiatan produksi
di AS. Hal ini tercermin dari menurunnya indeks produksi dan kapasitas utilisasi (Grafik 1.2).
Di sisi lain, peningkatan expenditure tidak setinggi peningkatan disposable income (Grafik
1.3). Hal tersebut mencerminkan dampak penurunan harga minyak terhadap peningkatan
konsumsi yang tidak sekuat prakiraan semula. Perkembangan kondisi ekonomi AS ini telah
Laporan Kebijakan Moneter|6
mendorong berlanjutnya ketidakpastian waktu dan besarnya kenaikan suku bunga Fed
Fund Rate (FFR) di AS.
Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekspor AS dan
Indeks Dolar AS
Grafik 1.2. Indeks Produksi AS
Grafik 1.3. Disposible Income dan Expenditure AS
Perekonomian Eropa diperkirakan terus membaik. Perbaikan tersebut ditopang oleh
pelonggaran kondisi moneter dan keuangan yang berdampak pada lebih rendahnya suku
bunga dan penyaluran kredit yang lebih mudah. Selain itu, penurunan harga minyak
berdampak pada meningkatnya permintaan domestik. Hal ini tercermin dari tingkat
keyakinan konsumen dan penjualan eceran yang terus meningkat (Grafik 1.4 dan 1.5).
Permintaan eksternal juga meningkat seiring dengan meningkatnya daya saing ekspor
sebagai dampak positif depresiasi Euro. Peningkatan permintaan berdampak pada
meningkatnya kegiatan produksi Eropa, tercermin dari tren perbaikan PMI komposit (Grafik
1.6). Perkembangan ini juga berdampak positif terhadap kondisi tenaga kerja dan
pertumbuhan ekonomi Eropa.
Grafik 1.4. Tingkat Keyakinan Konsumen
Eropa
Grafik 1.5. Penjualan Eceran Eropa
Laporan Kebijakan Moneter|7
Grafik 1.6. Perkembangan PMI Komposit dan PDB Eropa
Perekonomian Jepang tumbuh sesuai dengan prakiraan semula. Kinerja beberapa
indikator perekonomian Jepang cenderung bervariasi. Penjualan durables goods meningkat
dan tingkat keyakinan konsumen membaik, didukung oleh ekspektasi kenaikan gaji pada
negosiasi gaji tahunan (spring) dan dampak penurunan harga minyak (Grafik 1.7).
Sementara itu, pertumbuhan upah riil juga mulai membaik meskipun masih negatif.
Berbeda dengan indikator di sisi permintaan yang membaik, indikator produksi belum
menunjukkan tanda-tanda perbaikan, sementara indikator manufaktur PMI memasuki zona
kontraktif (Grafik 1.8). Untuk mendukung perekonomiannya, Bank of Japan (BOJ)
diperkirakan akan menambah target quantitative easing (QE) tahunan dari 80 triliun yen
menjadi 90 triliun yen.
Grafik 1.7. Tingkat Keyakinan Konsumen
Jepang
Grafik 1.8. Indeks Produksi dan PMI
Jepang
Perekonomian Tiongkok mengalami perlambatan. Kondisi ini ditandai oleh terus
melemahnya sektor perumahan yang berpengaruh pada menurunnya pertumbuhan
konsumsi baja dan aktivitas konstruksi (Grafik 1.9). Sementara itu, sektor produksi
manufaktur juga turut melemah, tercermin dari penurunan investasi aset tetap yang terjadi
semakin dalam sementara indeks produksi dan PMI berada dalam tren menurun (Grafik
1.10). Untuk menahan perlambatan ekonomi yang terjadi dan upaya mencapai target
pertumbuhan sekitar 7%, berbagai kebijakan pelonggaran telah dilakukan. Namun,
dampak dari kebijakan pelonggaran tersebut masih terbatas, tercermin pada masih
rendahnya pertumbuhan uang beredar dan kredit. Hal tersebut terjadi karena masih
besarnya beban utang sejalan dengan leverage korporasi yg masih tinggi.
Laporan Kebijakan Moneter|8
Grafik 1.9. Perkembangan Konsumsi
Baja dan Konstruksi Tiongkok
Grafik 1.10. Penjualan Ritel, Indeks
Produksi dan Investasi Aset Tetap
Tiongkok
Perekonomian India diperkirakan tumbuh lebih tinggi pada tahun 2015. Perkiraan
membaiknya perekonomian India terutama didukung oleh optimisme reformasi struktural
dan penurunan harga minyak (Grafik 1.11). Optimisme reformasi struktural oleh
Pemerintah tercermin pada peningkatan tingkat keyakinan bisnis (Grafik 1.12). Sejalan
dengan optimisme domestik, indikator produksi menunjukkan perbaikan, khususnya pada
sektor batu bara, listrik, pertambangan lain dan consumer goods. Selain itu, penjualan
mobil juga berada pada tren meningkat.
Sumber: Penelitian IMF dalam WEO April 2015
Grafik 1.11. Dampak Penurunan Harga
Minyak Terhadap PDB India
Grafik 1.12. Tingkat Keyakinan Bisnis
India
Perkembangan perekonomian dunia yang melambat berdampak pada harga
komoditas internasional yang masih terus menurun, meskipun harga minyak dunia
mulai kembali mengalami kenaikan. Penurunan harga terbesar terutama terjadi pada
komoditas batubara dan karet seiring dengan penurunan harga minyak. Selain itu,
penurunan harga batubara, tembaga, nikel, timah juga sejalan dengan pelemahan
permintaan Tiongkok. Di sisi lain, harga minyak mulai kembali mengalami kenaikan (Grafik
1.13). Kenaikan tersebut didorong oleh kekhawatiran gangguan keamanan di Yaman,
pelemahan USD, dan melambatnya peningkatan inventory minyak AS. Tren kenaikan harga
minyak juga dikonfirmasi oleh posisi net long managed money yang semakin tinggi (Grafik
1.14). Meskipun demikian, tren kenaikan harga akan berlangsung lambat karena besarnya
faktor-faktor yang menekan harga minyak untuk tetap berada di level rendah. Faktor
tersebut meliputi kondisi over supply masih terjadi hingga akhir 2015, penundaan
penyelesaian pengeboran sumur minyak di AS yang masih tinggi dan tingginya level
inventory minyak dunia.
Laporan Kebijakan Moneter|9
Grafik 1.13. Perkembangan Harga
Minyak Dunia
Grafik 1.14. Perkembangan Net Long
Managed Money
Di sisi pasar keuangan global, risiko di pasar keuangan global masih tinggi.
Perkembangan kondisi perekonomian AS telah mendorong berlanjutnya ketidakpastian
waktu dan besarnya kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) di AS dan tekanan
pembalikan modal portofolio dari emerging markets. Normalisasi Fed diprakirakan baru
akan terjadi paling cepat September 2015, dengan peluang tertinggi di Desember 2015.
Berdasarkan survei Bloomberg kepada 73 economists pada Mei 2015, sebagian besar
pelaku pasar memperkirakan kenaikan FFR paling cepat pada triwulan III 2015 sebesar 25
bps (Grafik 1.15). Sementara itu, Fed Fund futures menunjukkan bahwa terdapat 32%
kemungkinan FOMC akan mengumumkan suku bunga FFR sebesar 0,5% (naik 25 bps)
pada FOMC meeting Desember 2015 (Grafik 1.16). Di sisi lain, the Fed juga
mempertimbangkan faktor stabilitas sistem keuangan dalam proses pengambilan
keputusan normalisasi.
Grafik 1.15. Survei Bloomberg: Kenaikan
Fed Fund Rate
Grafik 1.16. Current Implied
Probabilities: Suku Bunga FFR
Pertumbuhan Ekonomi
Di sisi domestik, pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2015 melambat, namun
diperkirakan akan membaik pada triwulan-triwulan mendatang. Pertumbuhan pada
triwulan I 2015 tercatat sebesar 4,7% (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya
sebesar 5,0% (yoy). Hal ini terutama didorong lemahnya kinerja beberapa komponen
permintaan domestik terutama konsumsi pemerintah dan investasi pada sektor bangunan.
Belum terealisirnya belanja pada beberapa kementerian dan lembaga yang baru serta masih
terbatasnya belanja modal terkait dengan implementasi proyek-proyek infrastruktur
pemerintah mengakibatkan lemahnya kinerja konsumsi pemerintah dan investasi
bangunan. Secara spasial, perlambatan ekonomi pada triwulan I 2015 terjadi hampir
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 10
merata di seluruh wilayah Indonesia, baik di wilayah Jawa dan Jakarta, yang mengandalkan
sektor manufaktur, maupun wilayah Sumatera dan Kalimantan, daerah penghasil
komoditas sumber daya alam.
%Y-o-Y, Tahun Dasar 2010
Tabel 1.1
Pertumbuhan Ekonomi Sisi Pengeluaran (%,yoy)
Komponen
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi Pemerintah
Investasi
Ekspor
Impor
PDB
2014
2015
I
4.9
5.3
4.7
1.3
3.9
2.8
4.3
2.0
4.1
2.2
4.4
1.4
4.9
-4.5
1.0
-0.5
5.0
0.4
0.3
3.2
2.2
-2.2
5.1
5.0
4.9
5.0
5.0
4.7
2014
I
II
III
IV
5.7
5.5
5.1
6.1
5.5
-1.5
3.7
3.2
Sumber : BPS
Konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2015 tumbuh melambat terutama
didorong oleh melemahnya pendapatan. Melemahnya pendapatan tercermin dari
perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP), upah buruh tani riil, dan upah buruh bangunan riil
yang masih terkontraksi (Grafik 1.17). Perlambatan konsumsi rumah tangga tersebut
tercermin pada penjualan kendaraan bermotor yang masih mencatat kontraksi pada
triwulan I 2015 (Grafik 1.18). Selain itu, melambatnya konsumsi rumah tangga sejalan
dengan menurunnya keyakinan konsumen (Grafik 1.19).
Grafik 1.17. NTP, Upah Buruh Tani Riil,
dan Upah Buruh Bangunan Riil
Grafik 1.18. Penjualan Kendaraan
Bermotor
Grafik 1.19. Indeks Keyakinan Konsumen
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 11
Konsumsi pemerintah pada triwulan I 2015 tumbuh lebih rendah dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya disebabkan oleh realisasi belanja barang yang
melambat. Konsumsi pemerintah tercatat sebesar 2,2% (yoy), lebih rendah dibandingkan
dengan triwulan IV 2014 yang tumbuh sebesar 2,8% (yoy). Belum terealisirnya belanja
pada beberapa kementerian dan lembaga yang baru mengakibatkan penyerapan belanja
barang yang lebih rendah dibandingkan dengan pola historis triwulan I. Kondisi tersebut
berdampak pada lemahnya kinerja konsumsi pemerintah.
Dari komponen investasi, pertumbuhan tercatat sedikit lebih tinggi terutama
didorong oleh perbaikan kinerja investasi nonbangunan. Investasi kembali tumbuh
meningkat dari 4,3 (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 4,4% (yoy) pada triwulan I 2015.
Kinerja investasi tersebut didorong oleh aktivitas investasi nonbangunan yang meningkat,
sementara investasi bangunan tumbuh sedikit melambat (Grafik 1.20). Investasi
nonbangunan pada triwulan I 2015 tumbuh lebih baik bersumber dari kinerja positif
komponen mesin dan perlengkapan dengan kontraksi yang semakin menurun menjadi
-0,95% (yoy) dibandingkan dengan triwulan IV 2014 sebesar -9,07% (yoy). Sementara itu,
investasi bangunan melambat sejalan dengan indikator bangunan yang belum membaik,
sebagaimana tercermin pada penjualan semen yang menurun sepanjang triwulan I 2015
(Grafik 1.21). Hal ini dipengaruhi oleh sikap wait and see sektor swasta dan masih belum
berjalannya proyek-proyek pemerintah. Realisasi pembangunan proyek infrastruktur
pemerintah yang masih terbatas terkait dengan kendala administrasi, yakni perubahan
nomenklatur pada Kementerian.
Grafik 1.20. Pertumbuhan Investasi
Grafik 1.21. Indikator Investasi
Bangunan
Kinerja ekspor pada triwulan I 2015 masih terkontraksi, meskipun mengecil
ditopang oleh membaiknya ekspor pertambangan dan pertanian. Ekspor pada
triwulan I 2015 mencatat kontraksi 0,5% (yoy), lebih kecil dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya (-4,5%, yoy). Pertumbuhan ekspor riil yang membaik terutama didukung oleh
kinerja ekspor pertambangan dan pertanian yang meningkat (Grafik 1.22). Ekspor
pertambangan yang meningkat antara lain dipengaruhi oleh base effect terkait dengan
terbatasnya ekspor mineral pada triwulan I 2014 akibat pemberlakuan kebijakan ekspor
tambang mineral yang berlaku sejak bulan Januari 2014. Ekspor tambang (tembaga, nikel,
bauksit) yang sempat turun tajam pada triwulan I dan II 2014, berangsur membaik sejak
triwulan III 2014 seiring dengan realisasi ekspor oleh Freeport dan Newmont. Ekspor
komoditas pertanian juga tumbuh positif didorong oleh ekspor kopi dan buah-buahan. Di
sisi lain, ekspor manufaktur masih tumbuh melambat akibat penurunan ekspor karet
olahan, produk kimia, dan alat listrik. Hal ini sejalan dengan penurunan volume dan koreksi
harga.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 12
Merespons kinerja konsumsi yang melambat dan ekspor yang masih terkontraksi,
impor tumbuh negatif pada triwulan I 2015. Impor tercatat mengalami kontraksi
sebesar 2,2% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh
3,2% (yoy). Kinerja impor yang melemah terutama disumbang oleh impor barang modal
yang masih terkontraksi cukup besar, sejalan dengan penjualan alat berat domestik yang
masih tumbuh negatif akibat aktivitas bisnis pertambangan, sebagai pasar utama penjualan
alat berat, yang belum membaik. Namun demikian, impor barang modal mulai mengalami
kenaikan signifikan pada akhir triwulan I 2015 yang ditengarai sebagai langkah persiapan
pelaksanaan pembangunan infrastruktur (Grafik 1.23).
Grafik 1.22. Pertumbuhan Ekspor
Nonmigas Riil
Grafik 1.23. Pertumbuhan Impor
Nonmigas Riil
Dari sisi sektoral (lapangan usaha), perlambatan ekonomi pada triwulan I 2015
terjadi di hampir seluruh sektor ekonomi (Tabel 1.2). Sektor industri pengolahan
tumbuh melambat seiring dengan menurunnya permintaan ekspor dan masih lemahnya
permintaan domestik. Sektor pertambangan juga menurun, bersumber dari menurunnya
lifting migas dan produksi batubara. Di sisi lain, kinerja sektor pertanian, kehutanan dan
perikanan membaik bersumber dari perbaikan kinerja tanaman perkebunan dan perikanan.
Sementara itu, sebagian besar sektor nontradables juga tumbuh lebih rendah dari triwulan
sebelumnya. Sektor bangunan tumbuh melambat disebabkan oleh masih adanya sikap wait
and see sektor swasta dan masih belum berjalannya proyek-proyek pemerintah. Sektor
transportasi dan pergudangan melambat sejalan dengan melambatnya aktivitas
perekonomian. Sektor penyediaan akomodasi dan makan minum juga tumbuh melambat
seiring masih lemahnya konsumsi domestik dan impor yg turun lebih tajam dari perkiraan
semula. Selain itu, sektor keuangan, persewaan, dan jasa tumbuh melambat karena
melambatnya kinerja subsektor jasa keuangan, real estate, dan jasa perusahaan. Di sisi lain,
pertumbuhan sektor informasi dan komunikasi meningkat seiring diluncurkannya teknologi
broadband 4G-LTE meskipun masih dalam kapasitas terbatas.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 13
%Y-o-Y, Tahun Dasar 2010
Tabel 1.2
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sisi Lapangan Usaha (%,yoy)
Sektor
Pertanian, Kehutanan dan Perikanan
Pertambangan & Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas & Air Bersih
Pengadaan Air
Konstruksi
Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Motor
Transportasi dan Pergudangan
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
Informasi dan Komunikasi
Jasa Keuangan
Real Estat
Jasa Perusahaan
Administrasi Pemerintahan
Jasa Pendidikan
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Lainnya
Jasa Lainnya
PDB
Sumber : BPS
I
5.3
-2.0
4.5
3.3
3.6
7.2
6.1
8.4
6.5
9.8
3.2
4.7
10.3
2.9
5.2
7.7
8.4
5.1
2014
II
III
5.0
3.6
1.1
0.8
4.8
5.0
6.5
6.0
3.2
2.8
6.5
6.5
5.1
4.8
8.5
8.0
6.4
5.9
10.5
9.8
4.9
1.5
4.9
5.1
10.0
9.3
-2.5
2.6
5.4
7.3
8.5
9.9
9.5
9.5
5.0
4.9
IV
2.8
2.2
4.2
6.5
2.7
7.7
3.5
7.1
4.9
10.0
10.2
5.3
9.7
6.9
7.1
6.1
8.4
5.0
2014
4.2
0.5
4.6
5.6
3.0
7.0
4.8
8.0
5.9
10.0
4.9
5.0
9.8
2.5
6.3
8.0
8.9
5.0
2015
I
3.8
-2.3
3.9
1.5
2.3
6.0
3.7
6.3
3.6
10.5
7.6
5.3
7.4
4.7
5.9
7.3
8.0
4.7
Secara spasial, perlambatan ekonomi pada triwulan I 2015 terjadi hampir merata di
seluruh wilayah Indonesia, baik di wilayah Jawa dan Jakarta, yang mengandalkan
sektor manufaktur, maupun wilayah Sumatera dan Kalimantan, daerah penghasil
komoditas sumber daya alam (Gambar 1.1). Di Jawa (termasuk Jakarta), perlambatan
ekonomi terutama disebabkan oleh menurunnya kinerja industri pengolahan, sejalan
dengan melemahnya ekspor. Di wilayah Sumatera, penurunan kinerja pertambangan migas
di Provinsi Nangroe Aceh Darusalam dan Provinsi Riau menjadi faktor utama penyebab
kontraksi pertumbuhan ekonomi di kedua provinsi tersebut. Hal ini terkait dengan
berhentinya produksi gas alam di Aceh, dan lifting minyak bumi yang terus turun di Riau.
Sementara itu, perlambatan ekonomi nasional juga didorong oleh kontraksi ekonomi di
Provinsi Kalimantan Timur, terkait dengan pemburukan kinerja sektor batubara, yang
merupakan komoditas utama Kalimantan. Sebaliknya, perekonomian Sulampua Bali-Nusra
tumbuh lebih tinggi, dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, terkait dengan perbaikan
kinerja tambang tembaga di Papua dan Nusa Tenggara Barat. Gambar 1.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan I 2015
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 14
Neraca Pembayaran Indonesia
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan I 2015 mencatat surplus,
terutama ditopang oleh defisit transaksi berjalan yang menurun. Defisit Transaksi
Berjalan Triwulan I 2015 menurun, terutama didorong oleh menurunnya defisit neraca
migas. Defisit transaksi berjalan tercatat sebesar 3,8 miliar dolar AS (1,8% PDB) pada
triwulan I 2015, lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 5,7 miliar dolar AS (2,6%
PDB) (Grafik 1.24). Defisit tersebut juga lebih rendah dari defisit pada triwulan yang sama
pada 2014 sebesar 4,1 miliar dolar AS (1,9% PDB). Peningkatan kinerja transaksi berjalan
terutama ditopang oleh perbaikan neraca perdagangan migas seiring dengan menyusutnya
impor minyak karena harga minyak dunia yang lebih rendah dan turunnya konsumsi bahan
bakar minyak (BBM) sebagai dampak positif dari reformasi subsidi yang ditempuh
Pemerintah (Grafik 1.25). Di sisi nonmigas, surplus neraca perdagangan nonmigas tercatat
lebih rendah akibat turunnya ekspor nonmigas (-8,0% yoy) seiring dengan dalamnya
penurunan harga komoditas, meskipun impor nonmigas juga mencatat penurunan -3,7%
(yoy) di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang melambat. Perbaikan kinerja
transaksi berjalan juga disumbang oleh berkurangnya defisit neraca jasa mengikuti
turunnya impor barang, berkurangnya pengeluaran wisatawan nasional selama berkunjung
ke luar negeri, dan turunnya neraca pendapatan primer seiring dengan pola musimannya.
Grafik 1.24. Neraca Transaksi Berjalan
Grafik 1.25. Neraca Perdagangan
Neraca perdagangan Indonesia pada April 2015 menunjukkan perkembangan yang
positif dengan kembali mencatat surplus sebesar 0,45 miliar dolar AS, ditopang
oleh kenaikan surplus neraca nonmigas. Namun demikian, defisit neraca migas yang
meningkat mengakibatkan surplus neraca perdagangan tersebut lebih rendah
dibandingkan dengan surplus pada periode sebelumnya sebesar 1,02 miliar dolar AS
(Grafik 1.26). Kinerja neraca perdagangan April 2015 tersebut lebih baik dibandingkan
dengan kinerja pada April 2014 yang mencatat defisit sebesar 1,97 miliar dolar AS.
Kenaikan surplus neraca nonmigas dipengaruhi oleh penurunan impor nonmigas yang lebih
tajam dibandingkan dengan penurunan ekspor nonmigas. Penurunan ekspor nonmigas
didorong oleh turunnya ekspor bahan bakar mineral, mesin/peralatan listrik, dan
perhiasan/permata, sementara penurunan impor nonmigas didorong oleh penurunan impor
mesin dan peralatan mekanik, kendaraan bermotor dan bagiannya, dan pupuk. Di sisi lain,
kenaikan defisit migas dipengaruhi oleh penurunan ekspor migas yang disertai dengan
peningkatan impor migas. Perkembangan kinerja neraca perdagangan April 2015
diperkirakan akan berdampak positif pada kinerja transaksi berjalan triwulan II 2015.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 15
Sementara itu, di tengah meningkatnya ketidakpastian di pasar keuangan global,
Transaksi Modal dan Finansial triwulan I 2015 tetap surplus. Transaksi modal dan
finansial mencatat surplus pada triwulan I 2015, terutama ditopang oleh aliran masuk
modal asing dalam bentuk investasi portofolio dan investasi langsung (Grafik 1.27). Pada
investasi portofolio, secara akumulatif aliran masuk modal portofolio asing pada triwulan I
2015 lebih besar dari inflow pada triwulan IV 2014. Derasnya inflow pada triwulan I 2015
tersebut tidak hanya bersumber dari penerbitan surat berharga global oleh Pemerintah,
namun juga karena masih kuatnya pembelian investor asing terhadap surat berharga
negara berdenominasi rupiah dan saham pada periode Januari-Februari 2015. Di sisi lain,
aliran masuk investasi langsung pada triwulan I 2015 tercatat sebesar 5,3 miliar dolar AS.
Besarnya arus masuk investasi langsung tersebut mencerminkan kepercayaan investor
terhadap kondisi fundamental ekonomi Indonesia serta prospek pertumbuhan ekonomi ke
depan yang terjaga dengan baik. Namun, surplus transaksi modal dan finansial triwulan I
2015 lebih rendah dibandingkan dengan surplus triwulan sebelumnya yang mencapai 8,9
miliar dolar AS terutama karena meningkatnya penempatan simpanan sektor swasta di luar
negeri dan penarikan pinjaman luar negeri swasta yang lebih rendah.
Grafik 1.26. Neraca Perdagangan April
2015
Grafik 1.27. Neraca Transaksi Modal
dan Finansial
Perbaikan transaksi berjalan dan surplus transaksi modal dan finansial
menyebabkan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) triwulan I 2015 secara
keseluruhan surplus. NPI triwulan I 2015 mencatat surplus sebesar US$1,3 miliar (Grafik
1.28). Dengan perkembangan tersebut, posisi cadangan devisa pada akhir Maret 2015
tercatat sebesar US$111,6 miliar. Jumlah cadangan devisa ini cukup untuk membiayai
kebutuhan pembayaran impor dan utang luar negeri Pemerintah selama 6,6 bulan dan
berada di atas standar kecukupan internasional.
Pada akhir April 2015, posisi cadangan devisa Indonesia tercatat sebesar 110,9
miliar dolar AS, lebih rendah dibandingkan dengan posisi akhir Maret 2015 (Grafik
1.29). Peningkatan pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri Pemerintah dan
penggunaan devisa dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan
fundamentalnya mendorong turunnya posisi cadangan devisa tersebut. Namun demikian,
posisi cadangan devisa per akhir April 2015 masih cukup membiayai 6,9 bulan impor atau
6,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas
standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan
devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga
kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 16
Grafik 1.28. Neraca Pembayaran
Indonesia
Grafik 1.29. Perkembangan Cadangan
Devisa
Ke depan, Bank Indonesia akan terus mewaspadai risiko peningkatan defisit
transaksi berjalan seiring kenaikan impor menjelang lebaran, serta pola musiman
pembayaran Utang Luar Negeri dan dividen. Dalam jangka menengah-panjang, Bank
Indonesia berkeyakinan kinerja NPI akan semakin sehat sejalan dengan bauran kebijakan
moneter dan makroprudensial yang ditempuh Bank Indonesia serta penguatan koordinasi
kebijakan dengan Pemerintah dalam pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan serta
mendorong percepatan reformasi struktural.
Nilai Tukar Rupiah
Nilai tukar rupiah mengalami tekanan seiring penguatan dolar AS terhadap hampir
semua mata uang. Pada triwulan I 2015, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 4,4%
(qtq) ke level Rp12.807 per dolar AS. Sejalan dengan itu, secara point-to-point Rupiah
terdepresiasi sebesar 5,27% dan ditutup di level Rp.13.074 per USD (Grafik 1.30).
Penguatan dolar AS yang terjadi terhadap mayoritas mata uang dunia ditopang oleh
ekonomi AS yang membaik dan kebijakan Quantitative Easing ECB (Grafik 1.31).
Grafik 1.30. Nilai Tukar Rupiah
Grafik 1.31. Nilai Tukar Kawasan
Namun, rupiah kembali menguat di bulan April 2015 sejalan dengan koreksi dolar
AS dan persepsi risiko perekonomian domestik yang membaik. Rupiah secara ratarata menguat 0,95% (mtm) ke level Rp12.944 per dolar AS dari Rp.13.066 per USD pada
bulan Maret 2015. Sejalan dengan itu, secara point-to-point Rupiah terapresiasi 0,86% dan
ditutup di level Rp.12.963 per USD. Koreksi dolar AS sejalan dengan FOMC Fed pada bulan
Maret yang dinilai lebih dovish, dengan perkiraan kenaikan suku bunga bergeser menjadi
semester II-2015 (Grafik 1.32). Sementara perbaikan persepsi domestik ditopang oleh
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 17
membaiknya data ekonomi (trade balance dan inflasi) serta langkah yang diambil
pemerintah dan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai Rupiah.
Grafik 1.32. Dolar Index
Pada triwulan I 2015, nilai tukar mencatat peningkatan volatilitas, meskipun
kembali turun pada April 2015. Peningkatan volatilitas pada triwulan I 2015 juga dialami
oleh mata uang negara peers (Grafik 1.33). Pada April 2015, volatilitas rupiah turun sejalan
dengan upaya Bank Indonesia untuk menjaga nilai rupiah. Volatilitas rupiah pada April
2015 relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara peers seperti Real Brasil, Lira Turki,
Ringgit Malaysia, Rand Afrika Selatan, Dollar Singapura, Won Korea Selatan, dan Rupee
India (Grafik 1.34).
Grafik 1.33. Volatilitas Nilai Tukar
(Triwulanan)
Grafik 1.34. Volatilitas Nilai Tukar
(Bulanan)
Ke depan, Bank Indonesia terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan
fundamentalnya, sehingga dapat mendukung stabilitas makroekonomi yang terjaga dan
penyesuaian ekonomi ke arah yang lebih sehat dan berkesinambungan.
Inflasi
Inflasi pada triwulan I 2015 dan April 2015 tetap terkendali dan mendukung
pencapaian sasaran inflasi 2015 yakni 4,0±1%. Pada triwulan I 2015, IHK mencatat
deflasi sebesar -0,44% (qtq) atau 6,38% (yoy), menurun dibandingkan triwulan
sebelumnya sebesar 4,49% (qtq) atau 8,36% (yoy). Penurunan ini terutama didorong oleh
koreksi harga BBM pada bulan Januari dan dampak lanjutannya terhadap penurunan tarif
angkutan dalam kota. Selanjutnya, koreksi harga aneka cabai juga mendorong deflasi
kelompok volatile food di bulan Februari dan Maret. Perkembangan terkini menunjukkan
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 18
inflasi IHK bulan April 2015 tercatat sebesar 0,36% (mtm) atau 6,79% (yoy), meningkat
dari 0,17% (mtm) atau 6,38% (yoy) di bulan sebelumnya. Peningkatan tekanan inflasi
bersumber dari kenaikan kelompok barang dan jasa yang harganya diatur Pemerintah
(administered prices), sementara tekanan inflasi yang bersumber dari kelompok inti dan
bahan makanan bergejolak (volatile food) relatif masih terjaga. Inflasi inti relatif terjaga dan
tercatat sebesar 0,24% (mtm) atau 5,04% (yoy), seiring dengan permintaan domestik yang
masih moderat dan ekspektasi inflasi yang terkendali (Grafik 1.35).
Kelompok volatile food tercatat deflasi pada triwulan I 2015, terutama bersumber
dari meningkatnya pasokan beberapa komoditas pangan. Kelompok volatile food
tercatat deflasi sebesar -1,98% (qtq) atau 5,87% (yoy). Deflasi kelompok volatile food
didukung oleh tingginya pasokan aneka cabai sejalan dengan berlangsungnya panen raya
di sejumlah daerah sentra. Selain aneka cabai, melimpahnya pasokan pada komoditas
daging ayam dan telur ayam juga menyumbang penurunan inflasi volatile food.
Pada April 2015, deflasi kelompok volatile food terutama disebabkan oleh koreksi
harga beras, ikan segar, dan aneka cabai. Kelompok volatile food tercatat deflasi
sebesar -0,91% (mtm) atau 6,25% (yoy) (Grafik 1.36). Koreksi harga beras dan aneka cabai
didorong oleh peningkatan pasokan akibat berlangsungnya panen raya di daerah sentra.
Sementara komoditas ikan segar tercatat mengalami deflasi yang didorong oleh
peningkatan jumlah pasokan akibat cuaca yang mendukung.
Grafik 1.35
Perkembangan Inflasi Tahunan
Grafik 1.36
Pola Inflasi/Deflasi Volatile Food
Pada triwulan I 2015, kelompok administered prices mengalami deflasi terutama
didorong oleh koreksi harga BBM serta dampak lanjutannya terhadap angkutan
dalam kota. Kelompok administered prices tercatat deflasi sebesar -3,91% (qtq) atau
11,49% (yoy). Koreksi harga BBM terjadi pada Januari, yaitu pada tanggal 1 Januari 2015
harga bensin turun dari Rp8.500 per liter menjadi Rp7.600 per liter dan solar turun dari
Rp7.500 per liter menjadi Rp7.250 per liter. Selanjutnya, pada tanggal 14 Januari 2015
harga bensin kembali turun dari Rp7.600 per liter menjadi Rp6.600 per liter dan harga solar
turun dari Rp7.250 per liter menjadi Rp6.400 per liter.
Pada April 2015, inflasi administered prices mengalami peningkatan terutama
didorong oleh kenaikan harga bensin premium dan solar, tarif angkutan dalam
kota, serta bahan bakar rumah tangga. Kelompok administered prices tercatat
mengalami inflasi sebesar 1,88% (mtm) atau 13,26% (yoy) (Grafik 1.37). Penyesuaian
harga Premium RON 88 dan Solar pada 28 Maret memberikan tekanan pada inflasi
administered prices. Pemerintah melakukan penyesuaian harga Premium RON 88 dari
Rp6.800,-/liter menjadi Rp Rp7.300,-/liter untuk wilayah non-Jawa, Madura dan Bali
(Jamali) dan dari Rp6.900,-/liter menjadi Rp7.400,-/liter untuk wilayah Jamali. Pemerintah
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 19
juga melakukan penyesuaian harga Solar dari Rp6.400,-/liter menjadi Rp6.900,-/liter.
Sejalan dengan kenaikan harga BBM tersebut, tarif angkutan dalam kota di sejumlah
daerah turut mengalami kenaikan. Keputusan Pertamina untuk menaikkan harga LPG 12
kg per 1 April 2015 sebesar rata-rata Rp8.000 per tabung turut berdampak pada kenaikan
inflasi. Namun, inflasi yang lebih tinggi pada kelompok administered prices tertahan oleh
koreksi harga yang terjadi pada tarif listrik rumah tangga. Tarif listrik rumah tangga
menurun di bulan Maret yang tercatat penagihannya di bulan April, hal ini sejalan dengan
penerapan kebijakan tarif listrik sesuai mekanisme pasar (tariff adjustment), yang
diantaranya dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar dan harga minyak mentah (Indonesian
Crude Price) (Tabel 1.3).
Tabel 1.3. Penyumbang Inflasi
Administered Prices
No. Administered Prices (%,mtm)
Kontribusi (%,mtm)
Inflasi
Grafik 1.37. Inflasi Administered Prices
1
Bensin
5.76
0.22
2
Angkutan Dalam Kota
1.34
0.04
3
Bahan Bakar RT
1.73
0.03
4
Tarif Kereta Api
19.48
0.03
5
Angkutan Udara
3.07
0.02
6
Rokok Kretek Filter
0.81
0.01
7
Solar
6.88
0.01
Tarif Listrik
(0.19) (0.01)
Deflasi
1
Tekanan inflasi inti terkendali pada triwulan I 2015, sejalan dengan koreksi harga
komoditas global dan perlambatan ekonomi domestik. Inflasi inti tercatat sebesar
1,25% (qtq) atau 5,04% (yoy), sedikit lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya
sebesar 1,70% (qtq). Penurunan tekanan eksternal terutama didorong oleh penurunan
harga global di tengah tekanan pelemahan rupiah pada triwulan I 2015. Demikian pula
dengan permintaan domestik yang tumbuh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.
Pada bulan April 2015, inflasi inti relatif terjaga seiring dengan permintaan
domestik yang masih moderat dan penurunan harga komoditas global nonminyak.
Inflasi inti pada April 2015 tercatat sebesar 0,24% (mtm) atau 5,04% (yoy), menurun
dibandingkan bulan lalu sebesar 0,29% (mtm). Tekanan permintaan masih relatif moderat
seperti pertumbuhan penjualan eceran, Indeks Keyakinan Konsumen dan kapasitas
terpakai. Moderatnya tekanan domestik juga ditunjukkan oleh penurunan inflasi inti
nontraded, terutama pada kelompok nontraded food (Grafik 1.38). Dari sisi eksternal,
tekanan inflasi melambat seiring dengan penurunan harga komoditas global nonminyak di
tengah depresiasi rupiah. Hal itu tercermin dari IHIM (Indeks Harga Imported Inflation) yang
terkoreksi pada bulan April 2015 (Grafik 1.39).
Grafik 1.38. Inflasi Inti Nontraded
Grafik 1.39. Inflasi Inti Traded dan Faktor
Eksternal
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 20
Inflasi inti yang terkendali pada triwulan I 2015 dan bulan April 2015 turut
didukung oleh terkendalinya ekspektasi inflasi. Consensus Forecast triwulanan periode
Maret 2015 menunjukkan bahwa proyeksi inflasi IHK 2015 akhir tahun menurun
dibandingkan survei periode Desember 2014 (Grafik 1.40). Penurunan ekspektasi tersebut
diprakirakan terkait dengan beberapa kebijakan administered prices yang ditetapkan
pemerintah pada awal tahun, yaitu penurunan harga bensin dan solar sebanyak 2 kali serta
realisasi deflasi pangan pada awal tahun. Consensus Forecast bulanan edisi April 2015
menunjukkan bahwa inflasi tahun 2015 berada di tingkat yang sama dengan survei pada
bulan sebelumnya. Sementara itu, hasil Survei Penjualan Eceran dan Survei Konsumen
untuk 3 bulan yang akan datang menunjukkan peningkatan sejalan dengan
berlangsungnya faktor musiman puasa, lebaran, dan tahun ajaran baru (Grafik 1.41).
Grafik 1.40. Ekspektasi Inflasi
Consensus Forecast (Triwulanan)
Grafik 1.41. Ekspektasi Inflasi Konsumen
Meskipun inflasi pada triwulan I 2015 secara nasional terkendali, namun beberapa
daerah seperti Maluku, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara
mencatat inflasi yang tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Lebih tingginya inflasi
tahunan pada beberapa daerah tersebut disebabkan oleh kenaikan harga beras yang cukup
tinggi karena kendala pasokan dan penyaluran raskin, serta kenaikan harga ikan karena
kondisi cuaca yang tidak kondusif. Pada April 2015, tekanan inflasi yang meningkat terjadi
hampir merata di seluruh daerah. Inflasi tertinggi terjadi di wilayah Sumatera, diikuti oleh
Jawa. Selain penyesuaian harga administered prices, inflasi di daerah tersebut didorong
oleh kenaikan tarif angkutan udara, biaya kontrak rumah, serta peningkatan tarif kereta api
jarak jauh. Sementara inflasi di Kalimantan dan Sulampua-Bali-Nusra relatif lebih rendah
karena terdapat provinsi yang mengalami deflasi (Gambar 1.2).
Inflasi Nasional: 0,36% (mtm)
Inf>3,0% 2,0%<Inf≤3,0%
1%<Inf≤2%
0,5%<Inf≤1%
0%<Inf≤0,5%
Inf≤0%
Gambar 1.2. Peta Sebaran Inflasi IHK (%, mtm)
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 21
Dengan perkembangan tersebut, Bank Indonesia meyakini inflasi akan berada
dalam kisaran sasaran 4±1% pada tahun 2015. Ke depan, Bank Indonesia akan terus
mencermati berbagai faktor risiko yang memengaruhi inflasi, khususnya terkait dengan
perkembangan harga minyak dunia, penyesuaian administered prices dan dampak
pelemahan nilai tukar rupiah, serta faktor musiman menjelang Ramadhan, lebaran, dan
tahun ajaran baru. Dalam rangka menjaga inflasi tetap berada pada sasaran yang
ditetapkan, Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah
baik di tingkat pusat maupun daerah.
Perkembangan Moneter
Perkembangan suku bunga dan uang beredar masih sesuai dengan arah kebijakan
moneter yang ditempuh Bank Indonesia. Selama triwulan I 2015, rata-rata suku bunga
PUAB meningkat sementara suku bunga kredit perbankan relatif stabil. Perkembangan
tersebut memengaruhi dinamika likuiditas perekonomian, sebagaimana tercermin pada
likuiditas di PUAB dan perbankan yang terjaga.
Kondisi Pasar Uang Antar Bank (PUAB) pada triwulan I 2015 ditandai oleh
likuiditas yang tetap terjaga. Rata-rata suku bunga PUAB O/N mengalami sedikit
peningkatan dari 5,81% pada triwulan IV 2014 menjadi 5,84% pada triwulan I 2015
(Grafik 1.42). Suku bunga PUAB O/N sempat meningkat seiring langkah antisipatif
perbankan dalam menjaga kecukupan likuiditas terkait kondisi di sistem pembayaran. Ratarata posisi DF pada triwulan I turun dari Rp141,05 triliun menjadi Rp113,25 triliun. Namun,
kondisi likuiditas secara industri masih likuid yang terlihat dari masih tingginya likuiditas
overnight yang di tempatkan di DF. Rata-rata spread suku bunga max-min di PUAB
menurun dari 94 bps pada triwulan IV 2014 menjadi 27 bps triwulan I 2015 (Grafik 1.43).
Secara nominal, volume rata-rata PUAB total pada triwulan I 2015 tercatat naik menjadi
Rp11,00 triliun dari Rp10,44 triliun pada triwulan sebelumnya. Kenaikan volume PUAB total
lebih dikontribusi oleh kenaikan volume PUAB O/N yang naik dari Rp 6,37 triliun menjadi
Rp6,78 triliun.
Grafik 1.42. Koridor Suku Bunga
Operasional Moneter
9
8
7
7
6
6
5
Mar‐15
3
Dec‐14
4
Sep‐14
4
Jun‐14
5
Mar‐14
Mar‐14
Dec‐13
Sep‐13
Jun‐13
Mar‐13
3,0
%
LF Rate
BI Rate
8
Dec‐13
4,0
rPUAB O/N
DF Rate
Sep‐13
5,0
%
9
Jun‐13
6,0
Mar‐15
7,0
Dec‐14
8,0
Sep‐14
Vol PUAB O/N (RHS)
rPUAB O/N
Mar‐13
Rp T
175
155
135
115
rPUAB : 5.84% 95
75
Avg Posisi DF : Rp113,25 T 55
RRT Vol PUAB : Rp 11.00 T 35
15
(5)
Vol DF O/N (RHS)
rBI Rate
Jun‐14
%
9,0
Grafik 1.43. BI Rate, DF Rate dan suku
bunga PUAB ON
Suku bunga deposito perbankan menurun, sementara suku bunga kredit sedikit
meningkat. Suku bunga Rata-rata Tertimbang (RRT) deposito pada triwulan I 2015 masih
melanjutkan tren penurunan dari triwulan sebelumnya. Kondisi tersebut didorong oleh
penurunan BI Rate pada Februari 2015, serta semakin longgarnya likuiditas perbankan
seiring tingginya pertumbuhan DPK di atas pertumbuhan kredit yang melambat. RRT suku
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 22
bunga deposito turun dari 8,78% menjadi 8,62% yang disumbang oleh penurunan suku
bunga deposito pada hampir semua tenor, kecuali tenor 12 bulan. Sementara itu, suku
bunga RRT kredit pada triwulan I 2015 tercatat di level 12,99% atau meningkat
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yakni sebesar 12,95% (Grafik 1.44). Kenaikan
suku bunga RRT kredit terutama disumbang oleh kenaikan suku bunga Kredit Konsumsi
(KK), dari 13,58% menjadi 13,68%, dan suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK), dari
12,79% menjadi 12,82%. Sementara itu, suku bunga Kredit Investasi (KI) turun dari
12,36% menjadi 12,32%. Dengan perkembangan tersebut, spread antara suku bunga
kredit dan deposito pada triwulan I 2015 meningkat menjadi 437 bps dari 417 bps (Grafik
1.45).
Likuiditas perekonomian (M2) pada triwulan I 2015 mengalami peningkatan
didorong oleh peningkatan uang kuasi dan M1 (Giro). Pertumbuhan M2 pada
triwulan I 2015 meningkat menjadi 16,26% (yoy) dari 11,88% (yoy) pada triwulan
sebelumnya. Berdasarkan komponennya, peningkatan M2 bersumber dari kenaikan
pertumbuhan uang kuasi, dari 13,80% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 17,60% (yoy)
pada triwulan I 2015, dan kenaikan pertumbuhan M1, dari 6,22% (yoy) pada triwulan IV
2014 menjadi 12,19% (yoy) pada triwulan I 2015. Peningkatan M1 tersebut didorong oleh
peningkatan simpanan giro rupiah yang tumbuh dari 7,28% (yoy) pada triwulan IV 2014
menjadi 20,90% (yoy) pada triwulan I 2015. Sementara, komponen M1 lainnya yaitu uang
kartal terus mengalami perlambatan pada triwulan I 2015 menjadi 1,2 % (yoy) dari 4,9 %
(yoy) pada triwulan sebelumnya, sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi
(Grafik 1.46 dan 1.47).
14
%
%
12.99
13
7
6
12
11
10
9
8
Spread Kredit‐Dep (rhs)
5
Selisih rKredit ‐ rDepo: 437 bps
BI Rate
LPS Rate
4
8.62
RRT Sb Deposito
3
RRT Sb Kredit
2
7
1
6
0
Dec‐12
Jan‐13
Feb‐13
Mar‐13
Apr‐13
May‐13
Jun‐13
Jul‐13
Aug‐13
Sep‐13
Oct‐13
Nov‐13
Dec‐13
Jan‐14
Feb‐14
Mar‐14
Apr‐14
May‐14
Jun‐14
Jul‐14
Aug‐14
Sep‐14
Oct‐14
Nov‐14
Dec‐14
Jan‐15
Feb‐15
Mar‐15
5
Grafik 1.44. Suku Bunga Kredit: KMK, KI
dan KK
Grafik 1.45. Spread Suku Bunga
Perbankan
Grafik 1.46. Pertumbuhan M2 dan
Komponennya
Grafik 1.47. Pertumbuhan M1 dan
Komponennya
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 23
Berdasarkan faktor yang mempengaruhi, kenaikan M2 terutama bersumber dari
peningkatan tagihan bersih kepada pemerintah pusat (NCG). Pada triwulan I 2015,
NCG tumbuh dari 2,5% (yoy) menjadi 38,2% (yoy) sejalan dengan operasi keuangan
pemerintah. Sementara itu, pertumbuhan aktiva luar negeri bersih (NFA) mengalami
peningkatan dari 9,34% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 20,93% (yoy) pada triwulan I
2015 (Grafik 1.48).
Grafik 1.42. Pertumbuhan M2 dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhinya
Industri Perbankan
Stabilitas sistem keuangan tetap solid ditopang oleh ketahanan sistem perbankan
dan relatif terjaganya kinerja pasar keuangan. Ketahanan industri perbankan tetap
kuat dengan risiko kredit, likuiditas dan pasar yang cukup terjaga, serta dukungan modal
yang kuat.
Laju pertumbuhan kredit pada triwulan I 2015 melambat seiring dengan
perlambatan ekonomi. Pertumbuhan kredit1 pada triwulan I 2015 masih rendah yaitu
tercatat 11,3% (yoy), menurun dari triwulan sebelumnya sebesar 11,6% (yoy) (Grafik 1.49).
Perlambatan laju kredit terutama disumbang oleh KMK yang tumbuh melambat dari
10,8% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 9,9% (yoy) pada triwulan I 2015. Sementara
itu, pertumbuhan KI dan KK sedikit meningkat, masing-masing menjadi 13,5% (yoy) dan
11,6% (yoy) pada triwulan I 2015 dari 13,1% (yoy) dan 11,5 %(yoy) pada triwulan IV
2014. Secara sektoral, perlambatan pertumbuhan kredit antara lain terjadi pada sektor
perdagangan, listrik gas dan air (LGA), jasa lainnya, pertanian, dan pertambangan (Grafik
1.50). Penurunan kredit di sektor perdagangan, transportasi dan LGA lebih disebabkan
faktor melambatnya pertumbuhan ekonomi.
1
Perhitungan pertumbuhan penyaluran kredit sebesar 11,3% (yoy) pada triwulan I 2015
menggunakan konsep perbankan, yaitu pinjaman rupiah dan valas yang diberikan oleh Bank Umum
(termasuk kantor cabang yang beroperasi di luar wilayah Indonesia) kepada penduduk (termasuk
Pemerintah Pusat) dan bukan penduduk. Sementara itu, pertumbuhan kredit menggunakan konsep
moneter pada triwulan I 2015 tercatat sebesar 11,1% (yoy). Kredit menurut konsep moneter adalah
pinjaman rupiah dan valas yang diberikan oleh Bank Umum dan BPR (tidak termasuk kantor cabang
bank yang beroperasi di luar wilayah Indonesia) kepada penduduk (tidak termasuk Pemerintah Pusat).
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 24
Grafik 1.49. Pertumbuhan Kredit
Menurut Penggunaan
Grafik 1.50. Pertumbuhan Kredit
Sektoral
Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada triwulan I 2015 meningkat cukup
tinggi. Pertumbuhan DPK2 pada triwulan I 2015 tercatat sebesar 16,0% (yoy), meningkat
dari triwulan sebelumnya sebesar 12,3% (yoy) (Grafik 1.51). Pertumbuhan DPK terutama
ditopang oleh pertumbuhan giro yang meningkat dari 5.1% (yoy) pada triwulan IV 2014
menjadi 17.7% (yoy) pada triwulan I 2015. Selain itu, kenaikan pertumbuhan deposito dari
20.9% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 23.7% (yoy) pada triwulan I 2015 turut
menopang peningkatan DPK. Namun, pertumbuhan tabungan masih menunjukkan
perlambatan, dari 5.9% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 4.0% (yoy) pada triwulan I
2015.
Grafik 1.51. Pertumbuhan DPK
Kondisi perbankan masih cukup terjaga di tengah melambatnya pertumbuhan
kredit. Pada triwulan I 2015, ketahanan permodalan masih memadai dengan rasio
kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) yang masih tinggi sebesar 20,7%, jauh di
atas ketentuan minimum 8% (Tabel 1.4). Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non
Performing Loan/NPL) tetap rendah dan stabil di kisaran 2,4% (gross).
2
Perhitungan pertumbuhan DPK sebesar 16,0% (yoy) menggunakan konsep perbankan. DPK
menurut konsep perbankan adalah simpanan milik pihak ketiga, baik dalam rupiah maupun valas
pada Bank Umum (termasuk kantor cabang bank yang beroperasi di luar wilayah Indonesia) dalam
bentuk tabungan, giro dan simpanan berjangka. DPK menurut konsep perbankan meliputi pula
simpanan milik Pemerintah Pusat dan simpanan milik bukan penduduk. Sementara itu, DPK menueut
konsep moneter pada triwulan I 2015 mencatat pertumbuhan sebesar 16,3% (yoy), lebih tinggi dari
triwulan sebelumnya sebesar 12,0% (yoy). DPK menurut konsep moneter adalah simpanan milik
pihak ketiga, baik dalam rupiah maupun valas pada Bank Umum dan BPR (tidak termasuk kantor
cabang bank yang beroperasi di wilayah Indonesia) dalam bentuk tabungan, giro, dan simpanan
berjangka. DPK menurut konsep moneter tidak termasuk simpanan milik Pemerintah Pusat dan
simpanan milik bukan penduduk.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 25
Tabel 1.4. Kondisi Umum Perbankan
Indikator
Utama
Total Aset (T Rp)
DPK
(T Rp)
Kredit* (T Rp)
LDR*
(%)
NPLs Bruto* (%)
CAR
(%)
NIM
(%)
ROA
(%)
* tanpa channeling
2014
2015
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar
4,880.5
4,888.8
4,933.0
5,008.1
5,097.5
5,198.0
5,121.1
5,218.9
5,418.8 5,445.7 5,511.1 5,615.1 5,622.0 5,683.2
5,784.0
3,594.7
3,603.6
3,618.1
3,694.8
3,763.5
3,834.5
3,778.4
3,855.9
3,995.8 4,011.4 4,054.7 4,114.4 4,105.9 4,151.4
4,198.6
3,258.4
3,267.8
3,306.9
3,361.3
3,403.1
3,468.2
3,486.1
3,498.4
3,561.3 3,558.1 3,596.6 3,674.3 3,634.3 3,665.7
3,679.9
90.65 90.68 91.40 90.98 90.43 90.45 92.27 90.73 89.13 88.70 88.70 89.30 88.52 88.3 87.6
1.90 1.99 2.00 2.05 2.18 2.16 2.24 2.31 2.29 2.35 2.36 2.16 2.35 2.4 2.4
19.6 19.8 19.8 19.4 19.5 19.3 19.3 19.3 19.4 19.5 19.6 19.4 20.8 21.1 20.7
4.1 4.1 4.3 4.3 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.1 4.1 4.0 5.1
2.8 2.7 2.9 2.9 2.9 3.0 2.8 2.8 2.8 2.8 2.8 2.8 2.7 2.4 2.6
Pasar Saham dan Pasar Surat Berharga Negara
Perkembangan pasar saham domestik selama triwulan I 2015 menunjukkan kinerja
positif, didorong oleh sentimen positif domestik seiring rilis data fundamental
ekonomi yang membaik. Kinerja IHSG triwulan I 2015 mencapai level 5.518,68 (31 Mar
2015), naik sebesar 292 poin atau 5,58% (qtq) (Grafik 1.52). IHSG beberapa kali
mencatatkan rekor tinggi sepanjang waktu selama periode Januari hingga Maret 2015.
Penguatan ini dipengaruhi oleh sentimen positif domestik atas rilis data beberapa indikator
fundamental ekonomi Indonesia yang lebih baik dari perkiraan serta sentimen positif rilis
laporan keuangan dan pembayaran dividen emiten di bulan Maret. Meskipun demikian,
tekanan terhadap nilai tukar membuat penguatan IHSG relatif tertahan. Sementara di sisi
global, sentimen positif muncul dari kesepakatan Eurogroup terkait masalah utang Yunani
serta rilis FOMC yang cenderung dovish turut membawa pergerakan positif di pasar saham
domestik. Kinerja IHSG tergolong baik dibandingkan dengan pergerakan bursa saham
kawasan (Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapura). Pertumbuhan IHSG
termasuk besar di antara negara kawasan dan berada di bawah Filipina (9,8%), namun
masih berada di atas Malaysia, Singapura, dan Vietnam.
Meskipun demikian, kinerja pasar saham domestik selama April 2015 menurun
seiring dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dan penurunan
kinerja emiten. Kinerja pasar saham domestik mengalami koreksi, terindikasi dari IHSG
yang mencapai level 5.086,43 (30 Apr 2015), turun 432 poin atau 7,83% (mtm) (Grafik
1.53). Pergerakan IHSG mulai menunjukkan sinyal reversal sejak awal bulan dan terus
berlanjut hingga indeks ditutup melemah pada penutupan perdagangan bulan April ini.
Koreksi yang terjadi dipengaruhi oleh aksi antisipatif investor terkait perkiraan pertumbuhan
ekonomi domestik yang lebih rendah dari ekspektasi. Hal ini ditandai oleh memburuknya
kinerja laporan keuangan emiten. Selain itu, gejolak nilai tukar yang belum mereda juga
mendorong pelaku pasar untuk berhati-hati. Dari sisi global, rencana kenaikan FFR masih
menjadi faktor utama yang mendorong investor untuk cenderung wait and see. Penurunan
kinerja juga dialami oleh beberapa negara kawasan seperti Filipina dan Malaysia.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 26
Grafik 1.52. IHSG dan Indeks Bursa
Global Triwulan I 2015 (qtq)
Grafik 1.53. IHSG dan Indeks Bursa
Global April 2015 (mtm)
Perkembangan pasar SBN menunjukkan kinerja yang positif, didorong oleh
sentimen positif domestik. Sentimen positif tersebut berasal dari rilis beberapa indikator
ekonomi Indonesia yang lebih baik dari prakiraan sebelumnya. Membaiknya kondisi pasar
SBN ditandai oleh yield SBN yang turun di seluruh tenor (Grafik 1.54). Secara keseluruhan,
yield turun sebesar 38 bps menjadi 7,42% pada triwulan I 2015 dari 7,80% pada triwulan
IV 2014. Adapun yield jangka pendek, menengah dan panjang masing-masing turun
sebesar 37 bps, 33 bps dan 51 bps menjadi 7,04%, 7,45% dan 7,85% pada triwulan I
2015. Sementara, yield benchmark 10 tahun turun sebesar 36 bps dari 7,80% pada
triwulan IV 2014 menjadi 7,44% pada triwulan I 2015. Penurunan yield tersebut didorong
oleh penurunan BI Rate pada Februari 2015. Selain itu, minat investor terhadap SBN masih
tinggi, tercermin dari lelang SBN pemerintah yang masih mengalami oversubscribed. Di
tengah penurunan yield SBN yang terjadi, investor nonresiden mencatatkan net beli sebesar
Rp42,73 triliun pada triwulan I 2015, meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang
sebesar Rp13,99 triliun (Grafik 1.55). Meskipun demikian, pasar SBN sempat mengalami
tekanan pada bulan Maret, didorong oleh adanya tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan
kembali meningkatnya ekspektasi kenaikan FFR seiring dengan membaiknya rilis data
ekonomi AS.
Pada April 2015, kinerja pasar SBN menurun, tercermin dari naiknya yield SBN di
seluruh tenor. Secara keseluruhan, yield naik sebesar 32 bps menjadi 7,74% dari 7,42%.
Adapun yield jangka pendek, menengah dan panjang masing-masing naik sebesar 40 bps,
28 bps dan 30 bps menjadi 7,45%, 7,72% dan 8,15%. Sementara itu, yield benchmark 10
tahun naik sebesar 27 bps menjadi 7,71% dari 7,44%. Penurunan kinerja pasar SBN ini
dipengaruhi oleh tekanan pelemahan rupiah yang masih berlanjut seiring dengan aksi jual
investor asing pasca tren kenaikan yield obligasi. Di sisi global, meningkatnya ekspektasi
kenaikan FFR mendorong investor untuk cenderung wait and see. Sementara, di pasar
perdana, hasil lelang SBN pada minggu ke – IV bulan April tercatat undersubscribed untuk
pertama kalinya sejak awal tahun. Hal ini merupakan indikasi bahwa minat investor
terhadap SBN menurun dibanding lelang sebelumnya. Meskipun demikian, penurunan
harga SBN dimanfaatkan oleh investor asing untuk melakukan aksi beli. Investor
nonresident tercatat melakukan net beli sebesar Rp4,10 triliun, sementara pada bulan
sebelumnya tercatat melakukan net jual sebesar Rp3,59 triliun.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 27
Grafik 1.54. Perubahan Yield SBN
Triwulan I 2015
Grafik 1.55. Yield SBN dan Net Jual/Beli
Asing Triwulanan
Pembiayaan Non Bank
Pembiayaan ekonomi nonbank pada triwulan I 2015 menurun. Total pembiayaan
melalui penerbitan saham perdana, right issue, obligasi korporasi, medium term notes,
promissory notes dan lembaga keuangan lainnya tercatat sebesar Rp22,2triliun atau lebih
kecil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai Rp44,6 triliun (Tabel 1.5).
Pembiayaan terbesar masih bersumber dari penerbitan obligasi yaitu sebesar Rp12,8 triliun.
Turunnya pembiayan ekonomi nonbank terjadi seiring dengan tren naiknya tingkat yield
Surat Utang Negara (SUN) sehingga meningkatkan cost of fund penerbitan obligasi bagi
investor maupun korporasi. Selain itu, rencana kenaikan FFR yang kembali meningkat
seiring dengan perbaikan data ekonomi AS pada awal tahun 2015 turut mendorong
investor untuk cenderung wait and see dan menunda rencana emisinya.
Tabel 1.5. Pembiayaan Non Bank
Rp Trillion
Nonbank
Saham
o/w Emiten Sektor Keuangan
Obligasi
o/w Emiten Sektor Keuangan
MTN dan Promissory Notes + NCD
o/w Emiten Sektor Keuangan
Sumber: OJK dan BEI (diolah)
Tw I
18.2
8.6
5.5
8.0
5.5
1.6
1.2
2014
2015
Tw II Tw III Tw IV Total Jan Feb Mar Apr
39.2 8.2 44.5 110.1 3.3 8.6 10.2 8.9
17.7 0.0 21.2 47.6 0.0 0.2 4.5 0.0
4.1 0.0
3.1 12.8 0.0 0.0 0.0 0.0
17.5 6.8 15.1 47.5 3.0 4.9 4.9 6.6
9.5 5.5
9.8 30.3 3.0 4.6 4.5 3.5
3.8 1.4
8.1 14.9 0.3 3.7 0.8 2.3
3.2 1.2
3.5
9.2 0.0 2.6 0.7 2.2
Tw I
22.2
4.7
0.0
12.8
12.1
4.8
3.3
Total
31.1
4.7
0.0
19.3
15.6
7.1
5.5
Perkembangan Sistem Pembayaran
Secara umum, perkembangan sistem pembayaran di kelompok tunai sejalan
dengan perkembangan ekonomi domestik. Rata-rata harian Uang Kartal yang
Diedarkan (UYD) pada triwulan I 2015 adalah sebesar Rp462,6 triliun atau tumbuh sebesar
3,2% (yoy), menurun dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 13,6%
(yoy) (Grafik 1.56). Hal ini sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia
pada triwulan I 2015. Selain itu, pertumbuhan UYD secara triwulanan mengalami
penurunan sebesar -12,5% (qtq) karena faktor siklikal adanya arus balik dana perbankan
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 28
dan masyarakat ke Bank Indonesia, pasca tingginya kebutuhan uang kartal pada periode
Natal dan liburan akhir tahun 2014.
Grafik 1.56. Perkembangan UYD (yoy)
Di tengah tren pertumbuhan UYD yang dipengaruhi faktor siklikal tersebut, Bank
Indonesia terus berupaya meningkatkan kelayakan uang yang beredar. Selama
triwulan I 2015, sejumlah 1,54 miliar lembar/keping Uang Tidak Layak Edar (UTLE) senilai
Rp40,9 triliun telah dimusnahkan dan diganti dengan uang rupiah yang layak edar. Jumlah
pemusnahan UTLE tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan IV 2014 yang
tercatat sebesar 1,50 miliar lembar/keping atau senilai Rp30,7 triliun. Meningkatnya
pemusnahan UTLE tersebut disebabkan oleh tingginya aliran uang rupiah masuk (inflow) ke
Bank Indonesia, serta meningkatnya jumlah kandungan UTLE yang disetorkan perbankan.
Transaksi sistem pembayaran tetap dapat berjalan secara aman dan lancar selama
triwulan I 2015. Pada triwulan I 2015 transaksi sistem pembayaran nontunai mengalami
penurunan baik dari sisi nilai maupun volume transaksi apabila dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Penurunan nilai transaksi tercatat sebesar Rp6.121,1 triliun atau
menurun sebesar 13,4% (qtq) sedangkan penurunan volume transaksi tercatat sebesar 4,3
juta transaksi atau 0,3% (qtq) (Tabel 1.6 dan 1.7). Secara umum, penurunan nilai transaksi
terjadi pada seluruh kelompok transaksi terutama transaksi Operasi Moneter yang turun
sebesar Rp4.187,5 triliun atau turun 22,0% dibandingkan dengan periode triwulan
sebelumnya. Di sisi lain, penurunan volume transaksi terutama disebabkan oleh
menurunnya transaksi masyarakat melalui instrumen nontunai khususnya yang
diselenggarakan oleh industri. Penurunan volume transaksi terbesar terjadi pada transaksi
Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) yang menurun sebesar 11,8 juta
transaksi atau 1,0% (qtq).
Dari sisi persentase, penurunan volume transaksi Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement (BI-RTGS) mencatat penurunan tertinggi, yaitu sebesar 38,5% (turun sebesar
1.8 juta transaksi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya). Penurunan volume transaksi
disebabkan oleh adanya kebijakan capping RTGS3.
3
Kebijakan capping (berdasarkan SE BI No.16/18/DPSP) yang diberlakukan mulai tanggal 15
Desember 2014, dimana transaksi transfer kredit antar Bank untuk kepentingan nasabah dengan
nominal sampai dengan Rp100.000.000,00 harus dilaksanakan melalui SKNBI.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 29
Tabel 1.6. Perkembangan Nilai Sistem Pembayaran NonTunai
Transaksi Sistem Pembayaran Non Tunai
BI‐RTGS
BI‐SSSS
Kliring
Debet
Kredit
APMK
Kartu Kredit
Kartu ATM dan ATM/Debet
Uang Elektronik
Total
2014
Q‐I
23,817.8
7,173.6
667.8
399.1
268.7
1,077.3
56.9
1,020.5
0.7
32,737.2
Q‐II
24,150.4
6,396.9
710.7
417.9
292.8
1,158.5
63.6
1,094.9
0.8
32,417.4
Q‐III
29,872.4
9,366.8
716.4
411.9
304.5
1,215.5
65.1
1,150.4
0.9
41,172.0
Q‐IV
33,041.6
10,636.7
770.9
432.3
338.6
1,248.8
69.4
1,179.3
0.8
45,698.9
Nilai (triliun Rp)
2015
% naik/(turun)
Q‐I
QtQ (IV to I)
28,879.2
‐12.6%
8,758.3
‐17.7%
732.5
‐5.0%
395.4
‐8.6%
337.1
‐0.4%
1,207.0
‐3.3%
66.0
‐4.9%
1,141.0
‐3.2%
0.8
5.4%
39,577.8
‐13.4%
Sejalan dengan penurunan nilai dan volume transaksi sistem pembayaran
nontunai pada triwulan I 2015, transaksi pembayaran yang diselesaikan melalui
Sistem BI-RTGS juga mengalami penurunan baik dari sisi nilai maupun volume.
Ketersediaan sistem BI-RTGS sebagai setelmen dana, BI-SSSS sebagai setelmen surat
berharga pemerintah dan Bank Indonesia, serta SKNBI yang mencapai 100% serta tidak
adanya gangguan yang signifikan dalam penyelenggaraan APMK dan Uang Elektronik pada
triwulan I 2015. Nilai transaksi pembayaran yang diselesaikan melalui Sistem BI-RTGS turun
sebesar Rp4.162,5 triliun (turun sebesar 12,6%,qtq) menjadi Rp28.879,2 triliun. Penurunan
nilai transaksi tersebut terutama disebabkan oleh Operasi Moneter yang memiliki kontribusi
sebesar 51,4% dari keseluruhan transaksi melalui Sistem BI-RTGS. Semenatar itu, volume
transaksi pembayaran yang diselesaikan melalui Sistem BI-RTGS menurun sebesar 1,8 juta
transaksi atau turun 38,5% (qtq) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Tabel 1.7. Perkembangan Volume Sistem Pembayaran Non Tunai
Transaksi Sistem Pembayaran Non Tunai
BI‐RTGS
BI‐SSSS
Kliring
Debet
Kredit
APMK
Kartu Kredit
Kartu ATM dan ATM/Debet
Uang Elektronik
Total
2014
Q‐I
4,171.3
36.2
25,179.2
10,012.1
15,167.1
998,153.6
59,160.3
938,993.3
37,924.3
1,065,464.6
Q‐II
4,471.3
38.7
26,786.1
10,544.3
16,241.8
1,068,963.7
64,241.3
1,004,722.3
44,245.8
1,144,505.5
Q‐III
4,519.9
35.6
27,102.8
9,884.0
17,218.8
1,110,647.4
64,236.7
1,046,410.8
51,642.3
1,193,948.1
Q‐IV
4,580.0
49.0
28,585.5
10,233.3
18,352.2
1,154,251.6
66,681.8
1,087,569.8
69,557.6
1,257,023.6
Volume dalam Ribu
2015
% naik/(turun)
Q‐I
QtQ (IV to I)
2,814.8
‐38.5%
45.6
‐7.0%
27,120.5
‐5.1%
9,725.5
‐5.0%
17,395.0
‐5.2%
1,142,496.2
‐1.0%
65,662.4
‐1.5%
1,076,833.8
‐1.0%
80,266.0
15.4%
1,252,743.1
‐0.3%
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 30
2
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Perekonomian Global
Ekonomi global diperkirakan tumbuh tidak secepat perkiraan semula. Pemulihan
ekonomi global masih berjalan tidak seimbang dengan risiko di pasar keuangan global
yang masih tinggi. Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi global dikoreksi ke bawah
menjadi sebesar 3,39%, sedikit turun dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 3,44%. Hal
ini terutama disebabkan oleh perkiraan pertumbuhan ekonomi AS dan Tiongkok yang lebih
rendah dari perkiraan semula. Di sisi lain, perekonomian Eropa diperkirakan terus membaik
ditopang oleh pelonggaran kondisi moneter dan keuangan serta dampak penurunan harga
minyak (Tabel 2.1).
Sejalan dengan perkembangan ekonomi global, pertumbuhan volume
perdagangan dunia pada 2015 diperkirakan sedikit lebih rendah dari perkiraan
semula. Dengan menggunakan data terbaru yang merupakan data realisasi sampai
dengan Februari 2015, volume perdagangan dunia (WTV) pada 2015 diperkirakan lebih
rendah dari perkiraan awal.
Harga komoditas juga diperkirakan tumbuh lebih rendah dari perkiraan
sebelumnya. Lebih rendahnya perkiraan Indeks Harga Komoditas Ekspor Indonesia (IHKEI)
pada 2015 tersebut sejalan dengan masih relatif rendahnya harga minyak dan lemahnya
permintaan dari Tiongkok.
Di sisi lain, harga minyak dunia pada tahun 2105 diperkirakan lebih tinggi dari
perkiraan semula, meskipun masih lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.
Lebih tinggi perkiraan harga minyak didorong oleh sejumlah faktor antara lain
kekhawatiran gangguan keamanan di Yaman, pelemahan USD, dan melambatnya
peningkatan inventory minyak AS. Tren kenaikan harga minyak juga dikonfirmasi oleh
posisi net long managed money yang semakin tinggi. Meskipun demikian, tren kenaikan
harga diperkirakan berlangsung lambat karena masih besarnya faktor-faktor yang menekan
harga minyak untuk tetap berada di level rendah.
Tabel 2.1
Proyeksi PDB Dunia (%, yoy)
2014
Proyeksi Mei 2015
2015
PDB Dunia
3.3
Negara Maju
1.8
2.3
Amerika Serikat
2.4
3.0*
Kawasan Eropa
0.9
1.4
Jepang
0.0
1.0
4.4
4.2
Tiongkok
7.4
6.8*
India
5.6
7.5
Negara Emerging Market Lainnya
2.7
2.2
Negara Berkembang
3.39
*) Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia, AS, dan Tiongkok 2015 yang dilakukan
pada Februari 2015, masing-masing 3,44%, 3,20%, dan 6,90%
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 31
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan membaik, terutama
pada semester II 2015. Pertumbuhan yang membaik ini didukung oleh meningkatnya
konsumsi dan investasi sejalan dengan meningkatnya realisasi pengeluaran fiskal oleh
pemerintah serta meningkatnya penyaluran kredit oleh perbankan. Percepatan realisasi
belanja Pemerintah baik di kementrian/lembaga maupun untuk implementasi proyekproyek infrastruktur menjadi kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi 2015.
Konsumsi rumah tangga diprakirakan meningkat pada triwulan II hingga akhir
tahun. Perkiraan ini didukung oleh indikasi awal penjualan eceran yang meningkat.
Perbaikan konsumsi rumah tangga juga sejalan dengan pembangunan pusat ritel (mall dan
pusat perbelanjaan sejenis) yang tercatat meningkat pada triwulan II. Selain itu, ekspektasi
pendapatan yang membaik terutama pada triwulan III turut memberikan optimisme bagi
perbaikan konsumsi rumah tangga.
Konsumsi pemerintah juga diperkirakan meningkat khususnya pada semester II.
Berdasarkan pantauan hingga Mei 2015, sekitar 77,5% dari pengajuan DIPA untuk 11
kementerian/lembaga telah ditetapkan. Dengan demikian, belanja barang untuk triwulan II
dan III diperkirakan akan terealisasi sebesar masing-masing 50% dan 80% atau sesuai
dengan pola historisnya.
Investasi diperkirakan terus meningkat khususnya pada triwulan III dan IV.
Perbaikan tersebut bersumber baik dari investasi bangunan maupun nonbangunan. Potensi
akselerasi pertumbuhan investasi bangunan pada tahun 2015 turut disumbang oleh
realisasi belanja infrastruktur yang sebagian besar telah menyelesaikan proses tender.
Perkiraan tersebut juga didukung oleh jumlah konstruksi yang meningkat serta angka
penjualan semen yang membaik pada triwulan II. Sementara itu, penyaluran kredit yang
diperkirakan akan meningkat juga diharapkan dapat membantu mendorong peningkatan
investasi swasta.
Ekspor diperkirakan terus membaik meski terbatas. Perbaikan ekspor ini sejalan
dengan perbaikan ekonomi global yang kemudian mendorong pertumbuhan volume
perdagangan dunia. Namun demikian, potensi perbaikan ekspor lebih lanjut akan tertahan
oleh harga komoditas yang masih turun sejalan dengan masih lemahnya harga minyak dan
lemahnya permintaan Tiongkok.
Impor diperkirakan tumbuh meningkat sejalan dengan perbaikan ekspor dan
peningkatan permintaan domestik. Potensi perbaikan impor terutama berasal dari
impor barang modal dan perbaikan konsumsi domestik. Harga barang impor yang masih
rendah juga akan menjadi faktor penguat perbaikan impor.
Kinerja Sektor Pertanian diprakirakan tumbuh membaik terutama pada triwulan II
2015. Membaiknya kinerja ini disebabkan oleh bergesernya puncak panen di beberapa
daerah yang biasanya terjadi pada triwulan I dan disertai dengan cuaca yang kondusif.
Prognosa Kementerian Pertanian memprediksi bahwa produksi padi pada musim panen
2015 mengalami peningkatan, didukung oleh cuaca yang normal sampai dengan April
2015. Data terkini mengkonfirmasi potensi perbaikan ini khususnya di subsektor tanaman
bahan makanan (tabama). Realisasi produksi gabah kering giling (GKG) Jan-April 2015
telah mencapai 42,86% dari target 2015 sebesar 73,5 jt ton dan diprediksi akan terus
meningkat pada bulan Mei hingga mencapai 51,6% dari target. Untuk keseluruhan tahun
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 32
2015, produksi diprakirakan masih on track karena adanya tambahan lahan 700 rb
ha/bulan dan perbaikan irigasi.
Sektor Pertambangan dan Penggalian diprakirakan tumbuh membaik mulai
triwulan II hingga akhir tahun. Perkiraan membaiknya kinerja pertambangan ini
ditopang oleh meningkatnya lifting minyak blok Cepu dan faktor base-effect (tidak adanya
ekspor mineral di triwulan II 2014). Pemerintah berencana untuk meningkatkan produksi
blok Cepu pada April 2015 menjadi 80 ribu bph dari sebelumnya 35 ribu bph. Perkiraan
membaiknya kinerja sektor pertambangan juga tercermin dari meningkatnya rencana
belanja modal emiten pertambangan. Di sisi lain, kinerja pertambangan batubara
diperkirakan stagnan seperti terindikasi dari realisasi ekspor pada triwulan I 2015 yang
masih negatif dan penurunan target produksi batubara oleh Kementerian ESDM.
Kinerja Sektor Industri Pengolahan juga diperkirakan membaik mulai triwulan II
hingga akhir 2015. Membaiknya kinerja sektor ini seiring dengan perkiraan meningkatnya
permintaan domestik dan ekspor. Hal ini terindikasi dari perbaikan output manufaktur pada
survey PMI HSBC April 2015 dan membaiknya ekspor manufaktur pada Maret 2015.
Namun demikian, kinerja industri alat angkut masih menghadapi tantangan berat seperti
tampak dari permintaan kendaraan bermotor yang sampai dengan bulan April masih
tercatat lemah.
Prospek Inflasi
Inflasi pada tahun 2015 diprakirakan akan lebih rendah dibandingkan tahun
sebelumnya dan berada dalam rentang sasaran inflasi sebesar 4±1%. Di sisi
domestik, tekanan inflasi dari sisi permintaan diprakirakan relatif moderat sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi yang di bawah tingkat potensialnya dan masih rendahnya utilisasi
kapasitas produksi. Ekspektasi inflasi diperkirakan juga tetap terjaga dengan dukungan
kebijakan dan koordinasi yang baik antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Tekanan inflasi
dari sisi eksternal diprakirakan tidak terlalu besar. Hal tersebut didukung oleh perkiraan
terbatasnya peningkatan harga-harga komoditas internasional sejalan dengan laju
perbaikan perekonomian dunia yang berlangsung secara gradual dan nilai tukar yang relatif
stabil.
Tekanan inflasi inti pada tahun 2015 diprakirakan moderat. Dari sisi eksternal,
tekanan inflasi inti relatif terjaga seiring dengan peningkatan harga komoditas internasional
yang masih terbatas dan perbaikan pertumbuhan ekonomi dunia yang gradual. Harga
minyak dunia diprakirakan masih relatif lemah dan pertumbuhan harga komoditas
nonmigas masih negatif. Sementara itu, tekanan inflasi dari sisi nilai tukar diperkirakan
tidak sebesar proyeksi sebelumnya mengingat tren depresiasi yang lebih terbatas pada
tahun 2015. Meningkatnya permintaan domestik diprakirakan masih dapat direspons oleh
kapasitas produksi yang ada sehingga tekanan inflasi dari sisi permintaan diprakirakan
minimal. Selain itu, ekspektasi inflasi juga terindikasi relatif terjaga seiring dengan bauran
kebijakan dan koordinasi yang ditempuh oleh Pemerintah dan Bank Indonesia.
Inflasi dari kelompok volatile food pada tahun 2015 diprakirakan lebih rendah
dibandingkan dengan tahun 2014. Inflasi volatile food yang lebih rendah tersebut
terkait dengan asumsi adanya peningkatan produksi serta distribusi bahan makanan dan
tata niaga yang lebih baik pada periode mendatang.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 33
Inflasi kelompok administered prices 2015 diperkirakan akan menjadi komponen
utama yang membawa tingkat inflasi menjadi lebih rendah. Perkiraan ini terkait
dengan tren penurunan harga komoditas internasional sehingga harga barang energi
menjadi lebih rendah.
Pada tahun 2016, dengan berbagai kebijakan yang diambil untuk mengendalikan
inflasi, inflasi diprakirakan masih berada dalam rentang sasaran inflasi 4±1%.
Sumber tekanan inflasi diprakirakan berasal dari, antara lain, peningkatan harga komoditas
dan permintaan domestik. Inflasi inti diprakirakan masih akan terjaga dengan ekspektasi
inflasi yang terjangkar. Inflasi volatile food juga diprakirakan akan cenderung menurun
seiring dengan peningkatan produksi bahan makanan dan tata niaga yang lebih baik.
Sementara itu, inflasi administered prices diprakirakan akan lebih dinamis mengikuti
perkembangan harga internasional.
Faktor Risiko
Bank Indonesia akan terus mencermati beberapa risiko perekonomian yang
berasal dari eksternal maupun domestik. Dari sisi global, risiko muncul dari PDB dunia
yang berpotensi tumbuh lebih rendah dari perkiraan yang khususnya disebabkan oleh
pertumbuhan ekonomi AS yang tidak setinggi perkiraan. Selain itu, PDB dunia juga
berpotensi tumbuh lebih rendah dari perkiraan apabila perekonomian Tiongkok mengalami
perlambatan yang lebih dalam. Risiko global juga muncul dari kemungkinan harga
komoditas internasional yang turun lebih jauh dari perkiraan. Dari sisi pasar keuangan
global, risiko yang perlu diwaspadai adalah ketidakpastian waktu dan besarnya kenaikan
suku bunga Fed Fund Rate (FFR) di AS. Di sisi domestik, belanja pemerintah perlu dicermati
karena menentukan implementasi proyek-proyek infrastruktur yang berperan penting
dalam menjaga optimisme terhadap prospek perekonomian.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 34
3
RESPONS KEBIJAKAN MONETER
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 19 Mei 2015 memutuskan
untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Deposit
Facility 5,50% dan Lending Facility pada level 8,00%. Keputusan tersebut sejalan
dengan stance kebijakan moneter yang cenderung ketat untuk menjaga agar inflasi berada
dalam sasaran 4±1% pada 2015 dan 2016, serta mengarahkan defisit transaksi berjalan ke
tingkat yang lebih sehat dalam kisaran 2,5-3% terhadap PDB dalam jangka menengah.
Sementara itu, untuk memelihara momentum pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia
melonggarkan kebijakan makroprudensial melalui revisi ketentuan GWM-LDR, ketentuan
LTV untuk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), serta ketentuan pembayaran uang muka
(down payment) untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). Bank Indonesia juga terus
memperkuat koordinasi dengan Pemerintah tidak saja dalam mengendalikan inflasi dan
defisit transaksi berjalan, tetapi juga dalam mempercepat stimulus fiskal untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, Bank Indonesia mendukung upaya Pemerintah untuk
mempercepat realisasi proyek-proyek infrastruktur dan melanjutkan berbagai kebijakan
struktural untuk menumbuhkan optimisme pelaku ekonomi terhadap perbaikan prospek
ekonomi Indonesia.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 35
Laporan Kebijakan Moneter dipublikasikan secara triwulanan oleh Bank Indonesia setelah Rapat Dewan
Gubernur (RDG) pada bulan Februari, Mei, Agustus, dan November. Selain dalam rangka memenuhi ketentuan
pasal 58 UU Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004,
laporan ini berfungsi untuk dua maksud utama, yaitu: (i) sebagai perwujudan nyata dari kerangka kerja antisipatif
yang mendasarkan pada prakiraan ekonomi dan inflasi ke depan dalam perumusan kebijakan moneter, dan (ii)
sebagai media bagi Dewan Gubernur untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat luas mengenai berbagai
pertimbangan permasalahan kebijakan yang melandasi keputusan kebijakan moneter yang ditempuh Bank
Indonesia.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi:
Divisi Pengaturan dan Komunikasi Kebijakan
Grup Kebijakan Moneter
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Telp: +62 21 2981 6836/5726
Fax: +62 21 345 2489
Email: [email protected]
Website: http//www.bi.go.id
Dewan Gubernur
Agus D.W. Martowardojo – Gubernur
Mirza Adityaswara – Deputi Gubernur Senior
Halim Alamsyah – Deputi Gubernur
Ronald Waas – Deputi Gubernur
Perry Warjiyo – Deputi Gubernur
Hendar – Deputi Gubernur
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 36
Download