Cuaca Berubah, Panen Berkurang

advertisement
daftar isi
Perempuan
Bergerak
Edisi II
Apri - Juni 2012
warta perempuan
Perempuan Menjadi Korban Perubahan Iklim
13
sosok
Maria Loretha: Kenapa Malu Makan Pisang?
16
bedah buku
18 Gerakan Perempuan dan Lingkungan
bedah film
20 Perubahan Iklim: Mengapa Bisa?
puisi
rembug perempuan
Kebijakan Perubahan Iklim:
Dimana Kepentingan Perempuan?
3
fokus utama
Perempuan dan Perubahan Iklim
4
perspektif
Perempuan Membaca Iklim
5
22 Kutup Yang Menangis
Rinduku Pada Hutan
Menjarah Yang Dijarah
Hijau Bumiku
pojok kata
23
Perubahan Iklim (Climate Change)
23
Pemanasan Global (Global Warming)
23
Efek Rumah Kaca
23
Gas Rumah Kaca (GRK)
opini
Pohon, Perempuan dan Keadilan Iklim
9
warta komunitas
Cuaca Berubah, Panen Berkurang
12
Perempuan Bergerak
Penanggung Jawab: Rena Herdiyani
Pemimpin Redaksi: Hegel Terome
Redaktur Pelaksana: Joko Sulistyo
Dewan Redaksi: Naning Ratningsih, Listyowati, Nani Ekawaty, Rakhmayuni, Ika Agustina
Desain visual: Joko Sulistyo
Distribusi : Joko Sulistyo
Perempuan Bergerak merupakan media yang memuat pandangan-pandangan yang membangun kesadaran kritis
kaum perempuan di seluruh Indonesia sehingga memberdayakan dan menguatkan mereka. Kekuatan bersama kaum
perempuan yang terbangunkan itu merupakan sendi-sendi penting terdorongnya gerakan perempuan dan sosial
umumnya untuk menuju masyarakat yang demokratis, setara, tidak diskriminatif dan tidak subordinatif.
Redaksi menerima kritik, saran dan sumbangan berupa surat pembaca, artikel dan foto jurnalistik. Naskah, artikel
dan foto jurnalistik yang diterima redaksi adalah yang tidak anti demokrasi, anti kerakyatan, diskriminatif dan bias
gender. Naskah tulis diketik pada kertas A4, spasi satu, huruf Arial 12, maksimal 3 halaman dalam bentuk file atau
print-out.
Alamat Redaksi dan Iklan: Jl. SMA 14 No. 17 RT/RW 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630. Telp: 021-8004712;
Fax: 021-8004713; Email : [email protected]; Website : www.kalyanamitra.or.id
Untuk berlangganan Perempuan Bergerak secara rutin, kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi.
Redaksi menerima sumbangan pengganti biaya cetak Rp. 10.000,- dan biaya pengiriman di rekening sesuai kota tujuan.
Transfer ke Rekening Bank Bukopin Kantor Kas Plaza Kalibata, No. Rekening 4206200202 a/n. Yayasan Kalyanamitra.
2
Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2012
Perempuan adalah salah satu kelompok yang paling merasakan dampak perubahan iklim
yang terjadi saat ini, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga lapisan masyarakat di belahan
dunia lainnya. Oleh karena perempuan paling dekat dengan proses produksi sumberdaya
alam yang ada selama ini. Ketika air tak diperoleh lagi, maka merekalah yang paling
dirugikan. Ketika banjir melanda, maka perempuan dan anak-anak yang akan menjadi
korban terbesarnya. Maka, tak heran kalau angka kematian ibu di Indonesia tetap tinggi
akibat beban hidup yang berat.
N
amun dalam proses-proses pembuatan kebijakan mengatasi dampak perubahan iklim, kalangan perempuan
Indonesia tak pernah dilibatkan. Jangankan dilibatkan, mendengar kata-kata itu saja sangat asing bagi mereka. Perempuan lalu menjadi pihak yang sering dilupakan dalam berbagai pembahasan mengenai perubahan
iklim. Padahal ada pengalaman yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Oleh sebab itu, menjadi penting pula
disadari mengapa perubahan iklim memiliki implikasi yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan.
Perubahan iklim menjadi signifikan karena memiliki dampak terhadap kesehatan, ekonomi, dan sosial bagi masyarakat secara luas. Berbagai bencana alam yang terjadi tak hanya menyebabkan kematian, tetapi juga meningkatkan potensi penyebaran berbagai jenis penyakit di masyarakat sekitar. Diare, malaria, kolera, dan lainnya adalah
jenis-jenis penyakit yang sering melanda negara-negara yang terkena bencana alam, akibat kenaikan air laut, banjir,
longsor, kebakaran hutan, dan curah hujan yang tinggi.
Sudah selayaknya, perempuan dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan agar tercipta masyarakat yang
adil dan sejahtera di Indonesia. Karena ketika perempuan tidak dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan
yang menyangkut kepentingannya, maka hasilnya tak akan sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Perempuan
bukanlah objek perubahan semata, melainkan pelaku perubahan itu sendiri. Semoga edisi bulletin ini memberikan
gambaran nyata tentang bagaimana dampak perubahan iklim di dunia bagi kehidupan perempuan dan anak, sehingga mendorong para pengambil kebijakan untuk senantiasa melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusannya. Selamat membaca!!
rembug perempuan
Kebijakan Perubahan Iklim:
Dimana Kepentingan Perempuan?
Jakarta, Juni 2012
Joko Sulistyo
Redaktur Pelaksana
Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan
Bergerak
3
fokus utama
4
Perempuan dan Perubahan Iklim
P
erubahan iklim ialah suatu perubahan yang bermakna dan memakan waktu panjang yang terlihat dari sistem distribusi statistik cuaca rata-rata
yang berlangsung selama ribuan bahkan jutaan tahun.
Perubahan rata-rata cuaca sepanjang tahun disebut
iklim. Iklim bumi sangat dipengaruhi oleh kontribusi
perbuatan manusia di bumi. Salah satu perbuatan manusia yang sangat mempengaruhi perubahan iklim di
bumi ialah pelepasan karbon dioksida melalui pembakaran fosil-fosil, seperti minyak bumi, gas, dan batubara. Fosil-fosil tersebut mengandung karbon. Membakar
minyak, gas, batubara, akan menghasilkan gas karbon
dioksida. Sejak tahun 1800-an, ketika manusia mulai
banyak mempergunakan minyak bumi dan batubara,
maka pelepasan karbon dioksida ke udara di bumi meningkat mencapai 30%, sehingga temperatur atau suhu
muka bumi mulai meningkat rata-rata 1 sampai 2 derajat F.
Karbon dioksida akan memerangkap panas matahari di udara sehingga menghasilkan efek rumah kaca.
Kadangkala peristiwa itu disebut “gas rumah kaca”. Apabila makin banyak karbon dioksida memerangkap panas matahari, maka perlahan-lahan terjadi perubahan
panas di muka bumi. Apabila peningkatan suhu muka
bumi berlangsung terus-menerus, maka pemanasan
global akan terjadi. Kian banyak orang menggunakan
minyak bumi, gas, dan batubara, maka gas rumah kaca
akan bertambah di atmosfir bumi.
Pemanasan global tidak selalu sama rata di seluruh
pelosok bumi, namun suhu muka bumi rata-rata meningkat dan mempengaruhi pola dan jumlah hujan, dalam
jangka panjang mempengaruhi tingkat dan intensitas
badai, dan meningginya permukaan laut di bumi. Pertanian, hutan, hewan, binatang, manusia, lingkungan
alamiah, dan lainnya di muka bumi akan terdampak.
Pemanasan global tak hanya diakibatkan oleh pelepasan karbon dioksida karena aktivitas manusia di muka
bumi, melainkan melalui kegiatan pelepasan gas metan
dan nitrat dioksid, misalnya pembakaran hutan, tinja,
dan lainnya. Tak semua gas mempengaruhi pemanasan
global, namun debu dari gunung berapi dan hasil aktivitas manusia dapat memantulkan cahaya matahari,
sehingga menciptakan pembekuan di muka bumi.
Pembakaran minyak bumi dan batubara melepaskan karbon dioksida dan sulfur ke atmosfir bumi. Polusi atmosfir ini dapat meningkatkan gas rumah kaca
yang dapat meningkat pemanasan global maupun
pembekuan global, akibat pantulan sinar matahari tak
mampu menembus bumi, sehingga suhu bumi menurun drastis. Meskipun upaya pemanasan global mulai
Perempuan Bergerak |
Edisi II | April - Juni 2012
dilakukan manusia di muka bumi ini, namun suhu muka
bumi terus meningkat dengan cepat.
Bila manusia mampu menekan penggunaan minyak
bumi, gas, dan batubara maupun menurunkan aktivitas
manusia lainnya, yang menghasilkan gas rumah kaca,
maka menurut perkiraan para ilmuwan, hingga tahun
2050 muka bumi akan mengalami peningkatan suhu
menjadi 2 F (1,5 Cel). Namun demikian, dengan kisaran
angka itu saja kehidupan manusia di bumi telah terancam bahaya.
Mungkin perlu dibedakan di sini antara bocornya
lapisan ozon di atmosfir dengan pemanasan global,
karena keduanya tidak saling berkaitan. Kalau bocornya
lapisan ozon lebih akibat penggunaan CFCs oleh manusia. Gas ini banyak dipergunakan di mesin pendingin
ruangan, kulkas, dan sejenisnya. Penggunaan CFCs memang dapat meningkatkan panas, sedangkan yang berbahaya ialah rusaknya lapisan ozon yang mampu melindungi muka bumi sehingga sinar ultraviolet tak merusak
kehidupan di muka bumi serta suhu bumi tidak menjadi
beku.
Dengan berbagai kegiatan manusia di muka bumi
ini di banyak tempat, maka kontribusinya terhadap perubahan iklim secara tak langsung sangat besar. Efek tak
langsung perubahan iklim ialah pemanasan global, yang
saat ini sudah dirasakan di mana-mana. Dampak terburuknya ialah bencana alam akibat banjir, badai, cuaca
yang berubah-ubah secara dratis, kerusakan produksi
pertanian. Kegiatan industrial dan pertanian manusia,
perlahan namun pasti, telah menciptakan kondisi ekstrem dan berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia
di muka bumi ini.
Dampak yang paling parah tentu dirasakan dikalangan perempuan baik di perkotaan maupun di pedesaan,
karena berperan ganda di rumah tangga dan di publik.
Perempuan petani dan nelayan misalnya, menghadapi
paceklik yang panjang akibat perubahan iklim yang
drastis. Panen pertanian yang terganggu dapat menimbulkan bencana kelaparan. Dalam jangka panjang, bencana ini menimbulkan kematian di mana-mana karena
orang kekurangan pangan. Di lain sisi, kegiatan industrial
yang boros yang mempercepat pemanasan global, tidak
dihentikan sama sekali karena manusia terus-menerus
kerakusannya atas kebutuhan hidupnya. Tak ada kata
cukup bagi manusia, sehingga menciptakan kebutuhankebutuhan yang tak perlu bagi kelangsungan hidupnya
di muka bumi ini.
Selain menciptakan malapetaka itu, perempuan desa
yang bertani menghadapi mutasi-mutasi hama baru akibat perubahan iklim mikro di wilayah setempat. Peng-
gunaan pestisida dan herbisida kimia untuk membunuh
hama malah membuat mereka kebal. Produksi pertanian
akan anjlok apabila hama mewabah, akibatnya kemiskinan akan terbentuk di mana-mana. Belum lagi bencana
banjir merebak akibat pola hujan yang tak menentu dan
tanah longsor terjadi di mana-mana. Perempuanlah garda depan dalam menghadapi perubahan iklim di Indonesia khususnya, karena merekalah yang siap menanggung
beban sosial akibat bencana itu. Sementara apa yang
dilakukan pemerintah, belumlah memperhitungkan
peran penting perempuan dalam mitigasi dan penanggulangan efek perubahan iklim itu di Indonesia. Meskipun pemerintah Indonesia dengan gagah-gagahan
menyepakati penurunan efek gas rumah kaca, namun
realitasnya pemerintah mendorong tumbuhnya industrialisasi yang mempercepat meningkatnya gas rumah
kaca.*****(HG)
Perempuan Membaca Iklim
Oleh: Mida Saragih*)
Tidak Diam
Pada Maret lalu, Ibu Habibah warga Kampung Marunda Kepu, Jakarta Utara ragu menancapkan jaring sero.
Iklim yang tidak menentu menyurutkan semangatnya
untuk mendapatkan ikan dan udang rebon. Kerja Ibu
Habibah kini rutin terganggu ombak tinggi serta angin kencang. Nasib Habibah dan keluarganya makin
terombang-ambing setelah kawasan tempat tinggalnya
menjadi kawasan serba guna. Mulai dari bertumbuhnya
pabrik-pabrik, reklamasi untuk kawasan pelabuhan, sampai perusakan bentang alam karena proyek Banjir Kanal
Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan
Bergerak
perspektif
S
aat ini, perempuan di wilayah pesisir sadar betul
kalau mereka harus bahu-membahu menghadapi
kerentanan akibat kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Berbagai dampak kedua penyebab itu
sudah kerap mereka alami. Sulit mendapat tangkapan,
gagal panen, digerus rob, dan lainnya. Kondisi ini diperparah dengan masih berlakunya nilai-nilai patriarki
yang kerap memposisikan perempuan menjadi pihak
yang paling rentan. Tapi dengan keterbatasan yang ada,
perempuan ternyata memiliki peran penting dalam rantai produksi pangan dan sebagainya. Berdasarkan kajian
KIARA, perempuan nelayan Jawa Tengah dan Jakarta
Utara mengerjakan pekerjaan rumah dan mencari nafkah
selama 16 hingga17 jam per hari. Perempuan pesisir terus-menerus berbenah.
Timur. Di dadanya hanya tersisa sesak dan sedih. Dia ingat 10 tahun yang lalu penghasilannya dari kegiatan di
laut bisa mencapai 100 – 150 ribu rupiah per harinya.
Tapi sekarang, penghasilannya makin seret dan terus
seret, karena kawasan pantai Kampung Marunda Kepu
ditimbun dengan batu-batuan dalam rangka reklamasi.
Nelayan kini tak bisa menancapkan jaring sero.
Untuk memenuhi kebutuhan rumah dan biaya sekolah anak-anaknya, Bu Habibah bersama anak perempuannya kerja serabutan. Kadang jadi pengupas kerang,
kadang mencari botol-botol bekas untuk kemudian dijual. Suaminya sendiri bekerja mencari kerang putih di
laut. Suaminya makin sulit berusaha karena laut sudah
dikavling nelayan-nelayan lain. Jadi, kalau suaminya
bangun pukul 5 pagi, itu sama artinya tak akan kebagian jatah melaut.
Belakangan harapan Bu Habibah kepada Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pun pupus, setelah mendengar kalau semua warga kampung dipastikan akan
digusur pada 2013 nanti. Kini yang bisa dikerjakan secara teratur hanya membuat terasi. Sejak pagi dia mempersiapkan semuanya. Mengumpulkan dan menjemur
bahan baku hingga kering untuk kemudian ditumbuk
sampai liat dan berbentuk siap untuk dijual ke pasar.
Guratan di wajah, otot tangan yang liat menunjukan
kemampuannya untuk tetap bertahan. Di luar rutinitasnya, Habibah pun kerap dicibir tetangga karena aktif
berdemo menolak reklamasi. Semua gunjingan dihiraukan, Ia selalu yakin yang diperjuangkan olehnya selama
ini adalah untuk mempertahankan haknya sebagai warga negara. Untuk mempertahankan sumber kehidupan
para nelayan.
Dampak pembangunan reklamasi pesisir juga dialami Ibu Devita Tumengkol di Manado, Sulawesi Utara.
Proyek reklamasi menghadapkan para nelayan pada ancaman kerusakan kawasan tangkap yang nyata. Karena
itu, bersama Aliansi Nelayan Tradisional Sulut (ANTRA),
5
Devita bahu membahu memperjuangkan aset nelayan
seumur hidup. Ia lahir dan besar di Manado. Saban hari,
Devita menampung hasil tangkapan dan berdagang
ikan dari kampung ke kampung.
Cerita kaum perempuan lainnya kurang lebih sama
dengan persoalan yang berbeda. Di Aceh Jaya, Ibu
Nuraini bersama teman-temannya membentuk Kelompok Perempuan Pesisir Desa Gampong Baro yang punya kerja memproduksi ikan teri krispi dan abon tiram.
Kedua komoditi itu merupakan produk unggulan kelompok Nuraini. Niat kelompok perempuan ini adalah
membantu meringankan beban suami dan keluarga.
Belakangan kegiatan mereka pada Maret hingga April
terkendala cuaca ekstrem. Pada kedua bulan itu, angin berhembus kencang dan gelombang di laut bisa
mencapai ketinggian 3 – 5 meter. Kalau sudah begitu
biasanya suami Nuraini tak melaut. Ini yang membuat
kegiatan kelompok perempuan memproduksi teri krispi jadi terganggu pasokan yang selama ini dipasok dari
hasil tangkapan suami. Di Aceh Besar akhir Mei lalu, sedikitnya ada 500 unit kapal nelayan teronggok begitu
saja karena tak digunakan untuk melaut oleh para nelayan. Sampai awal Juni lalu, angin kencang masih melanda dan gelombang rata-rata empat meter. Dengan
begitu, produksi ikan teri krispi akan terus terkendala
musim.
Di Serdang Bedagai, Sumatera Utara, ada Jumiati
yang menginisasi Kelompok Muara Tanjung. Kerja kelompok itu selama ini memproduksi bakso ikan dan
kerupuk daun teh jeruju. Kelompok ini juga menggerakan koperasi simpan pinjam dan mendorong komunitas nelayan untuk aktif menanam bakau. Senada dengan perempuan-perempuan sebelumnya, kelompok ini
pun dibentuk untuk meringankan beban keluarga dan
melestarikan kawasan pesisir.
Beberapa waktu lalu, Jumiati mengisahkan cuaca
ekstrem yang menyebabkan sampan-sampan tergeletak tak diberdayakan para nelayan di pantai Serdang
Bedagai Sumatera Utara. Kebanyakan sampan yang
tak digunakan itu berukuran kecil dengan jarak jelajah
tangkap ikan tak lebih dari 2 mil.
Sejak Agustus 2011, ombak tinggi dan angin besar terus menerus mendera, padahal bukan musimnya.
Pada Februari lalu saja, udang dan ikan yang mestinya
melimpah tidak ada. Jarang. Ternyata serangan cuaca
ekstrem ini berlanjut hingga Juni 2012. Angin kencang menyapu pesisir Kecamatan Medan Belawan dan
Medan Labuhan, Kota Medan. Posisi gelombang laut
di atas normal dan berpotensi meninggi hingga lima
meter. Hal ini tentu membahayakan nelayan tradisional yang mengandalkan perahu motor atau kapal kecil
bertonase di bawah 5 gross ton. Mereka para nelayan
di tempat Juniati tinggal menyebutnya sebagai “angin
bakat”, atau angin penyebab nelayan tak bisa melaut.
6
Perempuan Bergerak |
Edisi II | April - Juni 2012
Sementara di Desa Gempolsewu, Kendal, pesisir
utara Jawa Tengah, istilah ikan tidak melimpah ruah
adalah paceklik. Juni-Juli biasa susah tangkapan. Ibu
Sulyati dan keluarga hapal sekali, tatkala angin berhembus sangat kencang disusul suara ombak bergemuruh
seperti kapal terbang—itu disebut musim rendeng.
Bila sudah begitu, nelayan libur semua. Juga ada istilah
weleri, di mana tak ada nelayan melaut pada bulan 1, 2
dan 3.
Perempuan Kampung Gempolsewu tidak mengandalkan suami saja mencari nafkah. Banyak di antaranya yang berprofesi sebagai pedagang ikan. Mereka
bangun dari jam 2 pagi guna mempersiapkan alat-alat
dagang. Di tempat pendaratan, perempuan pedagang
ada yang naik langsung ke atas perahu atau merapat
ke badan kapal, menyodorkan ember-ember besar untuk menampung. Lalu memilah-milah ikan, yang sejenis
lantas dipisah-pisah di dalam entik (bakul kecil). Ikanikan itu sebagian dikumpulkan ke bakul (perantara)
atau pun langsung jual sendiri di pasar becek. Sepulang
dari berdagang ikan, para ibu masih harus kembali untuk mengurus rumah dan mengasuh anggota keluarga.
Ada juga yang langsung mengolah ikan sisa dagangan
untuk dijadikan kerupuk atau ikan asin.
Upaya lain yang dilakukan perempuan juga ada di
Morodemak, Jawa Tengah. Di sana telah berdiri kelompok perempuan nelayan Puspita Bahari. Kegiatannya
mengelola sampah menjadi kerajinan. Sampah yang
dimaksud bungkus jajanan dan deterjen berbahan
plastik. Ini menjadi motivasi semua warga kampung
untuk melakukan hal serupa. Meski masih dalam partai
kecil, kelompok ini sudah mempunyai pelanggan dari
kota. Selain kerajinan, warga juga punya kegiatan andalan seperti membuat kerupuk ikan, kripik ikan dan
pengolahan hasil laut. Kelompok perempuan ini pun
menyediakan pelayanan advokasi bagi anggota masyarakat yang menjadi korban kekerasan dalam rumah
tangga. Saat ini, kelompok Puspita Bahari membutuhkan peningkatan kapasitas bagi anggotanya agar bisa
memproduksi produk-produk bernilai jual lebih.
Di Lombok Timur, NTB, para perempuan nelayan
menampung hasil tangkapan saat cuaca baik. Ikan dan
rebon disimpan dengan cara dikeringkan lalu disimpan
setelah benar-benar kering. Hasilnya ada yang diolah
menjadi terasi atau sekedar menemani santapan. Ditambah lagi adanya budidaya rumput laut yang bisa diolah untuk dijadikan pelengkap hidangan, seperti agaragar, atau pun sayur oseng. Para nelayan pun ada yang
menjual rumput laut kering dan basah.
Berbagai inisiatif dan upaya ini, merupakan hasil testimoni para perempuan nelayan yang berbagi pengalaman dalam Pelatihan Kepemimpinan Perempuan yang
diadakan KIARA, Aliansi Untuk Desa Sejahtera (ADS)
dan LBH Semarang.
Membaca Perubahan Iklim
Berdasarkan catatan resmi IPCC bahwa perubahan
iklim mencakup peningkatan suhu, curah hujan tidak
stabil, naiknya permukaan laut, meningkatnya insiden
bencana badai dan ombak tinggi. Semua ini berdampak
negatif terhadap sektor perikanan. Berdasarkan data lapangan yang dihimpun ditemukan bahwa, ketidakteraturan cuaca dan iklim, secara garis besar berakibat pada
berkurangnya hari melaut antara 160 hari hingga 180
hari. Dampaknya juga terlihat dari angka kecelakaan di
mana sejak 2010 sampai 2011 jumlah nelayan yang hilang di laut meningkat dari 68 jiwa menjadi 170 jiwa (KIARA, 2011).
Dengan melihat lebih dekat ke situasi masyarakatnya, kita bisa menyaksikan dampak terhadap perempuan
lebih parah dikarenakan dua dinamika sektor perikanan:
(1) masih kentalnya ketidaksetaraan gender di kampungkampung nelayan, termasuk persepsi dan posisi yang
timpang antara perempuan dan laki-laki, dan; (2) kerentanan akibat pembangunan dan perubahan iklim. Sementara kaum perempuan yang bergelut dalam sektor
perikanan juga sangat bergantung pada alam sebagai
sumber penghidupan. Daya tahan mereka (survival capacity) dan peran-peran dalam membangun perekonomian nelayan dapat dilemahkan dan dikalahkan oleh
unsur-unsur pembangunan (mulai dari penggusuran;
pengkaplingan pesisir oleh pertambangan, pariwisata,
dan perumahan mewah; serta pencemaran).
Kedua dinamika ini membatasi akses dan hak perempuan nelayan, yang serta-merta melahirkan beban ganda. Perempuan tidak hanya bertanggungjawab untuk
memastikan terpenuhinya kebutuhan keluarga, tapi
juga harus berjuang untuk mendapatkannya. Karena dua
tanggung jawab besar itu, perempuan nelayan menempatkan kesehatan reproduksi pada urutan belakang, sehingga kesehatannya menjadi rentan.
Di Indonesia, proses liberalisasi ekonomi yang disebut-sebut memberi peluang kepada semua orang,
ternyata tak memberi manfaat setara bagi perempuan
dan laki-laki. Ini lantas memperdalam perbedaan antar
kelas, kelompok umur dan antar jenis kelamin. Perubahan yang cepat dalam privatisasi usaha juga telah berdampak pada semakin berkurangnya akses keluarga miskin
atas sumber daya. Sampai di sini, perempuan kepala
rumah tangga, anak perempuan dan para istri menjadi
korban yang paling dirugikan, karena sedikitnya kesempatan untuk terlibat dalam pembuatan keputusan ekonomi dibandingkan laki-laki.
Di samping liberalisasi ekonomi, ketidaksetaraan gender merupakan faktor mendasar yang menentukan siapa
yang korban paling dirugikan. Ini dapat kita diidentifikasi
mulai dari kesiapan mereka menghadapi dampak pe-
rubahan iklim, adaptasi dan mitigasi. Ketika bencana
iklim melanda lokasi tinggal masyarakat yang budaya
paternalistiknya kental, akan terlihat jelas perbedaan
kemampuan perempuan dan laki-laki dalam mengakses sumber daya (seperti: air, fasilitas sanitasi, bahan
pangan, bahan bakar untuk memasak dll), termasuk
informasi, mobilitas dan proses pembuatan keputusan.
Situasi ini bisa kita temukan di Jakarta Utara, pesisir
utara Jawa Tengah dan pesisir selatan Jawa Barat—di
mana krisis lingkungan masih berlangsung.
Penguatan
Dalam kehidupan masyarakat, perubahan iklim punya banyak sebutan. Orang Sulawesi Utara biasa menyebut cuaca ekstrem sebagai “angin janda”. Karena
badai dan angin kencang menghancurkan rumah dan
juga kapal. Kalau sudah begitu, perempuan yang biasanya menanggung resiko atas kekacauan iklim ini. Di
Morodemak, Jawa Tengah menyebut perubahan iklim
sebagai ponco uro, sebutan lain dari pancaroba. Pembacaan masyarakat terhadap perubahan iklim selama
ini pun berbeda. Ini tentunya terkait dengan lemahnya upaya adaptasi di lapangan karena negara belum
melakukan banyak hal untuk membantu nelayan-nelayan di sepanjang pesisir Indonesia untuk beradaptasi.
Jadi upaya untuk membalikkan keadaan bisa dilakukan dengan mendorong dan memastikan keterlibatan perempuan untuk membesarkan perekonomian nelayan. Paradigma pembangunan seharusnya
tidak lagi menempatkan mereka sebagai objek yang
terkena dampak dari perubahan iklim. Perempuan harus diperkuat sebagai subjek atau aktor yang berperan
melakukan adaptasi dan mitigasi. Dengan begitu, otomatis kehidupan ekonomi mereka akan pulih kembali.
Jadi sudah semestinya pemerintah membuka ruang
lebih luas bagi partisipasi perempuan dalam penyusunan program dan kebijakan perikanan.
Khusus untuk mendorong pengakuan serta penghormatan hak-hak perempuan nelayan, tentunya perlu
komitmen dan kerja segenap pihak. Termasuk Komnas
Perempuan untuk mendorong Negara mengakui profesi perempuan nelayan serta pemenuhan hak-haknya
dalam undang-undang.
Kini UU Perikanan sudah ada, persoalannya pasal
yang dikandungnya masih mendefenisikan nelayan
sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan/ pembudidayaan. Dalam banyak
contoh di lapangan, kegiatan perikanan tradisional
tidak saja pada lingkup penangkapan/ pembudidayaan, sehingga ke depan adalah: (1) bagaimana UU ini
memberi arahan bagi penyelenggara negara untuk
dapat mengembangkan program yang memberdayakan kegiatan nelayan dan pembudidaya secara utuh,
Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan
Bergerak
7
dan; (2) pada banyak wilayah, perempuan nelayan tidak
melakukan penangkapan atau pembudidayaan. Namun
tanpa mereka, kegiatan perikanan tradisional mustahil
dapat berjalan baik, serta; (3) memberikan kesan bahwa
urusan nelayan cukup pada wilayah menangkap ikan,
sedang pengolahan dan pemasaran ada di wilayah industri. Pasal-pasal tersebut di atas hendaknya tidak
boleh bertentangan dengan Pasal 2 yang menyatakan
bahwa, “Pengelolan perikanan dilakukan berdasarkan
asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang
berkelanjutan.”
Untuk itu Pemerintah harus merevisi defenisi nelayan/ pembudidaya, sehingga dukungan dan pemenuhan hak mereka tidak bias pada laki-laki semata. Apabila belum mampu melakukan perubahan substansi
di dalamnya, maka ruang intervensi masyarakat sipil
dalam mengubah UU Perikanan harus dibuka lebar.
Kedua, Pemerintah juga harus kerja keras mengurangi kerentanan sektor perikanan, dengan mengendalikan penyerobotan sumber-sumber kehidupan nelayan (diambil dari data FAO tahun 2010), seperti alih
konversi hutan mangrove menjadi pertambakan udang
di Jawa Timur, Sulawesi dan Sumatera, lalu penebangan
kayu secara berlebihan dan konversi hutan mangrove
menjadi tambak garam di Jawa dan Sulawesi, kemudian tumpahan minyak dan polusi industri di Kalimantan
Timur, serta penambangan pasir besi dan biji timah di
Bangka Belitung, Jawa, dan Sumatera.
8
Perempuan Bergerak |
Edisi II | April - Juni 2012
Ketiga, keterbukaan pemerintah terhadap informasi
cuaca, iklim dan daerah tangkapan ikan jadi sebuah keharusan untuk para nelayan. Ini karena nelayan sudah tak
bisa lagi mengandalkan perhitungan tradisional (pranata
mangsa).
Bagi Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
dan segenap anggota jaringannya, upaya untuk meraih
cita-cita penguatan gerakan perempuan nelayan akan
terus menerus dilakukan. Beberapa waktu lalu KIARA bersama Perkumpulan Jaringan Pengembangan Kawasan
Pesisir (JPKP) Buton dan Aliansi untuk Desa Sejahtera
(ADS) menggelar pertemuan untuk penguatan kapasitas
perempuan nelayan. Kegiatan yang berlangsung di Pulau Liwuto, Bau-Bau, Propinsi Sulawesi Tenggara, pada
tanggal 20 – 25 November 2010 melahirkan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Pertemuan
itu juga menyepakati PPNI sebagai lokomotif penguatan
gerakan perempuan nelayan Indonesia. Semua tentunya
mesti percaya, hanya perempuan nelayan yang terdidik
dan terorganisir, upaya mewujudkan kesejahteraan keluarga nelayan bisa dicapai. Termasuk untuk urusan pengelolaan sumberdaya perikanan yang adil dan lestari. *****
-----------------*) Mida Saragih adalah Deputi Pengelolaan Sumber Daya
KIARA/Satuan Tugas Pangan dan Akuakultur SEAFish
(Southeast Asia Fish for Justice).
opini
Pohon, Perempuan dan Keadilan Iklim
Oleh: Siti Maimunah*)
M
enanam pohon itu perbuatan yang baik dan
bisa menanggulangi dampak perubahan iklim.
Jika tak percaya, tanyakan saja pada Gerakan
Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon (GPTP)1. Sebuah
gerakan gerakan penanaman dan pemeliharaan pohon
yang dimulai sejak tahun 2007.
Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu, KOWANI,
Dharma Wanita Persatuan, Aliansi Perempuan untuk Pembangunan Berkelanjutan (APPB), Bhayangkari, Dharma
Pertiwi dan Tim Penggerak PKK--tujuh organisasi pelopor
GPTP menyebutupaya itu sumbangan mereka bagi pelestarian lingkungan hidup untukmenanggulangi perubahan iklim global, sebab pohon bisa menyerap Karbon.
Sejak itu, gerakan menanam pohon untuk menjawab
masalah perubahan iklim mengemuka di Indonesia. Jargonnya pun beragam. Ada One Man One Three. Lantas
Satu Miliar Pohon Indonesia untuk Dunia. Banyak Pohon Banyak rejeki, dan lainnya. Departemen Kehutanan bahkan mengklaim telah menanam lebih 2 milyar
pohon dalam dua tahun terakhir, menyerap 15 juta ton
lebih Karbon2. Menanam pohon kemudian menjadi ritual
akhir tahun para Istri Kabinet Indonesia Bersatu. Gemanya bahkan melebihi penyebab perubahan iklim sendiri,
pembakaran batubara, minyak dan gas bumi, deforestasi
hutan dan degradasi lahan yang terus berlangsung dan
makin meluas.
Karbon Netral
Kevin Smith (2006), peneliti Transnational Institute
menyebut upaya mengkompensasi emisi Gas Rumah
Kaca (GRK) dengan menanam pohon itu sebagai Karbon
Netral. Mirip yang dilakukan grup musik terkenal asal
Inggris, Coldplay tahun 2002 saat memproduksi album
“A Rush of Blood to the Head”. Mereka bermitra dengan
perusahaan Carbon Neutral untuk “menetralkan” karbon
yang dihasilkan dari proses produksi dan penyebaran album tersebut.
Coldplay membayar jasa yang ditawarkan Carbon
Neutral menanam 10 ribu pohon Mangga di Karnataka
India. Bahkan kelompok musik ini menyarankan penggemarnya sukarela mendonasikan sekitar Rp 225 ribu untuk
satu pohon Mangga yang ditanam di sana. Sang penggemar akan mendapatkan sertifikat keren, bahkan peta dimana pohon yang mereka bayar itu ditanam3.
Belakangan diketahui dari pemberitaan The Sunday
Telegraph, 2006, ternyata proyek itu justru menghasilkan banyak masalah. Setidaknya itu disampaikan Anandi
Sharan Miele dari Women for Sustainable Development
(WSD), mitra Carbon Neutral di Karnataka yang mengakui dari 8000 anakan Mangga yang mati sekitar 40
persen. Hal itu karena desa-desa di sana mengalami
kesulitan air, warga juga mengkomplain kompensasi
yang diberikan tak sesuai yang dijanjikan.
Apa yang dirasakan Coldplay dengan menanam pohon Mangga itu? Mungkin mereka merasa lebih tenang, merasa menjadi pemusik yang lebih bertanggung
jawab. Sama seperti perasaan kita saat melakukan perbuatan baik. Menanam pohon adalah perbuatan baik.
Mungkin mirip dengan perasaan yang muncul saat
orang-orang membeli mobil hibrid, AC ramah lingkungan, kayu besertifikat ekolabel, emas bersertifikat hijau, juga minyak sawit bersertifikat RSPO. Mereka pasti
merasa lebih baik dibanding membeli produk usang. Itu
membuat kita merasa lebih bertanggung jawab. Seolah
memberikan kita hak untuk terus menerus membeli,
mengkonsumsi dan barang, tanpa batas.
Jejak Ekologi
Padahal untuk memproduksi barang itu dibutuhkan
sumber daya alam, yang bisa saja dikeruk dari tempat
yang jauh. Misalnya emas. PT Newmont Nusa Tenggara
misalnya membongkar tanah untuk mendapatkan batuan mengandung emas, menebang hutan, membelokkan sungai untuk mendapatkan batuan yang mengandung emas. Tak cukup itu, sejumlah bahan kimia dan
limbah akan dibuang setelah emas dikeluarkan dari
batuan. Untuk mendapat satu gram emas dibutuhkan
sedikitnya 100 liter air, dibuang 2,1 ton limbah batuan
dan lumpur tailing, belum lagi 5,8 kilogram emisi beracun, berupa 260 gram Timbal, juga 6,1 gram Merkuri
dan 3 gram Sianida4. Inilah gambaran jejak ekologi kita.
Demikian halnya dengan Handphone (HP). Seperempat berat sebuah HP berasal dari logam, belum
termasuk baterai dan pengecasnya. Barang-barang
elektronik, dibuat dari berbagai komponen dan jenis
logam. Bahan utamanya adalah aluminium, besi, tembaga, nikel dan seng. Tapi ada bahan lain dalam jumlah
Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan
Bergerak
9
kecil, seperti galium, timah, cobalt, coltan, tantalum dan
platinum. Meski kecil, bahan yang dikenal sebagai rare
earth mineral, atau minal langka bumi ini perannya vital.
Cobalt bahan pengecas batere HP, Gallium dipakai untuk
power amplifier, keypad dan lampu kamera HP. Jangan
lupa timah untuk menyoder atau merekatkan antar komponen.
Tahun lalu, Menkominfo5 mengumumkan penggunanya di Indonesia mencapai 231 juta, menjadi pengguna HP nomer empat dunia. Jumlah pemakai HP secara
global kini mencapai lebih 5 Milyar dan akan terus bertambah6. Bayangkan, berapa logam yang harus digali untuk memenuhi kebutuhan itu, berapa gunung sudah dibongkar untuk diambil batuan mineralnya, berapa hutan
dibabat, limbah yang dibuang ke lingkungan sekitar, dan
lubang-lubang yang ditinggalkan begitu saja? Pertanyaan paling penting, di mana semua bahan itu didapat.
Tentu, bukan dari Negara industri asal perusahaan
elektronik macam Nokia, Samsung, Dell, Apple dan lainnya. Logam-logam itu berasal dari negara-negara miskin
dan berkembang macam Congo dan Indonesia. Cobalt
dan timah untuk industri elektronik sebagiannya dipasok dari Congo, dari kawasan yang dikontrol oleh kelompok-kelompok pemberontak bersejata dan perang sipil.
Diperkirakan dua juta orang meninggal akibat kekerasan,
penyakit dan kelaparan semasa perang sipil. Timah juga
dipasok dari Bangka Belitung sejak 300 tahun lalu. Sedikitnya 1000 lubang tambang--yang disebut kolong ditinggalkan begitu saja di sana.
Negara industri yang memproduksi barang-barang
elektronik tersebut tak hanya menjadikan negara-negara
miskin dan berkembang sebagai sumber bahan mentah, namun juga pasar raksasa yang menguntungkan,
karena jumlah penduduknya yang besar. Kerap pabrikpabriknya pun bertempat di negara yang sama karena
gaji buruhnya yang murah, beaya lingkungannya juga
murah, ujungnya beaya produksi bisa ditekan. Bukankah
ini terdengar seperti cerita usang? Seperti cerita tentang
penjajahan bangsa-bangsa ratusan tahun lalu.
Itu memang cerita usang. Cerita penjajahan, penciptaan dan konsumsi barang yang tiada batas. Cuma
berubah modanya. Jika penjajahan ratusan tahun lalu
menggunakan pasukan tentara dan senjata. Kini cukup
dengan para cerdik cendikia, teknologi, utang, pengetahuan, budaya, dan tentu saja dengan bantuan korupsi.
Penjaga keamanannya cukup mengerahkan polisi atau
tentara di negara tempat mereka mengeruk. Hasilnya tak
jauh berbeda, hasil eksploitasi besar-besaran ini diangkut dan diperdagangkan diantara negara industri, negara industri makin kaya, jajahannya tetap menjadi negara
miskin, atau berkembang.
Belakangan muncul gerakan masyarkat sipil yang
menuntut pembayaran utang ekologis oleh negara industri. Utang yang diciptakan dari akumulasi pencurian
10
Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2012
sumber daya alam selama era kolonialisme, perdagangan
tidak adil, kerusakan lingkungan dan pembuangan limbah oleh negara-negara industri. Tuntutan ini tak hanya
bertujuan mensejajarkan posisi dan mengkoreksi ketidakadilan yang terjadi. Namun juga mengingatkan bahwa
bumi yang kita miliki punya keterbatasan.
Pembabatan hutan dan pembongkaran bahan tambang sejak 5 dekade lalu telah menghasilkan kerusakan
lingkungan yang luar biasa, termasuk pencemaran atmosfir bumi. Setidaknya dari pembakaran bahan bakar
fosil yang menyebabkan karbon yang tersimpan dalam
tanah (inert) dilepas masuk dalam daur karbon aktif di
atas permukaan bumi. Emisi karbon itu berakumulasi
dengan emisi GRK dari degradasi lahan, deforestasi hutan dan lainnya menciptakan efek rumah kaca dan memicu pemanasan global dan menyebabkan perubahan
iklim.
Reproduksi Sosial
Namun bicara konsumsi dan keterbatasan bumi, sebenarnya perempuan yang paling mudah mengenali keterbatasan bumi. Sebab dalam keseharian, mereka yang
paling berhubungan dengan sumber-sumber kehidupan
dari alam. Perempuan yang mengumpulkan air dan mengaturnya untuk kebutuhan keluarga, mulai untuk kebutuhan memasak, mencuci hingga memandikan anak.
Mereka juga yang memasak makanan yang dipanen dari
kebun. Semuanya berhubungan dengan alam. Perempuan yang akan pertama merasakan air yang tercemar,
atau pun lahannya rusak karena dibongkar.
Uniknya melalui peran domestik dalam keluarga,
perempuan memiliki peran dan kesempatan luas sebagai penjaga identitas dan reproduksi sosial. Reproduksi
social adalah fungsi seksualitas tubuh perempuan yang
berhubungan dengan peran sosial7. Pada sebuah keluarga misalnya, perempuan yang lebih banyak memperkenalkan nilai-nilai kebaikan pada anak-anaknya, yang
akan diingat si anak sepanjang hidupnya.
Dalam situasi krisis lingkungan seperti sekarang,
rasanya tak cukup memperkenalkan nilai-nilai baik pada
keluarga sebatas sesuatu yang normatif, macam jangan
buang sampah sembarangan, mari menanam pohon
atau jaga kebersihan. Anak-anak dan anggota keluarga
lainnya harus mendapatkan pengetahuan dasar tentang
jejak ekologi mereka. Intinya, mengetahui sebenarnya
dari mana barang-barang yang mereka gunakan berasal,
termasuk logam-logam yang ada di televisi, HP, radio dan
apa ongkos sosial dan lingkungannya, tentu dengan bahasa yang lebih mudah ditangkap.
Pengetahuan itu bekal penting untuk kelak mereka
menentukan pilihan di masa remaja. Sebab pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping
biasanya, remaja mudah terbujuk rayuan iklan,meniru teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya.Dengan bantuan Kelompok usia remaja bisa menjadi kelompok sangat konsumtif.
Alam adalah Tubuh Manusia
Perempuan Molo di pulau Timor mengenalkan lingkungan pada anak-anaknya lewat filosofi mereka tentang
alam adalah tubuh. ”Kami orang Molo, semua makan dan
minuman kamu disediakan oleh perempuan, sama dengan tanah yang menyediakan kami makan dan minum.
Kalau alam dirusakan dengan ambil batu sama saja dengan memperkosa tanah, memperkosa perempuan”, ujar
mama Ety Anone, pada orang-orang yang datang ingin
menambang batu mereka.
Sebab buat orang Molo, batu bukanlah batu. Orang
Molo Percaya alam bagaikan tubuh manusia. “Kami tidak
jadi manusia lagi, kalau kami tidak tinggal di tanah ini,
sedangkan tanah kami banyak longsor dan rusak, batu
diambil dan dihancurkan, lalu air kotor, hilang, hutan
juga di tebang, diambil. Akibatnya tanah lepas pergi, air
jadi kurang. Padahal tanah, hutan, batu dan air memiliki
fungsi sama dengan tubuh manusia.
Alam bagai tubuh manusia. Batu, hutan, air, tanah
sama dengan tubuh manusia. Batu dilambangkan sebagai tulang, tanah sebagai daging, air sebagai darah, dan
hutan sebagai kulit, paru-paru dan rambut. Filosofi ini
yang mendorong mereka untuk menghalangi perusakan
lahan dan air. Salah satunya dilakukan dengan pengusiran perusahaan tambang yang membongkar gunung
batu untuk diambil marmernya. Mereka berhasil menyelamatkan empat gunung batu, tulang-tulang penyusun
dan penguat tubuh.
Itu sebabnya, tak seperti GPTP, Perempuan Molo di
pulau Timor justru memaknai dampak perubahan ikim,
sebagai lampu merah. Mereka berupaya sedemikian
rupa untuk mengurangi konsumsi dengan mendekatkan
dirinya kepada alam dan meningkatkan kemandirian
ekonomi mereka. Perempuan-perempuan Molo adalah
penggerak utama di sana.
Sejak itu, orang Molo membentuk persekutuan bersama dua suku lainnya yang masih bersaudara dengan
mereka, Amanuban dan Amanatun. Persekutuan adat
itu bernama tiga batu tungku. Mereka memulihkan
kembali tanah-tanah dan sempadan sungai yang rusak
karena longsor dengan menanam pohon. Bukan untuk
menangkap karbonnya, seperti yang dilakukan GPTP.
Sebab Orang Molo tak memisah-misahkan fungsi-fungsi yang dimiliki pohon, karena itu bagian fungsi tubuh.
Fungsi-fungsi yang kini diperjualbelikan oleh pemerintah dan korporasi lewat proyek-proyek REDD, penurunan emisi dari perusakan dan degradasi hutan.
Tapi kini, kondisi makin berat sejak dampak perubahan iklim makin terasa. Orang Molo menghadapi
musim ekstrim yang kedatangannya tak bisa diramalkan lagi. Praktis dalam tiga tahun terakhir mereka tak
bisa menanam dengan normal, gagal tanam dan gagal
panen. Orang Molo juga membudidayakan tanaman
Pangan yang semula harus mereka ambil di hutan,
yang jumlahnya makin jarang agar bisa dikonsumsi saat
musim paceklik.
Perubahan Iklim dan cuaca merupakan tanda-tanda
alam. Tetapi bukan berarti sifatnya alami. Perubahan
iklim menggambarkan perombakan pola. Keteraturan
hilang. Musim tidak lagi berlaku, tidak bisa lagi diramalkan. Petani, nelayan dan Kaum Miskin Kota mengalami
masa-masa paling sulit. Tapi dalam situasi ini perempuan tetap yang paling sengsara.
Perubahan iklim berdampak lebih parah pada
perempuan karena berbagai peran yang kerap kali
distereotipkan untuk perempuan dalam keluarga. Sebab perempuan memikul tanggung jawab utama untuk
mengumpulkan air dan bahan bakar serta menyediakan
pangan untuk keluarga mereka8. Menurut Serikat Petani Indonesia, sekitar 70-80 persen pekerja pada sektor
pertanian adalah perempuan9.Kelompok inilah yang
paling terkena dampak saat tahun 2006, total areal pertanian di Indonesia yang terkena dampak banjir mencapai 66,400 hektar. Antara Oktober- Desember tahun
2007 saja, banjir telah menyebabkan 6,676 hektar lahan
pertanian gagal panen.
Itulah sebabnya, membicarakan perubahan iklim
mensyaratkan empat prinsip, yang dikenal sebagai
prinsip keadilan iklim. Prinsip itu termasuk keselamatan
manusia, hak atas lahan, jejak ekologi, serta keadilan
produksi dan konsumsi. Tak kan pernah cukup menjawab masalah perubahan iklim dengan menanam pohon.
Apalagi mempromosikan menanam pohon atau menjaga karbon hutan sebagai cara utama menghadapi dampak perubahan iklim. Celakanya, pemerintah bersama
korporasi justru akan memperdagangkan fungsi-fungsi
alam, termasuk fungsi yang dimiliki pohon, hutan dan
laut sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.
Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan
Bergerak
11
Upaya mitigasi atau pengurangan emisi, maupun
upaya penyesuaian dampak perubahan iklim (adaptasi), tak mampu menjawab pangkal masalah perubahan
iklim, yakni gagalnya model pembangunan global. Selama Indonesia tak mengubah dan berpaling dari ketaatan
model pembangunan saat ini, maka solusi menyeluruh
perubahan iklim akan semakin jauh tak tersentuh. Dan
Perempuan akan menjadi warga negara yang paling dirugikan.
--------*) Siti Maimunah, Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan
Iklim (CSF).
1. http://indonesiahijau.or.id/index.php?option=com_
content&view=article&id=1220
2. http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/8169
Kevin Smith, 2007, The Carbon Neutral Myth. Offset
Indulgences for your Climate Sins, Netherlands
3. http://mai-jebing.tumblr.com/private/10404816395/
Cuaca Berubah, Panen Berkurang
warta komunitas
12
tumblr_lrs1tiKr2K1r0hl2e
4.
http://kominfo.go.id/berita_kementrian/detail/1549/
Menkominfo+%3A+Tahun+2014+Indonesia+Infor
ma
tif+Untuk+Tingkatkan+Kesra
5. http://wahw33d.blogspot.com/2012/04/indonesiamasuk-no4-pengguna-hp.html
6. Mariana Amiruddin, Kesehatan dan Hak Reproduksi
Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan dan The Japan
Foundation, 2003
7. http://www.antaranews.com/
view/?i=1206520900&c=WBM&s=
8. http://www.hukumonline.com/berita/baca/
lt4d9ff7032f4bb/beban-perempuan-bertambah-aki
bat-perubahan-iklim
Pasrujambe terletak di lereng gunung Semeru, tepatnya berada di kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Karena wilayahnya di kelilingi pegunungan, maka tak
heran jika tanah di daerah ini sangat subur. Aneka jenis
tanaman palawija dan holtikultura dapat tumbuh dengan baik. Penduduk desa kebanyakan bekerja sebagai
petani, namun ada yang bekerja sebagai penambang
pasir dan batu.
Mereka yang bekerja sebagai petani biasanya sangat
mengandalkan iklim untuk menentukan kapan mereka
akan menanam. “Biasanya Juli, Agustus, September, Oktober, November, Desember, itu bulan baik untuk menanam, tapi jangan Juni karena bukan musimnya”, ujar Sulikhati, perempuan petani asal dusun Suco.
Namun belakangan, para petani di desa Pasrujambe tidak lagi dapat memprediksi kapan mereka harus
menanam dan menghasilkan panen dengan hasil yang
baik. Salah satu faktornya karena terjadi perubahan
iklim yang tidak menentu. “Sekarang tidak seperti dulu,
susah pastikan kapan mulai tanam. Dikira bisa tanam,
ternyata malah hujan terus-terusan atau malah kemarau
panjang, jadi tanaman malah jelek”, ungkap Rokhanah,
seorang warga dusun Krajan II.
Baik Sulikhati maupun Rokhana mengakui jika
perubahan musim yang tidak menentu mempengaruhi pendapatan dan hasil panen mereka. “Jika hujan
terus-menerus, padinya jadi jelek dan hasil panen pun
Perempuan Bergerak |
Edisi II | April - Juni 2012
berkurang”, ungkap Sulikhati. Ibu ini mempunyai sawah
seluas 150 m2 dimana biasanya dalam setahun dia panen
hingga 2 kali. “Biasanya saya panen 12 sak atau 6 kuintal,
tapi sejak cuacanya berubah-ubah hasilnya pun jadi tidak
menentu. Panen terakhir kemarin hanya 8,7 sak”, ungkapnya lagi.
Lain halnya dengan Sulikhati, Rokhana memang tidak
punya lahan sawah, tetapi dia mempunyai lahan yang
ditanami aneka jenis tanaman palawija, seperti tomat,
cabe, pare dan sebagainya. Diakui Rokhana sejak terjadinya perubahan cuaca, hasil tanamannya juga mengalami dampak yang kurang lebih sama dengan yang diungkap Sulikhati. “Jika hujan terus-menerus, tanaman jadi
keriting, sedangkan jika kemarau datang agak panjang,
tanaman juga kering kurang air”, terangnya. Dampak
lain yang dialami dua perempuan ini adalah jika musim
penghujan datang lebih lama, tanaman mereka banyak
diserbu hama dan pupuk menjadi mahal. Sedangkan
jika musim kemarau datang lebih panjang, maka mereka
terkadang kesulitan air untuk mengairi sawah dan kebunnya. “Jika musim kemarau datang, biasanya siap-siap
rebutan air. Pernah saya pagi-pagi sekali sudah ke sawah
demi mengambil air untuk mengairi sawah. Karena kalau
udah siang pasti rebutan dengan yang lain”, ungkap Sulikhati. *****(NR)
S
iang itu, matahari bersinar sangat terik, hingga
membuat orang malas untuk beraktivitas di luar
ruangan. Mereka memilih mengurangi aktivitas
di luar atau menunggu hingga waktu menjelang sore
agar terik matahari sedikit berkurang. Berada di tempat
yang teduh atau di ruangan be-AC menjadi satu pilihan.
Bagi mereka yang tidak mempunyai pilihan, maka mereka tetap menembus teriknya sinar matahari. Di tengah
teriknya sinar matahari, tiba-tiba mendung kemudian
hujan turun deras. Banjir pun terjadi di mana-mana. Sementara di tempat lain, kekeringan melanda.
Itulah gambaran singkat mengenai apa yang terjadi
dalam 10 tahun terakhir ini, karena cuaca tidak dapat diprediksi lagi. Selain itu, hujan atau panas tak lagi mengenal bulan. Kalau dulu, ketika duduk di bangku sekolah
dasar ada pelajaran tentang musim, dimana Indonesia
sebagai negara tropis hanya mengenal dua musim yakni
musim panas dan hujan, dan dapat dihitung berdasarkan
bulan. Misalnya bulan Januari-Juni, itu musim hujan, dan
Juli-Desember musim panas. Namun sekarang, sudah tak
dapat dijadikan patokan karena hujan dan panas bisa turun kapan pun. Demikian dengan suhu udara, bila sepuluh tahun lalu kita masih bisa menikmati udara dingin di
desa, maka kini itu sudah makin sulit ditemukan.
Apa Itu Perubahan Iklim?
Cuaca yang tidak menentu dinamakan dengan perubahan iklim atau climate change. Sebuah istilah yang
menggambarkan terjadinya gejala perubahan siklus
iklim dalam jangka waktu panjang, termasuk perubahan temperatur dan curah hujan. Perubahan iklim akibat
naiknya suhu rata-rata muka bumi karena panas bumi
yang terperangkap oleh gas rumah kaca, atau yang biasa
dikenal dengan istilah Pemanasan Global (global warming). Pemanasan global terjadi akibat terakumulasinya
Gas Rumah Kaca (GRK), yakni lapisan gas yang terdapat
di atmosfir. Muatan GRK terbanyak ialah uap air, Karbon
dioksida, Metana, dan Nitrogen Oksida. Gas ini muncul
secara alami maupun akibat aktivitas manusia. Gas alami
didapat dari penguapan air yang ada di laut, danau atau
sungai. Gas dari aktivitas manusia terbanyak berasal dari
pembakaran bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil digunakan untuk transportasi, listrik, pabrik, dan lainnya. Kebakaran hutan juga menjadi penghasil GRK.
Ada dua penyebab mengapa perubahan iklim itu terjadi, yakni pertama akibat alam, dan yang kedua, akibat
perbuatan manusia melalui tindakan yang tak peduli terhadap lingkungan hidupnya, sehingga dampaknya terasakan kini. Di Indonesia, perilaku manusia bisa terlihat
dari aksi penggundulan hutan yang terus-menerus dilakukan untuk alih-fungsi sebagai lahan perkebunan
atau area pertambangan. Selain itu, area persawahan
yang berfungsi sebagai penghasil pangan, kini beralih sebagai area perumahan atau pusat-pusat perbelanjaan. Hal itu menimbulkan krisis pangan yang
berkepanjangan, krisis air bersih, dan banjir yang terjadi akhir-akhir ini.
Dampak Perubahan Iklim
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat
rentan terhadap perubahan iklim yang menyebabkan bencana banjir, longsor, kemarau panjang, angin
kencang, dan gelombang tinggi. Ancaman bencana
iklim di Indonesia bahkan dapat terjadi dalam intensitas yang lebih besar, yang secara langsung dirasakan
oleh masyarakat petani, nelayan, pesisir, pedesaan,
dan juga perkotaan. Dampak yang luas tidak hanya
merusak lingkungan, akan tetapi membahayakan kesehatan manusia, keamanan pangan, kegiatan pembangunan ekonomi, pengelolaan sumberdaya alam
dan infrastruktur.
Perubahan iklim tak hanya mengancam Indonesia, tapi seluruh masyarakat di lapisan dunia. Dalam
rangka meningkatkan koordinasi pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan memperkuat posisi
Indonesia di forum internasional dalam pengendalian
perubahan iklim, maka dibentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) berdasarkan Peraturan Presiden
Republik Indonesia No. 46 Tahun 2008. Beberapa tugas
diemban oleh DNPI yakni: 1) Merumuskan kebijakan
nasional, strategi, program dan kegiatan pengendalian perubahan iklim; 2) Mengkoordinasi kegiatan
dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan
iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih
teknologi dan pendanaan; 3) Merumuskan kebijakan
pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan
karbon; 4) Melaksanakan pemantauan dan evaluasi implementasi kebijakan tentang pengendalian perubahan iklim; 5) Memperkuat posisi Indonesia untuk
mendorong negara-negara maju untuk lebih bertanggung jawab dalam pengendalian perubahan iklim.
Ancaman global perubahan iklim, juga diamini
oleh Pusat Penelitian Politik, bahkan lebih serius bagi
keamanan manusia (human security) karena berbagai
efek telah mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat
di berbagai belahan dunia. Pengaruh perubahan iklim
sangat berdampak bagi seluruh sendi kehidupan masyarakat di seluruh dunia, terutama di negara-negara
Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan
Bergerak
warta perempuan
Perempuan Menjadi Korban Perubahan Iklim
13
yang miskin.
Perempuan dan Anak Korban Perubahan Iklim
Berdasarkan survei kerentanan kelompok manusia
yang menderita akibat perubahan iklim dalam Millennium Development Goals (MDGs), perempuan dan anak
merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban perubahan iklim. Banyak implikasi dirasakan oleh
perempuan, terutama pasca bencana. Selain juga mempergaruhi sektor danl layanan kesehatan, di mana hal
itu juga turut menyumbang tingginya angka kematian
ibu melahirkan. “Implikasi perubahan iklim terhadap
kaum perempuan sangat banyak. Misalnya, beban untuk menanggung kebutuhan beaya hidup keluarga makin meningkat jika anggota keluarga ada yang terkena
bencana alam, dan lainnya. Sering bencana dilihat sebagai bencana semata, tanpa tahu kaitannya dengan
isu perubahan iklim”, ungkap Lana dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati).
Kondisi itu juga ditemukan dalam studi yang dilakukan oleh the London School of Economics and Political
Science terhadap 141 negara yang terkena bencana
periode 1981-2002 di mana ditemukan kaitan erat antara bencana alam dan status sosial ekonomi perempuannya. Bencana alam berakibat pada penurunan angka
harapan hidup perempuan dan peningkatan gender
gap di dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa
perempuan ternyata korban terbesar berbagai bencana
alam yang terjadi. Akibatnya, terjadi peningkatan angka
kemiskinan di kalangan perempuan.
Bencana yang terjadi akibat perubahan iklim turut
memperparah ketidaksetaraan relasi antara laki-laki
dan perempuan yang ada di masyarakat, yang sebelumnya sudah ada. Menjadi nyata ketika perempuan adalah
mayoritas korban. Ada perbedaan antara perempuan
dan laki-laki dalam mengakses sumber daya, informasi,
mobilitas dan proses pembuatan kebijakan. Dalam beberapa kasus, ketidaksetaraan terlihat ketika perempuan tidak mempperoleh peringatan dini sebelum
bencana datang, menguatnya peran-peran tradisional
perempuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, akses rendah terhadap berbagai sumber daya, seperti air,
sanitasi dan energi, yang akhirnya menciptakan beban
ganda bagi perempuan.
Dampak terbesar perubahan iklim terjadi terutama
di daerah-daerah yang masih tergolong miskin, bahkan di beberapa negara maju korban perubahan iklim
didominasi kaum perempuan. Data-data menunjukkan tingginya jumlah perempuan yang menjadi korban
berbagai fenomena alam akibat perubahan iklim. Di beberapa negara maju menunjukkan trend yang sama. Ketika terjadi bencana gelombang panas di Perancis tahun
2003, perempuan merupakan 70% dari 15,000 korban
14
Perempuan Bergerak |
Edisi I | Januari - Maret 2012
yang meninggal dunia. Korban badai Katrina di Amerika
Serikat mayoritas perempuan miskin keturunan Amerika-Afrika, yang termasuk kategori masyarakat miskin di
Amerika Serikat (Sumber: LIPI, Januari, 2010).
Beragam masalah timbul ketika iklim sudah tidak bisa
diprediksi. Terutama bagi keluarga-keluarga yang mengantungkan hidupnya pada alam. Beberapa persoalan
yang timbul, misalnya ikan sulit ditangkap, panen padi
yang kerap gagal, dan lain sebagainya. Hutan sebagai
penyimpan sumber air dan kebutuhan hidup masyarakat sekitar makin menipis jumlahnya. Perempuan akan
menanggung beban terberat akibat kondisi tersebut
karena yang selama ini dibebankan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, terutama ketersediaan pangan
dan air bersih.
Tak hanya di darat, di pesisir laut pun perempuan banyak tidak mempunyai akses air bersih untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Maka, ia akan menghabiskan
banyak waktu karena, selain bekerja, mereka dituntut
untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) misalnya, menyatakan
bahwa perempuan yang tinggal di pesisir utara Jakarta
melakukan pekerjaan tak kurang dari 17 jam setiap hari.
Data Serikat Petani Indonesia (SPI), 70-80 persen pekerja
di sektor pertanian ialah perempuan. Gagal tanam dan
gagal panen akibat perubahan iklim berdampak terhadap pendapatan perempuan petani. Hilangnya tanaman
yang berfungsi sebagai obat-obatan tradisional yang dimanfaatkan oleh perempuan adat. Semakin sulitnya akses air bersih bagi perempuan di perkotaan.
Partisipasi Perempuan
Walaupun perempuan paling merasakan dampak perubahan iklim, namun dalam pengambilan keputusan
sering dilupakan. Program pembangunan yang diperuntukan mengantisipasi dampak perubahan iklim jauh dari
kebutuhan perempuan dan anak. Padahal mereka seharusnya memiliki peran yang paling besar karena paling
dekat dengan alam. “Sebaliknya, perempuan memiliki
peran yang sangat penting untuk mengatasi perubahan
iklim. Karena sebagian besar gas rumah kaca yang timbul
adalah akibat aktivitas manusia. Perempuan bisa menjadi motor penggerak untuk membuat pola hidup yang
lebih ramah lingkungan. Misalnya, dengan membiasakan
efisiensi penggunaan air dan listrik, mengolah sampah
rumah tangga, dan sebagainya. Karena itu, sangat penting bagi perempuan untuk diberi edukasi mengenai hal
ini”, demikian lanjut Lana.
Sementara itu, Yani Septiani, Anggota Kelompok Kerja
Perubahan Iklim, Kementerian Kehutanan mengatakan,
bahwa selama ini kontribusi perempuan belum banyak
dihargai. Perempuan jarang diberi kesempatan untuk
terlibat langsung terutama dalam menjaga kelestar-
ian hutan. ”Untuk itu, kami ingin meningkatkan posisi
perempuan dalam perubahan iklim ini”, katanya.
Hal senada diungkapkan Laksmini Banowati, selaku
National Project Manager UN-REDD Programme Indonesia. Menurutnya, pemanfaatan hutan cenderung dengan
kegiatan laki-laki. Sehingga tidak dipungkiri, jika pemanfaatan hutan hanya di wilayah kayunya. Padahal banyak
yang bisa dimanfaatkan dari hutan seperti madu, rotan,
dan ulat sutra. “Perempuan mempunyai keterampilan
yang khusus untuk mengelolah hasil hutan dan dapat
dijadikan sumber mata pencarian. Sumber mata pencarian ini akan membantu ekonomi keluarga, dan menekan
para suami untuk melakukan penebangan liar”, ungkapnya.
Laksmini mengatakan ada tiga aspek yang harus dimilki perempuan dalam pelestarian hutan. “Aspek
mendapatkan akses, mendapatkan informasi dan aspek
mendapatkan kesempatan”, jelasnya.
Menurutnya, yang menjadi penghalang selama ini
ialah aspek untuk mendapatkan akses pengambilan
keputusan. Sehingga pengambilan kebijakan terkait
pelestarian hutan, perempuan tak pernah dilibatkan.
Padahal menurutnya, perempuan sangat memahami
pemanfaatan hutan tersebut, yang tidak diketahui oleh
para laki-laki.
Strategi
Sudah selayaknya perempuan menjadi agen perubahan dalam mengadvokasi berbagai isu dalam masyarakat terkait perubahan iklim. Penguatan pengakuan akan
pentingnya perspektif gender telah muncul dalam the
Hugo Framework of Action sebagai hasil the World Conference on Disaster Reduction States yang diselenggarakan
PBB tahun 2005. Kesepakatan itu menyebutkan bahwa
“Perspektif gender harus diintegrasikan dalam semua kebijakan manajemen resiko bencana, rencana dan proses
pengambilan keputusan, termasuk dengan penilaian resiko, peringatan dini, pengelolaan informasi, pendidikan
dan pelatihan”.
Berkenaan dengan mitigasi dan perubahan iklim,
Yayasan KEHATI bekerjasama dengan masyarakat lokal
untuk terus menjaga alamnya dan melibatkan perempuan. Beberapa tempat yang dicontohkan KEHATI, misalnya di Aceh, Brebes, Sumba dan Flores. “Di Aceh pasca
tsunami, kami mendorongkan gerakan perempuan nelayan untuk menanam mangrove (mitigasi perubahan
iklim) dan peningkatan ekomi lokal dengan pemanfaatan
tumbuhan pandan menjadi aneka produk anyaman tas,
sandal, dan sebagainya. Dengan melakukan upaya itu,
warga nelayan setempat mendapat sumber pendapatan
dari sumberdaya hayati yang dikelola secara berkelanjutan”, ungkap Rina Kusuma selaku Education and Outreach
Officer Yayasan KEHATI.
Sementara di Brebes, ada inisiatif masyarakat lokal untuk mengembalikan wilayah pesisirnya yang
tergerus, dengan penanaman mangrove dan ujicoba
penanaman bibit padi yang tahan dampak air asin
(tadas). Inisiatif ini timbul karena dalam waktu kurang
lebih 20 tahun, wilayah pesisir mereka seluas 194 hektar hilang (atau tergenang air laut) sehingga banyak
warga desanya yang bermigrasi dan sawah-sawahnya
tidak produktif lagi karena tergenang air laut. Setiap
kegiatan penanaman mangrove dan bibit padi tadas
selalu melibatkan perempuan sebagai motor penggerak. Di Sumba dan Flores, ada inisiatif kelompok
peremuan setempat untuk melestarikan sumber pangan lokal seperti sorghum, jewawut, jelai, dan lainnya.
Karena ekosistem Sumba dan Flores yang sangat kering, mereka rentan kekurangan cadangan padi. Padahal kawasan tersebut memiliki ragam sumber pangan
karbohidrat yang mudah ditanam dan dimanfaatkan
ketimbang padi. Selain itu, mereka juga menjaga kebudayaan setempat untuk menenun kain dengan
pewarna alami. Kain tenun pewarna alami selain ramah lingkungan (karena tidak ada limbah kimiawi),
juga bisa meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.
Sementara itu, Dewan Nasional Perubahan Iklim
(DNPI) mengajak masyarakat untuk menyikapi perubahan iklim dengan memperdalam pemahaman
tentang proses kejadiannya secara ilmiah, baik penyebab maupun dampaknya terhadap manusia dan
lingkungan kita. Dengan pemahaman tersebut, dapat
direncanakan upaya penyesuaian (adaptasi) dan
pencegahannya (mitigasi). Strategi yang sifatnya terintegrasi di tiap sektor sangatlah diperlukan. Bukan
hanya di tingkat pusat, tetapi terutama di tingkat daerah, mengingat berbagai dampak maupun upaya akan
terjadi di tingkat daerah.
Selain itu, penanggulangan masalah perubahan
iklim perlu dilaksanakan oleh berbagai pihak yakni
pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta,
masyarakat madani, dunia pendidikan, masing-masing individu maupun pemangku kepentingan lainnya.
*****(JK)
Edisi I | Januari - Maret 2012 | Perempuan
Bergerak
15
sosok
Maria Loretha:
Kenapa Malu Makan Pisang?
Indonesia adalah negeri beribu-ribu pulau. Negeri
ini memiliki kontur dan jenis tanah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman sebagai sumber pangan
dapat hidup. Dengan demikian, sumber pangan tentu
sangat beragam, baik dari darat maupun laut. Sayangnya, sumber pangan yang beragam tersebut tak dikelola dengan baik, malah pemerintah Indonesia cenderung menyeragamkan pangan bagi warganya. Lihat
misalnya indoktrinisasi bahwa beras adalah sumber
pangan utama yang dilakukan sejak Orde Baru. Hal ini
turut mempengaruhi pemikiran masyarakat untuk beramai-ramai menjadikan beras sebagai bahan makanan
utama. Maka tak heran, sering terdengar slogan bahwa
belum makan, kalau belum makan nasi. Dengan kata
lain, manusia Indonesia tak bisa hidup tanpa nasi!
Dengan kondisi tanah yang berbeda-beda, tidak
semua daratan bisa ditanami dengan padi. Persoalan
baru pun muncul, beras yang diyakini sebagai sumber
pangan utama harus diimpor dari luar Indonesia. Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam memiliki berbagai jenis tanaman yang berpotensi menjadi
alternatif sumber pangan dunia. Di tiap wilayah di Indonesia juga mempunyai sumber pangan lokal yang
sangat berlimpah, yang kandungan gizinya lebih baik
dari pada nasi. Namun karena kuatnya iklan Orde Baru,
sehingga dapat mengubah pola konsumsi masyarakat.
Dengan kondisi demikian, masyarakat harus membuat perubahan dengan kembali menjadikan pangan
lokal yang kaya gizi dan mudah diakses sebagai sumber pangan utama. Tidak mudah untuk melakukan perubahan. Hanya segelintir orang yang peduli dengan
hal itu. Padahal, isu pemenuhan pangan saat ini men-
16
Perempuan Bergerak |
Edisi II | April - Juni 2012
jadi perhatian dunia karena pangan menjadi kebutuhan pokok tiap mahkluk hidup. Di berbagai belahan
dunia, banyak wilayah mengalami kelaparan karena
tidak tersedianya sumber pangan. Seharusnya diciptakan sumber pangan alternatif untuk mengatasi krisis
pangan yang terjadi saat ini di Indonesia.
Adalah Maria Loretha, seorang perempuan kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat, 28 Mei 1970. Dia keturunan Dayak Kanayatan dan Otdanum, menjadi satu
dari segelintir orang yang berjuang untuk mengembalikan pangan lokal sebagai sumber pangan alternatif.
Menjadi petani sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh
perempuan yang sejak kecil hingga menyelesaikan kuliah, tinggal di kota. Setamat kuliah dari Fakultas Hukum Universitas Negeri Malang, Mama Tata, demikian
perempuan ini biasa dipanggil, sempat bekerja di sebuah stasiun radio sebagai penyiar radio. Ketika krisis
melanda Indonesia tahun 1999, hal itu berdampak pula
terhadap kehidupan ekonomi keluarganya. Kembali ke
Flores merupakan keputusan yang harus ia ambil. “Suamiku mengatakan bahwa ia mempunyai kebun yang
luasnya 6 hektar di pinggir pantai. Di sana tempatnya
sangat indah,” kenang Mama Tata. Situasi ini memberi
harapan baginya walaupun awalnya Mama Tata agak
canggung karena membayangkan Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT ) merupakan daerah kering dan gersang.
Apalagi selama ini banyak yang mengenal NTT sebagai
provinsi dengan angka kelaparan dan gizi buruk yang
tinggi. Berita-berita kasus ini sering muncul di berbagai media nasional. NTT juga dikenal sebuah kawasan
yang kering dan memiliki curah hujan yang rendah.
Keputusan sudah bulat, tahun 2000 Mama Tata dan
keluarga pindah dari Malang ke kota Larantuka, Flores
Timur. Di sana ia melibatkan diri dalam berbagai kegiatan, seperti aktif dalam kelompok menganyam tali
gebang dan kerajinan bambu serta pengolahan pangan lokal dibawah binaan Disperindag, Flores Timur.
Sayangnya, kelompok hanya bertahan satu tahun, seiring keputusan yang diambil Mama Tata karena tahun
2002 ia memutuskan pindah ke Adonara Barat. “Kami
pindah karena kami mempunyai lahan/kebun seluas
6 hektar. Tiga hektar untuk menanam jambu mete, sedangkan tiga hektar lagi untuk tanaman pangan. Keputusan ini diambil karena realistis saja. Anak-anak makin
besar dan kami mau kerja apa di Larantuka?” ungkapnya.
Kehidupan baru pun ia mulai bersama keluarga di
desa yang sangat jauh dari hiruk pikuk kota. Di Desa
Pajinian, Mama Tata membentuk kelompok untuk
mengolah pangan lokal dan tentu tetap aktif dalam
berbagai kegiatan di desa, kecamatan, kabupaten dan
gereja. Karena keaktifannya, banyak informasi baru ia
peroleh. Sebagai seorang yang berpendidikan, Mama
Tata tak tinggal diam untuk membuat perubahan di
desanya, maka ia pun mengali berbagai macam informasi, termasuk tanaman lokal yang tumbuh subur di
daerahnya.
Berawal dari sepiring sorgum kukus yang harum
dan gurih pemberian tetangga, iapun tertarik untuk
mengembangkan tanaman lokal sorgum sebagai tanaman utama di kebunnya, bersama beberapa jenis tanaman lokal lainnya. Mama Tata belajar cara menanam
dan merawat tanaman yang ada dari hasil mengobrol
dengan para tetangga, membaca tabloid pertanian,
siaran radio, bahkan internet. Tahun 2005, Mama Tata
mengajak para petani Adonara Barat untuk menanam
sumber pangan lokal yang dapat hidup di daerahnya,
seperti sorgum, jemawut dan jelay. Dimulai dengan
berburu benih, Mama Tata memulai perjuangannya.
Tak mudah melakukannya, karena semua itu harus dilakukan ibu dari empat anak ini dengan modal sendiri.
“Berburu benih itu menghabiskan uang cukup banyak,
karena transportasi sulit (di Flores). Kenapa saya harus
berburu? Karena saya ingin menyelamatkan plasma
nutfah-nya”, ungkapnya.
Walaupun hanya tanaman sela, namun hasilnya cukup untuk makan serta benih berikutnya. Dari situ akhirnya Mama Tata menemukan gagasan untuk melestarikan dan mengembangkan tanaman pangan lokal yang
sudah langka. Bukan hanya jagung Solor dan jewawut,
melainkan sorgum, jagung lokal, jelai, wijen atau lenga, dan padi hitam. Mama Tata menamakan proyek ini
“Sorgum Waiotan Farm” karena lokasi ladang yang kering di kampung Waiotan, Desa Pajinian.
Sorgum menjadi pilihan Mama Tata karena tanaman ini dapat dibudidayakan di lahan yang kurang
subur, berpasir, dan kering. Perawatannya mudah dan
tidak disukai hama tanaman. Selain bernilai gizi tinggi,
Sorgum ialah tanaman yang tak mengenal musim. Terbukti, sorgum dapat dipanen tiga kali setahun karena
bisa tumbuh baik dengan sedikit air dan bertahan di
musim kemarau. “Motivasi saya sederhana saja. Potensi
lahan kering (80%) kita di Flores dan Lembata lebih besar dibandingkan lahan basah. Sorgum sangat potensial ditanam di lahan kering tidur di daratan Flores dan
Lembata. Asal tidak ditanam di ketinggian lebih dari
500 m dari permukaan laut. Sorgum dapat tumbuh
baik di tanah berpasir dan berbatu. Saya juga lebih memilih tanaman asli karena: 1) melestarikan tanaman ini
yang mulai sulit dan langka, 2) tanaman lokal (sorgum,
jagung pulut, padi hitam, jelai, wijen, jewawut) lebih
toleran dengan kondisi alam kami yang minim curah
hujan, 3) kurang disukai hama OPT karena baunya yang
khas.“
Kebun Mama Tata akhirnya berproduksi tanpa mengenal musim. Di kebunnya, ada berbagai tanaman lokal
Flores yang hampir dilupakan oleh warganya seperti
jelai, wijen, jewawut, dan jagung pulut--tanaman lokal yang hampir hilang dari pulau Flores. Berkat perjuangannya, tanaman-tanaman tersebut tak hanya ada
di kebun Mama Tata, tetapi juga mulai dikembangkan
oleh beberapa keluarga lain di sekitar kediamannya di
Adonara Barat. Dalam berbagai kesempatan, Mama Tata
selalu mengingatkan masyarakat bahwa pangan tidak
selamanya identik dengan beras. Ia juga menyampaikan pertanyaan: buat apa malu makan ubi atau makan
pisang, kalau juga punya nilai gizi yang sama? “Kenapa
malu makan pisang? Takut dibilang miskin?”
Upaya Mama Tata bersama warga Adonara adalah
bentuk keprihatinan mereka akan kelangsungan tanaman pangan lokal yang kian punah, karena orang hanya
mau menanam padi. Padahal tidak semua tanah berpotensi untuk ditanami padi. Peran perempuan sangat
besar dalam menentukan jenis-jenis bahan pokok apa
yang akan disajikan di meja makan. Jika setiap perempuan sadar akan potensi sumber pangan selain nasi,
maka secara tidak langsung keanekaragaman hayati
tanaman seperti ubi, sorgum, dan jelay akan tetap terjaga.
Berkat perjuangannya untuk membudidayakan tanaman lokal tersebut, berbagai penghargaan tingkat
daerah maupun nasional diperoleh Mama Tata. Tahun
2011, perempuan ini mendapatkan penghargaan dari
Gubenur NTT dalam kategori pengolahan pangan lokal pada Hari Pangan SedunIa (HPS) di Kupang. Ia juga
berhasil menyabet penghargaan dalam FAN NTT 2011
pada bidang sains dan teknologi. Kemudian di tingkat
nasional, tahun 2012 ia berhasil menyabet penghargaan
Kehati Award 2012 dalam bidang Prakarsa Lestari Kehati, dengan tema ‘Keberagaman Hayati, Perempuan dan
Ketahanan Pangan’. Dalam peringatan hari Kartini 2012,
ia juga mendapatkan penghargaan sebagai ‘Perempuan
Inspiratif dan Lingkungan Hidup’ dalam ajang Kartini
Award 2012.
Ada banyak hal yang menjadi harapan Mama Tata,
salah satunya ia berharap agar pemerintah tidak hanya
membual tetapi harus mewujudkan program diversifikasi pangan yang berkedaulatan. “Gubernur NTT sudah capek berteriak. Mari makan ubi, mari makan jagung. Tapi
implementasinya mana? Mana instansi terkait, mana
para camat, mana para kepala desa? Jangan tunggu perintah gubernur, jangan tunggu perintah menteri! Mari
kita sama-sama wujudkan kedaulatan pangan di tengah
masyarakat,” ujar perempuan yang sudah menerapkan
diversifikasi pangan dalam kehidupan sehari-harinya,
terutama pola konsumsi pangan lokal, dalam menghadapi perubahan iklim di negeri ini. *****(JK)
Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan
Bergerak
17
bedah buku
Gerakan Perempuan dan Lingkungan
18
V
andana Shiva, ahli fisika berlatar belakang gerakan ekologis; Maria Mies, ilmuwan sosial, berlatar belakang feminis. Keduanya penulis yang
tinggal dan bekerja di belahan negara yang berjauhan.
Yang satu di belahan Selatan, yakni India, yang lainnya
di belahan Utara, yakni Jerman. Hidup dan bekerja berjauhan tidak menjadi persoalan bagi Mies dan Shiva
untuk menulis buku yang penuh dengan kritik sosial
sekaligus ide-ide segar. Buku itu kolaborasi pandangan
Mies dan Shiva dalam menyajikan gambaran seluruh
masalah terkait persoalan ekologis, perempuan, dan
sistem pasar dunia.
Shiva yang banyak terlibat dalam gerakan di masyarakat banyak mengkritik sistem kapitalis dunia, dari
sudut pandang masyarakat yang terhisap serta pengalaman-pengalaman negara Selatan. Sementara Mies
mempelajari dampaknya terhadap perempuan dari
sudut pandang yang hidup “dalam lingkungan dunia
yang penuh kejahatan.”
Ecofeminism adalah sebuah istilah baru untuk gagasan lama yang tumbuh dari berbagai gerakan sosial
-gerakan perempuan, perdamaian, dan ekologi- di akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an. Istilah Ecofeminism
pertama kali digunakan oleh Francoise D’ Eaubonne,
namun baru populer sejak maraknya berbagai protes
dan aktivitas dalam menentang perusakan lingkungan
hidup yang semula dipicu oleh bencana ekologis yang
terjadi secara berulang-ulang. Terminologi ini dihadirkan kembali oleh Shiva dan Mies dalam buku ini sebagai kritik mereka terhadap proses globalisasi saat ini
yang mengatasnamakan modernisasi untuk kesejahteraan umum akan tetapi pada prakteknya adalah suatu
bentuk penindasan yang berbasiskan pada penguasaan
manusia dan sumber daya alam demi semata-mata akumulasi modal.
Dalam buku ini, penulis bersepakat bahwa dalam
beberapa tahun terakhir isu-isu yang berkaitan dengan
kelangsungan hidup dan pemeliharaan kehidupan, tidak hanya persoalan perempuan, anak-anak, dan umat
manusia pada umumnya, tetapi juga berkait dengan
makin hancur dan langkanya flora dan fauna di bumi
serta kian membutuhkan perhatian khusus. Shiva dan
Mies menganalisa bahwa penyebab kehancuran yang
menjadi ancaman kehidupan di muka bumi ini ialah
sistem yang disebut “kapitalis patriarkal” dunia. Dalam
perspektif kapitalis patriarkal ini, perbedaan diartikan
sebagai hirarki dan keseragaman sebagai syarat kesetaraan.
Tentu dalam struktur macam ini terdapat ketidakadilan, karena memungkinkan negara-negara Utara
Perempuan Bergerak |
Edisi II | April - Juni 2012
mendominasi negara-negara Selatan; laki-laki mendominasi perempuan, dan makin banyak penjarahan terhadap
sumber daya alam. Sehingga, terjadi ketimpangan dalam
distribusi keuntungan ekonomi penguasaan alam. Modernisasi “pembangunan” dan “perkembangannya” merupakan faktor yang paling bertanggungjawab terhadap
degradasi alam saat ini, pun yang membuat dominasi
laki-laki terhadap perempuan bertambah kuat. Kedua
penulis melihat, bahwa ada hubungan hubungan dominasi eksploratif antara laki-laki dengan alam (bentukan
ahli ilmu reduksionis modern sejak abad 16) dan hubungan eksploitatif menindas laki-laki atas perempuan yang
muncul dalam masyarakat patriarkal awal, meskipun
dalam dunia industri modern saling terkait.
Dari pengalaman dan wawasan kedua penulis buku
tersebut, sistem di Dunia Ketiga sekarang dibangun dan
dijalankan lewat penindasan atas perempuan dan penjajahan terhadap orang-orang “asing” dan tanah air mereka
dan bagi alam, sehingga menimbulkan kerusakan. Dalam
perspektif feminis, kerusakan dan kemunduran ekologi
akan berdampak besar terhadap perempuan dan anak.
Persoalan umum yang muncul akibat dampak negatif
politik global yang tak terlihat itu dialami oleh perempuan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Krisis pangan
dan air bersih adalah dampak nyata yang kini dihadapi
oleh perempuan dan anak-anak di berbagai belahan dunia. Krisis pangan berdampak besar terhadap tingginya
angka malnutrisi pada anak serta angka kematian ibu dan
anak. Kekurangan gizi pada anak-anak dan perempuan
akan berlanjut sampai dewasa dan hingga generasi mendatang. Krisis air bersih memberikan kontribusi sebesar
34,6 persen bagi angka kematian anak-anak di Dunia Ketiga. Setiap tahun, 5 juta anak meninggal karena penyakit diare.
Seperti dikatakan Shiva dalam tulisannya tentang “Pemiskinan terhadap Lingkungan: Perempuan dan Anakanak yang Jadi Korban”, bahwa ekonomi global memiliki
banyak sekali kebijakan yang menjamin kesejahteraan
perempuan dan anak, tetapi dalam kenyataannya merekalah yang pertama kali diperosokkan dalam jurang
kemiskinan. Sumber daya alam yang sejatinya dipakai sebagai sumber untuk mempertahankan hidup kini makin
ter-erosi oleh tingginya permintaan atas sumber tersebut
oleh ekonomi pasar yang didominasi kekuatan global.
Perempuan menjadi kelompok yang mengalami ketertindasan yang lebih besar daripada laki-laki, sekaligus
menjadi kelompok terdepan dalam melakukan protes
atas kerusakan lingkungan. Tiap aspek kerusakan lingkungan diterjemahkan sebagai ancaman yang berbahaya
bagi kehidupan generasi mendatang.
Di sisi lain, penulis mencatat bahwa telah banyak
strategi survival dan perlawanan lokal yang dikembangkan perempuan terhadap kerusakan dan keterpurukan
ekologi akibat sistem “patriarkal-kapital”. Misalnya, kini
lebih dari sepertiga rumah tangga di Afrika, Amerika
Latin, dan negara-negara maju dikepalai oleh seorang
perempuan (di Norwegia jumlahnya mencapai 38 persen dan di Asia 14 persen). Kemudian di Jerman muncul
gerakan perlawanan dan penolakan terhadap rencana
penggunaan tenaga atom; perempuan Chipko di Himalaya telah melakukan perlawanan terhadap perusakan
lingkungan akibat penebangan kayu; gerakan aktivis Sabuk Hijau di Kenya; dan perjuangan perempuan Jepang
menentang polusi makanan akibat stimulasi kimia, jaringan pertanian komersial, dan produsen-konsumen untuk
memenuhi kebutuhan diri sendiri; gerakan perempuan
miskin di Ekuador untuk menyelamatkan hutan sebagai sumber makanan bagi ikan dan udang; perjuangan
beribu-ribu perempuan di negara-negara Selatan untuk
menuntut manajemen dan distribusi air yang lebih baik,
konservasi tanah, penggunaan tana, dan perawatan sumber kehidupan mereka (misalnya: hutan, bahan bakar,
dan makanan ternak/hewan) melawan kepentingan industri. Perlawanan-perlawanan ini memperlihatkan bahwa perempuan-perempuan di seluruh dunia merasakan
kemarahan dan ketidakpuasan serta bertanggungjawab
untuk memelihara dan melindungi sumber alam yang
ada serta menghentikan perusakan lingkungan.
Penulis buku ini juga membahas persoalan yang dihadapi perempuan dalam melihat ekologi. Beberapa
kalangan perempuan, terutama mereka yang hidup di
perkotaan dan dari kalangan kelas menengah yang sulit
menerima dan memahami keterkaitan antara kebebasan
mereka dengan alam, dan kebebasan mereka dengan
pembebasan perempuan lain di seluruh dunia. Tentu ini
menjadi cabang sistem kapitalis-patriarkal melalui kebudayaan “modern” yang dibangun berdasarkan kosmologi
dan antropologi yang membedakan satu sama lain secara
struktural, dan secara hirarki selalu membedakan antara
dua sisi yang saling bertentangan: yang satu dianggap
lebih kuat, selalu menindas, dan lebih maju dibanding
yang lainnya. Dengan demikian, alam disubordinasikan oleh laki-laki; perempuan oleh laki-laki; konsumsi
di dalam produksi, dan lokal dalam tingkat global, dan
seterusnya. Oleh karenanya, perspektif ecofeminism sangat membutuhkan kosmologi baru dan antropologi baru
yang memandang bahwa hidup di alam dipertahankan
dengan jalan saling kerjasama, saling memberi perhatian,
dan saling mencintai.
Bab akhir buku ini terkait dengan penghayatan penulis terhadap ecofeminism sebagai perspektif yang berasal
dari kebutuhan dasar kehidupan. Shiva dan Mies menyebutnya “subsistence pespective” atau “survival perspective”.
Visi baru ini adalah wujud pesimisme hasil Pertemuan
Ecofeminism: Perspektif Gerakan
Perempuan dan Lingkungan
Penulis: Vandana Shiva & Maria Mies
Halaman: 378 Halaman
Penerbit: IRE Press Yogyakarta
Tahun: 2005
ISBN: 979-98181-6-8
Bumi di Rio de Janeiro (UNCED, Juni 1992) bahwa solusi terhadap persoalan ekologi yang ada di muka bumi saat ini,
yakni masalah ekonomi dan sosial tak bisa diharapkan dari
kebaikan elite yang berkuasa. Kedua penulis melihat bahwa
perjuangan untuk mempertahankan hidup merupakan tindakan kritis yang hanya bersifat agresif, eksploitatif, dan
secara ekologis merupakan teknologi destruktif, tetapi juga
tindakan kritis terhadap produksi-komoditas, kapitalis yang
berorintasi pertumbuhan, atau sistem industri sosialis. Mereka berpendapat bahwa perempuan lebih dekat dengan
“subsistence pespective” daripada laki-laki. Sebab perempuan
di Selatan bekerja dan berjuang untuk mempertahankan
hidup dibandingkan perempuan di perkotaan, perempuan
kelas menengah, dan laki-laki di Utara. Namun semua perempuan dan laki-laki mempunyai tubuh yang langsung terkena
dampak kerusakan akibat sistem industri. Perempuan dan
laki-laki memiliki ‘basis material’ untuk menganalisis dan
mengubah proses ini.
Oleh karenanya, menurut Shiva dan Mies, penting untuk
terus membangkitkan kesadaran dan memelihara gerak hati
untuk memperteguh ketahanan inheren di semua kehidupan, guna membangkitkan optimisme keyakinan bahwa
pencarian persamaan dan perbedaan identitas menjadi hal
signifikan sebagai platform perlawanan terhadap dominasi
kekuatan kapitalis-patriarkal global, di mana kekuatan tersebut secara serentak membuat dunia menjadi homogen dan
terfragmentasi. Semua manusia, tua dan muda, segala ras
dan budaya, bersama-sama menikmati ‘kehidupan ideal’.
Keadilan sosial, kesetaraan, nasib manusia, kecantikan dan
kenyamanan hidup bukan sekadar impian. *****(IK)
Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan
Bergerak
19
bedah film
Perubahan Iklim: Mengapa Bisa?
Film merupakan media yang cukup efektif untuk menyampaikan sebuah pesan. Karena melalui
film, pesan yang disampaikan mudah diingat penonton. Film juga bisa dijadikan media pembelajaran secara bersama-sama.
Media inilah yang digunakan Perkumpulan untuk
Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi
(HuMA), sebuah organisasi non pemerintah yang bersifat nirlaba yang memusatkan perhatian kerjanya pada
isu pembaharuan hukum pada bidang Sumber Daya
Alam (SDA), untuk mengajak masyarakat belajar tentang perubahan iklim yang terjadi saat ini.
Film “Hutan Kami, Hidup Kami: Siapa Menunganggi
REDD?” adalah film pendidikan hukum dan ekologi untuk masyarakat; berisikan informasi mengapa perubahan iklim terjadi. Film ini diproduksi tahun 2010 atas
dukungan Rainforest Foundation of Norway (RFN), The
Ford Foundation (FF) dan Inter-church Organization for
Development Co-operation (ICCO).
Film ini bercerita mengenai desa bernama Puntana
yang terletak di tepi hutan. Meskipun berada di pinggir hutan, desa ini banyak dihuni para pendatang yang
berasal dari luar pulau. Keragaman suku dan budaya
para penduduk menjadikan kehidupan mereka akrab.
Saling membantu dan menjadikan kehidupan mereka
lebih beragam.
Namun di tengah kedamaian hidup di desa, cuaca
di desa ini sering tak menentu. Saat musim kemarau
bisa tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Cuaca tidak
dapat diprediksi sehingga mengacaukan musim tanam
bagi petani di desa. Pranoto mongso yang biasa bisa dijadikan pegangan petani di Jawa untuk menentukan kapan
waktu bercocok tanam selama setahun, agar petani tidak
merugi dalam bertani, sudah tak dapat dijadikan pegangan lagi. Demikian juga dengan membaca posisi bintang
di langit untuk menentukan hal yang sama, sudah tidak
tepat lagi. Yang terjadi saat ini, ketika hujan atau panas
susah diprediksi, ketika musim panas air akan susah dicari, maka ketika musim hujan banyak tempat dilanda
banjir.
Perubahan cuaca yang tak menentu itulah yang dinamakan perubahan iklim atau climate change. Film ini
untuk pendidikan masyarakat, maka apa yang disampaikan dalam film ini bersifat informasi bagi penontonnya.
Cerita yang dikemas dibuat sedemikian rupa sehingga
penonton mudah memahaminya. Dalam film animasi ini
digambarkan sebuah desa yang tentram dan makmur,
dengan ladang dan hutan yang tampak hijau. Di tengah
cuaca yang sangat terik, tiba-tiba turun hujan, membuat
Hutan Kami, Hidup Kami: Siapa Menungangi
REDD?
Eksekutif Produser
Asep Yunan Firdaus, SH
Produser
Tim HuMA
Cerita
Andiko dan Hedar Laudjeng
Pengisi Suara
Anes Wibowo, Jumali Jindra, Rifky Kubu, Iwan Dahlan, Johan, Lis Kurniasih, Fitrah Hartono, Tia wahyudi
Produksi
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis
Masyarakat dan Ekologi (HuMA)
Ilustrator
“P” Team
Durasi
23 Menit
20
Perempuan Bergerak |
Edisi II | April - Juni 2012
para petani yang sedang bekerja di sawah kalang kabut
dan harus mencari tempat berteduh.
Cerita bergeser ke sebuah warung yang menyajikan
makanan kecil dan minuman hangat, di mana disini berlangsung obrolan-obrolan ringan seputar cuaca yang
tidak menentu. Kemudian datang serombongan orang
dari kota untuk memberi informasi lebih jauh mengenai apa yang sedang terjadi saat ini. Agar lebih banyak
masyarakat yang mendapatkan informasi tersebut, maka
dibuatlah pertemuan di balai desa. Mengadakan pertemuan di desa lebih mudah dibandingkan di kota, karena
dengan hanya memukul kentongan, masyarakat akan
langsung berkumpul.
Dalam pertemuan itu dijelaskan mengenai apa itu perubahan iklim, dan mengapa terjadi? Bagaimana hubungan antara perubahan iklim dengan hutan, dan apa yang
dimaksud dengan efek rumah kaca?
Rumah kaca adalah gas-gas yang menyelimuti bumi
dan membuat bumi tetap hangat. Dia menjadi perangkap bagi panas matahari yang masuk ke bumi dan membuat sebagian panasnya tidak langsung dilepas kembali
ke angkasa. Jadi fungsi Gas Rumah Kaca atau GRK atau
disebut dengan karbon adalah untuk menghangatkan
bumi. Tanpa kehadiran gas-gas ini bumi akan sangat dingin dibawah suhu -18 derajat Celcius, sehingga manusia
tidak mungkin bertahan hidup. GRK sebetulnya baik, tapi
kalau jumlahnya melampuai batas, maka dia menjadi buruk. Panas yang terperangkap akan makin banyak dan tidak bisa keluar dari bumi, seperti merebus air, cara kerja
pemanasan global.
Ada berbagai unsur yang membentuk alam raya ini
bekerja. Hukum tertentu yang membuat hubungan antar masing-masing unsur menjadi harmonis dan serasi.
Hukum itu yang kita kenal dengan hukum alam. Tidak
boleh diubah oleh manusia, kalau diubah akan berakibat merugikan manusia sendiri. Dan mahkluk lain di
muka bumi, misalnya air hanya akan tersedia jika hutan
tersedia. Jika hutannya habis, maka air juga akan habis.
Hukum alam diakui oleh masyarakat adat. Karena komunitas adat menyakini, bahwa antar manusia dan lingkungan ada hubungan timbal balik dan saling terikat satu
sama lain. Maka itu, masyarakat adat menjunjung tinggi
hukum adat.
Alam yang rusak menjadi penyebab pemanasan
global. Aktivitas manusia menjadikan hukum alam terganggu. Seperti penebangan hutan dalam skala besar,
telah mengurangi mata air, mengakibatkan banjir dan
longsor; penambangan mengakibatkan pencemaran tanah dan air, yang lambat laun aktivitas-aktivitas tersebut
mengoncang hukum alam yang lebih besar. Dampaknya
tidak hanya terjadi di satu kampung, kecamatan, kabupaten, propinsi, atau negara, tetapi menjadi malapetaka
bagi seluruh dunia.
Perusakan alam mengakibatkan perusakan GRK atau
karbon. Kerusakan alam disebabkan oleh pembukaan
hutan, pembakaran hutan untuk perkebunan, atau kebakaran hutan. Sisanya adalah kegiatan-kegiatan manusia, seperti gas buangan transportasi dan pabrik-pabrik
industri besar, utamanya di negara-negara maju. Di sisi
lain, hutan yang bagus dan terawat dipercaya dapat menyerap karbon.
Saat ini negara maju meminta negara-negara lain
yang masih memiliki hutan yang luas dan bagus untuk
menjaga hutannya. Salah satunya dengan tidak membuka hutan untuk perkebunan atau pertambangan. Dengan demikian, negara maju akan membayar sejumlah
uang, itulah yang dinamakan dengan perdagangan karbon atau disebut dengan REDD: Reduction Emission from
Deforestation and from the Forest Degradation. Artinya,
pengurangan gas beracun akibat perusakan hutan dan
penurunan mutu hutan. REDD adalah tema yang ditawarkan oleh negara-negara yang terlibat dalam perundingan
untuk mengatasi bumi yang kian panas. Pemegang hak
atas hutan harus mampu menunjukkan dan menjaga hutannya. Caranya dengan tidak merambah atau menebang
pohon yang ada di hutan yang dijaganya. Jumlah tumbuhannya pun tidak boleh berkurang. Jika persyaratan
itu terpenuhi, maka para pemilik uang di negara maju,
seperti negara Amerika dan Eropa akan membayar kompensasi.
Supaya REDD bermanfaat bagi masyarakat luas di
Indonesia, maka sebelum ada REDD harus diakui dulu
hak masyarakat atas hutannya atau tanah ulatnya. Jika
ingin menghargai mereka, maka hargailah cara mereka
mengelola hutan. Film ini juga menekankan arti penting
perempuan dalam pengambilan keputusan terkait dengan perubahan iklim. Oleh karena perempuan adalah
pihak yang paling merasakan dampak perubahan iklim
itu sendiri. Maka itu, dalam setiap diskusi dan pengambilan keputusan, mereka harus dilibatkan agar emansipasi
bukan hanya dijadikan slogan, melainkan dipraktikkan!
*****(JK)
Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan
Bergerak
21
puisi
Kutub Yang Menangis
Oleh: Wa Ode Lucia Rahmadisinta
Mega itu tak lagi mendung
karena mentari kian terik memekik
Gletser-gletser ikut menjerit
Jatuh dan pingsan mencair jadi air
Kutub menangis pada nasib malangnya
Sedikit demi sedikit tubuhnya terkikis bahaya
Berbongkah es jatuh dan pecah
Menambah airmata mengalir dihulu lautan
Ozon semakin rentan menahan tantangan
Berdiri menjaga tanpa doa dan dukungan
Tinggal harapan tanpa sebuah tindakan
Kutub menangis meraung makin ketakutan
Beruang dan penguin berlari mengungsi
Pada tenda-tenda salju yang putih suci
Berharap ada kehidupan lain yang abadi
Dan hanya satu jalan yaitu MATI
Kutub semakin merintih perih
Rinduku Pada Hutan
Oleh: M.Syahreza
Rinduku pada hutan
Menghirup udaranya
Memandang rimbunnya
Hijau daunnya
Sepinya
Rinduku pada hutan
Mendengar kicau burungnya
Teriakan sang kera
Auman harimau
Kegesitan kijang
Atau ular yang melata
Rindu ku pada hutan
Rindunya kehidupan
Perempuan Bergerak |
Negeri kita dulunya kaya raya
Berlimpah-ruah sumber daya
Negeri ini negeri yang jaya
Pada zaman dibangsa maya
Itu hanya cerita lama
Bangsa kita kini terjajah
Terjajah karena kekayaannya
Hutan terus saja dijarah
Hingga bangsa ini menangis darah
Memungut kejayaan yang tinggal sejarah
Untuk diceritakan pada anak cucu saja
Kita pernah sempat duduk disinggasana
Lantas jatuh mati dan merana
Hingga kapan, ku pun tak tahu
Hijau Bumiku
Oleh: Dini Iswati
Kaya
Sungguh kaya bumiku
Dengan hijaunya pepohonan
Dengan birunya lautan
Dan dengan indahnya keindahan yang di pandang
Bumiku tersenyum
Jika penjaganya bersahabat
Bumiku menangis
Jika penjaganya mulai jahil
Kejahilan itu membuat bumiku merengek
Membuat penjaga meneteskan
Tetesan demi tetesan dari pelupuk matanya
Rinduku pada hutan
Menginjak rumputnya
Embunnya
22
Menjarah Yang Dijarah
Oleh: M.Taqwim Hadi Kesna
Menjaga dan menyayangi
Memelihara dan meperhatikan
Dan peduli dengan keadaan bumiku yang malang ini
Tiada yang merasa dan peduli dengannya
Hanya kesenangan yang di capai
Bukan kelesetarian dan keindahannya
Hanya kepuasaan sesaat bukan kenyamanan abadi
Sadar akan hal yang salah
Bumiku kembali terawat
Kembali menghijau
Dan kembali tersenyum
Dengan indahnya pemandangan
Dengan asrinya lingkunganku
Dan dengan hiiijaunya bumiku
Edisi II | April - Juni 2012
Perubahan Iklim adalah perubahan jangka panjang
dalam distribusi pola cuaca secara statistik sepanjang periode waktu mulai dasawarsa hingga jutaan tahun. Istilah
ini bisa berarti perubahan keadaan cuaca rata-rata atau
perubahan distribusi peristiwa cuaca rata-rata. Contohnya,
jumlah peristiwa cuaca ekstrem yang makin banyak atau
sedikit. Perubahan iklim terbatas di regional tertentu atau
dapat terjadi di seluruh wilayah Bumi. Dalam penggunaannya saat ini khususnya kebijakan lingkungan, perubahan
iklim merujuk pada perubahan iklim modern. Perubahan
ini dapat dikelompokkan sebagai perubahan iklim antropogenik atau lebih umumnya dikenal sebagai pemanasan
global atau pemanasan global antropogenik.
Pemanasan Global (Global Warming)
Pemanasan Global adalah proses meningkatnya suhu ratarata atmosfir, laut, dan daratan bumi. Suhu rata-rata global
pada permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33
± 0.32 °F) seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel
on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa “sebagian
besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar oleh meningkatnya
konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia”
melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik,
termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, terdapat beberapa ilmuwan yang tidak
setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan
IPCC tersebut. Meningkatnya suhu global diperkirakan
akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain, seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas
fenomena cuaca yang ekstrem, serta perubahan jumlah
dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang
lain ialah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan. Pemanasan global
mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah
kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air
laut.
pojok kata
Perubahan Iklim (Climate Change)
atmosfir. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan
oleh pembakaran bahan bakar minyak, batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan
tumbuh-tumbuhan dan laut untuk menyerapnya. Meningkatnya suhu permukaan bumi mengakibatkan adanya
perubahan iklim yang sangat ekstrem di bumi. Hal ini
mengakibatkan terganggunya hutan dan ekosistem lainnya, sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbon dioksida di atmosfer dan laut. Efek rumah
kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air
laut sehingga air laut mengembang dan terjadi kenaikan
permukaan laut yang mengakibatkan negara kepulauan
akan mendapatkan pengaruh yang sangat besar.
Gas Rumah Kaca (GRK)
Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfir
yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan,
tetapi dapat timbul akibat aktivitas manusia. Gas
rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang
mencapai atmosfir akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Karbon dioksida adalah gas terbanyak
kedua. Ia timbul dari berbagai proses alami seperti: letusan vulkanik; pernapasan hewan dan manusia (yang
menghirup oksigen dan menghembuskan karbon
dioksida); dan pembakaran material organik (seperti
tumbuhan). Karbon dioksida dapat berkurang karena
terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis memecah karbon dioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfir serta mengambil atom karbonnya.*****(JK)
Efek Rumah Kaca
E
fek rumah kaca merupakan pemanasan permukaan
suatu benda langit (terutama planet atau satelit) yang
disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfirnya. Efek
rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di
bumi, dan efek rumah kaca yang ditingkatkan akibat aktivitas manusia. Efek rumah kaca disebabkan naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di
Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan
Bergerak
23
Download