daftar isi Perempuan Bergerak Edisi II Apri - Juni 2012 warta perempuan Perempuan Menjadi Korban Perubahan Iklim 13 sosok Maria Loretha: Kenapa Malu Makan Pisang? 16 bedah buku 18 Gerakan Perempuan dan Lingkungan bedah film 20 Perubahan Iklim: Mengapa Bisa? puisi rembug perempuan Kebijakan Perubahan Iklim: Dimana Kepentingan Perempuan? 3 fokus utama Perempuan dan Perubahan Iklim 4 perspektif Perempuan Membaca Iklim 5 22 Kutup Yang Menangis Rinduku Pada Hutan Menjarah Yang Dijarah Hijau Bumiku pojok kata 23 Perubahan Iklim (Climate Change) 23 Pemanasan Global (Global Warming) 23 Efek Rumah Kaca 23 Gas Rumah Kaca (GRK) opini Pohon, Perempuan dan Keadilan Iklim 9 warta komunitas Cuaca Berubah, Panen Berkurang 12 Perempuan Bergerak Penanggung Jawab: Rena Herdiyani Pemimpin Redaksi: Hegel Terome Redaktur Pelaksana: Joko Sulistyo Dewan Redaksi: Naning Ratningsih, Listyowati, Nani Ekawaty, Rakhmayuni, Ika Agustina Desain visual: Joko Sulistyo Distribusi : Joko Sulistyo Perempuan Bergerak merupakan media yang memuat pandangan-pandangan yang membangun kesadaran kritis kaum perempuan di seluruh Indonesia sehingga memberdayakan dan menguatkan mereka. Kekuatan bersama kaum perempuan yang terbangunkan itu merupakan sendi-sendi penting terdorongnya gerakan perempuan dan sosial umumnya untuk menuju masyarakat yang demokratis, setara, tidak diskriminatif dan tidak subordinatif. Redaksi menerima kritik, saran dan sumbangan berupa surat pembaca, artikel dan foto jurnalistik. Naskah, artikel dan foto jurnalistik yang diterima redaksi adalah yang tidak anti demokrasi, anti kerakyatan, diskriminatif dan bias gender. Naskah tulis diketik pada kertas A4, spasi satu, huruf Arial 12, maksimal 3 halaman dalam bentuk file atau print-out. Alamat Redaksi dan Iklan: Jl. SMA 14 No. 17 RT/RW 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630. Telp: 021-8004712; Fax: 021-8004713; Email : [email protected]; Website : www.kalyanamitra.or.id Untuk berlangganan Perempuan Bergerak secara rutin, kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Redaksi menerima sumbangan pengganti biaya cetak Rp. 10.000,- dan biaya pengiriman di rekening sesuai kota tujuan. Transfer ke Rekening Bank Bukopin Kantor Kas Plaza Kalibata, No. Rekening 4206200202 a/n. Yayasan Kalyanamitra. 2 Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2012 Perempuan adalah salah satu kelompok yang paling merasakan dampak perubahan iklim yang terjadi saat ini, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga lapisan masyarakat di belahan dunia lainnya. Oleh karena perempuan paling dekat dengan proses produksi sumberdaya alam yang ada selama ini. Ketika air tak diperoleh lagi, maka merekalah yang paling dirugikan. Ketika banjir melanda, maka perempuan dan anak-anak yang akan menjadi korban terbesarnya. Maka, tak heran kalau angka kematian ibu di Indonesia tetap tinggi akibat beban hidup yang berat. N amun dalam proses-proses pembuatan kebijakan mengatasi dampak perubahan iklim, kalangan perempuan Indonesia tak pernah dilibatkan. Jangankan dilibatkan, mendengar kata-kata itu saja sangat asing bagi mereka. Perempuan lalu menjadi pihak yang sering dilupakan dalam berbagai pembahasan mengenai perubahan iklim. Padahal ada pengalaman yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Oleh sebab itu, menjadi penting pula disadari mengapa perubahan iklim memiliki implikasi yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Perubahan iklim menjadi signifikan karena memiliki dampak terhadap kesehatan, ekonomi, dan sosial bagi masyarakat secara luas. Berbagai bencana alam yang terjadi tak hanya menyebabkan kematian, tetapi juga meningkatkan potensi penyebaran berbagai jenis penyakit di masyarakat sekitar. Diare, malaria, kolera, dan lainnya adalah jenis-jenis penyakit yang sering melanda negara-negara yang terkena bencana alam, akibat kenaikan air laut, banjir, longsor, kebakaran hutan, dan curah hujan yang tinggi. Sudah selayaknya, perempuan dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan agar tercipta masyarakat yang adil dan sejahtera di Indonesia. Karena ketika perempuan tidak dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingannya, maka hasilnya tak akan sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Perempuan bukanlah objek perubahan semata, melainkan pelaku perubahan itu sendiri. Semoga edisi bulletin ini memberikan gambaran nyata tentang bagaimana dampak perubahan iklim di dunia bagi kehidupan perempuan dan anak, sehingga mendorong para pengambil kebijakan untuk senantiasa melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusannya. Selamat membaca!! rembug perempuan Kebijakan Perubahan Iklim: Dimana Kepentingan Perempuan? Jakarta, Juni 2012 Joko Sulistyo Redaktur Pelaksana Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan Bergerak 3 fokus utama 4 Perempuan dan Perubahan Iklim P erubahan iklim ialah suatu perubahan yang bermakna dan memakan waktu panjang yang terlihat dari sistem distribusi statistik cuaca rata-rata yang berlangsung selama ribuan bahkan jutaan tahun. Perubahan rata-rata cuaca sepanjang tahun disebut iklim. Iklim bumi sangat dipengaruhi oleh kontribusi perbuatan manusia di bumi. Salah satu perbuatan manusia yang sangat mempengaruhi perubahan iklim di bumi ialah pelepasan karbon dioksida melalui pembakaran fosil-fosil, seperti minyak bumi, gas, dan batubara. Fosil-fosil tersebut mengandung karbon. Membakar minyak, gas, batubara, akan menghasilkan gas karbon dioksida. Sejak tahun 1800-an, ketika manusia mulai banyak mempergunakan minyak bumi dan batubara, maka pelepasan karbon dioksida ke udara di bumi meningkat mencapai 30%, sehingga temperatur atau suhu muka bumi mulai meningkat rata-rata 1 sampai 2 derajat F. Karbon dioksida akan memerangkap panas matahari di udara sehingga menghasilkan efek rumah kaca. Kadangkala peristiwa itu disebut “gas rumah kaca”. Apabila makin banyak karbon dioksida memerangkap panas matahari, maka perlahan-lahan terjadi perubahan panas di muka bumi. Apabila peningkatan suhu muka bumi berlangsung terus-menerus, maka pemanasan global akan terjadi. Kian banyak orang menggunakan minyak bumi, gas, dan batubara, maka gas rumah kaca akan bertambah di atmosfir bumi. Pemanasan global tidak selalu sama rata di seluruh pelosok bumi, namun suhu muka bumi rata-rata meningkat dan mempengaruhi pola dan jumlah hujan, dalam jangka panjang mempengaruhi tingkat dan intensitas badai, dan meningginya permukaan laut di bumi. Pertanian, hutan, hewan, binatang, manusia, lingkungan alamiah, dan lainnya di muka bumi akan terdampak. Pemanasan global tak hanya diakibatkan oleh pelepasan karbon dioksida karena aktivitas manusia di muka bumi, melainkan melalui kegiatan pelepasan gas metan dan nitrat dioksid, misalnya pembakaran hutan, tinja, dan lainnya. Tak semua gas mempengaruhi pemanasan global, namun debu dari gunung berapi dan hasil aktivitas manusia dapat memantulkan cahaya matahari, sehingga menciptakan pembekuan di muka bumi. Pembakaran minyak bumi dan batubara melepaskan karbon dioksida dan sulfur ke atmosfir bumi. Polusi atmosfir ini dapat meningkatkan gas rumah kaca yang dapat meningkat pemanasan global maupun pembekuan global, akibat pantulan sinar matahari tak mampu menembus bumi, sehingga suhu bumi menurun drastis. Meskipun upaya pemanasan global mulai Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2012 dilakukan manusia di muka bumi ini, namun suhu muka bumi terus meningkat dengan cepat. Bila manusia mampu menekan penggunaan minyak bumi, gas, dan batubara maupun menurunkan aktivitas manusia lainnya, yang menghasilkan gas rumah kaca, maka menurut perkiraan para ilmuwan, hingga tahun 2050 muka bumi akan mengalami peningkatan suhu menjadi 2 F (1,5 Cel). Namun demikian, dengan kisaran angka itu saja kehidupan manusia di bumi telah terancam bahaya. Mungkin perlu dibedakan di sini antara bocornya lapisan ozon di atmosfir dengan pemanasan global, karena keduanya tidak saling berkaitan. Kalau bocornya lapisan ozon lebih akibat penggunaan CFCs oleh manusia. Gas ini banyak dipergunakan di mesin pendingin ruangan, kulkas, dan sejenisnya. Penggunaan CFCs memang dapat meningkatkan panas, sedangkan yang berbahaya ialah rusaknya lapisan ozon yang mampu melindungi muka bumi sehingga sinar ultraviolet tak merusak kehidupan di muka bumi serta suhu bumi tidak menjadi beku. Dengan berbagai kegiatan manusia di muka bumi ini di banyak tempat, maka kontribusinya terhadap perubahan iklim secara tak langsung sangat besar. Efek tak langsung perubahan iklim ialah pemanasan global, yang saat ini sudah dirasakan di mana-mana. Dampak terburuknya ialah bencana alam akibat banjir, badai, cuaca yang berubah-ubah secara dratis, kerusakan produksi pertanian. Kegiatan industrial dan pertanian manusia, perlahan namun pasti, telah menciptakan kondisi ekstrem dan berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia di muka bumi ini. Dampak yang paling parah tentu dirasakan dikalangan perempuan baik di perkotaan maupun di pedesaan, karena berperan ganda di rumah tangga dan di publik. Perempuan petani dan nelayan misalnya, menghadapi paceklik yang panjang akibat perubahan iklim yang drastis. Panen pertanian yang terganggu dapat menimbulkan bencana kelaparan. Dalam jangka panjang, bencana ini menimbulkan kematian di mana-mana karena orang kekurangan pangan. Di lain sisi, kegiatan industrial yang boros yang mempercepat pemanasan global, tidak dihentikan sama sekali karena manusia terus-menerus kerakusannya atas kebutuhan hidupnya. Tak ada kata cukup bagi manusia, sehingga menciptakan kebutuhankebutuhan yang tak perlu bagi kelangsungan hidupnya di muka bumi ini. Selain menciptakan malapetaka itu, perempuan desa yang bertani menghadapi mutasi-mutasi hama baru akibat perubahan iklim mikro di wilayah setempat. Peng- gunaan pestisida dan herbisida kimia untuk membunuh hama malah membuat mereka kebal. Produksi pertanian akan anjlok apabila hama mewabah, akibatnya kemiskinan akan terbentuk di mana-mana. Belum lagi bencana banjir merebak akibat pola hujan yang tak menentu dan tanah longsor terjadi di mana-mana. Perempuanlah garda depan dalam menghadapi perubahan iklim di Indonesia khususnya, karena merekalah yang siap menanggung beban sosial akibat bencana itu. Sementara apa yang dilakukan pemerintah, belumlah memperhitungkan peran penting perempuan dalam mitigasi dan penanggulangan efek perubahan iklim itu di Indonesia. Meskipun pemerintah Indonesia dengan gagah-gagahan menyepakati penurunan efek gas rumah kaca, namun realitasnya pemerintah mendorong tumbuhnya industrialisasi yang mempercepat meningkatnya gas rumah kaca.*****(HG) Perempuan Membaca Iklim Oleh: Mida Saragih*) Tidak Diam Pada Maret lalu, Ibu Habibah warga Kampung Marunda Kepu, Jakarta Utara ragu menancapkan jaring sero. Iklim yang tidak menentu menyurutkan semangatnya untuk mendapatkan ikan dan udang rebon. Kerja Ibu Habibah kini rutin terganggu ombak tinggi serta angin kencang. Nasib Habibah dan keluarganya makin terombang-ambing setelah kawasan tempat tinggalnya menjadi kawasan serba guna. Mulai dari bertumbuhnya pabrik-pabrik, reklamasi untuk kawasan pelabuhan, sampai perusakan bentang alam karena proyek Banjir Kanal Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan Bergerak perspektif S aat ini, perempuan di wilayah pesisir sadar betul kalau mereka harus bahu-membahu menghadapi kerentanan akibat kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Berbagai dampak kedua penyebab itu sudah kerap mereka alami. Sulit mendapat tangkapan, gagal panen, digerus rob, dan lainnya. Kondisi ini diperparah dengan masih berlakunya nilai-nilai patriarki yang kerap memposisikan perempuan menjadi pihak yang paling rentan. Tapi dengan keterbatasan yang ada, perempuan ternyata memiliki peran penting dalam rantai produksi pangan dan sebagainya. Berdasarkan kajian KIARA, perempuan nelayan Jawa Tengah dan Jakarta Utara mengerjakan pekerjaan rumah dan mencari nafkah selama 16 hingga17 jam per hari. Perempuan pesisir terus-menerus berbenah. Timur. Di dadanya hanya tersisa sesak dan sedih. Dia ingat 10 tahun yang lalu penghasilannya dari kegiatan di laut bisa mencapai 100 – 150 ribu rupiah per harinya. Tapi sekarang, penghasilannya makin seret dan terus seret, karena kawasan pantai Kampung Marunda Kepu ditimbun dengan batu-batuan dalam rangka reklamasi. Nelayan kini tak bisa menancapkan jaring sero. Untuk memenuhi kebutuhan rumah dan biaya sekolah anak-anaknya, Bu Habibah bersama anak perempuannya kerja serabutan. Kadang jadi pengupas kerang, kadang mencari botol-botol bekas untuk kemudian dijual. Suaminya sendiri bekerja mencari kerang putih di laut. Suaminya makin sulit berusaha karena laut sudah dikavling nelayan-nelayan lain. Jadi, kalau suaminya bangun pukul 5 pagi, itu sama artinya tak akan kebagian jatah melaut. Belakangan harapan Bu Habibah kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun pupus, setelah mendengar kalau semua warga kampung dipastikan akan digusur pada 2013 nanti. Kini yang bisa dikerjakan secara teratur hanya membuat terasi. Sejak pagi dia mempersiapkan semuanya. Mengumpulkan dan menjemur bahan baku hingga kering untuk kemudian ditumbuk sampai liat dan berbentuk siap untuk dijual ke pasar. Guratan di wajah, otot tangan yang liat menunjukan kemampuannya untuk tetap bertahan. Di luar rutinitasnya, Habibah pun kerap dicibir tetangga karena aktif berdemo menolak reklamasi. Semua gunjingan dihiraukan, Ia selalu yakin yang diperjuangkan olehnya selama ini adalah untuk mempertahankan haknya sebagai warga negara. Untuk mempertahankan sumber kehidupan para nelayan. Dampak pembangunan reklamasi pesisir juga dialami Ibu Devita Tumengkol di Manado, Sulawesi Utara. Proyek reklamasi menghadapkan para nelayan pada ancaman kerusakan kawasan tangkap yang nyata. Karena itu, bersama Aliansi Nelayan Tradisional Sulut (ANTRA), 5 Devita bahu membahu memperjuangkan aset nelayan seumur hidup. Ia lahir dan besar di Manado. Saban hari, Devita menampung hasil tangkapan dan berdagang ikan dari kampung ke kampung. Cerita kaum perempuan lainnya kurang lebih sama dengan persoalan yang berbeda. Di Aceh Jaya, Ibu Nuraini bersama teman-temannya membentuk Kelompok Perempuan Pesisir Desa Gampong Baro yang punya kerja memproduksi ikan teri krispi dan abon tiram. Kedua komoditi itu merupakan produk unggulan kelompok Nuraini. Niat kelompok perempuan ini adalah membantu meringankan beban suami dan keluarga. Belakangan kegiatan mereka pada Maret hingga April terkendala cuaca ekstrem. Pada kedua bulan itu, angin berhembus kencang dan gelombang di laut bisa mencapai ketinggian 3 – 5 meter. Kalau sudah begitu biasanya suami Nuraini tak melaut. Ini yang membuat kegiatan kelompok perempuan memproduksi teri krispi jadi terganggu pasokan yang selama ini dipasok dari hasil tangkapan suami. Di Aceh Besar akhir Mei lalu, sedikitnya ada 500 unit kapal nelayan teronggok begitu saja karena tak digunakan untuk melaut oleh para nelayan. Sampai awal Juni lalu, angin kencang masih melanda dan gelombang rata-rata empat meter. Dengan begitu, produksi ikan teri krispi akan terus terkendala musim. Di Serdang Bedagai, Sumatera Utara, ada Jumiati yang menginisasi Kelompok Muara Tanjung. Kerja kelompok itu selama ini memproduksi bakso ikan dan kerupuk daun teh jeruju. Kelompok ini juga menggerakan koperasi simpan pinjam dan mendorong komunitas nelayan untuk aktif menanam bakau. Senada dengan perempuan-perempuan sebelumnya, kelompok ini pun dibentuk untuk meringankan beban keluarga dan melestarikan kawasan pesisir. Beberapa waktu lalu, Jumiati mengisahkan cuaca ekstrem yang menyebabkan sampan-sampan tergeletak tak diberdayakan para nelayan di pantai Serdang Bedagai Sumatera Utara. Kebanyakan sampan yang tak digunakan itu berukuran kecil dengan jarak jelajah tangkap ikan tak lebih dari 2 mil. Sejak Agustus 2011, ombak tinggi dan angin besar terus menerus mendera, padahal bukan musimnya. Pada Februari lalu saja, udang dan ikan yang mestinya melimpah tidak ada. Jarang. Ternyata serangan cuaca ekstrem ini berlanjut hingga Juni 2012. Angin kencang menyapu pesisir Kecamatan Medan Belawan dan Medan Labuhan, Kota Medan. Posisi gelombang laut di atas normal dan berpotensi meninggi hingga lima meter. Hal ini tentu membahayakan nelayan tradisional yang mengandalkan perahu motor atau kapal kecil bertonase di bawah 5 gross ton. Mereka para nelayan di tempat Juniati tinggal menyebutnya sebagai “angin bakat”, atau angin penyebab nelayan tak bisa melaut. 6 Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2012 Sementara di Desa Gempolsewu, Kendal, pesisir utara Jawa Tengah, istilah ikan tidak melimpah ruah adalah paceklik. Juni-Juli biasa susah tangkapan. Ibu Sulyati dan keluarga hapal sekali, tatkala angin berhembus sangat kencang disusul suara ombak bergemuruh seperti kapal terbang—itu disebut musim rendeng. Bila sudah begitu, nelayan libur semua. Juga ada istilah weleri, di mana tak ada nelayan melaut pada bulan 1, 2 dan 3. Perempuan Kampung Gempolsewu tidak mengandalkan suami saja mencari nafkah. Banyak di antaranya yang berprofesi sebagai pedagang ikan. Mereka bangun dari jam 2 pagi guna mempersiapkan alat-alat dagang. Di tempat pendaratan, perempuan pedagang ada yang naik langsung ke atas perahu atau merapat ke badan kapal, menyodorkan ember-ember besar untuk menampung. Lalu memilah-milah ikan, yang sejenis lantas dipisah-pisah di dalam entik (bakul kecil). Ikanikan itu sebagian dikumpulkan ke bakul (perantara) atau pun langsung jual sendiri di pasar becek. Sepulang dari berdagang ikan, para ibu masih harus kembali untuk mengurus rumah dan mengasuh anggota keluarga. Ada juga yang langsung mengolah ikan sisa dagangan untuk dijadikan kerupuk atau ikan asin. Upaya lain yang dilakukan perempuan juga ada di Morodemak, Jawa Tengah. Di sana telah berdiri kelompok perempuan nelayan Puspita Bahari. Kegiatannya mengelola sampah menjadi kerajinan. Sampah yang dimaksud bungkus jajanan dan deterjen berbahan plastik. Ini menjadi motivasi semua warga kampung untuk melakukan hal serupa. Meski masih dalam partai kecil, kelompok ini sudah mempunyai pelanggan dari kota. Selain kerajinan, warga juga punya kegiatan andalan seperti membuat kerupuk ikan, kripik ikan dan pengolahan hasil laut. Kelompok perempuan ini pun menyediakan pelayanan advokasi bagi anggota masyarakat yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Saat ini, kelompok Puspita Bahari membutuhkan peningkatan kapasitas bagi anggotanya agar bisa memproduksi produk-produk bernilai jual lebih. Di Lombok Timur, NTB, para perempuan nelayan menampung hasil tangkapan saat cuaca baik. Ikan dan rebon disimpan dengan cara dikeringkan lalu disimpan setelah benar-benar kering. Hasilnya ada yang diolah menjadi terasi atau sekedar menemani santapan. Ditambah lagi adanya budidaya rumput laut yang bisa diolah untuk dijadikan pelengkap hidangan, seperti agaragar, atau pun sayur oseng. Para nelayan pun ada yang menjual rumput laut kering dan basah. Berbagai inisiatif dan upaya ini, merupakan hasil testimoni para perempuan nelayan yang berbagi pengalaman dalam Pelatihan Kepemimpinan Perempuan yang diadakan KIARA, Aliansi Untuk Desa Sejahtera (ADS) dan LBH Semarang. Membaca Perubahan Iklim Berdasarkan catatan resmi IPCC bahwa perubahan iklim mencakup peningkatan suhu, curah hujan tidak stabil, naiknya permukaan laut, meningkatnya insiden bencana badai dan ombak tinggi. Semua ini berdampak negatif terhadap sektor perikanan. Berdasarkan data lapangan yang dihimpun ditemukan bahwa, ketidakteraturan cuaca dan iklim, secara garis besar berakibat pada berkurangnya hari melaut antara 160 hari hingga 180 hari. Dampaknya juga terlihat dari angka kecelakaan di mana sejak 2010 sampai 2011 jumlah nelayan yang hilang di laut meningkat dari 68 jiwa menjadi 170 jiwa (KIARA, 2011). Dengan melihat lebih dekat ke situasi masyarakatnya, kita bisa menyaksikan dampak terhadap perempuan lebih parah dikarenakan dua dinamika sektor perikanan: (1) masih kentalnya ketidaksetaraan gender di kampungkampung nelayan, termasuk persepsi dan posisi yang timpang antara perempuan dan laki-laki, dan; (2) kerentanan akibat pembangunan dan perubahan iklim. Sementara kaum perempuan yang bergelut dalam sektor perikanan juga sangat bergantung pada alam sebagai sumber penghidupan. Daya tahan mereka (survival capacity) dan peran-peran dalam membangun perekonomian nelayan dapat dilemahkan dan dikalahkan oleh unsur-unsur pembangunan (mulai dari penggusuran; pengkaplingan pesisir oleh pertambangan, pariwisata, dan perumahan mewah; serta pencemaran). Kedua dinamika ini membatasi akses dan hak perempuan nelayan, yang serta-merta melahirkan beban ganda. Perempuan tidak hanya bertanggungjawab untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan keluarga, tapi juga harus berjuang untuk mendapatkannya. Karena dua tanggung jawab besar itu, perempuan nelayan menempatkan kesehatan reproduksi pada urutan belakang, sehingga kesehatannya menjadi rentan. Di Indonesia, proses liberalisasi ekonomi yang disebut-sebut memberi peluang kepada semua orang, ternyata tak memberi manfaat setara bagi perempuan dan laki-laki. Ini lantas memperdalam perbedaan antar kelas, kelompok umur dan antar jenis kelamin. Perubahan yang cepat dalam privatisasi usaha juga telah berdampak pada semakin berkurangnya akses keluarga miskin atas sumber daya. Sampai di sini, perempuan kepala rumah tangga, anak perempuan dan para istri menjadi korban yang paling dirugikan, karena sedikitnya kesempatan untuk terlibat dalam pembuatan keputusan ekonomi dibandingkan laki-laki. Di samping liberalisasi ekonomi, ketidaksetaraan gender merupakan faktor mendasar yang menentukan siapa yang korban paling dirugikan. Ini dapat kita diidentifikasi mulai dari kesiapan mereka menghadapi dampak pe- rubahan iklim, adaptasi dan mitigasi. Ketika bencana iklim melanda lokasi tinggal masyarakat yang budaya paternalistiknya kental, akan terlihat jelas perbedaan kemampuan perempuan dan laki-laki dalam mengakses sumber daya (seperti: air, fasilitas sanitasi, bahan pangan, bahan bakar untuk memasak dll), termasuk informasi, mobilitas dan proses pembuatan keputusan. Situasi ini bisa kita temukan di Jakarta Utara, pesisir utara Jawa Tengah dan pesisir selatan Jawa Barat—di mana krisis lingkungan masih berlangsung. Penguatan Dalam kehidupan masyarakat, perubahan iklim punya banyak sebutan. Orang Sulawesi Utara biasa menyebut cuaca ekstrem sebagai “angin janda”. Karena badai dan angin kencang menghancurkan rumah dan juga kapal. Kalau sudah begitu, perempuan yang biasanya menanggung resiko atas kekacauan iklim ini. Di Morodemak, Jawa Tengah menyebut perubahan iklim sebagai ponco uro, sebutan lain dari pancaroba. Pembacaan masyarakat terhadap perubahan iklim selama ini pun berbeda. Ini tentunya terkait dengan lemahnya upaya adaptasi di lapangan karena negara belum melakukan banyak hal untuk membantu nelayan-nelayan di sepanjang pesisir Indonesia untuk beradaptasi. Jadi upaya untuk membalikkan keadaan bisa dilakukan dengan mendorong dan memastikan keterlibatan perempuan untuk membesarkan perekonomian nelayan. Paradigma pembangunan seharusnya tidak lagi menempatkan mereka sebagai objek yang terkena dampak dari perubahan iklim. Perempuan harus diperkuat sebagai subjek atau aktor yang berperan melakukan adaptasi dan mitigasi. Dengan begitu, otomatis kehidupan ekonomi mereka akan pulih kembali. Jadi sudah semestinya pemerintah membuka ruang lebih luas bagi partisipasi perempuan dalam penyusunan program dan kebijakan perikanan. Khusus untuk mendorong pengakuan serta penghormatan hak-hak perempuan nelayan, tentunya perlu komitmen dan kerja segenap pihak. Termasuk Komnas Perempuan untuk mendorong Negara mengakui profesi perempuan nelayan serta pemenuhan hak-haknya dalam undang-undang. Kini UU Perikanan sudah ada, persoalannya pasal yang dikandungnya masih mendefenisikan nelayan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan/ pembudidayaan. Dalam banyak contoh di lapangan, kegiatan perikanan tradisional tidak saja pada lingkup penangkapan/ pembudidayaan, sehingga ke depan adalah: (1) bagaimana UU ini memberi arahan bagi penyelenggara negara untuk dapat mengembangkan program yang memberdayakan kegiatan nelayan dan pembudidaya secara utuh, Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan Bergerak 7 dan; (2) pada banyak wilayah, perempuan nelayan tidak melakukan penangkapan atau pembudidayaan. Namun tanpa mereka, kegiatan perikanan tradisional mustahil dapat berjalan baik, serta; (3) memberikan kesan bahwa urusan nelayan cukup pada wilayah menangkap ikan, sedang pengolahan dan pemasaran ada di wilayah industri. Pasal-pasal tersebut di atas hendaknya tidak boleh bertentangan dengan Pasal 2 yang menyatakan bahwa, “Pengelolan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan.” Untuk itu Pemerintah harus merevisi defenisi nelayan/ pembudidaya, sehingga dukungan dan pemenuhan hak mereka tidak bias pada laki-laki semata. Apabila belum mampu melakukan perubahan substansi di dalamnya, maka ruang intervensi masyarakat sipil dalam mengubah UU Perikanan harus dibuka lebar. Kedua, Pemerintah juga harus kerja keras mengurangi kerentanan sektor perikanan, dengan mengendalikan penyerobotan sumber-sumber kehidupan nelayan (diambil dari data FAO tahun 2010), seperti alih konversi hutan mangrove menjadi pertambakan udang di Jawa Timur, Sulawesi dan Sumatera, lalu penebangan kayu secara berlebihan dan konversi hutan mangrove menjadi tambak garam di Jawa dan Sulawesi, kemudian tumpahan minyak dan polusi industri di Kalimantan Timur, serta penambangan pasir besi dan biji timah di Bangka Belitung, Jawa, dan Sumatera. 8 Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2012 Ketiga, keterbukaan pemerintah terhadap informasi cuaca, iklim dan daerah tangkapan ikan jadi sebuah keharusan untuk para nelayan. Ini karena nelayan sudah tak bisa lagi mengandalkan perhitungan tradisional (pranata mangsa). Bagi Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan segenap anggota jaringannya, upaya untuk meraih cita-cita penguatan gerakan perempuan nelayan akan terus menerus dilakukan. Beberapa waktu lalu KIARA bersama Perkumpulan Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir (JPKP) Buton dan Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) menggelar pertemuan untuk penguatan kapasitas perempuan nelayan. Kegiatan yang berlangsung di Pulau Liwuto, Bau-Bau, Propinsi Sulawesi Tenggara, pada tanggal 20 – 25 November 2010 melahirkan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Pertemuan itu juga menyepakati PPNI sebagai lokomotif penguatan gerakan perempuan nelayan Indonesia. Semua tentunya mesti percaya, hanya perempuan nelayan yang terdidik dan terorganisir, upaya mewujudkan kesejahteraan keluarga nelayan bisa dicapai. Termasuk untuk urusan pengelolaan sumberdaya perikanan yang adil dan lestari. ***** -----------------*) Mida Saragih adalah Deputi Pengelolaan Sumber Daya KIARA/Satuan Tugas Pangan dan Akuakultur SEAFish (Southeast Asia Fish for Justice). opini Pohon, Perempuan dan Keadilan Iklim Oleh: Siti Maimunah*) M enanam pohon itu perbuatan yang baik dan bisa menanggulangi dampak perubahan iklim. Jika tak percaya, tanyakan saja pada Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon (GPTP)1. Sebuah gerakan gerakan penanaman dan pemeliharaan pohon yang dimulai sejak tahun 2007. Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu, KOWANI, Dharma Wanita Persatuan, Aliansi Perempuan untuk Pembangunan Berkelanjutan (APPB), Bhayangkari, Dharma Pertiwi dan Tim Penggerak PKK--tujuh organisasi pelopor GPTP menyebutupaya itu sumbangan mereka bagi pelestarian lingkungan hidup untukmenanggulangi perubahan iklim global, sebab pohon bisa menyerap Karbon. Sejak itu, gerakan menanam pohon untuk menjawab masalah perubahan iklim mengemuka di Indonesia. Jargonnya pun beragam. Ada One Man One Three. Lantas Satu Miliar Pohon Indonesia untuk Dunia. Banyak Pohon Banyak rejeki, dan lainnya. Departemen Kehutanan bahkan mengklaim telah menanam lebih 2 milyar pohon dalam dua tahun terakhir, menyerap 15 juta ton lebih Karbon2. Menanam pohon kemudian menjadi ritual akhir tahun para Istri Kabinet Indonesia Bersatu. Gemanya bahkan melebihi penyebab perubahan iklim sendiri, pembakaran batubara, minyak dan gas bumi, deforestasi hutan dan degradasi lahan yang terus berlangsung dan makin meluas. Karbon Netral Kevin Smith (2006), peneliti Transnational Institute menyebut upaya mengkompensasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan menanam pohon itu sebagai Karbon Netral. Mirip yang dilakukan grup musik terkenal asal Inggris, Coldplay tahun 2002 saat memproduksi album “A Rush of Blood to the Head”. Mereka bermitra dengan perusahaan Carbon Neutral untuk “menetralkan” karbon yang dihasilkan dari proses produksi dan penyebaran album tersebut. Coldplay membayar jasa yang ditawarkan Carbon Neutral menanam 10 ribu pohon Mangga di Karnataka India. Bahkan kelompok musik ini menyarankan penggemarnya sukarela mendonasikan sekitar Rp 225 ribu untuk satu pohon Mangga yang ditanam di sana. Sang penggemar akan mendapatkan sertifikat keren, bahkan peta dimana pohon yang mereka bayar itu ditanam3. Belakangan diketahui dari pemberitaan The Sunday Telegraph, 2006, ternyata proyek itu justru menghasilkan banyak masalah. Setidaknya itu disampaikan Anandi Sharan Miele dari Women for Sustainable Development (WSD), mitra Carbon Neutral di Karnataka yang mengakui dari 8000 anakan Mangga yang mati sekitar 40 persen. Hal itu karena desa-desa di sana mengalami kesulitan air, warga juga mengkomplain kompensasi yang diberikan tak sesuai yang dijanjikan. Apa yang dirasakan Coldplay dengan menanam pohon Mangga itu? Mungkin mereka merasa lebih tenang, merasa menjadi pemusik yang lebih bertanggung jawab. Sama seperti perasaan kita saat melakukan perbuatan baik. Menanam pohon adalah perbuatan baik. Mungkin mirip dengan perasaan yang muncul saat orang-orang membeli mobil hibrid, AC ramah lingkungan, kayu besertifikat ekolabel, emas bersertifikat hijau, juga minyak sawit bersertifikat RSPO. Mereka pasti merasa lebih baik dibanding membeli produk usang. Itu membuat kita merasa lebih bertanggung jawab. Seolah memberikan kita hak untuk terus menerus membeli, mengkonsumsi dan barang, tanpa batas. Jejak Ekologi Padahal untuk memproduksi barang itu dibutuhkan sumber daya alam, yang bisa saja dikeruk dari tempat yang jauh. Misalnya emas. PT Newmont Nusa Tenggara misalnya membongkar tanah untuk mendapatkan batuan mengandung emas, menebang hutan, membelokkan sungai untuk mendapatkan batuan yang mengandung emas. Tak cukup itu, sejumlah bahan kimia dan limbah akan dibuang setelah emas dikeluarkan dari batuan. Untuk mendapat satu gram emas dibutuhkan sedikitnya 100 liter air, dibuang 2,1 ton limbah batuan dan lumpur tailing, belum lagi 5,8 kilogram emisi beracun, berupa 260 gram Timbal, juga 6,1 gram Merkuri dan 3 gram Sianida4. Inilah gambaran jejak ekologi kita. Demikian halnya dengan Handphone (HP). Seperempat berat sebuah HP berasal dari logam, belum termasuk baterai dan pengecasnya. Barang-barang elektronik, dibuat dari berbagai komponen dan jenis logam. Bahan utamanya adalah aluminium, besi, tembaga, nikel dan seng. Tapi ada bahan lain dalam jumlah Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan Bergerak 9 kecil, seperti galium, timah, cobalt, coltan, tantalum dan platinum. Meski kecil, bahan yang dikenal sebagai rare earth mineral, atau minal langka bumi ini perannya vital. Cobalt bahan pengecas batere HP, Gallium dipakai untuk power amplifier, keypad dan lampu kamera HP. Jangan lupa timah untuk menyoder atau merekatkan antar komponen. Tahun lalu, Menkominfo5 mengumumkan penggunanya di Indonesia mencapai 231 juta, menjadi pengguna HP nomer empat dunia. Jumlah pemakai HP secara global kini mencapai lebih 5 Milyar dan akan terus bertambah6. Bayangkan, berapa logam yang harus digali untuk memenuhi kebutuhan itu, berapa gunung sudah dibongkar untuk diambil batuan mineralnya, berapa hutan dibabat, limbah yang dibuang ke lingkungan sekitar, dan lubang-lubang yang ditinggalkan begitu saja? Pertanyaan paling penting, di mana semua bahan itu didapat. Tentu, bukan dari Negara industri asal perusahaan elektronik macam Nokia, Samsung, Dell, Apple dan lainnya. Logam-logam itu berasal dari negara-negara miskin dan berkembang macam Congo dan Indonesia. Cobalt dan timah untuk industri elektronik sebagiannya dipasok dari Congo, dari kawasan yang dikontrol oleh kelompok-kelompok pemberontak bersejata dan perang sipil. Diperkirakan dua juta orang meninggal akibat kekerasan, penyakit dan kelaparan semasa perang sipil. Timah juga dipasok dari Bangka Belitung sejak 300 tahun lalu. Sedikitnya 1000 lubang tambang--yang disebut kolong ditinggalkan begitu saja di sana. Negara industri yang memproduksi barang-barang elektronik tersebut tak hanya menjadikan negara-negara miskin dan berkembang sebagai sumber bahan mentah, namun juga pasar raksasa yang menguntungkan, karena jumlah penduduknya yang besar. Kerap pabrikpabriknya pun bertempat di negara yang sama karena gaji buruhnya yang murah, beaya lingkungannya juga murah, ujungnya beaya produksi bisa ditekan. Bukankah ini terdengar seperti cerita usang? Seperti cerita tentang penjajahan bangsa-bangsa ratusan tahun lalu. Itu memang cerita usang. Cerita penjajahan, penciptaan dan konsumsi barang yang tiada batas. Cuma berubah modanya. Jika penjajahan ratusan tahun lalu menggunakan pasukan tentara dan senjata. Kini cukup dengan para cerdik cendikia, teknologi, utang, pengetahuan, budaya, dan tentu saja dengan bantuan korupsi. Penjaga keamanannya cukup mengerahkan polisi atau tentara di negara tempat mereka mengeruk. Hasilnya tak jauh berbeda, hasil eksploitasi besar-besaran ini diangkut dan diperdagangkan diantara negara industri, negara industri makin kaya, jajahannya tetap menjadi negara miskin, atau berkembang. Belakangan muncul gerakan masyarkat sipil yang menuntut pembayaran utang ekologis oleh negara industri. Utang yang diciptakan dari akumulasi pencurian 10 Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2012 sumber daya alam selama era kolonialisme, perdagangan tidak adil, kerusakan lingkungan dan pembuangan limbah oleh negara-negara industri. Tuntutan ini tak hanya bertujuan mensejajarkan posisi dan mengkoreksi ketidakadilan yang terjadi. Namun juga mengingatkan bahwa bumi yang kita miliki punya keterbatasan. Pembabatan hutan dan pembongkaran bahan tambang sejak 5 dekade lalu telah menghasilkan kerusakan lingkungan yang luar biasa, termasuk pencemaran atmosfir bumi. Setidaknya dari pembakaran bahan bakar fosil yang menyebabkan karbon yang tersimpan dalam tanah (inert) dilepas masuk dalam daur karbon aktif di atas permukaan bumi. Emisi karbon itu berakumulasi dengan emisi GRK dari degradasi lahan, deforestasi hutan dan lainnya menciptakan efek rumah kaca dan memicu pemanasan global dan menyebabkan perubahan iklim. Reproduksi Sosial Namun bicara konsumsi dan keterbatasan bumi, sebenarnya perempuan yang paling mudah mengenali keterbatasan bumi. Sebab dalam keseharian, mereka yang paling berhubungan dengan sumber-sumber kehidupan dari alam. Perempuan yang mengumpulkan air dan mengaturnya untuk kebutuhan keluarga, mulai untuk kebutuhan memasak, mencuci hingga memandikan anak. Mereka juga yang memasak makanan yang dipanen dari kebun. Semuanya berhubungan dengan alam. Perempuan yang akan pertama merasakan air yang tercemar, atau pun lahannya rusak karena dibongkar. Uniknya melalui peran domestik dalam keluarga, perempuan memiliki peran dan kesempatan luas sebagai penjaga identitas dan reproduksi sosial. Reproduksi social adalah fungsi seksualitas tubuh perempuan yang berhubungan dengan peran sosial7. Pada sebuah keluarga misalnya, perempuan yang lebih banyak memperkenalkan nilai-nilai kebaikan pada anak-anaknya, yang akan diingat si anak sepanjang hidupnya. Dalam situasi krisis lingkungan seperti sekarang, rasanya tak cukup memperkenalkan nilai-nilai baik pada keluarga sebatas sesuatu yang normatif, macam jangan buang sampah sembarangan, mari menanam pohon atau jaga kebersihan. Anak-anak dan anggota keluarga lainnya harus mendapatkan pengetahuan dasar tentang jejak ekologi mereka. Intinya, mengetahui sebenarnya dari mana barang-barang yang mereka gunakan berasal, termasuk logam-logam yang ada di televisi, HP, radio dan apa ongkos sosial dan lingkungannya, tentu dengan bahasa yang lebih mudah ditangkap. Pengetahuan itu bekal penting untuk kelak mereka menentukan pilihan di masa remaja. Sebab pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping biasanya, remaja mudah terbujuk rayuan iklan,meniru teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya.Dengan bantuan Kelompok usia remaja bisa menjadi kelompok sangat konsumtif. Alam adalah Tubuh Manusia Perempuan Molo di pulau Timor mengenalkan lingkungan pada anak-anaknya lewat filosofi mereka tentang alam adalah tubuh. ”Kami orang Molo, semua makan dan minuman kamu disediakan oleh perempuan, sama dengan tanah yang menyediakan kami makan dan minum. Kalau alam dirusakan dengan ambil batu sama saja dengan memperkosa tanah, memperkosa perempuan”, ujar mama Ety Anone, pada orang-orang yang datang ingin menambang batu mereka. Sebab buat orang Molo, batu bukanlah batu. Orang Molo Percaya alam bagaikan tubuh manusia. “Kami tidak jadi manusia lagi, kalau kami tidak tinggal di tanah ini, sedangkan tanah kami banyak longsor dan rusak, batu diambil dan dihancurkan, lalu air kotor, hilang, hutan juga di tebang, diambil. Akibatnya tanah lepas pergi, air jadi kurang. Padahal tanah, hutan, batu dan air memiliki fungsi sama dengan tubuh manusia. Alam bagai tubuh manusia. Batu, hutan, air, tanah sama dengan tubuh manusia. Batu dilambangkan sebagai tulang, tanah sebagai daging, air sebagai darah, dan hutan sebagai kulit, paru-paru dan rambut. Filosofi ini yang mendorong mereka untuk menghalangi perusakan lahan dan air. Salah satunya dilakukan dengan pengusiran perusahaan tambang yang membongkar gunung batu untuk diambil marmernya. Mereka berhasil menyelamatkan empat gunung batu, tulang-tulang penyusun dan penguat tubuh. Itu sebabnya, tak seperti GPTP, Perempuan Molo di pulau Timor justru memaknai dampak perubahan ikim, sebagai lampu merah. Mereka berupaya sedemikian rupa untuk mengurangi konsumsi dengan mendekatkan dirinya kepada alam dan meningkatkan kemandirian ekonomi mereka. Perempuan-perempuan Molo adalah penggerak utama di sana. Sejak itu, orang Molo membentuk persekutuan bersama dua suku lainnya yang masih bersaudara dengan mereka, Amanuban dan Amanatun. Persekutuan adat itu bernama tiga batu tungku. Mereka memulihkan kembali tanah-tanah dan sempadan sungai yang rusak karena longsor dengan menanam pohon. Bukan untuk menangkap karbonnya, seperti yang dilakukan GPTP. Sebab Orang Molo tak memisah-misahkan fungsi-fungsi yang dimiliki pohon, karena itu bagian fungsi tubuh. Fungsi-fungsi yang kini diperjualbelikan oleh pemerintah dan korporasi lewat proyek-proyek REDD, penurunan emisi dari perusakan dan degradasi hutan. Tapi kini, kondisi makin berat sejak dampak perubahan iklim makin terasa. Orang Molo menghadapi musim ekstrim yang kedatangannya tak bisa diramalkan lagi. Praktis dalam tiga tahun terakhir mereka tak bisa menanam dengan normal, gagal tanam dan gagal panen. Orang Molo juga membudidayakan tanaman Pangan yang semula harus mereka ambil di hutan, yang jumlahnya makin jarang agar bisa dikonsumsi saat musim paceklik. Perubahan Iklim dan cuaca merupakan tanda-tanda alam. Tetapi bukan berarti sifatnya alami. Perubahan iklim menggambarkan perombakan pola. Keteraturan hilang. Musim tidak lagi berlaku, tidak bisa lagi diramalkan. Petani, nelayan dan Kaum Miskin Kota mengalami masa-masa paling sulit. Tapi dalam situasi ini perempuan tetap yang paling sengsara. Perubahan iklim berdampak lebih parah pada perempuan karena berbagai peran yang kerap kali distereotipkan untuk perempuan dalam keluarga. Sebab perempuan memikul tanggung jawab utama untuk mengumpulkan air dan bahan bakar serta menyediakan pangan untuk keluarga mereka8. Menurut Serikat Petani Indonesia, sekitar 70-80 persen pekerja pada sektor pertanian adalah perempuan9.Kelompok inilah yang paling terkena dampak saat tahun 2006, total areal pertanian di Indonesia yang terkena dampak banjir mencapai 66,400 hektar. Antara Oktober- Desember tahun 2007 saja, banjir telah menyebabkan 6,676 hektar lahan pertanian gagal panen. Itulah sebabnya, membicarakan perubahan iklim mensyaratkan empat prinsip, yang dikenal sebagai prinsip keadilan iklim. Prinsip itu termasuk keselamatan manusia, hak atas lahan, jejak ekologi, serta keadilan produksi dan konsumsi. Tak kan pernah cukup menjawab masalah perubahan iklim dengan menanam pohon. Apalagi mempromosikan menanam pohon atau menjaga karbon hutan sebagai cara utama menghadapi dampak perubahan iklim. Celakanya, pemerintah bersama korporasi justru akan memperdagangkan fungsi-fungsi alam, termasuk fungsi yang dimiliki pohon, hutan dan laut sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan Bergerak 11 Upaya mitigasi atau pengurangan emisi, maupun upaya penyesuaian dampak perubahan iklim (adaptasi), tak mampu menjawab pangkal masalah perubahan iklim, yakni gagalnya model pembangunan global. Selama Indonesia tak mengubah dan berpaling dari ketaatan model pembangunan saat ini, maka solusi menyeluruh perubahan iklim akan semakin jauh tak tersentuh. Dan Perempuan akan menjadi warga negara yang paling dirugikan. --------*) Siti Maimunah, Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF). 1. http://indonesiahijau.or.id/index.php?option=com_ content&view=article&id=1220 2. http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/8169 Kevin Smith, 2007, The Carbon Neutral Myth. Offset Indulgences for your Climate Sins, Netherlands 3. http://mai-jebing.tumblr.com/private/10404816395/ Cuaca Berubah, Panen Berkurang warta komunitas 12 tumblr_lrs1tiKr2K1r0hl2e 4. http://kominfo.go.id/berita_kementrian/detail/1549/ Menkominfo+%3A+Tahun+2014+Indonesia+Infor ma tif+Untuk+Tingkatkan+Kesra 5. http://wahw33d.blogspot.com/2012/04/indonesiamasuk-no4-pengguna-hp.html 6. Mariana Amiruddin, Kesehatan dan Hak Reproduksi Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan dan The Japan Foundation, 2003 7. http://www.antaranews.com/ view/?i=1206520900&c=WBM&s= 8. http://www.hukumonline.com/berita/baca/ lt4d9ff7032f4bb/beban-perempuan-bertambah-aki bat-perubahan-iklim Pasrujambe terletak di lereng gunung Semeru, tepatnya berada di kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Karena wilayahnya di kelilingi pegunungan, maka tak heran jika tanah di daerah ini sangat subur. Aneka jenis tanaman palawija dan holtikultura dapat tumbuh dengan baik. Penduduk desa kebanyakan bekerja sebagai petani, namun ada yang bekerja sebagai penambang pasir dan batu. Mereka yang bekerja sebagai petani biasanya sangat mengandalkan iklim untuk menentukan kapan mereka akan menanam. “Biasanya Juli, Agustus, September, Oktober, November, Desember, itu bulan baik untuk menanam, tapi jangan Juni karena bukan musimnya”, ujar Sulikhati, perempuan petani asal dusun Suco. Namun belakangan, para petani di desa Pasrujambe tidak lagi dapat memprediksi kapan mereka harus menanam dan menghasilkan panen dengan hasil yang baik. Salah satu faktornya karena terjadi perubahan iklim yang tidak menentu. “Sekarang tidak seperti dulu, susah pastikan kapan mulai tanam. Dikira bisa tanam, ternyata malah hujan terus-terusan atau malah kemarau panjang, jadi tanaman malah jelek”, ungkap Rokhanah, seorang warga dusun Krajan II. Baik Sulikhati maupun Rokhana mengakui jika perubahan musim yang tidak menentu mempengaruhi pendapatan dan hasil panen mereka. “Jika hujan terus-menerus, padinya jadi jelek dan hasil panen pun Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2012 berkurang”, ungkap Sulikhati. Ibu ini mempunyai sawah seluas 150 m2 dimana biasanya dalam setahun dia panen hingga 2 kali. “Biasanya saya panen 12 sak atau 6 kuintal, tapi sejak cuacanya berubah-ubah hasilnya pun jadi tidak menentu. Panen terakhir kemarin hanya 8,7 sak”, ungkapnya lagi. Lain halnya dengan Sulikhati, Rokhana memang tidak punya lahan sawah, tetapi dia mempunyai lahan yang ditanami aneka jenis tanaman palawija, seperti tomat, cabe, pare dan sebagainya. Diakui Rokhana sejak terjadinya perubahan cuaca, hasil tanamannya juga mengalami dampak yang kurang lebih sama dengan yang diungkap Sulikhati. “Jika hujan terus-menerus, tanaman jadi keriting, sedangkan jika kemarau datang agak panjang, tanaman juga kering kurang air”, terangnya. Dampak lain yang dialami dua perempuan ini adalah jika musim penghujan datang lebih lama, tanaman mereka banyak diserbu hama dan pupuk menjadi mahal. Sedangkan jika musim kemarau datang lebih panjang, maka mereka terkadang kesulitan air untuk mengairi sawah dan kebunnya. “Jika musim kemarau datang, biasanya siap-siap rebutan air. Pernah saya pagi-pagi sekali sudah ke sawah demi mengambil air untuk mengairi sawah. Karena kalau udah siang pasti rebutan dengan yang lain”, ungkap Sulikhati. *****(NR) S iang itu, matahari bersinar sangat terik, hingga membuat orang malas untuk beraktivitas di luar ruangan. Mereka memilih mengurangi aktivitas di luar atau menunggu hingga waktu menjelang sore agar terik matahari sedikit berkurang. Berada di tempat yang teduh atau di ruangan be-AC menjadi satu pilihan. Bagi mereka yang tidak mempunyai pilihan, maka mereka tetap menembus teriknya sinar matahari. Di tengah teriknya sinar matahari, tiba-tiba mendung kemudian hujan turun deras. Banjir pun terjadi di mana-mana. Sementara di tempat lain, kekeringan melanda. Itulah gambaran singkat mengenai apa yang terjadi dalam 10 tahun terakhir ini, karena cuaca tidak dapat diprediksi lagi. Selain itu, hujan atau panas tak lagi mengenal bulan. Kalau dulu, ketika duduk di bangku sekolah dasar ada pelajaran tentang musim, dimana Indonesia sebagai negara tropis hanya mengenal dua musim yakni musim panas dan hujan, dan dapat dihitung berdasarkan bulan. Misalnya bulan Januari-Juni, itu musim hujan, dan Juli-Desember musim panas. Namun sekarang, sudah tak dapat dijadikan patokan karena hujan dan panas bisa turun kapan pun. Demikian dengan suhu udara, bila sepuluh tahun lalu kita masih bisa menikmati udara dingin di desa, maka kini itu sudah makin sulit ditemukan. Apa Itu Perubahan Iklim? Cuaca yang tidak menentu dinamakan dengan perubahan iklim atau climate change. Sebuah istilah yang menggambarkan terjadinya gejala perubahan siklus iklim dalam jangka waktu panjang, termasuk perubahan temperatur dan curah hujan. Perubahan iklim akibat naiknya suhu rata-rata muka bumi karena panas bumi yang terperangkap oleh gas rumah kaca, atau yang biasa dikenal dengan istilah Pemanasan Global (global warming). Pemanasan global terjadi akibat terakumulasinya Gas Rumah Kaca (GRK), yakni lapisan gas yang terdapat di atmosfir. Muatan GRK terbanyak ialah uap air, Karbon dioksida, Metana, dan Nitrogen Oksida. Gas ini muncul secara alami maupun akibat aktivitas manusia. Gas alami didapat dari penguapan air yang ada di laut, danau atau sungai. Gas dari aktivitas manusia terbanyak berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil digunakan untuk transportasi, listrik, pabrik, dan lainnya. Kebakaran hutan juga menjadi penghasil GRK. Ada dua penyebab mengapa perubahan iklim itu terjadi, yakni pertama akibat alam, dan yang kedua, akibat perbuatan manusia melalui tindakan yang tak peduli terhadap lingkungan hidupnya, sehingga dampaknya terasakan kini. Di Indonesia, perilaku manusia bisa terlihat dari aksi penggundulan hutan yang terus-menerus dilakukan untuk alih-fungsi sebagai lahan perkebunan atau area pertambangan. Selain itu, area persawahan yang berfungsi sebagai penghasil pangan, kini beralih sebagai area perumahan atau pusat-pusat perbelanjaan. Hal itu menimbulkan krisis pangan yang berkepanjangan, krisis air bersih, dan banjir yang terjadi akhir-akhir ini. Dampak Perubahan Iklim Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim yang menyebabkan bencana banjir, longsor, kemarau panjang, angin kencang, dan gelombang tinggi. Ancaman bencana iklim di Indonesia bahkan dapat terjadi dalam intensitas yang lebih besar, yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat petani, nelayan, pesisir, pedesaan, dan juga perkotaan. Dampak yang luas tidak hanya merusak lingkungan, akan tetapi membahayakan kesehatan manusia, keamanan pangan, kegiatan pembangunan ekonomi, pengelolaan sumberdaya alam dan infrastruktur. Perubahan iklim tak hanya mengancam Indonesia, tapi seluruh masyarakat di lapisan dunia. Dalam rangka meningkatkan koordinasi pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan memperkuat posisi Indonesia di forum internasional dalam pengendalian perubahan iklim, maka dibentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 46 Tahun 2008. Beberapa tugas diemban oleh DNPI yakni: 1) Merumuskan kebijakan nasional, strategi, program dan kegiatan pengendalian perubahan iklim; 2) Mengkoordinasi kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi dan pendanaan; 3) Merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan karbon; 4) Melaksanakan pemantauan dan evaluasi implementasi kebijakan tentang pengendalian perubahan iklim; 5) Memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong negara-negara maju untuk lebih bertanggung jawab dalam pengendalian perubahan iklim. Ancaman global perubahan iklim, juga diamini oleh Pusat Penelitian Politik, bahkan lebih serius bagi keamanan manusia (human security) karena berbagai efek telah mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat di berbagai belahan dunia. Pengaruh perubahan iklim sangat berdampak bagi seluruh sendi kehidupan masyarakat di seluruh dunia, terutama di negara-negara Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan Bergerak warta perempuan Perempuan Menjadi Korban Perubahan Iklim 13 yang miskin. Perempuan dan Anak Korban Perubahan Iklim Berdasarkan survei kerentanan kelompok manusia yang menderita akibat perubahan iklim dalam Millennium Development Goals (MDGs), perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban perubahan iklim. Banyak implikasi dirasakan oleh perempuan, terutama pasca bencana. Selain juga mempergaruhi sektor danl layanan kesehatan, di mana hal itu juga turut menyumbang tingginya angka kematian ibu melahirkan. “Implikasi perubahan iklim terhadap kaum perempuan sangat banyak. Misalnya, beban untuk menanggung kebutuhan beaya hidup keluarga makin meningkat jika anggota keluarga ada yang terkena bencana alam, dan lainnya. Sering bencana dilihat sebagai bencana semata, tanpa tahu kaitannya dengan isu perubahan iklim”, ungkap Lana dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati). Kondisi itu juga ditemukan dalam studi yang dilakukan oleh the London School of Economics and Political Science terhadap 141 negara yang terkena bencana periode 1981-2002 di mana ditemukan kaitan erat antara bencana alam dan status sosial ekonomi perempuannya. Bencana alam berakibat pada penurunan angka harapan hidup perempuan dan peningkatan gender gap di dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan ternyata korban terbesar berbagai bencana alam yang terjadi. Akibatnya, terjadi peningkatan angka kemiskinan di kalangan perempuan. Bencana yang terjadi akibat perubahan iklim turut memperparah ketidaksetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan yang ada di masyarakat, yang sebelumnya sudah ada. Menjadi nyata ketika perempuan adalah mayoritas korban. Ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam mengakses sumber daya, informasi, mobilitas dan proses pembuatan kebijakan. Dalam beberapa kasus, ketidaksetaraan terlihat ketika perempuan tidak mempperoleh peringatan dini sebelum bencana datang, menguatnya peran-peran tradisional perempuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, akses rendah terhadap berbagai sumber daya, seperti air, sanitasi dan energi, yang akhirnya menciptakan beban ganda bagi perempuan. Dampak terbesar perubahan iklim terjadi terutama di daerah-daerah yang masih tergolong miskin, bahkan di beberapa negara maju korban perubahan iklim didominasi kaum perempuan. Data-data menunjukkan tingginya jumlah perempuan yang menjadi korban berbagai fenomena alam akibat perubahan iklim. Di beberapa negara maju menunjukkan trend yang sama. Ketika terjadi bencana gelombang panas di Perancis tahun 2003, perempuan merupakan 70% dari 15,000 korban 14 Perempuan Bergerak | Edisi I | Januari - Maret 2012 yang meninggal dunia. Korban badai Katrina di Amerika Serikat mayoritas perempuan miskin keturunan Amerika-Afrika, yang termasuk kategori masyarakat miskin di Amerika Serikat (Sumber: LIPI, Januari, 2010). Beragam masalah timbul ketika iklim sudah tidak bisa diprediksi. Terutama bagi keluarga-keluarga yang mengantungkan hidupnya pada alam. Beberapa persoalan yang timbul, misalnya ikan sulit ditangkap, panen padi yang kerap gagal, dan lain sebagainya. Hutan sebagai penyimpan sumber air dan kebutuhan hidup masyarakat sekitar makin menipis jumlahnya. Perempuan akan menanggung beban terberat akibat kondisi tersebut karena yang selama ini dibebankan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, terutama ketersediaan pangan dan air bersih. Tak hanya di darat, di pesisir laut pun perempuan banyak tidak mempunyai akses air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka, ia akan menghabiskan banyak waktu karena, selain bekerja, mereka dituntut untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) misalnya, menyatakan bahwa perempuan yang tinggal di pesisir utara Jakarta melakukan pekerjaan tak kurang dari 17 jam setiap hari. Data Serikat Petani Indonesia (SPI), 70-80 persen pekerja di sektor pertanian ialah perempuan. Gagal tanam dan gagal panen akibat perubahan iklim berdampak terhadap pendapatan perempuan petani. Hilangnya tanaman yang berfungsi sebagai obat-obatan tradisional yang dimanfaatkan oleh perempuan adat. Semakin sulitnya akses air bersih bagi perempuan di perkotaan. Partisipasi Perempuan Walaupun perempuan paling merasakan dampak perubahan iklim, namun dalam pengambilan keputusan sering dilupakan. Program pembangunan yang diperuntukan mengantisipasi dampak perubahan iklim jauh dari kebutuhan perempuan dan anak. Padahal mereka seharusnya memiliki peran yang paling besar karena paling dekat dengan alam. “Sebaliknya, perempuan memiliki peran yang sangat penting untuk mengatasi perubahan iklim. Karena sebagian besar gas rumah kaca yang timbul adalah akibat aktivitas manusia. Perempuan bisa menjadi motor penggerak untuk membuat pola hidup yang lebih ramah lingkungan. Misalnya, dengan membiasakan efisiensi penggunaan air dan listrik, mengolah sampah rumah tangga, dan sebagainya. Karena itu, sangat penting bagi perempuan untuk diberi edukasi mengenai hal ini”, demikian lanjut Lana. Sementara itu, Yani Septiani, Anggota Kelompok Kerja Perubahan Iklim, Kementerian Kehutanan mengatakan, bahwa selama ini kontribusi perempuan belum banyak dihargai. Perempuan jarang diberi kesempatan untuk terlibat langsung terutama dalam menjaga kelestar- ian hutan. ”Untuk itu, kami ingin meningkatkan posisi perempuan dalam perubahan iklim ini”, katanya. Hal senada diungkapkan Laksmini Banowati, selaku National Project Manager UN-REDD Programme Indonesia. Menurutnya, pemanfaatan hutan cenderung dengan kegiatan laki-laki. Sehingga tidak dipungkiri, jika pemanfaatan hutan hanya di wilayah kayunya. Padahal banyak yang bisa dimanfaatkan dari hutan seperti madu, rotan, dan ulat sutra. “Perempuan mempunyai keterampilan yang khusus untuk mengelolah hasil hutan dan dapat dijadikan sumber mata pencarian. Sumber mata pencarian ini akan membantu ekonomi keluarga, dan menekan para suami untuk melakukan penebangan liar”, ungkapnya. Laksmini mengatakan ada tiga aspek yang harus dimilki perempuan dalam pelestarian hutan. “Aspek mendapatkan akses, mendapatkan informasi dan aspek mendapatkan kesempatan”, jelasnya. Menurutnya, yang menjadi penghalang selama ini ialah aspek untuk mendapatkan akses pengambilan keputusan. Sehingga pengambilan kebijakan terkait pelestarian hutan, perempuan tak pernah dilibatkan. Padahal menurutnya, perempuan sangat memahami pemanfaatan hutan tersebut, yang tidak diketahui oleh para laki-laki. Strategi Sudah selayaknya perempuan menjadi agen perubahan dalam mengadvokasi berbagai isu dalam masyarakat terkait perubahan iklim. Penguatan pengakuan akan pentingnya perspektif gender telah muncul dalam the Hugo Framework of Action sebagai hasil the World Conference on Disaster Reduction States yang diselenggarakan PBB tahun 2005. Kesepakatan itu menyebutkan bahwa “Perspektif gender harus diintegrasikan dalam semua kebijakan manajemen resiko bencana, rencana dan proses pengambilan keputusan, termasuk dengan penilaian resiko, peringatan dini, pengelolaan informasi, pendidikan dan pelatihan”. Berkenaan dengan mitigasi dan perubahan iklim, Yayasan KEHATI bekerjasama dengan masyarakat lokal untuk terus menjaga alamnya dan melibatkan perempuan. Beberapa tempat yang dicontohkan KEHATI, misalnya di Aceh, Brebes, Sumba dan Flores. “Di Aceh pasca tsunami, kami mendorongkan gerakan perempuan nelayan untuk menanam mangrove (mitigasi perubahan iklim) dan peningkatan ekomi lokal dengan pemanfaatan tumbuhan pandan menjadi aneka produk anyaman tas, sandal, dan sebagainya. Dengan melakukan upaya itu, warga nelayan setempat mendapat sumber pendapatan dari sumberdaya hayati yang dikelola secara berkelanjutan”, ungkap Rina Kusuma selaku Education and Outreach Officer Yayasan KEHATI. Sementara di Brebes, ada inisiatif masyarakat lokal untuk mengembalikan wilayah pesisirnya yang tergerus, dengan penanaman mangrove dan ujicoba penanaman bibit padi yang tahan dampak air asin (tadas). Inisiatif ini timbul karena dalam waktu kurang lebih 20 tahun, wilayah pesisir mereka seluas 194 hektar hilang (atau tergenang air laut) sehingga banyak warga desanya yang bermigrasi dan sawah-sawahnya tidak produktif lagi karena tergenang air laut. Setiap kegiatan penanaman mangrove dan bibit padi tadas selalu melibatkan perempuan sebagai motor penggerak. Di Sumba dan Flores, ada inisiatif kelompok peremuan setempat untuk melestarikan sumber pangan lokal seperti sorghum, jewawut, jelai, dan lainnya. Karena ekosistem Sumba dan Flores yang sangat kering, mereka rentan kekurangan cadangan padi. Padahal kawasan tersebut memiliki ragam sumber pangan karbohidrat yang mudah ditanam dan dimanfaatkan ketimbang padi. Selain itu, mereka juga menjaga kebudayaan setempat untuk menenun kain dengan pewarna alami. Kain tenun pewarna alami selain ramah lingkungan (karena tidak ada limbah kimiawi), juga bisa meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Sementara itu, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) mengajak masyarakat untuk menyikapi perubahan iklim dengan memperdalam pemahaman tentang proses kejadiannya secara ilmiah, baik penyebab maupun dampaknya terhadap manusia dan lingkungan kita. Dengan pemahaman tersebut, dapat direncanakan upaya penyesuaian (adaptasi) dan pencegahannya (mitigasi). Strategi yang sifatnya terintegrasi di tiap sektor sangatlah diperlukan. Bukan hanya di tingkat pusat, tetapi terutama di tingkat daerah, mengingat berbagai dampak maupun upaya akan terjadi di tingkat daerah. Selain itu, penanggulangan masalah perubahan iklim perlu dilaksanakan oleh berbagai pihak yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, masyarakat madani, dunia pendidikan, masing-masing individu maupun pemangku kepentingan lainnya. *****(JK) Edisi I | Januari - Maret 2012 | Perempuan Bergerak 15 sosok Maria Loretha: Kenapa Malu Makan Pisang? Indonesia adalah negeri beribu-ribu pulau. Negeri ini memiliki kontur dan jenis tanah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman sebagai sumber pangan dapat hidup. Dengan demikian, sumber pangan tentu sangat beragam, baik dari darat maupun laut. Sayangnya, sumber pangan yang beragam tersebut tak dikelola dengan baik, malah pemerintah Indonesia cenderung menyeragamkan pangan bagi warganya. Lihat misalnya indoktrinisasi bahwa beras adalah sumber pangan utama yang dilakukan sejak Orde Baru. Hal ini turut mempengaruhi pemikiran masyarakat untuk beramai-ramai menjadikan beras sebagai bahan makanan utama. Maka tak heran, sering terdengar slogan bahwa belum makan, kalau belum makan nasi. Dengan kata lain, manusia Indonesia tak bisa hidup tanpa nasi! Dengan kondisi tanah yang berbeda-beda, tidak semua daratan bisa ditanami dengan padi. Persoalan baru pun muncul, beras yang diyakini sebagai sumber pangan utama harus diimpor dari luar Indonesia. Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam memiliki berbagai jenis tanaman yang berpotensi menjadi alternatif sumber pangan dunia. Di tiap wilayah di Indonesia juga mempunyai sumber pangan lokal yang sangat berlimpah, yang kandungan gizinya lebih baik dari pada nasi. Namun karena kuatnya iklan Orde Baru, sehingga dapat mengubah pola konsumsi masyarakat. Dengan kondisi demikian, masyarakat harus membuat perubahan dengan kembali menjadikan pangan lokal yang kaya gizi dan mudah diakses sebagai sumber pangan utama. Tidak mudah untuk melakukan perubahan. Hanya segelintir orang yang peduli dengan hal itu. Padahal, isu pemenuhan pangan saat ini men- 16 Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2012 jadi perhatian dunia karena pangan menjadi kebutuhan pokok tiap mahkluk hidup. Di berbagai belahan dunia, banyak wilayah mengalami kelaparan karena tidak tersedianya sumber pangan. Seharusnya diciptakan sumber pangan alternatif untuk mengatasi krisis pangan yang terjadi saat ini di Indonesia. Adalah Maria Loretha, seorang perempuan kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat, 28 Mei 1970. Dia keturunan Dayak Kanayatan dan Otdanum, menjadi satu dari segelintir orang yang berjuang untuk mengembalikan pangan lokal sebagai sumber pangan alternatif. Menjadi petani sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh perempuan yang sejak kecil hingga menyelesaikan kuliah, tinggal di kota. Setamat kuliah dari Fakultas Hukum Universitas Negeri Malang, Mama Tata, demikian perempuan ini biasa dipanggil, sempat bekerja di sebuah stasiun radio sebagai penyiar radio. Ketika krisis melanda Indonesia tahun 1999, hal itu berdampak pula terhadap kehidupan ekonomi keluarganya. Kembali ke Flores merupakan keputusan yang harus ia ambil. “Suamiku mengatakan bahwa ia mempunyai kebun yang luasnya 6 hektar di pinggir pantai. Di sana tempatnya sangat indah,” kenang Mama Tata. Situasi ini memberi harapan baginya walaupun awalnya Mama Tata agak canggung karena membayangkan Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT ) merupakan daerah kering dan gersang. Apalagi selama ini banyak yang mengenal NTT sebagai provinsi dengan angka kelaparan dan gizi buruk yang tinggi. Berita-berita kasus ini sering muncul di berbagai media nasional. NTT juga dikenal sebuah kawasan yang kering dan memiliki curah hujan yang rendah. Keputusan sudah bulat, tahun 2000 Mama Tata dan keluarga pindah dari Malang ke kota Larantuka, Flores Timur. Di sana ia melibatkan diri dalam berbagai kegiatan, seperti aktif dalam kelompok menganyam tali gebang dan kerajinan bambu serta pengolahan pangan lokal dibawah binaan Disperindag, Flores Timur. Sayangnya, kelompok hanya bertahan satu tahun, seiring keputusan yang diambil Mama Tata karena tahun 2002 ia memutuskan pindah ke Adonara Barat. “Kami pindah karena kami mempunyai lahan/kebun seluas 6 hektar. Tiga hektar untuk menanam jambu mete, sedangkan tiga hektar lagi untuk tanaman pangan. Keputusan ini diambil karena realistis saja. Anak-anak makin besar dan kami mau kerja apa di Larantuka?” ungkapnya. Kehidupan baru pun ia mulai bersama keluarga di desa yang sangat jauh dari hiruk pikuk kota. Di Desa Pajinian, Mama Tata membentuk kelompok untuk mengolah pangan lokal dan tentu tetap aktif dalam berbagai kegiatan di desa, kecamatan, kabupaten dan gereja. Karena keaktifannya, banyak informasi baru ia peroleh. Sebagai seorang yang berpendidikan, Mama Tata tak tinggal diam untuk membuat perubahan di desanya, maka ia pun mengali berbagai macam informasi, termasuk tanaman lokal yang tumbuh subur di daerahnya. Berawal dari sepiring sorgum kukus yang harum dan gurih pemberian tetangga, iapun tertarik untuk mengembangkan tanaman lokal sorgum sebagai tanaman utama di kebunnya, bersama beberapa jenis tanaman lokal lainnya. Mama Tata belajar cara menanam dan merawat tanaman yang ada dari hasil mengobrol dengan para tetangga, membaca tabloid pertanian, siaran radio, bahkan internet. Tahun 2005, Mama Tata mengajak para petani Adonara Barat untuk menanam sumber pangan lokal yang dapat hidup di daerahnya, seperti sorgum, jemawut dan jelay. Dimulai dengan berburu benih, Mama Tata memulai perjuangannya. Tak mudah melakukannya, karena semua itu harus dilakukan ibu dari empat anak ini dengan modal sendiri. “Berburu benih itu menghabiskan uang cukup banyak, karena transportasi sulit (di Flores). Kenapa saya harus berburu? Karena saya ingin menyelamatkan plasma nutfah-nya”, ungkapnya. Walaupun hanya tanaman sela, namun hasilnya cukup untuk makan serta benih berikutnya. Dari situ akhirnya Mama Tata menemukan gagasan untuk melestarikan dan mengembangkan tanaman pangan lokal yang sudah langka. Bukan hanya jagung Solor dan jewawut, melainkan sorgum, jagung lokal, jelai, wijen atau lenga, dan padi hitam. Mama Tata menamakan proyek ini “Sorgum Waiotan Farm” karena lokasi ladang yang kering di kampung Waiotan, Desa Pajinian. Sorgum menjadi pilihan Mama Tata karena tanaman ini dapat dibudidayakan di lahan yang kurang subur, berpasir, dan kering. Perawatannya mudah dan tidak disukai hama tanaman. Selain bernilai gizi tinggi, Sorgum ialah tanaman yang tak mengenal musim. Terbukti, sorgum dapat dipanen tiga kali setahun karena bisa tumbuh baik dengan sedikit air dan bertahan di musim kemarau. “Motivasi saya sederhana saja. Potensi lahan kering (80%) kita di Flores dan Lembata lebih besar dibandingkan lahan basah. Sorgum sangat potensial ditanam di lahan kering tidur di daratan Flores dan Lembata. Asal tidak ditanam di ketinggian lebih dari 500 m dari permukaan laut. Sorgum dapat tumbuh baik di tanah berpasir dan berbatu. Saya juga lebih memilih tanaman asli karena: 1) melestarikan tanaman ini yang mulai sulit dan langka, 2) tanaman lokal (sorgum, jagung pulut, padi hitam, jelai, wijen, jewawut) lebih toleran dengan kondisi alam kami yang minim curah hujan, 3) kurang disukai hama OPT karena baunya yang khas.“ Kebun Mama Tata akhirnya berproduksi tanpa mengenal musim. Di kebunnya, ada berbagai tanaman lokal Flores yang hampir dilupakan oleh warganya seperti jelai, wijen, jewawut, dan jagung pulut--tanaman lokal yang hampir hilang dari pulau Flores. Berkat perjuangannya, tanaman-tanaman tersebut tak hanya ada di kebun Mama Tata, tetapi juga mulai dikembangkan oleh beberapa keluarga lain di sekitar kediamannya di Adonara Barat. Dalam berbagai kesempatan, Mama Tata selalu mengingatkan masyarakat bahwa pangan tidak selamanya identik dengan beras. Ia juga menyampaikan pertanyaan: buat apa malu makan ubi atau makan pisang, kalau juga punya nilai gizi yang sama? “Kenapa malu makan pisang? Takut dibilang miskin?” Upaya Mama Tata bersama warga Adonara adalah bentuk keprihatinan mereka akan kelangsungan tanaman pangan lokal yang kian punah, karena orang hanya mau menanam padi. Padahal tidak semua tanah berpotensi untuk ditanami padi. Peran perempuan sangat besar dalam menentukan jenis-jenis bahan pokok apa yang akan disajikan di meja makan. Jika setiap perempuan sadar akan potensi sumber pangan selain nasi, maka secara tidak langsung keanekaragaman hayati tanaman seperti ubi, sorgum, dan jelay akan tetap terjaga. Berkat perjuangannya untuk membudidayakan tanaman lokal tersebut, berbagai penghargaan tingkat daerah maupun nasional diperoleh Mama Tata. Tahun 2011, perempuan ini mendapatkan penghargaan dari Gubenur NTT dalam kategori pengolahan pangan lokal pada Hari Pangan SedunIa (HPS) di Kupang. Ia juga berhasil menyabet penghargaan dalam FAN NTT 2011 pada bidang sains dan teknologi. Kemudian di tingkat nasional, tahun 2012 ia berhasil menyabet penghargaan Kehati Award 2012 dalam bidang Prakarsa Lestari Kehati, dengan tema ‘Keberagaman Hayati, Perempuan dan Ketahanan Pangan’. Dalam peringatan hari Kartini 2012, ia juga mendapatkan penghargaan sebagai ‘Perempuan Inspiratif dan Lingkungan Hidup’ dalam ajang Kartini Award 2012. Ada banyak hal yang menjadi harapan Mama Tata, salah satunya ia berharap agar pemerintah tidak hanya membual tetapi harus mewujudkan program diversifikasi pangan yang berkedaulatan. “Gubernur NTT sudah capek berteriak. Mari makan ubi, mari makan jagung. Tapi implementasinya mana? Mana instansi terkait, mana para camat, mana para kepala desa? Jangan tunggu perintah gubernur, jangan tunggu perintah menteri! Mari kita sama-sama wujudkan kedaulatan pangan di tengah masyarakat,” ujar perempuan yang sudah menerapkan diversifikasi pangan dalam kehidupan sehari-harinya, terutama pola konsumsi pangan lokal, dalam menghadapi perubahan iklim di negeri ini. *****(JK) Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan Bergerak 17 bedah buku Gerakan Perempuan dan Lingkungan 18 V andana Shiva, ahli fisika berlatar belakang gerakan ekologis; Maria Mies, ilmuwan sosial, berlatar belakang feminis. Keduanya penulis yang tinggal dan bekerja di belahan negara yang berjauhan. Yang satu di belahan Selatan, yakni India, yang lainnya di belahan Utara, yakni Jerman. Hidup dan bekerja berjauhan tidak menjadi persoalan bagi Mies dan Shiva untuk menulis buku yang penuh dengan kritik sosial sekaligus ide-ide segar. Buku itu kolaborasi pandangan Mies dan Shiva dalam menyajikan gambaran seluruh masalah terkait persoalan ekologis, perempuan, dan sistem pasar dunia. Shiva yang banyak terlibat dalam gerakan di masyarakat banyak mengkritik sistem kapitalis dunia, dari sudut pandang masyarakat yang terhisap serta pengalaman-pengalaman negara Selatan. Sementara Mies mempelajari dampaknya terhadap perempuan dari sudut pandang yang hidup “dalam lingkungan dunia yang penuh kejahatan.” Ecofeminism adalah sebuah istilah baru untuk gagasan lama yang tumbuh dari berbagai gerakan sosial -gerakan perempuan, perdamaian, dan ekologi- di akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an. Istilah Ecofeminism pertama kali digunakan oleh Francoise D’ Eaubonne, namun baru populer sejak maraknya berbagai protes dan aktivitas dalam menentang perusakan lingkungan hidup yang semula dipicu oleh bencana ekologis yang terjadi secara berulang-ulang. Terminologi ini dihadirkan kembali oleh Shiva dan Mies dalam buku ini sebagai kritik mereka terhadap proses globalisasi saat ini yang mengatasnamakan modernisasi untuk kesejahteraan umum akan tetapi pada prakteknya adalah suatu bentuk penindasan yang berbasiskan pada penguasaan manusia dan sumber daya alam demi semata-mata akumulasi modal. Dalam buku ini, penulis bersepakat bahwa dalam beberapa tahun terakhir isu-isu yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dan pemeliharaan kehidupan, tidak hanya persoalan perempuan, anak-anak, dan umat manusia pada umumnya, tetapi juga berkait dengan makin hancur dan langkanya flora dan fauna di bumi serta kian membutuhkan perhatian khusus. Shiva dan Mies menganalisa bahwa penyebab kehancuran yang menjadi ancaman kehidupan di muka bumi ini ialah sistem yang disebut “kapitalis patriarkal” dunia. Dalam perspektif kapitalis patriarkal ini, perbedaan diartikan sebagai hirarki dan keseragaman sebagai syarat kesetaraan. Tentu dalam struktur macam ini terdapat ketidakadilan, karena memungkinkan negara-negara Utara Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2012 mendominasi negara-negara Selatan; laki-laki mendominasi perempuan, dan makin banyak penjarahan terhadap sumber daya alam. Sehingga, terjadi ketimpangan dalam distribusi keuntungan ekonomi penguasaan alam. Modernisasi “pembangunan” dan “perkembangannya” merupakan faktor yang paling bertanggungjawab terhadap degradasi alam saat ini, pun yang membuat dominasi laki-laki terhadap perempuan bertambah kuat. Kedua penulis melihat, bahwa ada hubungan hubungan dominasi eksploratif antara laki-laki dengan alam (bentukan ahli ilmu reduksionis modern sejak abad 16) dan hubungan eksploitatif menindas laki-laki atas perempuan yang muncul dalam masyarakat patriarkal awal, meskipun dalam dunia industri modern saling terkait. Dari pengalaman dan wawasan kedua penulis buku tersebut, sistem di Dunia Ketiga sekarang dibangun dan dijalankan lewat penindasan atas perempuan dan penjajahan terhadap orang-orang “asing” dan tanah air mereka dan bagi alam, sehingga menimbulkan kerusakan. Dalam perspektif feminis, kerusakan dan kemunduran ekologi akan berdampak besar terhadap perempuan dan anak. Persoalan umum yang muncul akibat dampak negatif politik global yang tak terlihat itu dialami oleh perempuan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Krisis pangan dan air bersih adalah dampak nyata yang kini dihadapi oleh perempuan dan anak-anak di berbagai belahan dunia. Krisis pangan berdampak besar terhadap tingginya angka malnutrisi pada anak serta angka kematian ibu dan anak. Kekurangan gizi pada anak-anak dan perempuan akan berlanjut sampai dewasa dan hingga generasi mendatang. Krisis air bersih memberikan kontribusi sebesar 34,6 persen bagi angka kematian anak-anak di Dunia Ketiga. Setiap tahun, 5 juta anak meninggal karena penyakit diare. Seperti dikatakan Shiva dalam tulisannya tentang “Pemiskinan terhadap Lingkungan: Perempuan dan Anakanak yang Jadi Korban”, bahwa ekonomi global memiliki banyak sekali kebijakan yang menjamin kesejahteraan perempuan dan anak, tetapi dalam kenyataannya merekalah yang pertama kali diperosokkan dalam jurang kemiskinan. Sumber daya alam yang sejatinya dipakai sebagai sumber untuk mempertahankan hidup kini makin ter-erosi oleh tingginya permintaan atas sumber tersebut oleh ekonomi pasar yang didominasi kekuatan global. Perempuan menjadi kelompok yang mengalami ketertindasan yang lebih besar daripada laki-laki, sekaligus menjadi kelompok terdepan dalam melakukan protes atas kerusakan lingkungan. Tiap aspek kerusakan lingkungan diterjemahkan sebagai ancaman yang berbahaya bagi kehidupan generasi mendatang. Di sisi lain, penulis mencatat bahwa telah banyak strategi survival dan perlawanan lokal yang dikembangkan perempuan terhadap kerusakan dan keterpurukan ekologi akibat sistem “patriarkal-kapital”. Misalnya, kini lebih dari sepertiga rumah tangga di Afrika, Amerika Latin, dan negara-negara maju dikepalai oleh seorang perempuan (di Norwegia jumlahnya mencapai 38 persen dan di Asia 14 persen). Kemudian di Jerman muncul gerakan perlawanan dan penolakan terhadap rencana penggunaan tenaga atom; perempuan Chipko di Himalaya telah melakukan perlawanan terhadap perusakan lingkungan akibat penebangan kayu; gerakan aktivis Sabuk Hijau di Kenya; dan perjuangan perempuan Jepang menentang polusi makanan akibat stimulasi kimia, jaringan pertanian komersial, dan produsen-konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri; gerakan perempuan miskin di Ekuador untuk menyelamatkan hutan sebagai sumber makanan bagi ikan dan udang; perjuangan beribu-ribu perempuan di negara-negara Selatan untuk menuntut manajemen dan distribusi air yang lebih baik, konservasi tanah, penggunaan tana, dan perawatan sumber kehidupan mereka (misalnya: hutan, bahan bakar, dan makanan ternak/hewan) melawan kepentingan industri. Perlawanan-perlawanan ini memperlihatkan bahwa perempuan-perempuan di seluruh dunia merasakan kemarahan dan ketidakpuasan serta bertanggungjawab untuk memelihara dan melindungi sumber alam yang ada serta menghentikan perusakan lingkungan. Penulis buku ini juga membahas persoalan yang dihadapi perempuan dalam melihat ekologi. Beberapa kalangan perempuan, terutama mereka yang hidup di perkotaan dan dari kalangan kelas menengah yang sulit menerima dan memahami keterkaitan antara kebebasan mereka dengan alam, dan kebebasan mereka dengan pembebasan perempuan lain di seluruh dunia. Tentu ini menjadi cabang sistem kapitalis-patriarkal melalui kebudayaan “modern” yang dibangun berdasarkan kosmologi dan antropologi yang membedakan satu sama lain secara struktural, dan secara hirarki selalu membedakan antara dua sisi yang saling bertentangan: yang satu dianggap lebih kuat, selalu menindas, dan lebih maju dibanding yang lainnya. Dengan demikian, alam disubordinasikan oleh laki-laki; perempuan oleh laki-laki; konsumsi di dalam produksi, dan lokal dalam tingkat global, dan seterusnya. Oleh karenanya, perspektif ecofeminism sangat membutuhkan kosmologi baru dan antropologi baru yang memandang bahwa hidup di alam dipertahankan dengan jalan saling kerjasama, saling memberi perhatian, dan saling mencintai. Bab akhir buku ini terkait dengan penghayatan penulis terhadap ecofeminism sebagai perspektif yang berasal dari kebutuhan dasar kehidupan. Shiva dan Mies menyebutnya “subsistence pespective” atau “survival perspective”. Visi baru ini adalah wujud pesimisme hasil Pertemuan Ecofeminism: Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan Penulis: Vandana Shiva & Maria Mies Halaman: 378 Halaman Penerbit: IRE Press Yogyakarta Tahun: 2005 ISBN: 979-98181-6-8 Bumi di Rio de Janeiro (UNCED, Juni 1992) bahwa solusi terhadap persoalan ekologi yang ada di muka bumi saat ini, yakni masalah ekonomi dan sosial tak bisa diharapkan dari kebaikan elite yang berkuasa. Kedua penulis melihat bahwa perjuangan untuk mempertahankan hidup merupakan tindakan kritis yang hanya bersifat agresif, eksploitatif, dan secara ekologis merupakan teknologi destruktif, tetapi juga tindakan kritis terhadap produksi-komoditas, kapitalis yang berorintasi pertumbuhan, atau sistem industri sosialis. Mereka berpendapat bahwa perempuan lebih dekat dengan “subsistence pespective” daripada laki-laki. Sebab perempuan di Selatan bekerja dan berjuang untuk mempertahankan hidup dibandingkan perempuan di perkotaan, perempuan kelas menengah, dan laki-laki di Utara. Namun semua perempuan dan laki-laki mempunyai tubuh yang langsung terkena dampak kerusakan akibat sistem industri. Perempuan dan laki-laki memiliki ‘basis material’ untuk menganalisis dan mengubah proses ini. Oleh karenanya, menurut Shiva dan Mies, penting untuk terus membangkitkan kesadaran dan memelihara gerak hati untuk memperteguh ketahanan inheren di semua kehidupan, guna membangkitkan optimisme keyakinan bahwa pencarian persamaan dan perbedaan identitas menjadi hal signifikan sebagai platform perlawanan terhadap dominasi kekuatan kapitalis-patriarkal global, di mana kekuatan tersebut secara serentak membuat dunia menjadi homogen dan terfragmentasi. Semua manusia, tua dan muda, segala ras dan budaya, bersama-sama menikmati ‘kehidupan ideal’. Keadilan sosial, kesetaraan, nasib manusia, kecantikan dan kenyamanan hidup bukan sekadar impian. *****(IK) Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan Bergerak 19 bedah film Perubahan Iklim: Mengapa Bisa? Film merupakan media yang cukup efektif untuk menyampaikan sebuah pesan. Karena melalui film, pesan yang disampaikan mudah diingat penonton. Film juga bisa dijadikan media pembelajaran secara bersama-sama. Media inilah yang digunakan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMA), sebuah organisasi non pemerintah yang bersifat nirlaba yang memusatkan perhatian kerjanya pada isu pembaharuan hukum pada bidang Sumber Daya Alam (SDA), untuk mengajak masyarakat belajar tentang perubahan iklim yang terjadi saat ini. Film “Hutan Kami, Hidup Kami: Siapa Menunganggi REDD?” adalah film pendidikan hukum dan ekologi untuk masyarakat; berisikan informasi mengapa perubahan iklim terjadi. Film ini diproduksi tahun 2010 atas dukungan Rainforest Foundation of Norway (RFN), The Ford Foundation (FF) dan Inter-church Organization for Development Co-operation (ICCO). Film ini bercerita mengenai desa bernama Puntana yang terletak di tepi hutan. Meskipun berada di pinggir hutan, desa ini banyak dihuni para pendatang yang berasal dari luar pulau. Keragaman suku dan budaya para penduduk menjadikan kehidupan mereka akrab. Saling membantu dan menjadikan kehidupan mereka lebih beragam. Namun di tengah kedamaian hidup di desa, cuaca di desa ini sering tak menentu. Saat musim kemarau bisa tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Cuaca tidak dapat diprediksi sehingga mengacaukan musim tanam bagi petani di desa. Pranoto mongso yang biasa bisa dijadikan pegangan petani di Jawa untuk menentukan kapan waktu bercocok tanam selama setahun, agar petani tidak merugi dalam bertani, sudah tak dapat dijadikan pegangan lagi. Demikian juga dengan membaca posisi bintang di langit untuk menentukan hal yang sama, sudah tidak tepat lagi. Yang terjadi saat ini, ketika hujan atau panas susah diprediksi, ketika musim panas air akan susah dicari, maka ketika musim hujan banyak tempat dilanda banjir. Perubahan cuaca yang tak menentu itulah yang dinamakan perubahan iklim atau climate change. Film ini untuk pendidikan masyarakat, maka apa yang disampaikan dalam film ini bersifat informasi bagi penontonnya. Cerita yang dikemas dibuat sedemikian rupa sehingga penonton mudah memahaminya. Dalam film animasi ini digambarkan sebuah desa yang tentram dan makmur, dengan ladang dan hutan yang tampak hijau. Di tengah cuaca yang sangat terik, tiba-tiba turun hujan, membuat Hutan Kami, Hidup Kami: Siapa Menungangi REDD? Eksekutif Produser Asep Yunan Firdaus, SH Produser Tim HuMA Cerita Andiko dan Hedar Laudjeng Pengisi Suara Anes Wibowo, Jumali Jindra, Rifky Kubu, Iwan Dahlan, Johan, Lis Kurniasih, Fitrah Hartono, Tia wahyudi Produksi Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMA) Ilustrator “P” Team Durasi 23 Menit 20 Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2012 para petani yang sedang bekerja di sawah kalang kabut dan harus mencari tempat berteduh. Cerita bergeser ke sebuah warung yang menyajikan makanan kecil dan minuman hangat, di mana disini berlangsung obrolan-obrolan ringan seputar cuaca yang tidak menentu. Kemudian datang serombongan orang dari kota untuk memberi informasi lebih jauh mengenai apa yang sedang terjadi saat ini. Agar lebih banyak masyarakat yang mendapatkan informasi tersebut, maka dibuatlah pertemuan di balai desa. Mengadakan pertemuan di desa lebih mudah dibandingkan di kota, karena dengan hanya memukul kentongan, masyarakat akan langsung berkumpul. Dalam pertemuan itu dijelaskan mengenai apa itu perubahan iklim, dan mengapa terjadi? Bagaimana hubungan antara perubahan iklim dengan hutan, dan apa yang dimaksud dengan efek rumah kaca? Rumah kaca adalah gas-gas yang menyelimuti bumi dan membuat bumi tetap hangat. Dia menjadi perangkap bagi panas matahari yang masuk ke bumi dan membuat sebagian panasnya tidak langsung dilepas kembali ke angkasa. Jadi fungsi Gas Rumah Kaca atau GRK atau disebut dengan karbon adalah untuk menghangatkan bumi. Tanpa kehadiran gas-gas ini bumi akan sangat dingin dibawah suhu -18 derajat Celcius, sehingga manusia tidak mungkin bertahan hidup. GRK sebetulnya baik, tapi kalau jumlahnya melampuai batas, maka dia menjadi buruk. Panas yang terperangkap akan makin banyak dan tidak bisa keluar dari bumi, seperti merebus air, cara kerja pemanasan global. Ada berbagai unsur yang membentuk alam raya ini bekerja. Hukum tertentu yang membuat hubungan antar masing-masing unsur menjadi harmonis dan serasi. Hukum itu yang kita kenal dengan hukum alam. Tidak boleh diubah oleh manusia, kalau diubah akan berakibat merugikan manusia sendiri. Dan mahkluk lain di muka bumi, misalnya air hanya akan tersedia jika hutan tersedia. Jika hutannya habis, maka air juga akan habis. Hukum alam diakui oleh masyarakat adat. Karena komunitas adat menyakini, bahwa antar manusia dan lingkungan ada hubungan timbal balik dan saling terikat satu sama lain. Maka itu, masyarakat adat menjunjung tinggi hukum adat. Alam yang rusak menjadi penyebab pemanasan global. Aktivitas manusia menjadikan hukum alam terganggu. Seperti penebangan hutan dalam skala besar, telah mengurangi mata air, mengakibatkan banjir dan longsor; penambangan mengakibatkan pencemaran tanah dan air, yang lambat laun aktivitas-aktivitas tersebut mengoncang hukum alam yang lebih besar. Dampaknya tidak hanya terjadi di satu kampung, kecamatan, kabupaten, propinsi, atau negara, tetapi menjadi malapetaka bagi seluruh dunia. Perusakan alam mengakibatkan perusakan GRK atau karbon. Kerusakan alam disebabkan oleh pembukaan hutan, pembakaran hutan untuk perkebunan, atau kebakaran hutan. Sisanya adalah kegiatan-kegiatan manusia, seperti gas buangan transportasi dan pabrik-pabrik industri besar, utamanya di negara-negara maju. Di sisi lain, hutan yang bagus dan terawat dipercaya dapat menyerap karbon. Saat ini negara maju meminta negara-negara lain yang masih memiliki hutan yang luas dan bagus untuk menjaga hutannya. Salah satunya dengan tidak membuka hutan untuk perkebunan atau pertambangan. Dengan demikian, negara maju akan membayar sejumlah uang, itulah yang dinamakan dengan perdagangan karbon atau disebut dengan REDD: Reduction Emission from Deforestation and from the Forest Degradation. Artinya, pengurangan gas beracun akibat perusakan hutan dan penurunan mutu hutan. REDD adalah tema yang ditawarkan oleh negara-negara yang terlibat dalam perundingan untuk mengatasi bumi yang kian panas. Pemegang hak atas hutan harus mampu menunjukkan dan menjaga hutannya. Caranya dengan tidak merambah atau menebang pohon yang ada di hutan yang dijaganya. Jumlah tumbuhannya pun tidak boleh berkurang. Jika persyaratan itu terpenuhi, maka para pemilik uang di negara maju, seperti negara Amerika dan Eropa akan membayar kompensasi. Supaya REDD bermanfaat bagi masyarakat luas di Indonesia, maka sebelum ada REDD harus diakui dulu hak masyarakat atas hutannya atau tanah ulatnya. Jika ingin menghargai mereka, maka hargailah cara mereka mengelola hutan. Film ini juga menekankan arti penting perempuan dalam pengambilan keputusan terkait dengan perubahan iklim. Oleh karena perempuan adalah pihak yang paling merasakan dampak perubahan iklim itu sendiri. Maka itu, dalam setiap diskusi dan pengambilan keputusan, mereka harus dilibatkan agar emansipasi bukan hanya dijadikan slogan, melainkan dipraktikkan! *****(JK) Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan Bergerak 21 puisi Kutub Yang Menangis Oleh: Wa Ode Lucia Rahmadisinta Mega itu tak lagi mendung karena mentari kian terik memekik Gletser-gletser ikut menjerit Jatuh dan pingsan mencair jadi air Kutub menangis pada nasib malangnya Sedikit demi sedikit tubuhnya terkikis bahaya Berbongkah es jatuh dan pecah Menambah airmata mengalir dihulu lautan Ozon semakin rentan menahan tantangan Berdiri menjaga tanpa doa dan dukungan Tinggal harapan tanpa sebuah tindakan Kutub menangis meraung makin ketakutan Beruang dan penguin berlari mengungsi Pada tenda-tenda salju yang putih suci Berharap ada kehidupan lain yang abadi Dan hanya satu jalan yaitu MATI Kutub semakin merintih perih Rinduku Pada Hutan Oleh: M.Syahreza Rinduku pada hutan Menghirup udaranya Memandang rimbunnya Hijau daunnya Sepinya Rinduku pada hutan Mendengar kicau burungnya Teriakan sang kera Auman harimau Kegesitan kijang Atau ular yang melata Rindu ku pada hutan Rindunya kehidupan Perempuan Bergerak | Negeri kita dulunya kaya raya Berlimpah-ruah sumber daya Negeri ini negeri yang jaya Pada zaman dibangsa maya Itu hanya cerita lama Bangsa kita kini terjajah Terjajah karena kekayaannya Hutan terus saja dijarah Hingga bangsa ini menangis darah Memungut kejayaan yang tinggal sejarah Untuk diceritakan pada anak cucu saja Kita pernah sempat duduk disinggasana Lantas jatuh mati dan merana Hingga kapan, ku pun tak tahu Hijau Bumiku Oleh: Dini Iswati Kaya Sungguh kaya bumiku Dengan hijaunya pepohonan Dengan birunya lautan Dan dengan indahnya keindahan yang di pandang Bumiku tersenyum Jika penjaganya bersahabat Bumiku menangis Jika penjaganya mulai jahil Kejahilan itu membuat bumiku merengek Membuat penjaga meneteskan Tetesan demi tetesan dari pelupuk matanya Rinduku pada hutan Menginjak rumputnya Embunnya 22 Menjarah Yang Dijarah Oleh: M.Taqwim Hadi Kesna Menjaga dan menyayangi Memelihara dan meperhatikan Dan peduli dengan keadaan bumiku yang malang ini Tiada yang merasa dan peduli dengannya Hanya kesenangan yang di capai Bukan kelesetarian dan keindahannya Hanya kepuasaan sesaat bukan kenyamanan abadi Sadar akan hal yang salah Bumiku kembali terawat Kembali menghijau Dan kembali tersenyum Dengan indahnya pemandangan Dengan asrinya lingkunganku Dan dengan hiiijaunya bumiku Edisi II | April - Juni 2012 Perubahan Iklim adalah perubahan jangka panjang dalam distribusi pola cuaca secara statistik sepanjang periode waktu mulai dasawarsa hingga jutaan tahun. Istilah ini bisa berarti perubahan keadaan cuaca rata-rata atau perubahan distribusi peristiwa cuaca rata-rata. Contohnya, jumlah peristiwa cuaca ekstrem yang makin banyak atau sedikit. Perubahan iklim terbatas di regional tertentu atau dapat terjadi di seluruh wilayah Bumi. Dalam penggunaannya saat ini khususnya kebijakan lingkungan, perubahan iklim merujuk pada perubahan iklim modern. Perubahan ini dapat dikelompokkan sebagai perubahan iklim antropogenik atau lebih umumnya dikenal sebagai pemanasan global atau pemanasan global antropogenik. Pemanasan Global (Global Warming) Pemanasan Global adalah proses meningkatnya suhu ratarata atmosfir, laut, dan daratan bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa “sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia” melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut. Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain, seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain ialah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan. Pemanasan global mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut. pojok kata Perubahan Iklim (Climate Change) atmosfir. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh pembakaran bahan bakar minyak, batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuh-tumbuhan dan laut untuk menyerapnya. Meningkatnya suhu permukaan bumi mengakibatkan adanya perubahan iklim yang sangat ekstrem di bumi. Hal ini mengakibatkan terganggunya hutan dan ekosistem lainnya, sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbon dioksida di atmosfer dan laut. Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga air laut mengembang dan terjadi kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan negara kepulauan akan mendapatkan pengaruh yang sangat besar. Gas Rumah Kaca (GRK) Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfir yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat timbul akibat aktivitas manusia. Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfir akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Karbon dioksida adalah gas terbanyak kedua. Ia timbul dari berbagai proses alami seperti: letusan vulkanik; pernapasan hewan dan manusia (yang menghirup oksigen dan menghembuskan karbon dioksida); dan pembakaran material organik (seperti tumbuhan). Karbon dioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis memecah karbon dioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfir serta mengambil atom karbonnya.*****(JK) Efek Rumah Kaca E fek rumah kaca merupakan pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama planet atau satelit) yang disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfirnya. Efek rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah kaca yang ditingkatkan akibat aktivitas manusia. Efek rumah kaca disebabkan naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di Edisi II | April - Juni 2012 | Perempuan Bergerak 23