3 Pembuatan Preparat Histopatologi Organ yang sudah difiksasi kemudian dipotong dengan ketebalan kurang lebih 5 mm dan potongan tersebut dimasukkan ke dalam kaset jaringan dan diberi label kode sampel. Potongan organ dibuat preparat histopatologi kemudian diberi pewarnaan HE (Hematoksilin-Eosin) (Lampiran 1). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Riwayat Kasus Signalemen • Nama hewan • Jenis • Ras • Jenis kelamin • Umur • Nama penemu : Didi : Kucing : Siamese (campuran) : Jantan : 6 bulan : Ageng Syarif Dwidzuriputra Anamnesa Seekor kucing ditemukan dengan keadaan sebagian tubuhnya memiliki luka yang bernanah dan bau, bagian bantalan jari (pad) yang sudah hampir terlepas dari bagian telapak kaki dan terdapat robekan yang dalam pada bagian ekornya yang hampir putus karena terjadi perlukaaan yang melingkar, dan kondisinya pun diperparah dengan keadaan dehidrasi berat. Kucing tersebut sudah diberikan bantuan dengan penambahan cairan infus melalui daerah subkutan dan bagian-bagian tubuhnya yang mengalami perlukaan diolesi dengan antiseptik. Gejala klinis yang terlihat selain perlukaan yaitu anoreksia, kaheksia, exophthalmus, anemia, konstipasi, dan dipsnoe. Bantuan untuk defekasi diberikan setelah dibawa ke Rumah Sakit Hewan IPB yaitu dengan menggunakan bahan pelicin berupa minyak yang dimasukan ke dalam anusnya untuk dilakukan pijatan selanjutnya agar fesesnya dapat keluar dengan cara dipaksa. Keadaan feses keras kadang berdarah dan berlendir. Kemudian diberikan infus menggunakan larutan NaCl fisiologis melalui intarvena selama 4 hari. Penemu melakukan roentgen pada Didi untuk melihat daerah thoraks dan menghasilkan interpretasi bahwa susunan organ abdomennya sudah tidak beraturan dengan kondisi diafragma yang hancur dan paru-paru yang sudah tidak terlihat. Didi menderita hernia diafragmatika, namun tidak dilakukan pengujian laboratorium untuk kasus ini dan juga tidak dilakukan operasi karena prognosanya infausta terkait penyembuhan post-operasi. Pemberian pakan tidak boleh banyak karena lambung yang penuh dapat menekan paru-paru sehingga sulit bernafas, Didi diberikan pakan yang berserat tinggi sehingga makanannya selalu dicampurkan agar-agar supaya defekasinya mudah dan juga setiap hari diberikan Dulcolax® sehari 1 tablet. Selama 2 minggu kucing tersebut diberikan makanan recovery untuk pencernaannya sehingga kondisinya mulai membaik. Kondisi Didi yang tidak memungkinkan 4 untuk mengalami persembuhan menyebabkan hewan tersebut akhirnya mati dalam keadaan kolaps. Gejala Klinis Kucing yang diduga menderita hernia diafragmatika menunjukkan gejala klinis yang telah disebutkan sebelumnya yaitu anoreksia, kaheksia, exophthalmus, anemia, konstipasi, dan dispnoe. Diagnosa untuk kasus penyakit ini diperkuat dengan bantuan radiografi (Gambar 1). Hasil roentgen menunjukkan bahwa batas diafragma sudah tidak terlihat dan posisi organ-organ bagian abdomen tampak berubah yaitu masuk ke dalam rongga thoraks sehingga menyebabkan marginasi menjadi tidak jelas. Gambar 1 Radiogram daerah thoraks. (A) Pada kesan ventrodorsal jantung (panah) masih dapat dilihat meskipun marginasi antara batas thoraks dan abdomen sudah tidak jelas. (B) Pada kesan lateral organ rongga thoraks sudah tidak bisa dibedakan dengan organ dalam abdomen 5 Pengamatan Patologi Anatomi (PA) Sebelum dilakukan tahap nekropsi, pengamatan setelah kematian memperlihatkan bahwa kucing mengalami kiposis dan bagian flank tampak kosong (Gambar 2). Selain itu terdapat kelainan yang menunjukkan bahwa palpebrae yang terlihat pucat disertai kemunculan membrana nictitans disertai exophthalmos dan pada hidung terlihat mengalami kebiruan atau sianosis (Gambar 3). Gambar 2 Tubuh kucing sebelum dilakukan nekropsi terlihat bahwa bentuk punggung cekung ke atas atau kiposis (panah a) dan bagian flank terlihat kosong (panah b) Gambar 3 Kondisi kepala kucing pasca kematian menunjukkan wajah kucing tampak kurus (tirus) disertai keadaan mata yang mengalami exophthalmus (panah a) disertai dengan kemunculan membrana nictitans dan permukaan palpebrae yang pucat (panah b), selain itu mukosa hidung mengalami sianosis (panah c) 6 Setelah rongga thoraks dibuka, terlihat adanya perubahan situs viserum yaitu adanya perpindahan usus halus dan sebagian hati yang masuk ke dalam rongga thoraks dari rongga abdomen yang menyebabkan sebagian usus tersebut mengalami sianosis (Gambar 4). Rongga thoraks terlihat berisi cairan transudat berwarna bening kekuningan yang menandakan bahwa kucing ini mengalami hidrothoraks. Paru-paru nampak mengalami perubahan akibat penekanan yang dapat diduga mengalami atelectasis dan terdapat lesio pneumonia. Sedangkan jantung mengalami kongesti hingga bagian aorta (Gambar 5). Sebagian hati yang masuk ke dalam rongga thoraks mengalami perubahan seperti kongesti yang disertai dengan adanya kompresi tulang rusuk pada permukaan organ yang biasa disebut dengan rib impressions (Gambar 6). Selain mengalami hidrothoraks, dapat dilihat juga bahwa kucing ini mengalami hemothoraks (Gambar 7). Gambar 4 Perpindahan sebagian besar usus dan sebagian hati ke dalam rongga thoraks juga terdapat lesio sianosis pada sebagian usus (tanda panah) Gambar 5 Akumulasi cairan terdapat di rongga thoraks (panah a) yang disertai dengan sebagian paru-paru yang mengalami atelektasis disertai lesio pneumonia pada lobus cranial (panah b) dan jantung mengalami kongesti dan dilatasi pada pembuluh darahnya (panah c) 7 Gambar 6 Hati mengalami kongesti yang disertai dengan rib impression (panah) Gambar 7 Gumpalan darah terlihat dalam rongga thoraks (hemothoraks) Pada daerah abdomen yang seharusnya dibatasi oleh diafragma yang utuh, namun diafragma tidak tumbuh sempurna disertai tidak ditemukannya jaringan ikat yang menandakan bahwa diafragma tersebut telah mengalami perlukaan akibat trauma. Selain itu, dapat diduga kelainan ini ada sejak lahir (anomali kongenital) yaitu diafragma kira-kira hanya tumbuh seperempat bagian menutupi daerah abdomen (Gambar 8). Ginjal mengalami kongesti yang jelas (Gambar 9) dan untuk usus terlihat bahwa pembuluh darahnya juga mengalami dilatasi dan kongesti (Gambar 10). 8 Gambar 8 Diafragma yang tidak utuh (tanda panah), tidak sempuna Gambar 9 Kongesti pada ginjal dengan pembuluh darah terlihat jelas (tanda panah) Gambar 10 Kongesti disertai dengan dilatasi pembuluh darah daerah mesenterium usus terlihat jelas (tanda panah) 9 Bagian limpa yang telah disisihkan dari lambung diduga mengalami atrofi (Gambar 11). Selain limpa, penyisihan organ juga dilakukan pada jantung dan otak. Badan jantung normal hanya memiliki satu buah apeks, lain halnya dengan temuan organ jantung pada kucing ini yang terlihat memiliki dua apeks setelah diinsisi pada sulcus longitudinalis terlihat penebalan disertai dilatasi pada dinding otot jantung (Gambar 12 dan 13). Otak yang telah diambil dari kepala mengalami kongesti dan dilatasi pada pembuluh darahnya (Gambar 14). Gambar 11 Limpa yang mengalami atrofi Gambar 12 Jantung memiliki dua buah apeks (tanda panah) Gambar 13 Penebalan disertai dilatasi dinding otot jantung 10 Gambar 14 Kongesti pada otak terlihat jelas (tanda panah) Pengamatan Histopatologi (HP) Pengamatan HP dilakukan untuk melihat lesio lebih detail pada jaringan organ yang setelah sebelumnya dilakukan pengamatan PA. Jantung Pembuluh darah mengalami dilatasi berisi sel darah merah akibat kongesti sehingga terjadi edema (Gambar 15). Pada jaringan jantung yang ditandai dengan bertambahnya jarak atau lebar antar serabut otot akibat edema (Gambar 15 dan 16) selain itu terjadi degenerasi hidropis pada otot jantung (Gambar 15 dan 16). Gambar 15 Pembuluh darah mengalami dilatasi berisi sel darah merah akibat kongesti (tanda panah) yang disertai edema dengan adanya degenerasi sel otot jantung, Do= degenerasi otot jantung, Edm= edema, pewarnaan HE 11 Gambar 16 Jaringan pada otot jantung mengalami degenerasi hidropis; akumulasi cairan di antara sel menyebabkan susunan sel menjadi tidak beraturan, pewarnaan HE Paru-paru Lain halnya dengan organ paru-paru yang tidak hanya mengalami atelektasis saja namun juga terdapat berbagai macam lesio lainnya bila diamati HP organ tersebut. Atelektasis disertai kongesti dapat terlihat jelas keadaannya (Gambar 17) diikuti dengan keadaan emfisema (Gambar 18), edema (Gambar 19), bronkhiolitis (Gambar 20), kongesti disertai dengan adanya hiperplasia jaringan limfoid (BALT) pada bronkhus (Gambar 21), infiltrasi sel-sel plasma (Gambar 22), penebalan septum interalveolar (Gambar 23), dan hemoragi yang disertai infiltrasi hemosiderofag (Gambar 24). 12 Gambar 17 Jaringan paru-paru yang mengalami atelektasis ditandai dengan pengkerutan pada daerah alveoli dan disertai kongesti pada pembuluh darah di daerah sekitarnya, Atl= atelektasis, Kgs= kongesti, pewarnaan HE Gambar 18 Jaringan paru-paru yang mengalami emfisema ditandai dengan adanya perluasan lumen alveoli dan disertai kongesti pada pembuluh darah di daerah sekitarnya, Emf= emfisema, Kgs= kongesti, pewarnaan HE 13 Gambar 19 Jaringan paru-paru yang mengalami edema ditandai dengan adanya akumulasi cairan pada lumen alveoli dan terjadi infiltrasi sel radang pada jaringan paru-paru, Edm= edema, pewarnaan HE Gambar 20 Eksudat (tanda panah) dalam lumen bronkhiolus dan infiltrasi sel radang yang didominasi oleh limfosit dan makrofag pada epitel bronkhiolus jaringan sekitarnya merupakan penanda terjadinya peradangan (bronkhiolitis), pewarnaan HE 14 Gambar 21 Hiperplasia jaringan limfoid (BALT) pada jaringan paru-paru (panah a) yang disertai kongesti pada pembuluh darah (panah b), pewarnaan HE Gambar 22 Ditemukan sel plasma (panah hitam) pada jaringan paru-paru yang mengalami lesio dan sel radang lain yang didominasi oleh limfosit (panah biru) dan makrofag (panah kuning), Kgs= kongesti, pewarnaan HE 15 Gambar 23 Penebalan septum interalveolaris pada jaringan paru-paru, Psi= penebalan septum interalveolaris yang diisi oleh sejumlah besar sel radang yaitu makrofag dan limfosit menandakan pneumonia, pewarnaan HE Gambar 24 Hemosiderin dan hemosiderofag/ heart failure cells (dalam lingkaran) pada jaringan paru-paru yang mengalami hemoragi, pewarnaan HE 16 Hati Perubahan HP pada organ hati yang tampak mencolok adalah kongesti. Akibat kongesti tersebut hati membengkak dan terjadi penekanan tulang rusuk pada organ yang meninggalkan cetakan tulang rusuk (rib impression). Rib impression dapat memicu adanya kejadian degenerasi pada sel-sel hati (hepatosit). Kongesti terjadi pada regio porta, vena sentralis (Gambar 25), dan sinusoid yang disertai adanya degenerasi hepatosit (Gambar 26). Gambar 25 Kongesti pada pembuluh darah hati, pewarnaan HE. (A) Kongesti pada regio porta hati (panah a). (B) Sinusoid hati meluas berisi sel darah merah (panah b) 17 Gambar 26 Degenerasi lemak disertai nekrosa (tanda panah) pada hepatosit, pewarnaan HE Limpa Limpa yang mengalami atrofi dapat dilihat lebih jelas keadaan jaringannya pada pengamatan HP. Lesio yang terjadi adalah deplesi folikel yaitu berkurangnya populasi limfosit pada pulpa putih limpa (Gambar 27), hemoragi (Gambar 28), jarak trabekula tampak semakin berdekatan pada bagian medula limpa (Gambar 29), dan kongesti yang disertai hipertrofi dinding pembuluh darah (Gambar 30). 18 Gambar 27 Folikel pada limpa mengalami deplesi yang ditandai dengan berkurangnya jumlah sel dalam di dalamnya (dalam lingkaran), pewarnaan HE Gambar 28 Hemoragi (dalam lingkaran) pada pulpa putih ditandai dengan sel-sel darah yang keluar dari pembuluh darah beredar ke dalam jaringan pulpa putih limpa, pewarnaan HE 19 Gambar 29 Trabekula beserta ellipsoid (tanda panah) tampak aktif ditandai dengan jumlahnya yang bertambah dalam jaringan medula limpa, pewarnaan HE Gambar 30 Kongesti pada pulpa merah limpa disertai hipertrofi dinding pembuluh darah, pewarnaan HE. (A) Kongesti pada sinusoid (panah a) dan pembuluh darah limpa menebal (panah b). 20 Limfonodus Apabila dilihat secara utuh limfonodus tidak dapat menunjukkan lesio yang mudah dikenal oleh karena itu dilakukan pengamatan HP. Lesio yang dapat terlihat antara lain deplesi folikel limfoid (Gambar 31), dan kongesti (Gambar 32). Gambar 31 Deplesi folikel limfoid pada limfonodus (panah a) dan keberadaan folikel limfoid yang sudah hilang akibat deplesi (panah b) disertai adanya kongesti pada bagian korteks, pewarnaan HE 21 Gambar 32 Kongesti pembuluh darah (tanda panah) pada bagian medula limfonodus, pewarnaan HE Ginjal Pengamatan PA pada ginjal menunjukkan adanya kongesti yang jelas pada pembuluh darahnya namun tidak hanya itu pada pengamatan HP. Lesio yang ditemukan yaitu mikrokista pada korteks yang disertai dilatasi tubulus dan glomerulus pada jaringan tersebut (Gambar 33), lebih dalam lagi terdapat endapan hyalin, kongesti, degenerasi tubulus distal dan proksimal, penebalan dinding pembuluh darah (Gambar 34), degenerasi hidropis dan degenerasi lemak jelas terlihat pada tubulus (Gambar 35), adanya infiltrasi sel radang pada glomerulus dan tubulus yang disertai temuan hyalin dalam tubulus yang sudah nekrosa (Gambar 36), nekrosa tubulus disertai dengan temuan pembuluh darah yang sangat berdilatasi (Gambar 37), dan temuan kongesti pada medula disertai jaringan tubulus di sekitarnya yang mengalami edema (Gambar 38). 22 Gambar 33 Mikrokista terlihat pada bagian korteks disertai adanya perubahan pada jaringan yaitu dilatasi tubulus (panah a) dan glomerulus (panah b), Mkst= mikrokista, pewarnaan HE Gambar 34 Keadaan korteks ginjal lebih dalam lagi terdapat endapan hyalin pada interstisium (panah a), degenerasi tubulus distal (panah b), kongesti (panah c), (degenerasi tubulus proksimal (panah d), dan dinding pada pembuluh darah mengalami penebalan (panah e), pewarnaan HE 23 Gambar 35 Degenerasi hidropis (panah a) dan degenerasi lemak (panah b) pada tubulus terjadi, pewarnaan HE Gambar 36 Infiltrasi sel radang yang didominasi limfosit pada glomerulus dan tubulus (panah a) disertai endapan hyalin dalam tubulus yang sudah mengalami nekrosa (panah b), pewarnaan HE 24 Gambar 37 Nekrosa pada sebagian jaringan tubulus (panah a) dan salah satu pembuluh darah pada jaringan sangat berdilatasi (panah b), pewarnaan HE Gambar 38 Kongesti pada medula ginjal (dalam lingkaran) yang dikelilingi oleh tubulus yang sudah berdegenerasi akibat edema pada sekitar daerah tersebut, pewarnaan HE 25 Otak Lesio yang sampai ke otak menandakan bahwa kucing ini telah menderita hernia diafragmatika yang kronis. Lesio yang dapat ditemukan pada jaringan otak dalam pengamatan HP antara lain degenerasi disertai apoptosis pada sel-sel neuron (Gambar 39), gliosis (Gambar 40), kongesti (Gambar 41), edema perivaskular (Gambar 42), infiltrasi sel-sel mikroglia (Gambar 43), dan malacia pada jaringan otak (Gambar 44). Gambar 39 Perubahan bentuk neuron menjadi segitiga (panah a) dan neuron yang mengalami nekrosa tanpa disertai respon sel glia di sekitarnya (apoptosis) (panah b), pewarnaan HE 26 Gambar 40 Reaksi sel-sel glia/ astrosit (gliosis) terhadap tiap sel neuron yang mengalami nekrosa terjadi dalam jaringan cerebrum (dalam lingkaran), pewarnaan HE Gambar 41 Pada cerebellum (A) terdapat kongesti meningen (panah a) dan kongesti yang disertai edema perivaskular (panah b). Pada cerebrum (B) kongesti yang disertai edema submeningen (panah c) dan kongesti yang disertai edema perivaskular, pewarnaan HE 27 Gambar 42 Edema perivaskular yang disertai kongesti pembuluh darah (tanda panah) pada jaringan cerebrum, pewarnaan HE Gambar 43 Infiltrasi sel-sel mikroglia hampir menyebar pada jaringan cerebrum (tanda panah), pewarnaan HE 28 Gambar 44 Malacia pada jaringan medulla cerebellum, pewarnaan HE. (A) Jaringan cerebellum yang mengalami malacia (dalam lingkaran). (B) Pembesaran jaringan cerebellum yang mengalami malacia (tanda panah) Pembahasan Gejala Klinis Anamnesa yang telah didapat menyatakan kucing mengalami gejala klinis seperti anoreksia, kaheksia, exophthalmus, anemia, konstipasi, dan dispnoe. Gejala klinis yang ditimbulkan sesuai dengan Catcoot dan Smithcors (1996) yang mengatakan bahwa penyakit ini menimbulkan gejala klinis termasuk dispnoe dan terhambatnya kerja jantung. Sedangkan menurut Ettinger (1975) kejadian hernia diafragmatika dapat menimbulkan gejala disphagia. Anoreksia dapat disebabkan salah satunya oleh disphagia yang dapat mungkin terjadi. Konstipasi terjadi akibat adanya perpindahan letak organ saluran pencernaan. Hal tersebut dapat sampai mempengaruhi penyaluran makanan yang seharusnya normal menjadi lebih lambat dan lama-kelamaan makanan yang sudah tercerna dalam usus besar seakan tertahan dan memerlukan waktu yang sangat lama untuk pengeluarannya. Selain itu radiografi dilakukan untuk memperkuat diagnose. Hasil menunjukkan bahwa terdapat ketidakjelasan marginasi antara peletakan organ pada rongga thoraks dan abdomen dalam tubuh kucing (Gambar 1). Menurut Kealy et al. (2011), ciri-ciri utama hewan yang mengalami hernia diafragmatika bila diamati secara radiologi antara lain: (1) bagian dari saluran pencernaan seperti lambung, usus halus, usus besar dapat terpindah letaknya lebih cranial masuk ke dalam rongga thoraks, (2) terdapat peningkatan opasitas pada rongga thoraks, (3) batas garis diafragma terlihat samar-samar tergantung lokasi celah/ robekan pada 29 diafragma, (4) apabila hati mengalami hernia akan menimbulkan perubahan yang signifikan terhadap perpindahan letak paru-paru dalam rongga thoraks. Secara umum hal tersebut sesuai dengan radiogram namun untuk poin ke-4 dapat dibuktikan kesesuaiannya pada saat pengamatan patologi anatomi. Keadaan Luar Tubuh Pengamatan setelah kematian memperlihatkan bahwa kucing mengalami kiposis disertai bagian flank yang tampak kosong (Gambar 2). Menurut Jubb et al. (2006), kiposis merupakan pertumbuhan abnormal/ displasia pada tulang belakang yang menyebabkan bagian dorsal tubuh mengalami kelengkungan. Selain itu dapat diduga juga bahwa kiposis merupakan kelainan yang merupakan bawaan sejak hewan dalam masa fetus yang terbentuk akibat massa organ abdomen yang tertahan dalam rongga thoraks. Sedangkan usus halus yang biasa menempati daerah flank telah terpindah masuk ke dalam rongga thoraks akibat hernia sehingga menyebabkan flank tampak kosong. Kelainan lain menunjukkan wajah kucing terlihat kurus (tirus) akibat anoreksia yang disertai kemunculan membrana nictitans disertai keadaan palpebrae yang terlihat pucat dan exophthalmos. Pada hidung terlihat mengalami kebiruan atau sianosis (Gambar 3). Wajah kucing yang terlihat tirus sebagai penanda bahwa kucing ini mengalami kaheksia yang merupakan dampak anoreksia yang telah diderita oleh kucing sebelum kematian. Palpebrae yang tampak pucat merupakan akibat dari anemia yang dapat disebabkan oleh terhambatnya kerja jantung, hal ini sesuai dengan pernyataan Catcoot dan Smithcors (1996) bahwa gejala klinis yang ditimbulkan dari hernia diafragmatika antara lain dispnoe dan terhambatnya kerja jantung. Membrana nictitans yang muncul dapat diduga sebagai respon tubuh terhadap keadaan kucing yang mengalami dehidrasi berat. Sedangkan pada bola mata yang mengalami exophthalmus diduga disebabkan oleh kegagalan sistem kardiovaskular sebagai akibat terhambatnya kerja jantung karena menurut Sorden dan Watts (1996), apabila terdapat kejadian exophthalmus unilateral yang tidak jelas terdapat trombus, benda asing atau tumor, bukti trauma, maupun edema pada daerah orbital maka hal ini mungkin disebabkan oleh kegagalan jantung bagian kanan yang dapat dihubungkan dengan kejadian myopathi pada otot jantung. Mukosa hidung yang mengalami sianosis merupakan pertanda bahwa darah yang beredar kurang oksigen. Hemoglobin yang mengikat oksigen seperti darah dalam arteri akan berwarna merah yang secara langsung akan mewarnai kulit berpigmen dan jaringan menjadi merah muda, sebaliknya apabila hemoglobin tidak mengikat oksigen seperti darah dalam vena lebih banyak berwarna kebiruan, namun apabila darah yang dialirkan tidak mengandung cukup oksigen maka jaringan akan terlihat berwarna kebiruan (McGavin dan Zachary 2007). Sianosis yang terjadi dapat dikaitkan dengan gejala klinis yang terjadi pada kucing ini yaitu dispnoe. Keadaan Dalam Tubuh Bagian thoraks hingga abdomen memperlihatkan adanya perpindahan usus halus dan sebagian usus besar serta sebagian hati yang masuk ke dalam rongga thoraks dari rongga abdomen (Gambar 4). Lambung terlihat dalam posisi dan bentuk yang normal, namun sebagian dari usus halus dan hati jika dilihat dari 30 posisinya memicu adanya penekanan terhadap vena cava caudal. Kondisi ini mempengaruhi usus halus yang mengalami sianosis. Menurut King (2004), aliran darah pada vena cava caudal yang tertekan akan mengalami penurunan sehingga dapat menyebabkan nekrosa pada lambung dan usus. Rongga thoraks terlihat berisi cairan berwarna bening kekuningan yang menandakan bahwa kucing ini mengalami hidrothoraks disertai dengan adanya kongesti yang jelas pada bagian jantung dan paru-paru yang terlihat mengalami atelektasis (Gambar 5). Hidrothoraks dapat terjadi akibat hipoproteinemia dan gangguan sirkulasi di dalam tubuh. Menurut Bellah (2005), hidrothoraks dapat terjadi apabila hernia diafragmatika bersifat kronis atau bisa juga akibat dari penyakit yang lain. Dalam kasus ini tidak ditemukannya lesio edema umum seperti anasarca dan ascites sehingga kemungkinan kejadian hidrothoraks pada kucing ini disebabkan keadaan gangguan sirkulasi pada tubuh. Gumpalan darah terlihat dalam rongga thoraks, dapat diduga selain mengalami hidrothoraks kucing ini juga mengalami hemothoraks (Gambar 7). Hemoragi dapat terjadi per rhexis atau diapedesis pada pembuluh darah organ dan menurut lokasi hemoraginya terbagi beberapa jenis hemoragi yang salah satunya adalah pada rongga thoraks yang disebut dengan hemothoraks (Chauhan 2007). Selain itu menurut Jubb et al. (2006), kejadian hemothoraks dapat disebabkan oleh keadaan hidrothoraks yang kronis karena dapat memicu pembuluh darah papila pada pleura terisi cairan hingga pecah bersama darah di dalam rongga thoraks. Diafragma terlihat tidak utuh dan tidak menutup sempurna (Gambar 8). Bagian diafragma yang ditemukan adalah yang terletak melekat pada bagian dorsal batas antara rongga thoraks dan rongga abdomen. Sedangkan pada bagian ventralnya menunjukkan pengeriputan akibat tidak adanya perlekatan otot. Ketebalan otot diafragma bervariasi yaitu bagian tengah tampak lebih tipis, namun tidak ditemukan bekas sobek ataupun luka trauma dan kondisi costae dan otot intercostalis terlihat normal. Pada diafragma juga tidak ditemukan jejak persembuhan dari luka trauma seperti cicatrix (pembentukan jaringan ikat sesudah penyembuhan luka). Hal ini menandakan kemungkinan besar diafragma tidak terbantuk sempurna sehingga dapat diduga diafragma mengalami anomali kongenital. Menurut Voges et al. (1997), sebagian besar kejadian hernia dapat terjadi akibat kelainan pada diafragma dan diperkirakan terjadi sebagai kelainan kongenital. Jaringan otot atau kolagennya tidak tumbuh antara pleura dan peritoneum secara sempurna sehingga diafragma tidak dapat memisahkan organ abdomen dari jantung dan paru-paru. Diafragma terbentuk dari penggabungan septum transversum, membran pleuroperitoneal, lapisan mesenkhim yang mendekati bagian esofagus dan pertumbuhan otot dari tubuh. Ketidaksempurnaan dalam penggabungan beberapa komponen ini yang diyakini dapat mengumpulkan berbagai macam kelainan pada diafragma (Ways 2006). Apabila diamati dapat diduga komponen septum transversum dan sebagian lapisan mesenkhim tidak tumbuh sehingga celah pada diafragma yang telah terbentuk cukup luas. Hal ini memicu perpindahan organ dalam rongga abdomen ke dalam rongga thoraks terjadi dan menyebabkan berbagai macam lesio pada organ yang mempengaruhi kelangsungan hidup kucing sebelum kematian. 31 Lesio pada Organ 1. Jantung Keadaan jantung secara makroskopis terlihat mengalami kongesti (Gambar 5) dan memiliki dua buah apeks (double apex) (Gambar 12). Kongesti yang terjadi pada jantung akibat adanya penyumbatan pada pembuluh darah yang tertekan oleh organ abdomen yang berpindah ke dalam rongga thoraks. Menurut Chauhan (2007), salah satu penyebab kongesti adalah penyumbatan pada pembuluh darah vena. Hal ini dapat memicu kejadian gagal jantung kongestif. Menurut McGavin dan Zachary (2007), gagal jantung kongestif biasanya diakibatkan berkurangnya efisiensi pemompaan darah secara bertahap terkait dengan peningkatan tekanan dan volume darah pada jantung. Akibatnya aliran darah ke jaringan perifer menurun dan terdapat akumulasi darah yang tertahan pada ruang jantung. Selain itu penekanan pada jantung membuat badan jantung memiliki double apex. Kejadian hipertrofi ventrikel kiri jantung selalu disertai dilatasi pada lumen jantung kanan dan apabila terjadi pada bagian jantung sebelah kanan biasanya ditandai oleh pelebaran ukuran organ. Hal ini merupakan akibat dari lumen jantung kiri yang mengalami penyempitan (Rao 2010). Keadaan double apex terbentuk akibat kedua lumen baik kiri dan kanan bersamaan mengalami dilatasi sebelum mengalami kolaps. Menurut McGavin dan Zachary (2007), hipertrofi pada miokard dipicu oleh peningkatan tekanan pada jantung sedangkan dilatasi terjadi sebagai respon kompensasi jantung untuk meningkatkan cardiac output namun peregangan yang melampaui batas dapat menurunkan tekanan kontraktil sehingga kegagalan jantung terjadi. Insisi pada sulkus longitudinalis menunjukkan hipertrofi yang disertai dilatasi pada dinding otot ventrikel kiri jantung dan dilatasi pada lumen jantung kanan (Gambar 13). Apabila dilihat dari lebar lumennya maka jantung kanan yang lebih berdilatasi sehingga dapat diduga terjadi kegagalan jantung bagian kanan. Pada histopatologi jantung ditemukan lesio kongesti dan edema disertai dengan degenerasi otot jantung (Gambar 15 dan 16). Edema yang terjadi merupakan akibat peningkatan tekanan hidrostatik pada vena yang mengalami kongesti sehingga cairan masuk ke ruang insterstisium jaringan otot jantung. Degenerasi otot jantung tersebut menurut Rao (2010) disebabkan hipertrofi yang membuat otot jantung berdegenerasi karena ukuran yang meningkat dari otot jantung membutuhkan pasokan nutrisi yang lebih namun tidak cukup disediakan oleh serat otot yang disalurkan melalui pembuluh darah koroner jantung. Penyaluran darah yang terhambat membuat metabolit yang terbentuk dalam serat otot tidak terbuang melalui aliran darah sehingga menumpuk dan mengakibatkan serat otot mengalami degenerasi. Otot terus bekerja sehingga menjadi hipertofi dan serat pada otot mengalami degenerasi. Pada akhirnya kegagalan kompensasi jantung terjadi yang membuat jantung tidak bekerja sehingga kucing ini mengalami kematian. 2. Paru-paru Keadaan paru-paru secara makroskopis terlihat mengalami atelektasis disertai adanya lesio pneumonia pada lobus cranial (Gambar 5). Menurut Ettinger (1975), lobus paru-paru tidak dapat meluas sepenuhnya saat waktu pengambilan nafas sehingga menjadi atelektasis. Kejelasan keadaan peradangan pada sebagian jaringan tersebut dilihat lebih lanjut keadaannya pada histopatologi organ. 32 Pada histopatologi paru-paru ditemukan lesio atelektasis (Gambar 17), emfisema (Gambar 18), edema (Gambar 19), bronkhiolitis (Gambar 20), kongesti dan terdapat hiperplasia BALT (Gambar 21), infiltrasi sel-sel radang disertai sel plasma (Gambar 22), penebalan septum interalveolaris (Gambar 23), dan ditemukan adanya hemosiderin pada jaringan (Gambar 24). Emfisema terlihat pada sebagian jaringan paru-paru. Menurut McGavin dan Zachary (2007), kejadian emfisema pada hewan merupakan lesio sekunder yang dihasilkan oleh berbagai lesio pada paru-paru. Umumnya emfisema disebabkan oleh terhalangnya aliran udara yang dipicu oleh kehadiran eksudat pada bronkhus dan bronkhiolus sehingga udara yang sudah masuk ke dalam alveolus tidak sebanding dengan jumlah udara yang dikeluarkan. Dalam kasus ini kejadian penghalangan aliran udara bisa saja akibat penekanan yang terjadi pada paru-paru oleh organ abdomen yang masuk ke dalam rongga thoraks dalam jangka waktu yang lama. Edema terlihat pada sebagian jaringan paru-paru. Kejadian edema pada paru-paru ini dipicu oleh kegagalan jantung kongestif. Menurut Ettinger (1975), edema pada jaringan interstisial paru-paru umumnya juga terdapat pada kasus hernia diafragmatika yang dapat mengakibatkan pelebaran ruang kapiler alveolar sehingga aktifitas pertukaran oksigen dengan karbondioksida berkurang. Bronkhiolitis ditandai dengan adanya eksudat dalam lumen bronkhiolus dan pada dinding bronkhiolus. Menurut Rao (2010), bronkhitis kronis yang disebabkan oleh iritasi ringan namun berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan lesio pada bronkhiolus yaitu bronkhiolitis obliteran. Bronkhiolitis obliteran ditandai dengan adanya fibrosis pada dinding epitel bronkhiolus yang akan berkembang menjadi polip lalu menghasilkan eksudat yang akan berbentuk polipoid ke dalam lumen. Bila dilihat dalam histopatologi bronkhiolusnya kondisi tersebut dalam tahap akut karena eksudat yang dihasilkan belum berbentuk polipoid namun masih mengandung neutrofil dan sel-sel debris. Kongesti pada pembuluh darah dapat terlihat disertai dengan adanya hiperplasia bronchial assosiated lymphoid tissue (BALT) di sekitar jaringan tersebut dan selain itu terdapat infiltrasi dan sel-sel radang lain yang didominasi oleh limfosit dan makrofag pada jaringan paru-paru. Kejadian kongesti pada paruparu paling sering disebabkan oleh gagal jantung yang menyebabkan stagnasi darah di pembuluh darah paru-paru yang dapat memicu edema serta infiltrasi eritrosit ke dalam ruang alveolar. Proliferasi sel-sel limfosit pada daerah peribronkhiolar (hiperplasia BALT) merupakan penanda bahwa kejadian bronkhiolitis dalam tahap kronis. Adanya infiltrasi sel-sel plasma menandakan kondisi peradangan pada jaringan sudah dalam tahap kronis. (McGavin dan Zachary 2007). Pada kasus ini terlihat infiltrasi limfosit yang diikuti oleh sel plasma menandakan bahwa peradangan yang terjadi pada bronkhiolus merupakan peradangan kronik aktif. Penebalan septum interalveolaris pada sebagian jaringan paru-paru yang berisi sel-sel radang berupa makrofag merupakan reaksi jaringan terhadap kerusakan yang diderita oleh paru-paru. Menurut Jubb et al. (2006), kejadian penebalan septum interalveolaris bersifat menyebar pada jaringan paru-paru yang dapat bersifat kronis dan salah satu penyebabnya adalah trauma hebat dan gagal jantung kronis. Infiltrasi makrofag yang memfagositosis pigmen hemosiderin terlihat pada hemoragi yang terdapat di jaringan paru-paru. Hemosiderosis pada paru-paru 33 merupakan kondisi yang sangat jarang terjadi dan ditandai dengan pendarahan paru-paru yang spontan namun sering dikaitkan dengan anemia defesiensi zat besi. Penyebabnya sebenarnya belum diketahui namun pernah dilaporkan penderita memiliki kelainan malformasi jantung atau pembuluh darah, dalam proses infeksi, vaskulitis, trauma, dan alergi protein (Etzel et al. 1998). Kemunculan hemosiderin yang menyebar di jaringan paru-paru dapat diakibatkan oleh trauma penekanan pada paru-paru selama kucing masih hidup dan pigmen ini juga menandakan adanya kegagalan pada jantung (heart failure cell). Adanya hemosiderin pada jaringan memicu kedatangan makrofag sebagai salah satu dari respon imun tubuh. 3. Hati Keadaan hati secara makroskopis terlihat mengalami kongesti yang disertai adanya kompresi tulang rusuk pada permukaan organ tersebut (rib impression) (Gambar 6). Kongesti terjadi akibat sebagian dari hati terjepit oleh organ abdomen lainnya yang mengalami perpindahan ke dalam rongga thoraks dalam jangka waktu yang lama selain itu hal ini menyebabkan penekanan ke bagian tulang rusuk yang berada di sekitarnya sehingga terbentuk cetakan pada permukaan hati. Menurut Jubb et al. (2006), kejadian perpindahan posisi organ hati pada hernia diafragmatika biasanya hanya sebagian lobusnya saja yang ikut masuk ke dalam rongga thoraks sehingga suplai darah tidak dapat sampai ke lobus tersebut. Kejadian ini memicu timbulnya kongesti hebat pada hati. Selain itu letak paru-paru tidak berpindah sehingga hal ini berbeda dengan pernyataan Kealy et al. (2011) yaitu apabila hati mengalami hernia akan menimbulkan perubahan yang signifikan terhadap perpindahan letak paru-paru dalam rongga thoraks. Pada histopatologi hati ditemukan lesio kongesti (Gambar 25), dan degenerasi hepatosit (Gambar 26). Kejadian kongesti selain disebabkan oleh terjepitnya sebagian lobus hati dapat juga disebabkan oleh gagal jantung. Menurut McGavin dan Zachary (2007), kongesti pada hati pada setiap spesies hampir selalu disebabkan oleh gagal jantung. Kegagalan jantung bagian kanan menghasilkan peningkatan tekanan di dalam vena cava caudal yang kemudian melibatkan vena hepatik beserta cabang-cabangnya. Kongesti ini awalnya akan menyebabkan distensi pada vena sentralis dan sinusoid. Hipoksia pada bagian sentrilobular hati yang terus-menerus akan menyebabkan degenerasi hingga nekrosa pada hepatosit. 4. Ginjal Keadaan ginjal secara makroskopis terlihat mengalami kongesti pada pembuluh darah dan organ (Gambar 9). Kejadian kongesti pada ginjal ini merupakan akibat dari aliran darah yang terhambat pada jantung. Menurut Vegad (2008), kongesti merupakan peningkatan jumlah darah dalam pembuluh darah vena sebagai hasil dari obstruksi pada pembuluh darah yang disebabkan perpindahan posisi organ sehingga dapat menekan lalu menghambat aliran darah pada organ lainnya. Pada histopatologi ginjal ditemukan lesio mikrokista pada korteks yang disertai dilatasi tubulus dan glomerulus pada jaringan tersebut (Gambar 33), lebih dalam lagi terdapat endapan hyalin, kongesti, degenerasi tubulus distal dan proksimal, penebalan dinding pembuluh darah (Gambar 34), degenerasi hidropis 34 dan degenerasi lemak jelas terlihat pada tubulus (Gambar 35), adanya infiltrasi sel radang pada glomerulus dan tubulus yang disertai temuan hyalin dalam tubulus yang sudah nekrosa (Gambar 36), nekrosa tubulus disertai dengan temuan pembuluh darah yang sangat berdilatasi (Gambar 37), dan temuan kongesti pada medula disertai jaringan tubulus di sekitarnya yang mengalami edema (Gambar 38). Ginjal yang memiliki kerusakan di salah satu bagian pada jaringan akan melibatkan kerusakan pada bagian yang lain. Menurut Rao (2010), salah satu faktor yang mengganggu fungsi ginjal adalah adanya perubahan dalam sirkulasi ginjal. Lesio degenerasi yang disebut nefrosis mempengaruhi keadaan tubulus sehingga menjadi bengkak keruh, terdapat degenerasi lemak, hingga menjadi nekrosis. Sedangkan menurut Jubb et al. (2006), walaupun keadaan degenerasi lemak pada kucing jarang ditemukan, kasus ini pernah ditemukan dalam tubulus pada hewan yang mati akibat kelaparan. Selanjutnya keadaan dilatasi pada tubulus dan glomerulus kemungkinan dipengaruhi iskhemia yang disebabkan kongesti yang terjadi pada pembuluh darah ginjal. Menurut (Hard et al. 1999), dilatasi pada tubulus dapat disebabkan salah satunya oleh iskhemia yang sifatnya sementara atau dengan adanya degenerasi/ regenerasi pada tubulus. Kista yang ditemukan pada bagian korteks merupakan akibat dari kerusakan hebat pada jaringan ginjal. Menurut Chang et al. (2007), hilangnya nefron akibat nekrosa memicu peningkatan kinerja tubulus yang tersisa hingga mengalami hipertrofi. Hipertrofi pada tubulus tersebut terus berkembang lalu berubah menjadi kista. Sedangkan adanya endapan hyalin baik dalam glomerulus, tubulus, dan jaringan instersisium ginjal merupakan respon jaringan terhadap iskhemia pada organ tersebut. Hal ini bersesuaian dengan pernyataan Tighe (1977) bahwa reaksi kapiler glomerulus terhadap iskhemia akan kolaps lalu terkonversi menjadi massa hyalin. Keadaan glomerulus yang seharusnya memiliki laju filtrasi yang tinggi akan berkurang. Laju filtrasi yang lambat menyebabkan massa hyalin yang telah terbentuk akan lebih banyak direabsorbsi oleh tubulus sehingga menimbulkan endapan hyalin yang tersebar dalam jaringan ginjal. Oleh karena itu terjadi infiltrasi sel-sel radang sebagai respon tubuh terhadap jaringan yang rusak. Penghambatan sirkulasi yang terjadi pada ginjal dapat memicu adanya penebalan (hipertrofi) pada dinding pembuluh darah di jaringan. Apabila terjadi gangguan pada ginjal, maka ginjal akan banyak mensekresikan sejumlah besar renin (Basso dan Terragno 2001). Renin bekerja sebagai enzim yang bekerja pada suatu protein plasma lain yaitu angiotensinogen untuk melepaskan angiotensin I. Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor yang ringan tetapi tidak cukup untuk menyebabkan perubahan fungsional yang bermakna dalam fungsi sirkulasi. Setelah pembentukan angiotensin I, terdapat dua asam amino tambahan yang memecah dari angiotensin untuk membentuk angiotensin II. Perubahan menjadi angiotensin II dikatalisis oleh enzim di endotelium pembuluh darah paru-paru yaitu angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat, dan memiliki efek-efek lain yang juga mempengaruhi sirkulasi. Vasokonstriksi terjadi terutama pada arteriol dan sedikit lebih lemah pada vena (Guyton dan Hall 1997). Salah satu dampak dari vasokonstriksi tersebut dapat menyebabkan hipertrofi pada pembuluh darah (Klabunde 2007). 35 Sedangkan dilatasi pada pembuluh darah ginjal dapat disebabkan adanya kegagalan jantung kongestif dan nefrosis yang terjadi. Hal ini bersesuaian dengan pernyataan McGavin dan Zachary (2007) yaitu gagal jantung kongestif akan mengurangi pengaliran darah pada ginjal. Hal ini akan menimbulkan hipoksia pada jaringan dan memicu pelepasan renin dari sel juxtaglomerular yang selanjutnya merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan aldosteron. Retensi air dan natrium pada tubulus merupakan dampak yang diberikan diikuti peningkatan volume cairan plasma seperti edema. Selain itu menurut Vegad (2008), pengurangan ekskresi natrium dalam urin selain terjadi pada gagal jantung kongestif juga dapat ditemukan pada keadaan ginjal yang mengalami nefrosis. Retensi air dan natrium menyebabkan ekspansi volume cairan intravaskular yang dapat meningkatkan volume cairan pada interstisium. Dalam kasus ini tidak hanya tubulus saja yang dapat mengalami dilatasi akibat edema, namun lesio ini dapat juga ditemukan glomerulus dan pembuluh darah pada jaringan. 5. Usus Usus yang mengalami sianosis setelah dikeluarkan terlihat organ tersebut mengalami kongesti dan dilatasi pada pembuluh darahnya. Hal ini dapat disebabkan oleh perpindahan posisi organ tersebut. Kongesti dapat juga disebabkan oleh torsio atau volvulus yang terjadi pada suatu organ (Vegad 2008). Menurut Chauhan (2007), secara makroskopik pembuluh darah yang mengalami kongesti akan berdistensi sesuai akumulasi darah dalam aliran yang tersumbat. 6. Limpa Keadaan limpa secara makroskopis mengalami atrofi karena ukurannya yang lebih kecil dari ukuran yang seharusnya (Gambar 11). Menurut Jubb et al. (2006) atrofi pada limpa terjadi akibat selenitas pada hewan yang terkait dengan kelaparan. Biarpun hewan ini masih muda namun gejala klinis menunjukkan adanya anoreksia sehingga dapat dikaitkan dengan rasa lapar yang diderita hewan tersebut dalam jangka waktu yang panjang sehingga menyebabkan limpa kekurangan asupan nutrisi yang untuk berkembang, akibatnya terjadi atrofi pada limpa. Pada histopatologi limpa ditemukan lesio deplesi folikel limpa (Gambar 27), hemoragi pada pulpa putih (Gambar 28), trabekula dan ellipsoid aktif pada bagian medula (Gambar 29), dan kongesti pada pulpa merah yang disertai hipertrofi dinding pembuluh darah (Gambar 30). Deplesi pada folikel limfoid merupakan respon terhadap suatu penyakit yang ditandai dengan temuan jumlah folikel yang sedikit, ukuran folikel yang kecil, hingga tidak terdapatnya folikel (Frith et al. 2000). Hemoragi yang terjadi pada pulpa putih dapat disebabkan oleh adanya kerusakan pada pembuluh kapiler limpa sedangkan untuk keadaan pulpa merahnya mengalami kongesti. Menurut McGavin dan Zachary (2007), hemoragi pada jaringan organ pada tubuh tergantung tingkat keparahannya yang salah satunya dapat terjadi akibat diapedesis yang berkaitan dengan kerusakan minor pada pembuluh darah. Ellipsoid yang aktif pada limpa menandakan adanya reaksi imun terhadap penyakit. Ellipsoid mengandung serat kolagen yang kompak berguna sebagai penyaring bakteri, bahan asing, antigen, dan sel darah yang sudah tua serta jumlah ellipsoid yang bertambah menandakan hewan memiliki imun yang baik terhadap 36 suatu penyakit (Song et al. 2012). Sedangkan untuk keadaan kongesti pada pulpa merah limpa lesionya dapat disebabkan adanya kemungkinan gangguan sirkulasi pada jantung. Menurut Jubb et al. (2006), kongesti pada jantung atau paru-paru dapat mempengaruhi kejadian kongesti pada limpa namun hal ini tidak biasa terjadi. 7. Limfonodus Limfonodus lebih jelas terlihat keadaannya dalam pengamatan histopatologi. Lesio yang ditemukan antara lain adanya deplesi folikel limfoid (Gambar 31) disertai kongesti pada daerah medula (Gambar 32). Sama halnya dengan limpa, deplesi pada folikel limfoid merupakan respon terhadap suatu penyakit yang ditandai dengan temuan jumlah folikel yang sedikit, ukuran folikel yang kecil, hingga tidak terdapatnya folikel (Frith et al. 2000). Kejadian kongesti pada limfonodus dapat disebabkan oleh kegagalan jantung karena menurut McGavin dan Zachary (2007), penghambatan aliran darah ke seluruh tubuh akan terjadi setelah kegagalan pada jantung. 8. Otak Keadaan otak secara makroskopis terlihat mengalami kongesti menandakan bahwa lesio yang diderita sudah bersifat kronis (Gambar 14). Otak yang mengalami kongesti disebabkan oleh kerja jantung dan paru-paru yang terhambat sehingga aliran darah yang menuju ke dalam otak menjadi tidak lancar hal ini bersesuaian dengan pernyataan Rao (2010) yang menyatakan kongesti yang sifatnya kronis pada otak terjadi akibat lesio pada jantung atau paru-paru. Kemungkinan gagal jantung menyebabkan iskhemia pada jaringan otak sehingga menyebabkan berbagai lesio pada jaringan otak. Pada histopatologi otak ditemukan lesio degenerasi disertai apoptosis pada sel-sel neuron (Gambar 39), gliosis (Gambar 40) kongesti disertai edema submeningen (Gambar 41), edema perivaskular (Gambar 42), infiltrasi sel-sel mikroglia/ gliosis (Gambar 43), dan malacia pada jaringan otak (Gambar 44). Menurut Rao (2010), neuron bersifat mudah rentan terhadap cedera akibat hipoksia yang akan menyebabkan perubahan degeneratif dan nekrotik. Karakterasi penyusutan neuron yaitu bentuk sel menjadi tidak teratur, ukuran inti sel yang mengalami piknosis, dan kondensasi pada badan Nissl. Gangguan vaskular yang terjadi pada jaringan otak yakni edema perivaskular dan kongesti. Edema perivaskular merupakan kejadian yang dipicu oleh perubahan fungsi endotel mikrovaskuler menjadi ekstravasasi komponen plasma ke dalam dinding arteriolar sehingga menjadi edema perivaskular (Mărgăritescu et al. 2009). Sedangkan untuk kongesti kejadiannya kemungkinan dapat diakibatkan karena stenosis pada pembuluh darah dari jantung menuju ke otak yang disebabkan oleh penekanan organ abdomen saat hernia sehingga jaringan otak mengalami iskhemia. Hal ini yang memicu timbulnya edema submeningen pada otak. Iskhemia yang terjadi memicu adanya perubahan bentuk neuron dan apoptosis. Menurut Lipton (1999), Reaksi kematian sel akibat iskhemia antara lain perubahan bentuk neuron menjadi segitiga dan apoptosis. Perubahan sitoplasma neuron sangat khas yaitu mengalami kondensasi disertai penyusutan hebat sehingga membentuk segitiga pada badan selnya. Sedangkan apoptosis pada neuron merupakan proses kematian sel yang sudah terprogram dalam menanggapi 37 keadaan iskhemia. Menurut Banasiak (2000), sel yang mengalami apoptosis ditandai dengan penyusutan sitoplasma dan inti tanpa disertai kerusakan pada membran sel. Mikroglia merupakan turunan dari fagosit mononuklear yang memiliki fungsi utama sebagai makrofag dalam sistem saraf pusat. Mikroglia akan teraktifasi bila ada kerusakan pada jaringan lalu melepaskan sitokin sebagai pertahanan lalu merekrut makrofag lainnya untuk menuju situs cedera (Jubb et al. 2006). Ploriferasi astrosit yang biasa disebut dengan gliosis juga dapat terjadi pada kerusakan sistem saraf pusat. Astrosit melindungi sel yang berdegenerasi dengan mengelilingi daerah yang akan nekrosa tersebut (McGavin dan Zachary 2007). Malacia pada otak merupakan kematian jaringan sistem saraf pusat. Perubahan dari tahap nekrosis, pembuangan jaringan yang sudah mati, hingga restorasi sama terhadap setiap kemungkinan yang dapat menyebabkan terjadinya malacia. Malacia dapat disebabkan oleh gangguan sistem vaskular dan trauma (Jubb et al. 2006). Patogenesis Menurut petMD (2012), kucing ras Himalaya menunjukkan lebih banyak mengalami kelainan kongenital yaitu terbentuknya celah pada diafragma sejak lahir sehingga penyakit hernia diafragmatika dapat terjadi. Hal tersebut bisa dihubungkan dengan jenis ras kucing ini yang mungkin merupakan keturunan ras Himalaya. Ras Himalaya merupakan persilangan antara ras Persia dan ras Siamese sehingga kelainan yang diturunkan dapat memicu timbulnya penyakit hernia diafragmatika yang bersifat kongenital. Hal ini juga didukung dengan keadaan diafragma pada kucing yang tidak menutup sempurna membentuk lengkung terbuka yang cukup luas. Diafragma yang terlihat hanya menutup kurang lebih 25% dari yang seharusnya. Menurut Ettinger (1975), adanya celah yang terbentuk mengakibatkan tekanan yang tidak sama antara sisi peritoneum dan sisi pleura pada diafragma. Celah yang terbentuk pada kucing ini cukup besar sehingga sangat memungkinkan adanya hernia. Kejadian ini juga didukung dengan adanya perubahan tekanan negatif pada rongga thoraks. Menurut Muttaqin (2008), tekanan negatif memiliki prinsip tekanan dalam rongga thoraks lebih rendah dari tekanan atmosfer sehingga udara dapat bergerak ke paru-paru selama inspirasi. Namun, pada kasus ini akibat diafragma yang tumbuh tidak sempurna dapat mempengaruhi tekanan negatif dari rongga thoraks. Adanya tekanan negatif menyebabkan usus dan hati terpindah masuk ke dalam rongga thoraks lalu menekan jantung dan paru-paru sehingga mengganggu pernapasan dan sirkulasi darah pada jantung. Hal tersebut mempengaruhi kinerja jantung dan paru-paru serta sistem pembuluh darah pada organ. Keadaan tersebut memicu kelainan yang telah dilihat pada pengamatan patologi anatomi yaitu jantung memiliki double apex (hipertrofi disertai dilatasi pada jantung) dan paru-paru yang mengalami atelektasis. Selain itu juga terlihat lesio kongesti pada beberapa organ antara lain paru-paru, usus, hati, limpa, limfonodus, ginjal, bahkan otak yang telah dibahas sebelumnya dalam patologi anatomi dan histopatologi. Lesio pada organ-organ tersebut menyebabkan gangguan pada fungsi organ yang dapat dikaitkan dengan gejala klinis saat kucing masih hidup yaitu anoreksia, anemia, konstipasi, dan dispnoe. 38 Lesio secara sistemik pada setiap organ terjadi karena terkait kinerja jantung yang terganggu sehingga mengalami gagal jantung kongestif yang menyebabkan kematian pada kucing. Kegagalan pada jantung ini dapat dibuktikan pada pengamatan patologi anatomi kucing mengalami exophthalmus dan pada pengamatan histopatologi otot jantung mengalami degenerasi akibat keadaan jantung yang dilihat sebelumnya dalam pengamatan patologi anatomi mengalami hipertrofi disertai dilatasi sehingga memicu keadaan double apex. Penambahan apeks tersebut dipicu oleh penyempitan lumen ventrikel kiri jantung akibat penekanan organ abdomen yang tertahan di dalam rongga thoraks sehingga kedua lumen baik kiri dan kanan bersamaan mengalami dilatasi sebelum mengalami kolaps. Pada akhirnya kegagalan kompensasi jantung terjadi yang membuat jantung tidak dapat lagi bekerja. SIMPULAN Penyakit hernia diafragmatika yang diderita kucing ini dapat diduga tidak terjadi akibat trauma karena tidak ditemukannya temuan jejak persembuhan pada diafragma, namun dapat dikaitkan dengan kelainan bawaan yang mungkin diturunkan oleh jenis ras kucing tersebut dan juga disertai dengan kemungkinan tidak terbentuknya beberapa komponen pembentuk diafragma sebelum kucing dilahirkan. Hal tersebut memicu perpindahan organ abdomen ke dalam rongga thoraks. Lesio yang ditemukan pada jantung, paru-paru, usus, hati, limpa, limfonodus, ginjal, dan otak menandakan bahwa penyakit ini sudah bersifat sistemik terkait kegagalan pada sistem kerja jantung. DAFTAR PUSTAKA Banasiak KJ, Xia Y, Haddad GG. 2000. Mechanisms Underlying hypoxiainduced neuronal apoptosis. Progress in Neurobiology, 62: 215-249. Hlm: 217. Basso N, Terragno, Norberto A. 2001. History About The Discovery of The Renin-Angiotensin System. Hypertension, 38(6): 1246-1249. Hlm: 1246-1248. Bellah JR. 2005. Diaphragmatic Hernias. Standards of Care Emergency and Critical Care Medicine, 7.5: 1-7. Hlm: 3. Catcoot EJ, Smithcors JF. 1966. Progress in Feline Practice (Including Caged Birds and Exotic Animals). Amerika Serikat: American Veterinarian Publication, Inc. Hlm: 28-314. Chauhan RS. 2007. Illustrated Veterinary Pathology (General & Systemic Pathology). Lucknow: International Book Distributing Co. Hlm: 50-52. Chang CC, Kuo JY, Chan WL, Chen KK, Chang LS. Prevalence and Clinical Characteristics of Simple Renal Cyst. Journal of the Chinese Medical Association, 70(11): 486-491. Hlm: 490.