OPINI Terapi Terkini HIV-AIDS Muchlis Achsan Udji Sofro Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr Kariadi , Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, Indonesia PENDAHULUAN Laporan Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan RI 18 Februari 2013 menyebutkan kasus HIV: 98.390, AIDS: 45.499, dan meninggal: 8.235. Setiap tahun, jumlah pasien HIV (human immunodeficiency virus) dan AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) selalu meningkat, meskipun sudah ada upaya pencegahan penularan dan penanganan pengobatan yang adekuat. Diperlukan upaya bersama agar peningkatan kasus HIV-AIDS dapat kita tekan semaksimal mungkin.1,2 Penemuan obat antiretroviral (ARV) pada tahun 1996 mendorong revolusi perawatan ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS). Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi kronis terhadap obat, terapi ARV secara dramatis menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas hidup ODHA, dan meningkatkan harapan masyarakat, sehingga saat ini HIV dan AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang menakutkan.1.2 TES HIV Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV: 1) Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counseling & Testing). 2) Konseling dan tes atas inisiatif petugas kesehatan (KTIP – PITC = Provider-Initiated Testing and Counseling). Pemanfaatan tes HIV melalui VCT masih jauh dari harapan, sehingga dikembangkan pelaksanaan tes HIV melalui KTIP-PITC.2,3 KTIP-PITC merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan kesehatan, berarti semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes HIV setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis diduga terinfeksi HIV, pasien dari kelompok berisiko (penasun, PSKAlamat korespondensi 150 pekerja seks komersial, LSL – lelaki seks dengan lelaki), pasien IMS (Infeksi Menular Seksual) dan seluruh pasangan seksualnya. Anjuran tes HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah mendapatkan informasi cukup dan menyetujui tes HIV serta semua pihak menjaga kerahasiaan (prinsip 3C – counseling, consent, confidentiality.2,4 PEMERIKSAAN LABORATORIUM UNTUK TES HIV Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional yang berlaku saat ini, yaitu menggunakan strategi 3 dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama harus digunakan tes dengan sensitivitas tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (>99%).2,5 Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV dalam masa jendela menunjukkan hasil ”negatif”, perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku berisiko tertular HIV.2,5 Pada ODHA yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm3, dianjurkan diberi kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV. Hal tersebut berguna untuk 1) mengkaji kepatuhan pasien dalam minum obat dan 2) menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV, mengingat banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol (anemia, mual muntah, gatal, urtikaria).2,5 SAAT MEMULAI TERAPI ARV Terapi antiretroviral (ARV) perlu didahului pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.2,6 a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4: Penentuan mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian klinis. Stadium Klinis 3 (TB, jamur di mulut dll) dan 4 (wasting syndrome dll) tanpa melihat CD4 dapat langsung mulai diterapi ARV. b. Tersedia pemeriksaan CD4: 1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan CD4 < 350 sel/mm3 (sebelumnya < 200 sel/mm3) tanpa memandang stadium klinisnya. 2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4. Khusus untuk TB-HIV, pasien mendapatkan pengobatan TB selama 2 minggu, setelah stabil dengan pengobatan TB baru dilanjutkan dengan pengobatan ARV. ANJURAN PEMILIHAN OBAT ARV LINI PERTAMA Paduan yang ditetapkan untuk lini pertama: 2 NRTI (Nucleosing Reverse Transcriptase Inhibitors) + 1 NNRTI (Non Nucleosing Reverse Transcriptase Inhibitors) Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini: • Zidovudin (AZT) + Lamivudin (3TC) + Nevirapin (NVP) atau • Zidovudin (AZT) + Lamivudin (3TC) + Efavirenz (EFV) atau • Tenofovir (TDF) + Lamivudin (3TC) + Nevirapin (NVP) atau • Tenofovir (TDF) + Lamivudin (3TC) + Efavirenz (EFV) email: [email protected] CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014 OPINI TERAPI ANTIRETROVIRAL PADA POPULASI KHUSUS Beberapa kelompok dan keadaan khusus yang memerlukan perhatian ketika akan memulai terapi antiretroviral antara lain: perempuan hamil; pecandu NAPZA suntik dan yang menggunakan Metadon. Sedangkan keadaan khusus yang perlu diperhatikan adalah Koinfeksi HIV dengan TB dan Koinfeksi HIV dengan Hepatitis B dan C(2,7). Terapi ARV untuk ibu hamil Terapi antiretroviral/ARV/HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) dalam program PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission – PPIA = Pencegahan Penularan Ibu ke Anak) adalah penggunaan obat antiretroviral jangka panjang (seumur hidup) untuk mengobati perempuan hamil HIV positif dan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak(2). 1. ODHA dengan indikasi Terapi ARV dengan kemungkinan hamil atau sedang hamil: a. AZT (Zidovudine) + 3TC (Lamivudine) + NVP (Nevirapine) atau b. TDF (Tenofovir) + 3TC (Lamivudine) atau FTC (Emtricitabine) + NVP (Nevirapine). c. Hindari EFV (Efavirenz) pada trimester pertama 2. ODHA sedang menggunakan Terapi ARV dan kemudian hamil. a. Lanjutkan paduan (ganti dengan NVP = Nevirapine atau golongan PI jika sedang menggunakan EFV (Efavirenz) pada trimester I). b. Lanjutkan dengan ARV yang sama selama dan sesudah persalinan. 3. ODHA hamil dengan jumlah CD4 >350/ mm3 atau dalam stadium klinis 1. ARV mulai pada minggu ke 14 kehamilan. perkembangan HBV yang resisten obat. 4. ODHA hamil dengan jumlah CD4 < 350/ mm3 atau dalam stadium klinis 2, 3 atau 4 Segera Mulai Terapi ARV. Pada pengobatan ARV untuk koinfeksi hepatitis B perlu diwaspadai munculnya hepatic flare dari hepatitis B. Penampilan flare khas sebagai kenaikan tidak terduga SGPT/ SGOT dan munculnya gejala klinis hepatitis (lemah, mual, nyeri abdomen, dan ikterus) dalam 6- 12 minggu pemberian ART. Flares sulit dibedakan dari reaksi toksik pada hati yang dipicu oleh ARV atau obat hepatotoksik lainnya seperti cotrimoxazole, OAT, atau sindrom pulih imun hepatitis B. Obat anti Hepatitis B harus diteruskan selama gejala klinis yang diduga flares terjadi. Jika gejala kekambuhan hepatitis B yang berat tidak dapat dibedakan dari gejala toksisitas ARV derajat 4, terapi ARV dihentikan hingga pasien dapat distabilkan. Penghentian TDF (Tenofovir), 3TC (Lamivudine), atau FTC (Emtricitabin) juga dapat menyebabkan hepatic flare. Terapi ARV untuk koinfeksi hepatitis B2 • Hepatitis B dan HIV mempunyai beberapa kemiripan karakter, di antaranya adalah merupakan blood-borne disease, membutuhkan pengobatan seumur hidup, mudah terjadi resistensi terutama jika digunakan monoterapi dan menggunakan obat yang sama yaitu tenofovir, lamivudine dan emtricitabine. Entecavir, obat anti hepatitis B juga mempunyai efek anti retroviral pada HIV tetapi tidak digunakan dalam pengobatan HIV. • Perlu diwaspadai timbulnya flare pada pasien ko-infeksi HIV/Hep B jika pengobatan HIV yang menggunakan TDF (Tenofovir)/3TC (Lamivudine) dihentikan karena alasan apapun. • Mulai ART pada semua individu dengan ko-infeksi HIV/HBV yang memerlukan terapi untuk infeksi HBV-nya (hepatitis kronik aktif ), tanpa memandang jumlah CD4 atau stadium klinisnya. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) merekomendasikan memulai terapi hepatitis B pada infeksi hepatitis B kronik aktif jika terdapat peningkatan SGOT/SGPT lebih dari 2 kali selama 6 bulan dengan HBeAg positif atau HBV DNA positif. • Rekomendasi tersebut mendorong diagnosis HBV pada HIV dan terapi yang efektif untuk ko-infeksi HIV/HBV • Gunakan paduan antiretroviral yang mengandung aktivitas terhadap HBV dan HIV, yaitu TDF (Tenovofir) + 3TC (Lamivudine) atau FTC (Emtricitabine) untuk peningkatan respons VL (Viral Load) HBV dan penurunan Terapi ARV pada koinfeksi hepatitis C2,8 Zidovudine dan Stavudine mempunyai efek samping hematologi dan hepatotoksisitas yang tumpang tindih dengan pengobatan hepatitis C khususnya ribavirin. Oleh karena itu, pada saat pemberian bersama terapi hepatitis C perlu dilakukan substitusi sementara dengan TDF. Terapi hepatitis C dianjurkan dimulai pada saat CD4 > 350 sel/mm3 dan setelah terapi ARV stabil untuk mencapai tingkat SVR yang lebih tinggi. Paduan terapi ARV pada keadaan ko-infeksi HIV/HCV mengikuti infeksi HIV pada orang dewasa. Hanya perlu dipantau ketat karena risiko hepatotoksisitas yang berhubungan dengan obat dan interaksi antarobat. DAFTAR PUSTAKA 1. Dirjen Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan RI, Laporan Triwulan 1. 2013 2. Pedoman Nasional Tata laksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Orang Dewasa. Kemenkes RI Dirjen P2PL. 2011 3. Cohen MS, Chen YQ, McCauley M, et al. Prevention of HIV-1 infection with early antiretroviral therapy. N Engl J Med. 2011;365(6):493-505. 4. Centers for Disease Control and Prevention. HIV in the United States: The Stages of Care—CDC Fact Sheet. 2012. 5. Centers for Disease Control and Prevention. Interim guidance: Preexposure prophylaxis for the prevention of HIV infection in men who have sex with men. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2011;60(3):65-8. 6. Centers for Disease Control and Prevention. Interim guidance for clinicians considering the use of preexposure prophylaxis for the prevention of HIV infection in heterosexually active adults. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2012;61(31):586-9. 7. Aberg JA, Kaplan JE, Libman H, et al. Primary care guidelines for the management of persons infected with human immunodeficiency virus: 2009 update by the HIV medicine Association of the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 2009;49(5):651-81. 8. Yanik EL, Napravnik S, Hurt CB, et al. Prevalence of transmitted antiretroviral drug resistance differs between acutely and chronically HIV-infected patients. J Acquir Immune Defic Syndr. 2012;61(2):258-62. CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014 151