komunikasi antarbudaya melalui folklor

advertisement
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MELALUI FOLKLOR
"HAUL CUCI PUSAKA KERAMAT TAJUG" DI KELURAHAN
CILENGGANG SERPONG TANGERANG SELATAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
SAMSUL ARIFIN
NIM. 109051000077
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H/2013 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoloeh gelar Strata 1 (S1) di
Uiniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah
saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya
asli saya atau merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain, maka
saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 4 Oktober 2013
Samsul Arifin
NIM: 109051000077
Nama : Samsul Arifin
NIM : 109051000077
ABSTRAK
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
MELALUI FOLKLOR “HAUL CUCI PUSAKA KERAMAT TAJUG”
DI KELURAHAN CILENGGANG SERPONG TANGERANG SELATAN
Folklor (cerita rakyat) merupakan fenomena unik di kalangan masyarakat. Folklor
juga merupakan warisan budaya dan merupakan kekayaan khazanah nusantara. Fenomena
ini terdapat di tengah-tengah kota meropolit, tepatnya di Kelurahan Cilenggang Serpong
Tangerang Selatan. Nyiraman, istilah masyarakat setempat, atau “Haul Cuci Pusaka
Keramat Tajug.” Dalam kacamata budaya, folklor memang harus dilestarikan. Namun,
tidak jarang folklor bersebrangan dengan ketentuan syariat agama (Islam).
Adapun rumusan masalah utama dalam penelitian ini adalah bagaimana
komunikasi antarbudaya (KAB) melalui folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug”
(HCPKT)? Sedangkan pertanyaan turunannya adalah seperti apa komunikasi antara etnis
yang berbeda yang terjadi pada perayaan folklor “HCPKT”? Mengapa ada komunikasi
antara subkultur yang berbeda, dan seperti apa komunikasi antara subkultur yang berbeda
pada perayaan folklor “HCPKT”? Adakah bentuk komunikasi antarbudaya selain dari yang
disebutkan di atas, dan bagaimanakah bentuk komunikasi antarbudaya tersebut?
Komunikasi antarbudaya yang terjadi pada folklor “HCPKT” sangat luas. Berbagai
adat daerah Cilenggang yang ditemukan peneliti sangat unik. Peneliti melihat mulai dari
folklor itu sendiri maupun pemilik folklornya. Masyarakat yang tergabung dalam perayaan
folklor pun menjadi fokus penelitian dalam skripsi ini. Jelasnya, komunikasi antarbudaya
yang terjadi secara garis besar diperankan oleh masyarakat pemilik folklor dan masyarakat
diluar pemilik folklor.
Peneliti menggungakan dua teori dalam penelitian ini, yaitu, teori Joseph A. Devito
dan teori Andi Faisal Bakti. Kedua teori ini digunakan untuk menganalisis jenis-jenis KAB.
Setelah pengklasifikasian jenis KAB melalui kedua teori di atas, peneliti juga akan
menganalisis folklor dalam konteks KAB. Teori yang digunakan yaitu teori konservatif dan
teori transformatif Andi Faisal Bakti. Jelasnya, proses analisis dalam penelitian ini ada dua
tahap, yaitu analisis jenis-jenis KAB dan analisis folklor dalam konteks KAB.
Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dan metode etnografi. Dalam penelitian ini peneliti merujuk pada
buku Lexi J. Maleong. Sebagai pelengkap peneliti juga menggunakan buku Setya Yuwana
Sudikan, Sugiyono, Djam’an Satori dan Deddy Mulyana.
Komunikasi antara etnis yang berbeda terjadi antara keturunan Tubagus Atief
dengan masyarkat sekitar. Selain dari itu, perbedaan bahasa juga menunjukkan adanya
komunikasi antara etnis. Sedangkan antara komunikasi subkultur yang berbeda terjadi
antara kelompok pekerja bangunan dengan kelompok pedagang. Selain yang disebutkan
dalam abstrak ini, masih ada jenis-jenis KAB lainnya. Jelasnya, masih ada beberapa jenis
KAB yang terjadi saat acara folklor “HCPKT.”
Dapat disimpulkan, bahwa penelitian ini ada dua tahap analisis. Tahap pertama
mengarah pada jenis KAB, dan tahap kedua mengarah pada kategori folklor. Dalam analisis
jenis KAB, teori yang digunakan merupakan perpaduan antara teori Devito dengan Bakti.
Sedangkan corak folklor menggunakan teori konservatif dan transformatif dari Andi Faisal
Bakti. Sehingga penelitian ini menghasilkan Enam jenis KAB dan lima kategori folklor.
Kata kunci: KAB, folklor, penelitian, teori, Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.
i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah, Tuhan sekalian alam. Penulis haturkan
puja dan puji syukur alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji hanya bagi Allah
sebagai ungkapan rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan kepada
penulis. Nikmat sehat, nikmat iman dan Islam dan nikmat-nikmat yang lain yang
tak ada sedikitpun perumpamaan atas nikmat-nikmat tersebut. Atas nikmat
tersebutlah penulis dengan segala keterbatasan penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Selawat serta salam semoga tatap tercurah limpah atas Nabi
Muhammad SAW. Manusia teragung yang diagungkan Allah. Sumber dari segala
kehidupan dan sumber keselamatan. Nabi pembawa syafaat, menyelamatkan umat
dari gelap menuju terang.
Selama proses penulisan skripsi ini banyak sekali kesan dan pelajaran
yang penulis dapatkan, terlebih dalam kaitannya dengan apa yang menjadi objek
penulisan skripsi ini. Banyak nasihat dari guru (dosen) yang terus akan membekas
sampai titik penghabisan. Kesabaran, ketekunan, ketelitian, kedisiplinan,
kesopanan, dan kehati-hatian adalah sedikit dari sekian ribu pesan moral yang
penulis dapatkan. Tidak hanya semasa penulisan skripsi ini saja, sejak penulis
menempuh perkuliahan dari awal sampai akhir, pesan-pesan itu seperti mutiara
yang selalu indah dengan sendirinya.
Selanjutnya dari nasihat, bantuan, serta doa mereka itulah penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis sangat menyadari akan jauhnya
skripsi ini dari kesempurnaan. Dengan demikian penulis akan terus berusaha
melakukan perbaikan dan pembelajaran. Adapun saran, nasihat, kritik yang
membangun atas perbaikan skripsi ini sangatlah berharga bagi penulis.
ii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan,
bimbingan, dan dorongan semangat dan motifasi dari berbagai pihak. Dari lisan
mereka muncul kekuatan yang dapat memacu semangat penulis saat penulis lalai
dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Dr. Arief Subhan M.A sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi (FIDIKOM), Dr. Suparto, M. Ed, MA selaku Wakil Dekan
Bidang Akademik,
Administrasi dan
Drs. Jumroni, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang
Keuangan, serta selaku Ketua Jurusan Komunikasi
Penyiaran Islam (KPI), dan juga kepada Drs. Wahidin Saputra, MA selaku
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan.
2. Umi Musyarofah, MA selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran
Islam. Wanita muslimah yang penulis kenal di jurusan yang konsisten dan
sederhana, bersahaja dan selalu memberikan nasihat.
3. Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, Ph.D, MA selaku dosen pembimbing yang
telah banyak membantu, memberikan bimbingan dan pengarahan pada
penulisan skripsi ini. Beliau sangat sabar dalam membimbing penulis.
Penulis biasanya melakukan bimbingan skripsi ini di kediaman Beliau.
Berjam-jam kami duduk dan penuh teliti, Beliau selalu memberikan
pengarahan. Senang dan sekaligus beban. Senang dapat bimbingan
dengan Beliau karena keseriusan dalam membimbing penulis sangat
penulis rasakan. Dari beliau penulis banyak mengambil pelajaran. Penulis
ingat jurus membaca dari beliau,
“Jurus Baca Tujuhbelas Rakaat.” Kalimat inilah yang sering penulis
iii
dengar dari lisan Beliau saat bimbingan. Memang jurus ini sudah penulis
dapat sejak smester lima silam. Beliau pernah menjelaskan bahwa
membaca itu seperti orang sedang shalat. Shalat itu butuh keseriusan
(khusyuk). Kalau tidak serius bukan shalat namanya. Begitu pula dalam
membaca, baca yang serius dan teliti agar pahalanya dapat dipetik. Jurus
ini seperti mantra dalam telinga, terus dan akan terus diingat. Semoga
penulis tetap konsisten atas jurus ini. Terimakasih banyak, Prof.
4. Dra. Rini Laili Prihatini, M.Si sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang
telah membantu mengarahkan seluruh mahasiswa untuk mengikuti proses
kegiatan akademik.
5. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang
bermanfaat bagi penulis. Semoga ilmu yang telah diberikan bermanfaat
untuk selama-lamanya.
6. Segenap karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi dan juga Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan kemudahan penulis untuk mendapatkan
berbagai referensi dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Ayah tercinta (Abah) H. Suyatno dan Ibunda (Umi) Hj. Sufyani yang
selalu bertengadah dengan tulus dan ikhlas mendoakan penulis,
memotivasi, mendorong penulis untuk selalu semangat. Terimakasih atas
segala kasih sayang Abah dan Umi. Tak kutemukan apa-apa dari wajah
anggun mereka berdua kecuali doa dan semangat yang menyala. Selalu
kunanti momen-momen penting saat penulis hendak berangkat ke Jakarta,
iv
mereka selalu hadiahi penulis dengan doa yang tiada dapat dihitung
dengan apapun.
8. Adik tersayang, Sukran Makmun (Suk Ma). Terimakasih atas doa dan
nasihat-nasihatmu. Bangga rasanya melihat semangat belajarmu yang
selalu berkobar. Semoga selalu dalam bimbingan Allah SWT. Semangat
selalu, dan ingat! perjuangan kita masih panjang.
9. Keluarga tercinta Nenek Sup dan Kakek Sup, Nenek Su dan Kakek Su,
Bibi Sriyatin beserta Paman Bahrudi, Om Lie dan Bibi Yuli, Om Sahrawi
dan Bibi Syeifi, Om Jo dan Bibi Siti, Bibi Suhana dan Paman Ja’far
mereka semua orang tua penulis yang selalu tulus memberikan nasihat.
10. Sulfi, Amel, Umay, Syaifi, Adif, Ghufroni, Maghfiroh, dan Utsman
mereka adalah adik-adik sepupu penulis yang selalu menyemangati.
11. Segenap guru yang telah membimbing penulis. Penulis haturkan hormat
dan terimakasih serta salam ta’dhim yang sedalam-dalamnya kepada Alm.
KH. Abuzairi dan keluarga besar Pon-Pes Salafiyah I, Bondowoso.
Keluarga besar KH. Rosyid dan Pon-Pes Salafiyah II Situbondo, mereka
adalah guru yang senantiasa memberikan bimbingan kepada penulis.
Kepada keluarga besar Kiai Anwar Mahfudz dan Pon-Pes Darul Ulum
Bondowoso. Keluarga besar KH. Taufiqul Hakim dan Pon-Pes Darul
Falah Amtsilati, Jepara. Keluarga besar Habib Ali Alwi Al-Husainy dan
Ustad H. Ubaidilah Cholid serta keluarga Pon-Pes Al-Husainy, Tangerang
Selatan. Keluarga besar KH Rohmani dan Pon-Pes Nurul Iman, Jakarta.
Semoga ilmu yang telah diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat.
v
12. Segenap keluarga besar Paguyuban Tubagus Atief. Bapak Tubagus H.
Imamudin, Bapak H. Mu’in, Bapak Tubagus Sos Rendra, Bapak Tubagus
Muhammad Aris yang telah berbagi informasi atas penulisan skripsi ini.
13. Teman-teman seperjuangan KPI C 2009, yang saling membantu satu sama
lain dan tetap menjaga kekompakan. Kawan-kawan KKN DEDICATION,
semoga persaudaraan kita tetap terjalin sampai kelak kita berada pada
bidang dan dunia pengabdian yang berbeda.
14. Orang tua penulis di Jakarta, keluarga besar Mama Maspiyah, keluarga
besar Mama Vikri, dan keluarga besar Ibu Hj Mursiyah, keluarga besar Ibu
Alwiyah dan adik-adikku semua. terimakasih atas segala kasih sayang
yang telah diberikan kepada penulis. Semoga Allah senantiasa
memberikan yang terbaik untuk mereka.
15. Kawan-kawan seperjuangan, Dina Mayasari dan keluarga besar SMA IT
Al-Husainy, Ulan Sari, Hasonanganta Malau, Adin, Hafidz Malawat,
Mua’mmar Tjio, Indra Andrean, Aziz Fathullah kawan diskusi penulis.
Keluarga besar Salafiyah Ust. Andri Yanto, Mas Riga Irawan (Reigar),
Ust. Abdurrahman Shalih, Ust. Fariki, Zainul Hakim, Zubairi, Siri, Lifan
Efendi, dan Iswandi. Mereka selalu menasihati penulis.
16. Saudara-saudara di perantauan, Abdul Munib, Hasbul Sakera, Miqdad,
Melki terus berjuang, jangan pernah menyerah, raih janji-janji kecil dulu
saat kita di kampung.
17. Adik-adik Amtsilati cabang Al-Husainy semua angkatan, kalian adalah
warna tersendiri bagi penulis. Terus berjuang tanpa henti dan selalu
semangat.
vi
Semoga tetap semangat dalam melangkah kedepan lebih baik. Semangat
itu seperti laju angin, terkadang kencang keras mengalahkan segalanya untuk
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, atau bahkan malas menyelinap tanpa
ampun, datang tiba-tiba. Akhirnya pesan dan dorongan guru, kawan, dan saudara
itu yang menjadi senjata penangkalnya. Semoga skripsi ini lahir dari hasil
membaca karena Allah, menulis karena Allah dan bermanfaat untuk hamba Allah.
Amin.
Dan akhir kata dari penulis, semoga segala bentuk motivasi, dukungan,
harapan dan keberkahan doa yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan
yang berlimpah dan ridha dari Allah SWT. Amin.
Jakarta, 4 Oktober 2013
Samsul Arifin
NIM: 109051000077
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .....................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ...................................................................................
ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xi
DAFTAR BAGAN ..........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................
1
B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah ..................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................
9
D. Skripsi Terdahulu ..............................................................
11
E. Metodologi Penelitian ......................................................
13
F. Sistematika Penulisan ......................................................
29
KAJIAN TEORITIS
A. Memaknai Komunikasi .....................................................
31
1. Pengertian Komunikasi ..............................................
31
2. Unsur-unsur Komunikasi ...........................................
33
3. Fungsi Komunikasi .....................................................
35
B. Memaknai Budaya ............................................................
36
1. Pengertian Budaya .....................................................
36
2. Unsur-unsur Kebudayaan ...........................................
39
viii
3. Pengertian Komunikasi Antarabudaya ........................
39
4. Teori Komunikasi Antarbudaya Joseph A. Devito dan
BAB III
Andi-Faisal Bakti ........................................................
42
C. Memaknai Folklor ............................................................
55
1. Pengertian Folklor .......................................................
55
2. Folklor Haul Cuci Pusaka ...........................................
56
TUBAGUS ATIEF, ”HAUL CUCI PUSAKA KERAMAT
TAJUG,” DAN KELURAHAN CILENGGANG
A. Tentang Tubagus Atief ....................................................
60
B. Perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ................
63
1. Asal Mula Dilaksanakannya Haul “Cuci Pusaka
Keramat-Tajug” ..........................................................
63
2. Gambaran Perayaan Folklor “Haul Cuci Pusaka
BAB IV
Keramat-Tajug” ..........................................................
65
C. Gambaran Umum Masyarakat Cilenggang .....................
69
1. Letak Geografis ...........................................................
69
3. Keadaan Penduduk .....................................................
70
PROSES KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MELALUI
FOLKLOR
”HAUL
CUCI
PUSAKA
KERAMAT
TAJUG”
A. Analisis Jenis Komunikasi antarbudaya menurut Joseph
A. Devito dan Andi Faisal Bakti ....................................
75
1. Komunikasi Antara Etnis yang Berbeda ...................
76
ix
2. Komunikasi Antara Subkultur yang Bebeda ..............
77
3. Komunikasi Antara Subkultur dengan Kultur yangDominan .....................................................................
80
4. Komunikasi Antara Jenis Kelamin yang Berbeda ......
82
5. Komunikasi Antara Kaum Tradisionalis dengan
Kaum – Modernis .......................................................
83
B. Analisis Folklor menurut Teori Andi Faisal Bakti ..........
85
1. Etre pense par sa culture.............................................
85
2. Heriter la culture ........................................................
91
3. Adoration of scriptures ...............................................
92
4. Geminscaft ..................................................................
94
5. Vernacular language ..................................................
96
C. Pembahasan .....................................................................
98
1. Beberapa Kegiatan Folklor yang Positif .................... 199
2. Munculnya Kesamarataan Budaya ............................. 103
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 112
B. Saran ................................................................................ 117
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 118
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
1.
Tabel 2.1. .................................................................................................
46
2.
Tabel 2.2. .................................................................................................
48
3.
Tabel 2.3. .................................................................................................
50
4.
Tabel 3.1. .................................................................................................
70
5.
Tabel 3.2. .................................................................................................
71
6.
Tabel 3.3. .................................................................................................
72
7.
Tabel 3.4. .................................................................................................
72
DAFTAR BAGAN
1.
Bagan 1.1. ................................................................................................
17
2.
Bagan 1.2. ................................................................................................
26
3.
Bagan 2.1. ................................................................................................
34
xi
DAFTAR GAMBAR
1.
Gambar 4.1. ..............................................................................................
76
2.
Gambar 4.2. ..............................................................................................
78
3.
Gambar 4.3. ..............................................................................................
78
4.
Gambar 4.4. ..............................................................................................
79
5.
Gambar 4.5. ..............................................................................................
80
6.
Gambar 4.6. ..............................................................................................
82
7.
Gambar 4.7. ..............................................................................................
83
8.
Gambar 4.8. ..............................................................................................
84
9.
Gambar 4.9. ..............................................................................................
88
10. Gambar 4.10. ............................................................................................
89
11. Gambar 4.11. ............................................................................................
89
12. Gambar 4.12. ............................................................................................
92
13. Gambar 4.13. ............................................................................................
93
14. Gambar 4.14. ............................................................................................
97
15. Gambar 4.15. ............................................................................................ 100
16. Gambar 4.16. ............................................................................................ 102
17. Gambar 4.17. ............................................................................................ 103
18. Gambar 4.18. ............................................................................................ 104
19. Gambar 4.19. ............................................................................................ 105
20. Gambar 4.20. ............................................................................................ 106
21. Gambar 4.21. ............................................................................................ 108
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Komunikasi merupakan kunci dalam setiap penyampaian visi dan misi
seseorang terhadap orang lain. Menurut kacamata agama Islam, kegiatan
menyampaikan visi dan misi (nilai-nilai luhur agama)
disebut dengan
dakwah. Tidak hanya dalam satu sisi dakwah saja, misalnya hanya dalam
bentuk ceramah saja yang dianggap proses terjadinya komunikasi Islam, akan
tetapi dalam semua aspek. Komunikasi memang menempati tempat paling
vital bagi manusia.1 Misalnya, dalam konteks hubungan sosial budaya,
manusia akan terus melakukan interaksi dengan manusia lain, dengan segala
maksud dan tujuan masing-masing.
Sebagai gambaran bagaimana komunikasi sangat vital bagi manusia,
penulis mengutip Wilbrum Scharmm dan William E. Porter seperti yang
dikutip oleh Rulli Nasrullah mengenai teori tentang perkembangan awal
manusia mulai berkomunikasi dengan menggunakan bahasa.
“Pertama, teori bow-bow yang menggambarkan bahwa manusia pertama kali
menggunakan bahasa lisan dengan meniru bunyi-bunyian yang bersifat alami, seperti
suara rintik hujan dan gemuruh. Kedua, teori poo-poo merupakan era di mana
manusia menggunakan bahasa yang sesuai dengan perwakilan emosi yang mereka
alami seperti perasaan takut, kesakitan, gembira dan sebagainya. Ketiga, teori songsong, yaitu bahasa yang digunakan dalam komunikasi dalam masa awal merupakan
ucapan atau nyanyian saat mereka merayakan sesuatu. Misalnya dapat disaksikan
dalam acara-acara api unggun yang dilakukan oleh suku-suku Indian. Keempat, teori
yo-heave-ho merupakan bahasa komunikasi yang berkembang dari sungutan yang
terjadi karena pergerakan fisik. Terakhir, kelima, teori yuk-yuk bahwa terjadinya
kata karena adanya bunyi yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa tertentu.”2
1
Rulli Nasrullah, Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012), h. 1.
2
Rulli Nasrullah, Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber, h. 3.
1
2
Beberapa teori tentang perkembangan komunikasi ini tentu sangat menjadi
bukti bahwa komunikasi sangatlah penting dalam kehidupan manusia.
Perbedaan itu memang tidak dapat dihindari dalam kehidupan
masyarakat. Ini tergambar dalam surat hud ayat 118.
            
Artinya: Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat
yang satu. Tetapi, mereka senantiasa berselisih pendapat. (Qs. Huud 118).3
Dalam tafsir Al-Misbah, ayat ini diartikan dengan “Jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat.” Dalam tafsir Al-Misbah disebutkan, bahwa
perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Hal ini dimaksudkan agar manusia
dapat memilih dan menentukan pilihan jalan yang baik dengan cara yang baik
pula agar dapat menimbulkan sifat saling menghargai (toleransi). 4 Dalam
ranah komunikasi antarbudaya, tentu ini menjadi bahasan penting. Di sini lah
komunikasi berperan, terlebih komunikasi antarbudaya sebagai solusi atas
perbedaan tersebut. Dalam penjelasan tafsir tersebut di atas, memang perlu
keterbukaan budaya dan keterampilan dalam berkomunikasi.
“Kalaulah Allah SWT. Berkehendak menjadikan semua manusia sama,
tanpa ada perbedaan, Dia menciptakan menusia seperti binatang tidak dapat
berkreasi dan melakukan pengembangan, baik terhadap dirinya apalagi
lingkungannya. Tapi, itu tidak dikehendaki Allah karena Dia manugaskan manusia
menjadi khalifah. Dengan perbedaan itu, manusia dapat berlomba-lomba dalam
kebajikan dan, dengan demikian, akan terjadi kreativitias dan peningkatan kualitas.
Karena, hanya dengan perbedaan dan perlombaan yang sehat, kedua hal itu akan
tercapai. Antara lain untuk itulah manusia dianugerahi-Nya kebebasan bertindak,
memilah dan memilih.” 5
3
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: PT.
Syaamil Cipta Media), h. 143.
4
Tafsir Al-Misbah, “Toleransi Untuk Mencapai Toleransi,” artikel diakses pada 21 Juni
2013 dari http://lampost.com.
5
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Vol 5
(Jakarta: Lentera Hati, 2009), h. 785.
3
Demikian pentingnya keterampilan berkomunikasi ini akan sangat
disadari bagi setiap orang, baik individu maupun sosial. Terlebih ketika
orang-orang tersebut berada dalam lingkungan baru, dengan manusiamanusia baru dan kebiasaan (budaya) baru. Orang-orang itu secara sadar
maupun tidak akan memikirkan tentang kebiasaan dari lingkungan lamanya.
Mereka akan berusaha bagaimana cara menyeimbangkan kebiasaan lama
dengan kebiasaan baru yang dihadapi. Usaha tersebut dilakukan untuk dapat
berkomunikasi dengan baik. Di sinilah proses pertukaran budaya tidak bisa
dihindari. Karena
pada dasarnya, lingkungan baru bagi seseorang yang
berbeda budaya sarat dengan kegagalan, baik dari segi bahasa, dan bahkan
maksud dari penyampaian pesan itu sendiri.6
Setiap sesuatu yang berkaitan dengan cara hidup manusia adalah
budaya. Setiap manusia pun akan berusaha berada dalam tatanan budaya
tersebut. Misalnya cara berbicara, kebiasaan makan dan minum, bahasa
sehari-hari, dan kegiatan agama tertentu. Hal tersebut merupakan hasil dari
penyesuaian serta respons manusia, baik individu maupun sosial, terhadap
pola-pola budaya yang dikenalnya. Mereka lahir dan dibesarkan dalam bentuk
budayanya masing-masing.7
Dalam kajian komunikasi antarbudaya, kita mengenal dengan
subbudaya, yaitu komunitas yang menjadi pembeda dengan subkultur lainnya.
Dalam kebudayaan masyarakat yang ada dalam lingkungan tempat tumbuh
berkembangnya komunitas tersebut ataupun di tempat lain. Adapun yang
6
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi
dengan Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009), h. 179.
7Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya Panduan Berkomunikasi
dengan Orang-orang Berbeda Budaya, h. 18.
4
menjadi pembeda pada komunitas subbudaya adalah ras, etnik, regional,
ekonomi, dan bahkan prilaku sosial yang menjadikan ciri tersendiri bagi
komunitas tersebut.8
Salah satu fenomena yang dapat kita temukan dalam kelompok
masyarakat atau golongan tertentu adalah folklor. Yaitu cerita rakyat yang
lahir dari zaman ke zaman dalam kurun waktu yang cukup lama. Sampai saat
ini masih banyak ditemukan folklor yang tersebar di seluruh Indonesia.
Terbentuknya folklor bermula dari kelompok-kelompok tertentu. Tumbuh
secara turun temurun serta akan menyisakan cerita. Cerita itu kemudian akan
diwariskan melalui proses yang cukup lama dari mulut ke mulut. Adanya
folklor ini menjadi sebuah tatanan sosial bagi masyarakat yang menjalaninya.9
Pada prosesnya, folklor tentu berkisar dalam kurun waktu yang lama.
Bisa sampai dengan ratusan tahun lamanya. Sebagai contoh, penulis
menggambarkan dalam kebiasaan penulis sendiri. Dalam keluarga penulis ada
banyak peraturan semi resmi yang dianut bersama-sama oleh anggota keluarga
penulis. Misalnya tidak boleh duduk di pintu dengan alasan menurut keluarga
penulis katanya mempersulit rezeki. Cerita ini akan menyisakan adat dari
pengikutnya yang telah lama menggejala dan dilakukan secara turun temurun
pula. Semua yang mengikuti apa yang telah menjadi kebiasaan dari pengikut
sekelompok tersebut secara tidak langsung telah dipengaruhi oleh peraturan
adat tersebut.
8
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi
dengan Orang-orang Berbeda Budaya, h. 18.
9
Supanto dkk, Risalah; Sejarah dan Budaya Seri Folklor (Yogyakarta: Balai Penelitian
Sejarah dan Budaya, 1981-1982), h. 48.
5
Sejalan dengan pernyataan Margarete Schweizer, bahwa kebudayaan
daerah memberikan pengaruh besar atas kehidupan sosial, tingkah laku dan
bahkan sampai pada pendirian hampir setiap orang Indonesia sekarang.
Menurutnya, hal ini dapat dilihat dari bahasa keseharian, struktur ekonomi,
gaya interaksi, norma-norma, dan pemikiran serta sejarah sosial.10
“Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” merupakan salah satu bentuk
folklor yang penulis temukan. Terjadinya folklor tersebut tepatnya di daerah
Serpong Kelurahan Cilenggang, Tangerang Selatan. Haul secara bahasa dapat
diartikan dengan kekuatan, kekuasaan, serta selamatan arwah yang dilakukan
rutin setiap satu tahun sekali.11 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), Haul berarti peringatan hari wafat seseorang yang diadakan setahun
sekali (biasanya disertai selamatan arwah).12 Dalam konteks ini, kita dapat
mengambil pengertian yang terakhir, yaitu selamatan arwah yang dilakukan
secara rutin setiap satu tahu sekali.
“Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini memang dilakukan setiap satu
tahun sekali. Dilakukan setiap tanggal 14 Rabi’ul Awal pada perhitungan
tahun Hijriah setiap tahunnya. Adapun pada perhitungan tahun Masehi kali ini
bertepatan pada tanggal 25 Januari 2013 yang lalu. Tidak diketahui pasti
kapan awal dimulainya kegiatan Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug ini.
Diperkirakan telah berlangsung sekitar 400 tahun yang lalu.13
10
Dikutip dari Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya
Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2009), h. 215.
11
Ananda Santoso dan A.R. Al Hanif, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya:
Alumni), h. 147.
12
Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 393.
13
Wawancara Pribadi dengan Sos Rendra, Tangerang Selatan, 28 Mei 2013.
6
Keramat Tajug adalah tempat pemakaman keluarga dari kerajaan
pangeran Tirtayasa pada zaman kerajaan Banten. Bentuk geografis
pemakaman tersebut seperti bukit kecil yang orang setempat menyebutnya
gunung Puyuh. Terdapat sebuah tajug atau musala,14 dalam istilah bahasa
setempat. Di dalamnya terdapat makam pangeran Tubagus Atief,
putra
keenam dari pangeran Tirtayasa.
Kegiatan tahunan ini dimulai dari pencucian benda-benda pusaka
peninggalan Tubagus Atief (1651). Masyarakat setempat menyebutnya
“Nyiraman” atau cuci pusaka. Kemudian disambung dengan warna-warni
kemeriahan pawai obor. Adapun puncak dari kegiatan Haul “Cuci Pusaka
Keramat Tajug” ini adalah pembacaan tahlil dan pembacaan Maulid Nabi. Hal
ini dilakukan untuk mengenang perjuangan Tubagus Atief pada masa
hidupnya. Bersamaan dengan pembacaan tahlil dilakukan juga pencucian
pusaka tutup pusar Tubagus Atief (1651).
Menjadi ketertarikan tersendiri bagi penulis, karena di tengah kota
besar yaitu di daerah Serpong Tangerang Selatan terdapat folklor semacam ini
yang mampu dipertahankan. Masyarakat sekitar yang kehidupannya tergolong
masyarakat modern (Mitropolite) memiliki kebudayaan yang beragam. Hal ini
terjadi karena masyarakat yang ada di kelurahan Cilenggang sangat antusias
dengan kegiatan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini. Kegiatan tersebut
kemudian mencirikan bahwa masyarakat Cilenggang sudah termasuk kategori
masyarakat yang mempunyai keragaman budaya (multibudaya). “Haul Cuci
Pusaka Keramat Tajug” ini kemudian dengan apik dikemas oleh pihak panitia
14
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia musala berarti tempat salat, langgar, surau,
tikar salat, sajadah.
7
sebagai ajang peringatan haul dan pencucian pusaka peninggalan Tubagus
Atief. Kegiatan ini diikuti oleh masyarkat Cilenggang dan sekitarnya.
Dari latar belakang ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dan pengkajian mendalam dalam bentuk skripsi dengan judul “Komunikasi
Antarbudaya Melalui Folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” di
Kelurahan Cilenggang Serpong Tangerang Selatan.”
B. Identifikasi, Batasan, Rumusan Masalah dan Pernyataan Peneliti
1. Identifikasi Masalah
Folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” bercirikan tradisional
yang kental dengan kekuatan supranatural. Banyak praktik yang menurut
penulis masih berbau mistis, seperti pembakaran dupa, kembang tujuh
rupa, tumpeng, dan aneka makanan tradisional lainnya. Akan tetapi ada
kemungkinan bentuk supranatural ini sudah tidak lagi dijadikan fokus
dalam pelaksanaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.” Melihat dari mata
acara yang terlaksana, maka tujuan dari terlaksananya acara ini adalah
bagaimana masyarakat setempat ikut serta dalam pelaksaan “Haul Cuci
Pusaka Keramat Tajug” dan berpartisipasi dalam kegiatan haul, terutama
pada saat acara puncak, yaitu malam tanggal 15 bulan Ramadhan.
Pada pelaksanaannya, folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug”
melibatkan beberapa lapisan masyarakat sekitar yang termasuk dalam
kategori masyarakat multibudaya. Budaya-budaya tersebut meliputi Jawa,
Sunda, dan Betawi. Oleh karena itu, sangatlah mungkin kegiatan ini
melibatkan beberapa budaya atau terjadi komunikasi antarbudaya,
sehingga penulis dapat mengidentifikasi, bahwa dengan dikemasnya
8
folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” sedemikian rupa, maka sangat
mungkin folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” menjadi media
komunikasi antarbudaya bagi masyarakat di kelurahan Cilenggang.
2. Batasan Masalah
Guna mempermudah dan memperjelas proses penelitian, maka
penulis membatasi masalah pada proses komunikasi antarbudaya yang
terjadi pada folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” di kelurahan
Cilenggang Serpong Tangerang Selatan sebagai media komunikasi.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
utama dalam penulisan ini adalah bagaimana bentuk komunikasi
antarbudaya melalui folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” di
kelurahan Cilenggang kecamatan Serpong Tangerang Selatan?
Dari pertanyaan utama di atas, penulis memberikan beberapa
pertanyaan berikutnya sebagai pertanyaan turunan. Adapun bentuk
pertanyaannya penulis merumuskan sebagai berikut:
a. Seperti apa komunikasi antara etnis yang berbeda yang terjadi pada
perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug”?
b. Mengapa ada komunikasi antara subkultur yang berbeda, dan seperti
apa komunikasi antara subkultur yang berbeda pada perayaan folklor
“Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug”?
c. Komunikasi seperti apakah yang terjadi pada perayaan “Folklor Haul
Cuci Pusaka Keramat Tajug” antara subkultur dengan kultur yang
dominan, antara jenis kelamin yang berbeda, dan komunikasi kaum
tradisionalis dengan kaum modernis?
9
4. Pernyataan Peneliti
Ditinjau dari letak kelurahan tempat diadakannya folklor “Haul
Cuci Pusaka Keramat Tajug”
ini, penduduknya merupakan penduduk
pendatang. Mereka adalah orang-orang yang berpindah dari tempat semula
atau tempat asal mereka menuju Cilenggang. Oleh karena itu dapat
diidentifikasikan, bahwa tempat tersebut sangat memungkinkan terjadinya
komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya tersebut lalu akan
mengacu pada upaya mempertahankan diri dari memudarnya nilai-nilai.
Folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” sebagai sarana
komunikasi antarbudaya pada masyarakat di kelurahan Cilenggang
Serpong Tangerang Selatan mempunyai tujuan tertentu dan diperkuat
dalam aturan-aturan budaya tertentu. Dari budaya yang mereka pertahankan
dalam kegiatan tersebut diharapkan mampu menghasilkan budaya yang
secara mendalam dapat dimanfaatkan sebagai sarana pemersatu bagi
masyarakat sekitar.
Budaya yang terlibat di dalamnya yaitu budaya Jawa, budaya Sunda
dan budaya Betawi. Dari ketiga budaya yang tergabung ini dipersatukan
dalam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug,” sehingga dalam folklor
“ Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” terjadi komunikasi antarbudaya.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui folklor
dalam komunikasi antarbudaya yang digunakan sebagai media komunikasi
untuk masyarakat yang ada di kelurahan Cilenggang Serpong Tangerang
10
Selatan dan dibangun dengan sistem komunikasi antarbudaya pula. secara
khusus, penulisan ini dimaksudkan pula untuk mengetahui:
a. Komunikasi antarbudaya secara luas menurut teori Komunikasi Antar
Budaya oleh Andi Faisal Bakti.
b. Komunikasi antarbudaya secara luas menurut teori Joseph A. Devito.
c. Komunikasi antar etnis yang berbeda pada folklor “Haul Cuci Pusaka
Keramat Tajug.”
d. Komunikasi antara subkultur yang berbeda pada folklor “Haul Cuci
Pusaka Keramat Tajug.”
e. Komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda yang terjadi pada saat
folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.”
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penulisan ini terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penulisan ini dapat menambah daftar referensi bagi
pengembangan ilmu komunikasi antarbudaya, terutama bagi jurusan
Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Universitas Islam Negri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi
dokumen ilmiah serta sebagai bahan informasi bagi mahasiswa dalam
upaya pengembangan keilmuan, terlebih dalam bidang komunikasi dan
komunikasi antarbudaya.
b. Manfaat Praktis
Dari penulisan ini, diharapkan mampu memberikan masukan
kepada para praktisi yang bergerak di bidang komunikasi. Penulisan
ini diharapkan pula dapat menambah wawasan serta dapat menjadi
11
pelajaran bagi masyarakat sosial dalam menjalankan adat sosial yang
ada. Bagi kaum muslim, dapat menjadi bahan gambaran di mana nilainilai adat sosial yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam dapat
dilestarikan. Untuk para praktisi dakwah, penulisan ini merupakan
gambaran di mana nilai-nilai murni Islam dapat disampaikan melalui
adat atau kebudayaan yang ada, seperti yang terjadi dalam folklor
“Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.”
D. Skripsi Terdahulu
Sebelum memastikan judul dan masalah yang akan diteliti, penulis terlebih
dahulu malakukan tinjauan skripsi terdahulu, utamanya di perpustakaan
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), banyak
skripsi yang penulis temukan dengan jenis penulisan yang sama, diantaranya:
1.
Skripsi Iin Afrianti, NIM: 107051002443, Jurusan Komunikasi Penyiaran
Islam (KPI), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
di bawah bimbingan Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA. Ph.D. dengan judul
“Pesta
Lomban
Sebagai
Fungsi
Media
Komunikasi
Rakyat
Masyarakat Pesisir Kabupaten Jepara dalam Menyampaikan Pesan
Dakwah”.15 Secara garis besar skripsi ini sama-sama tergolong ke dalam
ranah penelitian komunikasi antarbudaya. Objek dalam skripsi yang
ditulis oleh Iin Afrianti ini jelas berbeda dengan penelitian yang penulis
lakukan.
15
Iin Afrianti, “Pesta Lomban Sebagai Fungsi Media Komunikasi Rakyat Masyarakat
Pesisir Kabupaten Jepara dalam Menyampaikan Pesan Dakwah,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Jakarta, 2011), h. 7.
12
2.
Skripsi yang ditulis oleh Yogyasmara. P. Ardhi, NIM: 106051001901,
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, di bawah bimbingan Dr. H. A. Ilyas Ismail,
MA. dengan judul “Wayang Kulit sebagai Media Dakwah: Studi pada
Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang.”16
Skripsi ini hampir sama dengan skripsi yang penulis tulis ini dari segi
arus komunikasinya. Baik skripsi Yogyasmara P. Ardhi maupun skripsi
penulis, sama-sama menginterpretasikan sebuah kebudayaan daerah yang
dikonsumsi oleh masyarakat sekitar sebagai objeknya. Dalam skripsi
Yogyasmara. P. Ardhi jelas berbeda dengan skripsi yang saya tulis, baik
dari subjek maupun objek penelitiannya.
3.
Skripsi yang ditulis oleh Ega Maulana, NIM: 107051002248, di bawah
bimbingan Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA. Ph.D. dengan judul Fungsi
Folklor
“Hajat
Antarbudaya
bagi
Bumi
Keramat
Masyarakat
Ganceng”
Urban
di
dalam Komunikasi
Kelurahan
Pondok
Ranggon Jakarta Selatan.”17 Skripsi yang ditulis Ega Maulana ini
mempunyai kesamaan dalam ranah penelitiannya dengan skripsi penulis.
Skripsi Ega Maulana dengan skripsi yang penulis tulis sama-sama dalam
ranah komunikasi antarbudaya dan sama-sama dalam cakupan folklor.
Adapun perbedaannya terletak pada analisis yang dilakukan dalam
penelitian Ega Maulana berfokus pada fungsi folklor, sedangkan dalam
skripsi penulis, analisisnya berfokus pada bentuk komunikasi antarbudaya
16
Yogyasmara. P. Ardhi, “Wayang Kulit sebagai Media Dakwah: Studi pada Wayang
Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi, UIN Jakarta, 2011), h. 5.
17
Ega Maulana, “Fungsi Foklor “Hajat Bumi Keramat Ganceng” dalam Komunikasi
Antarbudaya bagi Masyarakat Urban di Kelurahan Pondok Ranggon Jakarta Selatan,” (Skripsi S1
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Jakarta, 2011), h. 6-7.
13
yang dibangun dari folklor. Selain dari itu tentu berbeda dari segi subjek
dan objek penelitiannya.
E. Metodologi Penelitian
Metodologi berasal dari bahasa Yunani yaitu methodologhia yang secara
harfiah bermakna teknik atau cara. Secara garis besar metodologi dapat
diartikan dengan general logic atau pemikiran umum serta dapat diartikan pula
dengan theoretic perspective atau gagasan teoritis.18
Dalam sebuah penulisan, metodologi dapat diartikan dengan sebuah
teknik atau cara yang digunakan. Kemudian cara itu mengantarkan penulis
kepada arah analisis data yang telah didapatkan. Hasil dari analisis tersebut
kemudian akan menjadi sebuah konfirmasi atas teori yang digunakan atau
bahkan akan menjadi sebuah penemuan baru.19
Ada sedikit perbedaan antara pengertian kata metodologi dengan metode
yang harus kita pahami. Kedua kata ini sering diartikan sama oleh kebanyakan
orang. Pengertian kedua kata tersebut berbeda dalam konteks penelitian.
Metodologi lebih kepada pemikiran secara umum (general logic), atau lebih
kepada gagasan teoritis (theoritical perspective), sedangkan metode yaitu
teknik yang digunakan pada saat penulisan misalnya teknik wawancara.
Jelasnya metodologi lebih bersifat umum dan metode bersifat khusus.20
18
J. R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif Janis, Karakter dan Keunggulannya
(Jakarta: PT Grasindo, 2010), h. 1.
19
J. R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif Janis, Karakter dan Keunggulannya
(Jakarta: PT Grasindo, 2010) , h. 1.
20
J. R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif Janis, Karakter dan Keunggulannya
(Jakarta: PT Grasindo, 2010), h. 1.
14
1.
Bingkai Teori
Menjadi keharusan dalam sebuah penelitian bagi seorang peneliti untuk
menentukan teori sebagai sebuah bingkai penelitian. Dalam penelitian ini,
peneliti akan menjadikan rumusan kerangka teori sebagai pijakan sebuah
penelitian ilmiah yang dilakukan dalam skripsi ini. Adapun teori yang akan
digunakan dalam skripsi ini adalah teori teori Joseph A. Devito dan Andi
Faisal Bakti. Teori Andi Faisal Bakti ada dua macam yaitu teori tujuh dan
teori dua puluh.21
Adapun teori Joseph A. Devito adalah teori yang diambil peneliti untuk
mengklasifikasikan bentuk komunikasi antarbudaya yang ada pada
perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” Cilenggang Serpong
Tangerang Selatan. Komunikasi antarbudaya menurut Joseph A. Devito
berjumlah delapan.22
Berikut macam-macam teori Joseph A. Devito secara singkat:
1. Komunikasi antarbudaya.
2. Komunikasi antara ras yang berbeda.
3. Komunikasi antara kelompok etnis yang berbeda.
4. Komunikasi antara kelompok agama yang berbeda.
5. Komunikasi antara bangsa yang berbeda.
6. Komunikasi antara subkultur yang berbeda.
7. Komunikasi antara subkultur dengan kultur yang dominan.
8. Komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda.23
21
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program (Jakarta: INIS, 2004), h. 128.
22
Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia. Penerjemah Agus Maulana (Jakarta:
Profesional Books, 1997), h. 480-481.
23
Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia. Penerjemah Agus Maulana (Jakarta:
Profesional Books, 1997), h. 480-481.
15
Dari delapan jenis-jenis budaya menurut Joseph A. Devito peneliti akan
menggabungkan dengan teori tujuh dari Andi Faisal Bakti. Berikut macammacam teori tujuh secara singkat:
1. Komunikasi antara muslim dengan non muslim.
2. Komunikasi antara militer dengan sipil.
3. Komunikasi antara Jawa dengan non-Jawa.
4. Komunikasi antara pribumi dengan nonpribumi.
5. Komunikasi antara tradisionalis dengan modernis.
6. Komunikasi antara kelompok sekuler dengan Islam.
7. Komunikasi antara lelaki dengan perempuan.24
Setelah
pengklasifikasian
dilakukan
kemudian
peneliti
akan
menganalisis komunikasi antarbudaya yang terjadi dengan teori dua puluh.
Berikut macam-macam terori dua puluh:
1. Etre pense par sa culture lawannya adalah Penser sa culture
2. Heriter la culture lawannya adalah Acquerir la culture
3. Submission lawannya adalah Egalitarian/Emancipation
4. Adoration of scriptures lawannya adalah Interpretation of scriptures
5. Textualist lawannya adalah Contextualist
6. Geminschaft lawannya adalah Gesellschaft
7. Reproduction lawannya adalah Creation and trust in foregners
8. Fundamentalism lawannya adalah Rationalism/Secularization
9. Geoprapical immobility lawannya adalah Geigrapical mobility
10. Je me souviens lawannya adalah Deracinement
24
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program (Jakarta: INIS, 2004), h. 128.
16
11. Paganism (idol woeshipping) lawannya adalah Monoteism (idol
destruction)/Humanism (God created by humans)
12. Imposition/ Holy war/ Proseliytism lawannya adalah Negotiation
13. Nationalism/ Tirbalism lawannya adalah universalism/ internationalism
14. Orthodoxy/ Traditionalism lawannya adalah Protestantism/ Modernism
15. Sectaria communitarianism lawannya adalah Global communitarianism
16. Cul./Lang./Competence/Inheritence lawannya adalah
Cul./Lang./Competence acquisition
17. Dependency/Egoism lawannya adalah Interdepency/Solidarty
18. Exclusivism lawannya adalah Inclusifsm
19. Vernacular language lawannya adalah Vahicular language
20. Parochialism lawannya adalah Flexibility25
Dari dua puluh teori yang ada, peneliti akan melakukan analisis dengan
keadaan masyarakat pada acara folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug”
Cilenggang Serpong Tangerang Selatan.
Adapaun gambaran teori tersebut sebagai berikut:
25
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program (Jakarta: INIS, 2004), h. 128.
17
Bagan 1.1.
Bagan 1.1. Bingkai Teoritis
KOMUNIKASI
ANTARBUDAYA
(KAB)
JOSEPH
A.
DEVITO
(1997)
6. Komunikasi antara
jenis kelamin yang
berbeda
1. Komunikasi
antara kelompok
etnis yang berbeda
MASYARAKAT (SUNDA, BETAWI, JAWA) PADA
PERAYAAN FOLKLOR “HAUL CUCI PUSAKA
KERAMAT TAJUG” CILENGGANG SERPONG
TANGERANG SELATAN
5. Komunikasi
antara subkultur
dengan kultur
dominan
2. Komunikasi
antara subkultur
yang berbeda
ANDI FAISAL BAKTI
(2010)
4. Komunikasi antara
tradisionalis dengan
modernis
3. Komunikasi antara
lelaki dengan
perempuan
(2010)
FOLKLOR
“HAUL CUCI PUSAKA KRAMAT TAJUG”
KELURAHAN CILENGGANG SERPONG
1. Etre pense par sa
culture Vs Penser sa
culture
5. Vernacular language
Vs
Vahicular language
2. Heriter la culture
Vs Acquerir la culture
ANDI FAISAL BAKTI
(2004)
4. Geminschaft Vs
Gesellschaft
3. Adoration of scriptures
Vs Interpretation of
scriptures
Sumber: Joseph A. Devito 1997 dan Andi Faisal Bakti 2004 dan 2010.26
26
Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia. Penerjemah Agus Maulana (Jakarta:
Profesional Books, 1997), h. 480-481. Dan Andi Faisal Bakti, Communication and Family
Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perception of a Global Development
Program (Jakarta: INIS, 2004), h. 128.
18
Dari bagan teori 1.1. di atas dapat dijelaskan bahwa peneliti akan
menganalisis bentuk komunikasi antarbudaya yang terjadi di kelurahan
Cilenggang Serpong Tangerang Selatan melalui folklor “Haul Cuci Pusaka
Keramat Tajug.” Peneliti akan mengklasifikasikan jenis-jenis komunikasi
antarbudaya terlebih dahulu. Setelah menemukan jenis-jenis komunikasi
antarbudaya yang terjadi pada masyarakat yang terlibat pada perayaan
folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” di kelurahan Cilenggang
Serpong Tangerang Selatan, peneliti kemudian akan menganalisisnya
dengan teori Andi Faisal Bakti, yakni teori dua puluh. Pada penelitian tahap
ini peneliti berfokus pada folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.”
Dalam
tahap
analisis
jenis-jenis
budaya
yang
ada,
peneliti
menggabungkan teori Joseph A. Devito dengan teori Andi Faisal Bakti.27
Dari delapan teori menurut Joseph A. Devito peneliti menemukan empat
jenis saja. Sedangkan pada teori Andi Faisal Bakti, dari tujuh jenis
komunikasi antarbudaya, peneliti hanya melihat ada dua temuan saja di
lapangan.28 Pada bagan 1.1, peneliti menggabungkan antara teori Joseph A.
Devito dengan Andi Faisal Bakti dengan garis hitam. Garis hitam pada
bagan merupakan penghubung antara kedua teori tersebut. Untuk
mempermudah, peneliti membedakan warna antara kedua teori tersebut.
Pada teori Joseph A. Devito berwana biru muda. Sedangkan pada teori
Andi Faisal Bakti berwarna merah kecoklat-coklatan. Sedangkan warna
biru muda peneliti buat untuk menyamakan antara penggabungan teori.
27
28
Lihat bagan 1.1. h. 17
Lihat bagan 1.1. h. 17
19
Antara kedua teori Joseph A. Devito dan teori Andi Faisal Bakti (teori
delapan dan teori tujuh) peneliti melihat ada satu teori yang sama yaitu
pada komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda. Andi Faisal Bakti
menyebutnya komunikasi antara laki-laki dan perempuan.
2.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan
pendekatan kualitatif dan pendekatan etnografi dengan terjun langsung ke
lapangan. Menurut Bogdan dan Taylor menyebutkan bahwa pendekatan
dengan deskriptif kualitatif ini dengan perolehan data yang berupa katakata yang tertulis atau secara lisan dari mulut ke mulut dan prilaku yang
bisa diamati.29
Sedangkan etnografi adalah metode yang biasa digunakan oleh
seorang peneliti dalam usaha pendekatannya terhadap folklor. Etnografi
berasal dari bahasa Yunani ethos dan graphos yang berarti tulisan
mengenai kelompok budaya. Menurut Le Clompte dan Schensul etnografi
adalah metode penelitian yang berguna untuk menemukan pengetahuan
yang terdapat atau terkandung dalam suatu budaya atau komunitas
tertentu. Etnografi memang bagian dari metode kualitatif. Akan tetapi,
etnografi lebih mengarah pada penelitian kebudayaan.30
Dalam penelitian ini peneliti telah melakukan beberapa persiapan
mengingat objek dalam penelitian ini adalah folklor. Peneliti dari jauh
hari telah melakukan persiapan yakni melakukan observasi awal. Di
antara persiapan yang peneliti lakukan yaitu mencari informasi jadwal
29
Lexi J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif
(Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya,1999), h. 3.
30
Marguerite G. Lodico, Dean T. Spaulding, Katherine H. Voegtle, Methods in
Educational Research From Theory to Practice (San Fransisco: Jossey Bass, 2006), hlm. 268.
20
dilaksanakannya folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug,” kemudian
meminta izin kepada pihak keluarga besar Tubagus Atief untuk ikut serta
dalam folklor tersebut, serta mempersiapkan foto kamera digital untuk
kebutuhan dokumentasi. Setelah
itu kemudian melakukan tinjauan
pustaka guna menentukan serta memastikan judul yang akan digunakan
peneliti dalam kaitannya dengan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat
Tajug” ini.
Serangkaian persiapan tersebut di atas dilakukan guna menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan oleh peneliti.
“Folklor itu ada pemiliknya serta adakalanya berada di suatu daerah yang sukar
dicapai, sehingga untuk ke sana saja sudah memerlukan banyak biaya, belum lagi
bahaya-bahaya yang mengancam keselamatan peneliti yang kurang mengadakan
persiapan diri. Hambatan yang lebih sukar lagi untuk dihadapi adalah datang dari
pemilik suatu Folklor, kepercayaan, misalnya, pemilik Folklor akan curiga
apabila pendekatan yang dilakukan oleh seorang peneliti tidak patut. Pendekatan
yang salah dapat menimbulkan antipati pemilik kepercayaan kepada peneliti.
Akibatnya, pemilik kepercayaan itu akan menolak untuk menceritakannya dan
apabila dipaksa mereka akan membohonginya. Keadaan yang sama akan menjadi
lebih sulit lagi apabila bentuk Folklor itu adalah bahasa rahasia.”31
Untuk menjaga agar terhindar dari permasalahan seperti yang peneliti
kutip di atas, peneliti telah melakukan persiapan-persiapannya.
3.
Subjek dan Objek Penelitian
Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah msyarakat
setempat kelurahan Cilenggang, Serpong Tangerang Selatan, di sinilah
peneliti mendapatkan data dan keterangan mengenai penelitian ini.
Sedangakan objek dalam penelitian ini adalah fenomena folklor yang
terjadi dan dikemas sehingga dapat digunakan sebagai media komunikasi
dalam ranah komunikasi antarbudaya.
31
Dikutip dari Setya Yuwana Sudikan, “ Ragam Metode Pengumpulan Data: Mengulas
Kembali Pengamatan, Wawancara, Analisis Life History, Aanalisis Folklor,” dalam Burhan
Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian
Kontemporer (Jakarta: Karisma Putra Utama, 2004), h. 74.
21
4.
Teknik Pengumpulan Data
Mengumpulkan data menjadi tujuan utama bagi setiap peneliti,
sebelum akhirnya data dianalisis dan mendapatkan sebuah kesimpulan.
Dalam mengumpulkan data, tentu dibutuhkan teknik atau cara agar mudah
dan sesuai dengan kriteria ilmiah yang berlaku. Jika hal itu tidak
diperhatikan oleh seorang peneliti, maka seorang peneliti tidak akan
menemukan data yang sesuai dengan standar keilmiahannya.32
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara
alamiah (natural setting), serta sumber data primer, yaitu data yang didapat
langsung dari sumbernya. Adapun praktiknya dilakukan dengan cara
observasi peran serta, wawancara mendalam, serta dengan dokumentasi.33
Penjelasan mengenai pengumpulan data yang telah dilakukan oleh
peneliti yaitu sebagai berikut:
a. Observasi
Secara sederhana observasi dapat diartikan dengan keterlibatan
langsung peneliti dalam objek yang akan diteliti dengan menggunakan
alat bantu berupa catatan kecil mengenai kejadian, lembar
pengamatan, dan lain-lain. Dari pengertian ini dapat disimpulkan
bahwa observasi adalah pengamatan dan pencatatan terhadap
fenomena yang terjadi dengan sistematis.34
Dalam penelitian ini, peneliti berperan secara aktif. Dalam
perayaan Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug peneliti dipercaya pula
32
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,
2009), h. 224.
33
Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metode Penetitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta,
2010), h. 146.
34
Dedy Mulyana, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Rosda Karya, 2002), h.
181.
22
untuk menjadi panitia. Peneliti berperan aktif untuk mengambil
gambar pada momen-momen penting pada saat perayaan ini
berlangsung. Selain dari itu sudah pasti pada proses pembuatan skripsi
ini peneliti berperan sebagai perencana, pelaksana, pengumpul data,
penganalisis, penafsir data, dan pelapor hasil penelitian. Inilah yang
dimaksud dengan instrumen yang fleksibel dan adaptif, yakni
penggunaan pancaindra dalam memahami fenomena yang ada di
lapangan.
b. Wawancara
Menurut Maleong, dalam bukunya Metodologi Penulisan Kualittif,
pengertian wawancara adalah percakapan yang mempunyai maksud
tertentu, dilakukan oleh dua pihak dengan pertanyaan tertentu dan
memberikan jawaban tertentu.35
Narasumber dalam penelitian ini terbagi menjadi beberpa pihak yaitu:
1) Dari Pihak Makam Keramat Tajug
Dari pihak makam keramat tajug yaitu Bapak H. Mu’in (1972)
dan Bapak Tubagus Sos Rendra (1970). Beliau juga sebagai
sesepuh dan tokoh agama setempat serta bagian dari keluarga atau
keturunan Tubagus Atief. Sumber inilah yang dijadikan sumber
utama peneliti.
2) Dari Pihak Kelurahan
Sumber dari pihak kelurahan diperoleh dari bapak lurah
Cilenggang yaitu Bapak H. Mehdi Solihin (1969) dan Sekretaris
Kelurahan Cilenggang yaitu Bapak D. Umar Dhani (1973).
35
Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Rosda Karya, 1999), h. 186.
23
3) Tokoh Agama dan Tokoh Adat Setempat
tokoh yang dijadikan sumber mewakili tokoh agama adalah Ust. H.
Ghazali (1967), beliau yang memimpin pembacaan Maulid Nabi
pada saat perayaan berlangsung.
4) Masyarakat Sekitar
Peneliti memilih masyarakat yang terlibat dalam kepanitiaan dan
dalam proses acara perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat”
Tajug, beliau di antaranya, bapak Ison (1983) dan bapak Abdul
Munib (1988) dan Bapak Maulana (1984). Peneliti memilihnya
secara acak.
5.
Pengumpulan Dokumentasi
Pengumpulan
dokumentasi
yaitu
pengumpulan
catatan
yang
diungkapkan dalam bentuk tulisan, lisan dan bentuk karya yang berhasil
didokumentasikan oleh pihak tertentu.36 Selanjutnya dokumen yang telah
terkumpul akan diolah dengan pola analisis. Dokumen yang dimaksud
dalam sebuah penelitian adalah berupa dokumen tertulis, dokumen gambar
(foto), dan dokumen elektronik.
Ketiga teknik inilah yang akan digunakan oleh peneliti dalam
pembuatan skripsi ini.
6.
Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif tidak ada instrumen penelitian yang dapat
digunakan secara tepat untuk dapat mengungkapkan data-data kualitatif.
Dalam penelitian ini peneliti menjadi instrumen. Dalam penelitian kualitatif
36
Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metode Penetitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta,
2010), h. 148.
24
peneliti tentu mempunyai keunggulan sendiri karena dengan terlibatnya
peneliti dalam sebuah penelitian dapat bersifat fleksibel dan adaptif.37
7.
Teknik Keabsahan Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik triangulasi.
Triangulasi adalah pelibatan data lain di luar data dalam penelitian sebagai
pembanding dalam pengecekan keabsahan data tersebut.38
Menurut Norman K. Denkin ada beberapa jenis triangulasi dalam
penelitian, yaitu:
a. Triangulasi Metode
Adalah
pengolaborasian
metode
yang
di
dalamnya
meliputi
penggabungan antara metode wawancara, survei dan observasi. Dalam
penelitian ini survei dilakukan seminggu sebelum acara.
b. Triangulasi Peneliti dengan Peneliti (antarpeneliti)
Yaitu penggabungan antara peneliti dengan peneliti lain dalam hal
pengupulan data, dan analisis
data. Ini penting apabila penelitian
dilakukan dengan kelompok. Dalam penelitian ini triangulasi
antarpeneliti tidak dilakukan. Penelitian ini dilakukan secara individu.
c. Triangulasi Sumber
Adalah penggabungan sumber data yang diperoleh peneliti dari
berbagai hal dan berbagai pihak dan berbagai metode selain metode
observasi, survei dan observasi di atas, bisa dengan penggabungan
dengan dokumn yang berkaitan dengan objek penelitian yang diteliti.
37
Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metode Penetitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta,
2010), h. 62.
38
Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metode Penetitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta,
2010), h. 178.
25
Dokumen tersebut bisa berupa arsip, catatan sejarah, foto, gambar,
peninggalan-peninggalan, dan lain-lain yang dianggap berkaitan dengan
penelitian.
d. Triangulasi Teori
Adalah penggunaan beberapa teori dalam analisis data. Dalam
penelitian ini peneliti mengolaborasikan teori Joseph A. Devito dan
Andi Faisal Bakti. Hal ini dimaksudkan agar peneliti terhindar dari asas
individual dalam analisis data. Peneliti dituntut untuk bersifat objektif.39
Bentuk-bentuk triangulasi di atas digunakan oleh peneliti. Kecuali
triangulasi antarpeneliti yang tidak digunakan dalam penelitian ini.
Penggunaan metode triangulasi ini digunakan untuk mengarahkan
penelitian ini pada titik kemaksimalan.
8. Analisis Data
Dalam menganalisis data sudah seharusnya data diolah dan dianalisis
sejak awal data didapat oleh peneliti mengingat penelitian ini dilakukan
secara kualitatif. Hal ini dilakukan agar data yang didapatkan tetap hangat
dan valid. Setelah melakukan analisis data, maka barulah dapat ditemukan
tema dan pernyataan tesisnya. Dalam penentuan pernyataan tesis, tentu
harus menyesuaikan dengan tujuan dan rumusan masalah yang sudah
ditentukan.
9. Alur Berpikir Data Kualitatif
Analisis pada penelitian ini lebih bersifat semantik, mengandalkan
eksplorasi bahasa sebagai representasi dari fenomena yang terjadi di
39
Prof. Dr. H. Mudjia Raharjo, “Triangulasi dalam Penelitian Kualitatif,” artikel diakses
pada 1 April, 2013 dari http://mudjiarahardjo.com/artikel/270.html?task=view.
26
lapangan. Prosses analisis pada penelitian ini bersifat induktif, dari khusus
ke umum. Peneliti lebih mengedepankan fenomena yang ada di lapangan
dari pada teori yang telah ada. Dalam penelitian dengan pendekatan
kualitatif terdapat alur berfikir dalam analisis data.40
Untuk
menjelaskan
bagaimana
alur
dalam
penelitian
dengan
pendekatan kualitatif dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagan 1.2.
PENELITI
TEMUANTEMUAN
BARU
FENOMENA /
KEJADIAN
ALAM
Foklor “Haul Cuci
Pusaka Kramat Tajug”
Masyarakat di
Kelurahan Cilenggang
PENCOCOKAN TEORI
INTERPRETASI DAN
ANALISIS
TEMUAN DAN
UJI TEORITIK
Sumber: www. kk.mercubuana.ac.id
Dari bagan di atas, proses analisis data pada penelitian ini akan
terkonstruk pada pola tersebut. Adapun penjelasan bagan dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Peneliti
Analisis dalam penelitian kualitatif dimulai dari peneliti. Proses awal
mengenai objek penelitian semua berawal dari peneliti. Sebelum
40
Ilham Prisgunanto, “Analisis Data Kualitatif,” artikel diakses pada 17 Maret 2013 dari
kk.mercubuana.ac.id.
27
penelitian masuk lebih jauh terhadap objek penelitian, biasanya muncul
tesis awal peneliti. Oleh karena itu tesis itu akan bersifat subyektif dari
peneliti.41
b. Memahami Fenomena
Setelah proses awal berjalan, selanjutnya yang menjadi tugas
peneliti adalah mencari tahu tentang gejala, peristiwa, sistem dan model
kerja apa yang digunakan dalam sebuah fenomena yang terjadi di
lapangan. Tidak cukup sampai di sini saja, bahkan alasan terjadinya
fenomena dengan berbagai gejala, peristiwa, sistem dan pola kerja
harus dijelaskan pula. Tentu hasil pengkajian akan berbeda-beda,
mengingat kemampuan analisis seseorang berbeda-beda pula. Hal ini
menjadi bukti bahwa penelitian kualitatif bergantung pada apa yang
menjadi anggapan awal seorang peneliti terhadap fenomena yang
terjadi.42
c. Interpretasi dan Analisis
Dalam penelitian kualitatif tahap selanjutnya setelah memahami
fenomena di lapangan adalah menafsirkan makna yang terkandung di
dalamnya. Berangkat dari tesis pribadi pada tahap pertama, kemudian
mengaitkan dengan fenomena dan menginterpretasikannya dengan
informasi yang diperolehnya. Dalam proses penginterpretasian, peneliti
akan sampai pada titik tatanan ideologis konteks kultural fenomena
yang terjadi dalam skripsi ini yaitu pada “Haul Cuci Pusaka Keramat
41
Ilham Prisgunanto, “Analisis Data Kualitatif,” artikel diakses pada 17 Maret 2013 dari
kk.mercubuana.ac.id.
42
Ilham Prisgunanto, “Analisis Data Kualitatif,” artikel diakses pada 17 Maret 2013 dari
kk.mercubuana.ac.id.
28
Tajug.” Adapun tujuan dari interpretasi pada bagian ini adalah bentuk
upaya untuk menemukan temuan baru dalam pengkajian dan penelitian
yang dilakukan.43
d.
Temuan dan Uji Teoritik
Pada bagian ini peneliti akan memaparkan hasil dari temuan di
lapangan. Hasil dari temuan di lapangan itu kemudian dijelaskan
mulai dari menarasikan, membuat model, dan mengujinya dengan
teori. Menurut Ilham Prisgunanto, dalam penelitian kualitatif analisis
tidak serumit seperti pada penelitian
kuantitatif, karena dalam
penelitian kualitatif bersifat makro. Penelitian kualitatif lebih luas cara
analisisnya.44
e.
Pencocokan Teori
Pencocokan teori yang dimakasud adalah usaha peneliti dalam
mencocokkan teori dari asumsi awal peneliti terhadap temuan di
lapangan, serta pendapat orang lain terdahulu. Banyak literatur yang
mengatakan, bahwa bagian ini hanya sebuah penafsiran data. Namun
asumsi-asumsi awal peneliti dan pendefinisian-pendifenisian yang
dilakukan peneliti secara teoritis akan menunjukkan benar atau
tidaknya asumsi awal peneliti setelah nanti disesuaikan dengan teori.45
f. Temuan Baru
Dari berbagai proses di atas, peneliti sudah dapat memaparkan
temuan yang peneliti hasilkan. Temuan baru yang dimaksudkan adalah
43
Ilham Prisgunanto, “Analisis Data Kualitatif,” artikel diakses pada 17 Maret 2013 dari
kk.mercubuana.ac.id
44
Ilham Prisgunanto, “Analisis Data Kualitatif,” artikel diakses pada 17 Maret 2013 dari
kk.mercubuana.ac.id.
45
Ilham Prisgunanto, “Analisis Data Kualitatif,” artikel diakses pada 17 Maret 2013 dari
kk.mercubuana.ac.id.
29
sesuatu yang tidak ditemukan oleh peneliti sebelumnya dan belum ada
dalam literatur keilmuan. Temuan itu dapat berbentuk model, sistem
atau pola kerja suatu fenomena. Hal tersebut menjadi bukti, bahwa
data yang didapatkan di lapangan benar-benar autentik.46
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini dibagi dalam lima bab. Setiap bab
dirinci ke dalam sub bab. Dalam bab satu berisi pendahuluan yang terdiri dari
latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, alur berpikir analisis data
kualitatif serta sistematika penulisan.
Adapun pada bab dua, peneliti akan membahas tentang pengertian
komunikasi dan komunikasi antarbudaya, pengertian budaya atau kebudayaan
serta pengertian folklor dan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.”
Sedangkan pada bab tiga, peneliti akan mengulas cerita singkat
perjuangan Tubagus Atief. Selain dari itu peneliti juga membahas tentang latar
belakang asal mula perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug,” prosesi
perayaan
“Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug,”
serta
keadaan
sosial
masyarakat kelurahan Cilenggang Serpong Tangerang Selatan.
Kemudian dalam bab empat, setelah peneliti mengolaborasikan teori
dan gambaran umum objek penelitian, maka peneliti akan membahas tentang
analisis terhadap folklor dalam komunikasi antarbudaya yang ada, dan
berlangsung pada perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” di
46
Ilham Prisgunanto, “Analisis Data Kualitatif,” artikel diakses pada 17 Maret 2013 dari
kk.mercubuana.ac.id
30
kelurahan
Cilenggang, Serpong, Tangerang Selatan yang menjadi media
komunikasi masyarakat setempat.
Akhirnya dalam bab lima peneliti akan menyimpulkan hasil temuan
yang telah didapatkan, serta membahas hal-hal yang muncul dalam penelitian
ini. Terakhir, peneliti akan memberikan saran untuk terkait folklor “Haul Cuci
Pusaka Keramat Tajug.”
Selanjutnya peneliti menyertakan daftar pustaka serta lampiranlampiran yang terkumpul sebagai referensi dalam penulisan skripsi ini.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Dalam bab dua ini, peneliti membahas beberapa pengertian mengenai
variabel yang menjadi pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Upaya penulisan
beberapa pengertian dilakukan sebagai bentuk usaha dalam mempermudah
pemahaman setiap variabel dalam sebuah penelitian. Pengertian-pengertian
tersebut, yaitu:
A. Memaknai Komunikasi
1. Pengertian Komunikasi
Banyak sekali pengertian komunikasi yang telah berhasil di
cetuskan oleh para pakar yang mengkhususkan diri pada bidangnya. Untuk
menarik
sebuah
kesimpulan
dasar
bagaimana
komunikasi
dapat
didefinisikan peneliti mengartikan komunikasi dari segi bahasa terlebih
dahulu.
Secara bahasa, komunikasi berasal dari bahasa latin yaitu
communico yang berarti membagi. Membagi dalam hal ini adalah
membagi gagasan dan ide atau pikiran antara satu orang dengan orang
lain. Sealain communico komunikasi juga berasal dari akar kata communis
dalam bahasa latin juga yang berarti menyamakan, menjadikan sama,
antara satu orang dengan orang yang lain.1
Everett M. Rogers seorang pakar sosiologi pedesaan Amerika dan
D. Lawence Kincaid mengartikan komunikasi dari ranah sosiologi,
1
Mohammad Shoelhi,Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik
Simbiosa Rekatama Media, 2009), h. 2.
31
(Bandung:
32
menurut Rogers dan Kincaid komunikasi adalah proses di mana dua orang
atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu
sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertiannya
yang mendalam.2
Saundra Hybels dan Richard L. Weafer II mendefinisikan bahwa
komunikasi adalah setiap proses pertukaran informasi, gagasan, dan
perasaan. Proses yang dimaksud adalah proses komunikasi yang tidak
hanya disampaikan dengan kata-kata saja melainkan menggunakan alat
pembantu atau dilengkapi dengan bahasa tubuh, gaya atau penampilan diri
untuk meperkaya penyampaian pesan tersebut.3
Alo Liliweri dalam bukunya Makna Budaya dalam Komunikasi
Antarbudaya menyimpulkan bahwa di dalam proses komunikasi terdapat
beberapa pengertian yang sama. Pertama, antara pemberi dan penerima
informasi dapat diperankan secara bergantian dalam memberi dan
mengalihkan informasi sebagai sebuah berita atau gagasan. Kedua,
komunikasi merupakan kegiatan untuk menyebarkan informasi. Ketiga,
komunikasi merupakan kegiatan mengatur kebersamaan. Keempat,
membuat dan menangani komunikasi. Kelima, menghubungkan. Keenam,
berarti ruang. Ketujuh, mengambil bagian dalam kebersamaan.4
Dari beberapa pengertian di atas, dapat kita simpulkan bahwa
komunikasi berarti pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara
dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.
2
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, ed. 1- 8 (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007), h. 18
3
Alo Liliweri, Makna Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2007 ), h. 3.
4
Alo Liliweri, Makna Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 5.
33
Selain dari itu komunikasi dapat berarti hubungan, kontak. Dalam proses
komunikasi melibatkan kamunikator (pengirim pesan) dan komunikan
(penerima pesan) yang pada suatu saat atau pada saat tertentu antara
komunikator dan komunikan akan diperankan secara bergantian.5
2. Unsur-unsur Komunikasi
Unsur dapat pula diartikan dengan komponen yang berarti bagian
dari keseluruhan.6 Terdapat perbedaan pendapat dalam kaitannya dengan
unsur komunikasi. Ada yang mengatakan unsur komunikasi cukup tiga
saja, yaitu:
a. Komunikator (orang yang mengirimkan pesan)
b. Komunikan (orang yang menerima pesan)
c. Pesan (isi dari apa yang disampaikan).7
Hafied Cangara mengutip pendapat beberapa tokoh komunikasi,
diantaranya Joseph A. Devito, K. Sereno dan Erika Vora mengemukakan
bahwa unsur komunikasi lebih dari tiga. perkembangan terakhir mengenai
unsur-unsur komunikasi menurut Hafied Cangara dalam bukunya yang
berjudul Pengantar Ilmu Komunikasi mengungkapkan bahwa faktor
lingkungan pun turut menentukan atas keberhasilan proses komunikasi.8
Unsur-unsur tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
5
Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 585.
6
Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, h. 585.
7
Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: PT Grasindo. 2006), h. 3.
8
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, ed. 1- 8, h. 23-24.
34
Bagan 2.1. Unsur-unsur komunikasi
SUMBER
R
PESAN
MEDIA
PENERIMA
EFEK
LINGKUNGAN
UMPAN BALIK
Sumber: Hafidz Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi.9
Bagan 2.1 dapat dijelaskan bahwa alur komunikasi sangatlah
sangat bergantung antara satu sama lain. Sumber, yaitu pihak penyampai
pesan. Hal ini bisa berupa individu, seseorang yang berbicara, menulis,
menggambar,
memberikan
isyarat-isyarat.
Tidak
hanya
komunikator juga bisa berupa organisasi komunikasi tertentu,
individu,
seperti
sebuah penerbit, stasiun tivi, atau yang lainnya.10
Sementara
pesan
adalah
isi
dari
apa
yang disampaikan
komunikator. Pesan itu dapat berupa kata-kata (verbal) atau berupa gerak
tubuh, dan isyarat-isyarat lainnya.11 Kemudian media, memahami media
dalam proses komunikasi tentu kita dapat mengklasifikasikannya dengan
melihat ranah komunikasinya. Dalam komunikasi massa yang disebut
media tentu adalah saluran media massa misalnya televisi, radio, dan
media cetak. Dalam komunikasi antarpribadi yang disebut media tentu
cukup dengan media abstrak.12 Penerima dalam komunikasi adalah sasaran
atau objek komunikasi. Kemudian, efek adalah reaksi spontan dari
9
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, ed. 1- 8, h. 23-24.
Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 4.
11
Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 4.
12
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, ed. 1- 8, h. 25.
10
35
penerima atau komunikan setelah proses komunikasi berlangsung dan
komunikan telah mendapatkan pesan.13
Lingkungan yang dimaksud pada bagan 2.1 adalah meliputi
lingkungan fisik, lingkungan social budaya, lingkungan psikologis, dan
dimensi waktu.
3. Fungsi Komunikasi
Dalam
menganalisis
fungsi
komunikasi,
Wilburn
Scharrm
menyatakan bahwa analisis dapat dilihat dari komunikator dan komunikan.
Antara komunikator dan komunikan akan terlihat adanya timbal balik.
Setidaknya ada empat fungsi komunikasi. Pertama, untuk informasi.
Informasi adalah kegiatan mendistribusikan informasi yang dimiliki
kepada seluruh khalayak. Pada kesempatan yang sama komunikan
berperan sebagai orang yang menerima dan memahami seluruh informasi
yang didapatkan untuk kemudian diproses lebih lanjut.
Kedua,
untuk
pendidikan.
Komunikator
berfungsi
sebagai
penerima dan sekaligus memahami seluruh informasi yang didapatkan
untuk kemudian diproses lebih lanjut. Sementara komunikan, berperan
sebagai orang yang bersedia belajar. Ketiga, untuk menginspirasi.
Memberikan hiburan kepada masyarakat, agar dapat mengembangkan ideide kreatif. Komunikan pada saat bersamaan akan menjadi menikmati
melupakan
sejenak
permasalahan
untuk
menyegarkan
kembali
pemikirannya.
Keempat, untuk memengaruhi. Disinilah komunikator bekerja sama
dengan menjabarkan setiap pendapat untuk kemudian memeroleh
13
Mohammad Shoelhi,Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 5.
36
keyakinan dari ketentuan sikap dan pendapat. Sementara komunikan,
berhak mempunyai keputusan untuk menerima atau menolak sesuatu yang
sesuai dengan norma masyarakat.14
B. Memaknai Budaya
1. Pengertian Budaya
Memaknai budaya tentu sangatlah banyak pengertian yang telah
berhasil didefinisikan banyak pakar dan dari beberapa sudut pandang.
Namun demikian peneliti akan memberikan beberapa pengertian dari
berbagai sudut pandang pula agar membantu pemahaman yang lebih
komprehensif.
Secara bahasa kata budaya berasal dari kata budi. Kata budi diambil
dari bahasa sangsekerta yang berarti akal.15 Budaya juga berasal dari kata
cultuur dari bahasa Belanda dan culture dari bahasa Inggris, di mana asal
kata tersebut sama-sama berasal dari bahasa Latin dari kata Colere yang
berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan.
Dalam pengertian ini kata colere lebih mengarah atas pengolahan tanah,
atau bisa disebut juga dengan bertani. Jadi kata colere yang dimaksudkan
adalah segala bentuk aktivitas manusia yang berkaitan dengan pengolahan
alam.16 Dalam bahasa Arab budaya berasal dari kata al-tsaqafah yang
bermakna perbaikan.17
14
Roudhonah, Ilmu Komunikasi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h. 53.
Yusron Rozak, Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif
Islam (Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008), h. 136.
16
Joko Tri Prasetya, dkk, Tanya Jawab Ilmu Budaya (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), h. 13.
17
Yusron Rozak, Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif
Islam, h. 137.
15
37
Budaya yang dalam bahasa Inggris adalah culture merupakan kata
yang
dianggap
paling
kompleks
penggunaannya.
Pendapat
ini
dikemukakan oleh Raymond Williams. Menurut Williams kata culture
sering muncul penggunaanya terhadap beberapa konsep-konsep penting
dalam dimensi yang berbeda, baik dalam keilmuan maupun dalam
kerangka berpikirnya.
Pada awalnya culture dekat pengertiannya dengan kata “kultivasi” (cultivation),
yaitu pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan upacara-upacara religius (yang
darinya diturunkan istilah kultus “cult”). Sejak abad ke- 16 hingga 19, istilah ini
mulai diterapkan secara luas untuk pengembangan akal budi manusia individu
dan sikap-perilaku pribadi lewat pembelajaran. Dalam konterks ini, kita bisa
memahami mengapa orang disebut “berbudaya” atau “tidak berbudaya”. Selama
priode panjang ini pula istilah budaya diterapkan utuk enitas yang lebih besar
yaitu msayarakat sebagai keseluruhan, dan dianggap merupakan padanan kata
dari peradapan (civilization). Akan tetapi, seiring kebangkitan romantisisme
selama Revolusi Industri, budaya mulai dipakai untuk menggambarkan
perkembangan kerohanian yang dikontraskan dengan perubahan material dan
infrastruktural.
Gerakan Nasionalisme di akhir abad ke 19 juga ikut
memengaruhi dinamika peaknaan atas budaya, di mana lahir istilah “budaya
rakyat” (folk culture) dan “budaya nasional” (national culture).18
Secara sederhana budaya dapat diartikan dengan segala sesuatu
yang berkaitan dengan cara hidup manusia.19
Secara luas berikut pengertian budaya menurut beberapa tokoh.
a. E.B Tylor mendefinisikan budaya adalah keseluruhan kompleks
kehidupan masyarakat. Tylor menjelaskan bahwa di dalam budaya
terkandung ilmu
pengetahuan dan kebiasaan manusia
dalam
bermasyarakat.20
b. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt mendefinisikan budaya dengan
segala bentuk pengalaman masyarakat sosial yang mereka hasilkan
18
Dikutip dari Muji sutrisno dan Hendari Putranto, Teori-teori Kebudayaan, h. 7-8.
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi
dengan Orang-orang Berbeda Budaya, h. 179.
20
Joko Tri Prasetya, dkk, Tanya Jawab Ilmu Budaya, h. 14.
19
38
dari proses belajar dan dilakukan secara bersama-sama oleh
masyarakat tersebut.21
c. Prof. M.M. Djojodiguno mengartikan budaya adalah sebuah daya yang
dihasilkan dari budi. Daya itu berupa cipta, karsa, dan rasa.22
d. Marvin Haris seperti yang dikutip Rulli Nasrullah, memaknai budaya
dengan segala ciri khas tingkah laku yang berada dan melekat pada si
pelaku tersebut. Rulli Nasrullah menjadikan kutipan ini sebagai
penguat bahwa budaya dalam kacamata etnografi menurut Rulli
Nasrullah adalah bentuk konstruksi sosial dan konstruksi sejarah
sebagai bentuk penanaman pola budaya tertentu.23
e. Rulli Nasrullah memaknai budaya dari sisi psikologi, mengatakan
bahwa budaya merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk
menghadapi persoalan kehidupan. Untuk menguatkan pendapatnya
Nasrullah mengutip pendapat Geert Hofstede yang memaknai budaya
sebagai pola-pola tertentu yang terdapat dalam sebuah interaksi
antarmanusia dalam sebuah kelompok tertentu sebagai respons bagi
lingkungan tempat tumbuhnya kelompok tersebut. Artinya bahwa
budaya bukan hanya sebagai bentuk jawaban dari sebuah pemikiran
manusia saja, melainkan hal tersebut kemudian menjadi bukti bahwa
manusia memiliki perbedaan dalam berfikir, perbedaan sudut pandang,
perbedaan aturan dan sebagainya.24
Pastilah banyak beberapa pengertian lain mengenai budaya
yang tidak bisa peneliti sebutkan semuanya, namun ada penekanan
21
Yusron Rozak, Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif
Islam, h. 137.
22
Joko Tri Prasetya, dkk, Tanya Jawab Ilmu Budaya, h. 14-15.
23
Rulli Nasrullah, Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber, h. 16-17.
24
Rulli Nasrullah, Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber, h. 16.
39
pengertian budaya yang ingin peneliti sampaikan dalam skripsi ini.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
budaya adalah segala bentuk tingkah laku yang nampak pada
permukaan setiap kelompok manusia yang dilatarbelakangi oleh
pengaruh genetik, struktural, psikologi, normatif, dan historis.
Pengertian ini mengacu pada beberapa pengertian yang peneliti
simpulkan di mana pengertian-pengertian budaya tersebut memiliki
pendekatan aspek ilmu lain seperti pendekatan psikologi dan
pendekatan normatif.
2. Unsur-unsur Kebudayaan
C. Kluckhohn menyebutkan, bahwa ada tujuh unsur dalam kebudayaan
universal, yaitu:
a. Sistem Religi
b. Sistem Organisasi Kemasyarakatan
c. Sistem Pengetahuan
d. Sistem Mata Pencaharian Hidup
e. Sistem Teknologi dan Peralatan
f. Bahasa
g. Serta Kesenian.25
3. Pengertian Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang dilakukan oleh
individu atau kelompok manusia yang memiliki latar belakang kebudayaan
yang berbeda. Pengertian ini peneliti simpulkan setelah memahami makna
25
Supartono Widyosiswono, Ilmu Budaya Dasar (Bogor: Ghalia Indonesia, 2001),
h. 33-34.
40
budaya dan makna komunikasi. Untuk menguatkan pendapat ini peneliti
mengutip
beberapa
pendapat
mengenai
pengertian
komunikasi
antarbudaya.
a. Ricard E. Porter dan Larry A. Samovar mengartikan komunikasi
antarbudaya adalah proses komunikasi yang sumber dan penerimanya
berasal dari budaya yang berbeda. Menurut Porter dan Larriy setiap
komunikasi yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan
yang berbeda budaya, maka penafsiran pesan harus dilakukan dengan
umpan balik dalam ranah budaya pula. Setiap budaya memiliki resiko
atau sebuah konseskuensi dalam memaknai komunikasi.26
b. Alo Liliweri mengartikan bahwa komunikasi antarbudaya adalah
komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang dengan
latar belakang budaya yang berbeda. Menurutnya proses komunikasi
antarbudaya tersebut disertai dengan peraturan budaya tertentu, seperti
tingkat keamanan, sopan santun, serta peramalan dan pemaknaan
pesan atas lawan bicara.27 Masih menurut Alo Liliweri pengertian
komunikasi antarbudaya yang dikemukakannya itu menunjukkan
bahwa seberapa jauh perbedaan budaya yang terjadi maka sedemikian
pula peluang yang didapat oleh komunikan untuk dapat mengartikan
pesan yang didapatkan dari komunikator.28
c. Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss memaknai komunikasi antarbudaya
dengan komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik
dalam perbedaan ras, etnik dan sosio ekonomi). Kebudayaan menurut
26
Ricard E. Porter dan Larry A. Samovar, Suatu Pendekatan Terhadap Komunikasi
Antarbudaya, dalam Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009), h.20.
27
Alo Liliweri, Makna Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 13-14.
28
Alo Liliweri, Makna Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 14.
41
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss
adalah cara hidup yang
berkembang dan dianut oleh sekelompok orang dan berlangsung dari
generasi ke generasi.29
d. Joseph A. Devito memaknai komunikasi antarbudaya adalah bentuk
kpercayaan, nilai, dan bentuk-bentuk kultural yang berbeda bagi
masing-masing komunikator dan komunikan. Kpercayaan, nilai, dan
bentuk-bentuk kultural yang berbeda itu kemudian akan menjadi acuan
dalam proses komunikasi antarbudaya.30
e. Andi Faisal Bakti dalam beberapa teori dua puluh sering menyebutkan
bahwa komunikasi antarbudaya melibatkan suatu kelompok, golongan,
agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya
menurut Andi Faisal Bakti adalah komunikasi yang terjadi melibatkan
orang secara individu atau kelompok yang mempunyai latar belakang
yang berbeda.31
Dari beberapa pengertian dari tokoh-tokoh di atas, dapat peneliti
simpulkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang
dilakukan secara melebar dari segi penyampaian dan pemaknaan pesan
dan peluang yang didapatkan untuk mengartikan pesan yang disampaikan
karena berbedanya nilai-nilai yang terkandung dari perbedaan budaya
yang ada di dalamnya.
29
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Human Communication – Konteks-konteks
Komunikasi (PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 236.
30
Joseph A. Devitp, Komunikasi Antarmanusia; Kuliah Dasar Edisi kelima. Penerjemah
Agus Maulana, h. 479.
31
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, h. 128.
42
4. Teori Komunikasi Antarbudaya Joseph A. Devito dan Andi Faisal
Bakti
Dalam penelitian ini, peneliti memilih teori Joseph A. Devito dan
Andi Faisal Bakti sebagai landasan teori.32 Seperti telah dijelaskan pada
bingkai teori di Bab I, peneliti telah memberikan penjelasan secara singkat
mengenai teori Joseph A. Devito dan Andi Faisal Bakti. Untuk
mempermudah dalam analisis, pada Bab II ini peneliti memberikan
penjelasan secara detail mengenai teori dua tokoh di atas.
a. Teori Joseph A. Devito
1) Komunikasi Antarbudaya (komunikasi antarperadaban).
Komunikasi antarbudaya menurut Joseph A. Devito
dicontohkan pada komunikasi yang terjadi antara orang Cina dan
orang Portugis, atau antara orang Prancis dengan orang Norwegia.
Dalam pengertian ini tidak dijelaskan secara spesifik mengenai apa
yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya dan kaitannya
dengan contoh antara orang Cina dan orang Portugis seperti di atas.
Dengan demikian juga seperti ada kerancuan definisi antara
komunikasi antarbudaya dengan komunikasi antara bangsa yang
berbeda.33
Pada satu kesempatan bimbingan skripsi (15 September
2013), Prof. Andi Faisal Bakti, mengatakan bahwa komunikasi
antarbudaya yang dimaksud adalah komunikasi yang terjadi
32
33
Lihat Bab I pada bingkai teori.
Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia. Penerjemah Agus, h. 480-481.
43
antarperadaban. Hal ini juga menjadi acuan nanti di lapangan
apakah komunikasi antarbudaya yang dimaksud dapat ditemukan.34
2) Komunikasi antara ras yang berbeda.
Komunikasi antara ras yang berbeda disebut juga dengan
komunikasi antarras. Joseph A. Devito menyebutkan bahwa
komunikasi antara ras terjadi antara orang kulit hitam dengan orang
kulit putih.35 Merujuk pada pengertian Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), ras setidaknya ada dua pengertian. Pertama,
golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik. Kedua, kelompok yang
dapat dibedakan dari rumpun bangsa yang berbeda. Dalam cakupan
penelitian ini peneliti mengambil pengertian yang pertama yatiu
golongan bangsa dalam hal ini kelompok berdasarkan ciri-ciri
fisik.
3) Komunikasi antara kelompok etnis yang berbeda.
Menurut KBBI etnis dapat diartikan dengan sekelompok
orang yang bertalian dengan kelompok sosial dalam sistem sosial
atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu
karena keturunan, adat, agama, bahasa. Joseph A. Devito
menyebutkan, bahwa komunikasi terjadi misalnya seperti orang
Amerika keturunan Italia dengan orang Amerika keturunan
Jerman. Dalam keseharian kita, komunikasi antara etnis yang
berbeda ini dapat dicirikan dengan perbedaan bahasa. Misalnya
bahasa Sunda dengan bahasa Jawa. Selain dari itu gelar
34
35
Bimbingan skripsi dengan Prof Andi Faisal Bakti, MA, 15 September 2013.
Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia. Penerjemah Agus Maulana, h. 480-481.
44
kebangsaan, misalnya habib, tubagus, gus, raden. Kemudian nama
khas, seperti Muhammad Soleh lebih dikenal dengan sebutan
Madsaleh bagi orang Madura.36
4) Komunikasi antara kelompok agama yang berbeda.
Pada komunikasi antara kelompok agama yang berbeda ini
jelas, bahwa agama sebagai begron perbedaannya. Joseph A. Devito
mencontohkan komunikasi yang terjadi antara orang Katolik Roma
dengan orang Episkop, atau antara orang Islam dengan orang
Yahudi.37
5) Komunikasi antara bangsa yang berbeda.
Komunikasi antara bangsa yang berbeda dapat disebut juga
dengan komunikasi internasional. Dalam komunikasi antara bangsa
yang berbeda ini Joseph A. Devito mencontohkan seperti orang
Amerika Serikat dengan orang Meksiko, atau antara orang Prancis
dengan orang Italia. Pada bagian ini identitas bangsa menjadi acuan
tolak ukur perbedaannya.
6) Komunikasi antara subkultur yang berbeda.
Subkultur adalah bagian dari kultur atau budaya. Joseph A.
Devito mencontohkan subkultur dengan contoh kelompok yang
berprofesi sebagai dokter dengan kelompok orang yang berprofesi
sebagai pengacara. Artinya kelompok yang diambil dari kelompok
besar yang mencirikan kelompok tersebut dengan kelompok besar
sebelumnya.
36
Bimbingan skripsi dengan Prof. Andi Faisal Bakti, MA, 15 September 2013.
Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia. Penerjemah Agus Maulana, h. 480-481.
37
45
7) Komunikasi antara subkultur dengan kultur yang dominan.
Joseph A. Devito memberikan contoh pada komunikasi
jenis ini dengan komunikasi yang terjadi antara kaum homoseks
dengan kaum heteroseks, atau antara kaum muda dan kaum manula.
Ada dominasi antara satu golongan dengan golongan yang lain.
Subkultur yang telah memisah dari kultur besar sebelumnya
kemudian diklasifikasikan kembali menjadi kelompok yang
mendominasi dengan kelompok kecil yang didominasi.
8) Komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda.38
Komunikasi ini jelas, perbedaan kelamin menjadi latar
belakang perbedaannya. Memang terlihat sangat simpel, namun
pada proses analisis, komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda
dibutuhkan usaha mendalam untuk melihatnya.
b. Andi Faisal Bakti
Teori Andi Faisal Bakti ada dua macam, yaitu teori tujuh dan
teori dua puluh. Berikut penjelasan teori tujuh:
1) Komunikasi antara Muslim dan non-Muslim.
2) Komunikasi antara Militer dan Sipil.
3) Komunikasi antara Jawa dan non-Jawa.
4) Komunikasi antara Pribumi dan non-Pribumi.
5) Komunikasi antara Tradisionalis dan Modernis.
6) Komunikasi antara Kelompok Sekuler dan Islam.
7) Komunikasi antara Lelaki dan Perempuan.39
38
Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia. Penerjemah Agus Maulana, h. 480-481.
Andi Faisal Bakti, “Review of Human Factor Studies: Major Conflict in Indonesia: How
can Communication Contribute to a Solution?” (Jurnal: Internatioal Institute for Human Factor
Development, 2000), vol 6 No: 2, h. 33-56.
39
46
Berikut penjelasan teori tujuh melalui tabel 2.1.
Faktor dan
Aktor
Muslim
dengan nonMuslim
Jawa nonJawa
Militer dan
Sipil
Di mana pelaku didominasi oleh
kelompok dengan komunitas besar,
bertindak dengan cara-cara yang
menimbulkan konflik
Kompulsif (bersifat memaksa),
impulsif (bertindak tiba-tiba sesuka
hati), marah, curiga, penuh dendam,
fanatik, menggunakan paksaan,
rayuan, kooptasi (pemilihan anggota
kelompok), indoktrinasi, pemurtadan
melalui kolonisasi (penjajahan),
mempermalukan, memarjinalkan,
pembakaran, kerusuhan, prasangka
buruk, kebencian, ortodoks,
pemurtadan, dan hal lain yang
cendrung pada cara-cara kekerasan.
Menciptakan, hegemoni, kolonisasi,
sentralisasi, monopoli, eksploitatif,
kekerasan, etnocentric,
mengendalikan, stereotip, melalui
kerusuhan terbakar rasa cemburu, iri
hati, ketidakpercayaan,
ketidaksetaraan, prasangka
menggunakan stereotip
Kompulsif (bersifat memaksa),
impulsif (bertindak tiba-tiba sesuka
hati), egois, nasionalis dengan cara
yang memaksakan, intervensi
sewenang-wenang, brutal,
mendominasi, mengisolasi, membagibagi, berkuasa korupsi, kolusi,
nepotisme , dan penyiksaan
Tindakan penduduk dalam
bergerak ke arah resolusi
konflik
Terbuka, kooperatif (saling
membantu), penuh kasih,
damai, hormat, bebas dalam
toleransi, peruasif, strategi
komunikasi yang dapat
diterpkan adalah pemuka
agama dan kepala
pemerintah saling
menciptakan forum diskusi
kegiatan bersama dan
menerapkan aturan terhadap
kegiatan keagamaan
Cukup adil, dapat dipercaya
diskusi multi budaya melalui
negosiasi komunikasi,
solidaritas, saling berbagi
Strategi komunikasi ini
adalah pemuka opini atau
opinion leader dengan
pemerintah harus dapat
mengatur referendum atas
otonomi daerah atau federasi
Mencegah, membela,
melindungi, transparan,
menghormati, membantu,
strategi moralistik untuk
perwira militer dan
pemerintah untuk
menghilangkan dual fungsi
dan membawa ke pengadilan
mereka yang terlibat
47
Sekuler dan
Islam
Religius
Modern dan
Tradisionalis
Kaku dan fanatik, tidak toleran dan
kaku
Tidak toleran, fanatik, ketat, malas,
apatis, mengindoktrinasi, ketat, penuh
curiga, ortodoks
dapat dipercaya, penuh
pemahaman, persuasive,
membebaskan diri dari hal
tersebut melalui kerja keras
strategi komunikasi ini
adalah Muslim modernis
agar menciptakan forum
diskusi atau pembelajaran
baik melalui pidato dan
tulisan (membaca)
Ada sifat toleransi,
komunikasi, akomodasi,
Strategi komunikasi pada
bagian ini adalah kaum
modernis membentuk forum
diskusi baik melalui pidato
atau melalui tulisan atau
membaca
Laki-laki
Laki-laki, sama dengan penjelasan
Perempuan, sama dengan
dan
Joseph A. Devito
penjelasan Joseph A. Devito
Perempuan
Sumber: Andi Faisal Bakti: Human Factor Dtudies (2000)40
Bagan 2.1. di atas adalah gambaran konflik yang terjadi di Indoesia dari
kaca mata komunikasi antarbudaya. Di mana kelompok mayoritas sebagai peran
atau kelompok yang dapat memunculkan konflik.
Pada teori Joseph A. Devito (jenis-jenis komunikasi antarbudaya yang
berjumlah delapan) dan Andi Faisal Bakti (jenis komunikasi antarbudaya yang
berjumlah tujuh) terdapat persamaan pengertian.
40
Andi Faisal Bakti, “Review of Human Factor Studies: Major Conflict in Indonesia: How
can Communication Contribute to a Solution?” Sandiego. Jurnal: Internatioal Institute for Human
Factor: Vol 6, No. 2 (Development, 2000): h. 33-56.
48
Berikut penjelasannya melalui bagan.
NO
Andi Faisal Bakti
Joseph A. Devito
 Komunikasi Antarbudaya (Peradaban)
1
Jawa dan non-Jawa
 Antara Kelompok Etnis yang Berbeda
 Subkultur dengan Kultur Dominan
2
Militer dan Sipil
Antara Subkultur yang Berbeda
3
Laki-laki dan Perempuan
Jenis Kelamin yang Berbeda
4
Muslim dan non-Muslim
Kelompok Agama yang Berbeda
Tabel 2.2. persamaan teori Joseph A. Devito dengan Andi Faisal Bakti
Setelah upaya peneliti menjelasankan beberapa pengertian teori
Joseph A. Devito dan teori tujuh dari Andi Faisal Bakti, peneliti akan
mencoba memberikan penjelasan teori dua puluh dari Andi Faisal Bakti.
Untuk mempermudah pemahaman berikut peneliti jelaskan dalam bentuk
tabel. Dalam teori dua puluh ini masing-masing mempunyai pasangan.
Pasangan tersebut adalah sebagai lawan dari masing-masing teori.
Teori dua puluh ini menunjukkan keadaan budaya kolektif yang
masih kaku (konservatif) dan lawannya yaitu keadaan budaya yang sudah
elastis, dapat mengadopsi budaya lain di luar budadaya sendiri
(transformatif). Teori ini menggambarkan keadaan peradaban timur dan
barat. Lalu, dalam teori dua puluh ini dimunculkan pula solusi yang
ditawarkan oleh Islam atas dua corak komunikasi antarbudaya yang
tergambar dari teori duapuluh.
49
      
          
             
 
         
   
               
        
 
Artinya: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orangorang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya
apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah
177).41
Dalam surat Al-Baqarah ayat 177 dijelaskan bahwa bukanlah kiblat
kita itu timur atau barat secara peradaban. Akan tetapi, inilah Islam sebagai
agama yang rahmatan lil’alamin, pembawa rahmat bagi seluruh alam yang
mempunyai corak budaya sendiri.
41
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: PT.
Syaamil Cipta Media), h. 43.
50
Table 2.3. teori dua puluh (konservatif dan transformatif)
No
1.
2.
3.
4.
Kaum Konservatif
Kaum Transformatif
Solusi Dalam
Islam
Penser sa culture: Suatu
kelompok, golongan, agama, dan
Etre pense par sa culture: Suatu
budaya terdiri atas nilai-nilai,
kelompok, golongan, agama, dan persepsi adat istiadat, kebiasaan,
budaya terdiri atas nilai-nilai,
tradisi, kreasi, kepercayaan, pola Al-Muhafadzotu
persepsi adat istiadat, kebiasaan,
pikir, dan perasaan yang
‘ala Al-Qadim
tradisi, kreasi, kepercayaan, pola
berupaya untuk mengubah
Al-Sholih wa Alpikir, dan perasaan yang
budayanya. Baik itu yang
Akhdzu bi Aldikendalikan atau dikontrol oleh
sekarang maupun masa depan.
Jadidi Al-Aslah.
budayanya (masa lalu).
Hal ini sangat berkaitan dengan
budaya lain yang dikembangkan
untuk masa depan.
Heriter la culture: Suatu
kelompok, golongan, agama, dan
budaya terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat, kebiasaan,
tradisi, kreasi, kepercayaan, pola
pikir, dan perasaan yang
mewarisi budayanya dari masa
lalu dan mewariskannya kepada
generasi yang akan datang.
Submission: Sekelompok
masyarakat, agama, dan budaya
yang hanya tunduk kepada
budayanya sendiri dan tidak
terpengaruh dengan ajaran lain
yang bertentangan dengan
budayanya sendiri.
Adoration of scriptures:
Sekelompok masyarakat, agama,
dan budaya yang sangat
mencintai atau menyukai teks
agamanya (kitab sucinya).
Acquerir la culture: Suatu
kelompok, golongan, agama, dan
budaya terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat, kebiasaan,
Al-Muhafadzotu
tradisi, kreasi, kepercayaan, pola
‘ala Al-Qadim
pikir, dan perasaan yang
Al-Shalih wa Alberupaya untuk mendapatkan
Akhdzu bi Alkultur-kultur yang baru dan
Jadidi Al-Aslah.
berbeda dari warisan keluarga
dan budayanya. Dengan kata lain
lebih produktif dalam
mendapatkan kultur yang baru.
Egalitarian/Emancipation:
Sekelompok masyarakat, agama,
dan budaya yang mengikuti
aturan-aturan lain dan bersikap
Al-Islam
egaliter atau tidak tunduk serta
ingin bebas dari cengkraman
yang sudah ada.
Interpretation of scriptures
Sekelompok masyarakat, agama,
dan budaya yang memaknai atau
Al-Ijtihad.
memahami teks (kitab suci) yang
menjadi pegangannya.
51
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Textualist: Sekelompok
masyarakat, agama, dan budaya
yang percaya teks sebagai suatu
kebenaran. Dengan kata lain teks
yang berkata-kata atau berbicara.
Gemeinschaft: Sekelompok
masyarakat, agama, dan budaya
yang ingin membangun
kelompoknya berdasarkan
komunitasnya.
Reproduction: Sekelompok
masyarakat, agama, dan budaya
yang memproduksi budaya dan
keluarganya.
Fundamentalism: Pemikiran
KAAB yang terdiri atas nilainilai, persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang berdasarkan pada
pondasi utama ajaran agama,
bangsa, negara, dan masyarakat
tertentu. Dengan kata lain
dianggap sebagai kekuatan yang
absolut. Fundamentalism berasal
dari Protestan yang anti
teknologi dan sains.
Geograpical immobility:
Pemikiran KAAB yang terdiri
atas nilai-nilai, persepsi, adat
istiadat, kebiasaan, tradisi,
kreasi, kepercayaan, pola pikir,
dan perasaan yang tidak mau
pindah-pindah dan lebih
mengutamakan menetap di
suatu tempat.
Je me souviense: Pemikiran
KAAB yang terdiri atas nilai-
Contextualist: Sekelompok
masyarakat, agama, dan budaya
yang percaya kepada konteks
dan pemahamannya tidak secara
harfiah.
Gesellschaft: Sekelompok
masyarakat, agama, dan budaya
yang ingin membangun
kelompoknya berdasarkan
societas.
Creation and trust in foreigners:
Sekelompok masyarakat, agama
dan budaya, yang tidak harus
memproduksi generasi yang
sama. Akan tetapi dari budaya
yang sama dan memiliki kreasi
dengan keadaan sekarang.
Al-Tafsir.
Al-Ummah.
Al-Amanah.
Rationalism/Secularization:
Pemikiran KAAB yang terdiri
atas nilai-nilai, persepsi, adat
istiadat, kebiasaan, tradisi,
kreasi, kepercayaan, pola pikir,
dan perasaan yang berdasarkan
rasionalisme atau akal bukan
pada kitab dan lebih
mementingkan dunia.
Al-Ihsan
Geograpical mobility: Pemikiran
KAAB yang terdiri atas nilainilai, persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang lebih
mengutamakan berpindahpindah.
Al-Hijrah
Deracinement: Pemikiran
KAAB yang terdiri atas nilai-
AlMuhadharah.
52
11.
12.
13.
14.
nilai, persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang cenderung
mengingat masa lalunya yang
harus dipertahankan. Dan ini
lebih mengarah kepada hal-hal
yang negatif.
Paganism (Idol worshipping):
Pemikiran KAAB yang terdiri
atas nilai-nilai, persepsi, adat
istiadat, kebiasaan, tradisi,
kreasi, kepercayaan, pola pikir,
dan perasaan yang melakukan
penyembahan kepada yang
selain Tuhan. Baik itu terhadap
sesajen, jimat, dukun atau
membaca ayat-ayat tertentu
untuk tujuan tertentu.
Imposition/Holy
war/Proselytism: Pemikiran
KAAB yang terdiri atas nilainilai, persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang cenderung
memaksakan agama dengan
cara-cara berupa bujukan,
rayuan, paksaan, tekanan,
intimidasi atau dengan cara
melalui perang suci.
Nationalism/Tribalism:
Pemikiran KAAB yang terdiri
atas nilai-nilai, persepsi, adat
istiadat, kebiasaan, tradisi,
kreasi, kepercayaan, pola pikir,
dan perasaan yang sangat
menekankan nasionalisme atau
kesukuan/fanatik.
Orthodoxy/Traditionalism:
Pemikiran KAAB yang terdiri
nilai, persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang tercabut dari akarakarnya. Artinya meninggalkan
masa lalu untuk menatap masa
depan yang lebih baik dan lebih
pasti.
Monotheism (Idol
destruction)/Humanism (God
created by humans): Pemikiran
KAAB yang terdiri atas nilainilai, persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang percaya kepada
Tuhan yang satu.
Al-Tauhid
Negotiation: Pemikiran KAAB
yang terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat, kebiasaan,
tradisi, kreasi, kepercayaan, pola
pikir, dan perasaan yang
mengutamakan sama rata dan
sama rasa.
Al-Musyawarah
Universalism/Internationalism:
Pemikiran KAAB yang terdiri
atas nilai-nilai, persepsi, adat
istiadat, kebiasaan, tradisi,
kreasi, kepercayaan, pola pikir,
dan perasaan yang sangat
mengutamakan universal.
Dalam arti tanpa sekat-sekat.
Protestanism/Modernism:
Pemikiran KAAB yang terdiri
Al-Ta’aruf
Al-Ta’aruf
53
15.
16.
17.
18.
atas nilai-nilai, persepsi, adat
atas nilai-nilai, persepsi, adat
istiadat, kebiasaan, tradisi,
istiadat, kebiasaan, tradisi,
kreasi, kepercayaan, pola pikir,
kreasi, kepercayaan, pola pikir,
dan perasaan yang ingin
dan perasaan yang mengikuti
memertahankan budaya
perkembangan secara modern
tradisional yang ada dan masih
dan lebih maju.
bersifat ortodoks.
Sectarian communitarianism:
Global communitarianism:
Pemikiran KAAB yang terdiri
Pemikiran KAAB yang terdiri
atas nilai-nilai, persepsi, adat
atas nilai-nilai, persepsi, adat
istiadat, kebiasaan, tradisi,
istiadat, kebiasaan, tradisi,
kreasi, kepercayaan, pola pikir,
kreasi, kepercayaan, pola pikir,
dan perasaan yang patuh hanya
dan perasaan yang lebih terbuka
kepada golongan/komunitasnya
tetapi hanya kepada agamanya
saja.
saja.
Cult/Lang/Competence
Inheritence: Pemikiran KAAB
Cult/Lang/Competence
yang terdiri atas nilai-nilai,
aquisition: Pemikiran KAAB
persepsi, adat istiadat, kebiasaan,
yang terdiri atas nilai-nilai,
tradisi, kreasi, kepercayaan, pola persepsi, adat istiadat, kebiasaan,
pikir, dan perasaan yang
tradisi, kreasi, kepercayaan, pola
berdasarkan kemampuan
pikir, dan perasaan yang
berbahasa budaya yang didapat
memiliki penguasaan bahasa
atau diperoleh atau diwariskan
melalui proses pembelajaran.
dari masa lalu.
Depedency/Egoism: Pemikiran
Interdepedency/Solidarity:
KAAB yang terdiri atas nilaiPemikiran KAAB yang terdiri
nilai, persepsi, adat istiadat,
atas nilai-nilai, persepsi, adat
kebiasaan, tradisi, kreasi,
istiadat, kebiasaan, tradisi,
kepercayaan, pola pikir, dan
kreasi, kepercayaan, pola pikir,
perasaan yang cenderung kepada
dan perasaan yang
orang/bangsa yang mampu dan
mengutamakan saling tolong
egois akan tetapi sangat
menolong dan bantu-membantu.
bergantung kepada yang lain.
Exclusivism: Pemikiran KAAB
Inclusivism: Pemikiran KAAB
yang terdiri atas nilai-nilai,
yang terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat, kebiasaan,
persepsi, adat istiadat, kebiasaan,
tradisi, kreasi, kepercayaan, pola
tradisi, kreasi, kepercayaan, pola
pikir, dan perasaan yang
pikir, dan perasaan yang
menolak orang lain untuk masuk
bersedia menerima orang lain
ke dalam kelompoknya.
Al-Qaum
Al-Ta’lim
Al-Ta’awun
Al-Washatiyah
54
19.
20.
Vernacular language: Pemikiran Vehicular language: Pemikiran
KAAB yang terdiri atas nilaiKAAB yang terdiri atas nilainilai, persepsi, adat istiadat,
nilai, persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi,
kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan
kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang cenderung belajar
perasaan yang belajar bahasa
bahasa sendiri/lokal.
pengetahuan/bahasa lain.
Parochialism: Pemikiran KAAB
Flexibility: Pemikiran KAAB
yang terdiri atas nilai-nilai,
yang terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat, kebiasaan, persepsi, adat istiadat, kebiasaan,
tradisi, kreasi, kepercayaan, pola tradisi, kreasi, kepercayaan, pola
pikir, dan perasaan yang
pikir, dan perasaan yang
menyampaikan ajaran secara
menyampaikan ajaran secara
kaku.
elastis/lentur.
Sumber: Andi Faisal Bakti (Jakarta: INIS, 2004).
Al-lisan
Al-Tasamuh
42
Bagan 2.2. di atas menjelaskan tentang karakteristik budaya.
Teori ini menerangkan tentang macam-macam budaya dengan
beberapa ketentuan dan pengelompokannya. Teori tersebut berjumlah
duapuluh. Dari dua puluh teori itu kemudian dibagi dua, yaitu teori
kelompok kanan dan teori kelompok kiri.
Yang dimaksud kelompok kanan adalah teori komunikasi
antarbudaya yang menjelaskan tentang jenis budaya yang sudah
longgar. Budaya tersebut sudah mengedepankan kebutuhan zaman dari
pada harus terkungkung dengan bawaan atau peninggalan kuno yang
belum tentu ideal pada zaman sekarang. Sedangkan yang dimaksud
teori kiri adalah teori yang menjelaskan tentang budaya yang masih
kaku. Budaya tersebut kental dan cendrung menganggap hal yang baru
tidak baik. Teori kanan sebagai penolakan dari teori kiri.43
42
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, h. 128.
43
Catatan perkuliahan pada mata kuliah Komunikasi Antarbudaya dan Agama (KAAB)
dengan Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, 14 Oktober 2011.
55
C. Memaknai Folklor
1. Pengertian Folklor
Secara bahasa folklor berasal dari dua kata. Kata folklor berasal dari
folk dan lore dalam bahasa Inggris. Folk dapat diartikan dengan rakyat,
dan bangsa.44 Menurut James Dananjaya Folk berarti ciri-ciri pengenal
yang ada pada sekelompok orang, sehingga ciri-ciri pengenal tersebut
menjadi pembeda dengan kelompok lain. Ciri-ciri pengenal itu ada pada
setiap sisi kehidupan kelompok tersebut, misalnya bentuk fisik, gaya hidup
bersosial, terlebih lagi dalam kebudayaan.45
Sedangkan lore berarti adat dan pengetahuan.46 Dalam pengertian yang
lebih luas lore diartikan sebagai bentuk tradisi dari kata folk. Tradisi
tersebut menjadi semacam adat yang menggejala dan terus akan
dipertahankan dalam kurun waktu yang cukup lama. Pada prosesnya,
tradisi yang diturunkan biasanya melalui proses tradisional. Tradisi
tersebut diturunkan melalui pranata sosial, misalnya, gerak tradisional
rakyat, musik rakyat, kesenian rakyat, arsitektur rakyat, kepercayaan atau
keyakinan, permainan rakyat, teater rakyat, nyanyian tradisional, legenda
dan dongeng, teka-teki, ungkapan tradisional, bahasa rakyat dan
sebagainya.47
44
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Amerika: Cornell
University Press, 1975; reprint, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 250.
45
James Danandjaya, Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 2007), h. 1-3.
46
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia,h. 366.
47
Setya Yuwana Sudikan, “Ragam Metode Pengumpulan Data: Mengulas Kembali
Pengamatan, Wawancara, Analisis Life History, Analisis Folklore,” dalam Burhan Bungin,
Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer,
(Jakarta: Karisma Putra Utama, 2004), h. 71.
56
Supanto dan kawan-kawan mendefinisikan bahwa folklor adalah
bentuk penuturan cerita yang pada dasarnya tersebar secara lisan yang
penyampaiannya melalui pewarisan secara tradisional bagi masyarakat
pendukungnya dan disampaikan secara turun temurun.48
Dari pengertian di atas dapat didefinisiskan bahawa folklor adalah
budaya tradisional yang dianut oleh sekelompok orang di mana budaya
tersebut merupakan hasil peninggalan nenek moyang yang telah
diwariskan secara turun temurun dalam kurun waktu yang cukup lama
dengan cara tradisional pula.
2. Folklor Haul Cuci Pusaka
Secara bahasa Haul bermakna peringatan kematian yang dilakukan
setiap satu tahun sekali. Sedangkan kata cuci dalam KBBI pemaknaannya
selalu digandengkan dengan kata lain. Misalnya, cuci darah bermakna
kegiatan mencuci darah dengan teknik tertentu. Cuci muka adalah kegiatan
membersihkan muka dengan cara membasuhnya dengan air. Cuci otak
adalah sebuah peroses penghilangan pendapat dari otak seseorang bahkan
proses penghilangan keyakinan untuk kemudian diisi dengan kekuatan
argumen yang baru melalui pemaksaan pada jiwa dan fisik. Cuci perut
adalah membersihkan perut dengan memakan obat pencahar, dan masih
banyak contoh yang diberikan dalam KBBI.49
Sedangkan arti dari pusaka adalah pertama harta benda peninggalan
orang yang telah meninggal yaitu warisan yang ditinggalkan keapada
48
Supanto dkk, Risalah; Sejarah dan Budaya Seri Folklor (Yogyakarta: Balai Penelitian
Sejarah dan Budaya, 1981-1982), h. 48.
49
Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia,h. 67.
57
anaknya yang hanya berupa sawah lima petak. Kedua benda yang
diturunkan dari nenek moyang biasanya berupa keris.50
Jadi Haul Cuci Pusaka adalah selamatan tahunan yang dilakukan oleh
sekelompok orang untuk memperingati hari wafatnya seseorang yang
dilakukan setiap satu tahun sekali dan pada saat yang bersamaan pula
dilakukan pencucian pusaka peninggalan orang yang telah meniggal
tersebut.
Kegiatan Haul Cuci Pusaka merupakan bagian dari keragaman budaya
Indonesia. Kegiatan tersebut dapat disebut juga dengan upacara
tradisional. Bentuk kegiatan yang dilakukan dalam acara ini sangat kental
dengan unsur kepercayaan dan nilai. Mempunyai identitas tersendiri,
seperti keunikan bahasa atau cara berkomunikasi, pakaian dan penampilan
dalam keseharian, makanan yang disajikan pada saat perayaan dan
termasuk cara mereka memakannya, waktu yang ditentukan untuk
melaksanakan perayaan, penghargaan dan pengakuan dari pihak lain,
hubungan-hubungan, nilai dan norma, rasa diri dan ruang, proses mental
da belajar, kepercayaan dan sikap.51
Dalam upacara tradisi juga terdapat kandungan makna dari setiap
tindak tanduk perayaan tersebut. Begitu juga dalam Haul Cuci Pusaka ini.
Hal ini disebabkan karena setiap tradisi pasti menyisakan sebuah
50
Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia,h.910.
51
Philiph R. Harris dan Robert T. Moran, “Memahami Perbedaan-perbedaan Budaya,”
dalam Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006),
h. 58-62.
58
kebiasaan lama hasil dari peninggalan nenek moyang. Dalam kebiasaan
tersebut juga terdapat hukum yang berlaku berdasarkan norma-norma
tertentu.52
52
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tim Peneliti Mulyadi, dkk, Upacara
Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi di DIY (Yogyakarta: Poroyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan daerah, 1982-1983), h. 35.
BAB III
TUBAGUS ATIEF, FOLKLOR “HAUL CUCI PUSAKA KERAMAT
TAJUG,” DAN KELURAHAN CILENGGANG
Bagi setiap daerah sudah pasti mereka mempunyai cara sendiri dalam
upacara tradisionalnya. Terlebih bagi masyarakat daerah yang hidup di pedesaan.
Bahkan sebagian mereka ada pula yang mempunyai ritual kematian secara khusus,
seperti masyarakat desa Kepoharjo, Yogyakarta, Jawa Tengah. Di kampung
tersebut telah baku peraturan tentang bagaimana persiapan pemakaman jenazah,
penguburannya sampai pada upacara-upacara setelah kematian. Masyarakat di
desa tersebut telah menjalankan ritual upacara tradisional selama bertahun-tahun.1
Demikian pula yang terjadi dalam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat
Tajug.” folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” tidak jauh berbeda dengan
upacara-upacara tradisional daerah lainnya. Terdapat sistem nilai dan kepercayaan
di dalamnya. Mereka seolah-olah kaku dan menganggap ucapan dan peninggalan
sesepuh adalah petuah yang harus diikrarkan dalam diri mereka. Masyarakat
pemilik folklor secara berlahan terus menggali serta mempertahankan budaya
tersebut.
Dalam bab ini penulis akan memberikan gambaran sejarah perjuangan
Tubagus Atief, serta akan dikupas pula bagaimana asal mula diadakannya “Haul
Cuci Pusaka Keramat Tajug” sebagai gambaran bagi pembaca. Dalam bab ini pula
penulis akan memberikan gambaran umum tentang kelurahan Cilenggang tempat
terjadinya folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.”
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tim Peneliti Mulyadi, dkk., Upacara
Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi di DIY (Yogyakarta: Poroyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1982-1983), h. 38-69.
59
60
A. Tentang Tubagus Atief
Raden Muhammad Atief Bin Sultan Ageng Tirtayasa merupakan salah
satu anak atau keturunan kerajaan Banten dari Pangeran Tirtayasa. Raden
Muhammad Atief Bin Sultan Ageng Tirtayasa kemudian lebih dikenal dengan
nama Tubagus Atief atau Tubagus Wetan. Nama Tubagus Wetan ini
merupakan gelar yang diberikan oleh ayahandanya setelah ia berhasil
menaklukkan penjajahan Belanda dan mengislamkan masyarakat Tangerang
khususnya masyarakat Cilenggang.
Hal yang sama sebenarnya terjadi juga pada ayahandanya yaitu Sultan
Ageng Tirtayasa, yang aslinya bernama Pangeran Adipati Anom Pangeran
Surya putra dari Abu Al-Ma’ali Ahmad. Pada saat diangkat menjadi raja
Banten ke-5, tepatnya pada tanggal 10 Maret 1651, sultan baru ini dikenal
dengan sebutan Pangeran Ratu Ing Banten, atau julukan yang diberikan oleh
khalifah Mekkah adalah Sultan Abu Al-Fath Abdul Fattah Muhammad Syifa
Zaina Al- Arifin. Gelar ini belum begitu dikenal banyak kalangan. Nama yang
sangat dikenal banyak orang adalah Sultan Ageng Tirtayasa. Nama Sultan
Ageng Tirtayasa ini adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat setempat
(masyarakat penduduk daerah yang bernama Tirtayasa).2
Perjuangannya dimulai sejak Ia kecil. Tubagus Atief kecil telah
diperintahkan ayahnya yakni pangeran Tirtayasa untuk pergi dari rumahnya
agar ia menuntut ilmu dan kelak ia bisa
berdakwah (menyiarkan agama
Islam). Hal ini serupa dengan keadaan sebelumnya yakni para Wali Songo. Di
2
Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah; Sultan, Ulama, Jawara (Jakarta:
Pustaka LP3S Indonesia, 2003), h. 47.
61
mana para Wali Songo telah melakukan perpindahan dari tempat satu ke
tempat lain yang tujuan dilakukannya hal itu adalah untuk berdakwah.3
Terbukti kegigihannya menuntut ilmu dan kepiawaian Tubagus Atief
membuat pangeran Tirtayasa merasa yakin atas Tubagus Atief. Hal ini dapat
dilihat saat Tubagus Atief diutus ke Benteng Selatan (Tangerang Selatan) pada
zaman penjajahan Belanda dulu.
“Pada waktu itu sebagai panglima perang Pangeran Tirtayasa mengutus
Tubagus Atief ke Benteng Selatan atau Tangerang Selatan ini. Ini karena penjajah
pelarian dari Benteng itu terdengar lari ke Benteng Selatan dan menjajah rakyat, dan
Tubagus Atief ini ditugaskan untuk membantu melindungi rakyat dari penjajah
Belanda dan sekaligus untuk menyebarkan agama Islam yang merupakan amanat
pula dari Sultan Ageng Tirtayasa. Kan dulunya disini, masyarakat Cilenggang ini
khususnya didominasi oleh agama Hindu, itu kira-kira pada tahun 1667. Adapun
yang pertama masuk Islam adalah justru dari kelompok Hindu. Mereka memang
menentang keras awalnya, mereka menunjukkan kekuatan-kekuatannya, namun
Tubagus Atief pun tak tinggal diam, melalui adu ilmu akhirnya mereka dengan izin
Allah mampu dikalahkan, kemudian mereka masuk agama Islam dan menjadi
pengikutnya.”4
Tidak heran rasanya jika Tubagus Atief kelak menjadi panglima perang
kalau melihat dari perjuangan-perjuangan ayahandanya yaitu Sultan Ageng
Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa merupakan salah seorang yang sangat
berjasa bagi Banten. Seperti disebutkan oleh Nina H. Lubis bahwa sejak
pemerintahan pertama sampai saat-saat terakhir, pangeran Tirtayasa sangat
besar jasa-jasanya terhadap Banten. Pada saat pemerintahannya Banten
berhasil menarik perdagangan bangsa Eropa, negara-negara tersebut seperti
Inggris, Perancis, Denmark, dan Portugis. Pangeran Tirtayasa mampu
memainkan perdagangan yang lugas dan mampu bersaing dengan VOC yang
menggunakan sistem monopoli perdagangan. Pada saat itu VOC dan Banten
sangat bersaing dan Pangeran Tirtayasa berhasil mamainkannya.5
3
Prof. Dr. KH. Agil Siradj, MA, “Kata Pengantar; Meneladani Strategi Kebudayaan Para
Wali,” dalam Agus Sunyoto, Wali Songo; Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan (Jakarta:
Transpustaka, 2011), h. xi.
4
Wawancara Pribadi dengan Sos Rendra, Tangerang Selatan, 28 Mei 2013.
5
Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah; Sultan, Ulama, Jawara (Jakarta:
Pustaka LP3S Indonesia, 2003), h. 47.
62
Pangeran Tirtayasa sendiri mempunyai sembilan anak yaitu, Sultan
Haji, Pangeran Purbaya, Pangeran Setiri, Pangeran Jogya, Raden Shoheh,
Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief), Ratu Ayu, Ratu Fatimah, Ratu
Komala. Kesembilan anak Pangeran Tirtayasa ini tumbuh besar kecuali anak
bungsu nya yang bernama Ratu Komala. Menurut penuturan Sos Rendra Ratu
Komala meninggal sejak ia kecil.6
Dari kesembilan anaknya ini mereka
mempunyai tugas masing-masing dari ayahandanya yaitu Pangeran Tirtayasa
termasuk Tubagus Atief yang ditugaskan ke daerah Tangerang yang dulunya
bernama Benteng Selatan. Menurut penuturan Sos Rendra nama Tangerang
berasal dari kata Tangger yang berarti tanda pembatas daerah. Pada saat
penjajahan Belanda tangger inilah yang dipertahankan oleh masyarakat
setempat agar tidak dikuasai oleh penjajah, sehingga muncullah istilah
menjaga tangger sampai perang dan akhirnya muncullah nama Tanggerang
atau menjaga tangger sampai perang.7
Perjuangan Tubagus Atief menyiarkan agama Islam sangat gigih dan
penuh semangat. Terbukti, berkat kerja keras itu sampai sekarang masyarakat
penduduk Tangerang pada umumnya memeluk agama Islam. Hingga saat ini
makamnya yang berada di kelurahan Cilenggang Serpong Tangerang Selatan
ramai dikunjungi orang untuk berziarah. Kebiasaan serupa juga terjadi pada
masyarakat Jawa pada umumnya. Selain dari makamnya yakni Keramat
Tajug, peninggalan sejarah Tubagus Atief juga dapat kita temui di
Cilenggang, yaitu masjid Al-Ikhlas. Masjid Al-Ikhlas ini merupakan
maskawin Tubagus Atief kepada istrinya yang bernama Siti Almiyah atas
permintaan masyarakat setempat. Dari pernikahannya itu Tubagus Atief
6
7
Wawancara Pribadi dengan Sos Rendra, Tangerang Selatan, 28 Mei 2013.
Wawancara Pribadi dengan Sos Rendra, Tangerang Selatan, 28 Mei 2013.
63
dikaruniai empat orang keturunan yaitu, Tubagus Romdhon, Tubagus Arpah,
Tubagus Raje, Tubagus Arja.8
Bagan 3.1
Silsilah Tubagus Atief
SYARIF HIDAYATULLAH
Pangeran Maulana Hasanudin
Ratu Winaon
Pangeran Maulana Yusuf
Pangeran Muhammad
Pangeran Abdul Mufahir
Pangeran Abdul Ma’ali
Sultan Ageng Tirtayasa
Tubagus Atief
mempunyai empat
anak yaitu Tubagus
Romadhon, Tubagus
Arpah, Tubagus Raje,
Tubagus Arja. Dari
empat anak ini
kemudian menyebar ke
berbagai daerah. Di
Cilenggang sendiri
merupakan keturunan
dari Tubagus Arja.
Tubagus Atief
Sumber: wawancara dengan Sos. Rendra9
B. Perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug”
1. Asal Mula Dilaksanakannya Haul “Cuci Pusaka Keramat Tajug”
Folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” merupakan kegiatan
rutinan tahunan yang telah cukup lama dilaksanakan oleh keluarga besar
Tubagus Atief. Dilakukan setiap tanggal 13 pada hitungan tanggal
8
9
Sos Rendra, Palayangan (Jakarta: Trans Mandiri Abadi, 2010), h. 41.
Wawancara Pribadi dengan Sos Rendra, Tangerang Selatan, 28 Mei 2013.
64
Hijriyah pada setiap tahunnya. Tidak ada yang dapat memastikan kapan
awal mula diadakannya pencucian benda-benda pusaka peninggalan
Tubagus Atief ini. Namun menurut Sos Rendra kurang lebih 400 tahun
yang lalu. Menurut penulis perkiraan ini dapat diperkuat juga dengan
perhitungan jarak keturunan di mana saat ini keluarga besar Tubagus Atief
sudah sampai pada keturunan ke sembilan.10
Awalnya pencucian pusaka ini dilakukan di rumah masing-masing
keturunan Tubagus Atief. Hal itu dilakukan untuk menghindari penjajah
(Belanda) dan bertujuan untuk mencegah agar benda-benda pusaka itu
tetap aman dari Belanda. Setelah beberapa lama kemudian mulailah
pencucian itu dilakukan dengan terang-terangan meskipun masih secara
sendiri-sendiri di rumah masing-masing keturunan Tubagus Atief. Hingga
pada akhirnya, pada tahun 1992 pencucian pusaka ini dilakukan secara
berjamaah di satu rumah dan hanya melibatkan keluarga besar saja.
Beberapa tahun berjalan kegiatan ini sangat mendapat antusias yang
besar dari masyarakat sekitar, hingga akhirnya pencucian pusaka di
lakukan di Masjid Al-Ikhlas yang bertepatan di depan rumah keluarga
besar Tubagus Atief dengan perayaan yang begitu semarak. Pada akhirnya
cuci pusaka dan sekaligus haul tahunan ini atas kesepakatan keluarga besar
dan masyarakat sekitar dilaksanakan di makam Keramat Tajug. Dan
perayaan ini dilakukan dengan beberapa kegaitan tersusun secara
kepanitiaan dengan berbagai macam sistem nilai-nilai budaya.11
10
11
Wawancara Pribadi dengan Sos Rendra, Tangerang Selatan, 28 Mei 2013.
Wawancara Pribadi dengan Sos Rendra, Tangerang Selatan, 28 Mei 2013.
65
2. Gambaran Perayaan Folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug”
a. Pelaksanaan Cuci Pusaka di Rumah Keluarga Besar
Perayaan Folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” dilakukan
dalam waktu sehari semalam. Dimulai dari pagi hari hingga berakhir
malam harinya. Perayaan ini dimulai dari pencucian pusaka berupa
keris, tombak, kujang, golok, pedang dan pisau. Kegiatan pencucian
benda-benda pusaka ini dilakukan di rumah salah satu keluarga besar
keturunan dari Tubagus Atief. Pada sore harinya selepas solat magrib
dilakukan pawai obor dan berarak-arakan dari masjid Al-Ikhlas yang
ada di depan rumah keluarga besar Tubagus Atief.
Pada saat pelaksanaan cuci pusaka di rumah keluarga besar
Tubagus Atief, ada beberapa hal penting di dalamnya yang menjadi
rutinitas setiap kali dilaksanakan pencucian itu. Misalnya pembacaan
tahlil dan ditutup dengan pembacaan doa. Kemudian dilanjutkan
dengan penyampaian nasihat-nasihat agama oleh salah seorang yang di
tuakan. Acara pencucian pusaka ini hanya diikuti keluarga besar yan
mempunyai silsilah keturunan dari Tubagus
Atief saja. Walaupun
terkadang ada orang lain selain dari keturunan keluarga Tubagus Atief,
hal itu tidak ada larangan bagi orang lain untuk mengikutinya.
b. Pawai Obor
Pawai obor dilakukan di sore hari. Persiapannya dimulai dari
sekitar pukul 16.30 sampai pemberangkatan pawai tersebut setelah
solat magrib. Seperti pelaksanaan pawai obor pada umumnya, pada
perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini sangat meriah.
66
Diiringi rebana, yaitu gendang pipih bundar yg dibuat dari tabung kayu
pendek dan agak lebar ujungnya, pada salah satu bagiannya diberi
kulit, biasanya kulit yang digunakan adalah kulit kambing. Masyarakat
yang terlibat bernyanyi dengan alunan selawat dan lagu-lagu islami di
sepanjang jalan dari halaman masjid Al-Ikhlas menuju makam
Keramat Tajug yang jaraknya tidak terlalu jauh.
Pawai obor ini dikemas sedemikian rupa agar mendapatkan kesan
yang meriah. Hai ini dimaksudkan untuk mengumumkan pada
masyarakat sekitar bahwa pada saat itu dilaksanakan haul dan
pencucian pusaka peninggalan Tubagus Atief. Diikuti masyarakat
sekitar dalam berbagai budaya yaitu Jawa, Sunda dan Betawi yang
sangat antusias dalam pawai obor ini. Terlepas dari itu pawai obor ini
juga sebagai syiar untuk masyarakat setempat melalui alunan-alunan
lagu-lagu shalawat yang dibawanya dengan iringan hadrah.
Pasukan hadroh dan beberapa orang yang mengikuti untuk
membacakan solawat berada di barisan depan. Disusul dengan
beberapa orang yang dengan khusus ditugaskan utntuk membawa
peralatan-peralatan, seperti nasi tumpeng, senjata-senjata, makananmakanan khas daerah cilenggang, dan buah-buahan bahkan sampai
makanan-makanan yang modern.
Dibarisan kedua, tepatnya dibelakang barisan hadroh berbaris dan
berjalanan sekelompok orang laki-laki khusus dari keturunan Tubagus
Atief, meskipun ini tidak direncanakan dan tidak ada unsur-unsur
tersendiri. Kemudian disusul oleh warga setempat lengkap dengan
obornya, mereka masing-masing telah mempersiapkan diri.
67
c. Haul di Makam Keramat Tajug dan Pencucian Tutup Pusar
Secara garis besar adanya haul ini bertujuan untuk mengenang
perjuangan-perjuangan Tubagus Atief semasa hidupnya. Sebagai
ungkapan rasa terimakasih, masyarakat setempat dengan diprakarsai
oleh keluarga besar Tubagus Atief mengenanganya dengan pencucian
pusaka peninggalan serta diadakannya haul. Tidak hanya itu
masyarakat setempat juga melakukan serangkaian doa dan tahlil. Pada
saat perayaan di makam keramat Tajug ini disampaikan pula kisahkisah perjuangan Tubagus Atief semasa hidupnya. Biasanya Sos
Rendra yang dipercaya oleh keluarga untuk menyampaikan riwayat
hidup Tubagus Atief.12
Pada kesempatan ini pula H. Tubagus Tubagus H. Imamudin
menyampaikan pesan-pesan agama kepada masyarakat yang mengikuti
perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” secara bergantian. Secara
garis besar memang perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini
mempunyai susunan acara yang sudah dirancang oleh panitia. Acara
ini meliputi pertama, pembukaan oleh pembawa acara dengan
dibacakan surah Al-Fatihah.13 Kedua, pembacaan ayat suci Al-Qur’an.
Ketiga sambutan disampaikan oleh perwakilan keluarga besar Tubagus
Atief yang diwakili oleh Sos Rendra, kemudian sambutan oleh Bpk
Mehdi Solihin, S.Sos sebagai lurah Cilenggang dan Bapak Camat
Serpong yang dalam kesempatan kali ini mewakili Wali Kota
Tangerang Selatan yaitu Hj. Airin. Keempat, pencucian benda pusaka
12
13
Pengamatan langsung saat perayaan Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.
Yaitu surat pertama dalam Al-Quran yang berjumlah tujuah ayat.
68
Tutup Pusar. Tutup pusar ini semacam logam berbentuk bulat.
Menurut Tubagus H. Imamudin, tutup pusar tersebut adalah benda
pusaka pemberian pangeran Tirtayasa. Tutup pusar tersebut dicuci
dengan air dalam sebuah wadah yang telah dicampur dengan kembang
tujuh rupa. Kembang tujuh rupa merupakan tradisi yang telah dipakai
oleh masyarakat di Asia seperti di India dan Nusantara. Pada setiap
masing-masing daerah memiliki bentuk kembang yang berbeda-beda.14
Kembang tujuh rupa yang dimaksud dalam perayaan folklor “Haul
Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini adalah kembang mawar, kembang
melati, kembang cempaka, kembang kantil, kembang kenanga,
kembang sedap malam, serta kembang melati gambir. Kembangkembang tersebut dicampurkan ke dalam wadah menjadi satu dengan
diberi air secukupnya. Tutup Pusar nanti akan di sentuh oleh
masyarakat sekitar yang hadir pada saat perayaan ini. Bersamaan
dengan pembacaan kalimat tahlil, tutup pusar yang sudah berada dalam
wadah diangkat oleh seseorang yang secara khusus ditugaskan yaitu
Ust Ratu Muhammad Aris. Benda itu dibawa kepada setiap masyarakat
yang hadir untuk dipegang serta dibersihkan secara simbolis, kemudian
air dari hasil cuciannya diusapkan ke wajah guna mengambil berkah
dari benda peninggalan Tubagus Atif yang dianggap seorang wali.
Dalam istilah agama Islam wali adalah orang yang suci yang
mempunyai bentuk ibadah yang kuat sehingga diberikan kekaromahan
oleh Allah.15 Tidak jarang warga yang mengikuti “Haul Cuci Pusaka
14
Wawancara pribadi dengan Tubagus Muhammad Aris. Tangerang Selatan, 28 Mei
2013.
15
Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 1267.
69
Keramat Tajug” berebut untuk mengambil air dari hasil cucian pusaka
tutup pusar itu untuk dibawa pulang. Kelima, pembacaan maulid Nabi
Muhammad SAW. yang dipimpin oleh Ust Ghozali. Pada kesempatan
ini maulid yang dibacakan adalah maulid Al-Diba’i.16 Keenam, sebagai
penyempurna perayaan ini ditutup dengan pembacaan doa oleh Ust.
Ghozali. Enam poin mata acara inilah yang menjadi rutinitas tahunan
yang dilaksanakan di Makam Keramat Tajug.
Selepas dari mata acara ini masyarakat yang tergabung dalam
Folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini menikmati hidangan
yang telah tersedia berupa tumpeng khas masyarakat Cilenggang.
Mereka menyebutnya dengan nasi Kabuli.17
C. Gambaran Umum Kelurahan Cilenggang
1. Letak Geografis
Secara geografis kelurahan Cilenggang terletak di bagian barat
kecamatan Serpong dengan batas masing-masing daerah setiap ujungnya.
Adapun luas kelurahan Cilenggang yaitu 167, 33 Ha dengan ketinggian 45
meter di atasa permukaan laut. Bagian barat kelurahan berbatasan dengan
kecamatan Cisauk kabupaten Tangerang. Batas bagian timur berbatasan
dengan kelurahan Cilenggang ini berbatasan dengan kelurahan Rawa
Buntu. Sedangkan bagian selatan berbatasan dengan kelurahan Serpong
dan bagian utara berbatasan dengan kelurahan Lengkong Gudang.
16
Al-Barzanji. Kumpulan Maulid, Solawat dan Doa Penutupnya (Surabaya: Amalia,
1998), h. 13.
17
Sos Rendra, Palayangan (Jakarta: Trans Mandiri Abadi, 2010), h. 41.
70
Secara umum setiap kelurahan atau desa penggunaannya akan
dialokasikan atas enam poin penting, yakni, sawah, dataran kering (darat),
perkebunan, hutan, hutan rakyat, dan permukiman rakyat. Cilenggang
dengan luas 167, 33 Ha telah digunakan masyarakat setempat dengan
penggunaan yang beragam pula. Menurut data dari uraian monografi
kelurahan Cilenggang, dari penggunaannya kelurahan Cilenggang telah
dialokasikan atas beberapa penggunaan, hanya saja pada kelurahan
Cilenggang tidak ada sawah, hutan dan hutan rakyat, jadi Cilenggang
hanya digunakan untuk permukiman seluas 145.22 Ha, daratan kering
yang belum digunakan seluas 20.91 Ha, dan perkebunan 1. 20 Ha.
2. Keadaan Penduduk
Secara keseluruhan jumlah penduduk Cilenggang berjumlah 2.494 Kepala
Keluarga (KK). Berdasarkan jenis kelamin jumlah laki-lakinya berjumlah
4.069 jiwa, sedangkan perempuannya berjumlah 3.905 jiwa dengan total
keseluruhan 7.074 jiwa. Untuk mempermudah berikut perincian penduduk
Cilenggang dalam bentuk tabel dari monografi kelurahan Cilenggang .
Tabel 3.1. Keadaan Penduduk Berdasarkan Jumlah Kelompok Usia
No
Umur / Usia
Jumlah
Satuan
1
00 sampai dengan 04 tahun
314
Jiwa
2
05 sampai dengan 09 tahun
380
Jiwa
3
10 sampai dengan 14 tahun
411
Jiwa
4
15 sampai dengan 19 tahun
879
Jiwa
5
20 sampai dengan 24 tahun
837
Jiwa
71
6
25 sampai dengan 29 tahun
739
Jiwa
7
30 sampai dengan 34 tahun
841
Jiwa
8
35 sampai dengan 39 tahun
691
Jiwa
9
40 sampai dengan 44 tahun
657
Jiwa
10
45 sampai dengan 49 tahun
519
Jiwa
11
50 sampai dengan 54 tahun
519
Jiwa
12
55 sampai dengan 59 tahun
392
Jiwa
13
60 tahun ke atas
795
Jiwa
7.974
Jiwa
Jumlah Keseluruhan
Sumber: Profil Kelurahan Cilenggang 2011.
Tabel 3.2. Keadaan Penduduk Menurut Agama dan Kepercayaan
No
Agma
Jumlah
Satuan
1
Islam
6.503
Jiwa
2
Kristen
802
Jiwa
3
Katolik
449
Jiwa
4
Hindu
86
Jiwa
5
Budha
77
Jiwa
6
Konghucu
55
Jiwa
7
Aliran kepercayaan
2
Jiwa
7.974
Jiwa
Jumlah Keseluruhan
Sumber: Profil Kelurahan Cilenggang 2011.
72
Tabel 3.3. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No
Umur / Usia
Jumlah
Satuan
1
Tidak / belum sekolah
681
Jiwa
2
Belum tamat SD
805
Jiwa
3
Tamat SD
1.529
Jiwa
4
Tamat SLTP
1.730
Jiwa
5
Tamat SLTA
2.383
Jiwa
6
D III
449
Jiwa
7
D IV / S1
303
Jiwa
8
S2
70
Jiwa
9
S3
24
Jiwa
7.974
Jiwa
Jumlah Keseluruhan
Sumber: Profil Kelurahan Cilenggang 2011.
Tabel 3.4. Keadaan Penduduk Berdasarkan Pekerjaan
No
Umur / Usia
Jumlah
Satuan
1
Tidak / belum bekerja
570
Jiwa
2
Mengurus Rumah Tangga
2.103
Jiwa
3
Pelajar / Mahasiswa
1.853
Jiwa
4
Pensiunan
31
Jiwa
5
Pegawai Negri Sipil PNS
47
Jiwa
6
Tentara Nasional Indonesia TNI
19
Jiwa
7
Polisi Republik Indonesia (POLRI)
18
Jiwa
8
Pedagang
781
Jiwa
9
Petani
4
Jiwa
10
Peternak
4
Jiwa
11
Nelayan
-
Jiwa
1.730
Jiwa
Karyawan BUMN / BUMD/
12
Swasta
73
13
Buruh Harian Lepas
623
Jiwa
14
Guru
83
Jiwa
15
Dosen
-
Jiwa
16
Dokter
10
Jiwa
17
Perawat
9
Jiwa
18
Bidan
12
Jiwa
19
Lainnya
77
Jiwa
7.974
Jiwa
Jumlah Keseluruhan
Sumber: Profil Kelurahan Cilenggang 2011.
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Proses Komunikasi Antarbudaya Melalui Folklor “Haul Cuci Pusaka
Keramat Tajug”
Setiap manusia mempunyai cara sendiri dalam menyampaikan pesan
terhadap manusia lain. Cara tersebut tergambar bagi setiap manusia yang memiliki
latar belakang budaya yang berbeda. Terpisah oleh batas wilayah, batas norma,
batas hukum, adat daerah, dan pembatas-pembatas lain menyebabkan manusia
akan terus mengalami perubahan dan perbedaan dalam berkomunikasi.
Pembahasan komunikasi yang melibatkan manusia yang mempunyai latar
belakang budaya yang berbeda inilah yang disebut dengan komunikasi
antarbudaya.1
Dalam perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini melibatkan
masyarakat sekitar yang penduduknya terdiri dari beberapa budaya. Dalam
pengamatan langsung peneliti di kelurahan Cilenggang memang banyak peneliti
temukan masyarakat Jawa dan Betawi pendatang yang bertempat tinggal di daerah
Cilenggang. Selain dari itu, termasuk juga masyarakat Sunda yang memang asli
dari penduduk setempat.
Berada di tengah-tengah kota Bumi Serpong Damai (BSD) membuat
Cilenggang menjadi tempat yang diminati oleh masyarakat pendatang. Kelurahan
Cilenggang merupakan tempat yang strategis dan mempunyai akses yang ideal
bagi mereka yang tinggal di Cilenggang. Menurut pernyataan bapak Mehdi
Solihin, Lurah Cilenggang, memang sudah banyak masyarakat pendatang
umumnya Jawa dan Betawi yang sudah tinggal di Cilenggang ini.
1
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi
dengan Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009), h. 179.
74
75
Secara umum komunikasi antarbudaya yang terjadi pada perayaan “Haul
Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini tergambar melalui Teori Joseph A. Devito dan
Andi Faisal Bakti. Meski tidak semua jenis komunikasi antarbudaya yang terjadi
dalam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” sesuai dengan teori Joseph A.
Devito dan Andi Faisal Bakti.2 Pembahasan Teori Joseph A. Devito dan Andi
Faisal Bakti ini akan dibahas dan dianalisis pada poin khusus di pembahasan
berikutnya.
Dari pertemuan beberapa budaya inilah yang menyebabkan adanya
komunikasi antarbudaya dan menghasilkan temuan-temuan baru yang dapat
dianalisis. Dalam konteks komunikasi antarbudaya, pelaksanaan folklor “Haul
Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini, peneliti melihatnya ada bentuk komunikasi yang
unik dan menarik. Melalui pengamatan langsung, penulis dapat menganalisis
beberapa bentuk pelaksanaan kegiatan dalam perayaan “Haul Cuci Pusaka
Keramat Tajug” yang ada pada masing-masing budaya di antara mereka. Berikut
penjelasannya:
A. Analisis Jenis Komunikasi Antarbudaya Menurut Joseph A. Devito dan
Andi Faisal Bakti
Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, pada teori Joseph A.
Devito peneliti hanya menemukan empat temuan saja dari delapan jumlah
teori jenis-jenis komunikasi antarbudaya. Sedangkan teori Andi Faisal Bakti
peneliti menemukan dua temuan dari tujuh teori yang ada. Berkut
penjelasakan jenis komunikasi antarbudaya yang terjadi pada perayaan folklor
“Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” Cilenggang Serpong Tangerang Selatan.
2
Lihat Bab I pada bagan teori 1.1.
76
1. Komunikasi Antara Etnis yang Berbeda
Dalam perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini terjadi
pada kelompok keturunan keluarga Tubagus Atief dengan masyarakat
keturunan orang biasa di luar keluarga Tubagus Atief. Golongan ini lebih
terhormat dari pada orang Sunda biasa menurut pemahaman banyak orang
(masyarakat setempat). Nama Tubagus menjadi simbol bagi kelompok
tersebut bahwa kelompok tersebut adalah keturunan raja pada zaman
dahulu.
Temuan ini dapat dibuktikan dengan banyaknya nama Tubagus di
Kelurahan Cilenggang.
“Dari hasil perkawinannya itu (Tubagus Atief dengan Siti Almiyah),
Tubagus Atief dikaruniai empat orang anak. Mereka adalah, Tubagus Romhadon
yang dimakamkan di Kali Pasir Kota Tangerang, kemudian Tubagus Arpha
dimakamkan di Keramat Tajug, lalu Tubagus Rajhe dimakamkan di Kadubungbang
Cimanuk Pandeglang, kemudian yang terakhir adalah Tubagus Arja dimakamkan di
Keramat Tajug. Dan kami ini pada umumnya masyarakat Cilenggang merupakan
keturunan dari Tubugus Arja. Dari masing-masing putra yang empat ini masingmasing mempunyai keturunan dan sampai sekarang masih ada di daerah masingmasing pula.”3
Gambar 4.1. keluarga besar keturunan Tubagus Atief.
Pada gambar 4.1. tampak kaum laki-laki dan perempuan. Gambar
diambil saat pencucian pusaka peninggalan Tubagus Atief di kediaman
keluarga besar Tubagus Atief 25 Januari 2013. Hampir semua yang ada
3
Wawancara Pribadi dengan Tubagus Sos Rendra, Tangerang Selatan, 28 Mei 2013.
77
pada saat pencucian pusaka tersebut bergelar Tubagus dan Ratu. Seperti
Tubagus Imamudin, Tubagus Komarudin, Tubagus Sos Rendra.
Selain itu komunikasi antara etnis yang berbeda ini juga tampak
jelas dari perbedaan bahasa dari masing-masing budaya. Melalui penelitian
langsung di lapangan, memang bahasa Sunda, Betawi, dan Jawa sesekalai
peneliti temukan pada perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat
Tajug.”
2. Komunikasi Antara Sub Kultur yang Berbeda
Dalam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” komunikasi
antara subkultur ini terjadi antara kelompok pedagang dengan kelompok
orang pekerja bangunan, dan orang orang yang bekerja di pemerintahan
daerah dengan masyarakat biasa. Sebagian mereka yang dari Jawa
merantau dan berdomisili di Cilenggang banyak yang memilih berdagang.
Jenis dagangan yang mereka pilih adalah ketoprak, gado-gado dan rujak
buah. Mereka berdagang dengan cara menjajakan makanan. Adapun
pilihan lain selain berdagang adalah bekerja sebagai kuli bangunan.
“Sekarang sudah membaur masyarakat asli Cilenggang dengan
masyarakat pendatang itu sudah membaur. Sekarang sudah modern kan sudah
tidak tabuh lagi lah. Selama masyarakat pendatang itu baik sama kita, ya kita
juga baik lah. Gitu aja. Mereka ada yang dagang, ada yang jualan gado-gado,
ada yang belajar juga, macam-macam lah.”4
Daerah Cilenggang merupakan daerah yang tidak jauh jaraknya
dengan Bumi Serpong Damai (BSD), di mana pembangunan di kota BSD
sangat pesat. Mereka para perantau yang ada di daerah Cilenggang tidak
sedikit yang bekerja pada pembangunan tersebut.5
4
Wawancara pribadi dengan Bapak Mehdi Solihin S.Sos, Tangerang Selatan 23 Juni
2013.
5
Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia. Penerjemah Agus Maulana (Jakarta:
Profesional Books, 1997), h. 480-481.
78
Gambar 4.2.
Salah satu rumah kontrakan warga pendatang di Cilenggang
Gambar 4.2 ini adalah tempat di mana sebagian perantau tinggal di rumah
ini. Rumah kontrakan sederhana ini berdekatan dengan rumah Tubagus
Imamudin.
Selain dari komunikasi antara kelompok pekerja bangunan dan
pedagang, pada perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug,”
model komunikasi antara subkultur yang berbeda ini terjadi pula antara
kelompok pejabat pemerintah daerah dengan masyarakat biasa. Seperti
Lurah dan Camat dengan masyarakat yang hadir.
Gambar 4.3.
Camat Serpong, mewakili Wali Kota Tangerang Selatan sedang
memberikan sambutan.
79
Gambar 4.3. adalah Bapak Durahman, Camat Serpong yang dalam hal
ini mewakili Wali Kota Tangerang Selatan. Dalam sambutannya Durahman
merasa senang dengan diadakannya acara folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat
Tajug” ini.
“Ini merupakan hal yang luar biasa, menunjukkan bahwa Tangerang Selatan ini
memang betul-betul kota yang religius. Saya mewakili ibu Airin, Wali Kota Tangerang
Selatan mengucapkan banyak terimakasih kepada para panitia dan sekaligus apresiasi
saya dalam perayaan ini. Semoga kedepan perayaan seperti ini dapat dikemas lagi
sedemikian rupa, sehingga semua masyarakat dari berbagai golongan dapat mengikuti
acara ini dengan baik dan sempurna.”6
Demikian sambutan yang disampaikan oleh Durahman. Selain dari itu,
Durahman juga menyampaikan beberapa hal yang menjadi agenda kegiatan
pemerintah kota Tangerang Selatan berikutnya. Setelah sambutan dari
Durahman selesai, dilanjutkan oleh Mehdi Solihin sebagai Lurah Cilenggang.
Mehdi Solihin juga termasuk bagian dari keturunan dari keluarga besar
Tubagus Atief.
Gambar 4.4.
Lurah Cilenggang, Mehdi Solihin, S.Sos memberikan sambutan
Dalam sambutannya, Mehdi Solihin memberikan himbauan kepada
masyarakatnya agar selalu hidup dalam kerukunan dan kedamaian. Mehdi
6
Pengamatan langsung di lapangan, Cilenggang 25 Januari 2013.
80
Solihin juga menghimbau agar dengan adanya acara tahunan ini dapat
dijadikan sarana untuk saling menjaga tali silaturrahmi antara masyarakat
setempat baik pendatang maupun yang asli masyarakat cilenggang.7
Dalam
kesempatan
wawancara
juga
Mehdi
Solihin
juga
menyampaikan bahwa kegiatan folklor ini sangat bermanfaat bagi
masyarakat Cilenggang.
“Itu kan benda-benda peninggalan orang tua yang memang benar-benar bersejarah
kan, jadi menurut saya warga baik yang pendatang maupun yang asli masyarakat
Cilenggang perlu tahu itu. Adapun perayaannya kan tidak disakralkan, kita hanya
untuk mengenang saja. Biar tahu bahwa dulu beliau ini adalah orang tua kita sebagai
pejuang yang memperjuangkan agama islam, dan itu memang sudah rutin
dilaksanakan. Tidak ada seremonial yang khusus gitu, hanya dalam bentuk do‟a yang
memang biasa dibaca. Buat saya ini mah hal sangat bagus sekali, kan dari sini warga
saya jadi lebih mengenal sejarah dari kampung nya sendiri.” 8
3. Komunikasi Antara Subkultur dengan Kultur yang Dominnan
Dalam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” komunikasi jenis
ini terjadi pada kelompok
pemilik budaya yang mendominan dengan
kelompok orang yang dari luar pemilik budaya, dalam hal ini antara
keturunan keluarga Tubagus Atief dengan masyarakat biasa yang hadir.
Gambar 4.5.
Masyarakat sedang menunggu sebagian keluarga besasar keturunan
Tubagus Atief
7
8
2013.
Pengamatan langsung di lapangan, Cilenggang 25 Januari 2013.
Wawancara pribadi dengan Bapak Mehdi Solihin S.Sos, Tangerang Selatan 23 Juni
81
Pada gambar 4.5. tampak sekelompok masyarakat yang sedang
menunggu Tubagus Imamudin, Tubagus Tubagus Sos Rendra, Tubagus H.
Imamudin dan beberapa orang dari keturunan Tubagus Atief untuk
menempati tempat paling depan, dekat dengan pemakaman Tubagus Atief.
“Itu mah tidak ada peraturan khusus yang menjelaskan kenapa harus
begini dan begitu. Termasuk siapa yang harus duduk di depan atau di belakang.
Kami semua sama sih. Tapi mungkin yang menjadi pertimbangannya karena kami
keturunan dari pada Tubagus Atief dan H.Imamudin itu kakak kami yang dituakan,
maka hal tersebut terjadi begitu saja.”9
Menurut keterangan H. Mu‟in hal tersebut tidak wajib adanya.
Artinya tidak ada hukum tertentu yang mengatur agar yang duduk di depan
itu keturunan Tubagus Atief saja. Walaupun demikian, mereka yang
mendominasi jalannya acara folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug”
adalah mereka dari keturunan Tubagus Atief.
Selain itu juga terjadi pada orang dewasa dengan anak-anak. Hal ini
dapat dilihat dari sebagian mereka yang mengikuti acara folklor “Haul Cuci
Pusaka Keramat Tajug” ini adalah anak-anak. Mereka adalah anak-anak
warga Cilenggang yang dengan sengaja hadir ke makam Keramat Tajug
untuk mengikuti kegiatan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug”
Jumlah anak-anak di kelurahan Cilenggang ini cukup besar. Anak-anak yang
dimaksud adalah anak-anak yang dalam hitungan usia mereka berusia
kisaran 15 sampai 19 tahun.10
Data ini diperkuat juga melalui wawancara peneliti saat perayaan
folklor berlangsung. Mereka juga berasal dari santri Ust. Ghozali yang
dibawa dari pesantren yang tempatnya tidak jauh dari makam Keramat
Tajug.
9
Wawancara Pribadi dengan Bapak H. Mu‟in. Tangerang Selatan, 23 Juni 2013.
Lihat Bab III pada table 3.1.
10
82
Gambar 4.6.
Anak-anak yang hadir sedang menyimak sejarah perjuangan
Tubagus Atief
Dalam acara ini panitia menyediakan tempat khusus untuk anakanak. Mereka ditempatkan di sebelah kanan makam Tubagus Atief. Ini
dimaksukan agar pada saat perayaan berlangsung anak-anak yang hadir
tidak terlalu mendekat ke depan dan berdekatan dengan pencucian Penutup
Pusar. Ada bagian khusus untuk anak-anak baik laki-laki dan perempuan
4. Komunikasi antara Jenis Kelamin yang Berbeda
Komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda pada folklor “Haul
Cuci Pusaka Keramat Tajug” terjadi antara kaum laki-laki dengan
perempuan. Pada perayaan folklor ini, laki-laki lebih berperan banyak
dalam acara. Sementara perempuan hanya sebagai juru masak, penerima
tamu dan lebih berada di belakang.
Hal
tersebut
menjadi
bukti
dalam
perayaan
ini
terjadi
maskulinisasi. Yaitu anggapan bahwa laki-laki lebih siap secara mental
(jiwa) nya dibandingkan dengan perempuan.11 Hal ini terbukti dari
sebagian besar kegiatan folklor didominasi oleh laki-laki. Mulai dari
11
Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h.
83
pembacaan kisah Tubagus Atief sampai pada pembacaan doa penutup di
akhir acara, semua dilakukan oleh kaum laki-laki. Dari sekian banyak
acara yang dilakukan pada perayaan ini perempuan hanya bertugas sebagai
juru konsumsi dan perlengkapannya. Bahkan pada kegiatannya perempuan
berada di luar makam Keramat Tajug.
Gambar 4.7.
Kaum perempuan ditempatkan di luar makam Keramat Tajug saat perayaan.
Gambar 4.7. ini terlihat kaum perempuan berada di luar makam
Keramat Tajug. Tidak ada keterangan secara pasti mengapa kaum
perempuan di tempatkan di luar.
Dari keterangan teori Joseph A. Devito dan Andi Faisal Bakti
komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda ini memiliki kesamaan.
Oleh karena itu, peneliti tidak perlu menjelaskan lagi.
5. Komunikasi Antara Kaum Tradisionalis dengan Kaum Modernis
Pada perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini,
peneliti melihat secara umum memang yang tergolong ke dalam kaum
tradisionalis adalah mereka yang secara pendidikan masih minim. Begitu
84
juga sebaliknya, mereka kaum modernis adalah orang-orang yang
mengenyam pendidikan tinggi. Dari data profil kelurahan Cilenggang
tahun 2011, memang masyarakat Cilenggang yang tamatan Sekolah Dasar
(SD) dan Sekolah Mengengah Pertama (SMP) lebih banyak dibandingkan
dengan yang luluasan SMA. Tercatat ada 1.529 jiwa tamatan SD, dan
1.730 jiwa tamatan SMP. Itu artinya tamatan SD dan SMP saja jika di
gabung berjumlah 3.259 jiwa.12 Dari data tersebut, maka peneliti dapat
menyimpulakan bahwa kaum tradisionalis akan lebih kelihatan di banding
dengan kaum modernis. Selain data di atas peneliti juga melihat malalui
pengamatan langsung di lapangan.
Gambar 4.8.
Masyarakat saat mencuci pusaka Penutup Pusar
Gambar 4.8. merupakan suasana saat pencucian pusaka Penutup
Pusar. Bak berukuran sedang yang diangkat oleh Tubagus Muhamad Aris
menjadi sorotan masyarakat yang hadir dan mereka cenderung berebutan.
Meraka yang telah mencuci pusaka itu kemudian mengusapkannya ke
12
Lihat Bab III pada table 3.3.
85
wajah. Tidak ada anjuran memang dari pihak pemilik folklor, namun
sebagian mereka memahami bahwa air yang digunakan untuk mencuci
pusaka Penutup Pusar itu adalah air berkah. Menurut penuturan H. Mu‟in
memang masyarakat yang hadir mempunyai pandangan yang berbedabeda, dulu bahkan mereka ada yang sampai meminumnya. Akan tetapi
menurut H. Mu‟in hal tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja.
“Ini tergantung pemahaman kita masing-masing, biasanya mereka yang
menganggap demikian ini mereka yang selalu menganggap hal ini bid‟ah.
Bid‟ah kan ada yang baik dan ada yang buruk, tidak semua bid‟ah itu sesat dan
musyrik. Berikutnya tergantung bagaimana kita menjelaskannya kepada
masyarakat, jangan sampai kita menganut TBC (tahayul, bid’ah, churafat).
Kami pun tidak sembarangan mengajak masyarakat, karena kami juga
13
bertanggung jawab akan hal itu.”
Dalam proses analisis peneliti agak sulit membedakan antara kaum
tradisionalis dengan kaum modernis. Peneliti banyak menemukan
kejanggalan dalam menganalisis data. Dalam pencucian pusaka Penutup
Pusar, banyak kalangan terpelajar yang menurut peneliti anggap sebagai
kaum modernis akan tetapi pada saat perayaan mereka justru melakukan
tindakan yang tergolong pada ciri kaum tradisionalis. Artinya ada
kemungkinan adanya folklor ini masih menyisakan adat yang kental dan
tertutup, meskipun dari kalangan terpelajar pula.
B. Analisis Folklor Menurut Teori Andi Faisal Bakti (Teori Dua Puluh)
Setelah peneliti melakukan analisis komunikasi antarbudaya di atas,
peneliti akan melakukan analisis data dengan teori yang dikemukakan oleh
Andi Faisal Bakti melalui teori Komunikasi Antarbudaya (KAB) yang
berjumlah dua puluh.
13
Wawancara Pribadi dengan Bapak H. Mu‟in. Tangerang Selatan, 23 Juni 2013.
86
Dari penjelasan di atas, kemudian peneliti menggunakan beberapa teori
dari hasil temuan di lapangan. Dari dua puluh teori hanya digunakan beberapa
teori saja. Pertama, Etre pense par sa culture, lawan dari teori ini adalah
Penser sa culture. Kedua, Heriter la culture, lawan dari teori ini adalah
Acquerir la culture. Ketiga, Adoration of scriptures, lawan dari teori ini
adalah Interpretation of scriptures. Keempat, adalah teori Gemeinschaft,
lawan teori ini adalah Gesellschaft. Kelima, terakhir, Vernacular language,
lawan dari teori ini adalah Vehicular language.14 Lima teori inilah temuan
peneliti di lapangan yang akan peneliti analisis.
1. Etre pense par sa culture
Etre pense par sa culture adalah pemikiran Komunikasi
Antarbudaya (KAB)
yang menjelaskan keadaan suatu kelompok,
golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang
dikendalikan atau dikontrol oleh budaya masa lalu nya. Lawan dari teori
ini adalah Penser sa culture. Dalam Islam teori ini sejalan dengan Almuhafadzotu ‘ala Al-Qadim Al-Sholih wa Al-Akhdzu bi Al-Jadid Al-Aslah.
Pada kategori teori ini ada beberapa data yang menjadi bukti atau
sebagai penguat teori. Adapun beberapa temuan yang menjadi bukti bahwa
folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” termasuk dalam kategori teori
ini antara lain:
14
Lihat Bab II pada tabel 2.2.
87
a. Ketetapan tanggal perayaan (Tanggal 14 Rabiul Awal)
Diadakannya folklor “Haul Cuci Puska Keramat Tajug” setiap
tanggal 14 bulan Rabiul Awal tidak lepas dari perjanjian tiga kerajaan,
yakni Banten, Cirebon, dan Cilenggang sendiri. Penuturan H. Mu‟in
dalam kesempatan wawancara, bahwa tanggal 15 cuci pusaka di
Banten, sedangkan di Cirebon tanggal 16. Jadi tiga serangkai ini sudah
keliling bergantian. Dan dan mereka juga meyakini bahawa
pelaksanaan cuci pusaka ini tidak boleh ada yang saling mendahului,
harus sesuai dengan jadwal.
b. Disakralkannya Pusaka Penutup Pusar
Benda Penutup Pusar inilah yang menurut peneliti sangat
disakralkan. Terbukti pada beberapa data di lapangan, seperti adanya
prosesi khusus untuk pencucian. Meskipun beberapa keterangan dari
hasil wawancara menunjukkan bahwa Penutup Pusar hanyalah
Penutup Pusar biasa. Seperti keterangan Tubagus Tubagus Muhammad
Aris.
“Penutup Pusar itu kan peninggalan ayahandanya. Sedangkan
pusaka-pusaka yang lain bukan peninggalan ayahnya. Itu saja mungkin
perbedaannya. Zaman dulu, terutama anak raja itu pasti ada Penutup
Pusarnya, ada yang dari emas, ada yang dari tembaga tergantung orang
tuanya. Kalau kita dulu pakai gobangan kan (duit logam) sekarang saja
yang enggak ada. Nah gobangan itu diikat pake kain (bahan) terus diikat ke
pinggang agar dapat menutupi pusar. Supaya apa? Ya supaya jangan dosol
(pusar yang menonjol).”15
Keterangan dari Tubagus Tubagus Muhammad Aris memang
seolah-seolah menunjukkan bahwa Penutup Pusar tidak ada bedanya
dengan pusaka yang lain, akan tetapi pada peraktiknya Penutup Pusar
sangat disakralkan
15
2013.
Wawancara Pribadi dengan Tubagus Muhammad Aris. Tangerang Selatan, 28 Mei
88
Gambar 4.9.
Penutup Pusar, sesaat setelah dicuci bersama-sama dengan masyarakat
Dari gambar 4.9. tampak pusaka Penutup Pusar yang masih
basah dan tampak pula sisa dari kembang tujuh rupa. Setelah dicuci,
Penutup Pusar dibungkus dengan kain putih dan diletakkan di dalam
kotak kecil seperti tampak pada gambar.
c. Makanan Khas
Makanan khas yang dimaksud adalah makanan yang menurut
adat setempat wajib adanya. Ada dua makanan yang wajib ada pada
saat perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini, yaitu
nasi kebuli dan ayam bekakak. Nasi kebuli menurut keterangan
Tubagus Sos Rendra nasi kebuli itu memang dari dulu sudah ada,
sampai saat ini menjadi makanan khas saat perayaan.
“Tumpeng mah sebenarnya ada kaitannya dengan orang yang
ketinggalan di Makkah itu. Jadi ia bernadzar nanti kalau ada rezeki ia akan
bebacaken istilah orang sunda mah, bahasa kitanya ya membaca kalimatkalimat Allah untuk mendoakan orang-orang yang telah meninggal dan
dikuburkan di pemakaman keluarga Tubagus Atief itu. Benarlah, beberapa
hari setelah kejadian itu ia datang ke pemakaman dan membawa nasi Kebuli
itu. Sampai sekarang pun tumpeng yang dibuat acara tahunan ini ya nasi
kebuli itu.”16
16
Wawancara Pribadi dengan Tubagus Sos Rendra. Tangerang Selatan, 28 Mei 2013.
89
Gambar 4.10.
Warga menikmati makanan tumpeng nasi kebuli
Dari gambar 4.10 tampak nasi kebuli yang dimakan bersamasama sejenak setelah perayaan folklor berlangsung. Nasi kebuli pada
perayaan folklor “Haul Cuci Pusak Keramat Tajug” merupakan
makanan yang dibawa oleh masyarakat setempat.
d. Kembang Tujuh Rupa
Kembang tujuh rupa digunakan untuk mencuci pusaka baik
Penutup Pusar maupun yang lain, seperti keris, golok, kujang, tombak,
dan pisau. Kembang tujuh rupa ini merupakan hasil peninggalan dari
adat budaya nenek moyang.
Gambar 4.11.
Kembang tujuh rupa
90
Kembang tujuh rupa dicampur merata sehingga seolah-seolah
menjadi satu. Dari campuran bunga tujuh rupa tadi kemudian bunga
tersebut dimasukkan ke dalam bak dan diberi air secukupnya agar
proses pencucian lebih mudah. Jika dilihat dari penggunaannya
kembang tujuh rupa sebenarnya tidak terlalu berfungsi. Artinya jika
dibandingkan dengan alat pembersih lain, tentu masih banyak alat
untuk membersihkan benda-benda pusaka dengan baik dan bahkan
lebih sempurna. Akan tetapi hal tersebut tidak dapat diotak-atik. Bunga
tujuh rupa memang peninggalan nenek moyang yang menjadi
keharusan juga pada saat perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat
Tajug”
“Owh itu memmang dari dulu dek, bunga itu ada tujuh macam jenisnya.
Ada kembang mawar, kembang melati, kembang cempaka, kembang kantil,
kembang kenanga, kembang sedap malam, serta kembang melati gambir. Terus
sebagai penyempurna biasanya dikasih minyak wangi dan pandan yang diiris-iris
kecil.”17
Demikian keterangan Tubagus Tubagus Muhammad Aris mengenai
kembang tujuh rupa tersebut.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa acara folklor
“Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini masih di bawah kontrol budaya
lama (Etre pense par sa culture). Bagaimana tidak, pada perayaan
folklo “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini masih mempunyai
kewajiban tertentu secara budaya, seperti tanggal yang telah
ditetapkan, Penutup Pusar yang disakralkan, makanan khas, dan
kembang tujuh rupa.
Selain dari itu memang dikemasnya folklor “Haul Cuci Pusaka
17
2013.
Wawancara pribadi dengan Tubagus Muhammad Aris. Tangerang Selatan, 28 Mei
91
Keramat Tajug” ini merupakan upaya pelestarian. Bahkan Sos Rendra
mengatakan bahwa, adanya folklor ini bentuk kepedulian keluarga
kepada adat dan budaya.
“Banyak sekali orang-orang sekitar yang salah kaprah yang mengarah pada
kemusyrikan. Kita kan hanya bermaksud untuk pelestarian saja. Pencucian
pusaka ini kalau bukan kita yang menjaga siapa, orang lain mah ga mungkin.
Dulu mah air hasil cuci pusaka ini dibuat minum, dipakai untuk cuci muka,
sekarang mah saya buang airnya. Meskipun orang yang sembunyi-sembunyi
mengambil air itu masih ada. Segala sesuatu itu atas izin Allah.”18
2. Heriter la culture
Heriter la culture adalah suatu kelompok, golongan, agama, dan
budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi,
kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang mewarisi budayanya
dari masa lalu dan mewariskannya kepada generasi yang akan datang.
Lawan dari teori ini adalah Acquerir la culture yang bermakna suatu
kelompok, golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi,
adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang berupaya untuk mendapatkan kultur-kultur yang baru dan
berbeda dari warisan keluarga dan budayanya. Dengan kata lain lebih
produktif dalam mendapatkan kultur yang baru. Dalam Islam, kedua teori
ini sejalan dengan agama Islam yang mengakatakan Al-muhafadzatu ‘ala
Al-Qadim Al-Shalih wa Al-Akhdzu bi Al-Jadid Al-Aslah.
Pada teori ini sebenarnya temuan dan analisis peneliti pada bagian
(a) di atas sudah menjadi bukti yang cukup kuat. Namun demikian peneliti
mencoba akan melakukan analisis lebih detail apa yang ada di lapangan
dan berkaitan dengan teori Heriter la culture. Namun, yang paling jelas di
sini adalah dilibatkannya anak-anak dalam perayaan.
18
2013.
Wawancara Pribadi dengan Tubagus Muhammad Haris. Tangerang Selatan, 28 Mei
92
Seperti pada penjelasan sebelumnya di mana anak-anak juga ikut
serta dalam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” Meskipun tidak
ada peran khusus yang lakukan oleh anak-anak dalam perayaan ini.
Mereka (anak-anak) hanya memperhatikan saja. Dengan demikian usaha
mnurunkan atau pewarisan budaya berjalan dengan sendirinya. Secara
langsung maupun tidak langsung anak-anak itu akan mengikuti adat dan
budaya folklor tersebut.
Gambar 4.12.
Tampak anak-anak sedang mengikuti kegiatan folklor
3. Adoration of scriptures
Adoration of scriptures adalah sekelompok masyarakat, agama,
dan budaya yang sangat mencintai atau menyukai teks agamanya (kitab
sucinya). Lawan dari teori ini adalah Interpretation of scriptures. Adalah
sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang memaknai atau
memahami teks (kitab suci) sesuai konteks yang menjadi pegangannya.
Dalam Islam kedua teori ini sama dengan Al-ijtihad.
Dalam perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” kitab
yang peneliti temukan ada dua jenis. Yaitu kitab mengenai sejarah
perjuangan Tubagus Atief dan kitab yang berisikan pesan-pesan agama.
93
Kedua kitab ini dijadikan pegangan keluarga besar Tubagus Atief dan
akan dipelajari bagi siapapun dari golongan keluarga besar Tubagus Atief
yang ditugaskan untuk menyampaikan kisah perjuangan Tubagus Atief.
Kitab sejarah berbahasa (Jawa, Sunda). Begitu juga dengan kitab yang
berisikan pesan-pesan agama itu, kitab tersebut akan dibaca dan dipelajari
bagi mereka yang akan memberikan ceramah (saat perayaan) dan
sambutan.
Gambar 4.13.
Gambar 4.13 ini tampak Ust. Ghozali dan Tubagus H. Imamudin
sedang memperhatikan dengan seksama tulisan yang ada di kayu berwarna
coklat kehitam-hitaman. Kayu itu bertuliskan arab dan tidak dapat
dipastikan apa tulisan dan makna yang terkandung di dalamnya. Akan
tetapi, peneliti melihat ada tindakan dari beberapa orang termasuk
Tubagus H. Imamudin yang menjadi bukti atas teori adoration of
scriptures. Beberapa kali mereka menciumi kitab yang terbuat dari kayu
tersebut.
Selain dari dua kitab tersebut kegiatan yang muncul dan termasuk
dalam kategori Adoration of scriptures adalah ketika membaca tahlil.
94
Masyarakat yang hadir hanya membaca dan tanpa mengetahui maknanya.
Secara keseluruhan bacaan yang dibaca dalam perayaan tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Serangkaian do‟a fatihah yang diperuntukkan kepada Nabi, keluarga
nabi, para sahabat-sahabat Nabi, para Wali, para pengikut Nabi, para
orang-orang baik dan para malaikat, kemudian para ahli kubur
terutama dari keluarga yang membaca tahlil. Biasanya pembacaannya
dipisah-pisah dengan masing-masing pembacaan surat Al-Fatihah.
2) Pembacaan surat Al-Ikhlas sebanyak tiga kali, Al-Falaq satu kali dan
Al-Nas satu kali. Pada setiap akhir pembacaan masing-masing surat itu
dipisah dengan pembacaan Lailahaillahu Allahu Akbar Walillahil
Hamdu. Ada pula yang membacakan surat yasin.
3) Pembacaan surat Al-Fatihah dan dilanjutkan dengan pembacaan
beberapa penggalan ayat-ayat Al-Qur‟an, diantaranya surat Al-Baqarah
dari ayat 1-5, Al-Baqarah ayat 163, Al-Baqarah ayat 255 atau ayat
kursi, Al-Baqarah 284-286, dipisah dengan bacaan irhamna ya
arhamarrahimin sebanyak tujuh kali, kemudian dilanjutkan dengan
surat Hud ayat 73, surat Al-Ahzab ayat 33, Al-Ahzab ayat 56, lalu
dilanjutkan dengan pembacaan sholawat, setelah itu dilanjutkan
dengan pembacaan surat Ali „Imran ayat 173, Al-Anfal ayat 40, dan
ditutup dengan kalimat Tahlil sebanyak seratus kali. Sebagai
penutupnya bianya dibacakan do‟a tahlil.19
4. Gemeinschaft
Gemeinschaft adalah sekelompok masyarakat, agama, dan budaya
yang ingin membangun kelompoknya berdasarkan komunitasnya. Lawan
19
Abdul Majad Tamam, Surat Yaasiin dan Bimbingan Tahlil (Jakarta: Zikrul Hakim), h. 87-96.
95
dari teori ini adalah Gesellschaft. Yaitu sekelompok masyarakat, agama,
dan budaya yang ingin membangun kelompoknya berdasarkan societas.
Kedua teori ini dalam Islam sejalan dengan Al-Ummah.
Pada folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug,” pembentukan
kelompok pemilik folklor jelas terjadi. Hampir semua apa yang menjadi
kegiatan pada saat perayaan folklor ini dapat membentuk dan dapat
meningkatkan komunitas keluarga besar Tubagus Atief. Hal ini terbukti
dari keadaan masyarakat Cilenggang yang menjadikan keluarga besar
Tubagus Atief sebagai keluarga terhormat.
Keluarga besar Tubagus Atief memang keluarga yang dipandang di
daerah setempat. Pada satu kesempatan, peneliti sedang melakukan
kunjungan ke Masjid Al-Ikhlas (peninggalan Tubagus Atief) di
Cilenggang, 24 Juli 2013, ada seorang perempuan mendatangi Tubagus
H. Imamudin dengan maksud meminta air untuk anaknya yang sedang
sakit.
Di keluarga besar Tubagus Atief juga dibentuk Paguyuban
Tubagus Atief Paguyuban Tubagus Atief ini merupakan wadah bagi
keluarga besar keturunan Tubagus Atief. Paguyuban Tubagus Atief
diketuai oleh H. Mu‟in.
“Paguyuban kan sifatnya nonformal ya, jadi hanya komunitas saja. Kami di sini
pertama untuk mengajak masyarakat mengetahui bahwa di desa Cilenggang ini ada
makam peninggalan pejuang yakni makam Keramat Tajug ini. Biasanya, kami yang
menjadi pelopornya, misalanya seperti acara Haul, menyambut bulan Ramadlan.
Kemudian, selain dari itu, kami juga mengundang keluarga besar tubagus Atief yang
tinggal di daerah lain, nah dengan paguyuban ini kan kami terkontrol gitu. Selain itu
ya kamilah pengurus paguyuban ini yang menjaga dan melestarikan makam keramat
tajug ini.”20
20
Wawancara Pribadi dengan Bapak H. Mu‟in. Tangerang Selatan, 23 Juni 2013.
96
Jelas memang dengan paguyuban ini ada upaya membangun dan
membersarkan kelompoknya berdasarkan komunitasnya (Gemeinschaft).
Selain hal tersebut di atas, sebagian besar keluarga besar Tubagus
Atief juga menempati tempat strategis di jabatan pemerintahan. Seperti
Mehdi Solihin, S.Sos yang menjadi Lurah Cilenggang, Mehdi Solihin juga
keluarga besar Tubagus Atief. D. Umar Dani, S.Sos, sekertaris Lurah
Cienggang. Ia juga keturunan Tubagus Atief. Tidak hanya itu, Tubagus H.
Imamudin juga mendirikan majlis yang dinamai majlis Birrulwalidain.
Majlis ini diperuntukkan untuk masyarakat Cilenggang dan sekitarnya.
Berikutnya, H. Mu‟in yang ikut serta dalam perpolitikan, ini menunjukkan
adanya upaya publisitas diri. Peneliti melihat memang ada spanduk dengan
gambar H. Mu‟in dari salah salah satu partai yang ada Indonesia.
5. Vernacular language
Vernacular language adalah pemikiran KAAB yang terdiri atas
nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan,
pola pikir, dan perasaan yang cenderung belajar bahasa sendiri/lokal.
Lawan dari teori ini adalah Vehicular language adalah pemikiran KAAB
yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi,
kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang belajar bahasa
pengetahuan/bahasa lain. Dalam Isalam teori ini sejalan dengan istilah AlLisan.
Teori ini dibuktikan dengan adanya penyampaian kisah Tubagus
Atief dilakukan sebelum acara dimulai. Tubagus Sos Rendra yang biasa
ditugaskan mewakili keluarga besar Tubagus Atief. Memang kisah ini
97
disampaikan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Akan tetapi banyak
sekali peneliti mendengar istilah yang disampaikan dengan bahasa Sunda,
namun Sos Rendra mengartikannya seketika itu juga. Menurut penuturan
Bapak H. Mu‟in disampaikannya kisah itu dengan bahasa Indonesia untuk
memudahkan para jama‟ah yang hadir dalam perayaan “Haul Cuci Pusaka
Keramat Tajug.”
“Ya biasanya sih itu dengan bahasa Jawa Sunda dan itu ada bukunya yang memang
dari peninggalan kuno. Ada kok bukunya yang memang menggunakan bahasa Jawa,
Sunda Banten, karena kan Tubagus Atief ini dari Banten. Nah sekarang kan digunakan
bahasa Indonesia, itu sih hanya untuk mempermudah saja, agar siapapun mereka, dari
kalangan manapun yang mengikuti acara “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini dapat
memahaminya denagan baik.” 21
Gambar 4.14.
Tubagus Sos Rendra saat menyampaikan kisah perjuangan Tubagus Atief
Menurut peneliti inilah yang dimaksud dengan inti dari mengenang
jasa-jasa perjuangan. Selain memanjatkan doa untuk mereka yang telah
mendahului kita (meninggal dunia) yang memang menjadi anjuran agama,
tentu sebagai orang yang tahu akan jasa-jasa Tubagus Atief sudah menjadi
kewajibannya untuk menyampaikan kisah tersebut kepada orang banyak.
Memang banyak cara yang dilakukan masyarakat Indonesia untuk
mengenang orang-orang terdahulu, jasa-jasa para pahlawan, misalnya.
21
Wawancara Pribadi dengan Bapak H. Mu‟in. Tangerang Selatan, 23 Juni 2013.
98
Masyarakat yang terdiri dari Sunda, Jawa dan Betawi dapat menikmati dan
mengambil pelajaran dari kisah Tubagus Atief yang telah disampaikan.
Mereka sejenak mengenyampingkan eksistensi budaya yang mereka
punya.
Selain dari bahasa Sunda yang sering muncul dalam perayaan ini,
ada juga nyanyian-nyanyian daerah yang dipertahankan dari zaman dulu
dan dibacakan saat pawai obor berlangsung. Tidak hanya selawat yang
berbahasa Arab saja, melainkan selawat yang juga terdiri dari bahasa
Sunda, Jawa dan bahasa Indonesia (Betawi) sesekali dilantunkan secara
bersamaan dalam pawai obor ini. Dari keterangan ini, jelas bahwa ada
upaya untuk mempertahankan bahasa budaya lama dalam perayaan
tersebut.
C. Pembahasan
Pembahasan adalah bagian khusus yang dibuat untuk membahas
temuan-temuan yang berada diluar teori yang dipakai dalam penelitian.
Temuan yang dimaksud adalah hal yang muncul dari kegiatan folklor yang
peneliti tidak analisis melalui teori yang ada. Ada dua macam temuan besar
yang peneliti akan sampaikan di pembahasan ini. Yaitu tentang beberapa
kegiatan folklor yang mengarah pada hal positif dan kegiatan komunikasi
antarbudaya yang menghasilkan kesamarataan budaya. Beberapa temuan yang
mengarah pada hal yang positif antara lain sebagai berikut:
99
1. Beberapa Kegiatan Folklor yang Positif
a. Bahasa Indonesia sebagai pengantar kisah perjuangan Tubagus
Atief
Dalam menyampaikan cerita perjuangan Tubagus Atief yang
menggunakan bahasa Indonesia, dimaksudkan untuk mempermudah
pemahaman orang. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa dalam
perayaan tersebut tidak kaku lagi atas budaya yang ada.
Menurut peneliti, berubahnya bahasa yang digunakan dalam
penyampaian kisah perjuangan Tubagus Atief tidak serta merta
berubah begitu saja, melainkan mempunyai proses budaya yang cukup
lama.
b. Tidak Disampaikannya Fungsi Masing-masing Pusaka Kepada
Para Jama’ah
Awalnya pengetahuan mengenai fungsi pusaka yang konon
masing-masing pusaka mempunyai kekuatan supranatural itu sangat
kental. Hampir setiap keturunan mengetahui dan menjaga atas
pengetahuan mengenai fungsi-fungsi pusaka peninggalan tersebut.
Akan tetapi dalam perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat
Tajug” tidak lagi disampaikan. Menurut Tubagus Muhammad Aris ini
dimaksudkan untuk menghindari dari hal kemusyrikan.
“Sekarang saya atau barangkali semua keluarga Tubagus Atief sudah
pada enggak tahu kali ya, kalau dulu-dulunya mah ada yang tahu dan suka
menceritakan kepada kami. Misalnya, tongkat ini fungsinya ini, keris ini
fungsinya ini dan seterusnya. Dulu, hal itu ada tapi sekarang sudah tidak
diperhatikan lagi meski kayaknya ada dari keluarga yang mengetahui tentang hal
itu. Lagian kan kalau disampaikan ke orang-orang takutnya tanggapan orang itu
salah, misalnya percaya terhadap benda, kan itu tidak boleh. Menurut saya benda
itu kan tergantung orangnya, kalau yang menggunakan benda itu sakti ya benda
itu menjadi sakti, sebaliknya jika yang menggunakan benda itu salah kaprah
22
maka sama saja bohong.”
22
2013.
Wawancara Pribadi dengan Tubagus Muhammad Haris. Tangerang Selatan, 28 Mei
100
Dengan demikian kekantalan budaya yang dianggap sudah tidak
efektif lagi untuk masyarakat sudah tidak dipakai kembali.
c. Melarang Keras Jama’ah untuk Meminum Air Cucian Pusaka
Penutup Pusar
Dalam acara pencucian pusaka Penutup Pusar ini melibatkan
seluruh jama‟ah yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menumbuhkan
sikap peduli dan sikap saling tolong menolong. Walau demikian
masing-masing orang yang hadir pada perayaan tersebut mempunyai
pemikiran yang berbeda-beda.
Gambar 4.15.
Air bekas cucian pusaka Penutup Pusar
Menurut penjelasan Tubagus Sos Rendra masih banyak
masyarakat yang hadir mempunyai keyakinan atas benda pusaka
peninggalan Tubagus Atief.23
d. Melibatkan Aparatur Pemerintah
Seperti penjelasan pada bagian jenis budaya di atas, bahwa
dalam perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug,” pihak panitia
23
2013.
Wawancara pribadi dengan Tubagus Tubagus Sos Rendra. Tangerang Selatan, 28 Mei
101
mengundang Wali Kota Tangerang Selatan untuk dapat hadir dan
mengikuti kegiatan tersebut. Namun ia tidak dapat hadir dan
mendelegasikan Camat Serpong sebagai penggantinya. Hal ini
dimaksudkan oleh panitia agar tercipta kerja sama antar pemerintah
daerah dengan masyarakat serta keluarga besar Tubagus Atief dalam
menjaga dan melestarikan budaya dan paguyuban Tubagus Atief.
e. Aneka makanan modern yang dibawa oleh masyarakat
Selain makanan yang wajib ada, yaikni nasi kebuli dan ayam
bakar (bekakak), ada pula makanan modern yang dibawa oleh warga
setempat. Makanan modern yang dimaksudkan adalah makanan
modern yang bervariasi, tidak hanya makanan bahkan juga buahbuahan. Makanan tersebut awalnya tidak ada dan tidak diperbolehkan
menurut adat. Menurut keterangan Rendra Sos awalnya makanan itu
hanya ada dua model saja, yaitu bekakak atau ayam yang dibakar
dalam keadaan masih utuh dan nasi kebuli. Dua makanan itu yang
awalnya menjadi makanan pokok pada acara folklor “Haul Cuci
Pusaka Keramat Tajug.” Menurut kisahnya, makanan tersebut dibawa
oleh seorang warga ke makam Keramat Tajug. Dari sinilah asal
mulanya dijadikannya nasi kebuli dan ayam bekakak itu sebagai syarat
acara.
102
Gambar 4.16.
Tampak aneka makanan dan buah-buahan saat perayaan
“Jadi Ia bernadzar nanti kalau ada rezeki ia akan bebacaken istilah orang
Sunda mah, bahasa kitanya ya membaca kalimat-kalimat Allah untuk
mendoakan orang-orang yang telah meninggal dan dikuburkan di
pemakaman keluarga Tubagus Atief itu. Benarlah, beberapa hari setelah
kejadian itu ia datang ke pemakaman dan membawa nasi kebuli itu. Sampai
sekarangpun tumpeng yang dibuat acara tahunan ini ya nasi kebuli itu.”24
Dari kutipan wawancara ini dapat dijelaskan bahwa makanan
yang asalnya hanya ada dua macam saja sekarang sudah bermacammacam makanan dapat ditmukan pada saat acara. Hal ini terjadi karena
kekentalan dan kefanatikan budaya. Pada acara kali ini makanan yang
ada sudah bervariasi.
f. Menghilangkan Prosesi Bakar Kemenyan
Awalnya pada perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat
Tajug” dilaksanakan pula prosesi pembakaran kemenyan. Yaitu
prosesi pembakaran dupa dan bersifat sakral, dan secara khusus
dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga. Lama kelamaan
prosesi tersebut tidak ada lagi, bukan berarti menghapusnya secara
keseluruhan, tetap ada tapi tidak disakralkan kembali.
24
2013.
Wawancara pribadi dengan Tubagus Tubagus Sos Rendra. Tangerang Selatan, 28 Mei
103
Gambar 4.17.
Tempat pembakaran kemenyan pada saat prosesi pembakaran kemenyan
zaman dahulu
2. Munculnya Kesamarataan Budaya
Dalam perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug,” terdapat juga
kesamarataan budaya. Hal ini peneliti temukan dalam beberapa kegiatan,
antara lain:
a. Kesamarataan Budaya dalam Pawai Obor
Pawai ini dilakukan dari depan Masjid Al-Ikhlas Cilenggang
menuju ke makam Keramat Tajug. Jarak dari Masjid Al-Ikhlas kurang
lebih satu kilo meter. Pawai dilakukan stelah shalat Magrib menjelang
Isya dan diiringi dengan kesenian musik rebana. Musik rebana yaitu
sejenis alat musik yang berbentuk bulat. Dalam konteks folklore,
kegiatan ini tidak ada sangkut paut dengan sejarah peninggalan
Tubagus Atief. Kegiatan ini dilaksanakan hasil dari kesepakatan
keluarga besar saja.
104
Gambar 4.18.
Masyarakat Saat Pawai Obor Diiringi Musik Rebana
Dalam kegiatan pawai obor ini terjadi kesamarataan budaya.
Mereka dipersatukan dalam kesamaan alunan selawat Nabi di
sepanjang jalan. Meneriakkan pujian-pujian kepada Nabi Muhammad
SAW. Menyanyikan selawat dengan serentak mengikuti alunan rebana
dan penuh keceriaan.
b. Kesamarataan Budaya dalam Pembacaan Tahlil
Tahlil adalah kumpulan doa yang biasanya dilakukan oleh sebagian
orang dalam rangka mendoakan arwah sanak saudara yang sudah
meninggal. Biasanya dilakukan oleh sekelompok orang dalam rangka
tasyakkuran atau acara-acara keluarga dan acara selamatan. Selamatan
adalah serangkaian doa yang dibaca untuk meminta selamat.25
25
Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 1017.
105
Gambar 4.19.
H. Tubagus Imamudin saat memimpin pembacaarn tahlil
Biasanya doa yang dibaca adalah doa tahlil. Dalam acara “Haul
Cuci Pusaka Keramat Tajug” pembacaan tahlil dipimpin oleh Bapak
H. Imamudin.
c. Kesamarataan Budaya dalam Pencucian Pusaka Penutup Pusar
Dalam pencucian pusaka Penutup Pusar ini dipimpin oleh Bapak
H. Tubagus Imamudin. Tokoh agama yang juga sebagai sesepuh dari
keluarga Tubagus Atief. Pada pelaksanaan cuci pusaka ini diikuti oleh
masyarakat yang hadir (jama‟ah). Menariknya, dalam pencucian
pusaka Penutup Pusar ini ada tujuan khusus yang memang
dimaksudkan
sebagai
sarana
dakwah.
Semacam
pengukuhan
keyakinan bagi masyarakat yang hadir pada acara “Haul Cuci Pusaka
Keramat Tajug.”
Pencucian dimulai dari H. Tubagus Imamudin kemudian diikuti
oleh seluruh jama‟ah yang hadir. Pada saat mencuci seluruh jamaah
mengikuti alunan bacaan kalimat Lailahaillah yang dibaca berulangulang dan secara bersamaan. Menurut pendapat H. Mu‟in selaku ketua
106
Paguyuban Keluarga Besar Tubagus Atief mengatakan hal itu sematamata untuk menguatkan keyakinan kepada Allah, menambah semangat
keyakinan kepada Allah. Benda itu hanya sabagai simbol saja, bukan
berarti ada maksud mengutamakan benda dari apa yang telah
dilaksanakan pada pencucian Penutup Pusar itu.
Gambar 4.20.
H. Tubagus Imamudin Memulai Mencuci Pusaka Penutup Pusar
Memang agaknya butuh pembahasan yang sangat mendalam
mengenai hal ini, namun bagi peneliti hal ini tak ubahnya orang
berdzikir menggunakan tasbih sebagai alat penghitung dan pengingat.
Tasbih selama digunakan sebagai alat menghitung jumlah bacaan yang
kita baca sekaligus mengingatkan kita saat kita lalai atas dzikir yang
biasa kita baca itu hal yang wajar dan hal yang dibolehkan dalam
kacamata syariat. Tapi jika kemudian muncul keyakinan lain dari
tasbih itu atau dari benda lain maka itu lah yang tidak dibolehkan.
Memang secara logika sepertinya tidak masuk akal namun kembali
lagi pada penafsiran masing-masing mereka.
107
Menurut penuturan H. Mu‟in dalam wawancara dengan peneliti
mengenai tanggapan pihak pengelola acara (pemilik folklor) dari
keluarga besar Tubagus Atief terkait dengan misalnya ada anggapan
miring tentang acara ini, mereka menganggap bahwa hal itu
merupakan sesuatu yang wajar. Perbedaan pendapat itu hal yang wajar
menurutnya.
“Memahami barokah kan setiap orang berbeda-beda. Kita yang ada di
zaman modern ini jika berbicara barokah seperti yang ada pada cerita salaf
(masyarakat zaman dulu) seperti hal yang tidak pernah ada, padahal semua itu
ada. Nabi Muhammad dengan segala mukjizatnya, para wali dengan segala
karomahnya, nah sekarang tinggal kita bagaimana memahami dan meyakini itu.
Memahami dalam arti semua yang terjadi itu semata-mata hanya dari Allah.
Meyakini itu adalah meyakini bahwa kekuatan Allah itu memang benar-benar
ada dan mutlak adanya. Tinggal bagaiamana kita memahaminya saja, benda
yang memang peninggalan para wali (kekasih Allah) jika kita menisbatkannya
kepadanya bisa jadi sebab itu benda tersebut dikeramatkan, sebaliknya kalau
bukan karena kekuatan Allah apalah arti sebuah benda. Jangankan benda AlQuran saja kalau kita tidak meyakini akan kekuatan Allah Al-Qur‟an sendiri
tidak akan berarti apa-apa bagi orang tersebut.”26
Pengamatan langsung peneliti, dalam acara cuci pusaka
Penutup Pusar memang sebagian masyarakat yang hadir ada yang
mengusapkan air cucian itu ke muka ada pula yang tidak. Alasannya
pun variatif. Ada yang manganggap bahwa hal itu dilakukan untuk
mendapatkan
berkah.
Sedangkan
alasan
mereka
yang
tidak
mengusapkannya ke wajah mereka menganggap bahwa itu adalah hal
yang biasa saja.
d. Kesamarataan
Budaya
dalam
Pembacaan
Maulid
Nabi
Muhammad SAW
Pembacaan Maulid Nabi Muhammad dibaca secara bersamaan
juga. Maulid yang dibaca pada “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug”kali
ini adalah maulid Al-Barzanji. Dalam setiap tahunnya maulid yang
dibaca tidak tetap, tahun ini maulid yang dibaca adalah maulid Al26
Wawancara Pribadi dengan Bapak H. Mu‟in. Tangerang Selatan, 23 Juni 2013.
108
Barzanji, berbeda dengan tahun sebelumnya, perayaan tahun
sebelumnya menggunakan maulid Al-diba’i.
Maulid dibacakan dalam keadaan berdiri. Hal seperti ini juga
biasa dilakukan oleh banyak kelompok masyarakat pemeluk agama
Islam, terumata Islam Jawa. Membaca Maulid Nabi dengan berdiri
dimaksudkan untuk menghormati kehadiran Nabi Muhammad SAW.
pada saat pembacaan Maulid dilaksanakan. Pada umumnya pembacaan
seperti ini biasanya diiringi dengan tabuan rebana. Yaitu jenis alat
musik yang berbentuk seperti piringan yang terbuat dari kayu yang
dibentuk sedemikian rupa, kemudian dilapisi sisi luarnya dengan kulit
kambing. Alat musik hadrah banyak ditemui di daerah Jawa. Namun
belakangan ini peneliti sendiri sudah sangat sering melihatnya di
daerah Jakarta dan sekitarnya.
Gambar 4.21.
Jamaah sedang Membaca Maulid Nabi
Secara umum bacaan maulid ini mengandung arti puji-pujian
kepada Nabi Muhammad SAW. Hampir semua maulid sama, hanya
saja pengarangnya yang berbeda, dan masing-masing mereka
109
mempunyai ciri khas. Seperti dalam karangan imam Al-Barzanji,
maulid ini hampir secara keseluruhan mengandung puji-pujian kepada
Nabi Muhammad SAW. berikut sebagian dari syair yang ditulis oleh
imam Al-Barzanji.
Anta syamsun anta badrun
Anta nurun fauqa nurin
Anta iksiru waghali
Anta mishbahusshuduri
“Engkau bagaikan matahari, engkau bagaikan rembulan.
Engkau cahaya di atas cahaya,
Engkau sumber kehidupan,
Engkau penerang hatiku.”27
e. Kesamarataan Budaya melalui Ceramah Agama
Ceramah agama disampaikan oleh dua orang penceramah
(Da‟i). Mereka adalah Ust Ghozali dan Tubagus H. Imamuddin. Ust
Ghozali adalah tokoh ulama setempat. Ia merupakan tamu undangan
yang dengan sengaja diundang oleh panitia pelaksana. Ceramah agama
memang awalnya tidak ada pada acara “Haul Cuci Pusaka Keramat
Tajug” ini. Akan tatapi semenjak haul cuci pusaka dilaksanakan di
makam Keramat Tajug barulah ada ceramah agama. Menurut H. Mu‟in
ini dimaksudkan agar masyaraka setempat juga dapat menambah ilmu
agama dari pelaksanaan Cuci pusaka ini. H. Mu‟in juga menambahkan
bahwa semua acara yang ada pada “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug”
ini hanya merupakan tambahan saja.
27
36-39.
Al-Barzanji, Kumpulan Maulid, Solawat dan Doa Penutupnya (Amalia: Surabaya), h.
110
“Cuci pusaka ini memang apa adanya, lihat saja kerisnya juga masih apa
adanya (tidak ada yang berubah dari peninggalan nenek moyang). Tapi sekarang
ditambah-tambahkan, seperti ada ceramah agama, sedekahan, tahlilan. Ini
dimaksudkan untuk menghindari kemusyrikan, jadi kita arahkan ke sana. Jadi ini
merupakan budaya yang tidak bertentangan dengan agama. Adapun kegiatankegiatan seperti obor, rebana (rebana) ini hanya tambahan saja dalam rangka syiar
agama.”28
Hal ini dimaksudkan agar dapat mengimbangi kebutuhan
masyarakat yang hadir pada saat itu.
Dalam pengamatan peneliti memang pada saat Tubagus H.
Imamuddin memberikan Ceramahnya masih banyak bahasa Sunda
sebagai bahasa pengantarnya, sehingga sangat mungkin sekali diantara
mereka yang hadir (jama‟ah) tidak dapat memahami apa yang
disampaikan. Berbeda dengan Ust Ghozali, beliau menyampaikan
ceramah dengan bahasa Indonesia yang mudah dimengerti. dalam
pelaksanaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini dimaksudkan
untuk memberikan pengarahan kepada masyarakat. Tema yang
disampaikan adalah tema tentang ajaran Islam yang berkaitan dengan
sejarah dakwah Rasulullah yang dikaitkan pula dengan adanya
pelaksanaan cuci pusaka Keramat Tajug.
Menurut peneliti di sinilah letak adanya kesamarataan budaya
dari masing-masing budaya yang ada. Jelas saat ceramah disampaikan
dengan bahasa Sunda ini mencirikan bahwa memang folklor itu sangat
kental dengan subjektifitas pemiliknya, sehingga tidak mudah bagi
orang yang bukan pemilik folklor untuk dapat mengerti folklor
tersebut. Hal itu juga menjadi sulit difahami oleh masyarakat yang
hadir. Menurut peneliti sangat tepat sekali tindakan panitia
28
Wawancara Pribadi dengan Bapak H. Mu‟in. Tangerang Selatan, 23 Juni 2013.
111
mengundang tokoh agama dari luar pemilik folklor yang dapat
menetralisir kekentalan budaya yang ada dalam folklor tersebut.
Inilah analisis peneliti mengenai bentuk komunikasi antar budaya
yang terdapat dalam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” Dari
hasil temuan dan analisis ini akan disimpulkan pada bab berikutnya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan peneliti di bab sebelumnya, dijelaskan bahwa
komunikasi antarbudaya yang terjadi pada folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat
Tajug” dilakukan dua tahap, yakni tahap pertama dan tahap kedua. Tahap pertama
yaitu analisis terhadap jenis-jenis Komunikasi Antarbudaya (KAB) dengan
menggunakan teori Joseph A. Devito dan Andi Faisal Bakti. Sedangkan tahap
kedua yaitu analisis pada kategori folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug”
dalam ranah KAB.
Pada tahap pertama dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis KAB yang dapat
ditemukan pada acara folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” adalah sebagai
berikut:
1. Komunikasi antara etnis yang berbeda.
Komunikasi antara etnis yang berbeda terjadi pada keturunan
keluarga Tubagus Atief dengan masyarakat keturunan orang biasa di luar
keluarga Tubagus Atief. Komunikasi antara etnis yang berbeda ini juga
tampak jelas dari perbedaan bahasa dari masing-masing budaya.
2. Komunikasi antara Sub Kultur yang Berbeda
Komunikasi antara subkultur ini terjadi antara kelompok pedagang
dengan kelompok orang pekerja bangunan, dan orang orang yang bekerja di
pemerintahan daerah dengan masyarakat biasa. Model komunikasi antara
subkultur yang berbeda ini terjadi pula antara kelompok pejabat pemerintah
112
113
daerah dengan masyarakat biasa. Seperti Lurah dan Camat dengan
masyarakat yang hadir.
3. Komunikasi Antara Subkultur dengan Kultur yang Dominnan
Komunikasi antara subkultur yang berbeda ini terjadi pada
kelompok pemilik budaya yang mendominan dengan kelompok orang yang
dari luar pemilik budaya. Selain itu juga terjadi pada orang dewasa dengan
anak-anak.
4. Komunikasi antara Jenis Kelamin yang Berbeda
Komunikasi jenis ini terjadi antara kaum laki-laki dengan
perempuan. Yakni terbukti dengan munculnya maskulinisasi.
5. Komunikasi Antara Kaum Tradisionalis dengan Kaum Modernis
Komunikasi Antara Kaum Tradisionalis dengan Kaum Modernis ini
terjadi antara kelompok yang berpendidikan tinggi dengan pendidikan
rendah.
6. Komunikasi antara laki-laki dan perempuan
Komunikasi antara laki-laki dan perempuan yang dimaksudkan di
sini sama dengan poin nomer empat di atas.
Inilah enam jenis-jenis komunikasi antarbudaya yang telah peneliti
analisis menggunakan teori Joseph A. Devito dan Andi Faisal Bakti.
Kemudian pada tahap kedua peneliti menggunakan teori Andi Faisal Bakti.
Yaitu teori duapuluh (konservatif dan transformatif). Berikut kesimpulan
dari hasil analisis tersebut:
114
1. Etre pense par sa culture
Etre pense par sa culture adalah pemikiran Komunikasi Antarbudaya
(KAB) yang menjelaskan keadaan suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya
terdiri atas nilai-nilai, persepsi adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang dikendalikan atau dikontrol oleh
budaya masa lalu nya. Lawan dari teori ini adalah Penser sa culture. Dalam Islam
teori ini sejalan dengan Al-muhafadzotu ‘ala Al-Qadim Al-Sholih wa Al-Akhdzu bi
Al-Jadid Al-Aslah.
Ada beberapa bukti dari kategori folklor ini dalam ranah komunikasi
antarbudaya. Yaitu:
a. Ketetapan tanggal perayaan (Tanggal 14 Rabiul Awal).
b. Disakralkannya Pusaka Penutup Pusar.
c. Makanan Khas.
d. Kembang Tujuh Rupa.
2. Heriter la culture
Heriter la culture adalah suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya
terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang mewarisi budayanya dari masa lalu
dan mewariskannya kepada generasi yang akan datang. Lawan dari teori ini
adalah Acquerir la culture yang bermakna suatu kelompok, golongan, agama, dan
budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang berupaya untuk mendapatkan kulturkultur yang baru dan berbeda dari warisan keluarga dan budayanya. Dengan kata
lain lebih produktif dalam mendapatkan kultur yang baru. Dalam Islam, kedua
115
teori ini sejalan dengan agama Islam yang mengakatakan Al-muhafadzatu ‘ala AlQadim Al-Shalih wa Al-Akhdzu bi Al-Jadid Al-Aslah.
Bukti-bukti yang dikumpulkan peneliti untuk menguatkan analisis
pada poin satu di atas juga dapat dijadikan bukti pada poin ini. Namun ada bukti
yang paling jelas menurut peneliti. Adanya pewarisan budaya dari generasi ke
generasi dalam perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini dilakukan
pada anak-anak kecil yang secara sengaja maupun tidak mereka (anak-anak)
diikutkan dan diarahkan oleh orang tuanya untuk mengikuti acara folklor.
3. Adoration of scriptures
Adoration of scriptures adalah sekelompok masyarakat, agama, dan
budaya yang sangat mencintai atau menyukai teks agamanya (kitab sucinya).
Lawan dari teori ini adalah Interpretation of scriptures. Adalah sekelompok
masyarakat, agama, dan budaya yang memaknai atau memahami teks (kitab suci)
sesuai konteks yang menjadi pegangannya. Dalam Islam kedua teori ini sama
dengan Al-ijtihad.
Ada dua jenis kitab yang dapat tergolong ke dalam kategori Adoration of
scriptures. Kitab tersebut adalah kitab yang terbuat dari kayu peninggalan
Tubagus Atief yang sudah berusia ratusan tahun dan kitab sejarah perjuangan
Tubagus Atief. Dua kitab inilah yang digunakan sebagai panduan pokok dalam
acara folklor tersebut. Selain dari dua kitab itu, beberapa teks, terutama yang
berbahasa Arab, seperti kitab maulid Nabi, buku panduan tahlil, dan surat Yasin
juga termasuk dalam kategori ini.
116
4. Gemeinschaft
Gemeinschaft adalah sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang
ingin membangun kelompoknya berdasarkan komunitasnya. Lawan dari teori ini
adalah Gesellschaft. Yaitu sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang
ingin membangun kelompoknya berdasarkan societas. Kedua teori ini dalam
Islam sejalan dengan Al-Ummah.
Adapun data yang menjadi penguat dari kategori ini adalah adanya
anggapan lebih terhormatnya keluarga keturunan Tubagus Atief dibanding dengan
masyarakat biasa. Selain dari itu keluarga besar keturunan Tubagus Atief juga
membuat paguyuban (Tubagus Atief). Ini dimaksudkan untuk mewadahi
perkumpulan keluarga besar Tubagus Atief. Selain dari hal itu, sebagian besar dari
keturunan keluarga besar Tubagus Atief banyak yang menjabat di pemerintahan
daerah, sehingga kecendrungan akan kepentingan kelompok sesekali dapat
muncul.
5. Vernacular language
Vernacular language adalah pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang cenderung belajar bahasa sendiri/lokal. Lawan dari teori ini adalah
Vehicular language adalah pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi,
adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang
belajar bahasa pengetahuan/bahasa lain. Dalam Isalam teori ini sejalan dengan
istilah Al-Lisan.
Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya bahasa Sunda dalam hampir
setiap mata acara. Terutama dalam penyampaian kisah perjuangan Tubagus Atief.
117
B. Saran
Seteleh peneliti memberikan kesimpulan dari apa yang sudah peneliti analisis di
bab sebelumnya, peneliti kemudian ingin memberikan saran sebagai berikut:
1. Melestarikan budaya semacam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug”
ini menjadi tugas semua lapisan masyarakat. Lebih erat dalam melakukan
koordinasi dengan masyarakat, agar masyarakat lebih banyak lagi terlibat
dalam acara perayaan pelestarian budaya ini.
2. Melibatkan lapisan msyarakat dalam perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka
Keramat Tajug,” agar tercipta koordinasi yang pas. Dengan demikian akan
muncul juga rasa kepemilikan masyarakat setempat terhadap folklor.
Pemilik folklor pun (pihak Keramat Tajug) agar lebih transformatif atas
nilai-nilai baru yang dinilai dapat menambah kekayaan budaya.
3. Adanya evaluasi atas hasil tranformasi antara nilai-nilai yang ingin
ditanamkan dengan hasil yang ditangkap oleh masyarakat. Hal ini
dimaksudkan agar hal yang kurang ada manfaatnya sebaiknya dihilangkan
saja. Dan perlu adanya pengawasan dari pihak luar baik dari akademisi atau
ulama (tokoh agama) setempat agar terjadi stabilitas antara budaya yang
perlu dimaknai dan lestarikan dengan budaya yang tidak perlu dilestarikan
yang menyimpang dengan ajaran agama.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk peneliti dan
untuk kita semua khususnya bagi para pemula yang ingin meneliti tentang
komunikasi antarbudaya. Peneliti berharap pula dengan skripsi ini peneliti ikut
serta dalam melestarikan budaya Indonesia yang sangat beragam dan sangat
berharga ini.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianti, Iin. “Pesta Lomban Sebagai Fungsi Media Komunikasi Rakyat
Masyarakat Pesisir Kabupaten Jepara dalam Menyampaikan Pesan
Dakwah,”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Al-Barzanji. Kumpulan Maulid, Solawat dan Doa Penutupnya Surabaya. Amalia,
1998.
Ardhi, Yogyasmara. P. “Wayang Kulit sebagai Media Dakwah: Studi pada
Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang,”. Skripsi
S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Jakarta, 2011.
Bakti, Andi Faisal. Communication and Family Planning in Islam in Indonesia:
South Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program.
Jakarta: INIS, 2004.
Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke
Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Karisma Putra Utama, 2004.
Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi, Ed. 1- 8. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007.
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung:
PT. Syaamil Cipta Media. 2004.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tim Peneliti, Mulyadi, dkk. Upacara
Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi di DIY. Yogyakarta: Poroyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1982-1983.
Devito, Joseph A. Komunikasi Antarmanusia. Penerjemah Agus Maulana .
Jakarta: Profesional Books, 1997.
Echols, John M. dan Shadily, Hassan. Kamus Inggris-Indonesia. Amerika:
Cornell University Press, 1975; reprint, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2005.
Ega Maulana, “Fungsi Foklor “Hajat Bumi Keramat Ganceng” dalam Komunikasi
Antarbudaya bagi Masyarakat Urban di Kelurahan Pondok Ranggon
Jakarta Selatan,”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
UIN Jakarta, 2011.
Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia, 1984.
Liliweri, Alo. Makna Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:
PT. LKiS Pelangi Aksara, 2007.
Lubis, Nina H. Banten Dalam Pergumulan Sejarah; Sultan, Ulama, Jawara.
118
119
Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia, 2003.
Maleong, Lexi J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya,1999.
Maryati, Kun dan Suryawati, Juju. Sosiologi; Indonesia di Tengah Modernisasi
Dunia; Pengaruh Perkembangan Iptek, Demokrasi, Efisiensi, dan Agama
Terhadap Indutrialisasi dan Urbanisasi. Jakarta: Esis, 2001.
Maulana, Ega . ”Fungsi Foklor “Hajat Bumi Keramat Ganceng” dalam
Komunikasi Antarbudaya bagi Masyarakat Urban di Kelurahan Pondok
Ranggon Jakarta Selatan,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, UIN Jakarta, 2011), h. 23.
Mulyana, Deddy dan Rakhmat, Jalaludin. Komunikasi Antarbudaya Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2009.
Mulyana, Dedy. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rosda Karya, 2002.
Nasrullah, Rulli. Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012.
Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
2011.
Pelly, Usman. Urbanisasi dan Adaptasi; Peranan Misi Budaya Minangkabau dan
Mandailing. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia Anggota IKAPI, 1971.
Porter, Ricard E. dan Samovar, Larry A. Suatu Pendekatan Terhadap Komunikasi
Antarbudaya, dalam Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi
Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda
Budaya, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009.
Prasetya, Joko Tri, dkk. Tanya Jawab Ilmu Budaya. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000.
Raco, J.R. metode Penelitian Kualitatif Janis, Karakter, Keunggulannya. Jakarta:
PT Grasindo, 2010.
Rendra, Sos. Palayangan. Jakarta: Trans Mandiri Abadi, 2010.
Roudhonah. Ilmu Komunikasi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007.
Rozak, Yusron. Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan Pemikiran Sosiologi
Perspektif Islam. Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008.
Santoso, Ananda dan Al Hanif, A.R. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.
Surabaya: Alumni.
Satori, Djam’an dan Komariah, Aan. Metode Penetitian Kualitatif. Bandung:
Alfabeta, 2010.
120
Shadily, Hasan. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, cetakan ke-12. Jakarta:
Reneka Cipta,1993.
Shoelhi, Mohammad. Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2009.
Siradj, Agil.“Kata Pengantar; Meneladani Strategi Kebudayaan Para Wali,” dalam
Agus Sunyoto, Wali Songo; Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan.
Jakarta: Transpustaka, 2011.
Sudikan, Setya Yuwana. “ Ragam Metode Pengumpulan Data: Mengulas Kembali
Pengamatan, Wawancara, Analisis Life History, Analisis Folklor,” dalam
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis
ke Arah Ragam Varian Kontemporer, (Jakarta: Karisma Putra Utama,
2004.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta, 2009.
Supanto dkk. Risalah; Sejarah dan Budaya Seri Folklor. Yogyakarta: Balai
Penelitian Sejarah dan Budaya, 1981-1982.
Suparlan, Parsudi dalam A.W. Widhaya. Manusia Indonesia, Individu, Keluarga
dan Masyarakat. Jakarta: Akademika Pressindo, 1986.
Sutrisno, Muji dan Putranto, Hendari. Teori-teori Kebudayaan. Jakarta, 2008.
Tamam, Abdul Majad. Surat Yaasiin dan Bimbingan Tahlil. Jakarta: Zikrul Hakim.
Wiryanto. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Grasindo, 2006.
Wiryanto. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Grasindo, 2006.
121
SUMBER DARI INTERNET
Ilham Prisgunanto, “Analisis Data Kualitatif,” artikel diakses pada 17 Maret 2013
dari kk.mercubuana.ac.id.
Wikipidia Bahasa Indonesia. “Bunga Tujuh Rupa,” artikel diakses pada 7 Maret,
2013 dari http://id.wikipidia.org/wiki/.
Raharjo, Mudjia. “Triangulasi dalam Penelitian Kualitatif,” artikel diakses pada 1
April, 2013 dari http://mudjiarahardjo.com/artikel/270.html?task=view.
Pedoman Wawancara
Nama
:
Bpk. H. Mu’in
Jabatan
:
Ketua Paguyuban Makam Keramat Tajug
Hari/Tanggal
:
Minggu, 23 Juni 2013
Waktu Wawancara
:
20.00-21.00
Tempat Wawancara
:
Kediaman Bpk. H. Mu’in
1.
Menurut bapak apa maksud dan tujuan diadakannya Folklor Haul Cuci Pusaka
Keramat Tajug bagi masyarakat sekitar yang terlibat dalam acara ini?
Jawab: Yang pertama kan tujuan melestarikan budaya yang penting kan prinsipnya
tidak melanggar syariat agama kan. Selama itu tidak melanggar agama maka
kebudayaan masyarakat itu hukumnya boleh kan, Al Adatu Muhakkamatun, itu
untuk memperkuat kebudayaan Indonesia dalam sisi agama, kan gitu. Yang
kedua ingin mencontoh perjuangan dari Tubagus Muhammad Atief selaku
penyiar agama di daerah Serpong dan bahkan Banten dan sekitarnya, jadi
perjuangannya yang kita contoh, terutama dalam kegigihannya dalam melawan
penjajahan Belanda pada saat itu. Dan yang ketiga dalam rangka menjaga
semangat keagamaan, ruh keagamaan, inikan termasuk syiar kan, mensyiarakan
agama Allah melalui kebudayaan. Syiar itu kan bermacam-macam, bisa dengan
music, bisa dengan hal yang lain yang dapat diterima di masyarakat, nah dalam
perayaan ini kira-kira kami bersyiar dengan hati mengajak mereka dengan cara
yang berbeda. Ya diantaranya itu aja, tentu yang lain masih banyak.
2.
Apakah bahasa yang digunakan dalam penyampaian sejarah singkat perjuangan
Tubagus Atief pada saat perayaan itu memang murni dengan bahasa Indonesia?
Jawab: Ya biasanya sih itu dengan bahasa Jawa Sunda dan itu ada bukunya yang
memang dari peninggalan kuno. Ada kok bukunya yang memang menggunakan
bahasa Jawa Sunda Banten, karena kan Tubagus Atief ini dari Banten. Nah
sekarang kan digunakan bahasa Indonesia, itu sih hanya untuk mempermudah
saja, agar siapapun mereka, dari kalangan manapun yang mengikuti acara Haul
Cuci Pusaka Keramat Tajug ini dapat memahaminya denagan baik.
3.
Apa fungsi adanya Paguyuban bagi Keramat Tajug?
Jawab: Paguyuban kan sifatnya nonformal ya, jadi hanya komunitas saja kan, kami
disini pertama untuk mengajak masyarakat mengetahui bahwa di desa
Cilenggang ini ada makam peninggalan pejuang yakni makam Keramat Tajug
ini. Biasanya kami yang menjadi pelopornya, misalanya seperti acara Haul,
menyambut bulan ramadlan. Kemudian selain dari itu kami juga mengundang
keluarga besar Tubagus Atief yang tinggal di daerah lain, nah dengan
paguyuban ini kan kami terkontrol gitu. Selain itu ya kamilah pengurus
paguyuban ini yang menjaga dan melestarikan makam keramat tajug ini.
4.
Bagaimanakah pendapat anda tentang pandangan orang yang menganggap
bahwa folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini ada unsur-unsur
musyriknya?
Jawab: Ini tergantung pemahaman kita masing-masing, biasanya mereka yang
menganggap demikian ini mereka yang selalu menganggap hal ini bid’ah.
Bid’ah kan ada yang baik dan ada yang buruk, tidak semua bid’ah itu sesat dan
musyrik. Berikutnya tergantung bagaimana kita menjelaskannya kepada
masyarakat, jangan sampai kita menganut TBC (tahayul, bid’ah, churafat).
Kami pun tidak sembarangan mengajak masyarakat, karena kami juga
bertanggung jawab akan hal itu.
5.
Apa maksud dari dilaksanakannya cuci tutup pusar yang dibarengkan dengan
pambancaan kalimat tahlil (lailahaillah) dengan berulang-ulang?
Jawab: Ya itu dalam rangka mengkuatkan hati kepada Allah. Tahlil itu kan
membersihkan hati. Jadi menggantungkan segala bentuk tindakan itu kepada
Allah. Jadi kita kuatkan tauhid atau keyakianan kita kepada Allah. Kalau
tauhidnya sudah matang nah nanti kita enak kesananya kan gitu.
6.
Bagaimana pandangan anda jika kemudian nanti ada masyarakat yang
menganggap benda pusaka itu (barokah) keramat?
Jawab: Memahami barokah kan setiap orang berbeda-beda. Kita yang ada di zaman
modern ini jika berbicara barokah seperti yang ada pada cerita salaf
(masyarakat zaman dulu) seperti hal yang tidak pernah ada, padahal semua itu
ada. Nabi Muhammad dengan segala mukjizatnya, para wali dengan segala
karomahnya, nah sekarang tinggal kita bagaimana memahami dan meyakini itu.
Memahami dalam arti semua yang terjadi itu semata-mata hanya dari Allah.
Meyakini itu adalah meyakini bahwa kekuatan Allah itu memang benar-benar
ada dan mutlak adanya. Tinggal bagaiamana kita memahaminya saja, benda
yang memang peninggalan para wali (kekasih Allah) jika kita menisbatkannya
kepadanya bisa jadi sebab itu benda tersebut dikeramatkan, sebaliknya kalau
bukan karena kekuatan Allah apalah arti sebuah benda. Jangankan benda Al-
Quran saja kalau kita tidak meyakini akan kekuatan Allah Al-Qu.ran sendiri
tidak akan berarti apa-apa bagi orang tersebut.
7.
Apakah prosesi yang dilaksanakan itu memang dari nenek moyang dulu?
Jawab: Cuci pusaka ini memang apa adanya, lihat saja kerisnya juga masih apa
adanya (tidak ada yang berubah dari peninggalan nenek moyang). Tapi
sekarang ditambah-tambahkan, seperti ada ceramah agama, sedekahan,
tahlilan. Ini dimaksudkan untuk menghindari kemusyrikan, jadi kita arahkan ke
sana. Jadi ini merupakan budaya yang tidak bertentangan dengan agama.
Adapun kegiatan-kegiatan seperti obor, rebana (hadroh) ini hanya tambahan
saja dalam rangka syiar agama. Jadi kita ini sebenarnya tertutup tapi juga
tertutup, begitu juga sebaliknya terbuka tapi tertutup. Kita melihat kondisi kan,
ada poin-poin yang memang asli (murni) peninggalan nenek moyang ada juga
yang memang ditambah-tambahkan.
8.
Kenapa hanya tutup pusar saja yang dicuci di makam keramat tajug pada saat
perayaan malam itu?
Jawab: Memang sudah ada waktunya masing-masing ya. Jam nya pun ditentukan.
Kalau cuci keris kan prosesnya lama, kerisnya banyak dan bermacam-macam.
Puncak dari pencucian ini ya tutup pusar itu. Tutup pusar itu intinya di makam,
dan itu masih asli peninggalan Tubagus Atief dari ayahnya yaitu Pangeran
Tirtayasa. Jadi kami tidak boleh sembarangan, harus di depan makamnya itu.
Kalau cuci keris kan di rumah ya, kalau tutup pusar itu harus di makam. Ini
memang sudah budaya kami. memang ini sudah dilakukan sejak dulu sebelum
perayaan ini dilaksanakan di makam namanya tutup pusar itu harus dicuci di
depan makam Tubagus Atief.
9.
Kenapa harus dimulai dari H. Imamudin yang mencucinya?
Jawab: Itu mah tidak ada peraturan khusus yang menjelaskan kenapa harus begini dan
begitu. Termasuk siapa yang harus duduk di depan atau di belakang. Kami
semua sama sih. Tapi mungkin yang menjadi pertimbangannya karena kami
keturunan dari pada Tubagus Atief dan H.Imamudin itu kaka kami yang
dituakan maka hal tersebut terjadi begitu saja.
10.
Apakah pada saat cuci tutup pusar itu ada bacaan khusus yang dibaca dari
peninggalan nenek moyang?
Jawab: Bacaannya selain kalimat tahlil (lailaahaillah) ya hadiah puji saja. Cuma
minta washilah saja, intinya kan kita meminta kepada Allah kan. Memang sesuai
dengan bahasa masing-masing. Misalnya dengan berbahasa Arab bil barakah
Tubagus Atief yang kalau diartikan kurang lebih (mengambil barakah) gitu.
Jadi intinya kita berwasilah saja.
11.
Bagaimana dengan adanya dupa, nasi tumpeng, dan aneka-aneka makanan
lainnya yang sifatnya modern tapi ada hal-hal juga yang berbau mistis seperti
pembakaran dupa?
Jawab: Ada sebagian dari apa yang ada dalam perayaan cuci pusaka Keramat Tajug
ini yang memang membudaya artinya wajib ada menurut budaya. Misalnya,
bukhur (dupa), makanan-makanan lain seperti kabuli, tumpeng. Sementara
makanan lain yang sudah modern seperti roti, makanan-makanan zaman
sekarang ya itu menyesuaikan saja. Boleh boleh saja kok. Seperti yang tadi saya
bilang kami ini bisa dibilang tertutup bisa terbuka.
12.
Apakah serangkaian acara yang telah dilaksanakan pada haul cuci pusaka
keramat tajug itu masih murni dari warisan nenek moyang?
Jawab.: Namanya budaya pasti patokan dasar tidak pernah berubah kan itu prinsip
budaya, meskipun kita menyesuaikan. Seperti dulu tidak ada bacaan ayat suci
Al-Qur’an cukup maulid saja tapi sekarang sudah ada bahkan ditambah lagi
ada sambutan dan sebagainya.
13.
Kenapa harus dilaksanakan malam ke 14 bulan maulid?
Jawab. Karena itu patokan kebiasaannya. Itu sudah kebiasaan dan kesepakatan tiga
kerajaan. Kita (Paguyuban Tubagus Atief) biasanya malam 14 maulid, Banten
tanggal 15, Cirebon tanggal 16. Jadi tiga serangkai ini sudah keliling
bergantian. Tidak boleh ada yang saling mendahului.
Pedoman Wawancara
Nama
:
Mehdi Solihin, S. sos
Jabatan
:
Lurah Cilenggang
Hari/Tanggal
:
Minggu, 23 Juni 2013
Waktu Wawancara
:
17.00-18.00
Tempat Wawancara
:
Kediaman Mehdi Solihin
1. Bagaimana tanggapan bapak mengenai diadakannya Haul Cuci Pusaka yang
melibatkan warga Cilenggang?
Jawab: Itu kan benda-benda peninggalan orang tua yang memang benarbenar bersejarah kan, jadi menurut saya warga baik yang pendatang maupun
yang asli masyarakat Cilenggang perlu tahu itu. Adapun perayaannya kan
tidak disakralkan, kita hanya untuk mengenang saja. Biar tahu bahwa dulu
beliau ini adalah orang tua kita sebagai pejuang yang memperjuangkan
agama islam, dan itu memang sudah rutin dilaksanakan. Tidak ada
seremonial yang khusus gitu, hanya dalam bentuk do’a yang memang biasa
dibaca. Buat saya ini mah hal sangat bagus sekali, kan dari sini warga saya
jadi lebih mengenal sejarah dari kampung nya sendiri.
2. Benarkah masyarakat Cilenggang ini sudah termasuk pada kategori
masyarakat urban?
Jawab: Ya betul itu, sekarang sudah membaur masyarakat asli Cilenggang
dengan masyarakat pendatang itu sudah membaur. Sekarang sudah modern
kan sudah tidak tabuh lagi lah. Selama masyarakat pendatang itu baik sama
kita, ya kita juga baik lah. Gitu aja.
3. Adakah pesan khusus dalam perayaan ini ke dapannya?
Jawab: Kalau pesan khusus saya pertama saya pesan ke pengurus paguyuban,
mari kita bersama-sama untuk membenahi dan meningkatkan lagi Makam
Keramat Tajug ini. Perawatan dari sarana prasarana supaya ditingkatkan
kembali, misalnya lahan parkirnya, penataannya dan yang lainnya. Kalau
bukan kita siapa yang akan menjaganya, kan gitu. Mari kita saling bersinergi
antara pemerintah daerah dalam hal ini saya sebagai lurah dan pihak terkait
agar sama-sama saling menjaga peninggalan nenek moyang kita yang
berharga ini.
Pedoman Wawancara
Nama
:
Sos Rendra
Jabatan
:
Ketua Pelaksana Folklor Haul Cuci Pusaka Keramat
Tajug
Hari/Tanggal
:
Selasa 28 Mei 2013
Waktu Wawancara
:
14.30-16.40
Tempat Wawancara :
1.
Kediaman Sos Rendra
Bagaimana awal kisah berpindahnya Tubagus Atief dari Banten ke
Tangerang?
Jawab: Ketika daerah ini dulu namanya Benteng, kemudian pada tahun 1654
tepatnya pada tanggal 31 Oktober daerah ini diganti dengan nama Tangerang
berasal dari kata dari tatengger. Jadi di Benteng itu ada sebuah tugu yang disebut
tugu Tangge yang berasal dari kata tatengger itu sebagai pembatas daerah lah gitu,
nah perbatasan inilah yang menjadi batas daerah Benteng yang dipertahankan oleh
Kapten Bill, Raden Kuna dan juga Nyimas Melati (mereka merupakan pejuang di
zaman penjajahan Belanda) sampai dengan perang, maka dari itu jadilah nama
tangerang. Selain dari itu tugu Tangge itu kan merupakan peninggalan sejarah jadi
masyarakat setempat pun sangat menjaga nya dengan sepenuh hati.
2.
Arti dari tangge sendiri itu apa?
Jaawab: Tangge itu ya tatengger, berasal dari bahasa sunda artinya kalau dalam
bahasa Indonesia ciri atau tanda. Kemudian setelah kapten Bill dan Raden Kuna dan
juga Nyi Mas Melati wafat akibat gugur dalam perang melawan Belanda maka para
tentara Belanda lari ke Benteng Selatan yang sekarang menjadi Tangerang Selatan
ini. Nah pada saat itulah awal dimulainya penjajahan belanda di Tangerang Selatan
. Kejadian ini didengarlah oleh kerajaan Banten yang waktu itu dipimpin oleh Sultan
Ageng Tirtayasa bin Abdul Ma’ali Bin Abdul Mufahhir Bin Pangeran Muhammad
Bin Syeh Maulana Yusuf Bin Syeh Maulana Yusuf Bin Syeh Syarif Hidayatullah.
Sultan Ageng Tirtayasa punya anak sembilan yaitu Pertama Abdul Qahar yang
disebut dengan Sultan Haji. Kedua Pangeran Purbaya. Ketiga Pangeran Setiri.
Keempat Pangeran Jogja. Kelima Raden Soheh. Keenam Raden Muhammad Tubagus
Atief. Ketujuh Ratu Ayu. Kedelapan Ratu Fatimah. Terahir kesembilan Ratu Komala.
Jadi jelas secara secara adalah anak dari Sultan Ageng Tirtayasa seorang raja
Banten.
Pada waktu itu sebagai panglima perang Pangeran Tirtayasa mengutus
Tubagus Atief ke Benteng selatan atau Tangerang Selatan ini. Ini karena penjajah
pelarian dari benteng itu terdengar lari ke Benteng Selatan dan menjajah rakyat, dan
Tubagus Atief ini ditugaskan untuk membantu melindungi rakyat dari penjajah
Belanda dan sekaligus untuk menyebarkan agama Islam yang merupakan amanat
pula dari Sultan Ageng Tirtayasa. Kan dulunya disini, masyarakat Cilenggang ini
khususnya didominasi oleh agama Hindu, itu kira-kira pada tahun 1667. Adapun
yang pertama masuk Islam adalah justru dari kelompok Hindu. Mereka memang
menentang keras awalnya, mereka menunjukkan kekuatan-kekuatannya, namun
Tubagus Atief pun tak tinggal diam, melalui adu ilmu akhirnya mereka dengan izin
Allah mampu dikalahkan, kemudian mereka masuk agama Islam dan menjadi
pengikutnya. Awalnya yang menjadi pengikut pertama Tubagus Atief berjumlah tujuh
orang, meraka adalah
Mbah Syukur, Mbah Lampe, Mbah Islah, Mbah Pancabaya
dan yang lainnya. Mereka sangat patuh terhadap Tubagus Atief sampai dengan titik
penghabisan. Kemudian setelah Tubagus Atief berhasil melawan penjajah dan
berhasil mengislamkan masyarakat Hindu di Cilenggang ini, dan mengeluarkan
masyarakat dari kegelapan menuju dunia terang, dari mabok-mabokan, minum, zina
saling membunuh hingga masyarakat yang harmonis, lalu masyarkat sekitar ingin
memberikan hadiah kepada Tubagus Atief. Hadiah tersebut berupa seorang gadis
cantik putri dari salah seorang warga Cilenggang yang bernama Siti Almiyah yang
awalnya beragama Hindu pula. Dari hasil perkawinannya itu Tubagus Atief
dikaruniai empat orang anak. Mereka adalah, Tubagus Romhadon yang dimakamkan
di Kali Pasir Kota Tangerang, kemudian Tubagus Arpha dimakamkan di Keramat
Tajug, lalu Tubagus Rajhe dimakamkan di Kadubungbang Cimanuk Pandeglang,
kemudian yang terakhir adalah Tubagus Arja dimakamkan di Keramat Tajug. Dan
kami ini pada umumnya masyarakat Cilenggang merupakan keturunan dari Tubugus
Arja. Dari masing-masing putra yang empat ini masing-masing mempunyai
keturunan dan sampai sekarang masih ada di daerah masing-masing pula. Hanya
saja sejarah mengenai Tubagus Arpha sejarahnya kami tidak temukan dan seperti
menghilang. Sampai sekarang sebagai bukti sejarah dari pernikahan Tubagus Atief
dengan Siti Almiyah itu adalah Masji Jami Al-Ikhlas yang menurut cerita masjid
tersebut merupakan maskawin yang diberikan Tubagus Atief kepada Siti Amiyah.
3.
Lalu apa yang dilakukan Tubagus Aitef setelah berhasil membantu Benteng
Selatan (Tangerang Selatan)?
Jawab: Nah, setelah berhasil menaklukkan Belanda dan mengislamkan masyarakat
Benteng Selatan khususnya Kelurahan Cilenggang ini, Tubagus Atief lalu kembali ke
Banten dan mengahadap kepada ayahandanya. Maksud kedatangan itu adalah untuk
melaporkan bahwa Tubagus Atief ini sudah selesai perjuangannya di Benteng
Selatan. Dari sinilah kemudian Tubagus Atief diberikan gelar oleh Sultan Ageng
Tirtayasa yaitu dengan gelar Tubagus Wetan Raden Muhammad Atief. Kurang lebih
artinya seorang keturunan ningrat yang telah menyebarkan agama Islam di daerah
timur Banten yaitu di Benteng Selatan.
Hal yang sama sebernarnya terjadi juga pada ayahandanya yaitu Sultan
Ageng Tirtayasa. Gelar Sultan Ageng Tirtayasa ini diberikan oleh masyarakat
setempat lantaran Sultan Ageng Tirtayasa mampu mengembalikan kejayaan Banten.
Tidak hanya itu bahkan lebih membaik dari sebelumnya. Kepeduliannya terhadap
pendidikan agama Islam sangat mendapatkan respon yang besar dari masyarakat
setempat. Dari segi perdanganpun Sultan ageng Tirtayasa juga mampu bekerja sama
dengan Eropa, Unisoviet, dan negara-negara lainnya sehingga masyarakat setempat
memberikan ia gelar dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa.
Selain dari bermaksud untuk melaporkan keberhasilannya itu, Tubagus Atief
mendengar ada konflik keluarga kerajaan di Banten. Konflik itu adalah perseteruan
antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anak pertamanya yaitu Sultan Haji.
Perseteruan itu juga memicu peperangan. Mendengar demikian Tubagus Atief tidak
tinggal diam, Tubagus Atief mencoba bertanya pada ayahandanya sebab musabab
terjadinya peperangan ini. Tubagus Atief juga mencari tahu mengapa pula pihak
istana tidak mampu memecahkan perseteruan keluarga ini.
Sultan Ageng Tirtayasa tidak memberikan jawaban pasti, Ia malah menyuruh
Tubagus Atief untuk tidak ikut campur dengan permasalahan ini. Sultan Ageng
menganggap ini masalah kerajaan dan Tubagus Atief tidak ada hak untuk ikut
campur atas perseteruan yang terjadi. Di sinilah Tubagus Atief memahami maksud
dari ayahandanya itu, Tubagus Atief kemudian berfikir bahwa kalau ia membantu
ayahnya maka Ia akan akan berperang dengan kakak nya sendiri. Begitupula
sebaliknya jika Ia membantu kakaknya maka Ia akan berhadapan dengan
ayahandanya dalam perseteruan itu.
4.
Selain Tubagus Atief, makam siapakah yang ada di dalam Tajug tepat di
sebelah Tubagus Atief itu?
Jawab: Nah, sebagai lanjutan sejarah di atas, Sultan Ageng Tirtayasa pun
memerintahkan Tubagus Atief untuk pergi lagi ke Benteng Selatan (Tangerang
Selatan) ke desa Cilenggang dan diminta untuk membawa adiknya (Ratu Ayu) yang
pada saat itu sedang sakit. Namun Tubagus Atief tidak serta merta begitu saja
meninggalkan kerajaan. Ia ingin bertemu terlebih dahulu dengan kakaknya (Sultan
Haji). Karena Ia berfikir bahwa setega-teganya seorang anak, tidaklah mungkin
akan sampai hati memerangi ayahnya sendiri. Dan benarlah ternyata, bahwa Sultan
Haji ini telah berhasil diperalat Belanda, untuk menghancurkan kejayaannya dalam
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa itu.
Tidak hanya itu, setelah diselidiki ternyata Sultan Haji itu bukanlah Sultan
Haji anak kandung asli dari Sultan Ageng Tirtayasa. Menurut kisahnya, Sultan Haji
ini adalah orang yang diperalat Belanda karena kemiripannya dengan Sultan Haji
yang sebenarnya. Melalui kisah yang panjang pula akhirnya Sultan Haji palsu ini
berhasil menaklukkan Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Haji ini menangkap Sultan
Ageng Tirtayasa dan kemudian memenjarakannya sampai mati.
Akhirnya atas perintah ayahnya untuk berangkat lagi ke Cilenggang, Tubagus
Atief pun berangkat dan membawa Ratu Ayu ke Cilenggang. Ratu Ayu lebih dulu
meninggal dunia dari pada Tubagus Atief. Pada saat menjelang kepergiannya
Tubagus Atief berpesan kepada saudara-saudaranya agar jika kelak ia meninggal
supaya ia dimakamkan di dekat adiknya yaitu Ratu Ayu yang telah lebih dulu
dimakamkan di Keramat Tajug ini. Jadi makam itu ada dua yatiu makam Tubagus
Atief dan makam adiknya yaitu Ratu Ayu.
5. Bagaimana kisah mengenai pusaka tutup pusar Tubagus Atief yang dicuci setiap
tahun?
Jawab: Setelah Tubagus Atief memutuskan untuk kembali lagi ke Cilenggang nah
pada saat itulah Sultan Ageng Tirtayasa memberikan pusaka yang berupa Tutup
Pusar tersebut. Seorang raja yang terkenal jaya pada saat itu, tapi tidak memberikan
bekal kekayaan. Sehingga beruntunglah kita sampai saat ini masih punya bukti-bukti
sejarah.
6.
Bagaimana mengenai asal muasal Keramat Tajug?
Jawab: Nah peperangan Sultan Haji dan Pangeran Tirtayasa tak kunjung usai, Ratu
Ayu yang sejak kecil di bawa oleh Tubgus Atief ke Cilenggang telah mendengrar
bahwa ayahnya (Sultan Ageng Tirtayasa) telah meninggal dunia. Kesedihan Ratu
Ayu berlarut larut sampai akhirnya Ratu Ayu meninggal.
Pada saat Ratu ayu
meninggal dan dimakamkan di Cilenggang, saat itulah muncul perasaan bersalah
dalam diri Tubagus Atief. Tubagus Atief merasa bahwa ia tidak mampu menjaga
amanat dari orang tuanya (Sultan Ageng Tirtayasa) untuk menjaga adiknya. Pada
saat itu Tubagus Atief membuat “Tajug”. Kalau bahasa kita mah tajug, yang dalam
bahasa Indonesia nya mah musolah atau surau. Dipedataran tanah yang dahulunya
sawah tepatnya di samping kali (sungai) yang orang setempat bilang kali
ciudeutreng itulah Ratu Ayu dimakamkan. Hingga akhirnya Tubagus Atief memilih
untuk menyepi dan melakukan tirakat (berkhalwat kepada Allah) memanjatkan doa
kepada Allah, sangking kasiannya pada adenya (Ratu Ayu). Dan berpesan kepada
sanak saudaranya kalau nanti saya meninggal makamkan saya di dekat adik saya di
dalam surau itu.
Pada saat Tubagus Atief meninggal dilaksankanlah wasiatnya, Tubagus Atief
dimakamkan di dalam Tajug itu. Secara tiba-tiba tajug tempat dimakamkannya
Tubagus Atief ini menggunung semantara Tajug itu ada di atas. Jadilah itu keramat
Tajug. Atau Tajug yang dikeramatkan.
7.
Kalau menurut bapak adakah sejarah yang menunjukkan atas kekeramatan
makam Keramat Tajug?
Jawab: Owh ia itu ada beberapa cerita memang dari sesepuh kita diantaranya, dulu
pada tahun 1968 ada jamaah haji yang ketinggalan rombongan jamaahnya, dia
orang Tenjo. Dia mah udah nangis aja, lalu datang orang pake jubah kuning
menyapanya dengan bahasa sunda “kamana sia”? tanya lelaki berjubah itu“balik”
jawabnya “balik kamana”? “ka Jawa”, lalu lelaki berjubah itu berkata “itu nanti
ada orang, kecil, pake jubah kuning, pake sorban, kamu ikut pulang aja sama dia”.
Lama menunggu akhirnya kurang lebih selepas solat asar benarlah orang yang
disebutkan kriterianya itu datang, dan jamaah itu berteriak dan meminta ikut orang
tersebut untuk pulang, akhirnya orang itu meminta jamaah itu untuk memejamkan
matanya dan secara tiba-tiba orang itu sampai di Celenggang tepat di dekat Keramat
Tajug, kan luar biasa kalau wali itu, dunia mah senampan aja. Ketika melek yang
keliatan hanya kuburan sebanyak mata memandang. Orang itu berada di komplek
pemakaman Tubagus Atief.
8.
Bagaimana dengan pernak pernik perayaan Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug
seperti adanya tumpeng?
Jawab: Tumpeng mah sebenarnya ada kaitannya dengan orang yang ketinggalan di
Makkah itu. Jadi ia bernadzar nanti kalau ada rezeki ia akan bebacaken itilah orang
sunda mah, bahasa kitanya ya membaca kalimat-kalimat Allah untuk mendoakan
orang-orang yang telah meninggal dan dikuburkan di pemakaman keluarga Tubagus
Atief itu. Benarlah, beberapa hari setelah kejadian itu ia datang ke pemakaman dan
membawa nasi Kabuli itu. Sampai sekarangpun tumpeng yang dibuat acara tahunan
ini ya nasi kabuli itu.
9. Bagaimana mengenai asal mula diadakannya Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug?
Jawab: Dulu itu sembunyi-sembunyi, karena dulu Belanda pernah mengambil
senjata-senjata itu. Mulai terang-terangan itu sekitar tahun 1992 karena kami
merasa telah dilindungi Undang-undang. Sebab selain memang diincar sama
Belanda yang kedua banyak sekali orang-orang sekitar yang salah kaprah yang
mengarah pada kemusyrikan. Kita kan hanya bermaksud untuk pelestarian saja.
Pencucian pusaka ini kalau bukan kita yang menjaga siapa, orang lain mah ga
mungkin. Dulu mah air hasil cuci pusaka ini dibuat minum, dipakai untuk cuci muka,
sekarang mah saya buang airnya. Meskipun orang yang sembunyi-sembunyi
mengambil air itu masih ada. Segala sesuatu itu atas izin Allah.
10. Adakah makna khusus dari pencucian pusaka tutup pusar ?
Jawab: Secara garis besar intinya mah cuci pusaka itu hanya pelestarian bendabenda pusaka saja. Dan sekaligus menapak tilas perjuangan Tubagus Atief. Biar kita
gak salah kaprah dan melupakan sejarah.
Pedoman Wawancara
Nama
:
Tubagus Muhammad Haris
Jabatan
:
Pengurus makam (kuncen)
Hari/Tanggal
:
Selasa 28 Mei 2013
Waktu Wawancara
:
13.00-14.00
Tempat Wawancara
:
Makam Keramat Tajug Tubagus Atief
1. Kapan awal diadakannya cuci pusaka keramat tajug?
Jawab: Itu mah gak ketahuan dek, kan turun temurun. Emang dari sejak dulu
sudah ada. Dulu mah diadainnya sembunyi-sembunyi, akhirnya lama
kelamaan kita lakukan di masjid Al-Ikhlas dan akhirnya setelah di Keramat
Tajug sendiri tempatnya agak luas akhirnya kami lakukan di sini saja (di
makam).
2. Menurut anda apa makna pencucian pusaka?
Jawab: Itu mah hanya melestarikan aja, selain itu yang paling utama adalah
menghormati jasa-jasa belia saja (Tubagus Muhammad Atief). Dan yang
paling penting sebagai intinya mah kan haul nya saja. Nah cara kami
menghormati dan mengenang jasa-jasa beliau ya kami melestarikan
peninggalan-peninggalannya.
3. Menurut anda masih adakah cerita-cerita yang sifatnya mistis dari pusaka
peninggalan Tubagus Atief?
Jawab: Sekarang saya atau barangkali semua keluarga Tubagus Atief sudah
pada enggak tahu kali ya, kalau dulu-dulunya mah ada yang tahu dan suka
menceritakan kepada kami, misalnya, tongkat ini fungsinya ini, keris ini
fungsinya ini dan seterusnya. Dulu hal itu ada tapi sekarang sudah tidak
diperhatikan lagi meski kayaknya ada dari keluarga yang mengetahui tentang
hal itu. Lagian kan kalau disampaikan ke orang-orang takutnya tanggapan
orang itu salah, misalnya percaya terhadap benda, kan itu tidak boleh.
Menurut saya benda itu kan tergantung orangnya, kalau yang menggunakan
benda itu sakti ya benda itu menjadi sakti, sebaliknya jika yang menggunakan
benda itu salah kaprah maka sama saja bohong.
4. Sebenarnya apa sih pusaka tutup pusar itu? Apa bedanya dengan pusaka yang
lain?
Jawab: Tutup pusar itu kan peninggalan ayahandanya. Sedangkan pusakapusaka yang lain bukan peninggalan ayahnya. Itu saja mungkin
perbedaannya. Zaman dulu, terutama anak raja itu pasti ada tutup pusarnya,
ada yang dari emas, ada yang dari tembaga tergantung orang tuanya. Kalau
kita dulu pakai gobangan kan (duit logam) sekarang saja yang enggak ada.
Nah gobangan itu diikat pake kain (bahan) terus diikat ke pinggang agar
dapat menutupi pusar. Supaya apa? Ya supaya jangan dosol (pusar yang
menonjol).
5. Apa saja bunga yang dicampur disaat pencucian pusaka itu?
Jawab: Owh itu memmang dari dulu dek, bunga itu ada tujuh macam jeninya.
Ada kembang mawar, kembang melati, kembang cempaka, kembang kantil,
kembang kenanga, kembang sedap malam, serta kembang melati gambir.
Terus sebagai penyempurna biasanya dikasih minyak wangi dan pandan yang
diiris-iris kecil.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peneliti saat bimbingan dengan Prof. Dr. Andi Faisal Bakti.
Lampiran 2. Peneliti saat bimbingan dengan Prof. Dr. Andi Faisal Bakti.
Lampiran 3. H. Mu’in sesaat setelah wawancara dengan peneliti
Lampiran 4. Benda pusaka golok yang sedang dicuci
Lampiran 5. Benda pusaka keris sesaat setelah dicuci
Lampiran 6. Perkumpulan keluarga besar Tubagus Atief sehari sebelum perayaan
Lampiran 7. Benda-benda pusaka peninggalan Tubagus Atief
Lampiran 8. Menikmati makanan khas Sunda ala keluarga Tubagus Atief
Lampiran 9. Tampak dari samping, makam Tubagus Atief
Download