KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MELALUI FOLKLOR "HAUL CUCI PUSAKA KERAMAT TAJUG" DI KELURAHAN CILENGGANG SERPONG TANGERANG SELATAN Skripsi Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) Oleh: SAMSUL ARIFIN NIM. 109051000077 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H/2013 M LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoloeh gelar Strata 1 (S1) di Uiniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 4 Oktober 2013 Samsul Arifin NIM: 109051000077 Nama : Samsul Arifin NIM : 109051000077 ABSTRAK KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MELALUI FOLKLOR “HAUL CUCI PUSAKA KERAMAT TAJUG” DI KELURAHAN CILENGGANG SERPONG TANGERANG SELATAN Folklor (cerita rakyat) merupakan fenomena unik di kalangan masyarakat. Folklor juga merupakan warisan budaya dan merupakan kekayaan khazanah nusantara. Fenomena ini terdapat di tengah-tengah kota meropolit, tepatnya di Kelurahan Cilenggang Serpong Tangerang Selatan. Nyiraman, istilah masyarakat setempat, atau “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.” Dalam kacamata budaya, folklor memang harus dilestarikan. Namun, tidak jarang folklor bersebrangan dengan ketentuan syariat agama (Islam). Adapun rumusan masalah utama dalam penelitian ini adalah bagaimana komunikasi antarbudaya (KAB) melalui folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” (HCPKT)? Sedangkan pertanyaan turunannya adalah seperti apa komunikasi antara etnis yang berbeda yang terjadi pada perayaan folklor “HCPKT”? Mengapa ada komunikasi antara subkultur yang berbeda, dan seperti apa komunikasi antara subkultur yang berbeda pada perayaan folklor “HCPKT”? Adakah bentuk komunikasi antarbudaya selain dari yang disebutkan di atas, dan bagaimanakah bentuk komunikasi antarbudaya tersebut? Komunikasi antarbudaya yang terjadi pada folklor “HCPKT” sangat luas. Berbagai adat daerah Cilenggang yang ditemukan peneliti sangat unik. Peneliti melihat mulai dari folklor itu sendiri maupun pemilik folklornya. Masyarakat yang tergabung dalam perayaan folklor pun menjadi fokus penelitian dalam skripsi ini. Jelasnya, komunikasi antarbudaya yang terjadi secara garis besar diperankan oleh masyarakat pemilik folklor dan masyarakat diluar pemilik folklor. Peneliti menggungakan dua teori dalam penelitian ini, yaitu, teori Joseph A. Devito dan teori Andi Faisal Bakti. Kedua teori ini digunakan untuk menganalisis jenis-jenis KAB. Setelah pengklasifikasian jenis KAB melalui kedua teori di atas, peneliti juga akan menganalisis folklor dalam konteks KAB. Teori yang digunakan yaitu teori konservatif dan teori transformatif Andi Faisal Bakti. Jelasnya, proses analisis dalam penelitian ini ada dua tahap, yaitu analisis jenis-jenis KAB dan analisis folklor dalam konteks KAB. Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode etnografi. Dalam penelitian ini peneliti merujuk pada buku Lexi J. Maleong. Sebagai pelengkap peneliti juga menggunakan buku Setya Yuwana Sudikan, Sugiyono, Djam’an Satori dan Deddy Mulyana. Komunikasi antara etnis yang berbeda terjadi antara keturunan Tubagus Atief dengan masyarkat sekitar. Selain dari itu, perbedaan bahasa juga menunjukkan adanya komunikasi antara etnis. Sedangkan antara komunikasi subkultur yang berbeda terjadi antara kelompok pekerja bangunan dengan kelompok pedagang. Selain yang disebutkan dalam abstrak ini, masih ada jenis-jenis KAB lainnya. Jelasnya, masih ada beberapa jenis KAB yang terjadi saat acara folklor “HCPKT.” Dapat disimpulkan, bahwa penelitian ini ada dua tahap analisis. Tahap pertama mengarah pada jenis KAB, dan tahap kedua mengarah pada kategori folklor. Dalam analisis jenis KAB, teori yang digunakan merupakan perpaduan antara teori Devito dengan Bakti. Sedangkan corak folklor menggunakan teori konservatif dan transformatif dari Andi Faisal Bakti. Sehingga penelitian ini menghasilkan Enam jenis KAB dan lima kategori folklor. Kata kunci: KAB, folklor, penelitian, teori, Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug. i KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah, Tuhan sekalian alam. Penulis haturkan puja dan puji syukur alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji hanya bagi Allah sebagai ungkapan rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan kepada penulis. Nikmat sehat, nikmat iman dan Islam dan nikmat-nikmat yang lain yang tak ada sedikitpun perumpamaan atas nikmat-nikmat tersebut. Atas nikmat tersebutlah penulis dengan segala keterbatasan penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Selawat serta salam semoga tatap tercurah limpah atas Nabi Muhammad SAW. Manusia teragung yang diagungkan Allah. Sumber dari segala kehidupan dan sumber keselamatan. Nabi pembawa syafaat, menyelamatkan umat dari gelap menuju terang. Selama proses penulisan skripsi ini banyak sekali kesan dan pelajaran yang penulis dapatkan, terlebih dalam kaitannya dengan apa yang menjadi objek penulisan skripsi ini. Banyak nasihat dari guru (dosen) yang terus akan membekas sampai titik penghabisan. Kesabaran, ketekunan, ketelitian, kedisiplinan, kesopanan, dan kehati-hatian adalah sedikit dari sekian ribu pesan moral yang penulis dapatkan. Tidak hanya semasa penulisan skripsi ini saja, sejak penulis menempuh perkuliahan dari awal sampai akhir, pesan-pesan itu seperti mutiara yang selalu indah dengan sendirinya. Selanjutnya dari nasihat, bantuan, serta doa mereka itulah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis sangat menyadari akan jauhnya skripsi ini dari kesempurnaan. Dengan demikian penulis akan terus berusaha melakukan perbaikan dan pembelajaran. Adapun saran, nasihat, kritik yang membangun atas perbaikan skripsi ini sangatlah berharga bagi penulis. ii Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan, dan dorongan semangat dan motifasi dari berbagai pihak. Dari lisan mereka muncul kekuatan yang dapat memacu semangat penulis saat penulis lalai dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Arief Subhan M.A sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), Dr. Suparto, M. Ed, MA selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Administrasi dan Drs. Jumroni, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang Keuangan, serta selaku Ketua Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), dan juga kepada Drs. Wahidin Saputra, MA selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan. 2. Umi Musyarofah, MA selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Wanita muslimah yang penulis kenal di jurusan yang konsisten dan sederhana, bersahaja dan selalu memberikan nasihat. 3. Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, Ph.D, MA selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu, memberikan bimbingan dan pengarahan pada penulisan skripsi ini. Beliau sangat sabar dalam membimbing penulis. Penulis biasanya melakukan bimbingan skripsi ini di kediaman Beliau. Berjam-jam kami duduk dan penuh teliti, Beliau selalu memberikan pengarahan. Senang dan sekaligus beban. Senang dapat bimbingan dengan Beliau karena keseriusan dalam membimbing penulis sangat penulis rasakan. Dari beliau penulis banyak mengambil pelajaran. Penulis ingat jurus membaca dari beliau, “Jurus Baca Tujuhbelas Rakaat.” Kalimat inilah yang sering penulis iii dengar dari lisan Beliau saat bimbingan. Memang jurus ini sudah penulis dapat sejak smester lima silam. Beliau pernah menjelaskan bahwa membaca itu seperti orang sedang shalat. Shalat itu butuh keseriusan (khusyuk). Kalau tidak serius bukan shalat namanya. Begitu pula dalam membaca, baca yang serius dan teliti agar pahalanya dapat dipetik. Jurus ini seperti mantra dalam telinga, terus dan akan terus diingat. Semoga penulis tetap konsisten atas jurus ini. Terimakasih banyak, Prof. 4. Dra. Rini Laili Prihatini, M.Si sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah membantu mengarahkan seluruh mahasiswa untuk mengikuti proses kegiatan akademik. 5. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang bermanfaat bagi penulis. Semoga ilmu yang telah diberikan bermanfaat untuk selama-lamanya. 6. Segenap karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan juga Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kemudahan penulis untuk mendapatkan berbagai referensi dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Ayah tercinta (Abah) H. Suyatno dan Ibunda (Umi) Hj. Sufyani yang selalu bertengadah dengan tulus dan ikhlas mendoakan penulis, memotivasi, mendorong penulis untuk selalu semangat. Terimakasih atas segala kasih sayang Abah dan Umi. Tak kutemukan apa-apa dari wajah anggun mereka berdua kecuali doa dan semangat yang menyala. Selalu kunanti momen-momen penting saat penulis hendak berangkat ke Jakarta, iv mereka selalu hadiahi penulis dengan doa yang tiada dapat dihitung dengan apapun. 8. Adik tersayang, Sukran Makmun (Suk Ma). Terimakasih atas doa dan nasihat-nasihatmu. Bangga rasanya melihat semangat belajarmu yang selalu berkobar. Semoga selalu dalam bimbingan Allah SWT. Semangat selalu, dan ingat! perjuangan kita masih panjang. 9. Keluarga tercinta Nenek Sup dan Kakek Sup, Nenek Su dan Kakek Su, Bibi Sriyatin beserta Paman Bahrudi, Om Lie dan Bibi Yuli, Om Sahrawi dan Bibi Syeifi, Om Jo dan Bibi Siti, Bibi Suhana dan Paman Ja’far mereka semua orang tua penulis yang selalu tulus memberikan nasihat. 10. Sulfi, Amel, Umay, Syaifi, Adif, Ghufroni, Maghfiroh, dan Utsman mereka adalah adik-adik sepupu penulis yang selalu menyemangati. 11. Segenap guru yang telah membimbing penulis. Penulis haturkan hormat dan terimakasih serta salam ta’dhim yang sedalam-dalamnya kepada Alm. KH. Abuzairi dan keluarga besar Pon-Pes Salafiyah I, Bondowoso. Keluarga besar KH. Rosyid dan Pon-Pes Salafiyah II Situbondo, mereka adalah guru yang senantiasa memberikan bimbingan kepada penulis. Kepada keluarga besar Kiai Anwar Mahfudz dan Pon-Pes Darul Ulum Bondowoso. Keluarga besar KH. Taufiqul Hakim dan Pon-Pes Darul Falah Amtsilati, Jepara. Keluarga besar Habib Ali Alwi Al-Husainy dan Ustad H. Ubaidilah Cholid serta keluarga Pon-Pes Al-Husainy, Tangerang Selatan. Keluarga besar KH Rohmani dan Pon-Pes Nurul Iman, Jakarta. Semoga ilmu yang telah diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat. v 12. Segenap keluarga besar Paguyuban Tubagus Atief. Bapak Tubagus H. Imamudin, Bapak H. Mu’in, Bapak Tubagus Sos Rendra, Bapak Tubagus Muhammad Aris yang telah berbagi informasi atas penulisan skripsi ini. 13. Teman-teman seperjuangan KPI C 2009, yang saling membantu satu sama lain dan tetap menjaga kekompakan. Kawan-kawan KKN DEDICATION, semoga persaudaraan kita tetap terjalin sampai kelak kita berada pada bidang dan dunia pengabdian yang berbeda. 14. Orang tua penulis di Jakarta, keluarga besar Mama Maspiyah, keluarga besar Mama Vikri, dan keluarga besar Ibu Hj Mursiyah, keluarga besar Ibu Alwiyah dan adik-adikku semua. terimakasih atas segala kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis. Semoga Allah senantiasa memberikan yang terbaik untuk mereka. 15. Kawan-kawan seperjuangan, Dina Mayasari dan keluarga besar SMA IT Al-Husainy, Ulan Sari, Hasonanganta Malau, Adin, Hafidz Malawat, Mua’mmar Tjio, Indra Andrean, Aziz Fathullah kawan diskusi penulis. Keluarga besar Salafiyah Ust. Andri Yanto, Mas Riga Irawan (Reigar), Ust. Abdurrahman Shalih, Ust. Fariki, Zainul Hakim, Zubairi, Siri, Lifan Efendi, dan Iswandi. Mereka selalu menasihati penulis. 16. Saudara-saudara di perantauan, Abdul Munib, Hasbul Sakera, Miqdad, Melki terus berjuang, jangan pernah menyerah, raih janji-janji kecil dulu saat kita di kampung. 17. Adik-adik Amtsilati cabang Al-Husainy semua angkatan, kalian adalah warna tersendiri bagi penulis. Terus berjuang tanpa henti dan selalu semangat. vi Semoga tetap semangat dalam melangkah kedepan lebih baik. Semangat itu seperti laju angin, terkadang kencang keras mengalahkan segalanya untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, atau bahkan malas menyelinap tanpa ampun, datang tiba-tiba. Akhirnya pesan dan dorongan guru, kawan, dan saudara itu yang menjadi senjata penangkalnya. Semoga skripsi ini lahir dari hasil membaca karena Allah, menulis karena Allah dan bermanfaat untuk hamba Allah. Amin. Dan akhir kata dari penulis, semoga segala bentuk motivasi, dukungan, harapan dan keberkahan doa yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang berlimpah dan ridha dari Allah SWT. Amin. Jakarta, 4 Oktober 2013 Samsul Arifin NIM: 109051000077 vii DAFTAR ISI ABSTRAK ..................................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................................. viii DAFTAR TABEL ......................................................................................... xi DAFTAR BAGAN .......................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1 B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah .................. 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 9 D. Skripsi Terdahulu .............................................................. 11 E. Metodologi Penelitian ...................................................... 13 F. Sistematika Penulisan ...................................................... 29 KAJIAN TEORITIS A. Memaknai Komunikasi ..................................................... 31 1. Pengertian Komunikasi .............................................. 31 2. Unsur-unsur Komunikasi ........................................... 33 3. Fungsi Komunikasi ..................................................... 35 B. Memaknai Budaya ............................................................ 36 1. Pengertian Budaya ..................................................... 36 2. Unsur-unsur Kebudayaan ........................................... 39 viii 3. Pengertian Komunikasi Antarabudaya ........................ 39 4. Teori Komunikasi Antarbudaya Joseph A. Devito dan BAB III Andi-Faisal Bakti ........................................................ 42 C. Memaknai Folklor ............................................................ 55 1. Pengertian Folklor ....................................................... 55 2. Folklor Haul Cuci Pusaka ........................................... 56 TUBAGUS ATIEF, ”HAUL CUCI PUSAKA KERAMAT TAJUG,” DAN KELURAHAN CILENGGANG A. Tentang Tubagus Atief .................................................... 60 B. Perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ................ 63 1. Asal Mula Dilaksanakannya Haul “Cuci Pusaka Keramat-Tajug” .......................................................... 63 2. Gambaran Perayaan Folklor “Haul Cuci Pusaka BAB IV Keramat-Tajug” .......................................................... 65 C. Gambaran Umum Masyarakat Cilenggang ..................... 69 1. Letak Geografis ........................................................... 69 3. Keadaan Penduduk ..................................................... 70 PROSES KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MELALUI FOLKLOR ”HAUL CUCI PUSAKA KERAMAT TAJUG” A. Analisis Jenis Komunikasi antarbudaya menurut Joseph A. Devito dan Andi Faisal Bakti .................................... 75 1. Komunikasi Antara Etnis yang Berbeda ................... 76 ix 2. Komunikasi Antara Subkultur yang Bebeda .............. 77 3. Komunikasi Antara Subkultur dengan Kultur yangDominan ..................................................................... 80 4. Komunikasi Antara Jenis Kelamin yang Berbeda ...... 82 5. Komunikasi Antara Kaum Tradisionalis dengan Kaum – Modernis ....................................................... 83 B. Analisis Folklor menurut Teori Andi Faisal Bakti .......... 85 1. Etre pense par sa culture............................................. 85 2. Heriter la culture ........................................................ 91 3. Adoration of scriptures ............................................... 92 4. Geminscaft .................................................................. 94 5. Vernacular language .................................................. 96 C. Pembahasan ..................................................................... 98 1. Beberapa Kegiatan Folklor yang Positif .................... 199 2. Munculnya Kesamarataan Budaya ............................. 103 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................... 112 B. Saran ................................................................................ 117 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 118 LAMPIRAN-LAMPIRAN x DAFTAR TABEL 1. Tabel 2.1. ................................................................................................. 46 2. Tabel 2.2. ................................................................................................. 48 3. Tabel 2.3. ................................................................................................. 50 4. Tabel 3.1. ................................................................................................. 70 5. Tabel 3.2. ................................................................................................. 71 6. Tabel 3.3. ................................................................................................. 72 7. Tabel 3.4. ................................................................................................. 72 DAFTAR BAGAN 1. Bagan 1.1. ................................................................................................ 17 2. Bagan 1.2. ................................................................................................ 26 3. Bagan 2.1. ................................................................................................ 34 xi DAFTAR GAMBAR 1. Gambar 4.1. .............................................................................................. 76 2. Gambar 4.2. .............................................................................................. 78 3. Gambar 4.3. .............................................................................................. 78 4. Gambar 4.4. .............................................................................................. 79 5. Gambar 4.5. .............................................................................................. 80 6. Gambar 4.6. .............................................................................................. 82 7. Gambar 4.7. .............................................................................................. 83 8. Gambar 4.8. .............................................................................................. 84 9. Gambar 4.9. .............................................................................................. 88 10. Gambar 4.10. ............................................................................................ 89 11. Gambar 4.11. ............................................................................................ 89 12. Gambar 4.12. ............................................................................................ 92 13. Gambar 4.13. ............................................................................................ 93 14. Gambar 4.14. ............................................................................................ 97 15. Gambar 4.15. ............................................................................................ 100 16. Gambar 4.16. ............................................................................................ 102 17. Gambar 4.17. ............................................................................................ 103 18. Gambar 4.18. ............................................................................................ 104 19. Gambar 4.19. ............................................................................................ 105 20. Gambar 4.20. ............................................................................................ 106 21. Gambar 4.21. ............................................................................................ 108 xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan kunci dalam setiap penyampaian visi dan misi seseorang terhadap orang lain. Menurut kacamata agama Islam, kegiatan menyampaikan visi dan misi (nilai-nilai luhur agama) disebut dengan dakwah. Tidak hanya dalam satu sisi dakwah saja, misalnya hanya dalam bentuk ceramah saja yang dianggap proses terjadinya komunikasi Islam, akan tetapi dalam semua aspek. Komunikasi memang menempati tempat paling vital bagi manusia.1 Misalnya, dalam konteks hubungan sosial budaya, manusia akan terus melakukan interaksi dengan manusia lain, dengan segala maksud dan tujuan masing-masing. Sebagai gambaran bagaimana komunikasi sangat vital bagi manusia, penulis mengutip Wilbrum Scharmm dan William E. Porter seperti yang dikutip oleh Rulli Nasrullah mengenai teori tentang perkembangan awal manusia mulai berkomunikasi dengan menggunakan bahasa. “Pertama, teori bow-bow yang menggambarkan bahwa manusia pertama kali menggunakan bahasa lisan dengan meniru bunyi-bunyian yang bersifat alami, seperti suara rintik hujan dan gemuruh. Kedua, teori poo-poo merupakan era di mana manusia menggunakan bahasa yang sesuai dengan perwakilan emosi yang mereka alami seperti perasaan takut, kesakitan, gembira dan sebagainya. Ketiga, teori songsong, yaitu bahasa yang digunakan dalam komunikasi dalam masa awal merupakan ucapan atau nyanyian saat mereka merayakan sesuatu. Misalnya dapat disaksikan dalam acara-acara api unggun yang dilakukan oleh suku-suku Indian. Keempat, teori yo-heave-ho merupakan bahasa komunikasi yang berkembang dari sungutan yang terjadi karena pergerakan fisik. Terakhir, kelima, teori yuk-yuk bahwa terjadinya kata karena adanya bunyi yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa tertentu.”2 1 Rulli Nasrullah, Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 1. 2 Rulli Nasrullah, Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber, h. 3. 1 2 Beberapa teori tentang perkembangan komunikasi ini tentu sangat menjadi bukti bahwa komunikasi sangatlah penting dalam kehidupan manusia. Perbedaan itu memang tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat. Ini tergambar dalam surat hud ayat 118. Artinya: Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu. Tetapi, mereka senantiasa berselisih pendapat. (Qs. Huud 118).3 Dalam tafsir Al-Misbah, ayat ini diartikan dengan “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” Dalam tafsir Al-Misbah disebutkan, bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Hal ini dimaksudkan agar manusia dapat memilih dan menentukan pilihan jalan yang baik dengan cara yang baik pula agar dapat menimbulkan sifat saling menghargai (toleransi). 4 Dalam ranah komunikasi antarbudaya, tentu ini menjadi bahasan penting. Di sini lah komunikasi berperan, terlebih komunikasi antarbudaya sebagai solusi atas perbedaan tersebut. Dalam penjelasan tafsir tersebut di atas, memang perlu keterbukaan budaya dan keterampilan dalam berkomunikasi. “Kalaulah Allah SWT. Berkehendak menjadikan semua manusia sama, tanpa ada perbedaan, Dia menciptakan menusia seperti binatang tidak dapat berkreasi dan melakukan pengembangan, baik terhadap dirinya apalagi lingkungannya. Tapi, itu tidak dikehendaki Allah karena Dia manugaskan manusia menjadi khalifah. Dengan perbedaan itu, manusia dapat berlomba-lomba dalam kebajikan dan, dengan demikian, akan terjadi kreativitias dan peningkatan kualitas. Karena, hanya dengan perbedaan dan perlombaan yang sehat, kedua hal itu akan tercapai. Antara lain untuk itulah manusia dianugerahi-Nya kebebasan bertindak, memilah dan memilih.” 5 3 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: PT. Syaamil Cipta Media), h. 143. 4 Tafsir Al-Misbah, “Toleransi Untuk Mencapai Toleransi,” artikel diakses pada 21 Juni 2013 dari http://lampost.com. 5 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Vol 5 (Jakarta: Lentera Hati, 2009), h. 785. 3 Demikian pentingnya keterampilan berkomunikasi ini akan sangat disadari bagi setiap orang, baik individu maupun sosial. Terlebih ketika orang-orang tersebut berada dalam lingkungan baru, dengan manusiamanusia baru dan kebiasaan (budaya) baru. Orang-orang itu secara sadar maupun tidak akan memikirkan tentang kebiasaan dari lingkungan lamanya. Mereka akan berusaha bagaimana cara menyeimbangkan kebiasaan lama dengan kebiasaan baru yang dihadapi. Usaha tersebut dilakukan untuk dapat berkomunikasi dengan baik. Di sinilah proses pertukaran budaya tidak bisa dihindari. Karena pada dasarnya, lingkungan baru bagi seseorang yang berbeda budaya sarat dengan kegagalan, baik dari segi bahasa, dan bahkan maksud dari penyampaian pesan itu sendiri.6 Setiap sesuatu yang berkaitan dengan cara hidup manusia adalah budaya. Setiap manusia pun akan berusaha berada dalam tatanan budaya tersebut. Misalnya cara berbicara, kebiasaan makan dan minum, bahasa sehari-hari, dan kegiatan agama tertentu. Hal tersebut merupakan hasil dari penyesuaian serta respons manusia, baik individu maupun sosial, terhadap pola-pola budaya yang dikenalnya. Mereka lahir dan dibesarkan dalam bentuk budayanya masing-masing.7 Dalam kajian komunikasi antarbudaya, kita mengenal dengan subbudaya, yaitu komunitas yang menjadi pembeda dengan subkultur lainnya. Dalam kebudayaan masyarakat yang ada dalam lingkungan tempat tumbuh berkembangnya komunitas tersebut ataupun di tempat lain. Adapun yang 6 Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009), h. 179. 7Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, h. 18. 4 menjadi pembeda pada komunitas subbudaya adalah ras, etnik, regional, ekonomi, dan bahkan prilaku sosial yang menjadikan ciri tersendiri bagi komunitas tersebut.8 Salah satu fenomena yang dapat kita temukan dalam kelompok masyarakat atau golongan tertentu adalah folklor. Yaitu cerita rakyat yang lahir dari zaman ke zaman dalam kurun waktu yang cukup lama. Sampai saat ini masih banyak ditemukan folklor yang tersebar di seluruh Indonesia. Terbentuknya folklor bermula dari kelompok-kelompok tertentu. Tumbuh secara turun temurun serta akan menyisakan cerita. Cerita itu kemudian akan diwariskan melalui proses yang cukup lama dari mulut ke mulut. Adanya folklor ini menjadi sebuah tatanan sosial bagi masyarakat yang menjalaninya.9 Pada prosesnya, folklor tentu berkisar dalam kurun waktu yang lama. Bisa sampai dengan ratusan tahun lamanya. Sebagai contoh, penulis menggambarkan dalam kebiasaan penulis sendiri. Dalam keluarga penulis ada banyak peraturan semi resmi yang dianut bersama-sama oleh anggota keluarga penulis. Misalnya tidak boleh duduk di pintu dengan alasan menurut keluarga penulis katanya mempersulit rezeki. Cerita ini akan menyisakan adat dari pengikutnya yang telah lama menggejala dan dilakukan secara turun temurun pula. Semua yang mengikuti apa yang telah menjadi kebiasaan dari pengikut sekelompok tersebut secara tidak langsung telah dipengaruhi oleh peraturan adat tersebut. 8 Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, h. 18. 9 Supanto dkk, Risalah; Sejarah dan Budaya Seri Folklor (Yogyakarta: Balai Penelitian Sejarah dan Budaya, 1981-1982), h. 48. 5 Sejalan dengan pernyataan Margarete Schweizer, bahwa kebudayaan daerah memberikan pengaruh besar atas kehidupan sosial, tingkah laku dan bahkan sampai pada pendirian hampir setiap orang Indonesia sekarang. Menurutnya, hal ini dapat dilihat dari bahasa keseharian, struktur ekonomi, gaya interaksi, norma-norma, dan pemikiran serta sejarah sosial.10 “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” merupakan salah satu bentuk folklor yang penulis temukan. Terjadinya folklor tersebut tepatnya di daerah Serpong Kelurahan Cilenggang, Tangerang Selatan. Haul secara bahasa dapat diartikan dengan kekuatan, kekuasaan, serta selamatan arwah yang dilakukan rutin setiap satu tahun sekali.11 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Haul berarti peringatan hari wafat seseorang yang diadakan setahun sekali (biasanya disertai selamatan arwah).12 Dalam konteks ini, kita dapat mengambil pengertian yang terakhir, yaitu selamatan arwah yang dilakukan secara rutin setiap satu tahu sekali. “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini memang dilakukan setiap satu tahun sekali. Dilakukan setiap tanggal 14 Rabi’ul Awal pada perhitungan tahun Hijriah setiap tahunnya. Adapun pada perhitungan tahun Masehi kali ini bertepatan pada tanggal 25 Januari 2013 yang lalu. Tidak diketahui pasti kapan awal dimulainya kegiatan Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug ini. Diperkirakan telah berlangsung sekitar 400 tahun yang lalu.13 10 Dikutip dari Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009), h. 215. 11 Ananda Santoso dan A.R. Al Hanif, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Alumni), h. 147. 12 Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 393. 13 Wawancara Pribadi dengan Sos Rendra, Tangerang Selatan, 28 Mei 2013. 6 Keramat Tajug adalah tempat pemakaman keluarga dari kerajaan pangeran Tirtayasa pada zaman kerajaan Banten. Bentuk geografis pemakaman tersebut seperti bukit kecil yang orang setempat menyebutnya gunung Puyuh. Terdapat sebuah tajug atau musala,14 dalam istilah bahasa setempat. Di dalamnya terdapat makam pangeran Tubagus Atief, putra keenam dari pangeran Tirtayasa. Kegiatan tahunan ini dimulai dari pencucian benda-benda pusaka peninggalan Tubagus Atief (1651). Masyarakat setempat menyebutnya “Nyiraman” atau cuci pusaka. Kemudian disambung dengan warna-warni kemeriahan pawai obor. Adapun puncak dari kegiatan Haul “Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini adalah pembacaan tahlil dan pembacaan Maulid Nabi. Hal ini dilakukan untuk mengenang perjuangan Tubagus Atief pada masa hidupnya. Bersamaan dengan pembacaan tahlil dilakukan juga pencucian pusaka tutup pusar Tubagus Atief (1651). Menjadi ketertarikan tersendiri bagi penulis, karena di tengah kota besar yaitu di daerah Serpong Tangerang Selatan terdapat folklor semacam ini yang mampu dipertahankan. Masyarakat sekitar yang kehidupannya tergolong masyarakat modern (Mitropolite) memiliki kebudayaan yang beragam. Hal ini terjadi karena masyarakat yang ada di kelurahan Cilenggang sangat antusias dengan kegiatan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini. Kegiatan tersebut kemudian mencirikan bahwa masyarakat Cilenggang sudah termasuk kategori masyarakat yang mempunyai keragaman budaya (multibudaya). “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini kemudian dengan apik dikemas oleh pihak panitia 14 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia musala berarti tempat salat, langgar, surau, tikar salat, sajadah. 7 sebagai ajang peringatan haul dan pencucian pusaka peninggalan Tubagus Atief. Kegiatan ini diikuti oleh masyarkat Cilenggang dan sekitarnya. Dari latar belakang ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan pengkajian mendalam dalam bentuk skripsi dengan judul “Komunikasi Antarbudaya Melalui Folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” di Kelurahan Cilenggang Serpong Tangerang Selatan.” B. Identifikasi, Batasan, Rumusan Masalah dan Pernyataan Peneliti 1. Identifikasi Masalah Folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” bercirikan tradisional yang kental dengan kekuatan supranatural. Banyak praktik yang menurut penulis masih berbau mistis, seperti pembakaran dupa, kembang tujuh rupa, tumpeng, dan aneka makanan tradisional lainnya. Akan tetapi ada kemungkinan bentuk supranatural ini sudah tidak lagi dijadikan fokus dalam pelaksanaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.” Melihat dari mata acara yang terlaksana, maka tujuan dari terlaksananya acara ini adalah bagaimana masyarakat setempat ikut serta dalam pelaksaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” dan berpartisipasi dalam kegiatan haul, terutama pada saat acara puncak, yaitu malam tanggal 15 bulan Ramadhan. Pada pelaksanaannya, folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” melibatkan beberapa lapisan masyarakat sekitar yang termasuk dalam kategori masyarakat multibudaya. Budaya-budaya tersebut meliputi Jawa, Sunda, dan Betawi. Oleh karena itu, sangatlah mungkin kegiatan ini melibatkan beberapa budaya atau terjadi komunikasi antarbudaya, sehingga penulis dapat mengidentifikasi, bahwa dengan dikemasnya 8 folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” sedemikian rupa, maka sangat mungkin folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” menjadi media komunikasi antarbudaya bagi masyarakat di kelurahan Cilenggang. 2. Batasan Masalah Guna mempermudah dan memperjelas proses penelitian, maka penulis membatasi masalah pada proses komunikasi antarbudaya yang terjadi pada folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” di kelurahan Cilenggang Serpong Tangerang Selatan sebagai media komunikasi. 3. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah utama dalam penulisan ini adalah bagaimana bentuk komunikasi antarbudaya melalui folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” di kelurahan Cilenggang kecamatan Serpong Tangerang Selatan? Dari pertanyaan utama di atas, penulis memberikan beberapa pertanyaan berikutnya sebagai pertanyaan turunan. Adapun bentuk pertanyaannya penulis merumuskan sebagai berikut: a. Seperti apa komunikasi antara etnis yang berbeda yang terjadi pada perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug”? b. Mengapa ada komunikasi antara subkultur yang berbeda, dan seperti apa komunikasi antara subkultur yang berbeda pada perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug”? c. Komunikasi seperti apakah yang terjadi pada perayaan “Folklor Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” antara subkultur dengan kultur yang dominan, antara jenis kelamin yang berbeda, dan komunikasi kaum tradisionalis dengan kaum modernis? 9 4. Pernyataan Peneliti Ditinjau dari letak kelurahan tempat diadakannya folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini, penduduknya merupakan penduduk pendatang. Mereka adalah orang-orang yang berpindah dari tempat semula atau tempat asal mereka menuju Cilenggang. Oleh karena itu dapat diidentifikasikan, bahwa tempat tersebut sangat memungkinkan terjadinya komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya tersebut lalu akan mengacu pada upaya mempertahankan diri dari memudarnya nilai-nilai. Folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” sebagai sarana komunikasi antarbudaya pada masyarakat di kelurahan Cilenggang Serpong Tangerang Selatan mempunyai tujuan tertentu dan diperkuat dalam aturan-aturan budaya tertentu. Dari budaya yang mereka pertahankan dalam kegiatan tersebut diharapkan mampu menghasilkan budaya yang secara mendalam dapat dimanfaatkan sebagai sarana pemersatu bagi masyarakat sekitar. Budaya yang terlibat di dalamnya yaitu budaya Jawa, budaya Sunda dan budaya Betawi. Dari ketiga budaya yang tergabung ini dipersatukan dalam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug,” sehingga dalam folklor “ Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” terjadi komunikasi antarbudaya. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui folklor dalam komunikasi antarbudaya yang digunakan sebagai media komunikasi untuk masyarakat yang ada di kelurahan Cilenggang Serpong Tangerang 10 Selatan dan dibangun dengan sistem komunikasi antarbudaya pula. secara khusus, penulisan ini dimaksudkan pula untuk mengetahui: a. Komunikasi antarbudaya secara luas menurut teori Komunikasi Antar Budaya oleh Andi Faisal Bakti. b. Komunikasi antarbudaya secara luas menurut teori Joseph A. Devito. c. Komunikasi antar etnis yang berbeda pada folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.” d. Komunikasi antara subkultur yang berbeda pada folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.” e. Komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda yang terjadi pada saat folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.” 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penulisan ini terbagi menjadi dua, yaitu: a. Manfaat Teoritis Secara teoritis penulisan ini dapat menambah daftar referensi bagi pengembangan ilmu komunikasi antarbudaya, terutama bagi jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi dokumen ilmiah serta sebagai bahan informasi bagi mahasiswa dalam upaya pengembangan keilmuan, terlebih dalam bidang komunikasi dan komunikasi antarbudaya. b. Manfaat Praktis Dari penulisan ini, diharapkan mampu memberikan masukan kepada para praktisi yang bergerak di bidang komunikasi. Penulisan ini diharapkan pula dapat menambah wawasan serta dapat menjadi 11 pelajaran bagi masyarakat sosial dalam menjalankan adat sosial yang ada. Bagi kaum muslim, dapat menjadi bahan gambaran di mana nilainilai adat sosial yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam dapat dilestarikan. Untuk para praktisi dakwah, penulisan ini merupakan gambaran di mana nilai-nilai murni Islam dapat disampaikan melalui adat atau kebudayaan yang ada, seperti yang terjadi dalam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.” D. Skripsi Terdahulu Sebelum memastikan judul dan masalah yang akan diteliti, penulis terlebih dahulu malakukan tinjauan skripsi terdahulu, utamanya di perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), banyak skripsi yang penulis temukan dengan jenis penulisan yang sama, diantaranya: 1. Skripsi Iin Afrianti, NIM: 107051002443, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, di bawah bimbingan Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA. Ph.D. dengan judul “Pesta Lomban Sebagai Fungsi Media Komunikasi Rakyat Masyarakat Pesisir Kabupaten Jepara dalam Menyampaikan Pesan Dakwah”.15 Secara garis besar skripsi ini sama-sama tergolong ke dalam ranah penelitian komunikasi antarbudaya. Objek dalam skripsi yang ditulis oleh Iin Afrianti ini jelas berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan. 15 Iin Afrianti, “Pesta Lomban Sebagai Fungsi Media Komunikasi Rakyat Masyarakat Pesisir Kabupaten Jepara dalam Menyampaikan Pesan Dakwah,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Jakarta, 2011), h. 7. 12 2. Skripsi yang ditulis oleh Yogyasmara. P. Ardhi, NIM: 106051001901, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, di bawah bimbingan Dr. H. A. Ilyas Ismail, MA. dengan judul “Wayang Kulit sebagai Media Dakwah: Studi pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang.”16 Skripsi ini hampir sama dengan skripsi yang penulis tulis ini dari segi arus komunikasinya. Baik skripsi Yogyasmara P. Ardhi maupun skripsi penulis, sama-sama menginterpretasikan sebuah kebudayaan daerah yang dikonsumsi oleh masyarakat sekitar sebagai objeknya. Dalam skripsi Yogyasmara. P. Ardhi jelas berbeda dengan skripsi yang saya tulis, baik dari subjek maupun objek penelitiannya. 3. Skripsi yang ditulis oleh Ega Maulana, NIM: 107051002248, di bawah bimbingan Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA. Ph.D. dengan judul Fungsi Folklor “Hajat Antarbudaya bagi Bumi Keramat Masyarakat Ganceng” Urban di dalam Komunikasi Kelurahan Pondok Ranggon Jakarta Selatan.”17 Skripsi yang ditulis Ega Maulana ini mempunyai kesamaan dalam ranah penelitiannya dengan skripsi penulis. Skripsi Ega Maulana dengan skripsi yang penulis tulis sama-sama dalam ranah komunikasi antarbudaya dan sama-sama dalam cakupan folklor. Adapun perbedaannya terletak pada analisis yang dilakukan dalam penelitian Ega Maulana berfokus pada fungsi folklor, sedangkan dalam skripsi penulis, analisisnya berfokus pada bentuk komunikasi antarbudaya 16 Yogyasmara. P. Ardhi, “Wayang Kulit sebagai Media Dakwah: Studi pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Jakarta, 2011), h. 5. 17 Ega Maulana, “Fungsi Foklor “Hajat Bumi Keramat Ganceng” dalam Komunikasi Antarbudaya bagi Masyarakat Urban di Kelurahan Pondok Ranggon Jakarta Selatan,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Jakarta, 2011), h. 6-7. 13 yang dibangun dari folklor. Selain dari itu tentu berbeda dari segi subjek dan objek penelitiannya. E. Metodologi Penelitian Metodologi berasal dari bahasa Yunani yaitu methodologhia yang secara harfiah bermakna teknik atau cara. Secara garis besar metodologi dapat diartikan dengan general logic atau pemikiran umum serta dapat diartikan pula dengan theoretic perspective atau gagasan teoritis.18 Dalam sebuah penulisan, metodologi dapat diartikan dengan sebuah teknik atau cara yang digunakan. Kemudian cara itu mengantarkan penulis kepada arah analisis data yang telah didapatkan. Hasil dari analisis tersebut kemudian akan menjadi sebuah konfirmasi atas teori yang digunakan atau bahkan akan menjadi sebuah penemuan baru.19 Ada sedikit perbedaan antara pengertian kata metodologi dengan metode yang harus kita pahami. Kedua kata ini sering diartikan sama oleh kebanyakan orang. Pengertian kedua kata tersebut berbeda dalam konteks penelitian. Metodologi lebih kepada pemikiran secara umum (general logic), atau lebih kepada gagasan teoritis (theoritical perspective), sedangkan metode yaitu teknik yang digunakan pada saat penulisan misalnya teknik wawancara. Jelasnya metodologi lebih bersifat umum dan metode bersifat khusus.20 18 J. R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif Janis, Karakter dan Keunggulannya (Jakarta: PT Grasindo, 2010), h. 1. 19 J. R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif Janis, Karakter dan Keunggulannya (Jakarta: PT Grasindo, 2010) , h. 1. 20 J. R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif Janis, Karakter dan Keunggulannya (Jakarta: PT Grasindo, 2010), h. 1. 14 1. Bingkai Teori Menjadi keharusan dalam sebuah penelitian bagi seorang peneliti untuk menentukan teori sebagai sebuah bingkai penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti akan menjadikan rumusan kerangka teori sebagai pijakan sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan dalam skripsi ini. Adapun teori yang akan digunakan dalam skripsi ini adalah teori teori Joseph A. Devito dan Andi Faisal Bakti. Teori Andi Faisal Bakti ada dua macam yaitu teori tujuh dan teori dua puluh.21 Adapun teori Joseph A. Devito adalah teori yang diambil peneliti untuk mengklasifikasikan bentuk komunikasi antarbudaya yang ada pada perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” Cilenggang Serpong Tangerang Selatan. Komunikasi antarbudaya menurut Joseph A. Devito berjumlah delapan.22 Berikut macam-macam teori Joseph A. Devito secara singkat: 1. Komunikasi antarbudaya. 2. Komunikasi antara ras yang berbeda. 3. Komunikasi antara kelompok etnis yang berbeda. 4. Komunikasi antara kelompok agama yang berbeda. 5. Komunikasi antara bangsa yang berbeda. 6. Komunikasi antara subkultur yang berbeda. 7. Komunikasi antara subkultur dengan kultur yang dominan. 8. Komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda.23 21 Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program (Jakarta: INIS, 2004), h. 128. 22 Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia. Penerjemah Agus Maulana (Jakarta: Profesional Books, 1997), h. 480-481. 23 Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia. Penerjemah Agus Maulana (Jakarta: Profesional Books, 1997), h. 480-481. 15 Dari delapan jenis-jenis budaya menurut Joseph A. Devito peneliti akan menggabungkan dengan teori tujuh dari Andi Faisal Bakti. Berikut macammacam teori tujuh secara singkat: 1. Komunikasi antara muslim dengan non muslim. 2. Komunikasi antara militer dengan sipil. 3. Komunikasi antara Jawa dengan non-Jawa. 4. Komunikasi antara pribumi dengan nonpribumi. 5. Komunikasi antara tradisionalis dengan modernis. 6. Komunikasi antara kelompok sekuler dengan Islam. 7. Komunikasi antara lelaki dengan perempuan.24 Setelah pengklasifikasian dilakukan kemudian peneliti akan menganalisis komunikasi antarbudaya yang terjadi dengan teori dua puluh. Berikut macam-macam terori dua puluh: 1. Etre pense par sa culture lawannya adalah Penser sa culture 2. Heriter la culture lawannya adalah Acquerir la culture 3. Submission lawannya adalah Egalitarian/Emancipation 4. Adoration of scriptures lawannya adalah Interpretation of scriptures 5. Textualist lawannya adalah Contextualist 6. Geminschaft lawannya adalah Gesellschaft 7. Reproduction lawannya adalah Creation and trust in foregners 8. Fundamentalism lawannya adalah Rationalism/Secularization 9. Geoprapical immobility lawannya adalah Geigrapical mobility 10. Je me souviens lawannya adalah Deracinement 24 Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program (Jakarta: INIS, 2004), h. 128. 16 11. Paganism (idol woeshipping) lawannya adalah Monoteism (idol destruction)/Humanism (God created by humans) 12. Imposition/ Holy war/ Proseliytism lawannya adalah Negotiation 13. Nationalism/ Tirbalism lawannya adalah universalism/ internationalism 14. Orthodoxy/ Traditionalism lawannya adalah Protestantism/ Modernism 15. Sectaria communitarianism lawannya adalah Global communitarianism 16. Cul./Lang./Competence/Inheritence lawannya adalah Cul./Lang./Competence acquisition 17. Dependency/Egoism lawannya adalah Interdepency/Solidarty 18. Exclusivism lawannya adalah Inclusifsm 19. Vernacular language lawannya adalah Vahicular language 20. Parochialism lawannya adalah Flexibility25 Dari dua puluh teori yang ada, peneliti akan melakukan analisis dengan keadaan masyarakat pada acara folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” Cilenggang Serpong Tangerang Selatan. Adapaun gambaran teori tersebut sebagai berikut: 25 Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program (Jakarta: INIS, 2004), h. 128. 17 Bagan 1.1. Bagan 1.1. Bingkai Teoritis KOMUNIKASI ANTARBUDAYA (KAB) JOSEPH A. DEVITO (1997) 6. Komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda 1. Komunikasi antara kelompok etnis yang berbeda MASYARAKAT (SUNDA, BETAWI, JAWA) PADA PERAYAAN FOLKLOR “HAUL CUCI PUSAKA KERAMAT TAJUG” CILENGGANG SERPONG TANGERANG SELATAN 5. Komunikasi antara subkultur dengan kultur dominan 2. Komunikasi antara subkultur yang berbeda ANDI FAISAL BAKTI (2010) 4. Komunikasi antara tradisionalis dengan modernis 3. Komunikasi antara lelaki dengan perempuan (2010) FOLKLOR “HAUL CUCI PUSAKA KRAMAT TAJUG” KELURAHAN CILENGGANG SERPONG 1. Etre pense par sa culture Vs Penser sa culture 5. Vernacular language Vs Vahicular language 2. Heriter la culture Vs Acquerir la culture ANDI FAISAL BAKTI (2004) 4. Geminschaft Vs Gesellschaft 3. Adoration of scriptures Vs Interpretation of scriptures Sumber: Joseph A. Devito 1997 dan Andi Faisal Bakti 2004 dan 2010.26 26 Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia. Penerjemah Agus Maulana (Jakarta: Profesional Books, 1997), h. 480-481. Dan Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program (Jakarta: INIS, 2004), h. 128. 18 Dari bagan teori 1.1. di atas dapat dijelaskan bahwa peneliti akan menganalisis bentuk komunikasi antarbudaya yang terjadi di kelurahan Cilenggang Serpong Tangerang Selatan melalui folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.” Peneliti akan mengklasifikasikan jenis-jenis komunikasi antarbudaya terlebih dahulu. Setelah menemukan jenis-jenis komunikasi antarbudaya yang terjadi pada masyarakat yang terlibat pada perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” di kelurahan Cilenggang Serpong Tangerang Selatan, peneliti kemudian akan menganalisisnya dengan teori Andi Faisal Bakti, yakni teori dua puluh. Pada penelitian tahap ini peneliti berfokus pada folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.” Dalam tahap analisis jenis-jenis budaya yang ada, peneliti menggabungkan teori Joseph A. Devito dengan teori Andi Faisal Bakti.27 Dari delapan teori menurut Joseph A. Devito peneliti menemukan empat jenis saja. Sedangkan pada teori Andi Faisal Bakti, dari tujuh jenis komunikasi antarbudaya, peneliti hanya melihat ada dua temuan saja di lapangan.28 Pada bagan 1.1, peneliti menggabungkan antara teori Joseph A. Devito dengan Andi Faisal Bakti dengan garis hitam. Garis hitam pada bagan merupakan penghubung antara kedua teori tersebut. Untuk mempermudah, peneliti membedakan warna antara kedua teori tersebut. Pada teori Joseph A. Devito berwana biru muda. Sedangkan pada teori Andi Faisal Bakti berwarna merah kecoklat-coklatan. Sedangkan warna biru muda peneliti buat untuk menyamakan antara penggabungan teori. 27 28 Lihat bagan 1.1. h. 17 Lihat bagan 1.1. h. 17 19 Antara kedua teori Joseph A. Devito dan teori Andi Faisal Bakti (teori delapan dan teori tujuh) peneliti melihat ada satu teori yang sama yaitu pada komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda. Andi Faisal Bakti menyebutnya komunikasi antara laki-laki dan perempuan. 2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan kualitatif dan pendekatan etnografi dengan terjun langsung ke lapangan. Menurut Bogdan dan Taylor menyebutkan bahwa pendekatan dengan deskriptif kualitatif ini dengan perolehan data yang berupa katakata yang tertulis atau secara lisan dari mulut ke mulut dan prilaku yang bisa diamati.29 Sedangkan etnografi adalah metode yang biasa digunakan oleh seorang peneliti dalam usaha pendekatannya terhadap folklor. Etnografi berasal dari bahasa Yunani ethos dan graphos yang berarti tulisan mengenai kelompok budaya. Menurut Le Clompte dan Schensul etnografi adalah metode penelitian yang berguna untuk menemukan pengetahuan yang terdapat atau terkandung dalam suatu budaya atau komunitas tertentu. Etnografi memang bagian dari metode kualitatif. Akan tetapi, etnografi lebih mengarah pada penelitian kebudayaan.30 Dalam penelitian ini peneliti telah melakukan beberapa persiapan mengingat objek dalam penelitian ini adalah folklor. Peneliti dari jauh hari telah melakukan persiapan yakni melakukan observasi awal. Di antara persiapan yang peneliti lakukan yaitu mencari informasi jadwal 29 Lexi J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,1999), h. 3. 30 Marguerite G. Lodico, Dean T. Spaulding, Katherine H. Voegtle, Methods in Educational Research From Theory to Practice (San Fransisco: Jossey Bass, 2006), hlm. 268. 20 dilaksanakannya folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug,” kemudian meminta izin kepada pihak keluarga besar Tubagus Atief untuk ikut serta dalam folklor tersebut, serta mempersiapkan foto kamera digital untuk kebutuhan dokumentasi. Setelah itu kemudian melakukan tinjauan pustaka guna menentukan serta memastikan judul yang akan digunakan peneliti dalam kaitannya dengan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini. Serangkaian persiapan tersebut di atas dilakukan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan oleh peneliti. “Folklor itu ada pemiliknya serta adakalanya berada di suatu daerah yang sukar dicapai, sehingga untuk ke sana saja sudah memerlukan banyak biaya, belum lagi bahaya-bahaya yang mengancam keselamatan peneliti yang kurang mengadakan persiapan diri. Hambatan yang lebih sukar lagi untuk dihadapi adalah datang dari pemilik suatu Folklor, kepercayaan, misalnya, pemilik Folklor akan curiga apabila pendekatan yang dilakukan oleh seorang peneliti tidak patut. Pendekatan yang salah dapat menimbulkan antipati pemilik kepercayaan kepada peneliti. Akibatnya, pemilik kepercayaan itu akan menolak untuk menceritakannya dan apabila dipaksa mereka akan membohonginya. Keadaan yang sama akan menjadi lebih sulit lagi apabila bentuk Folklor itu adalah bahasa rahasia.”31 Untuk menjaga agar terhindar dari permasalahan seperti yang peneliti kutip di atas, peneliti telah melakukan persiapan-persiapannya. 3. Subjek dan Objek Penelitian Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah msyarakat setempat kelurahan Cilenggang, Serpong Tangerang Selatan, di sinilah peneliti mendapatkan data dan keterangan mengenai penelitian ini. Sedangakan objek dalam penelitian ini adalah fenomena folklor yang terjadi dan dikemas sehingga dapat digunakan sebagai media komunikasi dalam ranah komunikasi antarbudaya. 31 Dikutip dari Setya Yuwana Sudikan, “ Ragam Metode Pengumpulan Data: Mengulas Kembali Pengamatan, Wawancara, Analisis Life History, Aanalisis Folklor,” dalam Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer (Jakarta: Karisma Putra Utama, 2004), h. 74. 21 4. Teknik Pengumpulan Data Mengumpulkan data menjadi tujuan utama bagi setiap peneliti, sebelum akhirnya data dianalisis dan mendapatkan sebuah kesimpulan. Dalam mengumpulkan data, tentu dibutuhkan teknik atau cara agar mudah dan sesuai dengan kriteria ilmiah yang berlaku. Jika hal itu tidak diperhatikan oleh seorang peneliti, maka seorang peneliti tidak akan menemukan data yang sesuai dengan standar keilmiahannya.32 Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara alamiah (natural setting), serta sumber data primer, yaitu data yang didapat langsung dari sumbernya. Adapun praktiknya dilakukan dengan cara observasi peran serta, wawancara mendalam, serta dengan dokumentasi.33 Penjelasan mengenai pengumpulan data yang telah dilakukan oleh peneliti yaitu sebagai berikut: a. Observasi Secara sederhana observasi dapat diartikan dengan keterlibatan langsung peneliti dalam objek yang akan diteliti dengan menggunakan alat bantu berupa catatan kecil mengenai kejadian, lembar pengamatan, dan lain-lain. Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa observasi adalah pengamatan dan pencatatan terhadap fenomena yang terjadi dengan sistematis.34 Dalam penelitian ini, peneliti berperan secara aktif. Dalam perayaan Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug peneliti dipercaya pula 32 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 224. 33 Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metode Penetitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 146. 34 Dedy Mulyana, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Rosda Karya, 2002), h. 181. 22 untuk menjadi panitia. Peneliti berperan aktif untuk mengambil gambar pada momen-momen penting pada saat perayaan ini berlangsung. Selain dari itu sudah pasti pada proses pembuatan skripsi ini peneliti berperan sebagai perencana, pelaksana, pengumpul data, penganalisis, penafsir data, dan pelapor hasil penelitian. Inilah yang dimaksud dengan instrumen yang fleksibel dan adaptif, yakni penggunaan pancaindra dalam memahami fenomena yang ada di lapangan. b. Wawancara Menurut Maleong, dalam bukunya Metodologi Penulisan Kualittif, pengertian wawancara adalah percakapan yang mempunyai maksud tertentu, dilakukan oleh dua pihak dengan pertanyaan tertentu dan memberikan jawaban tertentu.35 Narasumber dalam penelitian ini terbagi menjadi beberpa pihak yaitu: 1) Dari Pihak Makam Keramat Tajug Dari pihak makam keramat tajug yaitu Bapak H. Mu’in (1972) dan Bapak Tubagus Sos Rendra (1970). Beliau juga sebagai sesepuh dan tokoh agama setempat serta bagian dari keluarga atau keturunan Tubagus Atief. Sumber inilah yang dijadikan sumber utama peneliti. 2) Dari Pihak Kelurahan Sumber dari pihak kelurahan diperoleh dari bapak lurah Cilenggang yaitu Bapak H. Mehdi Solihin (1969) dan Sekretaris Kelurahan Cilenggang yaitu Bapak D. Umar Dhani (1973). 35 Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Rosda Karya, 1999), h. 186. 23 3) Tokoh Agama dan Tokoh Adat Setempat tokoh yang dijadikan sumber mewakili tokoh agama adalah Ust. H. Ghazali (1967), beliau yang memimpin pembacaan Maulid Nabi pada saat perayaan berlangsung. 4) Masyarakat Sekitar Peneliti memilih masyarakat yang terlibat dalam kepanitiaan dan dalam proses acara perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat” Tajug, beliau di antaranya, bapak Ison (1983) dan bapak Abdul Munib (1988) dan Bapak Maulana (1984). Peneliti memilihnya secara acak. 5. Pengumpulan Dokumentasi Pengumpulan dokumentasi yaitu pengumpulan catatan yang diungkapkan dalam bentuk tulisan, lisan dan bentuk karya yang berhasil didokumentasikan oleh pihak tertentu.36 Selanjutnya dokumen yang telah terkumpul akan diolah dengan pola analisis. Dokumen yang dimaksud dalam sebuah penelitian adalah berupa dokumen tertulis, dokumen gambar (foto), dan dokumen elektronik. Ketiga teknik inilah yang akan digunakan oleh peneliti dalam pembuatan skripsi ini. 6. Instrumen Penelitian Dalam penelitian kualitatif tidak ada instrumen penelitian yang dapat digunakan secara tepat untuk dapat mengungkapkan data-data kualitatif. Dalam penelitian ini peneliti menjadi instrumen. Dalam penelitian kualitatif 36 Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metode Penetitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 148. 24 peneliti tentu mempunyai keunggulan sendiri karena dengan terlibatnya peneliti dalam sebuah penelitian dapat bersifat fleksibel dan adaptif.37 7. Teknik Keabsahan Data Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah pelibatan data lain di luar data dalam penelitian sebagai pembanding dalam pengecekan keabsahan data tersebut.38 Menurut Norman K. Denkin ada beberapa jenis triangulasi dalam penelitian, yaitu: a. Triangulasi Metode Adalah pengolaborasian metode yang di dalamnya meliputi penggabungan antara metode wawancara, survei dan observasi. Dalam penelitian ini survei dilakukan seminggu sebelum acara. b. Triangulasi Peneliti dengan Peneliti (antarpeneliti) Yaitu penggabungan antara peneliti dengan peneliti lain dalam hal pengupulan data, dan analisis data. Ini penting apabila penelitian dilakukan dengan kelompok. Dalam penelitian ini triangulasi antarpeneliti tidak dilakukan. Penelitian ini dilakukan secara individu. c. Triangulasi Sumber Adalah penggabungan sumber data yang diperoleh peneliti dari berbagai hal dan berbagai pihak dan berbagai metode selain metode observasi, survei dan observasi di atas, bisa dengan penggabungan dengan dokumn yang berkaitan dengan objek penelitian yang diteliti. 37 Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metode Penetitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 62. 38 Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metode Penetitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 178. 25 Dokumen tersebut bisa berupa arsip, catatan sejarah, foto, gambar, peninggalan-peninggalan, dan lain-lain yang dianggap berkaitan dengan penelitian. d. Triangulasi Teori Adalah penggunaan beberapa teori dalam analisis data. Dalam penelitian ini peneliti mengolaborasikan teori Joseph A. Devito dan Andi Faisal Bakti. Hal ini dimaksudkan agar peneliti terhindar dari asas individual dalam analisis data. Peneliti dituntut untuk bersifat objektif.39 Bentuk-bentuk triangulasi di atas digunakan oleh peneliti. Kecuali triangulasi antarpeneliti yang tidak digunakan dalam penelitian ini. Penggunaan metode triangulasi ini digunakan untuk mengarahkan penelitian ini pada titik kemaksimalan. 8. Analisis Data Dalam menganalisis data sudah seharusnya data diolah dan dianalisis sejak awal data didapat oleh peneliti mengingat penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Hal ini dilakukan agar data yang didapatkan tetap hangat dan valid. Setelah melakukan analisis data, maka barulah dapat ditemukan tema dan pernyataan tesisnya. Dalam penentuan pernyataan tesis, tentu harus menyesuaikan dengan tujuan dan rumusan masalah yang sudah ditentukan. 9. Alur Berpikir Data Kualitatif Analisis pada penelitian ini lebih bersifat semantik, mengandalkan eksplorasi bahasa sebagai representasi dari fenomena yang terjadi di 39 Prof. Dr. H. Mudjia Raharjo, “Triangulasi dalam Penelitian Kualitatif,” artikel diakses pada 1 April, 2013 dari http://mudjiarahardjo.com/artikel/270.html?task=view. 26 lapangan. Prosses analisis pada penelitian ini bersifat induktif, dari khusus ke umum. Peneliti lebih mengedepankan fenomena yang ada di lapangan dari pada teori yang telah ada. Dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif terdapat alur berfikir dalam analisis data.40 Untuk menjelaskan bagaimana alur dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif dapat digambarkan sebagai berikut: Bagan 1.2. PENELITI TEMUANTEMUAN BARU FENOMENA / KEJADIAN ALAM Foklor “Haul Cuci Pusaka Kramat Tajug” Masyarakat di Kelurahan Cilenggang PENCOCOKAN TEORI INTERPRETASI DAN ANALISIS TEMUAN DAN UJI TEORITIK Sumber: www. kk.mercubuana.ac.id Dari bagan di atas, proses analisis data pada penelitian ini akan terkonstruk pada pola tersebut. Adapun penjelasan bagan dapat diuraikan sebagai berikut: a. Peneliti Analisis dalam penelitian kualitatif dimulai dari peneliti. Proses awal mengenai objek penelitian semua berawal dari peneliti. Sebelum 40 Ilham Prisgunanto, “Analisis Data Kualitatif,” artikel diakses pada 17 Maret 2013 dari kk.mercubuana.ac.id. 27 penelitian masuk lebih jauh terhadap objek penelitian, biasanya muncul tesis awal peneliti. Oleh karena itu tesis itu akan bersifat subyektif dari peneliti.41 b. Memahami Fenomena Setelah proses awal berjalan, selanjutnya yang menjadi tugas peneliti adalah mencari tahu tentang gejala, peristiwa, sistem dan model kerja apa yang digunakan dalam sebuah fenomena yang terjadi di lapangan. Tidak cukup sampai di sini saja, bahkan alasan terjadinya fenomena dengan berbagai gejala, peristiwa, sistem dan pola kerja harus dijelaskan pula. Tentu hasil pengkajian akan berbeda-beda, mengingat kemampuan analisis seseorang berbeda-beda pula. Hal ini menjadi bukti bahwa penelitian kualitatif bergantung pada apa yang menjadi anggapan awal seorang peneliti terhadap fenomena yang terjadi.42 c. Interpretasi dan Analisis Dalam penelitian kualitatif tahap selanjutnya setelah memahami fenomena di lapangan adalah menafsirkan makna yang terkandung di dalamnya. Berangkat dari tesis pribadi pada tahap pertama, kemudian mengaitkan dengan fenomena dan menginterpretasikannya dengan informasi yang diperolehnya. Dalam proses penginterpretasian, peneliti akan sampai pada titik tatanan ideologis konteks kultural fenomena yang terjadi dalam skripsi ini yaitu pada “Haul Cuci Pusaka Keramat 41 Ilham Prisgunanto, “Analisis Data Kualitatif,” artikel diakses pada 17 Maret 2013 dari kk.mercubuana.ac.id. 42 Ilham Prisgunanto, “Analisis Data Kualitatif,” artikel diakses pada 17 Maret 2013 dari kk.mercubuana.ac.id. 28 Tajug.” Adapun tujuan dari interpretasi pada bagian ini adalah bentuk upaya untuk menemukan temuan baru dalam pengkajian dan penelitian yang dilakukan.43 d. Temuan dan Uji Teoritik Pada bagian ini peneliti akan memaparkan hasil dari temuan di lapangan. Hasil dari temuan di lapangan itu kemudian dijelaskan mulai dari menarasikan, membuat model, dan mengujinya dengan teori. Menurut Ilham Prisgunanto, dalam penelitian kualitatif analisis tidak serumit seperti pada penelitian kuantitatif, karena dalam penelitian kualitatif bersifat makro. Penelitian kualitatif lebih luas cara analisisnya.44 e. Pencocokan Teori Pencocokan teori yang dimakasud adalah usaha peneliti dalam mencocokkan teori dari asumsi awal peneliti terhadap temuan di lapangan, serta pendapat orang lain terdahulu. Banyak literatur yang mengatakan, bahwa bagian ini hanya sebuah penafsiran data. Namun asumsi-asumsi awal peneliti dan pendefinisian-pendifenisian yang dilakukan peneliti secara teoritis akan menunjukkan benar atau tidaknya asumsi awal peneliti setelah nanti disesuaikan dengan teori.45 f. Temuan Baru Dari berbagai proses di atas, peneliti sudah dapat memaparkan temuan yang peneliti hasilkan. Temuan baru yang dimaksudkan adalah 43 Ilham Prisgunanto, “Analisis Data Kualitatif,” artikel diakses pada 17 Maret 2013 dari kk.mercubuana.ac.id 44 Ilham Prisgunanto, “Analisis Data Kualitatif,” artikel diakses pada 17 Maret 2013 dari kk.mercubuana.ac.id. 45 Ilham Prisgunanto, “Analisis Data Kualitatif,” artikel diakses pada 17 Maret 2013 dari kk.mercubuana.ac.id. 29 sesuatu yang tidak ditemukan oleh peneliti sebelumnya dan belum ada dalam literatur keilmuan. Temuan itu dapat berbentuk model, sistem atau pola kerja suatu fenomena. Hal tersebut menjadi bukti, bahwa data yang didapatkan di lapangan benar-benar autentik.46 F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini dibagi dalam lima bab. Setiap bab dirinci ke dalam sub bab. Dalam bab satu berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, alur berpikir analisis data kualitatif serta sistematika penulisan. Adapun pada bab dua, peneliti akan membahas tentang pengertian komunikasi dan komunikasi antarbudaya, pengertian budaya atau kebudayaan serta pengertian folklor dan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.” Sedangkan pada bab tiga, peneliti akan mengulas cerita singkat perjuangan Tubagus Atief. Selain dari itu peneliti juga membahas tentang latar belakang asal mula perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug,” prosesi perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug,” serta keadaan sosial masyarakat kelurahan Cilenggang Serpong Tangerang Selatan. Kemudian dalam bab empat, setelah peneliti mengolaborasikan teori dan gambaran umum objek penelitian, maka peneliti akan membahas tentang analisis terhadap folklor dalam komunikasi antarbudaya yang ada, dan berlangsung pada perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” di 46 Ilham Prisgunanto, “Analisis Data Kualitatif,” artikel diakses pada 17 Maret 2013 dari kk.mercubuana.ac.id 30 kelurahan Cilenggang, Serpong, Tangerang Selatan yang menjadi media komunikasi masyarakat setempat. Akhirnya dalam bab lima peneliti akan menyimpulkan hasil temuan yang telah didapatkan, serta membahas hal-hal yang muncul dalam penelitian ini. Terakhir, peneliti akan memberikan saran untuk terkait folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.” Selanjutnya peneliti menyertakan daftar pustaka serta lampiranlampiran yang terkumpul sebagai referensi dalam penulisan skripsi ini. BAB II TINJAUAN TEORITIS Dalam bab dua ini, peneliti membahas beberapa pengertian mengenai variabel yang menjadi pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Upaya penulisan beberapa pengertian dilakukan sebagai bentuk usaha dalam mempermudah pemahaman setiap variabel dalam sebuah penelitian. Pengertian-pengertian tersebut, yaitu: A. Memaknai Komunikasi 1. Pengertian Komunikasi Banyak sekali pengertian komunikasi yang telah berhasil di cetuskan oleh para pakar yang mengkhususkan diri pada bidangnya. Untuk menarik sebuah kesimpulan dasar bagaimana komunikasi dapat didefinisikan peneliti mengartikan komunikasi dari segi bahasa terlebih dahulu. Secara bahasa, komunikasi berasal dari bahasa latin yaitu communico yang berarti membagi. Membagi dalam hal ini adalah membagi gagasan dan ide atau pikiran antara satu orang dengan orang lain. Sealain communico komunikasi juga berasal dari akar kata communis dalam bahasa latin juga yang berarti menyamakan, menjadikan sama, antara satu orang dengan orang yang lain.1 Everett M. Rogers seorang pakar sosiologi pedesaan Amerika dan D. Lawence Kincaid mengartikan komunikasi dari ranah sosiologi, 1 Mohammad Shoelhi,Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik Simbiosa Rekatama Media, 2009), h. 2. 31 (Bandung: 32 menurut Rogers dan Kincaid komunikasi adalah proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertiannya yang mendalam.2 Saundra Hybels dan Richard L. Weafer II mendefinisikan bahwa komunikasi adalah setiap proses pertukaran informasi, gagasan, dan perasaan. Proses yang dimaksud adalah proses komunikasi yang tidak hanya disampaikan dengan kata-kata saja melainkan menggunakan alat pembantu atau dilengkapi dengan bahasa tubuh, gaya atau penampilan diri untuk meperkaya penyampaian pesan tersebut.3 Alo Liliweri dalam bukunya Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya menyimpulkan bahwa di dalam proses komunikasi terdapat beberapa pengertian yang sama. Pertama, antara pemberi dan penerima informasi dapat diperankan secara bergantian dalam memberi dan mengalihkan informasi sebagai sebuah berita atau gagasan. Kedua, komunikasi merupakan kegiatan untuk menyebarkan informasi. Ketiga, komunikasi merupakan kegiatan mengatur kebersamaan. Keempat, membuat dan menangani komunikasi. Kelima, menghubungkan. Keenam, berarti ruang. Ketujuh, mengambil bagian dalam kebersamaan.4 Dari beberapa pengertian di atas, dapat kita simpulkan bahwa komunikasi berarti pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. 2 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, ed. 1- 8 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 18 3 Alo Liliweri, Makna Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2007 ), h. 3. 4 Alo Liliweri, Makna Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 5. 33 Selain dari itu komunikasi dapat berarti hubungan, kontak. Dalam proses komunikasi melibatkan kamunikator (pengirim pesan) dan komunikan (penerima pesan) yang pada suatu saat atau pada saat tertentu antara komunikator dan komunikan akan diperankan secara bergantian.5 2. Unsur-unsur Komunikasi Unsur dapat pula diartikan dengan komponen yang berarti bagian dari keseluruhan.6 Terdapat perbedaan pendapat dalam kaitannya dengan unsur komunikasi. Ada yang mengatakan unsur komunikasi cukup tiga saja, yaitu: a. Komunikator (orang yang mengirimkan pesan) b. Komunikan (orang yang menerima pesan) c. Pesan (isi dari apa yang disampaikan).7 Hafied Cangara mengutip pendapat beberapa tokoh komunikasi, diantaranya Joseph A. Devito, K. Sereno dan Erika Vora mengemukakan bahwa unsur komunikasi lebih dari tiga. perkembangan terakhir mengenai unsur-unsur komunikasi menurut Hafied Cangara dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Komunikasi mengungkapkan bahwa faktor lingkungan pun turut menentukan atas keberhasilan proses komunikasi.8 Unsur-unsur tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: 5 Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 585. 6 Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 585. 7 Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: PT Grasindo. 2006), h. 3. 8 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, ed. 1- 8, h. 23-24. 34 Bagan 2.1. Unsur-unsur komunikasi SUMBER R PESAN MEDIA PENERIMA EFEK LINGKUNGAN UMPAN BALIK Sumber: Hafidz Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi.9 Bagan 2.1 dapat dijelaskan bahwa alur komunikasi sangatlah sangat bergantung antara satu sama lain. Sumber, yaitu pihak penyampai pesan. Hal ini bisa berupa individu, seseorang yang berbicara, menulis, menggambar, memberikan isyarat-isyarat. Tidak hanya komunikator juga bisa berupa organisasi komunikasi tertentu, individu, seperti sebuah penerbit, stasiun tivi, atau yang lainnya.10 Sementara pesan adalah isi dari apa yang disampaikan komunikator. Pesan itu dapat berupa kata-kata (verbal) atau berupa gerak tubuh, dan isyarat-isyarat lainnya.11 Kemudian media, memahami media dalam proses komunikasi tentu kita dapat mengklasifikasikannya dengan melihat ranah komunikasinya. Dalam komunikasi massa yang disebut media tentu adalah saluran media massa misalnya televisi, radio, dan media cetak. Dalam komunikasi antarpribadi yang disebut media tentu cukup dengan media abstrak.12 Penerima dalam komunikasi adalah sasaran atau objek komunikasi. Kemudian, efek adalah reaksi spontan dari 9 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, ed. 1- 8, h. 23-24. Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 4. 11 Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 4. 12 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, ed. 1- 8, h. 25. 10 35 penerima atau komunikan setelah proses komunikasi berlangsung dan komunikan telah mendapatkan pesan.13 Lingkungan yang dimaksud pada bagan 2.1 adalah meliputi lingkungan fisik, lingkungan social budaya, lingkungan psikologis, dan dimensi waktu. 3. Fungsi Komunikasi Dalam menganalisis fungsi komunikasi, Wilburn Scharrm menyatakan bahwa analisis dapat dilihat dari komunikator dan komunikan. Antara komunikator dan komunikan akan terlihat adanya timbal balik. Setidaknya ada empat fungsi komunikasi. Pertama, untuk informasi. Informasi adalah kegiatan mendistribusikan informasi yang dimiliki kepada seluruh khalayak. Pada kesempatan yang sama komunikan berperan sebagai orang yang menerima dan memahami seluruh informasi yang didapatkan untuk kemudian diproses lebih lanjut. Kedua, untuk pendidikan. Komunikator berfungsi sebagai penerima dan sekaligus memahami seluruh informasi yang didapatkan untuk kemudian diproses lebih lanjut. Sementara komunikan, berperan sebagai orang yang bersedia belajar. Ketiga, untuk menginspirasi. Memberikan hiburan kepada masyarakat, agar dapat mengembangkan ideide kreatif. Komunikan pada saat bersamaan akan menjadi menikmati melupakan sejenak permasalahan untuk menyegarkan kembali pemikirannya. Keempat, untuk memengaruhi. Disinilah komunikator bekerja sama dengan menjabarkan setiap pendapat untuk kemudian memeroleh 13 Mohammad Shoelhi,Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 5. 36 keyakinan dari ketentuan sikap dan pendapat. Sementara komunikan, berhak mempunyai keputusan untuk menerima atau menolak sesuatu yang sesuai dengan norma masyarakat.14 B. Memaknai Budaya 1. Pengertian Budaya Memaknai budaya tentu sangatlah banyak pengertian yang telah berhasil didefinisikan banyak pakar dan dari beberapa sudut pandang. Namun demikian peneliti akan memberikan beberapa pengertian dari berbagai sudut pandang pula agar membantu pemahaman yang lebih komprehensif. Secara bahasa kata budaya berasal dari kata budi. Kata budi diambil dari bahasa sangsekerta yang berarti akal.15 Budaya juga berasal dari kata cultuur dari bahasa Belanda dan culture dari bahasa Inggris, di mana asal kata tersebut sama-sama berasal dari bahasa Latin dari kata Colere yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan. Dalam pengertian ini kata colere lebih mengarah atas pengolahan tanah, atau bisa disebut juga dengan bertani. Jadi kata colere yang dimaksudkan adalah segala bentuk aktivitas manusia yang berkaitan dengan pengolahan alam.16 Dalam bahasa Arab budaya berasal dari kata al-tsaqafah yang bermakna perbaikan.17 14 Roudhonah, Ilmu Komunikasi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h. 53. Yusron Rozak, Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam (Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008), h. 136. 16 Joko Tri Prasetya, dkk, Tanya Jawab Ilmu Budaya (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), h. 13. 17 Yusron Rozak, Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam, h. 137. 15 37 Budaya yang dalam bahasa Inggris adalah culture merupakan kata yang dianggap paling kompleks penggunaannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Raymond Williams. Menurut Williams kata culture sering muncul penggunaanya terhadap beberapa konsep-konsep penting dalam dimensi yang berbeda, baik dalam keilmuan maupun dalam kerangka berpikirnya. Pada awalnya culture dekat pengertiannya dengan kata “kultivasi” (cultivation), yaitu pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan upacara-upacara religius (yang darinya diturunkan istilah kultus “cult”). Sejak abad ke- 16 hingga 19, istilah ini mulai diterapkan secara luas untuk pengembangan akal budi manusia individu dan sikap-perilaku pribadi lewat pembelajaran. Dalam konterks ini, kita bisa memahami mengapa orang disebut “berbudaya” atau “tidak berbudaya”. Selama priode panjang ini pula istilah budaya diterapkan utuk enitas yang lebih besar yaitu msayarakat sebagai keseluruhan, dan dianggap merupakan padanan kata dari peradapan (civilization). Akan tetapi, seiring kebangkitan romantisisme selama Revolusi Industri, budaya mulai dipakai untuk menggambarkan perkembangan kerohanian yang dikontraskan dengan perubahan material dan infrastruktural. Gerakan Nasionalisme di akhir abad ke 19 juga ikut memengaruhi dinamika peaknaan atas budaya, di mana lahir istilah “budaya rakyat” (folk culture) dan “budaya nasional” (national culture).18 Secara sederhana budaya dapat diartikan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan cara hidup manusia.19 Secara luas berikut pengertian budaya menurut beberapa tokoh. a. E.B Tylor mendefinisikan budaya adalah keseluruhan kompleks kehidupan masyarakat. Tylor menjelaskan bahwa di dalam budaya terkandung ilmu pengetahuan dan kebiasaan manusia dalam bermasyarakat.20 b. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt mendefinisikan budaya dengan segala bentuk pengalaman masyarakat sosial yang mereka hasilkan 18 Dikutip dari Muji sutrisno dan Hendari Putranto, Teori-teori Kebudayaan, h. 7-8. Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, h. 179. 20 Joko Tri Prasetya, dkk, Tanya Jawab Ilmu Budaya, h. 14. 19 38 dari proses belajar dan dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat tersebut.21 c. Prof. M.M. Djojodiguno mengartikan budaya adalah sebuah daya yang dihasilkan dari budi. Daya itu berupa cipta, karsa, dan rasa.22 d. Marvin Haris seperti yang dikutip Rulli Nasrullah, memaknai budaya dengan segala ciri khas tingkah laku yang berada dan melekat pada si pelaku tersebut. Rulli Nasrullah menjadikan kutipan ini sebagai penguat bahwa budaya dalam kacamata etnografi menurut Rulli Nasrullah adalah bentuk konstruksi sosial dan konstruksi sejarah sebagai bentuk penanaman pola budaya tertentu.23 e. Rulli Nasrullah memaknai budaya dari sisi psikologi, mengatakan bahwa budaya merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk menghadapi persoalan kehidupan. Untuk menguatkan pendapatnya Nasrullah mengutip pendapat Geert Hofstede yang memaknai budaya sebagai pola-pola tertentu yang terdapat dalam sebuah interaksi antarmanusia dalam sebuah kelompok tertentu sebagai respons bagi lingkungan tempat tumbuhnya kelompok tersebut. Artinya bahwa budaya bukan hanya sebagai bentuk jawaban dari sebuah pemikiran manusia saja, melainkan hal tersebut kemudian menjadi bukti bahwa manusia memiliki perbedaan dalam berfikir, perbedaan sudut pandang, perbedaan aturan dan sebagainya.24 Pastilah banyak beberapa pengertian lain mengenai budaya yang tidak bisa peneliti sebutkan semuanya, namun ada penekanan 21 Yusron Rozak, Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam, h. 137. 22 Joko Tri Prasetya, dkk, Tanya Jawab Ilmu Budaya, h. 14-15. 23 Rulli Nasrullah, Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber, h. 16-17. 24 Rulli Nasrullah, Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber, h. 16. 39 pengertian budaya yang ingin peneliti sampaikan dalam skripsi ini. Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa budaya adalah segala bentuk tingkah laku yang nampak pada permukaan setiap kelompok manusia yang dilatarbelakangi oleh pengaruh genetik, struktural, psikologi, normatif, dan historis. Pengertian ini mengacu pada beberapa pengertian yang peneliti simpulkan di mana pengertian-pengertian budaya tersebut memiliki pendekatan aspek ilmu lain seperti pendekatan psikologi dan pendekatan normatif. 2. Unsur-unsur Kebudayaan C. Kluckhohn menyebutkan, bahwa ada tujuh unsur dalam kebudayaan universal, yaitu: a. Sistem Religi b. Sistem Organisasi Kemasyarakatan c. Sistem Pengetahuan d. Sistem Mata Pencaharian Hidup e. Sistem Teknologi dan Peralatan f. Bahasa g. Serta Kesenian.25 3. Pengertian Komunikasi Antarbudaya Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok manusia yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Pengertian ini peneliti simpulkan setelah memahami makna 25 Supartono Widyosiswono, Ilmu Budaya Dasar (Bogor: Ghalia Indonesia, 2001), h. 33-34. 40 budaya dan makna komunikasi. Untuk menguatkan pendapat ini peneliti mengutip beberapa pendapat mengenai pengertian komunikasi antarbudaya. a. Ricard E. Porter dan Larry A. Samovar mengartikan komunikasi antarbudaya adalah proses komunikasi yang sumber dan penerimanya berasal dari budaya yang berbeda. Menurut Porter dan Larriy setiap komunikasi yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan yang berbeda budaya, maka penafsiran pesan harus dilakukan dengan umpan balik dalam ranah budaya pula. Setiap budaya memiliki resiko atau sebuah konseskuensi dalam memaknai komunikasi.26 b. Alo Liliweri mengartikan bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang dengan latar belakang budaya yang berbeda. Menurutnya proses komunikasi antarbudaya tersebut disertai dengan peraturan budaya tertentu, seperti tingkat keamanan, sopan santun, serta peramalan dan pemaknaan pesan atas lawan bicara.27 Masih menurut Alo Liliweri pengertian komunikasi antarbudaya yang dikemukakannya itu menunjukkan bahwa seberapa jauh perbedaan budaya yang terjadi maka sedemikian pula peluang yang didapat oleh komunikan untuk dapat mengartikan pesan yang didapatkan dari komunikator.28 c. Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss memaknai komunikasi antarbudaya dengan komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam perbedaan ras, etnik dan sosio ekonomi). Kebudayaan menurut 26 Ricard E. Porter dan Larry A. Samovar, Suatu Pendekatan Terhadap Komunikasi Antarbudaya, dalam Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009), h.20. 27 Alo Liliweri, Makna Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 13-14. 28 Alo Liliweri, Makna Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 14. 41 Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang dan berlangsung dari generasi ke generasi.29 d. Joseph A. Devito memaknai komunikasi antarbudaya adalah bentuk kpercayaan, nilai, dan bentuk-bentuk kultural yang berbeda bagi masing-masing komunikator dan komunikan. Kpercayaan, nilai, dan bentuk-bentuk kultural yang berbeda itu kemudian akan menjadi acuan dalam proses komunikasi antarbudaya.30 e. Andi Faisal Bakti dalam beberapa teori dua puluh sering menyebutkan bahwa komunikasi antarbudaya melibatkan suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya menurut Andi Faisal Bakti adalah komunikasi yang terjadi melibatkan orang secara individu atau kelompok yang mempunyai latar belakang yang berbeda.31 Dari beberapa pengertian dari tokoh-tokoh di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang dilakukan secara melebar dari segi penyampaian dan pemaknaan pesan dan peluang yang didapatkan untuk mengartikan pesan yang disampaikan karena berbedanya nilai-nilai yang terkandung dari perbedaan budaya yang ada di dalamnya. 29 Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Human Communication – Konteks-konteks Komunikasi (PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 236. 30 Joseph A. Devitp, Komunikasi Antarmanusia; Kuliah Dasar Edisi kelima. Penerjemah Agus Maulana, h. 479. 31 Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, h. 128. 42 4. Teori Komunikasi Antarbudaya Joseph A. Devito dan Andi Faisal Bakti Dalam penelitian ini, peneliti memilih teori Joseph A. Devito dan Andi Faisal Bakti sebagai landasan teori.32 Seperti telah dijelaskan pada bingkai teori di Bab I, peneliti telah memberikan penjelasan secara singkat mengenai teori Joseph A. Devito dan Andi Faisal Bakti. Untuk mempermudah dalam analisis, pada Bab II ini peneliti memberikan penjelasan secara detail mengenai teori dua tokoh di atas. a. Teori Joseph A. Devito 1) Komunikasi Antarbudaya (komunikasi antarperadaban). Komunikasi antarbudaya menurut Joseph A. Devito dicontohkan pada komunikasi yang terjadi antara orang Cina dan orang Portugis, atau antara orang Prancis dengan orang Norwegia. Dalam pengertian ini tidak dijelaskan secara spesifik mengenai apa yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya dan kaitannya dengan contoh antara orang Cina dan orang Portugis seperti di atas. Dengan demikian juga seperti ada kerancuan definisi antara komunikasi antarbudaya dengan komunikasi antara bangsa yang berbeda.33 Pada satu kesempatan bimbingan skripsi (15 September 2013), Prof. Andi Faisal Bakti, mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya yang dimaksud adalah komunikasi yang terjadi 32 33 Lihat Bab I pada bingkai teori. Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia. Penerjemah Agus, h. 480-481. 43 antarperadaban. Hal ini juga menjadi acuan nanti di lapangan apakah komunikasi antarbudaya yang dimaksud dapat ditemukan.34 2) Komunikasi antara ras yang berbeda. Komunikasi antara ras yang berbeda disebut juga dengan komunikasi antarras. Joseph A. Devito menyebutkan bahwa komunikasi antara ras terjadi antara orang kulit hitam dengan orang kulit putih.35 Merujuk pada pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ras setidaknya ada dua pengertian. Pertama, golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik. Kedua, kelompok yang dapat dibedakan dari rumpun bangsa yang berbeda. Dalam cakupan penelitian ini peneliti mengambil pengertian yang pertama yatiu golongan bangsa dalam hal ini kelompok berdasarkan ciri-ciri fisik. 3) Komunikasi antara kelompok etnis yang berbeda. Menurut KBBI etnis dapat diartikan dengan sekelompok orang yang bertalian dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa. Joseph A. Devito menyebutkan, bahwa komunikasi terjadi misalnya seperti orang Amerika keturunan Italia dengan orang Amerika keturunan Jerman. Dalam keseharian kita, komunikasi antara etnis yang berbeda ini dapat dicirikan dengan perbedaan bahasa. Misalnya bahasa Sunda dengan bahasa Jawa. Selain dari itu gelar 34 35 Bimbingan skripsi dengan Prof Andi Faisal Bakti, MA, 15 September 2013. Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia. Penerjemah Agus Maulana, h. 480-481. 44 kebangsaan, misalnya habib, tubagus, gus, raden. Kemudian nama khas, seperti Muhammad Soleh lebih dikenal dengan sebutan Madsaleh bagi orang Madura.36 4) Komunikasi antara kelompok agama yang berbeda. Pada komunikasi antara kelompok agama yang berbeda ini jelas, bahwa agama sebagai begron perbedaannya. Joseph A. Devito mencontohkan komunikasi yang terjadi antara orang Katolik Roma dengan orang Episkop, atau antara orang Islam dengan orang Yahudi.37 5) Komunikasi antara bangsa yang berbeda. Komunikasi antara bangsa yang berbeda dapat disebut juga dengan komunikasi internasional. Dalam komunikasi antara bangsa yang berbeda ini Joseph A. Devito mencontohkan seperti orang Amerika Serikat dengan orang Meksiko, atau antara orang Prancis dengan orang Italia. Pada bagian ini identitas bangsa menjadi acuan tolak ukur perbedaannya. 6) Komunikasi antara subkultur yang berbeda. Subkultur adalah bagian dari kultur atau budaya. Joseph A. Devito mencontohkan subkultur dengan contoh kelompok yang berprofesi sebagai dokter dengan kelompok orang yang berprofesi sebagai pengacara. Artinya kelompok yang diambil dari kelompok besar yang mencirikan kelompok tersebut dengan kelompok besar sebelumnya. 36 Bimbingan skripsi dengan Prof. Andi Faisal Bakti, MA, 15 September 2013. Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia. Penerjemah Agus Maulana, h. 480-481. 37 45 7) Komunikasi antara subkultur dengan kultur yang dominan. Joseph A. Devito memberikan contoh pada komunikasi jenis ini dengan komunikasi yang terjadi antara kaum homoseks dengan kaum heteroseks, atau antara kaum muda dan kaum manula. Ada dominasi antara satu golongan dengan golongan yang lain. Subkultur yang telah memisah dari kultur besar sebelumnya kemudian diklasifikasikan kembali menjadi kelompok yang mendominasi dengan kelompok kecil yang didominasi. 8) Komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda.38 Komunikasi ini jelas, perbedaan kelamin menjadi latar belakang perbedaannya. Memang terlihat sangat simpel, namun pada proses analisis, komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda dibutuhkan usaha mendalam untuk melihatnya. b. Andi Faisal Bakti Teori Andi Faisal Bakti ada dua macam, yaitu teori tujuh dan teori dua puluh. Berikut penjelasan teori tujuh: 1) Komunikasi antara Muslim dan non-Muslim. 2) Komunikasi antara Militer dan Sipil. 3) Komunikasi antara Jawa dan non-Jawa. 4) Komunikasi antara Pribumi dan non-Pribumi. 5) Komunikasi antara Tradisionalis dan Modernis. 6) Komunikasi antara Kelompok Sekuler dan Islam. 7) Komunikasi antara Lelaki dan Perempuan.39 38 Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia. Penerjemah Agus Maulana, h. 480-481. Andi Faisal Bakti, “Review of Human Factor Studies: Major Conflict in Indonesia: How can Communication Contribute to a Solution?” (Jurnal: Internatioal Institute for Human Factor Development, 2000), vol 6 No: 2, h. 33-56. 39 46 Berikut penjelasan teori tujuh melalui tabel 2.1. Faktor dan Aktor Muslim dengan nonMuslim Jawa nonJawa Militer dan Sipil Di mana pelaku didominasi oleh kelompok dengan komunitas besar, bertindak dengan cara-cara yang menimbulkan konflik Kompulsif (bersifat memaksa), impulsif (bertindak tiba-tiba sesuka hati), marah, curiga, penuh dendam, fanatik, menggunakan paksaan, rayuan, kooptasi (pemilihan anggota kelompok), indoktrinasi, pemurtadan melalui kolonisasi (penjajahan), mempermalukan, memarjinalkan, pembakaran, kerusuhan, prasangka buruk, kebencian, ortodoks, pemurtadan, dan hal lain yang cendrung pada cara-cara kekerasan. Menciptakan, hegemoni, kolonisasi, sentralisasi, monopoli, eksploitatif, kekerasan, etnocentric, mengendalikan, stereotip, melalui kerusuhan terbakar rasa cemburu, iri hati, ketidakpercayaan, ketidaksetaraan, prasangka menggunakan stereotip Kompulsif (bersifat memaksa), impulsif (bertindak tiba-tiba sesuka hati), egois, nasionalis dengan cara yang memaksakan, intervensi sewenang-wenang, brutal, mendominasi, mengisolasi, membagibagi, berkuasa korupsi, kolusi, nepotisme , dan penyiksaan Tindakan penduduk dalam bergerak ke arah resolusi konflik Terbuka, kooperatif (saling membantu), penuh kasih, damai, hormat, bebas dalam toleransi, peruasif, strategi komunikasi yang dapat diterpkan adalah pemuka agama dan kepala pemerintah saling menciptakan forum diskusi kegiatan bersama dan menerapkan aturan terhadap kegiatan keagamaan Cukup adil, dapat dipercaya diskusi multi budaya melalui negosiasi komunikasi, solidaritas, saling berbagi Strategi komunikasi ini adalah pemuka opini atau opinion leader dengan pemerintah harus dapat mengatur referendum atas otonomi daerah atau federasi Mencegah, membela, melindungi, transparan, menghormati, membantu, strategi moralistik untuk perwira militer dan pemerintah untuk menghilangkan dual fungsi dan membawa ke pengadilan mereka yang terlibat 47 Sekuler dan Islam Religius Modern dan Tradisionalis Kaku dan fanatik, tidak toleran dan kaku Tidak toleran, fanatik, ketat, malas, apatis, mengindoktrinasi, ketat, penuh curiga, ortodoks dapat dipercaya, penuh pemahaman, persuasive, membebaskan diri dari hal tersebut melalui kerja keras strategi komunikasi ini adalah Muslim modernis agar menciptakan forum diskusi atau pembelajaran baik melalui pidato dan tulisan (membaca) Ada sifat toleransi, komunikasi, akomodasi, Strategi komunikasi pada bagian ini adalah kaum modernis membentuk forum diskusi baik melalui pidato atau melalui tulisan atau membaca Laki-laki Laki-laki, sama dengan penjelasan Perempuan, sama dengan dan Joseph A. Devito penjelasan Joseph A. Devito Perempuan Sumber: Andi Faisal Bakti: Human Factor Dtudies (2000)40 Bagan 2.1. di atas adalah gambaran konflik yang terjadi di Indoesia dari kaca mata komunikasi antarbudaya. Di mana kelompok mayoritas sebagai peran atau kelompok yang dapat memunculkan konflik. Pada teori Joseph A. Devito (jenis-jenis komunikasi antarbudaya yang berjumlah delapan) dan Andi Faisal Bakti (jenis komunikasi antarbudaya yang berjumlah tujuh) terdapat persamaan pengertian. 40 Andi Faisal Bakti, “Review of Human Factor Studies: Major Conflict in Indonesia: How can Communication Contribute to a Solution?” Sandiego. Jurnal: Internatioal Institute for Human Factor: Vol 6, No. 2 (Development, 2000): h. 33-56. 48 Berikut penjelasannya melalui bagan. NO Andi Faisal Bakti Joseph A. Devito Komunikasi Antarbudaya (Peradaban) 1 Jawa dan non-Jawa Antara Kelompok Etnis yang Berbeda Subkultur dengan Kultur Dominan 2 Militer dan Sipil Antara Subkultur yang Berbeda 3 Laki-laki dan Perempuan Jenis Kelamin yang Berbeda 4 Muslim dan non-Muslim Kelompok Agama yang Berbeda Tabel 2.2. persamaan teori Joseph A. Devito dengan Andi Faisal Bakti Setelah upaya peneliti menjelasankan beberapa pengertian teori Joseph A. Devito dan teori tujuh dari Andi Faisal Bakti, peneliti akan mencoba memberikan penjelasan teori dua puluh dari Andi Faisal Bakti. Untuk mempermudah pemahaman berikut peneliti jelaskan dalam bentuk tabel. Dalam teori dua puluh ini masing-masing mempunyai pasangan. Pasangan tersebut adalah sebagai lawan dari masing-masing teori. Teori dua puluh ini menunjukkan keadaan budaya kolektif yang masih kaku (konservatif) dan lawannya yaitu keadaan budaya yang sudah elastis, dapat mengadopsi budaya lain di luar budadaya sendiri (transformatif). Teori ini menggambarkan keadaan peradaban timur dan barat. Lalu, dalam teori dua puluh ini dimunculkan pula solusi yang ditawarkan oleh Islam atas dua corak komunikasi antarbudaya yang tergambar dari teori duapuluh. 49 Artinya: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orangorang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah 177).41 Dalam surat Al-Baqarah ayat 177 dijelaskan bahwa bukanlah kiblat kita itu timur atau barat secara peradaban. Akan tetapi, inilah Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin, pembawa rahmat bagi seluruh alam yang mempunyai corak budaya sendiri. 41 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: PT. Syaamil Cipta Media), h. 43. 50 Table 2.3. teori dua puluh (konservatif dan transformatif) No 1. 2. 3. 4. Kaum Konservatif Kaum Transformatif Solusi Dalam Islam Penser sa culture: Suatu kelompok, golongan, agama, dan Etre pense par sa culture: Suatu budaya terdiri atas nilai-nilai, kelompok, golongan, agama, dan persepsi adat istiadat, kebiasaan, budaya terdiri atas nilai-nilai, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola Al-Muhafadzotu persepsi adat istiadat, kebiasaan, pikir, dan perasaan yang ‘ala Al-Qadim tradisi, kreasi, kepercayaan, pola berupaya untuk mengubah Al-Sholih wa Alpikir, dan perasaan yang budayanya. Baik itu yang Akhdzu bi Aldikendalikan atau dikontrol oleh sekarang maupun masa depan. Jadidi Al-Aslah. budayanya (masa lalu). Hal ini sangat berkaitan dengan budaya lain yang dikembangkan untuk masa depan. Heriter la culture: Suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang mewarisi budayanya dari masa lalu dan mewariskannya kepada generasi yang akan datang. Submission: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang hanya tunduk kepada budayanya sendiri dan tidak terpengaruh dengan ajaran lain yang bertentangan dengan budayanya sendiri. Adoration of scriptures: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang sangat mencintai atau menyukai teks agamanya (kitab sucinya). Acquerir la culture: Suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, Al-Muhafadzotu tradisi, kreasi, kepercayaan, pola ‘ala Al-Qadim pikir, dan perasaan yang Al-Shalih wa Alberupaya untuk mendapatkan Akhdzu bi Alkultur-kultur yang baru dan Jadidi Al-Aslah. berbeda dari warisan keluarga dan budayanya. Dengan kata lain lebih produktif dalam mendapatkan kultur yang baru. Egalitarian/Emancipation: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang mengikuti aturan-aturan lain dan bersikap Al-Islam egaliter atau tidak tunduk serta ingin bebas dari cengkraman yang sudah ada. Interpretation of scriptures Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang memaknai atau Al-Ijtihad. memahami teks (kitab suci) yang menjadi pegangannya. 51 5. 6. 7. 8. 9. 10. Textualist: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang percaya teks sebagai suatu kebenaran. Dengan kata lain teks yang berkata-kata atau berbicara. Gemeinschaft: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang ingin membangun kelompoknya berdasarkan komunitasnya. Reproduction: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang memproduksi budaya dan keluarganya. Fundamentalism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilainilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang berdasarkan pada pondasi utama ajaran agama, bangsa, negara, dan masyarakat tertentu. Dengan kata lain dianggap sebagai kekuatan yang absolut. Fundamentalism berasal dari Protestan yang anti teknologi dan sains. Geograpical immobility: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang tidak mau pindah-pindah dan lebih mengutamakan menetap di suatu tempat. Je me souviense: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai- Contextualist: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang percaya kepada konteks dan pemahamannya tidak secara harfiah. Gesellschaft: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang ingin membangun kelompoknya berdasarkan societas. Creation and trust in foreigners: Sekelompok masyarakat, agama dan budaya, yang tidak harus memproduksi generasi yang sama. Akan tetapi dari budaya yang sama dan memiliki kreasi dengan keadaan sekarang. Al-Tafsir. Al-Ummah. Al-Amanah. Rationalism/Secularization: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang berdasarkan rasionalisme atau akal bukan pada kitab dan lebih mementingkan dunia. Al-Ihsan Geograpical mobility: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilainilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang lebih mengutamakan berpindahpindah. Al-Hijrah Deracinement: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai- AlMuhadharah. 52 11. 12. 13. 14. nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang cenderung mengingat masa lalunya yang harus dipertahankan. Dan ini lebih mengarah kepada hal-hal yang negatif. Paganism (Idol worshipping): Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang melakukan penyembahan kepada yang selain Tuhan. Baik itu terhadap sesajen, jimat, dukun atau membaca ayat-ayat tertentu untuk tujuan tertentu. Imposition/Holy war/Proselytism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilainilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang cenderung memaksakan agama dengan cara-cara berupa bujukan, rayuan, paksaan, tekanan, intimidasi atau dengan cara melalui perang suci. Nationalism/Tribalism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang sangat menekankan nasionalisme atau kesukuan/fanatik. Orthodoxy/Traditionalism: Pemikiran KAAB yang terdiri nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang tercabut dari akarakarnya. Artinya meninggalkan masa lalu untuk menatap masa depan yang lebih baik dan lebih pasti. Monotheism (Idol destruction)/Humanism (God created by humans): Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilainilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang percaya kepada Tuhan yang satu. Al-Tauhid Negotiation: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang mengutamakan sama rata dan sama rasa. Al-Musyawarah Universalism/Internationalism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang sangat mengutamakan universal. Dalam arti tanpa sekat-sekat. Protestanism/Modernism: Pemikiran KAAB yang terdiri Al-Ta’aruf Al-Ta’aruf 53 15. 16. 17. 18. atas nilai-nilai, persepsi, adat atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang ingin dan perasaan yang mengikuti memertahankan budaya perkembangan secara modern tradisional yang ada dan masih dan lebih maju. bersifat ortodoks. Sectarian communitarianism: Global communitarianism: Pemikiran KAAB yang terdiri Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang patuh hanya dan perasaan yang lebih terbuka kepada golongan/komunitasnya tetapi hanya kepada agamanya saja. saja. Cult/Lang/Competence Inheritence: Pemikiran KAAB Cult/Lang/Competence yang terdiri atas nilai-nilai, aquisition: Pemikiran KAAB persepsi, adat istiadat, kebiasaan, yang terdiri atas nilai-nilai, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola persepsi, adat istiadat, kebiasaan, pikir, dan perasaan yang tradisi, kreasi, kepercayaan, pola berdasarkan kemampuan pikir, dan perasaan yang berbahasa budaya yang didapat memiliki penguasaan bahasa atau diperoleh atau diwariskan melalui proses pembelajaran. dari masa lalu. Depedency/Egoism: Pemikiran Interdepedency/Solidarity: KAAB yang terdiri atas nilaiPemikiran KAAB yang terdiri nilai, persepsi, adat istiadat, atas nilai-nilai, persepsi, adat kebiasaan, tradisi, kreasi, istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan kreasi, kepercayaan, pola pikir, perasaan yang cenderung kepada dan perasaan yang orang/bangsa yang mampu dan mengutamakan saling tolong egois akan tetapi sangat menolong dan bantu-membantu. bergantung kepada yang lain. Exclusivism: Pemikiran KAAB Inclusivism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang pikir, dan perasaan yang menolak orang lain untuk masuk bersedia menerima orang lain ke dalam kelompoknya. Al-Qaum Al-Ta’lim Al-Ta’awun Al-Washatiyah 54 19. 20. Vernacular language: Pemikiran Vehicular language: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilaiKAAB yang terdiri atas nilainilai, persepsi, adat istiadat, nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang cenderung belajar perasaan yang belajar bahasa bahasa sendiri/lokal. pengetahuan/bahasa lain. Parochialism: Pemikiran KAAB Flexibility: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang pikir, dan perasaan yang menyampaikan ajaran secara menyampaikan ajaran secara kaku. elastis/lentur. Sumber: Andi Faisal Bakti (Jakarta: INIS, 2004). Al-lisan Al-Tasamuh 42 Bagan 2.2. di atas menjelaskan tentang karakteristik budaya. Teori ini menerangkan tentang macam-macam budaya dengan beberapa ketentuan dan pengelompokannya. Teori tersebut berjumlah duapuluh. Dari dua puluh teori itu kemudian dibagi dua, yaitu teori kelompok kanan dan teori kelompok kiri. Yang dimaksud kelompok kanan adalah teori komunikasi antarbudaya yang menjelaskan tentang jenis budaya yang sudah longgar. Budaya tersebut sudah mengedepankan kebutuhan zaman dari pada harus terkungkung dengan bawaan atau peninggalan kuno yang belum tentu ideal pada zaman sekarang. Sedangkan yang dimaksud teori kiri adalah teori yang menjelaskan tentang budaya yang masih kaku. Budaya tersebut kental dan cendrung menganggap hal yang baru tidak baik. Teori kanan sebagai penolakan dari teori kiri.43 42 Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, h. 128. 43 Catatan perkuliahan pada mata kuliah Komunikasi Antarbudaya dan Agama (KAAB) dengan Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, 14 Oktober 2011. 55 C. Memaknai Folklor 1. Pengertian Folklor Secara bahasa folklor berasal dari dua kata. Kata folklor berasal dari folk dan lore dalam bahasa Inggris. Folk dapat diartikan dengan rakyat, dan bangsa.44 Menurut James Dananjaya Folk berarti ciri-ciri pengenal yang ada pada sekelompok orang, sehingga ciri-ciri pengenal tersebut menjadi pembeda dengan kelompok lain. Ciri-ciri pengenal itu ada pada setiap sisi kehidupan kelompok tersebut, misalnya bentuk fisik, gaya hidup bersosial, terlebih lagi dalam kebudayaan.45 Sedangkan lore berarti adat dan pengetahuan.46 Dalam pengertian yang lebih luas lore diartikan sebagai bentuk tradisi dari kata folk. Tradisi tersebut menjadi semacam adat yang menggejala dan terus akan dipertahankan dalam kurun waktu yang cukup lama. Pada prosesnya, tradisi yang diturunkan biasanya melalui proses tradisional. Tradisi tersebut diturunkan melalui pranata sosial, misalnya, gerak tradisional rakyat, musik rakyat, kesenian rakyat, arsitektur rakyat, kepercayaan atau keyakinan, permainan rakyat, teater rakyat, nyanyian tradisional, legenda dan dongeng, teka-teki, ungkapan tradisional, bahasa rakyat dan sebagainya.47 44 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Amerika: Cornell University Press, 1975; reprint, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 250. 45 James Danandjaya, Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007), h. 1-3. 46 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia,h. 366. 47 Setya Yuwana Sudikan, “Ragam Metode Pengumpulan Data: Mengulas Kembali Pengamatan, Wawancara, Analisis Life History, Analisis Folklore,” dalam Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, (Jakarta: Karisma Putra Utama, 2004), h. 71. 56 Supanto dan kawan-kawan mendefinisikan bahwa folklor adalah bentuk penuturan cerita yang pada dasarnya tersebar secara lisan yang penyampaiannya melalui pewarisan secara tradisional bagi masyarakat pendukungnya dan disampaikan secara turun temurun.48 Dari pengertian di atas dapat didefinisiskan bahawa folklor adalah budaya tradisional yang dianut oleh sekelompok orang di mana budaya tersebut merupakan hasil peninggalan nenek moyang yang telah diwariskan secara turun temurun dalam kurun waktu yang cukup lama dengan cara tradisional pula. 2. Folklor Haul Cuci Pusaka Secara bahasa Haul bermakna peringatan kematian yang dilakukan setiap satu tahun sekali. Sedangkan kata cuci dalam KBBI pemaknaannya selalu digandengkan dengan kata lain. Misalnya, cuci darah bermakna kegiatan mencuci darah dengan teknik tertentu. Cuci muka adalah kegiatan membersihkan muka dengan cara membasuhnya dengan air. Cuci otak adalah sebuah peroses penghilangan pendapat dari otak seseorang bahkan proses penghilangan keyakinan untuk kemudian diisi dengan kekuatan argumen yang baru melalui pemaksaan pada jiwa dan fisik. Cuci perut adalah membersihkan perut dengan memakan obat pencahar, dan masih banyak contoh yang diberikan dalam KBBI.49 Sedangkan arti dari pusaka adalah pertama harta benda peninggalan orang yang telah meninggal yaitu warisan yang ditinggalkan keapada 48 Supanto dkk, Risalah; Sejarah dan Budaya Seri Folklor (Yogyakarta: Balai Penelitian Sejarah dan Budaya, 1981-1982), h. 48. 49 Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,h. 67. 57 anaknya yang hanya berupa sawah lima petak. Kedua benda yang diturunkan dari nenek moyang biasanya berupa keris.50 Jadi Haul Cuci Pusaka adalah selamatan tahunan yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk memperingati hari wafatnya seseorang yang dilakukan setiap satu tahun sekali dan pada saat yang bersamaan pula dilakukan pencucian pusaka peninggalan orang yang telah meniggal tersebut. Kegiatan Haul Cuci Pusaka merupakan bagian dari keragaman budaya Indonesia. Kegiatan tersebut dapat disebut juga dengan upacara tradisional. Bentuk kegiatan yang dilakukan dalam acara ini sangat kental dengan unsur kepercayaan dan nilai. Mempunyai identitas tersendiri, seperti keunikan bahasa atau cara berkomunikasi, pakaian dan penampilan dalam keseharian, makanan yang disajikan pada saat perayaan dan termasuk cara mereka memakannya, waktu yang ditentukan untuk melaksanakan perayaan, penghargaan dan pengakuan dari pihak lain, hubungan-hubungan, nilai dan norma, rasa diri dan ruang, proses mental da belajar, kepercayaan dan sikap.51 Dalam upacara tradisi juga terdapat kandungan makna dari setiap tindak tanduk perayaan tersebut. Begitu juga dalam Haul Cuci Pusaka ini. Hal ini disebabkan karena setiap tradisi pasti menyisakan sebuah 50 Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,h.910. 51 Philiph R. Harris dan Robert T. Moran, “Memahami Perbedaan-perbedaan Budaya,” dalam Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 58-62. 58 kebiasaan lama hasil dari peninggalan nenek moyang. Dalam kebiasaan tersebut juga terdapat hukum yang berlaku berdasarkan norma-norma tertentu.52 52 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tim Peneliti Mulyadi, dkk, Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi di DIY (Yogyakarta: Poroyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan daerah, 1982-1983), h. 35. BAB III TUBAGUS ATIEF, FOLKLOR “HAUL CUCI PUSAKA KERAMAT TAJUG,” DAN KELURAHAN CILENGGANG Bagi setiap daerah sudah pasti mereka mempunyai cara sendiri dalam upacara tradisionalnya. Terlebih bagi masyarakat daerah yang hidup di pedesaan. Bahkan sebagian mereka ada pula yang mempunyai ritual kematian secara khusus, seperti masyarakat desa Kepoharjo, Yogyakarta, Jawa Tengah. Di kampung tersebut telah baku peraturan tentang bagaimana persiapan pemakaman jenazah, penguburannya sampai pada upacara-upacara setelah kematian. Masyarakat di desa tersebut telah menjalankan ritual upacara tradisional selama bertahun-tahun.1 Demikian pula yang terjadi dalam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.” folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” tidak jauh berbeda dengan upacara-upacara tradisional daerah lainnya. Terdapat sistem nilai dan kepercayaan di dalamnya. Mereka seolah-olah kaku dan menganggap ucapan dan peninggalan sesepuh adalah petuah yang harus diikrarkan dalam diri mereka. Masyarakat pemilik folklor secara berlahan terus menggali serta mempertahankan budaya tersebut. Dalam bab ini penulis akan memberikan gambaran sejarah perjuangan Tubagus Atief, serta akan dikupas pula bagaimana asal mula diadakannya “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” sebagai gambaran bagi pembaca. Dalam bab ini pula penulis akan memberikan gambaran umum tentang kelurahan Cilenggang tempat terjadinya folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.” 1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tim Peneliti Mulyadi, dkk., Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi di DIY (Yogyakarta: Poroyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1982-1983), h. 38-69. 59 60 A. Tentang Tubagus Atief Raden Muhammad Atief Bin Sultan Ageng Tirtayasa merupakan salah satu anak atau keturunan kerajaan Banten dari Pangeran Tirtayasa. Raden Muhammad Atief Bin Sultan Ageng Tirtayasa kemudian lebih dikenal dengan nama Tubagus Atief atau Tubagus Wetan. Nama Tubagus Wetan ini merupakan gelar yang diberikan oleh ayahandanya setelah ia berhasil menaklukkan penjajahan Belanda dan mengislamkan masyarakat Tangerang khususnya masyarakat Cilenggang. Hal yang sama sebenarnya terjadi juga pada ayahandanya yaitu Sultan Ageng Tirtayasa, yang aslinya bernama Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya putra dari Abu Al-Ma’ali Ahmad. Pada saat diangkat menjadi raja Banten ke-5, tepatnya pada tanggal 10 Maret 1651, sultan baru ini dikenal dengan sebutan Pangeran Ratu Ing Banten, atau julukan yang diberikan oleh khalifah Mekkah adalah Sultan Abu Al-Fath Abdul Fattah Muhammad Syifa Zaina Al- Arifin. Gelar ini belum begitu dikenal banyak kalangan. Nama yang sangat dikenal banyak orang adalah Sultan Ageng Tirtayasa. Nama Sultan Ageng Tirtayasa ini adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat setempat (masyarakat penduduk daerah yang bernama Tirtayasa).2 Perjuangannya dimulai sejak Ia kecil. Tubagus Atief kecil telah diperintahkan ayahnya yakni pangeran Tirtayasa untuk pergi dari rumahnya agar ia menuntut ilmu dan kelak ia bisa berdakwah (menyiarkan agama Islam). Hal ini serupa dengan keadaan sebelumnya yakni para Wali Songo. Di 2 Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah; Sultan, Ulama, Jawara (Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia, 2003), h. 47. 61 mana para Wali Songo telah melakukan perpindahan dari tempat satu ke tempat lain yang tujuan dilakukannya hal itu adalah untuk berdakwah.3 Terbukti kegigihannya menuntut ilmu dan kepiawaian Tubagus Atief membuat pangeran Tirtayasa merasa yakin atas Tubagus Atief. Hal ini dapat dilihat saat Tubagus Atief diutus ke Benteng Selatan (Tangerang Selatan) pada zaman penjajahan Belanda dulu. “Pada waktu itu sebagai panglima perang Pangeran Tirtayasa mengutus Tubagus Atief ke Benteng Selatan atau Tangerang Selatan ini. Ini karena penjajah pelarian dari Benteng itu terdengar lari ke Benteng Selatan dan menjajah rakyat, dan Tubagus Atief ini ditugaskan untuk membantu melindungi rakyat dari penjajah Belanda dan sekaligus untuk menyebarkan agama Islam yang merupakan amanat pula dari Sultan Ageng Tirtayasa. Kan dulunya disini, masyarakat Cilenggang ini khususnya didominasi oleh agama Hindu, itu kira-kira pada tahun 1667. Adapun yang pertama masuk Islam adalah justru dari kelompok Hindu. Mereka memang menentang keras awalnya, mereka menunjukkan kekuatan-kekuatannya, namun Tubagus Atief pun tak tinggal diam, melalui adu ilmu akhirnya mereka dengan izin Allah mampu dikalahkan, kemudian mereka masuk agama Islam dan menjadi pengikutnya.”4 Tidak heran rasanya jika Tubagus Atief kelak menjadi panglima perang kalau melihat dari perjuangan-perjuangan ayahandanya yaitu Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa merupakan salah seorang yang sangat berjasa bagi Banten. Seperti disebutkan oleh Nina H. Lubis bahwa sejak pemerintahan pertama sampai saat-saat terakhir, pangeran Tirtayasa sangat besar jasa-jasanya terhadap Banten. Pada saat pemerintahannya Banten berhasil menarik perdagangan bangsa Eropa, negara-negara tersebut seperti Inggris, Perancis, Denmark, dan Portugis. Pangeran Tirtayasa mampu memainkan perdagangan yang lugas dan mampu bersaing dengan VOC yang menggunakan sistem monopoli perdagangan. Pada saat itu VOC dan Banten sangat bersaing dan Pangeran Tirtayasa berhasil mamainkannya.5 3 Prof. Dr. KH. Agil Siradj, MA, “Kata Pengantar; Meneladani Strategi Kebudayaan Para Wali,” dalam Agus Sunyoto, Wali Songo; Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan (Jakarta: Transpustaka, 2011), h. xi. 4 Wawancara Pribadi dengan Sos Rendra, Tangerang Selatan, 28 Mei 2013. 5 Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah; Sultan, Ulama, Jawara (Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia, 2003), h. 47. 62 Pangeran Tirtayasa sendiri mempunyai sembilan anak yaitu, Sultan Haji, Pangeran Purbaya, Pangeran Setiri, Pangeran Jogya, Raden Shoheh, Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief), Ratu Ayu, Ratu Fatimah, Ratu Komala. Kesembilan anak Pangeran Tirtayasa ini tumbuh besar kecuali anak bungsu nya yang bernama Ratu Komala. Menurut penuturan Sos Rendra Ratu Komala meninggal sejak ia kecil.6 Dari kesembilan anaknya ini mereka mempunyai tugas masing-masing dari ayahandanya yaitu Pangeran Tirtayasa termasuk Tubagus Atief yang ditugaskan ke daerah Tangerang yang dulunya bernama Benteng Selatan. Menurut penuturan Sos Rendra nama Tangerang berasal dari kata Tangger yang berarti tanda pembatas daerah. Pada saat penjajahan Belanda tangger inilah yang dipertahankan oleh masyarakat setempat agar tidak dikuasai oleh penjajah, sehingga muncullah istilah menjaga tangger sampai perang dan akhirnya muncullah nama Tanggerang atau menjaga tangger sampai perang.7 Perjuangan Tubagus Atief menyiarkan agama Islam sangat gigih dan penuh semangat. Terbukti, berkat kerja keras itu sampai sekarang masyarakat penduduk Tangerang pada umumnya memeluk agama Islam. Hingga saat ini makamnya yang berada di kelurahan Cilenggang Serpong Tangerang Selatan ramai dikunjungi orang untuk berziarah. Kebiasaan serupa juga terjadi pada masyarakat Jawa pada umumnya. Selain dari makamnya yakni Keramat Tajug, peninggalan sejarah Tubagus Atief juga dapat kita temui di Cilenggang, yaitu masjid Al-Ikhlas. Masjid Al-Ikhlas ini merupakan maskawin Tubagus Atief kepada istrinya yang bernama Siti Almiyah atas permintaan masyarakat setempat. Dari pernikahannya itu Tubagus Atief 6 7 Wawancara Pribadi dengan Sos Rendra, Tangerang Selatan, 28 Mei 2013. Wawancara Pribadi dengan Sos Rendra, Tangerang Selatan, 28 Mei 2013. 63 dikaruniai empat orang keturunan yaitu, Tubagus Romdhon, Tubagus Arpah, Tubagus Raje, Tubagus Arja.8 Bagan 3.1 Silsilah Tubagus Atief SYARIF HIDAYATULLAH Pangeran Maulana Hasanudin Ratu Winaon Pangeran Maulana Yusuf Pangeran Muhammad Pangeran Abdul Mufahir Pangeran Abdul Ma’ali Sultan Ageng Tirtayasa Tubagus Atief mempunyai empat anak yaitu Tubagus Romadhon, Tubagus Arpah, Tubagus Raje, Tubagus Arja. Dari empat anak ini kemudian menyebar ke berbagai daerah. Di Cilenggang sendiri merupakan keturunan dari Tubagus Arja. Tubagus Atief Sumber: wawancara dengan Sos. Rendra9 B. Perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” 1. Asal Mula Dilaksanakannya Haul “Cuci Pusaka Keramat Tajug” Folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” merupakan kegiatan rutinan tahunan yang telah cukup lama dilaksanakan oleh keluarga besar Tubagus Atief. Dilakukan setiap tanggal 13 pada hitungan tanggal 8 9 Sos Rendra, Palayangan (Jakarta: Trans Mandiri Abadi, 2010), h. 41. Wawancara Pribadi dengan Sos Rendra, Tangerang Selatan, 28 Mei 2013. 64 Hijriyah pada setiap tahunnya. Tidak ada yang dapat memastikan kapan awal mula diadakannya pencucian benda-benda pusaka peninggalan Tubagus Atief ini. Namun menurut Sos Rendra kurang lebih 400 tahun yang lalu. Menurut penulis perkiraan ini dapat diperkuat juga dengan perhitungan jarak keturunan di mana saat ini keluarga besar Tubagus Atief sudah sampai pada keturunan ke sembilan.10 Awalnya pencucian pusaka ini dilakukan di rumah masing-masing keturunan Tubagus Atief. Hal itu dilakukan untuk menghindari penjajah (Belanda) dan bertujuan untuk mencegah agar benda-benda pusaka itu tetap aman dari Belanda. Setelah beberapa lama kemudian mulailah pencucian itu dilakukan dengan terang-terangan meskipun masih secara sendiri-sendiri di rumah masing-masing keturunan Tubagus Atief. Hingga pada akhirnya, pada tahun 1992 pencucian pusaka ini dilakukan secara berjamaah di satu rumah dan hanya melibatkan keluarga besar saja. Beberapa tahun berjalan kegiatan ini sangat mendapat antusias yang besar dari masyarakat sekitar, hingga akhirnya pencucian pusaka di lakukan di Masjid Al-Ikhlas yang bertepatan di depan rumah keluarga besar Tubagus Atief dengan perayaan yang begitu semarak. Pada akhirnya cuci pusaka dan sekaligus haul tahunan ini atas kesepakatan keluarga besar dan masyarakat sekitar dilaksanakan di makam Keramat Tajug. Dan perayaan ini dilakukan dengan beberapa kegaitan tersusun secara kepanitiaan dengan berbagai macam sistem nilai-nilai budaya.11 10 11 Wawancara Pribadi dengan Sos Rendra, Tangerang Selatan, 28 Mei 2013. Wawancara Pribadi dengan Sos Rendra, Tangerang Selatan, 28 Mei 2013. 65 2. Gambaran Perayaan Folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” a. Pelaksanaan Cuci Pusaka di Rumah Keluarga Besar Perayaan Folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” dilakukan dalam waktu sehari semalam. Dimulai dari pagi hari hingga berakhir malam harinya. Perayaan ini dimulai dari pencucian pusaka berupa keris, tombak, kujang, golok, pedang dan pisau. Kegiatan pencucian benda-benda pusaka ini dilakukan di rumah salah satu keluarga besar keturunan dari Tubagus Atief. Pada sore harinya selepas solat magrib dilakukan pawai obor dan berarak-arakan dari masjid Al-Ikhlas yang ada di depan rumah keluarga besar Tubagus Atief. Pada saat pelaksanaan cuci pusaka di rumah keluarga besar Tubagus Atief, ada beberapa hal penting di dalamnya yang menjadi rutinitas setiap kali dilaksanakan pencucian itu. Misalnya pembacaan tahlil dan ditutup dengan pembacaan doa. Kemudian dilanjutkan dengan penyampaian nasihat-nasihat agama oleh salah seorang yang di tuakan. Acara pencucian pusaka ini hanya diikuti keluarga besar yan mempunyai silsilah keturunan dari Tubagus Atief saja. Walaupun terkadang ada orang lain selain dari keturunan keluarga Tubagus Atief, hal itu tidak ada larangan bagi orang lain untuk mengikutinya. b. Pawai Obor Pawai obor dilakukan di sore hari. Persiapannya dimulai dari sekitar pukul 16.30 sampai pemberangkatan pawai tersebut setelah solat magrib. Seperti pelaksanaan pawai obor pada umumnya, pada perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini sangat meriah. 66 Diiringi rebana, yaitu gendang pipih bundar yg dibuat dari tabung kayu pendek dan agak lebar ujungnya, pada salah satu bagiannya diberi kulit, biasanya kulit yang digunakan adalah kulit kambing. Masyarakat yang terlibat bernyanyi dengan alunan selawat dan lagu-lagu islami di sepanjang jalan dari halaman masjid Al-Ikhlas menuju makam Keramat Tajug yang jaraknya tidak terlalu jauh. Pawai obor ini dikemas sedemikian rupa agar mendapatkan kesan yang meriah. Hai ini dimaksudkan untuk mengumumkan pada masyarakat sekitar bahwa pada saat itu dilaksanakan haul dan pencucian pusaka peninggalan Tubagus Atief. Diikuti masyarakat sekitar dalam berbagai budaya yaitu Jawa, Sunda dan Betawi yang sangat antusias dalam pawai obor ini. Terlepas dari itu pawai obor ini juga sebagai syiar untuk masyarakat setempat melalui alunan-alunan lagu-lagu shalawat yang dibawanya dengan iringan hadrah. Pasukan hadroh dan beberapa orang yang mengikuti untuk membacakan solawat berada di barisan depan. Disusul dengan beberapa orang yang dengan khusus ditugaskan utntuk membawa peralatan-peralatan, seperti nasi tumpeng, senjata-senjata, makananmakanan khas daerah cilenggang, dan buah-buahan bahkan sampai makanan-makanan yang modern. Dibarisan kedua, tepatnya dibelakang barisan hadroh berbaris dan berjalanan sekelompok orang laki-laki khusus dari keturunan Tubagus Atief, meskipun ini tidak direncanakan dan tidak ada unsur-unsur tersendiri. Kemudian disusul oleh warga setempat lengkap dengan obornya, mereka masing-masing telah mempersiapkan diri. 67 c. Haul di Makam Keramat Tajug dan Pencucian Tutup Pusar Secara garis besar adanya haul ini bertujuan untuk mengenang perjuangan-perjuangan Tubagus Atief semasa hidupnya. Sebagai ungkapan rasa terimakasih, masyarakat setempat dengan diprakarsai oleh keluarga besar Tubagus Atief mengenanganya dengan pencucian pusaka peninggalan serta diadakannya haul. Tidak hanya itu masyarakat setempat juga melakukan serangkaian doa dan tahlil. Pada saat perayaan di makam keramat Tajug ini disampaikan pula kisahkisah perjuangan Tubagus Atief semasa hidupnya. Biasanya Sos Rendra yang dipercaya oleh keluarga untuk menyampaikan riwayat hidup Tubagus Atief.12 Pada kesempatan ini pula H. Tubagus Tubagus H. Imamudin menyampaikan pesan-pesan agama kepada masyarakat yang mengikuti perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” secara bergantian. Secara garis besar memang perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini mempunyai susunan acara yang sudah dirancang oleh panitia. Acara ini meliputi pertama, pembukaan oleh pembawa acara dengan dibacakan surah Al-Fatihah.13 Kedua, pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Ketiga sambutan disampaikan oleh perwakilan keluarga besar Tubagus Atief yang diwakili oleh Sos Rendra, kemudian sambutan oleh Bpk Mehdi Solihin, S.Sos sebagai lurah Cilenggang dan Bapak Camat Serpong yang dalam kesempatan kali ini mewakili Wali Kota Tangerang Selatan yaitu Hj. Airin. Keempat, pencucian benda pusaka 12 13 Pengamatan langsung saat perayaan Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug. Yaitu surat pertama dalam Al-Quran yang berjumlah tujuah ayat. 68 Tutup Pusar. Tutup pusar ini semacam logam berbentuk bulat. Menurut Tubagus H. Imamudin, tutup pusar tersebut adalah benda pusaka pemberian pangeran Tirtayasa. Tutup pusar tersebut dicuci dengan air dalam sebuah wadah yang telah dicampur dengan kembang tujuh rupa. Kembang tujuh rupa merupakan tradisi yang telah dipakai oleh masyarakat di Asia seperti di India dan Nusantara. Pada setiap masing-masing daerah memiliki bentuk kembang yang berbeda-beda.14 Kembang tujuh rupa yang dimaksud dalam perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini adalah kembang mawar, kembang melati, kembang cempaka, kembang kantil, kembang kenanga, kembang sedap malam, serta kembang melati gambir. Kembangkembang tersebut dicampurkan ke dalam wadah menjadi satu dengan diberi air secukupnya. Tutup Pusar nanti akan di sentuh oleh masyarakat sekitar yang hadir pada saat perayaan ini. Bersamaan dengan pembacaan kalimat tahlil, tutup pusar yang sudah berada dalam wadah diangkat oleh seseorang yang secara khusus ditugaskan yaitu Ust Ratu Muhammad Aris. Benda itu dibawa kepada setiap masyarakat yang hadir untuk dipegang serta dibersihkan secara simbolis, kemudian air dari hasil cuciannya diusapkan ke wajah guna mengambil berkah dari benda peninggalan Tubagus Atif yang dianggap seorang wali. Dalam istilah agama Islam wali adalah orang yang suci yang mempunyai bentuk ibadah yang kuat sehingga diberikan kekaromahan oleh Allah.15 Tidak jarang warga yang mengikuti “Haul Cuci Pusaka 14 Wawancara pribadi dengan Tubagus Muhammad Aris. Tangerang Selatan, 28 Mei 2013. 15 Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 1267. 69 Keramat Tajug” berebut untuk mengambil air dari hasil cucian pusaka tutup pusar itu untuk dibawa pulang. Kelima, pembacaan maulid Nabi Muhammad SAW. yang dipimpin oleh Ust Ghozali. Pada kesempatan ini maulid yang dibacakan adalah maulid Al-Diba’i.16 Keenam, sebagai penyempurna perayaan ini ditutup dengan pembacaan doa oleh Ust. Ghozali. Enam poin mata acara inilah yang menjadi rutinitas tahunan yang dilaksanakan di Makam Keramat Tajug. Selepas dari mata acara ini masyarakat yang tergabung dalam Folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini menikmati hidangan yang telah tersedia berupa tumpeng khas masyarakat Cilenggang. Mereka menyebutnya dengan nasi Kabuli.17 C. Gambaran Umum Kelurahan Cilenggang 1. Letak Geografis Secara geografis kelurahan Cilenggang terletak di bagian barat kecamatan Serpong dengan batas masing-masing daerah setiap ujungnya. Adapun luas kelurahan Cilenggang yaitu 167, 33 Ha dengan ketinggian 45 meter di atasa permukaan laut. Bagian barat kelurahan berbatasan dengan kecamatan Cisauk kabupaten Tangerang. Batas bagian timur berbatasan dengan kelurahan Cilenggang ini berbatasan dengan kelurahan Rawa Buntu. Sedangkan bagian selatan berbatasan dengan kelurahan Serpong dan bagian utara berbatasan dengan kelurahan Lengkong Gudang. 16 Al-Barzanji. Kumpulan Maulid, Solawat dan Doa Penutupnya (Surabaya: Amalia, 1998), h. 13. 17 Sos Rendra, Palayangan (Jakarta: Trans Mandiri Abadi, 2010), h. 41. 70 Secara umum setiap kelurahan atau desa penggunaannya akan dialokasikan atas enam poin penting, yakni, sawah, dataran kering (darat), perkebunan, hutan, hutan rakyat, dan permukiman rakyat. Cilenggang dengan luas 167, 33 Ha telah digunakan masyarakat setempat dengan penggunaan yang beragam pula. Menurut data dari uraian monografi kelurahan Cilenggang, dari penggunaannya kelurahan Cilenggang telah dialokasikan atas beberapa penggunaan, hanya saja pada kelurahan Cilenggang tidak ada sawah, hutan dan hutan rakyat, jadi Cilenggang hanya digunakan untuk permukiman seluas 145.22 Ha, daratan kering yang belum digunakan seluas 20.91 Ha, dan perkebunan 1. 20 Ha. 2. Keadaan Penduduk Secara keseluruhan jumlah penduduk Cilenggang berjumlah 2.494 Kepala Keluarga (KK). Berdasarkan jenis kelamin jumlah laki-lakinya berjumlah 4.069 jiwa, sedangkan perempuannya berjumlah 3.905 jiwa dengan total keseluruhan 7.074 jiwa. Untuk mempermudah berikut perincian penduduk Cilenggang dalam bentuk tabel dari monografi kelurahan Cilenggang . Tabel 3.1. Keadaan Penduduk Berdasarkan Jumlah Kelompok Usia No Umur / Usia Jumlah Satuan 1 00 sampai dengan 04 tahun 314 Jiwa 2 05 sampai dengan 09 tahun 380 Jiwa 3 10 sampai dengan 14 tahun 411 Jiwa 4 15 sampai dengan 19 tahun 879 Jiwa 5 20 sampai dengan 24 tahun 837 Jiwa 71 6 25 sampai dengan 29 tahun 739 Jiwa 7 30 sampai dengan 34 tahun 841 Jiwa 8 35 sampai dengan 39 tahun 691 Jiwa 9 40 sampai dengan 44 tahun 657 Jiwa 10 45 sampai dengan 49 tahun 519 Jiwa 11 50 sampai dengan 54 tahun 519 Jiwa 12 55 sampai dengan 59 tahun 392 Jiwa 13 60 tahun ke atas 795 Jiwa 7.974 Jiwa Jumlah Keseluruhan Sumber: Profil Kelurahan Cilenggang 2011. Tabel 3.2. Keadaan Penduduk Menurut Agama dan Kepercayaan No Agma Jumlah Satuan 1 Islam 6.503 Jiwa 2 Kristen 802 Jiwa 3 Katolik 449 Jiwa 4 Hindu 86 Jiwa 5 Budha 77 Jiwa 6 Konghucu 55 Jiwa 7 Aliran kepercayaan 2 Jiwa 7.974 Jiwa Jumlah Keseluruhan Sumber: Profil Kelurahan Cilenggang 2011. 72 Tabel 3.3. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan No Umur / Usia Jumlah Satuan 1 Tidak / belum sekolah 681 Jiwa 2 Belum tamat SD 805 Jiwa 3 Tamat SD 1.529 Jiwa 4 Tamat SLTP 1.730 Jiwa 5 Tamat SLTA 2.383 Jiwa 6 D III 449 Jiwa 7 D IV / S1 303 Jiwa 8 S2 70 Jiwa 9 S3 24 Jiwa 7.974 Jiwa Jumlah Keseluruhan Sumber: Profil Kelurahan Cilenggang 2011. Tabel 3.4. Keadaan Penduduk Berdasarkan Pekerjaan No Umur / Usia Jumlah Satuan 1 Tidak / belum bekerja 570 Jiwa 2 Mengurus Rumah Tangga 2.103 Jiwa 3 Pelajar / Mahasiswa 1.853 Jiwa 4 Pensiunan 31 Jiwa 5 Pegawai Negri Sipil PNS 47 Jiwa 6 Tentara Nasional Indonesia TNI 19 Jiwa 7 Polisi Republik Indonesia (POLRI) 18 Jiwa 8 Pedagang 781 Jiwa 9 Petani 4 Jiwa 10 Peternak 4 Jiwa 11 Nelayan - Jiwa 1.730 Jiwa Karyawan BUMN / BUMD/ 12 Swasta 73 13 Buruh Harian Lepas 623 Jiwa 14 Guru 83 Jiwa 15 Dosen - Jiwa 16 Dokter 10 Jiwa 17 Perawat 9 Jiwa 18 Bidan 12 Jiwa 19 Lainnya 77 Jiwa 7.974 Jiwa Jumlah Keseluruhan Sumber: Profil Kelurahan Cilenggang 2011. BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA Proses Komunikasi Antarbudaya Melalui Folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” Setiap manusia mempunyai cara sendiri dalam menyampaikan pesan terhadap manusia lain. Cara tersebut tergambar bagi setiap manusia yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Terpisah oleh batas wilayah, batas norma, batas hukum, adat daerah, dan pembatas-pembatas lain menyebabkan manusia akan terus mengalami perubahan dan perbedaan dalam berkomunikasi. Pembahasan komunikasi yang melibatkan manusia yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda inilah yang disebut dengan komunikasi antarbudaya.1 Dalam perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini melibatkan masyarakat sekitar yang penduduknya terdiri dari beberapa budaya. Dalam pengamatan langsung peneliti di kelurahan Cilenggang memang banyak peneliti temukan masyarakat Jawa dan Betawi pendatang yang bertempat tinggal di daerah Cilenggang. Selain dari itu, termasuk juga masyarakat Sunda yang memang asli dari penduduk setempat. Berada di tengah-tengah kota Bumi Serpong Damai (BSD) membuat Cilenggang menjadi tempat yang diminati oleh masyarakat pendatang. Kelurahan Cilenggang merupakan tempat yang strategis dan mempunyai akses yang ideal bagi mereka yang tinggal di Cilenggang. Menurut pernyataan bapak Mehdi Solihin, Lurah Cilenggang, memang sudah banyak masyarakat pendatang umumnya Jawa dan Betawi yang sudah tinggal di Cilenggang ini. 1 Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009), h. 179. 74 75 Secara umum komunikasi antarbudaya yang terjadi pada perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini tergambar melalui Teori Joseph A. Devito dan Andi Faisal Bakti. Meski tidak semua jenis komunikasi antarbudaya yang terjadi dalam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” sesuai dengan teori Joseph A. Devito dan Andi Faisal Bakti.2 Pembahasan Teori Joseph A. Devito dan Andi Faisal Bakti ini akan dibahas dan dianalisis pada poin khusus di pembahasan berikutnya. Dari pertemuan beberapa budaya inilah yang menyebabkan adanya komunikasi antarbudaya dan menghasilkan temuan-temuan baru yang dapat dianalisis. Dalam konteks komunikasi antarbudaya, pelaksanaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini, peneliti melihatnya ada bentuk komunikasi yang unik dan menarik. Melalui pengamatan langsung, penulis dapat menganalisis beberapa bentuk pelaksanaan kegiatan dalam perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” yang ada pada masing-masing budaya di antara mereka. Berikut penjelasannya: A. Analisis Jenis Komunikasi Antarbudaya Menurut Joseph A. Devito dan Andi Faisal Bakti Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, pada teori Joseph A. Devito peneliti hanya menemukan empat temuan saja dari delapan jumlah teori jenis-jenis komunikasi antarbudaya. Sedangkan teori Andi Faisal Bakti peneliti menemukan dua temuan dari tujuh teori yang ada. Berkut penjelasakan jenis komunikasi antarbudaya yang terjadi pada perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” Cilenggang Serpong Tangerang Selatan. 2 Lihat Bab I pada bagan teori 1.1. 76 1. Komunikasi Antara Etnis yang Berbeda Dalam perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini terjadi pada kelompok keturunan keluarga Tubagus Atief dengan masyarakat keturunan orang biasa di luar keluarga Tubagus Atief. Golongan ini lebih terhormat dari pada orang Sunda biasa menurut pemahaman banyak orang (masyarakat setempat). Nama Tubagus menjadi simbol bagi kelompok tersebut bahwa kelompok tersebut adalah keturunan raja pada zaman dahulu. Temuan ini dapat dibuktikan dengan banyaknya nama Tubagus di Kelurahan Cilenggang. “Dari hasil perkawinannya itu (Tubagus Atief dengan Siti Almiyah), Tubagus Atief dikaruniai empat orang anak. Mereka adalah, Tubagus Romhadon yang dimakamkan di Kali Pasir Kota Tangerang, kemudian Tubagus Arpha dimakamkan di Keramat Tajug, lalu Tubagus Rajhe dimakamkan di Kadubungbang Cimanuk Pandeglang, kemudian yang terakhir adalah Tubagus Arja dimakamkan di Keramat Tajug. Dan kami ini pada umumnya masyarakat Cilenggang merupakan keturunan dari Tubugus Arja. Dari masing-masing putra yang empat ini masingmasing mempunyai keturunan dan sampai sekarang masih ada di daerah masingmasing pula.”3 Gambar 4.1. keluarga besar keturunan Tubagus Atief. Pada gambar 4.1. tampak kaum laki-laki dan perempuan. Gambar diambil saat pencucian pusaka peninggalan Tubagus Atief di kediaman keluarga besar Tubagus Atief 25 Januari 2013. Hampir semua yang ada 3 Wawancara Pribadi dengan Tubagus Sos Rendra, Tangerang Selatan, 28 Mei 2013. 77 pada saat pencucian pusaka tersebut bergelar Tubagus dan Ratu. Seperti Tubagus Imamudin, Tubagus Komarudin, Tubagus Sos Rendra. Selain itu komunikasi antara etnis yang berbeda ini juga tampak jelas dari perbedaan bahasa dari masing-masing budaya. Melalui penelitian langsung di lapangan, memang bahasa Sunda, Betawi, dan Jawa sesekalai peneliti temukan pada perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.” 2. Komunikasi Antara Sub Kultur yang Berbeda Dalam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” komunikasi antara subkultur ini terjadi antara kelompok pedagang dengan kelompok orang pekerja bangunan, dan orang orang yang bekerja di pemerintahan daerah dengan masyarakat biasa. Sebagian mereka yang dari Jawa merantau dan berdomisili di Cilenggang banyak yang memilih berdagang. Jenis dagangan yang mereka pilih adalah ketoprak, gado-gado dan rujak buah. Mereka berdagang dengan cara menjajakan makanan. Adapun pilihan lain selain berdagang adalah bekerja sebagai kuli bangunan. “Sekarang sudah membaur masyarakat asli Cilenggang dengan masyarakat pendatang itu sudah membaur. Sekarang sudah modern kan sudah tidak tabuh lagi lah. Selama masyarakat pendatang itu baik sama kita, ya kita juga baik lah. Gitu aja. Mereka ada yang dagang, ada yang jualan gado-gado, ada yang belajar juga, macam-macam lah.”4 Daerah Cilenggang merupakan daerah yang tidak jauh jaraknya dengan Bumi Serpong Damai (BSD), di mana pembangunan di kota BSD sangat pesat. Mereka para perantau yang ada di daerah Cilenggang tidak sedikit yang bekerja pada pembangunan tersebut.5 4 Wawancara pribadi dengan Bapak Mehdi Solihin S.Sos, Tangerang Selatan 23 Juni 2013. 5 Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia. Penerjemah Agus Maulana (Jakarta: Profesional Books, 1997), h. 480-481. 78 Gambar 4.2. Salah satu rumah kontrakan warga pendatang di Cilenggang Gambar 4.2 ini adalah tempat di mana sebagian perantau tinggal di rumah ini. Rumah kontrakan sederhana ini berdekatan dengan rumah Tubagus Imamudin. Selain dari komunikasi antara kelompok pekerja bangunan dan pedagang, pada perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug,” model komunikasi antara subkultur yang berbeda ini terjadi pula antara kelompok pejabat pemerintah daerah dengan masyarakat biasa. Seperti Lurah dan Camat dengan masyarakat yang hadir. Gambar 4.3. Camat Serpong, mewakili Wali Kota Tangerang Selatan sedang memberikan sambutan. 79 Gambar 4.3. adalah Bapak Durahman, Camat Serpong yang dalam hal ini mewakili Wali Kota Tangerang Selatan. Dalam sambutannya Durahman merasa senang dengan diadakannya acara folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini. “Ini merupakan hal yang luar biasa, menunjukkan bahwa Tangerang Selatan ini memang betul-betul kota yang religius. Saya mewakili ibu Airin, Wali Kota Tangerang Selatan mengucapkan banyak terimakasih kepada para panitia dan sekaligus apresiasi saya dalam perayaan ini. Semoga kedepan perayaan seperti ini dapat dikemas lagi sedemikian rupa, sehingga semua masyarakat dari berbagai golongan dapat mengikuti acara ini dengan baik dan sempurna.”6 Demikian sambutan yang disampaikan oleh Durahman. Selain dari itu, Durahman juga menyampaikan beberapa hal yang menjadi agenda kegiatan pemerintah kota Tangerang Selatan berikutnya. Setelah sambutan dari Durahman selesai, dilanjutkan oleh Mehdi Solihin sebagai Lurah Cilenggang. Mehdi Solihin juga termasuk bagian dari keturunan dari keluarga besar Tubagus Atief. Gambar 4.4. Lurah Cilenggang, Mehdi Solihin, S.Sos memberikan sambutan Dalam sambutannya, Mehdi Solihin memberikan himbauan kepada masyarakatnya agar selalu hidup dalam kerukunan dan kedamaian. Mehdi 6 Pengamatan langsung di lapangan, Cilenggang 25 Januari 2013. 80 Solihin juga menghimbau agar dengan adanya acara tahunan ini dapat dijadikan sarana untuk saling menjaga tali silaturrahmi antara masyarakat setempat baik pendatang maupun yang asli masyarakat cilenggang.7 Dalam kesempatan wawancara juga Mehdi Solihin juga menyampaikan bahwa kegiatan folklor ini sangat bermanfaat bagi masyarakat Cilenggang. “Itu kan benda-benda peninggalan orang tua yang memang benar-benar bersejarah kan, jadi menurut saya warga baik yang pendatang maupun yang asli masyarakat Cilenggang perlu tahu itu. Adapun perayaannya kan tidak disakralkan, kita hanya untuk mengenang saja. Biar tahu bahwa dulu beliau ini adalah orang tua kita sebagai pejuang yang memperjuangkan agama islam, dan itu memang sudah rutin dilaksanakan. Tidak ada seremonial yang khusus gitu, hanya dalam bentuk do‟a yang memang biasa dibaca. Buat saya ini mah hal sangat bagus sekali, kan dari sini warga saya jadi lebih mengenal sejarah dari kampung nya sendiri.” 8 3. Komunikasi Antara Subkultur dengan Kultur yang Dominnan Dalam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” komunikasi jenis ini terjadi pada kelompok pemilik budaya yang mendominan dengan kelompok orang yang dari luar pemilik budaya, dalam hal ini antara keturunan keluarga Tubagus Atief dengan masyarakat biasa yang hadir. Gambar 4.5. Masyarakat sedang menunggu sebagian keluarga besasar keturunan Tubagus Atief 7 8 2013. Pengamatan langsung di lapangan, Cilenggang 25 Januari 2013. Wawancara pribadi dengan Bapak Mehdi Solihin S.Sos, Tangerang Selatan 23 Juni 81 Pada gambar 4.5. tampak sekelompok masyarakat yang sedang menunggu Tubagus Imamudin, Tubagus Tubagus Sos Rendra, Tubagus H. Imamudin dan beberapa orang dari keturunan Tubagus Atief untuk menempati tempat paling depan, dekat dengan pemakaman Tubagus Atief. “Itu mah tidak ada peraturan khusus yang menjelaskan kenapa harus begini dan begitu. Termasuk siapa yang harus duduk di depan atau di belakang. Kami semua sama sih. Tapi mungkin yang menjadi pertimbangannya karena kami keturunan dari pada Tubagus Atief dan H.Imamudin itu kakak kami yang dituakan, maka hal tersebut terjadi begitu saja.”9 Menurut keterangan H. Mu‟in hal tersebut tidak wajib adanya. Artinya tidak ada hukum tertentu yang mengatur agar yang duduk di depan itu keturunan Tubagus Atief saja. Walaupun demikian, mereka yang mendominasi jalannya acara folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” adalah mereka dari keturunan Tubagus Atief. Selain itu juga terjadi pada orang dewasa dengan anak-anak. Hal ini dapat dilihat dari sebagian mereka yang mengikuti acara folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini adalah anak-anak. Mereka adalah anak-anak warga Cilenggang yang dengan sengaja hadir ke makam Keramat Tajug untuk mengikuti kegiatan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” Jumlah anak-anak di kelurahan Cilenggang ini cukup besar. Anak-anak yang dimaksud adalah anak-anak yang dalam hitungan usia mereka berusia kisaran 15 sampai 19 tahun.10 Data ini diperkuat juga melalui wawancara peneliti saat perayaan folklor berlangsung. Mereka juga berasal dari santri Ust. Ghozali yang dibawa dari pesantren yang tempatnya tidak jauh dari makam Keramat Tajug. 9 Wawancara Pribadi dengan Bapak H. Mu‟in. Tangerang Selatan, 23 Juni 2013. Lihat Bab III pada table 3.1. 10 82 Gambar 4.6. Anak-anak yang hadir sedang menyimak sejarah perjuangan Tubagus Atief Dalam acara ini panitia menyediakan tempat khusus untuk anakanak. Mereka ditempatkan di sebelah kanan makam Tubagus Atief. Ini dimaksukan agar pada saat perayaan berlangsung anak-anak yang hadir tidak terlalu mendekat ke depan dan berdekatan dengan pencucian Penutup Pusar. Ada bagian khusus untuk anak-anak baik laki-laki dan perempuan 4. Komunikasi antara Jenis Kelamin yang Berbeda Komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda pada folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” terjadi antara kaum laki-laki dengan perempuan. Pada perayaan folklor ini, laki-laki lebih berperan banyak dalam acara. Sementara perempuan hanya sebagai juru masak, penerima tamu dan lebih berada di belakang. Hal tersebut menjadi bukti dalam perayaan ini terjadi maskulinisasi. Yaitu anggapan bahwa laki-laki lebih siap secara mental (jiwa) nya dibandingkan dengan perempuan.11 Hal ini terbukti dari sebagian besar kegiatan folklor didominasi oleh laki-laki. Mulai dari 11 Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 83 pembacaan kisah Tubagus Atief sampai pada pembacaan doa penutup di akhir acara, semua dilakukan oleh kaum laki-laki. Dari sekian banyak acara yang dilakukan pada perayaan ini perempuan hanya bertugas sebagai juru konsumsi dan perlengkapannya. Bahkan pada kegiatannya perempuan berada di luar makam Keramat Tajug. Gambar 4.7. Kaum perempuan ditempatkan di luar makam Keramat Tajug saat perayaan. Gambar 4.7. ini terlihat kaum perempuan berada di luar makam Keramat Tajug. Tidak ada keterangan secara pasti mengapa kaum perempuan di tempatkan di luar. Dari keterangan teori Joseph A. Devito dan Andi Faisal Bakti komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda ini memiliki kesamaan. Oleh karena itu, peneliti tidak perlu menjelaskan lagi. 5. Komunikasi Antara Kaum Tradisionalis dengan Kaum Modernis Pada perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini, peneliti melihat secara umum memang yang tergolong ke dalam kaum tradisionalis adalah mereka yang secara pendidikan masih minim. Begitu 84 juga sebaliknya, mereka kaum modernis adalah orang-orang yang mengenyam pendidikan tinggi. Dari data profil kelurahan Cilenggang tahun 2011, memang masyarakat Cilenggang yang tamatan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Mengengah Pertama (SMP) lebih banyak dibandingkan dengan yang luluasan SMA. Tercatat ada 1.529 jiwa tamatan SD, dan 1.730 jiwa tamatan SMP. Itu artinya tamatan SD dan SMP saja jika di gabung berjumlah 3.259 jiwa.12 Dari data tersebut, maka peneliti dapat menyimpulakan bahwa kaum tradisionalis akan lebih kelihatan di banding dengan kaum modernis. Selain data di atas peneliti juga melihat malalui pengamatan langsung di lapangan. Gambar 4.8. Masyarakat saat mencuci pusaka Penutup Pusar Gambar 4.8. merupakan suasana saat pencucian pusaka Penutup Pusar. Bak berukuran sedang yang diangkat oleh Tubagus Muhamad Aris menjadi sorotan masyarakat yang hadir dan mereka cenderung berebutan. Meraka yang telah mencuci pusaka itu kemudian mengusapkannya ke 12 Lihat Bab III pada table 3.3. 85 wajah. Tidak ada anjuran memang dari pihak pemilik folklor, namun sebagian mereka memahami bahwa air yang digunakan untuk mencuci pusaka Penutup Pusar itu adalah air berkah. Menurut penuturan H. Mu‟in memang masyarakat yang hadir mempunyai pandangan yang berbedabeda, dulu bahkan mereka ada yang sampai meminumnya. Akan tetapi menurut H. Mu‟in hal tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja. “Ini tergantung pemahaman kita masing-masing, biasanya mereka yang menganggap demikian ini mereka yang selalu menganggap hal ini bid‟ah. Bid‟ah kan ada yang baik dan ada yang buruk, tidak semua bid‟ah itu sesat dan musyrik. Berikutnya tergantung bagaimana kita menjelaskannya kepada masyarakat, jangan sampai kita menganut TBC (tahayul, bid’ah, churafat). Kami pun tidak sembarangan mengajak masyarakat, karena kami juga 13 bertanggung jawab akan hal itu.” Dalam proses analisis peneliti agak sulit membedakan antara kaum tradisionalis dengan kaum modernis. Peneliti banyak menemukan kejanggalan dalam menganalisis data. Dalam pencucian pusaka Penutup Pusar, banyak kalangan terpelajar yang menurut peneliti anggap sebagai kaum modernis akan tetapi pada saat perayaan mereka justru melakukan tindakan yang tergolong pada ciri kaum tradisionalis. Artinya ada kemungkinan adanya folklor ini masih menyisakan adat yang kental dan tertutup, meskipun dari kalangan terpelajar pula. B. Analisis Folklor Menurut Teori Andi Faisal Bakti (Teori Dua Puluh) Setelah peneliti melakukan analisis komunikasi antarbudaya di atas, peneliti akan melakukan analisis data dengan teori yang dikemukakan oleh Andi Faisal Bakti melalui teori Komunikasi Antarbudaya (KAB) yang berjumlah dua puluh. 13 Wawancara Pribadi dengan Bapak H. Mu‟in. Tangerang Selatan, 23 Juni 2013. 86 Dari penjelasan di atas, kemudian peneliti menggunakan beberapa teori dari hasil temuan di lapangan. Dari dua puluh teori hanya digunakan beberapa teori saja. Pertama, Etre pense par sa culture, lawan dari teori ini adalah Penser sa culture. Kedua, Heriter la culture, lawan dari teori ini adalah Acquerir la culture. Ketiga, Adoration of scriptures, lawan dari teori ini adalah Interpretation of scriptures. Keempat, adalah teori Gemeinschaft, lawan teori ini adalah Gesellschaft. Kelima, terakhir, Vernacular language, lawan dari teori ini adalah Vehicular language.14 Lima teori inilah temuan peneliti di lapangan yang akan peneliti analisis. 1. Etre pense par sa culture Etre pense par sa culture adalah pemikiran Komunikasi Antarbudaya (KAB) yang menjelaskan keadaan suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang dikendalikan atau dikontrol oleh budaya masa lalu nya. Lawan dari teori ini adalah Penser sa culture. Dalam Islam teori ini sejalan dengan Almuhafadzotu ‘ala Al-Qadim Al-Sholih wa Al-Akhdzu bi Al-Jadid Al-Aslah. Pada kategori teori ini ada beberapa data yang menjadi bukti atau sebagai penguat teori. Adapun beberapa temuan yang menjadi bukti bahwa folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” termasuk dalam kategori teori ini antara lain: 14 Lihat Bab II pada tabel 2.2. 87 a. Ketetapan tanggal perayaan (Tanggal 14 Rabiul Awal) Diadakannya folklor “Haul Cuci Puska Keramat Tajug” setiap tanggal 14 bulan Rabiul Awal tidak lepas dari perjanjian tiga kerajaan, yakni Banten, Cirebon, dan Cilenggang sendiri. Penuturan H. Mu‟in dalam kesempatan wawancara, bahwa tanggal 15 cuci pusaka di Banten, sedangkan di Cirebon tanggal 16. Jadi tiga serangkai ini sudah keliling bergantian. Dan dan mereka juga meyakini bahawa pelaksanaan cuci pusaka ini tidak boleh ada yang saling mendahului, harus sesuai dengan jadwal. b. Disakralkannya Pusaka Penutup Pusar Benda Penutup Pusar inilah yang menurut peneliti sangat disakralkan. Terbukti pada beberapa data di lapangan, seperti adanya prosesi khusus untuk pencucian. Meskipun beberapa keterangan dari hasil wawancara menunjukkan bahwa Penutup Pusar hanyalah Penutup Pusar biasa. Seperti keterangan Tubagus Tubagus Muhammad Aris. “Penutup Pusar itu kan peninggalan ayahandanya. Sedangkan pusaka-pusaka yang lain bukan peninggalan ayahnya. Itu saja mungkin perbedaannya. Zaman dulu, terutama anak raja itu pasti ada Penutup Pusarnya, ada yang dari emas, ada yang dari tembaga tergantung orang tuanya. Kalau kita dulu pakai gobangan kan (duit logam) sekarang saja yang enggak ada. Nah gobangan itu diikat pake kain (bahan) terus diikat ke pinggang agar dapat menutupi pusar. Supaya apa? Ya supaya jangan dosol (pusar yang menonjol).”15 Keterangan dari Tubagus Tubagus Muhammad Aris memang seolah-seolah menunjukkan bahwa Penutup Pusar tidak ada bedanya dengan pusaka yang lain, akan tetapi pada peraktiknya Penutup Pusar sangat disakralkan 15 2013. Wawancara Pribadi dengan Tubagus Muhammad Aris. Tangerang Selatan, 28 Mei 88 Gambar 4.9. Penutup Pusar, sesaat setelah dicuci bersama-sama dengan masyarakat Dari gambar 4.9. tampak pusaka Penutup Pusar yang masih basah dan tampak pula sisa dari kembang tujuh rupa. Setelah dicuci, Penutup Pusar dibungkus dengan kain putih dan diletakkan di dalam kotak kecil seperti tampak pada gambar. c. Makanan Khas Makanan khas yang dimaksud adalah makanan yang menurut adat setempat wajib adanya. Ada dua makanan yang wajib ada pada saat perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini, yaitu nasi kebuli dan ayam bekakak. Nasi kebuli menurut keterangan Tubagus Sos Rendra nasi kebuli itu memang dari dulu sudah ada, sampai saat ini menjadi makanan khas saat perayaan. “Tumpeng mah sebenarnya ada kaitannya dengan orang yang ketinggalan di Makkah itu. Jadi ia bernadzar nanti kalau ada rezeki ia akan bebacaken istilah orang sunda mah, bahasa kitanya ya membaca kalimatkalimat Allah untuk mendoakan orang-orang yang telah meninggal dan dikuburkan di pemakaman keluarga Tubagus Atief itu. Benarlah, beberapa hari setelah kejadian itu ia datang ke pemakaman dan membawa nasi Kebuli itu. Sampai sekarang pun tumpeng yang dibuat acara tahunan ini ya nasi kebuli itu.”16 16 Wawancara Pribadi dengan Tubagus Sos Rendra. Tangerang Selatan, 28 Mei 2013. 89 Gambar 4.10. Warga menikmati makanan tumpeng nasi kebuli Dari gambar 4.10 tampak nasi kebuli yang dimakan bersamasama sejenak setelah perayaan folklor berlangsung. Nasi kebuli pada perayaan folklor “Haul Cuci Pusak Keramat Tajug” merupakan makanan yang dibawa oleh masyarakat setempat. d. Kembang Tujuh Rupa Kembang tujuh rupa digunakan untuk mencuci pusaka baik Penutup Pusar maupun yang lain, seperti keris, golok, kujang, tombak, dan pisau. Kembang tujuh rupa ini merupakan hasil peninggalan dari adat budaya nenek moyang. Gambar 4.11. Kembang tujuh rupa 90 Kembang tujuh rupa dicampur merata sehingga seolah-seolah menjadi satu. Dari campuran bunga tujuh rupa tadi kemudian bunga tersebut dimasukkan ke dalam bak dan diberi air secukupnya agar proses pencucian lebih mudah. Jika dilihat dari penggunaannya kembang tujuh rupa sebenarnya tidak terlalu berfungsi. Artinya jika dibandingkan dengan alat pembersih lain, tentu masih banyak alat untuk membersihkan benda-benda pusaka dengan baik dan bahkan lebih sempurna. Akan tetapi hal tersebut tidak dapat diotak-atik. Bunga tujuh rupa memang peninggalan nenek moyang yang menjadi keharusan juga pada saat perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” “Owh itu memmang dari dulu dek, bunga itu ada tujuh macam jenisnya. Ada kembang mawar, kembang melati, kembang cempaka, kembang kantil, kembang kenanga, kembang sedap malam, serta kembang melati gambir. Terus sebagai penyempurna biasanya dikasih minyak wangi dan pandan yang diiris-iris kecil.”17 Demikian keterangan Tubagus Tubagus Muhammad Aris mengenai kembang tujuh rupa tersebut. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa acara folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini masih di bawah kontrol budaya lama (Etre pense par sa culture). Bagaimana tidak, pada perayaan folklo “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini masih mempunyai kewajiban tertentu secara budaya, seperti tanggal yang telah ditetapkan, Penutup Pusar yang disakralkan, makanan khas, dan kembang tujuh rupa. Selain dari itu memang dikemasnya folklor “Haul Cuci Pusaka 17 2013. Wawancara pribadi dengan Tubagus Muhammad Aris. Tangerang Selatan, 28 Mei 91 Keramat Tajug” ini merupakan upaya pelestarian. Bahkan Sos Rendra mengatakan bahwa, adanya folklor ini bentuk kepedulian keluarga kepada adat dan budaya. “Banyak sekali orang-orang sekitar yang salah kaprah yang mengarah pada kemusyrikan. Kita kan hanya bermaksud untuk pelestarian saja. Pencucian pusaka ini kalau bukan kita yang menjaga siapa, orang lain mah ga mungkin. Dulu mah air hasil cuci pusaka ini dibuat minum, dipakai untuk cuci muka, sekarang mah saya buang airnya. Meskipun orang yang sembunyi-sembunyi mengambil air itu masih ada. Segala sesuatu itu atas izin Allah.”18 2. Heriter la culture Heriter la culture adalah suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang mewarisi budayanya dari masa lalu dan mewariskannya kepada generasi yang akan datang. Lawan dari teori ini adalah Acquerir la culture yang bermakna suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang berupaya untuk mendapatkan kultur-kultur yang baru dan berbeda dari warisan keluarga dan budayanya. Dengan kata lain lebih produktif dalam mendapatkan kultur yang baru. Dalam Islam, kedua teori ini sejalan dengan agama Islam yang mengakatakan Al-muhafadzatu ‘ala Al-Qadim Al-Shalih wa Al-Akhdzu bi Al-Jadid Al-Aslah. Pada teori ini sebenarnya temuan dan analisis peneliti pada bagian (a) di atas sudah menjadi bukti yang cukup kuat. Namun demikian peneliti mencoba akan melakukan analisis lebih detail apa yang ada di lapangan dan berkaitan dengan teori Heriter la culture. Namun, yang paling jelas di sini adalah dilibatkannya anak-anak dalam perayaan. 18 2013. Wawancara Pribadi dengan Tubagus Muhammad Haris. Tangerang Selatan, 28 Mei 92 Seperti pada penjelasan sebelumnya di mana anak-anak juga ikut serta dalam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” Meskipun tidak ada peran khusus yang lakukan oleh anak-anak dalam perayaan ini. Mereka (anak-anak) hanya memperhatikan saja. Dengan demikian usaha mnurunkan atau pewarisan budaya berjalan dengan sendirinya. Secara langsung maupun tidak langsung anak-anak itu akan mengikuti adat dan budaya folklor tersebut. Gambar 4.12. Tampak anak-anak sedang mengikuti kegiatan folklor 3. Adoration of scriptures Adoration of scriptures adalah sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang sangat mencintai atau menyukai teks agamanya (kitab sucinya). Lawan dari teori ini adalah Interpretation of scriptures. Adalah sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang memaknai atau memahami teks (kitab suci) sesuai konteks yang menjadi pegangannya. Dalam Islam kedua teori ini sama dengan Al-ijtihad. Dalam perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” kitab yang peneliti temukan ada dua jenis. Yaitu kitab mengenai sejarah perjuangan Tubagus Atief dan kitab yang berisikan pesan-pesan agama. 93 Kedua kitab ini dijadikan pegangan keluarga besar Tubagus Atief dan akan dipelajari bagi siapapun dari golongan keluarga besar Tubagus Atief yang ditugaskan untuk menyampaikan kisah perjuangan Tubagus Atief. Kitab sejarah berbahasa (Jawa, Sunda). Begitu juga dengan kitab yang berisikan pesan-pesan agama itu, kitab tersebut akan dibaca dan dipelajari bagi mereka yang akan memberikan ceramah (saat perayaan) dan sambutan. Gambar 4.13. Gambar 4.13 ini tampak Ust. Ghozali dan Tubagus H. Imamudin sedang memperhatikan dengan seksama tulisan yang ada di kayu berwarna coklat kehitam-hitaman. Kayu itu bertuliskan arab dan tidak dapat dipastikan apa tulisan dan makna yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, peneliti melihat ada tindakan dari beberapa orang termasuk Tubagus H. Imamudin yang menjadi bukti atas teori adoration of scriptures. Beberapa kali mereka menciumi kitab yang terbuat dari kayu tersebut. Selain dari dua kitab tersebut kegiatan yang muncul dan termasuk dalam kategori Adoration of scriptures adalah ketika membaca tahlil. 94 Masyarakat yang hadir hanya membaca dan tanpa mengetahui maknanya. Secara keseluruhan bacaan yang dibaca dalam perayaan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Serangkaian do‟a fatihah yang diperuntukkan kepada Nabi, keluarga nabi, para sahabat-sahabat Nabi, para Wali, para pengikut Nabi, para orang-orang baik dan para malaikat, kemudian para ahli kubur terutama dari keluarga yang membaca tahlil. Biasanya pembacaannya dipisah-pisah dengan masing-masing pembacaan surat Al-Fatihah. 2) Pembacaan surat Al-Ikhlas sebanyak tiga kali, Al-Falaq satu kali dan Al-Nas satu kali. Pada setiap akhir pembacaan masing-masing surat itu dipisah dengan pembacaan Lailahaillahu Allahu Akbar Walillahil Hamdu. Ada pula yang membacakan surat yasin. 3) Pembacaan surat Al-Fatihah dan dilanjutkan dengan pembacaan beberapa penggalan ayat-ayat Al-Qur‟an, diantaranya surat Al-Baqarah dari ayat 1-5, Al-Baqarah ayat 163, Al-Baqarah ayat 255 atau ayat kursi, Al-Baqarah 284-286, dipisah dengan bacaan irhamna ya arhamarrahimin sebanyak tujuh kali, kemudian dilanjutkan dengan surat Hud ayat 73, surat Al-Ahzab ayat 33, Al-Ahzab ayat 56, lalu dilanjutkan dengan pembacaan sholawat, setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan surat Ali „Imran ayat 173, Al-Anfal ayat 40, dan ditutup dengan kalimat Tahlil sebanyak seratus kali. Sebagai penutupnya bianya dibacakan do‟a tahlil.19 4. Gemeinschaft Gemeinschaft adalah sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang ingin membangun kelompoknya berdasarkan komunitasnya. Lawan 19 Abdul Majad Tamam, Surat Yaasiin dan Bimbingan Tahlil (Jakarta: Zikrul Hakim), h. 87-96. 95 dari teori ini adalah Gesellschaft. Yaitu sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang ingin membangun kelompoknya berdasarkan societas. Kedua teori ini dalam Islam sejalan dengan Al-Ummah. Pada folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug,” pembentukan kelompok pemilik folklor jelas terjadi. Hampir semua apa yang menjadi kegiatan pada saat perayaan folklor ini dapat membentuk dan dapat meningkatkan komunitas keluarga besar Tubagus Atief. Hal ini terbukti dari keadaan masyarakat Cilenggang yang menjadikan keluarga besar Tubagus Atief sebagai keluarga terhormat. Keluarga besar Tubagus Atief memang keluarga yang dipandang di daerah setempat. Pada satu kesempatan, peneliti sedang melakukan kunjungan ke Masjid Al-Ikhlas (peninggalan Tubagus Atief) di Cilenggang, 24 Juli 2013, ada seorang perempuan mendatangi Tubagus H. Imamudin dengan maksud meminta air untuk anaknya yang sedang sakit. Di keluarga besar Tubagus Atief juga dibentuk Paguyuban Tubagus Atief Paguyuban Tubagus Atief ini merupakan wadah bagi keluarga besar keturunan Tubagus Atief. Paguyuban Tubagus Atief diketuai oleh H. Mu‟in. “Paguyuban kan sifatnya nonformal ya, jadi hanya komunitas saja. Kami di sini pertama untuk mengajak masyarakat mengetahui bahwa di desa Cilenggang ini ada makam peninggalan pejuang yakni makam Keramat Tajug ini. Biasanya, kami yang menjadi pelopornya, misalanya seperti acara Haul, menyambut bulan Ramadlan. Kemudian, selain dari itu, kami juga mengundang keluarga besar tubagus Atief yang tinggal di daerah lain, nah dengan paguyuban ini kan kami terkontrol gitu. Selain itu ya kamilah pengurus paguyuban ini yang menjaga dan melestarikan makam keramat tajug ini.”20 20 Wawancara Pribadi dengan Bapak H. Mu‟in. Tangerang Selatan, 23 Juni 2013. 96 Jelas memang dengan paguyuban ini ada upaya membangun dan membersarkan kelompoknya berdasarkan komunitasnya (Gemeinschaft). Selain hal tersebut di atas, sebagian besar keluarga besar Tubagus Atief juga menempati tempat strategis di jabatan pemerintahan. Seperti Mehdi Solihin, S.Sos yang menjadi Lurah Cilenggang, Mehdi Solihin juga keluarga besar Tubagus Atief. D. Umar Dani, S.Sos, sekertaris Lurah Cienggang. Ia juga keturunan Tubagus Atief. Tidak hanya itu, Tubagus H. Imamudin juga mendirikan majlis yang dinamai majlis Birrulwalidain. Majlis ini diperuntukkan untuk masyarakat Cilenggang dan sekitarnya. Berikutnya, H. Mu‟in yang ikut serta dalam perpolitikan, ini menunjukkan adanya upaya publisitas diri. Peneliti melihat memang ada spanduk dengan gambar H. Mu‟in dari salah salah satu partai yang ada Indonesia. 5. Vernacular language Vernacular language adalah pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang cenderung belajar bahasa sendiri/lokal. Lawan dari teori ini adalah Vehicular language adalah pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang belajar bahasa pengetahuan/bahasa lain. Dalam Isalam teori ini sejalan dengan istilah AlLisan. Teori ini dibuktikan dengan adanya penyampaian kisah Tubagus Atief dilakukan sebelum acara dimulai. Tubagus Sos Rendra yang biasa ditugaskan mewakili keluarga besar Tubagus Atief. Memang kisah ini 97 disampaikan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Akan tetapi banyak sekali peneliti mendengar istilah yang disampaikan dengan bahasa Sunda, namun Sos Rendra mengartikannya seketika itu juga. Menurut penuturan Bapak H. Mu‟in disampaikannya kisah itu dengan bahasa Indonesia untuk memudahkan para jama‟ah yang hadir dalam perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.” “Ya biasanya sih itu dengan bahasa Jawa Sunda dan itu ada bukunya yang memang dari peninggalan kuno. Ada kok bukunya yang memang menggunakan bahasa Jawa, Sunda Banten, karena kan Tubagus Atief ini dari Banten. Nah sekarang kan digunakan bahasa Indonesia, itu sih hanya untuk mempermudah saja, agar siapapun mereka, dari kalangan manapun yang mengikuti acara “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini dapat memahaminya denagan baik.” 21 Gambar 4.14. Tubagus Sos Rendra saat menyampaikan kisah perjuangan Tubagus Atief Menurut peneliti inilah yang dimaksud dengan inti dari mengenang jasa-jasa perjuangan. Selain memanjatkan doa untuk mereka yang telah mendahului kita (meninggal dunia) yang memang menjadi anjuran agama, tentu sebagai orang yang tahu akan jasa-jasa Tubagus Atief sudah menjadi kewajibannya untuk menyampaikan kisah tersebut kepada orang banyak. Memang banyak cara yang dilakukan masyarakat Indonesia untuk mengenang orang-orang terdahulu, jasa-jasa para pahlawan, misalnya. 21 Wawancara Pribadi dengan Bapak H. Mu‟in. Tangerang Selatan, 23 Juni 2013. 98 Masyarakat yang terdiri dari Sunda, Jawa dan Betawi dapat menikmati dan mengambil pelajaran dari kisah Tubagus Atief yang telah disampaikan. Mereka sejenak mengenyampingkan eksistensi budaya yang mereka punya. Selain dari bahasa Sunda yang sering muncul dalam perayaan ini, ada juga nyanyian-nyanyian daerah yang dipertahankan dari zaman dulu dan dibacakan saat pawai obor berlangsung. Tidak hanya selawat yang berbahasa Arab saja, melainkan selawat yang juga terdiri dari bahasa Sunda, Jawa dan bahasa Indonesia (Betawi) sesekali dilantunkan secara bersamaan dalam pawai obor ini. Dari keterangan ini, jelas bahwa ada upaya untuk mempertahankan bahasa budaya lama dalam perayaan tersebut. C. Pembahasan Pembahasan adalah bagian khusus yang dibuat untuk membahas temuan-temuan yang berada diluar teori yang dipakai dalam penelitian. Temuan yang dimaksud adalah hal yang muncul dari kegiatan folklor yang peneliti tidak analisis melalui teori yang ada. Ada dua macam temuan besar yang peneliti akan sampaikan di pembahasan ini. Yaitu tentang beberapa kegiatan folklor yang mengarah pada hal positif dan kegiatan komunikasi antarbudaya yang menghasilkan kesamarataan budaya. Beberapa temuan yang mengarah pada hal yang positif antara lain sebagai berikut: 99 1. Beberapa Kegiatan Folklor yang Positif a. Bahasa Indonesia sebagai pengantar kisah perjuangan Tubagus Atief Dalam menyampaikan cerita perjuangan Tubagus Atief yang menggunakan bahasa Indonesia, dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman orang. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa dalam perayaan tersebut tidak kaku lagi atas budaya yang ada. Menurut peneliti, berubahnya bahasa yang digunakan dalam penyampaian kisah perjuangan Tubagus Atief tidak serta merta berubah begitu saja, melainkan mempunyai proses budaya yang cukup lama. b. Tidak Disampaikannya Fungsi Masing-masing Pusaka Kepada Para Jama’ah Awalnya pengetahuan mengenai fungsi pusaka yang konon masing-masing pusaka mempunyai kekuatan supranatural itu sangat kental. Hampir setiap keturunan mengetahui dan menjaga atas pengetahuan mengenai fungsi-fungsi pusaka peninggalan tersebut. Akan tetapi dalam perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” tidak lagi disampaikan. Menurut Tubagus Muhammad Aris ini dimaksudkan untuk menghindari dari hal kemusyrikan. “Sekarang saya atau barangkali semua keluarga Tubagus Atief sudah pada enggak tahu kali ya, kalau dulu-dulunya mah ada yang tahu dan suka menceritakan kepada kami. Misalnya, tongkat ini fungsinya ini, keris ini fungsinya ini dan seterusnya. Dulu, hal itu ada tapi sekarang sudah tidak diperhatikan lagi meski kayaknya ada dari keluarga yang mengetahui tentang hal itu. Lagian kan kalau disampaikan ke orang-orang takutnya tanggapan orang itu salah, misalnya percaya terhadap benda, kan itu tidak boleh. Menurut saya benda itu kan tergantung orangnya, kalau yang menggunakan benda itu sakti ya benda itu menjadi sakti, sebaliknya jika yang menggunakan benda itu salah kaprah 22 maka sama saja bohong.” 22 2013. Wawancara Pribadi dengan Tubagus Muhammad Haris. Tangerang Selatan, 28 Mei 100 Dengan demikian kekantalan budaya yang dianggap sudah tidak efektif lagi untuk masyarakat sudah tidak dipakai kembali. c. Melarang Keras Jama’ah untuk Meminum Air Cucian Pusaka Penutup Pusar Dalam acara pencucian pusaka Penutup Pusar ini melibatkan seluruh jama‟ah yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menumbuhkan sikap peduli dan sikap saling tolong menolong. Walau demikian masing-masing orang yang hadir pada perayaan tersebut mempunyai pemikiran yang berbeda-beda. Gambar 4.15. Air bekas cucian pusaka Penutup Pusar Menurut penjelasan Tubagus Sos Rendra masih banyak masyarakat yang hadir mempunyai keyakinan atas benda pusaka peninggalan Tubagus Atief.23 d. Melibatkan Aparatur Pemerintah Seperti penjelasan pada bagian jenis budaya di atas, bahwa dalam perayaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug,” pihak panitia 23 2013. Wawancara pribadi dengan Tubagus Tubagus Sos Rendra. Tangerang Selatan, 28 Mei 101 mengundang Wali Kota Tangerang Selatan untuk dapat hadir dan mengikuti kegiatan tersebut. Namun ia tidak dapat hadir dan mendelegasikan Camat Serpong sebagai penggantinya. Hal ini dimaksudkan oleh panitia agar tercipta kerja sama antar pemerintah daerah dengan masyarakat serta keluarga besar Tubagus Atief dalam menjaga dan melestarikan budaya dan paguyuban Tubagus Atief. e. Aneka makanan modern yang dibawa oleh masyarakat Selain makanan yang wajib ada, yaikni nasi kebuli dan ayam bakar (bekakak), ada pula makanan modern yang dibawa oleh warga setempat. Makanan modern yang dimaksudkan adalah makanan modern yang bervariasi, tidak hanya makanan bahkan juga buahbuahan. Makanan tersebut awalnya tidak ada dan tidak diperbolehkan menurut adat. Menurut keterangan Rendra Sos awalnya makanan itu hanya ada dua model saja, yaitu bekakak atau ayam yang dibakar dalam keadaan masih utuh dan nasi kebuli. Dua makanan itu yang awalnya menjadi makanan pokok pada acara folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.” Menurut kisahnya, makanan tersebut dibawa oleh seorang warga ke makam Keramat Tajug. Dari sinilah asal mulanya dijadikannya nasi kebuli dan ayam bekakak itu sebagai syarat acara. 102 Gambar 4.16. Tampak aneka makanan dan buah-buahan saat perayaan “Jadi Ia bernadzar nanti kalau ada rezeki ia akan bebacaken istilah orang Sunda mah, bahasa kitanya ya membaca kalimat-kalimat Allah untuk mendoakan orang-orang yang telah meninggal dan dikuburkan di pemakaman keluarga Tubagus Atief itu. Benarlah, beberapa hari setelah kejadian itu ia datang ke pemakaman dan membawa nasi kebuli itu. Sampai sekarangpun tumpeng yang dibuat acara tahunan ini ya nasi kebuli itu.”24 Dari kutipan wawancara ini dapat dijelaskan bahwa makanan yang asalnya hanya ada dua macam saja sekarang sudah bermacammacam makanan dapat ditmukan pada saat acara. Hal ini terjadi karena kekentalan dan kefanatikan budaya. Pada acara kali ini makanan yang ada sudah bervariasi. f. Menghilangkan Prosesi Bakar Kemenyan Awalnya pada perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” dilaksanakan pula prosesi pembakaran kemenyan. Yaitu prosesi pembakaran dupa dan bersifat sakral, dan secara khusus dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga. Lama kelamaan prosesi tersebut tidak ada lagi, bukan berarti menghapusnya secara keseluruhan, tetap ada tapi tidak disakralkan kembali. 24 2013. Wawancara pribadi dengan Tubagus Tubagus Sos Rendra. Tangerang Selatan, 28 Mei 103 Gambar 4.17. Tempat pembakaran kemenyan pada saat prosesi pembakaran kemenyan zaman dahulu 2. Munculnya Kesamarataan Budaya Dalam perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug,” terdapat juga kesamarataan budaya. Hal ini peneliti temukan dalam beberapa kegiatan, antara lain: a. Kesamarataan Budaya dalam Pawai Obor Pawai ini dilakukan dari depan Masjid Al-Ikhlas Cilenggang menuju ke makam Keramat Tajug. Jarak dari Masjid Al-Ikhlas kurang lebih satu kilo meter. Pawai dilakukan stelah shalat Magrib menjelang Isya dan diiringi dengan kesenian musik rebana. Musik rebana yaitu sejenis alat musik yang berbentuk bulat. Dalam konteks folklore, kegiatan ini tidak ada sangkut paut dengan sejarah peninggalan Tubagus Atief. Kegiatan ini dilaksanakan hasil dari kesepakatan keluarga besar saja. 104 Gambar 4.18. Masyarakat Saat Pawai Obor Diiringi Musik Rebana Dalam kegiatan pawai obor ini terjadi kesamarataan budaya. Mereka dipersatukan dalam kesamaan alunan selawat Nabi di sepanjang jalan. Meneriakkan pujian-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Menyanyikan selawat dengan serentak mengikuti alunan rebana dan penuh keceriaan. b. Kesamarataan Budaya dalam Pembacaan Tahlil Tahlil adalah kumpulan doa yang biasanya dilakukan oleh sebagian orang dalam rangka mendoakan arwah sanak saudara yang sudah meninggal. Biasanya dilakukan oleh sekelompok orang dalam rangka tasyakkuran atau acara-acara keluarga dan acara selamatan. Selamatan adalah serangkaian doa yang dibaca untuk meminta selamat.25 25 Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 1017. 105 Gambar 4.19. H. Tubagus Imamudin saat memimpin pembacaarn tahlil Biasanya doa yang dibaca adalah doa tahlil. Dalam acara “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” pembacaan tahlil dipimpin oleh Bapak H. Imamudin. c. Kesamarataan Budaya dalam Pencucian Pusaka Penutup Pusar Dalam pencucian pusaka Penutup Pusar ini dipimpin oleh Bapak H. Tubagus Imamudin. Tokoh agama yang juga sebagai sesepuh dari keluarga Tubagus Atief. Pada pelaksanaan cuci pusaka ini diikuti oleh masyarakat yang hadir (jama‟ah). Menariknya, dalam pencucian pusaka Penutup Pusar ini ada tujuan khusus yang memang dimaksudkan sebagai sarana dakwah. Semacam pengukuhan keyakinan bagi masyarakat yang hadir pada acara “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug.” Pencucian dimulai dari H. Tubagus Imamudin kemudian diikuti oleh seluruh jama‟ah yang hadir. Pada saat mencuci seluruh jamaah mengikuti alunan bacaan kalimat Lailahaillah yang dibaca berulangulang dan secara bersamaan. Menurut pendapat H. Mu‟in selaku ketua 106 Paguyuban Keluarga Besar Tubagus Atief mengatakan hal itu sematamata untuk menguatkan keyakinan kepada Allah, menambah semangat keyakinan kepada Allah. Benda itu hanya sabagai simbol saja, bukan berarti ada maksud mengutamakan benda dari apa yang telah dilaksanakan pada pencucian Penutup Pusar itu. Gambar 4.20. H. Tubagus Imamudin Memulai Mencuci Pusaka Penutup Pusar Memang agaknya butuh pembahasan yang sangat mendalam mengenai hal ini, namun bagi peneliti hal ini tak ubahnya orang berdzikir menggunakan tasbih sebagai alat penghitung dan pengingat. Tasbih selama digunakan sebagai alat menghitung jumlah bacaan yang kita baca sekaligus mengingatkan kita saat kita lalai atas dzikir yang biasa kita baca itu hal yang wajar dan hal yang dibolehkan dalam kacamata syariat. Tapi jika kemudian muncul keyakinan lain dari tasbih itu atau dari benda lain maka itu lah yang tidak dibolehkan. Memang secara logika sepertinya tidak masuk akal namun kembali lagi pada penafsiran masing-masing mereka. 107 Menurut penuturan H. Mu‟in dalam wawancara dengan peneliti mengenai tanggapan pihak pengelola acara (pemilik folklor) dari keluarga besar Tubagus Atief terkait dengan misalnya ada anggapan miring tentang acara ini, mereka menganggap bahwa hal itu merupakan sesuatu yang wajar. Perbedaan pendapat itu hal yang wajar menurutnya. “Memahami barokah kan setiap orang berbeda-beda. Kita yang ada di zaman modern ini jika berbicara barokah seperti yang ada pada cerita salaf (masyarakat zaman dulu) seperti hal yang tidak pernah ada, padahal semua itu ada. Nabi Muhammad dengan segala mukjizatnya, para wali dengan segala karomahnya, nah sekarang tinggal kita bagaimana memahami dan meyakini itu. Memahami dalam arti semua yang terjadi itu semata-mata hanya dari Allah. Meyakini itu adalah meyakini bahwa kekuatan Allah itu memang benar-benar ada dan mutlak adanya. Tinggal bagaiamana kita memahaminya saja, benda yang memang peninggalan para wali (kekasih Allah) jika kita menisbatkannya kepadanya bisa jadi sebab itu benda tersebut dikeramatkan, sebaliknya kalau bukan karena kekuatan Allah apalah arti sebuah benda. Jangankan benda AlQuran saja kalau kita tidak meyakini akan kekuatan Allah Al-Qur‟an sendiri tidak akan berarti apa-apa bagi orang tersebut.”26 Pengamatan langsung peneliti, dalam acara cuci pusaka Penutup Pusar memang sebagian masyarakat yang hadir ada yang mengusapkan air cucian itu ke muka ada pula yang tidak. Alasannya pun variatif. Ada yang manganggap bahwa hal itu dilakukan untuk mendapatkan berkah. Sedangkan alasan mereka yang tidak mengusapkannya ke wajah mereka menganggap bahwa itu adalah hal yang biasa saja. d. Kesamarataan Budaya dalam Pembacaan Maulid Nabi Muhammad SAW Pembacaan Maulid Nabi Muhammad dibaca secara bersamaan juga. Maulid yang dibaca pada “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug”kali ini adalah maulid Al-Barzanji. Dalam setiap tahunnya maulid yang dibaca tidak tetap, tahun ini maulid yang dibaca adalah maulid Al26 Wawancara Pribadi dengan Bapak H. Mu‟in. Tangerang Selatan, 23 Juni 2013. 108 Barzanji, berbeda dengan tahun sebelumnya, perayaan tahun sebelumnya menggunakan maulid Al-diba’i. Maulid dibacakan dalam keadaan berdiri. Hal seperti ini juga biasa dilakukan oleh banyak kelompok masyarakat pemeluk agama Islam, terumata Islam Jawa. Membaca Maulid Nabi dengan berdiri dimaksudkan untuk menghormati kehadiran Nabi Muhammad SAW. pada saat pembacaan Maulid dilaksanakan. Pada umumnya pembacaan seperti ini biasanya diiringi dengan tabuan rebana. Yaitu jenis alat musik yang berbentuk seperti piringan yang terbuat dari kayu yang dibentuk sedemikian rupa, kemudian dilapisi sisi luarnya dengan kulit kambing. Alat musik hadrah banyak ditemui di daerah Jawa. Namun belakangan ini peneliti sendiri sudah sangat sering melihatnya di daerah Jakarta dan sekitarnya. Gambar 4.21. Jamaah sedang Membaca Maulid Nabi Secara umum bacaan maulid ini mengandung arti puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Hampir semua maulid sama, hanya saja pengarangnya yang berbeda, dan masing-masing mereka 109 mempunyai ciri khas. Seperti dalam karangan imam Al-Barzanji, maulid ini hampir secara keseluruhan mengandung puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. berikut sebagian dari syair yang ditulis oleh imam Al-Barzanji. Anta syamsun anta badrun Anta nurun fauqa nurin Anta iksiru waghali Anta mishbahusshuduri “Engkau bagaikan matahari, engkau bagaikan rembulan. Engkau cahaya di atas cahaya, Engkau sumber kehidupan, Engkau penerang hatiku.”27 e. Kesamarataan Budaya melalui Ceramah Agama Ceramah agama disampaikan oleh dua orang penceramah (Da‟i). Mereka adalah Ust Ghozali dan Tubagus H. Imamuddin. Ust Ghozali adalah tokoh ulama setempat. Ia merupakan tamu undangan yang dengan sengaja diundang oleh panitia pelaksana. Ceramah agama memang awalnya tidak ada pada acara “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini. Akan tatapi semenjak haul cuci pusaka dilaksanakan di makam Keramat Tajug barulah ada ceramah agama. Menurut H. Mu‟in ini dimaksudkan agar masyaraka setempat juga dapat menambah ilmu agama dari pelaksanaan Cuci pusaka ini. H. Mu‟in juga menambahkan bahwa semua acara yang ada pada “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini hanya merupakan tambahan saja. 27 36-39. Al-Barzanji, Kumpulan Maulid, Solawat dan Doa Penutupnya (Amalia: Surabaya), h. 110 “Cuci pusaka ini memang apa adanya, lihat saja kerisnya juga masih apa adanya (tidak ada yang berubah dari peninggalan nenek moyang). Tapi sekarang ditambah-tambahkan, seperti ada ceramah agama, sedekahan, tahlilan. Ini dimaksudkan untuk menghindari kemusyrikan, jadi kita arahkan ke sana. Jadi ini merupakan budaya yang tidak bertentangan dengan agama. Adapun kegiatankegiatan seperti obor, rebana (rebana) ini hanya tambahan saja dalam rangka syiar agama.”28 Hal ini dimaksudkan agar dapat mengimbangi kebutuhan masyarakat yang hadir pada saat itu. Dalam pengamatan peneliti memang pada saat Tubagus H. Imamuddin memberikan Ceramahnya masih banyak bahasa Sunda sebagai bahasa pengantarnya, sehingga sangat mungkin sekali diantara mereka yang hadir (jama‟ah) tidak dapat memahami apa yang disampaikan. Berbeda dengan Ust Ghozali, beliau menyampaikan ceramah dengan bahasa Indonesia yang mudah dimengerti. dalam pelaksanaan “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini dimaksudkan untuk memberikan pengarahan kepada masyarakat. Tema yang disampaikan adalah tema tentang ajaran Islam yang berkaitan dengan sejarah dakwah Rasulullah yang dikaitkan pula dengan adanya pelaksanaan cuci pusaka Keramat Tajug. Menurut peneliti di sinilah letak adanya kesamarataan budaya dari masing-masing budaya yang ada. Jelas saat ceramah disampaikan dengan bahasa Sunda ini mencirikan bahwa memang folklor itu sangat kental dengan subjektifitas pemiliknya, sehingga tidak mudah bagi orang yang bukan pemilik folklor untuk dapat mengerti folklor tersebut. Hal itu juga menjadi sulit difahami oleh masyarakat yang hadir. Menurut peneliti sangat tepat sekali tindakan panitia 28 Wawancara Pribadi dengan Bapak H. Mu‟in. Tangerang Selatan, 23 Juni 2013. 111 mengundang tokoh agama dari luar pemilik folklor yang dapat menetralisir kekentalan budaya yang ada dalam folklor tersebut. Inilah analisis peneliti mengenai bentuk komunikasi antar budaya yang terdapat dalam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” Dari hasil temuan dan analisis ini akan disimpulkan pada bab berikutnya. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan peneliti di bab sebelumnya, dijelaskan bahwa komunikasi antarbudaya yang terjadi pada folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” dilakukan dua tahap, yakni tahap pertama dan tahap kedua. Tahap pertama yaitu analisis terhadap jenis-jenis Komunikasi Antarbudaya (KAB) dengan menggunakan teori Joseph A. Devito dan Andi Faisal Bakti. Sedangkan tahap kedua yaitu analisis pada kategori folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” dalam ranah KAB. Pada tahap pertama dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis KAB yang dapat ditemukan pada acara folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” adalah sebagai berikut: 1. Komunikasi antara etnis yang berbeda. Komunikasi antara etnis yang berbeda terjadi pada keturunan keluarga Tubagus Atief dengan masyarakat keturunan orang biasa di luar keluarga Tubagus Atief. Komunikasi antara etnis yang berbeda ini juga tampak jelas dari perbedaan bahasa dari masing-masing budaya. 2. Komunikasi antara Sub Kultur yang Berbeda Komunikasi antara subkultur ini terjadi antara kelompok pedagang dengan kelompok orang pekerja bangunan, dan orang orang yang bekerja di pemerintahan daerah dengan masyarakat biasa. Model komunikasi antara subkultur yang berbeda ini terjadi pula antara kelompok pejabat pemerintah 112 113 daerah dengan masyarakat biasa. Seperti Lurah dan Camat dengan masyarakat yang hadir. 3. Komunikasi Antara Subkultur dengan Kultur yang Dominnan Komunikasi antara subkultur yang berbeda ini terjadi pada kelompok pemilik budaya yang mendominan dengan kelompok orang yang dari luar pemilik budaya. Selain itu juga terjadi pada orang dewasa dengan anak-anak. 4. Komunikasi antara Jenis Kelamin yang Berbeda Komunikasi jenis ini terjadi antara kaum laki-laki dengan perempuan. Yakni terbukti dengan munculnya maskulinisasi. 5. Komunikasi Antara Kaum Tradisionalis dengan Kaum Modernis Komunikasi Antara Kaum Tradisionalis dengan Kaum Modernis ini terjadi antara kelompok yang berpendidikan tinggi dengan pendidikan rendah. 6. Komunikasi antara laki-laki dan perempuan Komunikasi antara laki-laki dan perempuan yang dimaksudkan di sini sama dengan poin nomer empat di atas. Inilah enam jenis-jenis komunikasi antarbudaya yang telah peneliti analisis menggunakan teori Joseph A. Devito dan Andi Faisal Bakti. Kemudian pada tahap kedua peneliti menggunakan teori Andi Faisal Bakti. Yaitu teori duapuluh (konservatif dan transformatif). Berikut kesimpulan dari hasil analisis tersebut: 114 1. Etre pense par sa culture Etre pense par sa culture adalah pemikiran Komunikasi Antarbudaya (KAB) yang menjelaskan keadaan suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang dikendalikan atau dikontrol oleh budaya masa lalu nya. Lawan dari teori ini adalah Penser sa culture. Dalam Islam teori ini sejalan dengan Al-muhafadzotu ‘ala Al-Qadim Al-Sholih wa Al-Akhdzu bi Al-Jadid Al-Aslah. Ada beberapa bukti dari kategori folklor ini dalam ranah komunikasi antarbudaya. Yaitu: a. Ketetapan tanggal perayaan (Tanggal 14 Rabiul Awal). b. Disakralkannya Pusaka Penutup Pusar. c. Makanan Khas. d. Kembang Tujuh Rupa. 2. Heriter la culture Heriter la culture adalah suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang mewarisi budayanya dari masa lalu dan mewariskannya kepada generasi yang akan datang. Lawan dari teori ini adalah Acquerir la culture yang bermakna suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang berupaya untuk mendapatkan kulturkultur yang baru dan berbeda dari warisan keluarga dan budayanya. Dengan kata lain lebih produktif dalam mendapatkan kultur yang baru. Dalam Islam, kedua 115 teori ini sejalan dengan agama Islam yang mengakatakan Al-muhafadzatu ‘ala AlQadim Al-Shalih wa Al-Akhdzu bi Al-Jadid Al-Aslah. Bukti-bukti yang dikumpulkan peneliti untuk menguatkan analisis pada poin satu di atas juga dapat dijadikan bukti pada poin ini. Namun ada bukti yang paling jelas menurut peneliti. Adanya pewarisan budaya dari generasi ke generasi dalam perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini dilakukan pada anak-anak kecil yang secara sengaja maupun tidak mereka (anak-anak) diikutkan dan diarahkan oleh orang tuanya untuk mengikuti acara folklor. 3. Adoration of scriptures Adoration of scriptures adalah sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang sangat mencintai atau menyukai teks agamanya (kitab sucinya). Lawan dari teori ini adalah Interpretation of scriptures. Adalah sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang memaknai atau memahami teks (kitab suci) sesuai konteks yang menjadi pegangannya. Dalam Islam kedua teori ini sama dengan Al-ijtihad. Ada dua jenis kitab yang dapat tergolong ke dalam kategori Adoration of scriptures. Kitab tersebut adalah kitab yang terbuat dari kayu peninggalan Tubagus Atief yang sudah berusia ratusan tahun dan kitab sejarah perjuangan Tubagus Atief. Dua kitab inilah yang digunakan sebagai panduan pokok dalam acara folklor tersebut. Selain dari dua kitab itu, beberapa teks, terutama yang berbahasa Arab, seperti kitab maulid Nabi, buku panduan tahlil, dan surat Yasin juga termasuk dalam kategori ini. 116 4. Gemeinschaft Gemeinschaft adalah sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang ingin membangun kelompoknya berdasarkan komunitasnya. Lawan dari teori ini adalah Gesellschaft. Yaitu sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang ingin membangun kelompoknya berdasarkan societas. Kedua teori ini dalam Islam sejalan dengan Al-Ummah. Adapun data yang menjadi penguat dari kategori ini adalah adanya anggapan lebih terhormatnya keluarga keturunan Tubagus Atief dibanding dengan masyarakat biasa. Selain dari itu keluarga besar keturunan Tubagus Atief juga membuat paguyuban (Tubagus Atief). Ini dimaksudkan untuk mewadahi perkumpulan keluarga besar Tubagus Atief. Selain dari hal itu, sebagian besar dari keturunan keluarga besar Tubagus Atief banyak yang menjabat di pemerintahan daerah, sehingga kecendrungan akan kepentingan kelompok sesekali dapat muncul. 5. Vernacular language Vernacular language adalah pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang cenderung belajar bahasa sendiri/lokal. Lawan dari teori ini adalah Vehicular language adalah pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang belajar bahasa pengetahuan/bahasa lain. Dalam Isalam teori ini sejalan dengan istilah Al-Lisan. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya bahasa Sunda dalam hampir setiap mata acara. Terutama dalam penyampaian kisah perjuangan Tubagus Atief. 117 B. Saran Seteleh peneliti memberikan kesimpulan dari apa yang sudah peneliti analisis di bab sebelumnya, peneliti kemudian ingin memberikan saran sebagai berikut: 1. Melestarikan budaya semacam folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini menjadi tugas semua lapisan masyarakat. Lebih erat dalam melakukan koordinasi dengan masyarakat, agar masyarakat lebih banyak lagi terlibat dalam acara perayaan pelestarian budaya ini. 2. Melibatkan lapisan msyarakat dalam perayaan folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug,” agar tercipta koordinasi yang pas. Dengan demikian akan muncul juga rasa kepemilikan masyarakat setempat terhadap folklor. Pemilik folklor pun (pihak Keramat Tajug) agar lebih transformatif atas nilai-nilai baru yang dinilai dapat menambah kekayaan budaya. 3. Adanya evaluasi atas hasil tranformasi antara nilai-nilai yang ingin ditanamkan dengan hasil yang ditangkap oleh masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar hal yang kurang ada manfaatnya sebaiknya dihilangkan saja. Dan perlu adanya pengawasan dari pihak luar baik dari akademisi atau ulama (tokoh agama) setempat agar terjadi stabilitas antara budaya yang perlu dimaknai dan lestarikan dengan budaya yang tidak perlu dilestarikan yang menyimpang dengan ajaran agama. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk peneliti dan untuk kita semua khususnya bagi para pemula yang ingin meneliti tentang komunikasi antarbudaya. Peneliti berharap pula dengan skripsi ini peneliti ikut serta dalam melestarikan budaya Indonesia yang sangat beragam dan sangat berharga ini. DAFTAR PUSTAKA Afrianti, Iin. “Pesta Lomban Sebagai Fungsi Media Komunikasi Rakyat Masyarakat Pesisir Kabupaten Jepara dalam Menyampaikan Pesan Dakwah,”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Al-Barzanji. Kumpulan Maulid, Solawat dan Doa Penutupnya Surabaya. Amalia, 1998. Ardhi, Yogyasmara. P. “Wayang Kulit sebagai Media Dakwah: Studi pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang,”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Jakarta, 2011. Bakti, Andi Faisal. Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program. Jakarta: INIS, 2004. Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Karisma Putra Utama, 2004. Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi, Ed. 1- 8. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT. Syaamil Cipta Media. 2004. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tim Peneliti, Mulyadi, dkk. Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi di DIY. Yogyakarta: Poroyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1982-1983. Devito, Joseph A. Komunikasi Antarmanusia. Penerjemah Agus Maulana . Jakarta: Profesional Books, 1997. Echols, John M. dan Shadily, Hassan. Kamus Inggris-Indonesia. Amerika: Cornell University Press, 1975; reprint, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005. Ega Maulana, “Fungsi Foklor “Hajat Bumi Keramat Ganceng” dalam Komunikasi Antarbudaya bagi Masyarakat Urban di Kelurahan Pondok Ranggon Jakarta Selatan,”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Jakarta, 2011. Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia, 1984. Liliweri, Alo. Makna Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2007. Lubis, Nina H. Banten Dalam Pergumulan Sejarah; Sultan, Ulama, Jawara. 118 119 Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia, 2003. Maleong, Lexi J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,1999. Maryati, Kun dan Suryawati, Juju. Sosiologi; Indonesia di Tengah Modernisasi Dunia; Pengaruh Perkembangan Iptek, Demokrasi, Efisiensi, dan Agama Terhadap Indutrialisasi dan Urbanisasi. Jakarta: Esis, 2001. Maulana, Ega . ”Fungsi Foklor “Hajat Bumi Keramat Ganceng” dalam Komunikasi Antarbudaya bagi Masyarakat Urban di Kelurahan Pondok Ranggon Jakarta Selatan,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Jakarta, 2011), h. 23. Mulyana, Deddy dan Rakhmat, Jalaludin. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009. Mulyana, Dedy. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rosda Karya, 2002. Nasrullah, Rulli. Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012. Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011. Pelly, Usman. Urbanisasi dan Adaptasi; Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia Anggota IKAPI, 1971. Porter, Ricard E. dan Samovar, Larry A. Suatu Pendekatan Terhadap Komunikasi Antarbudaya, dalam Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009. Prasetya, Joko Tri, dkk. Tanya Jawab Ilmu Budaya. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000. Raco, J.R. metode Penelitian Kualitatif Janis, Karakter, Keunggulannya. Jakarta: PT Grasindo, 2010. Rendra, Sos. Palayangan. Jakarta: Trans Mandiri Abadi, 2010. Roudhonah. Ilmu Komunikasi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007. Rozak, Yusron. Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam. Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008. Santoso, Ananda dan Al Hanif, A.R. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Alumni. Satori, Djam’an dan Komariah, Aan. Metode Penetitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2010. 120 Shadily, Hasan. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, cetakan ke-12. Jakarta: Reneka Cipta,1993. Shoelhi, Mohammad. Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009. Siradj, Agil.“Kata Pengantar; Meneladani Strategi Kebudayaan Para Wali,” dalam Agus Sunyoto, Wali Songo; Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan. Jakarta: Transpustaka, 2011. Sudikan, Setya Yuwana. “ Ragam Metode Pengumpulan Data: Mengulas Kembali Pengamatan, Wawancara, Analisis Life History, Analisis Folklor,” dalam Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, (Jakarta: Karisma Putra Utama, 2004. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2009. Supanto dkk. Risalah; Sejarah dan Budaya Seri Folklor. Yogyakarta: Balai Penelitian Sejarah dan Budaya, 1981-1982. Suparlan, Parsudi dalam A.W. Widhaya. Manusia Indonesia, Individu, Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Akademika Pressindo, 1986. Sutrisno, Muji dan Putranto, Hendari. Teori-teori Kebudayaan. Jakarta, 2008. Tamam, Abdul Majad. Surat Yaasiin dan Bimbingan Tahlil. Jakarta: Zikrul Hakim. Wiryanto. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Grasindo, 2006. Wiryanto. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Grasindo, 2006. 121 SUMBER DARI INTERNET Ilham Prisgunanto, “Analisis Data Kualitatif,” artikel diakses pada 17 Maret 2013 dari kk.mercubuana.ac.id. Wikipidia Bahasa Indonesia. “Bunga Tujuh Rupa,” artikel diakses pada 7 Maret, 2013 dari http://id.wikipidia.org/wiki/. Raharjo, Mudjia. “Triangulasi dalam Penelitian Kualitatif,” artikel diakses pada 1 April, 2013 dari http://mudjiarahardjo.com/artikel/270.html?task=view. Pedoman Wawancara Nama : Bpk. H. Mu’in Jabatan : Ketua Paguyuban Makam Keramat Tajug Hari/Tanggal : Minggu, 23 Juni 2013 Waktu Wawancara : 20.00-21.00 Tempat Wawancara : Kediaman Bpk. H. Mu’in 1. Menurut bapak apa maksud dan tujuan diadakannya Folklor Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug bagi masyarakat sekitar yang terlibat dalam acara ini? Jawab: Yang pertama kan tujuan melestarikan budaya yang penting kan prinsipnya tidak melanggar syariat agama kan. Selama itu tidak melanggar agama maka kebudayaan masyarakat itu hukumnya boleh kan, Al Adatu Muhakkamatun, itu untuk memperkuat kebudayaan Indonesia dalam sisi agama, kan gitu. Yang kedua ingin mencontoh perjuangan dari Tubagus Muhammad Atief selaku penyiar agama di daerah Serpong dan bahkan Banten dan sekitarnya, jadi perjuangannya yang kita contoh, terutama dalam kegigihannya dalam melawan penjajahan Belanda pada saat itu. Dan yang ketiga dalam rangka menjaga semangat keagamaan, ruh keagamaan, inikan termasuk syiar kan, mensyiarakan agama Allah melalui kebudayaan. Syiar itu kan bermacam-macam, bisa dengan music, bisa dengan hal yang lain yang dapat diterima di masyarakat, nah dalam perayaan ini kira-kira kami bersyiar dengan hati mengajak mereka dengan cara yang berbeda. Ya diantaranya itu aja, tentu yang lain masih banyak. 2. Apakah bahasa yang digunakan dalam penyampaian sejarah singkat perjuangan Tubagus Atief pada saat perayaan itu memang murni dengan bahasa Indonesia? Jawab: Ya biasanya sih itu dengan bahasa Jawa Sunda dan itu ada bukunya yang memang dari peninggalan kuno. Ada kok bukunya yang memang menggunakan bahasa Jawa Sunda Banten, karena kan Tubagus Atief ini dari Banten. Nah sekarang kan digunakan bahasa Indonesia, itu sih hanya untuk mempermudah saja, agar siapapun mereka, dari kalangan manapun yang mengikuti acara Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug ini dapat memahaminya denagan baik. 3. Apa fungsi adanya Paguyuban bagi Keramat Tajug? Jawab: Paguyuban kan sifatnya nonformal ya, jadi hanya komunitas saja kan, kami disini pertama untuk mengajak masyarakat mengetahui bahwa di desa Cilenggang ini ada makam peninggalan pejuang yakni makam Keramat Tajug ini. Biasanya kami yang menjadi pelopornya, misalanya seperti acara Haul, menyambut bulan ramadlan. Kemudian selain dari itu kami juga mengundang keluarga besar Tubagus Atief yang tinggal di daerah lain, nah dengan paguyuban ini kan kami terkontrol gitu. Selain itu ya kamilah pengurus paguyuban ini yang menjaga dan melestarikan makam keramat tajug ini. 4. Bagaimanakah pendapat anda tentang pandangan orang yang menganggap bahwa folklor “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” ini ada unsur-unsur musyriknya? Jawab: Ini tergantung pemahaman kita masing-masing, biasanya mereka yang menganggap demikian ini mereka yang selalu menganggap hal ini bid’ah. Bid’ah kan ada yang baik dan ada yang buruk, tidak semua bid’ah itu sesat dan musyrik. Berikutnya tergantung bagaimana kita menjelaskannya kepada masyarakat, jangan sampai kita menganut TBC (tahayul, bid’ah, churafat). Kami pun tidak sembarangan mengajak masyarakat, karena kami juga bertanggung jawab akan hal itu. 5. Apa maksud dari dilaksanakannya cuci tutup pusar yang dibarengkan dengan pambancaan kalimat tahlil (lailahaillah) dengan berulang-ulang? Jawab: Ya itu dalam rangka mengkuatkan hati kepada Allah. Tahlil itu kan membersihkan hati. Jadi menggantungkan segala bentuk tindakan itu kepada Allah. Jadi kita kuatkan tauhid atau keyakianan kita kepada Allah. Kalau tauhidnya sudah matang nah nanti kita enak kesananya kan gitu. 6. Bagaimana pandangan anda jika kemudian nanti ada masyarakat yang menganggap benda pusaka itu (barokah) keramat? Jawab: Memahami barokah kan setiap orang berbeda-beda. Kita yang ada di zaman modern ini jika berbicara barokah seperti yang ada pada cerita salaf (masyarakat zaman dulu) seperti hal yang tidak pernah ada, padahal semua itu ada. Nabi Muhammad dengan segala mukjizatnya, para wali dengan segala karomahnya, nah sekarang tinggal kita bagaimana memahami dan meyakini itu. Memahami dalam arti semua yang terjadi itu semata-mata hanya dari Allah. Meyakini itu adalah meyakini bahwa kekuatan Allah itu memang benar-benar ada dan mutlak adanya. Tinggal bagaiamana kita memahaminya saja, benda yang memang peninggalan para wali (kekasih Allah) jika kita menisbatkannya kepadanya bisa jadi sebab itu benda tersebut dikeramatkan, sebaliknya kalau bukan karena kekuatan Allah apalah arti sebuah benda. Jangankan benda Al- Quran saja kalau kita tidak meyakini akan kekuatan Allah Al-Qu.ran sendiri tidak akan berarti apa-apa bagi orang tersebut. 7. Apakah prosesi yang dilaksanakan itu memang dari nenek moyang dulu? Jawab: Cuci pusaka ini memang apa adanya, lihat saja kerisnya juga masih apa adanya (tidak ada yang berubah dari peninggalan nenek moyang). Tapi sekarang ditambah-tambahkan, seperti ada ceramah agama, sedekahan, tahlilan. Ini dimaksudkan untuk menghindari kemusyrikan, jadi kita arahkan ke sana. Jadi ini merupakan budaya yang tidak bertentangan dengan agama. Adapun kegiatan-kegiatan seperti obor, rebana (hadroh) ini hanya tambahan saja dalam rangka syiar agama. Jadi kita ini sebenarnya tertutup tapi juga tertutup, begitu juga sebaliknya terbuka tapi tertutup. Kita melihat kondisi kan, ada poin-poin yang memang asli (murni) peninggalan nenek moyang ada juga yang memang ditambah-tambahkan. 8. Kenapa hanya tutup pusar saja yang dicuci di makam keramat tajug pada saat perayaan malam itu? Jawab: Memang sudah ada waktunya masing-masing ya. Jam nya pun ditentukan. Kalau cuci keris kan prosesnya lama, kerisnya banyak dan bermacam-macam. Puncak dari pencucian ini ya tutup pusar itu. Tutup pusar itu intinya di makam, dan itu masih asli peninggalan Tubagus Atief dari ayahnya yaitu Pangeran Tirtayasa. Jadi kami tidak boleh sembarangan, harus di depan makamnya itu. Kalau cuci keris kan di rumah ya, kalau tutup pusar itu harus di makam. Ini memang sudah budaya kami. memang ini sudah dilakukan sejak dulu sebelum perayaan ini dilaksanakan di makam namanya tutup pusar itu harus dicuci di depan makam Tubagus Atief. 9. Kenapa harus dimulai dari H. Imamudin yang mencucinya? Jawab: Itu mah tidak ada peraturan khusus yang menjelaskan kenapa harus begini dan begitu. Termasuk siapa yang harus duduk di depan atau di belakang. Kami semua sama sih. Tapi mungkin yang menjadi pertimbangannya karena kami keturunan dari pada Tubagus Atief dan H.Imamudin itu kaka kami yang dituakan maka hal tersebut terjadi begitu saja. 10. Apakah pada saat cuci tutup pusar itu ada bacaan khusus yang dibaca dari peninggalan nenek moyang? Jawab: Bacaannya selain kalimat tahlil (lailaahaillah) ya hadiah puji saja. Cuma minta washilah saja, intinya kan kita meminta kepada Allah kan. Memang sesuai dengan bahasa masing-masing. Misalnya dengan berbahasa Arab bil barakah Tubagus Atief yang kalau diartikan kurang lebih (mengambil barakah) gitu. Jadi intinya kita berwasilah saja. 11. Bagaimana dengan adanya dupa, nasi tumpeng, dan aneka-aneka makanan lainnya yang sifatnya modern tapi ada hal-hal juga yang berbau mistis seperti pembakaran dupa? Jawab: Ada sebagian dari apa yang ada dalam perayaan cuci pusaka Keramat Tajug ini yang memang membudaya artinya wajib ada menurut budaya. Misalnya, bukhur (dupa), makanan-makanan lain seperti kabuli, tumpeng. Sementara makanan lain yang sudah modern seperti roti, makanan-makanan zaman sekarang ya itu menyesuaikan saja. Boleh boleh saja kok. Seperti yang tadi saya bilang kami ini bisa dibilang tertutup bisa terbuka. 12. Apakah serangkaian acara yang telah dilaksanakan pada haul cuci pusaka keramat tajug itu masih murni dari warisan nenek moyang? Jawab.: Namanya budaya pasti patokan dasar tidak pernah berubah kan itu prinsip budaya, meskipun kita menyesuaikan. Seperti dulu tidak ada bacaan ayat suci Al-Qur’an cukup maulid saja tapi sekarang sudah ada bahkan ditambah lagi ada sambutan dan sebagainya. 13. Kenapa harus dilaksanakan malam ke 14 bulan maulid? Jawab. Karena itu patokan kebiasaannya. Itu sudah kebiasaan dan kesepakatan tiga kerajaan. Kita (Paguyuban Tubagus Atief) biasanya malam 14 maulid, Banten tanggal 15, Cirebon tanggal 16. Jadi tiga serangkai ini sudah keliling bergantian. Tidak boleh ada yang saling mendahului. Pedoman Wawancara Nama : Mehdi Solihin, S. sos Jabatan : Lurah Cilenggang Hari/Tanggal : Minggu, 23 Juni 2013 Waktu Wawancara : 17.00-18.00 Tempat Wawancara : Kediaman Mehdi Solihin 1. Bagaimana tanggapan bapak mengenai diadakannya Haul Cuci Pusaka yang melibatkan warga Cilenggang? Jawab: Itu kan benda-benda peninggalan orang tua yang memang benarbenar bersejarah kan, jadi menurut saya warga baik yang pendatang maupun yang asli masyarakat Cilenggang perlu tahu itu. Adapun perayaannya kan tidak disakralkan, kita hanya untuk mengenang saja. Biar tahu bahwa dulu beliau ini adalah orang tua kita sebagai pejuang yang memperjuangkan agama islam, dan itu memang sudah rutin dilaksanakan. Tidak ada seremonial yang khusus gitu, hanya dalam bentuk do’a yang memang biasa dibaca. Buat saya ini mah hal sangat bagus sekali, kan dari sini warga saya jadi lebih mengenal sejarah dari kampung nya sendiri. 2. Benarkah masyarakat Cilenggang ini sudah termasuk pada kategori masyarakat urban? Jawab: Ya betul itu, sekarang sudah membaur masyarakat asli Cilenggang dengan masyarakat pendatang itu sudah membaur. Sekarang sudah modern kan sudah tidak tabuh lagi lah. Selama masyarakat pendatang itu baik sama kita, ya kita juga baik lah. Gitu aja. 3. Adakah pesan khusus dalam perayaan ini ke dapannya? Jawab: Kalau pesan khusus saya pertama saya pesan ke pengurus paguyuban, mari kita bersama-sama untuk membenahi dan meningkatkan lagi Makam Keramat Tajug ini. Perawatan dari sarana prasarana supaya ditingkatkan kembali, misalnya lahan parkirnya, penataannya dan yang lainnya. Kalau bukan kita siapa yang akan menjaganya, kan gitu. Mari kita saling bersinergi antara pemerintah daerah dalam hal ini saya sebagai lurah dan pihak terkait agar sama-sama saling menjaga peninggalan nenek moyang kita yang berharga ini. Pedoman Wawancara Nama : Sos Rendra Jabatan : Ketua Pelaksana Folklor Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug Hari/Tanggal : Selasa 28 Mei 2013 Waktu Wawancara : 14.30-16.40 Tempat Wawancara : 1. Kediaman Sos Rendra Bagaimana awal kisah berpindahnya Tubagus Atief dari Banten ke Tangerang? Jawab: Ketika daerah ini dulu namanya Benteng, kemudian pada tahun 1654 tepatnya pada tanggal 31 Oktober daerah ini diganti dengan nama Tangerang berasal dari kata dari tatengger. Jadi di Benteng itu ada sebuah tugu yang disebut tugu Tangge yang berasal dari kata tatengger itu sebagai pembatas daerah lah gitu, nah perbatasan inilah yang menjadi batas daerah Benteng yang dipertahankan oleh Kapten Bill, Raden Kuna dan juga Nyimas Melati (mereka merupakan pejuang di zaman penjajahan Belanda) sampai dengan perang, maka dari itu jadilah nama tangerang. Selain dari itu tugu Tangge itu kan merupakan peninggalan sejarah jadi masyarakat setempat pun sangat menjaga nya dengan sepenuh hati. 2. Arti dari tangge sendiri itu apa? Jaawab: Tangge itu ya tatengger, berasal dari bahasa sunda artinya kalau dalam bahasa Indonesia ciri atau tanda. Kemudian setelah kapten Bill dan Raden Kuna dan juga Nyi Mas Melati wafat akibat gugur dalam perang melawan Belanda maka para tentara Belanda lari ke Benteng Selatan yang sekarang menjadi Tangerang Selatan ini. Nah pada saat itulah awal dimulainya penjajahan belanda di Tangerang Selatan . Kejadian ini didengarlah oleh kerajaan Banten yang waktu itu dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa bin Abdul Ma’ali Bin Abdul Mufahhir Bin Pangeran Muhammad Bin Syeh Maulana Yusuf Bin Syeh Maulana Yusuf Bin Syeh Syarif Hidayatullah. Sultan Ageng Tirtayasa punya anak sembilan yaitu Pertama Abdul Qahar yang disebut dengan Sultan Haji. Kedua Pangeran Purbaya. Ketiga Pangeran Setiri. Keempat Pangeran Jogja. Kelima Raden Soheh. Keenam Raden Muhammad Tubagus Atief. Ketujuh Ratu Ayu. Kedelapan Ratu Fatimah. Terahir kesembilan Ratu Komala. Jadi jelas secara secara adalah anak dari Sultan Ageng Tirtayasa seorang raja Banten. Pada waktu itu sebagai panglima perang Pangeran Tirtayasa mengutus Tubagus Atief ke Benteng selatan atau Tangerang Selatan ini. Ini karena penjajah pelarian dari benteng itu terdengar lari ke Benteng Selatan dan menjajah rakyat, dan Tubagus Atief ini ditugaskan untuk membantu melindungi rakyat dari penjajah Belanda dan sekaligus untuk menyebarkan agama Islam yang merupakan amanat pula dari Sultan Ageng Tirtayasa. Kan dulunya disini, masyarakat Cilenggang ini khususnya didominasi oleh agama Hindu, itu kira-kira pada tahun 1667. Adapun yang pertama masuk Islam adalah justru dari kelompok Hindu. Mereka memang menentang keras awalnya, mereka menunjukkan kekuatan-kekuatannya, namun Tubagus Atief pun tak tinggal diam, melalui adu ilmu akhirnya mereka dengan izin Allah mampu dikalahkan, kemudian mereka masuk agama Islam dan menjadi pengikutnya. Awalnya yang menjadi pengikut pertama Tubagus Atief berjumlah tujuh orang, meraka adalah Mbah Syukur, Mbah Lampe, Mbah Islah, Mbah Pancabaya dan yang lainnya. Mereka sangat patuh terhadap Tubagus Atief sampai dengan titik penghabisan. Kemudian setelah Tubagus Atief berhasil melawan penjajah dan berhasil mengislamkan masyarakat Hindu di Cilenggang ini, dan mengeluarkan masyarakat dari kegelapan menuju dunia terang, dari mabok-mabokan, minum, zina saling membunuh hingga masyarakat yang harmonis, lalu masyarkat sekitar ingin memberikan hadiah kepada Tubagus Atief. Hadiah tersebut berupa seorang gadis cantik putri dari salah seorang warga Cilenggang yang bernama Siti Almiyah yang awalnya beragama Hindu pula. Dari hasil perkawinannya itu Tubagus Atief dikaruniai empat orang anak. Mereka adalah, Tubagus Romhadon yang dimakamkan di Kali Pasir Kota Tangerang, kemudian Tubagus Arpha dimakamkan di Keramat Tajug, lalu Tubagus Rajhe dimakamkan di Kadubungbang Cimanuk Pandeglang, kemudian yang terakhir adalah Tubagus Arja dimakamkan di Keramat Tajug. Dan kami ini pada umumnya masyarakat Cilenggang merupakan keturunan dari Tubugus Arja. Dari masing-masing putra yang empat ini masing-masing mempunyai keturunan dan sampai sekarang masih ada di daerah masing-masing pula. Hanya saja sejarah mengenai Tubagus Arpha sejarahnya kami tidak temukan dan seperti menghilang. Sampai sekarang sebagai bukti sejarah dari pernikahan Tubagus Atief dengan Siti Almiyah itu adalah Masji Jami Al-Ikhlas yang menurut cerita masjid tersebut merupakan maskawin yang diberikan Tubagus Atief kepada Siti Amiyah. 3. Lalu apa yang dilakukan Tubagus Aitef setelah berhasil membantu Benteng Selatan (Tangerang Selatan)? Jawab: Nah, setelah berhasil menaklukkan Belanda dan mengislamkan masyarakat Benteng Selatan khususnya Kelurahan Cilenggang ini, Tubagus Atief lalu kembali ke Banten dan mengahadap kepada ayahandanya. Maksud kedatangan itu adalah untuk melaporkan bahwa Tubagus Atief ini sudah selesai perjuangannya di Benteng Selatan. Dari sinilah kemudian Tubagus Atief diberikan gelar oleh Sultan Ageng Tirtayasa yaitu dengan gelar Tubagus Wetan Raden Muhammad Atief. Kurang lebih artinya seorang keturunan ningrat yang telah menyebarkan agama Islam di daerah timur Banten yaitu di Benteng Selatan. Hal yang sama sebernarnya terjadi juga pada ayahandanya yaitu Sultan Ageng Tirtayasa. Gelar Sultan Ageng Tirtayasa ini diberikan oleh masyarakat setempat lantaran Sultan Ageng Tirtayasa mampu mengembalikan kejayaan Banten. Tidak hanya itu bahkan lebih membaik dari sebelumnya. Kepeduliannya terhadap pendidikan agama Islam sangat mendapatkan respon yang besar dari masyarakat setempat. Dari segi perdanganpun Sultan ageng Tirtayasa juga mampu bekerja sama dengan Eropa, Unisoviet, dan negara-negara lainnya sehingga masyarakat setempat memberikan ia gelar dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Selain dari bermaksud untuk melaporkan keberhasilannya itu, Tubagus Atief mendengar ada konflik keluarga kerajaan di Banten. Konflik itu adalah perseteruan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anak pertamanya yaitu Sultan Haji. Perseteruan itu juga memicu peperangan. Mendengar demikian Tubagus Atief tidak tinggal diam, Tubagus Atief mencoba bertanya pada ayahandanya sebab musabab terjadinya peperangan ini. Tubagus Atief juga mencari tahu mengapa pula pihak istana tidak mampu memecahkan perseteruan keluarga ini. Sultan Ageng Tirtayasa tidak memberikan jawaban pasti, Ia malah menyuruh Tubagus Atief untuk tidak ikut campur dengan permasalahan ini. Sultan Ageng menganggap ini masalah kerajaan dan Tubagus Atief tidak ada hak untuk ikut campur atas perseteruan yang terjadi. Di sinilah Tubagus Atief memahami maksud dari ayahandanya itu, Tubagus Atief kemudian berfikir bahwa kalau ia membantu ayahnya maka Ia akan akan berperang dengan kakak nya sendiri. Begitupula sebaliknya jika Ia membantu kakaknya maka Ia akan berhadapan dengan ayahandanya dalam perseteruan itu. 4. Selain Tubagus Atief, makam siapakah yang ada di dalam Tajug tepat di sebelah Tubagus Atief itu? Jawab: Nah, sebagai lanjutan sejarah di atas, Sultan Ageng Tirtayasa pun memerintahkan Tubagus Atief untuk pergi lagi ke Benteng Selatan (Tangerang Selatan) ke desa Cilenggang dan diminta untuk membawa adiknya (Ratu Ayu) yang pada saat itu sedang sakit. Namun Tubagus Atief tidak serta merta begitu saja meninggalkan kerajaan. Ia ingin bertemu terlebih dahulu dengan kakaknya (Sultan Haji). Karena Ia berfikir bahwa setega-teganya seorang anak, tidaklah mungkin akan sampai hati memerangi ayahnya sendiri. Dan benarlah ternyata, bahwa Sultan Haji ini telah berhasil diperalat Belanda, untuk menghancurkan kejayaannya dalam pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa itu. Tidak hanya itu, setelah diselidiki ternyata Sultan Haji itu bukanlah Sultan Haji anak kandung asli dari Sultan Ageng Tirtayasa. Menurut kisahnya, Sultan Haji ini adalah orang yang diperalat Belanda karena kemiripannya dengan Sultan Haji yang sebenarnya. Melalui kisah yang panjang pula akhirnya Sultan Haji palsu ini berhasil menaklukkan Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Haji ini menangkap Sultan Ageng Tirtayasa dan kemudian memenjarakannya sampai mati. Akhirnya atas perintah ayahnya untuk berangkat lagi ke Cilenggang, Tubagus Atief pun berangkat dan membawa Ratu Ayu ke Cilenggang. Ratu Ayu lebih dulu meninggal dunia dari pada Tubagus Atief. Pada saat menjelang kepergiannya Tubagus Atief berpesan kepada saudara-saudaranya agar jika kelak ia meninggal supaya ia dimakamkan di dekat adiknya yaitu Ratu Ayu yang telah lebih dulu dimakamkan di Keramat Tajug ini. Jadi makam itu ada dua yatiu makam Tubagus Atief dan makam adiknya yaitu Ratu Ayu. 5. Bagaimana kisah mengenai pusaka tutup pusar Tubagus Atief yang dicuci setiap tahun? Jawab: Setelah Tubagus Atief memutuskan untuk kembali lagi ke Cilenggang nah pada saat itulah Sultan Ageng Tirtayasa memberikan pusaka yang berupa Tutup Pusar tersebut. Seorang raja yang terkenal jaya pada saat itu, tapi tidak memberikan bekal kekayaan. Sehingga beruntunglah kita sampai saat ini masih punya bukti-bukti sejarah. 6. Bagaimana mengenai asal muasal Keramat Tajug? Jawab: Nah peperangan Sultan Haji dan Pangeran Tirtayasa tak kunjung usai, Ratu Ayu yang sejak kecil di bawa oleh Tubgus Atief ke Cilenggang telah mendengrar bahwa ayahnya (Sultan Ageng Tirtayasa) telah meninggal dunia. Kesedihan Ratu Ayu berlarut larut sampai akhirnya Ratu Ayu meninggal. Pada saat Ratu ayu meninggal dan dimakamkan di Cilenggang, saat itulah muncul perasaan bersalah dalam diri Tubagus Atief. Tubagus Atief merasa bahwa ia tidak mampu menjaga amanat dari orang tuanya (Sultan Ageng Tirtayasa) untuk menjaga adiknya. Pada saat itu Tubagus Atief membuat “Tajug”. Kalau bahasa kita mah tajug, yang dalam bahasa Indonesia nya mah musolah atau surau. Dipedataran tanah yang dahulunya sawah tepatnya di samping kali (sungai) yang orang setempat bilang kali ciudeutreng itulah Ratu Ayu dimakamkan. Hingga akhirnya Tubagus Atief memilih untuk menyepi dan melakukan tirakat (berkhalwat kepada Allah) memanjatkan doa kepada Allah, sangking kasiannya pada adenya (Ratu Ayu). Dan berpesan kepada sanak saudaranya kalau nanti saya meninggal makamkan saya di dekat adik saya di dalam surau itu. Pada saat Tubagus Atief meninggal dilaksankanlah wasiatnya, Tubagus Atief dimakamkan di dalam Tajug itu. Secara tiba-tiba tajug tempat dimakamkannya Tubagus Atief ini menggunung semantara Tajug itu ada di atas. Jadilah itu keramat Tajug. Atau Tajug yang dikeramatkan. 7. Kalau menurut bapak adakah sejarah yang menunjukkan atas kekeramatan makam Keramat Tajug? Jawab: Owh ia itu ada beberapa cerita memang dari sesepuh kita diantaranya, dulu pada tahun 1968 ada jamaah haji yang ketinggalan rombongan jamaahnya, dia orang Tenjo. Dia mah udah nangis aja, lalu datang orang pake jubah kuning menyapanya dengan bahasa sunda “kamana sia”? tanya lelaki berjubah itu“balik” jawabnya “balik kamana”? “ka Jawa”, lalu lelaki berjubah itu berkata “itu nanti ada orang, kecil, pake jubah kuning, pake sorban, kamu ikut pulang aja sama dia”. Lama menunggu akhirnya kurang lebih selepas solat asar benarlah orang yang disebutkan kriterianya itu datang, dan jamaah itu berteriak dan meminta ikut orang tersebut untuk pulang, akhirnya orang itu meminta jamaah itu untuk memejamkan matanya dan secara tiba-tiba orang itu sampai di Celenggang tepat di dekat Keramat Tajug, kan luar biasa kalau wali itu, dunia mah senampan aja. Ketika melek yang keliatan hanya kuburan sebanyak mata memandang. Orang itu berada di komplek pemakaman Tubagus Atief. 8. Bagaimana dengan pernak pernik perayaan Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug seperti adanya tumpeng? Jawab: Tumpeng mah sebenarnya ada kaitannya dengan orang yang ketinggalan di Makkah itu. Jadi ia bernadzar nanti kalau ada rezeki ia akan bebacaken itilah orang sunda mah, bahasa kitanya ya membaca kalimat-kalimat Allah untuk mendoakan orang-orang yang telah meninggal dan dikuburkan di pemakaman keluarga Tubagus Atief itu. Benarlah, beberapa hari setelah kejadian itu ia datang ke pemakaman dan membawa nasi Kabuli itu. Sampai sekarangpun tumpeng yang dibuat acara tahunan ini ya nasi kabuli itu. 9. Bagaimana mengenai asal mula diadakannya Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug? Jawab: Dulu itu sembunyi-sembunyi, karena dulu Belanda pernah mengambil senjata-senjata itu. Mulai terang-terangan itu sekitar tahun 1992 karena kami merasa telah dilindungi Undang-undang. Sebab selain memang diincar sama Belanda yang kedua banyak sekali orang-orang sekitar yang salah kaprah yang mengarah pada kemusyrikan. Kita kan hanya bermaksud untuk pelestarian saja. Pencucian pusaka ini kalau bukan kita yang menjaga siapa, orang lain mah ga mungkin. Dulu mah air hasil cuci pusaka ini dibuat minum, dipakai untuk cuci muka, sekarang mah saya buang airnya. Meskipun orang yang sembunyi-sembunyi mengambil air itu masih ada. Segala sesuatu itu atas izin Allah. 10. Adakah makna khusus dari pencucian pusaka tutup pusar ? Jawab: Secara garis besar intinya mah cuci pusaka itu hanya pelestarian bendabenda pusaka saja. Dan sekaligus menapak tilas perjuangan Tubagus Atief. Biar kita gak salah kaprah dan melupakan sejarah. Pedoman Wawancara Nama : Tubagus Muhammad Haris Jabatan : Pengurus makam (kuncen) Hari/Tanggal : Selasa 28 Mei 2013 Waktu Wawancara : 13.00-14.00 Tempat Wawancara : Makam Keramat Tajug Tubagus Atief 1. Kapan awal diadakannya cuci pusaka keramat tajug? Jawab: Itu mah gak ketahuan dek, kan turun temurun. Emang dari sejak dulu sudah ada. Dulu mah diadainnya sembunyi-sembunyi, akhirnya lama kelamaan kita lakukan di masjid Al-Ikhlas dan akhirnya setelah di Keramat Tajug sendiri tempatnya agak luas akhirnya kami lakukan di sini saja (di makam). 2. Menurut anda apa makna pencucian pusaka? Jawab: Itu mah hanya melestarikan aja, selain itu yang paling utama adalah menghormati jasa-jasa belia saja (Tubagus Muhammad Atief). Dan yang paling penting sebagai intinya mah kan haul nya saja. Nah cara kami menghormati dan mengenang jasa-jasa beliau ya kami melestarikan peninggalan-peninggalannya. 3. Menurut anda masih adakah cerita-cerita yang sifatnya mistis dari pusaka peninggalan Tubagus Atief? Jawab: Sekarang saya atau barangkali semua keluarga Tubagus Atief sudah pada enggak tahu kali ya, kalau dulu-dulunya mah ada yang tahu dan suka menceritakan kepada kami, misalnya, tongkat ini fungsinya ini, keris ini fungsinya ini dan seterusnya. Dulu hal itu ada tapi sekarang sudah tidak diperhatikan lagi meski kayaknya ada dari keluarga yang mengetahui tentang hal itu. Lagian kan kalau disampaikan ke orang-orang takutnya tanggapan orang itu salah, misalnya percaya terhadap benda, kan itu tidak boleh. Menurut saya benda itu kan tergantung orangnya, kalau yang menggunakan benda itu sakti ya benda itu menjadi sakti, sebaliknya jika yang menggunakan benda itu salah kaprah maka sama saja bohong. 4. Sebenarnya apa sih pusaka tutup pusar itu? Apa bedanya dengan pusaka yang lain? Jawab: Tutup pusar itu kan peninggalan ayahandanya. Sedangkan pusakapusaka yang lain bukan peninggalan ayahnya. Itu saja mungkin perbedaannya. Zaman dulu, terutama anak raja itu pasti ada tutup pusarnya, ada yang dari emas, ada yang dari tembaga tergantung orang tuanya. Kalau kita dulu pakai gobangan kan (duit logam) sekarang saja yang enggak ada. Nah gobangan itu diikat pake kain (bahan) terus diikat ke pinggang agar dapat menutupi pusar. Supaya apa? Ya supaya jangan dosol (pusar yang menonjol). 5. Apa saja bunga yang dicampur disaat pencucian pusaka itu? Jawab: Owh itu memmang dari dulu dek, bunga itu ada tujuh macam jeninya. Ada kembang mawar, kembang melati, kembang cempaka, kembang kantil, kembang kenanga, kembang sedap malam, serta kembang melati gambir. Terus sebagai penyempurna biasanya dikasih minyak wangi dan pandan yang diiris-iris kecil. LAMPIRAN Lampiran 1. Peneliti saat bimbingan dengan Prof. Dr. Andi Faisal Bakti. Lampiran 2. Peneliti saat bimbingan dengan Prof. Dr. Andi Faisal Bakti. Lampiran 3. H. Mu’in sesaat setelah wawancara dengan peneliti Lampiran 4. Benda pusaka golok yang sedang dicuci Lampiran 5. Benda pusaka keris sesaat setelah dicuci Lampiran 6. Perkumpulan keluarga besar Tubagus Atief sehari sebelum perayaan Lampiran 7. Benda-benda pusaka peninggalan Tubagus Atief Lampiran 8. Menikmati makanan khas Sunda ala keluarga Tubagus Atief Lampiran 9. Tampak dari samping, makam Tubagus Atief