MENUMBUHKAN NILAI- NILAI KARAKTER PADA ANAK MELALUI KARYA SASTRA DAERAH Oleh TRI ASTUTI Dosen PNSD dpk pada STKIP-PGRI Lubuklinggau Program Studi Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia Email: [email protected] ABSTRAK Penanaman nilai-nilai karakter pada anak merupakan hal yang sangat penting dan mendasar, terlebih diera degradasi moral saat ini. Karakter adalah mustika hidup, yang dapat membedakan manusia dari binatang. Anak yang berkarakter kuat dan baik adalah mereka yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti baik. Karakter sama halnya dengan kepribadian, yang akan melekat kuat pada diri seseorang dan akan menumbuhkan kesadaran untuk bertindak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Orang tua, masyarakat, dan sekolah memiliki peranan yang sangat penting dalam hal ini. Bagaimana caranya? Salah satu upayanya adalah melalui karya sastra. Sebagaimana dikatakan bahwa karya sastra disebut juga sebagai media katarsis dalam pendidikan karakter. Karya sastra merupakan cerminan situasi, kondisi, dan tatakrama masyarakat pendukungnya. Karya sastra tidak lepas dari dinamika masyarakat daerah dimana sastra itu dibuat. Para pengarang karya sastra, berusaha menyatakan dan mengungkapkan nilai-nilai kehidupan, nilai moral, dan adat-istiadat yang mendasari kehidupam masyarakatnya. Seperti halnya karya-karya sastra daerah kita. Beberapa contoh nilai-nilai yang umumnya terdapat dalam sastra daerah adalah nilai relegius, kejujuran, tanggung jawab, kerja sama, toleransi, disiplin, mandiri, tegas dan santun, kerja keras, demokrasi, percaya pada kemampuan sendiri, saling menghargai, dan lain-lain. Nilai-nilai ini mendukung apa yang disampaikan dalam ketentuan nilai pendidikan karakter yang dicanangkan oleh kementrian Pendidikan Nasional Kita. Kata Kunci: nilai-nilai karakter, karya sastra daerah PENDAHULUAN Kondisi bangsa kita saat ini sangat memprihatinkan. Media massa (cetak maupun elektronik) banyak memberitakan tentang banyaknya perkelahian, pembunuhan, perampokan, korupsi, penipuan, fitnah, dan sekarang yang sedang merebak adalah pelecehan seksual anak di bawah umur akibat pengaruh narkoba. Sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya, situasi semacam ini jelas membahayakan masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan yang cerdas, baik secara intelektual, emosional, spiritual, maupun sosial. Berpijak dari keprihatihan terhadap kondisi semacam ini, beberapa upaya pengkajian melalui penelitian dan pertemuan ilmiah telah banyak diselenggarakan, baik oleh instansi pemerintah maupun swasta. Ujungnya, bermuara pada persamaan persepsi terhadap pentingnya pendidikan untuk menumbuhkan nilai-nilai karakter pada anak. 1 Pendidikan karakter di negeri ini memang telah lama hilang. Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) misalnya, yang seharusnya bisa menjadi katalisator atau penyaring untuk membendung arus degradasi nilai-nilai moral, dinilai telah berubah menjadi mata pelajaran berbasis indoktrinasi yang hanya semata mengajarkan dan mencekoki nilai baik dan buruk saja, tanpa diimbangi dengan pola pembiasaan secara intensif yang bisa memicu anak untuk berprilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai luhur. Penanaman nilai-nilai luhur atau nilai-nilai karakter pada anak merupakan hal yang sangat penting dan mendasar. Karakter adalah mustika hidup, yang dapat membedakan manusia dari binatang. Anak yang berkarakter kuat dan baik adalah mereka yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti baik. Karakter sama halnya dengan kepribadian, yang akan melekat kuat pada diri seseorang dan akan menumbuhkan kesadaran untuk bertindak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Orang tua, masyarakat, dan sekolah memiliki peranan yang sangat penting dalam hal ini. Bagaimana caranya? Salah satu upayanya adalah melalui karya sastra, khususnya karya sastra daerah. Karya sastra merupakan cerminan situasi, kondisi, dan tatakrama masyarakat pendukungnya. Karya sastra tidak lepas dari dinamika masyarakat daerah dimana sastra itu dibuat. Para pengarang karya sastra, berusaha menyatakan dan mengungkapkan nilai-nilai kehidupan, nilai moral, dan adat-istiadat yang mendasari kehidupam masyarakatnya. Seperti halnya karya-karya sastra daerah kita. Beberapa contoh nilai-nilai yang umumnya terdapat dalam sastra daerah adalah nilai relegius, kejujuran, tanggung jawab, kerja sama, toleransi, disiplin, mandiri, tegas dan santun, kerja keras, demokrasi, percaya pada kemampuan sendiri, saling menghargai, dan lain-lain. Sekarang timbul pertanyaan “Bagaimanakan menanamkan nilai-nilai karakter pada anak melalui karya sastra daerah? PEMBAHASAN 1. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Berbicara masalah karakter, perlu kita simak apa yang ada dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa ....” Dalam UU ini jelas ada kata “karakter”, sekalipun tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang batasan yang dimaksud dengan karakter itu sendiri. 2 Ada beberapa pendapat tentang konsep karakter atau ada yang menyebutnya dengan watak dan akhlak. Bila dilihat dari etimologi bahasa, karakter atau watak berasal dari bahasa Yunani “charassein” yang berarti barang atau alat untuk menggores, yang di kemudian hari dipahami sebagai stempel/cap. Jadi, watak itu sebuah stempel atau cap, sifatsifat yang melekat pada seseorang (Dumadi dalam Adisusilo, 2013: 76). Ahli pendidikan nilai Zuchdi (2008:39), memaknai watak atau karakter sebagai perangkat sifat-sifat yang selalu dikagumi sebagai tanda-tanda kebaikan, kebijakan, dan kematangan moral seseorang. Foerster (dalam Adisusilo, 2012: 77) mengemukakan karakter adalah sesuatu yang mengualifikasi seseorang pribadi. Karakter menjadi identitas, menjadi ciri, menjadi sifat yang tetap, yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Jadi, karakter adalah seperangkat nilai yang telah menjadi kebiasaan hidup, sehingga menjadi sifat tetap dalam diri seseorang. Karakter sebagai akhlak, sehingga dalam pandangan agama, ada yang disebut akhlakul karimah (akhlak mulia) dan akhlakul madmumah (akhlak tercela). Dalam akhlakul karimah tercakup 22 sifat terpuji, yaitu 1) sederhana, 2) rendah hati, 3) giat bekerja, 4) jujur, 5) menepati janji, 6) terpercaya, 7) konsisten/istiqomah, 8) berkemauan keras, 9) suka berterima kasih, 10) satria, 11) tabah, 12) lemah lembut, 13) ramah dan simpatik, 14) malu, 15) bersaudara, 16) belas kasih, 17) suka menolong, 18) menjaga kehormatan, 19) menjauhi syubhat, 20) pasrah kepada Allah, 21) berkorban untuk orang lain, 22) penyayang. Sementara lawan dari sifat-sifat terpuji tersebut termasuk akhlakul madmumah, seperti boros, sombong, malas, munafik, dan lain-lain. Zulhan (2010:2-5) membedakan karakter menjadi dua, yaitu karakter positif baik (sehat) dan karakter buruk (tidak sehat). Karakter seseorang yang baik dapat dibentuk atau dapat dikembangkan melalui pendidikan nilai. Pendidikan nilai akan membawa pada pengetahuan tentang nilai kebaikan (knowing the good), pengetahuan nilai akan membawa pada proses internalisasi nilai yang akan menumbuhkan perasaan senang atau cinta terhadap kebaikan (feeling the good), dan proses internalisasi nilai akan mendorong seseorang untuk mewujudkannya dalam tingkah laku (acting the good), sehingga pada akhirnya pengulangan tingkah laku yang sama akan menghasilkan watak atau karakter seseorang. Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional (2011: 10) merumuskan 18 nilai karakter yang perlu dikembangkan dan bersumber dari nilai agama, Pancasila, budaya, dan tujuan Pendidikan Nasional, yaitu: 1) relegius, 2) jujur, 3) toleransi, 4) disiplin, 5) kerja 3 keras, 6) kreatif, 7) mandiri, 8) demokrasi, 9) rasa ingin tahu, 10) semangat kebangsaan, 11) cinta tanah air, 12) menghargai prestasi, 13) bersahabat/komunikatif, 14) cinta damai, 15) gemar membaca, 16) peduli lingkungan, 17) peduli sosial, dan 18) tanggung jawab. 2. Karya Sastra Daerah Ketika mendengar sastra derah, setiap orang akan berfikir bahwa sastra daerah merupakan jenis sastra yang ditulis dalam bahasa daerah. Hal itu tidaklah salah. Ini sejalan dengan pendapat Zaidan, dkk (dalam Didipu, 2010: 1) yang mengatakan bahwa sastra daerah adalah gendre sastra yang ditulis dalam bahasa daerah bertema universal. Namun, dalam perkembangan selanjutnya untuk keperluan pengenalan dan penyebarluasan sastra daerah, maka sastra daerah sudah banyak yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Contohnya kita kenal ada “Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara”. Sastra daerah umumnya dikenal sebagai sastra lisan, karena penyebarannya kebanyakan dari mulut ke mulut. Berdasarkan bentuknya, sastra daerah dibedakan menjadi dua, yaitu sastra daerah tertulis dan sastra daerah lisan. Sastra daerah tulisan hadir dalam bentuk naskah-nskah tua dan sering dikaji secara filologi. Sementara sastra daerah lisan atau sering dikenal dengan sastra lisan seperti yang diungkapkan di atas, merupakan karya yang penyebarannya melalui mulut kemulut secara turun temurun (Endraswara, 2008: 151). Lebih lanjut Endaswara (2006:151) mengemukakan ciri-ciri sastra lisan, yaitu: 1) lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, bersifat tradisional, 2) menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, tak jelas penciptanya, 3) menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik, 4) melukiskan tradisi kolektif ternetu, 5) diungkapkan dengan kata-kata atau ungkapan klise, 6) sering bersifat menggurui. Sastra lisan, ada yang menyebutnya juga sebagai tradisi lisan merupakan bagian dari folklor dan folklor adalah bagian dari kebudayaan. Bila dibandingkan cakupannya, folklor lebih luas dari tradisi lisan atau sastra lisan. Menurut Danandjaja (2002: 5), tradisi lisan atau sastra lisan hanya mencakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, dan nyanyian rakyat. Sedangkan folklor mencakup lebih dari itu, seperti tarian rakyat dan arsitektur rakyat. Menurut Hutomo (dalam Rafiek, 2012: 54), menjelaskan bahwa bahan sastra lisan dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: 1) bahan yang bercorak cerita, seperti: a) cerita-cerita biasa, b) mitos, c) legenda, d) epik, e) cerita tutur, f) memori; 2) Bahan yang bercorak bukan cerita, seperti: a) ungkapan, b) nyayian, c) peribahasa, d) teka-teki, e) puisi lama, f) nyayian 4 sedih pemakaman, g) undang-undang atau peraturan adat; 3) bahan yang bercorak tingkah laku, seperti : a) drama panggung, dan b) drama arena. 3. Relevansi Karya Sastra (Daerah) dengan Nilai-nilai Karakter Karya sastra (daerah) sebagai hasil proses kreativitas pengarang keberadaannya memang tidak dapat dilepaskan dari realitas kehidupan masyarakat dimana sastra dibuat. Sastra hadir tidak hanya menyajikan hiburan semata, namun dapat memberikan pencerahan kepada pembaca atau penikmatnya tentang berbagai nilai-nilai kehidupan lengkap dengan dinamikanya. Sebagaimana fungsi utile sastra, yaitu memberikan kegunaan kepada pembaca atau penikmatnya. Aristoteles seorang filsuf dan ahli sastra mengemukakan bahwa sastra dapat dijadikan sebagai media katarsis atau pembersih jiwa bagi penulis maupun pembacanya. Bagi pembaca, setelah membaca karya sastra perasaan dan pikirannya terasa terbuka karena telah mendapatkan hiburan dan ilmu (tontonan dan tuntunan). Begitu juga bagi penulis, setelah menghasilkan karya sastra, jiwanya mengalami perbersihan, lapang, terbuka, karena telah berhasil mengekspresikan semua yang membebani perasaan dan pikirannya. Menurut Supriyadi (2006:4-10), karya sastra kaitannya dengan perkembangan karakter anak secara garis besarnya memiliki dua manfaat, yaitu (1) manfaat bagi kepribadian anak, yang meliputi: kesenangan, pemahaman terhadap prilaku manusia, dan sebagai pengalaman yang universal; (2) manfaat bagi pendidikan anak, mengembangan keterampilan menulis, mengembangkan kemampuan lintas kurikulum, dan mengenalkan warisan budaya. Kita ambil contoh karya sastra daerah berupa cerita rakyat “Bawang Merah Bawang Putih”, karya sastra yang mengandung nilai pendidikan tentang kemanusiaan. Cerita binatang “Pelanduk Jenaka” mengandung nilai pendidikan tentang harga diri, sikap kritis, dan protes sosial. Juga bentuk-bentuk karya sastra yang lain seperti bentuk puisi (pepatah, pantun, dan bidal), penuh dengan nilai-nilai pendidikan, baik agama maupun sosial. 4. Bagaimanakah Menumbuhkan Nilai-nilai Pendidikan Karakter pada Anak melalui Karya Sastra Daerah? Karya sastra, termasuk karya sastra daerah diyakini dapat membantu proses pembentukan karakter anak. Karena di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai positif, yang meliputi nilai-nilai budaya, sosial, moral, kemanusiaan, hingga agama. Karena potensi nilainya itu, kaum romantik meyakini bahwa karya sastra mengandung pesan kebenaran 5 yang hampir setara dengan kitab suci. Setidaknya, filosof Aristoteles menyejajarkan sastra dengan filsafat (konsep tentang kebijaksanaan hidup). Bahkan beliau mengganggap sastra lebih filosofis dibandingkan sejarah. Mengapa? Sejarah hanya mencatat kejadian atau peristiwa terpenting yang kasat mata dan berpusat pada kekuasaan. Sedangkan sastra dapat mengungkap hal-hal yang tersembunyi di balik peristiwa, termasuk tersembunyi di dalam batin manusia (para pelaku sejarah), juga bahkan dapat “meramal” apa yang bakal terjadi di masa depan. Simak “ramalan” sekaligus peringatan tentang zaman edan dalam “Serat Kalathida” karya Ranggawasita, terjemahan bebasnya sebagai berikut: Hidup di zaman edan Gelap jiwa bingung pikiran Turut edan hati tak tahan Jika tak turut Batin merana dan penasaran Tertindas dan kelaparan Tapi janji Tuhan sudah pasti Seuntung apapun orang yang lupa daratan Lebih selamat orang yang menjaga kesadaran Lain halnya dengan kaum pragmatik, berkaitan dengan potensi karya sastra, mereka memandang karya sastra dari sisi manfaat non-literernya. Mereka meyakini bahwa karya sastra memiliki potensi untuk menjadi sumber nilai ataupun inspirasi untuk meningkatkan kecendekiaan kaum pelajar. Sifat komunikasinya yang langsung menyentuh perasaan dan pikiran tiap individu yang menikmatinya, membuat karya sastra memiliki daya sugestif yang cukup kuat untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan pembacanya. Dengan begitu, karya sastra tidak sekadar mampu merefleksikan realitas diri (batin) pengarang dan masyarakatnya, tapi juga dapat menjadi salah satu sumber inspirasi, pencerahan, sekaligus agen perubahan sosial. Dewasa ini, ketika kita seperti kehilangan harapan pada para elit politik dan para pemimpin bangsa (para penguasa), maka harapan kita tinggal bergantung pada para pemilik masa depan bangsa, yaitu anak. Karena itu, membangun karakter anak sejak dini menjadi tanggung jawab kita bersama (keluarga, sekolah, dan masyarakat). Keluarga merupakan bagian dari sebuah masyarakat kecil yang besar pengaruhnya dalam pendidikan anak dari berbagai segi. Keluargalah yang menyiapkan potensi pertumbuhan dan pembentukan kepribadian anak. Ayah dan Ibu adalah teladan pertama bagi pembentukan pribadi anak. Keyakinan-keyakinan, pemikiran dan prilaku ayah dan ibu 6 dengan sendirinya memiliki pengaruh yang mendalam terhadap pola pikir dan prilaku anak. Karena kepribadian manusia muncul berupa lukisan-lukisan pada berbagai ragam situasi dan kondisi dalam lingkungan keluarga. Sekolah, juga mempunyai tanggung jawab yang tidak hanya membentuk anaknya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi dalam jati dirinya juga atau karakter kepribadiannya. Pembentukan pendidikan karakter dan watak melalui sekolah, tidak dapat dilakukan seolah-olah melalui pengetahuan pembelajaran, akan tetapi melalui pendidikan dan penanaman nilai-nilai. Secara luas, kajian-kajian yang menyangkut nilai biasanya mencakup dua bidang pokok, yaitu etika dan estetika “budi pekerti, akhlak, dan moral”. Etika mengacu pada hal-hal tentang justifikasi terhadap tingkah laku yang berlaku di masyarakat. Sedangkan estetika mengacu pada hal-hal yang dipandang manusia sebagai keindahan, yang mereka senangi yang menacu pada tindakan yang benar dan yang salah. Semua itu dapat tergambar dalam karya sastra. Sekarang tinggal tergantung pada sikap guru, peran guru, kualifikasi guru, dan lingkungan yang mendukung. Lingkungan masyarakat, merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi kepribadian manusia. Secara sosiologi lingkungan budaya merupakan hasil lingkungan sosial. Lingkungan budaya identik dengan nilai-nilai. Nilai merupakan pandangan baik dan buruk mengenai sesuatu. Nilai-nilai biasanya terbentuk dari hasil pengalaman berinteraksi. Selanjutnya bagaimana menumbuhkan nilai-nilai karakter pada anak melalui karya sastra? Sebagai wujud untuk menyampaikan atau menginjeksikan nilai-nilai karakter dalam sastra kepada anak dapat melalui bentuk-bentuk karya sastra sebagai berikut: a. Cerpen Menumbuhkan nilai-nilai karakter pada anak dapat menggunakan perbandingan melalui cerita pendek berdasarkan kehidupan atau kejadian-kejadian yang biasa dialami anak. Bisa juga menggunakan cerita kisah hidup orang-orang besar untuk memunculkan nilai-nilai karakter. Dengan kisah nyata yang dialami orang-orang besar dan terkenal dapat menjadikan anak terpikat dan mengidolakan serta pastinya ingin menjasi seperti yang diidolakan. b. Puisi (Lagu) Sebagaimana kita ketahui, musik/lagu dapat memberikan efek yang mendalam bagi pendengarnya. Bahkan konon hasil penelitian mengatakan bahwa bayi dalam kandungan pun dapat dipengaruhi melalui lagu yang diputar dekat perut ibunya. Atas dasar inilah, kita 7 dapat menggunakan lagu-lagu atau musik (musikalisasi puisi) untuk mengintegrasikan nilainilai karakter pada diri anak. c. Drama Kita bisa juga menggunakan drama sebagai media untuk melukiskan kejadiankejadian yang berisikan nilai-nilai karakter. Sehingga secara audio visual serta aplikasi langsung (pementasan drama) menjadikan anak lebih mudah untuk memahami dan menyerap nilai-nilai karakter tersebut. Selain itu, tugas-tugas yang bisa dikerjakan di rumah dapat mengambil contoh tentang apa yang dilihat peserta didik di televisi kemudian pendidik akan menjelaskan sekaligus meluruskan nilai-nilai apa saja yang ada dalam film di televisi tersebut. Ini akan lebih menggoreskan nilai-nilai pendidikan karakter yang didapat di benak peserta didik. d. Novel Novel banyak memberikan kisah-kisah yang mampu menjadikan pembacanya berimajinasi dan masuk dalam cerita novel tersebut. Banyak penikmat novel yang terpengaruh dengan isi yang ada dalam novel, baik itu gaya berbicara, busana bahkan perilaku tentunya setelah membaca dan memahaminya. Hal ini sangat baik apabila kita mampu memasukkan pendidikan karakter untuk bisa mempengaruhi kepribadian peserta didiknya. e. Pantun Anak diajak latihan membaca, memahami, dan membuat pantun-pantun nasihat untuk memunculkan berbagai nilai-nilai karakter yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Nasihat-nasihat tersebut akan menggores dalam ingatannya dan akan diaplikasikannya karena nasihat itu berasal dari dirinya sendiri untuk teman-temannya. f. Cerita Lisan Penggunaan sastra lisan dalam hal ini cerita rakyat merupakan sarana yang baik untuk memberikan contoh nilai-nilai kepada peserta didik. Apalagi cerita yang disampaikan adalah cerita rakyat dari daerah peserta didik sendiri. PENUTUP Anak adalah generasi muda, generasi penerus yang akan menjadi pemilik masa depan bangsa. Akan seperti apa wajah bangsa ini di masa depan, sangat tergantung pada bagaimana kita membentuk karakter anak sejak dini. 8 Karakter atau watak seseorang, selain merupakan bawaan dari lahir (genetik), juga dapat terbentuk oleh pendidikan, baik pendidikan dari dalam keluarga maupun pendidikan di sekolah, serta pengaruh nilai-nilai yang beredar dalam masyarakat dan lingkungan di mana anak tinggal. Media yang dapat digunakan untuk membangun karakter anak bangsa salah satunya adalah karya sastra. Karya sastra merupakan media yang cukup efektif untuk pembentukan karakter anak bangsa. Hal ini disebabkan bahwa sastra mampu mengungkap fakta-fakta historis, nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran, kehalusan budi serta mengasah emosi, nilai-nilai spiritualitas serta moralitas kehidupan. Melalui karya sastra karakter anak akan terasah secara pelan karena ia harus mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain (tokoh) cerita. Di sinilah letak energi positif yang mampu ditransfer oleh sastra kepada pembaca. Ketika pembaca mengiyakan, maka akan terjadi proses transformasi value added secara sosiologis maupun psikologis. DAFTAR PUSTAKA Adisusilo, Sutarjo. 2013. Pembelajaran Nilai-Karakter: Konstruktivisme dan VCT sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: Rajawali Pers. Danandjaja, James. 2002. Folklore Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Didipu, Herman. 2010. Sastra Daerah (Konsep Dasar, Penelitian, dan Pengkajiannya). Gorontalo: UNG. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Prees Kementrian Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum. 2011. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Pedoman Sekolah. Jakarta: Depdiknas. Rafiek, Muhamad. 2012. Teori Sastra, Kajian Teori dan Praktek. Bandung: Refika Aditama. Supriyadi. 2006. Pembelajaran Sastra yang Apresiatif dan Integratif di Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas Ditjen Dikti. Zuchdi, Darmiyati. 2008. Humanisasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Zulhan, Najib. 2010. Pendidikan Berbasis Karakter. Surabaya: JePe Press Media Utama 9