1 MENUMBUHKAN NILAI- NILAI KARAKTER PADA ANAK

advertisement
MENUMBUHKAN NILAI- NILAI KARAKTER PADA ANAK
MELALUI KARYA SASTRA DAERAH
Oleh
TRI ASTUTI
Dosen PNSD dpk pada STKIP-PGRI Lubuklinggau
Program Studi Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penanaman nilai-nilai karakter pada anak merupakan hal yang sangat penting dan mendasar,
terlebih diera degradasi moral saat ini. Karakter adalah mustika hidup, yang dapat
membedakan manusia dari binatang. Anak yang berkarakter kuat dan baik adalah mereka
yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti baik. Karakter sama halnya dengan
kepribadian, yang akan melekat kuat pada diri seseorang dan akan menumbuhkan kesadaran
untuk bertindak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Orang tua,
masyarakat, dan sekolah memiliki peranan yang sangat penting dalam hal ini. Bagaimana
caranya? Salah satu upayanya adalah melalui karya sastra. Sebagaimana dikatakan bahwa
karya sastra disebut juga sebagai media katarsis dalam pendidikan karakter. Karya sastra
merupakan cerminan situasi, kondisi, dan tatakrama masyarakat pendukungnya. Karya
sastra tidak lepas dari dinamika masyarakat daerah dimana sastra itu dibuat. Para pengarang
karya sastra, berusaha menyatakan dan mengungkapkan nilai-nilai kehidupan, nilai moral,
dan adat-istiadat yang mendasari kehidupam masyarakatnya. Seperti halnya karya-karya
sastra daerah kita. Beberapa contoh nilai-nilai yang umumnya terdapat dalam sastra daerah
adalah nilai relegius, kejujuran, tanggung jawab, kerja sama, toleransi, disiplin, mandiri,
tegas dan santun, kerja keras, demokrasi, percaya pada kemampuan sendiri, saling
menghargai, dan lain-lain. Nilai-nilai ini mendukung apa yang disampaikan dalam ketentuan
nilai pendidikan karakter yang dicanangkan oleh kementrian Pendidikan Nasional Kita.
Kata Kunci: nilai-nilai karakter, karya sastra daerah
PENDAHULUAN
Kondisi bangsa kita saat ini sangat memprihatinkan. Media massa (cetak maupun
elektronik)
banyak
memberitakan
tentang
banyaknya
perkelahian,
pembunuhan,
perampokan, korupsi, penipuan, fitnah, dan sekarang yang sedang merebak adalah pelecehan
seksual anak di bawah umur akibat pengaruh narkoba.
Sebagai bangsa yang beradab
dan berbudaya, situasi semacam ini jelas membahayakan masa depan bangsa, khususnya
dalam melahirkan generasi masa depan yang cerdas, baik secara intelektual, emosional,
spiritual, maupun sosial. Berpijak dari keprihatihan terhadap kondisi semacam ini, beberapa
upaya pengkajian melalui penelitian dan pertemuan ilmiah telah banyak diselenggarakan,
baik oleh instansi pemerintah maupun swasta. Ujungnya, bermuara pada persamaan persepsi
terhadap pentingnya pendidikan untuk menumbuhkan nilai-nilai karakter pada anak.
1
Pendidikan karakter di negeri ini memang telah lama hilang. Pendidikan Agama dan
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) misalnya, yang seharusnya bisa menjadi katalisator
atau penyaring untuk membendung arus degradasi nilai-nilai moral, dinilai telah berubah
menjadi mata pelajaran berbasis indoktrinasi yang hanya semata mengajarkan dan
mencekoki nilai baik dan buruk saja, tanpa diimbangi dengan pola pembiasaan secara
intensif yang bisa memicu anak untuk berprilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai
luhur.
Penanaman nilai-nilai luhur atau nilai-nilai karakter pada anak merupakan hal yang
sangat penting dan mendasar. Karakter adalah mustika hidup, yang dapat membedakan
manusia dari binatang. Anak yang berkarakter kuat dan baik adalah mereka yang memiliki
akhlak, moral, dan budi pekerti baik. Karakter sama halnya dengan kepribadian, yang akan
melekat kuat pada diri seseorang dan akan menumbuhkan kesadaran untuk bertindak sesuai
dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Orang tua, masyarakat, dan sekolah
memiliki peranan yang sangat penting dalam hal ini. Bagaimana caranya? Salah satu
upayanya adalah melalui karya sastra, khususnya karya sastra daerah.
Karya sastra merupakan cerminan situasi, kondisi, dan tatakrama
masyarakat
pendukungnya. Karya sastra tidak lepas dari dinamika masyarakat daerah dimana sastra itu
dibuat. Para pengarang karya sastra, berusaha menyatakan dan mengungkapkan nilai-nilai
kehidupan, nilai moral, dan adat-istiadat yang mendasari kehidupam masyarakatnya. Seperti
halnya karya-karya sastra daerah kita. Beberapa contoh nilai-nilai yang umumnya terdapat
dalam sastra daerah adalah nilai relegius, kejujuran, tanggung jawab, kerja sama, toleransi,
disiplin, mandiri, tegas dan santun, kerja keras, demokrasi, percaya pada kemampuan
sendiri, saling menghargai, dan lain-lain. Sekarang timbul pertanyaan “Bagaimanakan
menanamkan nilai-nilai karakter pada anak melalui karya sastra daerah?
PEMBAHASAN
1. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
Berbicara masalah karakter, perlu kita simak apa yang ada dalam UU Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 disebutkan “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa ....” Dalam UU ini
jelas ada kata “karakter”, sekalipun tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang batasan yang
dimaksud dengan karakter itu sendiri.
2
Ada beberapa pendapat tentang konsep karakter atau ada yang menyebutnya dengan
watak dan akhlak. Bila dilihat dari etimologi bahasa, karakter atau watak berasal dari
bahasa Yunani “charassein” yang berarti barang atau alat untuk menggores, yang di
kemudian hari dipahami sebagai stempel/cap. Jadi, watak itu sebuah stempel atau cap, sifatsifat yang melekat pada seseorang (Dumadi dalam Adisusilo, 2013: 76).
Ahli pendidikan nilai Zuchdi (2008:39), memaknai watak atau karakter sebagai
perangkat sifat-sifat yang selalu dikagumi sebagai tanda-tanda kebaikan, kebijakan, dan
kematangan moral seseorang. Foerster (dalam Adisusilo, 2012: 77) mengemukakan karakter
adalah sesuatu yang mengualifikasi seseorang pribadi. Karakter menjadi identitas, menjadi
ciri, menjadi sifat yang tetap, yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah.
Jadi, karakter adalah seperangkat nilai yang telah menjadi kebiasaan hidup, sehingga
menjadi sifat tetap dalam diri seseorang.
Karakter sebagai akhlak, sehingga dalam pandangan agama, ada yang disebut
akhlakul karimah (akhlak mulia) dan akhlakul madmumah (akhlak tercela). Dalam akhlakul
karimah tercakup 22 sifat terpuji, yaitu 1) sederhana, 2) rendah hati, 3) giat bekerja, 4) jujur,
5) menepati janji, 6) terpercaya, 7) konsisten/istiqomah, 8) berkemauan keras, 9) suka
berterima kasih, 10) satria, 11) tabah, 12) lemah lembut, 13) ramah dan simpatik, 14) malu,
15) bersaudara, 16) belas kasih, 17) suka menolong, 18) menjaga kehormatan, 19) menjauhi
syubhat, 20) pasrah kepada Allah, 21) berkorban untuk orang lain, 22) penyayang.
Sementara lawan dari sifat-sifat terpuji tersebut termasuk akhlakul madmumah, seperti
boros, sombong, malas, munafik, dan lain-lain. Zulhan (2010:2-5) membedakan karakter
menjadi dua, yaitu karakter positif baik (sehat) dan karakter buruk (tidak sehat).
Karakter seseorang yang baik dapat dibentuk atau dapat dikembangkan melalui
pendidikan nilai. Pendidikan nilai akan membawa pada pengetahuan tentang nilai kebaikan
(knowing the good), pengetahuan nilai akan membawa pada proses internalisasi nilai yang
akan menumbuhkan perasaan senang atau cinta terhadap kebaikan (feeling the good), dan
proses internalisasi nilai akan mendorong seseorang untuk mewujudkannya dalam tingkah
laku (acting the good), sehingga pada akhirnya pengulangan tingkah laku yang sama akan
menghasilkan watak atau karakter seseorang.
Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional (2011: 10) merumuskan 18 nilai
karakter yang perlu dikembangkan dan bersumber dari nilai agama, Pancasila, budaya, dan
tujuan Pendidikan Nasional, yaitu: 1) relegius, 2) jujur, 3) toleransi, 4) disiplin, 5) kerja
3
keras, 6) kreatif, 7) mandiri, 8) demokrasi, 9) rasa ingin tahu, 10) semangat kebangsaan, 11)
cinta tanah air, 12) menghargai prestasi, 13) bersahabat/komunikatif, 14) cinta damai, 15)
gemar membaca, 16) peduli lingkungan, 17) peduli sosial, dan 18) tanggung jawab.
2. Karya Sastra Daerah
Ketika mendengar sastra derah, setiap orang akan berfikir bahwa sastra daerah
merupakan jenis sastra yang ditulis dalam bahasa daerah. Hal itu tidaklah salah. Ini sejalan
dengan pendapat Zaidan, dkk (dalam Didipu, 2010: 1) yang mengatakan bahwa sastra
daerah adalah gendre sastra yang ditulis dalam bahasa daerah bertema universal. Namun,
dalam perkembangan selanjutnya untuk keperluan pengenalan dan penyebarluasan sastra
daerah, maka sastra daerah sudah banyak yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Contohnya kita kenal ada “Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara”.
Sastra daerah umumnya dikenal sebagai sastra lisan, karena penyebarannya
kebanyakan dari mulut ke mulut. Berdasarkan bentuknya, sastra daerah dibedakan menjadi
dua, yaitu sastra daerah tertulis dan sastra daerah lisan. Sastra daerah tulisan hadir dalam
bentuk naskah-nskah tua dan sering dikaji secara filologi. Sementara sastra daerah lisan atau
sering dikenal dengan sastra lisan seperti yang diungkapkan di atas, merupakan karya yang
penyebarannya melalui mulut kemulut secara turun temurun (Endraswara, 2008: 151).
Lebih lanjut Endaswara (2006:151) mengemukakan ciri-ciri sastra lisan, yaitu: 1)
lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, bersifat tradisional, 2)
menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, tak jelas penciptanya, 3) menekankan aspek
khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik, 4) melukiskan tradisi kolektif ternetu,
5) diungkapkan dengan kata-kata atau ungkapan klise, 6) sering bersifat menggurui.
Sastra lisan, ada yang menyebutnya juga sebagai tradisi lisan merupakan bagian dari
folklor dan folklor adalah bagian dari kebudayaan. Bila dibandingkan cakupannya, folklor
lebih luas dari tradisi lisan atau sastra lisan. Menurut Danandjaja (2002: 5), tradisi lisan atau
sastra lisan hanya mencakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, dan nyanyian rakyat.
Sedangkan folklor mencakup lebih dari itu, seperti tarian rakyat dan arsitektur rakyat.
Menurut Hutomo (dalam Rafiek, 2012: 54), menjelaskan bahwa bahan sastra lisan
dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: 1) bahan yang bercorak cerita, seperti: a) cerita-cerita
biasa, b) mitos, c) legenda, d) epik, e) cerita tutur, f) memori; 2) Bahan yang bercorak bukan
cerita, seperti: a) ungkapan, b) nyayian, c) peribahasa, d) teka-teki, e) puisi lama, f) nyayian
4
sedih pemakaman, g) undang-undang atau peraturan adat; 3) bahan yang bercorak tingkah
laku, seperti : a) drama panggung, dan b) drama arena.
3. Relevansi Karya Sastra (Daerah) dengan Nilai-nilai Karakter
Karya sastra (daerah) sebagai hasil proses kreativitas pengarang keberadaannya
memang tidak dapat dilepaskan dari realitas kehidupan masyarakat dimana sastra dibuat.
Sastra hadir tidak hanya menyajikan hiburan semata, namun dapat memberikan pencerahan
kepada pembaca atau penikmatnya tentang berbagai nilai-nilai kehidupan lengkap dengan
dinamikanya. Sebagaimana fungsi utile sastra, yaitu memberikan kegunaan kepada pembaca
atau penikmatnya.
Aristoteles seorang filsuf dan ahli sastra mengemukakan bahwa sastra dapat
dijadikan sebagai media katarsis atau pembersih jiwa bagi penulis maupun pembacanya.
Bagi pembaca, setelah membaca karya sastra perasaan dan pikirannya terasa terbuka karena
telah mendapatkan hiburan dan ilmu (tontonan dan tuntunan). Begitu juga bagi penulis,
setelah menghasilkan karya sastra, jiwanya mengalami perbersihan, lapang, terbuka, karena
telah berhasil mengekspresikan semua yang membebani perasaan dan pikirannya.
Menurut Supriyadi (2006:4-10), karya sastra kaitannya dengan perkembangan
karakter anak secara garis besarnya memiliki dua manfaat, yaitu (1) manfaat bagi
kepribadian anak, yang meliputi: kesenangan, pemahaman terhadap prilaku manusia, dan
sebagai pengalaman yang universal; (2) manfaat bagi pendidikan anak, mengembangan
keterampilan menulis, mengembangkan kemampuan lintas kurikulum, dan mengenalkan
warisan budaya.
Kita ambil contoh karya sastra daerah berupa cerita rakyat “Bawang Merah Bawang
Putih”, karya sastra yang mengandung nilai pendidikan tentang kemanusiaan. Cerita
binatang “Pelanduk Jenaka” mengandung nilai pendidikan tentang harga diri, sikap kritis,
dan protes sosial. Juga bentuk-bentuk karya sastra yang lain seperti bentuk puisi (pepatah,
pantun, dan bidal), penuh dengan nilai-nilai pendidikan, baik agama maupun sosial.
4. Bagaimanakah Menumbuhkan Nilai-nilai Pendidikan Karakter pada Anak melalui
Karya Sastra Daerah?
Karya sastra, termasuk karya sastra daerah diyakini dapat membantu proses
pembentukan karakter anak. Karena di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai positif,
yang meliputi nilai-nilai budaya, sosial, moral, kemanusiaan, hingga agama. Karena potensi
nilainya itu, kaum romantik meyakini bahwa karya sastra mengandung pesan kebenaran
5
yang hampir setara dengan kitab suci. Setidaknya, filosof Aristoteles menyejajarkan sastra
dengan filsafat (konsep tentang kebijaksanaan hidup). Bahkan beliau mengganggap sastra
lebih filosofis dibandingkan sejarah. Mengapa?
Sejarah hanya mencatat kejadian atau peristiwa terpenting yang kasat mata dan
berpusat pada kekuasaan. Sedangkan sastra dapat mengungkap hal-hal yang tersembunyi di
balik peristiwa, termasuk tersembunyi di dalam batin manusia (para pelaku sejarah), juga
bahkan dapat “meramal” apa yang bakal terjadi di masa depan. Simak “ramalan” sekaligus
peringatan tentang zaman edan dalam “Serat Kalathida” karya Ranggawasita, terjemahan
bebasnya sebagai berikut:
Hidup di zaman edan
Gelap jiwa bingung pikiran
Turut edan hati tak tahan
Jika tak turut
Batin merana dan penasaran
Tertindas dan kelaparan
Tapi janji Tuhan sudah pasti
Seuntung apapun orang yang lupa daratan
Lebih selamat orang yang menjaga kesadaran
Lain halnya dengan kaum pragmatik, berkaitan dengan potensi karya sastra, mereka
memandang karya sastra dari sisi manfaat non-literernya. Mereka meyakini bahwa karya
sastra memiliki potensi untuk menjadi sumber nilai ataupun inspirasi untuk meningkatkan
kecendekiaan kaum pelajar. Sifat komunikasinya yang langsung menyentuh perasaan dan
pikiran tiap individu yang menikmatinya, membuat karya sastra memiliki daya sugestif yang
cukup kuat untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan pembacanya. Dengan begitu, karya
sastra tidak sekadar mampu merefleksikan realitas diri (batin) pengarang dan
masyarakatnya, tapi juga dapat menjadi salah satu sumber inspirasi, pencerahan, sekaligus
agen perubahan sosial.
Dewasa ini, ketika kita seperti kehilangan harapan pada para elit politik dan para
pemimpin bangsa (para penguasa), maka harapan kita tinggal bergantung pada para pemilik
masa depan bangsa, yaitu anak. Karena itu, membangun karakter anak sejak dini menjadi
tanggung jawab kita bersama (keluarga, sekolah, dan masyarakat).
Keluarga merupakan bagian dari sebuah masyarakat kecil yang besar pengaruhnya
dalam pendidikan anak dari berbagai segi. Keluargalah yang menyiapkan potensi
pertumbuhan dan pembentukan kepribadian anak. Ayah dan Ibu adalah teladan pertama bagi
pembentukan pribadi anak. Keyakinan-keyakinan, pemikiran dan prilaku ayah dan ibu
6
dengan sendirinya memiliki pengaruh yang mendalam terhadap pola pikir dan prilaku anak.
Karena kepribadian manusia muncul berupa lukisan-lukisan pada berbagai ragam situasi dan
kondisi dalam lingkungan keluarga.
Sekolah, juga mempunyai tanggung jawab yang tidak hanya membentuk anaknya
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi dalam jati dirinya juga atau karakter
kepribadiannya. Pembentukan pendidikan karakter dan watak melalui sekolah, tidak dapat
dilakukan seolah-olah melalui pengetahuan pembelajaran, akan tetapi melalui pendidikan
dan penanaman nilai-nilai. Secara luas, kajian-kajian yang menyangkut nilai biasanya
mencakup dua bidang pokok, yaitu etika dan estetika “budi pekerti, akhlak, dan moral”.
Etika mengacu pada hal-hal tentang justifikasi terhadap tingkah laku yang berlaku di
masyarakat. Sedangkan estetika mengacu pada hal-hal yang dipandang manusia sebagai
keindahan, yang mereka senangi yang menacu pada tindakan yang benar dan yang salah.
Semua itu dapat tergambar dalam karya sastra. Sekarang tinggal tergantung pada sikap guru,
peran guru, kualifikasi guru, dan lingkungan yang mendukung.
Lingkungan
masyarakat,
merupakan
faktor
eksternal
yang
mempengaruhi
kepribadian manusia. Secara sosiologi lingkungan budaya merupakan hasil lingkungan
sosial. Lingkungan budaya identik dengan nilai-nilai. Nilai merupakan pandangan baik dan
buruk mengenai sesuatu. Nilai-nilai biasanya terbentuk dari hasil pengalaman berinteraksi.
Selanjutnya bagaimana menumbuhkan nilai-nilai karakter pada anak melalui karya
sastra? Sebagai wujud untuk menyampaikan atau menginjeksikan nilai-nilai karakter dalam
sastra kepada anak dapat melalui bentuk-bentuk karya sastra sebagai berikut:
a. Cerpen
Menumbuhkan nilai-nilai karakter pada anak dapat menggunakan perbandingan
melalui cerita pendek berdasarkan kehidupan atau kejadian-kejadian yang biasa dialami
anak. Bisa juga menggunakan cerita kisah hidup orang-orang besar untuk memunculkan
nilai-nilai karakter. Dengan kisah nyata yang dialami orang-orang besar dan terkenal dapat
menjadikan anak terpikat dan mengidolakan serta pastinya ingin menjasi seperti yang
diidolakan.
b. Puisi (Lagu)
Sebagaimana kita ketahui, musik/lagu dapat memberikan efek yang mendalam bagi
pendengarnya. Bahkan konon hasil penelitian mengatakan bahwa bayi dalam kandungan
pun dapat dipengaruhi melalui lagu yang diputar dekat perut ibunya. Atas dasar inilah, kita
7
dapat menggunakan lagu-lagu atau musik (musikalisasi puisi) untuk mengintegrasikan nilainilai karakter pada diri anak.
c. Drama
Kita bisa juga menggunakan drama sebagai media untuk melukiskan kejadiankejadian yang berisikan nilai-nilai karakter. Sehingga secara audio visual serta aplikasi
langsung (pementasan drama) menjadikan anak
lebih mudah untuk memahami dan
menyerap nilai-nilai karakter tersebut. Selain itu, tugas-tugas yang bisa dikerjakan di rumah
dapat mengambil contoh tentang apa yang dilihat peserta didik di televisi kemudian pendidik
akan menjelaskan sekaligus meluruskan nilai-nilai apa saja yang ada dalam film di televisi
tersebut. Ini akan lebih menggoreskan nilai-nilai pendidikan karakter yang didapat di benak
peserta didik.
d. Novel
Novel banyak memberikan kisah-kisah yang mampu menjadikan pembacanya
berimajinasi dan masuk dalam cerita novel tersebut. Banyak penikmat novel yang
terpengaruh dengan isi yang ada dalam novel, baik itu gaya berbicara, busana bahkan
perilaku tentunya setelah membaca dan memahaminya. Hal ini sangat baik apabila kita
mampu memasukkan pendidikan karakter untuk bisa mempengaruhi kepribadian
peserta didiknya.
e. Pantun
Anak diajak latihan membaca, memahami, dan membuat pantun-pantun nasihat
untuk memunculkan berbagai nilai-nilai karakter yang berkaitan dengan kehidupan mereka.
Nasihat-nasihat tersebut akan menggores dalam ingatannya dan akan diaplikasikannya
karena nasihat itu berasal dari dirinya sendiri untuk teman-temannya.
f. Cerita Lisan
Penggunaan sastra lisan dalam hal ini cerita rakyat merupakan sarana yang baik
untuk memberikan contoh nilai-nilai kepada peserta didik. Apalagi cerita yang disampaikan
adalah cerita rakyat dari daerah peserta didik sendiri.
PENUTUP
Anak adalah generasi muda, generasi penerus yang akan menjadi pemilik masa
depan bangsa. Akan seperti apa wajah bangsa ini di masa depan, sangat tergantung pada
bagaimana kita membentuk karakter anak sejak dini.
8
Karakter atau watak seseorang, selain merupakan bawaan dari lahir (genetik), juga
dapat terbentuk oleh pendidikan, baik pendidikan dari dalam keluarga maupun pendidikan di
sekolah, serta pengaruh nilai-nilai yang beredar dalam masyarakat dan lingkungan di mana
anak tinggal. Media yang dapat digunakan untuk membangun karakter anak bangsa salah
satunya adalah karya sastra.
Karya sastra merupakan media yang cukup efektif untuk pembentukan karakter anak
bangsa. Hal ini disebabkan bahwa sastra mampu mengungkap fakta-fakta historis, nilai-nilai
kemanusiaan, keluhuran, kehalusan budi serta mengasah emosi, nilai-nilai spiritualitas serta
moralitas kehidupan. Melalui karya sastra karakter anak akan terasah secara pelan karena ia
harus mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain (tokoh) cerita. Di sinilah letak energi
positif yang mampu ditransfer oleh sastra kepada pembaca. Ketika pembaca mengiyakan,
maka akan terjadi proses transformasi value added secara sosiologis maupun psikologis.
DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo, Sutarjo. 2013. Pembelajaran Nilai-Karakter: Konstruktivisme dan VCT sebagai
Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: Rajawali Pers.
Danandjaja, James. 2002. Folklore Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
Didipu, Herman. 2010. Sastra Daerah (Konsep Dasar, Penelitian, dan Pengkajiannya).
Gorontalo: UNG.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Prees
Kementrian Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum.
2011. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Pedoman Sekolah.
Jakarta: Depdiknas.
Rafiek, Muhamad. 2012. Teori Sastra, Kajian Teori dan Praktek. Bandung: Refika Aditama.
Supriyadi. 2006. Pembelajaran Sastra yang Apresiatif dan Integratif di Sekolah Dasar.
Jakarta: Depdiknas Ditjen Dikti.
Zuchdi, Darmiyati. 2008. Humanisasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Zulhan, Najib. 2010. Pendidikan Berbasis Karakter. Surabaya: JePe Press Media Utama
9
Download