BAB I PENDAHULUAN Sindrom klinis gagal jantung mengakibatkan penurunan kualitas hidup, intoleransi terhadap aktivitas, seringnya keluar masuk rumah sakit, dan peningkatan angka mortalitas. Semua itu adalah persoalan yang penting bagi pasien gagal jantung. Pengobatan yang ideal untuk gagal jantung harus dapat memberikan solusi untuk persoalan tersebut. Saat ini muncul disosiasi antara efek farmakologis jangka pendek dan jangka panjang. Misalnya, baik enoximone dan milrinone dapat memperbaiki gejala jangka pendek, namun mengakibatkan peningkatan angka mortalitas karena kemungkinan terjadinya aritmia. Akibat disosiasi ini dan dominasi pengobatan terkait angka survival, studi efek obat terhadap penurunan gejala, kualitas hidup, dan aktivitas sangat sedikit. Namun, perbaikan gejala, peningkatan kualitas hidup, dan kemampuan untuk beraktivitas menjadi prioritas yang lebih utama dibandingkan survival pada pasien gagal jantung terutama usia lanjut. ACE inhibitor merupakan contoh obat yang baik dalam mengkontribusi perbedaan tersebut. ACE inhibitor terbukti meningkatkan angka survival dan juga meningkatkan kemampuan beraktivitas1. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gagal jantung 1. Definisi Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis dimana jantung gagal mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian cukup. Gagal jantung merupakan suatu sindrom dimana disfungsi jantung berhubungan dengan penurunan toleransi latihan, insidensi aritmia yang tinggi, dan penurunan harapan hidup2. 2. Etiologi Gagal jantung paling sering disebabkan oleh gagal kontraktilitas miokard, seperti yang terjadi pada infark miokard, hipertensi lama, atau kardiomiopati. Namun, pada kondisi tertentu, bahkan miokard dengan kontraktilitas yang baik tidak dapat memenuhi kebutuhan darah sistemik ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Kondisi ini disebabkan misalnya masalah mekanik seperti regurgitasi katub berat, dan lebih jarang, fistula arteriovena, defisiensi tiamin (beri-beri), dan anemia berat. Keadaan curah jantung yang tinggi ini sendiri dapat menyebabkan gagal jantung, tetapi bila tidak terlalu berat dapat mempresipitasi gagal jantung pada orang-orang dengan penyakit jantung dasar2. 3. Patofisiologi Bila terjadi gangguan kontraktilitas miokard primer atau beban hemodinamik berlebih diberikan kepada ventrikel normal, jantung akan mengadakan sejumlah mekanisme adaptasi untuk mempertahankan curah jantung dan tekanan darah2. a. Mekanisme Adaptif Mekanisme adaptif meliputi hipertrofi miokard, neurohormonal, aktivasi sistem renin-angiotensin aldosteron, aktivasi sitem saraf simpatik, peptida natriuretik, anti diuretik hormon dan endotelin, dan mekanisme Frank-Starling2. Hipertrofi miokard meningkatkan massa elemen kontraktil dan memperbaiki kontraksi sistolik, namun juga meningkatkan kekakuan dinding ventrikel, menurunkan pengisian ventrikel dan fungsi diastolik2. Penurunan perfusi ginjal menyebabkan stimulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) yang menyebabkan peningkatan kadar renin, angiotensin II plasma, dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat pada arteriol eferen (dan sistemik) ginjal, yang menstimulasi pelepasan norepinefrin (noradrenalin) dari ujung saraf simpatik, menghambat tonus vagal, dan membantu pelepasan aldosteron dari adrenal, menyebabkan retensi natrium dan air serta ekskresi kalium di ginjal. Gangguan fungsi hati pada gagal jantung dapat menurunkan metabolisme aldosteron, sehingga meningkatkan kadar aldosteron lebih lanjut2. Aktivasi sistem saraf simpatik pada gagal jantung kronis melalui baroreseptor, menghasilkan peningkatan kontraktilitas miokard pada awalnya, namun kemudian pada aktivasi sistem RAA dan neurohormonal berikutnya menyebabkan peningkatan tonus vena (preload jantung) dan arteri (afterload jantung), meningkatkan norepinefrin plasma, retensi progresif garam dan air, dan edema. Stimulasi simpatik kronis menghasilkan regulasi-turun reseptor-ß jantung, menurunkan respons jantung terhadap stimulasi. Kejadian ini bersama dengan gangguan baroreseptor, kemudian akan menyebabkan peningkatan stimulasi simpatik lebih lanjut2. Peptida natriuretik memiliki berbagai efek pada jantung, ginjal, dan system saraf pusat. Peptida natriuretik atrial (atrial natriuretic peptide/ANP) dilepaskan dari atrium jantung sebagai respons terhadap peregangan, menyebabkan natriuresis dan dilatasi. Pada manusia, peptide natriuretik otak (brain natriuretic peptide/BNP) juga dilepaskan dari jantung, terutama dari ventrikel dan dengan kerja yang serupa dengan ANP. Peptida natriuretik bekerja sebagai antagonis fisiologis terhadap efek angiotensin II pada tonus vaskular, sekresi aldosteron, dan reabsorbsi natrium ginjal2. Kadar hormon antidiuretik (vasopresin) juga meningkat, yang menyebabkan vasokonstriksi dan berperan dalam retensi air dan hiponatremia2. Endotelin merupakan peptida vasokonstriktor poten yang disekresikan oleh sel endothelial vaskular yang membantu retensi natrium di ginjal2. Konstriksi vena sistemik dan retensi natrium serta air meningkatkan tekanan atrium dan tekanan serta volume akhir diastolik ventrikel, pemanjangan sarkomer, dan kontraksi myofibril diperkuat (mekanisme Frank-Starling) 2. Dengan interaksi kompleks dari faktor-faktor yang saling mempengaruhi ini, curah jantung pada keadaan istirahat merupakan indeks fungsi jantung yang relative tidak sensitif, karena mekanisme kompensasi ini bekerja untuk mempertahankan curah jantung ketika miokard gagal, namun tipa mekanisme kompensasi ini memiliki konsekuensinya. Misalnya, konstriksi yang diinduksi katekolamin dan angiotensin akan meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan cenderung mempertahankan tekanan darah namun meningkatkan kerja jantung dan konsumsi oksigen miokard2. b. Kelainan Non Jantung Endotelium vaskular berperan penting dalam regulasi tonus vaskular, secara lokal melepaskan faktor konstriksi dan relaksasi. Peningkatan tonus vaskular perifer pada pasien dengan gagal jantung kronis disebabkan peningkatan aktivitas simpatik, aktivasi sitem RAA, dan gangguan pelepasan faktor relaksasi dari endothelium (endothelium derived relaxing factor/EDRF atau nitrat oksida). Beberapa efek tambahan dari latihan dan terapi obat tertentu (ACE inhibitor) mungkin disebabkan karena perbaikan fungsi endothelial2. c. Disfungsi Miokard Diastolik Gangguan relaksasi miokard, karena peningkatan kekakuan dinding ventrikel dan penurunan komplians, menghasilkan gangguan pengisian diastolik ventrikel. Fibrosis iskemik miokard (penyakit jantung koroner) dan left ventrikel hypertrophy/LVH (hipertensi, kardiomiopati hipertrofik) merupakan penyebab tersering, tetapi dapat juga disebabkan oleh infiltrasi miokard, misalnya amiloid. Disfungsi diastolik sering timbul bersama gagal sistolik namun juga bisa berdiri sendiri pada 20%-40% pasien gagal jantung2. d. Remodeling miokard, hibernasi, dan stunning Setelah infark miokard luas, proses remodeling terjadi dengan hipertrofi regional dari segmen non infark serta penipisan dan dilatasi daerah yang infark. Akibat dari proses remodeling terjadi perubahan bentuk dan ukuran ventrikel kiri. Hal ini paling terlihat ketika arteri koroner yang terkait infark tetap teroklusi dan tidak mengalami rekanalisasi. Bahkan setelah reperfusi yang berhasil, pemulihan miokard dapat tertunda (stunning miokard). Hal ini berlawanan dengan hibernasi miokard, yang mendiskripsikan disfungsi miokard lebih persisten saat istirahat, sekunder karena penurunan perfusi miokard, bahkan bila miosit jantung tetap viabel dan kontraktilitas membaik dengan revaskularisasi. Miokard yang mengalami stunning atau hibernasi tetap responsif terhadap stimulasi inotropik2. 4. Diagnosis Gagal Jantung Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan berdasarkan kriteria Framingham. Tabel 1. Kriteria Framingham untuk diagnosis gagal jantug kongestif Kriteria Mayor - Paroksismal nocturnal dispnea Kriteria Minor - Edema kaki bilateral - Distensi vena jugularis - Batuk malam hati - Ronkhi - Dyspnea on ordinary exertion - Kardiomegali - Hepatomegali - Edem pulmo akut - Efusi pleura - Gallop S3 - Penurunan kapasitas vital sepertiga dari nilai normal - Tekanan vena sentral > 16 cm H2O - Takikardi ( ≥ 120 kali/menit) - Waktu sirkulasi ≥ 25 detik - Refluks hepatojugular - Edem pulmo, kongesti visceral, atau kardiomegali pada otopsi - Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam 5 hari setelah mendapat pengobatan untuk gagal jantung kongestif Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor. Kriteria minor diterima jika tanda tersebut tidak terkait dengan kondisi medis lain3. Gagal jantung dapat mempengaruhi jantung kiri, jantung kanan, atau keduanya (biventrikel), namun dalam praktek jantung kiri sering terkena. Gagal jantung kanan terisolasi dapat terjadi karena embolisme paru mayor, hipertensi paru, atau stenosis pulmonal. Dengan adanya septum interventrikel, disfungsi salah satu ventrikel potensial dapat mempengaruhi fungsi yang lain. Pasien sering datang dengan campuran gejala dan tanda yang berkaitan dengan kedua ventrikel 2. Tabel 2. Gambaran klinis gagal jantung kiri Gejala - Penurunan kapasitas aktivitas Tanda - Kulit lembab - Dispnea (mengi, orthopnea, PND) - Tekanan darah (tinggi, rendah atau normal) - Batuk (hemoptisis) - Denyut nadi (volume normal atau rendah) (alternans/takikardia/aritmia) - Letargi dan kelelahan - Penurunan nafsu makan dan berat badan - Pergeseran apeks - Regurgitasi mitral fungsional - Krepitasi paru - (± efusi pleura) Tabel 3. Gambaran klinis gagal jantung kanan Gejala - Pembengkakan pergelangan kaki Tanda - Denyut nadi (aritmia takikardia) - Dispnea (namun bukan orthopnea atau - Peningkatan JVP PND) - Edema - Penurunan kapasitas aktivitas - Hepatomegali dan ascites - Nyeri dada - Gerakan bergelombang parasternal - S3 atau S4 RV - Efusi pleura Penurunan curah jantung dan penurunan perfusi organ seperti otak, ginjal, dan otot skelet, baik disebabkan oleh gagal jantung kiri atau gagal jantung kanan berat, menyebabkan gejala umum seperti kebingungan mental, rasa lelah dan cepat capek, serta penurunan toleransi aktivitas. The New York Heart Association (NYHA) telah mengklasifikasikan batasan fungsional2. Tabel 4. Klasifikasi fungsional gagal jantung (NYHA) Kelas I Klasifikasi Fungsional Gagal Jantung (NYHA) Tidak ada batasan aktivitas fisik Kelas II Sedikit batasan pada aktivitas (rasa lelah, dispnea) Kelas III Batasan aktivitas bermakna (nyaman saat istirahat namun sedikit aktivitas menyebabkan gejala) Kelas IV Gejala saat istirahat Gambar 1. Algoritma diagnosis untuk pasien dengan kecurigaancongestive heart failure (CHF) 4 B. Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) Inhibitors Pada tahun 1956 Skeggs menemukan suatu enzim yang dapat mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II yang dikenal dengan narna angiotensin-coverting enzyme (ACE). Selanjutnya oleh Cushman dan Ondetti ditemukan obat yang dapat menghambat aktifitas ACEyaitu angiotensinconverting enzyme inhibitor (ACE-I) yang pada awalnya digunakan untuk pengobatan hipertensi. Selain digunakan untuk pengobatan hipertensi, ACE-I juga berperan dalam pengobatan gagal jantung, dan mempunyai efek lain yang penting yaitu dapat mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Pemaharnan mengenai manfaat ACE-I untuk pengobatan hipertensi, gagal jantung dan proteksi terhadap terjadinya disfungsi endotel didasarkan pada pengetahuan tentang sistem renin-angiotensin aldosteron (RAA).Renin dihasilkan oleh ginjal sebagai respon terhadap adanya katekolamin, penurunan kadar natrium plasma, dan penurunan aliran darah ginjal. Renin selanjutnya mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang merupakan dekapeptida yang tidak aktif. Angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh ACE. Angiotensin mempunyai banyak efek yang berperan terhadap terjadinya hipertensi, gagal jantung dan proses aterosklerosis. Angiotensin II berefek vasokonstruktor kuat, meningkatkan aktifitas sistem saraf simpatis, merangsang produksi aldosteron, sebagai faktor pertumbuhan (growth factor), meningkatkan agregasi trombosit dan adhesi monosit, merangsang terbentuknya plasminogen activator inhibitor (PAI), memacu terbentuknya endotelin dan meningkatkan produksi radikal bebas. Di samping berperan pada sistem RAA, ACE-Ijuga berpengaruh pada sistem kinin-kalikkrein. Angiotensin converting enzyme yang identik dengan kininase II menyebabkan penginaktifan bradikinin, sehingga pernberian ACE-I dengan sendirinya akan menyebabkan peningkatan kadar bradikinin. Selain berefek vasodilator langsung, bradikinin juga menyebabkan rangsangan produksi dan pelepasan nitric oxide (NO/endothelium-derived relaxing factor (EDRF),prostasiklin, dan endothelium-derived hyperpolarizing factor (EDHF) dari endotelium vaskular5. ACE inhibitor dapat dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan struktur molekul-nya, yaitu golongan sulfhydryl-containing agent, dicarboxylate-containing agent, dan phosphonate containing agent3. Tabel 5. Obat-obatan Golongan ACE Inhibitor sulfhydryl-containing dicarboxylate-containing agent agent Captopril(Capo ten) Zofenopril Phosphon atecontainin g agent Enalapril (Vasotec/Renitec) Ramipril (Altace/Tritace/Ramace/Ramiwi) Quinapril (Accupril) o Perindopril (Coversyl/Aceon) o Lisinopril(Lisodur/Lopril/Novatec/Prinivil/ Zestril) Benazepril (Lotensin) Fosinopril (Monopril) BAB III PEMBAHASAN A. Cardiac Remodeling Remodeling ventrikel kiri merujuk kepada perubahan massa, ukuran ruangan, dan geometris yang diakibatkan oleh, injury miokard, overload tekanan atau volume. Perubahan ultrastruktural pada ventrikel yang mengalami remodeling merupakan akibat langsung dari hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast, dan penumpukan abnormal dari matriks ekstraseluler. Beberapa data klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa renin-angiotensin system (RAS) berperan dalam proses seluler ini6. RAS terdiri dari kompartemen jaringan lokal dan yang bersirkulasi, aktivasinya menyebabkan pembentukan angiotensin II, mediator hormonal primer dari RAS. Pada RAS yang bersirkulasi, penurunan perfusi ginjal menyebabkan pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerular. Angiotensinogen yang dilepaskan oleh hati dipecah oleh renin menjadi dekapeptida-nya, angiotensin I. Angiotensin I kemudian dipecah menjadi oktapeptida-nya, angiotensin II, olehangiotensin converting enzyme (ACE) yang terdapat pada anyaman endothelial. Angiotensin II kemudian mengaktivasi reseptornya sehingga terjadi vasokonstriksi, retensi cairan, dan aktivasi simpatik. Efek kardiovaskuler dari angiotensin II dimediasi oleh reseptor angiotensin II tipe I (AT 1). Aktivasi reseptor AT 1 juga berpengaruh pada cell growth promoting effect dari angiotensin II. Reseptor angiotensin II lainnya yang diketahui adalah reseptor AT 2 dan AT 4. AT 4 ditemukan dalam sel endothelial dan mungkin memicu pelepasan substansi prokoagulan seperti plasminogen activator inhibitor-I6. B. Mekanisme Aksi ACE Inhibitor Beberapa bukti menunjukkan bahwa ACE jaringan berkontribusi signifikan pada respon seluler remodeling ventrikel, dan inhibisi padaACE jaringan penting kaitannya dengan efek anti remodeling ACE inhibitor. Pada tikus, aktivitas ACE jaringan miokard dan level ACE mRNA post miokard infark meningkat dua kali lipat. Karena ACE inhibitormemiliki kemampuan yang beragam dalam menghambat ACE lokal dan jaringan, beberapa agen mungkin tidak secara adekuat menekan peningkatan lokal dari angiotensin II, sehingga mengurangi kemampuannya sebagai anti remodeling. Salah satu studi melaporkan bahwa prevensi dari hipertrofi ventrikel kiri pada tikus dengan volume overload tergantung dari inhibisi ACE lokal (miokard). Pada tikus dengan miokard infark, ditemukan bahwa inhibisi poten dari aktivitasACE jaringan terkait peningkatan survival dan reduksi massa ventrikel kiri dan ekspresi gen ANP ventrikel yang lebih besar. Studi ini menunjukkan bahwa derajat dari inhibisi ACE jaringan penting untuk prevensi remodeling pada beberapa hewan percobaan6. ACE inhibitor merupakan obat pertama yang secara konsisten dan substansial sukses berperan dalam terapi gagal jantung kronik. ACE inhibitor berperan dalam pengobatan gagal jantung melalui mekanisme pencegahan remodeling yang dimediasi oleh angiotensin II3. ACE: cardiac myocytes, fibroblasts, sel otot polos vaskular, jaringan endothelial Chymase: sel mast, sel interstitial lainnya Gambar 2. Jalur pembentukan angiotensin II. ACE = angiotensin-converting enzyme; Ang-1 = angiotensin I; AT 1 R = angiotensin II type receptor; NE = norepinephrine3. Gambar 2 menunjukkan jalur pembentukan angiotensin II, yang terjadi secara sistemik maupun lokal pada jaringan vaskular dan jantung. Pembentukan angiotensin II terjadi melalui dua jalur yaitu denganconverting enzyme yang banyak terdapat pada endotel dan dengan protease chymase yang banyak terdapat di sel interstitial3. Menurut studi dari ELITE – II (Evaluation of Losartan in the Eldery Study II) jalur ACE merupakan jalur yang lebih dominan dalam pembentukan angiotensin II pada jantung manusia. Pada penggunaan ACE inhibitor, peningkatan level bradikinin perlu diperhatikan. Studi pada gagal jantung menunjukkan bahwa gen ACE, ekspresi protein ACE, dan aktivitas enzim ACE meningkat, namun ekspresi gen chymase tidak meningkat. Ventrikel pada jantung yang gagal akan mengambil renin sistemik yang meningkat dalam jumlah yang lebih banyak daripada ventrikel yang sehat. Jantung yang gagal juga menunjukkan level protein angiotensinogen yang lebih rendah, sesuai dengan penurunan substrat. Akhirnya, pada gagal jantung, reseptor angiotensin II tipe 1 (AT 1) secara selektif mengalami downregulation pada level protein dan mRNA, mungkin karena paparan terhadap peningkatan angiotensin II. Hal ini mengindikasikan bahwa local myocardial renin-angiotensin system (RAS) pada gagal jantung terinduksi, sehingga terjadi aktivasi sistemik. Induksi ini tidak terjadi pada sistem chymase. Peningkatan level angiotensin II memiliki beberapa efek pada system kardiovaskular, meliputi hipertrofi cardiac myocyte, apoptosis myocyte, fasilitasi pelepasan norepinefrin presinaps, dan efek mitogenik pada fibroblast. Kebanyakan dari efek biologis angiotensin II ini berkontribusi pada terjadinya hipertrofi dan remodeling3. ACE inhibitor dipertimbangkan sebagai terapi mandatory pada gagal jantung dan disfungsi sistolik ventrikel kiri asimptomatik. Menurut studitrial pada gagal jantung dan post mikard infark, dosis yang dipakai harus dosis rata-rata untuk menurunkan angka kematian. Satu-satunya efek samping yang menetap pada penggunaan ACE inhibitoradalah sedikit peningkatan terjadinya batuk ( 5% lebih tinggi daripada plasebo), pada pasien semacam ini dapat diganti dengan angiotensin II AT 1 receptor blocker3. Tabel 6. Target dosis ACE inhibitor Drug Starting Dose Benazapril 2.5mg daily Captopril 6.25mg twice daily Cilazapril 0.5mg daily Enalapril 2.5mg daily Lisinopril 2.5mg daily Perindopril 2mg daily Target Maintenance Dose 20mg daily 50mg three times daily 1-2.5mg daily 10-20mg twice daily 20-40mg daily 4mg daily Quinapril Ramipril Trandolapril 2.5mg daily 1.25mg daily 0.4mg daily 20-40mg daily 5-10mg daily 4mg daily B. Kontribusi Bradikinin Terhadap Efek Anti Growth ACE Inhibitor ACE juga berperan sebagai suatu kininase dan berkontribusi secara signifikan terhadap degradasi bradikinin pada level jaringan ataupun lokal. Sehingga, inhibisi ACE meningkatkan level bradikinin endogen lokal. Beberapa studi menunjukkan bahwa bradikinin berkontribusi pada efek anti remodeling ACE inhibitor. Pada tikus dengan tekanan overload yang diberi antagonis reseptor bradikinin tipe 2 (B2 kinin), HOE140, menunjukkan hilangnya efek ACE inhibitor dalam mengurangi hipertrofi miokard. Pada tikus dengan miokard infark yang diberi ACE inhibitor dan antagonis B2 kinin terjadi penghentian penurunan fibrosis interstitial dibandingkan tikus yang diberi ACE inhibitor saja. Studi percobaan ini menunjukkan bahwa penurunan bradikinin lokal memediasi efek anti growth ACE inhibitor pada level miosit dan fibroblast pada ventrikel yang mengalami remodeling6. About these ads This entry was posted on June 25, 2009 at 5:25 pm and is filed underkesehatan . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site. Leave a Reply Blog at WordPress.com. The Black-LetterHead Theme. Follow Follow “U